Majalah QALAM edisi 1

26
Edisi I/Tahun I/2009 1

description

Majalah psikologi pertama di Indonesia

Transcript of Majalah QALAM edisi 1

Page 1: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/2009 1

Page 2: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/20092

Page 3: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/2009 3

KH. Maktum Jauhari, M.A.

Bulan ini, ada dua peris-tiwa penting yang me-mantik perhatian banyak pihak. Pertama, bencana

jebolnya tanggul Situ Gintung yang menelan korban tewas 100 orang, 102 orang lainnya hilang, dan ratusan rumah rusak. Keru-gian ditaksir ratusan miliar, di-tambah derita psikologis ribuan warga di daerah itu.

Kedua, Pemilu legislatif yang kali ini diikuti 38 partai berhaluan nasionalis, Islam, maupun kom-binasi nasionalis-religius. Sekitar 11.215 warga Indonesia hari-hari ini sibuk berebut 560 kursi DPR RI. Dan 1.109 orang akan sekuat tenaga berebut 132 kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Dua peristiwa tersebut, mesti disikapi umat Islam sebagai mo-mentum terbaik untuk mening-katkan kualitas ukhuwah islami-yah antarsesama muslim. Pada peristiwa Situ Gintung misalnya, umat Islam perlu menumbuhkan sikap empati, turut langsung m e rasakan penderitaan korban. Dengan memberi bantuan, ma-teri maupun imateri, atau pa-ling tidak, ikut mendoakan agar mereka diberi kesabaran, ketaba-han, dan jalan keluar yang lebih baik.

Dalam konteks Pemilu 2009, umat Islam perlu merapatkan barisan dan memperkokoh ukhuwah. Sejak dini perlu disa-dari, bahwa kepentingan Pemilu adalah kepentingan sesaat, se-mentara ukhuwah sifatnya abadi,

tulus, dan tanpa pamrih. Karena itu, ukhuwah islami-

yah harus ditempatkan di atas kepentingan partai. Dan umat Islam wajib memenangkan partai-partai berideologi Islam atau yang memiliki kepedulian terhadap kejayaan umat Islam Indonesia. Termasuk dalam hal ini, memilih calon anggota le-gislatif (Caleg) yang berakhlak islami dan peduli terhadap nasib politik dan sosial umat Islam.

Mengapa harus ukhuwah islamiyah? Karena ukhuwah tak pernah bertendensi pada materi. Ia melebihi bentuk persaudaraan lainnya, semisal ukhuwah nasa-biyyah (keturunan), wathaniyyah (kebangsaan), maupun hizbiah (partai), dan lainnya. Ukhuwah islamiyah bersifat lintas zaman dan generasi.

Pemaknaan ukhuwah islami-yah seperti di atas, banyak tersirat dalam doa-doa yang Rasulullah SAW ajarkan. Seperti, ”Allâhum-maghfirlanâ wali`ikhwâninal-la dzî -na sabaqûna bil-îmân, walâ taj’al fî qulûbinâ ghillal lil-ladzîna ̀ âmanû.” Atau doa, ”Allâhummaghfir lil-mus limîna wal-muslimât wal-mu`minîna wal-mu’minât al-ahyâ`i minhum wal-`amwât.”

Kedua doa tersebut menyi-ratkan betapa mengakarnya ukhuwah islamiyah dalam ka-lbu umat Islam. Sepanjang waktu mereka melafadzkannya dengan ikhlas.

Ukhuwah islamiyah termasuk salah satu program unggulan Rasulullah ketika hijrah ke Madi-nah, selain mendirikan masjid. Saat itu, beliau berhasil menya-tukan faksi-faksi di dalam kaum Anshar maupun Muhajirin, atau

sesama Anshar dan Muhajirin, dalam ikatan ukhuwah islamiyah yang harmonis dan dinamis. Beda kekayaan kaum Anshar dan Mu-hajirin tak menghalangi mereka untuk mengikatkan diri dalam ukhuwah yang intim dan kokoh.

Allah memuji keluhuran ka um Anshar yang menerima kedatan-gan kaum Muhajirin dengan hati ikhlash, dan meng anggap mere-ka layaknya saudaranya sendiri. Allah memuji mereka dengan tiga sifat.

Pertama, mereka adalah go-longan yang memiliki kecintaan luar biasa. Kedua, mereka kaum yang sangat ikhlas. Ketika Rasu-lullah membagi-bagikan harta Bani Nadhir kepada kaum Muhaji-rin, tak ada sedikit pun rasa ingin menggugat dari kaum Anshar ke-pada Rasulullah, apalagi iri. Ketiga, mereka mendahulukan kaum Mu-hajirin untuk mendapatkan harta, walau sebenar nya mereka juga membutuhkan.

Andai kita bandingkan de-ngan kehidupan umat Islam masa kini, terlihat jurang perbedaan yang sangat curam. Kini, ukhu-wah sudah tercabik-cabik. Umat Islam sudah terkotak-kotak oleh banyak kepentingan duniawi yang temporal. Barisan umat Is-lam di segala dimensi kehidupan pun menjadi rapuh.

Karenanya, tak ada pilihan lain, jika umat Islam ingin meraih kembali masa-masa kejayaannya, mereka harus bersatu dalam pay-ung ukhuwah islamiyah, meny-atukan segenap potensi. Kalau tidak, umat Islam akan te rus ter-jebak pada derita perpe cahan yang tidak berkesudahan. Wal-lâhu a’lam bish-shawâb.

Ukhuwah Islamiyah

dok.

al-a

mie

n

Wakil Pimpinan Pondok Pesantren Al-Amien PrenduanTAUSIYAH

Edisi I/Tahun I/2009 3

Page 4: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/20094

6 |Agama Penentu Pengendalian Diri

DAFTAR ISI

Agama

Sosial

Pendidikan

Keluarga

Tausiyah

10 Mukjizat Psikologis Al-Qur’an

12 8 Prinsip Tazkiyah an-Nafs

13 Hindari Bakat Instan

14 Hakikat Khusyu’

16 SEFT Korban Situ Gintung

15 Virus Ganas Politik Uang

22 Rumah Baru Caleg Gagal

28 Terapi Ibadah

30 Studi ‘Conditioning’

33 Hak Demokrasi Buta Huruf

34 Beda Partai Keluarga Runtuh?

30 Bom Waktu Televisi

33 Sakinah Berkat Memuji

Pasangan

41 Heboh Nikah Dini

1 Ukhuwah Islamiyah

18 |Kalah-Menang Perebutan Kekuasaan

Fikih Antikorupsi| 25 Fikih Antikorupsi|

Mesin Perusak Narkoba Mata| 31

4

Page 5: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/2009 5

52

Remaja

Anak

Bisnis

54 “Ego Centered” bukan Percaya

Diri

59 Jamur Fans Klub

44 Rumah Anak Jalanan

47 Mendidik Anak Bandel

48 Psiko-Edukatif Anak

62 Pamrih Kegigihan

65 Langkah Awal Memulai

Bisnis

67 Maju Bersama Komunitas

70 Merebut Kembali Bisnis di

Batam1

Tawakal Obat Pecandu Narkoba| 56

49 |Hentikan ‘Trafficking’

Untung Rugi Facebook| 52

Page 6: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/20096

Tim Editor:

Abdurrahman As’ad

Ahmadie Thaha

Amir Faishol Fath

Anwar Wahdi

Arif Firmansyah

Dharifi Zumar

Fathurroji

Hasan Basri Alcaff

Idris Thaha

Jamal D. Rahman

M. Ghozi Mubarok

Moh. Hamzah Arsa

Kontak:

Alamat: Jl. Pancoran Barat IX no. 3 Pancoran, Jaksel 12780 Indonesia

Telepon: 021-27480800

Faksimili: 021-7480899

E-mail: [email protected],

[email protected]

Website: www.majalahqalam.com

Rekening: BNI Senayan Norek: 0139277238 a/n: SHOFIYAH

Penerbit: AL-AMIEN MEDIATAMA

Pengarah:

KH. Muhammad Idris Jauhari, KH. Maktum Djauhari MA,

Prof. Dr. Roem Rowi, Prof. Dr. Achmad Mubarok MA,

D. Zawawi Imron

Pemimpin Umum/Penanggungjawab:

Ahmad Taufiq Abdurrahman

Manajemen:

Shofiyah Tidjani

Nazlah Hidayati

Novie Chamelia

Saibansyah Dardani

Samson Rahman

Sofyan Badrie

Suadi Sa’ad

Tata Septayuda

Yessi HM. Basyaruddin

Yayah Hidayah

Zubaidi Roqib

Zubairi Hasan

Kontributor:

Abdurrahman Tsani

Agus Romli

Ahmad Zamhari Hasan

Ainurrahman

Ghufron Hasan

Hasan Sanjuri

Islahuddin

Iwan Kuswandi

Moh. Munif

Muhtadi

Tim Produksi:

Ali Ibnu Anwar, Ilyas Thaha (Desain)

Ahmad Gabriel, Hudan (Foto)

Ipunk Saiful Bahri (Percetakan)

Tim Usaha:

A. Hidayat M.S

Ahmad Subeki

Ahmadi

IFTITAH Edisi I/ Tahun I/ 2009Majalah Tazkiyah an-Nafs

QALAMQALAM

Assalâmu’alaikum wr, wb.

Alhamdulillâh, setelah melewati tahap pendahu-luan penerbitan Edisi Perdana bulan lalu, kini Majalah Qalam dapat hadir kembali ke hadapan para pembaca pada Edisi Kesatu yang sesungguhnya.

Pada edisi ini, hanya beberapa pengembangan yang kami lakukan, berdasarkan masukan dan evaluasi para pembaca, baik yang disampaikan langsung, mela-lui pesan singkat (SMS), maupun lewat email kepada kami.

Secara umum, edisi kesatu ini tak banyak berbeda dari Edisi Perdana. Hanya isi yang pada edisi ini tampil agak beda, dengan suplemen berbahasa Arab di bagi-an akhir Majalah.

Sebagai pemberitahuan kepada para pembaca yang budiman, bahwa suplemen santri Majalah Qalam memang akan terbit bergirlir dalam tiga bahasa (Indo-nesia, Arab dan Inggris) secara beraturan setiap edisi-nya. Dan hanya bagian inti (dari halaman 1-74) yang terus akan tetap menggunakan bahasa Indonesia.

Mekanisme ini memang masih dalam tahap penjajak an yang sangat terbuka untuk dievaluasi dan dikembangkan. Kami memohon maaf jika masih pem-baca dapat menemukan banyak kekurangan, baik dalam penulisan maupun tata letak. Mohon kiranya di-layangkan kritik membangun demi perbaikan tampil-an maupun arah isi yang lebih baik.

Sukses Edisi Perdana lalu, sangat memicu kami untuk menjalankan amanah suci Pondok Pesantren Al-Amien, agar dikelola sebaik-baiknya. Banyak sekali dukung an, bantuan, kontribusi dan simpati dari para alumni, wali santri maupun simpatisan Pondok Pesan-tren Al-Amien, yang menambah gairah kami untuk terus memperbaiki kinerja dan hasil kerja ini.

Semoga cita-cita berdirinya Majalah Qalam sebagai perekat ukhuwah dan silaturrahim seluruh elemen ke-luarga besar Pondok Pesantren Al-Amien, dapat terca-pai.

Demikian.Wassalâmu’alaikum wr, wb.

Andrianto

Slamet Fiddien

Zainul Ishaq

Page 7: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/2009 7

Page 8: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/20098

AGAMA|feature|artikel | berita|

Agama Penentu Agama Penentu Pengendalian DiriPengendalian DiriAhmadie Thaha

Tentu semua orang meng-inginkan sukses. Tapi Ni Putu Lilik Heliawati (45) tak mam-pu mengendalikan diri. Bukan

hanya kemudian ia gagal meraih sukses, ia bahkan gagal hidup. Calon anggota legislatif nomor tiga Partai Hanura ini meninggal dunia secara tragis di rumahnya di Desa Bengkel, Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Bali. Ia diduga meninggal akibat serangan jantung setelah menerima telepon bahwa perolehan suaranya pada Pemilu 2009 tak memenuhi harapannya untuk duduk di kursi DPRD Buleleng.

Kisah tragis juga dialami seorang caleg daerah pemilihan Tangerang, Banten. Saat mengetahui kalah dalam perolehan suara Pemilu 2009, pria berusia 40 tahun yang namanya tertera di daftar pemilih ini kehilangan kendali diri. Ia tiba-tiba saja merangkak di pinggir jalan pe-rumahan elit Alam Sutera Kunciran, Serpong, dengan membawa cangkir sambil meminta-minta uang kepada orang yang berlalu lalang. “Kemba-likan uang saya, kembalikan,” kata si caleg yang kemudian diselamatkan keluarganya dari kerumunan orang.

Begitulah, tak sedikit orang yang gagal mengendalikan diri. Padahal,

untuk meraih sukses, pengendalian diri merupakan faktor penentu yang lebih signifikan dibanding materi dan kemakmuran yang sering diang-gap sebagai modal utama. Menurut Dr. Michael McCollough, gurubesar psikologi di Universitas Miami, Amerika Serikat, pengendalian diri (self control) amat penting agar seseorang mendapatkan kesuksesan hidup.

Lantas, siapakah orang yang paling mampu memiliki pengen-dalian diri? Melalui penelitiannya yang intensif, McCollough sampai pada ke simpulan bahwa orang yang beragamalah yang lebih mampu mengendalikan diri daripada mereka yang tidak beragama. Dari pene-litiannya ia menemukan, orang yang beragama akan lebih baik dalam mencapai tujuan hidup jangka panjang. Dengan ini, pada gilirannya, orang ber agama cenderung memiliki prestasi belajar yang lebih baik, berkelakuan terhormat, berperilaku hidup sehat, jarang mengalami depresi, sedikit penyimpangan nilai, dan cenderung panjang umur.

Dalam penelitiannya, McCollough melakukan evaluasi terhadap

Banyak kalangan pernah me-ragukan kemampuan agama menjadi pranata perbaikan sosial. Kini ditemukan bukti agama dapat melatih peng-anutnya mengendalikan diri, dan kaum beragama cenderung bersikap lebih baik dari yang tak beragama.

Dr. Michael McCollough

Page 9: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/2009 9

hasil-hasil penelitian keagamaan selama delapan dasawarsa sebelum-nya, yang kesemuanya meneliti tentang tingkah laku manusia yang berbeda-beda dari seluruh penjuru dunia. Dari semua itu, ia menemukan kejelasan fakta bahwa keyakinan terhadap agama dan pengamalannya mampu mendorong seseorang untuk mengendalikan diri, mengatur emosi dan tingkah laku secara efektif, sehingga penganut agama sanggup menggapai tujuan hidup yang bermakna.

Dalam hasil penelitian yang telah dipublikasikan di Psychological Bulletin edisi Januari 2009, McCol-lough menegaskan pentingnya pengendalian dan manajemen diri yang menentukan sikap manusia. Hubungan ini sudah umum dikenal dalam kajian ilmu sosial. Tapi, kemungkinan hubungan antara religiusitas dengan pengendalian diri yang dapat menjelaskan hubungan agama terhadap kesehatan tak terlalu banyak mendapat perhatian ilmuwan. “Kami berharap penelitian kami akan memperbaiki kekurang-an pandangan ilmiah itu,” tandas McCollough.

Beberapa kesimpulan menarik dihasilkan tim peneliti McCollough, di antaranya: Ritual keagamaan, seperti shalat dan meditasi, jelas mempengaruhi bagian otak manusia yang paling penting untuk mengen-dalikan diri dan mengatur emosi. Ketika seseorang menganggap tujuan mereka sebagai “ibadah”, maka mereka akan memusatkan lebih banyak tenaga dan usaha untuk meraih tujuan tersebut. Karenanya, pelaku akan fokus terhadap tujuan-nya tersebut.

Selain itu, kehidupan beragama mampu berkontribusi untuk me-ngendalikan diri seseorang. Alasan-nya, karena kehidupan beragama memberi standar yang jelas dalam berperilaku, yang menyebabkan se-seorang mampu melihat kekurang-

korelasi antara religiusitas dan pengendalian diri yang lebih tinggi di kalangan siswa dan orang dewasa. Mereka menemukan fakta bahwa siswa yang menghabiskan banyak waktu di sekolah agama memper-oleh hasil tes pengukuran disiplin diri lebih baik.

Studi lainnya menunjukkan bahwa anak-anak yang taat ber-agama jarang mendapat teguran dari orang tua dan guru, dan bahwa religiusitas berulang kali terbukti berkorelasi dengan tingginya tingkat pengendalian diri di kalangan orang dewasa. Mereka juga menemukan fakta bahwa orang-orang taat lebih setia menjalankan peraturan wajib pakai sabuk pengaman, pergi ke dokter gigi dan menggunakan vita-min, dibanding yang lainnya.

Walaupun timbul beberapa

feature agama

an tingkah lakunya. Juga memberi kesadaran bahwa Tuhan senantiasa mengawasi tingkah lakunya itu.

Fakta utama dari kehidupan orang beragama adalah kecen de ru-ng an untuk mengendalikan diri dari perilaku negatif. Seperti tidak suka mabuk-mabukan, minum-minuman keras, melakukan tindak kriminal dan perbuatan yang melanggar undang-undang.

“Dengan menganggap agama sebagai kekuatan sosial, itu akan menambah keyakinan mereka untuk senantiasa mengendalikan desakan hati dalam meraih cita-cita yang lebih tinggi. Sehingga agama bisa menjadi penyebab seseorang untuk berbuat apa saja,” tandas Mc-Collough.

Para peneliti sejak tahun 1920-an telah berulang kali menemukan

Page 10: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/200910

pertanyaan apakah ketaatan religius yang menyebabkan pengendalian diri ataukah sebaliknya, McCullough mengatakan telah memperhatikan bias-bias pilihan diri dalam pene-litiannya dan ia tetap menemu-kan alasan untuk percaya agama memiliki pengaruh kuat. “Bila Anda menggabungkan kesemuanya, ternyata terdapat temuan yang sungguh konsisten bahwa religiusitas berkorelasi dengan tingginya pe-ngen dalian diri,” kata gurubesar itu.

“Studi-studi yang dilakukan dengan men-scan otak menun-jukkan bahwa ketika orang berdoa atau bersemedi, terdapat banyak

Setiap hari pasti kita mengalami konflik batin. Terkadang kita tak mampu mengendalikan diri dalam merespon konflik-konflik itu. Berikut ini lima strategi pengendalian diri. Jurus ini bisa Anda terapkan untuk apa saja, yang berurusan dengan pengendalian diri.

Pertama, mengendalikan diri dengan menggu-nakan prinsip kemoralan. Setiap agama pasti meng-ajarkan kemoralan. Misalnya tidak mencuri, tidak membunuh, tidak menipu, tidak berbohong, tidak mabuk-mabukan, tidak melakukan tindakan asusila.

Saat ada dorongan hati untuk melakukan se su-a tu yang negatif, coba larikan ke rambu-rambu ke-moralan. Apakah yang kita lakukan ini sejalan atau bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama?

Misalnya kita mendapat kesempatan untuk mendapat untung dengan cara tak wajar. Bahasa kasarnya, kesempatan untuk korupsi. Saat terjadi konflik diri antara ya atau tidak, mau melakukan atau tidak, kita dapat mengacu pada prinsip moral di atas. Agama mengajarkan kita untuk tidak mencuri atau mengambil barang yang bukan milik kita, tanpa seizin pemiliknya. Kalau kita teguh dengan prinsip moral ini maka kita tidak akan mau korupsi. Korupsi itu dosa. Korupsi itu karma buruk. Bisa masuk neraka.

Lima Strategi Pengendalian Diri

feature agama

aktivitas di kedua bagian otak yang penting bagi pengaturan diri dan pengendalian perhatian serta emosi,” jelasnya. “Upacara-upacara yang dijalankan oleh agama-agama selama beribu-ribu tahun sepertinya semacam latihan anaerobik bagi pengendalian diri.”

Dalam studi yang diterbitkan oleh Universitas Maryland pada 2003, para siswa yang disodori kata-kata religius (seperti Tuhan, doa atau kitab suci) lebih lambat mengenali kata-kata yang berhubungan de-ngan maksiat (seperti minuman keras atau seks sebelum nikah). Sebaliknya, ketika mereka pertama-

tama disodori kata-kata maksiat, mereka lebih cepat mengenali kata-kata yang religius.

“Tampak seolah-olah orang tadi menghubungkan agama dengan godaan-godaan maksiat ini,” kata McCullough. “Setiap kali ada godaan maksiat melintas di pikiran mereka dalam kehidupan sehari-hari, mereka dengan cepat menggunakan agama untuk mengusirnya dari pikiran mereka.”

Di salah satu studi kepribadian, orang yang betul-betul religius coba dibandingkan dengan orang-orang yang mengikuti pernyataan-pernyataan spiritual yang lebih

Page 11: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/2009 11

umum, seperti gagasan bahwa hidup mereka “dikendalikan oleh kekuat-an spiritual lebih besar daripada makhluk manusia manapun” atau bahwa mereka merasakan “hubung-an spiritual dengan orang lain.” Orang-orang beragama mempe-roleh skor pengendalian diri dan kesadaran relatif tinggi, sedangkan orang spiritual cenderung menda-patkan skor relatif rendah.

“Memikirkan tentang kesa-tuan manusia dan kesatuan alam sepertinya tak berhubungan dengan pengendalian diri,” jelas McCullough. “Efek pengendalian diri tampaknya datang dari keterlibatan dengan peri-

laku dan institusi-institusi keagamaan.”“Apakah ini berarti bahwa orang

kafir seperti saya harus mulai datang ke gereja?” tanya John Tierney, wartawan New York Times kepada McCullough. “Bukanlah sekali pun Anda tak percaya akan dewa supernatural, Anda bisa mencoba meningkatkan pengendalian diri Anda setidaknya dengan mengikuti upacara-upacara yang diadakan organisasi agama.”

Tampaknya hal itu tak akan berguna, kata McCullough, sebab studi tentang kepribadian sudah menemukan perbedaan antara orang beriman yang sesungguhnya

dengan orang yang yang hadir ke acara-acara keagamaan dengan alasan-alasan ekstrinsik, seperti seke-dar membuat dirinya dikenal atau demi membangun hubungan sosial. Orang yang secara intrinsik religius mempunyai pengendalian diri lebih tinggi, sementara orang yang hanya religius secara ekstrinsik tidak.

Orang-orang beragama, kata-nya, terkendali dirinya bukan hanya karena mereka takut pada Tuhan, tetapi karena mereka menyerapkan cita-cita ideal agama ke dalam sistem nilai mereka, dengan demikian memberi aura suci pada tujuan-tujuan hidup mereka.

Kedua, pengendalian diri dengan menggunakan kesadaran. Kita sadar saat suatu bentuk pikiran atau perasaan yang negatif muncul. Pada umum-nya orang tidak mampu menangkap pikiran atau perasaan yang muncul. Dengan demikian mereka langsung lumpuh dan dikuasai oleh pikiran dan perasaan mereka.

Misalnya, seseorang menghina atau menying-gung kita. Kita marah. Nah, kalau kita tidak sadar atau waspada maka saat emosi marah ini muncul, dengan begitu cepat, tiba-tiba kita sudah dikuasai kemarahan. Jika kesadaran diri kita bagus maka kita akan tahu saat emosi marah ini muncul. Kita akan tahu saat emosi ini mulai mencengkeram dan me-nguasai diri kita. Kita tahu saat kita akan melakukan tindakan ”bodoh” yang seharusnya tidak kita lakukan.

Saat kita berhasil mengamati emosi maka kita dapat langsung menghentikan pengaruhnya. Kalau masih belum bisa atau dirasa berat sekali untuk engendalikan diri, larikan pikiran kita pada prinsip moral. Biasanya kita akan lebih mampu mengenda-likan diri.

Ketiga, dengan perenungan. Saat kita sudah benar-benar tidak tahan, mau “meledak” karena dikuasai emosi, saat kita mau marah besar, coba lakukan perenungan. Tanyakan pada diri sendiri pertanyaan, misalnya: Apa untungnya saya marah? Mengapa saya marah ya? Apakah alasan saya marah ini sudah benar?

Dengan melakukan perenungan kerap kali maka kita akan mampu mengendalikan diri. Prinsip kerjanya sederhana. Saat emosi aktif maka logika kita tak akan jalan. Demikian pula sebaliknya. Jadi,

saat kita melakukan perenungan atau berpikir secara mendalam maka kadar kekuatan emosi atau keingin an kita akan menurun.

Keempat, pengendalian diri dengan meng-gunakan kesabaran. Emosi naik, turun, timbul, tenggelam, datang, dan pergi seperti halnya pikiran. Saat emosi bergejolak, sadari bahwa ini hanya semen-tara. Usahakan tidak larut dalam emosi. Gunakan kesabaran, tunggu sampai emosi surut, baru berpikir untuk menentukan respon yang bijaksana dan bertanggung jawab.

Kelima, menyibukkan diri dengan pikiran atau aktivitas yang positif. Pikiran hanya bisa memikir-kan satu hal dalam suatu saat. Ibarat layar bioskop, film yang ditampilkan hanya bisa satu film dalam suatu saat. Nah, film yang muncul di layar pikiran inilah yang mempengaruhi emosi dan persepsi kita. Saat kita berhasil memaksa diri memikirkan hanya hal-hal positif maka film di layar pikiran kita juga berubah. Dengan demikian pengaruh dari keinginan atau suatu emosi akan mereda.

Page 12: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/200912

Mukjizat Psikologis Al-Qur`an

Secara umum, mukjizat di-ke nal sebagai kejadian aja ib yang sulit dijangkau kemampuan akal manu-

sia. Dalam Islam, mukjizat berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Dan al-Qur`an me ru pakan mukjizat besar Is-lam yang terbentang sepanjang masa. Tak akan ada seorangpun mampu membuat tandingannya hingga akhir zaman nanti.

Al-Qur`an memiliki banyak aspek keistimewaan dan kemukji-zat an. Salah satunya adalah mukji-zat psikologis. Al-Qur`an diyakini sebagai satu-satunya kitab suci yang memiliki energi daya gubah dan gugah yang luar biasa, serta semacam pengaruh yang dapat melemahkan dan menguatkan jiwa seseorang. Peristiwa keis-laman Umar ibn Khaththab RA setelah membaca lembaran ayat -ayat al-Qur`an, menjadi bukti kemukjizat an al-Qur`an secara psikologis ini.

Allah berfirman, ”Sesungguh-nya orang-orang mukmin (yang sempurna) adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, ber-getar hati mereka. Dan apabila di-bacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, bertambah iman mereka.” (Qs. al-Anfâl [8]: 2)

Bukti lain misalnya, penelitian yang dilakukan DR. Ahmad al-

Qadhi mengenai pengaruh ayat-ayat al-Qur`an terhadap kondisi psikologis dan fisiologis manusia. Ia buktikan, al-Qur`an mampu menciptakan ketenangan ba-tin (psikologis) dan mereduksi ketegangan-ketegang an saraf (fi-siologis). Penelitian ini dilakukan terhadap lima sukarelawan non-muslim, berusia antara 17-40 tahun, menggunakan alat ukur stres jenis MEDAQ 2002 (Medical Data Quetient), yang dilengkapi software dan sistem detektor elek tronik hasil pengembangan Pusat Kedokteran Universitas Boston, Amerika Serikat.

Sebelum penelitian dimu-lai, setiap responden dipasangi empat jarum elektrik di tubuh masing-masing, yang dikonek-sikan ke me sin pengukur berba-sis komputer. Ini dilakukan untuk mendeteksi gelombang elektro-magnetik, dan mengukur reaksi urat saraf reflektif pada masing-masing organ tubuh responden.

Pada ujicoba pertama, kelima responden diperdengarkan 85 kali ayat-ayat al-Qur`an secara mujawwad (tanpa lagu). Pada percobaan kedua, 85 kali diper-dengarkan kalimat-kalimat biasa berbahasa Arab secara mujaw-wad. Dan pada percobaan keti-ga, 40 kali responden dibiarkan duduk membisu sambil menu-

tup mata, tanpa dibacakan apa-apa. Hasilnya, 65% responden yang mendengarkan ayat-ayat al-Qur`an mendapat ketenangan batin dan ketegangan sarafnya turun hingga 97%.

Begitulah kemukjizatan al-Qur`an yang bukan sekedar kitab bacaan, namun mampu memotret jiwa dan raga manu-sia. Tapi, untuk menyingkap tabir dan rahasia al-Qur`an, tidak akan mampu dilakukan menggunakan cara-cara sombong (Qs. al-A’râf [7]: 146). Seper ti diungkap Prof. DR. Jeffrey Lang, guru besar Matematika Amerika dari Uni-versitas Kansas yang kini telah masuk Islam, ”Anda tidak dapat membaca al-Qur`an begitu saja, kecuali jika Anda bersungguh-sungguh memberi perhatian de-ngan penghayatan mendalam. Anda tinggal memilih, menye-rahkan sepenuhnya, seluruh jiwa dan raga, kepada al-Qur`an, atau Anda akan memeranginya de-ngan akal dan nalar Anda. Maka al-Qur`an akan menyerang Anda le bih kuat dari yang Anda ba-yangkan, mendebat, mengkritik dan membuat malu para penan-tangnya.”

Selain sebagai potret jiwa dan raga, al-Qur`an juga berfungsi se-bagai obat/terapi psikologis. Efek penyembuhan dengan mem-

Nazlah Hidayati M.PsiDosen UIN Malang

AGAMA|feature|artikel | berita|

dok.

prib

adi

Edisi I/Tahun I/200912

Page 13: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/2009 13

perdengarkan ayat-ayat al-Qur`an atau meminta pasien untuk membaca nya, terbukti sangat luar biasa.

Sebuah riwayat yang disampaikan Ibnu Sunni dari Abdurrahman ibn Abu Laila disebutkan, per-nah seorang lelaki datang menghadap Rasulullah SAW dan berkata, ”Saudaraku sedang sakit, wahai Rasulullah.” Nabi bertanya, ”Sakit apa saudaramu?” ”Sejenis penyakit hilang ingatan (gila),” jawab lelaki itu. Lalu Nabi memeritahkan, ”Bawalah ia padaku.”

Setelah si pasien dihadapkan kepada Rasu-lullah, lalu beliau mene rapinya dengan membaca-kan ayat-ayat dari surah al-Fâtihah, al-Baqarah ayat 2-5, 163-164, 225, 284-286, Âli ’Imrân ayat 2, 18, al-A’râf ayat 54, al-Mu`minûn ayat 116, al-Jin ayat 3, al-Hasyr ayat 22-24, al-Ikhlâs ayat 1-4, al-Falaq ayat 1-5, dan an-Nâs ayat 1-6. Setelah beberapa kali diterapi si pasien sembuh dan normal kembali. Subhânallâh.

Membentuk KepribadianSeperti dikemukakan di

atas, al-Qur`an hanya akan ber-pengaruh secara psikologis jika seseorang benar-banar mampu bersahabat akrab dengannya. Baik dengan membaca, meng-hayati dan meng amalkannya penuh keyakinan, di sip lin dan berulang-ulang.

Membaca al-Qur`an dengan memahami maknanya mela-lui tafsir dan takwil (al-hikmah), akan menghasilkan potensi pencegah an, per-lindungan dan penyembuhan banyak penyakit psikologis. Segala penyebab gangguan psikologis dan terganggunya eksistensi kejiwaan akan lenyap de ngan menjadikan al-Qur`an sebagai pedo m an hidup.

Ketika seseorang mampu menjadikan al-Qur`an sebagai pedoman hidup, berarti ia telah memiliki kepribadian Qur’ani. Kepribadian semacam ini diperoleh ketika sese orang telah berhasil men-transformasikan isi kandungan al-Qur`an ke dalam dirinya, untuk kemudian diinternalisasikan dalam kehidupan nyata. Proses transformasi dan inter-nalisasi tersebut harus tercermin dalam semua di-mensi nilai-nilai al-Qur`an. Yaitu dimensi i’tiqâdiyah (keimanan), khuluqiyyah (etika), dan ’amaliyyah (perilaku).

Simbologi al-Qur`anSebuah wacana mukjizat al-Qur`an yang kini

mulai diteliti oleh beberapa ahli sebagai ilmu baru adalah simbologi al-Qur`an yang mampu meme-takan dan membaca karakter manusia. Menu-rut ilmu ini, karakter setiap orang terwakili oleh salah satu dari 30 juz di dalam al-Qur`an. Artinya, baik masa lalu, kelebihan dan kekurangan, bakat dan minat, problem solving, sifat, dan prediksi ke-hidupan masa depan seseorang, dapat diketahui dengan menganalisis dan mempelajari juz yang menjadi karakternya. Penentuan juz, didasarkan pada pemaknaan simbol-simbol dalam al-Qur`an yang meliputi huruf, ayat, surah, halaman, angka dan tema.

Kriteria huruf Hijaiyah yang dipergunakan dalam penentuan juz adalah deret 32 huruf, de-ngan menambahkan empat huruf tâ`, alîf lâm,

hamzah, dan lâm alîf dari 29 deret huruf yang lazim dikenal. Setiap huruf memiliki makna simbolik tersendiri. Misalnya huruf-huruf dari âlîf sampai syîn, diasumsikan sebagai simbol tubuh atau fisik. Huruf shâd sampai kâf, dia sumsikan memetakan tentang masa de-pan dalam realitas sehari-hari. Sedangkan huruf lâm sam-pai alîf lâm menggambarkan masa lalu.

Berbagai metode yang di-gunakan, antara lain metode identifikasi karakter berdasar-kan surah, struktur huruf, hu-ruf cetak tebal di setiap awal

juz, tanda ruku’ (’ain juz), dan makna halaman. Mis-alnya, ketika analisis menggunakan metode identi-fikasi karakter berdasarkan surah, maka seseorang yang memiliki karakter juz dua (surah al-Baqarah) dengan total 111 ayat, jika dikorelasikan dengan surah ke-111 (al-Lahab/gejolak api), maka orang yang memiliki karakter juz tersebut cenderung menanggapi sesuatu dengan emosi dan sulit men-gendalikan emosi.

Makna lainnya, surah al-Baqarah artinya sapi betina. Sapi adalah binatang yang kuat mengha-dapi perubahan cuaca. Maka orang dengan kara-kter juz dua, cenderung memiliki ketahanan fisik terhadap cuaca. Ia seorang pekerja keras dan pan-tang menyerah, namun kadangkala ia bisa kehi-langan inisiatif jika emosi sedang menguasai.

Begitulah. Selain efek mene nangkan dan meng-getarkan jiwa, al-Qur`an juga memiliki efek preventif, kuratif dan terapeutik terhadap berbagai penyakit kejiwaan, spiritual hingga fisik. Wallâhu a’lam.

flickr.com

ARTIKEL AGAMA

Edisi I/Tahun I/2009 13

Page 14: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/200914

Delapan Prinsip Tazkiyah an-Nafs

Prof. DR. Achmad Mubarok MAGuru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

AGAMA|feature|artikel | berita|

Jiwa manusia, oleh Allah SWT telah didesain sempurna, di-anugerahi kapasitas ter tentu, berfitrah suci, dan bisa diting-

katkan kesuciannya. Tapi bisa juga menjadi kotor jika dikotori.

Al-Qur`an sejak awal telah mengingatkan tentang kesucian jiwa tersebut, yang terangkum dalam beberapa prinsip berikut ini:

Pertama, nafs yang suci secara fitri, atau suci sejak mula kejadi-annya. Yaitu nafs anak-anak yang belum mukallaf dan belum per-nah melakukan perbuatan dosa, seperti disebut dalam firman Al-lah, ”Musa pun berkata, “Mengapa kamu bunuh jiwa yang suci, bukan karena ia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melaku-kan yang mungkar.” (Qs. al-Kahfi 18]: 74)

”Ia (Jibril) berkata, “Sesungguh-nya aku ini haruslah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu se-orang anak laki-laki yang suci.” dan (Qs. Maryam [19]: 19)

Kedua, nafs yang suci jika tidak dipelihara kesuciannya, bisa berubah menjadi kotor. Allah ber-firman, ”Dan sesungguhnya meru-gilah orang yang mengotori (jiwa)nya.” (Qs. asy-Syams [91]: 10)

Ketiga, manusia bisa melaku-kan usaha penyucian jiwa. Seperti disebut dalam surah an-Nâzi’ât [79] ayat 18, ”Dan katakanlah (kepada Fira’un) adalah keinginan bagimu

untuk membersihkan diri (dari kese-satan).” al-Fâthir [35] ayat 18, ”Dan barangsiapa yang menyucikan di-rinya, sesungguhnya ia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri.” Dan al-A’lâ [14] ayat 1: ”Sesungguh-nya beruntunglah orang yang mem-bersihkan diri (dengan beriman).”

Keempat, proses penyucian jiwa, bisa melalui usaha. Seperti dengan mengeluarkan zakat, atau menjalankan pergaulan hidup se-cara terhormat. Allah berfirman, ”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan (hati dari kekikiran dan cinta harta) dan menyucikan mereka (dengan tumbuhnya sifat-si-fat terpuji dalam jiwa mereka).” (Qs. At-Taubah [9]: 103)

”Jika kamu tidak menemui seo-rangpun di dalam rumah (yang bu-kan rumahmu) itu, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu men-dapat izin. Dan jika dikatakan ke-padamu, “Kembali (saja)lah,” maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu.” (Qs. an-Nûr [24]: 28)

”Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka.” (Qs. an-Nûr [24]: 30)

Kelima, penyucian nafs juga bisa dilakukan dengan proses pen-didikan, seperti yang dilakukan oleh para Nabi kepada umatnya. Hal ini ditegaskan al-Qur`an dalam

banyak surah. Seperti al-Baqarah [2] ayat 129 dan 151, Âli-‘Imrân [3] ayat 164, dan al-Jum’ah [62] ayat 2.

Keenam, di samping melalui usaha dan pendidikan, penyucian jiwa bisa juga terjadi karena karunia dan rahmat Allah yang diberikan kepada orang yang Dia kehendaki. ”Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar itu) sela-ma-lamanya,. Tapi Allah membersih-kan siapa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. an-Nûr [24]: 21)

Dan surah an-Nisâ` ayat 49, ”Apakah kamu tidak memperha-tikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dike-hendaki-Nya dan mereka tidak ania-ya sedikitpun.”

Ketujuh, perbuatan menyu-cikan jiwa (tazkiyyât an-nafs), merupakan perbuatan terpuji dan dihargai Allah. Seperti disebut dalam surah Tâhâ [20] ayat 75-76, asy-Syams [91] : 9, al-A’lâ [87]: 14, dan al-Lail [92]: 18.

Kedelapan, perbuatan meng-aku jiwanya telah suci, merupakan hal yang tercela. Hal ini telah Allah tegaskan dalam surah an-Nisâ` [4] ayat 49, dan an-Najm [53] ayat 32, ”Maka, janganlah kamu menga-takan diri mu suci. Dialah yang pa-ling menge tahui tentang orang yang bertakwa.”

Edisi I/Tahun I/200914

Page 15: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/2009 15

ARTIKEL AGAMA

Hindari Bakat Instan

Yayah Hidayah MPsiDosen Psikologi Agama Mercu Buana & USAHID

Akhir-akhir ini, kita te ngah dicekoki banyaknya ajang pencarian bakat ala “idol-idol”an maupun

lomba-lomba. Dari lomba menya-nyi, pemilihan bintang, dan se-bagainya. Proses instan pencarian bakat-bakat segar industri musik dan hiburan di tanah air ini, sering mengesampingkan dampak dari pola yang serba instan itu.

Dengan acara seperti ini, re-maja dan anak-anak akan semakin banyak yang bercita-cita menjadi penyanyi dan bintang sinetron. Mereka berpikir, dengan ikut audi-si, bergaya, bernyanyi, dan bantu-an sms dari pemirsa TV, ditambah sedikit keberuntungan, mereka akan langsung tenar dan menjadi juara.

Padahal seharusnya, remaja dan anak diberi stimulus proses berpikir dengan porsi lebih besar. Seperti melalui lomba matemati-ka, fisika, karya ilmiah atau lomba-lomba penelitian lainnya.

Dalam pencarian bakat, se-mestinya dilakukan dengan pro-ses alami. Karena, dengan proses yang terlalu singkat atau pendek, akan sulit untuk menilai keber-hasilan yang sebenarnya. Anak yang berhasil dengan proses ini, biasanya akan cepat putus asa, cengeng dan bermental kurang kuat dalam perjalanan karis dan hidup selanjutnya.

Menurut para ahli (sep-

erti Freeman/1963 maupun Bingham/1968), bakat merupa-kan suatu potensi atau kemam-puan khusus dan lebih dominan yang dimiliki seseorang, yang da-pat berkembang melalui proses pelatihan dan pendidikan intensif. Dengan proses ini, bakan akan menjadi sebuah kemampuan dan kecakapan nyata. Seseorang akan lebih baik prestasi dan keahlian-nya, jika ia mampu melakukan suatu pekerjaan sesuai bakat dan minatnya, ketimbang bidang yang tidak sesuai dengan bakatnya.

Banyak faktor yang mem-pengaruhi perkembangan bakat seseorang. Kemampuan atau po-tensi individu yang dibawa sejak lahir, atau faktor bawaan, sangat menentukan pembentukan dan perkembangan bakat seseorang. Tapi faktor ini saja tidak cukup un-tuk memaksimalkan bakat, karena faktor lingkungan juga berperan mengembangannya.

Dalam Islam disebutkan, “Se-tiap bayi lahir ke dunia dalam keadaan suci bersih,” tanpa dosa dan tanpa kecakapan yang khu-sus. Kemudian peran lingkungan keluarga sangat menentukan pengembangannya. Lingkungan dapat berfungsi sebagai stimu-lus bagi berkembangnya bakat, dan bisa juga sebaliknya, men-jadi penghambat perkembangan bakat.

Bakat juga tak akan berkem-

bang optimal, apabila tidak dibarengi dengan minat yang cukup tinggi terhadap bidang yang sesuai dengan bakat terse-but. Contohnya, seseorang yang memiliki bakat cukup tinggi se-bagai ahli menggambar, tapi ia tak berminat terhadap hal-hal yang berhubungan dengan menggam-bar, maka bakatnya itu tak akan berkembang maksimal.

Motivasi diri untuk mengeks-presikan bakat, juga mempe-ngaruhi usaha pengembangan bakat. Motivasi seseorang sangat erat kaitannya dengan usaha dan kerja keras untuk mencapai tujuan hidupnya. Selain itu, bakat sese-orang juga akan berkembang pe-sat apabila ia memiliki nilai hidup yang berarti atau positif terhadap pengembangan bakatnya itu.

Faktor kepribadian sangat penting bagi perkembangan bakat seseorang. Seperti konsep diri, rasa percaya diri, keuletan, keteguhan dan kesabaran dalam berusaha, kesediaan untuk menerima kritik maupun saran untuk meraih cita-cita yang lebih tinggi.

Bakat akan berkembang de ngan baik apabila sudah mendekati atau menginjak masa peka atau kematangannya. Tapi, tak ada kepastian kapan hitungan masa kematangan akan datang, masing-masing individu memiliki masa kematangan yang berbeda-beda.

Edisi I/Tahun I/2009 15

Page 16: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/200916

Hakikat Khusyu’

Kata khusyu’ dalam al-Qur-`an hampir selalu digan-dengkan dengan shalat. Dalam surah al-Baqarah

ayat 45, Allah SWT berfirman, ”Dan mintalah pertolo ngan (ke-pada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan ses-ungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`.” Demikian pula dalam surah al-Mu`minûn ayat 2, Allah berfirman, ”(Yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya.”

Imam Ibnu Abbas men-jelaskan, makna khusyu’ adalah tenang. Dalam bahasa ulama fikih disebut thuma’nînah (tidak tergesa-gesa). Berdasarkan argu-men ini, shalat khusyu’ berarti shalat yang ditegakkan dengan tenang dan tidak terburu-buru. Karena, orang yang tergesa-gesa mengerjakan shalat, ia tak akan pernah bisa menikmatinya. Ibarat orang yang tergesa-gesa ketika makan, ia tak akan pernah menik-mati lezatnya makanan tersebut.

Selain itu, kata khusyu’ juga digunakan untuk menerangkan kondisi psikologis orang-orang kafir dan pendosa di hari kia-mat kelak. Bahwa mereka dalam kondisi jiwa yang penuh kesedih-

an dan ketakutan. Dalam surah al-Qalam ayat

43 Allah berfirman, ”Pandangan mereka tunduk ke bawah, dan mereka diliputi kehinaan. Sesung-guhnya mereka dulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera (tetapi mereka tidak melakukannya).”

Dipertegas lagi dalam su-rah al-Ma’ârij ayat 44, ”Mereka menekurkan pandangannya (serta) diliputi kehinaan. Itulah hari yang dahulunya diancam-kan kepada mereka.” Dan dalam surah an-Nâzi’ât ayat 9 lagi-lagi ditegaskan makna yang sama, abshâruhâ khâsyi’ah (panda-ng annya tunduk). Begitu pula dalam surah al-Ghâsyiyah ayat 2, wujûhuy-yama`idzin khâsyi’ah (banyak muka pada hari itu tun-duk terhina).

Dalam surah Fushshilat ayat 39, kita menemukan ayat yang menggambarkan ketandusan bumi dengan kata khusyu’. Al-lah berfirman, ”Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus (khâsyi’atan). Maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang Menghidupkannya tentu da-

pat Menghidupkan yang mati. se-sungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Ini menunjukkan, bahwa kata khusyu’ juga digunakan dalam al-Qur`an untuk menuturkan kondisi yang nampak mati, tidak ada kehidupan, lalu ia menjadi bangkit dan hidup dengan disira-mi air hujan.

Khusyu’ ShalatAda beberapa makna khusyu’

yang telah diterangkan ayat-ayat al-Qur’an di atas: Pertama, ada gambaran sebuah makna yang saling melengkapi tentang haki-kat khusyu’ dalam shalat. Yaitu: suatu kondisi di mana seseorang yang sedang shalat benar-benar menyadari kelemahan dirinya yang terbatas dan serba tergan-tung kepada selainnya, terutama kepada Allah. Dengan kesadaran itu, ia akan menegakkan shalat-nya dengan sungguh-sungguh. Bukan asal-asalan.

Inilah maksud firman Allah dalam surah al-Mu`minûn ayat 2, alladzîna hum fî shalâtihim khâsyi’ûn. Karenanya Ibnu Abbas mengartikan kata khâsyi’ûn se-bagai sâkinûn (tenang).

Bila kondisi seperti ini yang di-capai seseorang dalam shalatnya,

Dr. Amir Faishal FathDosen Sekolah Tinggi Ilmu Dirosat Islamiyah Jakarta

AGAMA|feature|artikel | berita|

ww

w.d

akw

atun

a.co

m

Edisi I/Tahun I/200916

Page 17: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/2009 17

maka ia akan merasa nikmat, dan tak akan pernah sedikitpun merasa terbebani. Inilah makna ayat dalam surah al-Baqarah ayat 45, wa innahâ laka-bîratun illa ‘alal-khâsyi’în (Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`).

Dari kesadaran shalat seperti inilah akan ter-capai kesadaran mendalam bahwa shalat bukan hanya ritual, melainkan harus tercermin dalam kehidupan nyata sehari-hari. Bila seseorang benar-benar menjiwai hakikat shalat seperti ini, maka ia tak hanya baik secara ritu al, melainkan di saat yang sama ia pasti baik secara sosial (akhlak mulia).

Ini yang di maksud dengan firman Allah, ”Se-sungguhnya shalat pasti akan mencegah dari per-buatan keji dan munkar.” (Qs. al-’Ankabût [29]: 45)

Perhatikan ayat ini. Di dalamnya terdapat suatu jaminan dari Al-lah, bahwa seorang yang mengerjakan sha-lat pasti akan tercegah dari perbuat an keji dan munkar. Artinya, tak mungkin seorang yang shalatnya baik, peri-lakunya ti dak baik. Ingat, bahwa ini jaminan dari Allah. Dan kita tahu Al-lah tak pernah bohong. Maka jika ada seorang yang shalat, tetapi peri-lakunya jahat, sung guh yang harus diperta-nyakan adalah kualitas shalatnya.

Kedua, shalat ada-lah ibadah yang sangat agung. Tak ada ibadah dalam Islam yang langsung Allah berikan kepada Rasulullah SAW tanpa perantara Jibril AS, kecuali shalat. Ini menunjukkan betapa agungnya ibadah shalat. Di hari kiamat nanti, ibadah ini akan men-jadi barometer bagi ibadah kita lainnya.

Karenanya, seperti disebutkan dalam sebuah hadist, yang pertama kali dihisab dari diri sese-orang kelak di akhirat adalah shalat. Bila shalatnya baik, maka ibadah yang lainnya pasti akan menjadi baik. Sebaliknya, bila shalatnya buruk, ibadah lain-nya juga akan dianggap buruk.

Jadi, peran khusyu’ dalam shalat sangatlah penting. Karenanya, Ibnu Taimiyah dalam kitab Maj mu’ Fatâwâ menjelaskan bahwa khusyu’ adalah syarat diterimanya shalat. Ia mendasarkan penda-

patnya pada surah al-Mu`minûn ayat 1-2, ”Sesung-guhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya.”

Dari sini Ibnu Taimiyah lalu mengambil kesim-pulan bahwa tidak mungkin bisa mencapai keba-hagiaan, bila seseorang ti dak mempunyai kualitas khusyu’ dalam shalatnya.

Seperti disebutkan di atas, para ulama fikih membahasakan khusyu’ dengan kata thuma’nînah. Kedua kata ini (khusyu’ dan thuma’nînah) menun-jukkan makna yang sama, yaitu shalat yang dite-gakkan dengan tenang, tidak terburu-buru, penuh dengan ke sadaran kehambaan kepada Allah.

Ketiga, hakikat khusyu’ berdasarkan keterang-an di atas bila dinisbahkan kepada shalat, maka maksudnya adalah shalat yang tidak hanya tegak

secara fisik, melain-kan juga jiwa.

Nampak di sini betapa peran penting terlibatnya jiwa ketika seorang mengerjakan shalat. Karenanya tak heran jika banyak hal dalam al-Qur`an, ma-salah jiwa (an-nafs) menjadi penekanan. Kata tazkiyyah (pem-bersih an), selalu di-maksudkan untuk pem bersihan jiwa (tazkiyyatun-nafs). Al-lah berfirman, ”Demi jiwa serta penyempur-naannya (ciptaannya), maka Allah mengil-hamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.

Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensyu-cikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Qs. asy-Syams [91]: 7-10)

Lebih dari itu, di alam akhirat nanti, ketika tiba saatnya ahli surga masuk surga dan ahli neraka masuk neraka, Allah akan lebih dahulu memanggil orang-orang yang jiwanya tenang mentaati-Nya, menegakkan ibadah kepada-Nya, tidak terpe-ngaruh godaan apapun. ”Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Qs. al-Fajr [89]: 27-30).

Wallâhu a’lam bish-shawâb.

flickr.com

ARTIKEL AGAMA

Edisi I/Tahun I/2009 17

Page 18: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/200918

SEFT untuk Korban Situ GintungBENCANA jelas menyisakan luka dan trauma, fisik maupun psikis. Bukan hanya mental korban, tapi juga para penolong (relawan) yang menyaksikan banyak kepedihan akibat bencana.

Selasa (31/03) pagi, empat hari pascabencana jebolnya Situ Gintung yang menelan korban 100 jiwa dan tujuh puluhan masih dinyatakan hilang, Lembaga Pelayanan Masyarakat (LPM) Dompet Dhuafa Repub-lika bekerjasama dengan LoGOS Institute dan relawan IRG menggelar “Mental Recovery: Trauma Healing”, bagi korban bencana dan para relawan.

Dalam acara yang digelar hanya beberapa meter dari tanggul Situ Gintung yang jebol itu, korban dan rel-awan diberikan terapi dengan metode Spiritual Emo-tional Freedom Technique (SEFT), untuk menghilang-kan trauma dan keluhan fisik lainnya. Menurut Ketua Tim LoGOS Institute, Eko Nugroho, SEFT merupakan penggabungan antara spiritualitas (melalui doa, keikhlasan, dan kepasrahan) dan energy psychology. Teknik ini telah terbukti secara ilmiah dan bebas dari unsur supranatural atau klenik.

SEFT merupakan teknik pengembangan diri ekletis yang menggabungkan 14 macam teknik terapi (termasuk kekuatan spiritual) untuk mengatasi berbagai macam masalah fisik, emosi, pikiran, sikap, motivasi, perilaku, dan peak performance secara cepat, mudah dan universal.

14 macam teknik itu meliputi Cognitive Therapy (NLP), Behavioral Therapy, Logotherapy, Psycho-analisa, EMDR, Self Hypnosis (Ericsonian), Sugesty & Affirmation, Visualization, Gestalt Therapy, Meditation, Sedona Methode Provocative Therapy, Energy Therapy (EFT), dan Powerful Prayer.

“Prinsipnya kita menekankan kepada pasien untuk menerima secara ikhlas cobaan yang diberikan, kemudian melancarkan kembali aliran energi yang tersumbat melalui titik akupuntur,” papar Eko sambil menerangkan titik-titik akupuntur yang biasa dipakai.

Menurutnya, keistimewaan dari teknik ini adalah karena proses yang cepat dan mudah serta bisa dilakukan oleh semua kalangan. Selain itu, metode ini juga bukan sekedar untuk mengobati trauma psikis saja, tapi juga masalah fisik.

SEFT dikembangkan dari Emotional Freedom Technique (EFT™), oleh Gary Craig (USA), yang saat ini sangat populer di Amerika, Eropa dan Australia, se-bagai solusi tercepat dan termudah untuk mengatasi berbagai masalah fisik, emosi, dan untuk mening-katkan performa kerja. Saat ini EFT telah digunakan oleh lebih dari 100.000 orang di seluruh dunia.

Alasan pemilihan teknik ini karena efektif, mampu menyelesaikan berbagai masalah fisik dan emosi, bahkan untuk beberapa masalah yang divonis tak lagi memiliki harapan oleh dokter. Selain itu, teknik ini juga mudah dan cepat, sehingga semua orang, bahkan anak-anak dan orang lanjut usia, bisa melakukannya. “Biasanya waktu yang dibutuhkan hanya 5 sampai 15 menit. Tergantung tingkat kedalaman trauma,” tambah Eko.

Para korban dan relawan menyambut antusias acara ini. Seperti diakui Slamet Santoso (43), korban bencana di RT 01/08, yang dulunya tinggal dekat lokasi tanggul jebol. ”Sebelumnya badan saya sering ngilu di bagian pundak. Mungkin karena kecapaian,” jelas Slamet. Tapi setelah diterapi selama lima menit, ia mengaku sakitnya hilang. Slamet sekarang tak lagi khawatir sakitnya akan kembali datang, karena ia su-dah bisa menerapi sendiri dengan metode SEFT yang diajarkan. (ahmad taufiq)

foto

.det

ik.c

om

AGAMA|feature|artikel | berita|

Page 19: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/2009 19

|feature|artikel | berita|SOSIAL

Virus GanasPolitik Uang

Raut wajah Bunawi (45) ce rah seketika. Ia tak perlu lagi mengayuh becak hingga larut malam. Bak durian

runtuh, ia menerima uang sebesar 50 ribu dari seorang calon anggota legislatif (Caleg) partai politik yang mengunjungi rumahnya pagi itu. Bagi tukang becak yang biasa mangkal di salah satu sudut kota Sumenep ini, uang 50 ribu sangat besar artinya, sama dengan upah lelahnya mengayuh becak selama tiga hari.

Menjelang Pemilu tahun ini, Bunawi pun mengurangi frekuensi

mengayuh becak. Ia justru rajin mengikuti kampanye berbagai partai politik yang diadakan di kotanya. “Siapa tahu dapat rezeki,” katanya kepada Qalam (20/3).

Ketika ditanya, siapa calon legislatif yang akan dipilih saat Pemilu nanti, ayah dua anak ini dengan singkat menjawab, ”Mele se aberri’ pesse otaba berras (memilih yang memberi uang atau beras).”

Bunawi beralasan, selama ini partai politik sering membodohi rakyat. Para caleg menurutnya hanya pandai mengobral janji.

Kalau sudah terpilih, mereka akan meninggalkan rakyat. ”Ya, lebih baik dapat uang sekarang. Karena, setelah Pemilu, belum tentu para Caleg itu bagi-bagi uang. Apalagi kehidupan saat ini susah, Mas,” katanya.

Bunawi adalah potret kecil betapa masyarakat Indonesia, ter utama masyarakat pedesaan, begitu pragmatis menghadapi Pemilu. Kalkulasi untung-rugi menjadi senjata utama bagaimana mereka bersimpati kepada para Caleg. Caleg yang “royal” menabur uang atau sembako, pastilah ia akan meraih simpati.

Sikap “royal” ini terlihat pada pasangan calon peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Timur beberapa waktu lalu. Mi-sal nya, dengan mengadakan pen-jualan kebutuhan pokok berharga murah atau menggelar gerak jalan berhadiah sepeda motor. Sebagian calon juga tak segan-segan men-traktir makan dan minum warga yang ditemui di tempat umum.

Hal serupa juga dapat ditemui dalam Pilkada Jawa Barat, 13 April lalu. Pada 9 April 2008, 147 warga Kampung Bantarpanjang, Kecamatan Warudoyong, Kota Sukabumi, mendapat amplop berisi uang Rp 10.000 dengan pe-san agar memilih salah satu peserta Pilkada.

Sama-sama Frustasi Menurut Edy Suandi Hamid,

Moh. Hamzah Arsa

Politik uang sejatinya adalah salah satu bentuk virus politik yang cukup ganas. Ia akan membunuh po-hon demokrasi hingga ke akar-akar nya dan menjadi ancaman bagi tanaman di sekitarnya.

foto

.det

ik.c

om

Page 20: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/200920

Rektor Universitas Islam Indone-sia, maraknya praktik politik uang menjelang Pemilu 2009 dan dalam pelaksanaan Pilkada di beberapa daerah, di antaranya terjadi akibat rasa frustasi pemilih dan para Caleg terhadap kondisi politik saat ini. Kedua pihak pun memilih cara-cara instan untuk meraih tujuan dan keuntungan masing-masing.

Dalam praktik money politics (politik uang), imbuh Edy, ada hubungan yang bersifat transak-sional pada kedua pihak yang frustasi. Pemilih frustasi karena menganggap siapapun yang terpi-lih tidak akan berarti banyak bagi nasib mereka, sehingga budaya instan muncul, memilih yang mau membeli suaranya.

Caleg pun frustasi karena tidak dipercaya oleh masyarakat. Akhirnya mereka memilih jalan pintas lewat pola ”beli-putus”. Yaitu, membayar suara pemilih dan merasa kewajiban lepas saat sudah terpilih.

Praktik politik uang, terjadi karena adanya hubungan mutu-alisme antara pelaku, yaitu partai

politik (Parpol), politisi, dan rakyat secara umum. Bagi politisi, politik uang merupakan media instan untuk mendapat suara konstituen. Sebaliknya, bagi rakyat, politik uang ibarat bonus rutin di masa Pemilu. Uang atau materi dari politik uang itu dianggap lebih ril bisa dirasakan, dibandingkan misalnya realisasi program-prog-ram partai atau politisi yang tidak menyentuh langsung masyarakat.

Menurut Edy, jalan pintas ini adalah bukti belum siapnya politisi dan Parpol melakukan proses penguatan partainya melalui peng-kaderan dan penggalangan basis massa. Dan ini merupakan indikasi gagalnya komunikasi politik antara Parpol dengan konstituen.

Akar Virus Politik UangPolitik uang sejatinya adalah

salah satu bentuk virus politik yang cukup ganas. Ia akan mem-bunuh pohon demokrasi hingga ke akar-akarnya. Cepat atau lam-bat. Kalau pada akhirnya pohon demokrasi itu tumbuh besar, ia akan menjadi ancaman bagi tana-man di sekitarnya. Atau, bahkan

membunuhnya juga.Ketika politik uang menjadi

senjata para Caleg untuk “menipu” masyarakat agar bersimpati dan memilihnya, maka saat itu pula, pesta demokrasi —Pemilu, Pilka-da, Pilkades— dengan sendirinya telah cacat.

Politik dan uang selalu bergandengan tangan. Dan virus politik uang, sebenarnya sudah berkembang sejak masa Negara Kota (Polis/Politea) di Yunani Kuno. Sejak dipergunakan secara luas sebagai alat tukar dalam peradaban modern, uang telah menjadi tiket politik yang efektif. Jika digunakan dengan cerdas, ia bisa menjadi ongkos bagi seseorang untuk memperoleh kekuasaan atau jabatan tertentu.

Praktik politik uang setidaknya bermasalah dalam dua aspek: ide-alisme demokrasi dan aturan main perundangan. Dalam konteks demokratisasi, fenomena politik uang, memiliki sisi berla wanan dengan idealisme demokrasi.

Dinamika demokratisasi meng-hendaki adanya kemandiri an dan rasionalitas rakyat sebagai aktor utama demokrasi. Pilihan rakyat dalam berdemokrasi harus mer-deka dari tekanan dan intimidasi termasuk tekanan uang. Selain itu, pilihan rakyat juga mesti berdasar-kan pertimbangan rasiona litas, bu-kan alasan yang bersifat pragmatis.

Perebutan kekuasan politik seperti apapun bentuknya, mesti tetap dalam idealisme demokrasi.

Pada titik ini, yang menguat adalah praktik proseduralisme demokrasi yang berbiaya tinggi, dan semakin terpinggirkannya substansi nilai-nilai demokrasi yang mengusung kearifan dan kemanusiaan. Ujung dari politik uang, tentunya demokratisasi tak bertuan. Mengapa? Karena agregasi kekuasaan yang berlang-sung tidak melibatkan kekuatan kemerdekaan rakyat sesungguh-

flick

r.com

feature sosial

Page 21: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/2009 21

nya. Sebab, yang menggerakkan pilihan mereka adalah landasan material/uang.

Di sisi lain, pemerintah yang berkuasa pun tidak memiliki ruang akuntabilitas untuk proses pertanggungjawaban. Karena sega lanya telah selesai saat tran-saksi uang dalam proses pemilihan terjadi. Sehingga tak mengheran-kan, ketika terjadi tirani kekuasaan oleh negara, maka rakyat tidak memiliki daya resistensi yang cukup kuat. Di sinilah muncul ironi demokrasi. Dari rakyat, tapi bukan oleh rakyat, dan bukan untuk rakyat.

Aspek kedua, politik uang juga bermasalah dalam perspektif yuridis. Dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu misalnya, di sebutkan bahwa pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang menjanjikan atau mem-berikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye. (Pasal 84 ayat 1 huruf J).

Begitu pula dalam UU 32 ta-hun 2004 pasal 117 ayat 2 tentang Pilkada juga telah diatur larangan politik uang, dengan ancaman

pidana penjara dua hingga 12 bulan bagi pelakunya. Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Benahi MentalPolitik uang, apapun ben-

tuknya, adalah virus. Kalau virus ini tidak dibasmi, ia akan meng-gerogoti mental para Caleg, termasuk juga pemilih. Cara yang paling efektif untuk bisa kebal dari ancaman virus ini adalah memben-tengi mental seluruh pihak yang terlibat dalam pentas demokrasi politik.

Para Caleg yang biasa nya menggunakan politik uang

cenderung bermental materi. Bagi-nya, kekuasaan hanya bisa dibeli dengan uang. Sementara bagi pemilih yang menerima uang se-bagai kompensasi hak politik yang dimilikinya biasanya bermental pragmatis. Hidup baginya hanya untuk memenuhi kebutuhan perut. Mental seperti inilah yang mesti diprioritaskan utuk dibenahi.

Karenanya, ketetapan Pengu-rus Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah yang menvonis politik uang sebagai keharaman merupakan salah satu jalan menghentikan laju politik uang. Setidaknya, para Caleg dan pemilih akan sadar dan mema-hami, bahwa perbuatannya itu termasuk dosa karena mengan-dung unsur risywah (suap-menyu-ap), yang dalam konteks Islam, pelakunya akan mendapat siksa di akhirat kelak.

Selain membenahi mental, penting kiranya membekali para Caleg dengan strategi berpolitik yang jitu. Menurut Alfan Alfian, dosen FISIP Unas, Jakarta, para Caleg seharusnya tidak bermo-dal ”tangan kosong” saat terjun ke dunia politik. Mereka wajib memahami strategi politik, seperti bagaimana membuat basis politik, menciptakan kader politik yang militan, menyusun program partai yang aplikatif, dan lainnya.

Alfan menilai, kemenangan politik tidak selalu ditentukan oleh uang. Karena uang bukan satu-satunya jaminan seorang Caleg dipilih masyarakat. Dibu-tuhkan strategi jitu untuk bisa bertarung dalam arena politik. Kalau tidak, imbuh Alfan, para Caleg hanya akan menjadi ”sapi perah” untuk dieksploitasi habisan-habisan oleh masyarakat pemilih. Atau sebaliknya, masya-rakat hanya jadi ”kuda tung-gangan” para Caleg untuk meraih kursi kekuasaan.

flick

r.com

/edi

ted

alib

feature sosial

Page 22: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/200922

SOSIAL|feature|artikel | berita|

Kalah-MenangPerebutan Kekuasaan

Satu dekade terakhir, bang-sa Indonesia sejatinya te ngah berada dalam se-buah dunia “entah kena-

pa” karena terjadinya serangkaian persoalan yang datang tiba-tiba. Persoalan yang seharusnya su-dah dapat diantisipasi sebagai dampak bawaan, malah sering membuat kita seperti bangsa yang baru belajar. Ini terjadi ham-pir di semua sendi kehidupan. Kita kerapkali dibuat tergagap-gagap oleh ketidakmampuan kita mengantisipasi berbagai kemungkinan yang seharusnya bisa siap diminimalisasi dampak negatifnya.

Begitu era reformasi datang setelah sekian tahun hanya bera-ni tumbuh dalam angan-angan, kita justru menyikapinya dengan main-main, tanpa konsep, peren-canaan dan perhitungan matang untuk mengukur segala dampak-nya. Kita terjangkit penyakit euphoria berlebihan, sehingga lupa ke mana harus melangkah. Bahkan, gerakan reformasi yang sejatinya diharap menjadi ger-

bang masa depan, malah akhirnya menjelma gelontoran bola salju yang setiap saat siap menerkam kita. Kita tak tahu harus berbuat apa, dan kita tak menyadari ini se-mua akan berakibat sangat buruk bagi kelangsungan kehidupan.

Demikian pula yang terjadi di ranah politik. Ketika lima tahun si-lam memilih kepala daerah secara langsung hanya angan-angan, kita kapan saja kita bisa menen-tukan pilihan untuk mengangkat seorang pemimpin. Hatta, untuk memenuhi hasrat berkuasa, kini sebuah daerah harus dimekarkan hanya demi jabatan prestisius, bupati kepala daerah.

Sebuah propinsi bahkan ber-nasib sama. Hanya untuk meng-antarkan seseorang menjadi gubernur, peduli amat meme-nuhi syarat atau tidak, kawasan tersebut harus terpecah-belah. Kabupaten Tarutung di Sumate-ra Utara, harus rela membelah dirinya hanya untuk kelahiran Ka-bupaten Dairi.

Ibarat “hukum karma”, Taru-tung tak hanya harus bersiap

menjadi ayah kandung bagi anak nya, Dairi, tapi juga harus berbesar hati ketika harus dilaku-kan operasi caesar atas kelahiran cucunya, Phakphak Barat sebagai kabupaten baru pecahan ka-bupaten Dairi.

Yang paling mutakhir, dan ini menyebabkan semua stakeholder sadar untuk melakukan morato-rium, adalah keinginan kelompok tertentu di Sumatera Utara un-tuk memecah propinsi tetangga Nanggroe Aceh Darussalam. Ketua DPR setempat, Abdul Aziz Angkat, menjadi martir, tewas saat menghadapi gelombang massa yang histeris, menebar tin-dakan horor untuk terpenuhinya hasrat pemekaran.

Maka, hasrat untuk berkuasa, akan terus menggelora dan tidak akan pernah berhenti. Ia akan terus bertunas dan berdaun, bercabang serta bertumbuhan, sehingga akan teramat sulit bagi siapapun untuk menghentikan keinginan paling purba yang ada pada diri anak manusia ini.

Kalau demikian, adakah di

flick

r.com

Ishaq Zubaedi RaqibWartawan Senior

Edisi I/Tahun I/200922

Page 23: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/2009 23

antara kita yang tidak memiliki hasrat berkuasa? Pada setiap anak manusia, hingga dalam diri manusia paling “suci” sekalipun, bahkan juga bagi kalangan mo ralis dan rohaniawan, hasrat ini telah ada. Bukankah telah nyata mata, ada para petinggi sebuah organisasi penggiat keagamaan harus ber-lomba, berkompetisi dan bersaing untuk jabatan ter tentu?

Untuk ini semua, dibutuhkan modal yang ten-tu saja tidak sedikit, tidak kecil. Dan sungguh tak terkirakan akibat negatifnya jika keinginan untuk berkuasa dan segera terpenuhi.

Hasrat BerkuasaKeinginan untuk berkuasa, sejatinya adalah

persoalan masa lalu yang terus berkembang hingga ke masa depan. Maka, segala modal dipertaruhkan untuk membuat kursi kekua-saan bertekuk lutut di hadapan kita, dan men-jadi layaknya sebuah mainan dalam geng-gaman tangan kita. Adakah semua ini sepi dari pendekatan politik.

Hampir semua kegiatan yang dilaku-kan untuk mencapai sesuatu membutuhkan politik tertentu, den-gan pendekatan yang berbeda. Ibarat sebuah game, kita harus memi-liki kiat-kiat tertentu, taktik yang jitu, dan strategi mumpuni agar sebuah target bisa dica-pai.

Demikian pula dengan yang dilakukan “calon-calon” pemimpin kita yang bertarung teramat ketat, bahkan dengan rekan separtai, untuk tujuan menjadi anggota parlemen. Saling membunuh pun dilakukan, asal tujuan dapat tercapai. Kon-sekuensinya jelas. Ada yang sukses menjadi peme-nang, dan karenanya harus ada yang menjadi pe-cundang.

Sekarang mari berhitung! Dari sisi materi, su-dah barang pasti tidak akan sedikit dana yang ha-rus dipersiapkan untuk memenuhi hasrat menjadi anggota dewan yang terhormat. Kalau Komisi Pe-milihan Umum (KPU) benar dengan datanya, maka

tercatat tak kurang dari 11.868 politisi dan calon politisi yang bersaing untuk menjadi manusia-manusia terhormat pada pemilu legislatif 2009 ini.

Jika jumlah ini dikalikan de ngan, minimal, Rp 1 miliar sebagai dana perjuangan, maka dalam be-berapa saat, dana sebesar itu habis dibuang hanya untuk sebuah persiapan. Dana yang untuk menu-liskannya harus menggunakan medium deret ang-ka ini, sungguh akan teramat panjang, dan jika ha-rus diverbalisasi akan berkisar triliyunan itu, dengan gampangnya digelontorkan hanya untuk sebuah prosesi start menuju pertarungan, yang sejatinya akan lebih mengerikan lagi.

Pantaslah kalau begitu kursi diduduki, maka sejak hari pertama yang terbayang adalah bagaim-

ana mengisi kantong yang terlanjur terkuras, menambah angka pada deposito yang sudah berkurang, dan tentu saja berjuang keras un-tuk memperoleh “un-tung” yang lebih besar lagi.

Apakah dengan demikian, akan usai sudah keiginan untuk berkuasa? Lima tahun ke depan, adakah yang ber-besar hati melepas kursi yang telah menjelma menjadi mesin pemen-uh hasrat berkuasa, ATM bagi semua keinginan, alat paling sophisticated untuk mencapai segala yang muncul dalam gelora syahwat dunia itu?

Bagi kita yang selama ini hidup di bawah atau tengah garis kemiskinan, mari bayangkan gaji para anggota dewan yang terdiri atas gaji rutin perbulan, rutin non perbulan dan tentatif.

Pendapatan rutin perbulan meliputi gaji pokok Rp 15.510.000, tunjangan listrik Rp 5.496.000, tun-jangan aspirasi Rp 7.200.000, tunjangan kehor-matan Rp 3.150.000, tunjangan komunikasi Rp 12.000.000, tunjangan pengawasan Rp 2.100.000. Total perbulan Rp 46.100.000 dan pertahun men-jadi Rp 554.000.000. Tanpa kecuali, semua anggota DPR mendapatkan gaji yang sama.

Sedang penerimaan non bulanan atau non ru-tin dimulai dari penerimaan gaji ke-13 setiap bulan

flickr.com

ARTIKEL SOSIAL

Edisi I/Tahun I/2009 23

Page 24: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/200924

Juni Rp 16.400.000 dan dana penyerapan/reses Rp 31.500.000. Dalam satu tahun sidang ada empat kali reses, dan jika ditotal selama pertahun akan diterima sekitar Rp 118.000.000.

Sementara penghasilan yang bersifat sewaktu-waktu, antara lain dana intensif pembahasan ren-cangan undang-undang dan honor penyelengga-raan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) sebesar Rp 5.000.000 perkegiatan. Dana kebijakan intensif legislatif sebesar Rp 1.000.000 per-RUU. Jika dihitung jumlah keseluruhan yang diterima ang-gota DPR dalam setahun mencapai hampir 1 milyar rupiah.

Data tahun 2006, jumlah pertahun dana yang diterima anggota DPR mencapai Rp 761.000.000, dan tahun 2007 mencapai Rp 787.100.000.

Masih adakah pos pendapat an lainnya? Tentu masih. Semisal tunjangan untuk jabatan di se-mua alat kelengkapan DPR. Pimpinan DPR, Ketua Komisi, Ketua Fraksi, Ketua Panitia Kerja (Panja), Ketua Panitia Khusus (Pansus), Panitia Anggaran (Pang gar), Pimpinan Badan Musyawarah (Bamus), Pimpinan Badan Legislasi (Baleg), serta pos-pos pendapatan lainnya. Duh!

Tentu saja, ini semua untuk mereka yang suk-ses melenggang menuju kursi-kursi yang tak lama lagi bakal ditinggalkan oleh peng huninya itu. Lalu bagaimana halnya dengan mereka yang sudah berjuang sekian tahun, konsolidasi sekian bulan, sosialisasi menjelang pemilu, tapi terpental dari perebutan kekuasaan ini? Adakah di antara mereka yang telah bersiap-siap untuk sebuah kekalahan?

Menerima KekalahanTradisi dan sejarah kehidupan perpolitik yang

dimiliki anak bangsa ini, sejujurnya tak pernah mengenal dengan benar istilah menerima keka-lahan. Jangankan untuk sebuah kekalahan dalam merebut kekuasaan, “mengalah” untuk sesuatu yang lebih bermakna bagi kelangsungan sebuah kehidupan pun, seringkali kita tidak siap.

Kalau perlu, sebuah kehidupan tak apalah ha-rus berhenti, asal jangan ada istilah kalah dalam kamus perjalanan hidup kita. Karena itu, kalah dalam dunia politik mengandung makna dan tafsir sungguh bera gam dengan implikasi tak bisa kita prediksikan. Karena itu, seringkali kita membuat tafsir yang rancu untuk memaknai akibat sebuah pertarungan politik.

Sejatinya, kekalahan dalam konteks perebutan kekuasaan memiliki implikasi yang sungguh tak terjangkau kata-kata. Sese orang yang mengalami kekalah an dalam perebutan kekuasaan, maka ia sejatinya telah terpental dari tempatnya berpijak.

Ia telah kehilangan segala-galanya, karena ia telah juga mempertaruhkan segala-galanya.

Kalau seseorang bersaing memperebutkan kekusaan de ngan modal dana, tenaga, atau du-kung an suara yang besar, strategi yang benar, tak-tik yang tepat dan kiat yang terukur, lalu karena satu dan lain hal ia kalah, maka sejatinya ia telah kehilang an semua modalnya. Yang paling mengeri-kan adalah kalau ia kehilangan modal pengaruh dan kepercayaan dari para pendukungnya. Kiamat kecillah yang bakal dia terima.

Untuk sebuah pertarungan politik, deretan modal tadi sesungguh nya kuranglah memadai. Perjuang an politik tentu haruslah dilakukan de-ngan pendekatan politik pula. Nakal-nakallah sedikit! Kalau tidak, maka sebaiknya Anda berjuang

buyc

ostu

mes

.com

ARTIKEL SOSIAL

Edisi I/Tahun I/200924

Page 25: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/2009 25

untuk me nunggu kotak amal saja!

Karena tabiatnya yang “nakal-nakal sedikit” itulah, maka pertarungan di dunia politik kadang sarat perjudian, penuh premanis-me, dan kadangkala melahirkan political assasina-tion. Berharap fairness, janganlah bermimpi.

Fairness, kata sebagian orang, hanya bisa ditemukan di dunia olahraga. Hanya di beberapa cabang, karena beberapa cabang olahraga ter-tentu justru membutuhkan politik tertentu pula untuk meraih poin. Begitu petinju kawakan Oscar De La Hoya dikandaskan oleh Manny Pacquiao dari Filipina, maka pemilik julukan The Golden Boy itu di sebut “loosing”; kehilangan. Ia kehilangan ge-larnya dan ia kehilangan momentumnya.

Seharusnya de mi kian pula halnya dengan mereka yang berta rung mempe re butkan kekuasa-an tetapi kandas, ma ka sejatinya ia telah kehilang-an. Kehilangan sa ngat banyak, yang sepatutnya sudah diperhitungkan jauh-jauh hari. Ia kehilang-an harta, dukungan, ke percayaan, kesempat an, tenaga, momentum dan banyak bentuk kehilang-an lainnya.

Untuk mereka yang tidak siap, tentu perlu

kita tunjukkan bahwa kehilangan kesadaran jauh lebih mengerikan. Sehingga untuk itu, tak perlulah menyesali nasib karena menjadi seorang pecun-dang. Pecundang kalau masih memiliki mental fairness, maka ia masih memiliki modal tersisa un-tuk tetap menjadi seorang manusia.

Candu PolitikSayangnya, dunia politik tak selalu mengenal

adagium tersebut. Politik adalah soal kekuasaan. Dan kekuasaan adalah soal candu. Barangsiapa yang sudah merasa politik adalah jalan hidupn-ya, maka jatuh bangun pun akan ia lakukan, asal masih bisa kembali ke habitatnya; dunia politi yang kejam.

Buktinya amatlah banyak. Bahkan pernah ter-jadi dalam satu dekade ter akhir dalam kehidupan politik kita. Begitu terjungkal, Abdurrahman Wa-hid berjuang dan menggandeng Marwah Daud Ib-rahim, meski akhirnya harus menerima kenyataan pahit.

Sebagai incumbent, seharusnya pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi bisa de-ngan mudah mempertahankan kekuasaan, tetapi kenyataan berkata lain. Dua orang mantan anak buahnya di kabinet yang ia pimpinan, pasangan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla, memaksa Ketua Umum DPP PDI Perjuangan itu, terpental. Bahkan, bekas atasan SBY di lingkungan TNI, mantan Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto pun harus berbesar hati menerima kenya-taan dan sanksi politik, kalah hanya pada putaran pertama. Sungguh menyesakkah.

Kapokkah mereka semua? Tidak ada yang ka-pok. Tidak ada yang merasa jengah karena kalah dan kehilangan pada mementum sebelumnya. Ta-hun ini, pada pemilu 2009, mereka kembali sakau, karena candu politik.

Tetapi di sinilah anomali muncul. Mereka yang seharusnya sudah keok, kalah telak dan kehilan-gan banyak, kini justru merasa terlahir kembali karena dorongan ingin berkuasa yang begitu kuat. Dana yang mereka kucurkan seperti tak mengenal kata henti. Uang yang mereka kantongi se perti tak mengenai nomor seri. Begitu besar uang digelon-torkan untuk sebuah hasrat kekuasaan.

Kalau pada pertarungan pemilu untuk mengisi kursi parlemen saja menghabiskan uang triliunan rupiah, bagaimana pula dengan uang yang harus dibuang untuk memperebutkan kursi RI-1 dan RI-2? Alamak!

Sebuah tafsir yang absurd untuk memahami kalah-menang dalam konteks perebutan kekua-saan. Wallâhu a’lam bish-shawâb.

ARTIKEL SOSIAL

Edisi I/Tahun I/2009 25

Page 26: Majalah QALAM edisi 1

Edisi I/Tahun I/200926

SOSIAL|feature|artikel | berita|

Rumah Baru Caleg GagalZUHRI Yuli Nursanto (39) berteriak-teriak sambil berlari, ia hanya mengenakan pakaian minim.

Kontan saja, pemandangan ini menjadi tontonan warga sekitar dan membuat mereka terheran-heran. Maklum, sebelum-nya masyarakat mengenal Zuhri sebagai mantan calon bupati yang bertarung untuk memperebutkan orang nomor satu di kabupaten Ponorogo Jawa Timur untuk masa jabatan 2005-2010. Ia merupakan calon yang diusung oleh Partai Demokrat dan Partai Persatuan Pembangunan.

Langkah nekat Zuhri akhirnya terhenti, setelah merasa kecapek-an dan akhirnya dibekuk polisi. Sebelumnya Zuhri telah kabur dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dr Radjiman Widiodiningrat, Lawang Malang. Warga Blok C 22-23 Jl. Singajaya XIV, Perumnas Singo-saren, Jenangan, Ponorogo, ini dikirim ke RSJ, lantaran stres yang kemungkinan besar disebabkan beban hutang kampanye miliaran rupiah, dan gugatan cerai istrinya juga telah dikabulkan Pengadilan Agama (PA) Ponorogo.

Sang mantan istri Ny Adjidah (37) mengatakan, berdasarkan su-rat permohonan yang ia ajukan ke RSJ Lawang, Zuhri diterima di RS tersebut dengan nomor 07-46-98, Kelas I, di ruang Bekisar. Namun tak lama, pasien itu sempat lari dan melakukan tingkah aneh di muka umum.

Zuhri terpaksa dikirim ke RSJ dengan alasan keselamatan

keluarga dan masyarakat sekitar. Sebab, selain sudah melakukan percobaan bunuh diri tiga kali, Zuhri juga pernah mengamuk dan merusak mobil Suzuki Baleno dan Honda Jazz yang biasa digunakan anggota keluarganya.

Sebelumnya Zuhri merupakan bos perusahaan angkutan. Dan pada pemilihan bupati (Pilbup) lalu, ia telah mengeluarkan dana cukup banyak agar terpilih, namun gagal. Akibatnya, ia meninggalkan utang yang mencapai sembilan miliar rupiah. Tiga pengusaha juga sudah mengadukannya ke Polda Jawa Timur, karena bilyet giro Zuhri yang kosong. Sejumlah unit usahanya pun telah beralih tangan sebagai kompensasi. Tertekan, Zuhri akhirnya nekat menenggak 15 butir obat tidur.

Berdasarkan pemeriksaan medis, Zuhri diketahui menderita depresi berat. Jiwanya mulai goyah sejak kalah Pilbup. Zuhri kelihatan semakin tertekan lantaran tindih-an masalah rumahtangga. Zuhri baru mengetahui jika gugatan

cerai istrinya telah dikabulkan Pengadilan Agama (PA) Ponorogo ketika ia ditahan di Lembaga Pe-masyarakan (LP) Ponorogo sebagai terdakwa kasus bilyet giro dan cek kosong senilai Rp 2,9 miliar.

Nampaknya, kisah seperti Zuhri akan berlanjut pada pemi-lihan umum (Pemilu) kali ini. Dipas-tikan, besok akan membludak banyak calon anggota legislatif (Caleg) yang gagal. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), tercatat 11.301 orang caleg untuk DPR RI saja, atau meningkat hampir 46 persen dibanding tahun 2004 lalu yang berjumlah hanya 7.756 caleg. Sedangkan kursi yang diperebutkan tahun ini hanya 560. Berarti, ada 10.741 orang yang berpotensi mengalami stres.

Belum lagi persaingan mem-perebutkan kursi empuk ini di 77 daerah pemilihan (Dapil) juga sangat ketat. Seorang Caleg harus bersaing dan mengalahkan 19 caleg lainnya dalam satu Dapil. Peluang menangnya juga tak lebih hanya lima persen. Kemungkinan

med

iain

done

sia.

com