Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

84
MAJELIS RAJA-RAJA DALAM PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA DAN RELEVANSINYA DENGAN DOKTRIN KETATANEGARAAN ISLAM Skripsi Skripsi Ini Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh: NURHANISAH BINTI HAJI BAHTIYAR NIM: 107045203897 K O N S E N T R A S I S I Y A S A H S Y A R’ I Y A H P R O G R A M S T U D Y J I N A Y A H S I Y A S A H FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1430 H / 2009 M

Transcript of Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Page 1: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

MAJELIS RAJA-RAJA DALAM PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN

MALAYSIA DAN RELEVANSINYA DENGAN DOKTRIN

KETATANEGARAAN ISLAM

Skripsi

Skripsi Ini Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

NURHANISAH BINTI HAJI BAHTIYAR

NIM: 107045203897

K O N S E N T R A S I S I Y A S A H S Y A R’ I Y A H

P R O G R A M S T U D Y J I N A Y A H S I Y A S A H

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1430 H / 2009 M

Page 2: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta: 10 Maret 2009 M

13 Rabiul Awal 1430 H

Nurhanisah Binti Haji Bahtiyar

Page 3: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

������ �� �� ������� ��������

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang puji syukur

penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya, dan

semua yang telah dianugerahkan-Nya kepada penulis. Salawat dan salam semoga

senantiasa dilimpahkan kepada pembawa risalah Allah SWT, Nabi Muhammad

SAW, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang telah memberikan dorongan serta

motivasi kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan dan merampungkan

skripsi dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan

Siyasah Syariyyah (Ketatanegaraan Islam) Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Penulis amat berbangga akan hasil penulisan skripsi ini karena di buat dengan

semangat dan perjuangan yang tak kenal lelah. Penulis sangat mengharapkan sekali

masukan baik itu sifatnya saran maupun kritik selama dapat membangun dan terus

memotivasi penulis agar memperbaiki sehingga penyajian yang lebih sempurna.

Pada kesempatan yang sangat berharga ini penulis ingin mengucapkan terima

kasih dan rasa hormat kepada :

1. Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberikan kesempatan kami untuk menimba ilmu.

Page 4: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

2. Kepada Negara Indonesia yang telah memberikan kami izin tinggal untuk

mencari dan mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat untuk kami.

3. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah

dan Hukum, juga merangkap dosen pembimbing saya dengan arahan beliau

penulis dapat memahami dengan mudah apa yang akan dikerjakan.

5. Asmawi, M.Ag. Ketua Jurusan Jinayah Siyasah Syariyyah.

6. Kepada seluruh dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum.

7. Ayahanda H. Bahtiyar Bin H. Baharin dan Ibunda Hj. Zainah Binti H. Mohd

Salleh yang telah mencurahkan kasih dan sayang mereka serta borkarban apa

saja untuk anak tercinta. Sepenuh perhatian dan dorongan yang tak terhingga

diberikan amat penulis hargai.

8. Warga Kudqi yang telah memberikan tempat belajar terutama Dato’ Tuan

Guru Haji Harun Taib, Rektor Ust. Mahmood Sulaiman, Pengarah IPA Ust.

Mohd Zain, Ust Muhaiyyat, Hj. Wan Ahmadul Badawi, Ust. Fadzli Hashimi

Hashim dan Ustzh Hasanah Halin dan juga pelajar Kudqi yang tidak dapat

penulis sebutkan disini.

9. Kepada adik-adik tersayang Helmi, Ammar, Nurul Izzah, Farhatin Najwa,

Hafizuddin dan Insyirah. Dan juga sanak saudara yang lain, keluarga

En.Zahid, En. Jahar, En. Azmi yang banyak membantu dalam pelbagai ruang

sepanjang saya berada di Jakarta ini.

Page 5: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

10. Buat buah hati tersayang Mohd Sofyan Zakaria, terima kasih di atas segala

jasa beliau yang selama ini banyak memberi tunjuk ajar dalam pelbagai

perkara serta perhatian dan sokongan yang tak terhingga sepanjang saya

belajar di sini.

11. Kepada Ust Abdul Hadi Ripin yang banyak membantu dari awal penulisan

skripsi hingga selesai. Juga teman-teman satu perjuangan baik itu teman-

teman dari Malaysia. Ataupun teman-teman Indonesia yang telah membantu

untuk memahami dan berkongsi pendapat lebih dalam mengenai

ketatanegaraan Islam.

Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang

lebih baik dari semua yang telah mereka berikan dan lakukan untuk penulis

khususnya dan kepada semua pihak pada umumnya. Penulis menyampaikan harapan

yang besar agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan

pembaca sekalian. Semoga Allah SWT menjadikan penulisan skripsi ini sebagai satu

amal yang baik disisi-Nya.

Jakarta: 10 Maret 2009 M

13 Rabiul Awal 1430 H

Penulis

Page 6: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................................1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................8

D. Tinjauan Pustaka .............................................................................9

E. Kerangka Teori dan Konsepsional ................................................11

F. Metode Penelitian .........................................................................13

G. Sistematika Penulisan ...................................................................15

BAB II KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM KETATANEGARAAN

NEGARA ISLAM

A. Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan (Kepala Negara) ......17

B. Gelar dan Istilah Negara dalam Ketatanegaraan Islam .................21

C. Pandangan Islam tentang Institusi Pemerintahan (Raja) ..............28

BAB III MAJELIS RAJA-RAJA MENURUT PERLEMBAGAAN

PERSEKUTUAN MALAYSIA

A. Sejarah Majelis Raja-Raja ............................................................34

B. Kedudukan Majelis Raja-Raja ..................................................... 43

Page 7: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

1. Kedudukan Raja-Raja dalam konteks Agama Islam dan

Perlembagaan ..........................................................................44

2. Keanggotaan dan mesyuarat Majelis Raja-Raja .....................47

3. Majelis Raja-Raja dan Kerajaan .............................................49

C. Fungsi Majelis Raja-Raja .............................................................51

D. Majelis Raja-Raja dan hubungan eksekutif dalam pelaksanaan

Pemerintahan di Malaysia .............................................................54

BAB IV TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP

MAJELIS RAJA-RAJA MENURUT PERLEMBAGAAN

PERSEKUTUAN MALAYSIA

A. Islam dan Negara Kerajaan dalam Kajian Ketatanegaraan

Islam..............................................................................................59

B. Persamaan konsep Pemerintahan Islam dengan Negara Kerajaan

Malaysia ........................................................................................61

C. Perbedaan Konsep Pemerintahan Islam dengan Negara Kerajaan

Malaysia ........................................................................................65

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................................67

B. Saran .............................................................................................69

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 71

LAMPIRAN

Page 8: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

1. Struktur Lembaga Majelis Raja-Raja.

2. Raja-Raja Melayu di Negeri-Negeri Bagian.

Page 9: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara membutuhkan seorang pemimpin untuk membawa kemana arah

dan tujuan Negara. Beberapa abad lamanya orang Melayu diperintah berdasarkan

pemerintahan kerajaan oleh Sultan dengan kepercayaan sepenuhnya. Ketika

zaman penjajahan Inggris, Sultan-sultan diterima sebagai pemerintahan berdaulat

dan memiliki wewenang penuh dalam Negara bagian masing-masing, walaupun

mereka memiliki beberapa perjanjian dengan persekutuan Inggris, untuk

menerima nasehat dari pegawai-pegawai kerajaan Inggris yang dilantik sebagai

presiden atau penasehat kerajaan Inggris.1 Keadaan demikian berlanjut sampai

menjelang hari kemerdekaan pada tahun 1996 kerajaan Inggris memperkenalkan

sebuah Perlembagaan.2 Unitari untuk semenanjung Malaysia yang dipanggil

Malayan Union.3

Di bawah perlembagaan ini, sultan-sultan dapat kehilangan kekuasaan

mereka, karena pihak Inggris memerintah secara langsung negara ini. Namun

pada tahun 1948 perlembagaan Malayan Union digabungkan dengan

1 Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Permerintahan di Malaysia, cet. III,

(Ampang/ Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawamah Sdn. Bhd, t.th.), h. 38.

2 Perlembagaan dalam Hukum Ketatanegaraan Indonesia dikenal dengan nama Undang-

Undang Dasar.

3 M.U Gazeete G.N. 2/1946

Page 10: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

perlembagaan penjajah, dan dikenal dengan nama perjanjian persekutuan Tanah

Melayu. Perlembagaan ini sedikit banyak telah mengembalikan raja-raja Melayu

kepada kedudukan asal mereka.

Majelis Raja-Raja tidak terbentuk secara sengaja atau direncanakan. Oleh

sebab itu tidak salah apabila dikatakan bahwa kemunculan majelis adalah sebuah

kebetulan sejarah. Tetapi walau apapun sifat kemunculannya, majelis mempunyai

efek yang positif terhadap hubungan antara sembilan kesultanan Melayu yang

ada. Ini memperkuat hubungan sesama mereka yang sebagian besar mempunyai

pertalian keluarga antara yang satu dengan yang lainnya. Hubungan itu kemudian

diperkuat lagi melalui proses perkawinan dan sejenisnya. Meskipun kemunculan

Majelis Raja-Raja dapat dikatakan sebagai sebuah kebetulan sejarah, namun

secara formal dapat dijelaskan bahwa Majelis Raja-Raja ada sebagai akibat tidak

langsung dari hasil dasar dan perancangan kerajaan Inggris. Tetapi walau

bagaimanapun kemunculannya, tidak berakhir sebagai sebuah institusi yang

mewakili kepentingan kekuasaan asing.

Meskipun Majelis Raja-Raja yang ada sekarang merupakan struktur yang

formal dan diatur oleh undang-undang, namun majelis ini dipisahkan dari

kesultanan Melayu yang merupakan tonggak sistem atau institusi beraja di

Malaysia.4 Oeh sebab itu, sejarah awal Majelis Raja-Raja dimulai dengan

menapaki secara sepintas kemudian kemunculan kesultanan Melayu yang ada

sekarang. Kedudukan kesultanan Melayu sangat erat kaitannya dengan kesultanan

4 Abdul Aziz Bari, Majlis Raja-raja (Kedudukan dan peranan dalam perlembagaan

Malaysia), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006. Cet.II, h. 16

Page 11: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Melayu Melaka. Meskipun kesultanan ini bukan kesultanan yang tertua (seperti

halnya kesultanan Kedah yang didirikan sekitar abad ke-13), kesultanan Melayu

Melaka mempunyai pranan yang besar dalam membina tradisi dan adat istiadat

istana yang kemudian diwarisi oleh kesultanan-kesultanan yang muncul kemudian

hari.5 Selain itu, kesultanan Melayu Melaka juga mempunyai peranan dalam

membantu mendirikan dan memelihara kesultanan yang ada sekarang. Dari

sembilan kesultanan yang ada, hanya kesultanan Melayu Perak yang mempunyai

hubungan langsung dengan kesultanan Melayu Melaka, karena kesultanan

Melayu Perak didasarkan oleh kesultanan tersebut, sebelum kesultanan Melayu

Melaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Kesultanan Kedah yang pernah

dilindungi kerajaan Melaka memiliki peralatan kerajaan, termasuk penghargaan

yang dianugerahkan kepada kesultanan ini oleh kerajaan Melaka. Sedangkan

Kesultanan Selangor, meskipun diperintah oleh orang Bugis pada abad ke-18,

namun kesultanan ini diakui oleh kesultanan Perak yang mempunyai pertalian

lansung dengan raja-rajanya yang berasal dari Sumatera.

Kedudukan Majelis Raja-Raja dalam perlembagaan sekarang ini adalah

terkait dengan hal-hal yang berkenaan dengan majelis tersebut dalam

Perlembagaan Persekutuan dan Perlembagaan Negeri.6 Perlembagaan

Persekutuan menginginkan sebuah bagian khusus untuk Majelis Raja-Raja.

5 Untuk gambar yang lebih terperinci lihat dalam Abdul Aziz Bari, “Ketua Negara,

Ketua-Ketua Negeri dan Majlis Raja-Raja”, dalam Ahmad Ibrahim et.al., Perkembangan Undang-

Undang Perlembagaan Persekutuan, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1999), h. 40-99

6 Abdul Aziz Bari, Perlembagaan Malaysia (Asas-asas dan Masalah), (Kuala Lumpur:

Dewan Bahasa dan Pustaka, 1999), h. 2

Page 12: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Bagaimanapun juga ada ketentuan lain dalam Perlembagaan yang menyebutkan

kedudukan Majelis Raja-Raja. Kedudukan majelis dalam perlembagaan yang

didalamnya terdapat hal-hal dalam jadwal dan berbagai peraturan yang berfungsi

menjelaskan lebih lanjut hal-hal yang berkaitan dengan Perlembagaan. Setelah

itu, maka diakui dasar institusi tradisi seperti ini ke dalam demokrasi. Adapun

perkembangan majelis ini merupakan evolusi peranan Majelis Raja-Raja,

sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Majelis Raja-Raja adalah sebuah

perkumpulan eksklusif untuk raja-raja Melayu saja. Pada tahun 1957

Perlembagaan Persekutuan telah menyertakan ketua-ketua negara bagian yang

bukan raja, seperti Yang Dipertuan Negeri yang saat itu disebut dengan

Gabernor (Gubernur) di dua negara bagian Melaka dan Pulau Pinang.

Setelah penulis menjelaskan secara umum mengenai Majelis Raja-Raja di

Malaysia, maka kita akan melihat konsep pemerintahan Islam yang berkaitan

dengan fungsi raja atau dalam Islam lebih tepat sebagai khalifah/imam.

Masuknya Islam ke wilayah kepulauan Melayu merupakan peristiwa

penting dalam sejarah Melayu yang kemudian identik dengan Islam. Sebab, Islam

merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu

telah berhasil menggerakkan kearah terbentuknya kesadaran berbangsa.

Abu Hasan Al-Mawardi mengatakan, keimaman diletakkan untuk

mengganti-kan posisi kenabian dalam memelihara agama dan politik keduniaan.

Dapat dilihat bahwa Al-Mawardi yang menjabat kepala Qadhi di Baghdad dan

salah seorang ulama’ besar fiqih Syafi’i, di antara yang masuk spesifikasi

Page 13: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

kenabian adalah politik keduniaan. Meskipun yang menjadi khalifah atau

pengganti Rasul yang dalam istilah-nya “menjaga dan memelihara agama”

menunjukkan bahwa tugas seorang imam adalah menjaga, memelihara dan

membela agama, bukan menjelaskan atau mengadakan pergantian dalam agama.

Di antaranya adalah sang imam harus mampu menunjukkan, dengan tingkah laku

dan perbuatannya, bahwa dia adalah pemelihara agama dan memerhatikan

perintah-perintah agama.

Allah SWT menggariskan bahwa dalam umat harus ada pemimpin yang

menjadi pengganti dan penerus fungsi kenabian untuk menjaga terselenggaranya

ajaran agama. Memegang kendali politik, membuat kebijakan yang dilandasi

syariat agama dan menyatukan umat dalam kepemimpinan yang tunggal. Imamah

(kepimimpinan negara) adalah dasar bagi terselenggaranya dengan baik ajaran-

ajaran agama dan pangkal bagi terwujudnya kemaslahatan umat, sehingga

kehidupan masyarakat menjadi aman sejahtera.7

Mengenai arti pentingnya seorang pemimpin diutarakan juga oleh Ibnu

Khaldun di dalam Muqaddimah-nya, bahwa “Kedudukan pemimpin timbul dari

keharusan hidup bergaul bagi manusia, didasarkan kepada penaklukan dan

paksaan, yang merupakan pernyataan sifat murka dan sifat-sifat kebinatangan”.8

Dalam perkembangan peradaban manusia, agama senantiasa memiliki hubungan

7 Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam,

(Jakarta: Gema Insani Press, 2000), cet V, h. 14.

8 Ibn Khaldun, Muqaddimah, Penterjemah Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus:

2008), cet. VII, h. 232.

Page 14: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

dengan negara. Hubungan agama dan negara mengalami pasang surut seiring

dengan perkembangan pemahaman pemaknaan terhadap agama dan negara itu

sendiri. Ada suatu masa dimana negara sangat dekat dengan agama atau bahkan

menjadi negara agama. Di saat lain, terdapat pula masa-masa agama mengalami

ketegangan dengan negara. Puncak hubungan antara negara dan agama terjadi

ketika konsepsi Kedaulatan Tuhan dalam perlaksanaanya diwujudkan dalam diri

raja. Kedaulatan Tuhan (Theocracy) dan kedaulatan raja menyatu satu sama lain

sehingga kekuasaan raja adalah absolut yang mengungkung peradaban manusia

pada abad pertengahan.9

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa wilayah kehidupan keagamaan

dan wilayah kenegaraan memang dapat dan mudah dibedakan satu sama lain,

namun tidak mudah dipisahkan. Penyatuan antara Kedaulatan Tuhan dan

Kedaulatan Raja telah melahirkan pemerintah absolut dan menyebabkan

terjadinya kezaliman yang tidak berperikemanusiaan. Dalam dunia Islam, konsep

yang merupakan penyatuan antara Kedaulatan Tuhan dan Kedaulatan Raja terjadi

pada saat; Pertama, konsep Khalifah Al-Rasul yang rasional dan demokratis

dimanipulasikan maknanya sehingga tunduk pada warisan sistem feodal tradisi

kerajaan yang bersifat turun-temurun. Kedua, ketika perkataaan “Khalifah Al-

Rasul” sebagai konsep filosofis.10

9 Hari Wibowo, Islam dan Pembangunan Hukum Nasional, http://bhariwibowo.blogspot.

com/2006/12/Islam-dan-pembangunan-hukum-nasional.html-ftn3. Artikel diakses pada tanggal 12

Desember 2008.

10 Ibid.

Page 15: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Dalam memahami pemikiran dalam politik Islam maka seharusnya pula

memahami terminologi dari istilah gelar kepala Negara dalam sistem

pemerintahan Islam. Di antara gelar Negara tersebut ialah Khalifah, Amirul

Mukminin, Imam, Sultan, Perdana Menteri dan Presiden. Dalam penelitian ini

penulis akan mengurai-kan istilah, karakter dan latar belakang historis dari gelar

kepala Negara tersebut. Empat istilah pertama biasanya digunakan dalam masa

pemerintahan Islam klasik mulai dari masa khalifah hingga masa Abbasiyah,

walaupun pada masa kontemporer ini salah satu istilah tersebut masih digunakan

seperti gelar Sultan, Imam atau Imamah. Namun, dua gelar terakhir lebih banyak

dipakai pada masa kontemporer ini daripada masa klasik, baik itu di Negara

muslim maupun non muslim.

Setelah kita melihat apa itu Majelis Raja-Raja menurut Perlembagaan

Persekutuan Malaysia, kemudian seperti apakah Islam mengkaji mengenai

masalah, istilah, wewenang dan gelar kepala negara. Untuk penulis terdorong

untuk mengangkat sebuah tema skripsi dengan judul “Majelis Raja-Raja dalam

Perlembagaan Persekutuan Malaysia dan Relevansinya dengan Doktrin

Ketatanegaraan Islam”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Untuk memudahkan dalam penelitian skripsi ini, diperlukan adanya

sebuah pembatasan masalah yang akan lebih memfokuskan kajian penelitian.

Page 16: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Adapun pembatasan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah hanya

mengenai Majelis Raja-Raja, baik itu berupa kewenangan sebagai kepala

negara, kedudukan dan fungsi Majelis Raja-Raja dalam negara Malaysia.

2. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana hukum Ketatanegaraan Islam melihat fungsi dari raja-raja di

dalam pemerintahan?

2. Bagaimana kedudukan dan kewenangan Majelis Raja-Raja di Malaysia

menurut Perlembagaan Negara?

3. Apakah konsep Kerajaan Malaysia selaras dan sejalan dengan konsep

khalifah dalam Ketatanegaraan Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan diantaranya:

1. Untuk mengkaji sejauh mana hukum ketatanegaraan Islam melihat fungsi

raja-raja di dalam pemerintahan .

2. Untuk mengetahui fungsi dan kedudukan Majelis Raja-Raja berdasarkan

Perlembagaan Negara Persekutuan.

3. Menggali relevansi antara Ketatanegaraan Malaysia dengan Ketatanegaraan

Islam.

Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:

Page 17: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

1. Sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan dibidang Fiqh

Siyasah dalam konteks Ketatanegaraan Malaysia.

2. Menjadi rujukan bagi pengkaji ilmu Ketatanegaraan dalam konteks

pemerintahan Islam.

3. Memberikan pemahaman terhadap masyarakat luas tentang Ketatanegaraan

Islam mengenai Majelis Raja-Raja, khususnya bagi warga Negara Malaysia.

D. Review Studi Terdahulu

Review studi yang dimaksud dalam skripsi ini adalah untuk melihat kajian

yang telah membahas mengenai tema yang hampir sama, namun substansi yang

berbeda. Adapun yang penulis masukkan dalam perbandingan ini adalah berbagai

literatur, mulai dari skripsi, buku, jurnal, dan lainnya. Berikut ini merupakan

paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut.

Skripsi Pitri Anita, “Siyasah Dauliah Pada Masa Khulafaur Rasyidun”

tahun 2004. Skripsi ini mengkaji tentang praktek siyasah dauliyah pada masa

Khulafaur Rasyidun, dimulai dari Khalifah Abu Bakar As-Sidiq, Usman bin

Affan, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Selain itu di dalamnya memuat

penerapan nilai-nilai Ketatanegaraan Islam yang mereka praktekkan seperti nilai

keadilan, musyawarah, persamaan dan lain sebagainya.

Skripsi Muhayah, “Konsep Negara Moral Menurut Al-Gahazali”,

Fakultas Syari’ah dan Hukum, tahun 2006. Skripsi ini membahasa tentang

konsep Negara moral menurut Imam al-Ghazali, serta beberapa uraian mengenai

Page 18: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

konsep kepala Negara atau khalifah, syarat-syarat Negara menurut Al-Ghazali.

Diantara syarat-syarat tersebut adalah seorang laki-laki bukan wanita, dewasa,

mempunyai akal yang sehat, tidak gila, tidak memiliki cacat fisik, tidak buta dan

tuli, keturunan suku Quraisy, merdeka, memiliki kemampuan, memahami ilmu

pengetahuan, tidak melakukan hal-hal tercela.

Dari beberapa skripsi yang membahas tentang praktek siayasah dauliah

pada masa khulafa rasyidin maupun tentang konsep negara moral yang penulis

temukan semuanya tentang ketatanegaraan di Indonesia, sedangkan kajian tentang

Majelis Raja-Raja di Malaysia belum ada yang membahasnya. Kemudian ada

beberapa referensi yang sangat relevan untuk penulisan skripsi ini di antaranya:

Pertama, Majelis Raja-Raja (Kedudukan dan Peranan dalam

Perlembagaan Malaysia), karya Abdul Aziz Bari, 2006. Buku ini secara spesifik

mengkaji mengenai sejarah, kedudukan, fungsi serta peranan Majelis Raja-Raja

Malaysia. Bahkan lebih detail disebutkan, bahwa peranan majelis adalah untuk

menghubungkan demokrasi antara Lembaga Negara dengan Majelis Raja-Raja.

Hubungan ini harus ditunjukkan karena pada dasarnya perlembagaan adalah

pelakasana ideal demokrasi.

Buku kedua, karya Tun Mohd Salleh Abas tentang “Pemerintahan Beraja”

ditulis dalam buku yang berjudul “Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di

Malaysia”. Pada buku ini dipaparkan mengenai sejarah kenapa Negara Malaysia

dibentuk sebuah Majelis Raja-Raja. Kemudian pada awal kemerdekaan Negara

Malaysia disebutkan bahwa fungsi dan peranan raja-raja tidak lepas dari

Page 19: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

intervensi kerajaan Inggris sehingga mereka tidak dapat menjalankan fungsinya

sebagai Raja.

Buku ketiga, “Teori Kontrak Sosial” karya dari Dhiauddin Rais, yang

menjelaskan tentang “Hakikat Imamah antara Keimamahan, Kekhalifahan dan

Kerajaan”. Di dalam buku ini mencoba membahas pentingnya gelar seorang

kepala Negara serta hubungan antara imamah dan khilafah.

E. Kerangka Teori dan Konsepsional

Majelis Raja-Raja adalah sebuah majelis yang menaungi raja-raja dan

gubernur-gubernur bagi negeri yang tidak memiliki raja. Lembaga ini bertujuan

untuk menjaga hubungan antar negera-negara persekutuan agar lebih erat lagi

dengan negeri-negeri yang bukan anggota Persekutuan. Artinya Majelis Raja-Raja

adalah sebuah perkumpulan ekslusif untuk Raja-Raja Melayu yang terdiri dari

beberapa negara bagian. Sehingga Majelis ini kemudian berwenang dalam

Perlembagaan Persekutuan Malaysia.

Ada beberapa macam teori-teori tentang Majelis Raja-Raja, diantaranya:

1. Majelis Raja-Raja ialah memilih Yang di-Pertuan Agong dan Timbalan

(Wakil) Yang di-Pertuan Agong.

2. Memberi persetujuan atau penolakan tentang adat istiadat, agama Islam bagi

seluruh Persekutuan, tidak termasuk Sabah dan Sarawak.

3. Memberi persetujuan atau menolak undang-undang atau memberi nasehat

tentang perlantikan jabatan yang memerlukan persetujuan Majelis Raja-Raja.

Page 20: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

4. Mengangkat dan memberikan wewenang kepolisian negara.

Majelis Raja-Raja adalah suatu majelis yang tidak ada disebutkan dalam

hukumnya dalam al-Qur’an maupun al-Hadis. Akan tetapi banyak sekali ayat-ayat

al-Qur’an yang menyebutkan tentang perlunya musyawarah dalam melantik

sesuatu pemangkatan imam atau membuat suatu putusan persetujuan bersama.

Ketika Qur’an memerintahkan kepada Rasulullah untuk bermusyawarah dengan

kaum Mukminin, tidak menyangkut persoalan wahyu. Oleh sebab di satu sisi,

wahyu itu merupakan persoalan khusus bagi Rasulullah dalam hubungannya

dengan Allah. Ini sama seperti yang dilakukan dalam Majelis Raja-Raja tersebut,

hanya saja majelis ini dihadiri oleh golongan raja-raja yang berwenang

memberikan tugas dan wewenang yang dijalankan oleh Yang di-Pertuan Agong

dengan mengikuti nasehat jemaah menteri, dan tugas dan kuasa dijalankan oleh

raja-raja lain dan gubernur-gubernur dengan mengikut nasehat majelis rapat

kerajaannya masing-masing.

Demikian juga banyak hadis yang menyebut tentang musyawarah.

Menurut at-Thabari, musyawarah adalah sebagai salah satu dari ‘adha’im al-

ahkam, yaitu prinsip fundamental syariat yang esensial bagi subtansi dan identitas

pemerintahan Islam. Nabi Muhammad SAW adalah seorang Nabi, Rasulullah,

dan kepala negara yang selalu bermusyawarah dalam menyelesaikan persoalan-

persoalan perang, sehingga Abu Hurairah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari

dalam kitab shahihnya, berkata; “Aku tidak pernah melihat orang yang paling

banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya berbanding Rasulullah SAW”.

Page 21: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Dengan demikian para pakar hukum Islam termasuk seorang imam atau penguasa

mempunyai kebebasan untuk melakukan ijtihad (penggalian dan penemuan

hukum) mereka itulah yang kemudian disebut Mujtahid.

Kemudian hasil ijtihad tentang Majelis Raja-Raja tersebut dapat disebut

dengan hukum fikih. Fikih dimasudkan sebagai hasil pemikiran para mujtahid

atau ahli hukum Islam yang menderivasi hukum dari sumbernya, al-Qur’an dan

Sunnah Rasulullah. Hasil dari ijtihad bisa saja berbeda antara seorang ulama

dengan ulama yang lainnya. Sehingga hal ini mengakibatkan adanya perbedaan-

perbedaan pendapat yang pada akhirnya hukum fikih tersebut terbagi kepada

mazhab-mazhab fikih.

Pada tahap selanjutnya, pelaksanaan yang terdapat dalam Majelis Raja-

Raja itu harus memiliki undang-undang tentang Majelis Raja-Raja. Dalam

membuat undang-undang tersebut pemerintah dapat mengadopsi hukum fikih

yang telah dihasilkan oleh para ulama. Biasanya hukum fikih yang telah diadopsi

oleh negara dinamakan Qanun.

F. Metode Penelitian

1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan

pendekatan hukum normatif. Penelitan hukum normatif disebut juga

penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acap kali hukum

dikonsepkan sebagai apa yang tertulis sebagai peraturan perundang-undangan

Page 22: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

(law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang

merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.11

2. Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah wewenang dan kedudukan serta

fungsi Majelis Raja-Raja Malaysia menurut Perlembagaan Persekutuannya.

3. Sumber Data

Data yang dihimpun dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan

data sekunder. Data primer didapat dari sumber-sumber pokok seperti buku

Perlembagaan Malaysia, seperti mana yang disebut di dalam Pasal 38 (1)

tentang kedudukan dan peranannya dalam perlembagaan. Sedangkan sumber

sekunder didapat dari tulisan-tulisan yang dibuat oleh para ahli ketatanegaraan

baik dalam dunia Islam maupun dari ketatanegaraan Malaysia. Yang termasuk

ke dalam sumber data primer adalah buku Majelis Raja-Raja (Kedudukan dan

Peranan dalam Perlembagaan Malaysia). Sedangkan sumber data sekunder

seperti buku-buku dan literatur-literatur yang berkaitan dengan objek

penelitian. Kemudian data tertier berupa kamus, jurnal dan artikel.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, teknik

pengumpulan data yang dilakukan dengan studi dokumenteri bahan tertulis.

Yakni dengan mencari bahan-bahan yang terkait serta mempunyai relevansi

11 Amiruddin, dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada; 2004, Cet. I, h. 118

Page 23: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

dengan penelitian. Sehingga data yang diperoleh dapat dibedakan menjadi

data primer dan data sekunder. Adapun teknik pengumpulan data yang

peneliti gunakan adalah Dokumentasi, Riset pustaka dilakukan dengan cara

menghimpun data-data kepustakaan yang ada relevansinya dengan tema ini.

5. Analisa Data

Dalam melakukan analisa data-data yang sudah terhimpun, digunakan

teknik analisis data kualitatif dengan pendekatan komparatif. Yaitu analisis

perbandingan antara Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan

Malaysia dengan doktrin Ketatanegaraan Islam.

6. Teknik Penulisan Skripsi

Penulisan skripsi ini berpedoman pada Pedoman Penulisan Skripsi

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan buku ini dibagi atas (5) lima bab, tiap-tiap bab

terdiri dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:

Bab I Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan

sistematika penelitian.

Bab II Pengertian dan Sejarah Majelis Raja-Raja menurut Perlembagaan

Persekutuan Malaysia. Kedudukan dan fungsi Majelis Raja-Raja dan

hubungan eksekutif (Pemerintahan Pelaksana Negara Malaysia)

Page 24: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Bab III Pengaturan Ketatanegaraan Islam dalam Konsep Kepemimpinan,

Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan (Kepala Negara), Gelar

dan Istilah Kepala Negara dalam Ketatanegaraan Islam, Pandangan

Islam tentang Institusi Pemerintahan.

Bab IV Merupakan Analisis Ketatanegaraan Islam Terhadap Majelis Raja-

Raja Menurut Perlembagaan Persekutuan Malaysia, Islam dan Negara

Kerajaan dalam kajian Ketatanegaraan Islam, Persamaan Konsep

Pemerintahan Islam dengan Kerajaan Malaysia, Perbedaan Konsep

Pemerintahan Islam dengan Negara Kerajaan Malaysia.

Bab V Merupakan bab penutup, yang didalamnya terdapat kesimpulan dan

saran.

Page 25: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

BAB II

KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM

KETATANEGARAAN NEGARA ISLAM

A. Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan (Kepala Negara)

Pelaksanaan negara menurut tuntutan Islam serupa dengan pelaksanaan

shalat jama’ah di mana ada pemimpin negara sebagai imam, rakyat sebagai

makmum, warga masyarakat sebagai jama’ah, konstitusi dan peraturan

perundang-undangan sebagai tata cara dan bacaan shalat, tujuan negara sebagai

terlihat dari tujuan shalat, antara lain mencegah perbuatan keji dan mungkar, dan

lain-lain.12

Shalat jama’ah juga mengenal koreksi terhadap imam dan penggantian

imam yang mirip seperti yang dilakukan terhadap kepemimpinan negara dalam

sistem moderen. Sebagai agama yang menyeluruh, Islam tidak hanya mengatur

dimensi hubungan antara manusia dan khaliknya, tetapi juga antara sesama

manusia. Selama 23 tahun dakwah kenabian Muhammad SAW, kedua dimensi ini

berhasil dilaksanakannya dengan baik. Pada masa 13 tahun pertama, Nabi

Muhammad SAW menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Mekah dengan

penekanan pada aspek akidah dan ibadah.

12 Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum dalam al-Qur’an, (Jakarta: Khairul Bayan, 2005),

cet. I, h. 56

Page 26: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Mengenai kepemimpinan kepala negara, Islam lebih memperkenalkannya

pada awal pemerintahan Islam saat dipegang oleh Khulafaur Rasyidun, hal ini

dikarenakan Nabi Muhammad SAW tidak diangkat melalui suksesi melainkan

melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam al-Qur’an itupun sebagai reali-

sasi dari dakwahnya sebagai seorang Nabi. Jadi, kepemimpinan Nabi Muhammad

SAW sebagai kepala Negara di Madinah yang menyatu dengan tugas-tugas

kerasulannya. Karena itu, beliau hanya bertanggung jawab sepenuhnya kepada

Allah SWT.13

Persoalan pertama yang muncul setelah Nabi Muhammad SAW

wafat (632 M / 10 H) adalah keberhasilannya. Semasa hidupnya, Nabi

Muhammad SAW memang tidak pernah menunjuk siapa yang akan mengganti-

kan kepemimpinannya kelak. Beliau juga tidak memberi petunjuk tentang cara

pengangkatan penggantinya (khalifah). Ketiadaan petunjuk ini menimbulkan

permasalahan di kalangan umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat

sehingga hampir membawa perpecahan antara kaum muhajirin dan kaum anshar.

Bahkan jenazah beliau sendiri ‘terlantar’ oleh seputar pembicaraan khalifah.14

Hampir semua ahli sejarah Islam sepakat bahwa persoalan pertama yang

muncul dalam sejarah umat Islam adalah masalah politik atau persoalan imamah,

yakni masalah penggantian Nabi Muhammad SAW selaku kepala Negara.15

Ibnu

13 Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum dalam al-Qur’an, h. 44

14 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press,

1993), edisi kelima, h. 32

15 Ridwan HR, Fikih Politik (Gagasan, Harapan dan Kenyataan), (Yogyakarta: FH UII

Press, 2007), cet. I, h. 243.

Page 27: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

jama’ah dalam menerangkan hak-hak pemimpin telah berkata: seseorang itu

hendaklah mengetahui bahwa hak pemimpin adalah besar. Oleh sebab itu,

berinteraksilah dengannnya dengan menghormati dan memuliakannya. Para

ulama daripada kalangan pemimpin Islam menjunjung tinggi kehormatan mereka

dan mendengar suruhan mereka walaupun mereka bersifat zuhud dan warak dan

tidak mengimpikan kedudukan dan pangkat dunia ini.

Sesungguhnya Allah menjadikan pemimpin itu sebagai benteng kepada

yang lemah daripada yang kuat dan kepada yang dizalimi daripada yang

menzalimi. Sekiranya tiada pemerhatian daripada Allah yang diwakilkan kepada

pemimpin ini nescaya tidak berlaku keamanan dan hilanglah hak asasi manusia,

sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang berbunyi: “Sultan itu ialah bayangan

Allah di dunia. Siapa yang memuliakan mereka, maka Allah akan memuliakannya

dan siapa yang menghina mereka maka Allah akan menghinakannya.”

Penyandaran ini bertujuan memberi kemuliaan. Maksudnya: Allah

mempertahankan manusia daripada kezaliman dan penganiayaan menerusi

perantaraan pemimpin. Seperti yang disebut dalam al-Quran mengenai firman

Allah SWT:

�������� ��� !� �� "##$� ��%�&�'() *+�'(,�) �-!./�⌧12� +��345 6�78 ���� 2� �'9 ::;&�

<=(? @AB�☺=D !'�� )251: 2/ا����ة(

Artinya: “Dan kalaulah Allah tidak menolak sebagian manusia (yang ingkar dan

derhaka) dengan sebagian yang lain (yang beriman dan setia) niscaya

rusak binasalah bumi ini; akan tetapi Allah sentiasa melimpah kurnia-

Nya kepada sekalian alam” (QS: al-Baqarah/2: 215)

Page 28: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Ayat ini menerangkan tentang kelebihan pemimpin atau raja. Karena

tanpa adanya pemimpin, niscaya keadaan serta urusan duniawi akan kacau balau

dan hancur dengan perbagai unsur kejahatan atau kerusakan yang boleh

menghancurkan dunia. Oleh sebab itu Allah mengangkat derajat diantara kaum,

maka segala urusan akan berjalan dengan teratur.

Adapun hadis yang menerangkan keistimewaan pemimpin yang adil dan

ganjaran pahala di sisi Allah ialah:

1. Hadis daripada Abdullah bin ‘Amru, telah berkata bahwa Rasulullah SAW

bersabda: “Sesungguhnya orang yang adil berada di atas mimbar daripada di

sebelah kanan Allah dan kedua-dua tangan-Nya adalah kanan16

yang mereka

berlaku adil dalam pemerintahan dan tidak menyeleweng.”

2. Hadis riwayat Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda: “Sesungguh-nya imam itu

perisai yang orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.

Sekiranya dia menyuruh supaya bertaqwa kepada Allah dan berlaku adil,

maka baginya pahala suruhan tersebut dan sekiranya dia menyuruh dengan

yang lainnya, maka dia juga akan memperoleh balasannya itu”17

3. Hadis riwayat daripada ‘Iyad bin Himar, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Penghuni syurga ada tiga golongan: Sultan yang adil dan benar, lelaki yang

16 Syarah al-Sunnah: Jilid VI, h. 64

17 Diriwayatkan oleh al-Bukhari hadits no. 1827.

Page 29: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

berkasih sayang dan baik hati tehadap kerabatnya, dan seorang Muslim yang

berhati-hati menjaga anak dan isterinya daripada perkara haram.”18

Kesimpulannya dalam sesuatu ummah, mestilah terdapat seseorang

pemerintah yang tugasnya menegakkan agama, membantu menyebarkan al-

Sunnah, berlaku adil terhadap mereka yang dizalimi, menyempurnakan segala hak

serta adil dalam segala perkara demi keamanan masyarakat yang dipimpinnya.

B. Gelar Istilah Negara dalam Ketatanegaraaan Islam

Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik masyarakat yang

mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam

masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat itu.

Dengan adanya negara yang merupakan organisasi dalam suatu wilayah dapat

memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan

lainnya dan dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama. Kehidupan

bernegara merupakan suatu keharusan dalam kehidupan manusia yang

bermasyarakat guna mewujudkan peraturan dan agar mampu mewujudkan

kepentingan bersama dalam bermasyarakat. Karena dengan adanya negara dengan

perangkatnya mereka dapat memaksakan suatu keinginan bersama demi kebaikan

dan kemaslahatan bersama.

18 Diriwayatkan oleh Muslim hadits no. 2865.

Page 30: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Ibn Khaldun menjelaskan bahwa negara itu terbentuk karena lanjutan dari

keinginan manusia bergaul (solidaritas) antara seseorang dengan yang lainnya

dalam rangka menyempurnakan segala kebutuhan hidupnya, baik itu dalam

rangka mempertahankan diri maupun menolak musuh. Semakin luas pergaulan

manusia dan semakin banyak kebutuhannya, maka bertambah besar kebutuhannya

kepada suatu organisasi negara yang melindungi dan memelihara keselamatan

hidupnya. Biasanya ketika masyarakat itu teratur karena cita-cita yang sama atau

karena satu keyakinan dan kepercayaan, sehingga menimbulkan perasaan senasib

seperuntungan dan seperjuangan, mereka akan membentuk suatu umat tersendiri.

Masyarakat Islam tampil di pentas dunia ini sekitar tahun 624 Masehi,

ketika konsepsi negara bangsa atau nasional itu belum muncul. Dengan demikian,

negara yang dimaksud dalam Islam atau yang dijalani Nabi Muhammad dan

khulafa rasyidun serta kaum Muslimin awal bukanlah suatu negara dalam

konsepsi nagara nasional, tetapi negara dalam arti luas yaitu suatu masyarakat

manusia yang tinggal dalam satu wilayah tertentu yang diatur berdasarkan syari’at

Islam dan dilaksanakan oleh pemerintah Islam.

Meskipun demikian, negara pada masa Nabi dan khulafa rasyidun telah

memenuhi unsur-unsur sebagaimana negara dalam pengertian sempit, yakni; (a)

warga negara, yang terdiri dari warga negara Muslim dan kaum dzimmi (warga

negara non Muslim yang tinggal menetap di wilayah Islam dan mendapat

perlindungan, dengan kewajiban membayar jizyah) serta musta’min (warga

negara asing non Muslim yang tinggal sementara dalam wilayah Islam dan

Page 31: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

mendapatkan perlindungan, tanpa kewajiban membayar jizyah); (b) wilayah yang

terdiri dari daratan, udara, dan lautan, yang semula hanya wilayah Madinah dan

sekitarnya, kemudian pasca fathu Makkah meliputi semenanjung Arabia dan

sekitarnya; (c) pemerintah, yang dilekati kewenangan melaksanakan dan

menegakkan ketentuan-ketentuan syari’ah Islam, yaitu Nabi Muhammad dan

dilanjutkan oleh khulafa rasyidin.

Jika dilihat akan realitas sejarah, Islam menunjukkan bahwa negara itu

dibutuhkan dalam rangka pengembangan dakwah. Misalnya, ketika nabi masih di

Mekkah (611-622) tidak banyak yang dapat diperbuat di bidang politik karena

kekuatan politik didominasi oleh kaum Quraisy yang memusuhi Nabi. Tetapi

setelah berhijrah ke Madinah, di mana Nabi telah mempunyai komunitas sendiri

yang berjanji setia untuk hidup bersama dengan satu kesepakatan menggunakan

aturan yang disepakati bersama yang berupa Piagam Madinah. Kehidupan Nabi

bersama umatnya pada periode Madinah ini (622-632), oleh banyak pakar

dianggap sebagai kehidupan yang bernegara.19

Penilaian ini tentu didasarkan pada

kenyataan yang dapat dijadikan sebagai argumen bahwa ketika itu telah terwujud

sebuah negara, baik itu wilayah, masyarakat, maupun penguasa.

Namun selanjutnya yang menjadi persoalan adalah Nabi tidak

meninggalkan satu sunnah yang pasti bagaimana sistem penyelenggaraan negara

itu, siapa yang berhak menetapkan undang-undang, kepada siapa kepala negara

19 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI-Press,

1986), hal. 92.

Page 32: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

bertanggungjawab dan bagaimana bentuk pertanggungjawaban tersebut. Karena

ketidakjelasan inilah kita lihat praktek kenegaraan dalam sejarah Islam

selanjutnya selalu berubah-ubah. Dalam masa empat Khalifa al-Rasyidin saja

terlihat kebijaksanaan masing-masing mereka sangat bervariasi, terutama sekali

dalam masalah suksesi. Misalnya, Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama

melalui pemilihan dalam satu pertemuan yang berlansung pada hari kedua setelah

Nabi wafat.

Umar Ibn Khattab mendapat kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak

melalui pemilihan dalam suatu forum musyawarah terbuka, tetapi melalui

penunjukan dan wasiat pendahulunya, Kendatipun demikian Abu Bakar pernah

mendiskusikan dengan sahabatnya secara tertutup. Usman Ibn Affan menjadi

khalifah yang ketiga melalui pemilihan oleh sekelompok orang-orang yang telah

ditetapkan oleh Umar sebelum ia wafat. Sementara Ali Ibn Thalib diangkat

menjadi khalifah yang keempat malalui pemilihan yang penyelenggaraannya jauh

dari sempurna.20

Penyelenggaraan negara di masa Bani Umayyah telah lebih jauh lagi dari

ajaran sebenarnya dibandingkan dengan praktek masa Nabi Muhammad. Pada

masa ini hampir tidak ada lagi bentuk musyawarah dipraktekkan, terutama dalam

rangka suksesi. Tradisi suksesi telah berubah dari praktek sebelumnya para

Khulafa al-Rasyidin yang selalu menggunakan musyawarah, menjadi sistem

penunjukan terhadap anaknya atau keturunannya yang lain. Demikian juga

20 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 28-29.

Page 33: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

praktek sistem kenegaraan di masa Bani Abbasiah tidak banyak perbedaannya

dengan masa Umayyah.

Dalam perkembangannya, “Negara Islam Madinah” yang telah dipraktek-

kan Nabi dan Khulafa Rasyidin tersebut mengalami reduksi dalam implementasi.

“Negara Islam adalah negara yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan

Muslim, di dalamnya tegak dan terlaksana hukum syi’ar-syi’ar Islam. Sifat negara

ini tidak berubah karena sebab tidak terlaksana atau tertundanya sebagian hukum-

hukum Islam selagi syi’ar-syi’ar Islam terlaksana seperti adzan, jum’ah, dan

(shalat) jama’ah. Sebenarnya dalam negara itu bekerja untuk dua tujuan yang

utama. Pertama, menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia dan

menghentikan kezaliman serta menghancurkan kesewenang-wenangan.

Allah SWT berfirman:

! ;.�E�� �F D!G�3�H I$=D�GJ3 �K �F�LM(,���) �F��(NO�H��

P��%!'(Q /D (R7S�� @T�U��☺���� (V�WE�X��

J##$� 7Y���E���) Z �F��(NO�H�� !.[�.\(�] ����

^# _() ^.[�.⌧2 ���1 I$(Q�� ##FD�� a-=D�'�X���� b� �(Q c=eY�F([ c?H��GJ3�� D�X(����) g #h�E

2� iNj��k ⌦N[mN(? )25: 57/ا�����(

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan

membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama

mereka Al-Kitab dan mizan (neraca) supaya manusia dapat

menjalankan keadilan, dan Kami menciptakan besi yang padanya

terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia

(supaya manusia mempergunakan besi itu) dan Allah mengetahui siapa

yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasulNya, padahal Allah Maha

Kuat lagi Maha Perkasa”. (QS: al-Hadid/57: 25).

Page 34: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Dari ayat al-Qur’an di atas dapat dikutip bahwa Maududi ingin

menggunakan negara itu sebagai mekanisme untuk mencapai keselamatan

manusia di dunia dan akhirat. Dengan mengikuti perintah-perintah Allah

sebagaimana telah diwahyukan untuk petunjuk kehidupan manusia yang akan

mendapatkan kebaikan.

Karena sebagaimana dinyatakan oleh Allah sendiri bahwa Islam ini

diturunkan untuk memberi rahmat bagi seluruh alam. Maka negara menjadi satu

kepentingan dalam menjalani setiap pergerakan manusia untuk menjadi khalifah

di muka bumi sebagai menjalankan perintah agama yang diturunkan oleh Allah.

Muhammad Asad menjelaskan bahwa negara bagi Islam merupakan alat

untuk mencapai tujuan, dengan mendasarkan tujuan negara pada ayat al-Qur’an

surat Ali ‘Imran ayat 103-104:

Z��☺7n(R;?�� j:�,\(op ��

$'X�☺!q ���� Z�'k��⌧1� g Z�?�rs�9�� /K!☺�'�O ��

�-rS�X=D(t �9�E �urvFrs ☯r�!.;?�H

!2��_� (x�B() �-rS�)�'D'k

urv��(,;�_� 1z���4�{�'�F�)

FO���a�E �urvFrs�� g<=(? ⌧1⌧2

iI(��1?� a��LQ 3#F� -rs⌧X�EO�_�

\}�~�LQ S !,��⌧X⌧s �x�LB(8?[

b� �-rS�� z���R ([�r �)rSbD!'��

(h��.(R�}�. �rS(4���� �-rS$�LQ \#Q�H

(h�??;.([ <=*�E �e���[�]

(h�?�?Q _([�� 7�?��'\O ��)

(h��!%�F([�� ��(? m��S$�☺�� g !,�� ��_��H�� ?-'�

@T����D�1�☺�� )104-103: 3/���ان ال(

Page 35: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Artinya: ”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah (agama), dan

janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah

kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah

mempersatukan hatimu, lalu jadilah kamu karena nikmat Allah orang-

orang yang bersaudara. Dan kamu telah berada di tepi jurang neraka,

lalu Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu, agar kamu mendapat

petunjuk. Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang

menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan

mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.

(Q.S: al-Imran/2: 103-104)

Berdasarkan ayat itu dapat dijelaskan bahwa tujuan negara Islam adalah

demi pengembangan masyarakat manusia yang mempraktekkan persamaan hak

dan keadilan menuju yang benar (haq) dan menentang yang salah, untuk

menjalankan pembelaan keadaan sosial, yang dapat menyelamatkan kehidupan

manusia lahir ataupun batin menurut undang-undang alam dari Tuhan yaitu

Islam.21

Yang senantiasa perlu diingat adalah bahwa tujuan suatu negara di dalam

ajaran Islam sudah terlalu jelas. Berdasarkan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasul

SAW. Maududi ada menerangkan beberapa tujuan diselenggarakannya negara.

Pertama, untuk mengelakkan terjadinya eksploitasi antara manusia, antara

kelompok atau antara kelas dalam masyarakat. Kedua, untuk memelihara

kebebasan (ekonomi, politik, pendidikan dan agama) para warga negara dan

melindungi seluruh warga negara dari infasi asing. Ketiga, untuk menegakkan

system keadilan sosial yang seimbang sebagaimana yang dikehendaki oleh al-

21 Muhammad Asad, Islamic Constituation Making, terjemahan Omar Amin Husein dan

Amiruddin Djamil, Masalah Kenegaraan Islam (Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Bersama, t.th.),

h. 18.

Page 36: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Qur’an. Keempat, untuk membanteras setiap kejahatan (munkarat) dan

mendorong setiap kebajikan yang dengan tegas telah digariskan pula oleh al-

Qur’an. Kelima, menjadikan negara itu sebagai tempat tinggal yang teduh dan

mengayomi bagi setiap warga negara dengan jalan pemberlakuan hukum tanpa

diskriminasi.

Oleh karena itu, negara dalam ajaran Islam hanyalah merupakan

instrumen pembaharuan yang terus-menerus. Negara, konstitusi dan semua

perangkat kenegaraan lainnya dibuat untuk kepentingan rakyat, bukan rakyat

yang harus mengabdi tanpa reserve kepada negara, sehingga negara itu menjadi

fasistis dan totalier. Semua perangkat negara, apalagi pejabat-pejabat negara,

dapat diubah setiap waktu bila kepentingan rakyat banyak, asal tidak bertentangan

dengan ajaran-ajaran agama,menghendakinya. Sebagai instrumen of reform,

negara dengan konstitusinya, lembaga-lembaga perwakilan, lembaga kehakiman-

nya dan lain-lain harus mengabdi kepada rakyat, bukan sebaliknya.

C. Pandangan Islam tentang Institusi Pemerintahan (Raja)

Adapun pemerintahan mengikut hukum Allah SWT, para pengkaji-

pengkaji meneliti bahwa apa yang dimaksudkan dengan ‘kepemimpinan’ ialah

pemilik kuasa tertinggi dalam sesuatu komuniti dan negara. Dalam konteks

pemerintahan Islam, kepimpinan ditafsirkan dengan corak pemerintahan

mengikut hukum Allah atau dengan kata lain Kuasa tertinggi dan mutlak adalah

milik Allah SWT. Sesungguhnya pemerintahan sesebuah negara dengan hukum

Page 37: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

yang disyariatkan oleh Allah SWT dan menjadikannya sebagai sumber rujukan

hukum perundangan negara ialah satu tuntutan yang diwajibkan oleh Allah dan

Rasul-Nya. Ia merupakan bukti sifat ‘ubudiyyah’ dan tanda keyakinan kepada

risalah kenabian Nabi Muhammad SAW.

Sebagai sebuah ideologi negara, masyarakat serta kehidupan, Islam telah

menjadikan negara beserta kekuasaanya sebagai satu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan dari eksistensinya. Dimana Islam telah memerintahkan kaum

muslimin agar mendirikan negara dan pemerintahan, serta memerintah

berdasarkan hukum-hukum Islam. Dalam al-Qur’an hanya disebutkan prinsip-

prinsip umum mengenai masalah negara dan pemerintahan. Untuk selanjutnya

umat Islam menjabarkannya sesuai dengan realitas dan kondisi riil yang

dihadapinya.

Sistem pemerintahan Islam adalah sebuah sistem yang lain sama sekali

dengan sistem-sistem pemerintahan yang ada di dunia. Baik dari aspek asas yang

menjadi landasan berdirinya, pemikiran, konsep, standar serta hukum-hukum

yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, maupun dari aspek

undang-undang dasar serta undang-undang yang diberlakukannya, ataupun dari

aspek bentuk yang menggambarkan wujud negara. Maupun hal-hal yang

menjadikannya berbeda sekali dari seluruh bentuk pemerintahan yang ada di

dunia seperti; 1) Sistem pemerintahan republik,2) Sistem pemerintahan

kekaisaran, 3) Sistem pemerintahan Federasi 4) Sistem pemerintahan monarki.

Page 38: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Adapun di dalam pembahasan ini lebih menekankan kepada sistem

Pemerintahan Raja atau dikenali dengan sistem Pemerintahan Monarki. Sistem

pemerintahan Islam tidak berbentuk monarki, maupun yang sejenis dengan sistem

monarki. Pemerintahan Monarki menerapkan sistem waris (putera mahkota),

dimana singgahsana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putera mahkota, dari

orang tuanya, seperti mewariskan harta warisan. Sedangkan sistem Pemerintahan

Islam tidak mengenal akan sistem warisan.

Sistem monarki telah memberikan hak tertentu serta hak-hak istimewa

khusus untuk raja saja, yang tidak akan bisa dimiliki oleh orang lain. Sistem ini

juga telah menjadikan raja di atas undang-undang, dimana secara peribadi

memiliki kekebalan hukum. Raja, kadang kala hanya merupakan simbol bagi

umat dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa, seperti raja-raja di Eropa. Atau

kadang kala menjadi raja yang berkuasa penuh, bahkan menjadi sumber hukum.

Mengenai hal ini, al-‘Allahamah Siddiq Hasan Khan berkata” Seseorang

pemerintah tidak patut dipersalahkan, walaupun dia melantik bapak ataupun

anaknya sebagai pengganti, karena dia telah diberi jaminan semasa hidupnya

untuk memperhatikan perbuatan mereka. Sebagus-bagusnya dia tidak dianggap

sebagai ingin meninggalkan pengaruh setelah kematiannya, berbeda dengan

pendapat yang menuduh mereka yang melantik anak atau bapaknya sebagai

pengganti maupun mereka yang menganggap perlantikan anak saja sebagai satu

kesalahan, bukan bapak. Semua ini jauh sama sekali daripada sangkaan yang

baik, terutama jika terdapat faktor yang boleh membawa kepada perkara tersebut

Page 39: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

seperti mengutamakan kepentingan umum ataupun menjangkakan akan berlaku

sesuatu kemusnahan, pada ketika itu tertolaklah segala sangkaan sebagaimana

yang berlaku pada peristiwa pelantikan Yazid oleh bapaknya Mua’wiyah tersebut

yang dipersetujui oleh orang ramai merupakan dalil yang nyata dalam hal ini.

Sistem putra mahkota merupakan sistem yang mungkar dalam pandangan

Islam, serta bertentangan dengan sistem Islam karena kekuasaan adalah milik

umat, bukan milik khalifah.22

Kalau khalifah hanya merupakan wakil umat untuk

memegang kekuasaan sementara statusnya tetap sebagai wakil, maka bagaimana

mungkin khalifah bisa menghadiahkan kekuasaannya kepada orang lain. Karena

itu apa yang dilakukan oleh Abu Bakar r.a. kepada Umar r.a. bukan merupakan

waliyatul ahdi (pewarisan kepada putra mahkota), karena ia melakukan pemilihan

berdasarkan aspirasi umat Islam semasa hidupnya. Lalu Umar r.a. di bai’at

setelah beliau wafat.

Disamping itu, Abu Bakar r.a. sebenarnya telah bertindak hati-hati untuk

menyelesaikan urusan tersebut sebagaimana dalam khutbahnya. Beliau

menggantungkan pelaksanaan urusan tersebut berdasarkan ridla kaum Muslimin,

ketika beliau berkhutbah di hadapan mereka, setelah menetapkan pendapatnya

untuk menunjuk pengganti beliau sambil berkata; “Apakah kalian menerima

orang yang telah aku tunjuk sebagai penggantiku (dalam memimpin) kalian?

Demi Allah, aku telah menyerahkan segenap kemampuan, dan aku tidak akan

22 Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, (Doktrin Sejarah Empirik),

h. 110.

Page 40: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

menunjuk sanak kerabat sebagai pemimpin.”23

Atas dasar ini pula Umar bin

Khattab menjadikan puteranya, Abdullah bersama enam orang calon khalifah,

dimana keenam-enamnya memiliki hak memilih dan tidak berhak dipilih,

sehingga tidak ada yang menyerupai wilayatul ahdi (putera mahkota). Berbeda

dengan sistem putera mahkota yang telah dilakukan oleh Mu’awiyah karena

dalam prakteknya memang jelas bertentangan dengan Islam.

Sedangkan yang menyebabkan Mu’awiyah melakukan bid’ah yang jelas

mungkar tersebut adalah:

a) Mu’awiyah memahami, bahwa sistem kepemimpinan Daulah Islam adalah

sistem kerajaan, bukan sistem khalifah.

b) Mu’awiyah telah memperalat nash-nash syara’ lalu mena’wilkannya

(memberikan arti tidak sesuai dengan maksud nash itu sendiri). Islam telah

memberikan hak pemilihan Khalifah kepada umat, dan hal itu pun telah

dilakukan oleh Rasulullah SAW. Bahkan beliau telah memberikan kebebasan

kepada kaum Muslimin memilih orang lebih layak untuk memimpin urusan

mereka. Namun Mu’awiyah justru terpengaruh untuk memahami Islam

dengan sistem yang sedang berlangsung ketika itu, yaitu yang ada pada dua

negara: Bizantium dan Sasaniyah, dimana pada kedua negara tersebut

pemerintahannya mempergunakan sistem keturunan. Karena itu Mu’awiyah

menjadikan Yazid sebagai putera mahkotanya, lalu disiasati dengan

mengambil bai’at untuk Yazid semasa hidup Mu’awiyah.

23 An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam (Doktrin Sejarah Empirik), h. 110.

Page 41: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

c) Metode Ijtihad Mu’awiyah dalam masalah politik dibangun di atas asas

manfaat. Karena itu dia menjadikan hukum-hukum syara’ mengikuti masalah

yang ada, bukan hukum-hukum tersebut dipergunakan untuk memecahkan

masalah-masalah yang ada, maka Mu’awiyah mena’wilkan hukum-hukum

agar sesuai dengan permasalahan yang ada. Padahal semestinya, dia harus

mengikuti metode ijtihad yang Islami dengan cara menjadikan asasnya adalah

kitabullah dan sunnah Nabi-Nya, bukan berdasarkan kemanfaatan materi. Dan

semestinya menjadikan hukum-hukum Islam sebagai penyelesaian yang pada

zamannya tesebut untuk menyelesaikan hukum Islam, sehingga akan terjadi

perubahan penggantian bahkan memutar balikkan terhadap hukum-hukum

Islam.

Berdasarkan perhitungan al-Mas’udi, masa khalifah selama tiga puluh

tahun itu dimulai sejak pemerintahan Abu Bakar hingga masa pemerintahan

Hasan bin Ali bin Abi Thalib yang berkuasa selama delapan bulan sepuluh hari.24

Dalam perkembangan selanjutnya, penyelengaraan kenegaraan dan pemerintahan

berjalan menjauh dari kondisi ideal yang dipraktekkan Nabi dan para khalifah

terbimbing, terutama ketika pemerintahan Islam dijalankan dengan model

kerajaan. Model ini dimulai ketika Mua’wiyah bin Abi Sufyan tampil

menempatkan diri sebagai kepala negara, dan ketika itu ia secara tegas

mengatakan; “Aku adalah raja pertama”, lalu di akhir masa pemerintahannya,

24 Al-Mas’udi, Juz I, h. 347 dan Hafid bin Ahmad al-Hakimi, A’lam al-Sunnah al-

Masyurah Lii’tiqad al-Thaifah al-Najiyah al-Mansyurah, Wizarat al-Syu’un al-Islamiyah wa al-Auqah wa al-Da’wah wa al-Irsyad, Arab Saudi, 1422 H, h. 290 dan seterusnya.

Page 42: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Mua’wiyah mengangkat Yazid bin Mua’wiyah sebagai putera mahkota. Satu cara

yang tidak pernah dilakukan pada masa-masa pemerintahan sebelumnya. Ibnu

Rusyd mengatakan, “Mua’wiyah telah meruntuhkan bangunan yang indah dan

mulia, yang telah dibangun oleh para khalifah Nabi”.25

Meskipun cara pelaksanaan pemerintahan yang menitikberatkan putera

mahkota banyak mendapatkan pertentangan, namun para fuqaha’ telah

menetapkan bahwa dibolehkannya sistem keimamahan dengan cara menentukan

putera mahkota dari kesepakatan ijma ulama dapat diterima. Namun Islam tidak

memandang sistem raja itu adalah suatu sistem yang salah. Karena, sistem itu

tidak melanggar batas syara’ hukum selagi dalam suatu sistem pemerintahan itu

masih menjalankan hukum-hukum Islam.

25 Dikutip dari M. Quraish Shihab, Sunnah, h. 217.

Page 43: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

BAB III

MAJELIS RAJA-RAJA MENURUT

PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA

A. Sejarah Majelis Raja-Raja Menurut Perlembagaan Persekutuan Malaysia

Majelis Raja-Raja adalah sebuah majelis yang menaungi raja-raja dan

gubernur-gubernur untuk negara bagian yang tidak memiliki raja. Selain itu,

majelis ini juga berperan penting untuk mempersatukan Persekutuan ini menjadi

lebih erat dengan negeri-negeri yang menjadi anggota Persekutuan. Hal yang

menarik dalam struktur perlembagaan ini ialah betapa peran Majelis Raja-Raja

tidak banyak berbeda dengan peran majelis pada tahap awal terbentuknya.

Di sisi lain, perkembangan itu menunjukkan fleksibilitas yang ada dalam

institusi tersebut. Meskipun tidak demokratik, majelis dapat berperan menjadi

lembaga yang seolah-olah demokratis. Hal ini yang menunjukkan betapa institusi

ini memainkan peran tanpa tergantung pada kewenangan formal yang ada dalam

perlembagaan. Dapat dianalisa dengan jelas, bahwa saat pertama kali

terbentuknya lembaga, Majelis Raja-Raja dalam negara Malaysia bertujuan untuk

membangun persatuan dan kesatuan antara negara-negara dan menumbuhkan

semangat nasionalisme dan patriotisme. Selain itu juga memiliki wewenang

dalam struktur kelembagaan negara, berupa parlemen yang dibentuk undang-

Page 44: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

undang yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintahan kerajaan negara

bagian.

Meskipun Majelis Raja-Raja yang ada sekarang merupakan struktur

formal perlembagaan, nama majelis ini tidak dapat dipisahkan dari kesultanan

Melayu yang merupakan tonggak sistem atau institusi kerajaan di Malaysia.

Sebab itu sejarah awal Majelis Raja-Raja dimulai dengan menelusuri secara

sepintas sampai kemunculan dan perkembangannya hingga saat ini.26

Ini penting

untuk menunjukkan ikatan di kalangan keluarga-keluarga kerajaan yang ada di

Malaysia sekarang, satu hal yang juga penting dalam kelahiran lembaga ini.

Berbicara tentang sejarah dan kedudukan kesultanan Melayu tidak dapat

dipisahkan dari kesultanan Melayu Melaka. Meskipun kesultanan ini bukan

kesultanan yang tertua, bahkan Kesultanan Kedah sendiri baru berdiri sekitar abad

ke-13. Kesultanan Melayu Melaka mempunyai pranan yang besar dalam

membina tradisi dan adat istiadat istana yang kemudian diwarisi oleh kesultanan-

kesultanan yang muncul pada masa berikutnya. Antaranya: 1) Pengangkatan

Putera Mahkota: yakni dari dulu yang hanya menggantikan sultan adalah anak

laki-laki terakhir yang di angkat menjadi Putera Mahkota, walaupun bapaknya

mempunyai anak banyak. 2) Perkahwinan: yaitu hanya raja yang berketurunan

Melayu saja yang boleh menikah dengan Raja Melayu.

26 Abdul Aziz Bari,. “Ketua Negara, Ketua-ketua Negeri dan Majlis Raja-Raja”, dlm.

Ahmad Ibrahim et al., Perkembangan Undang-undang Perlembagaan Persekutuan, (Kuala

Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1999), h. 40-99.

Page 45: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Selain itu, Kesultanan Melayu Melaka juga mempunyai peran penting

dalam membantu mendirikan dan memperkuat mayoritas kesultanan yang ada

sekarang. Dari sembilan kesultanan yang ada, hanya kesultanan Melayu Perak

yang mempunyai hubungan lansung dengan Kesultanan Melayu Melaka. Karena

kesultanan tersebut didirikan oleh kesultanan Melayu Melaka sebelum jatuh ke

tangan Portugis pada tahun 1511. Begitu juga dengan, Kesultanan Kedah juga

pernah dilindungi oleh Melaka yang telah memiliki beberapa senjata kerajaan

termasuk meriam yang dianugerahkan kepada kesultanan ini oleh kerajaan

Melaka.

Kesultanan Selangor, yang pada dasarnya didirikan oleh orang Bugis pada

abad ke-18, namun akhirnya disahkan oleh Kesultanan Perak yang mempunyai

hubungan langsung dengan raja-raja Melaka. Kesultanan-kesultanan lain seperti

Johor, Pahang, Kelantan dan Terengganu muncul setelah keturunan Kesultanan

Melayu Melaka berakhir. Dengan kata lain, kesultanan-kesultanan ini jelas

meneruskan warisan yang telah ditinggalkan oleh Kesultanan Melayu Melaka

setelah jatuh ke tangan Portugis. Begitu juga dengan Negeri Sembilan, meskipun

raja-rajanya berasal dari Sumatera.

Dalam perkembangan berikutnya, Inggris pun mulai banyak melakukan

intervensi di negeri-negeri Melayu, setelah adanya Perjanjian Pangkor pada tahun

1874 dan berakhir dengan perjanjian antara kerajaan Inggris dengan Johor pada

Page 46: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

tahun 1914.27

Kedudukan raja-raja Melayu sebagai raja yang berdaulat tidak

berubah. Walaupun kenyataannya mungkin tidak berdaulat penuh. Prinsip ini

telah diresmikan oleh beberapa keputusan mahkamah pada saat itu.28

Sesuatu

yang berbeda kedudukannya dengan kedudukan raja-raja Melayu dalam skema

Malayan Union.

Meski pun demikian, dalam realitanya raja-raja terpaksa tunduk pada

kehendak dan tekanan pihak Inggris. Tekanan itu memang tidak dipersoalkan dari

segi undang-undang, namun tetap saja pihak Inggris mempunyai kekuatan untuk

memaksa raja-raja Melayu untuk mendengar perintah mereka. Dalam beberapa

kesempatan misalnya, pihak Inggris memang menggunakan kekerasan terutama

terhadap pembesar kerajaan dan mayoritas lainnya. Bahkan Inggris juga

menggunakan segala kekuatan dan kekayaan mereka untuk mewujudkan

pemerintahan tidak langsung di negeri-negeri Melayu. Jadi, meskipun kedaulatan

raja-raja dari sisi undang-undang tidak berubah, tetapi dalam realitanya

mengalami perubahan drastis, karena kewenangannya menjadi terbatas atau

bahkan menjadikan mereka sebagai simbol kekuasaan Inggris.

Dengan berbagai intervensi Inggris di negeri-negeri Melayu, berdirilah

saat itu sebuah organisasi besar yang mampu menyamai kebesaran lembaga raja-

raja, pada tahun 1895. Organisasi ini kemudian yang dikenal sebagai kumpulan

27 Dokumen perjanjian-perjanjian ini boleh dilihat dalam Maxwell dan Gibson,. Treaties

and Engangements Affecting Malay State, dan Allen, Stockwell dan Wright (eds), 1981. A

Collection of Treaties Affecting the States of Malaysia 1761-1963,1924, Jilid. 1 28 Roberts – Wray , Constitutional Laws of the Commonwealt and Colonial Law, hlm .

44-45, dan Jennings, 1957. Constitutional Laws of the Commonwealth, Jil. 1, The Monarchies,

1966, h. 14-16.

Page 47: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Negeri-negeri Melayu Bersekutu yang terdiri dari negeri Perak, Selangor, Negeri

Sembilan dan Pahang. Empat orang raja Melayu memiliki kedudukan dalam

Majelis Persekutuan yang fungsinya antara lain untuk mengeluarkan kebijakan

yang kemudian dilaksanakan melalui mekanisme perundangan di tingkat negeri

melalui Majelis-Majelis Negeri. Dalam persatuan tersebut, kekuasaan raja-raja

Melayu dalam perundang-undangan masih utuh, yakni berdaulat penuh.

Sayangnya semua itu hanyalah dari segi teori perlembagaan. Kenyataannya saat

itu Inggris yang memberlakukan kebijakan pembentukan raja-raja di Negeri-

Negeri Melayu Bersekutu.

Hal tersebut itulah yang menyebabkan para raja ini tidak senang dengan

kebijakan yang diterapkan oleh Inggris. Karena bagaimanapun kehadiran Inggris

telah mengakibatkan mereka seperti lembaga yang kosong. Bahkan merasa tidak

dapat memerintah secara berdaulat atau malah tidak memiliki wilayah. Raja-raja

tahu apa yang mereka terima bukanlah sesuatu yang mereka inginkan ketika

menandatangani perjanjian dengan pihak Inggris. Ini dibuktikan dengan

penentangan awal sesudah Perjanjian Pangkor yang berakhir dengan pembuangan

negeri Sultan Abdullah.

Rasa tidak senang itulah yang kemudian melahirkan Durbar yang pertama

kali diadakan di Kuala Kangsar pada tahun 1897, yaitu perkumpulan awal empat

raja bagi negeri Perak, Selangor, Negeri Sembilan dan Pahang. Perlu dijelaskan

juga bahwa ketidakmampuan raja-raja untuk mengikuti kebijakan Inggris untuk

membentuk negeri-negeri Melayu menyebabkan mereka terpaksa menerima

Page 48: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

usulan Inggris yang membimbing mereka dalam sebuah forum. Walaupun Durbar

berjalan, raja-raja berhasil merubah proses perjalanannya dan menjadikannya

sebuah forum untuk memperbaiki nasib dan kehidupan orang Melayu.

Selain itu apa yang menjadi keputusan dalam persidangan Durbar yang

pertama di Kuala Kangsar itu turut menjadi sebuah ikatan yang menghubungkan

sesama raja-raja dan rakyat tanpa disengaja. Sambutan dan protokol ini memang

menjadi tradisi majelis sehingga hari ini. Persidangan Durbar yang pertama itu

penting karena dapat membuat keputusan tentang beberapa hal yang semuanya

diserahkan kepada majelis-majelis negeri yang kemudian menjadi undang-undang

(dari sudut perlembagaan, kewenangan membuat undang-undang pada masa itu

masih berada di tangan sultan, walaupun pada praktisnya undang-undang itu telah

diubah dan dirinci oleh persekutuan dan majelis). Dengan demikian, persidangan

Durbar telah mengambil kewenangan dengan salah satu fungsi yang sebelumnya

dijalankan oleh majelis persekutuan.

Persidangan persekutuan di Kuala Kangsar itu kemudian diikuti oleh

persidangan-persidangan Durbar di Kuala Lumpur pada tahun 1903. Kemudian di

Kuala Kangsar lagi pada tahun 1927, di Pekan, Pahang, pada tahun 1932, di

Kuala Kangsar pada tahun 1933 dan di Seri Menanti pada tahun 1933.

Persidangan-persidangan itu, dari segi undang-undang dan kerangka Perlem-

bagaan pada waktu itu, tidak merubah status quo yang ada. Persidangan-

persidangan itu menjadi tempat untuk kedua pihak raja-raja dan pembesar mereka

Page 49: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

di satu pihak dan Inggris di pihak yang lain. Bertemu dan membolehkan raja-raja

menyuarakan aspirasi mereka terhadap kerajaan Inggris.29

Terdapat beberapa hal penting tentang persidangan Durbar itu. Pertama

ialah perkataan ‘Durbar’ itu sendiri. Ada yang berpendapat bahwa ungkapan itu

seperti pengaruh atau signifikansi Syarikat Hindia Timur Inggris. Durbar juga

dapat dikatakan dikatakan mempunyai keterkaitan dengan persidangan residen-

residen Inggris yaitu pegawai-pegawai tinggi Inggris yang menjadi penasehat

sultan dan badan penasihat kepada Residen Jeneral, pegawai tinggi yang

mengendalikan sekretariat Negeri-Negeri Melayu Bersekutu. Dari segi

pengendalian, persidangan-persidangan Durbar itu dijabat oleh utusan tertinggi

Inggris. Anggota-anggotanya terdiri dari raja-raja dan pembesar mereka, Residen

Inggris di 4 negeri-negeri Melayu di atas dan para sekutu di Negeri-Negeri

Melayu. Proses dalam persidangan ini dijalankan dalam bahasa Melayu. Perlu

ditegaskan bahwa setelah tahun 1909, raja-raja tidak lagi mengambil bagian

dalam hasil sidang dari Majelis Permusyawaratan Persekutuan.

Ada sarjana yang menulis bahwa mereka tidak mampu mengikuti proses

dan keputusan dalam majelis tersebut. Bagaimanapun, ini tidaklah terlalu

mengejutkan karena mengingat kedudukan protokol mereka sebagai pihak ynang

memiliki kekuasaan tertinggi di negeri masing-masing, proses dan hasil sidang

yang terperinci itu bukanlah tugasan mereka. Dalam proses ini, mayoritas para

29 Abdul Aziz Bari,. Majlis Raja-Raja: Kedudukan dan Peranan dalam Perlembagaan,

(Selangor: Percetakan Dawama, 2002), h. 20

Page 50: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

pegawai Inggris juga turut hadir dalam Majelis Permusyawaratan Persekutuan.

Persidangan-persidangan Durbar yang membicarakan persoalan-persoalan dasar

yang lebih umum dan besar jelas lebih sesuai untuk raja-raja. Di samping itu,

mereka dapat terus menyalurkan masalah kepada pihak-pihak tertinggi dalam

pembentukan kerajaan Inggris.

Walau apa pun manfaat dan pengaruh yang timbul dari persidangan-

persidangan Durbar itu, perlu ditekankan untuk menunjukkan kemunculan yang

relevan bagi peran raja dalam dunia moderen, sesuatu yang tidak memungkinkan

pada tahun-tahun sebelumnya. Yang paling menonjol setelah persidangan Durbar

ialah peran raja-raja sebagai pelindung atau penjaga dan ini penting karena pada

waktu itu, orang Melayu tidak mempunyai suara dalam pembentukan kerajaan

Inggris. Pada waktu itu, orang Melayu tidak mempunyai partai politik seperti

sekarang. Selain itu politik tidak terpengaruh terhadap kedudukan Majelis Raja-

Raja, karena sistem raja adalah sistem keturunan dan sistem politik adalah sistem

yang dibentuk oleh rakyat. Ini disebabkan bahwa raja merupakan sebagai

penasehat yang mutlak. Usulan dan kritikan raja-raja yang terkait dengan

pembentukan dengan kerajaan mengesahkan kedudukan dan peran Yang di-

Pertuan Agong dan raja-raja dalam soal keistimewaan orang Melayu dalam

perlembagaan sekarang.

Dalam persidangan Durbar itu juga lahir ide dan usulan untuk

memperbaiki nasib dan kedudukan orang Melayu. Menarik untuk disebutkan,

bahwa dalam persidangan pada tahun 1897, raja-raja menginginkan persoalan

Page 51: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

keterkaitan antara negara dengan agama Islam tetap ada sampai pada majelis

negeri. Permasalahan ini tidak harus dibawa ke tingkat Majelis Permusyawaratan

Persekutuan. Ini penting karena ia menunjukkan sikap raja-raja yang berhubungan

dengan masalah agama, terutama dalam konteks hubungan pihak Inggris yang

berpusat di Kuala Lumpur dengan pihak Negeri-Negeri Melayu Bersekutu. Dalam

persidangan pada tahun 1903, Yang di-Pertuan Besar Negeri Sembilan juga

menunjukkan ketidak senangannya tentang kedudukan bahasa Melayu dalam

pembentukan.

Dalam persidangan di Kuala Lumpur itu juga, Sultan Perak telah

menunjukkan kekesalannya karena Inggris tidak berbuat apapun untuk

mengangkat orang Melayu yang dapat berperan dalam pembentukan negara.

Bahkan sang Sultan juga menentang terhadap aliran dan sentralisasi kekuasaan

yang semakin jelas dalam pembentukan Inggris. Protes itu dikatakan membawa

pada usaha mereformasikan struktur otoritas dan pemerintahan yang disetujui

oleh pihak Inggris di Kuala Lumpur.

Permusyawaratan Majelis Raja-Raja yang pertama setelah Merdeka

diadakan pada 30 dan 31 Oktober 1957 dan dilanjutkan oleh Duli Yang Maha

Mulia Tuanku Syed Putra ibni Al-marhum Syed Hassan Jamalullail, Raja Perlis.

Sesuai dengan aturan, hanya Duli Yang Maha Mulia Raja-raja saja yang layak

meneruskan kerajaan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Majelis. Yang

Amat Berhormat Menteri Besar hadir juga sebagai penasihat Duli Yang Maha

Mulia Raja-raja dan Ketua Menteri bagi Timbalan Yang Terhormat Yang di-

Page 52: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Pertuan Negeri. Yang di-Pertuan Agong hanya berangkat hadir pada musyawarah

hari kedua dengan diiringi oleh Yang Amat Berhormat Perdana Menteri sebagai

penasihat.

Keunikan Majelis Raja-Raja berdasarkan kedudukannya adalah sebagai

satu-satunya institusi yang sedemikian rupa ada di dunia pada masa kini. Selain

itu juga berperan sebagai penjaga institusi kerajaan di negara ini. Pembentukan

Majelis Raja-Raja telah diundangkan berdasarkan Pasal 38 Perlembagaan

Persekutuan. Fungsi dan tugas-tugasnya mengikuti Jadwal Kelima Perlembagaan,

antaranya berwenang memilih Yang di-Pertuan Agong dan Timbalan Yang di-

Pertuan Agong. Inilah kewenangan yang dikehendaki oleh Raja-Raja dalam

Memorendum yang mereka serahkan kepada Suruhanjaya Reid pada tahun 1957.

Institusi Yang di-Pertuan Agong menjadi sebagian dari Parlimen dan Raja yang

menyandang jabatan Yang di-Pertuan Agong menjadi lambang kedaulatan negara

dan perpaduan kaum.30

B. Kedudukan Majelis Raja-Raja

Maksud kedudukan Majelis Raja-Raja dalam perlembagaan sekarang ini

ialah posisi dan kewenangan majelis tersebut dalam Perlembagaan Persekutuan

dan Perlembagaan Negeri.31

Perlembagaan Persekutuan merupakan sebuah bagian

30 Menjunjung Kasih: Seri Paduka Baginda Yang Di-pertuan Agong XII DYMM Tuanku

Syed Sirajuddin ibni Al-marhum Tuanku Syed Putra Jamalullail, Jabatan Warisan Negara, (Kuala

Lumpur: Kementerian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia:KEKWA, 2006), h. 28.

Page 53: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

khusus untuk Majelis Raja-Raja.32

Dalam perlembagaan tersebut juga disebutkan

kedudukan majelis dalam berbagai kapasitas. Kedudukan majelis dalam

perlembagaan juga menentukan mengenai jadwal-jadwal33

dan peraturan-

peraturan34

yang berfungsi menjelaskan secara lebih lanjut hal-hal yang terkait

dengan perlembagaan.

Di bawah Perlembagaan Malaysia, kedudukan raja-raja Melayu adalah

terjamin. Pasal 38 ayat (4) menyatakan bahwa Perlembagaan tidak boleh diubah,

jika perubahan itu menyentuh pada kewenangan raja-raja Melayu, melainkan

harus mendapatkan persetujuan dari Majelis Raja-Raja terlebih dahulu. Majelis

Raja-Raja juga adalah satu badan yang memelihara hak istimewa orang Melayu,

karena apapun perubahan kebijakan tentang kedudukan orang Melayu hendaklah

dibicarakan terlebih dahulu dalam majelis ini.

1. Kedudukan Raja-Raja dalam Konteks Agama Islam dan Perlembagaan

Perlembagaan Persekutuan menjelaskan bahwa raja merupakan ketua

agama Islam dalam negeri baginda sebagaimana yang ditetapkan oleh

31 Abdul Aziz Bari, 2001. Perlembagaan Malaysia: Asas-Asas dan Masalah. Kuala

Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

32 Lihat Perlembagaan Persekutuan, Bagian 4, Bab 2, Perkara 38. 33 Lihat Perlembagaan Persekutuan, Jadwal Ketiga, Jadwal Keempat dan Jadawal

Kelima.

34 Terdiri daripada Peraturan Majlis Raja-Raja 1988 (Peraturan Penasehat Kepada Duli

Yang Maha Mulia/Tuan Yang Terutama di Mesyuarat Majlis Raja-Raja dan Peraturan Pemilihan

Yang di-Pertuan Agong dan Timbalan Yang di-Pertuan Agong) yang diluluskan oleh Majlis Raja-

Raja dalam mesyuarat yang ke-143 pada Mac 1988

Page 54: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Perlembagaan Negeri terkait.35

Sedangkan Yang di-Pertuan Agong

merupakan ketua agama Islam dalam negeri-negeri yang tidak memiliki raja

seperti Perlembagaan Negeri pada negeri-negeri tersebut36

dan dalam Wilayah

Persekutuan. Yang di-Pertuan Agong masih menjalankan tugas sebagai ketua

agama Islam dalam negeri baginda.37

Ketentuan dalam Perlembagaan ini menunjukkan betapa agama Islam

mempunyai kedudukan yang penting di sisi raja-raja. Dilihat dari segi sejarah,

dalam persidangan Durbar pada tahun 1897, raja-raja membahas tentang

agama Islam di tingkat Majelis Negeri dan tidak dibawa ke peringkat Majelis

Rapat Persekutuan. Begitu juga sewaktu perundingan kemerdekaan, raja-raja

menyetujui memberi pernyataan supaya menetapkan agama Islam sebagai

agama persekutuan dimasukkan ke dalam Perlembagaan Persekutuan hanya

sesudah raja-raja diberi jaminan bahwa penetapan tersebut tidak akan

mengurangi kedudukan raja-raja sebagai ketua agama Islam di negeri masing-

masing.

Perlembagaan Persekutuan menentukan raja-raja dapat bertindak

sesuai dengan kewenangan dirinya dalam menjalankan tugas sebagai ketua

agama Islam. Ini menunjukkan bahwa raja-raja tidak seharusnya bertindak

sesuai pihak eksekutif dalam masalah agama Islam. Ini juga berarti bahwa

35 Perlembagaan Persekutuan, Perkara 3(2.).

36 Perlembagaan Persekutuan 3(3). 37 Perlembagaan Persekutuan , Pasal 34 ayat (1).

Page 55: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

struktur Perlembagaan Persekutuan mengizinkan kelanjutan kekuasaan raja-

raja dalam urusan agama Islam. Perlembagaan Negeri semua negeri yang

memiliki raja ini menunjukkan bahwa raja-raja hendaklah bangsa Melayu dan

beragama Islam. Perlembagaan Persekutuan pula mengharuskan orang

Melayu sebagai orang yang beragama Islam. Pengertian ini jelas menunjuk-

kan bahwa Melayu dan Islam merupakan dua unsur yang tidak dapat

dipisahkan.

Pasal 153 Perlembagaan Persekutuan juga menegaskan bahwa Yang

di-Pertuan Agong mempunyai tanggungjawab sebagai pelindung kedudukan

istimewa orang Melayu.38

Berdasarkan ketentuan tersebut orang Melayu

dalam Perlembagaan Persekutuan, Yang di-Pertuan Agong mempunyai

tanggungjawab untuk melindungi agama Islam sebagai agama yang dianut

oleh orang-orang Melayu. Majelis Raja-Raja39

bertindak sebagai sebuah

badan undang-undang dalam beberapa perkara tertentu.40

Majelis Raja-Raja

juga yang memilih, melantik dan memberhentikan Yang di-Pertuan Agong.

Terkait dengan agama Islam, Majelis Raja-Raja mempunyai fungsi untuk

menentukan perbuatan, adat dan agama Islam yang mencakup seluruh

38 Perlembagaan Persekutuan, Perkara 153(1) Cf. Abdul Aziz Hussin, Isntitusi Raja, h..

64-65.

39 Penubuhan Majlis Raja-Raja diperuntukan oleh Perkara 38 Perlembagaan Persekutuan

dan mengikut peruntukan Jadual Kelima Perlembagaan Persekutuan.

40 Perlembagaan Persekutuan, Pasal 38 ayat (2)

Page 56: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

negara41

dan memilih tanggal permulaan puasa dan tanggal perayaan orang-

orang Islam.42

Oleh sebab itu dalam Perlembagaan Persekutuan tidak ada seorang

ketua agama Islam bagi seluruh persekutuan, penulis buku “Pentadbiran

Undang-Undang Islam di Malaysia” karya Mahamad Arifin mengatakan

beliau setuju dengan pandangan Abdul Aziz Bari bahwa Majelis Raja-Raja,

meskipun tidak disebut secara jelas dalam Perlembagaan Persekutuan, ia juga

merupakan penguasa tertinggi dalam berbagai bidang yang terkait dengan

agama Islam di tingkat persekutuan.43

2. Keanggotaan Majelis Permusyawaratan Raja-Raja

Keanggotaan Majelis Raja-Raja terlihat jelas perbedaanya ketika

sebelum merdeka. Pada masa itu, Majelis Raja-Raja adalah sebuah

perkumpulan yang eksklusif buat raja-raja Melayu saja. Mulai tahun1957,

Perlembagaan Persekutuan telah mengikut sertakan ketua-ketua negeri yang

bukan raja yakni Yang DiPertuan Negeri (pada masa itu masih gubernur)44

bagi Melaka dan Pulau Pinang. Apabila Malaysia dibentuk pada tahun 1963,

41 Perlembagaan Persekutuan, Pasal 3 ayat (2). Lihat pula Abdul Aziz Bari, Institusi

Ketua Negara, h. 69-70.

42 Abdul Aziz Bari, Institusi Ketua Negara, h. 70, Mohamed Suffian, Role of the

Monarchy, h. 38. 43Abdul Aziz Bari, Majlis Raja-Raja, h. 86-88; Abdul Aziz Bari, Islam dalam

Perlembagaan Persekutuan, Pasal 3 ayat (2).

44 Gelar ‘gabenor’ ditukar kepada Yang Dipertua Negeri pada tahun 1976.

Page 57: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

persekutuan ini mencakup ketua-ketua negeri Sabah dan Sarawak.

Anggotanya terdiri dari ketua-ketua negeri (dari kalangan bukan Islam dan

bukan Melayu) tidak boleh turut serta dalam penetapan majelis yang khusus

membicarakan kedudukan atau persoalan yang melibatkan institusi beraja

serta pemilihan Yang di-Pertuan Agong dan Timbalan (Wakil) Yang di-

Pertuan Agong. Sesuai dengan kedudukan raja-raja sebagai ketua agama

negeri masing-masing, semua Yang Dipertua Negeri juga tidak boleh

menyertai rapat majelis sekiranya majelis membahas hal-hal yang berhubung

dengan agama Islam sebagaimana yang dibolehkan oleh perlembagaan.

Perlu dicatat bahwa ketua agama Islam bagi negeri-negeri yang

tidak mempunyai raja yakni negeri-negeri yang diketuai oleh Yang

Dipertua Negeri ialah Yang di-Pertuan Agong, di antara negeri-negeri

tersebut adalah Sabah, Sarawak, Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur dan

Putrajaya. Manakala negeri-negeri yang mempunyai raja seperti Pulau Pinang,

Kedah, Kelantan, Perak, Terengganu, Pahang, Melaka, Negeri Sembilan dan

Johor.

Secara teknis Yang di-Pertuan Agong bukanlah anggota Majelis Raja-

Raja. Ini karena pada masa dahulu berdasarkan Perlembagaan ialah anggota-

anggota majelis yang terdiri dari pada raja-raja dan Yang Dipertua Negeri atau

siapa saja yang mengambil tempat, sesuai dengan Perlembagaan negeri

Page 58: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

tersebut, atau ketua-ketua negeri itu.45

Yang di-Pertuan Agong, seperti yang

dikehendaki oleh perlembagaan, harus melepaskan semua tugas negeri apabila

baginda mengambil tugas jabatan itu.46

Tugas yang dibenarkan untuk

dijalankan hanyalah sebagai ketua agama Islam. Apabila raja-raja membahas

permasalahan yang berhubungan dengan institusi beraja seperti pemilihan

atau pemecatan Yang di-Pertuan Agong atau Timbalan Yang di-Pertuan

Agong, pembantu raja negeri baginda mungkin menjadi anggota. Ini karena

Perlembagaan hanya mencegah Yang Dipertua Negeri saja dalam mengikuti

musyawarah tersebut.47

Dengan demikian, dalam keadaan itu pembantu Raja bagi negeri Yang

di-Pertuan Agong mungkin akan terus mewakili negeri yang tidak bersltan.

Inilah sebabnya disebutkan bahwa keanggotaan Majelis Raja-Raja berubah-

ubah mengikuti fungsi perlembagaannya. Mungkin dapat dikatakan bahwa

hanya raja-raja dan pembantu raja bagi negeri Yang di-Pertuan Agong yang

menjadi anggota tetap Majelis Raja-Raja. Walaupun Yang di-Pertuan Agong

dikatakan bukan anggota Majelis Raja-Raja tetapi baginda dapat ditunjuk

bahwa baginda adalah anggota majelis apabila majelis membicarakan

kedudukan raja-raja dan Yang di-Pertuan Agong. Seperti yang dinyatakan

dalam Perlembagaan, anggota-anggota majelis harus mematuhi nasehat

kerajaan dikala Majelis Raja-Raja membahas hal-hal yang berhubungan

45 Lihat Perlembagaan Persekutuan, Jadwal Kelima, seksyen 1 dan 2.

46 Lihat Perlembagaan Persekutuan, Perkara 34 (1)

47 Perlembagaan Persekutuan, Jadwal Kelima, Pasal 7.

Page 59: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

dengan dasar-dasar dan Pemerintahan Negara, dan ada pula yang mengatur

rapat Majelis Raja-Raja yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama ialah

rapat yang dihadiri oleh anggota-anggota majelis, Yang di-Pertuan Agong

tidak turut serta. Sedangkan bagian kedua ialah rapat yang dihadiri oleh Yang

di-Pertuan Agong bersama dengan Perdana Menteri.

3. Majelis Raja-Raja dan Kerajaan

Bagaimanapun Perlembagaan tidak menyebutkan secara jelas bahwa

Perlembagaan memberikan kesempatan bagi Majelis Raja-Raja untuk bertemu

dengan pihak kerajaan pusat secara formal dan resmi, di samping

menyediakan platform untuk semua negeri bertemu dengan pusat. Inilah

implikasi rapat, khususnya dalam hubungan fungsi dan hak majelis. Tidak

secara langsung, pembahsan berbagai hal akan dapat diadakan. Perlembagaan

menetapkan bahwa dalam membicarakan hal-hal dasar negara, anggota

Majelis Raja-Raja harus menerima nasehat kerajaan. Mungkin ini

dimaksudkan untuk pengambilan keputusan secara benar banwa anggota-

anggota majelis perlu mendengar nasehat sebelum mengemukakan

persoalannya atau pendapatnya.

Bagaimanapun, perlembagaan menghendaki anggota Majelis Raja-

Raja diiringi penasehat yang terdiri dari ketua kerajaan atau mereka yang

menganggotai kerajaannya. Ini sama dengan konsep Raja Berperlembagaan

dan kerajaan yang memerintah sebagai pemegang kekuasaan yang

Page 60: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

bertanggungjawab kepada para pemilih. Sebagian dari keputusan majelis,

mungkin terpaksa dilaksanakan oleh kerajaan. Peraturan Majelis Raja-Raja

menetapkan bahwa para Menteri Besar dan Ketua Menteri adalah penasehat

tetap bagi raja-raja dan Yang Dipertua Negeri. Sekiranya majelis membahas

hal-hal yang berhubungan dengan institusi beraja termasuk pemilihan Yang

di-Pertuan Agong, penasehat ini tidak perlu hadir. Peraturan Majelis Raja-

Raja menyatakan bahwa sekiranya penasehat itu tidak dapat hadir, anggota-

anggota tersebut akan melantik seorang anggota kerajaan yakni Anggota

Majelis Musyawarah Kerajaan atau Kabinet Negeri di Sabah dan Sarawak.

Penasehat pengganti ini harus diumumkan kepada Penyimpan Mohor Besar

Raja-Raja. Meskipun pelantikan seorang yang tidak beranggota kerajaan tidak

disebut oleh Perlembagaan, ini jelas bertentangan dengan tujuan awal

mengapa anggota Majelis Raja-Raja perlu disertai oleh penasehat. Sejajar

dengan kedudukan ketua-ketua negeri di sisi perlembagaan adalah tidak benar

jika mereka memilih sendiri siapa yang berhak mengiringi mereka ke

musyawarah majelis.

C. Fungsi Majelis Raja-Raja

Hak, kuasa dan fungsi Majelis Raja-Raja terkandung dalam ketentuan

utama pada perlembagaan. Yang dimaksud dengan ketentuan utama di sini ialah

penetapan perlembagaan yang mengarah khusus kepada Majelis Raja-Raja, baik

dalam bentuk perkara Perlembagaan maupun jadwal yang disertakan untuk

Page 61: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

merincikan hal-hal yang bersangkutan. Ini termasuk peraturan yang dibuat untuk

melaksanakan sebagian dari kewenangan yang ditetapkan oleh perlembagaan itu.

Ketentuan utama berkaitan dengan peranan Majlis Raja-Raja yang

terkandung dalam Pasal 38 ayat (2) Perlembagaan Persekutuan:

1. Memilih Yang di-Pertuan Agong dan Timbalan Yang di-Pertuan Agong

bagi Persekutuan mengikut peruntukan-peruntukan Jadual Ketiga;

2. Mempersetujui atau tidak mempersetujui supaya apa-apa perbuatan, amalan

atau upacara agama meliputi seluruh Persekutuan;

3. Mempersetujui atau tidak mempersetujui apa-apa undang-undang dan

membuat atau memberi nasihat mengenai apa-apa perlantikan yang,

menurut Perlembagaan ini, memerlukan persetujuan Majlis Raja-Raja atau

yang dikehendaki dibuat oleh atau selepas berunding dengan Majlis Raja-

Raja;

4. Melantik anggota-anggota Mahkamah Khas di bawah Fasal (1) Perkara 182;

5. Memberi ampun, reprief dan respit, atau meremitkan, menggantung atau

meringankan hukuman di bawah Fasal (12) Perkara 42.

Apabila Majelis Raja-Raja membahas hal-hal tentang polisi negara, Yang

di-Pertuan Agong akan diiringi oleh Perdana Menteri, raja-raja lain diiringi oleh

Menteri Besar negeri masing-masing dan gubernur-gubernur diiringi oleh ketua

menterinya masing-masing. Dalam pembahasan persoalan polisi negara, Majelis

Raja-Raja berhak membicarakan tugas dan kewenangan yang dijalankan oleh

Yang di-Pertuan Agong dengan mengikuti nasehat jemaah menteri, tugas serta

kuasa yang dijalankan oleh raja-raja lain dan gubernur-gubernur dengan

mengikuti nasehat majelis kerajaannya masing-masing.

Selain yang disebutkan oleh perlembagaan sebagai tugas-tugas itu,

Majelis Raja-Raja juga dibolehkan mengambil bagian dalam pelaksanaan hak-hak

Page 62: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

istimewa orang Melayu dan bumiputera di Sabah dan Sarawak.48

Permasalahan

yang menarik dan signifikan dalam soal kuasa dan Majelis Raja-Raja ialah hak

untuk tidak memberi perkenaan atau persetujuan kepada undang-undang yang

secara langsung menyentuh keistimewaan, kedudukan, kehormatan dan kebesaran

raja-raja.49

Majelis juga mempunyai kekuasaan yang sama sehubungan dengan

perubahan yang berkaitan dengan perlembagaan didalam kedudukan agama Islam

serta hak-hak istimewa orang Melayu dan kaum bumiputera Sabah dan Sarawak.

Majelis juga mempunyai kekuasaan yang sama dalam masalah perubahan

terhadap penetapan-penetapan yang berkaitan dengan kewarganegaraan dan

perlindungan terhadap hal-hal yang di atas, daripada menjadi subjek kebebasan

bersuara. Dengan kata lain, apapun keputusan atau ketetapan kedua Majelis

Parlemen itu, yakni Dewan Negara dan Dewan Rakyat menjadikan undang-

undang yang berkaitan dengan hal-hal tersebut tidak boleh dikeluarkan tanpa

persetujuan Majelis Raja-Raja. 50

Biografi Yang di-Pertuan Agong Sultan Mizan

Baginda Yang di-Pertuan Agong Sultan Mizan dilahirkan pada 22 Januari

1962 di Istana Al-Muktafi, Kuala Terengganu, ibu Negeri Terengganu. Baginda

mendapatkan pendidikan awal di Sekolah Rendah Sultan Sulaiman (Sekolah

Dasar) dan kemudiannya Sekolah Menengah Kebangsaan Sultan Sulaiman,

48 Perlembagaan Persekutuan, Pasal 38 ayat (5).

49 Perlembagaan Persekutuan, Pasal 38 ayat (4).

50 Perlembagaan Persekutuan, Pasal 159 ayat (5)

Page 63: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

baginda kemudiannya keluar negeri untuk melanjutkan perajaannya di sekolah

berpresti yaitu Geelong Grammar School di Geelong, Australia. Pada tahun 1988,

baginda melanjutkan studinya di U.S. Internasional University-Europe di London

dan memperoleh Ijazah Sarjana Muda Sastera di Internasional Relationships pada

9 Jun 1988.

Baginda mengikuti kursus ketenteraan PRE SMC (E) 33 di Army School

of Languages dari 2 November 1982 hingga 31 Mei 1983, kemudian mengikuti

kursus ketentaraan SMC 33 di Akademik Tentara DiRaja Sandhurst di England

daripada 3 Mei 1983, menghabiskan kursus Pegawai Kadet pada 9 Desember

1983. Baginda telah dianugerahkan pangkat Leftenen pada 1 Maret 1984 dan

telah mengabdi pada Askar Berkuda DiRaja. Baginda telah mendapat Putera

Mahkota negeri Terengganu Darul Iman pada 6 November 1979, dan

kemudiannya, pemangku Sultan Terengganu daripada 20 Oktober hingga 8

November 1990. Baginda menyukai kegiatan berkuda, ia juga merupakan Yang

di-Pertuan Agong yang pertama yang diputerakan setelah kemerdekaan kedua

termuda ketika nobatkan yaitu setelah Yang di-Pertuan Agong.

D. Majelis Raja-Raja dan Hububungan Eksekutif

Sistem pemerintahan di Malaysia telah ditentukan berdasarkan

Perlembagaan Persekutuan dengan memisahkan tiga lembaga Pemerintahan

Negara, yang terdiri dari badan perundangan (legislatif), badan pemerintahan

(eksekutif) dan badan kehakiman (judiciary). Pemisahan ketiga badan dalam

Page 64: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Pemerintahan Negara disebut sebagai doktrin pengasingan kuasa. Doktrin ini

dikemukakan oleh Montesquieu, seorang filosof terkemuka Perancis pada abad

ke-18. Ketiga-tiga struktur pemerintahan di Malaysia tersebut mengandung

kekuuasaan tertinggi, dan ketiga-tiga badan tersebut terletak pada Yang di-

Pertuan Agong sebagai Ketua Negara. Ini bermakna Yang di-Pertuan Agong

adalah sekaligus merupakan ketua kepada ketiga-tiga cabang kerajaan.

Berdasarkan Perlembagaan, baginda bukan saja memegang kekuasaan

eksekutif melainkan juga kekuasaan legislatif. Menurut Pasal 39 Perlembagaan

Persekutuan ialah kekuasaan memerintah Persekutuan, sedangkan menurut Pasal

40 Yang di-Pertuan Agong hendaklah bertindak mengikuti nasehat. Menurut

Pasal 39 mengenai perlembagaan dalam memberi kekuasaan eksekutif kepada

Yang di-Pertuan Agong, namun menurut undang-undang Persekutuan dan Jadual

Kedua Perlembagaan Persekutuan, Parlemen boleh memberikan fungsi eksekutif

itu kepada orang lain.

Meskipun terdapat beberapa pengecualian dalam Perlembagaan tentang

kekuasaan dan kedudukan Yang di-Pertuan Agong namun pada intinya baginda

menerima nasehat dari Kabinet, atau dari Perdana Menteri. Walau bagaimanapun,

Yang di-Pertuan Agong berhak dan atas kemahuannya meminta segala masukan

mengenai Kerajaan Persekutuan yang diberikan kepada Kabinet. Walaupun Yang

di-Pertuan Agong bertindak atas nasehat Kabinet atau Menteri atau pun sesudah

malalui perundingan atau atas usulan seseorang pada sesuatu organisasi (yang lain

Page 65: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

dari Kabinet) tetapi dalam pelaksanaannya tiga fungsi Perlembagaan itu, Yang di-

Pertuan Agong dapat bertindak menurut pendapat baginda.51

Adapun ketiga fungsi itu ialah:

1. Melantik Perdana Menteri;

2. Menyetujui atau tidak menyetujui permintaan membubarkan Parlemen;

3. Meminta supaya diadakan rapat Majelis Raja-Raja yang membahas mengenai

keistimewaan, kedudukan, kemuliaan dan kebesaran Duli-duli Yang Maha

Mulia Raja-Raja dan mengambil keputusan dalam rapat tersebut.

Perlantikan Perdana Menteri adalah berdasarkan kemampuan calon

tersebut mendapat suara terbanyak dalam Parlemen. Pemilihan anggota Kabinet

dan Juru Bicara Menteri adalah atas nasehat Perdana Menteri. Perlembagaan

Persekutuan Pasal 39 dan 40 menyatakani:

Pasal 39

Kuasa pemerintah bagi Persekutuan (konstitusi) adalah terletak pada Yang di-

Pertuan Agong dan, tertakluk kepada peruntukan mana-mana undang-undang

persekutuan dan peruntukan Jadual Kedua, kuasa itu boleh dijalankan olehnya

atau oleh Jemaah Menteri atau oleh mana-mana Menteri yang diberikuasa

oleh Jemaah Menteri, tetapi Parlimen boleh dengan undang-undang memberi

tugas-tugas pemerintah kepada orang-orang lain.

Pasal 40

(1) Pada menjalankan tugas-tugasnya di bawah Perlembagaan ini atau di

bawah undang-undang persekutuan, Yang di-Pertuan Agong hendaklah

bertindak mengikut nasihat Jemaah Menteri atau nasihat seseorang

Menteri yang bertindak di bawah kuasa am Jemaah Menteri, kecuali

sebagaimana diperuntukkan selainnya oleh Perlembagan ini, tetapi Yang

51

www.malaysianmonarchy.org.my/portal_fungsi, diakses pada tanggal 25 Januari

2009 pukul 19.30 WIB

Page 66: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

di-Pertuan Agong adalah berhak, atas permintaannya, mendapat apa-apa

maklumat mengenai pemerintahan Persekutuan yang boleh didapati oleh

Jemaah Menteri.

(1a) Pada menjalankan fungsi-fungsinya di bawah Perlembagaan ini atau

undang-undang persekutuan, jika Yang di-Pertuan Agong

dikehendaki bertindak mengikut nasihat, atas nasihat, atau selepas

menimbangkan nasihat, Yang di-Pertuan Agong hendaklah

menerima dan bertindak mengikut nasihat itu.

(2) Yang di-Pertuan Agong boleh bertindak menurut budi bicaranya pada

melaksanakan tugas-tugas yang berikut iaitu:

a) melantik seorang Perdana Menteri;

b) tidak mempersetujui permintaan membubar Parlimen;

c) meminta supaya di adakan suatu mesyuarat Majlis Raja-Raja yang

semata-mata mengenai keistimewaan, kedudukan, kemuliaan dan

kebesaran Duli-Duli Yang Maha Mulia Raja-Raja dan mengambil apa-

apa tindakan dalam mesyuarat itu, dan dalam apa-apa hal lain yang

tersebut dalam Perlembagaan ini.

(3) Undang-undang Persekutuan boleh membuat peruntukan bagi

mengkehendaki Yang di-Pertuan Agong bertindak pada menjalankan

tugas-tugas yang lain daripada yang berikut, selepas berunding dengan

atau atas syor mana-mana orang atau kumpulan orang yang lain daripada

Jemaah Menteri:

a) tugas-tugas yang boleh dijalankan menurut budi bicaranya;

b) tugas-tugas lain jika untuk menjalankannya peruntukan ada dibuat

dalam mana-mana Perkara lain.

Badan eksekutif adalah satu dari tiga badan kerajaan. Kepentingan

lembaga terletak kepada pemegangnya. Di dalam sistem demokrasi berparlemen

dan Raja Berperlembagaan, Yang di-Pertuan Agong adalah lambang perpaduan

dan kedaulatan negara. Sesungguhnya Perlembagaan Persekutuan (konstitusi)

meletakkan baginda di atas Pemerintahan Negara, manakala kuasa kerajaan

terletak pada tangan seorang Perdana Menteri merupakan Ketua Kerajaan.

Seorang Perdana Menteri memainkan berbagai peranan, Baik di dalam

maupun di luar kerajaan. Di dalam perlembagaan telah dijelaskan bahwa

kewenangan eksekutif, ialah kewenangan untuk memerintah, berdasarkan Pasal

Page 67: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

39 Perlembagaan Malaysia kepada Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agung,

tetapi dijalankan oleh Jemaah Menteri yang diketuai oleh Perdana Menteri. Tugas

Jemaah Menteri adalah bertanggungjawab kepada Seri Paduka Baginda Yang di-

Pertuan Agong. Setiap tindakan Eksekutif Kerajaan Persekutuan adalah

disampaikan daripada kuasa Diraja, Baik secara langsung atau tidak langsung.

Oleh itu Perdana Menteri mempunyai Kuasa Eksekutif kerana kuasa itu telah

diserahkan oleh Yang di-Pertuan Agong kepada Perdana Menteri tetapi

kewenangnan asalnya adalah dari Yang di-Pertuan Agong itu sendiri. Yang di-

Pertuan Agong sebagai Ketua Utama negara mengetuai tiga embaga kerajaan.

Pemerintahan kuasa kerajaan kepada tiga lembaga utama dilakukan supaya kuasa

itu tidak berlaku kepada mana-mana pihak. Inilah yang dimaksudkan "Doktrin

Pemisahan Kuasa". Ide ini dicetuskan oleh Motesquieu, ahli filsafat politik dan

undang-undang Perancis pada abad 18. Doktrin Pemisahan Kekuasaan ini

bertujuan supaya kekuasaan negara tidak dimiliki secara mutlak oleh suatu pihak

dan mudah pula di salah gunakan.

Page 68: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

BAB 1V

TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP MAJELIS

RAJA-RAJA MENURUT PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA

A. Islam dan Negara Kerajaan dalam Kajian Ketatanegaraan Islam

Di kalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang

hubungan antara Islam dan Ketatanegaraan. Ada yang mengatakan bahwa Islam

bukanlah semata-mata agama dengan pengertian Barat, yakni hanya menyangkut

hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang

sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan

manusia termasuk kehidupan bernegara. Para penganut aliran ini pada umumnya

berpendirian bahwa:

1. Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula

antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam

bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan

Islam. Dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan

Barat.

2. Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah sistem

yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan empat al-Khulafa al-

Rasyidin.

Terdapat juga sebagian umat Islam daripada kalangan orang yang

terpengaruh dengan pemikiran Barat menolak bahwa dalam Islam ada kenegaraan

Page 69: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

atau ia datang hanya untuk memerintah satu umat saja dan hanya mengatur

hubungan antara semua manusia, dan menyangka bahwa agama hanyalah sekadar

hubungan antara manusia dengan Tuhan dan agama tidak harus mencampuri

urusan sosial, politik dan kehakiman.

Sebenarnya agama Islam sangat berhubungan dengan negara, mengatur

umat dan urusan-urusan ekonomi, sosial dan sebagainya. Islam yang diturunkan

oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yaitu satu agama yang

mempunyai kesempurnaan dan mencakup seluruh urusan kehidupan.52

Firman

Allah SWT:

(V���X�� WK D!☺�s�H �-rS�� �-rSI$[�� WK;☺I1���H�� �-rS�X=D(t

^�u!☺�'�O WK�7��3�� ?-rS�� a- =D�GK" $$[�� g )ة��� )3: 5/ا��

Artinya: “Pada hari ini aku telah sempurnakan bagimu agama kamu dan Aku

telah lengkapkan ke atas kamu nikmat-Ku dan Aku telah reda Islam itu

bagi kamu sebagai agam”. (QS: al-Maidah/5: 3)

Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik masyarakat yang

mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam

masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat itu.

Dengan adanya negara yang merupakan organisasi dalam sesuatu wilayah dapat

memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan

lainnya dan dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama. Oleh sebab

itu, orang Islam mengambil berat mengenai negara Islam menyebabkan mereka

memberi bai’ah kepada khalifah baru sebelum Rasulullah SAW. dikebumikan,

52 Khalid Ali Muhammad Al-Anbariy, Sistem Politik Islam, (Digipress sdn., 2008), h.10.

Page 70: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

dan seterusnya di mana proses pemerintahan Islam tetap dijalankan seperti yang

dilakukan sewaktu pemerintahan Rasulullah SAW, meskipun terdapat sedikit

perubahan setelah melalui pemerintahan Muawiyah yang dinamakan sistem

putera mahkota.53

B. Persamaan Konsep Pemerintahan Islam dan Negara Malaysia

Pemerintahan Islam yaitu pemerintahan yang dilaksanakan menurut

prinsip ajaran Islam. Ini tidak bermakna bahwa pemerintahan Islam itu bersifat

teokratik mutlak sebagaimana yang didakwakan oleh sebagian pihak atau seperti

yang pernah muncul dalam agama-agama lain. Oleh karena itu ajaran agama lain

itu lebih tertumpu kepada aspek-aspek tertentu seperti ajaran moral, maka

keadaan demikian memberi ruang kepada pemerintah dan pemimpin kalangan

tersebut menguatkan kekuasaan pemerintahan menurut keinginan mereka sendiri.

Oleh karena itu ajaran agama mereka tidak bersifat menyeluruh, membolehkan

pemimpin mereka mengklaim bahwa apa yang mereka perintahkan adalah

perintah agama yang mesti dipatuhi. Dari sudut lain kita lihat bahwa pelaksanaan

Pemerintahan Islam adalah lebih luas karena ia dilaksanakan oleh semua manusia,

bukan kepada beberapa individu atau kumpulan ahli-ahli agama saja.

Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi seperti yang diungkapkan

oleh Quran dalam surah al-Baqarah, ayat 30 yang berbunyi:

53 Ibid.

Page 71: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

�9�E�� (��k @��)�3

�\�S�� =D!☺ D�� <�I��E :�?k!�

<�x ���345 F\⌧1X�D!a …)30: 2/ا����ة(

Artinya: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: Sesungguh-

nya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi…” (QS: al-

Baqarah/2: 30)

Ini bermakna bahwa Allah ingin supaya semua hukum dan perintahnya di

alam ini dilaksanakan oleh manusia. Maka pelaksanaan ibadat dan pemerintahan

Allah (yang menjadi inti pati ajaran Islam) memerlukan peranan dan sumbangan

manusia secara keseluruhan bagi melaksanakannya karena mereka adalah

khalifah Allah yang memang diutus untuk tujuan tersebut.

Dari sudut pandang dalam konsep pemerintahan, konsep Kerajaan

Malaysia adalah selaras dan sejalan dengan konsep khalifah dalam

Ketatanegaraan Islam. Ia juga memiliki persamaan jelas menunjukkan bahwa di

Malaysia ada mengamalkan sistem pemerintahan berlandaskan syariat Islam,

diantaranya:

1) Musyawarah

Pemerintahan di Malaysia berasaskan sistem musyawarah,

pemuafakatan dan konsultasi. Dasar dan polisi negara diputuskan dalam

musyawarah berbagai peringkat, sama ada di peringkat Kabinet ataupun di

peringkat Parlemen atau di peringkat Dewan Undangan Negeri. Anggota yang

dipilih menjadi wakil setiap tingkat itu dipilih oleh rakyat secara bebas

melalui sistem pemilihan umum. Mereka terdiri dari beberapa golongan

seperti ulama, ahli ekonomi, ahli sains, ahli sains sosial dan ahli dari bidang

Page 72: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

professional lain seperti kesehatan dan lain-lain. Dalam Mejelis Raja-Raja

juga mereka bermusyawarah, berdiskusi dan membuat keputusan secara

bersama bagi menentukan dasar dan polisi yang terbaik bagi Malaysia untuk

kebajikan serta kebaikan semua rakyat yang terdiri dari berbagai kaum,

kepercayaan agama dan budaya. Kejayaan meletakkan Islam sebagai agama

Persekutuan (konstitusi) dalam Perlembagaan Malaysia adalah hasil daripada

musyawarah dan pemuafakatan semua kaum pada peringkat awal kemerdeka-

an negara dahulu. Oleh karena itu, pendekatan dan nilai yang dibawa oleh

Islam dalam bentuk yang ada dapat diterima oleh semua dan tentunya kerana

nilai dan pendekatan tersebut bersifat menyeluruh.

2) Keadilan

Berkeadilan dalam semua perkara dan urusan adalah tuntutan dalam

Islam. Ciri keadilan inilah yang membedakan antara agama Islam dengan

agama lain yang mengutamakan kesejahteraan di dalam agama. Dalam

ketatanegaraan Islam juga ada disebutkan tentang keadilan, di mana keadilan

itu seperti keadilan untuk berpolitik dan hak asasi manusia. Seperti yang

disebutkan secara jelas oleh Al-Quran yang berbunyi:

\}@.�_� ([ (x��k2� Z�?$(Q�r

Z�O�rs (xB�Q���k 7Y���E���)

�r�!.\}W� �� ������ <=(?

�-rS7�W1O�H ��H jx��!.������

(xB�)(��k45�� g h�E ��rS([

�X�$⌧� ���H Fe��E� b��

g<=*���H !☺}� Z �⌧� Z�?'�,�4�

N��I� i h�H Z�r��.�'� g

Page 73: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

h�E�� Z1cJ� D� ���H Z�W�m��''

#h��� 2� (hk⌧s !☺�)

(h�'D!☺�'� Fe��8!a )ء� )135: 4/ا� �

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu menjadi

orang-orang yang sentiasa menegakkan keadilan, lagi menjadi saksi

(yang menerangkan kebenaran) kerana Allah, sekalipun terhadap

diri kamu sendiri, atau ibu bapa dan kaum kerabat kamu”. (QS: al-

Nisa’/4: 135).

Al-Quran menjelaskan bahwa seharusnya menjadi kewajiban kepada

siapa yang diberikan kekuasaan oleh Allah memerintah hamba-hamba-Nya

dan mengurus sebagian dari bumi-Nya, untuk menjadikan keadilan sebagai

asas pegangannya karena ia membawa pada kemakmuran Negara. Dalam

proses pemerintahan Malaysia ciri keadilan dapat dilihat dalam semua aspek,

bukan hanya terbatas pada aspek perundangan tetapi mencakupi keadilan lain

seperti pendidikan, ekonomi, sosial, politik, kebudayaan dan keagamaan.

Penerapan nilai keadilan yang diterapkan di Malaysia memiliki persamaan

dalam ketatanegaraan Islam seperti keadilan berpolitik, di mana tujuan politik

adalah untuk merealisasikan keadilan dengan seluas-luasnya. Oleh sebab itu,

raja sebagai kepala Negara bertanggungjawab untuk memberi keadilan untuk

rakyatnya terutama orang Melayu karena pada waktu yang lalu orang Melayu

pernah ditindas oleh penjajah. Maka Raja Melayu pada saat itu sebagai wakil

dari orang Melayu bersuara untuk mengambil hak mereka supaya bebas dari

jajahan. Berbagai usaha dilakukan oleh Raja Melayu pada waktu itu untuk

menegakkan keadilan orang Melayu supaya memastikan keadilan itu

terlaksana.

Page 74: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

3) Persamaan

Islam meletakkan asas yang kokoh tentang prinsip persamaan seperti

persamaan dalam hukum dan persamaan dari segi hak-hak yang lain.

Persamaan yang diajarkan oleh Islam menggantikan perbuatan masyarakat

terdahulu sebelum Islam yang menjadikan warna kulit atau keturunan sebagai

keutamaan dan kelebihan. Di Malaysia segala urusan berjalan menurut dasar

persamaan yang sejajar dengan ajaran Islam. Keturunan dan warna kulit

bukan menjadi asas utama dalam melaksanakan pemerintahan negara.

Semuanya berasaskan kepada kelayakan akademik, kemahiran, kemampuan,

kepemimpinan, bakat, keterampilan dan penerimaan masyarakat terhadap

seseorang. Walaupun di Malaysia mempunyai keturunan yang lebih berdaulat

(raja) akan tetapi keistimewaan pada raja ini sebenarnya terletak pada

tugasnya sebagai ketua Negara. Al-Quran mengajarkan umat manusia untuk

mematuhi kepala Negara selagi mana kepala Negara itu tidak melanggar batas

syariat Islam. Orang-orang Islam semuanya adalah sama dan yang hanya yang

membedakan antara mereka ialah perkara-perkara yang berkaitan dengan

agama seperti taat kepada Allah dan RasulNya. Oleh sebab itu, sejak dulu lagi

raja tidak mempunyai persamaan dengan rakyat biasa karena perbedaan

keturunan raja itu lebih tinggi berbanding rakya biasa.

C. Perbedaan Konsep Pemerintahan Islam dan Negara Malaysia

Page 75: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Pelaksanaan hukum-hukum Allah SWT sebenarnya akan membawa

kebaikan kepada masyarakat manusia di Malaysia, ini yang terdiri atas berbagai-

bagai bangsa dan kaum agama. Karena hukum-hukum itu mengandung jaminan

keadilan, kebenaran dan pemeliharaan hak masing-masing. Yang dapat

menimbulkan keadaan juga membawa kepada sesuatu hasil yang negatif dari

pelaksanaan hukum-hukum Allah ialah kecurigaan dan kesanksian orang-orang

bukan Islam terhadap Islam itu. Mereka mungkin mengambil langkah-langkah

yang tidak benar jika hukum-hukum Islam dilaksanakan.

Pemerintahan di Malaysia memiliki persamaan dengan sistem

pemerintahan Islam. Ini telah sebutkan oleh penulis bahwa ciri persamaan

tersebut diantaranya musyawarah, keadilan, persamaan dan juga cara

pengangkatan kepala negara. Adapun terdapat perbedaan di mana di Malaysia

tidak menjalankan pelaksanaan hudud. Tetapi, tindakan kriminal tersebut

mengacu pada hukum ta’zir yaitu hukuman yang berdasarkan keputusan

pemerintah dan hukum tersebut di bawah undang-undang Mahkamah Syariah

manakala kaum bukan Islam sanksi di hukum berdasarkan undang-undang di

bawah Mahkamah Sivil yaitu undang-undang yang telah ditetapkan oleh penjajah

dahulu. Tidak seperti yang dilaksanakan oleh negara Islam yang lain seperti

negara Arab karena menegakkan konsep pemerintahan Islam yaitu hudud. Walau

bagai manapun, apa yang diterapkan di Malaysia sudahlah mencakupi konsep

pemerintahan yang Islam ajarkan.

Page 76: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah menguraikan dan menjelaskan mengenai nilai-nilai ketatanegaraan

Islam dalam Majelis Raja-Raja di Malaysia, maka pada akhir uraian penulis dapat

menyimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan tema tersebut:

1. Secara umum dalam ketatanegaraan Malaysia terdapat nilai-nilai

ketatanegaraan Islam, hal ini dapat dilihat dalam perlantikan ke jabatan

kepemimpinan dalam warisan tamadun Islam kepada Yang di-Pertuan Agong

sebagai ketua Negara dalam Sistem Raja Berpelembagaan dan perlantikan

Perdana Menteri sebagai ketua kerajaan. Dimana perlantikan ke jawatan

pemimpin mengikut kaedah demokrasi seperti yang di amalkan di negara ini,

lebih dekat kepada sistem musyawarah seperti yang dikehendaki dalam Islam.

Ia adalah lebih kepada musyawarah daripada kaedah istikhlaf dan istila’.

Walaupun kaedah perlantikan oleh para sahabat Nabi SAW tetapi tidak

bertentangan dengan prinsip Islam.

2. Malaysia adalah sebuah negara yang mengamalkan sistem Raja

Berpelembagaan. Konsep Raja Berpelembagaan ini telah banyak dibahas

tetapi jarang di bicarakan. Kefahaman rakyat terhadap Raja Berpelembagaan

adalah samar sekali. Ada yang menanggapi bahwa Raja-Raja Melayu sebagai

Page 77: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

kuasa yang tertinggi sehingga membahas kedudukan Raja-Raja di khuatiri

akan menyalahi undang-undang. Ada juga yang berfikir bahwa peranan Raja-

Raja hanyalah sebagai satu simbol untuk keraian semata-mata. Sesungguhnya

Kedudukan Raja-Raja Melayu di Malaysia ini berbeda dengan raja di England

dan berbeda pula dengan kedudukan raja di Saudi Arabia atau Brunei. Raja di

England (Queen) adalah seratus peratus berbentuk ceremonial, tidak

berperanan langsung dari segi eksekutif dan hanya bertindak di atas nasehat

Perdana Menteri. Raja di Arab Saudi pula memiliki seratus peratus kuasa

eksekutif, kuasa mutlak dan tidak boleh dipersoalkan langsung. Tetapi di

Malaysia, Raja Melayu berkedudukan simbolik didalam perkara-perkara

tertentu dan mempunyai kuasa tertentu yang ditetapkan oleh Perlembagaan.

Raja Berpelembagaan di Malaysia adalah satu institusi yang menjalankan

tugas serta mengambil tindakan di atas nasehat Perdana Menteri (Menteri

Besar untuk Menteri). Raja juga mempunyai kuasa tersendiri mengikut

peruntukan Perlembagaan.

3. Dalam hal pengangkatan pemimpin kepala Negara di Malaysia yang

menjalankan sistem kenegaraannya menganut monarki konstitusional, raja

sebagai kepala Kegara adalah payung kepada rakyat, dan kemudian untuk

menjalankan pemerintahan dilaksanakan oleh Perdana Menteri sebagai kepala

pemerintahan yang dipilih melalui pemilihan umum. Hal ini dapat dilihat

dalam Ketatanegaraan Islam terutama yang dilaksanakan oleh khulafaur

rasyidun, di mana mereka di angkat menjadi khalifah atau kepala negara

Page 78: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

dengan menggunakan jalan pemilihan mulai dari khalifah Abu Bakar As-

Siddiq r.a, Umar bin Khattab r.a, Utsman bin Affan r.a., dan Ali bin Abi

Thalib r.a.

B. Saran-saran

Sedikit banyaknya terdapat kekurangan dalam sistem raja dan

perlembagaan menurut penulis. Di bawah ini merupakan suara hati yang ikhlas

dari penulis sebagai salah satu warga negara untuk negara Malaysia lebih

berdaulat. Disini terdapat sedikit banyaknya saran-saran yang ikhlas dari penulis

diantaranya adalah.

1) Raja-raja dan sultan-sultan hendaklah menjaga wibawa serta kekuasaanya.

Supaya yang pernah terjadi di zaman penjajahan British, di mana kala itu raja-

raja dan sultan-sultan hampir kehilangan kuasanya tidak terulang kembali.

2) Raja haruslah lebih dekat kepada rakyat dan memperhatikan rakyat secara

saksama. Ini karena raja hanya mengetahui rakyatnya melalui perlembagan

saja. Dan mengakibatkan rakyatnya tidak memahami tentang fungsi raja

tersebut.

3) Raja dan perlembagaannya termasuklah bidang eksekutif, dewan negara serta

dewan rakyat dalam membuat keputusan dan undang-undang hendaklah adil.

Karena terdapat tiga kaum mayoritas yang berbeda yaitu Melayu, Cina dan

India. Setiap kaum tersebut mempunyai pendapat dan keinginan tersendiri.

Page 79: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Jadi, raja dan perlembagaanya haruslah adil dan tidak melihat kaum manapun.

Ini menghindari dari perpecahan antara kaum.

4) Untuk kaum Melayu yang mendapat hak keistimewaan semasa kemerdekaan

sehingga sekarang hendaklah jangan berlebihan. Ini karena dapat

menimbulkan kecemburuan dari kaum lain yang akan mengarah kepada

perpecahan kaum. Jadi kaum Melayu hendaklah bersikap tolenransi kepada

kaum mayoritas lain.

5) Raja dan perlembagaan serta rakyat Malaysia haruslah bersatu padu dan

bermusyawarah. supaya keharmonisan dan kesejahteranan serta kedaulatan

Negara Malaysia tetap terjaga.

Walaupun terdapat sedikit banyaknya kekurangan dalam sistem raja dan

perlembagaan di Malaysia, Penulis menghargai dan berterima kasih seikhlas-

ihlasnya kepada raja dan perlembagaanya. Karena keharmonisan dan

kemakmuran yang di rasakan oleh penulis sendiri, selama menjadi bagian dari

masyarakat Malaysia sangat terkesan. Penulis juga menghormati komitmen

individu-individu yang berada di dalam perlembagaan negara dan telah berusaha

keras untuk mensejahterakan rakyat di Malaysia.

Page 80: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

DAFTAR PUSTAKA

Abas, Mohd Salleh, Tun. Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia,

Ampang/ Hulu Kelang Selangor: Darul Ehsan; Dawama Sdn. Bhd; 2006.

Abdul Khaliq, Farid. Fikih Politik Islam, Jakarta: Amzah, 2005.

Abdul Qadir Abu Faris, Muhammad, Dr. Fiqh Siyasah (Menurut Imam Syahid Hasan

Al-Banna), Kuala Lumpur; Pustaka Syuhada, Cet. I, 2000.

Abdurrahman, A, Said ‘Aqil Humam. Hukum Islam Seputar (Pemilu dan Parlemen),

Bogor: Al-Azhar Press, Cet. Pertama, 1997.

Al-Aqqad, Mahmud Abbas. Kejeniusan Utsman Bin Affan, Jakarta: Pustaka Azzam,

2002.

Al-Maududi, Abu A’la. Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam, Bandung:

Mizan, 1990.

Al-Mawardi, Abu Hasan Ali Ibnu Muhammad. Al-Ahkam As-Sultaniyah, Beirut: Dar

Al Fikir, 1960.

Al-Mubarok, M; Harianto, Firman (pent). Sistem Pemerintahan dalam Persfektif

Islam, Solo: Pustaka Mantiq, 1995.

An-Nabhani, Taqiyuddin. Sistem Pemerintahan Islam (Doktrin Sejarah Empirik),

Bangil Jatim: Al-Izzah, Cet. Pertama, 1997.

Awang, Abdul Hadi. Sistem Pemerintahan Negara Islam, Pulau Pinang: Dewan

Muslimat Sdn. Bhd. 1995.

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an Karim dan Terjemahnya,

Bandung; PT. Syamil Cipta Media, 2006.

Effendi, Bahtiar. Islam dan Negara, Jakarta: Paramadina, 1998.

HR, Ridwan. Fiqih Politik (Gagasan, Harapan dan Kenyataan), Yogyakarta, FH UII

Press, Cet. Pertama, 2007.

Ismail, Yahya. Hubungan Penguasa dan Rakyat (Dalam Persfektif Sunnah), Jakarta:

Gema Insani Press, Cet. Pertama, 1995.

Page 81: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

Ka’bah, Rifyal. Politik dan Hukum dalam Al-Qur’an, Jakarta: Khairul Bayan, 2005.

Khaldun, Ibn; Thoha, Ahmadie (pent). Muqaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus; Cet.

VII, 2008.

Laws Of Malaysia. Akta Pilihan Raya 1958 (Akta 19), Kuala Lumpur: Percetakan

Nasional Malaysia Berhad, 2004.

Laws Of Malaysia. Peraturan-peraturan Pilihan Raya (Penjalanan Pilihan Raya)

1981 P.U (a) 386/ 1981. Kuala Lumpur: Percetakan Nasional Malaysia

Berhad, 2004.

Pulungan, Suyuti. Prinsip-prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah (Ditinjau

dari Pandangan Al-Qur’an), Jakarta: Raja Grafindo, Cet. Pertama, 1994.

Qardhawi, Yusuf, Dr. Fatwa-fatwa Kontemporer (Penterjemah Drs. As’ad Yasin)

(jilid II), Jakarta: Gema Insani Press), 1998.

Rais, M.Dhiauddin, Dr. Teori Politik Islam, Terjemahan dari buku An-Nizhariyatu

As-Siyasatu Islamah (Abdul Hayyie Al-Katani), Jakarta: Gema Insani Press,

2001.

Salim, Abdul Muin. Fikih Siyasah: Konsep Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an,

Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Shiddieqy Ash, Muhammad Hasbi. Ilmu Kenegaraan dalam Fikih Islam, Jakarta:

Bulan Bintang, 1971.

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1996.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah dan Pemikiran), Jakarta:

UI Press, 1993.

Suruhanjaya Pilihan Raya. Buku Panduan (Ejen Tempat Mengundi dan Ejen

Mengira), 2003.

Website

www.islam.gov.my/e-rujukan/nislam 07/01/2009

www.malaysianmonarchy.org.my/portal_fungsi 02/10/2008

Page 82: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

http://bhariwibowo.blogspot.com/2006/12/islam-dan-pembangunan-hukum-

nasional.html - ftn3 14/10/2008

http://bhariwibowo.blogspot.com/2006/12/islam-dan-pembangunan-hukum-

nasional.html - ftn3 27/12/2008

Page 83: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

LAMPIRAN I

Raja-Raja Melayu di Negeri-Negeri Bagian.

Berikut ini penulis sebutkan raja-raja yang mewakili Negeri-Negeri Bagian

yaitu di antaranya:

1. Sultan Abdul Halim Muazzam Shah Ibni Almarhum Sultan Badli Shah (Kedah).

2. Sultan Haji Ahmad Shah Al-Musta’in Billah Ibni Almarhum Sultan Abu Bakar

Riayatuddin Al-Mua’zzam Shah (Pahang ).

3. Sultan Sharafuddin Idris Shah Ibni Al-Marhum Sultan Salahuddin Abdul Aziz

Shah (Selangor).

4. Sultan Azlan Muhibbudin Shah (Perak).

5. Al-Sultan Ismail Petra Ibni Al-Marhum (Kelantan).

6. Raja Syed Sirajuddin Billah ibni Al-Marhum Jamalulllail (Perlis).

7. Sultan Al-Wathiqu Tuaanku Mizan Zainal Abidin Ibni Al-Marhum Sultan

Mahmud Al-Muktafi Billah Shah (Terengganu).

8. Sultan Iskandar Ibni Al-Marhum Sultan Ismail Petra (Johor).

9. Tuan Yang Terhormat Abdurrahman Abbas (Pulau Pinang).

10. Tuan Yang Terhormat Dato’ Asnan Rafiq (Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur).

11. Tuan Yang Terhormat Khalil Ya’kob (Melaka).

12. Yang Besar Tengku Besar Seri Menanti Tengku Mukhriz (Negeri Sembilan).

13. Tuan Yang Terhormat Abang Ahmad Sallehuddin Abang Dareng (Sarawak).

14. Tuan Yang Terhormat Dato’ Musa Aman (Sabah).

Page 84: Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia ...

LAMPIRAN II

STRUKTUR PERLEMBAGAAN MAJELIS RAJA-RAJA

SULTAN-SULTAN

TUAN YANG

TERHORMAT

(GUBERNUR)

MENTERI BESAR/

KETUA MENTERI

(PENASEHAT

PERDANA MENTERI

(PENASEHAT)

YANG DI-PERTUAN

AGONG