MAJOR RECURRENT APHTHOUS STOMATITISerepo.unud.ac.id/id/eprint/13589/1/1507ded56cfceb5533a...4 Gambar...

16
MAJOR RECURRENT APHTHOUS STOMATITIS drg. Nyoman Sidi Wisesa PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR BALI 2017

Transcript of MAJOR RECURRENT APHTHOUS STOMATITISerepo.unud.ac.id/id/eprint/13589/1/1507ded56cfceb5533a...4 Gambar...

  • MAJOR RECURRENT APHTHOUS STOMATITIS

    drg. Nyoman Sidi Wisesa

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS UDAYANA

    DENPASAR BALI

    2017

  • ii

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas

    karunia-Nya saya dapat menyusun tulisan ini tepat pada waktunya dengan Judul

    “Recurrent Aphthous Stomatitis”.

    Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna seperti yang

    diharapkan dikarenakan keterbatasan kemampuan dan keilmuan yang kami miliki,

    Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang

    bersifat membangun, demi kebaikan ini.

    Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi

    pembaca pada umumnya. Terima Kasih.

    Denpasar, 01 Juni 2017

    Penulis

  • iii

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR ............................................................................... ii

    DAFTAR ISI .............................................................................................. iii

    DAFTAR GAMBAR.................................................................................iv

    BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

    BAB II LAPORAN KASUS ..................................................................... 3

    BAB III KAITAN DENGAN TEORI ...................................................... 9

    BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN................................................... 12

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 13

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS; Recurrent Aphthous Ulcers; Canker

    Sores) adalah salah satu penyakit pada rongga mulut yang paling sering terjadi,

    dan termasuk dalam kelompok penyakit inflamasi kronis pada mukosa mulut.

    RAS ini dapat muncul pada semua usia, tetapi paling sering dijumpai pada

    kelompok usia 20-30 tahun. Adapun karakteristik utama dari RAS adalah adanya

    ulser yang menyakitkan dan dapat timbul kembali pada mukosa mulut. RAS

    memiliki etiologi yang belum diketahui secara pasti tetapi memiliki faktor

    predisposisi seperti trauma, siklus menstruasi, riwayat RAS dalam keluarga, HIV,

    stres, dan defisiensi nutrisi.1,2

    RAS terdiri dari 3 tipe, yaitu Minor aphthae (Mikulicz’s aphthae; MiRAS),

    Major aphthae (Sutton’s aphthae; MaRAS), dan Herpetiform aphthae (HeRAS).

    Minor RAS memiliki karakteristik seperti ulser kecil dengan diameter dibawah 4

    mm. RAS jenis ini memiliki proses penyembuhan yang berlangsung sekitar 7-14

    hari tanpa disertai jaringan parut. Sedangkan Major RAS merupakan ulser besar

    dengan diameter lebih dari 10 mm, serta proses penyembuhan yang membutuhkan

    waktu 2-12 minggu disertai dengan jaringan parut. Adapun Herpetiform RAS

    merupakan multipel ulser berjumlah 10-100 ulser dengan diameter sekitar 1-2

    mm. RAS jenis ini memiliki proses penyembuhan yang sama dengan Minor RAS,

    hanya saja disertai dengan jaringan parut pada saat ulser tumbuh berdekatan dan

    menyatu.3,4

    Penatalaksanaan RAS harus berdasarkan dari seberapa parahnya penyakit

    ini, seperti RASa sakit yang disebabkan oleh Minor RAS dapat diredakan oleh

    obat anestetik topikal atau topical NSAID dan untuk Major RAS dapat

    menggunakan obat steroid topical seperti fluocinonide, betamethasone, atau

    clobetasol.5,6

    Pada kasus ini dilaporkan pasien mengalami ulser major multipel dengan

    pemeriksaan intraoral terdapat ulser berwana putih dikelilingi kemerahan warna

    merah, terasa sangat sakit dan tidak kunjung sembuh selama 7 bulan pada bagian

  • 2

    mukosa bukal kanan dan mukosa labial bawah. Diagnosis klinisnya adalah RAS

    tipe Major dengan infeksi sekunder yang disebabkan oleh perubahan flora normal

    pada mulut.6 Oleh karena itu, penulis akan mengelaskan lebih lanjut mengenai

    kasus ini.

  • 3

    BAB II

    LAPORAN KASUS

    2.1 Case

    Seorang pasien laki-laki berumur 22 tahun dirujuk ke bagian penyakit

    mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya oleh seorang

    dokter gigi dari Madiun. Pada bagian kanan mukosa bukal pasien ini terdapat

    ulser yang tidak sembuh dalam waktu yang lama. Dari hasil anamnesis diketahui

    bahwa sekitar 7 bulan yang lalu pasien memiliki ulser dibagian belakang mukosa

    bukal. Setelah mengonsumsi “Adem Sari” ulser tersebut sembuh. Seminggu

    kemudian, sebuah ulser kembali muncul pada area yang sama namun di lokasi

    yang berbeda. Pasien kemudian kembali mengonsumsi “Adem Sari”, tetapi ulser

    tersebut tidak mengalami penyembuhan. Dalam beberapa hari, beberapa ulser

    muncul pada area tersebut dan terasa sangat sakit. Lesi tersebut telah ditangani

    oleh beberapa dokter gigi dan diberi beberapa jenis obat. Setelah itu, lesi yang

    muncul menjadi lebih kecil dan rasa sakitnya berkurang, tetapi justru kembali

    bertambah besar dan sakit. Pasien tersebut kemudian mengunjungi dokter gigi di

    Rumah Sakit Haji dan diobati dengan asam mefenamat, clindamycin, dan obat

    kumur chlorhexidine, rasa sakit dari lesi tersebut berkurang namun belum hilang

    dari lokasi tersebut. Sebelum ulser ini muncul, pasien sering memiliki sebuah

    ulser kira – kira sekali dalam sebulan, namun pasien tidak mengingat kapan hal

    tersebut terjadi. 6

    Hasil uji klinis menunjukkan pasien berada dalam kondisi yang baik.

    Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak kurang lebih 5 tahun yang lalu. Tidak

    terdapat riwayat kelainan pada pasien dan keluarga pasien. 6

  • 4

    Gambar 1. Ulser dan luka yang ditemukan dalam rongga mulut pasien

    Pemeriksaan ekstraoral menunjukkan pembengkakan halus pada pipi

    sebelah kanan, fisura dan deskuamasi pada ujung dari bibir, dan lymphaedenitis

    kronis pada kelenjar submandibular. Pemeriksaan intraoral menunjukkan dua

    buah ulser mukosa labial bagian kanan bawah, ulser dengan bentuk irregular

    dengan diameter kurang lebih 8 mm, tepinya mengalami peninggian, dikelilingi

    oleh dasar erythematous, diselubungi oleh pseudomembran putih, dan terasa sakit

    (gambar 1-A). Lalu terdapat ulser berbentuk lingkaran dengan diameter kira – kira

    6 mm, tepi mengalami peninggian, dikelilingi oleh halo erythematous, diselubungi

    oleh pseudomembran berwarna putih, dan terasa sakit (gambar 1-B). Pada mukosa

    bukal bagian kanan ditemukan ulser berbentuk irregular dengan ukuran kira – kira

    4 x 10 mm, mengalami peninggian di tengah, dikelilingi oleh dasar erythematous,

    diselubungi oleh pseudomembran putih, dan terasa sakit. Erosi, fisura, dan scars

    (gambar 1-C) juga ditemukan di area ini. Pada bagian bawah lipatan mukosa

    bukal terdapat ulser dengan bentuk irregular dengan diameter kira – kira 10 mm,

    gelas dan tepi mengalami peninggian, dikelilingi oleh halo erythematous,

    diselubungi oleh pseudomembran putih, dan terasa sakit (tidak terlihat pada

    gambar 1). Selain terdapat ulser, pada pemeriksaan intraoral juga menunjukkan

    akar dari gigi molar pertama kanan, plak gigi, dan kalkulus di bagian atas dan

    bawah gigi kanan. 6

    2.2 Case Management

    Pasien melakukan kunjungan yang pertama ke bagian penyakit mulut

    Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya. Menurut anamnesis

  • 5

    dan pemeriksaan klinis, diagnosis klinis yang dapat ditegakkan adalah RAS tipe

    Major yang bersamaan munculnya dengan karsinoma sel skuamosa dan diagnosis

    pembandingnya adalah NOMA. 6

    Telah dilakukan dua jenis pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan

    sitologi dan bakteriologi. Pemeriksaan sitologi dilakukan dengan cara scarping

    atau dikikisnya permukaan dari lesi tersebut. Pemeriksaan bakteriologi dilakukan

    dengan cara swab dibagian lesi. Pasien juga disarankan untuk menjalani

    pemeriksaan darah lengkap, SGOT, SGPT, dan gula darah. Pasien tersebut

    kemudian diberikan campuran 5% ekstrak sanguine + 0.1% polidocanol berbentuk

    gel yang harus dioleskan pada lesi tiga kali sehari, obat kumur yang mengandung

    chlorhexidine tiga kali sehari dan larutan H2O2 sebagai obat kumur dua kali

    sehari. 6

    Gambar 2. Saat kunjungan pasien yang pertama

    Saat kunjungan pasien yang kedua yaitu dua hari setelah pemeriksaan

    pertama, pasien datang untuk kontrol yang pertama. Berdasarkan hasil anamnesis

    diketahui bahwa rasa nyerinya telah berkurang. Hasil dari pemeriksaan sitologi

    menunjukkan adanya sel darah putih berupa eosinofil yang belum berdiferensiasi,

    penyebaran sel skuamosa, dan sel dengan degenerasi nukleus yang berbentuk

    bulat. Hasil dari pemeriksaan bakteriologi juga menunjukkan adanya bakteri gram

    positif yang berbentuk bulat, bakteri gram negatif yang berbentuk batang dan

    Candida. Hasil dari pemeriksaan darah lengkap pasien menunjukkan adanya ESR

    atau kecepatan sedimentasi eritrosit yang memiliki nilai tinggi yaitu 33 mm /jam

    sedangkan nilai normal pada laki-laki adalah 0-22 mm /jam. Kemudian, dilakukan

  • 6

    pemeriksaan intra oral kembali yang menunjukkan adanya ulser yang lebih kecil

    di bagian bawah dari mukosa labial dengan diameter sekitar 6 mm (Gambar 2-A)

    dan 5 mm (Gambar 2-B). Ulser yang berada di mukosa bukal menjadi lebih kecil,

    sekitar 4x8 mm, dengan adanya erosi, fisura, dan bekas luka (Gambar 2-C) serta

    ulser di bagian bawah lipatan mukosa labial tidak berubah. 6

    Gambar 3. Gambaran kunjungan pasien yang kedua

    Pasien tersebut kemudian diberikan 500 mg metronidazole tiga kali sehari

    dan 500 mg ciprofloxacin dua kali sehari. Dua tablet 500 mg metronidazole dibuat

    menjadi serbuk dan dibagi menjadi 20 dosis, lalu serbuk tersebut diletakkan pada

    ulser dan dilapisi dengan campuran 5% ekstrak sanguine + 0.1% polidocanol gel

    yang digunakan 3 kali sehari (Gambar 3). Obat kumur chlorhexidine dilanjutkan

    pemakaiannya dengan dosis sama. 6

    Gambar 4. Kunjungan yang kedua setelah pemberian serbuk metronidazole dan

    dilapisi dengan 5% ekstrak sanguine + 0.1% polidocanol gel

  • 7

    Saat kunjungan pasien yang ketiga yaitu satu hari berikutnya, pasien

    datang untuk kontrol yang kedua. Berdasarkan hasil anamnesis pasien tidak

    mengeluhkan rasa nyeri atau sakit. Pemeriksaan intra oral menunjukkan ulser

    pada bagian bawah mukosa labial berdiameter sekitar 5 mm (Gambar 4-A) dan 4

    mm (Gambar 4-B) dengan adanya halo eritematous. Ulser pada bagian mukosa

    bukal menjadi lebih kecil sekitar 2x6 mm, dengan adanya erosi, fisura dan bekas

    luka yang tetap tapi eritemanya berkurang (Gambar 4-C). Ulser pada lipatan

    mukosa labial menjadi lebih kecil dengan diameter sekitar 8 mm. Pasien diminta

    untuk melanjutkan terapi tersebut. 6

    Gambar 5. Gambaran kunjungan pasien yang ketiga

    Delapan hari berselang dari kunjungan terakhir pasien tersebut melakukan

    kunjungan yang keempat untuk melakukan kontrol ketiga kalinya. Pemeriksaan

    intra oral menunjukkan seluruh ulser, erosi dan fisura telah sembuh, kecuali ulser

    irregular pada mukosa bukal, berdiameter sekitar 2 mm, memiliki batas datar dan

    dilapisi dengan pseudomembran berwarna putih (Gambar 5). Pasien tersebut

    diminta untuk melanjutkan terapi dengan mengonsumsi multivitamin satu kali

    sehari dan larutan H2O2 sebagai obat kumur dua kali sehari. 6

  • 8

    Gambar 6. Kunjungan pasien yang keempat

    Enam hari setelah kunjungan terakhir, pasien melakukan kunjungan yang

    kelima. Pasien datang untuk kontrol yang terakhir. Pemeriksaan intra oral

    menunjukkan seluruh ulser, erosi dan fisura telah sembuh dengan adanya bekas

    luka. Pasien tersebut diminta untuk melanjutkan konsumsi multivitamin 1 kali

    sehari. 6

    Gambar 7. Gambaran kunjungan pasien yang terakhir

  • 9

    BAB III

    KAITAN DENGAN TEORI

    Pemeriksaan intra oral menunjukkan bebarapa ulser dengan variasi

    tampilan klinis. Sebagian ulser memiliki karakteristik RAS. RAS major biasanya

    muncul setelah pubertas dimana lesi berbentuk bulat atau elips dengan batas yang

    gelas, ulser biasanya dalam dan lebar dan secara signifikan terdapat dalam waktu

    yang lama dibandingkan dengan RAS minor. Ulser pada pasien ini memiliki

    peninggian dengan batas yang ireguler dengan diameter hampir 1 cm dan

    menyebabkan rasa sakit dalam minggu sampai bulan dan sering meninggalkan

    bekas luka. 1,5,6 Ulser lain ditemukan pada intra oral tanpa lingkaran eritematous

    disekitarnya dimana hal ini menunjukkan adanya indikasi inflamasi kronis.

    Pemeriksaan ekstra oral tidak menemukan adanya lesi lain. Diketahui jika ulser

    telah terjadi sebelumnya, kira – kira sekali dalam sebulan. Berdasarkan

    pemeriksaan yang telah dilakukan yaitu pemeriksaan intra oral berupa ulser

    dengan karakteristik RAS dan ulser lain tanpa lingkaran eritemotous disekitarnya

    yang mengindikasikan adanya inflamasi kronis mengantarkan pada diagnosis

    sementara yaitu RAS major dengan squamous cell carcinoma dengan NOMA

    sebagai diagnosis pembanding.6

    Pemeriksaan sitologi pada kasus ini menunjukkan tidak adanya sel

    malignant sehingga kemungkinan adanya squamous cell carcinoma dapat

    dikeluarkan begitu juga dengan tidak ditemukan adanya necrotic area dan bone

    loss dimana kedua hal tersebut mengindikasikan penyakit NOMA sehingga

    diagnosis pembanding yaitu NOMA dapat dikeluarkan. Pemeriksaan histologi

    menemukan adanya nonspesifik ulser dengan campuran sel inflamasi kronis.

    Psudomembran yang menutupi permukaan ulser merupakan kombinasi antara

    bakteri oral dan jamur disertai pula dengan keratinosit nekrotik dan mukosa oral

    yang lembek (slough). 6

    Hasil dari pemeriksaan sitology menunjukkan adanya material eosinofilik

    amorfous, pelebaran sel skuamosa dan sel dengan degenerasi nukelus bulat

    dimana semua hal ini mengantarkan pada asumsi bahwa adanya infeksi kronis.

    Hasil dari pemeriksaan komplet darah (complete blood examination)

  • 10

    menunjukkan erythrocyte sedimentation rate (ESR) value elevation yaitu 33 dari

    keadaan normal yaitu kurang dari 15. Hasil ini mendukung asumsi adanya infeksi

    kronis. 6 Pemeriksaan bakteriologi menemukan adanya bakteri gram positif (+)

    cocci, bakteri gram negatif (-) batang dan Candida. Candida yang ditemukan pada

    pemeriksaan ini tidak menunjukkan adanya keterlibatan Candida melainkan hanya

    sebatas terdapat kontaminasi Candida pada lesi dimana Candida terdapat pada

    flora normal rongga mulut. Berdasarkan pemeriksaan klinis dapat diketahui

    bahwa tidak ada campur tangan dari penyakit lain ditunjukkan dengan

    pemeriksaan komplet darah normal, adanya infeksi kronis berdasarkan hasil

    pemeriksaan sitologi dan ESR menyimpulkan bahwa diagnosis pada kasus ini

    adalah RAS major dengan infeksi sekunder dari flora oral normal.6

    Lesi yang tidak sembuh selama 7 bulan diperkirakan terjadi karena adanya

    kontaminasi oleh flora normal rongga mulut. Teori ini didukung dengan hasil

    pemeriksaan bakteriologi. Bakteri yang ditemukan adalah flora normal yang

    terdiri dari bakteri aerob yaitu bakteri aerob gram positif (+) cocci dan aerob gram

    negative (-) batang dan bakteri anaerob yaitu bakteri anaerob gram positif (+)

    cocci dan anaerob gram negative (-) batang. Infeksi pada kasus ini disebabkan

    oleh bakteri aerob dan anaerob pada rongga mulut, sekitar 70% infeksi ini

    disebabkan oleh campuran flora oral. Peggunaan antibiotik oral seharusnya efektif

    untuk mengatais infeksi ini. 6

    Ciprofloxacin memiliki substituen 6-fluoro yang sangat meningkatkan

    potensi antibakteri terhadap gram (+) dan gram (-) organisme aerob . Agen ini

    mengganggu enzim bakteri yang penting untuk transkripsi DNA. Efek samping

    Ciprofloxacin seperti mual, muntah, ruam, pusing, dan sakit kepala namun jarang

    terjadi. Dosis dewasa biasa untuk Ciprofloxacin adalah 500 sampai 750 mg per

    oral setiap 12 jam. Metronidazole efektif hanya terhadap bakteri anaerob termasuk

    di rongga mulut. Agen ini menyebar ke bakteri dimana komponen nitro

    berkurang. Agen ini menyebar ke bakteri dimana komponen nitro berkurang.

    Selama proses reduksi ini, komponen antara reaktif secara kimia dibentuk, yang

    menghambat sintesis DNA dan/atau penghancuran DNA yang mengakibatkan

    terganggunya fungsi DNA. Metronidazole tersedia untuk penggunaan oral,

    intravena, dan topikal. Metronidazole biasanya diberikan secara oral dengan dosis

  • 11

    500 mg setiap 8 jam. Dalam kasus ini metronidazole oral dan topikal digunakan,

    karena tidak ada metronidazole topikal yang tersedia, maka bubuk tablet

    metronidazole dihancurkan. Bubuk ini kemudian diletakkan di atas ulser dan

    ditutup dengan 5% ekstrak bubuk susu + 0.1% gel polidokanol untuk

    mendapatkan kontak langsung secara menerus. 6

    Pengobatan kasus ini dilakukan sesuai perlakuan RAS dan pengendalian

    infeksi sekunder. Pasien diobati dengan metronidazole sistemik dan Ciprofloxacin

    untuk mengobati infeksi. Pengobatan topikal yang kami gunakan adalah

    metronidazole yang dibuat menjadi bubuk dan diterapkan pada lesi untuk

    mendapatkan efek bakterisidal melalui kontak langsung dengan lesi untuk

    membantu penyembuhan infeksi. Lima persen ekstrak yang diantikan + 0,1% gel

    polidokanol diterapkan sebagai penutup agen untuk mengurangi rasa sakit dan

    memperbaiki epitelisasi. Penulis telah menggunakan metode ini untuk menangani

    beberapa kasus serupa. Pengobatan dengan serbuk metronidazole yang diterapkan

    pada lesi juga telah digunakan dalam perawatan luka pada pasien di Departemen

    THT RSUPN-CM. Obat kumur chlorhexidine digunakan untuk membantu

    menghilangkan dan menyembuhkan infeksi. 6

    Disimpulkan bahwa RAS Major dalam kasus ini terkontaminasi oleh flora

    oral normal yang menyebabkan infeksi sekunder pada lesi. Jadi, pengobatan kasus

    ini diarahkan untuk mengobati infeksi sekunder. Setelah terapi yang tepat lesi

    sembuh dalam 3 minggu, kemudian untuk menghindari penyakit berulang pasien

    disarankan untuk meningkatkan kesehatan mulut. Pasien diinstruksikan untuk

    mengekstrak molar pertama kanan bawah, penskalaan untuk menghilangkan plak

    dan kalkulus, dan merawat kebersihan mulutnya. 6

  • 12

    BAB IV

    PENUTUP

    4.1 KESIMPULAN

    ` Recurrent Aphthous Stomatitis tipe Major merupakan ulser berbentuk

    bulat atau elips berbatas gelas dengan ukuran yang cukup besar dibandingkan

    dengan RAS tipe lain. Pemeriksaan intra oral menunjukkan adanya ulser besar

    yang terasa nyeri. Pemeriksaan ekstra oral menunjukkan adanya pembengkakan

    kelenjar limfoid di daerah submandibular. Pemeriksaan sitologi menunjukkan

    adanya eosinophil yang belum berdiferensiasi, sedangkan pemeriksaan

    bakteriologi menunjukkan adanya bakteri gram positif bulat, bakteri gram

    negative basil, dan candida. Pemeriksaan penunjang lainnya menunjukkan adanya

    peningkatan laju eritrosit. Penatalaksanaan dengan memberikan gel 5% ekstrak

    sanguine + 0,1% polidocanol, obat kumur chlorhexidine dan larutan H2O2 . Pada

    kontrol pertama diberi obat metronidazole, ciprofloxacin, campuran gel, dan obat

    kumur. Setelah ulser dan rasa nyeri sudah hilang, diberikan multivitamin dan

    melanjutkan pemakaian obat kumur. Seminggu kemudian hanya melanjutkan

    multivitamin.

    4.2 SARAN

    Pada kasus ini, penulis menyarankan adanya pemberian edukasi kepada

    pasien mengenai oral hygiene yang baik. Selain itu pasien diharapkan dapat

    menghentikan kebiasaan merokok.

  • 13

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Thantawi A, Khairiati, Nova MM. Stomatitis apthosa rekuren (SAR) minor

    multiple pre mestruasi (laporan kasus). ODONTO Dental Journal. 2014 Des

    02;1(2):57-62. Retrieved May 25th 2017.

    2. Apriasari ML, Tuti H. Stomatitis Aftosa Rekuren oleh Karena Anemia.

    Journal Unair. 2010 Apr;9(1):39-46. Retrieved May 25th 2017.

    3. Gandolfo S, Scully CBE C, Carozzo M. Oral Medicine. Amsterdam: Elsevier,

    2006. 43 p.

    4. Savitri D. Ilmu Penyakit Mulut. 2nd rev. ed. Surabaya: Airlangga University

    Press, 2016. 123 p.

    5. Slebioda Z, Szponar E, Kowalska A. Etiopathogenesis of recurrent aphthous

    stomatitis and the role of immunologic aspect (literature review). Archivum

    Immunologiae Et Therapiae Experimentalis journal. 2013 Nov 12;62:205-215.

    Retrieved May 25th 2017.

    6. Jusri M, Nurdiana. Treatment of Recurrent Aphthous Stomatitis Major with

    Metronidazole and Ciprofloxacin (case report). Dental Journal (Majalah

    Kedokteran Gigi). 2009 July-Sep;42(3):109-113. Retrieved May 30th 2017.