Makalah Agama
Transcript of Makalah Agama
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
AGAMA DAN BUDAYA
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
RAMANTA 0610 4041 1395
RENI AFRIYANI 0610 4041 1396
RIMA DANIAR 0610 4041 1397
PRODI TEKNIK ENERGI (1EGA)
DOSEN PEMBIMBING : AIMI, S.pdI
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
2010/2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya,
Kami kelompok 6 dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul Agama dan Budaya.
Dan tak lupa, sholawat serta salam kami haturkan kepada Nabi besar junjungan kita
Muhammad SAW. Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Aimi, S.pd sebagai dosen
pembimbing kami, dan teman-teman yang turut membantu dalam menyelesaikan makalah
ini.
Dalam makalah ini dibahas tentang hubungan antara agama dan budaya, agama dan
budaya memiliki persamaan dan perbedaan, apakah budaya adalah bagian dari agama? atau
agama adakah bagian dari budaya? pertanyaan ini akan kita ketahui dalam pembahasan
makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk memahami
keterkaitan antara agama dan budaya.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, untuk itu
kami mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan makalah ini dimasa mendatang.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman judul…………………………………………………………………i
Kata Pengantar………………………………………………………………..ii
Daftar isi……………………………………………………………………....iii
Pendahuluan
A. Latar Belakang………………………………………………………..1
B. Tujuan………………………………………………………………...4
C. Rumusan Masalah…………………………………………………….4
Pembahasan
A. Definisi agama………………………………………………………...5
B. Definisi budaya………………………………………………….…….7
C. Agama merupakan bagian dari kebudayaan…………………...….…..8
D. Hubungan agama dan kebudayaan…………………………………....9
E. Sikap Islam terhadap kebudayaan……………………………………12
F. Sistematika sumber ajaran agama…………………………………….15
Penutup
A. Kesimpulan……………………………………………………………23
B. Saran…………………………………………………………………..24
C. Pertanyaan dan jawaban………..……………………………………..25
D. Ayat-ayat Al-Qur’an mengenai Agama dan Budaya………………....26
Daftar Pustaka…………………………………………………………….…..29
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana ditegaskan oleh Kuntowijoyo (1991), agama dan budaya adalah dua
hal yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Pertama, agama
mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya; nilainya adalah agama, tetapi
simbolnya adalah kebudayaan. Kedua, budaya dapat mempengaruhi simbol agama.
Ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitem nilai dan simbol agama.
Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu keduanya adalah
sitem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada
perubahan. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai
yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar
dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan
menafsirkan dunia sekitar. Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta, karya,
dan karsa manusia (dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-
pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).
Baik agama maupun kebudayaan, pada prinsipnya sama-sama memberikan
wawasan dan cara pandang dalam menyikapi kehidupan agar sesuai dengan
kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anak yang baru
lahir, Islam memberikan wawasan untuk melaksanakan tasmiyah (pemberian nama)
dan akikah (penyembelihan hewan) bagi anak tersebut, sementara kebudayaan lokal
urang Banjar yang dikemas dalam bentuk tradisi baayun anak yang disandingkan
dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw atau maulid Rasul (sehingga
kemudian menjadi Baayun Maulid) memberikan wawasan dan cara pandang lain,
tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu mendoakan agar anak yang diayun menjadi
anak yang berbakti, anak yang saleh, yang mengikuti Nabi Saw sebagai uswah
hasanah dalam kehidupannya kelak.
Upaya Memahami Nalar Islam Indonesia
Dalam konteks civilization, mazhab positivisme memposisikan agama ---
sebagaimana seni dan sains--- sebagai bagian dari puncak ekspresi kebudayaan
sehingga keduanya dikategorikan sebagai peradaban, bukan hanya sekedar kultur.
Namun bagi kalangan teolog dan orang-orang yang beragama, kebudayaan adalah
perpanjangan dari perilaku agama. Atau paling tidak, agama dan budaya masing-
masing memiliki basis ontologis yang berbeda, sekalipun keduanya tidak dapat
dipisahkan. Agama bagaikan ruh yang datang dari langit, sedangkan budaya adalah
jasad bumi yang siap menerima ruh agama sehingga pertemuan keduanya
melahirkan peradaban. Ruh tidak dapat beraktivitas dalam palataran sejarah tanpa
jasad, sedangkan jasad akan mati dan tak sanggup terbang menggapai langit-langit
makna ilahi tanpa ruh agama (Komaruddin Hidayat, 2003: 27).
Clifford Geertz dalam bukunya The Interpretation of Cultures (1973) melihat
agama sebagai keyakinan-keyakinan keagamaan yang hidup dalam diri para
penganutnya dan yang terwujud dalam kompleksitas kehidupan mereka sehari-hari.
Yaitu kehidupan sehari-hari, baik yang sakral maupun yang profan. Sedangkan yang
kudus itu ada dalam teks-teks suci agama, melalui proses-proses interpretasi untuk
pemahaman agar dijadikan acuan atau pedoman bagi keyakinan-keyakinan
keagamaan dalam kehidupan penganutnya sehari-hari. Dalam keadaan demikian,
keyakinan-keyakinan keagamaan yang hidup dalam diri para penganutnya adalah
sama dengan kebudayaan dari para penganut keagamaan tersebut. Dan sebaliknya,
kebudayaan tersebut bagi para penganutnya adalah sesuatu yang sakral dan karena
itu bercorak keagamaan.
Homo Religius dan Homo Festivus
Kaitannya dengan diskursus dialektika agama dan budaya, manusia sebagai
pemeluk agama, secara antropologis memang makhluk yang paling senang
mengadakan festival sehingga wajar disebut sebagai homo festivus. Sejak dari
zaman purba hingga zaman modern agenda untuk merayakan festival tidak pernah
hilang. Yaitu sebuah pesta budaya yang bersifat publik, yang bahkan selalu
dikaitkan dengan ritus-ritus keagamaan. Pluralitas ekspresi seni budaya dan suasana
pesta adalah satu ciri pesta festival. Lebih jauh lagi, acara ini biasanya dikaitkan
dengan misi keagamaan, yaitu mengenang dan memelihara traditional wisdom, lalu
diperkaya dengan elemen-elemen mutakhir. Festival semakin gegap gempita ketika
diakukan secara massif dan menajdi simbol harga diri sebuah bangsa atau agama.
Dalam Islam, ibadah haji merupakan festival keagamaan yang amat besar
biayanya, yang pesertanya datang dari berbagai pelosok dunia (min kulli fajjin
’amiq), yang diselenggarakan setiap tahun. Begitupun halnya dengan agama-agama
lain. Ini semua menjadi bukti betapa betapa erat hubungannya antara agama dan
budaya yang kemudian tampil dalam berbagai bentuk festival keagamaan, namun
sangat kental dengan warna budaya lokalnya, sekaipun pesan dan pemaknaannya
lalu ditarik ke tataran universal.
Demikianlah, maka secara antropologis kalau kita cermati rangkaian
aktivitas sosial manusia yang segera tertangkap di mata kita adalah aktivitas festival
dan ritual keagamaan, sejak dari ramai-ramai berjamaah sholat Jum’at, Pesta Idul
Fitri, Idul Adha, peringatan hari-hari besar Islam (PHBI) dan masih banyak lagi.
Disana kita sulit memisahkan antara ekspresi agama dan budaya. Oleh karenanya,
tidak berlebihan jika manusia juga disebut sebagai homo ludens, karena senang
dengan ragam permainan, homo religius karena, karena selalu mencari dan
merindukan Tuhan, dan juga homo festivus, mengingat kegemarannya berfestival.
Islamisasi Budaya atau Membudayakan Islam?
Dalam konteks Indonesia, jalinan Islam dan budaya nusantara memang
terkesan komplit dan sejatinya harus berjalan secara sinergis dan simbiosis-
mutualistik. Agama-agama dan budaya lokal yang pada mulanya tumbuh secara
isolatif, sekarang mau tidak mau harus berinteraksi dengan yang lain ketika
pluralitas agama dan budaya tak bisa lagi dibendung . Berbagai klaim eksklusivisme
agama dan budaya sulit dipertahankan. Bahkan nasionalisme klasik yang muncul
oleh antagonisme politik sekarang bergeser menjadi nasionalisme kosmopolitan.
Bahwa kehidupan sebuah bangsa bukan lagi dikawal dengan kekuatan senjata,
melainkan dengan kemitaraan dengan bangsa lain. Di wilayah internal, yang
dilakukan bukan lagi mobilisasi massa untuk berperang melainkan memberi ruang
partisipasi publik selebar mungkin untuk bersama-sama membangun peradaban.
Maka, dimanakah posisi agama dalam menyikapi perihal di atas? Agama
hendaknya mampu mentransendensikan diri, berada di atas pluralitas budaya dan
bangsa, lalu memberikan visi, motivasi dan pencerahan kemanusiaan dalam bingkai
kebangsaan dan kebudayaan. Gerakan keagamaan pada akhirnya adalah gerakan
kebudayaan karena manifestasi akhir dari perilaku seseroang tampil dalam ranah
budaya. Dan jika sebuah agama tidak mampu mengartikulasikan diri dalam wadah
budaya sebagai gerakan emansipatoris, maka agama akan ditinggalkan orang.
Sebaliknya, gerakan kebudayaan yang tidak memiliki dimensi transenden juga tidak
akan mampu memperoleh dukungan abadi dan militan.
Dengan begitu, tugas para intelektual dan budayawan muslim adalah
bagaimana membudayakan Islam sehigga Islam lalu menjadi pohon peradaban yang
akarnya di bumi, sekalipun benih asalnya adalah langit dan pucuknya juga
menjulang ke langit. Ini berarti Islam perlu membuka diri dan bersikap inovatif serta
akomodatif terhadap dinamika lokal maupun modern, dan janganlah langkah sejarah
yang tengah berjalan ke depan dipaksa berputar balik ke belakang. Jika kita percaya
bahwa kebenaran Islam bersifat perennial, maka tidak tepat mengurung Islam di
masa lalu dalam museum yang dinamakan zaman keemasan. Begitu kata
Komaruddin Hidayat dalam Wahyu di Langt Wahyu di Bumi (Paramadina, 2003)
B. Tujuan
Kami mengharapkan pembaca dapat menambah pengetahuannya tentang keterkaitan
antara agama dan budaya. Sehingga dari makalah ini pembaca mendapatkan
pemahaman yang lebih baik mengenai agama dan budaya.
C. Rumusan masalah
1) Apakah definisi agama ?
2) Apakah definisi kebudayaan ?
3) Apakah agama bagian dari kebudayaan ?
4) Bagaimanakah hubungan islam dengan kebudayaan ?
5) Bagaimanakah sikap islam terhadap kebudayaan ?
6) Bagaimanakah sistemtika sumber ajaran islam ?
PEMBAHASAN
A. Definisi agama
“Agama, secara mendasar dan umum, dapat didefinisikan sebagai
seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia
gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia
lainnya, dan manusia dengan lingkungannya”.
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama
berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi
fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau
sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam
sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda
berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar
hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya.
Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,
nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris)
yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang
berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian
bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal)
dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal (Sumardi, 1985:71)
Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas
tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan Dalam
pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah
untuk merespons. Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti
melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan Tuhan
yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.
Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din
seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 : 19 ( Zainul Arifin Abbas,
1984 : 4). Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk
memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara
fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus syari’at yang
diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu hubungan
manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi
kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.
Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip oleh muhammad Wahyuni Nifis
(Andito ed, 1998:47) lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai
sikap keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan.
Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang memandang agama
sebagai kata benda dan sebagai kata kerja, tapi keduanya sama-sama memandang
sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan keselamatan disini dan
diseberang sana.
Dengan agama orang mencapai realitas yang tertinggi. Brahman dalam
Hinduisme, Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana, sebagai Yahweh yang
diterjemahkan “Tuhan Allah” (Ulangan 6:3) dalam agama Kristen, Allah subhana
wata’ala dalam Islam.
Sijabat telah merumuskan agama sebagai berikut:
“Agama adalah keprihatinan maha luhur dari manusia yang terungkap selaku
jawabannya terhadap panggilan dari yang Maha Kuasa dan Maha Kekal.
Keprihatinan yang maha luhur itu diungkapkan dalam hidup manusia, pribadi atau
kelompok terhadap Tuhan, terhadap manusia dan terhadap alam semesta raya serta
isinya” ( Sumardi, 1985:75)
Uraian Sijabat ini menekankan agama sebagai hasil refleksi manusia
terhadap panggilan yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Hasilnya diungkap dalam
hidup manusia yang terwujud dalam hubungannya dengan realitas tertinggi, alam
semesta raya dengan segala isinya. Pandangan itu mengatakan bahwa agama adalah
suatu gerakan dari atas atau wahyu yang ditanggapi oleh manusia yang berada
dibawah.
B. Definisi budaya
Di Indonesia, diantara para cendekiawan dan ilmuwan sosial, konsep
kebudayaan dari Profesor Koentjaraningrat amatlah populer. Dalam konsep ini
kebudayaan diartikan sebagai wujudnya, yaitu mencakup keseluruhan dari: (1)
gagasan; (2) kelakuan; dan (3) hasil-hasil kelakuan. Dengan menggunakan definisi
ini maka seseorang pengamat atau peneliti akan melihat bahwa segala sesuatu yang
ada dalam pikirannya, yang dilakukan dan yang dihasilkan oleh kelakuan oleh
manusia adalah kebudayaan.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hal. 149, disebutkan bahwa: “
budaya “ adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “ kebudayaan” adalah hasil
kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi ) manusia, seperti kepercayaan, kesenian
dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan
kecakapan ( adat, akhlak, kesenian , ilmu dll). Sedang ahli sejarah mengartikan
kebudaaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropogi melihat kebudayaan
sebagai tata hidup, way of life, dan kelakuan. Definisi-definisi tersebut menunjukkan
bahwa jangkauan kebudayaan sangatlah luas. Untuk memudahkan pembahasan,
Ernest Cassirer membaginya menjadi lima aspek :
1. Kehidupan Spritual
2. Bahasa dan Kesustraan
3. Kesenian
4. Sejarah
5. Ilmu Pengetahuan.
Aspek kehidupan Spritual, mencakup kebudayaan fisik, seperti sarana
(candi, patung nenek moyang, arsitektur) , peralatan ( pakaian, makanan, alat-alat
upacara). Juga mencakup sistem sosial, seperti upacara-upacara ( kelahiran,
pernikahan, kematian ).
Adapun aspek bahasa dan kesusteraan mencakup bahasa daerah, pantun,
syair, novel-novel.
Aspek seni dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu ; visual arts dan
performing arts, yang mencakup ; seni rupa ( melukis), seni pertunjukan ( tari,
musik, ) Seni Teater ( wayang ) Seni Arsitektur ( rumah,bangunan , perahu ). Aspek
ilmu pengetahuan meliputi scince ( ilmu-ilmu eksakta) dan humanities ( sastra,
filsafat kebudayaan dan sejarah ).
C. Agama merupakan bagian dari kebudayaan
Apakah agama itu kebudayaan ?, jawaban ini telah banyak menimbulkan
perdebatan, suatu pihak telah menyatakan bahwa agama adalah bagian dari
kebudayaan sementara pihak lainnya telah menyatakan bahwa agama bukan bagian
dari kebudayaan. Kelompok orang yang tidak setuju bahwa agama merupakan
bagian dari kebudayaan adalah pemikiran bahwa agama bukan berasal dari manusia
tetapi datang dari Tuhan, dan sesuatu yang datang dari Tuhan tidak dapat disebut
kebudayaan. Kemudian sementara orang yang menyatakan bahwa agama adalah
bagian dari kebudayaan karena praktik agama tidak dapat dilepaskan dari
kebudayaan. Memang benar wahyu yang menjadi sandaran fundamental agama itu
berasal dari tuhan, akan tetapi realisasinya dalam kehidupan adalah persoalan
manusia dan sepenuhnya tergantung pada kapasitas diri manusia sendiri baik dalam
hal kesanggupan pemikiran untuk memahaminya, maupun kesanggupan dirinya
untuk menjalankannya dalam kehidupan. Maka dalam soal ini, menurut pandangan
ini realisasi dan aktualisasi agama sesungguhnya telah memasuki wilayah
kebudayaan sehingga agama mau tidak mau menjadi soal kebudayaan.
Sebenarnya apabila ditarik garis batas antara agama dan kebudayaan itu
adalah garis batas “Tuhan dan manusia” maka wilayah agama dan wilayah
kebudayaan itu tidak statis melainkan dinamis sebab Tuhan dan manusia
berhubungan secara dialogis, dimana manusia menjadi khalifah (wakil-Nya dibumi).
Maka pada tahapan ini ada kalanya agama dan kebudayaan menempati wilayah
sendiri-sendiri dan ada kalanya keduanya menempati wilayah yang sama yaitu yang
disebut wilayah kebudayaan agama.
Agama sesungguhnya untuk manusia dan keberadaan agama dalam praktik
hidup sepenuhnya berdasar pada kapasitas diri manusia, bukan sebaliknya manusia
untuk agama. Oleh karena itu agama untuk manusia maka agama pada hakekatnya
menerima adanya pluralitas dalam memahami dan menjalankan ajarannya. Jika
agama untuk manusia maka agama sesungguhnya telah memasuki wilayah
kebudayaan dan menyejarah menjadi kebudayaan dan sejarah agama adalah sejarah
kebudayaan agama yang menggambarkan dan menerangkan bagaimana terjadi
proses pemikiran, pemahaman, dan isi kesadaran manusia tentang wahyu, doktrin
dan ajaran agama, yang kemudian dipraktikkan dalam realitas kehidupan manusia
dan dalam sejarah perkembangan itu, sehingga agama yang menyejarah telah
sepenuhnya menjadi wilayah kebudayaan, karena tanpa menjadi kebudayaan, maka
sesungguhnyasejarah agama-agama itu tak akan pernah ada dan tak akan pernah
dituliskan.
D. Hubungan agama dan kebudayaan
Islam adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rohmat bagi
alam semesta. Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan
manusia di dunia ini. Allah swt sendiri telah menyatakan hal ini, sebagaimana yang
tersebut dalam ( QS Toha : 2 ) :
“ Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kapadamu agar kamu menjadi
susah “. Artinya bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk Al Qur’an ini,
akan dijamin oleh Allah bahwa kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera dunia
dan akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan mengingkari ajaran
Islam ini, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan penuh
penderitaan.
Ajaran-ajaran Islam yang penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini,
tentunya mencakup segala aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun bentuk
kegiatan yang dilakukan manusia, kecuali Allah telah meletakkan aturan-aturannya
dalam ajaran Islam ini. Kebudayaan adalah salah satu dari sisi pentig dari kehidupan
manusia, dan Islampun telah mengatur dan memberikan batasan-batasannya.
Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara agama ( termasuk Islam )
dengan budaya, kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : mengapa
manusia cenderung memelihara kebudayaan, dari manakah desakan yang
menggerakkan manusia untuk berkarya, berpikir dan bertindak ? Apakah yang
mendorong mereka untuk selalu merubah alam dan lingkungan ini menjadi lebih
baik ?
Sebagian ahli kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk
berbudaya merupakan dinamik ilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan karya
sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain
daripada proses realisasidiri dari roh ilahi. Sebaliknya sebagian ahli, seperti Pater
Jan Bakker, dalam bukunya “Filsafat Kebudayaan” menyatakan bahwa tidak ada
hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa agama
merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan
ilahi. Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan,
sedang kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa
ditemukan. Adapun menurut para ahli Antropologi, sebagaimana yang diungkapkan
oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA bahwa agama merupakan salah satu unsur
kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa manusia
mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk
menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia
sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci
masing- masing agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut
sesuai dengan kemampuan yang ada.
Di sinilah, bahwa agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai
tingkah laku keagamaan, masih menurut ahli antropogi,bukanlah diatur oleh ayat-
ayat dari kitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci
tersebut.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa para ahli kebudayaan
mempunyai pendapat yang berbeda di dalam memandang hubungan antara agama
dan kebudayaan. Kelompok pertama menganggap bahwa Agama merupakan sumber
kebudayaaan atau dengan kata lain bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari
agama itu sendiri. Pendapat ini diwakili oleh Hegel. Kelompok kedua, yang di
wakili oleh Pater Jan Bakker, menganggap bahwa kebudayaan tidak ada
hubungannya sama sekali dengan agama. Dan kelompok ketiga, yeng menganggap
bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri.
Untuk melihat manusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya
dari satu sisi saja. Islam memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting,
yaitu unsur tanah dan unsur ruh yang ditiupkan Allah kedalam tubuhnya. Ini sangat
terlihat jelas di dalam firman Allah Q.S As Sajdah 7-8 :
“ ( Allah)-lah Yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia
menciptakan keturunannya dari saripati air yan hina ( air mani ). Kemudian Dia
menyempurnakan dan meniupkan ke dalam ( tubuh )-nya roh ( ciptaan)-Nya “
Selain menciptakan manusia, Allah swt juga menciptakan makhluk yang
bernama Malaikat, yang hanya mampu mengerjakan perbuatan baik saja, karena
diciptakan dari unsur cahaya. Dan juga menciptakan Syetan atau Iblis yang hanya
bisa berbuat jahat , karena diciptkan dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana
tersebut di atas, merupakan gabungan dari unsur dua makhluk tersebut.
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa manusia ini mempunyai dua pembisik;
pembisik dari malaikat , sebagi aplikasi dari unsur ruh yang ditiupkan Allah, dan
pembisik dari syetan, sebagai aplikasi dari unsur tanah. Kedua unsur yang terdapat
dalam tubuh manusia tersebut, saling bertentangan dan tarik menarik. Ketika
manusia melakukan kebajikan dan perbuatan baik, maka unsur malaikatlah yang
menang, sebaliknya ketika manusia berbuat asusila, bermaksiat dan membuat
kerusakan di muka bumi ini, maka unsur syetanlah yang menang. Oleh karena itu,
selain memberikan bekal, kemauan dan kemampuan yang berupa pendengaran,
penglihatan dan hati, Allah juga memberikan petunjuk dan pedoman, agar manusia
mampu menggunakan kenikmatan tersebut untuk beribadat dan berbuat baik di
muka bumi ini.
Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan
untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islam
mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah
pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian
Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia
agar bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat
manusia. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya,
untuk selalu menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia
ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian,
Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “ berbudaya “. Dan dalam
satu waktu Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini,
mungkin bisa dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama. Teori
seperti ini, nampaknya lebih dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel di atas.
E. Sikap Islam terhadap Kebudayaan
Islam, sebagaimana telah diterangkan di atas, datang untuk mengatur dan
membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang.
Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah
dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam
menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak
bermanfaat dan membawa madharat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu
meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju
kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat
kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar
Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat
perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32,
disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan
persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang
dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.
Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :
Pertama : Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam.
Dalam kaidah fiqh disebutkan : “ al adatu muhakkamatun “ artinya bahwa
adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya
manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu
dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada
ketentuannya dalam syareat, seperti ; kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan,
di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya, menentukan
jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam Islam budaya itu syah-syah
saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar yang harus diberikan
kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan Masjid, dibolehkan memakai
arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk Joglo.
Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam
Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan
standar hukum. Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam
sebuah harian yang menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan
dalam Islam dengan dalil “ al adatu muhakkamatun “ karena nikah antar agama
sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di
atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa
seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir.
Kedua : Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam ,
kemudian di “ rekonstruksi” sehingga menjadi Islami.Contoh yang paling jelas,
adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang
bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang sarat dengan
kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk meronstruksi
budaya tersebut, menjadi bentuk “ Ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya.
Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantukan syair-syair Jahiliyah. Oleh
Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan, tetapi direkonstruksi isinya agar
sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Ketiga: Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.Seperti, budaya “
ngaben “ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat
yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara
besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang
meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan
biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kalimantan
Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat. Bedanya,
dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu lesung
lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan digali lagi
untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak
penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar,
karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di
daerah Toraja, untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan biaya
yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang
berupa kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah.
Mereka mempunyai budaya “ Tumpeng Rosulan “, yaitu berupa makanan yang
dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada
Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan
selatan ( Samudra Hindia ).
Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan
dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam
melarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak
mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat
kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang
menurunkan derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-
hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia
yang sudah meninggal dunia.
Dalam hal ini al Kamal Ibnu al Himam, salah satu ulama besar madzhab
hanafi mengatakan : “ Sesungguhnya nash-nash syareat jauh lebih kuat daripada
tradisi masyarakat, karena tradisi masyarakat bisa saja berupa kebatilan yang telah
disepakati, seperti apa yang dilakukan sebagian masyarakat kita hari ini, yang
mempunyai tradisi meletakkan lilin dan lampu-lampu di kuburan khusus pada
malam- malam lebaran. Sedang nash syareat, setelah terbukti ke-autentikannya,
maka tidak mungkin mengandung sebuah kebatilan. Dan karena tradisi, hanyalah
mengikat masyarakat yang menyakininya, sedang nash syare’at mengikat manusia
secara keseluruhan., maka nash jauh lebih kuat. Dan juga, karena tradisi dibolehkan
melalui perantara nash, sebagaimana yang tersebut dalam hadits : “ apa yang
dinyatakan oleh kaum muslimin baik, maka sesuatu itu baik “
F. SISTEMATIKA SUMBER AJARAN AGAMA
Apabila membicarakan sistematika sumber ajaran agama, agama islam
mempunyai sistematika ajaran yang terdisri dari atas; (1) Al-qur’an (2) As-sunnah
dan (3) Al-Ra’yu. Sistematika dimaksud di uraikan sebagai berikut
1 . Al-qur’an
Al-qur’an adalah sumber ajaran islam yang pertama memuat kumpulan
wahyu allah yang disampaikan kepada nabi Muhammad saw. Di antara kandungan
isinya ialah peraturan hidup untuk mengatur kehidupan manusia dalam
hubungannya dengan allah, dengan perkambangan dirinya, dengan sesama manusia,
dan hubunganya dengan alam serta makluk lainnya. Al-qur’an memuat ajaran
islam di antaranya: (1) prinsip-prinsip keimanan kepada allah, malaikat, kitab, rasul,
hari akhir, qadha, qadhar, dan sebagainya; (2) prinsip-prinsip syariah mengenal
ibadah khas (shalat, puasa, zakat, haji ) dan ibadah umum ( perekonomian,
pernikahan, pemerintah, hokum pidana, hokum perdata, dan sebagainya); (3) janji
kepada orang yang berbuat baik dan ancaman kepada orang yang berbuat jahat
( dosa); (4) sejarah nabi yang terdahulu, masyarakat, dan bangsa terdahulu (5) ilmu
pengetahuan mengenai ilmu ketauhidan, agama, hal-hal yang menyakut manusia,
masyarakat dan yang berhubungan dengan alam
Al-qur’an kitab suci yang berisi wahyu ilahi menjadi pedoman hidup yang
tidak ada keraguan di dalamnya. Selain itu al-quran menjadi petunjuk yang dapat
menciptakan manusia untuk menjadi takwa kepada Allah SWT. Meskipun kegiatan
muamalah terjadi sacara interaktif antara sesame makluk, termasuk alam semesta;
namun hendaknya di perhatikan oleh manusia bahwa semua kegiatan itu berada
dalam kegiatan beribadah kepada Allah SWT. Dengan demikian menurut ahmad
sadali seperti di kmutip oleh penulis bahwa semua perbuatan manusia adalah ibadah
kepada allah sehingga tidak bole bertentangan dengan hukum Allah SWT dan di
tujukan untuk mencapai keridhn-Nya
Al-qur’an sebagai kitab suci yang berisi petunjuk memuat 6666 ayat. Jumlah
itu hanya 5,8 persen dari seluruh ayat Al-qur’an yang mempunyai perincian. Hal ini
di ungkapkan karakterristik ayat-ayat sebagai berikut.
1) Ibadah sholat, puasa, haji; zakat, dan lain-lain 140 ayat.
2) Hidup kekeluargaan, perkawinan, perceraian, mhak waris, dan sebagainya 70
ayat.
3) Perdagangan/perekonomian, jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam,
gadai, perseroan, kontrak, dan sebagainya 70 ayat
4) Persoalan kriminologi 30 ayat.
5) Hubungan islam dengan non-islam 25 ayat.
6) Persoalan kehakiman/pengadilan 13 ayat.
7) Hubungan si kaya dan si miskin 10 ayat
8) Persoalan kenegaraan 10 ayat.
Jumlah ayat al-qur’an yang mempunyai perincian secara keseluruhan yang di
ungkapkan di atas adalah 368 ayat. Dari jumlah 368 ayat tersebut, 228 ayat yang
merupahkan soal hidup kemasyarakatan umat. Berdasarkan perincian dan klasifikasi
ayat-ayat al-qur’an dimaksud menunjukan bahwa ayat-ayat yang mengatur soal
hidup kekeluargaan dan kehidupan ekonomi mempunyai jumlah besar. Angka
mengenai hidup kekeluargaan ini besar karena keluargalah yang mempunyai unit
masyarakat terkecil dalam setiap masyarakat. Dari keluarga yang baik, makmur, dan
bahagia tercipta masyarakat yang baik, makmur, dan bahagia. Keluarga yang tidak
kuat ikatanya tidak akan membentuk masyarakat yang baik. Oleh karena itu
keteguhan ikatan kekeluargaan perlu di peliara dan di sinilah terletak salah sebabnya
maka ayat-ayat ahkam mementingkan soal hidup kekeluargaan. Membentuk
individu untuk menjadi baik dan berbudi pekeri yang luhur sebab individu yang
tidak mempunyai budi pekerti luhur tidak akan dapat terwujud keluarga yang baik
Selain itu perlu di ungkapkan bahwa ayat-ayat ahkam mengenai hidup
bermasyarakat selain kecil jumlah keseluruhanya bersifat umum, dalam pengertian
hanya memberikan garis-garis besarnya tanpa perincian. Ini berlainan tegas dan
lebih terperinci ayat-ayat ahkam mengenai ibadah. Wahyu dalam hal ini lebih tegas
dan terperinci. Masyarakat bersifat dinamis mengalami perubahan dari zaman ke
zaman dan kalu di atur dengan hukum-hukum yang berjumlah besar lagi terperinci
akan menjadi terikat dan tak dapat berkembang sesuai dengan peradaban zaman.
Disini pula terletak hikmanya maka ayat-ayat ahkam mengenai hidup
kemasyarakatan berjumlah kecil dan hanya membawa pedoman dasar perincian.
Oleh karena itu hanya dasar-dasar inilah yang perlu dan wajib di pegang dalam
mengatur hidup kemasyarakatan umat di segala tempat dan zaman. Dengan kata lain
dasar-dasar itulah yang tidak dapat di ubah oleh manusia sedang interpretasi,
perincian dan pelaksannya, itu berubah menurut tuntunan zaman. Di sekitar
interpretasi dasar-dasar inilah hukum dalam islam berkembang demikian juga
bidang ilmu lainnya.
2. Sunnah Nabi Muhammad Saw
Sunnah nabi Muhammad saw merupahkan ajaran islam yang kedua. Hal-hal
yang di ungkapkan oleh al-qur’an yang bersifat umum atau memerlukan penjelsan
nabi Muhammad saw di jelaskan melalui sunnah. Sunah dimaksud adalah perbuatan,
perkataan, dan perizinan nabi Muhammad saw (af’alu, azwalu, dan taqriru).
Pengertian sunnah yang demikian mempunyai kesamaan dengan pengertian hadist.
3. Al-ra’yu
Kata Al-Ra’yu dalam bahasa arab berasal dari akar kata ra’a yang berarti
meliat. Al-ra’yu bearti pengliatan. Pengeliatan di sini adalah pengeliatan akal bukan
pengeliatan mata mesipun pengeliatan mata sering kali sebagai alat bantu
terbentuknya pengeliatan akal sebagaimana halnya pendengaran, perabaan,
perasaan, dan sebagainya. Al-ra’yu terbentuk sebagai hasil suatu proses yang terjadi
pada otak manusia setelah terlebih dahulu memperoleh masukan. Masukan
dimaksud dapat terjadi pada saat sebelum dan sesudah terjadi proses pemikiran.
Oleh karena itu sering terjadi bahwa hasil proses pemikiran ini sangat tergantung
kepada jumlah masukan yang dimiliki oleh seseorang makin kaya masukan tersebut
makin kaya dalam proses pemikiran. Proses pemikiran ini amat tergabtung pada
masukan atau proses asoiasi dalam menganalisis, dan membuat sintesis yang akan
melahirkan suatu kesimpulan. Proses tersebut disebut ijtihad. Orang yang
melakukan ijtihad itu disebut mujtahid.
Ijtihad pada saat ini lebih penting di bandingkan di masa nabi muhhamad
saw meskipun pada masa nabi muhammad saw, ijtihad itu sudah di lakukan oleh
mu’az bin jabal, yaitu ketika di angkat menjadi gubernur di yaman. Setelah nabi
Muhammad saw wafat, ijtihad semakin berkembang bahkan abu bakar sendiri
meningatkan kaumnya agar di kritik bila melakukan ijtihad yang salah. Hal ini di
ucapkan pada pidato pertama ketika diangkat menjadi khalifah.
Apabila diamati fenomena masalah keagamaan saat ini kita temukan bahwa
banyak permasalahan yang belum di atur oleh Al-qur’an dan Al-hadist. Karena
banyaknya permasalahan dimaksud sehingga Al-qur’an sering kita temukan
memerintah kepada manusia untuk mengunakan akal pemikirannya. Bukan hanya
demikian tetpi merupahkan proses alamiah bahwa manusia akan berpikir dan
mengunakan pikiran semaksimal mungkin.
Selain ijtihad qiyas ( analogi ) meruphkan salah satu teknik berpikir. Oleh
karena itu bila seseorang membenarkan adanya ijtihad maka benar pula adanya
qiyas. Meskipun kebenaran dimaksud mempunyai syarat bagi orang yang berhak
berijtihad dlam masala keagamaan. Ijtihat dapat dilakukan bila tidak ada ayat al-
quran dan al-hadist yang jelas mengenai suatu masalah social kemasyarakatan atau
masalah laiinya. Hal-hal yang demikian itulah menjadi focus kajian di dalam ijtihad
sehingga biasa disebut sumber dinamika ajaran agama islam. Apabila ijtihad di liat
dari pelaksanaannya dalam mengantisipasi permasalahan yang muncul dan orang-
orang yang ikut mengistinbatkan hukum dalam menyelesaikan persoalan dsebut
ijtihad fardi dan ijtihad jama’i. ijtihad fardi adalah setiap ijtihad yang dilaksanakan
dan mendapat persetujuan dari beberapa orang mujtahid. Hal ini bersifat regional.
Ijtihad jama’I adalah setiap ijtihad yang dilaksanakan dan mendapat persetujuan dari
seluruh orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Hal ini bersifat nasional. Al-
ra’yu merupahkan sumber dinamika dalam ajaran islam sehingga selalu sesuai
perkembangan ilmu pengetahuan. Al-rayu mengandung beberapa pengertian di
antaranya sebagai berikut.
A. Ijma’
Ijma’ adalah kebulatan pendapat fuqaha mujtahidin pada sesuatu massa atas
sesuatu hukum sesudah masa nabi Muhammad saw.
B. Ijtihad
Ijtihad adalah perincian ajaran islam yang bersumber dari al-quran dan al-
hadist yang bersifat umum. Orang yang melakukan perincian dimaksud disebut
mujtahid. Mujtahid adalah orang yang memenuhi persaratan untuk melakukan
perincian hukum dari ayat-ayat al-quran dan al-hadist yang bersifat umum.
C. Qiyas
Qiyas ( kiyas ) adalah mempersamakn hukum sesuatu perkara yang belum
ada ketetapan hukumnya dengan sesuatu perkara yang sudah ada ketentuan
hukumnya. Persamaan ketentuan hukum dimaksud di dasari oleh adanya unsure-
unsur kesamaan yang sudah ada ketetapan hukumnya dengan yang belum ada
ketetapan hukumnya yang disebut illat
D. Istihsan
Istihsan adalah mengecualikan hukum sesuatu peristiwa dari hukum
peristiwa-peristiwa lain yang sejenisnya dan memberikan kepadanya hukum yang
lain yang sejenisnya. Pengecualian dimaksud dilakukan karena adanya dasar yang
kuat. Sebagai contoh, seseorang wanita mulai dai kepalanya kakinya, aurat.
Kemudian diberikan allah dan rasul keizinan kepada manusia meliat beberapa
bagian badannya bila diangap perlu.
E. Maslahat mursalah
Maslhat mursalah adalah penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan
(kebaikan, kepentingan ) yang tidak ada ketentuan dari syara baik ketentuan umum
maupun ketentuan khusus. Sebagai contoh mendahulukan kepentingan umum dari
kepentingan pribadi dan golongan
F. Zadduz’zari’ah atau shad al-dzara’i
Zadduz zari’ah adalah menghambat atau menutup sesuatu yang menjadi
jalan kerusakan untuk menolak kerusakan. Sebagai contoh melarang orang
meminum seteguk minuman memebukan 9 padahal seteguk itu tidak memebukan )
untuk menutup jalan sampai kepada meminum yang banyak.
G. ‘urf
‘urf adalah kebiasaan yang sudah turun-menurun tetapi tidak bertentangan
dengan ajaran islam. Sebagai contaoh jual beli dengan serah terima tanpa
mengucapkan ijab-qabul
KESIMPULAN
Kebudayaan merupakan hasil budi daya yang timbul dari alam pikirannya yang
mencakup segala macam perilaku, corak dan bentuk pakaian, bangunan, kesenian dan lain-
lain.
Agama merupakan pedoman hidup manusia yang berfungsi memelihara integritas
dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam
sekitarnya tidak kacau. Berdasarkan Q.S. Ali ‘Imran ayat 19, yang artinya:
“ Sesungguhnya agama disisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang
yang telah diberi kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di
antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat
cepat perhitungan-Nya”.
Hubungan Agama dan budaya yaitu Allah telah memberikan kepada manusia sebuah
kemampuan dan kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan
agar bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia.
Sistematika sumber ajaran Islam terdiri dari Al-qur’an, As Sunnah, dan Ar Ra’yu
(ijtihad).
SARAN DAN KRITIK
Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan
saran dan kritik yang konstruktif dari peserta diskusi untuk memperbaiki makalah kami.
PERTANYAAN DAN JAWABAN
1. Jelaskan pengertian dari sikap terbuka menurut islam?
Jawab :
Sikap terbuka menurut islam adalah sikap dimana kita dapat berperilaku yang
berakal budi yang sejalan dengan beberapa nilai agama islam. Sikap terbuka
hendaknya dibangun berdasarkan prinsip kebebasan berpikir, berpendapat dalam
mimbar akdemik yang dinamis. Oleh karena itu, dalam islam sikap terbuka
sangatlah penting demi terciptanya kedamaian di tengah masyarakat.
2. Apa hubungan sikap terbuka dalam pendidikan?
Jawab:
Hubungan antara sikap terbuka dalam pendidikan adalah dengan adanya sikap
terbuka kita dapat memfilter ajaran-ajaran yang masuk kedalam ranah pendidikan itu
yang baik-baik saja. Misalnya pendidikan untuk membuat computer yang canggih.
Sedangkan pendidikan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam ditinggalkan misalnya:
model-model pakaian yang kurang dasar. Oleh Karen itu, perlu diungkapkan disini
bahwa perkembangan ilmu agama, sains, filsafat tidak lain untuk membutikan secara
historis bahwa agama tidak bertentangan dan tidak menghambat pembangunan
social budaya dan pendidikan.
3. Bagaimana menurut pendapat Anda pernyataan umat islam yang menyatakan bahwa
pemikiran rasional dan filosofis itu adalah pengaruh orang barat, dan bukan
pengaruh ajaran Al-qur’an dan hadist?
Jawab:
Menurut kelompok kami pemikiran rasional dan filosofis itu hanya berpengaruh
terhadap kesenian saja. Sebenarnya pemikiran rasional dan filosofis itu secara
implicit dibawa oleh orang ke Eropa melalui penerjemah buku filsafat dan sains
islam kedalam bahasa latin. Oleh karena itu, pada abad ke-19 Muhammad Abduh
dan Al-thantawi di Mesir menegaskan bahwa apa yang dibawa oleh orang barat itu
sebenarnya milik islam yang dikembangkan di Eropa.
4. Bagaimana sikap kita terhadap kebudayaan dan keagamaan yang dianut oleh
masyarakat Yogyakarta?
Jawab:
Sikap kita sebaiknya yaitu tetap mempertahankan akidah yang digunakan dalam
islam walaupun banyak kegiatan masyarakat Yogykarta yang bertentangan dengan
Islam sepert sesajen. Maka secara antropologis kalau kita cermati rangkaian
aktivitas sosial manusia yang segera tertangkap di mata kita adalah aktivitas festival
dan ritual keagamaan, sejak dari ramai-ramai berjamaah sholat Jum’at, Pesta Idul
Fitri, Idul Adha, peringatan hari-hari besar Islam (PHBI) dan masih banyak lagi.
Disana kita sulit memisahkan antara ekspresi agama dan budaya. Oleh karenanya,
tidak berlebihan jika manusia juga disebut sebagai homo ludens, karena senang
dengan ragam permainan, homo religius karena, karena selalu mencari dan
merindukan Tuhan, dan juga homo festivus, mengingat kegemarannya berfestival.
5. Apa hubungan Ar ra’yu dengan kebudayaan Islam?
Jawab:
Ar Ra’yu Yaitu usaha menggunakan kemampuan berpikir untuk menetapkan hukum
syari’at dengan berdasarkan Al-qur’an dan hadist. Oleh karena itu, hubungannya
dengan kebudayaan islam jelas bahwa kebudayaan itu dipikirkan untuk
kemaslahatan bersama seperti kaligrafi, seni ukir pahat masjid, rebana dan lain-lain.
6. Sebutkan contoh-contoh dari ijma’, ijtihad, qiyas, istishan, maslahat mursalah,
zadduz zari’ah, dan urf?
Jawab:
Contoh ijma’ yaitu sholat lima waktu, contoh ijtihad yaitu penentuan tanggal
menurut bulan missal 1 ramadhon dan 1 syawal, contoh qiyas yaitu apabila berzina
maka akan dirajam, contoh istishan yaitu aurat seorang wanita dimata suami, contoh
maslahat mursalah yaitu mendahulukan kepentingan umum dari kepentingan pribadi
atau golongan, contoh zadduz zari’ah yaitu melarang orang meminum minuman
keras (khamar), contoh ‘urf yaitu jual beli dengan mengucapkan ijab-qabul.
7. Apa pengertian dari maqbul dan mardud serta berikan contohnya?
Jawab:
Maqbul ialah hadist yang mesti diterima sesuai dengan apa yang diperbuat oleh
Rosulullah
Mardud ialah hadist yang mesti ditolak dan bertentangan dengan apa yang dilakukan
oleh Rosulullah.
8. Jelaskan maksud dari mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal)
dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal?
Jawab:
Maksudya adalah kita sebagai manusia haruslah menyembah yang menciptakan kita
yaitu Allah SWT oleh karenanya, kita harus menjalankan kewajiban kita misalnya
sholat lima waktu, puasa di bulan ramadhan, zakat fitraah, dan lain-lain. Tak lupa
pula sebagai makhluk social hendaknya kita menjalin tali silaturahmi sesama umat
manusia, sesama umat beragama dan terhadap lingkungan sekitar agar hidup kita
dapat berjalan selaras, seimbang, dan sejahtera.
AYAT-AYAT AL-QUR’AN MENGENAI AGAMA DAN BUDAYA
39:23 “Allah telah menurunkan perkataan (hadis) yang terbaik, kitab yang tetap
mutunya, dan menjelaskan dari segala cara. Kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya
gemetar, kemudian kulit dan hati mereka menjadi tenang diwaktu mengingat Allah. Itulah
petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya".
17:36 “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggungan jawabnya”.
2:170 “Dan ketika dikatakan kepada mereka, Ikutilah apa yang diturunkan Allah,
mereka berkata: Tidak! Kami hanya mengikuti apa yang diikuti oleh nenek moyang kami.
Walaupun apa yang diikuti oleh nenek moyang mereka sama sekali tidak masuk akal atau
tidak mengikuti jalan yang benar”.
3:138 “Al Quran ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta
pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa”.
3: 19“ Sesungguhnya agama disisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-
orang yang telah diberi kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian
di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat
cepat perhitungan-Nya”
20:2 “ Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kapadamu agar kamu menjadi susah “.
10:57 “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat
bagi orang-orang yang beriman.”
[26:224] Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.
[26:225] Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah”
[26:226] dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak
mengerjakan(nya)?,
[26:227] kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan
banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan
orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Notowidagdo, Rohiman.1996.ilmu budaya dasar berdasarkan Al-qur’an dan
Hadist.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada
Karim, Al-khatib Abdul.2004. Islam menjawab tuduhan.Jakarta:Tiga Serangkai
Anwar, KH Moch.1994.Persoalan umat dalam pandangan ulama.Bandung: Sinar
Baru Algensindo
Syarmuddin, Drs. Ahmad.2006.Tuntunn dienul islam.Palembang:LPPTKA-
BKPRMI
http://zuljamalie.blogdetik.com/category/agama-budaya
http://www.imabasurabaya.co.cc/2009/11/dialektika-agama-dan-budaya.html
http://prasetijo.wordpress.com/2009/05/11/pendekatan-budaya-terhadap-agama/)
http://ahmadzain.wordpress.com/2006/12/08/relasi-antara-islam-dan-kebudayaan/