Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

25
SUCCESS STORY Produk Indonesia Berdaya Saing karena STANDAR OPINI Standardisasi Dorong PERTUMBUHAN EKONOMI Dr. Alan Morrison, Presiden ISO: Volume 3 / No. 2 / 2009

description

Publikasi 3 bulanan Badan Standardisasi Nasional (www.bsn.go.id), Volumen 3/No.2/2009 dengan Topik Pendidikan Standardisasi

Transcript of Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

Page 1: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

SUCCESS STORYProduk IndonesiaBerdaya Saing karena STANDAR

OPINI

Standardisasi DorongPERTUMBUHAN EKONOMI

Dr. Alan Morrison, Presiden ISO:

Volume 3 / No. 2 / 2009

Page 2: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

Gelombang krisis dunia sejak runtuhnya sistem keuangan AS akibat macetnya kredit perumahan skala masif, menyisakan pekerjaan rumah bagi banyak negara untuk berjuang mempertahankan, jika mungkin, meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Di tengah situasi ekonomi yang tidak kondisif ini, bahkan cenderung mengalami regresi signifikan,

banyak negara akan makin bersifat defensif dalam melindungi pasar domestiknya. Di antaranya dengan menetapkan kebijakan non-tarif, yakni dengan menerapkan standar produk yang akan masuk ke pasar mereka. Kebijakan ini tentu tidak dinyatakan secara terbuka, tetapi dengan menyembunyikannya di balik argumen preferensi dan aspirasi yang diinginkan oleh masyarakat. Standar yang disyaratkan merupakan keinginan masyarakat. Jadi, tidak semua produk bisa masuk, melainkan hanya produk yang memenuhi persyaratan yang diminta masyarakat. Di sini standar berpotensi dipergunakan sebagai senjata menghambat masuknya produk dari luar. Apa artinya semua ini? Ini mengindikasikan betapa pentingnya arti standar bagi perekonomian suatu bangsa. Standar sangat berperan dalam mendorong kemakmuran suatu bangsa. Salah satu "guru" manajemen dunia, Edwards Deming (Out of Crisis, 1986), mengatakan “whoever rules the standards rules the industry”. Siapapun yang menguasai standar akan menguasai industri, dan itu artinya juga akan menguasai perdagangan dan ekonomi. Kontribusi standar terhadap ekonomi sungguh nyata, bukan hanya slogan apalagi isapan jempol.

Ini dibuktikan dengan kajian yang dibuat di Jerman dan Inggris terkait dengan kontribusi standar terhadap ekonomi. Jerman, misalnya, mengakui bahwa standarisasi menyumbang 1% terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara, Inggris mencatat bahwa standarisasi menyumbang 13% terhadap pertumbuhan produktivitas tenaga kerja dan ekonomi atau mencapai angka sebesar 2,5 juta poundsterling.

Indonesia sendiri mengakui manfaat standar terhadap ekonomi. Ini terungkap dari hasil riset membuktikan penerapan SNI pada 5 produk. Di produk air minum diperoleh keuntungan ekonomi untuk negara sebesar Rp 2,78 triliun sepanjang tahun 2008. Keempat produk lain memberikan keuntungan ekonomi sebesar Rp 17,5 triliun untuk produk minyak goreng, garam beryodium (Rp 399,3 miliar), pupuk potasium klorida (Rp 840 miliar), dan pupuk SP-36 (Rp 77,3 miliar).

Jika standar sungguh memiliki arti penting bagi pertumbuhan ekonomi, maka yang menjadi tuntutan ke depan adalah bagaimana menanamkan kesadaran dan pengertian agar standar makin diterapkan dalam skala yang lebih luas. Untuk itu, pendidikan mengenai standardisasi menjadi bernilai strategis, yakni pendidikan yang difokuskan untuk menanamkan kepedulian, kesadaran, pengertian dan bahkan keahlian di bidang standardisasi. Ini modal dasar agar standar dapat diterapkan di segala bidang. Sebab, bagaimana dilakukan penerapan atas standar jika manusianya tidak peduli dan tidak mengerti mengenai standar.

Pendidikan standar di samping melibatkan seluruh komponen bangsa (pemerintah, akademisi, swasta, LSM dan warga masyarakat umumnya) juga hendaknya dilakukan dengan metode yang sistematis dan terukur. Misalnya, dengan mengembangkan kurikulum di sekolah merupakan upaya penting bagi pendidikan standardisasi. Lembaga pendidikan memiliki posisi strategis sebagai mitra dalam mengembangkan pendidikan standardisasi, guna mempersiapkan

insan Indonesia yang sadar akan standar.

PENGARAHKepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Sekretaris Utama BSN Deputi Bidang Penelitian dan Kerjasama Standardisasi BSN Deputi Bidang Penerapan Standar dan Akreditasi BSN

PENANGGUNG JAWAB Deputi Bidang Informasi dan Pemasyarakatan Standardisasi BSN

PEMIMPIN REDAKSI Tisyo Haryono

REDAKTUR PELAKSANABudi Rahardjo L. Pramono

EDITORHeru SusenoEnnata Sri HaryaniEko Edi C.

SEKRETARIS REDAKSITintin Prihatiningrum

DESAIN/ARTISTIKBudi TriswantoKenrio

REPORTERHendrawan

FOTOGRAFER/ILUSTRATORMentari

DISTRIBUSIErni SumarniEuis Nell

EDITORIAL

PERPUSTAKAAN BSNGedung Manggala Wanabakti, Blok IV Lantai 3 Jl. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta 10270 IndonesiaJam Buka Perpustakaan :Senin - Kamis : 09.00 - 15.00 WIBJum'at : 09.00 - 15.00 WIB

Perpustakaan BSN memiliki koleksi referensi berjumlah kurang lebih 3000 judul yang

terdiri dari buku-buku yang berkaitan dengan standardisasi, manajemen, jurnal,

handbook, ensiklopedia, kamus, katalog, peraturan dan perundang-undangan.

NB: Perpustakaan ditutup setiap tanggal 1 untuk penataan koleksi (shelving). Bila tanggal 1 jatuh pada hari Sabtu/Minggu/Hari libur, maka Perpustakaan tutup hari berikutnya.

PERPUSTAKAAN BSN,REFERENSI STANDARDISASITERLENGKAP DI INDONESIAFASILITAS PERPUSTAKAAN BSN TERBUKA UNTUK UMUM

ALAMAT REDAKSI Majalah SNI Valuasi Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lt. 3 Jl. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta 10270 Telp. 021-5747043, Fax. 021-5747045 e-mail: [email protected]

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

3

Page 3: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

Kirimkan saran dan kritik Anda ke

SNI Valuasi, Gedung Manggala Wanabhakti

Blok IV Lt. 3, Jl. Gatot Subroto, Senayan,

Jakarta 10270 atau ke [email protected]

INSIGHT

SUARA PEDULI STANDAR

DAFTAR ISI

SUCCESS STORY

INTERVIEW

Produk IndonesiaBerdaya Saing KarenaSTANDAR

Bambang Purwanggono:Pendidikan Standardisasi adalahMenumbuhkan Kesadaran

40

36

BERITA STANDARDISASI

SUCCESS STORYProduk IndonesiaBerdaya Saing karena STANDAR

OPINI

Standardisasi DorongPERTUMBUHAN EKONOMI

Dr. Alan Morrison, Presiden ISO:

Volume 3 / No. 2 / 2009

Desain Cover:Standardisasi Harus Menjadi Bagian Dari

Pendidikan Agar Dapat Melahirkan Insan Yang

Sadar, Peduli, Mengerti Dan Menerapkan Standar Dalam

Kehidupan.

ISO memberi kontribusi membantu banyak negara meningkatkan perekonomiannya melalui penerapan standar. Penerapan standar memberi kontribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi.

OPINIDR ALAN MORRISON, PRESIDEN ISOSTANDARDISASI DORONGPERTUMBUHAN EKONOMI

06

FOTO

BY

MEN

TARI

Tentang Standar dan Metode Desain

Sewaktu masih menjadi mahasiswa di jurusan teknik sipil, saya tidak peduli mengenai permasalahan standar dan strategi perencanaan. Kedua hal itu ti-dak memiliki urgensi. Siapa peduli akan hal-hal teknis rumit.

Pada saat itu bagi seorang mahasiswa yang penting adalah mengikuti materi yang diberikan dosen dan dapat lu-lus. Tidak peduli dengan standar dan metode desain yang dipakai atau digu-nakan. Bahkan, belajarnya pun sambil lalu menjelang ujian. Jadi, bisa tahu standar adalah berkah (nilai tambah), tapi jika tidak tahu, ya sudah, yang penting lulus. mengerti atau tidak ter-hadap standar itu urusan belakangan.

Kondisi ini berbeda setelah saya lu-lus dan memilih karir menjadi engi-neer muda. Permasalahan standar dan

metode desain menjadi sesuatu yang penting untuk diketahui. Karena pada tahap ini kerja dan kinerja seorang engineer akan dievaluasi oleh banyak orang, terkait dengan seberapa jauh ia memahami standar dan strategi per-encanaan dan mengimplementasikan-nya secara benar terhadap rancangan yang dibuatnya. Standar menjadi acuan agar hasil kerja engineer dapat diterima oleh kolega atau kliennya. Oleh karena-nya, pengetahuan tentang standar dan metode desain menjadi sesuatu yang mutlak dan penting

Ari Budianto- Jakarta Pusat

INFO STANDARDISASISTANDARDISASI TEKNOLOGI NANOMenjadikan "Small" Bukan Hanya "Beautiful" Tapi Juga Aman

ISO 26000 Pedoman untuk Tanggungjawab Sosial

Standardisasi Mainan Anak Upaya Melindungi Anak

28

32

34

Pendidikan Standardisasi. Standardisasi harus diperkenalkan ke-pada segenap lapisan masyarakat, untuk itu perlu diciptakan sara-na-sarana kreatif untuk menanamkan pemahaman dan pengertian mengenai standar.

ILU

STRA

SI B

Y U

ND

IP -

BSN

FOKUS

09

Kurikulum Standardisasi Agar PENDIDIKAN STANDARDISASITepat SasaranKurikulum pendidikan standardisasi harus memperhatikan tiga hal, yakni tujuan yang ingin dicapai, siapa pesertanya dan bagaimana materi tersebut diajarkan.

15

Kerjasama InternasionalPENDIDIKAN STANDARDISASIKesadaran akan pentingnya pendidikan standardisasi mendorong terbentuknya berbagai forum (organisasi) kerjasama internasional pendidikan standardisasi, satu di antaranya adalah ICES (International Cooperation for Education about Standardization).

20

STANDARDISASIPENDIDIKAN

Siapapun yang menguasai standar akan menguasai industri, dan itu artinya juga akan menguasai perdagangan dan ekonomi. Itulah makna utama pendidikan standardisasi, yakni menguasai penerapan standar dalam produk dan prosesnya.

Dunia Pun Makin Sadar Pentingnya

43

44

45

46

SNI AWARD 2009Majukan Mutu Produk dan ProsesnyaSNI PALSUMasyarakat Perlu Edukasi dan Kritis

KAN Pertahankan PAC MLABidang Akreditasi Lembaga SertifikasiProdukKOMNAS IECSetujui dan Siapkan Agenda IndonesiaUntuk Sidang IEC 2009

KERJASAMA STANDARDISASIBSN Gandeng BSI Promosikan Sistem Standardisasi5 Usaha Kecil MenengahDitargetkan Menerima ISO 9001: 2000

44 SNI Baru Segera Berlaku

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009 www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

SPECIAL REPORTSEMINAR IMPACTS OF STARNDARDIZATION ON ECONOMY

KONTRIBUSI STANDARDISASITerhadap EKONOMI

Standardisasi Waralaba Penting untukKEMANAN INVESTASIPenerapan standar waralaba dinilai perlu untuk memberi keamanan pemodal yang ingin terjun ke bisnis waralaba.

22

Pentingnya STANDARDISASIbagi PRODUK UKMProduk UKM perlu mendapat perhatian terkait dengan standar untuk meningkatkan daya saing.

24

26

Di masa krisis peranan standar sangat dibutuhkan untuk mendongkrak kemampuan negara menumbuhkan perekonomian

4 5

Page 4: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

OPINI

Standar ISO merupakan

perangkat praktis untuk

memulihkan kepercayaan,

mengurangi ketidakpastian

dan mengendalikan risiko.

Di tengah deraan krisis global yang kini sedang dihadapi dunia, stan-dardisasi diyakini me-miliki kontribusi yang

signifikan. Kendatipun belum dapat dipastikan seberapa besar kontribusi penerapan standardisasi terhadap pertumbuhan ekonomi dunia, namun dampaknya sungguh terasa, khusus-nya dalam meningkatkan daya saing di tengah kompetisi global. Apalagi, kompetisi global di tengah situasi kri-sis seperti saat ini.

Untuk mengelaborasi lebih jauh mengenai manfaat standardisasi, berikut ini disampaikan hasil wawan-cara SNI Valuasi dengan Presiden ISO, Dr. Alan Morrison, di Jakarta. Kunjung-an Dr Morrison kali ini secara khusus bertujuan untuk menghadiri seminar "Impact of Standardization on Economic", yang diselenggarakan BSN di Hotel Mulia, Jakarta, pada tanggal 9 Juni 2009. Berikut rangkuman pandangan Presiden ISO berkebangsaan Austra-lia ini seputar upaya-upaya ISO untuk mendorong penerapan standardisasi di berbagai bidang secara lebih luas.

Saat ini ISO beranggotakan 161 lembaga standar negara di seluruh dunia. Keseluruhan negara anggota ISO mewakili 98% perekonomian dunia dan 97% dari total populasi penduduk bumi. Suatu angka yang luar biasa, dan karenanya ISO menjadi salah satu lembaga internasional yang sangat berpengaruh dalam mendorong kesejahteraan masyarakat di seluruh dunia melalui penerapan standar.

Ini perlu digarisbawahi mengingat 123 dari 161 anggota ISO adalah negara berkembang, yang perlu mendapat dukungan sekaligus diberi kesempatan lebih luas untuk berpartisipasi secara lebih aktif dalam pengembangan standar di tingkat internasional. Menurut Morrison, ISO sangat berpeluang membantu negara-negara berkembang dalam pengembangan dan penerapan standar di bidang-bidang baru, misalnya di sektor jasa, pariwisata, tanggungjawab sosial, keamanan pangan, pengelolaan air bersih dan limbah yang efisien, pengamanan masyarakat termasuk di dalamnya mitigasi bencana alam.

ISO memiliki kapasitas untuk menjadi “reservoir” bagi negara berkembang untuk mendapatkan “know-how” teknologi dan serangkaian kumpulan standar yang terkait dengan produk, kinerja, mutu, keamanan, keselamatan dan lingkungan. Standar-standar ini telah memperoleh konsen-sus secara internasional.

Berbagai manfaat akan diperoleh oleh negara berkembang melalui penerapan standar ISO, antara lain:1. Terhindar dari pemborosan sumber

daya melalui aplikasi metode yang telah diakui dan terbukti andal.

2. Mendapatkan transfer keahlian teknologi andal.

3. Memperoleh informasi penting untuk pengambilan keputusan saat mengevaluasi tawaran atau peluang pasar asing, baik itu terkait dengan teknologi maupun produk.

4. Melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat dengan membangun basis persyaratan untuk diterapkan pada produk lokal atau impor.

5. Memberikan spesifikasi baku yang dapat diterapkan untuk pengembangan, produksi dan pemasaran barang dan jasa, karenanya meningkatkan kemampuan bangsa untuk bersaing di pasar ekspor. Kecuali manfaat tersebut di

atas, negara berkembang juga memperoleh peluang untuk meraih “know-how” teknologi, memperbaiki kandungan teknis standar nasional yang berpengaruh pada ekonomi, mendapatkan pengalaman langsung dalam pengembangan standardisasi yang dapat dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur standar nasional.

Menurut mantan Deputy Chairman dari Standards Australia, hal ini selaras dengan salah satu sasaran strategis utama ISO, sebagaimana tertuang dalam The ISO Action Plan for Developing Countries 2005-2010. Yakni, memperkuat infrastruktur standardisasi dari negara berkembang, meningkatkan partisi-

pasi dalam pengembangan standar di bidang yang lebih luas dan perole-han manfaat bagi negara berkembang melalui pengembangan standar inter-nasional.

Untuk itu, sepanjang tahun 2008 ISO telah memberikan 61 bantuan teknis sebagai bagian dari program pengembangan, di mana ini melibatkan 2.996 total peserta. Di samping itu, dilangsungkan pula 21 program pelatihan dengan partisipan berjumlah 316 orang.

Masih dalam rangka membantu negara berkembang, ISO telah menggandeng United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) sebagai mitra kerja. Bersama dengan UNIDO, ISO berhasil menerbitkan buku Fast Forward – National Standards Bodies in Developing Countries di tahun

DR. ALAN MORRISON

Standardisasi DorongPertumbuhan Ekonomi

DO

C. B

SN

DO

C. B

SN

KONTRIBUSI STANDARDISASI PADA EKONOMI. PENERAPAN STANDAR MEMBERI MANFAAT SIGNIFIKAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KHUSUSNYA DI TENGAH SITUASI KRISIS EKONOMI GLOBAL.

2008. Buku ini bertujuan membantu negara berkembang membentuk suatu lembaga standardisasi dan insfrastruktur standardisasi nasional sebagai sarana meningkatkan pembangunan ekonomi, kapasitas perdagangan serta dukungan perlindungan konsumen, masyarakat dan lingkungan.

Saat ini dunia dihadapkan pada tantangan global, khususnya terkait dengan akses sumberdaya alam,

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009 www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

6 76 7

Page 5: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

OPINI

“Whoever rules the

standards rules the

industry”. Siapapun yang

menguasai standar akan

menguasai industri, dan itu

artinya juga akan menguasai

perdagangan dan ekonomi.

Pasar bebas telah membong-kar hambatan yang sebe-lumnya membatasi arus perdagangan antar-negara. Kini, pasar menjadi terbuka

secara global. Inilah globalisasi ekono-mi yang kian hari makin menunjukkan wajahnya secara jelas di segala penjuru dunia.

Dalam kondisi demikian, sudah dapat dipastikan persaingan menjadi semakin keras di masa mendatang. Persaingan pasar tidak hanya terjadi antar-pelaku lokal melainkan juga melibatkan pelaku mancanegara. Tak heran di sini, standardisasi menjadi instrumen penting untuk memenangkan persaingan pasar,

pertambahan jumlah penduduk, ketersediaan energi di masa depan, kelaparan dan kemiskinan serta peluang memperoleh pendidikan. Tantangan ini kian berat dengan adanya krisis global. Merespon ini semua, Morrison menegaskan perlunya diambil tindakan skala global yang menyentuh 3 dimensi pembangunan berkelanjutan, yakni pertumbuhan ekonomi, integritas lingkungan dan keadilan sosial.

Dalam konteks ini, pengembangan standardisasi yang dilakukan oleh ISO diarahkan untuk merespon berbagai tantangan tersebut dengan fokus antara lain:1. Dapat memfasilitasi perdagangan

barang dan jasa global yang tidak kompromi terhadap keamanan dan kualitas hidup yang disyaratkan oleh seluruh warga dunia, termasuk juga merespon kebutuhan penduduk lanjut usia yang kian meningkat jumlahnya di beberapa negara.

2. Dapat merespon perubahan iklim, menjamin kesinambungan energi masa depan, mengoptimalkan pemanfaatan dan akses air, menyediakan pasokan pangan yang sehat dan berkesinambungan bagi populasi dunia yang terus meningkat.

3. Dapat beradaptasi dan mengim-bangi pertumbuhan pesat teknologi informasi dan komuni-kasi yang telah mendatangkan revolusi kehidupan sehari-hari sekaligus proses produksi dan praktek bisnis.

4. Mendukung UN Millennium Goals, khususnya dalam mengurangi angka kemiskinan dan kelaparan, menjamin akses pendidikan dan mendorong perbaikan kondi-si kesehatan umat manusia di seluruh dunia. Berpegang pada track record dan

prestasi yang telah dicapai, Morrison optimis ISO memiliki landasan yang solid merespon tantangan global di atas. Apalagi, ISO telah berdiri sebagai lembaga dunia yang kuat, dan sekalipun di tengah situasi krisis lembaga standar ini siap menjawab kebutuhan aktivitas standardisasi global di banyak bidang yang berpeluang memberi nilai lebih.

Sekali lagi, krisis global yang dampaknya mulai dirasakan berbagai sektor bisnis di seluruh dunia merupakan tantangan utama yang harus direspon secara tepat dan bijak oleh negara-negara dan organisasi.

PENDIDIKAN STANDARDISASI

Dunia pun makin sadar pentingnya

terutama bagi industri yang berorientasi untuk berkiprah di pasar bebas.

Benar apa yang dikatakan oleh Edwards Deming (Out of Crisis, 1986), “whoever rules the standards rules the industry”. Siapapun yang menguasai standar akan menguasai industri, dan itu artinya juga akan menguasai perdagangan dan ekonomi. Ambil contoh misalnya, Microsoft dengan menguasai standar sistem operasi PC di dunia berhasil menempatkan diri pada posisi perusahaan terbesar di dunia lebih dari satu dekade.

Mengingat arti penting standardisasi dalam memposisikan daya saing produk di era persaingan pasar bebas, banyak negara menempuh kebijakan

Yang paling utama di antaranya adalah memulihkan kepercayaan, meningkatkan praktek bisnis dan tata kelola perusahaan yang baik, mengaplikasikan manajemen risiko secara lebih baik dan memastikan kontinuitas bisnis.

Sejauh ini ISO telah menyediakan perangkat praktis yang memungkinkan banyak negara, termasuk institusi bisnis, meningkatkan bisnis dan membantu pemulihan kepercayaan yang dibutuhkan untuk perkembangan ekonomi. Standar ISO merupakan perangkat praktis untuk memulihkan kepercayaan, mengurangi tingkat ketidakpastian dan mengendalikan risiko di dunia yang terglobalisasi ini.

Yang perlu dikhawatirkan di tengah kondisi krisis adalah godaan bagi suatu negara atau blok ekonomi untuk kembali menerapkan regulasi yang menghambat perdagangan. Tentu ini berlawanan dengan prinsip pasar global terbuka dan perdagangan bebas barang dan jasa. Hal ini sering dilakukan oleh suatu negara saat berusaha meredam dampak krisis.

Terlepas dari kebijakan yang ditempuh banyak negara dalam upaya keluar dari krisis, bagaimanapun ISO telah memberi kontribusi membantu banyak negera meningkatkan perekonomiannya melalui penerapan standar. Penerapan standar memberi kontribusi ekonomis yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi.

Dr. Alan Morrison

Nakoda Lembaga Best Practice Dunia

Sebagai Presiden ISO, Dr Alan Morrison memainkan peranan penting dalam mendorong dan mengendalikan arah kebijakan ISO. “Tantangan terbesar ISO adalah mempertahankan dan memperkuat ikatan dengan masyarakat internasional ketika harus membuat keputusan penting, khususnya terkait dengan perubahan iklim dan keamanan”, demikian tandas Morrison.

Lebih dari satu dekade lalu pengembangan standar internasional telah menjadi bagian yang kian penting dalam menjawab persoalan tersebut. Selaku pimpinan tertinggi lembaga standar internasional, Morrison berperan untuk memastikan bahwa standar yang benar dikembangkan pada waktu yang tepat untuk menjawab persoalan global yang kini dihadapi maupun persoalan lain yang akan muncul.

ISO bertanggungjawab mengembangkan standar internasional yang kini secara global diterima sebagai best practice dunia di berbagai bidang yang meliputi manajemen keuangan, perlindungan lingkungan dan pengembangan ekonomi.

Dr. Morrison diangkat menjadi President ISO untuk periode jabatan 2 tahun mulai 1 Januari 2009. Dr. Morrison adalah insiyur dengan pengalaman lebih dari 32 tahun menjabat posisi puncak di dunia industri dan pemerintahan Australia. Keterlibatannya dalam pengembangan standar, lebih dari 36 tahun. Morrison meraih berbagai prestasi tertinggi, di antaranya menjabat Managing Director dan Deputy Chairman dari suatu korporasi layanan publik, Penasehat Utama Menteri Transportasi dan Komunikasi Australia dan CEO dari sebuah konsultan engineering.

Di bidang energi, prestasi yang diperolehnya meliputi jabatan Deputy Chairman Komisi Energi Australia dan Executive Director dari Komisi Energi Dunia Sydney. Dr. Morrison juga aktif berinisiatif di Kawasan Asia Pasifik melalui APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), termasuk juga beberapa program khusus bagi negara berkembang. Morrison merupakan anggota Australian Institute of Company Directors, Chartered Institute of Management (United Kingdom), dan Institution of Engineers (Australia).

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009 www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

8 98 9

Page 6: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

Adalah negara-negara

di wilayah Eropa yang

secara lebih awal memulai

pendidikan standardisasi.

Dan, di Eropa setidaknya,

tercatat 20 universitas yang

menawarkan mata kuliah

mengenai standardisasi. SOU

RCE:

WW

W.F

LICK

R.CO

M

GARDA DEPAN PENDIDIKAN STANDARDISASI AS. UNIVERSITAS KATOLIK AMERIKA, YANG JUGA MENJADI TEMPAT BERNAUNG PUSAT ANALISA STANDAR GLOBAL, TELAH MENYELENGGARAKAN MATA KULIAH STRATEGIC STANDARDIZATION SEJAK TAHUN 1999.

untuk secara luas menanamkan kesadaran dan pemahaman terhadap standardisasi kepada masyarakat. Melalaikan pendidikan standardisasi bisa berakibat pada ketidakmampuan suatu bangsa membangun daya saing bagi industrinya. Bagaimana mungkin suatu bangsa bisa memproduksi barang atau jasa yang berkualitas dan dapat bersaing di pasar internasional, jika bangsa tersebut tidak memahami dan mengerti standar? Baik standar yang terkait dengan cara memproduksi maupun standar dari mutu produk yang dihasilkan itu sendiri.

Bahkan kini peran standar pun kian berkembang dari aspek ekonomi ke aspek sosial dan lingkungan, yang mempengaruhi segala aspek kehidupan. Karenanya, banyak negara gencar mencanangkan program edukasi mengenai standardisasi, dengan memasukkan standardisasi sebagai salah satu mata pelajaran atau mata kuliah resmi dalam kurikulum pendidikan. Gagasan awal untuk menjadikan standardisasi sebagai kurikulum pendidikan agaknya muncul dari seorang pakar kebangsaan India lulusan Universitas Cornell bernama Lai Chand Verman, sebagaimana tertuang dalam bukunya Standardization: A New Discipline (1973).

Pada masa tiga dekade silam, memasukkan standardisasi ke dalam kurikulum pendidikan mungkin masih dipandang belum memiliki nilai strategis seperti sekarang ini. Kini banyak negara telah mengadopsi standardisasi sebagai mata pelajaran atau mata kuliah di sekolah mulai dari sekolah dasar hingga pendidikan tinggi.

EROPAAdalah negara-negara di wilayah

Eropa yang lebih awal memulai

kritis mengenai riset standardisasi, membuka seluas mungkin kesempatan untuk menerbitkan hasil riset di bidang standardisasi dan mendukung pengembangan pendidikan standardisasi termasuk juga menciptakan sebanyak mungkin profesionalisasi di bidang pendidikan standardisasi.

EURAS menawarkan platform pertukaran informasi, kerjasama dan diseminasi mengenai praksis pendidikan standardisasi. Sejak 1996 EURAS telah mengorganisasi suatu workshop tahunan yang dihadiri oleh berbagai pihak yang menaruh perhatian pada pendidikan mengenai standardisasi. Workshop EURAS selalu melibatkan periset akademik dari berbagai latar belakang ilmu, perwakilan berbagai lembaga standar nasional dan regional, dan perwakilan institusi pemerintah dan perusahaan swasta yang menaruh perhatian dan minat pada standar. Selalu menjadi agenda dari Workshop EURAS untuk memberi respon terhadap isu-isu yang terkait dengan aspek pendidikan standardisasi seluas mungkin.

AMERIKA

Di Amerika Serikat, pendidikan standardisasi mulai dilakukan pada tahun 1999, yakni dengan dibentuknya Pusat Analisa Standar Global (The Center for Global Standards Analysis). Lembaga ini bersifat non-profit dan bertempat di Universitas Katolik Amerika (The Catholic University of America), Washington DC. Tujuan dari lembaga ini adalah menciptakan program pendidikan standardisasi global bagi mahasiswa perguruan tinggi, perusahaan, pemerintah dan lembaga-lembaga lain.

Sebagai tempat bernaungnya Pusat Analisa Standar Global, Universitas Katolik Amerika merupakan “garda depan” pendidikan standar di Amerika. Universitas ini menawarkan mata kuliah Strategic Standardization mulai Agustus 1999. Mata kuliah ini diberikan pada mahasiswa teknik, hukum dan bisnis.

Di luar Universitas Katolik Amerika, mata kuliah standardisasi juga ditawarkan oleh beberapa universitas lain seperti Universitas Colorado (Standardization and Standards Wars dan Standards: Business, Law and Policy), Universitas Pittsburgh (Web Technologies and Standards), Universitas Purdue (Global Standardization) dan Universitas Yale (Technological Standards as Regulation).

Umumnya, mata kuliah ini ditujukan untuk memperkenalkan mahasiswa pada prinsip dasar standardisasi dan conformity assessment. Di dalamnya juga disampaikan mengenai aspek sistem standardisasi dan arti penting standar internasional dalam ekonomi global. Terkait dengan kuliah ini dimasukkan sebagai topik pelajaran antara lain standar keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, hambatan teknis dan perdagangan, kompetisi bisnis, etika, sertifikasi dan standar internasional. Sebagai pengajar mata kuliah ini, diundang para pakar standardisasi dari berbagai lembaga baik pemerintah, swasta maupun asosiasi.

Survey mengenai pendidikan standardisasi juga digagas dan dilaksanakan oleh Pusat Analisa Standar Global. Tujuan utama dari survey adalah mengumpulkan informasi, ide dan konsep untuk mendorong pengembangan program pendidikan standardisasi di perguruan tinggi dan kalangan dunia usaha.

Survey ini hingga tahun 2008 terus dijalankan bahkan kian ditingkatkan lingkup respondennya hingga ke tingkat global. Survey ini melibatkan perusahaan multi-nasional, lembaga pengembang standar, lembaga pemerintah dan universitas. Tercatat sebagai partisipan dari survey ini adalah American Society of Mechanical Engineers, ASTM International, British Standards Institution (BSI), China National Institute of Standardization, CSK Holdings Corporation, Universitas Hitotsubashi, Institute of Electrical and Electronics Engineers, Japanese Standards Association, McDermott, Will & Emory, U.S. National Institute of Standards and Technology dan Universitas Colorado (Boulder). Pada tahun 2008 survey ini dibuat dengan tajuk Do Standards Education Programs Have A Strategic Value?

Dari survey tersebut ditangkap suatu harapan untuk terus meningkatkan dan memperluas program pendidikan mengenai standar, karena dinilai program ini sungguh memiliki nilai strategis. Mengingat arti pentingnya, pendidikan standardisasi selayaknya melibatkan berbagai pihak baik pemerintah, swasta maupun asosiasi dan akademisi.

ASIAKendatipun agak belakangan,

pendidikan standardisasi di Asia sungguh memperlihatkan hal yang menggembirakan. Salah satu contoh bentuk pendidikan standardisasi di Cina adalah Universitas Jiliang (penerima ISO Award for Higher Education in Standardization 2007) yang memasukkan kurikulum standardisasi dalam disiplin bidang bisnis. Mata kuliah yang dicakup adalah studi dan praktek teknologi dan rekayasa, termasuk matematik, komputer, fisika, rekayasa mekanika, elektronik, measurement dan elektro-teknik.

Selain mata kuliah tersebut, mata pelajaran terkait standardisasi yang harus diikuti adalah: 1) prinsip standardisasi, 2) standar internasional, 3) WTO/hambatan teknis perdagangan – sanitary and phytosanitary (SPS), 4) ISO 9000 series dan sertifikasi mutu, 5) Manajemen mutu dan 6) ILIAS e-learning platform (sistem manajemen pembelajaran berbasis website). Sampai saat ini sudah 30 universitas di Cina yang memasukkan standardisasi dalam kurikulum pendidikan.

Universitas Pertanian dan Teknologi Tokyo (Tokyo University of Agriculture and Technology), Jepang, membuka program Professional Graduate

pendidikan standardisasi. Desakan pendidikan standardisasi di Eropa tidak bisa dilepaskan dari gagasan proses integrasi negara-negara Eropa. Mulanya gerakan integrasi Eropa dimulai dengan pembentukan Komunitas Batu Bara dan Baja Eropa (European Coal and Steel Community) tahun 1952.

Proses ini makin dikukuhkan dengan ditandatanganinya Traktat Maastricht tahun 1992 yang merupakan pengakuan dibentuknya Masyarakat Uni Eropa dan selanjunya memuncak dengan diberlakukannya mata uang Euro pada 1 Januari 2002 di 12 negara Eropa. Euro merupakan salah satu bentuk pencapaian penting standardisasi di kawasan Eropa. Dan ini sungguh luar biasa bahwa di sana diberlakukan standardisasi terhadap sesuatu yang sangat vital, yakni: alat pembayaran/transaksi.

Terkait dengan pendidikan standardisasi, negara Uni Eropa telah lama menaruh fokus perhatian terhadap program pendidikan standardisasi yang berbasis jaringan akademik (academic network). Program ini bertujuan (1) mempromosikan kesadaran mengenai standardisasi di tingkat universitas, (2) mengembangkan kerjasama lebih erat antara universitas dengan institusi lain, (3) meningkatkan pertukaran informasi dan (4) meningkatkan diseminasi pengetahuan dan pertukaran pemikiran terkait dengan pendidikan standardisasi. Di Eropa setidaknya, tercatat 20 universitas yang menawarkan mata kuliah mengenai standardisasi.

Di Perancis (University of Technology of Compiègne), misalnya, menyelenggarakan dua program yang terkait dengan standardisasi, yaitu: Master NQCE (Normalisation, qualité, certification et essais) dan Master MQ

(Management Quality). Kedua program master tersebut diselenggarakan baik dalam bahasa Inggris maupun Perancis.

Subyek yang dicakup untuk kedua program master adalah: 1) manajemen kinerja dan improvement, 2) standardisasi, metrologi, pengujian dan perdagangan internasional, 3) struktur dan pelayanan metrologikal, 4) manajemen, organisasi dan sistem, 5) manajemen risiko dalam organisasi, 6) manajemen sistem informasi, 7) studi kasus, 8) sistem manajemen lain, 9) statistik dan sistem manajemen mutu.

Pendidikan standardisasi di Belanda diselenggarakan oleh Rotterdam School of Management dari Universitas Erasmus untuk program Bachelor dan Master. Program pendidikan standardisasi menawarkan beberapa mata kuliah pilihan dengan mata kuliah utama adalah managemen standardisasi. Tesis diarahkan pada topik strategi standardisasi untuk memberikan pengetahuan dan keahlian kepada mahasiswa mengenai hal tersebut.

Di luar itu, hanya selang satu tahun sejak Traktat Maastricht, di kota Hamburg, Jerman, dibentuk masyakat Akademi Standardisasi Eropa (The European Academy of Standardization e.V. atau EURAS ) pada tahun 1993. EURAS merupakan lembaga non-profit yang didirikan oleh para peneliti dari berbagai bidang akademi (ekonomi, teknik, ilmu sosial, hukum dan IT) berdasarkan semangat yang sama untuk memasukkan standardisasi ke dalam pendidikan dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu yang seluas mungkin.

Tujuan dari EURAS adalah menggalakkan penelitian, edukasi dan publikasi di bidang standardisasi. Fokus aktivitas lembaga ini mencakup: mendorong evaluasi

PROGRAM STANDARDISASI DI EROPA. UNIVERSITAS TEKNOLOGI DELFT, BELANDA, SALAH SATU UNIVERSITAS EROPA YANG MENYELANGGARAKAN PROGRAM STANDARDISASI.

SOU

RCE:

WW

W.F

LICK

R.CO

M

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

FOKUS

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

FOKUS

10 1110 11

Page 7: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

TABLE 1. RINCIAN MATERI MATA KULIAH STANDARDISASI UNIVERSITAS DIPONEGORO, INDONESIA

POKOK BAHASAN SUB-POKOK BAHASAN

Pendahuluan

•Pengertian•Filosofi•Sejarah • Jenis-Jenis Standar•Manfaat Standar Dalam Kehidupan.

Manfaat Ekonomi Standar

•Mikro Ekonomi•Makro Ekonomi•Manfaat Standar Dalam Perdagangan

Dan Dalam Menanggapi Isu Global

Standar Dan Inovasi•Pentingnya Standar, Inovasi Dan Paten

Bagi Industri •Proses Teknologi Inovasi

Cakupan Standar

•Level Standardisasi•Subyek Standardisasi•Aspek Standardisasi•Sifat Standar•Tujuan Standardisasi Dan Manfaat

Standar

Infrastruktur Mutu•Standardisasi•Penilaian Kesesuaian•Metrologi

Anatomi Standar & Prinsip Dasar Pengembangan Standar

•Prinsip Dasar •Anatomi Standar•Proses Perumusan Standar (Termasuk

Harmonisasi Standar)

Pengembangan Standar

•Proses Perumusan Standar (Lanjutan)•Substansi Standar (Contoh : Produk,

Metode Uji, Proses) •Pemeliharaan Standar

Sistem Penerapan Standar

•Prinsip Dasar Penerapan Standar (Voluntary Dan Mandatory)

• Infrastruktur Penerapan Standar (Kelembagaan & Keterkaitannya)

Prinsip-Prinsip Metrologi Dan Penilaian Kesesuaian

•Metrologi•Akreditasi •Sertifikasi

Kunjungan Lapangan

Kuliah Dan Responsi•Penyusunan Laporan Kunjungan

Lapangan

Presentasi•Kemampuan Komunikasi•Kerapihan Sajian•Kreativitas Ide

Study Kasus Pemanfaatan Standar

•Penugasan: Menentukan Pilihan Standar Sesuai Bidangnya

Ujian Akhir Semester

School of Technology Management (MOT) pada tahun 2005. Program tersebut menawarkan subyek sebagai berikut: 1) Standardization policy and strategic area (Standardization strategy, Industrial standards, Standardization policy), 2) Specific technology area (Manufacturing systems standardization, Product life cycle standards, Total Quality Management and ISO 9000, Environmental standards policy, Environment and ISO 14000, Safety and security standards) dan 3) Company’s practices of strategic standardization. Tujuan dari program MOT adalah memberikan pembelajaran tentang strategik manajemen dan teknologi mutahir kepada para ahli perekayasa (engineers). Mengarahkan mereka untuk menjadi CEO untuk bidang teknologi atau informasi.

Korean Standards Association (KSA) ditunjuk oleh University Education Programme on Standardization melaksanakan program pendidikan standardisasi dengan membentuk Standard Education Committee pada tahun 2004. Komite ini terdiri dari para profesor dan pengajar serta para tenaga ahli standardisasi berbagai bidang. Metode pendidikan yang dilaksanakan berupa satu semester regular ditambah dengan studi lapangan mengunjungi pusat riset dan perusahaan.

Pengajaran standardisasi di Korea menggunakan satu buku teks berjudul Future Society and Standards yang mencakup subyek sebagai berikut: 1) Part 1 Introduction to standardization (Ch.1. Standardization overview); 2) Part 2 Standardization activities (Ch. 2. International standardization, Ch.3. Standardization in Korea, Ch.4. Company and standards), 3) Part 3 Standards (Ch.5. Measurement standards, Ch.6. Conformity assessment), dan 4) Part 4 (Ch.7. Standards and IPR, Ch.8. Standardization in future society). Korea ingin meningkatkan kesadaran akan manfaat standar kepada generasi penerus melalui program UEPS dengan pengembangan web-based e-learning dengan cara pemanfaatan secara bersama materi pendidikan secara on-line.

BAGAIMANA DENGAN INDONESIA ?Standar kini makin memainkan

peranan penting baik di dalam kehidupan sehari-hari maupun di bidang bisnis. Apalagi, kini dunia dihadapkan pada berbagai persoalan yang memiliki dampak global dan bersifat mengancam kehidupan, misalnya pemanasan global, ketahanan pangan, kelangkaan sumber energi, kemajuan teknologi (teknologi nano, teknologi informasi dan bio-technology),

tanggungjawab sosial dan keselamatan sosial. Semua itu menciptakan berbagai standar baru yang harus dipahami, khususnya oleh generasi penerus yang akan memasuki dunia kerja yang persaingannya makin tinggi.

Menanggapi fenomena makin pentingnya peranan standar dalam kehidupan, BSN telah merintis pengembangan pendidikan Standardisasi sejak tahun 2004, dengan keikutsertaan BSN dan Institut Teknologi Bandung dalam Asia Link Project : Development of a curriculum Standardization in Companies and Markets yang diselenggarakan oleh EU selama 33 bulan. Di sini agenda utamanya adalah meningkatkan awareness tentang standar dan aktivitas standardisasi berkenaan dengan dampak socio-economic standardisasi pada masyarakat modern, integrasi regional dan globalisasi. Melalui kerjasama Asia-Link ini dimungkinkan upaya transfer ilmu pengetahuan dan informasi untuk mengurangi hambatan teknis perdagangan, khususnya antara negara-negara di kawasan Asia dan Eropa, melalui sistem standardisasi yang spesifik. Asia-Link juga mengembangkan modul kurikulum standardisasi yang terstruktur, terpadu dan menyeluruh yang dapat diterapkan secara on-line dengan platform e-learning program.

Pengembangan pendidikan standardisasi terus ditingkatkan dan lebih difokuskan pada perguruan

tinggi, karena mahasiswa adalah gerenasi penerus yang akan masuk ke dunia kerja, baik sebagai produsen, konsumen, pedagang ataupun tenaga professional, yang tidak luput dari persaingan yang semakin tajam. Mereka harus dibekali dengan pengetahuan mengenai standardisasi sejak belajar di perguruan tinggi agar mereka siap memasuki persiangan global yang menuntut standardisasi di banyak aspek.

Sebagai progam perintis dalam pengembangan pendidikan standardisasi di perguruan tinggi, pada tahun 2005 BSN menandatangani nota kesepakatan (MoU) dengan Universitas Diponegoro (UNDIP). Dari kerjasama ini telah berhasil dirumuskan kurikulum pendidikan di bidang standardisasi yang di-launching pada September 2007 (lihat tabel 1). Kurikulum tersebut pun diajarkan sebagai mata kuliah 3 SKS dari program studi (S1) Teknik Industri pada tahun 2008. Evaluasi terhadap penerapan kurikulum pun terus dilakukan untuk disempurnakan, antara lain memperluas cakupannya dengan memasukkan peran strandar dalam ekonomi, innovasi dan pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai dasar untuk merumuskan suatu standar baru; serta melengkapi materi ajar dalam bentuk text-book.

Sosialisasi untuk memasyarakatkan pendidikan standardisasi di kalangan perguruan tinggi di berbagai daerah

pun terus dilakukan dan mendapat sambutan positif dari para civitas academica. Pada Bulan Mutu (November 2008) BSN juga telah menandatangani kerjasama pengembangan pendidikan dan pelatihan standardisasi dengan 8 perguruan tinggi lainnya, yaitu: Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor, Universitas Negeri Sebelas Maret, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Hasanudin, Universitas Brawijaya, dan Universitas Lambung Mangkurat.

Lingkup kerjasama dengan perguruan tinggi pun diperluas dengan menyediakan sarana dan akses informasi mengenai standar yang akan digunakan sebagai referensi di perguruan tinggi. Di sini BSN membuka kesempatan bagi dosen dan mahasiswa untuk memanfaatkan perpustakaan BSN sebagai pusat informasi yang mempunyai koleksi terlengkap mengenai standar nasional maupun internasional. BSN juga melibatkan para pakar dan tenaga ahli dari berbagai perguruan tinggi secara lebih intensif untuk ikut mengembangkan Standar Nasional Indonesia (SNI) maupun melakukan Penelitian di bidang standardisasi.

Kepada mahasiswa pun, dibukakan peluang untuk berkunjung dan magang di BSN agar mereka dapat melihat dan mengenal secara lebih dekat bagaimana cara kerja merumuskan standar, menerapkan standar dan mencermati kaidah-kaidah yang harus diperhatikan di bidang standardisasi. BSN pun memberikan insentif berupa bimbingan dan pelatihan yang diperlukan untuk peningkatan fasilitas pelayanan dan pengelolaan laboratorium di perguruan tinggi, agar dapat memenuhi syarat untuk mendapatkan akreditasi dari KAN. Dengan meningkatnya mutu, cara kerja dan manajemen laboratorium

PENERIMA ISO AWARD. UNIVERSITAS JILIANG, CINA, BERHASIL KELUAR SEBAGAI PEMENANG ISO AWARD FOR HIGHER EDUCATION IN STANDARDIZATION TAHUN 2007.

SOU

RCE:

WW

W.F

LICK

R.CO

M

Tidak ada kata terlambat

bagi pendidikan

standardisasi dan upaya ini

perlu terus dilakukan secara

berkesinambungan, baik di

perguruan tinggi maupun di

tingkat pendidikan dasar dan

menengah.

Source: Badan Standardisasi Nasional, Mata Kuliah Pengantar Standardisasi, 2009.

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

FOKUS

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

FOKUS

12

12 1312 13

Page 8: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

perguruan tinggi di berbagai daerah, pembangunan infrastruktur standardisasi dapat direalisasikan dan ini sangat berguna untuk memacu potensi unggulan daerah yang memenuhi standar.

Berbagai upaya yang telah dilakukan di Indonesia, dapat dikatakan masih dalam tahap awal bila dibandingkan dengan perkembangan pendidikan Standardisasi di dunia. Meskipun demikian, tidak ada kata terlambat dan upaya ini perlu terus dilakukan secara berkesinambungan, tidak hanya di perguruan tinggi tetapi juga di tingkat pendidikan dasar dan menengah.

Untuk menjadi bangsa yang mandiri dan mampu sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, kita perlu membangun sumber daya manusia yang tangguh dan berkualitas. Kuncinya terletak pada pendidikan. Tantangan ke depan adalah bagaimana pendidikan tentang standardisasi ini menjadi salah satu program prioritas nasional. Pentingnya ilmu dan pengetahuan tentang standardisasi merupakan tuntutan masa depan yang harus disadari semua pihak.

Memang ideal, bila Indonesia memiliki suatu institusi pendidikan dengan bidang studi standardisasi yang akan menghasilkan tenaga professional di bidang standardisasi. Namun, untuk tahap awal, sudah cukup memadai bila perguruan tinggi mau memasukkan standardisasi sebagai salah satu mata kuliah yang diajarkan kepada mahasiswanya. Ini akan memberi bekal bagi para calon pelaku ekonomi bangsa untuk mengenal standar dan diharapkan kelak mereka dapat mengembangkan standar sesuai dengan bidang yang digelutinya: “In the near future, the war is on standards”.

Kebutuhan akan pendidikan mengenai standardisasi telah menjadi bahan pembicaraan yang serius dalam beberapa tahun

terakhir ini. Tak heran bila manajemen standardisasi kini jadi bahan kajian di berbagai kalangan. Misalnya para pebisnis, pengambil kebijakan publik atau para ahli yang berkecimpung di bidang manajemen teknologi. Topik mengenai standardisasi yang dibicarakan sangat beragam, mulai dari bedah kasus, strategi bisnis, teknik membuat standar, kompetisi berbasis standardisasi, hak kekayaan intelektual di bidang standardisasi, hingga pendidikan mengenai standardisasi.

Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran warga dunia, mengenai pentingnya standardisasi, isu perlunya pendidikan standardisasi pun mulai mencuat. Mereka yang menyatakan bahwa pendidikan

mengenai standardisasi itu sangat penting dan perlu tidak hanya datang dari kalangan perguruan tinggi saja. Seperti diketahui para pebisnis, organisasi atau badan standardisasi yang bersifat lokal maupun internasional (layaknya APEC dan ISO) juga menyuarakan hal yang sama.

Munculnya kesadaran akan pentingnya pendidikan standardisasi, akhirnya mendorong sejumlah kalangan untuk membuat kurikulum pendidikan standardisasi yang berbasis daya saing. Kurikulum ini juga dibuat untuk menjawab berbagai pertanyaan yang muncul mengenai penerapan kurikulum tersebut. Misalnya saja, siapa sebenarnya yang dianggap layak untuk mengajarkan materi pendidikan standardisasi? Mengapa pendidikan standardisasi dibutuhkan? Apa saja materi yang akan diajarkan? Dan bagaimana cara

KURIKULUM STANDARDISASI

AgarPendidikan Standardisasi Tepat Sasaran

Di tengah lingkungan ekonomi global standar memiliki arti penting yang sangat strategis di berbagai aspek kehidupan, di antaranya adalah di bidang ekonomi, perdagangan dan industri. Kecuali itu, makin disadari juga keberadaan standar sebagai sarana yang memberikan jaminan kesehatan dan keamanan bagi kehidupan manusia.

Kondisi ini tentunya menjadi pemicu bagi tumbuhnya suatu kesadaran untuk mendorong pemahaman dan pengertian mengenai standar dan standardisasi. Oleh karenanya, menjadi urgen untuk menyiapkan dalam skala yang seluas-luasnya SDM yang mempunyai pengetahuan memadai di bidang standardisasi. Dalam hal ini pendidikan tinggi (universitas) memiliki peran yang vital dalam melahirkan SDM yang “melek” standar.

Lihat saja Cina, sangat gencar mendorong pendidikan mengenai standardisasi. Saat ini sudah 30 universitas di Cina yang memasukkan standardisasi dalam kurikulum pendidikan. Di Korea pengajaran mengenai standardisasi tidak hanya berupa pertemuan kuliah tatap muka regular tapi masih ditambah dengan studi lapangan mengunjungi pusat riset dan perusahaan. Bahkan, Korea juga mengembangkan program pendidikan standardisasi secara on-line. Di Jepang pendidikan standardisasi diarahkan kepada pendidikan para calon pengambil keputusan yang ke depan akan menjadi penentu arah perusahaan maupun kemajuan teknologi.

Di Indonesia, pendidikan standardisasi telah direalisasikan. Setidaknya hal itu terlaksana di Universitas Diponegoro (UNDIP), Semarang. Program pendidikan standardisasi di UNDIP dimulai sejak tahun 2007. Program ini merupakan bagian dari

bekerjasama antara UNDIP dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN). Kerjasama tersebut dirintis pada 2005 terkait dengan pengembangan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat di bidang standardisasi. Berdasarkan kerjasama tersebut, dicetuskan dan dirintis pelaksanaan mata kuliah standardisasi di UNDIP mulai tahun 2007.

Mata kuliah standardisasi ini meliputi materi tentang pengantar standardisasi, standar dalam kaitannya dengan ekonomi, kegiatan standardisasi internasional, kegiatan standardisasi nasional, dan penerapan standar terutama di lingkungan industri. Mata kuliah ini terdiri dari 3 SKS, sebanyak 14 kali pertemuan, dan diberikan kepada mahasiswa S1 jurusan Teknik Industri atau jurusan lain sebagai mata kuliah layanan.

Mengingat tingginya antusias dan respon dari peserta, mata kuliah juga telah diselenggarakan di berbagai jurusan, di antaranya Fakultas Pertanian, Peternakan, Perikanan, Hukum dan Sastra.

Persoalannya kemudian adalah bagaimana terus dilakukan upaya peningkatan dan perbaikan atas mutu pengajaran standardisasi di perguruan tinggi. Utamanya, mengembangkan kurikulum mengenai standardisasi sesuai dengan berbagai program studi pendidikan tinggi, bahkan pendidikan yang lebih rendah lagi.

Kecuali itu juga, perlu diperluasnya ruang lingkup bagi pendidikan standardisasi, tidak hanya terbatas pada kegiatan tatap muka melainkan juga kegiatan praksis di lapangan dan penelitian. Hal ini penting agar pengajaran mengenai standardisasi sungguh dapat mengakar dan relevan dalam realitas kehidupan sehari-hari.

Mata Kuliah Standardisasi di UNDIPProgram Rintisan Yang Kian Berkembang

DO

C. U

NIV

ERSI

TAS

DIP

ON

EGO

RO

Banyak hal harus diperhati-

kan dalam membuat kuri-

kulum pendidikan standar-

disasi. Meski begitu intinya

para pembuat kurikulum ini

harus memperhatikan tiga

hal, yakni tujuan yang ingin

dicapai, siapa pesertanya

dan bagaimana materi terse-

but diajarkan.

Dra. Dewi Odjar Ratna Komala, MMadalah Deputi Bidang Informasi dan Pemasyara-katan Standardisa-si BSN sejak tahun

2008. Sebelumnya pernah menjadi Asisten Deputi Promosi dan Komer-sialisasi Iptek (2003-2007).

Lulus Program Pasca Sarjana Manaje-men Internasional PPM.

REVIEWER

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

FOKUS

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

FOKUS

14 1514

Page 9: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

mengajar dan penyampaian materinya? Tentang bagaimana mengembangkan kurikulum standardisasi yang startegis lihat skema 1.

Untuk menyusun kurikulum, sedikitnya ada tiga hal pokok yang harus menjadi perhatian utama. Di antaranya, yang pertama adalah kurikulum ini dirancang sedemikian rupa agar materi yang disajikan memenuhi kebutuhan (disesuaikan) dengan latar belakang dan kemampuan siswa yang akan menerima materi pelajaran. Sehingga kurikulum pendidikan standar ini akan memiliki perbedaan, tergantung dari siapa yang akan menerima materi pelajaran.

Hal berikutnya yang juga harus mendapat perhatian khusus adalah kurikulum ini wajib memuat enam materi (modul), lihat skema 2. Isi dan cara menyampaikan materi-materi tersebut dapat disesuaikan dengan target atau peserta pendidikan. Keenam materi ini adalah:

1. Contoh kasus penggunaan standar dalam kehidupan sehari-hari.

2. Isu faktual yang bersifat fundamental yang menggambarkan pentingnya standardisasi.

3. Definisi mengenai standardisasi (pendekatan teori akademik).

4. Studi kasus penerapan standar.

5. Meningkatkan ketrampilan untuk mamahami prosedur membuat standar.

6. Bagaimana menggunakan berbagai standar yang telah dibuat.

Hal ketiga yang perlu diperhatikan adalah bahwa kurikulum ini juga harus ada dalam kerangka kerja (framework) standardisasi pembuatan kurikulum dalam dunia pendidikan. Hal ini berarti kurikulum pendidikan standardisasi, sejatinya memiliki acuan pokok dimana pun materi tersebut diajarkan.

PONDASI MEMBUAT KURIKULUM

Untuk menyusun atau membuat kurikulum pendidikan standardisasi tentunya bukan hal yang mudah. Selain itu banyak acuan yang dapat digunakan. Dalam kesempatan ini digunakan contoh kurikulum pendidikan standardisasi yang dipublikasikan oleh Florida State University pada tahun 2007. Merancang sebuah kurikulum memerlukan teknik dan strategi tertentu. Ini dibutuhkan agar kurikulum yang dibuat tidak

menghasilkan salah pengertian, tidak dapat diterapkan, jelek, tidak relevan dengan kenyataan sehingga tidak dapat digunakan.

Agar kasus seperti itu tidak terjadi, dalam membuat kurikulum perlu diperhatikan beberapa hal. Di antaranya adalah tujuan atau hasil seperti apa yang diharapkan dari terbentuknya kurikulum tersebut. Tujuan yang ingin dicapai inilah yang sejatinya merupakan pondasi dasar untuk membentuk kurikulum pendidikan standardisasi. Dengan adanya tujuan yang jelas maka para

peserta pendidikan dan instrukturnya punya pegangan yang pasti mengenai makna penyelenggaraan pendidikan standardisasi ini.

Ada berbagai macam tujuan yang hendak dicapai dari penyelenggaraan pendidikan ini, di antaranya untuk meningkatkan kepedulian terhadap standardisasi. Ada juga kurikulum yang ditujukan untuk meningkatkan keterampilan pesertanya dalam membuat sebuah standar. Atau untuk meningkatkan wawasan mengenai perkembangan standardisasi di dunia internasional. Jadi harus ada kejelasan

untuk tujuan apa kurikulum tersebut dibuat.

Selain itu ada beberapa hal yang juga menjadi faktor penting untuk merancang kurikulum pendidikan seperti ini. Agar kurikulum itu dapat menghasilkan tujuan yang diinginkan perlu diketahui siapa yang akan menerima materinya, atau dengan kata lain siapa yang menjadi target kurikulum ini.

Apakah mereka pelajar sekolah dasar, mahasiswa, para profesional yang bergerak di bidang manajemen atau teknologi, pengusaha atau para pegawai negeri? Menentukan siapa yang akan menerima materi ini akan sangat menentukan isi materi dari kurikulum tersebut dan juga bagaimana teknik dan cara menyampaikanya. Itu artinya hal tersebut juga berhubungan dengan siapa yang akan menjadi guru atau instruktur untuk menyampaikan materi dalam kurikulum ini.

MENETAPKAN TUJUAN

Setelah itu baru menginjak pada tahapan menentukan isi materi yang akan disampaikan dalam pendidikan. Isi materi pengajaran standardisasi dapat dilihat dalam tabel 1. Tentunya materi yang akan disampaikan kepada para siswa yang duduk di bangku sekolah dasar, akan berbeda dengan para profesional atau para pengambil kebijakan yang duduk di pemerintahan, meskipun tujuan yang ingin dicapai sama yakni meningkatkan kepedulian terhadap standardisasi.

Tujuan yang ingin dicapai telah ditetapkan, siapa saja yang akan mengikuti pendidikan juga sudah diketahui. Langkah selanjutnya adalah menentukan bagaimana teknik menyampaikannya kepada para peserta pendidikan. Mengajarkan materi mengenai standardisasi kepada siswa sekolah dasar jelas berbeda dengan mereka yang telah duduk di bangku perguruan tinggi. Cara atau teknik mengajar juga sangat menentukan rancangan dari kurikulum pendidikan standardisasi.

Bagi siswa sekolah dasar, lazimnya materi akan disampaikan dengan cara yang sederhana dan menyenangkan. Misalnya dengan membuat game atau kuis yang menarik. Sementara bila peserta didiknya adalah mahasiswa tentunya materi akan disampaikan

TABEL 1. CONTOH MATERI PENDIDIKAN STANDARDISASI

PendidikanTinggi

3AkademisTeoritis

Bagaimana Gunanya?

PendidikanProfesional

6Modul MateriPendidikan

Standardisasi

1Contoh Hidup

Sehari-hari

5Keahlian

6Standar Khusus

4Studi Kasus

2Faktual

Fundamental

(Misal: Tipe Standar)

(Misal: Sektor TI, ISO: 14000)

(Misal: Cara MenulisStandar ISO)

(Misal: Barcode,USB)

(Misal: KeekonomianStandar)

(Misal: Standar TelekomunikasiCDMA vs GSM)

SKEMA 2. MODUL MATERI PENDIDIKAN STANDARDISASI

SKEMA 1. PENGEMBANGAN KURIKULUM STRATEGIS

Source: Donggean Choi dan Henk J. de Vries, Framework for Standards Education Curricula: Emprical Analysis Based On APEC Research (2008).

Source: Donggean Choi dan Henk J. de Vries, Framework for Standards Education Curricula: Emprical Analysis Based On APEC Research (2008).

NO KLASIFIKASI UTAMA SUB-KLASIFIKASI

1. Umum Umum - Pengantar, Orientasi

2. Definisi Konsep dan definisi

3. Fungsi (Nilai) Kebutuhan atau SasaranFungsi dan Efektivitas

4. Sejarah Sejarah Umum dan Evolusi

5. Tipe/Klasifikasi

UmumSiapa: Nasional, Regional, InternasionalBagaimana: de jure, de facto, consortia/associationsApa: Kualitas, Proses, Inter-operabilitas

6. Standardisasi Nasional

SejarahKebijakan dan StrategiProsedur dan Sistem LegalOrganisasi Pengaruh dan TantanganIsu Utama Terkini

7. Standardisasi Regional

SejarahKebijakan dan StrategiProsedur dan Sistem LegalOrganisasi Pengaruh dan TantanganIsu Utama Terkini

8. Standardisasi Regional

Standardisasi Regional - Jika DiperlukanSejarahKebijakan dan StrategiProsedur dan Sistem Legal

9. Standardisasi Internasional

SejarahKebijakan dan StrategiProsedur dan Sistem LegalOrganisasi - FormalOrganisasi - Non-formalPengaruh dan Tantangan (Perdagangan)Isu Utama Terkini

10. Standardisasi Konsorsium

Umum

11. Standardisasi Perusahaan

StrategiStandardisasi InternalStandardisasi EksternalKebutuhan Pelanggan

12. Penilaian Kesesuaian

UmumTipe dan StrategiProsedur dan Sistem LegalSistem Nasional - AkreditasiSistem Negara Lain - Jika PerluInternasional, Regional, Multi/Bi-LateralKesepakatan Pengakuan Bersama - UmumKesepakatan Pengakuan Bersama - Tipe dan Efektivitas

13. Konsumen Pengguna dan Konsumen

14. Pemerintah Pemerintah dan Standardisasi

Source: Donggean Choi dan Henk J. de Vries, Framework for Standards Education Curricula: Emprical Analysis Based On APEC Research (2008).

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

FOKUS

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

FOKUS

16 17

Page 10: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

seperti memberikan materi perkuliahan. Lain lagi tekniknya, bila para siswanya merupakan para sarjana dari berbagai disiplin ilmu. Pendekatan analisa masalah, boleh jadi merupakan alterntaif yang pas untuk mereka.

Di saat lain, boleh jadi kurikulum dirancang agar para siswanya memiliki kemampuan untuk menentukan kebijakan. Seperti seberapa penting dan perlu organisasi tempat mereka berada, (perusahaan atau instansi pemerintah) menerapkan standar. Teknik menyampaikan materi seperti biasanya digunakan jika peserta pendidikan ini adalah para eksekutif baik yang berasal dari perusahaan swasta maupun pemerintah. Sementara bagi mereka yang bekerja di sebuah badan yang mengurusi soal penerapan standar, materi yang diberikan dapat berupa bagaimana seluk beluk prosedur dalam membuat standar.

Kurikulum yang ditujukan bagi para professional dan eksekutif sebaiknya dibuat sedemikian rupa sehingga

SKEMA 3. SASARAN PENDIDIKAN FORMAL VS PROFESIONAL

melalui pendidikan standardisasi ini dapat mengembangkan karier mereka di masa depan. Sehingga mereka tertarik untuk mengikuti pendidikan seperti ini.

Terkait dengan teknik dan cara mengajar pada kurikulum yang akan dibuat juga diwajibkan untuk memuat standar waktu, berapa lama waktu yang dibutuhkan siswa untuk menerima materi pendidikan. Misalnya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menjelaskan pentingnya standardisasi kepada para murid sekolah dasar. Atau seberapa lama waktu yang digunakan agar para sarjana dapat mengembangkan kemampuannya untuk membuat sebuah standar, begitu juga dengan para professional berapa waktu yang dibutuhkan agar mereka dapat mengaplikasikan standar yang ada pada bidang pekerjaan mereka.

Dalam membuat kurikulum pendidikan standardisasi berdasarkan latar belakang pesertanya dapat dirancang dengan dua pendekatan.

TABEL 2. FRAMEWORK KURIKULUM PENDIDIKAN STANDARDISASI

Source: Donggean Choi dan Henk J. de Vries, Framework for Standards Education Curricula: Emprical Analysis Based On APEC Research (2008).

Yakni pendidikan formal dan pendidikan profesional, lihat skema 3. Pada pendidikan formal diajarkan apa itu standardisasi, wawasan mengenai pentingnya standardisasi, teori-teori yang mendukungnya. Sementara bagi para profesional materi yang diberikan dapat berupa bagaimana menyusun atau membuat sebuah standar. Keterampilan atau kecakapan seperti apa yang dibutuhkan agar dapat membuat standar. Lalu bagaimana caranya menggunakan standar tadi pada kegiatan bisnis.

Setelah tiga perangkat dasar dalam merancang sebuah kurikulum diketahui yakni tujuan, siapa yang akan menjadi siswanya dan teknik mengajarkan materi, selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah siapa sebaiknya yang membuat kurikulum tersebut.

Di tingkat sekolah dasar hingga SMA bisa jadi lembaga yang membuat kurikulum pendidikan standardisasi merupakan institusi yang sama. Namun jika kurikulum tersebut ditujukan

untuk mereka yang telah duduk di perguruan tinggi, lembaga yang membuat kurikulum harus berbeda. Begitu juga jika kurikulum itu ditujukan untuk mendidik para profesional.

Setelah semua komponen untuk menyusun kurikulum itu telah diketahui. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya hingga menjadi sebuah pedoman baku (framework) kurikulum pendidikan standardisasi. Sehingga siapa saja baik peserta didik maupun instrukturnya dapat dengan jelas mengerti apa saja isi materi yang akan diberikan dalam pendidikan standardisasi. Mengenai pedoman baku tersebut lihat tabel 2.

Source: Donggean Choi dan Henk J. de Vries, Framework for Standards Education Curricula: Emprical Analysis Based On APEC Research (2008).

Contohnya apa saja isi materi pendidikan yang diberikan untuk murid-murid sekolah dasar. Teknik apa saja yang digunakan untuk menyampaikan materi tersebut. Siapa yang bertanggung jawab membuat kurikulum tersebut. Tujuan seperti apa yang diharapkan setelah para siswa itu mendapatkan materi pendidikan ini. Begitu seterusnya, hal yang sama juga berlaku untuk kurikulum yang dibuat untuk para mahasiswa, profesional maupun para pegawai negeri. Alhasil, tujuan dibuatnya framework ini adalah agar kurikulum pendidikan standardisasi mudah digunakan.

SIAPA?-Peserta Didik-

MENGAPA?-Sasaran-

DI MANA?-Operator-

APA (MATERI PENGAJARAN) BAGAIMANA-Metode Pengajaran-

Pertama Ke-2, Ke-3

Pra-Sekolah Kesadaran - Pemerintah- Badan

Standardisasi

Modul 1Contoh Sederhana

PermainanKuis

Pendidikan Dasar

Kesadaran - Pemerintah- Badan

Standardisasi

Modul 1Contoh Sederhana

Modul 2(Simplified)

LombaCampingKuisPermainan

Pendidikan Menengah

Kesadaran/ Pengetahuan Khusus

- Pemerintah- Badan

Standardisasi- Universitas

Modul 2Fundamental

Modul 1Contoh Sederhana

Modul 3Akademik

Modul 4Modul 5Modul 6

Team ProjectPresentasiTerjun Ke

Lapangan

Pendidikan Tinggi

Teori/ Pengetahuan Khusus

- Pemerintah- Badan

Standardisasi- Universitas

Modul 3AkademikModul 4

Studi Kasus

Modul 6Modul 2Modul 5Modul 1

Studi KasusTerm PaperWorkshop

Pendidikan Profesional:- Eksekutif- Pemerintah

Keputusan Strategis/Pengembangan Kebijakan

- Pemerintah- Badan

Standardisasi

Modul 2Fundamental

Modul 4Studi Kasus

Modul 3Akademik

Modul 1Modul 5Modul 6

WorkshopPanelDiskusi

Pendidikan Profesional:- Anggota

Komite- Staf Lembaga

Standar

Keahlian/Keterampilan Praktis

- Pemerintah- Badan

Standardisasi

Modul 5Keahlian

Modul 4Modul 3Modul 2Modul 1Modul 6

SimulasiRole PlayingWorkshop

Pendidikan Profesional:- Insinyur- Peneliti

Cara Menggunakan Standar Khusus

- Dunia Usaha- Universitas- Lembaga

Riset

Modul 6Standar

Modul 4Modul 3Modul 2Modul 1Modul 5

PengalamanPraktek

Drs. Tisyo Haryono, MLSadalah Kepala Pu-sat Pendidikan dan Pemasyarak atan Standardisasi BSN sejak tahun 2006. Sebelumnya per-

nah menjadi Kepala Pusat Informasi dan Dokumentasi Standardisasi BSN.

Lulus S2 di School of Library and Infor-mation Science (SLIS) University Pitts-burgh, Pensylvania, USA, pada tahun 1985.

REVIEWER

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

FOKUS

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

FOKUS

18 19

Page 11: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan memadai di bidang standardisasi. Untuk itu, dukungan yang diberikan oleh badan-badan Standardisasi Internasional pun cukup besar. ISO telah menggelar berbagai award, antara lain: ISO Award for Higher Education, ISO Helmut Reihlen Award for Young Standardizers in Developing Countries, ISO Lawrence D. Eicher Leadership Award for the ISO Standards Development Groups, ISO Training Programme dan ISO e-learning programme. Sementara IEC menyelenggarakan IEC Centenary Challenge dalam bentuk academic papers untuk meningkatkan awareness di kalangan akademisi dan mengeluarkan bahan kuliah standardisasi untuk program MBA dan MOT serta menyediakan e-learning textbook mengenai standar internasional di bidang elektro-teknik. ITU membuka kesempatan kepada akademisi di bidang R&D untuk berinovasi dalam mengembangkan standar ITU (di bidang telekomunikasi).

MANFAAT BERGABUNG DI ICES

Dalam pertemuan ICES ke 4 ini, Indonesia resmi bergabung sebagai satu-satunya negara berkembang yang menjadi anggota ICES, Indone-sia tentunya memiliki kesempatan untuk menimba berbagai pelajaran dan pengalaman dari negara-negara maju dalam mengembangkan dan menerap-kan pendidikan tentang Standardisasi di dalam negeri. Menurut penuturan Dewi Odjar Ratna Komala, Deputi Infor-masi dan Pemasyarakatan Standar-disasi BSN yang menjadi Ketua Tim dari

Indonesia, manfaat bergabung dengan ICES adalah pertama Indonesia dapat membangun net-working untuk meman-faatkan sumber-sumber informasi mengenai pendidikan standardisasi yang sudah atau sedang dikembangkan oleh negara-negara anggota ICES lain, khususnya negara-negara yang lebih awal mengembangkan pendidikan standardisasi seperti Eropa, Ameri-ka Serikat, Jepang, Korea dan Cina. Net-working ini juga akan memudahkan Indonesia untuk menjalin kerjasama lebih intensif dalam mengembangkan pendidikan standardisasi, misalnya dengan mengundang para pakar yang tergabung dalam ICES ke Indonesia untuk menjadi narasumber.

Kedua, kita juga mendapat kehormatan dengan ditunjuknya Ketua Tim dari Indonesia sebagai anggota Program Committee untuk mempersiapkan pelaksanaan ICES Meeting 2010 di Jenewa yang akan di-host bersama oleh ISO/IEC/ITU yang sekaligus juga akan menggelar Academia Week. Pada acara tersebut, perguruan tinggi dari berbagai negara diagendakan untuk berpartisipasi dalam menampilkan berbagai hasil pengembangan pendidikan standardisasi. Ini merupakan kesempatan/peluang yang sangat baik untuk dimanfaatkan. Untuk itu, BSN akan lebih giat memotivasi perguruan tinggi yang menjadi mitra BSN untuk ikut serta di ajang forum internasional ini guna menarik manfaat bagi pengembangan pendidikan standardisasi di perguruan tingginya masing-masing.

Ketiga, dengan menampilkan poster presentasi yang kreatif dan menarik, serta memaparkan berbagai upaya yang telah dilakukan BSN dalam mengembangkan pendidikan standardisasi di Indonesia, ternyata hal itu memberikan inspirasi bagi anggota ICES lainnya untuk menjadikan pendidikan standardisasi yang “tidak seksi” menjadi lebih menarik. Untuk itu, Indonesia dilibatkan lebih mendalam untuk mengembangkan pendidikan standardisasi bagi anak usia dini melalui berbagai media kreatif yang dapat dinikmati peserta didik sewaktu belajar mengenai standardisasi. Di antaranya mengembangkan bentuk permainan atraktif yang dapat diakses melalui internet berupa Standardization Game On-line, yang memungkinkan anak-anak terlibat dalam pendidikan Standardisasi dengan cara yang menyenangkan.

Bagi perguruan tinggi, keterlibatan mereka dalam ICES juga mendatangkan banyak manfaat selain memperoleh wawasan mengenai cara atau metode mengajar (antara lain berupa simulasi) yang menarik dalam mengajarkan pendidikan standardisasi kepada mahasiswa, juga dapat menyerap berbagai materi penting untuk dimasukkan atau dijadikan referensi bahan pengajaran standardisasi.

Keterlibatan Indonesia dalam ICES akan terus ditingkatkan, khususnya dengan lebih memperluas partisipasi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, karena terbukanya peluang bagi Indonesia untuk menjadi tuan rumah ICES Meeting di tahun-tahun mendatang. Indonesia ditunjuk sebagai nominee tuan rumah ICES Meeting di tahun 2011 bila Amerika Serikat, yang seharusnya mendapat giliran menjadi tuan rumah berhalangan.

PARTISIPASI INDONESIA DI ICES. DEWI ODJAR, KETUA DELEGASI INDONESIA DI ICES, MENJELASKAN POSTER PRESENTASI PENDIDIKAN STANDARDISASI YANG DIKEMBANGKAN INDONESIA KEPADA PESERTA ICES DARI NEGARA LAIN.

Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, Belanda, Swiss, Taiwan, Uganda dan Amerika. Di sini untuk pertama kalinya Indonesia berpartisipasi dalam ICES dengan mengirimkan empat orang wakilnya yang terdiri dua wakil BSN dan dua wakil dari Perguruan Tinggi (Universitas Diponegoro dan Institut Pertanian Bogor).

Menjadi agenda dalam setiap Workshop ICES, para ahli dari berbagai disiplin ilmu yang mewakili badan standardisasi nasional, regional dan internasional, lembaga pemerintah, swasta saling tukar menukar informasi dan pengalaman dalam pendidikan standardisasi. Dalam kesempatan ini, Indonesia memperkenalkan kepada dunia internasional mengenai pendidikan standardisasi yang sedang dikembangkan di Indonesia melalui poster presentation serta pengenalan standardisasi kepada anak-anak dalam bentuk permainan (games & story telling). Hal ini mendapat apresiasi positif dari para anggota ICES lainnya.

Dalam Workshop ICES Ke-4, juga didiskusikan secara intensif bagaimana “menjual” pendidikan standardisasi kepada kalangan perguruan tinggi dan dunia usaha. Topik ini mendapat penekanan penting karena sedikitnya pengambil keputusan/stakeholders yang menaruh perhatian terhadap kontribusi dan pentingnya standardisasi bagi dunia usaha dan masyarakat. Banyak pelaku usaha kurang menyadari arti strategis standardisasi dalam bisnis mereka, khususnya untuk membuka dan menciptakan pangsa pasar baru dan membangun organisasi yang efektif. Singkatnya, terdapat “gap” dalam pengetahuan di bidang standardisasi. Kekosongan ini harus diatasi, terutama melalui kerjasama antara pemerintah, dunia usaha, lembaga standar nasional, dunia akademi dan lembaga pendidikan lain.

Tema lain yang mendapat sorotan dari forum ini adalah memperkenalkan kerjasama internasional pendidikan standardisasi ke dalam program pendidikan nasional. Ini penting agar dunia pendidikan mampu menghasilkan

Beberapa negara maju di kawasan Uni Eropa, Amerika Serikat dan Asia di antaranya Jepang, Korea Selatan, dan

Cina telah lama mengembangkan pendidikan di bidang standardisasi, terutama di lingkungan perguruan tinggi. Pengembangan pendidikan standardisasi tersebut lebih terfokus pada pengembangan kurikulum dan textbook (bahan pelajaran). Negara-negara maju tersebut telah menyadari pentingnya pengembangan pendidikan standardisasi dalam rangka meningkatkan awareness masyarakat dan partisipasi stakeholder dalam kegiatan standardisasi.

Berawal dari kesadaran negara-negara maju tersebut kemudian menjalar ke berbagai negara lain. Sejak beberapa tahun yang lalu networking di bidang pendidikan standardisasi juga mulai dikembangkan. Hal itu ditandai dengan terbentuknya forum-forum kerjasama internasional di bidang pendidikan standardisasi, di antaranya: Asian Link Project on Standardization Education (2004), Working Group on Standardization Education within Europe (2006), dan International Cooperation for Education about Standardization (ICES) pada tahun 2006.

ICES merupakan jaringan international yang dibentuk sebagai organisasi non-profit beranggotakan perorangan/individu dan organisasi yang tertarik pada pengembangan pendidikan standardisasi. Sementara misi dari organisasi ini adalah mempromosikan berbagai pengalaman, metodologi dan material pendidikan standardisasi, serta meningkatkan kualitas serta daya tarik/ketertarikan semua pemangku kepentingan.

ICES dibentuk di Tokyo, Jepang pada Februari 2006 oleh masyarakat industri, akademisi dan organisasi standar berbagai negara di kawasan Eropa, Amerika dan Asia. Sejak saat itu jumlah institusi yang bergabung dengan organisasi ini terus berkembang. Misalnya saja instansi pemerintah, badan standardisasi internasional,

konsorsium standar, dan lain-lain. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan:

1. Mengembangkan dan menjaga jaringan kerjasama individu-individu dari berbagai disiplin ilmu yang mempunyai perhatian pada pendidikan tentang standardisasi.

2. Memfasilitasi pengembangan kebijakan dan infrastruktur untuk mendorong pendidikan standardisasi, baik di tingkat Nasional, Regional, Internasional maupun di kalangan industri dan perusahaan.

3. Menjalin kerjasama dengan organisasi yang menyediakan pelatihan dan pendidikan di bidang standardisasi.

4. Menjadikan pendidikan standar-disasi bersifat professional, dengan cara:

a. Mempererat ikatan antara riset dan pendidikan standardisasi sesuai dengan kebutuhan.

b. Memfasilitasi repository materi kurikulum.

c. Memfasilitasi repository materi pendidikan/pengajaran.

d. Memfasilitasi peer review materi pendidikan/ pengajaran.

e. Menstimulasi pengembangan guidelines, inovasi, dan materi pengajaran.

f. Mengorganisir workshop.

Ditilik dari tujuan dan misi organisasi, maka ICES menawarkan platform untuk pertukaran informasi, kolaborasi dan diseminasi yang dilaksanakan di setiap workshop tahunan ICES.

WORKSHOP ICES KE-4

Sejak dibentuk hinga kini ICES telah melakukan empat kali pertemuan, yakni di Tokyo, Jepang pada 2006, lalu setahun berikutnya di Delft, Belanda (2007); Gaithersburg, Amerika (2008) dan terakhir yang baru berlangsung pada akhir Maret 2009 di Tokyo. Pertemuan ICES yang ke-4 di Tokyo dihadiri oleh sekitar 90 peserta dari 11 negara, yakni Cina, Jerman,

Kerjasama Internasional

Pendidikan Standardisasi

Dra. Dewi Odjar Ratna Komala, MMadalah Deputi Bi-dang Informasi dan Pemasyara- katan Standardisa-si BSN sejak tahun

2008. Sebelumnya pernah menjadi Asisten Deputi Promosi dan Komer-sialisasi Iptek (2003-2007).

Lulus Program Pasca Sarjana Manaje-men Internasional PPM.

REVIEWER

DO

C. B

SN

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

FOKUS

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

FOKUS

20 21

Page 12: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

Dengan penerapan standar tentunya akan mengurangi variasi produk sehingga dimungkinkan produksi

massal yang lebih efisien. Selain itu, standardisasi memberi kepastian arah masa depan industri yang berdampak pada turunnya risiko investasi di bidang riset dan pengembangan. Ini semua mendatangkan penghematan.

Penerapan standar di satu sisi merupakan sumber informasi mengenai apa yang diinginkan oleh konsumen. Standar menjadi informasi kunci dalam membuat produk sesuai dengan kebutuhan konsumen. Maka, penerapan standar membuka peluang pasar bagi produsen. Yakni pasar yang telah ada maupun pasar baru.

Keberadaan standar mempunyai efek penting terhadap inovasi. Standar menyediakan informasi yang mendorong proses inovasi. Yakni, bagaimana terus mengembangkan teknologi yang dapat membuat produk lebih baik, aman dan lebih efisien.Jadi, tidak dapat dipungkiri bahwa penerapan standar memiliki manfaat ekonomi. Namun, berapa besar nilai manfaat tersebut dan bagaimana metode perhitungannya masih menjadi kajian yang terus dikembangkan.

Beberapa negara mencoba mengkalkulasi besarnya kontribusi standardisasi terhadap ekonomi dari penerapan standardisasi. Misalnya, Jerman, Inggris, Kanada dan beberapa negara lain termasuk Indonesia. Umumnya kajian untuk mengetahui berapa kontribusi standar terhadap pertumbuhan GDP berangkat dari premis yang sama, yakni standardisasi dapat menjadi faktor penting yang menentukan aktivitas ekonomi makro suatu negara dan pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, quantitative assessment method yang digunakan dalam kajian tersebut tidak menggunakan acuan yang sama antar negara.

Kajian yang dibuat oleh pakar Jerman, misalnya, mengukur kontribusi standardisasi terhadap pertumbuhan ekonomi, sementara

Kontribusi Standardisasi Terhadap

Ekonomikajian yang dibuat oleh Departemen Perdagangan dan Industri Inggris melihatnya dalam kaitan dengan produktivitas tenaga kerja. Agaknya, memang belum ada metode perhitungan yang dapat dijadikan standar untuk menilai manfaat ekonomis dari penerapan standar. Untuk itu, diperlukan kesepakatan dan pengembangan atas model atau methodologi dalam bentuk sebuah tool untuk meng-asses dan menghitung manfaat standardisasi.

Dari perkembangan terbaru, tampaknya semua pihak yang terlibat dalam kegiatan standardisasi telah memiliki persepsi yang sama mengenai perlunya dirumuskan dan disepakati tool “standar” yang dijadikan model untuk menghitung nilai kontribusi standardisasi terhadap ekonomi. Tool ini diharapkan dapat diterapkan juga untuk menghitung kontribusi standardisasi terhadap ekonomi di negera-negara berkembang. Alhasil, berapa besarnya kontribusi standardisasi terhadap ekonomi dapat terukur.

NILAI EKONOMIS STANDARDISASI

Sekalipun belum ada standar perhitungannya, patut dicatat beberapa hasil kajian yang mencoba menghitung nilai ekonomis dari penerapan standar. Jerman, misalnya, mengakui bahwa penerapan standar menyumbang 1% terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara, Inggris mencatat bahwa standarisasi

menyumbang 13% terhadap pertumbuhan produktivitas tenaga kerja dan ekonomi atau mencapai angka sebesar 2,5 juta poundsterling.

Indonesia sendiri bakal mendapat untung jika produknya menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI). Dengan penerapan standar dari hanya sejumlah 5 produk saja, tercatat Negara dapat menikmati keuntungan dan peningkatan nilai ekonomi bisa mencapai miliaran rupiah. Hal ini terlihat dalam studi yang dilakukan BSN pada 2008 terhadap lima produk, yakni air minum dalam kemasan, minyak goreng, garam beryodium, pupuk potasium klorida, dan pupuk SP-36.

Penelitian itu dilakukan berdasarkan nilai tambah dari penerapan SNI, biaya sertifikasi dan pengujian serta penolakan atas produk impor yang tidak ber-SNI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan SNI oleh produsen di Indonesia cukup kuat memberikan dampak positif bagi nilai ekonomi.

Hasil riset membuktikan penerapan SNI pada produk air minum dalam kemasan sepanjang 2008 telah memberikan keuntungan ekonomi untuk negara Rp 2,78 triliun. Keempat produk lain memberikan keuntungan ekonomi sebesar Rp 17,5 triliun untuk produk minyak goreng, garam beryodium (Rp 399,3 miliar), pupuk potasium klorida (Rp 840 miliar), dan pupuk SP-36 (Rp 77,3 miliar).

Hasil riset membandingkan keseluruhan produk yang sudah menerapkan SNI dan yang belum. Jika produk yang belum menerapkan SNI bisa beralih menjadi penerap standar, maka keuntungan ekonomis akan lebih besar. Artinya, nilai ekonomi bisa lebih tinggi jika pelaku industri di 5 sektor itu lebih banyak menerapkan SNI. Tahun ini BSN sedang mengembangkan penelitian serupa pada tabung gas elpiji. Untuk penelitian tersebut BSN akan menggandeng Pertamina dan Departemen Perindustrian.

Nah, di tengah situasi krisis ekonomi global saat ini, standardisasi dapat memberi angin segar dan harapan besar. Mengapa? Karena standardisasi terbukti memberikan kontribusi atas pertumbuhan ekonomi negara.

Manfaat ekonomis penerapan

standar nyata dirasakan. Setidaknya

manfaat tersebut secara kualitatif

dapat berupa menghemat biaya,

membuka seluas-luasnya peluang

pasar, menciptakan pasar baru

dan mendorong terjadinya inovasi.

DAMPAK STANDAR PADA EKONOMI. BERBAGAI PRODUK BERSTANDAR TERBUKTI MEMILIKI DAYA SAING TINGGI UNTUK BERSAING DI PASAR DOMESTIK MAUPUN PASAR EKSPOR.

DO

C. B

SN

Biatna Dulbert Tampubolon, Saat ini bekerja sebagai Peneliti Muda dan staf Bi-dang Evaluasi dan Kerjasama pada Pusat Penelitian

dan Pengembangan Standardisasi, Badan Standardisasi Nasional (BSN). Menamatkan S1 di bidang Statistika di Universitas Padjajaran, Bandung pada tahun 2000.

REVIEWER

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009 www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

SPECIAL REPORT

22 23

Page 13: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

UKM telah terbukti mampu bertahan di saat krisis tahun 1998. Kini, walaupun dihadapkan kepada kondisi krisis

global yang mulai melanda Indonesia, sektor UKM telah terbukti mampu memberikan kontribusi vital bagi perekonomian nasional. Dari data Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah populasi UKM mencapai 49,8 juta unit atau 99,99 persen dari total usaha di Indonesia. Jumlah tenaga kerja mencapai 91,8 juta orang atau 97,3 persen dari seluruh tenaga kerja Indonesia.

Di samping mampu menyerap tenaga kerja yang besar, sumbangan UKM terhadap produk domestik bruto (PDB) juga lumayan. Tahun 2007 nilai PDB Indonesia mencapai Rp3,957,4 triliun, UKM berkontribusi Rp2.121,3 triliun atau 53,6 persen. Ekspor produk UKM mencapai Rp 142,8 triliun atau 20 persen dari total ekspor nonmigas nasional Rp713,4 triliun. Nilai investasi fisik UKM yang dinyatakan dengan angka Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mencapai Rp462,01 triliun atau 46,96 persen.

Dari gambaran ini, sektor UKM memang berpotensi menggerakkan perekonomian, mengatasi pengangguran dan meredam kemiskinan. Melihat potensi strategis UKM tersebut, pemerintah akan terus meningkatkan kualitas industri di bidang produk dan jasa melalui standardisasi dalam rangka meningkatkan daya saing UKM.

Menurut Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Industri dan Perdagangan, Edy Putra Irawady, penerapan standar nasional akan memberi efek ekonomi, seperti nilai tambah suatu produk barang atau jasa dan dapat memberikan dampak positif terhadap nilai ekonomi. "Kita akan lebih fokus melakukan improvement standardisasi di bidang

jasa dan produk barang. Bidang jasa seperti standar operating prosedur (SOP) dan standar pelayanan, hal ini tidak hanya meningkatkan konsumsi masyarakat namun akan meningkatkan daya saing bangsa kita," ujar Edy.

Memang saat ini penerapan standar dinilai masih lemah, khususnya terjadi pada beberapa produk usaha kecil dan menengah, jasa, dan sektor pertanian. Edy menilai, produk UKM seperti makanan atau herbal (jamu-jamuan) perlu adanya penyesuaian standar. "Mental masyarakat kita masih asal murah tapi standarnya lemah," ujarnya.

Indonesia, menurut dia, perlu belajar pada negara lain, seperti Jerman atau Inggris dalam penerapan standar pada produk dalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing. "Sebagai salah satu strategi pemerintah, penerapan SNI akan diperkenalkan pada produk-produk baru. Karena permintaan dunia akan menyeleksi produk-produk baru, yang tidak memenuhi standar akan ditinggalkan," kata Edy.

UKM PENERAP STANDARMemang dunia usaha nasional,

khususnya UKM, perlu banyak belajar dari pengusaha asing yang sudah menerapkan standar, khususnya meraka yang berasal dari negara maju. Di antara sedikit perusahaan nasional yang telah menerapkan standar, patut dicatat dan diberi apresiasi apa yang telah dilakukan oleh Mahkotadewa Indonesia.

Perusahaan yang berbisnis inti di bidang obat-obatan herbal ini dengan gigih telah menerapkan standar dalam bisnis. Perusahaan yang berkantor pusat di Jakarta Utara ini tercatat sebagai perusahaan herbal pertama di Indonesia yang meraih sertifikasi Hazard Analysis Critical Control Point (Manajemen Keamanan Pangan Internasional). Kecuali itu, perusahaan ini juga telah menerapkan SNI untuk produknya.

Bahkan, sekalipun berlum memperoleh sertifikasi sistem manajemen mutu, Mahkotadewa Indonesia secara de facto telah mengimplementasikan manajemen mutu dalam pengelolaan bisnisnya.

Menurut Ning Harmanto, pendiri Mahkotadewa Indonesia, perusahaannya sudah sejak lama memperhatikan standar. Ini penting karena perusahaan ini bergerak di bidang kesehatan yang mutlak membutuhkan jaminan keamanan terhadap produk yang dijual. Penerapan standar terbukti telah menjadikan produk Mahkotadewa aman bagi konsumen. Kecuali itu, penerapan standar juga menumbuhkan kepercayaan kepada konsumen.

Bagi Mahkotadewa, lanjut Ning, penerapan standar menjadi kunci keberlangsungan bisnis hingga saat ini. Bahkan, lebih dari itu Mahkotadewa dapat terus bertumbuh dan mampu bersaing dengan berbagai produk sejenis, termasuk dengan produk-produk luar negeri. Penerapan standar juga telah menumbuhkan kepercayaan konsumen luar negeri. Banyak produk Mahkotadewa dibeli oleh konsumen di banyak negara antara lain Australia, Amerika Serikat, Malaysia dan Timur Tengah.

Selain itu yang menjadi perhatian Mahkotadewa adalah cara pengemasan produk UKM. Kemasan ynag dibuat harus melewati standar yang ditetapkan.

Karena sebaik apa pun produk bila kemasannya dibuat tidak memenuuhi standar, dapat mempengaruhi produk itu sendiri. Apalagi, untuk produk obat-obatan kemasan harus terjamin kehygienisannya.

Kemasan juga harus memenuhi standar untuk menjamin kualitas produk sewaktu dikirim atau disimpan. Kemasan yang tidak memenuhi standar bisa terancam mudah rusak dan ini akan menyebabkan produk obat menjadi tidak steril.

Di sini terbukti secara nyata bahwa penerapan standar memberikan kontribusi langsung terhadap kelangsungan usaha bahkan mampu meningkatkan daya saing produk di tengah gencarnya serbuan produk asing.

Pentingnya Standardisasi Bagi

Produk UKM

PERKUAT DAYA SAING. PENERAPAN STANDARDISASI TERHADAP PRODUK AKAN MENDONGKRAK DAYA SAING UNTUK BERKOMPETISI DI PASAR LUAR NEGERI, SALAH SATUNYA PRODUK OBAT-OBATAN HERBAL.

SOU

RCE:

ISTI

MEW

A

SOU

RCE:

WW

W.F

LICK

R.CO

M

Ir. Budi Raharjo, MMadalah Kepala Bi-dang Pemasyara-katan Standar-disasi BSN sejak tahun 2002. Aktif dalam organisasi

Masyarakat Standardisasi (MASTAN). Lulus S2 bidang Manajemen dari Sekolah Tinggi Manajemen di Jakarta.

REVIEWER

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009 www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

SPECIAL REPORT

24 25

Page 14: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

Seperti halnya usaha kecil menengah, bisnis waralaba merupakan salah satu yang tahan krisis. Bisnis ini bisa jadi alternatif dalam

mengembangkan usaha dan akses pasar untuk distribusi produk secara efisien. Perkembangan waralaba di Indonesia pasca krisis moneter 1998 terus meningkat. Pada 2005 usaha waralaba lokal dan asing hanya mencapai 336 unit usaha, dan di tahun 2009 jumlahnya sudah mencapai 1.010 unit usaha.

Pesatnya perkembangan ini antara lain didorong oleh sejumlah faktor. Pertama, potensi besarnya pasar nasional dengan jumlah penduduk sekitar 230 juta jiwa. Kedua, kompleksitas bidang usaha waralaba

yang masih banyak belum dimasuki para pengusaha pemula. Di samping itu, faktor pendukung pesatnya pertumbuhan usaha waralaba adalah semakin besarnya dukungan perbankan dengan porsi kredit UKM, situasi keamanan Indonesia yang kondusif untuk penunjang investor. Jumlah individu yang ingin berusaha pada waralaba maupun pemberi waralaba pun semakin tinggi, baik dari dalam maupun luar negeri. Belum lagi kondisi waralaba tingkat regional yang semakin meningkat.

Geliat pertambahan bisnis waralaba bukan hanya dari sisi pelaku waralaba saja, akan tetapi banyak bermunculan merek waralaba baru di tanah air. Sektor ini terus tumbuh yang dalam waktu empat tahun saja melonjak dari hanya 336 unit menjadi 1.010 unit. Di antara berbagai jenis waralaba, kelompok waralaba makanan mendominasi hingga 50 persen. Terkait omzet, pada tahun 2007 bisnis waralaba mencapai Rp81 triliun. Tahun 2008 naik sekitar 10-15 persen, dan tahun ini diharapkan bisa tumbuh minimal 5 persen.

Pemerintah akan terus memfasilitasi bisnis waralaba agar bisa berkembang. Saat ini, pemerintah mendorong bisnis waralaba dengan sosialisasi tentang kelayakan sebuah usaha bisa disebut waralaba. Selain itu pemerintah juga mengikutkan beberapa waralaba untuk mengikuti pameran di luar negeri.

Bahkan, lebih lagi kini pemerintah sedang merancang penerapan SNI untuk bidang usaha yang memakai sistem usaha waralaba. Penerapan SNI penting untuk menjaga kualitas pelayanan waralaba. Bagaimana pun harus ada kejelasan mengenai kriteria agar suatu usaha dapat diwaralabakan. Kejelasan kriteria ini sangat dibutuhkan oleh "investor" (yang nota bene pemodal

kecil) yang ingin membeli lisensi dari pewaralaba.

STANDAR UNTUK KEAMANAN INVESTASI

Suatu usaha yang diwaralabakan harus telah memenuhi standar tertentu, misalnya sistem kerja yang teratur, standar penggunaan bahan baku produk yang aman, kualitas pelayanan yang baik, program pelatihan yang terstruktur dan manajemen yang tercatat apik. Ini semua akan menjadi modal vital untuk ditransfer dan ditularkan kepada pemodal kecil saat ia membuka usahanya. Jadi, standar diperlukan untuk melindungi pemodal kecil agar lebih terjamin ketika membeli lisensi dari suatu usaha yang diwaralabakan.

Salah satu jenis waralaba yang agaknya memiliki standar pelayanan yang baik adalah waralaba salon kecantikan. Sebut saja misalnya Rudy Hadi Suwarno, Johnny Andrean, Peter F. Saerang, Yopie Salon dan banyak lagi lainnya, sangat perduli akan standar mutu pelayanan. Mereka memberi pelatihan yang memadai bagi pihak yang berminat atas usaha waralaba salon tersebut. Di samping program pelatihan untuk memastikan kualitas pelayanan, pewaralaba ini juga menetapkan standar terhadap produk-produk yang dipergunakan untuk perawatan kecantikan.

SNI waralaba mendesak untuk dirumuskan dan diterapkan lantaran bisnis ini sudah merebak di Indonesia. BSN sendiri akan berusaha dalam waktu dekat mendorong upaya perumusan standar di bidang usaha waralaba. Demikian hal ini disampaikan oleh Kepala BSN, Bambang Setiadi, ”kami akan mendorongnya. Dalam waktu dekat, kami akan membicarakan masalah ini.

Keamanan Investasi

STANDARDISASI WARALABA. BSN AKAN MENDORONG DAN MEMBICARAKAN STANDARDISASI WARALABA DALAM WAKTU DEKAT, DEMIKIAN PENEGASAN KEPALA BSN, BAMBANG SETIADI.

SOU

RCE:

WW

W.F

LICK

R.CO

M

DO

C. B

SN

Standardisasi Waralaba Penting untuk

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

26

Page 15: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

dengan ketepatan lebih kecil dari satu mikrometer (seperjuta meter). Pengertian yang terkandung dalam kata “teknologi nano” yang berkembang saat ini lebih dari sekadar miniaturisasi dalam skala nanometer (sepermilyar meter), tetapi suatu istilah dari teknologi dengan aplikasi yang sangat luas melingkupi hampir di seluruh kehidupan manusia.

Teknologi nano bersumber dari gagasan Richard Feynman (salah seorang jenius di bidang fisika yang mendapatkan hadiah Nobel) yang mengatakan bahwa materi dapat disusun atau diubah dengan memanipulasi atom-atom yang membentuk materi tersebut. Kemudian istilah teknologi nano dipopulerkan oleh peneliti Jepang Norio Taniguchi pada tahun 1974. Pada intinya, teknologi nano berkaitan dengan bagaimana mengatur material, struktur dan fungsi zat pada skala nano sehingga menghasilkan fungsi materi baru yang belum pernah ada sebelumnya.

Fokus utama teknologi nano terletak pada upaya mengidentifikasi karakteristik atau sifat dari zat pada skala nano. Lalu, dilakukan rekayasa untuk mengendalikan karakteristik zat tersebut. Berbagai karakteristik zat skala nano yang sudah dikendalikan ini kemudian dimanfaatkan untuk membentuk benda yang lebih besar dengan sifat dan fungsi yang diinginkan. Caranya, dengan menyusun ulang struktur atom individual sehingga menghasilkan fungsi materi baru yang belum pernah ada sebelumnya. Hasil yang dicapai berupa material nano sebagai bahan baku bagi pengembangan produk selanjutnya.

Sesungguhnya pemanfaatan teknologi nano sudah lama dikenal. Misalnya, penggunaan partikel karbon hitam ukuran nano sebagai pelekat tambahan ban mobil sudah dilakukan seratus tahun silam. Atau vaksin yang kerap terdiri dari satu atau banyak protein berdimensi skala nano sudah lama dikenal. Kini pengembangan produk melalui teknologi nano kian marak di berbagai bidang.

Industri tekstil, misalnya, telah menambahkan ion-ion perak atau karbon yang diaktifkan ke dalam bahan baku kain untuk mengikat bakteri pada keringat. Hasilnya, pakaian jadi bebas dari bau keringat.

Industri baja, yang terus menerus kesulitan bahan baku, terus berusaha memanfaatkan teknologi nano untuk mengontrol sifat-sifat baja untuk disesuaikan dengan kebutuhan bahan yang diperlukan dalam proses produksi. Upaya ini menghemat pemakaian biji besi namun dapat menghasilkan produk baja yang jauh lebih kuat.

Begitu juga di industri keramik mengaplikasikan teknologi nano untuk menjadikan produk lantai granit menjadi lebih berkualitas. Teknologi ini memungkinkan tampilan permukaan lantai granit lebih halus dan mengkilap. Selain itu, daya tahanannya juga lebih baik dibandingkan dengan lantai granit tanpa teknologi nano.

Singkat kata, aplikasi teknologi nano tidak lagi terbatas pada ruang laboratorium melainkan sudah jauh masuk ke tataran komersial yang bersentuhan langsung dengan khalayak banyak.

STANDARDISASI APLIKASI TEKNOLOGI NANO

Terkait dengan aplikasi teknologi nano sebagai bahan baku berbagai produk, telah memunculkan kekhawatiran khususnya terkait dengan keamanan dan keselamatan bagi manusia dan lingkungan. Ini tentunya menjadi perhatian semua pihak, khsususnya lembaga pengembang standar untuk memberi jaminan perlindungan keamanan dan keselamatan terkait dengan produk berbasis teknologi nano.

Standardisasi Teknologi Nano

Menjadikan “Small” Bukan Hanya “Beautiful” Tapi Juga Aman

Desember 2003 Cina membentuk United Working Group for Nanomaterials standardization

Maret 2004 Proposal untuk CEN/BTWG disetujui – Inggris ditunjuk sebagai sekretariat

Mei 2004 Inggris membentuk Komite Nasional NTI/1

Agustus 2004 ANSI membentuk Nanotechnology Standards Panel di AS

Oktober 2004 Inggris memulai menyusun PAS 71 – Vocabulary for Nanoparticles

Nopember 2004 Jepang membentuk kelompok studi untuk Standardisasi Teknologi Nano

Desember 2004 Cina menerbitkan 7 standar nasional untuk teknologi nano

Januari 2005 Inggris mengajukan proposal pembentukan komite teknologi nano di ISO

April 2005Cina menerapkan standar teknologi nano yang telah diterbitkanASTM International membentuk Komite E56

Juni 2005ISO setuju membentuk TC 229Inggris menerbitkan PAS 71– Vocabulary for Nanoparticles

Nopember 2005 Pertemuan inagurasi ISO/TC 229CEN membentuk CEN/TC 352 –Nanotechnology

Januari 2006 Inggris mengajukan NWIP kepada TC 229 – Vocabulary for Nanoparticles

April 2006Pertemuan pertama CEN/TC 352 (menyetujui dilakukannya kerjasama yang intensif dengan ISO/TC 229)

Mei 2006 IEC setuju membentuk TC 113 dalam bidang teknologi nano

Sepanjang 2007 Diselenggarakan pertemuan ISO/TC 229 ke-2, ke-3, ke-4 dan ke-5

January 2008 Badan Standardisasi Inggris (BSI) menerbitkan 6 publikasi tentang terminologi dan 3 dokumen panduan

antara lain di bidang kesehatan untuk mengatasi virus dan bakteri, menghancurkan kolesterol, dan sebagainya.

Negara-negara maju di dunia, seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, Kanada dan negara-negara Eropa, serta beberapa negara Asia, seperti Singapura, Cina, dan Korea tengah giat-giatnya mengembangkan riset dan pengembangan, bahkan aplikasi komersial teknologi nano. Dan, upaya itu telah menghabiskan dana milyaran dollar, yang dikucurkan dalam bentuk berbagai investasi untuk menjalankan proyek-proyek inovatif di bidang teknologi nano.

Agaknya, bidang ini telah dinilai sangat strategis yang akan menentukan sejarah umat manusia

di masa depan. Bidang ini juga memiliki prospek yang menjanjikan. Diproyeksikan pasar teknologi nano akan mencapai nilai sebesar USD 200 hingga 300 milyar pada tahun 2010. Ke depan nilai pasar bidang ini akan makin meningkat secara signifikan seiring dengan aplikasi teknologi nano terbaru di berbagai bidang industri. Bagi banyak negara, industri yang terbilang sangat muda ini merupakan “tambang emas” di masa mendatang.

APLIKASI TEKNOLOGI NANO

Nama nano teknologi diambil dari kata nanometer (nm) atau seper milyar meter, atau seper seratus ribu dari diameter rambut manusia. Nanoteknologi merupakan teknologi yang mampu mengerjakan

Saat ini tiga jenis teknologi yang dianggap sebagai pri-madona yaitu teknologi in-formasi, biotechnology, dan nanotechnology. Ketiganya

diharapkan dapat membawa manusia kepada kehidupan yang lebih baik. Di antara ketiga primadona tersebut, teknologi nano sedang hangat men-jadi pusat perhatian dunia sejak lima tahun terakhir.

Gerakan teknologi kini sedang mengarah dari level “mikro” ke level “nano”. Yakni, dengan dikembangkannya teknologi nano (nanotechnology). Gerakan ini bukan sekedar bersifat konseptual atau riset laboratorium, tetapi sudah masuk ke tataran komersial yang bersentuhan langsung dengan khalayak banyak,

TABEL 1. RINGKASAN SEJARAH PENGEMBANGAN STANDARDISASI TEKNOLOGI NANO

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009 www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

INFO STANDARDISASI

28 29

Page 16: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

ISO/WD TS 10797 Nanotubes -- Use of transmission electron microscopy (TEM) in walled carbon nanotubes (SWCNTs)

ISO/WD TS 10798 Nanotubes -- Scanning electron microscopy (SEM) and energy dispersive X-ray analysis (EDXA) in the charaterization of single walled carbon nanotubes (SWCNTs)

ISO/DIS 10801 Nanotechnologies -- Generation of metal nanoparticles for inhalation toxicity testing using the evaporation/condensation method

ISO/DIS 10808 Nanotechnologies -- Characterization of nanoparticles in inhalation exposure chambers for inhalation toxicity testing

ISO/AWI TS 10812 Nanotechnologies -- Use of Raman spectroscopy in the characterization of single-walled carbon nanotubes (SWCNTs)

ISO/CD TS 10867 Nanotubes -- Use of NIR-Photoluminescence (NIR-PL) Spectroscopy in the characterization of single-walled carbon nanotubes (SWCNTs)

ISO/CD TS 10868 Nanotubes - Use of UV-Vis-NIR absorption spectroscopy in the characterization of single-walled carbon nanotubes (SWCNTs)

ISO/CD TR 10929 Measurement methods for the characterization of multi-walled carbon nanotubes (MWCNTs)

ISO/CD TS 11251 Nanotechnologies -- Use of evolved gas analysis-gas chromatograph mass spectrometry (EGA-GCMS) in the characterization of single-walled carbon nanotubes (SWCNTs)

ISO/AWI TS 11308 Nanotechnologies -- Use of thermo gravimetric analysis (TGA) in the purity evaluation of single-walled carbon nanotubes (SWCNT)

ISO/AWI TR 11808 Nanotechnologies -- Guidance on nanoparticle measurement methods and their limitations

ISO/AWI TR 11811 Nanotechnologies -- Guidance on methods for nanotribology measurements

ISO/AWI TS 11888 Determination of mesoscopic shape factors of multiwalled carbon nanotubes (MWCNTs)

ISO/AWI TS 11931-1 Nanotechnologies -- Nano-calcium carbonate -- Part 1: Characteristics and measurement methods

ISO/NP TS 11931-2 Nanotechnologies -- Nano-calcium carbonate -- Part 2: Specifications in selected application areas

ISO/AWI TS 11937-1 Nanotechnologies -- Nano-titanium dioxide -- Part 1: Characteristics and measurement methods

ISO/NP TS 11937-2 Nanotechnologies -- Nano-titanium dioxide -- Part 2: Specifications in selected application areas

ISO/CD 12025 Nanomaterials -- General framework for determining nanoparticle content in nanomaterials by generation of aerosols

ISO/AWI TS 12805 Nanomaterials - Guidance on specifying nanomaterials

ISO/TR 12885:2008 Nanotechnologies -- Health and safety practices in occupational settings relevant to nanotechnologies

ISO/AWI TS 12901-1 Nanotechnologies -- Guidance on safe handling and disposal of manufactured nanomaterials

ISO/NP TS 12901-2 Guidelines for occupational risk management applied to engineered nanomaterials based on a "control banding approach"

ISO/AWI TR 13014 Nanotechnologies - Guidance on physico-chemical characterization of engineered nanoscale materials for toxicologic assessment

ISO/AWI TR 13121 Nanotechnologies - Nanomaterial Risk Evaluation Framework

ISO/NP TS 13126 Artificial gratings used in nanotechnology -- Description and measurement of dimensional quality parameters

ISO/NP TS 13278 Carbon nanotubes -- Determination of metal impurities in carbon nanotubes (CNTs) using inductively coupled plasma-mass spectroscopy (ICP-MS)

ISO/NP TR 13329 Nanomaterials -- Preparation of Material Safety Data Sheet (MSDS)

ISO/TS 27687:2008 Nanotechnologies -- Terminology and definitions for nano-objects -- Nanoparticle, nanofibre and nanoplate

ISO/DIS 29701 Nanotechnologies -- Endotoxin test on nanomaterial samples for in vitro systems -- Limulus amebocyte lysate (LAL) test

ISO/CD TR 80004-1 Nanotechnologies - Terminology and definitions - Framework

ISO/AWI TS 80004-2 Nanotechnologies -- Terminology and definitions -- Part 2: Core terms

ISO/CD TS 80004-4 Nanotechnologies - Terminology and definitions -- Part 4: Carbon nano-objects

ISO/AWI TS 80004-5 Nanotechnologies -- Terminology and definitions -- Part 5: Nanostructured materials

ISO/AWI TS 80004-6 Nanotechnologies -- Terminology and definitions -- Part 6: Bio/nano interface

ISO/AWI 80004-7 Nanotechnologies -- Terminology and definitions -- Part 7: Nanoscale measurement and instrumentation

ISO/AWI TS 80004-8 Nanotechnologies - Terminology and definitions -- Part 8: Medical, health and personal care applications

ISO/NP TS 80004-9 Nanotechnologies - Terminology and definitions -- Part 9: Nanomanufacturing processes

Di sini kemudian muncul kebutuhan untuk mengembangkan standar terkait dengan teknologi nano. Standardisasi di bidang teknologi nano tentunya memiliki cakupan luas, di antaranya meliputi standar terminologi/definisi dari teknologi nano, protokol pengujian toksin dari partikel nano, protokol evalusi dampak lingkungan dari nano partikel, teknik dan instrumen pengukuran, prosedur kalibrasi dan material rujukan tersertifikasi. Bidang cakupan ini merupakan hal yang baru dan memerlukan kajian yang mendalam dan melibatkan banyak pakar di berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Sejauh ini beberapa organisasi pengembang standar dari berbagai negara telah membentuk kelompok kerja untuk mendefinisikan standar teknologi nano. Yang menarik adalah tampilnya Cina sebagai negara yang pertama kali berinisitif membentuk tim kerja di bidang standardisasi teknologi nano. Yakni, dengan dibentuknya United Working Group for Nanomaterials Standardization pada Desember 2003.

Kemudian pada bulan Maret 2004 menyusul Komisi Eropa menge-nai Standardisasi (CEN) menggagas sebuah tim pengkaji dengan nama CEN Technical Board Working Group 166 on Nanotechnology. Tim ini bertu-gas untuk menganalisa kebutuhan standardisasi dalam bidang teknologi. Di tahun yang sama, Institut Standar Nasional Amerika (ANSI) mendiri-kan Nanotechnology Standards Panel untuk menjawab permintaan Badan Ilmu Pengetahuan dan Kebijakan Teknologi Amerika. Lalu, BSI dengan NTI/1 Komite Standar Inggris untuk Teknologi Nano dan IEEE membentuk Kelompok Kerja Standar Teknologi Nano.

Tidak ketinggalan, ASTM Internasional juga mulai menggagas tim yang kemudian dikenal sebagai Komite E 56 mengenai Teknologi Nano. ISO sendiri membentuk Technical Committee ISO mengenai Teknologi Nano (TC 229). Begitu juga IEC membuat Kelompok IEC mengenai Standardisasi Teknologi Nano untuk Produk dan Sistem Elektrik dan Elektronik. Tentang sejarah perkembangan ringkas bagaimana pengembangan standardisasi di bidang teknologi nano dapat di lihat pada tabel 1.

TABEL 2. STANDAR & PROJECT MENGENAI TEKNOLOGI NANO

CHIP SKALA NANO. TEKNOLOGI NANO MERUPAKAN TEROBOSAN BARU KEMAJAJUAN TEKNOLOGI YANG MEMUNGKINKAN DIPEROLEHNYA BERBAGAI MANFAAT BAGI KEMAKMURAN DAN KESEJAHTERAAN UMAT MANUSIA, SALAH SATUNYA ADALAH PENEMUAN CHIP SKALA NANO UNTUK MENINGKATKAN KAPABILTAS TEKNOLOGI INFORMASI KETINGKAT YANG UNGGUL.

SOURCE: WWW.FLICKR.COM

Dari pertemuan berbagai komite yang dibentuk oleh banyak negara, termasuk juga oleh badan standardisasi internasional (ISO/IEC), dapat ditarik kesimpulan bahwa hal yang paling fundamental bagi industri yang masih anyar, seperti halnya teknologi nano, adalah adanya istilah dan terminologi yang konsisten dan diterima secara global. Tanpa terminologi baku ini, pembicaraan mengenai teknologi nano akan membingungkan. Karena dipergunakannya berbagai istilah yang berbeda. Menyusul setelah disepakatinya terminologi baku, yang harus diupayakan adalah spesifikasi dan pengujian yang dibutuhkan untuk mendukung pengukuran skala nano, termasuk juga pengujian terhadap pengaruh teknologi nano bagi kesehatan, keselamatan dan lingkungan.

Terkait dengan pengembangan standar teknologi nano, British Standard Institution (BSI) memainkan peranan penting melalui National Committee NTI/1 Nanotechnology yang dibentuknya. BSI bertindak selaku pimpinan dan sekretariat dari ISO TC/229 Nanotechnology dan CEN/TC

352 Nanotechnology. Peran penting BSI juga ditandai dengan diterbitkannya 9 dokumen mengenai terminologi teknologi nano dan panduan industri terkait dengan aplikasi teknologi nano.

Selaku organisasi standar dunia, ISO telah menerbitkan standar dan beberapa draft standar mengenai teknologi nano sedang dibahas oleh ISO/TC 229. Tentang standar ISO di bidang teknologi nano lihat tabel 2. Standar teknologi nano yang disepakati secara global mendukung keamanan pekerja, masyarakat dan lingkungan serta menopang komersialisasi dan penggunaan teknologi nano dalam beragam industri. Agaknya perlu dicapai kesepakatan segera mengenai standar global di bidang teknologi nano. Saat ini banyak produk yang berbahan baku material nano, khususnya di industri makanan dan kosmetik, tidak merasa diberi label khusus. Ini tentu berpotensi membahayakan manusia dan lingkungan.

Karenanya, diperlukan standar baku yang harus segera diberlakukan untuk meyakinkan konsumen bahwa

produk-produk tersebut telah menjalani pengujian keamanan yang ketat melalui metode uji terbaik, dan karenanya aman untuk dikonsumsi. Memang, seperti kata pepatah teknologi nano itu small is beautiful tetapi harus ada pedoman yang dapat memastikan keamanan dan keselamatan aplikasi teknologi tersebut bagi manusia dan lingkungan hidup.

Heru SusenoSaat ini menjabat sebagai Kepala Bidang Akreditasi Produk dan Per-sonel, BSN. Me-nyelesaikan pendi-dikan Sarjana pada

Fakultas Pertanian UGM pada tahun 1995, kemudian melanjutkan pendi-dikannya pada Program Studi Pem-bangunan ITB.

REVIEWER

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009 www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

INFO STANDARDISASI

30 31

Page 17: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

FOKUS

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

FOKUS

32 33

Adalah tujuan setiap nega-ra untuk mengupayakan kesejahteraan masyara-kat. Oleh karenanya, ke-sejahteraan masyarakat,

merupakan isu global. Setiap negara menaruh kepentingan terhadap per-soalan kesejahteraan masyarakat. Lebih dari itu, mengupayakan kesejahteraan masyarakat bukan semata-mata tugas negara, melainkan tugas dari seluruh warga masyarakat. Siapa saja memiliki tugas untuk ambil bagian berperan aktif

di dalamnya. Kesejahteraan masyarakat mendapat terjemahan kongkrit dalam bentuk tanggungjawab sosial (social re-sponsibility). Setiap organisasi baik itu yang bersifat profit-oriented maupun nir-laba mengemban tugas tanggung-jawab sosial terhadap kesejahteraan masyarakat.

Sebagai lembaga standardisasi internasional, ISO juga menaruh perhatian yang besar terhadap tanggungjawab sosial, yakni dengan menerbitkan ISO 26000 tentang Social Responsibility. Rencananya standar ini akan dipublikasikan berlaku pada kuartal ke-3 tahun 2010. ISO 26000 berangkat dari suatu gagasan yang peduli terhadap mutu kehidupan yang lebih baik untuk lebih banyak kelompok. Tujuan dari dirumuskannya standar ini adalah untuk digunakan sebagai panduan bagi berbagai organisasi dalam menyelenggaran kegiatan untuk menjadi organisasi yang bertanggungjawab sosial sehingga terwujud kesejahteraan dan sekaligus pengupayaan pembangunan keberlanjutan (sustainability).

Implementasi ISO 26000 oleh organisasi sedapat mungkin mempertimbangkan isu inti dari tanggung jawab sosial yang meliputi tatakelola organisasi yang baik, hak asasi manusia, hubungan perburuhan, praktik yang adil, isu konsumen, isu lingkungan dan pengembangan dan pelibatan komunitas/masyarakat.Namun demikian, proporsi dari masing-masing isu tersebut akan sangat berbeda untuk setiap organisasi.

Gagasan untuk merumuskan ISO 26000 diawali ketika pada tahun 2001 ISO meminta ISO Committee on Consumer Policy (ISO/COPOLCO) merundingkan penyusunan standar Corporate Social Responsibility. Dengan

mengadopsi laporan COPOLCO, ISO membentuk Strategic Advisory Group on Social Responsibility pada tahun 2002. Pada bulan Juni 2004 diadakan pre-conference dan conference bagi negara-negara berkembang. Di bulan Oktober tahun yang sama, diedarkan New Work Item Proposal (NWIP) ke seluruh negara anggota ISO untuk kemudian dilakukan voting pada bulan Januari 2005. Voting menghasilkan suara “setuju” dari 29 negara dan hanya 4 negara yang tidak menyatakan persetujuan. Dalam perjalanannya, terjadi perkembangan berupa perubahan dari Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi Social Responsibility (SR) saja. Perubahan judul standar dari CSR (Corporate Social responsibility) menjadi SR (Social Responsibility) adalah untuk mengakomodasi berbagai jenis organisasi, tidak hanya kelompok industri saja, untuk dapat menerapkan ISO 26000 tersebut.

BERSIFAT GUIDANCE, BUKAN REQUIREMENT

ISO 26000 merupakan International Standard Guidance, bukan merupakan suatu standar manajemen sebagaimana standar internasional lainnya seperti ISO 9001:2000 dan ISO 14001: 2004. Standar Internasional ini tidak digunakan untuk sertifikasi atau regulasi atau sebagai persyaratan kontrak. Standar ini dimaksudkan untuk membantu organisasi di seluruh negara dalam menjalankan program tanggungjawab sosial yang dituntut oleh masyarakat di mana organisasi tersebut berada. ISO 26000 merupakan pedoman praktis bagi organisasi untuk melaksanakan tugas tanggungjawab sosial sekaligus memperluas awareness publik terhadap Social Responsibility itu sendiri.

Standar ini mencakup berbagai hal mulai dari petunjuk bagaimana suatu organisasi diatur, berkomunikasi dengan kelompok yang terpengaruh oleh keberadaan suatu organisasi (stakeholders), hingga arahan untuk meningkatkan penerapan program tanggungjawab sosial agar apa pun yang dihasilkan organisasi tersebut memberikan sumbangan pada kesejahteraan masyarakat.

Adalah menarik bahwa standar ini diarahkan bagi seluruh jenis organisasi. Standar ini bergerak melampaui wilayah bisnis ataupun aktivitas dan produknya ke arah berbagai macam organisasi. Ini dapat dikatakan sebagai suatu upaya gerakan peradaban baru di mana berbagai organisasi diletakkan dalam suatu kerangka sosial. Jika ini berhasil, maka berbagai organisasi dalam derajat tertentu dapat diperbandingkan “tingkat kebaikannya”.

Standar ini merefleksikan suatu artikulasi berbagai pemikiran tentang pengaturan sumber daya publik yang telah berkembang selama ini. Suatu organisasi harus dikelola dengan menggunakan prinsip-prinsip kesetaraan, keterbukaan, akuntabilitas, dan efisiensi sumber daya. Prinsip-prinsip ini lebih merupakan trajektori daripada suatu pemikiran yang telah mengalami pengujian akademis atas suatu permasalahan yang sangat kompleks.

MENGAMBANG KARENA LUASNYA CAKUPAN

Terhadap standar ini beberapa pihak memberikan catatan kritis yang

pantas mendapat perhatian. Catatan tersebut menyangkut tahap perumusan dan aplikasi dari standar ini.

Di tingkat perumusan standar ini melibatkan para perwakilan dari berbagai bidang dengan latar belakang dan kepentingan yang berbeda, yakni: buruh, lembaga swadaya masyarakat, industri, lembaga penelitian dan penerapan standar, konsumen, dan pemerintah. Keragaman dalam perwakilan tersebut dimaksudkan untuk mengakomodasikan berbagai kepentingan dari berbagai kalangan masyarakat karena tanggungjawab sosial mencakup isu yang sangat luas. Kecuali berbeda bidang mereka juga datang dari negara yang berbeda. Di luar itu, standar ini memiliki bidang cakupan yang sangat luas dan nantinya akan dijadikan panduan dalam menyusun kegiatan tanggungjawab sosial bagi beragam organisasi.

Dengan latar belakang ini, tidak bisa dihindari terjadi penyederhanaan di tingkat perumusan, termasuk dalam menyepakati beberapa prinsip dan isu-isu tertentu. Penyederhanaan antara lain terjadi dalam menetapkan asumsi tentang kondisi tiap sektor di pelbagai negara ataupun hubungan di antara isu yang menjadi concern dari satu negara dengan negara lainnya. Penyederhanaan beberapa prinsip dalam tanggungjawab sosial ini dimaksudkan untuk menjadikan prinsip tersebut lebih bersifat umum dan dapat mengakomodasi aspirasi berbagai jenis atau tipe organisasi dalam menerapkan tanggungjawab sosial.

Lebih lanjut, di tingkat aplikasi muncul pertanyaan untuk organisasi macam apakah sebenarnya standar ini dapat menjadi guidance. Hal ini mengemuka karena karakter organisasi berbeda satu sama lain, baik dalam hal tujuan, kemampuan maupun pengaruh organisasi.

Bahkan di antara organisasi dalam lingkup komersial pun terdapat perbedaan satu sama lain, ada perusahaan lokal kecil, menengah dan besar. Demikian pula halnya dengan perusahaan multinasional, ada skala menengah dan besar. Sedangkan organisasi non-komersial pun tidak dapat digolongkan menjadi satu golongan, karena ada LSM, organisasi politik, sosial dan lain-lain.

Oleh sebab itu fungsi guidance menjadi mengambang karena standar ini seolah-olah dapat diterapkan untuk semua jenis organisasi tanpa melihat besaran, pengaruh dan lingkungan masing-masing organisasi yang tentu saja berbeda satu sama lain.

Namun demikian, kekhawatiran yang tercermin dalam berbagai pertanyaan tersebut dapat dijelaskan apabila kita simak ruang lingkup yang

PEDOMAN UNTUK TANGGUNG JAWAB SOSIAL

ISO 26000

3332

ILLUSTRASI: ISO

ISI ISO 26000Foreward

Introduction

1 Scope

2 Terms and Conditions

3 Understanding Social Responsobility

4 Principles of Social Responsobility

5 Recognizing Social Responsobility

and Engaging Stakeholders

6 Guidance on Social Responsobility

Core Subjects

7 Guidance on Implementing Practices

of Social Responsobility

Annex A - Social Responsobility Initiative

Bibliography

Index

Source: ISO and Social Responsibility (2008)

Tujuan dari standar ini adalah untuk digunakan sebagai panduan bagi berbagai organisasi dalam menyelenggaran kegiatan untuk menjadi organisasi yang bertanggungjawab sosial sehingga terwujud kesejahteraan sekaligus pertumbuhan keberlanjutan dengan cakupan kegiatan yang dapat meliputi tatakelola organisasi yang baik, hak asasi manusia, hubungan perburuhan, praktik yang adil, isu konsumen, isu lingkungan dan pengembangan dan pelibatan komunitas/masyarakat.

tercantum dalam ISO 26000. Pada klausul tersebut dijelaskan bahwa ISO 26000 adalah merupakan suatu panduan yang dapat digunakan oleh berbagai tipe organisasi dalam menuangkan kegiatan tanggungjawab sosial. Terlebih lagi kalau dicermati klausul 7, yaitu: Guidance on Implementing Practices of Social Responsibility. Pada klausul ini secara jelas diuraikan bagaimana menginisiasi dan melakukan pendekatan terhadap tanggungjawab sosial sesuai dengan jenis, ruang gerak, lokasi, masyarakat sekitar, akibat atau dampak yang timbul sebagai akibat dari aktifitas organisasi. Selain itu, isu inti yang mana yang menjadi prioritas untuk diangkat dalam menjalankan tanggungjawab sosial juga diungkapkan.

Kecuali berberapa catatan di atas, juga mengemuka pertanyaan sejauhmana ada jaminan standar ini tidak dipolitisir kegunaannya sebagai alat legitimasi non-tariff barrier terhadap produk negara berkembang.

Terlepas dari berbagai catatan di atas, ISO 26000 harus dipandang sebagai perangkat yang memberi arahan bagi organisasi menjadi semakin sehat dan akuntabel. Melalui ISO 26000 dapat disosialisasikan pemahaman tentang tanggung jawab sosial dan peluang mendorong upaya perbaikan kesejahteraan berdasarkan prinsip solidaritas sosial.

Bagi Indonesia hal ini sangat penting mengingat pemikiran dan praktik tentang organisasi yang sehat terlupakan oleh riuh rendah politik. Lebih jauh lagi, standar ini dapat didudukkan sebagai basis kemajuan peradaban bangsa yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan tata cara pengelolaan yang benar terhadap sumber daya sekaligus menghimpun kapasitas sosial dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

Nurasih SuwahyonoKepala Pusat In-formasi dan Do-kumentasi Stan-dardisasi di BSN. Lulusan Fakultas Biologi Universitas

Gadjah Mada dan melanjutkan studi di bidang Library and Information Sci-ences di New South Wales University, Sidney Australia. Sejak Tahun 2005 menjadi koordinator Mirror Commit-tee untuk Social Responsibility.

REVIEWER

Page 18: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

Ingat dua tahun lalu, ketika terjadi penarikan besar-besaran produk mainan anak dari Cina. Waktu itu, lebih dari 20 juta produk mainan anak asal Cina

ditarik dengan alasan berbahaya bagi keamanan anak. Hal itu dilakukan karena produk tersebut mengandung timah hitam melebihi batas yang diperbolehkan dalam catnya, dan beberapa mainan lainnya ditarik karena memiliki magnet kuat yang berukuran kecil dan dapat terlepas. Penarikan tersebut sebagai bagian dari komitmen perusahaan untuk mengutamakan keselamatan anak-anak.

Dunia anak identik dengan mainan. Tidak ada anak yang tidak gemar mainan. Sayangnya, sampai saat ini banyak produk mainan yang diproduksi dengan standar yang tidak memadai atau bahkan sama sekali tidak memerdulikan standar keamanan dan kesehatan. Di sini anak-anak menjadi subjek yang rentan akan bahaya produk mainan yang tidak memenuhi standar.

Keprihatinan ini mendorong BSN untuk menjajaki penerapan Standar

Nasional Indonesia (SNI) untuk produk mainan anak. Di samping melindungi kesehatan dan keamanan anak, ini juga dapat membawa dampak positif terhadap perbaikan kualitas produk mainan anak di pasar. BSN sendiri kini sedang mempelajarinya dan telah membentuk tim yang merumuskan SNI tersebut.

Rencana pembuatan SNI untuk produk mainan anak sesuai dengan permintaan produsen, sama dengan SNI pada produk lainnya. Produk mainan anak yang saat ini sedang dipelajari SNI-nya diutamakan untuk mainan bagi anak-anak balita. Penetapan standar ini pada dasarnya dibuat agar produk tersebut semakin berkualitas dari segi bahan baku. Jadi, fokusnya ada pada penetapan mutu bahan baku mulai dari kayu, cat dan plastik.

Dengan menjaga kualitas bahan baku, dipastikan penerapan SNI pada produk mainan anak akan menjadikan produk yang beredar di masyarakat menjadi lebih sehat dan aman bagi anak. Bilamana produk yang beredar sudah memiliki mutu bahan baku sesuai

dengan standar, maka produk luar yang ingin masuk ke Indonesia juga harus memenuhi standar ini bahkan diharapkan diproduksi dengan mutu yang lebih baik.

STANDAR PRODUK MAINAN ANAK

Di berbagai negara, mainan anak-anak diawasi secara ketat. Uni Eropa, misalnya, menerapkan mekanisme persyaratan untuk mainan dalam EN71-1:2001 Specification for Mechanical and Physical Properties atau European Standard EN 50088:1996 on the Safety of Electric Toys. ISO selaku organisasi standar dunia telah mengembangkan standar keamanan mainan anak melalui TC 181 Safety of toys, serta mengeluarkan panduan berupa ISO/IEC Guide 50:2002 Safety aspects Guidelines for child safety.

Selain ISO, negara-negara yang sudah mempunyai standar mainan anak adalah Argentina, Australia, Brasilia, Kanada, Cina, Cina Taipei, European Union, Hongkong, Jamaika, Jepang, Malaysia, Mexico, Selandia Baru, Saudi Arabia, Singapura, Afrika Selatan, Thailand dan Amerika Serikat.

Standardisasi Mainan Anak,

Upaya Melindungi Anak

SOU

RCE:

WW

W.F

LICK

R.CO

M

Standar Internasional - International Organization for Standardization (ISO)ISO 8124-1: 2009 Safety of Toys - Part 1: Safety Aspects of Mechanical and Physical PropertiesISO 8124-2: 1994 Flammability ISO 8124-3: 1997 Migration of Certain Elements ISO 8098: 1989 Cycles - Safety Requirements for Bicycles for Young Children ISO8098: 1989/Amdt 1: 1992

Uni EropaEN71-1: 2001 Specification for Mechanical and Physical Properties (Incorporating

Amendments Nos. 1, 2, 3, and 4)EN71-2: 1994, BS 5665-2: 1994 Flammability AC: 199 EN71-3: 1994, BS 5665-3: 1995 Specification for Migration of Certain Elements A1: 2000 EN71- 4: 1990 Experimental Sets for Chemistry and Related Activities A1: 1998 EN71- 5: 1993, BS 5665-5: 1993 Chemical Toys (Sets) Other Than Experimental Sets EN71- 6: 1994 Graphical Symbols for Age Warning Labeling EN71- 9: 2005 Organic Chemical CompoundsEuropean Standard EN 50088: 1996 on the Safety of Electric Toys EN 50088/A1 Amendment to EN 50088: 1996 Council Directive (88/378 EEC) Approximation of

the Laws of the Member States Concerning the Safety of Toys Council Directive (87/357/EEC) Dangerous Imitations Directive Council Directive (93/68/EEC) Rules for the Affixing and Use of the CE Conformity Marking

MalaysiaSafety of Toys:MS EN71 Part 1: 1995 (P) Mechanical and Physical PropertiesMS ISO 8124-2: 1999 FlammabilityMS EN71 Part 3: 1998 Migration of Certain ElementsMS EN71 Part 4: 1998 Experimental Sets for Chemistry and Related ActivitiesMS EN71 Part 5: 1998 Chemical Toys (Sets) Other than Experimental Sets

SingapuraSafety of Toys:SS 474 PT. 1: 2000 Part 1: Mechanical and Physical PropertiesSS 474 PT. 2: 2000 Part 2: FlammabilitySS 474 PT. 3: 2000 Part 3: Migration of Certain ElementsSS 474 PT. 4: 2000 Part 4: Experimental Sets for Chemistry and Related ActivitiesSS 474 PT. 5: 2000 Part 5: Chemical Toys (sets) Other Than Experimental SetsSS 474 PT. 6: 2000 Part 6: Graphical Symbol for Age Warning labeling

Amerika SerikatMandatory Toy Safety Standard: Code of Federal Regulations, Commercial Practices 16, Part

1000 to End (16CFR)Title 15 - Commerce and Foreign Trade Chapter XI - Technology Administration, Department

of Commerce Part 1150 - Marking of Toy, Look-alike and Imitation FirearmsUS Consumer Product Safety Commission Engineering Test Manual for RattlesUS Consumer Product Safety Commission Engineering Test Manual for PacifiersUS Consumer Product Safety Commission Labeling Requirements for Art Materials Presenting

Chronic Hazards (LHAMA)US Child Safety Protection Act, Small Parts Hazard Warning Rule and Rules for Reporting

Choking IncidentsAge Determination Guidelines: Relating Children's Ages to Toy Characteristics and Play

Behavior (September 2002)Voluntary Toy Safety Standard: ASTM F963-03 Standard Consumer Safety Specification on Toy

SafetyASTM F734-84 (89/94) Standard Consumer Safety Specification for Toy ChestsASTM F1148-97a Standard Consumer Safety Specification for Home Playground EquipmentASTM F1313-90 Standard Specification for Volatile N-Nitrosamine Levels in Rubber Nipples on

PacifiersANSI Z315.1-1996 American National Standard for Tricycles - Safety RequirementsANSI/UL 696, Ninth Edition Standard for Safety Electric Toys

TABEL 1. DAFTAR STANDAR MENGENAI PRODUK MAINAN ANAK

Informasi mengenai standar produk mainan anak dapat dilihat pada tabel 1.

Indonesia sendiri telah mengembangkan SNI mengenai keamanan produk mainan anak sebagai rujukan dalam memproduksi mainan anak, yaitu:1. SNI 12-6527.1-2001 Keamanan Mainan Bagian 1:

Spesifikasi sifat fisis dan mekanis2. SNI 12-6527.2-2001 Keamanan Mainan Bagian 2:

Spesifikasi sifat mudah terbakar3. SNI 12-6527.3-2001 Keamanan Mainan Bagian 3:

Spesifikasi untuk perpindahan elemen-elemen tertentu

4. SNI 12-6527.4-2001 Keamanan mainan Bagian 4:

Spesifikasi untuk peralatan percobaan kimia dan aktivitas yang terkaitDi tahun 2008 lalu BSN sendiri telah

melaksanakan kajian awal mengenai pemenuhan produk mainan anak yang beredar di Jakarta terhadap persyaratan SNI 12.6527.1-2001 Keamanan Mainan Bagian 1: Spesifikasi sifat fisis dan mekanis, SNI 12.6527.2-2001 Keamanan Mainan Bagian 2: Spesifikasi sifat mudah terbakar; SNI 12-6527.3-2001 Keamanan Mainan Bagian 3: Spesifikasi untuk perpindahan elemen-elemen tertentu. Mengingat keterbatasan data dan belum menggambarkan kondisi yang sebenarnya dari mainan anak yang beredar di pasar, diputuskan untuk melanjutkan kembali kajian ini pada tahun 2009 ini.

Di samping perlindungan keselamatan dan kesehatan anak, standardisasi mainan anak sangat dibutuhkan mengingat daya tarik yang ditawarkan sektor ini. Lihat saja data dari Asosiasi Mainan Anak, total pasar ekspor sektor ini memperlihatkan angka yang terus meningkat. Tahun 2007, pasar ekspor mainan anak mencapai USD 160 juta dan tumbuh meningkat sekitar 15% di tahun 2008. Ke depan sektor ini juga masih akan meningkat dengan pertumbuhan di kisaran angka 10 hingga 15 persen.

Mengingat prospek ini standardisasi produk mainan anak akan memperkuat daya saing produk nasional dalam kancah pasar ekspor. Bukan tidak mungkin hal ini akan menciptakan pasar baru dari produsen nasional untuk masuk bersaing di negara yang menerapkan standar keamanan yang ketat seperti AS dan negara-negara Uni Eropa.

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009 www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

34 35

Page 19: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

Tak bisa dimungkiri salah satu faktor yang menyebabkan masih rendahnya kesadaran konsumen terhadap pentingnya standardisasi produk adalah karena pendidikan mengenai standardisasi itu sendiri masih menjadi hal yang asing di negeri ini. Sehingga akhirnya memory para konsumen mengenai standardisasi produk tidak panjang. Akhirnya seperti yang diketahui kesadaran akan standardisasi produk di negeri ini masih rendah. Padahal jika konsumen memahami standardisasi dapat memberikan keuntungan dan perlindungan bagi mereka.

Upaya meningkatkan kesadaran mengenai standardisasi selama ini menurut Bambang Purwanggono, Pembantu Dekan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro baru sebatas sosialisasi pada kalangan terbatas. Akibatnya para konsumen hanya memiliki ingatan jangka pendek mengenai segala hal yang berkaitan dengan standardisasi produk. Sebagai seorang yang sudah lama berkecimpung di dunia pendidikan, Bambang Purwanggono, memang dikenal memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan standardisasi di negeri ini. Untuk membahas lebih jauh mengenai pentingnya pendidikan standardisasi, SNI Valuasi berkesempatan mewawancarainya. Berikut ini hasil wawancaranya: Banyak pelaku industri di negeri ini yang masih mengesampingkan masalah standardisasi. Padahal hal tersebut merupakan kunci agar produk yang dijualnya memiliki daya saing dan nilai tambah. Menurut bapak, apakah hal ini ada kaitannya dengan masih belum berkembangnya pendidikan standardisasi di negeri ini, atau bapak punya pendapat lain?

Saya kira mengapa banyak yang mengesampingkan masalah standardisasi, yang pertama adalah tipikal pelaku industri di Indonesia yang enggan untuk berubah dan mengadopsi hal-hal baru karena mereka berpikir bahwa melaksanakan hal-hal tersebut, dalam hal ini standardisasi, adalah menambah biaya. Mereka cenderung berpikir jangka pendek, mau cepat menghasilkan tanpa perlu menunggu lama. Padahal standar dan standardisasi dalam suatu kegiatan usaha harus dipandang sebagai investasi yang memerlukan waktu untuk memperlihatkan keuntungannya.

Tentu ini ada hubungannya dengan pendidikan standardisasi di Indonesia. Pengertian pendidikan di sini harus dipandang lebih luas tidak hanya mengajari (to teach) tetapi kepada mengedukasi (to educate). Edukasi adalah menumbuhkan kesadaran. Maka dua pihak yaitu produsen dan konsumen harus tumbuh kesadarannya tentang pentingnya standardisasi dari sudut pandang dan kepentingannya. Masyarakat (semua posisi dan perannya) harus sadar/melek standar (standard literate). Penumbuhan

kesadaran ini harus direncanakan secara sistematis melalui dunia pendidikan mulai dari jenjang yang paling rendah sampai tertinggi. Kenyataannya adalah hampir-hampir tidak pernah kita menjumpai pembicaraan tentang standar dan standardisasi dilakukan di sekolah-sekolah.Bagaimana bapak menilai pendidikan standardisasi di negeri ini, sepertinya masih jarang ada pihak-pihak (institusi pendidikan) yang memulai pendidikan standardisasi ini?

Selama ini atau paling tidak sampai dengan kira-kira 4 atau 5 tahun yang lalu memang tidak tampak adanya upaya terencana sebagai suatu rencana strategis melaksanakan pendidikan tentang standardisasi baik sebagai suatu edukasi bagi masyarakat luas maupun sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan yang dapat menuju kompetensi dan keahlian seseorang. Yang baru tampak adalah sosialisasi kepada beberapa lingkungan terbatas yang dilakukan dalam waktu pendek seperti misalnya ceramah tanpa memberikan kesan dan memory yang kuat untuk dilaksanakan seselesainya sosialisasi tersebut.

Belakangan inilah setelah banyak dilakukan diskusi antara pemegang kepentingan dan melihat bagaimana perkembangan dan dinamika pendidikan standardisasi di negara-negara lain maka kesadaran tentang pentingnya pendidikan standardisasi makin mencuat. Memang selama ini barangkali baru perguruan tinggi yang memberikan materi tentang standardisasi, itupun sangat terbatas dan cenderung tidak komprehensif, lebih kepada kebutuhan spesifik disiplin atau program studi tertentu. Tidak diberikan philosophy dan analisis tentang standar dan standardisasi tersebut. Dan yang jelas selama ini belum ada koordinasi yang terjalin antara BSN dengan institusi-institusi pendidikan tersebut.

Mengapa hal itu bisa terjadi, apakah memang kesadaran akan pentingnya standardisasi masih sangat kurang di negeri ini ?

Tentu tidak bisa dikatakan bahwa kenyataan rendahnya kesadaran tentang standardisasi dan kurangnya pendidikan tentang standardisasi seakan-akan sebagai kesalahan masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa hanya sebagian kecil masyarakat yang mengetahui tentang standar produk yang telah diterapkan di Indonesia, apalagi tentang SNI. Mereka barangkali memang belum tahu bagaimana sebenarnya standar itu bisa memperbaiki kualitas hidup. Menurut bapak sudah saatnyakah lembaga pendidikan memasukan materi tentang standardisasi pada kurikulumnya?

Ya bahkan sebenarnya agak terlambat. Tetapi tentu lebih baik terlambat daripada tidak. Pemasyarakatan standar dan standardisasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, memasukkan ke dalam kurikulum pendidikan (pada semua jenjang pendidikan) tentu adalah cara yang terbaik karena bersifat permanen dan akan berlangsung terus menerus ibaratnya sepeti mesin penghasil pemahaman tentang standar dan standardisasi. Namun memasukkan ke dalam kurikulum bukan sesuatu yang mudah dicapai karena menyangkut proses yang tidak sederhana. Maka memasukkan materi standardisasi dapat mengambil berbagai bentuk baik yang bersifat hardskill maupun softskill. Justru yang bersifat softskill lebih memegang peran penghayatan standar dan standardisasi dalam jangka panjang.

Pada dasarnya pengenalan atau pendidikan/edukasi standardisasi dapat dimulai pada jenjang pendidikan yang dini. Satuan pendidikan pada

tingkat apapun dapat berperan serta dalam pengenalan dan pendidikan standardisasi dengan bentuk yang dapat disesuaikan dengan kondisi anak didiknya. Tentu pengenalan dan pendidikan standardisasi berbeda disesuaikan dengan jenjang pendidikan anak didik dan diberikan dengan cara yang menarik.

Bagaimana sebaiknya mengajarkan materi mengenai standardisasi melalui jalur pendidikan formal atau informal?

Jalur pendidikan baik formal maupun informal dapat melakukan pemasyarakatan dan pendidikan standardisasi dengan cara yang sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing. Pendidikan formal tentu cara terbaik adalah memasukkan ke dalam kurikulumnya sedangkan pendidikan informal tentu lebih sederhana dan berdurasi pendek atau melalui cara-cara memberikan ilustrasi dan contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari.

Dapat digambarkan, bagaimana perbandingan edukasi standardisasi di negara lain terutama di negara-negara maju. Benarkah pendidikan standardisasi di sana sudah diterapkan sejak di bangku taman anak-anak?

Tentu di banyak negara pencapaian kesadaran tentang standardisasi merupakan buah dari hasil program yang sistimatis dalam program-program pendidikan mereka. Kesadaran adalah hasil proses yang tidak bisa dicapai dalam sekejap. Harus ada suatu program yang jelas dan terstruktur untuk mendapatkan hasil tersebut.

Di negara-negara maju dengan prosentase masyarakat yang terdidik lebih besar dibandingkan dengan negara-negara berkembang tentu lebih mudah menanamkan kesadaran ini. Pada dasarnya pendidikan dan peningkatan kesadaran masyarakat adalah pendidikan kepada konsumen. Semua orang adalah konsumen, baik itu anak-anak sampai dengan orang dewasa.

Jadi pendidikan sebagai konsumen yang baik dan sadar harus dimulai pada usia dini. Itulah yang telah dilakukan oleh beberapa negara lain. Mengedukasi para guru sekolah usia dini dan sekolah dasar tentang standardisasi adalah langkah pertama yang sangat penting dan strategis. Para guru inilah yang dapat ”mempengaruhi” anak didiknya lebih efektif tentang aplikasi standar dalam kehidupan sehari-hari, misalkan tentang makanan yang baik dan sehat dikonsumsi.

Bambang Purwanggono, Pembantu Dekan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro:

“Pendidikan Standardisasi Adalah Menumbuhkan Kesadaran”

DO

C. B

SN www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009 www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

FOKUS

36 37

Page 20: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

Mungkinkah hal itu diterapkan di Indonesia?

Tentu mungkin sekali, mengapa tidak mungkin? Dan itu harus. Pemasyarakatan dan pendidikan standardisasi adalah menumbuhkan kesadaran, dalam hal ini bukan untuk menumbuhkan kompetensi seseorang tentang standardisasi. Jadi tidak sulit dilakukan. Banyak kalangan yang mengatakan sebaiknya pihak universitas (perguruan tinggi) dapat menjadi pelopor terselengaranya pendidikan standardisasi, bagaimana komentar bapak?

Barangkali iya karena pada jenjang perguruan tinggi kita mempersiapkan lulusan yang nantinya bisa menyandang dua predikat yaitu sebagai konsumen dan sebagai produsen. Mereka dapat menjadi agent of awareness di bidang standardisasi. Jika mereka mendapatkan pembelajaran yang baik tentang standardisasi maka kita barangkali bisa beruntung melihat mereka di kemudian hari menjadi agen yang militan baik pada saat mereka berlaku sebagai konsumen maupun saat mereka berperan sebagai produsen. Dalam beberapa kasus, memasukkan pendidikan tentang standardisasi lebih mudah dilaksanakan di perguruan tinggi sehingga wajarlah jika perguruan tinggi dapat menjadi pelopor pendidikan standardisasi.

Siapa lagi sebenarnya yang dapat menyelenggarakan pendidikan seperti ini, apakah lembaga pendidikan informal (lembaga kursus) dapat menyelenggarakan pendidikan seperti ini?

Barangkali kalau lembaga kursus tidak terlalu relevan menyelenggarakan pendidikan standardisasi karena nature mereka yang berbeda dengan pendidikan formal. Lembaga kursus biasanya adalah pendidikan singkat dan penuh dengan praktek dan latihan.Apa usulan bapak agar pendidikan standardisasi dapat berjalan dengan baik di negeri ini?

Saya berpikir bahwa standard literate harus menjadi tujuan yang terukur. Program-program harus dirancang untuk meningkatkan ini. Bahkan saya membayangkan bahwa peningkatan melek standar ini bisa menjadi gerakan nasional (nation wide movement). Para pemegang kepentingan harus disadarkan dahulu tentang keuntungan yang didapat dengan tingkat standard literate yang tinggi. BSN harus bekerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional agar paling tidak pendidikan tentang standardisasi ini dapat menjadi anjuran untuk dilaksanakan di semua jenjang pendidikan, syukur-syukur bisa menjadi muatan wajib dalam kurikulum.

Bahkan, misalnya, sekolah-sekolah yang menyatakan diri sebagai

sekolah bertaraf internasional harus memasukkan muatan ini (baik intracurricular maupun extracurricular, baik itu softskill maupun hardskill) untuk mendapatkan ijin/predikat tersebut. Apakah seorang profesinal yang bekerja di bidang tertentu sebaiknya memiliki semacam sertifikat bahwa ia telah memahami tentang standardisasi?

Jika standardisasi telah menjadi disiplin ilmu atau kompetensi yang konkrit maka sertifikat itu baru akan bermanfaat. Kebutuhan akan keterampilan dan kompetensi standardisasi harus diciptakan dulu dan diakui barulah kita bicara tentang sertifikat atau sertifikasi. Tentu membutuhkan waktu untuk merancang bagaimana sertifikasi akan diberikan. Jangan sampai sertifikat atau sertifikasi itu menjadi tidak berguna karena memang tidak ada kebutuhannya.

Salah satu yang pernah saya lontarkan adalah bahwa keahlian standardisasi dapat menjadi jalur fungsional di daerah-daerah. Dengan jelasnya kebutuhan tenaga ahli standardisasi (baik di sektor swasta maupun pemerintah) maka dengan sendirinya pendidikan standardisasi sebagai suatu kompetensi akan “laku” dan dicari-cari.

Lahir di Semarang, 22 April 1957, Bambang Purwanggono memang dilahirkan untuk berkecimpung dalam dunia standardisasi. Lulus dari perguruan tinggi nasional ternama, Institut Teknologi Bandung, tahun 1981 dan menyelesaikan master di bidang engineering pada Universitas Toronto tahun 1991.

Aktivitas pria di bawah naungan bintang Taurus ini sarat akan pengalaman di dunia pendidikan dan memiliki jam terbang yang luar biasa tinggi dalam urusan standardisasi. Tidak mengherankan jika beliau dipercaya untuk mewakili Indonesia di berbagai event internasional terkait dengan pengembangan dan pendidikan standardisasi. Misalnya, pada Workshop International Cooperation for Education about Standardization (ICES) di Jepang pada 23 – 24 Maret lalu, beliau tampil selaku salah satu narasumber mewakili Indonesia dan presentasi mengenai perkembangan pendidikan standardisasi di Indonesia.

Sebagai pakar yang kaya pengalaman, Bambang Purwanggono telah meraih berbagai posisi di antaranya Ketua Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (1993-1997), Anggota Local Project Implementation Unit (LPIU) CNC

dan FMS Austria (1992-1995), Ketua LPIU Gas Engine Universitas Diponegoro (1995-2000), Representative Officer for Indonesia, Sayed Incorporated, New Jersey, AS (1996-sekarang), Konsultan Business Network Program (BNP) Departemen Perindustrian dan Perdagangan (1998-2001), Anggota Tim Angka Kredit Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (1998-sekarang), Ketua Badan Kerjasama Pendidikan Tinggi Teknik Industri (BKSTI) Koordinator Wilayah Jawa Tengah & DIY (2002-sekarang), Wakil Ketua Masyarakat Standardisasi (MASTAN) Koordinator Wilayah Jawa Tengah (2005-sekarang), Ketua Pengelola Program Pendidikan Profesional Disain Produk Fakultas Teknik Universitas Diponegoro: (2006-sekarang), Anggota Tim Penilai Jabatan Universitas Diponegoro (2006-sekarang), Ketua Badan Penjaminan Mutu Universitas Diponegoro (2006-sekarang).

Bambang Purwanggono

MENDEDIKASIKAN DIRI UNTUK PENGEMBANGAN DAN PENDIDIKAN STANDARDISASI

DO

C. U

NIV

ERSI

TAS

DIP

ON

EGO

RO

Prog

ram

Pel

atih

an B

SN

Di era globalisasi ekonomi, kebutuhan akan standar makin dirasakan penting bagi dunia usaha maupun kehidupan sehari-hari. Adalah

bersifat mendesak untuk mempersiapkan Sumberdaya Manusia yang mengenal dan mengerti mengenai Standar. Untuk itu, Badan Standardisasi Nasional (BSN) menyediakan Pelatihan Standardisasi untuk kalangan bisnis maupun umum. Program Pelatihan BSN dipandu oleh pakar dan praktisi yang berpengalaman di bidang standardisasi.

Di samping Program Pelatihan yang bersifat regular, BSN juga menyediakan Program Pelatihan In-house yang tempat penyelenggaraanya disesuaikan dengan keinginan perusahaan atau institusi yang meminati pelatihan standardisasi.

PELATIHAN JADUAL PESERTA BIAYA

Pemahaman SNI ISO/IEC 17025: 2008 14-15 JuliUmum, personel laboratorium atau pihak yang berkepentingan di bidang laboratorium penguji atau kalibrasi

Rp. 1.000.000,-

Ketidakpastian Pengukuran Laboratorium Pengujian Kimia 28-30 Juli

Umum, personel laboratorium atau pihak yang berkepentingan di bidang laboratorium penguji atau kalibrasi

Rp. 2.400.000,-

Pengenalan SNI ISO/IEC 17025: 2008 4 AgustusUmum, personel laboratorium atau pihak yang berkepentingan di bidang laboratorium penguji atau kalibrasi

Rp. 500.000,-

Pengenalan SNI ISO 9001: 2008 (Quality Management System - Requirements)

6 Agustus Umum atau pihak yang berkepentingan di bidang sistem manajemen mutu Rp. 500.000,-

Dokumentasi SNI ISO/IEC 17025:2008 11-13 Agustus Personel laboratorium dan telah memahami SNI ISO/IEC 17025: 2008 Rp. 2.400.000,-

Pengenalan ISO 15189:2007 (Medical Laboratories -- Particular Requirements for Quality and Competence)

1 Oktober Umum atau pihak yang berkepentingan di bidang laboratorium medik Rp. 500.000,-

Audit Internal Sistem Manajemen Mutu Laboratorium 6-8 Oktober

Personel laboratorium (manajer mutu/teknis, penyelia, analis, dan auditor internal) yang telah mengikuti pelatihan pemahaman dan dokumentasi

Rp. 2.400.000,-

Pengenalan ISO 22000:2005 (Sistem Manajemen Keamanan Pangan) 13 Oktober Umum atau pihak yang berkepentingan di bidang

keamanan pangan Rp. 500.000,-

CATATAN:1. Apabila dalam waktu 2 (dua) minggu sebelum pelaksanaan pelatihan, jumlah peserta tidak memenuhi kuota maka pelatihan ditunda.2. Apabila jumlah peserta pelatihan telah melebihi kuota, maka pendaftar ditempatkan ke gelombang berikutnya (jika ada).3. Biaya tidak termasuk pajak, transportasi dan akomodasi.

Jadual Pelatihan Regular Tahun 2009

1. Pengenalan SNI ISO/IEC 17025:2008 (Persyaratan Umum Kompetensi Laboratorium Penguji dan Kalibrasi)

2. Pengenalan ISO/IEC 17020:1998 (General Criteria for the Operation of Various Types of Bodies Performing Inspection)

3. Pengenalan ISO 22000:2005 (Sistem Manajemen Keamanan Pangan)

4. Pengenalan ISO 15189:2007 (Medical laboratories -- Particular Requirements for Quality and Competence)

5. Pengenalan ISO Guide 65:1996 (P BSN 401:2000, Persyaratan Umum Lembaga Sertifikasi Produk)

6. Pengenalan ISO 14001:2004/SNI 19-14001-2005 (Sistem Manajemen Lingkungan)

7. Pengenalan SNI ISO 9001:2008 (QMS - Requirements)

8. Pengenalan ISO/IEC 27001:2005 (Information Security Management System)

9. Pengenalan Ketidakpastian Pengukuran10. Pemahaman ISOIEC 17025:2005 (Persyaratan

Umum Kompetensi Laboratorium Penguji dan Kalibrasi)

11. Pemahaman ISO/IEC 17021:2006 (Requirements for Bodies Providing Audit and Certification of Management Systems)

Keterangan: 1. Pelaksanaan In-House Training Pengenalan Standar, selama 3 hari dengan 1 hari untuk pengenalan dan 2 hari untuk pemahaman.2. Maksimal peserta 25 orang.3. Biaya Rp. 8.000.000,- per hari (belum termasuk pajak, transportasi dan akomodasi instruktur)

1. Dokumentasi SNI ISO/IEC 17025: 20082. Audit Internal Sistem Manajemen Mutu

Laboratorium3. Ketidakpastian Pengukuran Laboratorium

Pengujian Kimia4. Validasi Metode Pengujian Kimia5. Dasar-dasar Pengambilan Contoh (Sampling)6. Audit Sistem Manajemen Mutu dan atau

Lingkungan (ISO/IEC 19011: 2002/SNI 19-19011- 2005)

7. Prinsip-prinsip Kalibrasi dan Ketertelusuran Pengukuran

Keterangan: 1. Pelaksanaan In-House Training Aplikasi Standar, selama 3 hari.2. Maksimal peserta 20 orang.3. Biaya Rp. 8.500.000,- per hari (belum termasuk pajak, transportasi

dan akomodasi instruktur)

PENGENALAN STANDAR APLIKASI STANDARProgram Pelatihan In-house

Untuk Informasi Pelatihan lebih lanjut hubungi:PUSAT PENDIDIKAN DAN

PEMASYARAKATAN STANDARDISASI BSNGedung Manggala Wanabakti Blok IV, Lt. 3

Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta 10270Telp. (021) 5747043-44 Ext. 270

Fax. (021) 5747045

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

38

Page 21: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

Mengalir derasnya arus produk asing dari berbagai negara telah melahirkan kekha-watiran terlemparnya

produk nasional dari kancah persain-gan pasar domestik. Kenyataannya, kekhawatiran tidak begitu menghantui banyak produsen nasional, khususnya mereka yang memiliki komitmen terha-dap standar.

Dengan banyaknya saluran infor-masi yang tersedia saat ini, konsumen telah menjadi lebih cerdas dan lebih peduli terhadap mutu dan jaminan keamanan produk yang akan mereka beli. Tentu ini kemudian membentuk perilaku konsumen untuk lebih me-milih produk yang diproduksi melalui suatu standar. Artinya, konsumen telah mengapresiasi produk yang memiliki standar. Produk berstandar tetap men-jadi pilihan konsumen. Singkat kata, penerapan standar berdampak positif terhadap daya saing produk.

Jadi, serbuan produk asing tidak harus membuat kecil hati. Melalui penerapan standar, daya saing produk nasional tetap dapat terjaga dan bahkan diyakini memiliki kekuatan besar un-tuk bersaing di pasar domestik maupun internasional. Banyak produk nasional terbukti mampu tampil dengan daya saing tinggi berkat penarapan standar. Produk-produk ini tidak hanya berkom-petisi di pasar domestik melainkan juga

berhasil menembus pasar ekspor di mancanegara.

KACA BERSTANDAR YANG BERDAYA SAING INTERNASIONAL

Salah satu produk nasional berstan-dar yang memiliki daya saing inter-nasional adalah produk kaca yang di-produksi oleh Muliaglass. Sebagaimana diketahui Muliaglass merupakan salah satu pemenang SNI Award tahun 2007 untuk kategori perusahaan besar. Ber-kat penerapan standar, produk-produk Muliaglass tidak hanya diserap oleh pasar domestik tetapi juga diterima pasar ekspor.

Muliaglass memproduksi 612.500 ton kaca lembaran (float glass) per ta-hun dan lebih dari 60% dari produksi tersebut diekspor ke lebih dari 50 neg-ara di seluruh dunia. Kecuali kaca lem-baran, Muliaglass juga memproduksi kemasan kaca (glass container) dengan tingkat produksi mencapai 140.000 ton per tahun, lalu glass block dengan total produksi mencapai 45.500 ton per ta-hun dan safety glass yang diproduksi mencapai 120.000 ton per tahun.

Sebagai bentuk dedikasi dan komitmen terhadap mutu, Muliaglass menerapkan berbagai standar di setiap lini produksinya. Di lini produksi kaca lembaran, misalnya, diterapkan ISO 9002: 1994. Di lini produksi glass container diterapkan ISO 9001: 2000, AS/NZS ISO 9001: 2001 dan ISO 14001:

2004 yang terkait dengan pengelolaan lingkungan. Lalu, glass block diproduksi de-ngan menerapkan ISO 9002/ANSI/ASQC Q9002: 1994, AS/NZS ISO 9002, DIN EN ISO 9002: 1994. Sementara dalam meproduksi safety glass, diterapkan berbagai standar yang berlaku di beberapa negara seperti AS, Austrlia, Selandia Baru dan Eropa. Standar tersebut di antaranya ANSI/SAE Z26.1-1996, AS/NZS 2080: 1995, AS/NZS 2208: 1996, ECE-E43, E4-43R-000012, E4-43R-000013, E4-43R-000014.

Dengan penerapan standar, mutu kaca produksi Muliaglass sungguh teruji. Ini dibuktikan sewaktu Pameran Produksi Indonesia (PPI) 2009 lalu. Waktu itu ada seorang pengunjung yang tidak percaya akan kualitas produk Muliaglass. Untuk membuktikannya, pengunjung tersebut dipersilahkan untuk menginjak dengan sekuat tenaga salah satu produk yang dipamerkan yaitu kaca pelindung mobil dan ternyata kaca tersebut tidak pecah. Ini membuktikan bahwa produk berstandar memang memenuhi kualifikasi sebagai produk yang aman bagi keamanan, kesehatan, dan kelestarian lingkungan.

Di luar itu, Muliaglass juga mendapat manfaat nyata yakni memperoleh peningkatan penjualan sebesar 17% setelah memenangkan SNI Award. Yang tak kalah menarik adalah pengalaman Muliaglass sewaktu mengekspor produk kaca lembaran ke

Spanyol. Setiba di pelabuhan, kargo muatan kaca lembaran Muliaglass ternyata tidak boleh dibongkar karena produknya tidak diberi lebel CE Mark, yang merupakan sertifikasi standar produk masuk ke pasar Eropa. Lalu, penghasil kaca ini menyodorkan sertifikasi SNI kepada petugas setempat, yang setelah diperiksa dan dipelajari akhirnya produk Muliaglass dapat diizinkan masuk.

PIPA PVC BERMUTU DAN AMANIngat iklan TV beberapa tahun

lalu yang menampilkan pipa peralon (PVC) yang diinjak gajah dan tetap ti-dak rusak? Begitulah kira-kira produk pipa PVC dengan merk Unilon yang diproduksi perusahaan Harapan Widyatama Pertiwi salah satu pe-menang SNI Award tahun 2008 lalu.

Pipa PVC Unilon sudah dikenal luas tidak hanya di pasar domestik melain-kan juga di pasar Asia. Produk pipa Unilon dipergunakan sebagai bahan bangunan, instalasi pipa air minum dan jaringan pipanisasi telekomuni-kasi. Kapasitas produksi Unilon men-capai 60.000 ton per tahun dengan 19 lini produksi. Tercatat produksi pipa Unilon terus mengalami peningkatan rata-rata 20% dari tahun 2002 hingga 2005.

Penerapan standar untuk produksi pipa PVC, sudah menjadi komitmen yang melandasi aktivitas bisnis dari Harapan Widyatama Pertiwi. Pada pertengahan 2006 BSN menerbitkan SNI untuk aplikasi pipa High Density Polyethylene (HDPE) dan standar ini telah diterapkan untuk memproduksi pipa Unilon. Di samping standar tersebut, perusahaan juga telah menerapkan ISO 9001: 2000 terkait dengan sistem manajemen mutu. Berkat penerapan standar ini, produk-produk Unilon dapat berkompetisi dengan berbagai produk, termasuk produk-produk pipa PVS impor, dan terbukti lebih aman dan memberi kenyamanan kepada konsumen yang menginginkan produk dengan tingkat mutu yang optimal.

Di samping penerapan berbagai standar, produk pipa Unilon juga diproses dengan melewati berbagai standar pengujian, di antaranya chemical resistance test, viscositas test, hydrostatic test, impact test dan tensile/flatenning test. Berbagai metode pengujian ini berguna untuk memastikan dan memberi ja-minan atas mutu dan keamanan produk pipa Unilon. Ini penting, mengingat pipa Unilon dipergunakan untuk pipa saluran air minum. Produk Unilon dapat terus bersaing dan dihargai oleh konsumen karena menerapkan standar.

TEH KEMASAN BER-SNISiapa tidak kenal teh kemasan cap

Kepala Jenggot? Teh kemasan ini dike-nal luas bersaing dengan berbagai je-nis produk teh seperti Sariwangi, Tong Ji, Sosro, Poci dan sebagainya. Yang unik adalah teh cap Kepala Jenggot ini diproduksi dengan proses di bawah sistem manajemen mutu.

Teh cap Kepala Jenggot diproduksi oleh Gunung Subur, sebuah perusahaan yang berlokasi di Karanganyar, Jawa Tengah, yang berhasil memenangkan SNI Award 2007 untuk kategori indus-tri Kecil Menengah. Perusahaan ini sungguh concern untuk menjaga mutu produknya. Di samping telah menerap-kan standar kemasan modern dengan mesin-mesin canggih, perusahaan juga melakukan pengujian ketat atas kuali-tas produk dengan metode uji organo-leptik dan visual di bawah quality control yang ketat.

Gunung Subur menerapkan SNI dengan penuh kesadaran karena me-mandang standar mampu memberikan kepastian dalam produksi dan me-ningkatkan kualitas produk. Hasilnya, produk cap Kepala Jenggot berhasil meraih posisi market leader teh hijau dalam kemasan di Indonesia dan terus berupaya meningkatkan pasar untuk menembus pasar luar negeri.

Dari sisi penjualan, teh Kepala Jenggot dapat meraih kenaikan omset sekitar 30 % setelah memenangkan SNI Award. Ini merupakan hasil nyata penerapan standar yang diimbangi serangkaian strategi promosi jitu. Di dalam promosi itu manajemen Gunung Subur di antaranya memberitahukan kepada seluruh distributor dan pelanggan mengenai dimenangkannya penghargaan SNI Award oleh perusahaan, memasang logo pemenang SNI Award pada kemasan produk dan mencetak kalender dengan logo SNI Award. Yang menarik dalam kerangka promosi ini, perusahaan juga melakukan eduksi kepada konsumen melalui kelompok PKK. Ini dirasa penting agar konsumen, khususnya ibu rumah tangga, mengetahui mana produk teh yang baik untuk dikonsumsi.

Melihat tingkat mutu yang terus diperhatikan dan dijaga, tidak meng-herankan jika sewaktu digelar PPI 2009 beberapa waktu lalu produk teh Kepala Jenggot banyak menarik perhatian penggunjung. Di sana Gunung Subur memamerkan produk teh hijau ber-SNI dan laris manis diserbu oleh pengun-jung.

BERDAYA SAING KARENA STANDAR. PRODUK-PRODUK NASIONAL YANG DIPRODUKSI DENGAN MENERAPKAN STANDAR TERBUKTI MEMILIKI DAYA SAING DAN MAMPU MENEMBUS PASAR EKSPOR.

DO

C. B

SN

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

SUCCES STORY

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

40

BERDAYA SAING karena STANDAR

P r o d u k I n d o n e s i a

4141

Page 22: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

Badan Standardisasi Nasional (BSN) akan menyelenggarakan Standar Nasional Indonesia (SNI) Award 2009 untuk mendorong para pengusaha agar menerapkan SNI untuk meningkatkan mutu produknya.

Tujuan SNI Award 2009 adalah untuk mendorong perusahaan-perusahaan nasional yang ada di Indonesia supaya meningkatkan mutu produknya, karena penggunaan SNI berkaitan dengan peningkatan mutu produk dan prosesnya.

SNI Award 2009 tersebut rencananya akan diserahkan langsung oleh Presiden atau Wakil Presiden pada bulan November 2009 bertepatan dengan Bulan Mutu Nasional. Oleh karena itu, sebelum menuju penyerahan SNI Award tersebut , maka saat ini telah diadakan sosialisasi sekaligus pendaftaran SNI Award tersebut yang akan berlangsung sampai 30 Juni 2009.

Pesertanya adalah perusahaan-perusahaan yang sudah menerapkan SNI. Mereka tidak hanya terbatas pada perusahaan besar dan menengah, termasuk juga perusahaan kecil menengah (UKM). Selanjutnya, setelah

tanggal 30 Juni 2009, semua berkas isian akan dinilai oleh sebuah tim penilai, kemudian sampai bulan Oktober 2009 diadakan uji lapangan.

Terkait dengan berkas isian persyaratan SNI Award ini memang menjadi satu kendala tersendiri, khususnya untuk perusahaan UKM. Tapi, hal itu bukan halangan untuk berpartisipasi dalam ajang ini. Yang terpenting adalah komitmen. Untuk memudahkan pengisian, dapat saja dilakukan dengan mendelegasikan kuesioner kepada bagian-bagian yang bertanggungjawab untuk diisi. Dengan begitu kuesioner akan lebih cepat diisi dan dilengkapi dokumennya. Karena mereka sangat menguasai masalah yang dihadapinya.

Hal ini diungkapkan oleh Eko Pudji dari Mulia Glass bahwa kuesioner SNI Award dapat diisi dengan mudah dan cepat, asalkan memakai strategi yang tepat. Mulia Glass memiliki strategi yang terbukti berhasil. Perusahaan di industri kaca ini menyelesaikan kuesioner SNI Award lengkap dengan dokumen pendukungnya dalam waktu satu minggu, sangat singkat.

Partisipasi dalam SNI Award, tidak akan merugi dan justru banyak untungnya. Ketika sudah mengisi kuesioner, paling tidak sudah dilakukan assessment terhadap kinerja perusahaan selama ini. Modal yang baik untuk perbaikan secara terus menerus. Dokumen yang sudah diserahkan juga akan dikembalikan lengkap setelah SNI Award Selesai. Dan sekali lagi, SNI Award tidak memungut biaya apapun.

Sejauh ini beberapa UKM telah bersemangat untuk mengikuti SNI Award, satu di antaranya menyerahkan dokumen lengkap ketika Gathering SNI Award di Hotel Menara Peninsula, Jakarta pada hari Selasa, 23 Juni 2009. Gathering ini dihadiri oleh berbagai perusahaan jasa konstruksi yang sama antusiasnya untuk berpartisipasi dalam SNI Award 2009. Bersemangat untuk maju dan bersaing sehat.

SNI PALSU

Masyarakat Perlu Edukasi dan Kritis

Badan Standarisasi Nasional menyatakan, hanya tiga persen logo Standardisasi Nasional Indonesia (SNI) untuk produk-produk yang beredar di pasaran asli, selebihnya palsu. Berdasarkan survei BSN pada 2006 dan 2007 yang dipublikasikan di Makasar, Kamis, logo SNI palsu banyak ditemukan pada produk baja tulang beton konstruksi, padahal, tulang beton merupakan salah satu produk wajib SNI selain ban dan sejumlah produk lainnya.

Menurut data yang dirilis BSN tersebut, pemalsuan terjadi antara lain akibat kelemahan pengawasan,

ditambah dengan masih rendahnya tingkat kesadaran pelaku usaha untuk menerapkan SNI. BSN berharap agar industri dan para pelaku usaha dengan sadar segera menerapkan SNI untuk poduknya, dan selanjutnya pasar yang menilai.

Masyarakat juga perlu lebih banyak diberikan edukasi mengenai SNI agar lebih selektif dan kritis membeli dan menggunakan produk. Contohnya, sosialisasi penggunaan helm standar sesuai dengan UU No 14 tahun 1992 tentang lalu lintas. Rencananya, helm wajib SNI akan efektif diberlakukan 1 Januari 2010.

Untuk itu, BSN telah mempersiapkan program-program seperti SNI Award, kerjasama sosialiasi

standar dengan berbagai lembaga baik di pemerintahan itu sendiri, kalangan pendidikan dan swasta.

Selain itu, BSN juga akan memperluas kampanye di tingkat usaha kecil dan menengah mulai tahun ini. Makassar masuk dalam daftar kampanye berikutnya. Sayangnya, BSN mengaku belum memiliki data mengenai jumlah dan kategori usaha kecil dan menengah di Sulawesi Selatan.

Bersama dinas perindustrian dan perdagangan, BSN tengah mengumpulkan data perusahaan kecil dan menengah sehingga pada gilirannya mereka akan mendapatkan sosialisasi penerapan SNI. Diharapkan ini semua dapat mencegah beredarnya SNI Palsu.

SNI AWARD 2009

MEMAJUKAN MUTU DAN PROSES PRODUK

FOTO

BY

MEN

TARI

BESI BETON BER-SNI Tidak banyak konsumen yang sadar

bahwa di pasar banyak beredar apa yang disebut dengan besi baja tulang beton "banci", yakni besi beton yang diproduksi tidak dengan standar SNI. Banyak beredar di pasar, misalnya, produksi besi beton yang tidak memenuhi standar terutama dari segi ukuran. Seharusnya berukuran 10 mm tapi dibuat 9,4 mm, bahkan ada yang nekat memangkasnya menjadi 9,1 mm.

Kualitas besi beton "banci" ini ten-tunya sangat membahayakan bagi kon-sumen. Bila penggunaan besi beton ini diterapkan pada bangunan terutama yang lebih dari empat tingkat tentu sangat berbahaya, bangunan tersebut bisa runtuh karena besi beton yang di-gunakan tidak kuat menopong beban.

Atas fenomena ini, Jakarta Cakra-tunggal Steel Mills (JCSM) sangat pri-hatin dan bertekad untuk menjaga dan memperhatikan betul kualitas produk yang dihasilkannya. Untuk itu, JCSM menerapkan SNI dalam memproduksi besi beton. Hal ini sangat berpengaruh langsung terhadap kepercayaan kon-sumen pada produk besi beton yang di-pergunakan oleh mereka.

Dan nyatanya, penerapan SNI untuk produk JCSM memberi banyak dampak positif. Konsumen menjadi semakin percaya dan tidak ragu-ragu memper-gunakan produk besi beton JCSM kare-na telah sesuai dengan standar. Jumlah pelanggan produk besi beton JCSM se-makin bertambah, bahkan di proyek infrastruktur di sekitar Jakarta hampir lebih dari 50 % menggunakan produk besi beton Cakra Steel ini.

Kecuali menerapakan standar un-tuk ukuran, JCSM juga concern terha-dap standar bahan material besi beton.

JCSM dengan ketat mengawasi kompo-sisi bahan baku, termasuk chemical yang dipergunakan. Untuk itu, JCSM men-cantumkan komposisi unsur material secara akurat agar konsumen sungguh mengetahui komposisi bahan untuk pembuatan besi beton.

Bahkan untuk lebih meyakinkan berbagai pihak, JCSM mengundang pihak-pihak berkepentingan untuk berkunjung ke pabrik agar dapat me-lihat langsung proses pembuatan besi beton yang sesuai dengan Standar Nasi-onal Indonesia. Produk besi beton JCSM memiliki SNI bernomor 07-2052-02.

PARTISIPASI DAERAH DALAM STANDARDISASI

Di samping peran dari para pelaku usaha dalam menerapkan standar, patut dicatat juga upaya lembaga pemerintahan daerah dalam memperjuangkan daya saing industri daerah melalui standardisasi. Di sini peranan balai riset dan standardisasi daerah cukup memainkan peranan. Balai ini bertugas melaksanakan riset dan standardisasi serta sertifikasi di bidang industri di daerah-daerah.

Salah satunya adalah Balai Riset dan Standardisasi Industri Samarinda. Balai ini telah mengemban fungsi mendorong daya saing industri daerah dengan: (1) melaksanakan penelitian dan pengembangan teknologi industri di bidang bahan baku, bahan penolong, proses, peralatan/mesin, dan hasil produk, serta penanggulangan pencemaran industri, (2) menyusun program pengembangan kompetensi di bidang jasa riset/litbang, (3) merumuskan dan menerapkan standar, pengujian dan sertifikasi dalam bidang bahan baku, bahan penolong, proses,

peralatan/mesin, dan hasil produk. Melalui berbagai program yang disusun balai ini, industri daerah didorong untuk mengaplikasikan standar agar produknya dapat diterima pasar secara lebih luas.

Selain Balai Riset dan Standardisasi Industri Samarinda, Laboratorium Pengujian Bahan dan Produk Keramik atau sering disebut dengan Balai Besar Keramik juga berandil besar dalam penerapan standar. Balai yang berlokasi di Jl. Jend A. Yani, Bandung Jawa Barat ini merupakan satu-satunya laboratorium pengujian di Indonesia yang mengkhususkan pada bidang penelitian dan pengembangan, pelatihan, pengujian bahan baku dan produk, standardisasi, sertifikasi, konsultasi dan perekayasaan peralatan industri.

Lewat pengujian laboratorium Balai Besar Keramik inilah kualitas produk keramik nasional diuji. balai di Jawa Barat ini memiliki beberapa laboratorium yang sudah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional di antaranya adalah: laboratorium pengujian bahan baku, pengujian kaca, pengujian ubin, pengujian genteng, pengujian tupperware, serta pengujian kimia.

Peranan balai ini juga mulai dirasakan dengan dilakukannya program pembinaan terhadap pengrajin keramik. Dalam program ini, pengrajin dibantu mengembangkan kemampuan di bidang teknik desain, pengolahan bahan, menjaga kualitas produk bahkan diberi bekal pengetahuan dalam pemasaran produk.

Semoga daya saing industri daerah dapat tumbuh dan menjadi kuat berkat partisipasi balai dalam standardisasi.

DIMINATI KONSUMEN. PRODUK-PRODUK BER-SNI MEMILIKI DAYA TARIK DAN DIMINATI KONSUMEN. INI TERBUKTI DENGAN RAMAINYA PENGUNJUNG KE STAND PRODUK BER-SNI SEWAKTU PAMERAN PRODUKSI INDONESIA 2009.

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

42 43

Page 23: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

Badan Standardisasi Nasional (BSN) menggandeng British Standard Institution (BSI) dalam pengembangan informasi, identifikasi, dan adopsi pedoman pengembangan standar, guna mempromosikan sistem standardisasi dari Indonesia ke seluruh dunia.

Kepala BSN Bambang Setiadi menyatakan kerja sama ini sebagai satu wujud pembinaan dan pengembangan standardisasi nasional yang menjadi kewajiban lembaganya.

"BSI memiliki keanggotaan 670.000 organisasi yang ada di 154 negara, sehingga memiliki kemampuan besar untuk menyampaikan informasi mengenai sistem standardisasi yang ada di Tanah Air," ujarnya seusai penandatanganan join cooperation agreement antara BSN dan BSI, kemarin.

Dia menuturkan BSI juga merupakan satu organisasi pengembang standar yang mewakili Inggris dalam organisasi perumusan standar internasional seperti di forum International Organizations for Standardization (ISO).

"Manfaat lain yang diperoleh dari kerjasama ini adalah kemudahan akses informasi standardisasi dan publikasi BSI oleh semua pihak yang berkepentingan di Indonesia melalui BSN," katanya.

Kerjasama StandardisasiBSN Gandeng BSI Promosikan Sistem Standardisasi

"Ada juga manfaat penyusunan posisi bersama yang saling menguntungkan dalam proses penyusunan standar internasional, sehingga kepentingan nasional dapat terakomodasi di dalamnya," tuturnya.

Bambang menambahkan BSN juga dapat mengadopsi sistem yang telah mapan dan teruji dengan cara yang mudah jika menjalin kerja sama dengan BSI, serta mendapatkan pelatihan di bidang standardisasi sesuai dengan kebutuhan nasional dari pihak BSI.

"Kami pun dapat memperoleh bantuan teknis dalam pengembangan standardisasi nasional Indonesia sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan kedua belah pihak."

Chief Executive BSI Howard Kerr menuturkan BSN dapat memanfaatkan jaringan BSI untuk menyampaikan berbagai informasi mengenai sistem

standardisasi di Indonesia kepada organisasi dan negara lain.

Bahkan, lanjutnya, pada masa mendatang juga diharapkan BSI dan BSN dapat bekerja sama memberikan pelatihan-pelatihan kepada perusahaan di Indonesia.

Pasalnya, pemilikan sertifikat untuk standardisasi pada industri di Indonesia masih terbatas. Menurut data BSN per 2007, hanya ada 4.532 sertifikat untuk SNI ISO 9001 yang dipergunakan bagi produk yang konsisten menjaga kualitasnya.

KAN Pertahankan PAC MLA untuk bidang Akreditasi Lembaga Sertifikasi Produk

Selaku Full Membership dalam organisasi IEE, Indonesia dapat berpartisipasi aktif dalam setiap tahapan perumusan standar IEC (document for circulation-DC, committee draft for voting-CDV, final draft international standard-FDIS, systematic review-SR), maupun partisipasi dalam kegiatan standardisasi internasional di forum IEC, termasuk didalamnya hak voting bagi Indonesia. Partisipasi Indonesia diwakili oleh Indonesian National Committee for IEC (Komite Nasional Indonesia untuk IEC). Dalam hal ini BSN, bertindak sebagai Ketua dan sekretariat untuk penanganan kegiatan Komnas IEC.

Terkait dengan partisipasi aktif Indonesia dalam IEC, Komnas IEC mengadakan pertemuan pada 17 Juni lalu. Pada pertemuan itu disepakati Ketentuan Penyelenggaraan Rapat dan Tata cara Pengambilan Keputusan dalam Rapat Komnas IEC. Terobosan penting yang disepakati terkait tata cara pengambilan keputusan, yakni dimungkinkannya digunakan sarana komunikasi elektronik (penggunaan email dan teleconference) untuk mengatasi permasalahan bilamana terdapat keputusan yang harus diambil, sementara tidak dapat diputuskan dalam rapat Komnas IEC karena tidak terpenuhinya korum atau dalam hal-hal khusus yang sangat mendesak yang harus segera ditanggapi oleh Indonesia.

Kecuali itu disepakati juga agenda Indonesia untuk The 73rd IEC General Meeting yang akan diselenggarakan tanggal 18-22 Oktober 2009 di Tel Aviv, Israel. Pertemuan Komnas juga menyepakati bahwa dukungan Indonesia kepada Klaus Wucherer (President of IEC National Committee of German) dalam pemilihan President IEC untuk term 2011-2013. Sementara untuk posisi Council Board (CB) untuk masa jabatan 2010-2012, Indonesia akan mendukung China dan Canada, karena negara-negara ini sebagai anggota APEC/PASC. Diputuskan juga bahwa Indonesia akan mendukung China dan Australia untuk posisi Standard Management Board (SMB), serta mendukung China, Korea Selatan dan Inggris untuk posisi Conformity Assessment Board (CAB) masa jabatan 2010-2012.

KOMNAS IECSetujui dan Siapkan Agenda Indonesia untuk Sidang IEC 2009

Untuk menyelenggarakan kegiatan akreditasi dan sertifikasi di Indonesia BSN dibantu oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). KAN mempunyai tugas pokok untuk memberikan akreditasi kepada lembaga-lembaga sertifikasi (yang antara lain mencakup sistem mutu, produk, personel, pelatihan, sistem manajemen lingkungan, Sistem HACCP dan sistem pengelolaan hutan lestari), laboratorium penguji/laboratorium kalibrasi serta Inspeksi dan akreditasi bidang standardisasi lainnya sesuai dengan kebutuhan, dan memberikan saran pertimbangan kepada Kepala BSN dalam menetapkan sistem akreditasi dan sertifikasi.

KAN dapat menugaskan institusi baik pemerintah maupun non pemerintah yang memenuhi pedoman yang ditetapkan BSN untuk melakukan penilaian terhadap pemohon akreditasi. KAN bertugas pula untuk memperjuangkan keberterimaan di tingkat internasional atas sertifikat yang diterbitkan oleh laboratorium , lembaga inspeksi danlembaga sertifikasi yang telah diakreditasi oleh KAN.

Pada tanggal 18 Juni 2009, Komite Akreditasi Nasional (KAN), Indonesia, berhasil melakukan penandatanganan Pacific Accreditation Cooperation Multilateral Recognition Arrangement (PAC MLA) untuk bidang Akreditasi Lembaga Sertifikasi Produk di Taipei. Selain itu, KAN juga berhasil mempertahankan PAC MLA yang telah diperoleh sebelumnya untuk bidang akreditasi lembaga sertifikasi sistem manajemen mutu dan bidang akreditasi lembaga sertifikasi sistem manajemen lingkungan. Keputusan perluasan dan

pemeliharaan MLA PAC ini diambil dengan suara bulat oleh seluruh anggota MLA PAC.

Dalam pertemuan PAC tersebut, Dr. Sunarya, selaku Sekretaris Jenderal KAN, menyampaikan pentingnya peran akreditasi dan penilaian kesesuaian dalam membangun kepercayaan masyarakat. Ditandaskan juga besarnya kepercayaan pemerintah Indonesia terhadap sistem dan skema akreditasi dan sertifikasi yang berbasis sukarela ini untuk mendukung regulasi dan memfasilitasi pasar.

PAC sendiri adalah sebuah forum akreditasi yang terdiri dari 24 badan akreditasi negara-negara di wilayah asia pasifik yang memiliki tujuan untuk memberikan fasilitas dalam perdagangan dan transaksi bisnis. Dengan adanya forum ini maka saling pengakuan terhadap penilaian kesesuaian dapat mempermudah para anggotanya untuk melakukan transaksi perdagangan antar-negara.

Dalam sidang tersebut dibahas beberapa hal terkait dengan perkembangan conformity assessment. Salah satu topik yang hangat dibahas adalah mengenai pelaksanaan sertifikasi sistem manajemen keamanan pangan, yang akan dimasukkan kedalam pengembangan frame MLA PAC, bersama sistem sertifikasi personel, dan sistem manajemen keamanan informasi. Forum menyepakati PAC akan konsentrasi dalam pengembangan sistem-sistem baru tersebut, terutama sistem manajemen keamamanan dan membentuk Task Force untuk ketiga sistem tersebut.

Mendorong penerapan standar dikalangan unit Usaha Kecil Menengah (UKM) dinilai penting. Ini akan membantu mereka meningkatkan kualitas produk dan daya saing. Namun kendala biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh sertifikasi standardisasi, khususnya untuk pendampingan perusahaan konsultan, merupakan masalah yang umum dan utama dihadapi UKM. Maklum, biaya yang dikeluarkan bisa mencapai Rp. 100 juta.

Sejak dua tahun lalu Kementerian Negara Koperasi dan UKM telah memfasilitasi kegiatan sertifikasi bagi UKM. Karena keterbatasan anggaran yang dimiliki, kementerian ini hanya

mampu memfasilitasi program sertifikasi UKM secara terbatas.

Di tahun 2009 ini ditargetkan lima usaha kecil menengah (UKM) menerima sertifikat manajemen mutu internasional (International Standard Organization) ISO 9001: 2000.Kendatipun masih sangat terbatas, target ini meningkat dibandung tahun sebeluamnya. Pada 2007 jumlah UKM penerima sertifikat mutu itu mencapai empat perusahaan dan tahun berikutnya hanya tiga UKM.

Menurut Tri Indratni, Pelaksana Harian Asisten Deputi Produktivitas dan Mutu Kementerian Koperasi dan UKM, fasilitasi sertifikasi melalui APBN Kementerian Koperasi dan UKM

merupakan stimulan. Setelah itu, pemerintah provinsi, kabupaten/kota diharapkan bisa melakukan fasilitasi melalui APBD masing-masing.

Program sosialisasi dilakukan di kota-kota yang telah ditetapkan melibatkan setidaknya 25 UKM dari lima provinsi. Dari setiap provinsi disaring satu UKM yang benar-benar siap mengikuti prosedur mendapatkan sertifikat.

Sertifikat ISO menjadi nilai plus bagi perusahaan berbagai bidang usaha, terutama untuk meningkatkan kualitas produk sekaligus memuaskan pelanggan melalui peningkatan kualitas kerja dan pelayanan sesuai standar internasional.

5 Usaha Kecil MenengahDitargetkan Menerima ISO 9001: 2000 di Tahun 2009

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009 www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

44 45

Page 24: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

Pemerintah melalui Badan Standarisasi Nasional (BSN) dalam waktu dekat akan menerbitkan 44 Standar Nasional Indonesia (SNI) baru. 44 standar tersebut telah melalui jajak pendapat stakeholder dan selanjutnya masuk tahap Rancangan SNI (RSNI4).

“RSNI4 merupakan tahapan terakhir dari penetapan SNI. Artinya, tinggal meminta persetujuan stakeholder untuk kemudian ditetapkan sebagai SNI oleh BSN untuk kemudian diberlakukan,” demikian ungkap Kepala Pusat Sistem Penerapan Standar BSN Suprapto. Dikatakannya, SNI tersebut

akan berlaku bagi beberapa produk antara lain meter air, produk meubel dari kayu, perpustakaan, peralatan medis listrik, alat kesehatan, air dan air limbah, teknologi bahan bakar nuklir, dan beberapa komoditas pertanian dan peternakan.

Dalam pembahasan berikutnya, panitia teknis akan meminta tanggapan dari stakeholder terkait produk bersangkutan, yang lebih dikenal dengan Masyarakat Standarisasi Nasional (Mastan). Pihak-pihak dimaksud meliputi instansi terkait, pelaku usaha, akademisi, dan

konsumen. Setelah diminta tanggapan, kemudian akan ditetapkan sebagai SNI.

Dari tanggapan stakeholder akan diperoleh masukan terkait dengan untung rugi dan penilaian apakah standar tersebut sesuai dengan kondisi ekonomi dan mampu memberikan perlindungan pada konsumen. Tahap ini merupakan tahap yang menentukan suatu rancangan SNI itu dibatalkan pelaksanaannya atau diteruskan dan diberlakukan sebagai SNI. Setiap tahun ada sekitar 600 pengajuan rancangan SNI dan dari jumlah tersebut 300-an ditetapkan berlaku sebagai SNI.

44 SNI Baru Segera Berlaku

Redaksi menerima tulisan mengenai standardisasi dan materi lain yang terkait. Tulisan disajikan dalam format ilmiah populer bermuatkan informasi aktual dan terpercaya dengan penyampaian yang mudah dicerna. Redaksi berhak mengedit dan memuat materi tulisan sesuai keperluan. Tulisan yang dimuat akan mendapatkan insentif menarik. Tulisan dikirim ke alamat redaksi SNI VALUASI paling lambat tanggal 21 Agustus 2009.

Dunia kini sedang dihadapkan pada persoalan yang krusial dan mendesak. Akibat peningkatan emisi gas rumah kaca, suhu rata-ra-ta permukaan bumi terus mening-kat. Ini mengakibatkan terjadinya perubahan iklim yang drastis. Pe-rubahan iklim ini memiliki penga-ruh yang sangat dahsyat terhadap sendi-sendi kehidupan manusia di muka bumi. Pengaruhnya sungguh bersifat multi-dimensi, yakni: pem-bangunan, ekonomi (perdagangan), sosial dan lingkungan hidup. Pe-rubahan iklim bila tidak direspon secara dini dan intensif akan men-

datangkan bencana yang mengan-cam peradaban umat manusia.

Kini, semua pihak baik di tingkat nasional maupun internasional menaruh perhatian besar terhadap perubahan iklim. Organisasi Stan-dardisasi Internasional terkemuka (ISO, IEC dan ITU) pun merespon isu perubahan iklim dengan men-canangkan tema World Standards Day 2009: "Tackling Climate Change through Standards".

Sejalan dengan tema World Standards Day 2009, SNI VALUASI Volume 3 No. 3 yang direncanakan terbit pada bulan September 2009 menetapkan tema utama "STANDAR DAN PERUBAHAN IKLIM". Dalam edisi tersebut SNI VALUASI akan menggaris-bawahi dalam rubrik FOKUS peranan krusial dari standar dan conformity assessment programs dalam memerangi perubahan iklim global dan mendukung penurunan emisi gas rumah kaca sekaligus memfasilitasi pembangunan berkelanjutan.

Rubrik FOKUS akan mengupas mengenai mitigasi dan adaptasi

melalui penerapan standar di berbagai bidang dalam rangka merespon dampak perubahan iklim. Di antaranya adalah mitigasi dan adaptasi di bidang pemasokan energi (energy supply), transportasi, bangunan, industri, pertanian, kehutanan dan pengelolaan limbah.

Sementara itu, Rubrik INFO STANDARDISASI akan menyajikan ISO 14064: 2006 yang merupakan standar mengenai emisi gas rumah kaca dan ISO 31000: Guidelines on Principles and Implementation of Risk Management. Standar-standar ini memiliki relevansi yang erat terkait dengan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

STANDAR dan PERUBAHAN IKLIM

EDISI BERIKUTVOLUME 3 / NO 3 / 2009

www.bsn.go.id | SNI Valuasi | Volume 3 / No 2 / 2009

46

Page 25: Majalah_SNIValuasi_Pendidikan_Standardisasi_2009

SNI AWARD 2009AJANG DAN CARA CERDASTINGKATKANMUTU PERUSAHAAN

Dikelola dan diselenggarakan oleh: