Makalah Anemia Aplastik, desi.doc
-
Upload
ariesyunanda -
Category
Documents
-
view
429 -
download
88
Transcript of Makalah Anemia Aplastik, desi.doc
37
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Anemia aplastik merupakan gangguan hematopoeisis yang ditandai oleh penurunan
produksi eritroid, mieloid, dan megakariosit dalam sumsum tulang dengan akibat adanya
pansitopenia pada darah tepi, serta tidak dijumpai adanya keganasan sistem hematopoeitik
ataupun kanker metastase yang menekan sumsum tulang. Aplasia ini dapat terjadi hanya pada
satu, dua, atau ketiga sistem hemopoeisis. Aplasia yang hanya mengenai sistem eritropoitik
disebut anemia hipoplastik (eritroblastopenia), yang hanya mengenai sistem granulopoitik
disebut agranulositosis sedangkan yang hanya mengenai sistem megakariosit disebut Purpura
Trombositopenik Amegakariositik (PTA). Bila mengenai ketiga sistem disebut panmieloptisis
atau lazimnya disebut anemia aplastik. Menurut The International Agranulocytosis and
Aplastic Anemia Study (IAAS) disebut anemia aplastik bila didapatkan hasil pemeriksaan
kadar hemoglobin < 10 g/dl atau hematokrit < 30; hitung trombosit < 50.000/mm3; hitung
leukosit < 3.500/mm3 atau granulosit < 1.5x109/l.
Anemia aplastik relatif jarang ditemukan namun berpotensi mengancam jiwa.
Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia sumsum tulang. Pansitopenia adalah
keadaan defisiensi pada semua elemen sel darah (eritrosit, leukosit dan trombosit). Terjadinya
pansitopenia dikarenakan oleh menurunnya produksi sumsum tulang atau dikarenakan
meningkatnya destruksi perifer.
Kejadian anemia aplastik pertama kali dilaporkan tahun 1888 oleh Ehrlich pada
seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah menderita penyakit dengan
gejala anemia berat, perdarahan dan hiperpireksia. Pemeriksaan postmortem terhadap pasien
tersebut menunjukkan sumsum tulang yang hiposeluler (tidak aktif). Pada tahun 1904,
Chauffard pertama kali menggunakan nama anemia aplastik. Puluhan tahun berikutnya
definisi anemia aplastik masih belum berubah dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakatan
pendapat bahwa tanda khas penyakit ini adalah pansitopenia sesuai konsep Ehrlich. Pada
tahun 1959, Wintrobe membatasi pemakaian nama anemia aplastik pada kasus pansitopenia,
37
hipoplasia berat atau aplasia sumsum tulang, tanpa adanya suatu penyakit primer yang
menginfiltrasi, mengganti, atau menekan jaringan hemopoietik sumsum tulang.
1.2. Tujuan Penulisan
Penulisan referat berjudul Anemia Aplastik ini bertujuan untuk menjelaskan definisi,
patogenesis, gejala klinis, penegakan diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan dan
prognosis mengenai Anemia Aplastik. Diharapkan dalam penulisan referat ini dapat
memberikan informasi yang bermanfaat bagi dokter muda, khususnya penulis.
37
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hematopoiesis
2.1.1 Definisi Hematopoiesis
Hematopoiesis adalah pembentukan dan perkembangan sel-sel darah. Hematopoiesis
merupakan proses produksi (mengganti sel yang mati) dan perkembangan sel darah dari sel
induk / asal / stem sel, dimana terjadi proliferasi, maturasi dan diferensiasi sel yang terjadi
secara serentak.
Proliferasi sel menyebabkan peningkatan atau pelipat gandaan jumlah sel, dari satu sel
hematopoietik pluripotent menghasilkan sejumlah sel darah. Maturasi merupakan proses
pematangan sel darah, sedangkan diferensiasi menyebabkan beberapa sel darah yang terbentuk
memiliki sifat khusus yang berbeda-beda.
2.1.2 Tempat terjadinya hematopoiesis
A. Selama perkembangan embrio
Hematopoiesis pertama kali berlangsung dalam kantong kuning telur (yolk sac) dan
berlanjut dihati, limpa, nodus limfe, dan seluruh sumsum tulang janin yang sedang
berkembang.
B. Setelah lahir dan masa kank-kanak
Setelah lahir dan masa kanak-kanak, sel-sel darah terbentuk dalam sumsum semua
tulang .
C. Pada orang dewasa
Pada orang dewasa, sel darah hanya terbentuk pada sumsum tulang merah (Red Bone
Marrow) yang ditemukan dalam tulang membranosa seperti sternum, iga, vertebra, dan tulang
ilia girdel pelvis. Sel-sel darah yang sudah matang masuk ke sirkulasi utama dari sumsum
tulang melalui vena rangka.
37
2.1.3 Proses Hematopoiesis
Red bone marrow (RBM) merupakan jaringan ikat yang sangat tervaskularisasi yang
terletak pada rongga-rongga mikroskopik diantara traberkula jaringan tulang spons. RBM
terutama terdapat pada tulang aksial, pektoral, dan pelvis, dan pada epifisa proksimal dari
humerus dan femur. Sekitar 0,005-0,1% sel-sel RBM merupakan derivasi dari mesenkim,
yang dinamakan pluripotent stem cells atau hemositoblast. Sel-sel ini memiliki kapasitas untuk
berkembang menjadi banyak tipe sel lain. Pada bayi yang baru lahir, seluruh bone marrow
merupakan RBM yang aktif dalam produksi sel darah. Seiring dengan pertumbuhan individu,
rata-rata produksi sel darah berkurang; RBM pada rongga medular tulang panjang menjadi
tidak aktif dan digantikan oleh yellow bone marrow (YBM) yang merupakan sel-sel lemak.
Pada kondisi-kondisi tertentu, seperti saat terjadi pendarahan, YBM dapat berubah menjadi
RBM dengan ekstensi RBM kearah YBM, dan repopulasi YBM oleh pluripotent stem cells.
Stem cells pada RBM memperbanyak diri sendiri, berproliferasi, dan berdiferensiasi
menjadi sel yang selanjutnya akan berkembang menjadi sel darah, makrofag, sel retikular, sel
mast, dan adiposit. Sebagian stem cells juga membentuk osteoblast, chondroblast, dan sel-sel
otot. Sel retikular memproduksi serabut retikular, yang membentuk stroma untuk menunjang
sel-sel RBM. Saat sel darah selesai diproduksi di RBM, sel tersebut masuk ke sirkulasi darah
melalui sinusoid (sinus), kapiler-kapiler yang membesar dan mengelilingi sel-sel dan serabut
RBM. Terkecuali limfosit, sel-sel darah tidak membelah setelah meninggalkan RBM.
Untuk membentuk sel darah, pluripotent stem cells di RBM memproduksi 2 jenis stem
cells lanjutan, yang memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi beberapa jenis sel. Sel-
sel ini dinamakan myeloid stem cells dan lymphoid stem cells. Sel myeloid memulai
perkembangannya di RBM, dan selanjutnya akan menghasilkan sel-sel darah merah, platelet,
monosit, neutrofil, eosinofil, dan basofil. Sel lymphoid mulai berkembang di RBM dan
mengakhiri perkembangannya di jaringan-jaringan limpatik; sel-sel ini akan membentuk
limfosit.
Saat berlangsung hematopoiesis, beberapa sel myeloid berdiferensiasi menjadi sel
progenitor. Sel myelod yang lain dan sel-sel lymphoid berkembang langsung menjadi sel
prekursor. Sel-sel progenitor tidak lagi memiliki kemampuan untuk memperbanyak dirinya
sendiri, dan sebagai gantinya membentuk elemen darah yang lebih spesifik.
37
Pada tahap selanjutnya, sel-sel ini dinamakan sel prekursor, dikenal juga dengan
sebutan blast. Melalui beberapa tahap pembelahan, sel-sel ini berkembang menjadi sel darah
yang sebenarnya. Sebagai contoh, monoblast berkembang menjadi monosit, myeloblast
eosinofilik berkembang menjadi eosinofil, dan seterusnya. Sel prekursor dapat dikenali dan
dibedakan gambaran mikroskopisnya.
Gambar Hematopoiesis
37
Gambar Hematopoiesi
2.2 Definisi Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang ditandai
dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang. Pada anemia aplastik terjadi
penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga menyebabkan retikulositopenia,
anemia, granulositopenia, monositopenia dan trombositopenia. Istilah anemia aplastik sering
juga digunakan untuk menjelaskan anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab
apapun. Sinonim lain yang sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia
aregeneratif, aleukia hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik
toksik.
2.3 Epidemiologi Anemia Aplastik
Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar
antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun. Analisis retrospektif di Amerika Serikat
memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk
pertahun. The Internasional Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study
memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang pertahun. Frekuensi tertinggi anemia aplastik
terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69
tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7 kasus
persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta
penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara
Barat belum jelas. Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor
lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan
faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia
yang tinggal di Amerika.
37
2.4 Klasifikasi Anemia Aplastik
Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :
A. Klasifikasi menurut kausa :
1. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50% kasus.
2. Sekunder : bila kausanya diketahui.
3. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya anemia
Fanconi
B. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis.
Tabel . Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan.
Anemia aplastik berat
Anemia aplastik sangat berat
Anemia aplastik tidak berat
- Seluraritas sumsum tulang < 25% atau 25-50%
dengan < 30% sel hematopoietik residu, dan
- Dua dari tiga kriteria berikut :
netrofil < 0,5x109/l
trombosit < 20x109 /l
retikulosit < 20x109 /l
Sama seperti anemia aplastik berat kecuali
netrofil <0,2x109/l
Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia
aplastik berat atau sangat berat; dengan sumsum
tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari
tiga kriteria berikut :
- netrofil < 1,5x109/l
- trombosit < 100x109/l
37
- hemoglobin <10 g/dl
2.5 Etiologi Anemia Aplastik
Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia. Akan tetapi,
kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti penyebabnya tidak diketahui.
Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi virus dan dengan penyakit lain.
Tabel. Klasifikasi Etiologi Anemia aplastik.
Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia)
Anemia aplastik sekunder
Radiasi
Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
Efek regular
Bahan-bahan sitotoksik
Benzene
Reaksi Idiosinkratik
Kloramfenikol
NSAID
Anti epileptik
Emas
Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
Virus
Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
37
Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat)
Penyakit-penyakit Imun
Eosinofilik fasciitis
Hipoimunoglobulinemia
Timoma dan carcinoma timus
Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
Kehamilan
Idiopathic aplastic anemia
Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)
Anemia Fanconi
Diskeratosis kongenita
Sindrom Shwachman-Diamond
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)
2.5.1 Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi dimana stem
sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana jaringan-jaringan dengan
mitosis yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat sensitif. Bila stem sel hematopoiesis
yang terkena maka terjadi anemia aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma
sumsum tulang dan menyebabkan fibrosis.
37
Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan luasnya
paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat digunakan sebagai
terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum tulang asalkan lapangan
penyinaran tidak mengenai sebagian besar sumsum tulang. Pada pasien yang menerima radiasi
seluruh tubuh efek radiasi tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan
sedikit pada dosis kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X).
Jumlah sel darah dapat berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan 2,5 Sv (100
dan 250 rads). Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi yang lebih
tinggi. Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada dosis
radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima transplantasi sumsum tulang. Paparan jangka
panjang dosis rendah radiasi eksterna juga dapat menyebabkan anemia aplastik.
2.5.2 Bahan-bahan Kimia
Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan anemia aplastik
dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang lain seperti insektisida dan
logam berat juga berhubungan dengan anemia yang berhubungan dengan kerusakan sumsum
tulang dan pansitopenia.
2.5.3 Obat-obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat berlebihan.
Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang dengan predisposisi
genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain
yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan,
obat-obatan sitotoksik misalnya mieleran atau nitrosourea.
Tabel . Obat-obatan yang menyebabkan Anemia Aplastik
37
Kategori Resiko Tinggi Resiko
Menengah
Resiko Rendah
Analgesik Fenasetin, aspirin,
salisilamide
Anti aritmia Kuinidin, tokainid
Anti artritis Garam Emas Kolkisin
Anti konvulsan Karbamazepin,
hidantoin,
felbamat
Etosuksimid,
Fenasemid, primidon,
trimethadion, sodium
valproate
Anti histamin Klorfeniramin,
pirilamin, tripelennamin
Anti hipertensi Captopril, methyldopa
Anti inflamasi Penisillamin,
fenilbutazon,
oksifenbutazon
Diklofenak, ibuprofen,
indometasin, naproxen,
sulindac
Anti mikroba
Anti bakteri Kloramfenikol Dapsone, metisillin,
penisilin, streptomisin,
β-lactam antibiotik
Anti fungal Amfoterisin, flusitosin
Anti protozoa Kuinakrine Klorokuin, mepakrin,
pirimetamin
Obat Anti neoplasma
37
Kategori Resiko Tinggi Resiko
Menengah
Resiko Rendah
Alkylating
agen
Busulfan,
cyclophosphamide,
melphalan, nitrogen
mustard
Anti metabolit Fluorourasil,
mercaptopurine,
methotrexate
Antibiotik
Sitotoksik
Daunorubisin,
doxorubisin,
mitoxantrone
Anti platelet Tiklopidin
Anti tiroid Karbimazol, metimazol,
metiltiourasil, potassium
perklorat, propiltiourasil,
sodium thiosianat
Sedative dan
tranquilizer
Klordiazepoxide,
Klorpromazine (dan
fenothiazin yang lain),
lithium, meprobamate,
metiprilon
Sulfonamid dan turunannya
Anti bakteri Numerous sulfonamides
Diuretik Acetazolamide Klorothiazide,
furosemide
37
Kategori Resiko Tinggi Resiko
Menengah
Resiko Rendah
Hipoglikemik Klorpropamide,
tolbutamide
Lain-lain Allopurinol, interferon,
pentoxifylline
Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang disebut resiko tinggi.
Obat dengan 30 kasus dilaporkan menyebabkan anemia aplastik merupakan resiko menengah dan
selainnya yang lebih jarang merupakan resiko rendah.
2.5.4 Infeksi
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis, virus
Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang paling sering.
Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah terinfeksi hepatitis. Walaupun
anemia aplastik jarang diakibatkan hepatitis akan tetapi terdapat hubungan antara hepatitis
seronegatif fulminan dengan anemia aplastik.. Parvovirus B19 dapat menyebabkan krisis
aplasia sementara pada penderita anemia hemolitik kongenital (sickle cell anemia, sferositosis
herediter, dan lain-lain). Pada pasien yang imunokompromise dimana gagal memproduksi
neutralizing antibodi terhadap Parvovirus suatu bentuk kronis red cell aplasia dapat terjadi.
Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum tulang,
biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus dapat menyebabkan
kerusakan sumsum tulang secara langsung yaitu dengan infeksi dan sitolisis sel hematopoiesis
atau secara tidak langsung melalui induksi imun sekunder, inisiasi proses autoimun yang
menyebabkan pengurangan stem sel dan progenitor sel atau destruksi jaringan stroma
penunjang.
2.5.5 Faktor Genetik
37
Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian dari
padanya diturukan menurut hukum Mendell, contohnya anemia Fanconi. Anemia Fanconi
merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh hipoplasia sumsung tulang disertai
pigmentasi coklat dikulit, hipoplasia ibu jari atau radius, mikrosefali, retardasi mental dan
seksual, kelainan ginjal dan limpa.
2.5.6 Anemia Aplastik pada Keadaan/Penyakit Lain
1. Pada leukemia limfoblastik akut kadang-kdang ditemukan pansitopenia dengan hipoplasia
sumsum tulang.
2. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH).
Penyakit ini dapat bermanifestasi berupa anemia aplastik. Hemolisis disertai pansitopenia
mengkin termasuk kelainan PNH.
3. Kehamilan
Kasus kehamilan dengan anemia aplastik telah pernah dilaporkan, tetapi hubungan antara
dua kondisi ini tidak jelas. Pada beberapa pasien, kehamilan mengeksaserbasi anemia
aplastik yang telah ada dimana kondisi tersebut akan membaik lagi setelah melahirkan.
Pada kasus yang lain, aplasia terjadi selama kehamilan dengan kejadian yang berulang
pada kehamilan-kehamilan berikutnya.
2.6 Patogenesis Anemia Aplastik
Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik yang
diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan oleh
ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan (acquired aplastic
anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi.
Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun
terhadap stem sel.
Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang paling
sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka. Kromosom pada
37
penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami perubahan DNA akibat obat-obat
tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi
aplasia, myelodysplastic sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan
DNA juga mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal
ini menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya
dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana
berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen dan
kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti.
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat disebabkan oleh
paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini dapat menyebabkan rantai
DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA.
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin merupakan
mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun mekanismenya belum diketahui
benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan
mencetuskan kematian stem sel. “Pembunuhan” langsung terhadap stem sel telah dihipotesa
terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang
ada pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis).
37
Gambar Destruksi Imun Pada Sel-sel Hemopoietik
2.7 Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Fisik Anemia Aplastik
Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang timbul
adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan anemia
dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe d’effort, palpitasi cordis,
takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan granulositopenia
yang akan menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan
keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu
dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-organ. Pada
kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan adalah anemia
atau pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadang-kadang juga dikeluhkan.
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin Keluhan
yang dapat ditemukan sangat bervariasi . Pada tabel keluhan pasien terlihat bahwa pendarahan,
37
lemah badan, dan pusing merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan oleh penderita
anemia aplastik.
Tabel. Keluhan Pasien Anemia Apalastik (n=70)2 (Salonder, 1983)
Jenis Keluhan %
Perdarahan
Badan lemah
Pusing
Jantung berdebar
Demam
Nafsu makan berkurang
Pucat
Sesak nafas
Penglihatan kabur
Telinga berdengung
83
30
69
36
33
29
26
23
19
13
Pemeriksaan fisik pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada tabel
dibawah ini terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan
pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang sebabnya
bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak
ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan
diagnosis.
37
Tabel. Pemeriksaan Fisik pada Pasien Anemia Aplastik
Jenis Pemeriksaan Fisik %
Pucat
Pendarahan
Kulit
Gusi
Retina
Hidung
Saluran cerna
Vagina
Demam
Hepatomegali
Splenomegali
100
63
34
26
20
7
6
3
16
7
0
37
2.8 Pemeriksaan Penunjang
2.8.1 Pemeriksaan laboratorium
A. Pemeriksaan Darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia yang terjadi
bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda regenerasi. Adanya eritrosit
muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Presentase
retikulosit umumnya normal atau rendah. Pada sebagian kecil kasus, persentase retikulosit
ditemukan lebih dari 2%. Akan tetapi, bila nilai ini dikoreksi terhadap beratnya anemia
(corrected reticulocyte count) maka diperoleh persentase retikulosit normal atau rendah juga.
Adanya retikulositosis setelah dikoreksi menandakan bukan anemia aplastik. Kadang-kadang
pula dapat ditemukan makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis.
Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih
menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif terdapat pada lebih
dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm3 dan trombosit kurang dari 20.000/mm3
menandakan anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang dari 200/mm3 menandakan anemia
aplastik sangat berat.
Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal.
Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit bukan
merupakan gambaran klasik anemia aplastik yang didapat (acquired aplastic anemia). Pada
beberapa keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang berkurang sehingga
diagnosisnya menjadi red sel aplasia atau amegakariositik trombositopenia. Pada pasien
seperti ini, lini produksi sel darah lain juga akan berkurang dalam beberapa hari sampai
beberapa minggu sehingga diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan.
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya memanjang dan
begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya trombositopenia. Hemoglobin F
meningkat pada anemia aplastik anak dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik
konstitusional.
Plasma darah biasanya mengandung growth factor hematopoiesis, termasuk
erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe serum
37
biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan inkorporasi Fe ke eritrosit
yang bersirkulasi.
Gambar
Apusan Darah Tepi Pada Anemia Aplastik
Gambar. Adanya retikulosit menunjukkan bukan anemia aplastik
37
B. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan daerah yang
kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit, sel plasma, makrofag
dan sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan kekurangan sel-sel yang lain
daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini. Pada kebanyakan kasus gambaran
partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah hiposelular. Pada beberapa keadaan,
beberapa spikula dapat ditemukan normoseluler atau bahkan hiperseluler, akan tetapi
megakariosit rendah.
Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara kualitatif
maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan gambaran hiposelular.
Aspirasi dapat memberikan kesan hiposelular akibat kesalahan teknis (misalnya terdilusi
dengan darah perifer), atau dapat terlihat hiperseluler karena area fokal residual hematopoiesis
sehingga aspirasi sumsum tulang ulangan dan biopsi dianjurkan untuk mengklarifikasi
diagnosis. Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan kurang dari 30% sel
pada individu berumur kurang dari 60 tahun atau jika kurang dari 20% pada individu yang
berumur lebih dari 60 tahun.
International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik berat bila
selularitas sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan kurang dari 30% sel
hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang.
Gambar Sumsum Tulang Normal dan Aplastik
37
2.8.2 Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa
anemia aplastik. Survei skletelal khusunya berguna untuk sindrom kegagalan sumsum tulang
yang diturunkan, karena banyak diantaranya memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada
pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu
ketidakhadiran elemen seluler dan digantikan oleh jaringan lemak.
2.9 Diagnosa
Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah dan dan pemeriksaan
sumsum tulang. Pada anemia aplastik ditemukan pansitopenia disertai sumsum tulang yang
miskin selularitas dan kaya akan sel lemak sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Pansitopenia dan hiposelularitas sumsum tulang tersebut dapat bervariasi sehingga membuat
derajat anemia aplastik.
2.10 Diagnosa Banding
Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai dengan
pansitopenia perifer. Beberapa penyebab pansitopenia terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel. Penyebab Pansitopenia
Penyebab Pansitopenia
Kelainan sumsum tulang
Anemia aplastik
Myelodisplasia
Leukemia akut
Myelofibrosis
Penyakit Infiltratif: limfoma, myeloma, carcinoma, hairy cell leukemia
Anemia megaloblastik
Kelainan bukan sumsum tulang
37
Hipersplenisme
Sistemik lupus eritematosus
Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis
Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu sindrom
myelodisplastik dimana kurang lebih 5-10% kasus sindroma myelodisplasia tampak hipoplasia
sumsum tulang. Beberapa ciri dapat membedakan anemia aplastik dengan sindrom
myelodisplastik yaitu pada myelodisplasia terdapat morfologi film darah yang abnormal
(misalnya poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudo-Pelger- Hüet), prekursor eritroid
sumsum tulang pada myelodisplasia menunjukkan gambaran disformik serta sideroblast yang
patologis lebih sering ditemukan pada myelodisplasia daripada anemia aplastik. Selain itu,
prekursor granulosit dapat berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan megakariosit dapat
menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya mikromegakariosit unilobuler).
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik yaitu dengan
adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau dengan adanya sitogenetik
abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga biasanya disertai limfadenopati,
hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi.
Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy cell leukemia
dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya splenomegali dan sel limfoid
abnormal pada biopsi sumsum tulang.
Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan oleh sistemik
lupus eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas sumsum tulang yang
normoselular jelas membedakannya dengan anemia aplastik.
2.11 Penatalaksanaan
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat granulositopenia
dan monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan kondisi yang potensial
mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien.
37
Tabel. Penanganan Awal Anemia Aplastik
Penanganan Awal Anemia Aplastik
Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga menjadi
penyebab anemia aplastik.
Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan.
Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang dibutuhkan.
Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat.
Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik tidak
dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan kurang dan
infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi
granulosit dari donor yang belum mendapat terapi G-CSF.
Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan histocompatibilitas
pasien, orang tua dan saudara kandung pasien.
Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu transplantasi
stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin dan metilprednisolon)
atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid. Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi
imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang. Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya
donor saudara yang cocok (matched sibling donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif
atau beban transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik
mendapat terapi imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda
umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai
GVHD (Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas
biasanya ditawarkan terapi imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan
penatalaksanaan anemia aplastik.
37
Gambar . Algoritme penatalaksanaan pasien anemia aplastik berat.
A. Pengobatan Suportif
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red cells
sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit
kardiovaskular.
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3. Transfusi
trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm3
sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit
konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila
terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara
kandung).
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak
dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit
yang ditransfusikan sangat pendek.
B. Terapi Imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin
(ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau ALG
diindikasikan pada :
37
1. Anemia aplastik bukan berat
2. Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok
3. Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat pengobatan
tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/mm3
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin melalui
koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi langsung atau
tidak langsung terhadap hemopoiesis.
Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan
sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid. Siklosporin juga
diberikan dan proses bekerjanya dengan menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir
limfosit sitotoksik. Sebuah protokol pemberian ATG dapat dlihat pada tabel dibawah ini.
Tabel . Protokol Pemberian ATG pada Anemia Aplastik
Protokol Pemberian ATG pada Anemia Aplastik
Dosis test ATG :
ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal pada lengan
dengan saline kontrol 0,1 cc disuntikkan intradermal pada lengan sebelahnya.
Bila tidak ada reaksi anafilaksis, ATG dapat diberikan.
Premedikasi untuk ATG (diberikan 30 menit sebelum ATG) :
Asetaminofen 650 mg peroral
Difenhidrahim 50 mg p.o atau intravena perbolus
Hidrokortison 50 mg intravena perbolus
Terapi ATG :
ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari
Obat-obat yang diberikan serentak dengan ATG :
Prednison 100 mg/mm2 peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan dengan ATG
dan dilanjutkan selama 10-14 hari; kemudian bila tidak terjadi serum
37
sickness, tapering dosis setiap 2 minggu.
Siklosporin 5mg/kg/hari peroral diberikan 2 kali sehari sampai respon maksimal
kemudian di turunkan 1 mg/kg atau lebih lambat. Pasien usia 50 tahun atau
lebih mendapatkan dosis siklosporin 4mg/kg. Dosis juga harus diturunkan
bila terdapat kerusakan fungsi ginjal atau peningkatan enzim hati.
Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi ATG,
siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada anemia aplastik
berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi sebesar 46%.
Pemberian dosis tinggi siklofosfamid juga merupakan bentuk terapi imunosupresif.
Pernyataan ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki kadar aldehid dehidrogenase
yang tinggi dan relatif resisten terhadap siklofosfamid. Dengan dasar tersebut, siklofosfamid
dalam hal ini lebih bersifat imunosupresif daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini
sebagai terapi lini pertama tidak jelas sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi
dari pada kombinasi ATG dan siklosporin. Pemberian dosis tinggi siklofosfamid sering
disarankan untuk imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi.
Sampai kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan lama respon leih dari 1 tahun.
Sebaliknya, 75% respon terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps dapat terjadi
dalam 1 tahun setelah terapi ATG.
C. Terapi Penyelamatan (Salvage Theraphies)
Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian faktor-faktor
pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolik.
Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon terhadap siklus
imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yang refrakter ATG kuda tercapai
dengan siklus kedua ATG kelinci.
Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik seperti Granulocyte-Colony
Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan tetapi neutropenia
berat akibat anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan neutrofil oleh stimulating faktor
37
ini juga tidak bertahan lama. Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai
sebagai satu-satunya modalitas terapi anemia aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi
imunosupresif telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang refrakter dan
pemberiannya yang lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada beberapa
pasien.
Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin dan sel-sel
induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia aplastk ringan dan pada
anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen digunakan sebagai terapi
penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif.
D. Transplantasi Sumsum Tulang
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia aplastik
berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan tetapi, transplantasi
sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien (hanya sekitar 30% pasien
yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Batas usia untuk transplantasi sumsum
tulang sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih
baik bila mendapatkan terapi imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin
meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor (Graft Versus
Host Disesase/GVHD).15 Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang lebih
jelek dibandingkan pasien yang berusia muda.
37
Gambar . Kelangsungan hidup pada pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang
dari donor saudara dengan HLA yang cocok hubungannya dengan umur.
Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival yang lebih
baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif.10 Pasien dengan umur kurang
dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG) maka pemberian transplantasi
sumsum tulang dapat dipertimbangkan. Akan tetapi survival pasien yang menerima
transplanasi sumsum tulang namun telah mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek
daripada pasien yang belum mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.
Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan transfusi
selama beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat mungkin diambil dari
donor yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal ini diperlukan untuk mencegah
reaksi penolakan cangkokan (graft rejection) karena antibodi yang terbentuk akibat tansfusi.
Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation (EBMT)
adalah sebagai berikut :
37
- Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm3 dan
trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3.
- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm3 dan
trombosit dibawah 100.000/mm3.
- Refrakter : tidak ada perbaikan.
2.12 Prognosis
37
Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit. Jumlah absolut
netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah netrofil kurang dari 500/l
(0,5x109/liter) dipertimbangkan sebagai anemia aplastik berat dan jumlah netrofil kurang dari
200/l (0,2x109/liter) dikaitkan dengan respon buruk terhadap imunoterapi dan prognosis yang
jelek bila transplantasi sumsum tulang allogenik tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon
yang lebih baik daripada orang dewasa. Anemia aplastik konstitusional merespon sementara
terhadap androgen dan glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan
transplantasi sumsum tulang.
Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang berusia
kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun dan sekitar 50% pada
pasien berusia lebih dari 40 tahun. Sebanyak 40% pasien yang bertahan karena mendapatkan
transplantasi sumsum tulang akan menderita gangguan akibat GVHD kronik dan resiko
mendapatkan kanker sekitar 11% pada pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi
siklosporin sebelum transplantasi stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang
belum mendapatkan terapi imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan dan
belum tersensitisasi dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi dalam hal
conditioning untuk transplantasi.
Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi kombinasi
imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien setelah terapi memiliki
jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian mendapatkan anemia sedang atau
trombositopenia. Penyakit ini juga akan berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal
nokturnal hemoglobinuria, sindrom myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada
40% pasien yang pada mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien
yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan selama 15
tahun dan pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif, hanya 38% yang bertahan
dalam 15 tahun.
Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal yang sama
dengan kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid memiliki toksisitas yang lebih
besar dan perbaikan hematologis yang lebih lambat walaupun memiliki remisi yang lebih
bertahan lama.
37
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang disebabkan oleh kegagalan
produksi di sumsum tulang sehingga mengakibatkan penurunan komponen selular pada darah
tepi yaitu berupa keadaan pansitopenia (kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih,
dan trombosit).
Anemia aplastik merupakan penyakit yang jarang ditemukan. Insidensinya bervariasi
di seluruh dunia yaitu berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun.
Frekuensi tertinggi insidensi anemia aplastik adalah pada usia muda.
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh bahan kimia, obat-obatan, virus, dan terkait
dengan penyakit-penyakit yang lain. Anemia aplastik juga ada yang ditururunkan seperti
anemia Fanconi. Akan tetapi, kebanyakan kasus anemia aplastik merupakan idiopatik.
Tanda dan gejala klinis anemia aplastik merupakan manifestasi dari pansitopenia yang
terjadi. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan gejala-gejala anemia antara lain lemah,
dyspnoe d’effort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen
lekopoisis (granulositopenia) menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga
mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik.
Trombositopenia dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di
organ-organ. Gejala yang paling menonjol tergantung dari sel mana yang mengalami depresi
paling berat.
Pansitopenia perifer adalah kelainan hematologis yang utama untuk anemia aplastik.
Anemia bersifat normokrom normositer dan tidak disertai tanda-tanda regenerasi. Leukopenia
berupa grnaulositopenia. Trombosit kuantitas berkurang sedang secara kualitatif normal.
Sumsum tulang akan mengandung banyak sel lemak dan menganduk sedikit sekali sel-sel
hemopoisis. Tidak terlihat penambahan sel primitif.
Anemia aplastik bukan berat memiliki sumsum tulang yang hiposelular dan dua dari
tiga kriteria (netrofil < 1,5x109/l, trombosit < 100x109/l, hemoglobin <10 g/dl). Anemia
aplastik berat memiliki seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50% dengan <30% sel
37
hematopoietik residu, dan dua dari tiga kriteria (netrofil < 0,5x109/l, trombosit <20x109 /l,
retikulosit < 20x109 /l). Anemia aplastik sangat berat sama seperti anemia aplastik berat
kecuali netrofil <0,2x109/l.
Pengobatan anemia aplastik dapat bersifat suportif yaitu dengan transfusi PRC dan
trombosit. Penggunaan obat-obat atau agen kimia yang diduga menjadi penyebab anemia
aplastik harus dihentikan. Pemberian antibiotik bila terjadi infeksi juga harus dilakukan untuk
memperbaiki keadaan umum pasien. Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi terapi
imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya
mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft
Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya
ditawarkan terapi imunosupresif.
Prognosis dipengaruhi banyak hal, antara lain derajat anemia aplastik, usia pasien, ada
tidaknya donor dengan HLA yang cocok untuk transplantasi sumsum tulang allogenik serta
apakah pasien telah mendapatkan terapi imunosupresif sebelum tranplantasi sumsum tulang.
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Lauralee Sherwood. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.2001; edisi 2. Jakarta: EGC
2. Solander, H. 2006. Anemia Aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI
3. Hendry Irawan. Pendekatan Diagnosis Anemia Pada Anak. 2013. CDK-205/Vol 40 n0.6
4. Ni Made Dharma Laksmi et all. Anemia Aplastik. Bagian Patologi Klinik FK
Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.
5. Isyanto, Maria Abdulsalam. Masalah pada Tatalaksana Anemia Aplastik Didapat. Sari
Pediatri, Vol 7, No 1, juni 2005
6. M Rizqi Fauzi. Diagnosis dan Indikasi Transfusi Darah Pada Anemia Aplastik. Bagian
Patologi Klinik FK Udayana/RSUP Sanglah Denpasar
7. Judith C, et all. Guidelines For the diagnosis and management of aplastic anemia. 2009.
British Journal Of Haematology.