makalah APM

43
BAB I PENDAHULUAN Secara bahasa Muhammadiyah berasal dari bahasa Arab yaitu Muhammad yang berarti Nabi Muhammad SAW. Kemudian ditambah ya nisbah yang artinya menjeniskan. Jadi Muhammadiyah berarti umat Muhammad SAW atau pengikut Muhammad SAW. Secara etimologis dapat diartikan semua orang yang mengikuti Nabi Muhammad SAW adalah orang Muhammadiyah. Secara Istilah Muhammadiyah adalah sebuah Persyarikatan yang didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan tanggal 18 November 1912 Miladiyah di Yogyakarta untuk jangka waktu tidak terbatas. Muhammadiyah adalah gerakan islam, Dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid yang bersumber pada Al-Qur”an dan As Sunnah. Kelahiran Muhammadiyah tidak lain kerena diilhami, dimotivasi dan disemangati oleh ajaran-ajaran Al-Qur’an. Dan apa yang digerakkan oleh Muhammadiyah tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam dalam kehidupan yang riil dan konkrit. Gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah Islam dalam wujud yang riil, konkrit dan nyata, yang dapat dihayati, dirasakan dan dinikmati oleh umat sebagai 1

Transcript of makalah APM

Page 1: makalah APM

BAB I

PENDAHULUAN

Secara bahasa Muhammadiyah berasal dari bahasa Arab yaitu Muhammad

yang berarti Nabi Muhammad SAW. Kemudian ditambah ya nisbah yang artinya

menjeniskan. Jadi Muhammadiyah berarti umat Muhammad SAW atau pengikut

Muhammad SAW. Secara etimologis dapat diartikan semua orang yang mengikuti

Nabi Muhammad SAW adalah orang Muhammadiyah.

Secara Istilah Muhammadiyah adalah sebuah Persyarikatan yang didirikan

oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan

tanggal 18 November 1912 Miladiyah di Yogyakarta untuk jangka waktu tidak

terbatas. Muhammadiyah adalah gerakan islam, Dakwah amar ma’ruf nahi

munkar dan tajdid yang bersumber pada Al-Qur”an dan As Sunnah. Kelahiran

Muhammadiyah tidak lain kerena diilhami, dimotivasi dan disemangati oleh

ajaran-ajaran Al-Qur’an. Dan apa yang digerakkan oleh Muhammadiyah tidak ada

motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam

dalam kehidupan yang riil dan konkrit. Gerakan Muhammadiyah hendak berusaha

untuk menampilkan wajah Islam dalam wujud yang riil, konkrit dan nyata, yang

dapat dihayati, dirasakan dan dinikmati oleh umat sebagai rahmatan lil alamin.

Oleh alasan tersebut Muhammadiyah disebut sebagai gerakan Islam.

Di samping itu, Muhammadiyah juga memiliki identitas sebagai gerakan

dakwah maksudnya adalah Muhammadiyah meletakkan khittah atau strategi dasar

perjuangannya yaitu dakwah Islam, amar makruf nahi munkar dengan masyarakat

sebagai medan atau kancah perjuangannya. Muhamadiyah berkiprah di tengah-

tengah masyarakat bangsa Indonesia dengan membangun berbagai amal usaha

yang benar-benar dapat menyentuh hajat hidup orang banyak seperti berbagai

macam ragam lembaga pendidikan mulai dari tingkat TK sampai Perguruan

Tinggi, membangun Rumah Sakit, Panti Asuhan dan sebagainya. Seluruh amal

usaha Muhammadiyah itu merupakan manifestasi atau perwujudan dakwah

islamiyah. Semua amal usaha diadakan dengan niat dan tujuan yang tunggal,

1

Page 2: makalah APM

yaitu untuk dijadikan sarana dan wahana dakwah Islam sebagaimana yang

diajarkan al-Quran dan as-Sunnah Shahihah.

Identitas Muhammadiyah yang selanjutnya adalah sebagai gerakan Tajdid,

maksudnya adalah Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan atau gerakan

reformasi. Secara istilah tajdid memiliki pengertian pemurnian dan peningkatan,

pengembangan, modernisasi, dan yang semakna dengannya.

Pemurnian maksudnya adalah pemeliharaan matan ajaran Islam yang

berdasarkan kepada Al-Quran dan As-Shahihah. Muhammadiyah meyakini

matan ajaran Islam yang harus dipelihara sebagaimana yang terdapat dalam al-

Quran dan as-Sunnah adalah yang berkaitan dengan Aqidah dan Ibadah.

Dalam sejarah perkembangan umat Islam ditemukan praktek percampuran

ajaran 7 islam antara aqiadah dengan bukan adiadah, misalnya mengkramatkan

kuburana, mengkeramatkan ulama, dan sebagainya. Padahal dalam ajaran Islam

yang harus dikeramatkan itu hanyalah Allah SWT. Hal inilah yang menjadi tugas

Muhammadiyah untuk memurnikan Aqidah Islam kembali.

Sejak lahirnya Muhammadiyah memang sudah dapat diketahui asas

gerakannya, namun pada tahun 1938-1942 di bawah kepemimpinan Kyai Mas

Mansur mulai dilembagakan idiologi Muhammadiyah, yaitu dengan lahir konsep

Dua Belas langkah Muhammadiyah. Yaitu memperdalam iman, memperluas

faham keagamaan, memperbuahkan budi pekerti, menuntun amalan intiqad,

menguatkan persatuan, menegakkan keadilan, melakukan kebijaksanaan,

menguatkan tanwir, mengadakan musyawarah, memusyawaratkan putusan,

mengawasi gerakan kedalam dan memperhubungkan gerakan keluar. Dengan

lahirnya konsep ini maka Muhammadiyah tumbuh menjadi paham dan kekuatan

sosial-keagamaan dan sosial politik tertentu di Indonesia.

Pada tahun 1942-1953 dibawah kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo

dirumuskan konsep idiologi Muhammadiyah secara lebih sistematik yaitu ditandai

dengan lahirnya Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Pada tahun 1968

dalam muktamar Muhammadiyah ke 37 di Yogyakarta perumusan idiologi

Muhammadiyah semakin mengental, ditandai dengan lahirnya Matan Keyakinan

dan Cita-cita Hidup Warga Muhammadiyah.

2

Page 3: makalah APM

Oleh karena esensi dari gerakan Muhammadiyah adalah menyampaikan

ideologi keagamaan tersebut, maka  lebih penting menjadikan ideologi ini sebagai

ukuran kemuhammadiyahan seseorang dari pada ukuran formalitas organisatoris.

Hal ini juga berarti bahwa upaya untuk menyebarkan, menjelaskan dan

menanamkan ideologi ini jauh lebih penting dari pada  mengurus formalitas

organisatoris.

Kegagalan menanamkan ideologi ini,menyebabkan Muhammadiyah 

kehilangan esensinya, kemudian yang tinggal hanya dimensi lahiriahnya belaka.

Upaya untuk memelihara ideologi keagamaan Muhammadiyah ini kemudian

dilembagakan dengan membentuk Majlis Tarjih yang dalam perkembangan

terakhir sejak mu’tamar ke 43 di Aceh disempurnakan menjadi Majlis tarjih dan

Pengembangan Pemikiran Islam.

Tarjih adalah suatu metode atau cara untuk menyelesaikan dua atau lebih

dalil yang saling berbeda atau bertentangan. Ahli ushul mendefinisikan tarjih

sebagai membandingkan dua dalil yang bertentangan dan mengambil yang terkuat

di antara keduanya. Kedua dalil yang bertentangan itu memiliki kedudukan yang

sama yaitu sama-sama zhanni. Dalam membahas dalil-dalil yang ada, para

mujtahid bertentangan satu dengan yang lainnya karena adanya dua atau lebih

dalil yang muncul, yang kedudukan dalil-dalil tersebut sama-sama zhanni, maka

untuk menyelesaikan pertentangan itu diadakanlah tarjih.

Muhammadiyah sebagai persyarikatan memiliki tujuan menegakkan dan

menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan

makmur yang diridhai Allah SWT.. Untuk mencapai tujuan tersebut,

Muhammadiyah melaksanakan dakwah dan tajdid, dengan usaha-usaha antara lain

mempergiat dan memperdalam penyelidikan agama Islam yang benar dan murni.

Tarjih bagi Muhammadiyah tidak hanya sekedar menyelesaikan dua dalil yang

berbeda atau bertentangan, akan tetapi maknanya lebih luas dari itu, yaitu ijtihad.

Bertarjih dalam Muhammadiyah berarti melakukan ijtihad.

3

Page 4: makalah APM

Majelis Tarjih(yang di dalamnya terdapat Lajnah Tarjih) adalah lembaga

ijtihad dalam Muhammadiyah. Oleh karena itu, makalah ini membahas tentang

muhammadiyah dan tajdid.

4

Page 5: makalah APM

BAB II

ISI

A. Konsep Tajdid Menurut Muhammadiyah

K. H. A. Badawi, ketua PP Muhammadiyah 1962 – 1968 menulis dalam

suara muhammadiyah Juli 1967 tentang Tajdid dan Muhammadiyah.

Muhammadiyah pada dasarnya adalah gerakan Islam yang bermaksud dakwah,

mengajak kepada kepada Islam. Bagi yang telah islam, ajakan itu bersifat tajdid,

yaitu kembali kepada ajaran Islam yang asli murni, seperti yang telah diwahyukan

oleh Allah SWT (Al-Quran) dan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW

(Hadits yang sahih) serta yang dikerjakan oleh sahabat dan ulama salaf yang

sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Hadits, dengan mempergunakan akal, pikiran

dan dengan penyelidikan yang cermat, tidak bertaklid.

Tajdid diambil dari bahasa arab yang berkata dasar “jaddadayujaddidu-

tajdiidan” yang arinya memperbaharui. menurut bahasa tajdid adalah

menghidupkan, membangkitkan dan mengembalikan. Menurut muhammadiyah

pada sidang tanwir tahun 1968, seorang tokoh yaitu M.djindar Tamimy

memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan tajdid adalah

“pembaharuan”. Dipandang dari sasaranya, Tajdid itu mempunyai dua segi:

pertama, tajdid berarti kembali kepada keaslian dan kemurnian. Itu bila

sasarannya adalah soal-soal prinsip perjuangan yang sifatnya tetap dan

tidak berubah-ubah.

Kedua, tajdid berarti modernisasi, bila tajdid sasarannya mengenai

masalah seperti metode, sistem, tekhnik, strategi, taktik perjuangan dan

lain-lain yang sifatnya berubah-ubah, disesuaikan dengan situasi, kondisi,

ruang dan waktu.

Tajdid dalam kedua seginya itu sesungguhnya itu merupakan watak dari

ajaran islam itu sendiri. Dan dengan sendirinya, watak tajdid tersebut menjadi

watak dan jiwa Gerakan Muhammadiyah yang merupakan gerakan yang berasas

5

Page 6: makalah APM

dan memperjuangkan ajaran Islam. Tajdid yang perlu dilakukan adalah dalam

bidang idiologi, bidang khittah, gerak dan amal usaha serta bidang organisasi.

B. Peran Majelis Tarjih

B.1 Sejarah Majelis Tarjih

Tarjih berasal dari kata "rojjaha – yurajjihu- tarjihan", yang berarti

mengambil sesuatu yang lebih kuat. Jadi secara bahasa tajrih merupakan cara

pengambilan sesuatu dengan membandingkan antara dua hal yang saling

bertentangan dan mengambil sesuatu yang lebih kuat. Menurut istilah, para ulama

berbeda-beda dalam memberikan rumusan tarjih ini. Sebagian besar ulama

Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, memberikan rumusan bahwa tarjih itu

perbuatan mujtahid, sehingga dalam kitab Kasyf-u ‘l-Asrar disebutkan bahwa

tarjih itu adalah:

�ج�ع�ل� ت ة� �ر� �ب م�ع�ت �ة� م�ز�ي م�ن� �ه� ف�ي �م�ا ل �ن� �م�ع�ار�ض�ي ال �ن� �ق�ي الط�ر�ي �ح�د� ا �ه�د� ت �م�ج� ال �ق�د�م� ت

ر� خ�� �أل ا م�ن� �و�ل�ي� ا �ه� ب �ع�م�ل� ال

Artinya: Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara

dua jalan (dua dalil) yang saling bertentangan, karena adanya kelebihan yang

nyata untuk dilakukan tarjih itu.”

Tarjih dalam istilah persyarikatan, sebagaimana terdapat uraian singkat

mengenai Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah adalah

membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil

mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat.

Dalam Konggres Muhammadiyah ke-16 pada tahun 1927 di Pekalongan

KH Mas Mansur al-Marhum yang ketika itu menjabat sebagai konsul

Muhammadiyah Daerah Surabaya mengusulkan agar didirikan semacam majlis

ulama yang secara khusus bertugas membahas masalah-masalah agama.  Usul

tersebut berdasarkan pertimbangan adanya kekhawatiran timbul perpecahan di

6

Page 7: makalah APM

kalangan orang-orang Muhammadiyah , terutama ulama’nya karena perbedaan

paham dalam masalah-masalah hukum agama.

Perbedaan-perbedaan demikian sebagaimana terbukti dalam sejarah telah

menyebabkan pertentangan dan perpecahan di kalangan umat Islam, terutama

ulama’nya sehingga timbullah madzhab-madzhab dan kefanatikan terhadapnya,

sehingga meretakkan ukhuwah Islamiyah dan menghancurkan persatuan umat

Islam. Beliau juga khawatir kalau Muhammadiyah sampai menyimpang dari

hukum agama, karena mengejar kebesaran lahiriyah mengabaikan tujuan

utamanya. Akhirnya usul tersebut diterima secara aklamasi, dan sejak itulah

berdiri Majlis Tarjih – yang kemudian dalam Mu’tamar Muhammadiyah ke-43

tahun 1995 di Aceh disempurnakan menjadi Majlis Tarjih dan Pengembangan

Pemikiran Islam -  sampai sekarang ini.

Dalam Muktamar Muhamadiyah ke-17 pada tahun 1928 di Yogyakarta

dibentuk susunan pengurus Majlis Tarjih Pusat yang diketuai oleh  KH. Mas

Mansur dan disekretarisi oleh  Kh. Aslam Z. dilengkapi dengan beberapa anggota

pengurus. Dibuat pula anggaran dasar atau qaidahnya antara lain berbunyi: Bahwa

B.2 Tugas Majlis Tarjih adalah:

1. Mempergiat pengkajian dan penelitian ajaran islam dalam rangka

pelaksanaan tajdid dan antisipasi perkembangan masyarakat.

2. Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada pimpinan persyarikatan.

3. Mendampingi dan membantu pimpinan persyarikatan dalam membimbing

anggota melaksanakan ajaran islam.

4. Membantu pimpinan persyarikatan dalam mempersiapkan dan

meningkatkan kualitas ulama.

5. Mengarahkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang ke arah yang lebih

maslahat.

7

Page 8: makalah APM

6. Mengamat-amati perjalanan Muhammadiyah yang berhubungan dengan

hukum-hukum agama.

7. Menerima, menyelidiki, dan mentarjihkan atau menetapkan hukum 

masalah khilafiyah yang diragukan hukumnya, yang memang penting

dalam perjalanan Muhammadiyah.

8. Penyelidikan dan pembahasan tersebut, hendaklah berdasarkan al-Quran

dan al-Hadits dengan berpedoman pada ushul fiqh yang dipandang

mu’tabar, dan mementingkan riwayat dan maknanya; tidak mengutamakan

aql di atas naql.

Sejak itu  dilakukan identifikasi terhadap berbagai masalah agama, seperti

masalah ushalli,  gambar, alat al-malahi (musik), kenabian sesudah Nabi

Muhammad saw. dalam kaitannya dengan klaim Ahmadiyah Qadhiyan bahwa

Mirza Ghulam Ahmad adalah adalah seorang nabi, dan sebagainya.

Muktamar Tarjih yang pertama diadakan pada tahun 1929 bersama-sama

dengan Konggres Muhammadiyah ke-18 di Solo.  Masalah-masalah yang telah

teridentifikasi tersebut, kemudian dibahas dalam muktamar yang pertama ini,

selanjutnya sisanya dikaji dalam muktamar-muktamar berikutnya. Adapun

masalah pertama yang diputuskan kemudian disusun manjadi kitab, ialah kitab

iman dan  sembahyang, kemudian disusul masail syatta (macam-macam masalah)

seperti masalah gambar, musik, lotre, api unggun, arak-arakan Aisyiyah dan

sebagainya. Demikian muktamar-demi muktamar belakangan diubah dengan

istilah musyawarah nasional, dilakukan sehingga menghasilkan Himpunan

Putusan Tarjih, dan Qaidah-qaidahnya dan termasuk Qaidah Pengembangan

Pemikiran Islam.

Struktur Majlis  tersebut mengalami beberapa kali perubahan. Sedang

sekarang ini Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI) secara

struktural terdiri dari MTPPI Pusat, Wilayah, dan Daerah.  Masing-masing

8

Page 9: makalah APM

berfungsi sebagai pembantu – dan oleh karena itu berada di bawah – Pimpinan

Muhamadiyah sesuai dengan tingkatannya.

B.3 Pokok-Pokok Manhaj Tarjih:

1. Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.

2. Dalam memutuskan suatu keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah.

3. Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, tetapi pendapat-pendapat

madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum.

4. Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya

MajelisTarjih yang paling benar.

5. Di dalam masalah aqidah (tauhid), hanya dipergunakan dalil-dalil yang

mutawatir.

6. Tidak menolak ijma’ shahabat, sebagai dasar sesuatu keputusan.

7. Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudl, digunakan cara

al-jam’uwa ‘l-tawfiq. Dan kalau tidak dapat baru dilakukan tarjih.

8. Menggunakan asas “sad-u ‘l-dzara’i”untuk menghindari terjadinya fitnah

dan mafsadah.

9. Menta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil Al-

Qur’an dan As-Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syari’ah.

10. Penggunaan dalil-dalil untuk menetapkan sesuatu hokum dilakukan

dengan cara konprehensif, utuh dan bulat. Tidak terpisah.

11. Dalil-dalil umum Al-Qur’an dapat ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali

dalam bidang aqidah.

12. Dalam mengamalkan agama islam, prinsip “al-tasyir”.

13. Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari Al-

Qur’an dan As-Sunnah pemahamannya dapat dengan menggunakan akal

sepanjang diketahui latarbelakang dan tujuannya.

9

Page 10: makalah APM

14. Dalam hal-hal yang termasuk al-Umur-u ‘l-Dunyawiyah yang tidak

termasuk tugas para nabi, penggunaan akal sangat diperlukan demi

kemaslahatan umat.

15. Untuk memahami nash yang musytarak, faham sahabat dapat diterima.

16. Dalam memahami nash maka dharir didahulukan dari ta’wil dalam bidang

aqidah.

B.4 Mekanisme pengambilan keputusan Majelis Tarjih

Terhadap persoalan-persoalan yang memerlukan pemecahan dalam

perspektif Islam, dibahas oleh majlis ini dengan cara berupaya mencari dalil yang

relevan, menerapkan manhaj al-istinbath, kemudian menarik natijah hukumnya,

Hasil keputusan majlis ini, kemudian diajukan ke pimpinan Muhammadiyah

sesuai dengan tingkatannya.

Selanjutnya pimpinan Muhammadiyahlah yang   memiliki otoritas untuk

mentanfidzkan atau tidak sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang

dimiliki. Jika  telah ditanfidzkan, maka keputusan tersebut mengikat secara

organisatoris terhadap warga Muhammadiyah sesuai dengan tingkatannya masing-

masing, yakni tanfidz oleh pimpinan pusat, mengikat selurus warga

Muhammadiyah, tanfidz oleh pimpinan wilayah, mengikat warganya pada

wilayah yang bersangkutan, demikian pula oleh pimpinan daerah,  mengikat

daerahnya semata.

Semua yang telah ditanfidzkan masih tetap terbuka untuk diadakan

tinjauan ulang. Jika dikemudian hari ditemukan dalil dan istinbath yang lebih

baik, maka dengan melalui mekanisme organisatoris seperti di atas, hal-hal yang

telah ditanfidzkan dikaji ulang, kemudian diubah sesuai dengan penemuan

tersebut.

Dengan demikian, segala keputusan tersebut tidak kemudian menjelma

menjadi suatu madzhab yang senantiasa berwatak dasar  mempertahankan dan

10

Page 11: makalah APM

melahirkan fanatisme. Bahkan untuk membentengi dari fanatisme, sikap

menyalahkan tidak boleh ada terhadap pandangan yang berbeda dari hasil tarjih

yang didapatkan dari istinbath yang dilakukan majlis ini.

B.5 Tarjih Muhammadiyah di Bidang Ibadah

Sehubungan dengan sangat pentingnya pembahasan tentang ibadah, maka

Lajnah Tarjih telah mencurahkan perhatian yang besar dalam masalah ibadah ini.

Terjadinya banyak khilafiyah dalam masalah-masalah ibadah sangat

mengkhawatirkan Muhammadiyah. Maka dalam hal ibadah ini, Muhammadiyah

berpegang teguh kepada tuntunan Rasulullah SAW. tanpa memberikan tambahan

ataupun pengurangan sedikitpun.

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam mengambil keputusannya,

Muhammadiyah mempunyai ciri khusus dalam masalah ibadah ini, yaitu tidak

sebagaimana umumnya dalam kitab-kitab fikih, di mana terdapat syarat, rukun,

dan mana yang wajib atau sunnat pada suatu macam rangkaian ibadah. Semuanya

tersusun dalam bentuk “tuntunan” tanpa menyebut status hukum dari perbuatan,

perkataan, dan rangkaian ibadah tersebut. Argumentasi yang dipegang oleh

Muhammadiyah adalah bahwa terjadinya pokok pangkal yang menimbulkan

perselisihan dalam masalah ibadah ini adalah karena para ulama terdahulu dalam

menghukumkan sesuatu ibadah tersebut antara satu dengan yang lainnya berbeda.

Selanjutnya, bila ditanyakan bagaimana jika kita tidak mengamalkan salah satu

tuntunan tersebut? Jawabnya, bersediakah kita melaksanakan ibadah

sebagaimanayang dituntunkan Rasulullah atau tidak. Apabila dijawab dengan sah

atau tidak dalam mengamalkan tuntunan tersebut, berarti membuka tabir

perselisihan kembali.

Untuk lebih menjelaskan tuntunan ibadah versi tarjih Muhammadiyah,

berikut ini dikemukakan beberapa contoh:

 1. Putusan Tarjih Muhammadiyah tentang Tuntunan Shalat Jum’at

Apabila tiba hari Jum’at, dirikanlah shalat Jum’at dua rakaat dengan

berjama’ah. Sebelum shalat hendaklah Imam berkhutbah dua kali dengan berdiri

dan duduk di antara kedua khutbah itu. Di dalam khutbah Imam supaya membaca

11

Page 12: makalah APM

beberapa ayat al-Qur’an dan memberikan peringatan-peringatan kepada orang

banyak. Dan berangkatlah ke masjid pagi-pagi. Dan sebelum berangkat mandilah

lebih dahulu lalu mengenakan pakaianmu yang terbaik dan kenakanlah (usaplah)

wangi-wangian apabila ada padamu, kemudian berangkatlah ke Masjid dengan

tenang. Setelah tiba di Masjid shalatlah sekuatmu dan jangan mengganggu

seseorang; kemudian apabila Imam berkhutbah dengarkanlah dengan penuh

perhatian. Apabila kamu masuk Masjid pada waktu Imam sedang berkhutbah,

maka kerjakanlah shalat dua raka’at yang ringan (cepatan). Apabila Imam telah

duduk di atas mimbar, maka adzanlah salah seorang dari kamu dan apabila Imam

telah turun dari mimbar, maka berqamatlah. Imam hendaklah memulai

khutbahnya dengan ucapah tahmid, tasyahud dan selawat kepada Nabi SAW. Lalu

berwasiat dengan taqwa dan kemudian berdo’a. Dan singkatkanlah khutbah serta

agak panjangkanlah shalat. Dalam shalat jama’ah hendaklah Imam membaca surat

“Sabbih isma rabbika al- a’la, sesudah surat Al-Fatihah pada raka’at pertama dan

pada raka’at kedua hendaklah membaca “Hal ata-ka hadits al-gha-syiyah. Dan

kerjakanlah shalat empat atau dua raka’at sesudahnya. 

Semua rangkaian tuntunan ini didasarkan kepada Hadis shahih. Di mana

Hadis-Hadis tersebut sebagian besar terdapat dalam kitab Shahih Muslim pada

Kitab al-Jum’ah.

2. Bacaan al-Fatihah Ma’mum dalam Shalat Jama’ah

Begitu pula dalam masalah yang banyak diperselisihkan oleh para ulama,

Lajnah Tarjih juga tidak menyebut status hukumnya. Cukup dimasukkan dalam

rangkaian tuntunan jika memang ada dasarnya. Contohnya ialah mengenai bacaan

al-Fatihah bagi ma’mum dalam shalat berjama’ah.

Sebagaimana diterangkan oleh Ibn Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid,

bahwa ulama telah sepakat, di mana Imam Malik tidak menanggung ma’mum

mengenai fardlu shalat, kecuali bacaan al-Al-Fatihah. Mengenai bacaan al-Fatihah

bagi ma’mum para ulama telah berbeda pendapat.

Imam Malik berpendapat bahwa ma’mum dalam shalat sirri membaca al-

Fatihah bersama-sama imam, dan tidak membacanya dalam shalat jahar. Imam

12

Page 13: makalah APM

Abu Hanifah berpendapat bahwa bacaan al-Fatihah gugur pada pihak ma’mum,

baik pada shalat sirri maupun pada shalat jahar.

Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa ma’mum wajib membaca al-

Fatihah saja dalah shalat jahriyah, dan membaca al-Fatihah beserta surat apabila

shalat sirriyah. Imam Ahmad ibn Hanbal mewajibkan membaca al-Fatihah waktu

tidak terdengarnya bacaan imam, baik karena bacaannya sirr atau karena jauhnya,

dan melarang membacanya waktu didengarnya bacaan imam.

Sehubungan dengan masalah ini, Lajnah Tarjih telah mengambil

keputusan dengan ciri khas sebagaimana disebutkan di atas, sbb: “Hendaklah

kamu memperhatikan dengan tenang bacaan Imam apabila keras bacaannya, maka

janganlah kamu membaca sesuatu selain surat al-Fatihah.

Dari keputusan tersebut mengandung pengertian bahwa ma’mum

diharuskan membaca al-Fatihah pada shalat jaharmaupun dalam shalat sirri.

Melihat putusan Lajnah Tarjih ini, ternyata pendapatnya sama dengan Imam

Syafi’i. Adapun dalil yang digunakannya ialah sebagaimana dicantumkan dalam

HPT sebagai berikut:

: . . يقرأ لم لمن الصالة قال صلعم الله رسول ان رض الصامت بن عبادة لحديث

. : .( ) الصبح صلعم الله رسول صل;ى قال عبادة ولحديت عليه متفق االكتاب بفاتحة

: . : . يا قلنا، قال امامكم وراء تقرءون اراكم انى قال انصرف فلما القراءة عليه فثقلت

) : . والدارقطنى احمد رواه القران بأم ; اال تفعلوا ال قال الله و إى الله رسول

:. : اتقرءون). صلعم الله رسول قال قال انس حديث من حبان ابن رواه ولما والبيهقى

فى الكتاب تحة بفا احدكم واليقرأ تفعلوا، فال يقرأ؟ واالمام االمام خلف صالتكم فى

نفسه.

“Mengingat Hadis ‘Ubadah ibn Shamit bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Tiada

sah shalat orang yang tak membaca permulaan Kitab (al-Fatihah)” (HR. al-

Bukhari dan Muslim). Dan ada lagi Hadis ‘Ubadah dari riwayat Ahmad, al-

Daruquthni dan al-Baihaqi, katanya: “Rasulullah SAW. shalat shubuh, maka

beliau mendengar orang-orang yang ma’mum nyaring bacaannya. Setelah selesai

beliau menegur: Aku kira kamu sama membaca di belakang imammu? Kata

‘Ubadah: Kita sama menjawab: Ya Rasulallah, demi Allah, benar!. Maka sabda

beliau: Janganlah kamu mengerjakan demikian, kecuali dengan bacaan al-

13

Page 14: makalah APM

Fatihah”. Dan mengingat pula Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari

Annas, yang berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Apakah kamu membaca

dalam shalatmu di belakang imammu, padahal imam itu membaca? Janganlah

kamu mengerjakannya, hendaklah seseorang membaca al-Fatihah pada dirinya

(dengan suara rendah yang hanya didengar sendiri)”.

Hadis-Hadis tersebut dapat kita temui dalam kitab-kitab: Shahih Muslim

pada Kitab al-Shalat, Shahih al-Bukhari pada Kitab al-Shalat, Shahih al-Tirmidzi

Juz I Abwab al-Shalat, dan dalam Sunan al-Baihaqi.

 3. Putusan Tentang Qunut

Masalah qunut termasuk masalah klasik dan terus berbeda pendapat di

kalangan umat Islam. Hal ini disebabkan telah berpengaruhnya pendapat para

ulama dahulu yang memang sudah memperselisihkannya. Di antara fuqaha ada

yang berpendapat bahwa qunut shubuh itu hukumnya mustahab (disukai). Ini

adalah pendapat Imam Malik. Menurut Imam Syafi’i hukumnya dalam shalat

shubuh itu sunnat. Lain lagi dengan Imam Abu Hanifah tidak boleh qunut dalam

shalat shubuh, tetapi qunut hanya boleh dikerjakan dalam shalat witir, dan

sebagian fuqaha berpendapat bahwa qunut itu dapat dilakukan dalam setiap saat.

Mengenai qunut ini tarjih Muhammadiyah berpendapat bahwa qunut

dalam pengertian berdiri lama untuk membaca do’a di dalam shalat memang ada

tuntunannya. Tetapi tidak membenarkan qunut itu khusus untuk shalat shubuh.

Jadi qunut sebagai bagian daripada shalat, tidak khusus hanya diutamakan pada

shalat shubuh. Sedangkan mengenai qunut witir, tarjih Muhammadiyah

mengambil keputusan tawaqquf, sebagaimana disebutkan di muka.

 

4. Puasa bagi Orang Hamil dan Menyusui

Putusan tentang masalah apakah orang hamil dan menyusui yang

meninggalkan puasanya wajib qadha atau fidyah saja, juga masalah baru dalam

masalah khilafiyah. Dalam masalah ini terdapat perbedaan di kalangan para

ulama, yaitu menjadi empat golongan. Pertama, mengatakan bahwa bagi orang

14

Page 15: makalah APM

hamil dan menyusui yang meninggalkan puasa cukup membayar fidyah saja, dan

tidak wajib atasnya mengqadha.

Landasan mereka adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Umar dan Ibn

‘Abbas. Kedua, yaitu yang dikemukakan oleh Abu Hanifah dan para sahabatnya,

bahwa orang hamil dan menyusui wajib mengqadha saja, dan tidak perlu

membayar fidyah. Ketiga, merupakan pendapat Imam Syafi’i, bahwa orang hamil

dan menyusui itu keduanya harus mengqadha dan juga membayar fidyah.

Keempat, membedakan antara orang hamil dan menyusui. Pada orang hamil

hanya wajib mengqadha, sedang orang yang menyusui atasnya wajib qadha dan

fidyah.

Sehubungan dengan masalah ini, tarjih Muhammadiyah telah mengambil

putusan sebagaimana dapat dilihat dalam HPT sbb: “Dan bila berpuasa itu terasa

terlalu berat bagimu karena tuamu atau sakit lama yang tidak diharapkan

sembuhnya, maka boleh berbuka, tetapi berfidyah dengan memberi makan kepada

orang miskin buat setiap harinya satu mud begitu juga karena mengandung atau

menyusui”.

Di sini jelas bahwa Muhammadiyah berpendapat orang yang

hamil/mengandung dan menyusui di mana ia meninggalkan puasa, kepadanya

hanya dikenakan untuk membayar fidyah, sebagaimana orang tua dan orang sakit

yang tidak diharapkan lagi sembuhnya. Dalam hal ini pandangan Muhammadiyah

kebetulan sama dengan pandangan golongan yang pertama, yang

menguatkan dalilnya dengan Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Umar dan Ibn

’Abbas.

Adapun dalil yang menjadi landasan Lajnah Tarjih Muhammadiyah

sebagaimana tercantum dalam HPT sbb:

: . عن وضع وجل عز الله ان قال صلعم الله رسول ان الكعبي مالك بن انس لحديث

.( وكان ( الخمسة رواه الصوم المرضع و الحبلى وعن الصالة وشطر الصوم المسافر

: قضاء وال الفداء فعليك يطيقه، الذى بمترلة انت حبلى ولدله الم يقول عباس ابن

: .( اثبت ( قال انه عباس ابن عن ابوداود واخرج الدارقطنى صححه و البزار رواه عليك

. مسكينا يوم كل ويطعما يفطرا ان والمرضع للحبلى

15

Page 16: makalah APM

“Menurut Hadis Anas ibn Malik al-Ka’biyyi bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

Sungguh Tuhan Allah Yang Maha Besar dan Mulia telah membebaskan puasa dan

separoh shalat bagi orang yang bepergian, serta membebaskan puasa dari orang

hamil dan menyusui” (HR al-Khamsah). “Dan Ibn ‘Abbas berkata kepada

jariyahnya yang hamil: Engkau termasuk orang yang keberatan berpuasa, maka

engkau hanya wajib berfidyah dan tidak usah mengganti puasa” (HR. al-Bazzar

ditashihkan oleh al-Daruquthni). “Dan diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibn

‘Abbas, bahwa ia berkata: Ditetapkan bagi orang yang mengandung dan menyusui

untuk berbuka (tidak berpuasa) dan sebagai gantinya memberi makan kepada

orang miskin setiap harinya”.

Hadis-Hadis di atas dapat ditemui dalam kitab Sunan Abu Dawud dalam

Kitab Shaum, Juz II.

B.6 Tarjih Muhammadiyah di Bidang Mu’amalah

Pandangan Muhammadiyah dalam hal mu’amalah agak lebih fleksibel,

tidak seketat dalam hal ibadah. Persoalan-persoalan atau masalah-masalah

mu’amalah duniawiyah bagi Muhammadiyah memegang prinsip ajaran Islam,

sesuai dengan sabda Nabi: “Antum a’lamu bi umuri dunya-kum (kamu lebih tahu

masalah duniamu)”. Hal lain yang menjadikan landasan Muhammadiyah tentang

kelenturan dalam bidang mu’amalah duniawiyah, dikarenakan persoalan-

persoalan ini terus berkembang, sejalan dengan perkembangan zaman itu sendiri. 

Pada makalah akan dipaparkan salah satu persoalan bagaimana pandangan

Muhammadiyah dalam menghadapi masalah-masalah yang bersifat kontemporer.

Labih menarik lagi jika pembahasan ini menyangkut hal-hal yang bersifat aktual,

walaupun persoalan itu sendiri telah lama terjadi, yaitu masalah tentang aborsi.

Aborsi atau abortus secara bahasa berarti keguguran, pengguguran kandungan

atau membuang janin.

Dalam arti yang lebih rinci, abortus ialah “keadaan di mana terjadi

pengakhiran atau ancaman pengakhiran kehamilan sebelum fetus hidup di luar

kandungan. Menurut para ahli medis, ada dua macam aborsi atau abortus.

16

Page 17: makalah APM

Pertama, abortus spontaneus, yaitu abortus yang terjadi secara spontan atau tidak

disengaja. Abortus spontaneus bisa terjadi karena salah satu pasangan berpenyakit

kelamin, kecelakaan, dan sebagainya. Kedua, abortus provocatus, yaitu abortus

yang disengaja. Abortus provocatus ini terdiri dari dua jenis, yaitu abortus

artificialis therapicus dan abortus provocatus criminalis. Abortus artificialis

therapicus adalah abortus yang dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis,

yakni apabila tindakan abortus tidak diambil bisa membahayakan jiwa ibu.

Sedangkaan abortus provocatus criminalis adalah abortus yang dilakukan tanpa

dasar indikasi medis. Misalnya, aborsi yang dilakukan untuk meleyapkan janin

dalam kandungan akibat hubungan seksual di luar pernikahan, atau mengakhiri

kehamilan yang tidak dikehendaki.

Dalam menyelesaikan masalah abortus ini, Muhammadiyah sudah cukup

maju dibandingkan dengan para ahli fikih dan ahli tafsir terdahulu. Adapun dalil

yang dijadikan dasar untuk menetapkan proses kejadian manusia adalah sebagai

berikut:

خلقنا ثم مكين، قرار فى نطفة جعلناه ثم طين، من ساللة من نسان اإل خلقنا ولقد

فخلقنا مضغة العلقة فخلقنا علقة ثم  النطفة لحما، العظام فكسونا عظاما المضغة

: المؤمنون ( الخالقين احسن الله فتبارك اخر، خلقا ).14- 13انشأناه

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)

dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu mani (yang disimpan) dalam

tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah,

lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu

Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan

daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha

Sucilah Allah. Pencipta Yang Paling Baik” (QS. Al-Mu’minun: 13-14)

ثم ذلك، مثل علقة يكون ثم نطفة، يوما اربعين امه بطن فى خلقه يجمع احدكم ان

) واللفظ عليه متفق الروح فيه وينفخ الملك اليه يرسل ثم ذلك، مثل مضغة يكون

لمسلم).

 “Bahwasanya salah seorang kamu dihimpun dapam perut ibunya selama 40 hari

dalam bentuk air mani, kemudian selama 40 hari berikutnya dalam bentuk

17

Page 18: makalah APM

segumpal darah, kemudian 40 hari berikutnya dalam bentuk segumpal daging,

kemudian Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh”. (HR. Muttafaq

‘alaih, dengan lafazh Muslim).

Ketika memahami teks al-Qur’an dan al-Hadis di atas, Muhammadiyah

telah menggunakan analisis ilmu pengetahuan modern di bidang ilmu kedokteran

dan ilmu-ilmu lainnya, termasuk filsafat. Berdasarkan pemahaman yang multi

disipliner itu, Muhammadiyah berpendapat bahwa pengguguran kandungan sejak

pembuahan hukumnya haram. Hal ini berarti, bahwa usia kandungan empat bulan

atau 120 hari, seperti dijelaskan dalam Hadis di atas tidak dianggap sebagai batas

kehidupan manusia.

Oleh karena itu, Muhammadiyah tidak begitu saja menerima penjelasan

yang terdapat dalam Hadis Nabi tentang “peniupan ruh” itu. Secara eksplisit

Hadis itu menyatakan bahwa pada usia 40 hari yang ketiga (120 hari) dari proses

kejadian manusia, Allah mengutus Malaikat untuk meniupkan ruh kepada janin

yang ada dalam rahim ibunya. Namun Muhammadiyah tidak menerima pendapat

bahwa ruh dalam Hadis itu berarti nyawa yang menyebabkan janin menjadi hidup

(Hadis di atas diartikan peniupan ruh itu sebagai nyawa untuk hidup,

Muhammadiyah tidak sependapat dengan itu). Alasan yang dikemukakannya

adalah bahwa kenyataan menunjukkan bahwa pembuahan itu sendiri telah

dinyatakan hidup kemudian berkembang menjadi ‘alaqat, dan berikutnya menjadi

mudghat sampai 120 hari.

Menurut Muhammadiyah, ruh yang ditiupkan oleh Malaikat ke dalam

janin yang telah berusia empat bulan itu bukanlah ruh hayati, melainkan adalah

ruh insani. Pemahaman dan penalaran seperti ini menarik untuk dianalisis lebih

lanjut. Kelihatannya, penalaran Muhammadiyah dalam hal ini telah dipengaruhi

oleh pemikiran ahli filsafat Islam dan ahli kedokteran. Dalam filsafat Islam, jiwa

itu bukanlah hayat. Manusia, dalam konsep filsafat Islam terdiri dari tiga unsur:

tubuh, hayat dan jiwa.

Dengan demikian, hayat itu saja sudah ada sejak terjadinya pembuahan,

bukan setelah janin berusia empat bulan. Pengaruh filsafat Islam lainnya terhadap

18

Page 19: makalah APM

pemikiran Muhammadiyah juga dapat dilihat dalam memahami ayat al-Qur’an

dan al-Hadis tentang proses kejadian manusia itu, bahwa sebagaimana diketahui

para filosof muslim tidak segan-segan mentakwil teks al-Qur’an dan al-Hadis

sesuai dengan jalan pikiran mereka.

Tegasnya, dengan melalui analisis di atas, Muhammadiyah berpendapat

bahwa abortus provocatus criminalis sejak terjadinya pembuahan hukumnya

haram. Sedangkan abortus artificialis therapicus atau abortus provocatus

medicinalis dapat dibenarkan dalam keadaan darurat, terutama karena adanya

kekhawatiran atas keselamatan ibu waktu mengandung. Argumentasi lainnya

adalah sbb:

: ( ... البقرة التهلكة الى بايديكم (195والتقتلوا

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…”(QS.

al-Baqarah:195).

: النساء ( رحيما بكم كان الله ان انفسكم )29والتقتلوا

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu: sesungguhnya Allah adalah Maha

Penyayang kepadamu” (QS. Al-Nisa’:29).

: البقرة ( عليه اثم فال والعاد باغ غير اضطر )173فمن

“Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak

menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa

baginya” (QS. Al-Baqarah:173).

 

Selain ayat-ayat al-Qur’an di atas, Muhammadiyah juga menggunakan

kaidah fiqhiyah, sebagai berikut:

المحضورات تبيح الضرورات

“Keadaan memaksa menjadikan bolehnya yang terlarang.”

 

19

Page 20: makalah APM

هما �أخف تكاب بار ضرارا أعظمهما روعى مفسداتان تعارضا اذا

“Jika berbenturan antara dua mafsadat, maka harus diperhatikan yang peling besar

madharatnya dengan cara mengerjakan yang paling ringan madharatnya”.

 

Berdasarkan argumentasi Muhammadiyah di atas, dapat dikatakan bahwa

menyelamatkan ibu, yang eksistensinya sudah jelas dan sudah mempunyai hak

dan kewajiban, harus didahulukan daripada menyelamatkan janin yang belum

dilahirkan. Pengguguran janin dengan kesengajaan seperti itu adalah madharat,

namum kematian ibu disebabkan menyelamatkan janin juga adalah madharat.

Madharat yang kedua jauh lebih besar daripada yang pertama. Kematian ibu akan

membawa dampak yang tidak baik bagi keluarga yang ditinggalkannya. Oleh

karenanya diperbolehkan melakukan aborsi dalam kondisi darurat seperti itu.

C. Metode Istinbath dan Ijtihad

Kata istinbath masdar dari kata kerja (fi’il) istanbatha-yastanbithu.

Artinya, mengeluarkan makna dari suatu ungkapan kata. Istinbath menurut bahasa

adalah mengeluarkan atau menetapkan. Sedangkan menurut istilah suatu kaidah

dalam ushul fiqih dalam menetapkan hukum secara ijtihad.

Jalan-jalan istinbath yang ditempuh ahli ushul-fiqih dalam usahanya, ialah dengan

memahami makna ungkapan itu dari segi:

1. Penetapan kata itu ada yang dimaksudkan umum atau khusus.

2. Penggunaannya ada yang digunakan dalam art i majazi (metafora).

3. Jelas dan tidak jelasnya makna.

4. Petunjuknya, denotatif atau konotatif.

Dasar hukum berijtihad dalam Muhammadiyah

Muhammadiyah (melalui lembaga Majelis atau Lajnah Tarjihnya) dalam

soal-soal yang menyangkut ibadah dan mu’amalah bersumber kepada al-Qur’an

dan al-Sunnah. Sedangkan ijtihad hanyalah merupakan jalan untuk mengeluarkan

20

Page 21: makalah APM

hukum dari dua sumber tersebut, sebagaimana disebutkan dalam Himpunan

Putusan Tarjih berikut:

1. Bahwa dasar mutlak untuk berhukum dalam agama Islam adalah al-Qur’an

dan al-Hadis.

2. Bahwa di mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan

sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak

bersangkutan dengan ibadah mahdhah padahal untuk alasan atasnya tiada

terdapat nash sharih di dalam al-Qur’an atau al-Sunnah Shahihah, maka

dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istinbath daripada nash-

nash yang ada melalui persamaan ‘illat: sebagaimana telah dilakukan oleh

ulama-ulama salaf dan khalaf.

Atas dasar keputusan Lajnah Tarjih tersebut, maka sidang Tanwir

Muhammadiyah tahun 1969 di Ponorogo (di dalam Matan Keyakinan

Muhammadiyah) memberi penjelasan bahwa yang dimaksud dengan al-Qur’an,

ialah kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang

dimaksud dengan al-Sunnah (al-Hadis), ialah penjelasan dan pelaksanaan ajaran-

ajaran al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan yang

dimaksud dengan ijtihad, ialah menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa

ajaran agama.

Sedangkan apa yang disebut ijma’, qiyas, istihsan, istidlal dan maslahah

mursalah, di mana para imam madzhab telah menjadikannya sebagai sumber

hukum, maka terhadap istilah-istilah tersebut Lajnah Tarjih Muhammadiyah tidak

memandang sebagai sumber hukum. Namun demikian, Lajnah Tarjih

Muhammadiyah menganggapnya sebagai sarana untuk menggali hukum yang

sifatnya tidak mengikat. Adapun kriteria al-Sunnah yang digunakan oleh Tarjih

Muhammadiyah ialah al-Sunnah yang shahih. Akal fikiran yang digunakan oleh

Tarjih Muhammadiyah untuk berijtihad, ialah hasil ijtihad Lajnah Tarjih

Muhammadiyah sendiri, bukan hasil ijtihad ulama terdahulu, namun demikian

hasil ijtihad ulama terdahulu dijadikan sebagai bahan pengkajian dan penelitian

kembali.

21

Page 22: makalah APM

Motif Lajnah Tarjih menggunakan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai

sumber hukum yang mutlak adalah untuk tegaknya aqidah Islam yang murni,

bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat. Juga untuk tegaknya

ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW. tanpa tambahan dan perubahan

dari manusia. Selain itu, juga untuk menegakkan nilai-nilai moral dan untuk

terlaksananya mu’amalah duniawiyah, yang dijiwai ajaran agama serta

menjadikan semua kegiatan dalam rangka ibadah kepada Allah SWT.

Sedangkan ijtihad sebagai metode atau cara memahami al-Qur’an dan al-

Sunnah adalah untuk mengimbangi beberapa pendapat yang ta’ashub kepada

suatu madzhab yang menyatakan pintu ijtihad sudah tertutup. Muhammadiyah

berpendapat pintu ijtihad selalu dan tetap terbuka. Oleh karenanya dalam

menghadapi masalah-masalah yang tidak ada nashnya haruslah berijtihad.

Penggunaan kedua sumber dan diperkuat oleh metode ijtihad tersebut,

menunjukkan Muhammadiyah tidak menganut sesuatu madzhab dari madzhab-

madzhab yang ada.

Metodologi Istinbath Hukum dalam Muhammadiyah

Cara-cara istinbath hukum dalam Lembaga Tarjih Muhammadiyah (manhaj tarjih

Muhammadiyah) di antaranya sebagai berikut:

1. Nash yang qath’i. Mengenai hal ini tidak ada masalah. Tidak boleh

diperdebatkan lagi, tidak ada lapangan ijtihad padanya.

2. Terdapat nash, namun saling diperselisihkan, atau nash itu satu dengan

yang lain saling bertentangan, atau nash itu mempunyai nilai yang

berbeda, maka Lembaga Tarjih Muhammadiyah menempuh cara sbb:

a. Tawaqquf, yaitu bersikap membiarkan tanpa mengambil

keputusan, karena kedua dalil atau lebih yang saling bertentangan

tersebut tidak lagi dapat dikompromikan dan tidak dapat dicarikan

alternatif mana yang dianggap terkuat.

b. Tarjih, yaitu mengambil jalan yang lebih kuat di antara dalil-dalil

yang bertentangan (memilih satu alternatif dalil yang dianggapnya

lebih kuat). Dalam hal bertarjih ini cara yang ditempuh, yaitu

22

Page 23: makalah APM

Jarh(cela) itu didahulukan daripada ta’dil sesudah keterangan yang

jelas dan sah menurut anggapan syara’.Riwayat orang yang telah

terkenal suka melakukan tadlis dapat diterima bila ia menerangkan

bahwa apa yang ia riwayatkan itu bersanad sambung, sedang

tadlisnya itu tidak sampai tercela. Pendapat sahabat akan perkataan

musytarak, pada salah satu artinya wajib diterima. Penafsiran

sahabat antara arti kata yang tersurat dengan yang tersirat, arti kata

yang tersurat itu yang diutamakan/diamalkan.

c. Jam’u, yaitu menjama’ atau menggabung atau menghimpun antara

kedua dalil atau lebih yang saling bertentangan dengan melakukan

penyesuaian-penyesuaian. Misalnya jika ada Hadis ahad yang

shahih namum bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam,

maka bisa jadi atau ada kemungkinan Hadis itu bersifat insidental

atau anjuran yang tidak mengikat.

3. Mengenai masalah-masalah yang tidak ada nashnya, sedangkan

terhadapnya diperlukan ketentuan hukumnya dalam masyarakat. Dalam

hal semacam ini Lembaga Tarjih Muhammadiyah berusaha mengeluarkan

hukum atau menetapkan dengan jalan ijtihad dengan berpedoman kepada

prinsip-prinsip ajaran Islam, seperti prinsip kemaslahatan dan menolak

kemafsadatan. Memberikan atau menetapkan sesuatu hukum dengan

beralasan adanya darurat yang dapat menimbulkan kemudharatan.

Menurut ahli ushul fiqih ijtihad berarti mencurahkan segenap kesanggupan

mujtahid dalam mendapatkan hukum syara’amali dengan satu metode.

muhammadiyah dalam berijtihad menempuh tiga jalur yaitu:

1. Al-ijtihad Al-Bayani

Menjelaskan hukum yang kasusnya terdapat dalam nash Al-Quran dan

Hadist

Menurut ulama Hanafiah, ada lima bayan/keterangan.

23

Page 24: makalah APM

• Bayan Taqrir

• Bayan Tafsir

• Bayan Taghyir

• Bayan Tabdil

• Bayan Dlarurah

2. Al-ijtihad Al-Qiyasi

Menyelsaikan kasus baru, dengan cara menganalogikannya dengan kasus

yang hukumnya telah diatur dalam Al-Quran dan Hadist. Ijtihad ini

dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu masalah yang tidak ada

nashnya secara langsung, Tetapi ada nash al-Qur’an maupun al-Sunnah

yang menunjukkan keharamannya.

3. Al-ijtihad Al-istishlahi

Ijtihad dalam usaha mendapatkan hukum yang tidak ada nash langsung

yang mengandung hukum masalah yang dicari, dengan mendasarkan

masalah yang akan dicapai.

Dalam menjawab berbagai persoalan yang ada, manhaj pengembangan

pemikiran islam dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip yang menjadi orientasi

utamanya, yaitu pertama, prinsip al-mura’ah (konservasi) yaitu upaya pelestarian

nila-nilai dasar yang termuat dalam wahyu untuk menyelsaikan permasalahan

yang muncul. Pelestarian ini dapat dilakukan dengan cara pemurnian ajaran islam.

Kedua prinsip al-tahdithi (inovasi) yaitu upaya penyempurnaan ajaran islam guna

memenuhi tuntutan spiritual masyarakat islam sesuai dengan perkembangan

sosial. Ketiga prinsip al-ibtikari (kreasi) yaitu penciptaan rumusan pemikiran

islam secara kreatif, konstraktif dalam menyahuti permasalahan aktual. Kreasi ini

dilakukan dengan menerima nilai-nilai luar islam dengan penyesuaian seperlunya

(adaptif). Atau dengan penyerapan nilai elemen luaran dengan penyaringan

secukupnya (selektif).

24

Page 25: makalah APM

BAB III

KESIMPULAN

Memperhatikan uraian dalam makalah ini, yaitu pandangan tarjih

Muhammadiyah dalam bidang ibadah dan mu’amalah, ada segi-segi prinsip yang

berbeda di antara keduanya, di mana dalam hal ibadah pandangan

Muhammadiyah terlihat kaku dan tegas, dengan tidak mentolerir, atau berpegang

kepada salah satu madzhab, tetapi hanya berpegang kepada al-Qur’an dan

petunjuk Rasul-Nya. Ketegasan Muhammadiyah dalam bidang ibadah dilandasi

dengan hasratnya yang kuat untuk menghindari perselisihan pendapat yang tidak

pernah berkesudahan. Semestinyalah dalam masalah ibadah ini tidak akan terjadi

perubahan, dengan berubahnya masa atau zaman. Shalat di masa Nabi, sama

dengan shalat di masa sekarang, kecuali dalam hal-hal tertentu, itupun telah pula

disyari’atkan. Jalan satu-satunya berpeganglah kepada madzhab yang satu, yaitu

madzhab Rasulullah SAW.

Dalam hal-hal yang menyangkut mu’amalah duniawiyah lebih fleksibel,

lebih lentur, bahkan bisa jadi pandangan Muhammadiyah yang sekarang belum

tentu sama dengan pandangannya di hari sebelumnya atau di kemudian harinya.

Dalam hal ibadah pandangan Muhammadiyah terlihat kaku dan tegas,

dengan tidak memtolerir, atau berpegang kepada salah satu madzhab, tetapi hanya

berpegang kepada al-Qur’an dan petunjuk Rasul-Nya. Kelenturan

Muhammadiyah dalam memahami persoalan mu’amalah, dikarenakan masalah

25

Page 26: makalah APM

mu’amalah terus berkembang sepanjang perkembangan masa atau zaman itu

sendiri.

Muhammadiyah mempercayai Majlis Tarjih dan Pengembangan

Pemikiran Islam dalam menetapkan suatu hukum yang lalu djalankan dan dianut

oleh para pengikutnya, kesimpulannya muhammadiyah bersifat terbuka dan

toleran, tidak menilai bahwa keputusannya lah yang paling benar, bila ada

pendapat dari siapapun akan diterima sepanjang memiliki landasan yang lebih

kuat dan arjah, maka pendapat yang telah ditetapkan oleh majelis kemungkinan

akan berubah.

DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Quran al-Karim.

Bakry, M. Natsir, Peranan Lajnah Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: C.V.

Karya Indah, Cet. I, 1985

Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta:

Logos Publishing House, 1995, Cet.I, h. 94, yang dikutip dari WHO (World

Health Organization). Fetus itu dianggap belum dapat hidup di luar kandungan

jika usia kehamilan belum mencapai 28 minggu.

Berita Resmi Muhammadiyah, Nomor Khusus, “Tanfidz Keputusan Muktamar

Tarjih Muammadiyah XXII”, P.P. Muhammadiyah, 1990

Dasuki, Hafizh dkk. 1977. Ensiklopedi Hukum Islam, Cet I. Jakarta: P.T.

Intermasa

Djamil, Fathurrahman. 1990.Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah,

Cet I. Jakarta: Logos Publishing House

Khalaf, Abd al-Wahhab, Khulashah Tarikh Tasyri’ al-Islamy, Jakarta: al-

Majlis A’la al-Indonesia li al-Da’wah al-Islamiyyah, Cet. VIII, T.Th.

M. Natsir Bakri, Ibid, h. 42-43

  fق�ط�ع�ي gح� ص�ر�ب fص� ن �ه� ف�ي �ه�اد� ت �إلج� ل اغ� م�س� � Tidak ada lapangan/peluang bagi ijtihad“ال

dalam masalah yang sudah ada nashnya yang sharih lagi qath’i”. Lihat Abd al-

26

Page 27: makalah APM

Wahhab Khalaf, Khulashah Tarikh Tasyri’ al-Islamy, Jakarta: al-Majlis al-A’la

al-Indonesia li al-Da’wah al-Islamiyah, T.Th), Cet. VIII, h. 13-14

Majlis Tarjih Muhammadiyah, “Pembinaan Hukum Fiqh di Bidang

Muamalat”, Suara Muhammadiyah, I, 15 Juli 1965, h. 31

Mubarok, Jaih. “METODOLOGI IJTIHAD HUKUM ISKAM”. Yogyakarta.

UII Press 2002

Muhammadiyah, Majlis Tarjih, “Pembinaan Hukum Fiqh di Bidang

Muamalat”, Suara Muhammadiyah, I, 15 Juli 1965

Muhammadiyah, P.P., Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta: Persatuan, Cet.

III, T.Th.

Muslim, Shahih Muslim, T. Tempat: Dar al-Fikr, Juz II, T.Th.

Nasution, Harun, “Konsep Manusia dalam Islam dikaitkan dengan Hayat dan

Maut”, dimuat dalam Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, Kajian Islam tentang

Berbagai Masalah Kontempor, Jakarta: IAIN, 1988

Pasha, B.Ed, Kamal, Drs. H. Musthafa dan, darban, SU, Adaby, Drs. H.

Ahmad. “MUHAMMADIYAH sebagai GERAKAN ISLAM dalam prespektif

Historis dan Ideologis”.  Yogyakarta. LPPI Universitas MUHAMMADIYAH

YOGYAKARTA cetakan III 2003

Rusyd, Ibn, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, T. Tempat: Dar

al-Fikr, Juz I, T.Th.

Tamimy, Djindar dan Djarnawi Hadikusuma, Penjelasan Muqaddimah

Anggaran Dasar dan Kepribadian Muhammadiyah, Yogyakarta: P.T. Persatuan,

Cet. II, 1972

PP Muhammdiyah, Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta: T.Th., Cet. III,

h.278

http://www.muhammadiyah.or.id/news-90-detail-tarjih-dalam-bidang-ibadah-dan-

muamalah.html. Selasa, 29-03-2011

http://almasakbar45.blogspot.com/2011/01/majlis-tarjih-muhammadiyah.html

27

Page 28: makalah APM

28