makalah APM
-
Upload
fita-isolanda-yunita -
Category
Documents
-
view
406 -
download
9
Transcript of makalah APM
BAB I
PENDAHULUAN
Secara bahasa Muhammadiyah berasal dari bahasa Arab yaitu Muhammad
yang berarti Nabi Muhammad SAW. Kemudian ditambah ya nisbah yang artinya
menjeniskan. Jadi Muhammadiyah berarti umat Muhammad SAW atau pengikut
Muhammad SAW. Secara etimologis dapat diartikan semua orang yang mengikuti
Nabi Muhammad SAW adalah orang Muhammadiyah.
Secara Istilah Muhammadiyah adalah sebuah Persyarikatan yang didirikan
oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan
tanggal 18 November 1912 Miladiyah di Yogyakarta untuk jangka waktu tidak
terbatas. Muhammadiyah adalah gerakan islam, Dakwah amar ma’ruf nahi
munkar dan tajdid yang bersumber pada Al-Qur”an dan As Sunnah. Kelahiran
Muhammadiyah tidak lain kerena diilhami, dimotivasi dan disemangati oleh
ajaran-ajaran Al-Qur’an. Dan apa yang digerakkan oleh Muhammadiyah tidak ada
motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam
dalam kehidupan yang riil dan konkrit. Gerakan Muhammadiyah hendak berusaha
untuk menampilkan wajah Islam dalam wujud yang riil, konkrit dan nyata, yang
dapat dihayati, dirasakan dan dinikmati oleh umat sebagai rahmatan lil alamin.
Oleh alasan tersebut Muhammadiyah disebut sebagai gerakan Islam.
Di samping itu, Muhammadiyah juga memiliki identitas sebagai gerakan
dakwah maksudnya adalah Muhammadiyah meletakkan khittah atau strategi dasar
perjuangannya yaitu dakwah Islam, amar makruf nahi munkar dengan masyarakat
sebagai medan atau kancah perjuangannya. Muhamadiyah berkiprah di tengah-
tengah masyarakat bangsa Indonesia dengan membangun berbagai amal usaha
yang benar-benar dapat menyentuh hajat hidup orang banyak seperti berbagai
macam ragam lembaga pendidikan mulai dari tingkat TK sampai Perguruan
Tinggi, membangun Rumah Sakit, Panti Asuhan dan sebagainya. Seluruh amal
usaha Muhammadiyah itu merupakan manifestasi atau perwujudan dakwah
islamiyah. Semua amal usaha diadakan dengan niat dan tujuan yang tunggal,
1
yaitu untuk dijadikan sarana dan wahana dakwah Islam sebagaimana yang
diajarkan al-Quran dan as-Sunnah Shahihah.
Identitas Muhammadiyah yang selanjutnya adalah sebagai gerakan Tajdid,
maksudnya adalah Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan atau gerakan
reformasi. Secara istilah tajdid memiliki pengertian pemurnian dan peningkatan,
pengembangan, modernisasi, dan yang semakna dengannya.
Pemurnian maksudnya adalah pemeliharaan matan ajaran Islam yang
berdasarkan kepada Al-Quran dan As-Shahihah. Muhammadiyah meyakini
matan ajaran Islam yang harus dipelihara sebagaimana yang terdapat dalam al-
Quran dan as-Sunnah adalah yang berkaitan dengan Aqidah dan Ibadah.
Dalam sejarah perkembangan umat Islam ditemukan praktek percampuran
ajaran 7 islam antara aqiadah dengan bukan adiadah, misalnya mengkramatkan
kuburana, mengkeramatkan ulama, dan sebagainya. Padahal dalam ajaran Islam
yang harus dikeramatkan itu hanyalah Allah SWT. Hal inilah yang menjadi tugas
Muhammadiyah untuk memurnikan Aqidah Islam kembali.
Sejak lahirnya Muhammadiyah memang sudah dapat diketahui asas
gerakannya, namun pada tahun 1938-1942 di bawah kepemimpinan Kyai Mas
Mansur mulai dilembagakan idiologi Muhammadiyah, yaitu dengan lahir konsep
Dua Belas langkah Muhammadiyah. Yaitu memperdalam iman, memperluas
faham keagamaan, memperbuahkan budi pekerti, menuntun amalan intiqad,
menguatkan persatuan, menegakkan keadilan, melakukan kebijaksanaan,
menguatkan tanwir, mengadakan musyawarah, memusyawaratkan putusan,
mengawasi gerakan kedalam dan memperhubungkan gerakan keluar. Dengan
lahirnya konsep ini maka Muhammadiyah tumbuh menjadi paham dan kekuatan
sosial-keagamaan dan sosial politik tertentu di Indonesia.
Pada tahun 1942-1953 dibawah kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo
dirumuskan konsep idiologi Muhammadiyah secara lebih sistematik yaitu ditandai
dengan lahirnya Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Pada tahun 1968
dalam muktamar Muhammadiyah ke 37 di Yogyakarta perumusan idiologi
Muhammadiyah semakin mengental, ditandai dengan lahirnya Matan Keyakinan
dan Cita-cita Hidup Warga Muhammadiyah.
2
Oleh karena esensi dari gerakan Muhammadiyah adalah menyampaikan
ideologi keagamaan tersebut, maka lebih penting menjadikan ideologi ini sebagai
ukuran kemuhammadiyahan seseorang dari pada ukuran formalitas organisatoris.
Hal ini juga berarti bahwa upaya untuk menyebarkan, menjelaskan dan
menanamkan ideologi ini jauh lebih penting dari pada mengurus formalitas
organisatoris.
Kegagalan menanamkan ideologi ini,menyebabkan Muhammadiyah
kehilangan esensinya, kemudian yang tinggal hanya dimensi lahiriahnya belaka.
Upaya untuk memelihara ideologi keagamaan Muhammadiyah ini kemudian
dilembagakan dengan membentuk Majlis Tarjih yang dalam perkembangan
terakhir sejak mu’tamar ke 43 di Aceh disempurnakan menjadi Majlis tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam.
Tarjih adalah suatu metode atau cara untuk menyelesaikan dua atau lebih
dalil yang saling berbeda atau bertentangan. Ahli ushul mendefinisikan tarjih
sebagai membandingkan dua dalil yang bertentangan dan mengambil yang terkuat
di antara keduanya. Kedua dalil yang bertentangan itu memiliki kedudukan yang
sama yaitu sama-sama zhanni. Dalam membahas dalil-dalil yang ada, para
mujtahid bertentangan satu dengan yang lainnya karena adanya dua atau lebih
dalil yang muncul, yang kedudukan dalil-dalil tersebut sama-sama zhanni, maka
untuk menyelesaikan pertentangan itu diadakanlah tarjih.
Muhammadiyah sebagai persyarikatan memiliki tujuan menegakkan dan
menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan
makmur yang diridhai Allah SWT.. Untuk mencapai tujuan tersebut,
Muhammadiyah melaksanakan dakwah dan tajdid, dengan usaha-usaha antara lain
mempergiat dan memperdalam penyelidikan agama Islam yang benar dan murni.
Tarjih bagi Muhammadiyah tidak hanya sekedar menyelesaikan dua dalil yang
berbeda atau bertentangan, akan tetapi maknanya lebih luas dari itu, yaitu ijtihad.
Bertarjih dalam Muhammadiyah berarti melakukan ijtihad.
3
Majelis Tarjih(yang di dalamnya terdapat Lajnah Tarjih) adalah lembaga
ijtihad dalam Muhammadiyah. Oleh karena itu, makalah ini membahas tentang
muhammadiyah dan tajdid.
4
BAB II
ISI
A. Konsep Tajdid Menurut Muhammadiyah
K. H. A. Badawi, ketua PP Muhammadiyah 1962 – 1968 menulis dalam
suara muhammadiyah Juli 1967 tentang Tajdid dan Muhammadiyah.
Muhammadiyah pada dasarnya adalah gerakan Islam yang bermaksud dakwah,
mengajak kepada kepada Islam. Bagi yang telah islam, ajakan itu bersifat tajdid,
yaitu kembali kepada ajaran Islam yang asli murni, seperti yang telah diwahyukan
oleh Allah SWT (Al-Quran) dan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW
(Hadits yang sahih) serta yang dikerjakan oleh sahabat dan ulama salaf yang
sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Hadits, dengan mempergunakan akal, pikiran
dan dengan penyelidikan yang cermat, tidak bertaklid.
Tajdid diambil dari bahasa arab yang berkata dasar “jaddadayujaddidu-
tajdiidan” yang arinya memperbaharui. menurut bahasa tajdid adalah
menghidupkan, membangkitkan dan mengembalikan. Menurut muhammadiyah
pada sidang tanwir tahun 1968, seorang tokoh yaitu M.djindar Tamimy
memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan tajdid adalah
“pembaharuan”. Dipandang dari sasaranya, Tajdid itu mempunyai dua segi:
pertama, tajdid berarti kembali kepada keaslian dan kemurnian. Itu bila
sasarannya adalah soal-soal prinsip perjuangan yang sifatnya tetap dan
tidak berubah-ubah.
Kedua, tajdid berarti modernisasi, bila tajdid sasarannya mengenai
masalah seperti metode, sistem, tekhnik, strategi, taktik perjuangan dan
lain-lain yang sifatnya berubah-ubah, disesuaikan dengan situasi, kondisi,
ruang dan waktu.
Tajdid dalam kedua seginya itu sesungguhnya itu merupakan watak dari
ajaran islam itu sendiri. Dan dengan sendirinya, watak tajdid tersebut menjadi
watak dan jiwa Gerakan Muhammadiyah yang merupakan gerakan yang berasas
5
dan memperjuangkan ajaran Islam. Tajdid yang perlu dilakukan adalah dalam
bidang idiologi, bidang khittah, gerak dan amal usaha serta bidang organisasi.
B. Peran Majelis Tarjih
B.1 Sejarah Majelis Tarjih
Tarjih berasal dari kata "rojjaha – yurajjihu- tarjihan", yang berarti
mengambil sesuatu yang lebih kuat. Jadi secara bahasa tajrih merupakan cara
pengambilan sesuatu dengan membandingkan antara dua hal yang saling
bertentangan dan mengambil sesuatu yang lebih kuat. Menurut istilah, para ulama
berbeda-beda dalam memberikan rumusan tarjih ini. Sebagian besar ulama
Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, memberikan rumusan bahwa tarjih itu
perbuatan mujtahid, sehingga dalam kitab Kasyf-u ‘l-Asrar disebutkan bahwa
tarjih itu adalah:
�ج�ع�ل� ت ة� �ر� �ب م�ع�ت �ة� م�ز�ي م�ن� �ه� ف�ي �م�ا ل �ن� �م�ع�ار�ض�ي ال �ن� �ق�ي الط�ر�ي �ح�د� ا �ه�د� ت �م�ج� ال �ق�د�م� ت
ر� خ�� �أل ا م�ن� �و�ل�ي� ا �ه� ب �ع�م�ل� ال
Artinya: Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara
dua jalan (dua dalil) yang saling bertentangan, karena adanya kelebihan yang
nyata untuk dilakukan tarjih itu.”
Tarjih dalam istilah persyarikatan, sebagaimana terdapat uraian singkat
mengenai Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah adalah
membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil
mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat.
Dalam Konggres Muhammadiyah ke-16 pada tahun 1927 di Pekalongan
KH Mas Mansur al-Marhum yang ketika itu menjabat sebagai konsul
Muhammadiyah Daerah Surabaya mengusulkan agar didirikan semacam majlis
ulama yang secara khusus bertugas membahas masalah-masalah agama. Usul
tersebut berdasarkan pertimbangan adanya kekhawatiran timbul perpecahan di
6
kalangan orang-orang Muhammadiyah , terutama ulama’nya karena perbedaan
paham dalam masalah-masalah hukum agama.
Perbedaan-perbedaan demikian sebagaimana terbukti dalam sejarah telah
menyebabkan pertentangan dan perpecahan di kalangan umat Islam, terutama
ulama’nya sehingga timbullah madzhab-madzhab dan kefanatikan terhadapnya,
sehingga meretakkan ukhuwah Islamiyah dan menghancurkan persatuan umat
Islam. Beliau juga khawatir kalau Muhammadiyah sampai menyimpang dari
hukum agama, karena mengejar kebesaran lahiriyah mengabaikan tujuan
utamanya. Akhirnya usul tersebut diterima secara aklamasi, dan sejak itulah
berdiri Majlis Tarjih – yang kemudian dalam Mu’tamar Muhammadiyah ke-43
tahun 1995 di Aceh disempurnakan menjadi Majlis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam - sampai sekarang ini.
Dalam Muktamar Muhamadiyah ke-17 pada tahun 1928 di Yogyakarta
dibentuk susunan pengurus Majlis Tarjih Pusat yang diketuai oleh KH. Mas
Mansur dan disekretarisi oleh Kh. Aslam Z. dilengkapi dengan beberapa anggota
pengurus. Dibuat pula anggaran dasar atau qaidahnya antara lain berbunyi: Bahwa
B.2 Tugas Majlis Tarjih adalah:
1. Mempergiat pengkajian dan penelitian ajaran islam dalam rangka
pelaksanaan tajdid dan antisipasi perkembangan masyarakat.
2. Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada pimpinan persyarikatan.
3. Mendampingi dan membantu pimpinan persyarikatan dalam membimbing
anggota melaksanakan ajaran islam.
4. Membantu pimpinan persyarikatan dalam mempersiapkan dan
meningkatkan kualitas ulama.
5. Mengarahkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang ke arah yang lebih
maslahat.
7
6. Mengamat-amati perjalanan Muhammadiyah yang berhubungan dengan
hukum-hukum agama.
7. Menerima, menyelidiki, dan mentarjihkan atau menetapkan hukum
masalah khilafiyah yang diragukan hukumnya, yang memang penting
dalam perjalanan Muhammadiyah.
8. Penyelidikan dan pembahasan tersebut, hendaklah berdasarkan al-Quran
dan al-Hadits dengan berpedoman pada ushul fiqh yang dipandang
mu’tabar, dan mementingkan riwayat dan maknanya; tidak mengutamakan
aql di atas naql.
Sejak itu dilakukan identifikasi terhadap berbagai masalah agama, seperti
masalah ushalli, gambar, alat al-malahi (musik), kenabian sesudah Nabi
Muhammad saw. dalam kaitannya dengan klaim Ahmadiyah Qadhiyan bahwa
Mirza Ghulam Ahmad adalah adalah seorang nabi, dan sebagainya.
Muktamar Tarjih yang pertama diadakan pada tahun 1929 bersama-sama
dengan Konggres Muhammadiyah ke-18 di Solo. Masalah-masalah yang telah
teridentifikasi tersebut, kemudian dibahas dalam muktamar yang pertama ini,
selanjutnya sisanya dikaji dalam muktamar-muktamar berikutnya. Adapun
masalah pertama yang diputuskan kemudian disusun manjadi kitab, ialah kitab
iman dan sembahyang, kemudian disusul masail syatta (macam-macam masalah)
seperti masalah gambar, musik, lotre, api unggun, arak-arakan Aisyiyah dan
sebagainya. Demikian muktamar-demi muktamar belakangan diubah dengan
istilah musyawarah nasional, dilakukan sehingga menghasilkan Himpunan
Putusan Tarjih, dan Qaidah-qaidahnya dan termasuk Qaidah Pengembangan
Pemikiran Islam.
Struktur Majlis tersebut mengalami beberapa kali perubahan. Sedang
sekarang ini Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI) secara
struktural terdiri dari MTPPI Pusat, Wilayah, dan Daerah. Masing-masing
8
berfungsi sebagai pembantu – dan oleh karena itu berada di bawah – Pimpinan
Muhamadiyah sesuai dengan tingkatannya.
B.3 Pokok-Pokok Manhaj Tarjih:
1. Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2. Dalam memutuskan suatu keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah.
3. Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, tetapi pendapat-pendapat
madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum.
4. Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya
MajelisTarjih yang paling benar.
5. Di dalam masalah aqidah (tauhid), hanya dipergunakan dalil-dalil yang
mutawatir.
6. Tidak menolak ijma’ shahabat, sebagai dasar sesuatu keputusan.
7. Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudl, digunakan cara
al-jam’uwa ‘l-tawfiq. Dan kalau tidak dapat baru dilakukan tarjih.
8. Menggunakan asas “sad-u ‘l-dzara’i”untuk menghindari terjadinya fitnah
dan mafsadah.
9. Menta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil Al-
Qur’an dan As-Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syari’ah.
10. Penggunaan dalil-dalil untuk menetapkan sesuatu hokum dilakukan
dengan cara konprehensif, utuh dan bulat. Tidak terpisah.
11. Dalil-dalil umum Al-Qur’an dapat ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali
dalam bidang aqidah.
12. Dalam mengamalkan agama islam, prinsip “al-tasyir”.
13. Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari Al-
Qur’an dan As-Sunnah pemahamannya dapat dengan menggunakan akal
sepanjang diketahui latarbelakang dan tujuannya.
9
14. Dalam hal-hal yang termasuk al-Umur-u ‘l-Dunyawiyah yang tidak
termasuk tugas para nabi, penggunaan akal sangat diperlukan demi
kemaslahatan umat.
15. Untuk memahami nash yang musytarak, faham sahabat dapat diterima.
16. Dalam memahami nash maka dharir didahulukan dari ta’wil dalam bidang
aqidah.
B.4 Mekanisme pengambilan keputusan Majelis Tarjih
Terhadap persoalan-persoalan yang memerlukan pemecahan dalam
perspektif Islam, dibahas oleh majlis ini dengan cara berupaya mencari dalil yang
relevan, menerapkan manhaj al-istinbath, kemudian menarik natijah hukumnya,
Hasil keputusan majlis ini, kemudian diajukan ke pimpinan Muhammadiyah
sesuai dengan tingkatannya.
Selanjutnya pimpinan Muhammadiyahlah yang memiliki otoritas untuk
mentanfidzkan atau tidak sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang
dimiliki. Jika telah ditanfidzkan, maka keputusan tersebut mengikat secara
organisatoris terhadap warga Muhammadiyah sesuai dengan tingkatannya masing-
masing, yakni tanfidz oleh pimpinan pusat, mengikat selurus warga
Muhammadiyah, tanfidz oleh pimpinan wilayah, mengikat warganya pada
wilayah yang bersangkutan, demikian pula oleh pimpinan daerah, mengikat
daerahnya semata.
Semua yang telah ditanfidzkan masih tetap terbuka untuk diadakan
tinjauan ulang. Jika dikemudian hari ditemukan dalil dan istinbath yang lebih
baik, maka dengan melalui mekanisme organisatoris seperti di atas, hal-hal yang
telah ditanfidzkan dikaji ulang, kemudian diubah sesuai dengan penemuan
tersebut.
Dengan demikian, segala keputusan tersebut tidak kemudian menjelma
menjadi suatu madzhab yang senantiasa berwatak dasar mempertahankan dan
10
melahirkan fanatisme. Bahkan untuk membentengi dari fanatisme, sikap
menyalahkan tidak boleh ada terhadap pandangan yang berbeda dari hasil tarjih
yang didapatkan dari istinbath yang dilakukan majlis ini.
B.5 Tarjih Muhammadiyah di Bidang Ibadah
Sehubungan dengan sangat pentingnya pembahasan tentang ibadah, maka
Lajnah Tarjih telah mencurahkan perhatian yang besar dalam masalah ibadah ini.
Terjadinya banyak khilafiyah dalam masalah-masalah ibadah sangat
mengkhawatirkan Muhammadiyah. Maka dalam hal ibadah ini, Muhammadiyah
berpegang teguh kepada tuntunan Rasulullah SAW. tanpa memberikan tambahan
ataupun pengurangan sedikitpun.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam mengambil keputusannya,
Muhammadiyah mempunyai ciri khusus dalam masalah ibadah ini, yaitu tidak
sebagaimana umumnya dalam kitab-kitab fikih, di mana terdapat syarat, rukun,
dan mana yang wajib atau sunnat pada suatu macam rangkaian ibadah. Semuanya
tersusun dalam bentuk “tuntunan” tanpa menyebut status hukum dari perbuatan,
perkataan, dan rangkaian ibadah tersebut. Argumentasi yang dipegang oleh
Muhammadiyah adalah bahwa terjadinya pokok pangkal yang menimbulkan
perselisihan dalam masalah ibadah ini adalah karena para ulama terdahulu dalam
menghukumkan sesuatu ibadah tersebut antara satu dengan yang lainnya berbeda.
Selanjutnya, bila ditanyakan bagaimana jika kita tidak mengamalkan salah satu
tuntunan tersebut? Jawabnya, bersediakah kita melaksanakan ibadah
sebagaimanayang dituntunkan Rasulullah atau tidak. Apabila dijawab dengan sah
atau tidak dalam mengamalkan tuntunan tersebut, berarti membuka tabir
perselisihan kembali.
Untuk lebih menjelaskan tuntunan ibadah versi tarjih Muhammadiyah,
berikut ini dikemukakan beberapa contoh:
1. Putusan Tarjih Muhammadiyah tentang Tuntunan Shalat Jum’at
Apabila tiba hari Jum’at, dirikanlah shalat Jum’at dua rakaat dengan
berjama’ah. Sebelum shalat hendaklah Imam berkhutbah dua kali dengan berdiri
dan duduk di antara kedua khutbah itu. Di dalam khutbah Imam supaya membaca
11
beberapa ayat al-Qur’an dan memberikan peringatan-peringatan kepada orang
banyak. Dan berangkatlah ke masjid pagi-pagi. Dan sebelum berangkat mandilah
lebih dahulu lalu mengenakan pakaianmu yang terbaik dan kenakanlah (usaplah)
wangi-wangian apabila ada padamu, kemudian berangkatlah ke Masjid dengan
tenang. Setelah tiba di Masjid shalatlah sekuatmu dan jangan mengganggu
seseorang; kemudian apabila Imam berkhutbah dengarkanlah dengan penuh
perhatian. Apabila kamu masuk Masjid pada waktu Imam sedang berkhutbah,
maka kerjakanlah shalat dua raka’at yang ringan (cepatan). Apabila Imam telah
duduk di atas mimbar, maka adzanlah salah seorang dari kamu dan apabila Imam
telah turun dari mimbar, maka berqamatlah. Imam hendaklah memulai
khutbahnya dengan ucapah tahmid, tasyahud dan selawat kepada Nabi SAW. Lalu
berwasiat dengan taqwa dan kemudian berdo’a. Dan singkatkanlah khutbah serta
agak panjangkanlah shalat. Dalam shalat jama’ah hendaklah Imam membaca surat
“Sabbih isma rabbika al- a’la, sesudah surat Al-Fatihah pada raka’at pertama dan
pada raka’at kedua hendaklah membaca “Hal ata-ka hadits al-gha-syiyah. Dan
kerjakanlah shalat empat atau dua raka’at sesudahnya.
Semua rangkaian tuntunan ini didasarkan kepada Hadis shahih. Di mana
Hadis-Hadis tersebut sebagian besar terdapat dalam kitab Shahih Muslim pada
Kitab al-Jum’ah.
2. Bacaan al-Fatihah Ma’mum dalam Shalat Jama’ah
Begitu pula dalam masalah yang banyak diperselisihkan oleh para ulama,
Lajnah Tarjih juga tidak menyebut status hukumnya. Cukup dimasukkan dalam
rangkaian tuntunan jika memang ada dasarnya. Contohnya ialah mengenai bacaan
al-Fatihah bagi ma’mum dalam shalat berjama’ah.
Sebagaimana diterangkan oleh Ibn Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid,
bahwa ulama telah sepakat, di mana Imam Malik tidak menanggung ma’mum
mengenai fardlu shalat, kecuali bacaan al-Al-Fatihah. Mengenai bacaan al-Fatihah
bagi ma’mum para ulama telah berbeda pendapat.
Imam Malik berpendapat bahwa ma’mum dalam shalat sirri membaca al-
Fatihah bersama-sama imam, dan tidak membacanya dalam shalat jahar. Imam
12
Abu Hanifah berpendapat bahwa bacaan al-Fatihah gugur pada pihak ma’mum,
baik pada shalat sirri maupun pada shalat jahar.
Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa ma’mum wajib membaca al-
Fatihah saja dalah shalat jahriyah, dan membaca al-Fatihah beserta surat apabila
shalat sirriyah. Imam Ahmad ibn Hanbal mewajibkan membaca al-Fatihah waktu
tidak terdengarnya bacaan imam, baik karena bacaannya sirr atau karena jauhnya,
dan melarang membacanya waktu didengarnya bacaan imam.
Sehubungan dengan masalah ini, Lajnah Tarjih telah mengambil
keputusan dengan ciri khas sebagaimana disebutkan di atas, sbb: “Hendaklah
kamu memperhatikan dengan tenang bacaan Imam apabila keras bacaannya, maka
janganlah kamu membaca sesuatu selain surat al-Fatihah.
Dari keputusan tersebut mengandung pengertian bahwa ma’mum
diharuskan membaca al-Fatihah pada shalat jaharmaupun dalam shalat sirri.
Melihat putusan Lajnah Tarjih ini, ternyata pendapatnya sama dengan Imam
Syafi’i. Adapun dalil yang digunakannya ialah sebagaimana dicantumkan dalam
HPT sebagai berikut:
: . . يقرأ لم لمن الصالة قال صلعم الله رسول ان رض الصامت بن عبادة لحديث
. : .( ) الصبح صلعم الله رسول صل;ى قال عبادة ولحديت عليه متفق االكتاب بفاتحة
: . : . يا قلنا، قال امامكم وراء تقرءون اراكم انى قال انصرف فلما القراءة عليه فثقلت
) : . والدارقطنى احمد رواه القران بأم ; اال تفعلوا ال قال الله و إى الله رسول
:. : اتقرءون). صلعم الله رسول قال قال انس حديث من حبان ابن رواه ولما والبيهقى
فى الكتاب تحة بفا احدكم واليقرأ تفعلوا، فال يقرأ؟ واالمام االمام خلف صالتكم فى
نفسه.
“Mengingat Hadis ‘Ubadah ibn Shamit bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Tiada
sah shalat orang yang tak membaca permulaan Kitab (al-Fatihah)” (HR. al-
Bukhari dan Muslim). Dan ada lagi Hadis ‘Ubadah dari riwayat Ahmad, al-
Daruquthni dan al-Baihaqi, katanya: “Rasulullah SAW. shalat shubuh, maka
beliau mendengar orang-orang yang ma’mum nyaring bacaannya. Setelah selesai
beliau menegur: Aku kira kamu sama membaca di belakang imammu? Kata
‘Ubadah: Kita sama menjawab: Ya Rasulallah, demi Allah, benar!. Maka sabda
beliau: Janganlah kamu mengerjakan demikian, kecuali dengan bacaan al-
13
Fatihah”. Dan mengingat pula Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari
Annas, yang berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Apakah kamu membaca
dalam shalatmu di belakang imammu, padahal imam itu membaca? Janganlah
kamu mengerjakannya, hendaklah seseorang membaca al-Fatihah pada dirinya
(dengan suara rendah yang hanya didengar sendiri)”.
Hadis-Hadis tersebut dapat kita temui dalam kitab-kitab: Shahih Muslim
pada Kitab al-Shalat, Shahih al-Bukhari pada Kitab al-Shalat, Shahih al-Tirmidzi
Juz I Abwab al-Shalat, dan dalam Sunan al-Baihaqi.
3. Putusan Tentang Qunut
Masalah qunut termasuk masalah klasik dan terus berbeda pendapat di
kalangan umat Islam. Hal ini disebabkan telah berpengaruhnya pendapat para
ulama dahulu yang memang sudah memperselisihkannya. Di antara fuqaha ada
yang berpendapat bahwa qunut shubuh itu hukumnya mustahab (disukai). Ini
adalah pendapat Imam Malik. Menurut Imam Syafi’i hukumnya dalam shalat
shubuh itu sunnat. Lain lagi dengan Imam Abu Hanifah tidak boleh qunut dalam
shalat shubuh, tetapi qunut hanya boleh dikerjakan dalam shalat witir, dan
sebagian fuqaha berpendapat bahwa qunut itu dapat dilakukan dalam setiap saat.
Mengenai qunut ini tarjih Muhammadiyah berpendapat bahwa qunut
dalam pengertian berdiri lama untuk membaca do’a di dalam shalat memang ada
tuntunannya. Tetapi tidak membenarkan qunut itu khusus untuk shalat shubuh.
Jadi qunut sebagai bagian daripada shalat, tidak khusus hanya diutamakan pada
shalat shubuh. Sedangkan mengenai qunut witir, tarjih Muhammadiyah
mengambil keputusan tawaqquf, sebagaimana disebutkan di muka.
4. Puasa bagi Orang Hamil dan Menyusui
Putusan tentang masalah apakah orang hamil dan menyusui yang
meninggalkan puasanya wajib qadha atau fidyah saja, juga masalah baru dalam
masalah khilafiyah. Dalam masalah ini terdapat perbedaan di kalangan para
ulama, yaitu menjadi empat golongan. Pertama, mengatakan bahwa bagi orang
14
hamil dan menyusui yang meninggalkan puasa cukup membayar fidyah saja, dan
tidak wajib atasnya mengqadha.
Landasan mereka adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Umar dan Ibn
‘Abbas. Kedua, yaitu yang dikemukakan oleh Abu Hanifah dan para sahabatnya,
bahwa orang hamil dan menyusui wajib mengqadha saja, dan tidak perlu
membayar fidyah. Ketiga, merupakan pendapat Imam Syafi’i, bahwa orang hamil
dan menyusui itu keduanya harus mengqadha dan juga membayar fidyah.
Keempat, membedakan antara orang hamil dan menyusui. Pada orang hamil
hanya wajib mengqadha, sedang orang yang menyusui atasnya wajib qadha dan
fidyah.
Sehubungan dengan masalah ini, tarjih Muhammadiyah telah mengambil
putusan sebagaimana dapat dilihat dalam HPT sbb: “Dan bila berpuasa itu terasa
terlalu berat bagimu karena tuamu atau sakit lama yang tidak diharapkan
sembuhnya, maka boleh berbuka, tetapi berfidyah dengan memberi makan kepada
orang miskin buat setiap harinya satu mud begitu juga karena mengandung atau
menyusui”.
Di sini jelas bahwa Muhammadiyah berpendapat orang yang
hamil/mengandung dan menyusui di mana ia meninggalkan puasa, kepadanya
hanya dikenakan untuk membayar fidyah, sebagaimana orang tua dan orang sakit
yang tidak diharapkan lagi sembuhnya. Dalam hal ini pandangan Muhammadiyah
kebetulan sama dengan pandangan golongan yang pertama, yang
menguatkan dalilnya dengan Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Umar dan Ibn
’Abbas.
Adapun dalil yang menjadi landasan Lajnah Tarjih Muhammadiyah
sebagaimana tercantum dalam HPT sbb:
: . عن وضع وجل عز الله ان قال صلعم الله رسول ان الكعبي مالك بن انس لحديث
.( وكان ( الخمسة رواه الصوم المرضع و الحبلى وعن الصالة وشطر الصوم المسافر
: قضاء وال الفداء فعليك يطيقه، الذى بمترلة انت حبلى ولدله الم يقول عباس ابن
: .( اثبت ( قال انه عباس ابن عن ابوداود واخرج الدارقطنى صححه و البزار رواه عليك
. مسكينا يوم كل ويطعما يفطرا ان والمرضع للحبلى
15
“Menurut Hadis Anas ibn Malik al-Ka’biyyi bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
Sungguh Tuhan Allah Yang Maha Besar dan Mulia telah membebaskan puasa dan
separoh shalat bagi orang yang bepergian, serta membebaskan puasa dari orang
hamil dan menyusui” (HR al-Khamsah). “Dan Ibn ‘Abbas berkata kepada
jariyahnya yang hamil: Engkau termasuk orang yang keberatan berpuasa, maka
engkau hanya wajib berfidyah dan tidak usah mengganti puasa” (HR. al-Bazzar
ditashihkan oleh al-Daruquthni). “Dan diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibn
‘Abbas, bahwa ia berkata: Ditetapkan bagi orang yang mengandung dan menyusui
untuk berbuka (tidak berpuasa) dan sebagai gantinya memberi makan kepada
orang miskin setiap harinya”.
Hadis-Hadis di atas dapat ditemui dalam kitab Sunan Abu Dawud dalam
Kitab Shaum, Juz II.
B.6 Tarjih Muhammadiyah di Bidang Mu’amalah
Pandangan Muhammadiyah dalam hal mu’amalah agak lebih fleksibel,
tidak seketat dalam hal ibadah. Persoalan-persoalan atau masalah-masalah
mu’amalah duniawiyah bagi Muhammadiyah memegang prinsip ajaran Islam,
sesuai dengan sabda Nabi: “Antum a’lamu bi umuri dunya-kum (kamu lebih tahu
masalah duniamu)”. Hal lain yang menjadikan landasan Muhammadiyah tentang
kelenturan dalam bidang mu’amalah duniawiyah, dikarenakan persoalan-
persoalan ini terus berkembang, sejalan dengan perkembangan zaman itu sendiri.
Pada makalah akan dipaparkan salah satu persoalan bagaimana pandangan
Muhammadiyah dalam menghadapi masalah-masalah yang bersifat kontemporer.
Labih menarik lagi jika pembahasan ini menyangkut hal-hal yang bersifat aktual,
walaupun persoalan itu sendiri telah lama terjadi, yaitu masalah tentang aborsi.
Aborsi atau abortus secara bahasa berarti keguguran, pengguguran kandungan
atau membuang janin.
Dalam arti yang lebih rinci, abortus ialah “keadaan di mana terjadi
pengakhiran atau ancaman pengakhiran kehamilan sebelum fetus hidup di luar
kandungan. Menurut para ahli medis, ada dua macam aborsi atau abortus.
16
Pertama, abortus spontaneus, yaitu abortus yang terjadi secara spontan atau tidak
disengaja. Abortus spontaneus bisa terjadi karena salah satu pasangan berpenyakit
kelamin, kecelakaan, dan sebagainya. Kedua, abortus provocatus, yaitu abortus
yang disengaja. Abortus provocatus ini terdiri dari dua jenis, yaitu abortus
artificialis therapicus dan abortus provocatus criminalis. Abortus artificialis
therapicus adalah abortus yang dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis,
yakni apabila tindakan abortus tidak diambil bisa membahayakan jiwa ibu.
Sedangkaan abortus provocatus criminalis adalah abortus yang dilakukan tanpa
dasar indikasi medis. Misalnya, aborsi yang dilakukan untuk meleyapkan janin
dalam kandungan akibat hubungan seksual di luar pernikahan, atau mengakhiri
kehamilan yang tidak dikehendaki.
Dalam menyelesaikan masalah abortus ini, Muhammadiyah sudah cukup
maju dibandingkan dengan para ahli fikih dan ahli tafsir terdahulu. Adapun dalil
yang dijadikan dasar untuk menetapkan proses kejadian manusia adalah sebagai
berikut:
خلقنا ثم مكين، قرار فى نطفة جعلناه ثم طين، من ساللة من نسان اإل خلقنا ولقد
فخلقنا مضغة العلقة فخلقنا علقة ثم النطفة لحما، العظام فكسونا عظاما المضغة
: المؤمنون ( الخالقين احسن الله فتبارك اخر، خلقا ).14- 13انشأناه
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu mani (yang disimpan) dalam
tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah,
lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu
Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan
daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha
Sucilah Allah. Pencipta Yang Paling Baik” (QS. Al-Mu’minun: 13-14)
ثم ذلك، مثل علقة يكون ثم نطفة، يوما اربعين امه بطن فى خلقه يجمع احدكم ان
) واللفظ عليه متفق الروح فيه وينفخ الملك اليه يرسل ثم ذلك، مثل مضغة يكون
لمسلم).
“Bahwasanya salah seorang kamu dihimpun dapam perut ibunya selama 40 hari
dalam bentuk air mani, kemudian selama 40 hari berikutnya dalam bentuk
17
segumpal darah, kemudian 40 hari berikutnya dalam bentuk segumpal daging,
kemudian Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh”. (HR. Muttafaq
‘alaih, dengan lafazh Muslim).
Ketika memahami teks al-Qur’an dan al-Hadis di atas, Muhammadiyah
telah menggunakan analisis ilmu pengetahuan modern di bidang ilmu kedokteran
dan ilmu-ilmu lainnya, termasuk filsafat. Berdasarkan pemahaman yang multi
disipliner itu, Muhammadiyah berpendapat bahwa pengguguran kandungan sejak
pembuahan hukumnya haram. Hal ini berarti, bahwa usia kandungan empat bulan
atau 120 hari, seperti dijelaskan dalam Hadis di atas tidak dianggap sebagai batas
kehidupan manusia.
Oleh karena itu, Muhammadiyah tidak begitu saja menerima penjelasan
yang terdapat dalam Hadis Nabi tentang “peniupan ruh” itu. Secara eksplisit
Hadis itu menyatakan bahwa pada usia 40 hari yang ketiga (120 hari) dari proses
kejadian manusia, Allah mengutus Malaikat untuk meniupkan ruh kepada janin
yang ada dalam rahim ibunya. Namun Muhammadiyah tidak menerima pendapat
bahwa ruh dalam Hadis itu berarti nyawa yang menyebabkan janin menjadi hidup
(Hadis di atas diartikan peniupan ruh itu sebagai nyawa untuk hidup,
Muhammadiyah tidak sependapat dengan itu). Alasan yang dikemukakannya
adalah bahwa kenyataan menunjukkan bahwa pembuahan itu sendiri telah
dinyatakan hidup kemudian berkembang menjadi ‘alaqat, dan berikutnya menjadi
mudghat sampai 120 hari.
Menurut Muhammadiyah, ruh yang ditiupkan oleh Malaikat ke dalam
janin yang telah berusia empat bulan itu bukanlah ruh hayati, melainkan adalah
ruh insani. Pemahaman dan penalaran seperti ini menarik untuk dianalisis lebih
lanjut. Kelihatannya, penalaran Muhammadiyah dalam hal ini telah dipengaruhi
oleh pemikiran ahli filsafat Islam dan ahli kedokteran. Dalam filsafat Islam, jiwa
itu bukanlah hayat. Manusia, dalam konsep filsafat Islam terdiri dari tiga unsur:
tubuh, hayat dan jiwa.
Dengan demikian, hayat itu saja sudah ada sejak terjadinya pembuahan,
bukan setelah janin berusia empat bulan. Pengaruh filsafat Islam lainnya terhadap
18
pemikiran Muhammadiyah juga dapat dilihat dalam memahami ayat al-Qur’an
dan al-Hadis tentang proses kejadian manusia itu, bahwa sebagaimana diketahui
para filosof muslim tidak segan-segan mentakwil teks al-Qur’an dan al-Hadis
sesuai dengan jalan pikiran mereka.
Tegasnya, dengan melalui analisis di atas, Muhammadiyah berpendapat
bahwa abortus provocatus criminalis sejak terjadinya pembuahan hukumnya
haram. Sedangkan abortus artificialis therapicus atau abortus provocatus
medicinalis dapat dibenarkan dalam keadaan darurat, terutama karena adanya
kekhawatiran atas keselamatan ibu waktu mengandung. Argumentasi lainnya
adalah sbb:
: ( ... البقرة التهلكة الى بايديكم (195والتقتلوا
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…”(QS.
al-Baqarah:195).
: النساء ( رحيما بكم كان الله ان انفسكم )29والتقتلوا
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu: sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu” (QS. Al-Nisa’:29).
: البقرة ( عليه اثم فال والعاد باغ غير اضطر )173فمن
“Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya” (QS. Al-Baqarah:173).
Selain ayat-ayat al-Qur’an di atas, Muhammadiyah juga menggunakan
kaidah fiqhiyah, sebagai berikut:
المحضورات تبيح الضرورات
“Keadaan memaksa menjadikan bolehnya yang terlarang.”
19
هما �أخف تكاب بار ضرارا أعظمهما روعى مفسداتان تعارضا اذا
“Jika berbenturan antara dua mafsadat, maka harus diperhatikan yang peling besar
madharatnya dengan cara mengerjakan yang paling ringan madharatnya”.
Berdasarkan argumentasi Muhammadiyah di atas, dapat dikatakan bahwa
menyelamatkan ibu, yang eksistensinya sudah jelas dan sudah mempunyai hak
dan kewajiban, harus didahulukan daripada menyelamatkan janin yang belum
dilahirkan. Pengguguran janin dengan kesengajaan seperti itu adalah madharat,
namum kematian ibu disebabkan menyelamatkan janin juga adalah madharat.
Madharat yang kedua jauh lebih besar daripada yang pertama. Kematian ibu akan
membawa dampak yang tidak baik bagi keluarga yang ditinggalkannya. Oleh
karenanya diperbolehkan melakukan aborsi dalam kondisi darurat seperti itu.
C. Metode Istinbath dan Ijtihad
Kata istinbath masdar dari kata kerja (fi’il) istanbatha-yastanbithu.
Artinya, mengeluarkan makna dari suatu ungkapan kata. Istinbath menurut bahasa
adalah mengeluarkan atau menetapkan. Sedangkan menurut istilah suatu kaidah
dalam ushul fiqih dalam menetapkan hukum secara ijtihad.
Jalan-jalan istinbath yang ditempuh ahli ushul-fiqih dalam usahanya, ialah dengan
memahami makna ungkapan itu dari segi:
1. Penetapan kata itu ada yang dimaksudkan umum atau khusus.
2. Penggunaannya ada yang digunakan dalam art i majazi (metafora).
3. Jelas dan tidak jelasnya makna.
4. Petunjuknya, denotatif atau konotatif.
Dasar hukum berijtihad dalam Muhammadiyah
Muhammadiyah (melalui lembaga Majelis atau Lajnah Tarjihnya) dalam
soal-soal yang menyangkut ibadah dan mu’amalah bersumber kepada al-Qur’an
dan al-Sunnah. Sedangkan ijtihad hanyalah merupakan jalan untuk mengeluarkan
20
hukum dari dua sumber tersebut, sebagaimana disebutkan dalam Himpunan
Putusan Tarjih berikut:
1. Bahwa dasar mutlak untuk berhukum dalam agama Islam adalah al-Qur’an
dan al-Hadis.
2. Bahwa di mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan
sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak
bersangkutan dengan ibadah mahdhah padahal untuk alasan atasnya tiada
terdapat nash sharih di dalam al-Qur’an atau al-Sunnah Shahihah, maka
dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istinbath daripada nash-
nash yang ada melalui persamaan ‘illat: sebagaimana telah dilakukan oleh
ulama-ulama salaf dan khalaf.
Atas dasar keputusan Lajnah Tarjih tersebut, maka sidang Tanwir
Muhammadiyah tahun 1969 di Ponorogo (di dalam Matan Keyakinan
Muhammadiyah) memberi penjelasan bahwa yang dimaksud dengan al-Qur’an,
ialah kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang
dimaksud dengan al-Sunnah (al-Hadis), ialah penjelasan dan pelaksanaan ajaran-
ajaran al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan yang
dimaksud dengan ijtihad, ialah menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa
ajaran agama.
Sedangkan apa yang disebut ijma’, qiyas, istihsan, istidlal dan maslahah
mursalah, di mana para imam madzhab telah menjadikannya sebagai sumber
hukum, maka terhadap istilah-istilah tersebut Lajnah Tarjih Muhammadiyah tidak
memandang sebagai sumber hukum. Namun demikian, Lajnah Tarjih
Muhammadiyah menganggapnya sebagai sarana untuk menggali hukum yang
sifatnya tidak mengikat. Adapun kriteria al-Sunnah yang digunakan oleh Tarjih
Muhammadiyah ialah al-Sunnah yang shahih. Akal fikiran yang digunakan oleh
Tarjih Muhammadiyah untuk berijtihad, ialah hasil ijtihad Lajnah Tarjih
Muhammadiyah sendiri, bukan hasil ijtihad ulama terdahulu, namun demikian
hasil ijtihad ulama terdahulu dijadikan sebagai bahan pengkajian dan penelitian
kembali.
21
Motif Lajnah Tarjih menggunakan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai
sumber hukum yang mutlak adalah untuk tegaknya aqidah Islam yang murni,
bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat. Juga untuk tegaknya
ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW. tanpa tambahan dan perubahan
dari manusia. Selain itu, juga untuk menegakkan nilai-nilai moral dan untuk
terlaksananya mu’amalah duniawiyah, yang dijiwai ajaran agama serta
menjadikan semua kegiatan dalam rangka ibadah kepada Allah SWT.
Sedangkan ijtihad sebagai metode atau cara memahami al-Qur’an dan al-
Sunnah adalah untuk mengimbangi beberapa pendapat yang ta’ashub kepada
suatu madzhab yang menyatakan pintu ijtihad sudah tertutup. Muhammadiyah
berpendapat pintu ijtihad selalu dan tetap terbuka. Oleh karenanya dalam
menghadapi masalah-masalah yang tidak ada nashnya haruslah berijtihad.
Penggunaan kedua sumber dan diperkuat oleh metode ijtihad tersebut,
menunjukkan Muhammadiyah tidak menganut sesuatu madzhab dari madzhab-
madzhab yang ada.
Metodologi Istinbath Hukum dalam Muhammadiyah
Cara-cara istinbath hukum dalam Lembaga Tarjih Muhammadiyah (manhaj tarjih
Muhammadiyah) di antaranya sebagai berikut:
1. Nash yang qath’i. Mengenai hal ini tidak ada masalah. Tidak boleh
diperdebatkan lagi, tidak ada lapangan ijtihad padanya.
2. Terdapat nash, namun saling diperselisihkan, atau nash itu satu dengan
yang lain saling bertentangan, atau nash itu mempunyai nilai yang
berbeda, maka Lembaga Tarjih Muhammadiyah menempuh cara sbb:
a. Tawaqquf, yaitu bersikap membiarkan tanpa mengambil
keputusan, karena kedua dalil atau lebih yang saling bertentangan
tersebut tidak lagi dapat dikompromikan dan tidak dapat dicarikan
alternatif mana yang dianggap terkuat.
b. Tarjih, yaitu mengambil jalan yang lebih kuat di antara dalil-dalil
yang bertentangan (memilih satu alternatif dalil yang dianggapnya
lebih kuat). Dalam hal bertarjih ini cara yang ditempuh, yaitu
22
Jarh(cela) itu didahulukan daripada ta’dil sesudah keterangan yang
jelas dan sah menurut anggapan syara’.Riwayat orang yang telah
terkenal suka melakukan tadlis dapat diterima bila ia menerangkan
bahwa apa yang ia riwayatkan itu bersanad sambung, sedang
tadlisnya itu tidak sampai tercela. Pendapat sahabat akan perkataan
musytarak, pada salah satu artinya wajib diterima. Penafsiran
sahabat antara arti kata yang tersurat dengan yang tersirat, arti kata
yang tersurat itu yang diutamakan/diamalkan.
c. Jam’u, yaitu menjama’ atau menggabung atau menghimpun antara
kedua dalil atau lebih yang saling bertentangan dengan melakukan
penyesuaian-penyesuaian. Misalnya jika ada Hadis ahad yang
shahih namum bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam,
maka bisa jadi atau ada kemungkinan Hadis itu bersifat insidental
atau anjuran yang tidak mengikat.
3. Mengenai masalah-masalah yang tidak ada nashnya, sedangkan
terhadapnya diperlukan ketentuan hukumnya dalam masyarakat. Dalam
hal semacam ini Lembaga Tarjih Muhammadiyah berusaha mengeluarkan
hukum atau menetapkan dengan jalan ijtihad dengan berpedoman kepada
prinsip-prinsip ajaran Islam, seperti prinsip kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan. Memberikan atau menetapkan sesuatu hukum dengan
beralasan adanya darurat yang dapat menimbulkan kemudharatan.
Menurut ahli ushul fiqih ijtihad berarti mencurahkan segenap kesanggupan
mujtahid dalam mendapatkan hukum syara’amali dengan satu metode.
muhammadiyah dalam berijtihad menempuh tiga jalur yaitu:
1. Al-ijtihad Al-Bayani
Menjelaskan hukum yang kasusnya terdapat dalam nash Al-Quran dan
Hadist
Menurut ulama Hanafiah, ada lima bayan/keterangan.
23
• Bayan Taqrir
• Bayan Tafsir
• Bayan Taghyir
• Bayan Tabdil
• Bayan Dlarurah
2. Al-ijtihad Al-Qiyasi
Menyelsaikan kasus baru, dengan cara menganalogikannya dengan kasus
yang hukumnya telah diatur dalam Al-Quran dan Hadist. Ijtihad ini
dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu masalah yang tidak ada
nashnya secara langsung, Tetapi ada nash al-Qur’an maupun al-Sunnah
yang menunjukkan keharamannya.
3. Al-ijtihad Al-istishlahi
Ijtihad dalam usaha mendapatkan hukum yang tidak ada nash langsung
yang mengandung hukum masalah yang dicari, dengan mendasarkan
masalah yang akan dicapai.
Dalam menjawab berbagai persoalan yang ada, manhaj pengembangan
pemikiran islam dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip yang menjadi orientasi
utamanya, yaitu pertama, prinsip al-mura’ah (konservasi) yaitu upaya pelestarian
nila-nilai dasar yang termuat dalam wahyu untuk menyelsaikan permasalahan
yang muncul. Pelestarian ini dapat dilakukan dengan cara pemurnian ajaran islam.
Kedua prinsip al-tahdithi (inovasi) yaitu upaya penyempurnaan ajaran islam guna
memenuhi tuntutan spiritual masyarakat islam sesuai dengan perkembangan
sosial. Ketiga prinsip al-ibtikari (kreasi) yaitu penciptaan rumusan pemikiran
islam secara kreatif, konstraktif dalam menyahuti permasalahan aktual. Kreasi ini
dilakukan dengan menerima nilai-nilai luar islam dengan penyesuaian seperlunya
(adaptif). Atau dengan penyerapan nilai elemen luaran dengan penyaringan
secukupnya (selektif).
24
BAB III
KESIMPULAN
Memperhatikan uraian dalam makalah ini, yaitu pandangan tarjih
Muhammadiyah dalam bidang ibadah dan mu’amalah, ada segi-segi prinsip yang
berbeda di antara keduanya, di mana dalam hal ibadah pandangan
Muhammadiyah terlihat kaku dan tegas, dengan tidak mentolerir, atau berpegang
kepada salah satu madzhab, tetapi hanya berpegang kepada al-Qur’an dan
petunjuk Rasul-Nya. Ketegasan Muhammadiyah dalam bidang ibadah dilandasi
dengan hasratnya yang kuat untuk menghindari perselisihan pendapat yang tidak
pernah berkesudahan. Semestinyalah dalam masalah ibadah ini tidak akan terjadi
perubahan, dengan berubahnya masa atau zaman. Shalat di masa Nabi, sama
dengan shalat di masa sekarang, kecuali dalam hal-hal tertentu, itupun telah pula
disyari’atkan. Jalan satu-satunya berpeganglah kepada madzhab yang satu, yaitu
madzhab Rasulullah SAW.
Dalam hal-hal yang menyangkut mu’amalah duniawiyah lebih fleksibel,
lebih lentur, bahkan bisa jadi pandangan Muhammadiyah yang sekarang belum
tentu sama dengan pandangannya di hari sebelumnya atau di kemudian harinya.
Dalam hal ibadah pandangan Muhammadiyah terlihat kaku dan tegas,
dengan tidak memtolerir, atau berpegang kepada salah satu madzhab, tetapi hanya
berpegang kepada al-Qur’an dan petunjuk Rasul-Nya. Kelenturan
Muhammadiyah dalam memahami persoalan mu’amalah, dikarenakan masalah
25
mu’amalah terus berkembang sepanjang perkembangan masa atau zaman itu
sendiri.
Muhammadiyah mempercayai Majlis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam dalam menetapkan suatu hukum yang lalu djalankan dan dianut
oleh para pengikutnya, kesimpulannya muhammadiyah bersifat terbuka dan
toleran, tidak menilai bahwa keputusannya lah yang paling benar, bila ada
pendapat dari siapapun akan diterima sepanjang memiliki landasan yang lebih
kuat dan arjah, maka pendapat yang telah ditetapkan oleh majelis kemungkinan
akan berubah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim.
Bakry, M. Natsir, Peranan Lajnah Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: C.V.
Karya Indah, Cet. I, 1985
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta:
Logos Publishing House, 1995, Cet.I, h. 94, yang dikutip dari WHO (World
Health Organization). Fetus itu dianggap belum dapat hidup di luar kandungan
jika usia kehamilan belum mencapai 28 minggu.
Berita Resmi Muhammadiyah, Nomor Khusus, “Tanfidz Keputusan Muktamar
Tarjih Muammadiyah XXII”, P.P. Muhammadiyah, 1990
Dasuki, Hafizh dkk. 1977. Ensiklopedi Hukum Islam, Cet I. Jakarta: P.T.
Intermasa
Djamil, Fathurrahman. 1990.Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah,
Cet I. Jakarta: Logos Publishing House
Khalaf, Abd al-Wahhab, Khulashah Tarikh Tasyri’ al-Islamy, Jakarta: al-
Majlis A’la al-Indonesia li al-Da’wah al-Islamiyyah, Cet. VIII, T.Th.
M. Natsir Bakri, Ibid, h. 42-43
fق�ط�ع�ي gح� ص�ر�ب fص� ن �ه� ف�ي �ه�اد� ت �إلج� ل اغ� م�س� � Tidak ada lapangan/peluang bagi ijtihad“ال
dalam masalah yang sudah ada nashnya yang sharih lagi qath’i”. Lihat Abd al-
26
Wahhab Khalaf, Khulashah Tarikh Tasyri’ al-Islamy, Jakarta: al-Majlis al-A’la
al-Indonesia li al-Da’wah al-Islamiyah, T.Th), Cet. VIII, h. 13-14
Majlis Tarjih Muhammadiyah, “Pembinaan Hukum Fiqh di Bidang
Muamalat”, Suara Muhammadiyah, I, 15 Juli 1965, h. 31
Mubarok, Jaih. “METODOLOGI IJTIHAD HUKUM ISKAM”. Yogyakarta.
UII Press 2002
Muhammadiyah, Majlis Tarjih, “Pembinaan Hukum Fiqh di Bidang
Muamalat”, Suara Muhammadiyah, I, 15 Juli 1965
Muhammadiyah, P.P., Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta: Persatuan, Cet.
III, T.Th.
Muslim, Shahih Muslim, T. Tempat: Dar al-Fikr, Juz II, T.Th.
Nasution, Harun, “Konsep Manusia dalam Islam dikaitkan dengan Hayat dan
Maut”, dimuat dalam Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, Kajian Islam tentang
Berbagai Masalah Kontempor, Jakarta: IAIN, 1988
Pasha, B.Ed, Kamal, Drs. H. Musthafa dan, darban, SU, Adaby, Drs. H.
Ahmad. “MUHAMMADIYAH sebagai GERAKAN ISLAM dalam prespektif
Historis dan Ideologis”. Yogyakarta. LPPI Universitas MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA cetakan III 2003
Rusyd, Ibn, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, T. Tempat: Dar
al-Fikr, Juz I, T.Th.
Tamimy, Djindar dan Djarnawi Hadikusuma, Penjelasan Muqaddimah
Anggaran Dasar dan Kepribadian Muhammadiyah, Yogyakarta: P.T. Persatuan,
Cet. II, 1972
PP Muhammdiyah, Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta: T.Th., Cet. III,
h.278
http://www.muhammadiyah.or.id/news-90-detail-tarjih-dalam-bidang-ibadah-dan-
muamalah.html. Selasa, 29-03-2011
http://almasakbar45.blogspot.com/2011/01/majlis-tarjih-muhammadiyah.html
27
28