Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

30

description

Fikih Prioritas; Solusi Cerdas Menjawab Realitas Manusia dengan keterbatasannya sebagai individu dan merupakan sunatullah yang telah digariskanNya tidak dapat mengelak dari keterbatasannya, termasuk dalam upaya menjalankan Islam secara kaffah. Pola pikir yang sistematis dan terstruktur menjadi metode yang perlu diintegrasikan dengan cara pandang individu dalam memandang realitas. Sehingga dengan demikian, ia mampu melihat dengan skala prioritas yang jelas serta pertimbangan yang matang dalam menentukan setiap kebijakan agar mendapatkan in put yang maksimal dengan keterbatasan yang dimiliki. Oleh karena itu, metode dalam menentukan prioritas yang benar menjadi kompas seseorang untuk mengarungi lautan kehidupan. Tanpa metode prioritas yang benar, seseorang justru akan melakukan banyak hal yang kiontradiktif dengan alur hidup yang diperintahkanNya.

Transcript of Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

Page 1: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54
Page 2: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

1 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

Pergolakan zaman yang melangkah dengan cepat semakin membuat manusia terkerdilkan. Terkerdilkan olah realitas dirinya sebagai makhluk yang memiliki kekurangan untuk memahami seluruh simbol-simbol yang telah Pencipta garis-kan. Kendati demikian, hidup bukan berarti untuk menyesali sunatullah yang te-lah dibentangkan, yaitu kenyataan bahwa manusia adalah makhluk lemah. Na-mun, bagaimana ia mampu mengolah hidupnya dengan skala prioritas yang benar untuk menjadikan hidup lebih bermakna. Skala prioritas merupakan rambu-rambu yang perlu dikedepankan oleh manu-sia pada umumnya, serta umat Islam pada khususnya. Ia semacam kompas untuk mengarungi lautan kehidupan. Dalam ajaran Islam sejak paripurnanya wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. ajaran serta metodologi penyampaian ajaran itu sendiri menggunakan konsep prioritas. Terlihat bagaimana perintah dan larangan dating secara bertahap. Seperti tahapan pelarangan meminum mi-numan keras, riba, zina, dan lain sebagainya.

Terminologi Prioritas (األولوية) dalam dunia Islam mulai booming dalam karya Syekh Yusuf Qaradhawi berjudul Fiqh Awlawiiyyât. Kendati demikian, embrio kemunculan konsep prioritas itu se ndiri sudah berkembang sejak zaman Rasulul-lah Saw. dan juga para sahabat Ra. Kemudian muncul karya-karya para ahli ushul fikih seperti Imam Juwaini dalam al-Burhân nya, Imam Ghazali dalam al-Mustashfa,Abu Ishak As-Syatibhi dalam al-Muwâfaqât. Karya-karya tersebut juga berupaya menyusun kerangka berpikir muslim dalam merumuskan konsep kemaslahatan yang bersifat universal dan bukan bersifat parsial. Universal dipa-hami sebagai nilai kesatuan kemanusiaan dalam kemashlahatan yang tidak ber-status quo serta memonopolisasi kemaslahatan untuk kelompok tertentu. Konsep prioritas merupakan sebuah upaya untuk mensistematisasi ulang pola pandang kita terhadap hidup, sehingga nalar logis kita dapat mengedapankan mana yang perlu diperbincangkan, dan mana yang perlu ditangguhkan. Wallahu A’lam.

Pimred

Resistematisasi

Pola Pandang

Dewasa ini seringkali kita menjumpai suatu fenomena yang terjadi di kalangan umat is-lam, di mana mereka cenderung serampangan dalam pengamalan teks-teks agama. Hal. 12

Karena istilah fikih prioritas ini adalah istilah baru, maka tidak menutup kemungkinan terdapat beberapa cendekiawan yang tidak setuju dengan pemba-hasan ini.

Hal. 04

Realitas yang variatif terkadang mening-galkan jarum dalam jerami. Dalam permasalahan agama yang prinsipil, hanya dibenarkan individu tertentu yang secara kapabilitas dan kredibilias keilmuannya dapat diper-tanggung jawabkan untuk mengentaskan suatu permasala-han yang berkelit kelindan dengan realitas yang dihadapi.

Hal. 08

HIWAR

KAJIAN UTAMA

LAPORAN UTAMA

____________________________________________________________________

EDITORIAL 01 _________________________________________________________

DAPUR REDAKSI 02 _________________________________________________________

SURAT PEMBACA 03 _________________________________________________________

LAPORAN UTAMA 04 _________________________________________________________

KOLOM 07 _________________________________________________________

KAJIAN UTAMA 1 08 _________________________________________________________

KAJIAN UTAMA 2 10 _________________________________________________________

HIWAR 12 _________________________________________________________

TELISIK TOKOH 15 _________________________________________________________

DUNIA PCIM 16 _________________________________________________________

KAJIAN FAKULTATIF 17 _________________________________________________________

SASTRA 19 _________________________________________________________

TRANSFORMASI 24 _________________________________________________________

ETALASE 26 _________________________________________________________

PERSPEKTIF 27 _________________________________________________________

RENUNGAN 28 _________________________________________________________

Edisi Ke-54, Februari 2014

Page 3: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

2 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

PELINDUNG:

Ketua Pimpinan Cabang istimewa

Muhammadiyah (PCIM) Kairo-Mesir,

Nuhdi Febriansyah, Lc.

LITBANG:

Muhammad Rifqi Arriza,

Dedi Djamaludin,

Zuhdi Amin

PEMIMPIN UMUM:

Alda Kartika Yudha

PEMIMPIN REDAKSI

Muhammad Fardan Satrio Wibowo

PEMIMPIN PERUSAHAAN:

Fathur Rabbani

SEKRETARIS:

Muhammad Bakhrul Ilmi

BENDAHARA:

Illa Halisa

SIRKULASI DAN DISTRIBUSI:

Syafiq, Umair Fahmidin

REDAKTUR PELAKSANA:

Silma Syahida,

Rina Sa’adah, Lukman Nur,

Azwar, Hana Juhairiyah,

Wida Rabiatul, Khairul Faizin

REPORTER:

Nafi, Muktashim Billah ,Fahrudin

EDITOR:

Ismail Sujono, Musa Al-Azhar

LAYOUTER:

Syaifuddin Nur, Zaky Al-Rasyid

PEMBANTU UMUM:

Keluarga Besar Sinar Muhammadiyah

ALAMAT:

Build 113/15 Tenth District

Nasr City Cairo-Egypt

Telp: 01117260504

Email: [email protected]

Facebook: Sinar Muhammadiyah Mesir

Akhirnya majalah SINAR tercetak juga! Selalu, dalam rubrik dapur redaksi kru berusaha mengungkapkan suka dan duka (yang selalu lebih mendominasi) dalam menulis, mengedit, sampai menyajikan majalah ini dihadapan para pembaca. Sok melankolis memang, tapi begitulah, melalui salah satu episode hidup sebagai sebagai insan media tidaklah mudah, bahkan tampaknya lebih mudah melalui episode menghabiskan sepiring ful sâdah (tanpa bumbu apapun-Arab) tanpa didampingi to'mi-yah (makanan Mesir-Arab) wa âlihî wa ashhâbihi ajma`în dulu ketika pertama kali datang ke Mesir.

Di dalam benak kru, selalu terngiang kesan dari salah seorang sesepuh PP Mu-hammadiyah, tempat majalah SINAR berpayung, ketika disodori majalah SINAR. Beliau mengatakan bahwa SINAR itu, ―Ilmiah tapi populer!‖ Kesan inilah yang akhirnya terpatri sehingga menjadi tuntutan bagi kru untuk menjaga SINAR untuk selalu mempertahankan unsur ilmiah (meminjam bahasa Syekh Muhyiddin Abdul Hamid, ―Akurat dalam nukilan, argumentatif dalam pernyataan‖). Kru juga menuntut diri untuk membuat SINAR selalu tampil menarik. Menarik untuk dibaca dan yang tidak kalah penting adalah menarik untuk dibeli.

Sedikit flashback, kru mengajak pembaca sekalian mengenang proses penerbitan edisi 53 yang terbit pada bulan September 2013. Kru sebut, ini adalah ‗edisi bangun tidur‘ setelah vakum beberapa waktu. Kru akui bahwa kali itu tidak mudah memban-gunkan SINAR. Buktinya setelah edisi 53, SINAR kembali menarik selimut tidur lagi. Apologi.

Maka untuk kali ini kru bertekad untuk bangun yang benar-benar bangun. Memu-lai pagi kembali memancarkan percikan cahaya bagi umat sesuai namanya.

Sedikit bercerita, SINAR kali ini terbit untuk memeriahkan pesta warga dan sim-patisan Muhammadiyah di Mesir yaitu Musyawarah Cabang (MU5CAB) ke-5. Saji-annya cukup berbeda dari biasanya. Kali ini kru lebih banyak menuliskan tentang ke-PCIM-an. Muscab ke-5 ini adalah musyawarah dengan agenda utama laporan per-tanggungjawaban kepemimpinan masa bakti 2011-2013. Dan tentunya, juga nostalgia bagi semua warga maupun simpatisan Muhammadiyah. Selamat menikmati.

Keluarga besar majalah SINAR mengucapkan selamat dan sukses untuk Pimpinan

Cabang Istimewa Muhammadiyah dan Aisyiah di Mesir (PCIM dan PCIA). Bravo

untuk kita semua!

Pinum

Dari SINAR Untuk Mu5cab

Page 4: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

3 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

Salam hangat SINAR apa kabar?,senang rasanya jika bisa ser-ing membaca terbitan Sinar. Sedikit masukan, bagaimana kalau Sinar mengadakan kuis ringan bagi pembacanya, sehingga bisa menarik antusiasme orang. Semoga bisa di pertimbangkan, teri-makasih!

Tsabit Qadami Jawaban: Salam hangat dan tetap semangat kang Tsabit. Kabar Sinar baik sekali dan menerima semua masukan buat kemajuan Sinar di setiap edisi. Usulan yang bagus kang, dan siap dipertimbangkan. :)

*** Pada satu kesempatan mantan ketua IJMA Ihsan Zainuddin, menyampaikan pada saat jurnalistik yang diadakan oleh PII, bahwa cover SINAR MUHAMMADIYAH merupakan media cetak dengan cover terbaik, oleh karena itu kami usul agar kede-pannya diadakan pelatihan design oleh majalah Sinar.

Bunda Keysa Jawaban: Insya Allah bunda, itu masuk salah satu program kerja Sinar periode ini. Tunggu tanggal mainnya ya, Bunda Kesya.

*** Salam Sinar. Sehat ya? Sedikit saran aja, di perluas lagi ya pen-yebaran majalah SINAR. Biar bisa berkontribusi juga di dunia ke-penulisan Masisir. Ini pertama kali saya mendengar majalah SI-NAR MUHAMMADIYAH di Mesir. Entah saya yg kurang up-date atau? Hhe. Ala kulli hal, Terima kasih.

Rahmah Rasyidah Al-Hamidy Jawaban: Salam sobat Sinar. Alhamdulillah sehat kak Rahmah. Iya kak, sebenarnya Sinar sudah ada sejak lama. Namun, sudah sekitar beberapa tahun belakangan sedikit vakum. Maklum, pasca revolusi

dan sedang mencari formasi. Insya Allah penyebaran Sinar akan kami perluas, terimakasih sarannya kak.

*** Assalamu'alaikum Wr. Wb. Semoga kru SINAR MUHAMMADIYAH senantiasa diberikan petunjuk dan kemudahan dalam mengemban amanahnya. Saya mengapresiasi kinerja kru SM di sela-sela kesibukan menuntut ilmu di negeri para Nabi masih dapat menunaikan tugas dakwah ini. Perasaan gembira menyambut kembalinya terbitnya S M, karena melalui media massa,dakwah dapat menjangkau area yang tidak bisa dilakukan secara langsung tatap muka. Harapannya SM senantiasa mengeksploitasi pemikiran modernis dalam Islam kepada khalayak dalam rangka membangkitkan ummat Islam. Pemikiran tersebut dapat berasal dari kalangan pemikir dunia Is-lam yang telah diakui atau para calon pemikir masa depan dari kalangan Masisir (Masyarakat Indonesia Mesir) khususnya kader PCIM. Semoga SM bisa konsisten dalam penerbitannya di masa mendatang. sehingga menjadi sumplemen penambah bagi pengeta-huan Masisir khususnya. amin. Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Gugi Sukmana Jawaban: Wa‘alaikumusalam Wr.Wb, mas Gugi Sukmana Terimakasih sekali atas iringan doa dan juga apresiasi dari Mas Gugi. Semoga SINAR MUHAMMADIYAH dapat diberi kemuda-han dalam menjalankan amanah ini. Wah ,usulan yang sangat ba-gus mas, InsyaAllah kedepannya SINAR juga mencoba memedia-tori pemikiran modernis antara para pemikir modernis dengan khalayak pembaca, terimakasih masukkannya ,mas.

Page 5: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

4 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

B aru-baru ini banyak muncul istilah istilah tentang fikih, dianta-ranya fikih maqâsid, fikih muwâzanah, fikih

wâqi’, fikih aqaliyât, dan fikih awlawiyât. Tidak mengherankan jika istilah-istilah tersebut bermunculan. Hal ini dikarena-kan istilah-istilah tersebut masuk dalam tataran fikih yang dinamis. Hanya saja, fokus pembahasannya lebih terpusat dan mengalami pengembangan. Fikih ini diambil sesuai dengan tema tertentu dari keseluruhan bahasan fikih, kemudian dikupas serta dibahas lebih mendalam.

Pembahasan Sinar Edisi 54 ini mengupas tentang salah satu corak dalam fikih mengenai upaya resistema-tisasi tata laku individu dalam pengam-bilan sikap dengan skala prioritas dengan mengusung tema fiqh awlawiyât atau dalam pengertian bahasa Indonesia lebih dikenal dengan sebutan fikih prioritas. Pada kesempatan kali ini Kru SINAR mewawancarai salah satu tokoh masisir (masyarakat Indonesia di mesir) yang sudah sangat cukup dikenal dalam bidang usul fikih dikalangan masisir, karena me-mang beliau sekarang menjadi calon kan-didat doktoral di Universitas Al-Azhar, beliau adalah ustadz Aep Saefullah. Munculnya istilah “Fikih Prioritas” dan buku-bukunya. Sejauh penelitian kami, orang yang pertama kali membahas fikih prioritas dalam sebuah pembahasan khusus adalah Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Fikih Prioritas. Dan beliau pun telah menyinggung tentang hal ini di dalam beberapa bukunya, diantaranya adalah buku fikih siyâsah syar’iyah dan shafwah al-Islâmiyyah baina al-Juhûd wa Tatharruf. Sementara itu konsep berpikir prioritas itu sendiri sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw. Dr. Qaradhawi mencoba memberikan pembaruan terha-dap pemikiran manusia atau umat Islam khususnya agar mampu memilah dan

menimbang berbagai perkara dengan timbangan prioritas, mendahulukan hal-hal yang benar-benar urgen di atas hal-hal lain. Awalnya, Dr. Qaradhawi tidak mena-makannya dengan fiqh awlawiyat (fikih prioritas) melainkan dengan nama fiqh marâtib al-a`mâl (fikih urutan pekerjaan), namun seiring berjalannya waktu Dr. Qaradhawi menemukan istilah yang lebih tepat dan lebih luas cakupannya yaitu fiqh awlawiyât. Dan kami menilai bahwa buku fiqh awlawiyât karangan Dr. Qaradhawi bukanlah sebuah karya ilmiah, namun sebatas usaha Dr. Qaradhawi untuk me-mancing masyarakat agar mampu mema-hami betul mana perkara yang harus di-dahulukan dari yang lain. Karena hanya sebuah pancingan, maka pembahasan dalam buku itu tidak sedetail dan seleng-kap karangan beliau yang lain seperti fikih zakat. Namun walau bagaimanapun, hal itu merupakan sesuatu yang sangat luar biasa dan patut diapresiasi. Setelah kemunculan buku tersebut maka mucul-lah buku-buku yang serupa yang mem-berikan penjelasan maupun tambahan atas apa yang telah dibahas oleh Dr. Qaradhawi dalam bukunya. Di antaranya adalah buku Fiqh Awlawiyât, Dirâsah fî Dzawâbith karya Muhammad Wakily yang memaparkan kaidah-kaidah dalam fikih prioritas beserta prakteknya. Ke-mudian juga terdapat buku yang memba-has fikih prioritas secara ringkas, yaitu Khulâshah fî Fiqh Awlawiyât karya Ali bin Nayif Assahudi yang banyak menjelaskan contoh aplikasi fikih prioritas dari zaman terdahulu. Karena istilah fikih prioritas ini adalah istilah baru, maka tidak menutup kemungkinan terdapat beberapa cende-kiawan yang tidak setuju dengan pemba-hasan ini. Karena sejatinya fikih prioritas adalah bagian dari fikih itu sendiri, dan dengan adanya pembahasan tersendiri tentang fikih prioritas, seolah terkesan bahwa fikih prioritas telah keluar dari

Fikih Prioritas;

antara Konsep dan Realitas

“Karena istilah fikih prioritas ini adalah is-tilah baru, maka tidak menutup kemungki-

nan terdapat beberapa cendekiawan yang ti-

dak setuju dengan pembahasan ini. .”

Page 6: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

5 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

pembahasan fikih, padahal fikih prioritas masih termasuk ke dalam fikih secara umum. Akan tetapi, pembahasan secara independen tentang fikih prioritas dapat memudahkan orang orang awam untuk memetakan fikih secara bertahap. Pembahasan Fikih Prioritas Fikih prioritas pembahasannya men-cakup berbagai cabang atau berbagai hal, namun pengerucutannya ada pada kata ―Awlawiyât‖ atau prioritas yang artinya lebih utama. Kita ditanamkan untuk lebih mementingakan yang aham dari pada yang muhim mementingkan yang lebih penting daripada yang penting, mengedepankan yang penting daripada yang kurang penting. Kalau kita sekilas mendengar fiqh awlawiyât atau fikih pri-oritas terlintas dalam benak kita fikih yang mengedepankan sesuatu daripada yang lain. Oleh karena itu, banyak orang jarang mendefinisikan tentang awlawiyât karena bahasanya sangat mudah dipa-hami ―awla‖ yang artinya lebih penting. Fikih ini membentuk cara berfikir kita untuk mendahulukan mana yang lebih penting untuk dilakukan maka di dahulu-kan. Misalnya saja seperti maslahat yang besar dan maslahat yang kecil mana yang didahulukan? larangan atau perintah mana dahulu yang harus dilakukan? Oleh karena itu, pembahasan prioritas menjadi sangat luas, tidak sebatas kepada perma-salahan fikih saja. Penggunaan ―fiqh awlawiyât” pada zaman dahulu dan sekarang. Sejak dari zaman Rasulullah Saw. dan para sahabatnya sudah menggunakan fikih ini dari segi makna yang sudah te-kandung dalam perilaku Rasul Saw. dan para sahabat ataupun dalam lafal yang sudah tertuangkan dalam Quran maupun Hadis. Embrio fikih ini memang sudah ada sejak dulu, hanya saja yang mena-makannya menjadi term tersendiri dan membahasnya secara lebih mendalam adalah Syekh Yusuf Qardhawi. Misalnya ketika zaman rasul ada seorang wanita yang mengadu kepada Rasulullah Saw. bahwa dia telah melakukan zina, dia ber-kata :wahai Rasulullah Saw. rajamlah aku karena aku telah berzina. Kemudian Ra-sulullah Saw. menjawab: tunggulah sam-pai hamil, ketika hendak melahirkan datang lagi kepada Nabi Saw. Beliau menjawab: tunggu lah sampai mela-hirkan, ketika sudah melahirkan, wanita itu datang kembali daan Rasulullah Saw. memerintahkan untuk menyempurnakan susuan kepada bayinya baru kemudian wanita itu dirajam. Dalam kasus tersebut diatas, terdapat penangguhan didalam permasalahan ini

yang berarti mengedepankan keselama-tan anaknya. Logika prioritas pun terli-hat dalam kasus tersebut tentang bagai-mana upaya sinkronisasi antara hak Allah Swt. yaitu hukuman rajam bagi pezina dan juga hak manusia yaitu balita yang perlu disusui dan disapih. Contoh kasus lain, sepeninggal Rasulullah Saw. banyak umat Islam mulai meninggalkan agama Islam dan banyak orang yang tidak mau membayar zakat. Maka dari itu, pada masa Abu Bakar Ra. yang diberi amanah untuk menjadi khalifah disibukkan den-gan pemberantasan orang- orang murtad dan orang yang tidak mau membayar zakat, bahkan Abu Bakar Ra. sampai per-nah berkata : demi Allah Swt. aku akan memerangi orang-orang yang berusaha memisahkan antara shalat dan zakat. Pada masa ini, Islam mementingkan memberantas orang orang murtad dan orang yang enggan membayar zakat ketimbang mengembangkan Islam dari berbagai segi. Para ulama baik ushul atau pun fikih sebenarnya telah mengonsep secara ma-tang tentang fikih prioritas ini. Sebagai-mana yang dituturkan oleh Imam Syatibi yang telah membahas runtutan perten-tangan antara dharûriyât, antara hajiyyât dengan mukamillât / tahsîniyyat, dll. Se-

mua kaidah- kaidah tersebut sudah baku, oleh karena itulah sebagaian ulama tidak menginginkan adalagi pembahasan aw-lawiyât karena semua itu sudah dibahas tuntas. Awlawiyyât hanya baru di sisi isti-lah tapi secara konten bukanlah meru-pamakan hal baru. Dalam hal ilmu syariah tidak ada lagi muncul yang baru. Korelasi Fikih Prioritas dan fikih-fikih lainnya. Fikih Prioritas memiliki beberapa hal yang integral dengannya, yaitu yang pertama adalah Fiqh maqâshid. Fiqh maqâshid sangat berkaitan dengan pem-bahasan fikih prioritas. Hal ini dikarena-kan terdapat hal-hal yang dikedepankan, mana hal yang yang penting dan mana hal yang lebih penting dan itu erat kai-tannya dalam pembahasan fiqh maqâshid. Dharûriyât, tentu lebih dikedepan kan dari hajiyyât, hajiyyât lebih dikedepan kan pula dari tahsîniyyat. Tapi tidak berarti bahwa fikih prioritas adalah semuanya dari maqâshid itu. Tapi bagian dari fikih awlawiyât itu adalah fiqh maqâshid dan pembahasan didalam fiqh maqâshid itu berkaitan erat dengan dharûriyât (primer) ,hajiyyât (sekunder), mukamillât/ tahsîniyyat (tersier). Fiqh awlawiyât ber-kaitan dengan fiqh muwâzanah atau fikih

Page 7: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

6 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

pertimbangan. Jadi sebelum menentukan mana yang aham dari yang muhim, perlu adanya muwâzanah atau pertimbangan diantara permasalahan yang ada. Kita tidak bisa langsung menentukan mana yang aham dan mana yang muhim, namun melalui proses pertimbangan lebih da-hulu. Adalagi keterkaitan dengan fiqh wâqi’ , yaitu yang berkaitan dengan hal-hal terkini yang terjadi. Jadi kita diha-ruskan mengetahui secara lebih detail tentang kondisi realita yang dihadapi. Tiga hal itu harus diperhatikan dalam fikih prioritas yaitu maqâshid, muwâzanah dan wâqi’. Tahapan Fikih Prioritas Setelah kita mengetahui tentang fiqh

awlawiyât, kemudian apa yang harus kita persiapkan sebelum menggunakannya? Yang pertama adalah kumpulkan pisau analisis, baca buku buku baik dari ushul fiqhnya, kaida-kaidah ushul fikih, tafsir, haditsnya, karena awlawiyât ini luas cakupannya. Kedua baru nanti kita tinjau dari 3 hal yaitu, maqâshid, muwâzanah dan wâqi’. Sehingga jika pun muncul per-masalahan di tengah jalan setidaknya kita sudah punya pisau analisisnya. Jadi sete-lah terlihat mana yang aham dan muhim , haruslah kita timbang terlebih dahulu tanpa meninggalkan faktor wâqi’ atau kenyataannya. Karena bisa jadi fatwa yang terjadi di Mesir berbeda dengan fatwa di Indonesia dan boleh jadi di Indo-nesia berbeda dengan yang di Mesir.

Sangat tidak dibenarkan jika seorang alim memberikan keputusan hanya meli-hat dari buku tanpa melihat realita. Realitas Fikih Prioritas Kalau kita lihat dizaman kita sekarang ini, kita akan menemukan bahwa timban-gan priorias pada masyarakat sekarang ini sudah tidak seimbang lagi. Hal terse-but dapat kita lihat di berbagai tempat, seperti perkara-perkara yang berkaitan dengan seni dan hiburan selalu dipri-oritaskan dibandingkan dengan keilmuan dan pendidikan, ini adalah kesalahan tim-bangan yang terjadi saat ini, belum lagi sekarang perhatian terhadap olah raga juga semakin diutamakan, bahkan kalau kita bandingkan pemain pemain bola yang terkenal saat ini hampir semua orang mengenalinya sedangkan kalau ulama yang berpengaruh dan berilmu tidak semua orang mengetahuinya. Seperti juga dalam permasalahan bagai-mana kita memilih pemimpin yang mus-lim akan tetapi kurang bisa berlaku adil terhadap masayarakat. Apakah kita tetap memilihnya? Atau memilih pemimpin non muslim akan tetapi bisa memimpin dengan adil dan bijaksana ? perbedaan selama dalam hal yang benar dan indi-vidu yg menyampaikan adalah orang yang kompeten maka hal itu adalah lum-rah. Jangankan manusia, malaikat saya punya beda pendapat begitu juga nabi (Sulaiman As. dan Daud As.). Ketika seseorang ingin memahami tentang Quran dan Hadis atau menetap-kan sebuah hukum dalam masalah apapun baik masalah pemilu negara kita harus melihat penjelasan para ulama ten-tang ayat yang berkaitan dengan masalah itu. Para ulama mengkhawatirkan dan mengatakan bahwa penyakit terbesar seseorang hanya melihat teks tanpa meli-hat konteks atau dia ingin kembali kepada Quran dan Sunah langsung tanpa melihat penjelasan para ulama. Karena penjelasan para ulama sebagai tahapan, atau permulaan, karena mereka ahli dan berkompeten dalam beberapa hal baik penguasaan bahasa dan keilmuannya, sedangkan kita sangat terbatas. Kemudian terdapat permasalahan lagi yang sempat disinggung Dr. Yusuf Qaradhawi dalam bukunya Fiqh Awlawi-yât, yaitu tetang permasalahan haji di Indonesia yang mayoritas jamaah haji adalah orang yang bukan haji wajib me-lainkan haji yang sunah atau dapat dibi-lang haji untuk kedua kalinya. Untuk masalah haji sebenarnya masuk kategori masalah yang mendesak. Sehingga perlu diberikan aturan-aturan khusus agar memberikan kesempatan kepada yang

belum haji untuk berangkat, seperti jatah umur. Hal itu tidak masalah karena meli-hat realita yang dihadapi. Lalu misalnya permasalahan di suatu tempat yang pen-duduknya ada yang shalat shubuh meng-gunakan qunut dan terdapat jamaah yang tidak menggunakannya. Seperti qunut misalnya, karena mengambil dari madzhab syafi‘i yang merupakan sunah ab’ad, yang jika dilakukan harus meng-gunakan sujud syahwi. Mengatasi ma-salah ini hemat saya adalah dengan men-yampaikan pendapat pendapat para ulama dan perbedaan pendapatnya dan bagaimana menyikapinya. Karena dalam fikih itu banyak madzhab dan setiap madzhab memiliki dalil yang kuat. Jika di Indonesia itu diterapkan, maka tidak adalagi singgung menyinggung antara Muhammadiyah, Persis, antara NU dan organisasi-organisasi lain. Yang benar benar harus kita tanamakan pada diri kita saat ini dan orang orang sekitar kita adalah tentang pentingnya logika pemikiran ini, Sehingga diharapkan umat Islam agar benar- benar bisa membeda-kan mana yang harus diutamakan dan mana yang penting namun kita tang-guhkan untuk sementara waktu dan mana yang memang tidak penting bagi kita.

Tim Laput:

Ismail Sujono, Fathur Rabbani,

Silma Syahidah

“Ketika seseorang

ingin memahami ten-tang Quran dan Hadis atau menetapkan se-buah hukum dalam

masalah apapun baik masalah pemilu ne-

gara kita harus meli-hat penjelasan para ulama tentang ayat

yang berkaitan dengan masalah itu. “

Page 8: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

7 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

Oleh : Muhammad Rifqi Arriza

Sistem Ekonomi Berbasis Fitrah

J ika memang tujuan utama hidup di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah Swt., sudah selayaknya kegiatan ekonomi kita sejalan den-

gan kehendak-Nya. Lebih-lebih Islam adalah satu-satunya agama yang mengatur segala kehidupan para pemeluknya, dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi, dari hal yang paling kecil hingga paling besar. Maka tak heran, jika banyak non muslim yang berpaling kepada Islam setelah 'terjaga' dan sadar atas keunggulan agama ini, logis dan universal. Uniknya, disamping dapat mengikuti kehendak Tuhan, kita mendapatkan bonus dengan fakta bahwa syariah Islam juga sangat manusiawi, sesuai fitrah. Dalam ibadah, muamalah, akhlak, politik, dan ti-dak ketinggalan dalam konsep ekonomi. Dapat dikatakan, sistem ekonomi yang di-tawarkan Islam lebih peduli sosial, dengan tanpa melupakan hak individu. Islam mem-perlakukan personal dan sosial dengan berimbang, tidak seperti paham sosialis maupun kapitalis. Judul diatas akan kita telusuri dari ber-bagai segi, seperti konsep Islam dalam hu-tang, zakat, dan lainnya. Tentunya penulis hanya akan mengulasnya secara sekilas, sebagai mukaddimah dalam memahami tawaran sistem Islam dalam perekono-mian. Konsep Hutang-Piutang Islam memandang hutang sebagai wu-jud bantuan dari pemilik uang kepada si penghutang, tidak ada unsur lain. Bahkan kesediaan memberi hutang dianggap setara dengan setengah pahala sedekah, tapi den-gan satu syarat; menjauhi riba.[1] Kenapa dengan riba? Karena riba ber-arti money creates money, tanpa ada kerja yang riil. Riba juga dapat membuat manu-sia lupa untuk 'memanusiakan manusia', dapat merenggangkan ikatan persaudaraan, bahkan berpotensi besar memutusnya. Nabi juga menerangkan dalam sabdanya, bahwa riba adalah salah satu dosa besar, saking besarnya ia disebutkan satu paket dengan syirik dan pembunuhan.[2] Para pakar ekonomi Islam pun bersepakat bahwa riba adalah crimes against humanity.[3] Sekarang mari kita bandingkan dengan sistem buatan manusia bernama kapital-isme, mereka ingin memperhalusnya den-gan kata bunga. Para kapitalis berdalih bahwa bunga disini adalah timbal balik atas

jasa peminjaman uang kepada si penghu-tang, karena jika uang itu dipakai untuk investasi akan lebih menguntungkan. Anehnya beberapa orang dari umat Islam yang terjerembab dalam lubang kapitalisme punya alasan yang "syari", yaitu kecilnya persentase bunga yang diminta, hanya berkisar 4%-9% saja, apalagi menurut mereka pendapat ini dikuatkan oleh ayat 130 surat Ali Imran.[4] Alasan pertama dapat dipatahkan den-gan fakta bahwa memberikan hutang kepada orang lain adalah bentuk lain dari menabung, menyisihkan sebagian uang untuk keperluan di masa depan. Dalih ini juga mengada-ada, mengingkari kemanu-siaan. Seolah-olah semua manusia dila-hirkan sebagai orang yang beruntung dan kaya. Adapun alasan kedua dapat langsung dibantah dengan ayat lain pada surat al-Baqarah 279, bahwa tidak ada bedanya riba yang besar dan kecil. Surat Ali Imran 130 diatas juga harus dipahami bahwa riba ber-lipat-lipat yang disebutkan adalah cermin praktek riba pada zaman jahiliah, bukan berarti hanya riba berlipat-lipat lah yang diharamkan.[5] Sayangnya, kita hidup dimana riba bu-kan lagi menjadi hal yang tabu. Bunga dalam kegiatan ekonomi masa kini layaknya nasi yang menjadi konsumsi se-hari-hari. Benarlah prediksi Nabi Saw. dalam sabdanya: "akan datang suatu masa dimana setiap orang akan memakan riba, jika tidak memakannya maka dia akan men-ghirup debunya".[6] Allâhumma bâ'id bainanâ wa baina al-ribâ! Zakat, Infak, dan Sadaqah Islam mengajarkan bahwa sebagian dari harta kita adalah hak orang lain,[7] karena tidak semua orang dipilih Tuhan untuk menjadi orang kaya berkecukupan. Itulah zakat, memberikan beberapa persen dari harta untuk menunaikan kewajiban kita kepada sesama, dengan syarat terpenuhi nisab dan haulnya. Adapun infak dan sadaqah, keduanya lebih bersifat simpati sekaligus empati. Ti-dak ada batasan jumlah tertentu dalam mengeluarkan infak maupun sadaqah, se-muanya murni wujud kasih sayang kepada sesama insan. Jika kaum sosialis mengatakan "from each according to his ability, to each according his needs",[8] maka Islam mengatakan "setiap orang berhak merasakan hasil ker-

ingatnya sendiri, tanpa melupakan hak orang lain atas hartanya". Pada sistem per-tama, banyak orang akan merasa terpaksa untuk bekerja, karena sekeras apapun dia bekerja akan mendapatkan hasil yang sama dengan orang lain. Sedangkan pada sistem kedua, seharusnya manusia lebih merasa 'dihargai' privasinya, tapi juga tidak melu-pakan kewajibanya kepada orang lain yang hanya beberapa persen saja dari hartanya. Berakhlak dalam Ekonomi Pegiat kapitalis seperti tidak punya hati. Semua orang mereka anggap musuh bisnis, tanpa perasaan. Asal untung, mereka tidak peduli dengan masalah lain, menghalalkan segala cara. Saat orang berhutang, mereka kenakan bunga. Saat membeli sesuatu, mereka beri harga yang sangat mahal. Jika perlu, mereka akan berbohong untuk mengeruk untung. Beda sekali dengan tuntunan Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak, saling menghormati dan mengasihi. Seba-gai contoh, sebut saja sabda Nabi Saw. yang berbunyi: "Allah merahmati seseo-rang yang tolerir dalam menjual, membeli, dan menagih hutang".[9] Makanya Allah Swt. melaknat orang yang mengurangi timbangan saat menjual, tapi menuntut haknya saat membeli.[10] Begitulah secuil penjelasan tentang tawaran Islam dalam berekonomi. Penulis bersyukur dengan menjamurnya institusi syariah di Indonesia saat ini. Hal itu menunjukkan umat Islam Indonesia sudah mulai sadar syariah, tidak ingin lagi ter-jerat dengan kungkungan riba. Walaupun kita belum dapat mengislam-kan ekonomi makro, minimal kita telah berusaha untuk mengislamkan ekonomi mikro umat Islam. Karena perubahan selalu dimulai dari hal yang kecil. Allahummasy-had!

Page 9: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

8 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

Oleh : Khoirul Faizin

D alam perkembangan fikih modern, fikih Aulawiyat muncul sebagai satu termi-nologi baru yang dikenal-

kan oleh seorang cendikiawan fakih abad ini Dr.Yusuf al-Qaradhawy. Keberadaan fikih prioritas ini dipandang urgen bagi masyarakat Islam sebagai upaya solutif dalam menimbang suatu hal. Dari sisi lain, ia menjadi urgen disebabkan oleh kacaunya timbangan prioritas dalam internal umat Islam itu sendiri. Dalam karyanya fî Fiqhi’l Aulawiyyât; Dirasah Jadidah fi Dhau’I’l Qur’an wa al-Sunnah, beliau lantas memberi elaborasi fikih prioritas sebagai peletakkan segala sesuatu pada peringkatnya dengan adil, dari segi hukum, nilai, dan pelak-sanaannya. Pekerjaan yang mula-mula dikerjakan harus didahulukan, berdasarkan penilaian syariah yang sahih, yang diberi petunjuk oleh cahaya wahyu, dan diterangi oleh akal.

Jika ditelisik secara mendalam, se-benarnya para ulama terdahulu telah juga membahas perkara ini secara substantif. Substansi fikih prioritas ini banyak berte-baran dalam ―buah tangan‖ ulama-ulama klasik. Namun demikian, penggunaan isti-lah fikih prioritas sebagai satu cabang tersendiri dalam fikih baru muncul belakan-gan. Jika dilihat dari banyaknya cendikia-wan muslim yang membahas masalah ini dari masa ke masa, dapat diindikasikan pula pada setiap masa tersebut masyarakat mus-lim mengalami problem yang sama walau mungkin dengan kasus yang berbeda na-mun dengan esensi yang sama. Sampai dis-ini urgensi fikih prioritas terletak pada, pertama, pemberian pertimbangan antara kemaslahatan dari berbagai kebaikan yang disyari‘atkan, kedua, pemberian pertimban-gan antara berbagai madharat yang dila-rang, dan ketiga, pemberian pertimbangan antara maslahat dan madharat apabila dua hal yang kontradiksi ini bertemu satu sama lain.

Fikih Prioritas di Panggung Sejarah Dalam panggung sejarah keilmuan Is-

lam,-sebagaimana telah sedikit disinggung di awal- telah menjadi perhatian cukup serius dikalangan sarjana muslim, baik masa kini maupun masa lampau. Bahkan sejak masih adanya Rasulullah Saw. beliau sudah banyak memberikan rambu-rambu akan urgensi membuat skala prioritas

dalam banyak hadis dan juga wahyu dari-Nya. Disini menjadi menarik untuk diketa-hui urgensi fikih prioritas tersebut dari masa ke masa.

Pertama, al-Qur‘an banyak sekali yang berbicara seputar prioritas, begitu juga hadis. Sebagai contoh dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam sahihnya pada kitab al-Îmân, Saad bin Abi Waqqash Ra. meriwayatkan bahwa Rasu-lullah pernah membagikan hadiah kepada beberapa orang. Saat itu ia tengah duduk didekat mereka, akan tetapi Rasululllah tidak memberikan kepada salah seorang lelaki dan hal itu sangat menarik per-hatianku. Saad bertanya kepada Rasulullah,

apa sebab Beliau tidak memberikan hadiah itu kepada si fulan? Menurut Saad, ia juga seorang mukmin. Lalu Rasulullah men-jawab, ―Atau seorang muslim?. Saad ter-diam sebentar. Kemudian pengetahuan Saad akan keadaan orang itu mendesaknya untuk bertanya lagi kepada Rasulullah Saw. sampai dua kali lagi. Lalu Rasulullah ber-sabda,―Hai Saad sesungguhnya aku akan memberi orang itu, akan tetapi aku lebih suka memberikannya kepada orang lain untuk menjaga orang yang diberi itu tidak sampai ditelungkupkan di neraka‖. Dalam hadis tersebut sangat jelas Rasulullah Saw. menimbang skala prioritas dengan mem-beri hadiah kepada seorang mukmin yang belum memiliki keimanan kokoh untuk lebih melunakkan hatinya kepada iman, dengan meninggalkan yang sudah kokoh

imannya. Hadis tersebut menunjukkan fikih prioritas sudah aplikatif di masa Rasulullah.

Kedua, pada masa sahabat, perhatian Rasulullah Saw. terhadap terhadap penim-bangan skala prioritas mampu diterje-mahkan dengan baik pasca beliau wafat. Aplikasi fikih prioritas terlihat beberapa saat pasca Rasulullah Saw. wafat, para sa-habat besar lebih memprioritaskan masalah penentuan khalifah pengganti Rasulullah yang akan bertugas mengemban amanah dakwah Islam. Urgensinya dipandang men-desak sehingga urusan pemakaman Rasu-lullah Saw. diserahkan kepada sahabat lain.

Tidak berhenti disitu, dalam pertemuan para sahabat besar di Tsaqifah Bani Sa‘adah ketika memusyawarahkan siapa yang pan-tas mengemban amanah khalifah, para sa-habat dari kalangan Anshar pada mulanya menawarkan Sa‘ad bin Ubadah sebagai khalifah. Namun sahabat yang lain lebih memprioritaskan Abu Bakar al-Shiddiq dari kalangan Muhajirin. Menimbang selain kaum Muhajirin diistimewakan dan merekalah, khususnya Abu Bakar, yang lebih faqih sebab telah mendapat pendidi-kan langsung dari Rasulullah Saw. di Mak-kah saat permulaan hadirnya Islam. Maka dengan yakin Umar bin Khattab, memilih berbai‘at kepada Abu Bakar al-Shiddiq Ra.

Selanjutnya pada masa khalifah Umar bin Khattab r.a, ketika kaum muslimin mampu menguasai wilayah Syam dan Irak, Umar bin Khattab memilih tidak membagi-kan ghanîmah (harta rampasan perang) berupa tanah kepada para sahabat seperti yang pernah dilakukan Nabi Saw. Umar mengambil langkah demikian sebab men-imbang madharat yang akan muncul ketika ghanimah itu dibagikan. Ia lebih memilih menggunakan harta rampasan perang tersebut untuk biaya penjagaan daerah per-batasan yang tengah dikuasai umat Islam. Hal ini tentu lebih diprioritaskan mengin-gat maslahat untuk umat Islam jauh lebih besar. Maka terlihat jelas fikih aulawiyyat telah memainkan perannya yang begitu urgen dimasa sahabat.

Ketiga, pada masa tabi‘in dan tabi‘ al-tabi‘in. Sejarah mencatat, akibat banyaknya riwayat-riwayat hadis palsu yang dibuat demi melegitimasi tindakan politik maupun non-politik sekte-sekte yang ada, Khalifah Umar bin Abdul Aziz membuat langkah serius untuk menyelamatkan kemurnian

Fikih Prioritas

Dalam Lintas Zaman

“Jika ditelisik se-

cara mendalam, se-benarnya para

ulama terdahulu te-lah juga membahas perkara ini secara

substantif.”

Page 10: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

9 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

hadis-hadis Nabi dengan memerintahkan muhaddits kala itu, Ibnu Syihab al-Zuhri (w.124 H) untuk melakukan kodifikasi hadis dari Nabi Saw. Sebab hadis meru-pakan unsur agama Islam paling penting setelah al-Quran. Oleh sebab itu pekerjaan ini menjadi prioritas utama dimasa pemer-intahannya. Kedua, beliau lebih dahulu memprioritaskan urusan dalam negeri ketimbang urusan luar negeri, seperti pemerataan kejesahteraan masyarakat aki-bat tingginya kesenjangan sosial yang ditinggalkan khalifah lama. Ia mengambil langkah tegas, meminimalisasi anggaran fasilitas bagi pejabat negara, mereformasi sistem perpajakan yang tidak pro-rakyat dan menghapus sistem ekonomi feodal yang mewabah saat itu.

Keempat, pasca masa generasi salaf al-shalih, sahabat, tabi‘in dan tabi‘ al-tabi‘in. Para ulama shalih terdahulu juga telah membahas secara substanif akan urgen-sitas fikih prioritas ini. Abu Hamid Mu-hammad Al-Ghazali (w.505H) dalam kitab-nya Ihyâ ‘Ulum al-Dîn memberi celaan ter-hadap orang-orang kaya yang berkali-kali menunaikan ibadah haji. Sebagaimana yang telah disepakati oleh para ‗ulama bahwa kewajiban menunaikan haji bagi seorang muslim yang mampu ialah sekali, sedang selanjutnya ialah sunnah semata. Maka dalam pandangan Imam Al-Ghazali, alang-kah lebih baik jika biaya haji sunnah itu dialokasikan untuk kemaslahatan sosial. Sampai disini, Imam Al-Ghazali telah memberikan substansi fikih prioritas, mengedepanan aspek sosial dari pada indi-vidu dan mengutamakan aspek maslahat yang lebih urgen dari pada maslahat yang kurang urgen. Tidak hanya Imam Al-Ghazali, ulama-ulama setelahnya pun ban-yak yang menyinggung masalah ini seperti Imam Izzu al-Din bin Abdussalam (w.660H) dalam Qawâ’idu’l Ahkâm fi Mashâlihi’l Anâm, Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah (w.728H) dalam Majmu’ Fatâwa, dan juga Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w.751H) dalam I’lam al-Muwaqqi’în.

Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Syatibi (w.790H) dalam kitabnya al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syari’ah mengklasifikasi kebutu-han manusia menjadi tiga aspek. Pertama, kebutuhan primer (dharûriyyât), ialah kebu-tuhan yang adanya tidak bisa lagi ditunda yang dengan adanya sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup manusia, dan sebaliknya. Kedua, kebutuhan sekunder (hâjjiyat), ialah kebutuhan tambahan yang dapat dipenuhi setelah kebutuhan primer terpenuhi. Ketiga, kebutuhan pelengkap (tahsîniyyât), ialah kebutuhan yang boleh ada dan boleh tidak. Sebab ada tidaknya kebutuhan pelengkap ini tidak berpengaruh signifikan bagi keberlangsungan hidup manusia. Point penting dalam klasifikasi

kebutuhan manusia dalam al-Muwafaqat ini terkait korelasinya dengan fikih prioritas ialah prioritas dalam mendahulukan kebu-tuhan yang mendesak dari pada kebutuhan tambahan, lebih-lebih kebutuhan peleng-kap. pembahasan-pembahasan yang telah tersebut diatas menunjukkan urgensi fikih prioritas juga tak luput dari pandangan ulama terdahulu.

Kelima, pada masa kontemporer syaikh Dr.Yusuf Qaradhawy di dalam bukunya fî Fiqhi’l Aulawiyyât; Dirasah Jadidah fi Dhau’I’l Qur’an wa al-Sunnah bahkan meli-hat urgensinya sangat mendesak di era modern ini, apalagi neraca prioritas masyarakat Islam modern sudah banyak mengalami kerancuan. Mulanya beliau menamakan fikih ini dengan fikih urutan pekerjaan (Marâtibu’l A’mâl) lalu diperbaha-rui dengan istilah yang lebih komprehensif, fikih prioritas. Beliau, dalam pembahasan ini, berusaha meletakkan suatu perkara pada tangga urutan masing-masing sesuai skala prioritasnya. Pertama, dari segi per-bandingan maslahat satu dengan yang lain serta pengaruh yang ditimbulkannya. Kedua, dari segi perbandingan kerusakan yang ditimbulkan satu dengan yang lain. Dan ketiga, perbandingan maslahat dan kerusakan apabila terjadi kontradiksi antara keduanya.

Komparasi dalam Aplikasi Fikih Pri-oritas

Ketika menimbang urutan amal dalam fikih prioritas, seorang ulama harus mema-

hami tempat dan kondisi masyarakat yang menjadi obyek aplikasi fikih ini. Pemaha-man ulama seputar realitas inilah yang akan menjadikan perbedaan dalam menim-bang skala prioritas urutan amal yang patut didahulukan dan mana pula yang harus diakhirkan. Dalam bukunya, al-Shahwah al-Islâmiyyah baina al-Juhud wa al-Tatharruf, syaikh Yusuf al-Qaradhawy –

berkaitan dengan prioritas keutamaan amal-, juga mempertimbangkan keadaan masyarakat dan tenggang rasa dengan orang-orang disekitarnya. Itulah mengapa antara satu ulama dengan ulama ditempat lain mempunyai pandangan berbeda berke-naan dengan prioritas, baik prioritas ibadah, jihad, persatuan dan sebagainya.

Sebagai contoh, dalam hal keutamaan ibadah dan persatuan Islam. Imam Ahmad bin Hanbal dan sebagian ulama lainnya lebih suka melakukan perbuatan yang lebih utama, jika perbuatan itu mampu menjaga keutuhan persatuan umat Islam. Semisal ketika berada di tengah masyarakat yang melaksanakan shalat tarawih dengan 20 rakaat tidak sebaiknya seseorang men-yelisihi perbuatan itu dengan mengganti raka‘at shalat tarawih menurut pemahaman yang dianutnya, sebab hal ini tergolong ikhtilaf yang lebih diutamakan persatu-annya. Ibnu Muflih al-Maqdisi al-Hanbali dalam bukunya al-Adab al-Syar’iyyah juga menyatakan, tidak sebaiknya menyelisihi adat dalam masyarakat selama adat itu ti-dak terlarang. Disini terlihat bahwa kondisi masyarakat yang rawan akan perpecahan menjadikan ulama memilih amal yang den-gannya tetap dapat menjaga persatuan umat Islam.

Dalam kondisi yang lain, Sayyid Qutub, seorang pemikir dan juga juru dakwah yang terjun ditengah masyarakat –yang dianggap mengalami dekadensi akidah- maka beliau lebih memprioritaskan dak-wahnya pada pembenahan keyakinan umat Islam sebelum ke ranah hukum dan lain-nya. Sebab dalam pandangannya, sebagai-mana yang dituangkan dalam karyanya Fî Zhilâlil Qur’an, tongkat yang bengkok sela-manya tidak akan membekas bayangan yang lurus. Tidak mungkin umat Islam mempunyai ghirah berislam kaffah dan semangat jihad sementara akidah yang menjadi pondasinya mengalami kemeroso-tan. Maka prioritas dakwah yang diambil olehnya tertuju pada prioritas pembenahan teologi.

Pada situasi yang berbeda, syaikh Yusuf Qaradhawy dalam bukunya, Fiqh ‘Aulawiyyat, mengutip pendapat Imam Al-Ghazali seperti disinggung dimuka namun dengan pendekatan fenomena modern, bahwa jama‘ah haji yang mencapai -lebih kurang- dua juta orang tersebut se-benarnya hanya 30% saja yang benar-benar haji untuk pertama kalinya. Sementara 70% darinya merupakan jama‘ah haji yang menunaikan haji sunnah. Itu artinya kondisi keuangan masyarakat yang 70% tersebut tergolong mampu. Pada keadaan ini beliau menganggap lebih lebih utama

Bersambung ke halaman 22

“Ketika menimbang urutan amal dalam fikih prioritas, seo-

rang ulama harus me-mahami tempat dan kondisi masyarakat yang menjadi obyek aplikasi fikih ini. “

Page 11: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

10 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

K etika dilemparkan judul

fikih prioritas pada edisi

kali ini, tentunya terdapat

segumpal tanya dalam

benak pembaca, apakah yang dimaksud

dengan fikih disini adalah hukum-hukum

yang bertalian erat dengan dalil-dalil

syariah kah, atau kah terdapat maksud lain?

Prof.Dr. Taha Jabir Al-Alwani dalam kata

pengantarnya pada buku Fiqh Awlawiyyât

Dirâsah fî Dhawabith karangan Muham-

mad al-Wakily menuturkan bahwa yang

dimaksud fikih prioritas disini adalah pola

pikir prioritas dan tidak hanya terbatas

pada fikih-fikih yang berkelit kelindan den-

gan hukum-hukum. Fikih yang dimaknai

sebagai pola pikir atau pemikiran ini ma-

suk ke dalam berbagai ranah, baik itu yang

bersifat ibadah, muamalah, maupun akhlak.

Hal ini senada dengan terminologi fikih

yang digagas oleh Abu hanifah yaitu Fiqh

Akbar yang juga memasuki berbagai

bidang baik ilmu kalam, fikih, maupun

ushul fikih, dll.

Konsep prioritas seperti halnya air,

yang memiliki sifat mampu menempati

berbagai tempat dan ruang. Maka tak ayal,

kerangka berpikir tentang hal-hal yang

bersifat primer, sekunder, maupun tersier

antara seseorang dengan lainnya acap kali

berbeda. Hal tersebut salah satunya dipicu

oleh realitas yang variatif yang dihadapi

oleh masing-masing personal. Kendati

demikian, perlu adanya parameter yang

jelas untuk mengatur laju prioritas yang

sesuai kehendak Sang Pencipta.

Memahami hakikat realitas

Realitas yang variatif terkadang men-

inggalkan jarum dalam jerami. Dalam per-

masalahan agama yang prinsipil, hanya

dibenarkan individu tertentu yang secara

kapabilitas dan kredibilitas keilmuannya

dapat dipertanggung jawabkan untuk men-

gentaskan suatu permasalahan yang berke-

lit kelindan dengan realitas yang dihadapi.

Agama Islam yang dinamis mampu mem-

berikan warna keindahan disetiap lintas

zaman . Menurut Syekh Ahmad Bu‘ud

dalam kitab Fiqh al-Wâqi Ushûl wa

Dhawâbith menyatakan bahwa seorang

muslim dituntut untuk dapat memahami

sesuatu yang mencakup kehidupannya, baik

yang kontradiktif dengan kehidupannya,

maupun yang integral dengan kehidupan

manusia. Sehingga dengan demikian seseo-

rang dapat memandang realitas yang diha-

dapi dari dua sudut, yaitu: positif dan nega-

tif, sebelum menentukan prioritas terbaik

bagi dirinya.

Syekh Al-Bani dalam karyanya Suâl wa

Jawâb haula Fiqh al-Wâqi` menuturkan

esensi memahami realita adalah dengan

memahami segala hal yang urgen bagi

kaum muslimin, terutama hal-hal yang

bertalian dengan urusan mereka dan juga

tipu daya yang dilakukan oleh musuh-

musuh kaum muslimin, serta upaya antisi-

pasi terhadap hal tersebut.

Memahami realitas dititik beratkan

pada pemahaman seseorang dalam lingkup

zaman, tempat, adat, dan juga kondisi, se-

bagaimana yang dituliskan oleh Imam Ib-

nul Qayyim dalam I’lâmul Muwaqi’in dan

juga Syekh Yusuf Qaradhawi dalam

Mûjibât Taghyîr al-Fatwâ . Adapun tujuan

dari pemahaman terhadap realitas itu

sendiri agar dapat memberikan mashlahat

umat. Dengan demikian akan tercipta har-

monisasi nilai-nilai Syariat dengan realitas

yang ada, setelah pola berpikir ini terben-

tuk.

Pola pikir prioritas bertolak dari di-

mensi mana ia berangkat. Jika berangkat

dari dimensi agama, terutama perkara-

perkara yang bertalian erat dengan hukum,

maka diserahkan kepada pakar hukum

dalam agama yang memang memiliki kapa-

bilitas untuk menyampaikan hukum. Begitu

juga, dalam ruang ekonomi, politik, sosial,

dll. Sehingga tidak terjadi percampuran

pemahaman antara individu yang benar-

benar memahami realitas dengan individu

yang hanya sekedar mengetahui realitas.

Hal ini senada dengan penuturan Ali ibn

Hasan al-Atsari dalam kitabnya Fiqh al-

Wâqi’ baina Nadzariyyah wa Tathbîq men-

genai bahaya percampuran pemahaman ini,

ketika seorang ulama tidak dibedakan den-

gan seorang penyampai hukum. Tentunya

pernyataan ini selaras dengan realita

masyarakat kita yang terkadang mengam-

bil hukum secara tekstualis dari dai-dai

yang terkadang hanya berseragamkan rupa

dan tawa, dan tidak merujuk pada ulama

yang memang berkompeten dalam bidang

tersebut.

Pengambilan rujukan tanpa berdasar-

kan kerangka berpikir prioritas justru akan

menjerumuskan seseorang pada pemaha-

man yang keliru dan ‗salah kaprah‘. Pema-

haman disini tentunya masih dalam koridor

Syar‘i dengan batasan-batasan yang di-

milikinya. Tidak cukup berpegang dengan

dalih kemaslahatan, karena kemaslahatan

itu sendiri juga memiliki karakteristik yang

luas dan tidak bertolak dari hawa nafsu,

sehingga seseorang tidak mencampuraduk-

kan kemaslahatan yang bersifat parsial

dengan yang universal, atau primer dengan

sekunder,dan lain sebagainya sebagaimana

yang disampaikan oleh Dr. Abu Yasir al-

Oleh : Muhammad Fardan Satrio Wibowo

Fikih Prioritas;

Konseptualisasi Metode Berpikir

“Memahami realitas dititik beratkan pada

pemahaman seseorang dalam lingkup zaman, tempat, adat, dan juga

kondisi…”

Page 12: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

11 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

Baihi dalam Ta’shîl as-Syar’i li Mafhûm Fiqh

al-Wâqi’ bahwasanya maslahat itu luas, dan

seorang fakih harus dapat membedakan

perkara yang bersifat kemaslahatan umum

dengan yang individu, sehingga tidak ter-

jadi ketimpangan pengaplikasian konsep

maslahat.

Metode Komparasi

Pasca mengetahui struktur bangunan

realitas secara mendalam. Langkah selan-

jutnya bagi seorang individu dalam mem-

bentuk kerangka berpikir prioritas adalah

mengkomparasikan segi positif dan negatif

di dalam realitas yang ada. Namun tidak

hanya perbandingan positif-negatif saja

yang berlaku dalam penentuan skala pri-

oritas, akan tetapi juga perbandingan antara

segi negatif dengan negatif sehingga dapat

mengambil pilihan yang kadar mafsadatnya

tidak terlampau besar. Dan juga perbandin-

gan antar kemaslahatan untuk mencapai

kemaslahatan yang lebih besar sebagaimana

yang termaktub dalam kitab Fiqh Awlawiy-

yât karya Syekh Yusuf Qaradhawi. Hal ini

melegitimasi fungsi perbandingan itu

sendiri sebagai poros untuk menyangga

pola kemasyarakatan yang majemuk dan

juga sebagai poros toleransi dalam upaya

penyampaian dakwah secara bertahap seba-

gaimana yang dituturkan Dr. Husain Abu

‗Ajwah dalam kitab Fiqh Muwâzanah baina

al-Mashâlih wa al-Mafâsidh.

Tingkat kemaslahatan yang variatif

menghasilkan prioritas yang berane-

karagam pula. Terdapat kemaslahatan yang

bersifat dharûriyyât ( primer), Hâjiyyât

(sekunder), dan juga Tahsîniyyât ( tersier).

Prioritas disini runtut dengan mengede-

pankan aspek-aspek yang bersifat primer

dibandingkan dengan lainnya.

Perbandingan antar kemaslahatan diu-

payakan untuk mengakomodasi seluruh

kemaslahatan yang ada dan mengambil

kemaslahatan yang lebih besar. Begitu juga

dengan perbandingan kadar mafsadat dan

upaya mengumpulkan seluruh keburukan

guna menelisik lebih dalam dan mengambil

mafsadat yang lebih kecil pengaruhnya.

Prioritas dalam penentuan maslahat yang

diambil atau mafsadat yang diambil men-

gacu pada metode tarjih. Adapun pondasi

pen-tarjihan antar maslahat-maslahat

menurut Ayyub Said Zainul Athif dalam

kitab Fiqh Muwâzanah Rukyat (Ta`shîliyyah

Tathbîqiyyah) menelisik pada tujuh aspek:

-Merajihkan kemaslahatan/ kemafsa-

datan ditinjau dari sudut hukum.

Kemaslahatan yang bersifat wajib lebih

dikedepankan dibandingkan kemaslahatan

yang bersifat sunah. Begitu juga kemafsa-

datan yang bersifat makruh lebih dikede-

pankan dibandingkan dengan kemafsadatan

yang bersifat haram.

-Merajihkan kemaslahatan/ kemafsa-

datan bertolak dari sudut kadar atau ting-

kat maslahat dan mafsadat itu sendiri.

Maslahat yang bersifat primer lebih

dikedepankan dibandingkan maslahat yang

bersifat sekunder. Seperti kebutuhan akan

makan lebih dikedepankan daripada kebutu-

han akan handphone. Akan tetapi mafsadat

sebaliknya, lebih mengedepankan mengam-

bil mafsadat yang bersifat sekunder diband-

ingkan primer.

-Merajihkan kemaslahatan/ kemafsa-

datan ditinjau dari sudut jenis maslahat,

apakah itu bertalian dengan penjagaan

agama, jiwa, akal, nasab, dan juga harta.

-Merajihkan kemaslahatan/ kemafsa-

datan dilihat dari besaran cakupannya,

apakah ia bersifat umum, ataupun bersifat

Parsial atau universal?

-Memprioritaskan kemaslahatan/ ke-

mafsadatan berdasarkan kadar maslahat

dan juga mafsadat itu sendiri.

-Merajihkan kemaslahatan/ kemafsa-

datan dilihat dari efektivitas masa yang

dihasilkan darinya. Oleh karena itu, ke-

maslahatan yang tingkat maslahatnya ber-

tahan hingga jangka waktu yang lebih lama

dikedepankan daripada kemaslahatan yang

berjangka pendek. Sedangkan kemafsadatan

yang bersifat pendek lebih dikedepankan

oleh individu dibandingkan kemafsadatan

yang berjangka panjang.

-Mengedepankan maslahat yang

diproyeksikan secara yakin akan membawa

manfaat yang lebih besar, dibandingkan

maslahat yang bertolak dari prasangka.

Demikian pula mafsadat, lebih mengede-

pankan mafsadat yang secara yakin akan

membawa masalah yang lebih kecil, diband-

ingkan bertolak dari asas praduga .

Fikih prioritas bertalian erat dengan

maqâsidh syarî’ah

Metode berpikir prioritas merupakan

tali penghubung antara cara pandang

manusia dengan hakikat realitas. Hakikat

pola hubungan ini bersinggungan dengan

maksud dari peletakkan syariat. Oleh

karena itu, hubungan syariat dengan manu-

sia menurut Dr. Ahmad Raisuni dalam ki-

tab Madkhal ilâ Maqâsidh Syarî‘ah dikoto-

misasi menjadi dua tujuan, tujuan syariat

dan tujuan mukallaf (individu) yang

keduanya saling memiliki keterkaitan. Be-

liau juga menambahkan bahwa maqâsidh

syarî‘ah adalah ruh amal. Amal tak akan

berarti tanpa adanya ruh.

Maqâsidh syarî‘ah merupakan upaya

kontekstualisasi nilai-nilai syari‘at ke dalam

kehidupan sesuai dengan kehendak Peletak

syari‘at. Syekh Yusuf Qaradhawi dalam

kitab Dirâsah fî Fiqh al-Maqâsidh Syarî‘ah

menitik beratkan pemahaman maqâsidh

sebagai pemahaman yang mendalam terkait

hikmah dibalik pensyariatan dengan tidak

hanya bertumpu pada teks dan menjadikan

individu tekstualis dan tidak mampu berha-

dapan dengan wajah dan rupa zaman.

Individu yang kontekstualis bukan diar-

tikulasikan sebagai individu yang permisif

sehingga berusaha mencocok-cocokkan

nilai-nilai cara pandangan hidupnya terha-

dap zaman. Namun, ia lebih pada upaya

menyelaraskan maksud Peletak Syari‘at

dengan individu, sehingga mampu menjadi

cara pandang (worldview) bagi individu

tersebut dalam memandang realita.

Dr. Jasr Audah dalam kitab Maqâsidh

Syarî‘ah dalîl li Mubtadi`în menuturkan

corak berpikir maqasidh berporos pada fal-

safah syari‘at sebagai upaya harmonisasi

Islam untuk dapat merasuk ke seluruh pen-

juru muka bumi. Tujuannya adalah untuk

mewujudkan perbaikan dan juga pembaha-

ruan cara berpikir dalam memandang dunia.

Fikih prioritas mengonsep cara berpikir

secara lebih sistematis dan memiliki pondasi

berpikir yang jelas. Dengan demikian usaha

harmonisasi pemikiran dan kecakapan seo-

rang muslim dalam memandang hidup da-

pat lebih berkualitas dengan cara pandang

demikian. Wallahu A‘lam.

Page 13: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

12 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

Sinar: Dewasa ini kita sering sekali mendengar istilah fikih prioritas, lantas apa sebenarnya hakikat daripada fikih prioritas itu?

Dr. Athiyah: yang dimaksud di sini adalah sebagaimana makna fikih secara umum, yaitu al-fahm (pemahaman), dan juga merupakan suatu produk hukum syar‘i yang dihasilkan dari sumber-sumber hu-kum yang ada. Namun yang lebih dite-kankan di sini adalah dalam praktek amali-yahnya. Mana dari sekian produk hukum itu yang yang harus didahulukan dan mana yang harus diakhirkan, tentunya dengan melihat konteks pada saat itu.

Sinar: lantas apakah istilah dari fikih prioritas ini sendiri sudah ada sejak dulu? Karena sejauh pengetahuan kami, istilah ini baru muncul dan digunakan oleh para ulama kontemporer saja.

Dr. Athiyah: Memang benar kalau dika-takan bahwa istilah fikih prioritas ini baru digunakan oleh para ulama kontemporer, namun yang pasti kalau secara pemikiran dan prakteknya, sebenarnya fikih prioritas ini sudah ada sejak dulu. Bahkan kalau kita perhatikan hadis-hadis nabi sendiri, banyak sekali yang membicarakan mengenai fikih prioritas dalam kaitannya dengan prioritas suatu amalan. Dari sini kita bisa mengambil suatu kesimpulan bahwa sebenarnya me-mang fikih prioritas bukanlah suatu produk baru dalam khazanah Islam.

Dan ulama kontemporer yang mungkin bisa dikatakan sebagai pencetus istilah ini adalah Syaikh Yusuf al Qaradhawi, karena memang beliaulah ulama pertama yang mengarang kitab khusus yang membahas mengenai fikih prioritas.

Sinar: Belakangan ini, selain istilah fikih prioritas, banyak juga istilah-istilah fikih yang lain muncul, misalnya fikih muwazanah, fikih maqashid, fikih waqi’ dan lain sebagainya, sebenarnya apa hubungan antara istilah-istilah fikih tersebut dengan fikih awlawiyat itu sendiri?

Dr. Athiyah: Tentu fikih awlawiyat san-gat erat kaitannya dengan fikih yang lain. Karena untuk menghasilkan produk dari-pada fikih awlawiyat, yaitu mana suatu hal yang harus di dahulukan dan mana yang harus di akhirkan, harus melewati tahapan-tahapan yang meliputi fikih-fikih yang lain.

Di antaranya adalah fikih waqi‘, dalam tahapan ini, seorang mujtahid dituntut un-tuk benar-benar bisa mengetahui adanya maslahat, mafsadat, manfaat dan juga mu-darat yang ada pada masalah itu. Setelah itu baru kemudian seorang mujtahid me-neliti tentang apa yang menyebabkan tim-bulnya maslahat, mafsadat, manfaat atau-pun mudarat tersebut. Inilah yang dina-makan dengan fikih ma‘âlat dan maqashid.

Tahap selanjutnya, yaitu mempertim-bangkan mana yang mengandung maslahat lebih besar ataupun mana yang mengand-ung mafsadah yang lebih kecil, tahap inilah yang disebut dengan fikih muwazanah. Dan hasil akhir dari semua tahapan tersebut, itulah yang menghasilkan produk fikih yang disebut dengan fikih awlawiyat.

Sinar: Selain istilah-istilah fikih tersebut, terselip juga istilah yang dise-but dengan fikih aqalliyat, sampai Syaikh Qaradlawi mengarang kitab tersendiri yang membahas tentang fikih aqalliyat. Sebenarnya apa hakikat dari-

pada fikih aqalliyat itu sendiri, serta apa hubungannya dengan fikih awlawiyat?

Dr. Athiyah: Maksud dari fikih aqalliyat ialah suatu produk hukum yang dihasilkan karena melihat suatu realita dimana terda-pat komunitas minoritas muslim di suatu tempat, atau bisa juga sebenarnya jumlah muslim adalah mayoritas, akan tetapi keadaan yang ada tidak berpihak padanya.

Kondisi yang demikian tersebut menun-tut adanya suatu ijtihad yang diharapkan bisa menghasilkan suatu produk hukum yang benar-benar diprioritaskan untuk mengentaskan permasalahan yang sedang dialami oleh komunitas minoritas muslim tersebut. Dan di sini lagi-lagi yang ber-peran penting adalah fikih awlawiyat, karena melihat kondisi minoritas muslim yang ada, maka dihasilkanlah fikih aqalli-yat. Sedangkan dalam praktek amaliyah-nya, disinilah fikih awlawiyat memainkan perannya.

Sinar: Mungkin di antara contoh ap-likatif dari fikih awlawiyat ini adalah dalam persoalan ibadah haji, di mana di Indonesia atau juga mungkin di negara lain, dijumpai suatu realita bahwa ke-banyakan orang yang pergi haji tiap ta-hunnya adalah orang-orang yang se-benarnya sudah pernah pergi haji. Dalam kasus semacam ini, apakah boleh apabila pemerintah menetapkan bahwa orang yang sudah pernah pergi haji ti-dak dibolehkan untuk peri haji lagi, dengan pertimbangan bahwa sebenarnya tatkala dana yang dipunyai oleh orang tersebut dialokasikan untuk hal yang lain, bisa lebih bermanfaat bagi masyarakat sekitar, misalnya digunakan

D ewasa ini seringkali kita menjumpai suatu fenomena yang terjadi di kalangan umat islam, di mana mereka cenderung serampangan dalam pengamalan teks-teks agama, tanpa melihat bagaimana semestinya pengejawantahan teks-teks agama tersebut (tanzil an nash ila al waqi’). Memang kesemuanya tetap berjalan dalam bingkai keagamaan dan atas nama ibadah, namun hal tersebut juga tidak bisa dengan serta-merta mengabaikan aspek yang lain, yang tentunya juga punya nilai ibadah juga. Namun yang jadi

permasalahan adalah, kapan dan di mana suatu ibadah itu lebih bernilai dibanding ibadah yang lain, mana dari kesekian bentuk teks-teks ajaran agama itu yang semestinya lebih diprioritaskan dari yang lain karena selaras dengan konteks pada saat itu.

Lantas bagaimana hakikat dari konsep prioritas itu sendiri, serta hubungannya dengan istilah-istilah fikih yang lain, berikut lipu-tan wawancara kru Sinar Muhammadiyah bersama Dr. Athiyah Fayyath, salah seorang pakar fikih perbandingan mazhab Universitas al-Azhar Kairo dan Dr. Hisyam Kamil, pakar fikih mazhab Syafi`i Universitas al-Azhar Kairo.

Bersama:

Syekh 'Atiyyah Fayyadh

Dosen Fikih Perbandingan Madzhab Universitas Al-Azhar

Syekh Hisyam Kamil

Imam dan Khatib masjid Dzahir Baibars serta pengajar di Azhar

Fikih Prioritas dan

Pengentasan Problematika Umat

Page 14: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

13 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

untuk membantu lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan yang ada dan lainnya?

Dr. Athiyah: Tentu boleh tatkala pemerintah membatasi jum-lah jamaah yang akan haji tiap tahunnya. Misalnya dengan mem-berikan batasan, orang yang sudah pernah haji maka tidak boleh pergi haji lagi kecuali harus menunggu selama beberapa tahun ke depan.

Hal tersebut akan memungkinkan pengalokasian dana yang dimiliki oleh orang tersebut untuk perbuatan baik yang lainnya, atau juga untuk membantu mensejahterakan masyarakat sekitar. Hal tersebut tentunya juga sangat bermanfaat dan bukan tidak mugkin hal tersebut akan dicatat setara dengan pahala haji itu sendiri atau bahkan lebih dari itu.

Sinar: Dalam kasus lain, misalnya ada dua orang calon pemimpin, orang pertama adalah seorang muslim, akan tetapi punya akhlak yang buruk dan kriteria seorang pemimpin yang adil tidak ada pada dirinya, sedangkan orang kedua adalah orang kafir, akan tetapi punya akhlak yang baik, dan kriteria seorang pemimpin yang adil dijumpai ada padanya. Kira-kira manakah dari keduanya yang lebih kita utamakan dan lebih layak untuk kita pilih menjadi seorang pemimpin?

Dr. Athiyah: Menurut saya pribadi, tetap kita harus mempri-oritaskan seorang muslim, karena wilayah yang akan dipimpinnya adalah wilayah muslim, lain soal ketika wilayah yang dipimpin adalah bukan wilayah muslim.

Maka dari keduanya membutuhkan penetapan hukum yang berbeda, antara wilayah muslim dengan wilayah non muslim.

*** Sinar: Apa yang dimaksud dengan Fikih Prioritas? Dr. Hisyam: Fikih prioritas. Terdapat sebuah kaidah yang ber-

bunyi, ―Kewajiban lebih banyak dari waktu,‖ artinya, apabila waktu melaksanakan berbagai kewajiban berbenturan satu sama lain, maka hendaklah diurutkan (sesuai skala prioritas-red).

Contohnya, jika saya hendak membaca al-Quran dan salat Subuh (di waktu yang bersamaan-red). Sholat subuh itu wajib sedangkan membaca al-Quran itu sunnah, maka kita harus mengedepankan yang wajib daripada yang sunnah. Contoh lain, kita menghafal surat al-Fatihah ataukah al-Baqarah terlebih da-hulu? Menghafal al-Baqarah pahalanya memang besar, namun hukum menghafal al-Fatihah adalah wajib sedangkan al-Baqarah hanya sunnah, maka kita dahulukan menghafal al-Baqarah.

Yang dimaskud dengan fikih prioritas adalah mendahulukan perkara wajib daripada yang tidak wajib. Bagaimana ada dua hal sama-sama wajib dalam waktu yang sama? Maka, kita dahulukan wâjib mudhayyaq (kewajiban yang waktunya terbatas-red) dari wâajib muwassa` (kewajiban yang waktunya longgar-red).

Contohnya, saya hendak berwudhu namun waktu sholat hanya tersisa 5 menit lagi. Apakah saya harus membasuh tiap organ wudhu sebanyak tiga kali-tiga kali? Tidak perlu, namun cukup berwudhu satu kali-satu kali saja.

Sinar: Maka, apa hakikat dari kata fikih dalam fikih pri-oritas?

Dr. Hisyam: Fikih yang bermakna paham. Fikih prioritas adalah pemahaman terhadap konteks dan perkara-perkara kon-temporer yang dengannya kita dapat memilah untuk mendahulu-kan satu urusan dari urusan lainnya.

Contoh, mana yang lebih kita dahulukan antara taat kepada ayah ataukah guru? Kita dahulukan taat kepada ayah. Mana yang kita dahulukan antara taat kepada guru ataukah taat kepada saha-bat? Taat kepada guru pastinya.

Mana yang lebih penting? mengkonsumsi makanan pokok atau buah-buahan? Jika seseorang hanya memiliki uang 5 Le saja, apakah dia harus membeli buah-buahan ataukah membeli nasi? Membeli nasi, karena nasi adalah makanan pokok. Seseorang tidak dapat bertahan hidup tanpa ada makanan pokok, namun ia tetap bisa bertahan hidup tanpa mengkonsumsi buah.

Sinar: Berarti, konsep fikih prioritas masuk ke dalam se-mua pembahasan?

Dr. Hisyam: Betul, masuk ke semua pembahasan dengan mem-perhatikan waktu dan skala prioritas. Maka kita mengedepankan yang paling penting dari yang penting.

Sinar: Apa pentingnya penerapan fikih prioritas di Mesir? Dr. Hisyam: Sangat penting, karena masa kini waktu terasa

sempit sedangkan keadaan masyarakat selalu memunculkan hal-hal baru. Hal itu menjadikan manusia tidak lagi mampu memenuhi kewajibannya bagi dirinya sendiri, bagi keluarga maupun tu-hannya. Maka hendaklah ia melaksanakan kewajibannya terhadap tuhannya terlebih dahulu, kemudian kewajiban terhadap dirinya, baru kemudian kewajibannya terhadap orang lain.

Sinar: Baik, menurut Syekh, sampai sejauh mana fikih pri-oritas diterapkan di Mesir secara khusus dan di negri-negri kaum Muslimin umumnya?

Dr. Hisyam: Penerapan fikih prioritas di Mesir membutuhkan pemahaman yang benar-benar terhadap konteks masyarakat masa kini. Kurangnya pemahaman terhadap konteks masyarakat menunjukkan bahwa umat yang sebenarnya bisa membaca dan bekerja ini ternyata tidak banyak membaca dan bekerja.

Allah berfirman yang artinya, ―Bacalah dengan nama Tuhan mu yang Menciptakan.‖ Apabila umat ini tidak banyak membaca, bagaimana hendak menerapkan fikih prioritas? Sedangkan fikih prioritas membutuhkan keseriusan membaca berbagai hal. Allah juga berfirman yang artinya, ―Dan katakanlah (Wahai Muham-mad), berbuatlah kalian maka Allah dan Rasulnya akan melihat perbuatan kalian.‖ Sebenarnya Allah melihat kerja, namun kita tidak bekerja.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah mengambil telapak tangan Mu‘adz Bin Jabal ra. seraya bersabda, ―Kedua tela-pak tangan ini dicintai oleh Allah.‖

Rasulullah juga menganjurkan untuk menikah. Dan jika seseo-rang membaca maka ia akan belajar, ketika ia sudah belajar diapun akan beramal dengan dasar ilmu yang telah ia pelajari, dan ketika ia melakukan itu akhirnya ia mampu untuk membina rumah tangga. Apabila dia menikah kemudian memiliki anak maka sem-purnalah kehidupannya.

Sinar: Syeikh, sebenarnya ada beberapa permasalahan di negeri kami, dan saya hanya menuliskan empat di antaranya. Masalah pertama adalah masalah birokrasi haji. Apakah dalam syariat Islam pemerintah memiliki hak melarang pen-duduk untuk berhaji untuk kedua kali atau lebih?

Dr. Hisyam: Tidak, pemerintah tidak boleh melarang. Pemer-intah hanya boleh mengatur, bukan melarang.

Apa maksudnya? Pertama, kita tidak boleh melarang seorang pun untuk menunaikan ibadah haji, kita hanya mengaturnya. Tentu berbeda antara melarang dan mengatur. Contohnya, Pe-merintah hanya mengizinkan 10 orang saja untuk berangkat haji, sedangkan yang datang mendaftar 100 orang, maka jika kita membiarkan 100 orang tersebut berangkat tentu akan terjadi kericuhan. Kita tidak boleh melarang, kita hanya boleh mengatur. Maka kita katakan bahwa untuk tahun ini kami hanya mengiz-inkan 10 orang saja.

Jika pemerintah dan pemimpin memandang ada dampak baik dari pelarangan sebagaian orang agar lainnya dapat berangkat, hal itu hakekatnya bukanlah sebuah pelarangan. Itu adalah penga-turan bukan larangan. Hal ini dilakukan di semua negara, dan jika tidak seperti itu maka yang terjadi hanyalah kekacauan.

Sinar: Kemudian masalah kedua, dalam Pemilihan Presi-den. Contoh, jika terdapat dua orang kandidat presiden, kan-didat pertama adalah orang Muslim namun ia dikenal buruk dalam urusan pemerintahan, sedangkan kandidat kedua adalah orang non-Muslim namun ia dikenal bagus dalam uru-

Page 15: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

14 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

san pemerintahan, atau contoh lain ada dua calon satu lelaki dan satunya perempuan? Bagaimana jika seperti itu?

Dr. Hisyam: Mayoritas Penduduknya apa? Sinar: Mayoritas penduduk adalah Muslim! Dr. Hisyam: Ya sudah, jika mayoritas penduduk adalah mus-

lim, maka kenapa kita tidak bisa mencari figur Pemimpin Muslim yang memiliki kapabilitas dalam memimpin? Apakah masuk akal bila dari kaum minoritas saja yang jumlahnya hanya satu atau dua persen sanggup mengeluarkan sosok pemimpin yang kompeten sedangkan kaum mayoritas tidak mampu mengeluarkan pemim-pin?

Memang banyak masalah yang terjadi akhir-akhir ini, setiap Negara berbeda dengan negara lainnya. Akan tetapi perkara ini bukanlah perkara khilafah dan imamah, akan tetapi jika kita men-dapati Muslim yang memiliki sifat dan kapabilitas dalam memim-pin yang kuat, maka hendaknya dia yang didahulukan. Baik, jika ada calon pemimpin yang Muslim namun kurang mampu hen-daknya kita ganti dengan Muslim yang lebih baik.

Sinar: Masalahnya, pilihannya hanya dua orang itu saja. Dr. Hisyam: Apabila anda memilih Pemimpin Muslim apakah

dia akan berbuat kerusakan dan menimbulkan malapetaka? Apa-bila benar terjadi demikian, maka tugas kita untuk memerangi kerusakan dan melapetaka itu. Maka apa yg hendak kita perbuat? Yang terjadi adalah kericuhan. Memang calon pemimpin yang Muslim tadi dikenal bahwa ia kelak akan berbuat kerusakan?

Sinar: Tidak, ia dikenal biasa saja dalam urusan pemerin-tahan, namun calon kafir itu dikenal lebih baik dalam urusan tersebut.

Dr. Hisyam: Tidak, jika masalahnya adalah ―lebih baik‖, maka akan banyak perbedaan persepsi di sana.

Lagipula, apakah pemimpin itu harus mengerti dan dapat mengerjakan semua hal? Bukankah ada perdana menteri? Kemen-trian? majlis perwakilan rakyat? dan ada kekuatan Militer yang mendukungnya?

Sinar: Kalau permasalahan memilih antara laki-laki dan perempuan?

Dr. Hisyam: Bagi kita mazhab Syafi`i, tidak ada kepemimpinan perempuan atas lelaki dalam kepemimpinan utama. Jika perem-puan menjabat sebagai menteri atau kepala sekolah maka tidak masalah, namun jika menjabat sebagai presiden maka itu adalah urusan kepemimpinan yang besar.

Rasulullah pernah bersabda, ―Tidak akan beruntung suatu kaum bila mana dipimpin oleh seorang perempuan‖ ini adalah pen-dapat mayoritas ulama.

Sinar: Masalah ketiga adalah penetapan hari raya. Dr. Hisyam: Apa masalahnya? Sinar: Di Indonesia terdapat banyak organisasi masyara-

kat, dan yang terbesar adalah NU dan Muhammadiyah. Masing-masing memiliki ulama dan metode ijtihad tersendiri dalam menentukan hari raya. Dan perbedaan metode Ijtihad itu terkadang menyebabkan perbedaan dalam penetapan hari raya atau awal bulan ramadhan satu hari. Bagaimana menurut Syekh?

Dr. Hisyam: Kita butuh pemerintah, pendapat pemerintah itu mampu mengangkat perselisihan. Jika ormas-ormas berbeda pen-dapat, bagaimana pendapat pemerintah? Kita memiliki sebuah kaidah yang berbunyi ―Keputusan pemerintah itu mengangkat Khilaf.‖

Sinar: Meskipun metode mereka tidak lepas dari kritikan? Dr. Hisyam: Apakah ia kafir? Pemerintah mu, apakah ia kafir?

Jika ada kesalahan, maka itu tanggung jawab dia. Ya, dia yang menanggung dosa jika terdapat kesalahan.

Sinar: Terakhir Syeikh, di negara kami praktek zina atau pelacuran merebak, kemudian pemerintah hendak memba-tasinya dengan membuat semacam lokalisasi pelacuran di

satu tempat dengan maskud agar pelacuran itu tidak merebak lebih luas lagi.

Dr. Hisyam: Haram! Haram! Zina hukumnya haram dalam semua ajaran agama. Bagi orang kafir sekalipun zina hukumnya haram. Ini adalah perbuatan haram, dan perbuatan haram bukan diatur melainkan dilarang.

Dan masalah ekonomi bagi wanita tunasusila itu, kita bisa mengambil dari harta zakat dan shadaqah. Perkara haram selama-nya tidak dapat dirubah menjadi halal.

Sinar: Terakhir, apa nasehat Syekh bagi para pelajar Indo-nesia di sini?

Dr. Hisyam: Saya nasehatkan bagi para pelajar hendaklah bela-jar agama dengan serius, dan hendaklah bertaqwa kepada Allah dalam diri mereka, serta hendaklah tidak membuang-buang waktu mereka. Waktu itu ibarat pedang, jika engkau tidak menebasnya maka ia yang akan menebasmu. Dan jika jiwamu tidak kamu sibu-kan dengan kebaikan, maka dia yang akan menyibukanmu dengan perkara buruk.

Tim Hiwar: Fakhruddin, Rizqi Utama, Fahmi Hasan, Arief Asshofie

Nama : Dr. Athiyyah Sayyid Sayyid Fayyath Ttl : Mesir, 25 februari 1963 Pendidikan : S3 Fikih Perbandingan Mazhab Profesi :Dosen Fikih Perbandingan Mazhab, Universitas al Azhar Kairo Karya : Madkhal li Fahmi asy Syariah al Islamiyah Suq al Auraq al Maliyah fi Mizan al Fiqh al Islami Jarimah Asl al Amwal fi al Fiqh al Islami Al Inhiraf at Tijari fi al Fiqh al Islami

Nama : Syekh Hisyam Kamil Hamid Musa Ttl : Syubra, 4 April 1975 Pendidikan : S1 Kuliah Syariah Qanun Universitas al-Azhar 1995 S2 Fikih Islam 2008 Institut John Hever Inggris S3 Fikih Islam 2012 Institut John Hever Inggris Profesi : Imam dan Khatib Masjid Zahir Baybars Pengajar di masjid al-Azhar, masjid Dardir, Madyafah Syekh Said Dah, Madyafah Syekh Ali Jumah, Madyafah Syekh Ismail Shadiq Adawi. Karya : Fath al-`Allam Syarh Manzumah `Aqidah al-`Awam Al-Mukhtashar fi Sirah Sayyid al-Basyar Al-Minah al-Ilahiyah fi al-Adab al-Islamiyah Al-Imta` bi Syarh Matan Abi Syuja` Al-Isyraqat al-Saniyah bi Syarh al-Syamail al- Muhammadiyah Dan beberapa karya lain.

Biografi

Page 16: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

15 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

S ituasi umat Islam pada akhir

abad 19 dan awal abad 20 mu-

lai mengalami kegalauan. Ke-

majuan yang diraih bangsa

Barat yang diaplikasikan dengan pembu-

kaan daerah dan penjajahan ke berbagai

belahan dunia menandakan bahwa kema-

juan bangsa Barat telah berhasil

menandingi kekuatan negeri-negeri mus-

lim. Kesultanan Turki Utsmani yang per-

nah berhasil menguasai seluruh daerah

Afrika Utara, Hijaz hingga Balkan pun mu-

lai melemah.

Kesadaran akan ketertinggalan tersebut

memunculkan berbagai macam respon dari

para cendekiawan Muslim saat itu. Maka

muncullah nama-nama seperti Rifa`ah

Tahthawi, Jamaluddin al-Afghani, Muham-

mad Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad

Iqbal, dan Bedi`uzzaman Said Nursi seba-

gai orang-orang yang pertama kali menun-

jukkan respon terhadap permasalahan yang

dihadapi oleh umat Islam.

Buah pikiran dari para tokoh tersebut

setidaknya merupakan bentuk antitesa ter-

hadap apa yang dialami oleh kaum Muslim

di berbagai belahan dunia saat itu. Kekala-

han, penjajahan, keterbelakangan, perpeca-

han dan berbagai masalah yang timbul aki-

bat pendudukan yang dilakukan oleh

bangsa Barat terhadap negeri-negeri kaum

Muslim.

Terkhusus untuk Turki, menarik

rasanya untuk melirik sepak terjang

Bedi`uzzaman Said Nursi dan pengaruhnya

terhadap keadaan kaum muslim Turki sete-

lah keruntuhan Kesultanan Turki Utsmani.

Utsmani Setelah Perang Dunia I

Sebelumnya, keterlibatan Utsmani

dalam Perang Dunia I menjadi sebuah pu-

kulan telak bagi kesultanan yang telah ber-

diri berabad-abad itu. Utsmani yang

memiliki hubungan dekat dengan Jerman

terpaksa terlibat ke dalam perang meski

sejatinya Utsmani pun sedang memiliki

berbagai masalah yang belum terselesaikan.

Kekalahan Utsmani ditandai dengan

penandatanganan Gencatan Senjata Mur-

dos antara Kesultanan Utsmani dan Ing-

gris pada 30 Oktober 19181. Sejak saat itu,

Utsmani bertekuk lutut di bawah kekua-

saan Inggris. Wilayah bekas kekuasaan

Utsmani pun, setelah perjanjian Sevres

(Agustus 1920), dipecah, dikuasai dan di-

bagikan kepada negara-negara pemenang

perang: Inggris, Perancis, Rusia. Pasukan

sekutu pun akhirnya bisa masuk ke kota

Istambul—pusat pemerintahan saat itu—

dan memiliki wewenang di sana.

Hal inilah yang menjadikan rakyat

Turki kecewa terhadap kesultanan. Kekece-

waan itu terejawantahkan dengan muncul-

nya gerakan-gerakan nasionalisme yang

terpusat di Ankara. Tujuan dari gerakan

tersebut adalah kemerdekaan Turki dari

penjajahan pasukan asing yang menduduki

wilayah Turki.

Sejak 19 Mei 1919, perang kemerdekaan

melawan pendudukan pasukan sekutu di

daerah bekas kekuasaan Turki Utsmani

dimulai. Dan pada 23 April 1920 berdirilah

Majlis Agung Nasional Turki di Ankara,

dan terpilihlah Mustafa Kemal sebagai

pemimpin majlis tersebut pada keesokan

harinya.

Sejak saat itu terdapat dua kekuatan di

Turki: Kesultanan Utsmani yang berpusat

di Istambul dan Majlis Nasional yang

berada di Ankara. Ankara mulai mengada-

kan aksi melawan Inggris di berbagai tem-

pat, namun hal itu tidak direstui oleh kesul-

tanan. Bahkan kesultanan melalui otoritas

agama Islam di Istambul mengeluarkan

sebuah fatwa yang menyatakan bahwa aksi

yang dilakukan oleh kelompok nasionalis

tersebut merupakan sebuah pemberontakan

terhadap negara dan mesti dibasmi.

Keluarnya fatwa tersebut mendapatkan

respon yang keras dari para ulama Turki

saat itu. Maka para ulama beserta Said

Nursi menandatangani semacam petisi un-

tuk menolak fatwa tersebut. Maka, jelaslah

bahwa kesultanan di Istambul saat itu telah

memilih Inggris dan bersebrangan dengan

gerakan nasional di Ankara.

Pada 22 Agustus 1922 gerakan nasional

memulai perang kemerdekaan melawan

Inggris. Perang kemerdekaan tersebut

mendapatkan kemenangan dalam waktu

yang singkat hingga diadakan gencatan

senjata antara gerakan nasionalis di Ankara

dengan Inggris pada 11 Oktober. Maka

sejak saat itu pemerintahan Turki diken-

dalikan oleh Majlis Nasional di Ankara.

1 November 1922 Kesultanan Turki

Utsmani dibubarkan oleh Majlis Nasional

atas desakan dari Mustafa Kemal dan

menyisakan hak memilih khalifah kepada

Majlis Nasional. Akhirnya Majlis Nasional

memilih Abdul Majid sebagai khalifah yang

sejatinya hanya sebuah simbol tanpa

memiliki kekuasaan apapun. Dan akhirnya,

pada 3 Maret 1924 kehilafahan secara

resmi dibubarkan.

Said Nursi dan Politik

Sejak melemahnya Kesultanan Utsmani

di bawah Inggris dan munculnya kekuatan

ke dua di Ankara, Said Nursi memberikan

dukungannya kepada Ankara. Ia melihat

bahwa kesultanan saat itu sudah tidak lagi

memiliki kekuatan untuk melepaskan diri

dari cengkraman Inggris. Maka harapan

selanjutnya terdapat pada gerakan nasion-

alis di Ankara.

Berulang kali Said Nursi—yang saat itu

berada di Istambul—diundang oleh Majlis

Nasional untuk datang ke Ankara.

Akhirnya pada tanggal 9 November 1922,

delapan hari setelah Utsmani dibubarkan,

Said Nursi memberikan sambutannya di

hadapan Majlis Nasional di Ankara. Ia

memberikan selamat atas keberhasilan

mereka mengusir penjajah sekaligus

mengingatkan agar majlis tersebut bisa

membentuk undang-undang yang sesuai

dengan syariat Islam.

Bediuzzaman Said Nursi,

Mangrove di Tingginya Arus Pasang

Sekularisme Turki Oleh : Fahmi Hasan

Bersambung ke halaman 22

Page 17: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

16 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

"Jadi udah fix ini ya, kita akan mengada-kan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) untuk periode ini pada tanggal 24 Februari 2014"? Begitulah kira-kira pernyataan dari ketua panitia acara MU5CAB (Musyawarah Cabang ke-V) ketika memimpin rapat pani-tia di Markas Dakwah PCIM. MU5CAB dapat diartikan sebagai pesta warga Mu-hammadiyah di Mesir. Agenda utama MU5CAB adalah laporan pertanggung-jawaban pengurus PCIM masa bakti 2011-2013 yang dikomandoi oleh Ketua Umum Nuhdi Febriansyah, Lc.

Selain acara inti, ada beberapa acara tambahan yang diselengarakan guna me-meriahkan agenda MU5CAB kali ini. Dia-wali dengan Muhammadiyah Day pada tanggal 20 Desember 2014 untuk meng-genjot kesiapan fisik warga Muhammadi-yah dalam menjalani marathon rangkaian MU5CAB. Dilanjutkan dengan acara inter-nal kader bersama Asep Purnama Bahtiar, S.Ag., M.Si., Ketua Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiah sehari setelahnya. Kemudian Prof. Dr. Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah akan memberikan Training Kader Tarjih pada tanggal 22 Februari 2014. Menarik untuk ditunggu adalah kehadiran Prof. Dr. Muhammad Imarah, pemikir Islam Mesir yang tersohor dalam Dialog Umum tentang Masa Depan Gerakan Reformasi dan Pem-bangunan dalam Menghadapi Tantangan dan Persaingan pada tanggal 23 Februari. Rencananya beliau akan bersanding dengan Prof. Dr. Syamsul Anwar. Sebagai acara puncak adalah Laporan Pertanggungjawab sekaligus pemilihan nahkoda baru PCIM dan PCIA Mesir pada tanggal 24 Februari 2014.

Momen MU5CAB ini adalah momen yang sangat berharga. Selain kepemimpinan baru, hal ini juga bisa menyuntikkan se-mangat, strategi dan tentunya harapan baru. Harapan untuk menjadi lebih baik lagi, lagi, dan lagi.

Harapan. Hal sederhana yang banyak di butuhkan oleh banyak orang kapanpun di manapun. Manusia tanpa harapan, tak ada bedanya dengan jasad tanpa ruh. Oleh karena itu, untuk menjaga dan mebesarkan harapan ini, MU5CAB adalah sebuah mo-

men penentuan dimana harapan sebagai taruhan.

Segala hal yang dijalani PCIM dan PCIA selama satu periode ini akan di bahas di forum "pesta rakyat Muhammadiyah" ini. Kemudian sama-sama berusaha mene-mukan solusi yang terbaik. Filosofi untuk berfikir dan menuntaskan masalah secara bersama-sama inilah salah satu fungsi or-ganisasi. Bila setiap 2 orang mempunyai satu pound, lalu mereka saling bertukar, maka masing-masing dari mereka hanya akan pulang dengan tetap membawa satu pound. Tetapi jika masing masing orang mempunyai satu ide, dan saling bertukar, maka masing-masing mereka akan pulang membawa dua ide, tidak hanya satu. Melalui semangat inilah, panitia MU5CAB bertekad untuk mengumpulkan kembali seluruh warga dan simpatisan Muhammadiyah di Mesir, undangan yang akan di sebar untuk acara MU5CAB ini lebih dari 100 undan-gan! Kita lihat saja, ide apa nanti yang akan bisa muncul untuk PCIM kedepan.

Adalah hal yang biasa ketika kita berani menjadi penggerak suatu organisasi ketika organisasi itu mempunyai banyak anggota ataupun simpatisan yang militan, dana menyukupi, kru yang kompak dan hal-hal yang bagus lainnya. Tapi hanya orang-

orang luar biasa yang berani tetap ada, tetap loyal, tahan banting, ketika organisasi yang dulunya megah nan mewah di puja dan di puji banyak kalangan, mulai kehilan-gan banyak hal. Kehilangan kader dan ang-gota, sumberdana yang susah di cari, ke-kompakan yang makin merosot, dan lain sebagainya. Orang-orang yang berani ber-diri sampai akhir ini, tanpa menyerah, siap berkorban sampai "ajal" datang menjemput-nya itulah kader militan. Dan tentunya jika dia bisa mengangkat organisasinya ke dera-jat yang lebih tinggi lagi dari sebelumnya, dia berhak menyandang gelar sebagai pemimpin terbaik.

MU5CAB ini adalah program kerja tera-khir kepemimpinan sdr. Nuhdi Febriansyah. Meskipun begitu bukan berarti ini adalah yang terakhir untuk program kerja PCIM dan PCIA. Mari kita sukseskan bersama acara pesta rakyat ini. Untuk Muhammadi-yah yang lebih baik lagi. Untuk memberi-kan sumbangsih kepada Islam melalui Mu-hammadiyah.

Bravo Muhammadiyah. Bravo Indone-sia!

This Is Not The End,

This Is Just The Beginning

Oleh : Alda K. Yudha

Page 18: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

17 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

Oleh : Nafi’atush Sholihah

Mukadimah Dalam kitab Tâj al-‘Urûs, Fatwa secara

bahasa didefinisikan sebagai ‗jawaban atas hal meragukan yang Syariat Islam adalah syariat penyempurna syariat terdahulu. Allah mengutus Nabi Muhammad Saw. untuk mengomandoi penegakkan syariat di muka bumi. Nabi Muhammad Saw. adalah penutup para nabi sebelumnya. Inti ajaran tetap sama, pengesaan Allah Swt. Namun, dalam hal implementasi pengesaan tersebut, syariat yang dibawa Nabi Muhammad Saw. tidak selalu sama dengan syariat Nabi sebelumnya alias syar` man qablanâ. Namun, tidak sedikit pula yang beliau ajarkan. Apabila kita tengok kebelakang sebelum datangnya Islam, banyak ajaran para nabi terdahulu yang beliau ajarkan kepada umatnya. Seperti ajaran Nabi Daud mengenai puasa Daud, ajaran Nabi Ibrahim As. mengenai khitan, ataupun ibadah haji yang telah lama dikenal pada masa Nabi Adam As. Ajaran-ajaran tersebut di masa umat Muhammad Saw. sebagian masih kita terapkan, meskipun sekali lagi terdapat perbedaan di dalamnya.

―Apakah syariat sebelum kita, juga ter-masuk syariat bagi kita?‖ Berangkat dari pertanyaan inilah penulis ingin mencoba memaparkan dan membahas syar` man qoblanâ (selanjutnya disebut SMQ) dimulai dari definisi, macam-macam, dan kedudu-kan SMQ. Tidak ketinggalan syarat-syarat pengamalan SMQ.

Definisi Syar` man Qoblanâ Menurut Dr. Abdul Karim Zaidan

dalam kitabnya al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh mendefinisikan SMQ sebagai:

األحىب اتي ششػب اهلل تؼب سجمب األ

أزب ػ أجيبئ سس تجيغب ته األArtinya: ―Hukum-hukum yang disyari-

atkan oleh Allah Swt. kepada umat-umat sebelum kita, dan diturunkan kepada Nabi dan Rasul-Nya untuk menyampaikan kepada umatnya‖.

Adapun menurut Dr. Anwar Syu‘aib Abdus Salam dalam kitabnya Syar` man Qoblanâ mengatakan bahwasannya dalam kitab-kitab ulama mutaqaddimîn dan se-bagian muta‘akhirîn tidak didapatkan de-

finisi SMQ secara khusus, akan tetapi ketika membahas tema tersebut para ulama biasanya hanya mengemukan pengambilan hukum dari syariat sebelum Rasulullah kemudian memaparkan dalil yang menun-jukan pembolehannya ataupun sebaliknya. Namun sekarang ini sudah banyak kita temui ulama kontemporer yang secara khusus mendefinisikan SMQ. Mereka hanya berbeda lafadz dalam mendefinisi-kannya akan tetapi pada hakikatnya memiliki esensi yang sama.

Macam-macam dan Kedudukan SMQ

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwasanya Nabi Muhammad Saw. diutus menjadi Rasul ketika beliau berusia 40 ta-hun. Dari sini timbul sebuah pertanyaan apakah sebelum Nabi diutus menjadi beliau mengikuti syariat-syariat terdahulu? Se-hingga kita dapat menbagi pembahasan SMQ menjadi dua tahapan :

1. SMQ sebelum Rasulullah diutus Para ulama berbeda pendapat apakah

Rasulullah sebelum diutus menjadi Rasul beribadah dengan syariat sebelum kita? Terdapat tiga pendapat dalam permasala-han ini. Sebagian Malikiyah dan mayo-ritasm ulama kalam mengatakan bahwa Rasulullah tidak beribadah dengan syariat terdahulu. Adapun menurut Hanafiyah, Hanabilah, Ibnu Hajib, dan Imam Baid-howi, berpendapat bahwa Rasulullah beri-badah dengan syariat terdahulu ketika Ra-sulullah belum diutus menjadi Rasul. Ber-beda halnya dengan Imam Ghozali, Imam Amidi, dan Qodhi Abu Ja‘far mereka lebih memilih untuk abstain dalam permasalahan ini.

2. SMQ setelah Rasulullah diutus Dalam kitabnya Dr. Salim Binanshirah

mengatakan bahwa SMQ setelah di utus-nya Rasullah dapat diklasifikasikan menjadi dua macam. Pertama yaitu dalam masalah pokok-pokok agama (ushûluddîn). Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa syariat terdahulu tetap berlaku untuk umat Islam, karena dalam masalah aqidah antara keduanya sama yaitu perintah seruan untuk beriman kepada Allah Swt. dan mentauhid-kanNya. Sebagaimana firman Allah Swt.:

أ سسي إب ح إي ه لج سب ب أس

جذ ب فٱػ إب أ ب إـArtinya: ―Dan Kami tidak mengutus

seorang Rasulpun sebelum kamu me-lainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku". (Q.S. al-Anbiya‘: 25)

Kedua, dalam masalah cabang-cabang agama (furû`). Adapun dalam cabang-cabang agama ada empat gambaran :

a) Hukum-hukum syariat terdahulu yang tercantum dalam al-Quran maupun Sunah kemudian ada dalil yang menunju-kan bahwa hukum tersebut berlaku untuk umat Islam sebagiamana berlakunya juga untuk umat terdahulu, dan semua ulama sepakat akan hal itu. Namun keberlaku-kannya itu bukan karena kedudukannya sebagai syariat sebelum Islam tetapi karena ditetapkan oleh al-Quran ataupun Sunah. Salah satu contohnya adalah difardlu-kannya puasa.

b) Hukum-hukum syariat terdahulu yang ditetapkan dalam al-Quran atau Su-nah akan tetapi muncul dalil yang menun-jukan bahwa hukum tersebut sudah di-hapus dan hanya berlaku bagi umat terda-hulu. Salah satu contonhya adalah orang yang berdosa tidak akan terhapus dosanya kecuali ditebus dengan nyawanya yaitu syariat yang belaku ketika zaman Nabi Musa.

c) Hukum-hukum syariat terdahulu yang memang tidak tercantum dalam al-Quran maupun Sunah. Dalam tulisan Dr. Salim Binanshirah yang berjudul Hal Syar`u man Qablana Syar‘un Lanâ mena-makannya dengan cerita israiliyat yaitu syariat yang tidak ada dalam Islam dan juga tidak terdapat dalam kitab terdahulu. Adapun dalam penghukumannya para ulama tawaquf (tidak membenarkan dan tidak mengingkari).

d) Hukum-hukum syariat terdahulu yang diceritakan dalam al-Quran atau Su-nah akan tetapi tidak ada dalil yang secara jelas menunjukan keberlakuannya ataupun pembatalannya. Salah satu contohnya adalah tentang hukum kisas, karena kisas telah disyariatkan ketika zaman Nabi Musa, sebagaimana dikisahkan dalam al-

KEABSAHANSYAR’ MAN QOBLANÂ

DALAM PENGAMALAN HUKUM SYAR’I

Page 19: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

18 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

Quran. ٱؼي س س ثٱف ٱف ب أ في ب ػي وتج

ٱس ثٱأر ٱأر ٱأف ثٱأف ثٱؼي

ٱجشح لصبص فبسح ثٱس ف تصذق ث ف

ـه فأ ب أزي ٱ ث يح

ٱظـArtinya: ―Dan Kami telah tetapkan

terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barang-siapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) pene-bus dosa baginya. Barangsiapa tidak memu-tuskan perkara menurut apa yang ditu-runkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim‖. (Q.S. al-Maidah: 45)

Dari sekian banyak bentuk kisas dalam ayat tersebut yang ada ketegasan berla-kunya bagi umat Islam hanyalah kisas karena pembunuhan seperti yang di jelas-kan dalam surah al-Baqarah ayat 178:

ٱمصبص ف ى ا وتت ػي ءا ب ٱزي يـأي

ٱأث ثٱأث ٱمت ذ ذ ثٱؼج ٱؼج ٱحش ثٱحش

ء أدا شف ؼ شء فٱتجبع ثٱ أخي ػف ف

سـ ثإح خ إي سح سثى فيف تذ ره تخ ٱػ ف

ػزاة أي ذ ره ف ثؼArtinya: ―Wahai orang-orang yang

beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang di bunuh. Orang merdeka den-gan orang merdeka, hambasahaya dengan hambasahaya, perempuan dengan perem-puan. Akan tetapi barang siapa mem-peroleh maaf dari saudaranya, hendaklah diamengikutinya dengan baik, da nmem-bayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah ker-inganan dan rahmat dari tuhanmu.Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih‖.

(Q.S. al-Baqarah: 178) Bentuk kisas lainnya yang disebutkan

dalam surat al-Maidah: 45 di atas di perselisihkan dikalangan ulama fikih.

Menurut jumhur Hanafiyah, Malikiyah, sebagian dari kalangan Syafiiyah dan Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu ri-wayatnya, hukumnya tetap berlaku bagi umat Islam, diantara alasan mereka adalah :

• Pada dasarnya syariat yang ditu-runkan Allah Swt. tetap berlaku selama tidak ada dalil yang menunjukan penghapusannya. Sebagaimana firman Al-lah Swt.:

ذ ٱ ـه ٱزي تذ أ ٱل ذ ل ب فج

شا أج ـى ػي أس ي ش ؼـ إب رو إ Artinya: ―Mereka Itulah orang-orang

yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka. Kata-kanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (al-Quran)." al-Quran itu tidak lain hanyalah

peringatan untuk seluruh ummat‖. (Q.S. al-An‘am: 90)

• Selain itu, terdapat juga beberapa ayat yang memerintahkan untuk mengikuti para Nabi terdahulu. Salah satunya firman Allah Swt.:

يضيك ( ٢١)لبي سة إ أخبف أ يىزث

س إ ـش ب يطك سب فأس س صذArtinya: ― Dia telah mensyariatkan bagi

kamu tentang agama apa yang telah di-wasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah ten-tangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan mem-beri petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)‖. (QS. al-Syura‘: 13)

Sedangkan, menurut madzhab Asyairah, Muktazilah, Syiah, sebagian lain Syafiiyah dan Imam Ahmad bin Hanbal dalam riwayat yang lain, bahwa hukum-hukum tersebut bukan termasuk syariat kita. Diantara alasan mereka adalah :

a) Hadis Rasulullah yang sangat masyhur yaitu ketika Muadz bin Jabal diu-tus untuk menjadi hakim di Yaman, Rasu-lullah bertanya bagaimana Muadz dalam memutuskan sebuah hukum, Muadz men-jawab dengan al-Quran, kemudian jika ti-dak di dapatkan dalam al-Quran, baru den-gan Sunah jika tidak ditemukan dalam Su-nah kemudian dengan ijtihad, Rasulullah membenarkan hal itu dan disana tidak ter-dapat petunjuk untuk merujuk kepada syariat nabi-nabi terdahulu. Seandainya syariat nabi-nabi terdahulu digunakan, maka tentunya Rasulullah akan memberi petunjuk untuk itu.

b) Firman Allah Swt.:

يذي ب ثي صذلب ه ٱىتـت ثٱحك أزب إي

ب ػي ي تـت ٱ ب أزي ٱ ث ثي فٱح

ٱحك ءن ب جب ء ػ ا ى ب تتجغ أ جؼب ى

بجب ػخ حذح ـى شش خ أ جؼ ء ٱ شب

ى ب ءات و ف شد يج تجما ٱخي فٱس إ ٱ

تف تخ ب وت في يؼب فيجئى ث ج جؼ شArtinya: ―Dan Kami telah turunkan

kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebe-lumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang ditu-runkan sebelumnya) dan batu ujian terha-dap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka pu-tuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan men-inggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, nis-caya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terha-dap pemberian-Nya kepadamu, Maka ber-

lomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu‖. (Q.S. al-Maidah: 48)

Ayat tersebut menunjukan bahwa setiap umat itu mempunyai syariat tersendiri, itu berarti syariat Nabi terda-hulu tidak berlaku lagi untuk umat Mu-hammad Saw..

Dalam masalah ini Dr. Abdul Wahab Khalaf dalam kitabnya Ilmu Ushûl Fiqh mengatakan bahwa yang terkuat dari kedua pendapat ini adalah pendapat pertama. Ala-sanya, bahwa syariat Islam hanya mem-batalkan hukum yang kebetulan yang bertentangan dengan syariat Islam. Oleh karena itu, segala hukum-hukum syariat terdahulu yang dikisahkan dalam al-Quran tanpa ada ketegasan bahwa hukum itu telah dihapus, maka hukum-hukum tersebut tetap berlaku bagi umat Nabi Muhammad Saw. Di samping itu, disebutnya hukum tersebut dalam al-Quran yang merupakan petunjuk bagi umat Islam, menunjukan berlakunya bagi umat Muhammad Saw..

Syarat-syarat Pengamalan SMQ Menurut Malikiyah SMQ dapat dit-

erapkan apabila terpenuhi beberapa syarat, sebagai berikut :

1. Apabila hukum syariat tersebut ter-dapat di dalam al-Quran maupun Sunah. Maka, SMQ merupakan hukum-hukum syariat yang ditetapkan dalam syariat para Nabi dan Rasul terdahulu, dan dikabarkan melalui al-Quran dan Sunah serta tidak terdapat nasikh (penghapus) dari syariat Islam.

2. SMQ tidak merupakan hal yang sudah mansûkh. Sehingga hukum-hukum syariat terdahulu tidak diamalkan apabila telah dinasikh dalam al-Quran dan Sunah.

3. Tidak boleh bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.

Kesimpulan Dari pembahasan di atas dapat kita

simpulkan terlepas dari perbedaan para ulama bahwa meskipun SMQ adalah syariat Allah Swt. yang diturunkan kepada para Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. se-lama al-Quran dan Sunah menetapkan syariat terseut, maka keabsahan SMQ tetap berlaku. Adapun ruang lingkup pemba-hasan SMQ lebih sempit dibandingkan dengan sumber hukum lainnya, karena SMQ bersifat statis yang permasalahan-permasalahan di dalamnya tidak berkem-bang.

Page 20: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

19 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

A ku berlari dengan kecepatan

tinggi. Menyalip beberapa

pengendara motor yang

lambat. Melampaui mobil

yang merayap di tengah kemacetan. Di

antara para pengemudi yang mengucap

sumpah serapah, di antara pejalan kaki

yang melihatku terheran-heran, mata men-

delik dengan mulut menggumam, seorang

pengemis tersenyum, ia duduk di serambi

toko emas yang dijaga ketat dua polisi pe-

malas mata duitan. Seekor kuda yang

menarik pedati hasil panen ladang meli-

hatku, lantas meringkik hebat, mengacau-

kan kusir yang mengatur jalannya. Aku tak

peduli. Benar-benar tak peduli. Sumpah,

aku takkan peduli mereka. Bagaimana aku

akan peduli mereka, jika mereka tak

sedikitpun peduli denganku? Takkan per-

nah! Aku merutuk dalam lari, memaksa

kakiku yang perih untuk segera cepat sam-

pai tujuan. Aku menambah kecepatanku

berlipat-lipat. Seluruh ingatan itu me-

menuhi kepalaku. Mataku basah, airnya

menetes di jalan yang penuh debu, sebagian

menyatu dengan angin, bercampur debu

lalu lintas yang menyebalkan.

***

Hari ini, perempuan tua berkerudung itu

menatap jendela dengan sayu, menatap

hamparan luas sawah di depan matanya

yang cekung dan wajahnya yang kian keri-

put. Bibirnya tersenyum saat memandang

seorang bocah laki-laki bersama ibunya

yang mengenakan caping di seberang sun-

gai sana, ia ceria mencari keong, ketika

ditanya, katanya ―Ini buat bebek dan angsa

di rumah nek, supaya mereka sehat-sehat

kayak unyil ‖ ia tertawa, menunjukkan

plastik kresek hitam berair yang menetes,

separuhnya terisi keong. Perempuan tua itu

kian hanyut dalam ingatan masa lalunya.

Senandung hatinya bertalu-talu, menambah

suasana senja yang kian syahdu. Tak sadar

ia, air matanya meleleh, melelehkan semua

memori itu dengan jelas, gamblang, tanpa

tedeng aling-aling.

Dulu, setiap pagi dan sore, ia bersama

lima anaknya selalu berkubang lumpur di

depan rumah joglo ini, sebelum mereka

berangkat dan setelah pulang sekolah. Jika

subuh ia meneriaki mereka supaya segera

bangun lantas berangkat ke surau, sepu-

lang dari sana, ia biasa berkutat di dapur

sejenak, menyiapkan makanan ala kadar

untuk anak-anak tercintanya, setelah itu ke

sawah, mengajak anak-anaknya ke kuban-

gan lumpur, mengajarkan berbagai filosofi

kehidupan dengan bahasa mereka, seka-

lipun Fuad, anak yang paling sulung bi-

asanya tak menghiraukan, jengah menden-

gar bualan ibunya setiap saat. Hanya saja di

keluarga ini, Allah masih meletakkan hu-

kum keseimbangan, Agus, anak yang pal-

ing bungsu menjadi pemerhati yang paling

setia di antara semua anaknya. Sedang

Karsinah, anak keduanya sering mengin-

gatkan kakaknya untuk tak terlalu berlebi-

han menyangkal nasihat-nasihat emak,

anak ketiga dan keempat, Rasta, Rista, si

kembar yang selalu sibuk bermain tanah

ketika emak memberi mereka petuah. Usia

mereka berjarak setahun, kecuali si kembar,

hanya berjarak 3 jam saja.

Selepas rutinitas sekolah, emak mengin-

gatkan putra-putrinya untuk segera ganti

baju dan mengerjakan tugas sekolah, seka-

lipun si sulung pasti kabur bermain-main di

luar sana, dan pasti pula ketika pulang

emaknya mengomel. Dan yang semacam

ini sudah biasa mereka dengarkan tiap hari,

tiap bulan, tiap tahun, hingga mereka se-

mua beranjak dewasa, meninggalkan lum-

pur-lumpur coklat sawah, meninggalkan

hijaunya padi di masa-masa tanam serta

kuningnya padi ketika mendekati panen,

meninggalkan kicauan burung serta lengu-

han kerbau yang membajak sawah.

Kepolosan wajah anak-anaknya ketika

masa itu, keceriaan mereka ketika ia mema-

sakkan sayur terong ditambah bonus ikan

lele dari kolam pak Haji Mukhtar, tetangga

sebelah mereka, kenakalan yang kadang

membuatnya terpaksa mengambil sapu,

memukul si sulung dengan penuh kasih

sayang seorang ibu yang tak ingin

putranya menjadi tak baik, kedewasaan

mereka yang meningkat dari waktu ke

waktu, tahun ke tahun, prestasi mereka

yang membuatnya tersenyum bangga

ketika dipanggil kepala sekolah menden-

garkan pujian istimewa atas hasil nilai dan

karya anak-anaknya, serta tak jarang ia

dipanggil pula untuk menyampaikan tegu-

ran buat anak sulung yang selalu membuat

onar di sekolah, sejak SD hingga SMA.

Bahkan kenangan itu kembali dengan

kuat. Memenuhi langit-langit rumahnya

yang kian renta, serenta dirinya.

Saat suatu malam, ketika seluruh putra-

putrinya terlelap tidur, Karsinah yang ma-

sih mengerjakan tugas SMPnya tiba-tiba

bertanya,

―Mak, bapak ke mana, kok kerja bisa

selama ini? Memangnya sekarang bapak

kerja di mana? Bukannya biasanya bapak

pulang sebulan sekali, ini kok sampai Joko

lulus SD bapak belum pulang ya?‖ Ucap si

Karsinah. Kecemasan jelas terpancar dari

raut mukanya. Menarik kebaya emak.

Emak tersenyum sedih, matanya men-

yembunyikan kegundahan teramat dalam,

melihat wajah putrinya satu ini, ia tak tahu

akan menjawab apa, ia juga tak tahu di

mana suami tercintanya berada sekarang,

terakhir kali, setahun yang lalu, ia melepas

kepergiannya dengan berat, entah firasat

apa yang berkelebat di benaknya waktu itu.

Hingga saat ini suaminya tetap saja belum

kembali.

―Bapak masih kerja nak, nanti, kalau

waktunya sudah tiba, insyaAllah bapakmu

akan segera kembali kok, kalian belajar saja

yang benar. Semoga emak masih sanggup

membiayai kalian sekolah‖ Walau emak

tahu, sulit benar rasanya bekerja memper-

tahankan kehidupan mereka berjalan baik.

Bagaimana tidak, sekarang saja untuk men-

ghidupi anak-anak rasanya sudah lelah tak

terhingga? Tulang-tulang sudah dibanting

ke sana-kemari tetap saja seperti ini ke-

hidupan mereka. Untungnya, Allah masih

memberi kesabaran pada emak. Kesabaran

untuk taat pada perintahNya, sehingga tak

ada sebersitpun di benak emak cara yang

haram ketika mencari rizki.

Lelaki yang Tersadar Oleh: Syafiqul Lathif

Page 21: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

20 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

Dan malam itu hanya menjadi malam biasa, seperti malam-

malam setelahnya. Kesibukannya serta anak-anaknya yang men-

jadikan ia tak terlampau larut dalam kesedihan. Begitu seterusnya,

hingga anak-anaknya takkan bertanya apa-apa tentang ayah

mereka setelah malam itu. Semua carut marut kehidupan mende-

wasakan mereka, kebaikan dan kejahatan silih berganti, siang ma-

lam menjadi saksi semuanya. Dan angin mendesau, semakin

panas, semakin tahun.

***

Perempuan tua berkerudung itu masih tak beranjak dari

jendela yang lebih tua dari usianya, masih menatap hamparan sa-

wah yang dipenuhi kunang-kunang. Indah bertebaran menen-

tramkan hati. Di tengah sawah sana, Nampak cahaya lampu teplok

di gubuk tengah sawah, terdengar sayup-sayup cengkerama pe-

muda tani di sana. Tak juga mengubah perasaan perempuan tua

ini, bahkan semakin membuatnya tersedu, mulutnya berdzikir,

mengadu pada Allah atas semua keindahan dan kepiluan ini. Kini,

anak-anaknya telah lama meninggalkannya, setidaknya ini men-

jadi sebuah kata yang lebih halus daripada melupakannya. Selepas

anak-anaknya lulus SMA lalu merantau ke kota untuk mengadu

nasib, kabar mereka tak pernah terdengar hingga saat ini, mereka

seakan-akan ditelan bumi atau terbang ke langit, atau ke dunia

antah berantah. Rindu itu, yang semenjak sore hingga malam se-

makin menusuk hati

***

Takkan pernah kulupakan semua itu. Kebodohanku selama ini.

Kemarin lusa, aku menelepon Karsinah, memastikannya bisa hadir

di rumah emak, setidaknya menengok emak kali ini, aku juga su-

dah menelepon Rasta dan Rista supaya menunda dulu proyek

mereka, sempatkan sehari saja ke rumah emak, aku juga sudah

mengirim email kepada si bungsu Agus, untuk segera pulang ke

rumah, emak sudah menunggu mereka.

―Apa kabar kalian? Ini aku, Fuad, pulanglah! Aku merasa emak

sudah menunggu kalian, tinggalkanlah sebentar saja urusan

kalian. Aku merasa, ada sesuatu yang penting yang akan disam-

paikan emak pada kalian kali ini‖ aku menghubungi mereka tempo

hari

―Baik mas, Maaf, suamiku sedang sakit di rumah, anak-anakku

juga belum liburan sekolah‖ ucap Karsinah di seberang telepon

―Eh, mas Fuad, sampaikan salam kami saja ya buat emak, nang-

gung nih proyeknya hampir selesai, kami khawatir nanti proyek

kami direbut perusahaan yang lebih hebat‖ jawab Rista dan Rasta

semakin menjengkelkan.

Lalu kubuka email balasan dari Agus, ― Iya mas, saya akan

segera berangkat sore nanti‖ Kupikir hanya inilah jawaban yang

melegakan di antara mereka semua.

Bayangan-bayangan hitam putih, abu-abu berpilin di benakku,

menjadikanku semakin pening. Di antara semua saudaraku, seper-

tinya memang benar apa yang sering digunjingkan orang-orang

sekitarku, bahwa aku yang paling miskin di antara semuanya. Aku

bahkan tak punya kendaraan apapun selain sepeda tua yang sudah

reot. Rumahku kecil dengan satu kamar tidur, dapur dan satu

kamar mandi, setiap hari hasil kerjaku hanya bisa memenuhi kebu-

tuhan pribadiku. Itupun kadang sampai aku harus puasa. Bahkan

sampai sekarang saja tak ada wanita yang mau menjadi istriku.

Bagaimana bisa hidup jika miskin seperti ini? katanya.

Tapi, aku merasa, kali ini aku harus menjadi kakak bagi mereka

semua. Dari dulu aku tidak peduli dengan urusan mereka, apalagi

dengan pendidikan mereka, pendidikanku saja kocar-kacir tidak

jelas juntrungnya. Aku bahkan dijuluki preman oleh orang-orang

di sekitar aku tinggal, padahal bagaimana mungkin aku preman,

sedangkan aku saja tidak pernah meminta uang dari mereka, men-

gancam mereka bahkan tak pernah kulakukan walau sekali. Hanya

satu kemungkinannya, aku sadar penampilanku cenderung liar,

hidupku kelihatan tidak karuan oleh mereka dan aku juga belum

punya pekerjaan tetap. Dan setiap hari, setiap bulan, setiap tahun,

tak ada yang pernah memedulikanku, semuanya egois dengan

adanya aku di sini. Maka, jangan harap jika mereka meminta per-

tolongan kepadaku akan kutolong mereka, jangan pernah!

Aku harus semakin cepat. Angin malam sudah terasa menusuk

tulang, musim dingin seperti ini terasa menyebalkan bagi se-

bagian orang, termasuk aku. Pohon-pohon pinggir jalan terlihat

menantangku berduel. Pembatas jalan yang hitam putih berubah

menjadi arena lariku. Jalanan aspal yang kian menghilang menjadi

pertanda bahwa tempat yang kutuju semakin dekat. Telah lima

jam aku berlari dan hingga kini belum juga tiba. Sial, gara-gara

sepedaku rusak jadi aku harus berlari seperti ini. Rahangku

mengeras. Gigiku menggeretak perih, berdarah. Tanganku meng-

genggam kuat. Mencengkeram angin.

―Ya Allah, semoga waktuku belum habis, aku ingin mengucap

maaf . . ―

Tiba di persimpangan jalan, aku melihat hamparan hijau sawah

bercampur hitamnya malam, berpadu dengan gemerlap indah

kunang-kunang. Benakku semakin keruh. Semua bayangan inga-

tan itu mendesak ingin melompat dari kepalaku. Mataku semakin

perih. Aku semakin menambah kecepatanku. Tak peduli bahwa

nafasku semakin tersengal. Tak peduli jemari kakiku berdarah-

darah oleh kerikil jalan. Tak peduli betisku jika pecah.

Aku tergagap di ujung jalan, melihat warna kuning di seberang

sawah, di dekat gubuk itu, gubuk yang dulu sering kugunakan

tidur ketika dimarahi emak gara-gara terlambat shalat, di sanalah

dulu aku sering menyendiri ketika dipukul emak gara-gara men-

curi mangga tetangga sebelah, walaupun besok-besoknya juga

kuulangi lagi, di sanalah aku menggaris khayalanku ketika bolos

sekolah. Aku menangis terisak. Di depan sana, itu bukan lampu,

itu juga bukan perayaan pesta kampung. Tak salah lagi. Aku

tersedak, menelan ludah.

―Semoga tidak‖ aku membatin jerih.

Tak jauh dari sana, aku melihat seorang lelaki kebingungan

membawa ember, mengambil air di sungai, di belakangnya berdu-

yun-duyun sekitar lima puluhan pemuda dan lelaki setengah baya

yang mengambil air di sungai pula. Aku kian cemas. Mung-

kinkah?

Hingga aku bertabrakan dengan lelaki pertama yang kebin-

gungan tadi. Aku menatap wajahnya. Wajah yang sembab dan

pilu. Ia memelukku.

―Mas, emak sudah pergi . .‖ Suaranya menggantung di

udara, tercekat.

Page 22: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

21 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

Lidahku teramat kelu. Tak sanggup berkata apapun. Tiba-tiba

aku seperti orang yang bisu. Telingaku mendesing. Aku peluk

lelaki itu semakin erat.

―Agus, maafkan mas ya . . ‖ Ucapku pilu

Ia mengangguk pelan, membuyarkan lamunanku. Kebakaran!

Bagaimana bisa kebakaran ini terjadi? Mungkinkah ada orang

yang sengaja membakar rumahku, rumah masa kecilku? Mung-

kinkah semenjak kami merantau ada orang yang dengki kepada

emak? Aku tak habis pikir. Aku bangkit. Lalu mengambil ember

yang tergeletak, berlari menuju sungai, menyatu dengan warga

kampung yang terburu-buru memadamkan api.

***

Api itu padam, semuanya padam. Harapanku, rinduku, kesala-

hanku, dosaku. Pikiranku benar-benar gelap. Tak terperi. Semua

orang sudah kembali ke rumahnya, setelah memberi petuah

seadanya.

Aku duduk tertunduk, meluruskan kakiku yang mengeras,

panas. Tak jelas apa yang kurasakan, kehilangkan dan masa lalu

berpilin tiada henti. Carut marut memenuhi sekujur tubuhku. Da-

rahku terasa seakan berhenti.

Joko menepuk bahuku.

―Sabar mas, semuanya sudah ada yang mengatur‖ Ucapnya

lembut di telingaku.

Tak mengurangi gejolak yang semakin membumbung tinggi.

Mataku sakit. Wajahku dan bajuku penuh bau asap. Aku menera-

wang jauh, tanpa batas. Joko merangkulku, berusaha menularkan

ketenangan.

Tiba-tiba,

―Fuad, Joko, terimakasih kalian sudah datang kemari‖ terden-

gar suara serak dari belakang, aku mengenalnya, benar-benar

mengenalnya. Takkan pernah akan kulupakan.

Sepersekian detik, kami menoleh terkejut ke belakang.

―E-m-a-k?‖ teriak kami berbarengan.

Tiba-tiba emak memeluk kami. Erat sekali.

―Kalian ke mana saja selama ini hah? Apa kalian sudah benci

masakan terong emak?‖ Ucapnya tersenyum keibuan, air matanya

menetes. Terasa di tanganku. Hangat. Sehangat perjumpaan kali

ini, setelah-berpuluh-puluh tahun menyimpan rindu, memendam

dosa.

Aku belum ingin bicara. Hanya ingin semakin erat memeluk

emak yang semakin tua. Lupa bertanya mengapa emak bisa se-

lamat dari kobaran api. Lupa bertanya mengapa bisa terjadi ke-

bakaran. Lupa, bahwa apakah di depan ini emaknya asli atau jel-

maan malaikat. Lupa segalanya. Takkan pernah ada kalimat yang

sanggup menjelaskan peristiwa ini sampai kapanpun. Tak akan

ada.

Page 23: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

22 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

Kedekatan Nursi dengan parlemen bukan kali pertamanya.

Sebelumnya saat pembentukan parlemen ke dua tahun 1908 di

bawah Sultan Abdul Hamid II, Nursi pun mendekati parlemen

dengan tujuan yang sama, yaitu agar parlemen membentuk un-

dang-undang yang sesuai dengan syariat Islam, memasukkan

syariat Islam ke dalam undang-undang negara.

Di dua kesempatan tersebut (1908 dan 1922), Nursi terjun

langsung ke dalam politik. Ia sering menulis di berbagai media

dan berpidato memperingatkan parlemen untuk menegakkan

syariat Islam melalui undang-undang yang mereka buat. Karena

ia menilai bahwa perubahan tidak lagi bisa diusahakan oleh per-

sonal seorang pemimpin, namun perubahan akan tercapai jika

perubahan dilakukan oleh sebuah komunitas. Dan komunitas

yang memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap negara tidak

lain adalah parlemen.

Namun kelak diketahui bahwa usaha memasukkan Islam ke

dalam parlemen yang ia lakukan pada dua kesempatan tersebut

mengalami kegagalan.

Sekularisasi Turki Era Mustafa Kemal

Kemenangan gerakan nasional dari Inggris memunculkan per-

bedaan-perbedaan yang selama ini tidak terlihat di dalam tubuh

mereka. Kaum sekular semakin mendominasi dan menggeser pen-

garuh kaum Islamis di parlemen.

Perubahan yang dilakukan oleh Mustafa Kemal pun lebih ke

arah westernisasi, yaitu mengadopsi segala hal yang ada di Eropa

untuk diterapkan di Turki. Tidak hanya sistem pemerintahan dan

undang-undang yang ia adopsi dari Eropa, namun juga sekular-

isme ala Eropa ia terapkan di Turki.

Usaha Said Nursi untuk menegakkan Syariat Islam melalui

parlemen (1922) mendapatkan perlawanan dari Mustafa Kemal.

Setelah melihat kesempatan baginya untuk terus mendakwahkan

Islam di parlemen semakin kecil, akhirnya Nursi meninggalkan

Ankara dengan segala hiruk pikuk politik yang sedang bergejolak

saat itu.

Kepergian Said Nursi dari Ankara menjadikan Mustafa Kemal

semakin bebas. Lembaga-lembaga keagamaan dibubarkan, un-

dang-undang perdata dan pidana diadopsi dari Swiss dan Italia,

undang-undang yang menyatakan bahwa Islam adalah agama

negara dicabut, hingga undang-undang huruf latin Turki pun

disahkan dan penggunaan huruf arab dilarang.

Tidak sampai di situ, Partai Rakyat Republik yang merupakan

partai Mustafa Kemal digabungkan dengan negara sehingga

memiliki kekuasaan penuh atas negara pada tahun 1931. Ia mem-

bungkam seluruh kekuatan oposisi hingga Turki menjadi negara

berpartai tunggal. Turki telah dimonopoli secara keseluruhan

oleh Mustafa Kemal. Turki pun semakin jauh ke dalam jurang

sekularisasi ala Kemal.

Said Nursi di Pengasingan

Sekularisasi yang dilakukan oleh Mustafa Kemal menjadikan

masyarakat khususnya suku Kurdi di Anatolia Timur yang kental

dengan agama Islam ingin memberontak dan memerdekakan diri

dari pemerintahan. Mendengar hal itu Said Nursi menentang den-

gan keras pemberontakan tersebut. Ia melakukan segala cara un-

tuk menahan terjadinya pemberontakan.

Ia menilai bahwa pemberontakan yang dilakukan hanya akan

melecutkan perang saudara sesama bangsa Turki. Penolakan ter-

hadap pemberontakan itu tidak berarti Said Nursi masih menyim-

pan dukungan bagi pemerintahan, Ia hanya tidak ingin terjadi

jatuhnya korban dari dua belah pihak.

Namun ternyata pemberontakan meletus juga dan mampu dib-

erantas oleh pemerintah dalam waktu dua bulan. Pemberontakan

ini akhirnya menjadi dalih penangkapan yang dilakukan oleh pe-

merintah terhadap banyak ulama dan aktifis, termasuk di dalam-

nya Said Nursi yang sebenarnya sama sekali tidak terlibat.

Sambungan dari halaman 9

ongkos naik haji itu diprioritaskan untuk kepentingan membantu saudara-saudara muslim yang tengah berjihad di Bosnia, Palestina dan negara lain, atau disumbangkan kepada lembaga-lembaga dak-wah untuk melawan gelombang arus kristenisasi di negara-negara berkembang, yang tentu maslahatnya jauh lebih besar bagi Islam.

Kesimpulan Fikih prioritas yang secara substansial telah ada sejak zaman

Nabi Saw., dan juga kitab para ulama klasik, yang kemudian diper-baharui menjadi sebuah kajian tersendiri dalam fikih oleh syaikh Yusuf al-Qaradhawy, urgensinya sangat mendesak bagi masyara-kat di masa kontemporer ini. Sebab dengannya, umat Islam akan mampu membuat skala prioritas sebelum melangkah mengerjakan sesuatu berdasarkan semangat al-Quran dan Sunnah serta pema-haman ulama. Allah ta‘ala berfirman, ―dan Allah telah meninggi-kan langit, dan Dia (Allah) meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegak-kanlah timbangan itu dengan adil, dan janganlah kamu mengu-rangi neraca itu‖. Q.S. al-Rahman : 7-9.

Sambungan dari halaman 15

Page 24: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

23 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

Sejak saat itu (1925) dimulailah masa pengasingan dan penjara

bagi Said Nursi hingga akhirnya ia dibebaskan pada tahun 1950

saat pergantian kekuasaan di pemerintah. Ia diasingkan dari satu

tempat ke tempat lain yang terletak di Anatolia Barat. Selama

masa penjara dan pengasingan itulah, proses penulisan Risalah

Nur berjalan.

Risalah Nur, Penyebaran dan Pengaruhnya

Suatu saat, ketika Said Nursi masih remaja, tersebarlah sebuah

berita di surat kabar Inggris tentang pernyataan seorang

Menteri Koloni Inggris di hadapan para anggota Dewan Parle-

men Inggris. Menteri itu menyatakan, ―Selama al-Quran masih

berada di tangan kaum muslimin, maka kita tidak bakal mampu

menguasai mereka. Tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali

menghapusnya dari wujud atau memutuskan hubungan antara al

-Quran dan umat Islam.‖

Pernyataan ini menjadikannya bertekad untuk menyampaikan

al-Quran kepada masyarakat dan melawan segala macam usaha

yang dilakukan untuk menjauhkan umat Islam dari al-Quran.

Maka, setelah usaha yang ia lakukan melalui parlemen tidak

membuahkan hasil, ia pun memulai mencurahkan hari-harinya

untuk menuliskan Risalah Nur selama dalam pengasingan.

Ia terkadang menulis sendiri Risalah Nur, terkadang juga ia

mendiktekan kepada salah satu muridnya. Di bawah pengawasan

dan penekanan yang sangat ketat dari pemerintah saat itu, lem-

baran-lembaran Risalah Nur disalin oleh murid-muridnya untuk

kemudian disebarkan secara sembunyi-sembunyi, dan kemudian

salinan itu kembali disalin dan disebarkan. Begitulah proses pe-

nulisan dan penyebarannya hingga tulisan-tulisan Risalah Nur

menyebar di berbagai daerah di Anatolia Timur.

Berulang kali pemerintah melakukan penangkapan, penggele-

dahan, dan penyitaan terhadap tulisan-tulisan Risalah Nur. Siapa

yang kedapatan menyimpan salinan Risalah Nur bisa mendekam

di penjara untuk waktu yang lama. Said Nursi pun tak luput dari

penangkapan dan dimasukkan ke dalam penjara, bahkan ia pun

berulang kali diracun oleh pihak yang memusuhinya.

Namun keberadaannya di penjara tidak lantas membuatnya

berhenti menulis. Kisah yang lebih mendetail tentang proses

penulisan dan penyebaran Risalah Nur ini bisa dilihat di sebuah

film yang berjudul Hur Adam, yang menceritakan tentang per-

jalanan hidup Said Nursi, khususnya ketika masa-masa penulisan

dan penyebaran Risalah Nur.

Risalah Nur mampu mempertahankan syariat Islam di Turki

saat sekularisasi yang dilakukan oleh pemerintah Turki pada

tahun 1925-1950. Gaya tulisan, permisalan yang lebih dekat

serta penjelasan tentang ayat-ayat al-Quran dengan bahasa yang

mudah difahami menjadikan Risalah Nur mampu dibaca oleh

masyarakat dari semua kalangan. Hal itu juga yang membuat

Risalah Nur mendapatkan sambutan yang luar biasa dari

masyarakat.

Setelah dinyatakan bebas dari segala tuduhan pada tahun

1956, penyebaran Risalah Nur semakin meluas hingga mencapai

berbagai penjuru dunia dan diterjemahkan ke banyak bahasa

dunia hingga hari ini. Kemajuan dan kebangkitan Islam yang

dialami Turki saat ini pun tidak bisa dilepaskan dari peran Said

Nursi yang telah membina mental dan spiritual rakyat Turki

meski berada di bawah sistem sekular selama puluhan tahun.

Semoga Bermanfaat.

Page 25: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

24 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

Dr. Sa‘duddin al-Hilaliy dalam kitabnya yang berjudul al-Tsalâtsûnât fi’l Qadhâyâ al-Fiqhiyyah al-Mu’âshirah mengatakan bahwa permasalahan pemimpin non-muslim di negara Islam ini dimulai sejak revolusi 23 Juli tahun 1952 sebagai akibat dari penghapusan sistem kerajaan dan dimulainya sistem republik dalam penerapan sistem demokrasi. Sistem demokrasi ini membo-lehkan seluruh warga negara untuk ikut serta dalam kepenguru-san kenegaraan tanpa memandang jenis ataupun agama.

Kesepakatan ulama Dalam kitabnya beliau menjelaskan bahwa dalam perkara al-

Imâmah al-‘Uzhmâ (pemimpin yang mempunyai tugas keagamaan seperti imam salat, pemimpin haji, dan aplikasi dari hasil ijtihad dalam agama. Para ulama bersepakat bahwa hal ini adalah perkara agama dan tidak boleh di pimpin oleh non-muslim, hal ini juga di kenal dengan nama wilâyatul faqîh.

Perbedaan ulama Dibagi dalam 2 hal, yaitu perkara non-muslim menjabat seba-

gai menteri, komandan tentara atau jabatan-jabatan di bawah pre-siden. Dan yang kedua adalah perbedaan ulama dalam hal non-muslim menjabat sebagai presiden.

Terdapat perbedaan pendapat tentang kebolehan non-muslim menjabat menjadi menteri, komandan tentara atau jabatan-jabatan di bawah presiden. Akan tetapi menurut beliau, madzhab yang kuat adalah boleh, dengan syarat yang terpilih adalah ahli dalam bidangnya. Salah satu dalilnya adalah Rasulullah Saw. meminta bantuan Shafwan bin Umayyah, kaum Yahudi dari Bani Qainuqa‘ dan beberapa orang Musyrik pada perang Hunain dengan menja-jikan mereka harta rampasan perang.

Selanjutnya, bagaimana hukum memilih non-muslim menjadi presiden di negara Islam? Disini beliau mengatakan bahwa mayo-ritas ulama mengatakan tidak boleh, dan sebagian ulama membo-lehkan. Perbedaan ulama ini disebabkan oleh beberapa hal. Antara lain:

1) Perbedaan para ulama dalam memahami tugas asli dari seorang presiden di negara Islam dewasa ini. Apakah tugas presi-den merupakan tugas agama yang membawa risalah jihad dalam menghadapi non-Muslim? Ataukah tugas presiden saat ini adalah tugas kehidupan (al-Wazhîfah al-Hayâtiyyah) yang membawa risalah keamanan dan pembangunan, sehingga disyaratkan bagi pengembannya sifat bijak dan kreatif meskipun bukan seorang muslim?

2) Perbedaan para ulama dalam memandang jabatan kepresi-denan. Apakah dapat disamakan dengan al-Imâmah al-‘Uzhmâ yang salah satu tugasnya adalah menjadi imam shalat dan memimpin haji sehingga disyaratkan untuk mengembannya ber-agama Islam? Ataukah merupakan pelaksana hukum (wizârah al-tanfîdz) yang memungkinkan diemban oleh non-Muslim meskipun dinegara Islam?

3) Perbedaan para ulama dalam memandang hubungan antara Muslim dan non-Muslim di negara Islam yang bersistem republik demokratis. Apakah hubungan antara Muslim dan non-Muslim adalah hubungan perlindungan yang disebut dengan sistem Ahl al

-Dzimmah? Ataukah hubungan sosial dan persamaan atau sistem kebangsaan (al-Wathâniyah), sehingga pemimpin dapat diangkat dari orang yang mampu berpartisipasi, menjaga, dan membangun masyarakat dan negara walaupun non-muslim?

Keragaman Pendapat Adapun ulama yang membolehkan itu antara lain adalah

Dr.Muhammad Salim al-Awa, sekjen Persatuan Ulama Muslim se-Dunia, Syekh Rasyid al-Ghunusyi ketua Harakah al-Nahdhah al-Islâmiyah al-Tûnîsiyah, Ustadz Mas‘ud Shabri, dan dalam pern-yataan terakhirnya Dr Yusuf al-Qaradhawi, dan Dr.Muhammad Imarah.

Sedangkan ulama yang melarang antara lain adalah Hasan al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, salah satu pendapat Rasyid al-Ghunusyi, , dan salah satu pendapat Yusuf al-Qaradhawi serta sekte Salafi.

Dalil-Dalil Dalam buku yang lain berjudul al-Jadîd fî al-Fiqh al-Siyâsiy

yang juga merupakan karya Dr.Sa‘duddin al-Hilaliy beliau menje-laskan lebih detail tentang dalil-dalil yang di gunakan.

Dalil pendapat yang membolehkan : 1) Jabatan kepala negara bukan jabatan agama karena

masyarakat tidak akan terpengaruh oleh agama kepala negara. Akan tetapi merupakan jabatan yang bertugas menegakkan keadi-lan. Non-Muslim juga dapat menegakkan keadilan sebagaimana Muslim. Dalil bahwa tugas pemimpin adalah menegakkan keadi-lan adalah firman Allah Swt:

Katakanlah, ―Aku beriman kepada kitab yang Diturunkan Al-lah dan aku diperintahkan untuk berlaku adil di antara kamu... (QS. Al-Syura: 15).

2) Wilayah-wilayah Islam sepanjang sejarah dipimpin oleh Muslim karena saat itu fanatisme agama masih kuat.

3) Jabatan kepresidenan sama dengan jabatan menteri dalam sistem khilafah. Karena tingkah laku presiden terikat dengan un-dang-undang.

4) Hubungan antara Muslim dan non-Muslim adalah hubun-gan kebangsaan.

Beberapa dalil dari pendapat yang melarang : 1. Tugas kepresidenan adalah tugas agama (al-Wazhîfah al-

Dîniyyah) yang membawa risalah jihad melawan non-Muslim. Maka dari itu, amanat ini hanya dapat diemban oleh seorang Mus-lim.

2. Surat al-Maidah ayat 44 yang artinya : Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Dan juga ayat 45 dan 47.

3. Hubungan antara Muslim dan non-Muslim adalah hubun-gan penjaminan keamanan atau yang disebut dengan sistem ahl dzimmah. Dengan demikian, pemimpin harus dari Muslim. Karena Islam derajatnya selalu di atas dan tidak pernah di bawah (al-Islâm ya’lû wa lâ yu’lâ ‘alaih), dan Muslim di sini sebagai pe-nolong (waliy) bukan yang ditolong.

Dalil-dalil yang dipaparkan di atas tentunya tidak bebas dari

Alda Kartika Yudha

Presiden Non Muslim,

Bolehkah?

Page 26: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

25 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

PCIM GALLERY

Layanan Iklan Majalah Sinar Muhammadiyah

Cover Depan Bag. Dalam:

1/4 Halaman

1/2 Halaman

1 Halaman

Cover Belakang Bag. Dalam:

1/4 Halaman

1/2 Halaman

1 Halaman

Cover Belakang Bag. Luar:

1/4 Halaman

1/2 Halaman

Pemasangan Iklan dalam Majalah:

1/3 Halaman

1/4 Halaman

1/2 Halaman

Contact Person:

Fathur Rabbani 01117a260504

Alda K Yudha 01113273553

bantahan-bantahan, baik dalil yang menolak ataupun yang mem-bolehkan. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa perkara ini me-rupakan problematika yang rawan, karena berkaitan dengan sen-timen beragama. Maka dari itu harus diperlukan penjelasan yang lebih rinci tentang pendapat-pendapat ulama kontemporer ini. Sedangkan beliau sendiri lebih cenderung untuk menyerahkan hal ini kepada masyarakat dengan pemilihan umum tanpa adanya campur tangan para ulama didalamnya, karena perkara kepemim-pinan ini dilandasi oleh kerelaan masyarakat umum dan bukan perkara ibadah. Bisa disimpulkan bahwa beliau membolehkan untuk memilih calon non-muslim karena keadilan dan kualitasnya di banding dengan calon-calon yang lain.

Sedangkan menurut hemat penulis, meskipun banyak ulama yang membolehkan, untuk kondisi masyarakat Indonesia yang merupakan negara dengan masyarakat Islam terbanyak di dunia sebaiknya hal ini dihindari. Melihat kondisi sosial keagamaan masyarakat di Indonesia, hal ini bisa menyebabkan fitnah dan masalah yang cukup besar. WalLâhu a`lam bi al-Shawâb.

Page 27: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

26 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

―Mereka itu bukan manusia. Mereka membantai dengan sukacita. Tanpa merasa berdosa membunuh

yang terluka-mencincang anggota tubuh. Mereka, bi-natang haus darah yang menjelma manusia….―

B erabad jarak dari tempat kita berpijak, berjuta-juta peradaban yang pernah bertahta di muka bumi, dunia pernah menyaksikan sepenggal sejarah mengenaskan keruntuhan dinasti yang megah tak terkata yang

pernah pula menjadi simbol keemasan dari runtutan sejarah kek-halifahan islam. Tak ada yang tidak mengenalnya, tak ada pula yang menyangsikan sumbangsihnya kepada peradaban islam kekinian. Namun seperti yang lain, ia juga memiliki borok, yang kemudian hari menjadi kobaran api yang melahap ilmu dan perad-aban yang telah susah payah dicipta. Dinasti Abbasiyah meru-pakan latar kisah dari semua alur yang indah menggelora dalam novel ini.

Berawal dari cerita dinasti Abbasiyah yang menguatkan bari-san militer pertahanan negara karena melihat semakin runyamnya masalah yang dibuat oleh pemberontak dinasti serta rakyat yang semakin tidak percaya terhadap khalifah. Sedangkan di belahan bumi lain Karakorum bangkit, ibu kota imperium Mongolia sejak abad 13, tepatnya ketika Jenghis Khan yang berjasa memusatkan komando militer di sana telah meninggal pada 1227 M. Sikap hidup liar, kasar dan barbar, menjadikan mereka binatang berwu-jud manusia yang kejam tak berampun. Tahun 1254, Hethum I raja kerajaan Armenia yang memiliki dendam kesumat pada di-nasti Islam memilih menjadi sekutu Mongol yang saat itu dipimpin oleh Mongkhe Khan. Dengan berbagai kelicikan dan akal bulus tingkat tinggi kerajaan Mongol mengatur siasat demi menghancurkan dinasti Islam yang ada. Sedangkan di sisi lain khalifah tetap saja gemar menumpuk harta, mendatangkan penari-penari dari berbagai pelosok negeri untuk menghiburnya setiap saat, terbuai dengan kenikmatan duniawi dan buta terhadap kondisi sosial negaranya yang kian carut marut oleh perselisihan antar rakyat berbagai madzhab dan pemberontak yang kian men-jadi-jadi.

Hingga saat itupun datang, saat yang menggetarkan seluruh penghuni istana, terlebih rakyat Abbasiyah, saat yang menjadikan khalifah cemas bukan kepalang dan saat yang kelak ditulis dengan tinta merah sejarah. Tiba-tiba tentara Mongol yang dikepalai oleh Hulagu Khan, adik Mongkhe Khan, seorang Mongol paling bar-bar di antara semua orang Mongol telah meluluh lantakkan Thai-fah Ismailiyah di ujung utara Iran, di antara perbukitan Elburz, di

wilayah Thaliqan. Padahal saat itu, mereka termasuk kerajaan yang kuat dan wilayah mereka terjal lagi sulit tertembus. Tibalah hari itu, 17 Januari 1258 Mongol menyerang Abbasiyah dengan mengerahkan segala taktik licik yang telah mereka pelajari dari berbagai pengalaman perang serta informasi para pengkhianat, di antaranya Ibnu Al Alqamy perdana menteri Abbasiyah. Awalnya tentara Abbasiyah sanggup mempertahankan tanah air mereka, namun karena jumlah pasukan yang kalah jauh serta persiapan yang kurang matang akhirnya Mongol memporakporandakan semua, mengubah dinasti yang indah megah gemerlap menjadi kota mayat yang busuk anyir. Usai sudah 525 tahun pemerintahan Abbasiyah dengan terbunuhnya Khalifah Musta‘shim Billah.

Penokohan dan Karakter Pemaparan tokoh dalam novel ini meliputi dua jenis, pertama adalah tokoh rekaan, kedua adalah tokoh sejarah. Tokoh rekaan dalam novel ini adalah Jamal, seo-rang perwira kerajaan Abbasiyah, peranakan Turki keturunan Mamluk, pengikut Sunni; Ali, pengawal istana Baghdad, pemeluk Syi‘ah Zaidiyah keturunan Persia; Zaid, pejabat Baitul Hikmah, sejarawan dan pakar hadis, keturunan Arab Hijaz, pengikut Sunni yang taat. Adapula tokoh fiksi wanita seperti Zahra, adik Ali, seo-rang pedagang di pasar Baghdad; Malika, putri bangsawan tuan Bashar di Baghdad. Keduanya menaruh hati pada Jamal, sang Per-wira. Kedua, tokoh sejarah, di antaranya, Ibnu al Aqamy, perdana menteri Abbasiyah yang khianat; Hulagu Khan, panglima Mongol yang memimpin penaklukan Baghdad; Musta‘shim billah, Khalifah terakhir Dinasti Abbasiyah; Nashiruddin at-Thusy, Ulama Falak kenamaan Kaum Syi‘ah, penasihat Hulagu; Hethum 1, Raja Arme-nia, sekutu utama Mongol; Ruknuddin Duwaydar, Panglima Abbasiyah; Sulaiman Syah, Wakil Perdana Menteri Abbasiyah.

Kelebihan penulis adalah menghiasai novel ini dengan kelua-san pengetahuannya terhadap sejarah runtuhnya Abbasiyah lalu memadukannya secara cermat ke dalam celah cerita dan tersusun rapi dengan gaya bahasa yang memikat. Alur yang digunakan penulis adalah progresif atau maju. Lalu penulis memerankan to-koh fiksi pada latar penting yang berbeda guna memudahkan pembaca mengetahui plot dan detail peristiwa dinasti Abbasiyah di tiap sudut kejadian yang diperankan tokoh sejarah. Dan jelas menggunakan point of view (sudut pandang) orang ketiga, se-hingga penulis seolah berperan sebagai dalang. Dan dalam penuli-san ini setidaknya ada tujuh kitab turats klasik dan sebelas kitab kontemporer yang digunakan sebagai referensi. Penulis menyaji-kan sejarah dengan cara yang berbeda sehingga sejarah tidak lagi menjadi sebuah bacaan yang membosankan.

*Mahasiswa tingkat II Syariah Islamiyah

Judul : The Downfall of The Dynasty, Khianat di Tanah Baghdad Penulis : Indra Gunawan, Lc. Penerbit : Salamadani Halaman : 378 halaman Bahasa : Bahasa Indonesia

The Downfall of The Dynasty, Khianat di Tanah Baghdad

Oleh: Syafiqul Lathief*

Page 28: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

27 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

Amin Si Anak Petani

Ayahnya seorang petani Mesir yang

sederhana. Amin seperti anak-anak seba-

yanya. Pergi ke sekolah, kemudian lanjut

berladang. Cita-cita Amin kecil pun sebatas

‗meneruskan perjuangan ayahnya‘ alias jadi

petani. Tapi, Amin punya bakat sastra.

Maklum, sejak kecil ia sudah mengikuti

sayembara ayahnya, menghafal syair-syair

Ahmad Syauqi, Si Raja Syair. Setiap satu

syair, berhadiah beberapa keping qirsy

(piaster, seperti sen, pecahan dari pound).

Di SMA al-Azhar di Zaqaziq, ia terpilih

menjadi Ketua Perkumpulan Sastrawan

Zaqaziq.

Amin sudah lulus SMA, waktunya jadi

mahasiswa. Di dalam pikiran ayahnya sang

petani sederhana itu, kalau sudah hafal al-

Quran dan lulus sekolah ya masuk al-Azhar

untuk jadi orang benar. Amin ternyata ma-

sih bersikukuh dengan impian lama melan-

jutkan perjuangan ayahnya di ladang.

Bahkan malam tes masuk al-Azhar, Amin

mengoleskan merica ke matanya untuk

mengelabui ayah-

nya. Dia pura-

pura sakit.

Apes, keta-

huan.

Ketika

tes pengu-

jinya

diper-

mainkan

dengan

men-

jawab

asal-

asalan ketika diminta melanjutkan ayat al-

Quran. Pengujinya tahu kalau anak ini se-

benarnya hafal al-Quran, ―Lancang kau

bocah! Sudah sana masuk al-Azhar!‖ Amin

diterima masuk al-Azhar, fakultas bahasa

Arab.

Ayahnya datang ke Kairo untuk me-

mastikan keadaan Amin. Ternyata ia belum

punya buku diktat. Berangkatlah mereka

berdua ke toko buku. Lagi-lagi Amin beru-

lah. Kitab-kitab yang berjilid-jilid ditun-

juknya asal-asalan. Ia berharap agar ayah-

nya menyerah ketika tahu bahwa ‗diktat‘ al-

Azhar besar-besar dan pasti mahal-mahal.

―Berapa?‖ ―Satu pound Pak.‖ Jawab pemilik

toko. ―Silahkan Pak, ini saya bayar satu

pound.‖ Padahal satu pound Mesir (Le)

zaman segitu, mungkin sama nilainya den-

gan 800 pound zaman sekarang.

Amin ikut ke stasiun kereta api me-

lepas ayahnya pulang ke Mit Ghamr, kam-

pung halamannya. Menjelang keberangka-

tan kereta, ayahnya berkata, ―Nak, ayah

tahu kalau kitab-kitab itu sebenarnya bu-

kan diktatmu, tak apa. Semoga Allah mem-

bukakan pintu-pintu ilmu kepadamu me-

lalui kitab-kitab itu‖.

Muhammad Mutawalli al-

Sya`rawi

Amin yang bandel

sekarang sudah jadi Mu-

hammad Mutawalli al-

Sya`rawy yang berusia 60

tahun. Di usia ini Syekh

Sya`rawy baru muncul di depan

rakyat Mesir mengajarkan tafsir

al-Quran. Memang Mesir tak per-

nah langka ulama. Tapi Syekh

Sya`rawy beda. Beliau berhasil mem-

bangun madrasah rakyat dengan muti-

ara-mutiara tafsir al-Qurannya. Bukan

sembarang menafsir, beliau punya modal

bahasa Arab dan ilmu alat dari stu-

dinya di al-Azhar, juga dari mauhi-

bah yang Allah berikan

kepadanya.

Kenapa baru muncul ketika

sudah 60 tahun? Memuncul-

kan dan meredupkan orang adalah urusan

Allah. Lulus al-Azhar, Syekh Sya`rawi jadi

guru SMA al-Azhar di berbagai kota. Per-

nah menjadi salah satu murid SMA-nya

adalah Syekh Yusuf al-Qaradhawi. Ketika

itu, al-Qaradhawi muda juga sangat unggul

di bidang bahasa Arab. Syekh al-Qaradhawi

sangat hormat dengan Syekh Sya`rawi,

―Kalau saya bertemu Syekh Sya`rawi, saya

cium tangan beliau!‖

Syekh Sya`rawi yang ‗hanya‘ lulus s1

al-Azhar ini karirnya dilancarkan oleh Al-

lah. Ia juga pernah menjadi dosen di Arab

Saudi. Sekembalinya, beliau ditunjuk men-

jadi direktur kantor Syekh al-Azhar, Syekh

Hasan Ma‘mun. Kemudian beliau kembali

berpetualang, kali ini menjadi ketua rom-

bongan delegasi al-Azhar ke Aljazair.

Ketika Mamduh Salim menjadi perdana

menteri Mesir, Syekh Sya`rawi ditunjuk

menjadi Menteri Wakaf dan Urusan al-

Azhar sampai Oktober 1978. Selama men-

jabat sebagai menteri, di antara prestasinya

adalah menggolkan Bank Islam pertama di

Mesir, Bank Faishal.

Syekh Sya`rawi, Teladan Soal Ihsan

Syekh Sya`rawi tergeletak sakit di

akhir hayatnya. Murid-muridnya berkum-

pul di sekelilingnya. Menyemangati dan

mendoakan kesembuhan bagi beliau. Tapi

apa jawab Syekh Sya`rawi? ―Kalian ingin

‗kenikmatan‘ yang saya dapat ini dicabut?‖

Tidak hanya buku dan ceramahnya

yang menginspirasi, namun juga setiap

tutur kata dan perilaku hidupnya. Beliau

adalah teladan dalam berihsan, menyembah

Allah seakan kita melihat-Nya. Kalaupun

kita tidak melihat-Nya, maka ketahuilah

bahwa Ia melihat kita. Ihsan tak bisa berbo-

hong, karena berhadapan dengan Yang

Maha Tahu. Untuk apa memamerkan ama-

lan di depan manusia, padahal Allah meli-

hat ke dalam hati terdalam manusia.

Syekh Sya`rawi pulang mengajar dian-

tar supirnya. ―Berhenti sebentar di masjid

depan ya.‖ Supirnya heran karena waktu itu

belum masuk waktu solat. Tapi kenapa

lama sekali? Ternyata Syekh Sya`rawi se-

dang berada di tempat wudhu, sedang ngo-

sek (membersihkan/menyikat-jw) bak air!

―Tadi ketika saya mengajar, terlintas ujub

dan berbangga diri di hati. Makanya saya

begini supaya rendah diri dan menghina-

kannya.‖

Syekh al-Sya`rawi;

The Chosen One

Oleh : Musa Al Azhar

Page 29: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54

28 SINAR MUHAMMADIYAH Edisi Ke-54, Februari 2014

M anusia adalah satu-satunya makhluk cip-taan allah yang memiliki akal untuk berfikir.

Dengannya ia dapat membedakan baik dan buruk segala sesuatu. Anugerah inilah yang membedakan manusia dari makhluk lain-nya, yang menjadikan manusia ciptaan yang sempurna di muka bumi ini.

Kesempurnaan tersebut diimbangi dengan beragam sifat baik dan buruk. Me-rupakan sunnatullah di alam ini mencipta-kan segala suatu berpasang-pasangan agar seimbang. Ada laki-laki dan perempuan, hitam dan putih, malam dan siang, hidup mati, positif dan negatif, dan sebagainya.

Manusia dengan penciptaannya yang berbeda bangsa, warna kulit, bahasa, adat istiadat, memiliki perbedaan sikap dalam menghadapi suatu masalah atau yang bi-asa kita kenal dengan cobaan dan musibah. Disinilah pemahaman agama yang baik berperan penting. Seorang mukmin yang tangguh akan selalu ingat firman Allah Swt. yang berbunyi "janganlah kamu kira bahwa berita itu buruk bagimu, bahkan ia adalah baik bagimu." (QS. An-Nur: 11). Energi positif (positive thinking) yang dominan dalam diri seorang hamba, akan membawanya kepada penerimaan yang baik saat suatu hal yang tidak disukainya terjadi, ia meyakini bahwa apa yang men-impanya adalah cobaan dari Allah Swt. yang harus ia lalui dengan sabar dan ber-serah diri kepadaNya. Karena keyakinan akan pertolongan Allah Swt. menancap kuat dalam sanubarinya. Maka kesedihan dan kemalangan hanya sejenak ia rasakan, lalu kemudian hilang, seperti debu yang hilang bila hujan datang.

Sebaliknya, bila seorang hamba men-gutuki ujian dan cobaan yang dialaminya adalah sebuah beban berat tiada akhir, maka ia telah menciptakan beban berat itu sendiri dengan kutukannya tadi. Bukankah hidup tetap terus berlanjut walau halangan dan rintangan selalu datang silih ber-ganti?!.

Tidak ada satupun makhluk di bumi ini yang tidak memiliki masalah. Seekor semut yang paling kecil sekalipun memiliki ma-salah kehabisan makanan bila musim salju tiba. Namun ia menghadapi musim salju berikutnya dengan persiapan yang matang. Ia kumpulkan makanan di rumahnya seban-yak mungkin sebelum musim dingin tiba,

untuk mencukupi kebutuhannya selama satu musim agar ia tak kelaparan, dan bila sanju mulai turun, ia telah beristirahat menikmati jerih payahnya dengan tidak lagi terserang kelaparan.

Seorang mukmin juga harus demikian, ia haruslah mempersiapkan mental dan fisiknya dalam menghadapi segala masalah. Karena kesedihan dan tangisan sesung-guhnya tiada bermanfaat. Allah Swt. berfir-man "janganlah kamu bersedih, sesung-guhnya Allah Swt. bersama kita." (QS. At-Taubah: 40). Adapun ayat yang menunjuk-kan bahwa kesedihan itu tiada manfaatnya adalah firman Allah Swt. yang berbunyi "Niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati." (QS. Al-Baqarah: 38).

Bersedih itu hanya akan memadamkan kobaran api semangat., meredakan tekad dan membekukan jiwa, karena kesedihan itu inarat penyakit demam yang melemas-kan tubuh menjadikannya tak berdaya. Karena kesedihan dan penyakit adalah dua hal yang mengandung makna menghenti-kan, dan buka menggerakkan. Padahal gerakan seorang hamba muslim adalah ibadah, seni dan akhlak. Maka dari itu hen-daklah baginya untuk tidak bersedih dan memperbanyak gerak yang positif.

Bersedih itu sangat dilarang karena dapat menjerumuskan manusia kepada kedzaliman. Seorang yang sedang bersedih bisa mendzalimi dirinya sendiri dan orang lain. Padahal Allah Swt. melarang kita un-tuk berbuat dzalim kepada makhlukNya walaupun terhadap diri kita sendiri.

Penulis buku Al-Farj Ba'da Al-Syiddah menyebutkan bahwa seorang bijak bestari pernah ditimpa suatu musibah, maka datanglah teman-temannya mengucapkan keprihatinan mereka terhadap musibah yang menimpanya. Si bijak kemudian ber-kata "aku tahu ada satu obat yang terbuat dari ramuan resep yang berbeda." Teman-temannya pun bertanya "apa saja itu?". Ia pun menjawab :

1. Percaya sepenuhnya kepada Allah. 2. Kesadaranku bahwa semua yang

Allah takdirkan akan terjadi. 3. Sabar adalah senjata mutakhir yang

digunakan oleh orang-orang yang menda-patkan ujian.

4. Jika saya tidak bersabar, maka apa yang bisa saya lakukan. Sedangkan saya tidak akan pernah terbantu hanya dengan perasaan resah.

5. Mungkin saja, bila tidak dengan kondisi sekarang, saya akan berada pada kondisi yang lebih buruk dari saat ini.

6. Dari waktu ke waktu, jalan keluar akan selalu terbuka.

Tidak ada hal di dunia ini yang lebih sulit dari sabar. Sabar disini bisa berarti sabar terhadap yang disukai dan sabar ter-hadap yang dibenci. Sikap sabar selalu dibutuhkan dalam mengerjakan apapun. Entah itu terhadap sesuatu yang panjang masanya atau ketika terjebak dalam putus asa karena sudah buntu. Maka untuk menghadapi perjalanan yang panjang, se-seorang haruslah menyiapkan bekal yang cukup. Bekal itu bermacam-macam, dianta-ranya:

1. Menimbang kadar ujian itu, bisa jadi akan lebih besar dari yang kita bayangkan.

2. Membayangkan bahwa di atas ujian itu masih ada ujian yang lebih berat lagi.

3. Mengharapkan ganti di dunia. 4. Membayangkan pahala dari allah

yang akan diperoleh kelak di akhirat. 5.menikmati ujian dengan menggam-

barkannya, bahwa ujian tersebut datang dari allah, maka hanya allahlah yang mampu membantu kita menghadapinya.

6. Bersedih bukanlah jalan keluar, bahkan hanya akan memperkeruh keadaan.

Tidak ada jalan menuju kesabaran se-lain memberikan kesibukan kepada diri seorang hamba dengan melakukan kegiatan dan ibadah yang dapat mendekatkan dir-inya kepada sang pencipta.wallahu a'lam..

Oleh: Hanna Juariyah

Badai Pasti Berlalu

Page 30: Majalah Sinar Muhammadiyah Mesir Edisi 54