Makalah Agama

29

Click here to load reader

Transcript of Makalah Agama

Page 1: Makalah Agama

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang. Segala puji dan syukur bagi

Allah swt yang dengan rido-Nya kita dapat menyelesaikan makalah ini dengna baik dan lancar.

Sholawat dan salam tetap kami haturkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad saw

yang dengan do'a dan bimbingannya makalah ini dapat terselesaikan dengan lancar.

Dalam makalah ini, penulis akan menguraikan tentang indahnya perbedaan agama islam

yang kita ambil dari berbagai sumber yang kami baca. Makalah ini diharapkan bisa menambah

wawasan dan pengetahuan yang selama ini kita cari. Berbagai teknik dan intrik kami kemas

dalam laporan ini, dan juga kami berharap bisa dimafaatkan semaksimal mugkin.

Sebagai mahasiswa saya mengharapkan bimbingan, bantuan, saran dan dukungan dari

Bapak Ibu dosen serta pihak lain agar makalah ini bisa berhasil dan berguna bagi kita semua.

Amin.

Tak ada gading yang tak retak, demikian pula makalah ini, oleh karena itu saran dan kritik

yang membangun tetap kami nantikan dan kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Page 2: Makalah Agama

PENDAHULUAN

Pluralisme agama menghadapkan kita pada dua tantangan sekaligus, yakni

teologis dan sosiologis. Secara teologis, kita dihadapkan pada tantangan iman:

bagaimana mendefinisikan iman kita ditengah keragaman iman yang lainnya? Begitu

pula secara sosiologis, kitapun dihadapkan pada sejumlah fakta sosial: bagaimanakah

hubungan antar umat beragama, lebih khusus lagi hubungan antar iman ditengah

pluralisme agama?.

Fakta sosial secara jelas menyadarkan kita bahwasannya pluralisme agama

belumlah berkorelasi positif dengan harmoni agama. Justru fakta berbicara sebaliknya:

pluralisme agama seringkali menjadi pemicu konflik sosial dan sentimen keagamaan.

Mengapa demikian? Banyak faktor yang bisa menjelaskan. Salah satunya adalah masih

kuatnya “Hambatan Teologis” di kalangan umat beragama untuk menerima kehadiran

pluralisme agama sebagai hukum Tuhan. Maka, alih-alih bersikap toleran, inklusif, dan

pluralis, umat beragama justru semakin mengeras kearah sikap intoleran, eksklusif dan

cenderung antipluralisme. Untuk itu, agenda awal kita adalah begaimana memecahkan

“hambatan teologis” dikalangan umat beragama dalam menerima kehadiran pluralisme

sebagai hukum Tuhan.Muhammadiyah dan NU merupakan dua organisasi terbesar yang

ada di Negeri ini. Pengaruh dari kedua organisasi ini amat terasa ditengah masyarakat,

meski berbeda massanya. Dakwah bil lisan maupun bil hal yang menjadi ciri khas kedua

ormas keagamaan ini sudah sejak lahirnya diketahui masyarakat, bukan saja didalam

negeri, tetapi juga di luar negeri.

Sebagai organisasi terbesar di Indonesia, ternyata antara Muhammadiyah dan

NU memiliki beberapa perbedaan mendasar, baik dalam teologi, visi politik maupun

perbedaan yang bersifat umum, dalam hal ini perbedaan sumber daya dan infrastruktur

yang kemudian berpengaruh pada jalannya kedua organisasi tersebut kurang berimbang.

Perbedaan-perbedaan yang ada mengakibatkan antara Muhammadiyah dan NU

memiliki jarak mencolok, menjadikan kedua organisasi ini jurang pemisahnya terlalu

lebar. Akibatnya, tidak produktifnya bagi perkembangan wacana kebangsaan maupun

wacana keagamaan.

Keberadaan Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama) dalam sejarah

Indonesia modern memang amat menarik. Sepanjang perjalanan kedua organisasi Islam

Page 3: Makalah Agama

terbesar ini, senantiasa diwarnai koorporasi, kompetisi, sekaligus konfrontasi.

Membicarakan Muhammadiyah dan NU di Indonesia selalu melibatkan harapan dan

kekhawatiran lama yang mencekam, karena wilayah pembahasan ini penuh romantisme

masa lalu yang sarat emosi dan sentimen historis yang amat sensitif. Sekedar contoh,

Sering dinyatakan, kelahiran NU tahun 1926 merupakan reaksi defensif atas berbagai

aktivitas kelompok reformis, Muhammadiyah (dan Serekat Islam), meski bukan satu-

satunya alasan.

Page 4: Makalah Agama

PEMBAHASAN

PERBEDAAN ITU INDAH

Latar Belakang eksistensi Nahdlotu Ulama (NU) dan Muhammadiyah

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan terbesar di Indonesia

yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926 M) di Surabaya oleh

beberapa ulama terkemuka yang kebanyakan adalah pemimpin/pengasuh pesantren dan

pelopor utamanya adalah KH. Hasyim Asyari, pendiri sekaligus pengasuh Pon Pes.

Tebuireng – Jmbang pada tahun itu. Tujuan didirikannya adalah berlakunya ajaran

Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) dan menganut salah satu mazhab empat. Ini

berarti NU adalah organisasi keagamaan yang secara  konstitusional membela dan

mempertahankan Aswaja, dengan disertai batasan yang fleksibel.

Sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam’iyah Diniyah wal Ijtima’iyah), NU

merupakan bagian integral dari wacana pemikiran suni. Terlebih lagi, jika kita telusuri

lebih jauh, bahwa penggagas berdirinya NU memiliki pertautan sangat erat dengan para

ulama “Haramain” (Makkah-Madinah) pada masa di bawah kekuasaan Turki Usmani

yang ketika itu berhaluan Aswaja.

Selama ini image masyarakat terhadap NU terlanjur miring dengan jargon

sebagai kaum tradisionalis, kolot, irasional dan jumud (stagnan) dalam pemikiran. Tentu

saja image tersebut tidak berdasar. Jika NU statis, bagaimana mungkin memiliki umat

35 juta yang tersebar di seluruh tanah air dan memiliki kredo (kaidah hukum) Al-

Mukhafatdlatu ‘Ala Qadimish Shalih Wal Ahdu Bil Jadidil Ashlah (mempertahankan

nilai dan tradisi lama yang dianggap baik dan relevan, dan akomodatif terhadap nilai

dan tradisi baru yang lebih baik).3

Keadaan agak tertolong, setelah NU secara yuridis menjustifikasikan satu

keputusan monumental bagi reformasi secara kritis dan analitis dalam institusi tertinggi

dibawah Muktamar yaitu Musyawarah Nasional Alim Ulama di Bandar Lampung pada

tahun 1992.4 Dalam keputusan tersebut disepakati bahwa sistem pengambilan keputusan

hukum dalam Bahsul Masail Diniyah (pembahasan masalah-masalah agama) bisa

3

4

Page 5: Makalah Agama

dilaksanakan dengan pola bermazhab secara qauli (tekstual) maupun manhaj

(kontekstual). Hal ini memberikan kemungkinan untuk mengikuti manhaj, jalan pikiran

dan kaidah hukum yang telah disusun oleh para Imam mazhab. Begitupun dalam bidang

akidah, tidak mustahil terjadi pembaharuan pemikiran sepanjang sejalan dengan manhaj

Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi. Pola berpikir

semacam ini dapat diketahui pada pemikiran Al-Baqillani, Al-Baghdadi, Al-Juwaini,

Al-Ghazali, Al-Syahrastani dan Al-Razi.

Sementara itu, Persyarikatan Muhammadiyah yang didirikan oleh KHA.Dahlan

di Yogyakarta (1912), dalam perjalanan sejarahnya selama lebih dari 85 tahun telah

menunjukkan kemampuannya menghadapi berbagai perubahan sosial tanpa kehilangan

identitasnya sebagai gerakan Islam amar-makruf nahi-munkar. Setidak-tidaknya ada

lima era perubahan sosial dan proses pembangunan bangsa yang telah dilalui oleh

Muhammadiyah dengan relatif mulus.

Muhammadiyah sejak kelahirannya dikenal sebagai gerakan pembaharu Islam

dengan jargon-jargon ijtihad dan tajdidnya yang direalisasikan dalam bidang-bidang

sosio-kultural dengan amal usaha di bidang pendidikan , sosial- kemasyarakatan dan

kegiatan keagamaan. Karena sepanjang sejarahnya Muhammadiah lebih menonjol

gerakannya di bidang amal usaha sosial dibandingkan dengan produk pemikiran

keagamaannya, maka Muhammadiyah lebih dikenal sebagai gerakan amal (praksis)

bukan sebagai gerakan pemikiran. Walaupun demikian karena apa yang telah dilakukan

Muhammadiyah dengan dampak sosialnya yang begitu besar itu merupakan

implementasi dari hasil ijtihadnya, maka dapat diasumsikan bahwa ada mekanisme

kerja pembaharuan pemikiran keagamaan yang dilaksanakan Muhammadiyah dalam

menjalankan misinya sehingga ia disebut gerakan pembaharuan dalam Islam. tetapi

metode yang digunakan Muhammadiyah dalam merumuskan konsep pembaharuan

pemikirannya. Dengan mengkaji metodologi pemikiran ini diharapkan dapat diketahui

bagaimana cara Muhammadiyah merespons masalah-masalah yang dihadapi dan

bagaimana metode berfikirnya.

Page 6: Makalah Agama

Dinamika Pemikiran Nahdlotu Ulama (NU) dan Muhammadiyah

1.      Dinamika Pemikiran Nahdlotu Ulama (NU)NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang

mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli

(skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah,

tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara

berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan

Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih

mengikuti satu mazhab:Syafi'i meskipun mengakui tiga madzhab yang lain: Hanafi,

Maliki, Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di

bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan

Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting

untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali

metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali

hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah

pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

-        

Basis pendukung

Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang

perlu diperjelas, yaitu anggota, pendukung atau simpatisan dan Muslim tradisionalis

yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka

sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Karena

sampai hari ini tidak ada upaya serius di tumbuh NU di tingkat apapun untuk mengelola

keanggotaannya. Dari segi pendukung atau simpatisan ada dua cara melihatnya. Dari

segi politik, ini bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau

diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari

PPP. Dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung

dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian

Saiful Mujani (2002) yiatu berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari

(Nalar Politik NU & Muhammadiyah, 2009) memperkirakan ada sekitar 51 juta dari

Page 7: Makalah Agama

Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan

NU. Sedangkan jumlah Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih

merupakan mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU.

Belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.

Mayoritas pengikut NU terdapat di pulau jawa, kalimantan, sulawesi dan sumatra.

Perkembangan terakhir pengikut NU mempunyai profesi beragam yang sebagian besar

dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki

kohesifitas yang tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama,

selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran ahlususunnah wal jamaah. Pada

umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan

pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.

Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan

dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi

ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor

petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan.

Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga

semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini.

Belakangan ini NU sudah memiliku sejumlah Doktor atau Master dalam berbagai

bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk

negara-negara Barat. Hanya saja para Doktor dan Master ini belum dimamfaatkan

secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.

NU di kabupaten temanggung bermula dari para pengikut Toriqoh

Naqshobandoyah yang berpusat di sokaraja banyumas kebetulan wilayah temanggung

termasuk konsul banyumas yang diketuai oleh raden muhtar.kota parakan mulanya

dijadikan cabang mengingat badal toriqoh sukaraja berpusat di parakan.

Usaha Organisasi

a.      Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa

persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.

b.      Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai

Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan

Page 8: Makalah Agama

luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa

NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.

c.      Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan

yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.

d.      Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil

pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini

ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti

membantu masyarakat.

e.       Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha

mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat..7

Prospektif Aswaja NU

Diskursus Aswaja dalam NU kurun 1994-sekarang ini terbilang cukup

mengagetkan kalangan ulama tua. Doktrin Aswaja NU selama ini dinilai sebagai

sesuatu yang final dan haram hukumnya diperdebatkan eksistensinya. Secara

mengejutkan, muncul pemikiran baru tentang perlunya rekonstruksi rumusan Aswaja

NU untuk mengantisipasi perkembangan pemikiran dalam bidang keagamaan yang

melaju dengan cepat sesuai dengan tuntutan zaman. Alasannya, konstruksi fiqhiyyah

Aswaja NU mungkin masih bisa akomodatif dan survive dalam menghadapi perubahan

sosial. Akan tetapi lain halnya, bila menelusuri doktrin Aswaja NU dalam bidang

teologis, yang di dalamnya tidak luntur sebagaimana konstruksi fiqh.

Salah satu rekonstruksi Aswaja adalah pandangan bahwa doktrin Aswaja harus

dipahami sebagai Manhaj Al-Fikr atau sebagai metotologi berfikir, bukan Aswaja

sebagai mazhab apalagi produk Mazhab. Ini artinya, berpaham Aswaja berarti bersikap

dengan menggunakan Manhaj Tawasuth.8 Dalam wacana berpikir selalu menjembatani

antara wahyu (nash) dan rasio (al-ra’yu). Metode seperti inilah yang diimplementasikan

oleh Imam mazhab empat serta generasi berikutnya dalam menelurkan hukum-hukum

pranata sosial.

Sikap lain yang ditunjukkan adalah tawazun atau sikap netral yang dalam

berpolitik yaitu tidak membenarkan kelompok bergaris keras (tatharruf), tetapi jika

berhadapan dengan penguasa yang lalim mereka tidak segan-segan mengambil jarak

78

Page 9: Makalah Agama

dan mengadakan aliansi. Sedangkan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, Aswaja

mempunyai sikap toleran (tasamuh) yang tampak dalam pergaulan dengan sesama

muslim dengan tidak saling mengkafirkan dan terhadap umat lain saling menghargai.

Lebih menarik, bila mengamati Aswaja dalam NU. Terminologi Aswaja masih

memungkinkan memerlukan reinterpretasi (penafsiran ulang). Hal ini karena rumusan

baku Aswaja NU belum terlalu tegas. Dalam qanun asasi (UUD) NU pun belum ada

penjelasan yang mendasar mengenai rumusan Aswaja. Di dalamnya, KH. Hasyim

Asy’ari (Rais Akbar) menyebutkan Madzahibul Arba’ah (bukan salah satu dari empat

mazhab). Penyebutan itu bertujuan agar warga NU yang heterogen wacana

pemikirannya tidak ta’asub.9 Ini artinya doktrin itu bukan kebenaran absolut, yang tidak

bisa menerima tawaran pemikiran baru. Landasan pikirnya, tentu karena hal itu masih

merupakan wilayah ijtihadiyah, sehingga mungkin saja dibenarkan jika kalangan NU itu

sendiri melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks Aswaja yang ada. Selama ini orang

NU berpendapat bahwa berhaluan Aswaja adalah mereka yang suka pengajian akbar,

mendirikan madrasah, mengelola ziarah kemakam para ulama terdahulu, seperti Syekh

Burhanuddin di Ulakan Padang Pariaman dan wali songo di pulau Jawa, tahlilan,

manakiban, shalat Subuh pakai qunut, keseimbangan dalam menjalin hubungan antara

manusia dengan tuhannya, manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan

lingkungannya. Hal inilah yang menunjukkan bahwa Aswaja sangat prospektif, tidak

mati karena perkembangan zaman.10

Pemikir-pemikir liberal yang disebut sebelumnya juga berimplikasi terhadap

perkembangan pemikiran NU di daerah yang tidak saja di dominasi oleh pemikiran kiai-

ulama sepuh, tetapi gerak langkah tokoh muda NU menghiasi wacana baru yang lebih

progresif.

Menanggapi fenomena di atas, sepertinya akan menjadi keniscayaan pada era

mendatang dan kiranya perlu kesiapan mental menguasai elite NU agar dinamika

pemikiran mereka tidak dipasung, dan atau dibiarkan berkelana hingga sudut langit di

awang-awang, tanpa bisa dibumikan dilingkungan jam’iyah NU yang selalu berpegang

kuat pada senjata akomodatif terhadap perkembangan baru yang lebih baik.

91

Page 10: Makalah Agama

2.      Dinamika Pemikiran Muhammadiyah Dinamika Pemikiran Muhammadiyah

Ditinjau dari perspektif sejarah menurut Kuntowijoyo, dinamika

Muhammadiyah dapat dipilah menjadi dua periode.

1. periode awal perkembangannya yang merupakan dinamika kualitatif

yaitu fase pembentukan doktrin yang sarat dengan kegiatan ijtihad dan

tajdid,

2. periode berikutnya yang berjalan sampai sekarang merupakan

dinamika kuantitatif yaitu fase pelaksanaan doktrin atau tahap

mewujudkan cita-cita awalnya, sehingga seakan-akan tugas sejarah

Muhammadiyah di bidang tajdid sudah selesai.11

Terlepas dari sejauh mana kebenaran kritik tersebut, namun kenyataan bahwa

selama periode kedua yaitu masa pelaksanaan doktrin banyak produk-produk pemikiran

Muhammadiyah yang dapat mengantarkan perkembangan Muhammadiyah sampai

sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa selama periode kedua juga terjadi dinamika

pemikiran Muhammadiyah. Pemikiran tersebut tentu tidak terlepas dari tantangan dan

perubahan sosial yang dihadapi pada masanya, sebagaimana dikatakan Emile Durkheim

bahwa pemikiran agama dan pemikiran ilmiah ditentukan oleh kondisi yang

mencerminkan tipe struktur sosial di mana pemikiran-pemikiran itu muncul.12

Bertolak dari pemilahan periode dinamika Muhammadiyah menurut

Kuntowijoyo, makalah ini hanya akan mengkaji metodologi pemikiran Muhammadiyah

dalam kedua periode tersebut melalui pemikiran resmi yang berupa keputusan-

keputusan organisasi, kecuali pemikiran KHA. Dahlan akan dilihat pemikiran

individualnya karena beliau sebagai pendirinya dan peletak doktrin pembaharuannya.

-          Metodologi Pemikiran Muhammadiyah Masa Peletakan Doktrin

Untuk membicarakan pemikiran yang melandasi sebuah gerakan seperti

Muhammadiyah, tidak mungkin tanpa membahas pemikiran pendirinya yaitu KHA.

Dahlan. Dari berbagai penelitian tentang KHA. Dahlan hampir semuanya sepakat

bahwa pemikirannya tidak dapat dipisahkan dari ide-ide pembaharuan yang

berkembang pada akhir abad 19, seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh

dan Rasyid Ridlo. Namun di bidang teologi, menurut Arbiyah Lubis, teologi

11

Page 11: Makalah Agama

Muhammadiyah tidak ada persamaannya dengan teologi Muhammad Abduh.13 Sedang

Muhammad Abduh qodariyah. Dalam memahami akidah Muhammadiyah menerapkan

metode salaf, yang menolak campur tangan akal, sedang Muhammad Abduh banyak

persamaannya dengan Muktazilah yang banyak menggunakan akal.14

Dikaitkan dengan teologi konvensional seperti kajian Arbiyah Lubis di atas,

tampak Muhammadiyah kurang memiliki bobot pembaharuan pemikiran Islam karena

ciri pemikiran modern ialah rasional dan tidak fatalistis sebagaimana faham jabariyah.

Kalau demikian di mana letak pembaharuan pemikiran Muhammadiyah, hal ini perlu

dilacak dari orientasi pemikiran keagamaan Muhammadiyah.

Muhammadiyah pada masa peletakan doktrin memang tidak banyak

menonjolkan pembicaraan tentang masalah teologi, dan mencukupkan diri dengan

pemikiran yang sudah lazim pada masanya, yaitu pemikiran Ahlu al- sunnah wa al-

jama’ah atau lebih spesifik teologi Asy’ariyah. Pemikirannya banyak ditujukan pada

masalah-masalah fungsi agama dalam konteks sosio-kultural, sedang masalah

ketuhanan yang tidak berakibat langsung dan praktis bagi amaliyah dan kesejahteraan

sosial kurang mendapatkan perhatian.

Pemikiran agama menurut Muhammadiyah yang memiliki implikasi sosial

cukup besar ialah pemurnian agama (purifikasi) di bidang akidah dan amaliah. Hal ini

tercermin dalam pengajaran KHA. Dahlan tentang tafsir Al-Quran yang dirangkum oleh

K.R.H. Hadjid dalam“ Ajaran KHA. Dahlan dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-

Quran”.

17 ayat Al-Quran tersebut menurut K.R.H. Hadjid sangat menjadi perhatian

KHA. Dahlan, terbukti dalam mengajarkannya selalu diulang-ulang sampai para santri

faham benar, meyakini, dan bersedia mengamalkannya. Esensi dari ajaran ke 17 ayat

tersebut dapat disimpulkan meliputi ;

(1). Pemurnian akidah dengan membersihkan pribadi dari hawa nafsu yang

hanya mengikuti kebiasaan yang ada pada diri sendiri, dalam keluarga, dan

dalam masyarakat. Karena kebiasaan itu tidak sesuai dengan Al-Quran dan

Sunnah, maka harus ditinggalkan dan kembali pada Al-Quran dan Sunnah,

(2). Kepedulian sosial sebagai inti implementasi akidah yang benar,

(3). Dakwah amar makruf nahi munkar, dan

11

Page 12: Makalah Agama

(4). Jihad fi sabilillah dengan jiwa, raga dan harta.

Contoh lain tentang metode berfikir KHA.Dahlan ialah pelajaran tafsir surat al-Ma’un

dan surat al-Taubah ayat 34. Dengan metode berfikir yang sama dengan waktu

mengajarkan surat al-Jatsiyah 23 di atas akhirnya KHA.Dahlan menekankan makna

beragama Islam tidak cukup hanya melakukan ibadah ritual tetapi harus diwujudkan

dalam amal nyata dengan orientasi sikap peduli sosial.15

Dengan cara pengajaran demikian menunjukkan bahwa orientasi pemikiran

keagamaannya ialah orientasi fungsional artinya ajaran Islam hanya akan berarti apabila

dapat berfungsi membawa kesejahteraan sosial atau lebih luas rahmatan li al- alamin.

Orientasi pemikiran keagamaan semacam ini menunjukkan bahwa KHA. Dahlan telah

melakukan rekonstruksi pemikiran keagamaan dari simbolik- spiritualistik dan mistis ke

substantif (agama yang syari’atnya dilaksanakan secara konsekuen).16 Sesuai dengan

risalah Islam yakni terwujudnya rahmatan li al-alamin, dan kalau dikaitkan dengan

teori van Peursen , pemikiran keagamaan KHA.Dahlan dalam konteks budaya sudah

meninggalkan pemikiran mitis dan sudah memasuki tahap pemikiran fungsional,

sebagai ciri pemikiran masyarakat modern.17 Namun sementara pengamat lebih

cenderung memberi predikat Muhammadiyah sebagai gerakan amal (praktis) dari pada

gerakan pemikiran karena langkanya produk tertulis dari KHA. Dahlan. Dalam hal ini

Alfian tidak menyebut sebagai gerakan amal atau gerakan pemikiran, tetapi Ijtihad

KHA. Dahlan dalam masalah-masalah keagamaan memang cenderung pragmatis.

Menurutnya, dalam memecahkan masalah-masalah keagamaan, tindakan yang langsung

dan kongkret harus dinomorsatukan di atas pemikiran teoritis atau filosofis. Oleh karena

itu, langkanya karya tulis Dahlan adalah konsekuensi logis dari pragmatismenya.18

Metodologi Pemikiran Muhammadiyah Masa

Pelaksanaan Doktrin

Untuk membahas metodologi pemikiran Muhammadiyah masa pelaksanaan

doktrin hanya akan menggunakan satu contoh produk pemikiran Muhammadiyah yaitu

tentang “ Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah “, yang merupakan hasil

1111

Page 13: Makalah Agama

rumusan Ki Bagus Hadikusuma pada tahun 1945 dan baru disahkan dan ditetapkan

dalam muktamar Muhammadiyah ke 31 di Yogyakarta tahun 1950.

Sejak pendirian Muhammadiyah (KHA.Dahlan) sampai tahun 1945 pokok-

pokok pikiran Muhammadiyah yang melandasi gerakan pembaharuannya belum

tersusun secara sistematis. Ki Bagus Hadikusumo, yang waktu itu menjabat sebagai

ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1942-1953) menghadapi situsi perubahan sosial

yang sangat mendasar berkenaan dengan masa transisi menuju kemerdekaan RI tahun

1945, terpanggil untuk menyusun rumusan pokok-pokok pikiran Muhammadiyah

sebagai pedoman persyarikatan.

Situasi yang dihadapi Muhammadiyah pada masa pendudukan Jepang,

menjelang kemerdekaan, yang sangat menjadi kerihatinan Muhammadiyah ialah

intervensi penguasa Jepang dalam masalah kehidupan beragama umat Islam, yakni

peraturan yang mengharuskan seluruh rakyat Indonesia memberi penghormatan kepada

Tenno Haika dengan melakukan “ Seinkerei “(semacam ruku’ dalam salat).19

Usaha kultural semacam itu berhasil menyelamatkan akidah umat Islam, terbukti

akhirnya peraturan Seinkerei itu tidak jadi diberlakukan . Namun Muhammadiyah

memandang bahwa mulai saat itu ada gejala pergeseran nilai di kalangan warga

Muhammadiyah sendiri . Menurut analisa Djindar Tamimi kemungkinan karena

dipengaruhi oleh dorongan sikap materialistis dan kuatnya pengaruh luar yang tidak

sesuai dengan jiwa Muhammadiyah.20

Di samping itu kemungkinan juga karena wilayah Muhammadiyah semakin

luas dan banyak anggota dan simpatisan yang semakin jauh mereka dari sumber

gagasan dan spirit Muhammadiyah, sehingga wajar apabila terjadi kekaburan

penghayatan terhadap dasar-dasar pokok yang mendorong KHA.Dahlan dalam

menggerakkan persyarikatan Muhammadiyah.

3. Konflik Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.Dialektika Muhammadiyah dan NU dalam sejarah politik Islam di Indonesia,

dapat dirunut, paling tidak, sejak lahir tahun 1930-an, melalui MIAI (Majelis Islam A,la

Indonesia), sebuah federasi untuk membina kerja sama berbagai organisasi Islam.

Kompetisi dan konstelasi kedua tradisi Islam ini, sepanjang Orde Lama dan Orde Baru,

12

Page 14: Makalah Agama

tampak dari rivalitas keduanya dalam Masyumi sepanjang tahun 1945-1952 dan di PPP

sepanjang tahun 1973-1984, respon terhadap Demokrasi Terpimpin dan Nasakom, serta

respons terhadap rezim Orba. Belum lagi persaingan dalam memperebutkan berbagai

jabatan politik. Karena itu, dapat dimengerti bila persaingan ini pada akhirnya juga

merambah bidang lain, termasuk pendekatan dalam mengembangkan civil society.21

Motivasi kalangan modernis agar bisa terakomodasi dalam proses pembangunan

Orba seperti ini menyebabkan mereka mengembangkan civil society dengan pendekatan

Hegelian, yang memiliki ciri:

(1) lebih menekankan fungsi komplementatif dan suplementatif. Dengan cirri

seperti ini, sipil society berfungsi melaksanakan sebagian peran-peran negara.

(2) Menekankan pentingnya kelas menengah. Tentu saja kelas menengah yang

sedikit banyak bergantung kepada state. Karena sebagaimana lazimnya negara dunia

ketiga yang sedang berkembang, state memegang peranan penting dalam seluruh sektor

kehidupan.

Pendekatan Hegelian seperti diadopsi oleh Muhammadiyah ini, mendapat kritik

tajam dari Alexis de Tocqueville. Ini disebabkan, karena dalam pemikiran Hegel, posisi

negara dianggap sebagai standar terakhir. Seolah-olah, hanya pada dataran negara

sajalah politik bisa berlangsung secara murni dan utuh, sehingga posisi dominan negara

bermakna positif. Dengan demikian civil society akan kehilangan dimensi politik dan

tergantung manipulasi dan intervensi negara. Pendekatan Tocquevellian yang diadopsi

NU, menekankan fungsi civil society sebagai counter balancing terhadap negara, dengan

melakukan penguatan organisasi-organisasi independen di masyarakat dan

pencangkokkan civic culture untuk membangun budaya demokratis. Pendekatan

Tocquevellian ini digunakan karena sepanjang dua dasawarsa awal Orba, NU tidak

memperoleh tempat dalam proses-proses politik. Marginalisasi politik ini, disebabkan

karena rezim Orba hanya mengakomodasi kelompok Islam yang mendukung

modernisasi, dan itu didapat dari kalangan modernis yang sudah lebih dulu melakukan

pembaruan pemikiran politik Islam. Selain itu, tentu saja, akibat rivalitas dengan

kalangan modernis yang menjadi kelompok dominan di PPP. Dengan demikian, dapat

dimengerti jika sejak muktamar 1984 di Situbondo, NU menyatakan kembali khitah

2

Page 15: Makalah Agama

1926, dan mengundurkan diri dari politik praktis, yang secara otomatis menarik

dukungan dari PPP.

Dengan motivasi seperti itu, maka sejak akhir dasawarsa 1980-an, aktivis NU

banyak diarahkan pada penciptaan free public sphere, tempat dimana transaksi

komunikasi bisa dilakukan warga masyarakat secara bebas dan terbuka. Upaya ini

dilakukan dengan cara advokasi masyarakat kelas bawah, dan penguatan LSM. Mereka

meyakini, civil society hanya bisa dibangun jika masyarakat memiliki kemandirian

dalam arti seutuhnya, serta terhindar dari jaring intervensi dan kooptasi negara. Hal ini

dapat dibuktikan dengan mengamati kiprah NU sejak awal dasawarsa 1990-an.22

4. Salah Satu Contoh Konflik Hukum Syar’i Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Permasalahan yang sampai sekarang selalu muncul dalam tubuh tubuh umat

Islam di Indonesia (terutama organisasi keagamaan di Indonesia, yaitu NU dan

Muhammadiyah) adalah qunut dalam shalat. Oleh karenanya dengan adanya penelitian

ini diharapkan akan dapat melihat akar permasalahan dari polemik tersebut. Dengan

pendekatan komparatif, penulis berusaha memaparkan dan membandingkan antara

keduanya, berkaitan dengan pengertian sampai pada pelaksanaan qunut dalam shalat.

Qunut menurut NU secara etimologi mempunyai beberapa makna, yaitu qunut

mempunyai arti doa, khusyu', ibadah, taat, pengakuan ibadah, melaksanakan ibadah,

diam, mengerjakan shalat dengan lama, melanggengkan taat.23 Sedangkan menurut

syarak yaitu doa tertentu yang dibaca dalam shalat dan masih dalam keadaan berdiri.

Qunut adalah do'a yaitu do'a yang dikerjakan secara khusuk ketika melakukan ibadah

atau shalat yang dilakukan dalam keadaan berdiri setelah rukuk sebagai ibadah kepada

Allah SWT.24

Qunut dalam pandangan Muhamadiyah yaitu qunut yang berarti berdiri lama

dalam shalat dengan membaca ayat al-qur'an dan berdo'a sekehendak hati. Penulis

dalam hal ini, dapat mengambil pengertian bahwa definisi qunut menurut Muhamadiyah

adalah berdiri lama dalam shalat untuk berdo'a atau membaca ayat al-Qur'an.

Persamaan yang dapat diambil dari permasalahan qunut menurut NU dan

Muhamadiyah adalah dalam pengambilan suatu hukum didasarkan pada al-Qur'an dan

222

Page 16: Makalah Agama

Sunnah, begitupun dalam masalah qunut tidak ada satu hukum yang digali oleh seorang

mujtahid kecuali bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah. Perbedaan qunut menurut NU

dan Muhamadiyah adalah pembagian qunut dalam tiga macam. Di antaranya:

1. qunut subuh dalam NU berarti membaca doa qunut dalam shalat subuh

sepanjang tahun sedangkan menurut Muhamadiyah adalah berdiri

sementara pada shalat subuh, sesudah ruku' pada rekaat kedua dengan

membaca doa allahumah dini fiiman hadait dan seterusnya.

2. Qunut nazilah dalam NU adalah qunut yang dibaca ketika terjadi becana

atau musibah dan disunahkan membaca qunut nazilah dalam shalat fardlu,

sedangkan menurut Muhamadiyah qunut nazilah menurut riwayat hadits

tidak boleh diamalkan, boleh dikerjakan dengan tidak menggunakan

kutukan dan permohonan pembalasan terhadap perorangan.

3. qunut witir menurut NU yang disertakan dalam shalat witir yaitu yang

dikerjakan pada tanggal 16 ke atas dalam bulan Ramadhan, sedangkan

dalam Muhamadiyah masih dalam perselisihan oleh ahli-ahli hadits.25

NU dan Muhammadiyah sebenarnya sama-sama berdasarkan Al-qur'an dan

Hadist. Persoalan yang membedakan mereka adalah cara-nya mencapai Dasar hukum

Al-qur'an dan Hadist itu. Semisal; Kalau Muhammadiyah mengambil dasar hukum

didahului dengan melihat Al-qur'an dan Hadist dulu, apakah ada dalilnya.. kalau tidak

ada barulah menkaji dan menganalogikan dengan dalil yang dekat dengan persoalan itu.

Berbeda dengan NU, Kalau ada persoalan di kaji dulu masalah itu dan kemudian dicari

dalil hukumnya dari berbagai tokoh ulama atau kyai, baru kemudian dilihat ke Al-qur'an

atau Hadist, tetapi kalau di buku-buku karangan kyai atau Ulama sudah cukup kadang

tidak terus mencari Al-qur’an dan Hadist.26

Kalau secara pergaulan dan cara kesaharian orang-orang NU dan

Muhammadiyah, NU lebih terkesan tradisional dan Muhammadiyah terkesan Modern,

secara organisatoris.

Muhammadiyah lebih banyak hidup dan besar di kota-kota, dan banyak

membuat Amal Usaha27 seperti:

222

Page 17: Makalah Agama

1.     Pendidikan diantaranya: Sekolah Modern baik ditingkat TK, SD, MI, SMP, SMA dan

Perguruan Tinggi.

2.     Kesehatan: Rumah Sakit, Balai Pengobadan, Poliklinik, RUmah bersalin, Apotik daan

lainya.

3.     Keuangan dan Ekonomi diantaranya BMT, Bank Syariah, Amal Usaha Ekonomi,

Koperasi.

4.      Sosial diantaranya Lembaga DIskusi dan lain sebagainya

Sedangkan NU lebih berkembang di Desa, dan banyak membuat Amal Usaha

Pendidikan seperti Pondok pesantren, Sekolah MI, Asrama-asrama santri, Koperasi

Santri dan Usaha amal Usaha lain.28

e. Table Ritualisasi Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah dalam

kehidupan yang bersifat Ubudiyah sehari-hari

No. Ritualisasi Nahdlatul Ulama Muhammadiyah

01. Qunut pada Sholat Subuh Menggunakan Tidak menggunakan

02. Pujian pada adzanaini Menggunakan Tidak Menggunakan

03. Roka’at Sholat Tarawih 21 Roka’at 8 Roka’at

04. Tahlilan Melaksanakan Tidak

05. Dzikir ba’da sholat Jaher Hamz

06. Selamatan (Kenduri) Melaksanakan Tidak

07. Diba’iyah/al-barjanji Melaksanakan Tidak

KESIMPULANSesungguhnya tidak ada satu pun prinsip di dalam ormas Nahdhatul Ulama dan

ormas Muhammadiyah yang bertentangan. Keduanya justru saling menguatkan. Kalau

pun ada perbedaan pendapat, sama sekali bukan pada prinsip dan AD/ART-nya,

melainkan perbedaan pendapat antara sesama anak bangsa, tapi mengatas-namakan

kedua ormas itu. Apalagi kalau dijadikan bahan perbedaan masalah hukum agama atau

khilafiyah. Sesungguhnya kedua ormas itu sama sekali tidak pernah secara resmi

menetapkan garis fiqih mereka, atau detail pendapat mereka. Apa yang dikeluarkan oleh

2

Page 18: Makalah Agama

masing-masing ulama mereka, lebih merupakan hal yang tidak mengikat kepada

anggotanya, tetapi lebih merupakan ijtihad masing-masing tokoh yang bersifat pilihan.

Muhammadiyah dan NU memiliki beberapa perbedaan mendasar, baik dalam

teologi, visi politik maupun perbedaan yang bersifat umum, dalam hal ini perbedaan

sumber daya dan infrastruktur yang kemudian berpengaruh pada jalannya kedua

organisasi tersebut kurang berimbang. Perbedaan-perbedaan yang ada mengakibatkan

antara Muhammadiyah dan NU memiliki jarak mencolok, menjadikan kedua organisasi

ini jurang pemisahnya terlalu lebar. Akibatnya, tidak produktifnya bagi perkembangan

wacana kebangsaan maupun wacana keagamaan.

Tidak pernah ada anggota Nahdhatul Ulama yang gugur keanggotaannya hanya

lantaran dia berpendapat bahwa qunut shalat shubuh itu bid’ah. Sebaliknya, tidak ada

anggota Muhammadiyah yang dikeluarkan gara-gara dia lebih merajihkan pendapat

tentang kesunnahan shalat shubuh. Apalagi kalau kita mengingat bahwa perbedaan

pendapat itu sebenarnya bukan hak paten masing-masing ormas. Juga bukan trade mark

yang unik dan membedakan jati dirinya.

DAFTAR PUSTAKA

As Syafi’i, Muhammad Idris, Al Risalah, (ed) Ahmad Muhamamd Syakir, (Beirut: Dar

al-Fikr, 1939 M/1358 H.

As-Syatibi, Abi Ishaq, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah, editor Abdullah Darras,

Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Page 19: Makalah Agama

Aziz, Moh Ali, “ Hubungan Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Ajaran Islam”,

Dialog Mahasiswa Intern Dan Antar Umat Beragama Se Jawa Timur, Surabaya,

2001.

Benda, Herri J, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terjemah Daniel Dhakidae, Jakarta:

Pustaka Jaya, 1980.

Falah, M. Fajrul, Jamiyyah NU Lampau Kini dan Datang, dalam Gur Dur NU dan

Masyarakat Sipil, Ellya KH. Darwis (ed.) Yogyakarta: LkiS, 1994.

Hamzah Wiryosukarto, Amir, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Jember

: UNMUH, 1985.

Lubis, Arbiyah, Pemkiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, Jakarta: Bulan

Bintang, 1993.

Misrawi, Zuhairi, “Mencari Konvergensi Aktivis NU dan Muhammadiyah”. Jakarta :

Artikel Kompas, 6 Juli 2001.

Sukidi,. “Tinjauan Islam atas Pluralisme Agama”. Jakarta: Artikel Kompas, 17 Juni

2001.