Majalah Pratama Desember 2013

50
EDISI 12 | Desember 2013 Leadership & Management Rp. 32.500,- PRATAMA TNI AL Menuju World Class NAVY PT. Sky Aviation “Lead By Example” Lebih Unggul Berkat Inovasi Andang Ashari Presiden Direktur PT Infomedia Solusi Humanika EDISI 12 | Desember 2013

description

Majalah yang mengulas tentang manajemen dan kepemimpinan. edisi kali ini memuat kepemimpinan di tubuh TNI AL, Pratama berkesempatan melakukan wawancara khusus dengan Laksamana Marsetio, Kepala Staf Angkatan Laut

Transcript of Majalah Pratama Desember 2013

EDISI 12 | Desember 2013

Leadership & Management

Rp. 32.500,-

PRATAMA

TNI AL MenujuWorld Class NAVY

PT. Sky Aviation

“Lead By Example”

Lebih Unggul Berkat Inovasi

Andang Ashari Presiden Direktur PT Infomedia Solusi Humanika

EDISI 12 | Desember 2013

1 XII

Kantor Cabang Pembantu Duta MasKomp. Pertokoan Duta Mas Fatmawati

Blok A1/25Jl. RS. Fatmawati No. 36 Jakarta Selatan

Telp. (021) 7237332, 7220562

Kantor Kas UPN “Veteran” JakartaKomplek Kampus UPN “Veteran”Jl. RS. Fatmawati, Pondok Labu

Jakarta SelatanTelp. (021) 75901760, 75901744

2 Desember 2013

3 XII

4 Desember 2013

Korupsi secara sederhana dapat dipahami sebagai tindakan “perampokan” terhadap uang Negara, yang tentu saja ber-sumber dari Rakyat. Kata korupsi sendiri berasal dari bahasa latin, yakni “corruptio” (diambil dari kata kerja corrumpere), yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarba-lik, menyogok. Menurut Wikipedia Indonesia, korupsi meru-pakan tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pega-wai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu, yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.

Namun pertanyaan mendasar selama ini yang mengemu-ka adalah, apakah dengan peraturan yang telah ada, telah cukup untuk memberantas praktek korupsi di Negara kita? Ataukah terdapat permasalah lain yang perlu dijadikan fokus dalam upaya pemberantasan korupsi? Berikut ini, wawancara Noor Yanto dari Majalah Pratama dengan Agus Santoso, Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transak-si Keuangan (PPATK).

Korupsi dalam negara. Bagaimana pendapat Anda?

Dalam membangun satu negara, dan kita masih merupakan negara berkembang, bisa melihat negara lain yang sudah maju. Supaya valid bisa dilihat dari sejarah maupun statistic, maupun laporan-laporan badan-badan yang terpercaya. Kalau melihat posisi negara pada tahun ini, katakanlah kita bisa sebut tahun 2012, negara yang korupsinya terendah adalah negara-negara di Skandinavia terletak di Eropa Utara. Ada satu negara di wilayah itu yang cukup menonjol, baik itu dari tingkat korupsi yang rendah, index kebaha-giaannya tinggi, perbedaan antara si kaya dan si miskin secara positif pembagian kesejahteraan merata. Itu adalah Denmark. Memang negaranya tidak terlalu besar, akan tetapi yang kita lihat adalah proses suatu negara punya visi untuk membangun suatu negara sejahtera. Kita memban-

gun negara tujuan akhirnya adalah rakyat yang tersenyum. Rakyat sejahtera, lalu distribusi kekayaan perbedaannya tidak terlalu jauh. Juga negaranya bersih, transparan dan akuntabel itu yang kita inginkan. Kemudian dari data yang sekarang, lalu kita bisa lihat kenapa Denmark bisa sebagus ini. Ternyata itu sudah dilakukan sejak 200 tahun yang lalu, sekitar tahun 1860-an. Pada masa itu Raja Frederick ke-VII mencanangkan tiga program, dan saya lihat ini masih rele-van saat ini. Memang ada satu hal yang sebenarnya saat ini sudah merupakan hal biasa, akan tetapi waktu itu merupa-kan terobosan saat Raja tersebut memaklumatkan bahwa suap kepada pegawai pemerintah adalah kejahatan.

Sedangkan sekarang kita di Indonesia saja, definisi suap wa-laupun ada undang-undang tentang suap, lalu di KPK ten-tang Tipikor juga gratifikasi juga di undang-undang tentang pencucian uang disebutkan suap itu sebagai tindak pidana. Hanya saja, masyarakat sendiri masih belum faham antara suap dengan komisi atau suap dengan fee. Seolah-olah suap dipikir sebagai balas jasa. Padahal itu bisa dikatakan sebagai suap, yaotu mencoba memberi imingi-iming orang untuk melakukan sesuatu melanggar aturan atau mempengaruhi kebijakan sesuai keinginan dari yang memberi suap.

Raja Frederick pada masa itu memaklumatkan secara`tertu-lis, bahwa suap itu kejahatan tindak pidana. Hal kedua yang dimaklumatkan adalah soal transparansi. Ini juga merupa-kan terobosan besar pada waktu itu, dan saya kira untuk saat inipun masih relevan kalau dibilang satu terobosan.

Transparansi yang dimaksud adalah, Raja memberikan ke-bebasan pers. Transparansi itu didukung dengan kebebasan pers. Hal yang luar biasa pada waktu itu adalah, pers boleh masuk kedalam istana meliput penyimpangan-penyimpan-gan yang dilakukan oleh lingkaran dalam istana. Jadi diawasi oleh pers. Jadi pers tidak hanya mengawasi kinerja para pejabat negara, akan tetapi juga mengawasi kinerja istana.

5 XII

Sehingga pada akhirnya ada transparansi, seperti pengelo-laan keuangan dan proyek-proyek menjadi akuntabel karena selalu diikuti publikasi oleh pers. Hal ketiga yang dilakukan, karena begitu kerasnya seperti tidak boleh terima suap, lalu semua gerak-gerik diawasi media massa.

Raja ini kemudian memberikan penguatan untuk gaji dan pensiun, semacam reformasi gaji dan pension. Sehingga, sudah tidak ada alasan pejabat negara untuk korupsi atau menerima suap karena gajinya sudah mencukupi sesuai ke-butuhan. Pensiunpun sudah terjamin, sehingga orang yang bekerja di pemerintahan sudah tahu masa depannya akan seperti itu. Mungkin dia tidak bisa kaya, akan tetapi hidupn-ya kecukupan.

Dampak dari ketiga kebijakan tersebut, dan masih relevan di masa kini adalah, timbulnya partisipatif publik secara tinggi karena negara dan aparatnya bisa dipercaya. Hal yang terasa pada waktu itu, adanya kepatuhan pembayaran pajak menjadi meningkat karena rakyat percaya uang dikelola dengan transparan dan diawasi oleh mata masyarakat sendiri. Hal lainnya juga, adanya kepatuhan akan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Jadi apapun yang diinginkan oleh pemimpin negara mengenai pembangunan, akan mendapat dukungan dari rakyat.

Ini penting yaitu adanya tingkat kepercayaan masyarakat kepada negara harus dipelihara. Memang itu adalah pelaja-ran sejarah dari negeri orang, namun bisa kita ambil adalah bahwa kebijakan yang membuat transparan, penegakan hukum tegas terhadap penyimpangan-penyimpangan, kemudian menjaga kesejahteraan para penyelenggara ne-gara akan meningkatkan partisipasi publik juga pajak.

Apa bisa ketiga hal itu diaplikasikan di Indonesia?

Bisa saja, dilihat kekinian di Indonesia. Kita’kan sudah on the right track, artinya tadi cerita tentang tidak boleh suap kurang apa lagi? Sudah ada KPK, UU Tipikor, PPATK, UU Anti Pencucian Uang, ada BPK dan aparat yang memelototi itu. Jadi itu satu hal. Hal kedua soal transparansi, dengan situasi kekinian mungkin sudah melampaui negara lain, seperti soal transparansi media. Bahkan kebebasan pers kita mungkin sudah melampaui negara lain.

Cuma hal ketiga ini yang masih memerlukan kepedulian pemerintah, menjaga daya beli. Baik menjaga daya beli ne-gara yaitu pegawai negeri, maupun daya beli rakyat. Sistem pensiun dan jaminan sosial ini yang saya kira masih perlu dibenahi oleh negara. Ini harus dilakukan supaya rakyatnya merasa aman dan nyaman.

Bagaimana kalau misalnya, mungkin gaji tidak terlalu besar namun saat sakit sudah terjamin. Lalu anak mau sekolah katakanlah gratis. Minimal sampai level SMA, karena pen-didikan kita rata-rata 8,5 tahun. Selain itu, ada reformasi keuangan terkait dengan pensiun, maupun kesejahteraan sosial. Hal-hal seperti itu yang fundamental suatu bangsa, ketika kita bicara bagaimana menuju rakyat yang tersenyum tadi. Index manusia yang bahagia.

6 Desember 2013

Kalau dibandingkan dengan negara Eropa tersebut, jumlah warga negara mereka hanya sedikit. Bagaimana dengan Indonesia yang jumlah warganya melebihi mereka, apa bisa kebijakan itu diterapkan?

Memang sekarang kita sedang mengalami deficit transak-si perdagangan, rupiah yang terpuruk, akan tetapi di luar itu kita punya kekuatan. Paling tidak dengan rakyat yang banyak, kita punya pasar domestic yang kuat. Makanya APBN kita ini bisa kuat karena konsumsi domestik tetap tinggi, artinya kita bikin apapun lalu dijual di pasar domestik akan laku. Belum lagi pengelolaan sumber daya alam, lalu pariwisata, dan sektor jasa. Ini memang APBN yang begitu besar dengan jumlah 1600 trilyun, yang jelas dalam rangka menjaga sustanibilitas atau kelangsungan APBN, pener-imaan negara paling besar sekitar 70 persen itu dari pajak. Pajak ditargetkan mencapai 1200 trilyun rupiah. Jadi masih relevan, bagaimana orang mau membayar pajak kalau akuntabilitas pemerintah dianggap kurang. Jadi seperti Den-mark tahun 1860, ketika Rajanya mencanangkan kejahatan korupsi akan dihukum berat, maka pajaknya meningkat. Pajak karena sangat penting dan menjadi fundamental di Indonesia, harus dijaga. Ini adalah tugas dari KPK, PPATK dan BPK. Tugas kami bertiga melototin pajak. Kita harus memastikan angka 1200 trilyun rupiah itu harus masuk oleh Dirjen Pajak, sementara itu kami bertiga mengawasi jangan sampai ada yang main-main. Kalau sampai angka itu tidak masuk, maka terpaksa kita harus menggenjot dari tempat lain atau harus berhutang, karena kita menganut sistem APBN berimbang. Artinya jika pengeluaran kita 1600 trilyun, maka penerimaan

juga harus di angka yang sama. Sehingga penerimaan besar dari pajak tersebut, harus dijaga ketat. Hal kedua, penerimaan terbesar dari mana? Itu datangnya dari migas pertambangan. Angkanya bisa mencapai 25 persen. Ini juga kami pelototin. Kalau kita lihat kasus di KPK atau laporan dari BPK, sudah ada 26 kasus mengenai migas yang sudah ditangani oleh KPK.

Termasuk soal kasus SKK Migas, hasil ‘pelototan’ Bapak?Iya, karena itu sudah merupakan prioritas kami dari KPK, BPK dan PPATK. Menjaga APBN dari sisi penerimaan pajak, migas dan pertambangan. Termasuk juga sumber daya alam seperti illegal logging. Kemudian dari sisi pengeluaran APBN yang paling besar adalah pendidikan, sekitar 20 persen dari APBN. Jumlahnya sekitar 338 trilyun rupiah. Itu juga harus kami awasi, pendidikan itu sendiri bukan hanya Depdiknas, Menpora masuk kedalamnya. Selain itu, Departemen Aga-ma yaitu pendidikan di madrasah, pengadaan Al-Qur’an dan sekolah. Sehingga kalau kita lihat kasus-kasus itu, seperti Hambalang, kasus PON, kasus pengadaan Qur’an, juga BOS di daerah-daerah banyak juga bupati-bupati atau aparat pemda yang menyimpangkan BOS banyak juga ditangkapi. Jadi kita harus benar-benar mengawasi sektor pendidikan tersebut, karena kita ingin membangun generasi muda bangsa yang pintar-pintar.

Kalau kita perhatikan, dari segi regulasi terlihat sudah sangat lengkap. Akan tetapi, jika kita perhatikan mengapa hukumannya terkesan lemah?

7 XII

Kalau ini memang, saya sebagai pimpinan PPATK ikut merasakanlah bawah kita itu menangkap koruptor itu susah-nya setengah mati. Ini kejahatan kerah putih, kompleks dan dilakukan oleh orang yang cerdas dan berpengaruh. Ini kita melototinnya saja sudah susah, mulai katakan walaupun ter-pisah-pisah tetapi kalau dijadikan satu rangkaian katakanlah PPATK mulai melakukan analisis penyimpangan-penyim-pangan. Kemudian diperiksa oleh BPK mengenai kewajaran prosedur pengeluaran dan penerimaan uangnya, katakanlah kalau kita sudah dapat dugaan kuat lalu diselidiki oleh KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. Lalu perkaranya naik P21 yaitu penuntutan oleh Kejaksaan, kemudian diadili oleh peradilan. Coba bayangkan sudah berapa sumber daya manusia, wak-tu, tenaga, dan uang yang dikeluarkan untuk membongkar perbuatan korupsi. Namun, hakimnya katakanlah cukup punya semangat walaupun secara fakta, vonis-vonis yang dijatuhkan terlalu rendah. Rata-rata hukuman yang dijatuh-kan 4,5 tahun, eh, di penjara dapat remisi lagi. Jadi mereka misalnya hanya menjalani waktu hanya 2,5 tahun, setelah itu bebas tapi masih tetap kaya. Kecuali, jaksanya menuntut dengan hukuman kumulatif yaitu memiskinkan koruptor mungkin akan lain ceritanya. Itu sudah dilakukan dalam satu kasus korupsi, dimana uang negara yang bisa diselamatkan dalam kasus itu berjumlah sekitar 67 miliar rupiah. Kasus lainnya yaitu Irjen Joko Susilo, pengadilan sudah mem-vonis tuntutan jaksa kumulatif KPK yaitu korupsi dan pencucian uang.

Setelah itu, kita percaya para koruptor akan dituntut dobel. Dengan UU Tindak Pidana Korupsi kumulatif dengan tindak pidana pencucian uang, sehingga tersangka bisa dihukum lalu dimiskinkan karena pasal 67 UU Pencucian Uang itu mengatakan bahwa si terdakwa berkewajiban untuk mem-buktikan dari mana harta yang dia peroleh segitu banyak. Kalau dia tidak bisa membuktikan, maka akan dirampas untuk negara.

Bagaimana dengan hasil korupsi yang ‘dititipkan’ ke orang lain, apakah kena juga perampasan untuk negara?

Ada perbedaan prinsipil antara UU Korupsi dengan UU Pencucian Uang. Kalau di UU yang pertama, dimintakan pertanggungjawaban hanya orang yang melakukan korupsi saja. Anak dan isterinya tidak bisa. Kalau suap, yang mener-ima dan memberi akan kena. Namun untuk UU Pencucian Uang akan ada tiga pihak yang kena. Pencuci uang aktif, katakanlah si koruptor itu. Kemudian fasilitator, misalkan dia kasih ke isterinya. Malah jika si isteri ikut menyamarkan dan menyembunyikan, maka dia akan kena sebagai pencuci uang aktif. Lalu pencuci uang pasif, misalkan anaknya dibeli-kan polis asuransi. Maka si anak akan kena sebagai pencuci uang pasif karena dia punya polis yang preminya dari hasil korupsi. Secara gamblang dijelaskan pencuci uang pasif itu sama saja dengan penadah.

Bagaimana dengan satu kasus, dia terlihat seperti terkena UU Pencucian Uang namun sengaja diarahkan hanya kena UU Korupsi saja?

Disini penegak hukum itu harus satu visi, ketika menerapkan UU ini. Saya pernah ditanyakan juga, kenapa UU Pencucian Uang baru diterapkan akhir-akhir ini. Memang ini UU baru, memang PPATK sudah berdiri sejak tahun 2002. Akan tetapi UU tentang penuntutan kumulatif antara tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang, dalam hal ini tindak pida-na asalnya adalah korupsi itu diatur dalam UU No. 8 2010. Nah, undang-undang itu sendiri bukan berlaku pada tahun yang sama akan tetapi ada masa transisi setahun. Pak Yusuf dan saya diangkat Presiden bulan Oktober 2011, teman-teman KPK dipilih oleh DPR sekitar November 2011. Setelah itu, selama 6 bulan kami berembuk untuk memantapkan hati bahwa ini bisa dilaksanakan dengan cara penggabun-gan penuntutan kumulatif. Kemudian kami melakukan pelatihan-pelatihan, sehingga bisa dikatakan efektif pada persidangan di tahun 2012.

Apa batasannya seseorang dapat terkena pasal korupsi atau pencucian uang?

Sebetulnya sudah ada yurisprudensi, kalau koruptor itu pasti melakukan pencucian uang. Terutama koruptor uang. Pencucian uang itu sekali hitam sampau kapanpun akan hitam. Jadi dia begitu korupsi misalnya 500 juta rupiah, lalu ditaruh di bank itu sudah namanya placement. Sudah merupakan tindakan pencucian uang tahap satu. Kalau uang itu dia tarik lalu dibelikan perhiasan, atau tanah itu sudah pencucian uang tahap dua atau structuring. Lalu dia menarik uang kembali untuk membeli rumah dan menempatinya, itu sudah masuk tahap ketiga yaitu integration. Hasil kejahatan itu di integrasikan dalam bentuk dibelikan rumah.

Pihak bank tidak kena pasal penadahan?

Bank itu sendiri seperti pedang bermata dua, karena dia merupakan pihak pelapor. Bukan hanya bank saja, akan tetapi ada 17 jasa penyedia jasa keuangan, itu dikategorikan sebagai pelapor. Mereka punya kewajiban melaporkan tiga hal, laporan keuangan mencurigakan, laporan keuangan tunai, dan laporan keuangan transfer dana. Jika pihak bank melapor, maka kita anggap mereka bagian dari proses pem-berantasan dan pencegahan. Tetapi kalau dia tidak lapor, dan terlihat sistemik misalnya sengaja tidak memberikan laporan maka dia bisa kena sebagai fasilitator. Bank harus melakukan know your customer, jika tidak dilakukan maka ijin usahanya akan dicabut.

Selama ini sudah ada bank yang sudah kena sanksi?Selama ini belum ada bank yang secara sistemik lalai mel-akukan kewajiban ini. Jika ada yang belum maksimal, itu bagian kami melakukan pembinaan. (noor)

8 Desember 2013

oleh: Mahmur Marganti

Tidak sulit untuk mencari berita mengenai perilaku korupsi pemimpin birokrasi pemerintahan di Indo-nesia. Mulai dari tingkat RT hingga tingkat nasional,

ada saja yang bermasalah dengan korupsi. Kepala Pemerin-tahan mulai tingkat RT yang seharusnya melakukan tanggu-ng jawab sebagai pemimpin kadang malah terlihat sebagai pelaku merangkap pelindung korupsi.

Setiap saat ada saja kasus mega korupsi yang selalu jadi pemberitaan selama berbulan-bulan. Entah itu kasus pajak Gayus Tambunan, kasus Hambalang, bail out Bank Century, kasus rekening gendut perwira tinggi Polri, dan kasus lain baik yang sudah di-publish atau tidak ter-publish mungkin karena si pelaku memiliki “power” tertentu atau uang cuk-up untuk bisa menutupi kasusnya.

Masih dalam ingatan kasus terdakwa kasus korupsi APBD kota Tomohon yang dilantik sebagai walikota Tomohon oleh Menteri Dalam Negeri melantik Walikota Tomohon (Sulawesi Utara). Bahkan sang Walikota sempat melantik staf pemerintahan kota Tomohon di aula LP Cipinang. Ia juga membacakan sumpah jabatan yang jelas-jelas isinya menyangkut integritas seorang pajabat pemerintahan. Jika pemimpinnya saja adalah seorang koruptor, mau dibawa kemana arah bangsa ini?

Korupsi adalah kejahatan tanpa korban (victimless crime) secara fisik. Tidak seperti kejahatan seperti perampokan dan terorisme yang jumlah korbannya terukur, korupsi ham-pir-hampir tak menampakkan kerusakan fisik atau korban jiwa. Tapi jangan salah, justru dampak jangka panjang ko-rupsi sangat masif. Jutaan nyawa manusia bisa saja hilang karena penderitaan yang timbul akibat korupsi. Maka, tak salah jika korupsi dikategorikan dalam extraordinary crime. Bukan saja dampaknya yang luar biasa, tapi juga penangan-

nya butuh usaha ekstra keras.

Seseorang yang melakukan korupsi tidak mungkin ber-buat seorang diri sebab korupsi bisa merupakan kejahatan sistemis. Jadi wajar saja jika koruptor tidak pernah merasa malu karena ia memang tidak melakukan aksi korupsi seo-rang diri.

Benarlah apa yang dikemukakan Keeler (1983; Sarwono, 2010) dalam penelitiannya di Jawa dan Bali. Anak-anak di Jawa dan Bali lebih diajarkan untuk mengontrol perilakunya dari rasa malu daripada nilai objektif “benar” dan “salah”. Penelitian Keeler memang tidak bisa serta merta dikenakan pada seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Namun kita juga tidak bisa memungkiri bahwa kebudayaan Jawa ban-yak menyumbang dalam pembentukan identitas nasional.

Contoh sederhana bisa dilihat di persimpangan jalan raya. Ketika malam hari, lampu merah menyala dan suasana jalan sangat sepi. Kebanyakan pengendara akan memilih untuk terus jalan daripada berhenti. Seandainya ada petugas Polisi yang berdiri di sana, mungkin ceritanya akan lain. Ini adalah cikal-bakal dari mental korupsi dimana individu tidak akan merasa bersalah ketika tidak ada orang lain yang me-lihat dan menyalahkannya. Padahal ia sudah mengetahui norma baku dalam menentukan “kebenaran” atau “kesala-han”. Budaya malu hanya bekerja ketika ada pengawasan dari lingkungan sosial. Bisa dikatakan faktor pengendali in-ternal dalam budaya malu lebih kecil dibandingkan dengan budaya yang memegang nilai objektif “benar” dan “salah” berdasarkan norma hukum.

Hofstede (1997), peneliti psikologi lintas budaya, juga per-nah mengajukan teori mengenai dimensi kebudayaan, di mana salah satu dimensinya berbicara tentang uncertainty

MENGAPA KORUPSI?Secara psikologis, korupsi merusak mental dengan cara mengubah perilaku amoral menjadi perilaku yang lazim.

9 XII

avoidance (menghindar dari ketidakpastian). Dimensi ini membahas mengenai indikasi sebuah budaya yang me-mentingkan atau tidak mementingkan kepastian hukum dan norma sosial. Dalam peringkat yang dibuat oleh Hofst-ede, Indonesia berada pada peringkat ke-41. Artinya, sistem kemasyarakatan di Indonesia memang tidak mementingkan ketegasan dan kepastian terhadap pelaksanaan norma. Jadi jangan heran jika perilaku koruptif terjadi di mana-mana. Berbagai undang-undang tentang pemberantasan korupsi seakan hanya menjadi macan kertas, ke-ngeri-an membaca pasal dalam undang-undang tersebut layaknya para Hyna dalam film Lion King ketika mendengar aum dari si kecil Sim-ba, berpura-pura mematuhi namun sudah tahu cara menga-kalinya.

Tidak adanya kepastian hukum dan norma terjadi akibat standar ganda yang diterapkan oleh penegak hukum. Sep-erti misalnya pada kasus Gayus atau Nazarudin yang ha-bis-habisan dipolitisasi. Sementara masih banyak pejabat negara yang terindikasi korupsi tidak tersentuh hukum karena posisinya di pemerintahan. Ingat bagaimana sikap Nurdin Halid (mantan Ketua Umum PSSI) yang bersikeras tidak ingin meletakkan jabatannya sekalipun ia pernah men-jadi terpidana kasus korupsi. Mungkin dia berpikir, walikota saja bisa melantik stafnya sekalipun menjadi terdakwa ka-sus korupsi. Lalu mengapa ia harus mundur dari PSSI karena pernah terjerat kasus korupsi?

Belum lagi dengan penanganan sejumlah kasus besar (sep-erti Bank Century) yang seakan tebang pilih. Lalu kasus itu akhirnya senyap. Tidak salah jika Hofstede menempatkan

Indonesia sebaga negara dengan ketegasan yang rendah terhadap norma dan penuh dengan ketidakpastian (low-un-certainty avoidance).

Lalu apakah mental korupsi adalah takdir bagi bangsa Indo-nesia? Tentu tidak! Mental manusia tidak serta merta diben-tuk secara instan. Mental terkait dengan kepribadian dan persepsi individu dalam menghadapi dunia. Korupsi ibarat gunung kebohongan yang terus dipupuk dari kecil hingga dewasa. Pernah melihat iklan di televisi tentang perilaku ko-rupsi yang terus tumbuh dari kecil hingga dewasa? Dalam iklan tersebut, sejak kecil si tokoh sudah terbiasa menyon-tek. Beranjak remaja, ia pacaran dan selalu selingkuh. Akh-irnya ketika dewasa dan sudah bekerja, ia selalu menerima uang pelicin proyek.

Sebenarnya, pengawas dan teladan utama untuk pence-gahan korupsi sejak usia dini adalah orangtua dan pen-didik. Jangan pernah abai terhadap peraturan. Orangtua dan pendidik jangan membuat stadar ganda bagi anak. Ketika orangtua mengatakan bahwa berbohong itu salah, maka orangtua seharusnya juga tidak melakukan kebohon-gan. Baik buruknya mental anak terletak dari ketegasan orangtua dan pendidik dalam menjelaskan mana yang be-nar dan salah. Pendidikan modeling (memberikan teladan) adalah rumus terbaik bagi pembentukan mental anak. Jika sejak kecil anak tidak paham dengan norma, maka jangan heran jika hingga dewasa ia semakin jauh dari kebenaran.

Jika anda sepakat bahwa pendidikan anti korupsi itu bisa dimulai dari keluarga, mari mulai sejak sekarang.

10 Desember 2013

11 XII

MENUJU WORLD CLASS NAVY

Kepala Staf Angkatan Laut DR. Marsetio

Sejarah TNI AL kita cukup panjang, seiring berdirin-ya republik ini. Seiring berjalannya waktu, sema-kin kompleks juga permasalahan yang dihadapi.

Permasalahan tersebut datang dari dua sudut, internal maupun eksternal. Untuk internal kendalanya adalah, semakin tua peralatan yang digunakan saat ini. Bahkan, ada beberapa kapal perang milik angkatan laut sisa PD II.

Namun, angin segar mulai berhembus akhir-akhir ini. Hal ini dapat dilihat dari mulai berdatangannya perang-kat alutsista baru untuk Angkatan Laut. Diharapkan den-gan kehadiran perangkat alutsista baru tersebut, target MEF (Minimum Essential Force) bisa tercapai. Berikut ini wawancara Majalah Pratama dengan Kepala Staf Ang-katan Laut, Laksamana DR. Marsetio.

Visi dan Misi TNI Angkatan Laut

Visi TNI Angkatan Laut, yaitu “Terwujudnya TNI Angka-tan Laut yang Handal dan Disegani”. Visi tersebut bukan merupakan slogan belaka, tetapi merupakan suatu tu-juan pembinaan TNI Angkatan Laut secara menyeluruh. Dalam pandangan TNI Angkatan Laut, yang dimaksud dengan HANDAL adalah:1. Memiliki kemampuan deteksi dini dan kemampuan

tempur tinggi;2. Memiliki kecukupan kekuatan untuk melaksanakan

tugas;

3. Mampu menyelesaikan tugas-tugas secara tuntas sebagai wujud efektivitas pembinaan;

4. Mobilitas tinggi dan kemampuan manuver;5. Dukungan logistik yang efektif dan berkelanjutan;6. Memiliki alutsista dengan teknologi yang modern;

dan7. Tingkat profesionalisme dan daya juang prajurit

yang tinggi.

Sedangkan yang dimaksud dengan DISEGANI yaitu:1. Penampilan kehadiran kekuatan angkatan laut di

seluruh perairan yurisdiksi secara terus menerus;2. Memiliki kesiapsiagaan operasional yang optimal

dan responsif untuk setiap saat dikerahkan;3. Wujud kekuatan TNI Angkatan Laut yang mampu

memberikan daya tangkal;4. Selalu exist dalam pergaulan regional maupun in-

ternasional (navy brotherhood);5. Adanya sistem kodal yang efektif, baik dalam pen-

gendalian manajemen pembinaan maupun dukun-gan pengendalian operasi, sehingga memberikan dampak penangkalan (deterrence).

Dengan kata lain, Handal berarti kekuatan yang ada disertai taktik dan strategi yang kita ciptakan mampu melaksanakan tugas pokok yang diberikan, sedangkan disegani berarti dihormati, dicintai, sekaligus ditakuti.

12 Desember 2013

Adapun Misi TNI Angkatan Laut, sebagai penjabaran dari Visi di atas, yaitu sebagai berikut:• Membina kekuatan dan kemampuan TNI Angkatan Laut

yang berkelanjutan secara efektif dan efisien;• Menjamin tegaknya kedaulatan dan hukum, keamanan

wilayah laut, keutuhan wilayah NKRI, serta terlaksanan-ya diplomasi angkatan laut dan pemberdayaan wilayah pertahanan laut;

• Mewujudkan personel TNI Angkatan Laut yang bermoral, profesional, dan sejahtera;

• Mewujudkan kekuatan TNI Angkatan Laut menuju Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force/MEF);

• Menjamin terlaksananya tugas-tugas bantuan kemanu-siaan; dan

• Mewujudkan organisasi TNI Angkatan Laut yang bersih dan berwibawa.

Visi dan Misi Bapak sebagai KASAL untuk TNI Angkatan Laut?

Pada dasarnya pada masa kepemimpinan sebagai Kepala Staf Angkatan Laut, saya menilai visi dan misi yang telah ditetapkan oleh pendahulu sudah tepat dan sesuai dengan

perkembangan lingkungan strategis saat ini, dan di dalam sebuah organisasi seperti TNI Angkatan Laut sebenarnya tidak mengenal adanya dualisme Visi dan Misi, namun de-mikian sebagai Kepala Staf Angkatan Laut, saya juga memiliki Visi yang merupakan kelanjutan dari Visi TNI Angkatan Laut yaitu, mewujudkan TNI Angkatan Laut sehingga setara World Class Navy.

Dimana World Class Navy dimaknai sebagai karakter Ang-katan Laut milik bangsa yang bervisi maritim dalam pemba-ngunan nasionalnya, dan bukan alat atau instrumen untuk mewujudkan sebuah penguasaan secara fisik terhadap wilayah teritorial negara lain saja, akan tetapi merupakan wujud figur institusi mewakili karakter nasional yang mampu membangun pengaruh dalam bentuk citra, kapabilitas, dan kredibilitas.

Hal ini dapat dilihat dari aktivitas kegiatan dan operasi yang diaksanakan pada ruang lingkup lokal sampai dengan kawasan global, dalam bentuk kegiatan ataupun operasi sebagai soft power maupun hard power, sehingga kemam-puan maupun kekuatan TNI Angkatan Laut akan tidak dipan-dang rendah oleh negara lain.

13 XII

Untuk mewujudkan Visi tersebut, TNI Angkatan Laut akan berupaya untuk konsisten terhadap komitmen yang telah dituangkan dalam rencana strategis pembangunan TNI Angkatan Laut.

Penjabaran agar TNI Angkatan Laut menjadi setara World Class Navy, diantaranya melalui:

• Pembinaan kemampuan dan kekuatan alutsista TNI Angkatan Laut sehingga setiap saat mampu melak-sanakan tugas termasuk mengikuti segala kegiatan operasi berskala global maupun regional;

• Meningkatkan kemampuan TNI Angkatan Laut di bidang diplomasi guna menjaga stabilitas keamanan maritim di kawasan; dan

• Membina personel TNI Angkatan Laut agar mampu menunjukkan kemampuannya di kancah internasional khususnya bidang operasi militer dan diplomasi.

Program-program yang sedang dan akan dilakukan

Perkembangan lingkungan strategis yang dinamis dan sulit diprediksi serta berpengaruh langsung terhadap pelaksanaan tugas dan pembangunan TNI Angkatan Laut,

sehingga perlu disusun suatu kebijakan untuk merespon kecenderungan yang terjadi. Kebijakan tersebut dituangkan ke dalam kebijakan dasar pembangunan TNI Angkatan Laut, yang diarahkan menuju Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essen-tial Force/MEF) dengan mengacu pada konsep pengembangan postur ideal TNI Angkatan Laut jangka panjang, dimana fokus perhatian dalam mewujudkan MEF meliputi:

• Prioritas perwujudan MEF adalah peningkatan kemam-puan mobilitas TNI Angkatan Laut, peningkatan ke-mampuan satuan tempur (striking force) dan penyiapan pasukan siaga (stanby force) untuk penanganan bencana alam, tugas-tugas perdamaian dunia dan keadaan darurat lainnya;

• Pembangunan kekuatan diarahkan pada pencapaian MEF yang mencakup organisasi, personel, dan alutsiswa sesuai dengan alokasi anggaran pertahanan; dan

• Percepatan pencapaian MEF di bidang alutsista dipriori-taskan pada penggantian alutsista yang kondisinya kritis dan tidak layak pakai, serta pemenuhan kebutuhan untuk pelaksanaan tugas-tugas mendesak.

Saat ini pencapaian kemajuan program pembangunan TNI Angkatan Laut yang sedang dan akan dilaksanakan, antara lain:

a. Modernisasi alutsista.

TNI Angkatan Laut memiliki beberapa program modernisa-si alutsista, dimana pada pelaksanaannya dilakukan secara berharap sesuai dengan rencana strategis yang telah disusun. Modernisasi alutsista dilakukan khususnya pada alutsista yang kondisinya kritis, tidak layak pakai serta menurun daya tempurnya. Pelaksanaan modernisasi alutsista tersebut dilak-sanakan melalui program pengadaan, rematrialisasi, revital-isasi, relokasi dan penghapusan. Beberapa contoh program modernisasi alutsista yang sedang dilaksanakan:

1) Alutsista KRI diantaranya, pengadaan Kapal Cepat Rudal (KCR) 40 meter produksi dalam negeri, pengadaan Kapal Selam kelas Changbogo, yang saat ini sedang dibangun di Belanda, sedangkan program revitalisasi dilaksanakan pada Sensor Weapon and Command (Sewaco) KRI, seperti pemasangan Fire Control System (FCS), pemasangan Combat Management System (CMS) di beberapa jenis KRI.

2) Alutsista Pesud diantaranya, pengadaan Pesawat Udara (pesud) Patroli Maritim jenis CN-235 buatan dalam negeri. De-mikian pula reviltalisasi Pesud heli, yang mengubah heli angkut ringan menjadi heli escort.

3) Alutsista Kendaraan Tempur (Ranpur) Marinir, diantaran-ya Ranpur BTR-4, BMP-3F dan Batteray Multi Launch Rocket System (MLRS), sedangkan program revitalisasi Ranpur Marinir diantaranya dengan pemasangan Battle Management System pada beberapa Ranpur Marinir.

14 Desember 2013

b. Bidang personel.

Pada dasarnya kebijakan TNI Angkatan Laut di bidang personel diarahkan untuk mewujudkan MEF, sehing-ga pembinaan personel mengacu pada penyediaan personel, pendidikan, penggunaan, perawatan, dan penghapusan, diharapkan program pembangu-nan TNI Angkatan Laut di bidang personel mampu menyesuaikan kebijakan pemerintah di bidang perso-nel terhadap program right sizing dan zero growth; mampu mengharmonisasi pengawakan terhadap perubahan organisasi sesuai usulan validasi; mam-pu mewujudkan tuntutan kemampuan SDM dalam menyikapi kemajuan teknologi dan terakomodasinya peningkatan kualitas dan kompetensi sumber daya manusia guna memenuhi standar mutu yang dihara-pkan.

Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan, lalu dengan keterbatasan yang dimiliki oleh TNI Ang-katan Laut, bagaimana KASAL melihat fakta dan bagaimana cara menghadapinya?

Memang secara geostrategis, kondisi dan posisi Indonesia yang strategis memiliki sisi positif yang menguntungkan Indonesia, namun di sisi lain, kondisi tersebut juga mengundang sisi negatif, yaitu rentan terhadap hadirnya ancaman, karena luasnya wilayah yurisdiksi nasional Indonesia serta posisinya yang sangat terbuka dari segala arah. Oleh sebab itu, dihadapkan dengan luas wilayah perairan yurisdiksi nasional Indonesia yang mencapai 5,8 juta km2, dan memiliki 17.499 pulau, maka dengan jumlah alutsista TNI Angkatan Laut yang terbatas saat ini, jelas akan menuntut adanya sebuah strategi dan pola opera-si yang tepat, sehingga segenap kemampuan dan kekuatan TNI Angkatan Laut dapat diarahkan kepada terjaminnya keamanan laut yurisdiksi nasional Indo-nesia.

Kita ketahui bersama bahwa Indonesia sampai dengan saat ini belum memiliki sebuah kebijakan maritim maupun ocean policy, namun seperti uraian di atas, TNI Angkatan Laut telah menyusun sebuah strategi pertahanan negara di laut. Strategi terse-but kita kenal sebagai Strategi Pertahanan Maritim Indonesia atau SPMI. Cakupan SPMI meliputi seluruh perairan yurisdiksi nasional Indonesia berikut udara di atasnya, yang dilaksanakan melalui sistem peli-batan seluruh komponen pertahanan negara, yaitu komponen utama, komponen cadangan, dan kom-ponen pendukung dalam konteks nasional.

SPMI menganut sistem pertahanan berlapis (Layer Defense System) dengan pola “Medan Juang Berla-pis”, artinya bahwa di setiap layer medan pertahanan terdapat lapis kekuatan yang mengaplikasikan strate-gi dan taktik tempur yang berbeda sesuai kondisi geografi setempat. Medan juang berlapis tersebut dibagi dalam tiga layer, yaitu:

a. Layer-1 Adalah lapisan medan pertahanan di luar 200 NM, ditarik dari pantai terluar yang menghadap ke laut terbuka dengan dasar penarikan sesuai kemampuan radar hedging Ground Control Interceptors/GCI Kohanudnas. Layer-1 merupakan buffer zone dimana payung udara tidak optimal karena berada di luar jangkauan GCI sehingga unsur-unsur laut harus siap bertempur dengan atau tanpa kekuatan pendukung. Oleh sebab itu, pertempuran di Layer-1 bersifat opsional, sesuai pertimbangan taktis.

b. Layer-2. Adalah lapisan medan pertahanan sejauh 200 NM, ditarik dari pantai terluar yang menghadap ke laut terbuka. Layer-2 merupakan medan pertahanan utama karena diharapkan sensor Radar GCI berikut payung udara serta daya pukul unsur-unsur laut telah optimal bersinergi untuk saling mendukung. Peranan kekuatan inti dan kekuatan pendukung sama-sa-ma vital, ketidakhadiran salah satu kekuatan dapat berakibat fatal.

c. Layer-3. Adalah lapisan medan pertahanan yang mencakup semua perairan kepulauan (Archipelagic Water). Pada Layer-3, sensor Radar GCI berikut payung udara serta daya pukul unsur-unsur laut optimal serta kemungkinan dukungan kekuatan Pertahanan Pantai (Coastal Defense Force).

Penjabaran dari SPMI tersebut pada tingkat operasi, disusun Strategi Pertahanan Laut Nusantara (SPLN), yang bertujuan mencapai penguasaan laut (Com-mand at the Sea), yaitu kebebasan penggunaan laut untuk kepentingan sendiri dan meniadakan kemam-puan lawan untuk menggunakannya, strategi ini dicapai dengan melaksanakan:

a. Pengendalian laut (Sea Control), yaitu pengenda-lian laut dengan kekuatan sendiri guna dapat meng-gunakan suatu wilayah laut untuk kepentingan sendi-ri dan mencegah penggunaan laut oleh lawan dalam kurun waktu tertentu. Sea Control dilaksanakan oleh Sea Battle Force dan Air Defense Force di Layer-1

15 XII

(opsional) dan di Layer-2 (utama) dengan strategi tempur Decisive Battle Strategy dan taktik search and destroy.

b. Pencegahan penggunaan laut (Sea Denial), yaitu pencega-han penggunaan suatu wilayah laut oleh lawan dalam kurun waktu tertentu yang dilaksanakan oleh:

1) Mining Force. Pelaksanaannya di Layer-2 corong strategis dengan Defensive Mining Strategy membentuk Attrition Mine Field.

2) Sea Battle Force dan Air Defense Force. Pelaksanaannya di Layer-2, strategi tempur Decisive Battle Strategy dengan taktik search and destroy.

c. Pengendalian laut untuk kepentingan sendiri (Sea As-sertion), yaitu strategi untuk mengendalikan laut guna mendapatkan kebebasan penggunaan laut untuk kepentin-gan sendiri, seperti di Selat Malaka dan Laut Arafuru, yang dilaksanakan oleh:

16 Desember 2013

1) Mining Force, dengan menggunakan Defensive Mining Strategy membentuk Interdiction Mine Field

2) Coastal Defense Force, yang bersinergi dengan Mining Force di Selat Malaka dan Laut Arafuru

3) Sea Battle Force, yang menggunakan taktik lure and de-stroy.

Meminta waktu wawancara khusus dengan beliau, bukanlah hal yang mudah. Berbagai kesibukan selalu dihadapinya, baik untuk urusan kedinasan Angkatan Laut maupun membagi ilmunya. Putra Betawi kelahiran Kebon Jeruk Jakarta ini, ter-catat sebagai pengajar di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut, di Sesko TNI, di Lemhanas, serta Dosen di berbagai perguruan tinggi, diantaranya di Sekolah Tinggi Teknolo-gi Angkatan Laut (STTAL), Universitas Pertahanan (Unhan), Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, dan Universitas Maritim Raja Ali Haji (Umrah) Tanjung Pinang, serta Universitas Hang Tuah Surabaya.

Modernisasi alutsista

Seperti penjelasan saya sebelumnya, bahwa terdapat beber-apa program modernisasi alutsista. Sesuai dengan rencana strategis pembangunan TNI Angkatan Laut ke depan, kini tel-ah dan sedang melaksanakan beberapa program mod-ernisasi alutsista TNI Angkatan Laut diantaranya:

a. Program pengadaan Kapal Selam Diesel Engine kelas Cheng-bogo, yang pembangunannya dilaksanakan di Korea Selatan. Pengadaan Kapal Selam tersebut akan memperkuat jajaran Satuan Kapal Selam sebagai unsur intai sekaligus meningkat-kan efek deterrence, sehingga kekuatan TNI Angkatan Laut akan semakin disegani.

b. Rencana pengadaan Kapal Bantu Hidros Oceanografi (BHO), yang akan menambah kekuatan unsur survei sehingga dapat mendukung data-data operasi.

c. Rencana pengadaan kapal jenis Perusak Kawal Rudal (PKR), yang direncanakan dibangun di Belanda dan Indonesia ser-ta Kapal jenis Multi Role Light Frigate (MRLF). Penambahan kapal PKR berkemampuan menembakkan rudal ini diharap-kan mampu menambah kekuatan pukul utama unsur-unsur kapal permukaan.

d. Pengadaan kapal jenis Kapal Cepat Rudal (KCR) 40 meter. Pengadaan KCR 40 meter yang dibuat oleh produsen dalam negeri ini diharapkan akan menambah kekuatan unsur patroli sekaligus mampu digunakan sebagai kekuatan pemukul.

e. Pengadaan kapal layar latih sebagai pengganti Kapal Latih KRI Dewaruci yang saat ini usianya sudah terlalu tua untuk mampu melaksanakan tugasnya sebagai salah satu sarana di-plomasi TNI Angkatan Laut.

f. Pengadaan pesawat udara jenis Patroli Maritim CN-235, Helly AKS, sebagai bagian dari perkuatan Sistem Senjata Ar-mada Terpadu.

g. Pengadaan Kendaraan Tempur Marinir BMP-3F, kendaraan tempur BTR-4 serta Batteray Multi Launch Rocket System (MRLS) akan memperkuat kemampuan Pasukan Marinir da-lam melaksanakan tugasnya.Namun untuk memenuhi kebutuhan seluruh alutsista TNI Angkatan Laut menyusunnya secara bertahap ke dalam be-berapa rencana strategis, jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Panyusunan tersebut berdasarkan pendeka-tan kemampuan (capability based planning), sehingga walau-pun dihadapkan dengan kamampuan alokasi anggaran negara yang masih terbatas, diharapkan seluruh kebutuhan alutsista tersebut akan sesuai dengan operation requirement.

Akhir-akhir ini beberapa konflik global terjadi, misalkan, perkembangan krisis Laut Cina Selatan. Bagaimana pihak Angkatan Laut menghadapinya? Termasuk di dalamnya kri-sis di Ambalat.

Laut Cina Selatan merupakan area yang vital dalam sistem pelayaran internasional karena sejak lama telah menjadi Sea Lanes of Communication (SLOC), dan Sea Lanes of Trade (SLOT) bagi perdagangan internasional, suplai energi dan ekonomi, di samping memiliki kandungan sumber daya alam yang besar. Karena itulah, maka upaya-upaya meningkatkan keamanan dan stabilitas di Laut Cina Selatan menjadi penting artinya terutama melalui kerja sama strategis meritim, dalam rangka mencegah terjadinya konflik kawasan ini. Potensi konflik di era ini adalah masalah Laut Cina Selatan. Masalah ini sebenarnya adalah menyangkut hegemoni kekuatan AS dengan Cina.

Namun demikian ada beberapa alternatif guna mencegah ter-jadinya konflik, yaitu dengan menjadikan kawasan Laut Cina Selatan sebagai kawasan kerja sama. Dengan demikian maka segala suatu permasalahan yang terjadi di kawasan tersebut hendaknya diselesaikan melalui kerja sama antar nega-ra-negara di kawasan.

Indonesia selaku non claiment state, tentunya tetap akan mengambil langkah-langkah terkait dengan berkembangnya situasi di Laut Cina Selatan. TNI Angkatan Laut dalam melak-sanakan tugasnya, tentu mendukung kebijakan politik luar negeri, sehingga langkah yang diambil TNI Angkatan Laut ter-kait dengan memanasnya kondisi di Laut Cina Selatan, yaitu

17 XII

tetap akan konsisten pada komitmennya untuk membangun kekuatan dan kemampuannya berdasarkan kebijakan balancing without alliance, yang dimaknai dengan pembangunan kekuatan dan kemampuan yang diarahkan sebagai penyeimbang bagi persaingan kekuatan militer di kawasan. Pada prinsipnya TNI Angkatan Laut akan tetap menjunjung tinggi prinsip zero enemy a thousand friends, melalui kegiatan kerja sama kawasan yang mengarah kepada stabilitas keamanan maritim di kawasan khususnya di Laut Cina Selatan.

Oleh sebab itu, TNI Angkatan Laut akan tetap meningkatkan kesiapan Sistem Senjata Armada Terbaru (SSAT), sedangkan pembinaan penggelaran kekuatannya diarahkan guna mencapai gelar permanen dan penindakan ke daerah-daerah yang berpotensi konflik dan rawan selektif, khususnya gelar kekuatan di perairan tertentu dalam rangka antisipasi situasi yang berkembang seperti di Laut Cina Selatan. Penggunaan kekuatan yang diimplementasikan dalam bentuk gelar operasi akan selalu memperhatikan efektivitas dan efisiensi operasi guna mewujudkan TNI Angkatan Laut yang handal dan disegani.

Hal tersebut juga akan berlaku di seluruh wilayah perbatasan yang rawan konflik, seperti halnya kondisi di perbatasan Indonesia dan Malaysia di sepanjang perairan Kalimantan Timur atau yang lebih dikenal dengan perairan Ambalat. Walaupun penyelesaian perundingan diplomatik terkait batas wilayah negara antara Indonesia dengan Malaysia masih terus berlangsung, tidak akan mengubah kebijakan pertahanan negara yang memprioritaskan pada stabilitas keamanan di wilayah perbatasan rawan konflik, sehingga dengan demikian TNI Angkatan Laut tetap akan menempatkan alutsistanya di wilayah tersebut guna terus menjaga kedaulatan NKRI di samping menjadi alat penangkalan (deterrence effect).

kaderisasi kepemimpinan di tubuh TNI Angkatan Laut

Berbicara tentang kaderisasi kepemimpinan di tubuh TNI Angkatan Laut, berarti masuk pada pembahasan tentang begaimana pembinaan personel TNI Angkatan Laut itu sendiri. Perencanaan pembangunan di bidang personel pada dasarnya diarahkan untuk mendukung pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut secara keseluruhan dan untuk menjamin tercapainya tugas pokok TNI Angkatan Laut, khususnya mendukung rencana gelar operasi yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu perencanaan pembangunan bidang personel disusun berdasarkan kerangka Tri Pilar Kebijakan Pembangunan TNI Angkatan Laut, dengan mempertimbangkan kebijakan zero growth dan right sizing untuk menuju Minimum Essential Force (MEF).

Terkait dengan proses kaderisasi kepemimpinan di tubuh TNI Angkatan Laut, tentu erat hubungannya dengan pola

pembinaan personel yang dilakukan oleh TNI Angkatan Laut. Dalam pola pembinaannya, TNI Angkatan Laut melaksanakan kebijakan pembinaan personelnya yang mengacu pada terwujudnya sasaran pembangunan bidang personel per tahun, maka beberapa kebijakan binpers yang telah ditetapkan yaitu menyangkut bidang penyediaan personel, bidang pendidikan, bidang penggunaan, bidang perawatan dan bidang penghapusan.

Sehubungan dengan kaderisasi yang dilakukan oleh TNI Angkatan Laut, maka telah dilaksanakan beberapa langkah guna menyiapkan kader kepemimpinan TNI Angkatan Laut ke depan, melalui proses:

a. Pendidikan.

Proses pendidikan yang diterapkan oleh TNI Angkatan Laut mengacu pada kebijakan yang telah ditentukan guna menyiapkan kader-kader pemimpin TNI Angkatan Laut di masa depan. Melalui tahapan proses pendidikan formal yang diselenggarakan di lingkungan TNI Angkatan Laut, TNI maupun lembaga pendidikan di luar lingkungan TNI, diharapkan para kader pemimpin tersebut mendapatkan bekal pendidikan formal yang sesuai dengan kompetensinya seperti diantaranya, pelaksanaan pendidikan program S2 STTAL yang dibuka guna mewujudkan personel yang mampu menguasai ilpengtek khususnya bidang maritim.

Contoh lainnya, yaitu bagi personel yang ingin menempuh pendidikan formal di luar lingkungan TNI, kini TNI Angkatan Laut membuka peluang dengan menjali kerja sama antara TNI Angkatan Laut dengan beberapa perguruan tinggi di dalam dan luar negeri, untuk meningkatkan kualitas personel yang nantinya dapat menjadi kader pemimpin TNI Angkatan Laut.

b. Penugasan (Assignment).

Penyiapan kader pemimpin TNI Angkatan Laut, selain melalui tahapan pendidikan juga dilaksanakan melalui tahap penilaian dari aspek pengalaman penugasan. Penilaian pengalaman penugasan tersebut dimulai sejak personel tersebut di strata Perwira Pertama sampai strata Perwira Tinggi, melalui pemberian pengalaman penugasan yang lengkap, baik di laut maupun di darat sesuai dengan pembinaan pola karier personel, melalui penahapan job grading/nevellering guna membantu personel yang bersangkutan membentuk karakter dan jiwa Pemimpin yang kuat, sehingga mampu memimpin organisasi TNI Angkatan Laut.

Disamping itu, dengan pengalaman tugas yang lengkap, diharapkan akan menambah wawasan berpikir sehingga nantinya mampu mengambil keputusan dengan tepat agar organisasi dapat berjalan dengan baik dan optimal. (noor)

18 Desember 2013

Di negara-negara maju, sejarah Angkatan Laut tidak dipandang sebelah mata. Sejarah Angkatan Laut bukan semata soal catatan-catatan penting kejadian dalam suatu Angkatan Laut. Sejarah Angkatan Laut bukan pula sekedar kumpulan arsip tua yang diawetkan, tidak juga hanya sebuah catatan soal peristiwa-peristiwa membanggakan atau aksi kepahlawan. Sejarah Angkatan Laut adalah sumber inspirasi dan pelajaran dalam pengembangan Angkatan Laut ke depan, apapun yang terjadi pada organisasi Angkatan Laut di masa lalu.

Pengembangan doktrin Angkatan Laut senantiasa berakar pada sejarah. Bukan berarti doktrin Angkatan Laut bersifat kaku, tetapi lebih menekankan pada pelajaran yang bisa diambil dari sejarah Angkatan Laut di masa lalu. Misalnya pengalaman operasi. Doktrin Angkatan Laut yang senantiasa diperbarui seringkali mengambil pelajaran dari operasi yang “baru” berlangsung 10-15 tahun silam, bukan operasi 50 tahun silam apalagi seabad lalu.

Para ahli sejarah Angkatan Laut biasanya juga ahli strategi maritim. Sebagai contoh klasik lihat saja Julian Corbett yang keahlian dasarnya adalah sejarah maritim. Corbett tidak pernah menjadi komandan kapal perang, berbeda dengan Mahan yang berlatar belakang perwira Angkatan Laut. Ahli sejarah Angkatan Laut di negara-negara maju sangat dihargai, bahkan mereka adalah salah satu tulang punggung dalam lembaga pendidikan Angkatan Laut, khususnya lembaga pendidikan setingkat Sesko Angkatan Laut.Kepakaran mereka dalam menguasai sejarah Angkatan Laut tidak diragukan lagi, bahkan melebihi para perwira Angkatan Laut sendiri. Merekalah yang mengajar para perwira Angkatan Laut soal sejarah Angkatan Laut dan juga strategi maritim.

Keahlian mereka tidak lepas pula dari kontribusi Angkatan Laut di mana mereka mengabdi, misalnya dalam menyediakan data yang detail mengenai segala hal yang terkait Angkatan Laut. Entah itu

19 XII

operasi, perubahan organisasi, pembangunan kekuatan (di masa lalu) dan lain sebagainya.

Alangkah baiknya bila kekuatan laut Indonesia mengadopsi pendekatan yang dianut oleh Angkatan Laut negara-negara maju yang terkait dengan sejarah. Dengan demikian, selain semua peristiwa penting tercatat dan arsipnya lengkap, juga dapat menjadi landasan bagi pengembangan Angkatan Laut ke depan. Belajar soal sejarah bukan semata mempelajari peristiwa yang telah lewat, tetapi juga mempersiapkan masa depan Angkatan Laut. Bukankah ada pepatah yang berbunyi history repeats itself?

Sejarah TNI AL

Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang dikumandangkan oleh duet Soekarno-Mohammad Hatta merupakan titik awal perjuangan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat, bebas dari belenggu penjajahan. Proklamasi tersebut membangkitkan gelora nasionalisme dan perjuangan bangsa Indonesia, yang secara spontan direspon dengan membentuk badan-badan perjuangan dan laskar-laskar. Guna mewadahi semangat tersebut sekaligus untuk merintis terbentuknya organisasi tentara reguler, Presiden RI Soekarno mengumumkan pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada tanggal 23 Agustus 1945. Pemerintah Indonesia tidak segera membentuk organisasi tentara semata-mata untuk menghindari bentrokan fisik dengan balatentara Jepang yang saat itu masih menguasai seluruh persenjataannya walau telah kalah dalam Perang Pasifik.

Para pejuang bahari menindaklanjuti pengumuman pemerintah tersebut dengan membentuk Badan Keamanan Rakyat Bagian Laut atau disingkat BKR Laut pada tanggal 10 September 1945 di Jakarta. Pembentukan BKR Laut dipelopori oleh pelaut-pelaut veteran Indonesia yang pernah bertugas di jajaran Koninklijke Marine (Angkatan Laut Kerajaan Belanda) di masa penjajahan Belanda dan Kaigun Heiho di masa pendudukan Jepang serta para guru dan siswa sekolah-sekolah pelayaran bentukan Jepang. BKR Laut di Jakarta selanjutnya oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) diresmikan sebagai BKR Laut Pusat dan disusunlah Staf Umum BKR Laut Pusat. Sebagai Ketua Umum BKR Laut Pusat adalah: Mas Pardi dengan anggota Adam, R.E. Martadinata, Ahmad Hadi, Surjadi, Oentoro Koesmardjo, dan Darjaatmaja. Terbentuknya BKR Laut Pusat di Jakarta mendorong pejuang-pejuang bahari di berbagai daerah untuk menyusun organisasi BKR Laut di tingkat daerah. Tugas utama BKR Laut adalah mengambil alih seluruh fasilitas pelabuhan dan merebut persenjataan dari tangan Jepang.

Setelah BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) berdasarkan Maklumat No. 2/X tanggal 5 Oktober 1945, BKR Laut segera menyesuaikan organisasinya menjadi TKR Laut. Di sini, organisasi TKR Laut disusun sesuai dengan struktur organisasi angkatan laut yang sebenarnya, seperti pangkalan, Corps Armada, Corps Mariniers, navigasi, kesehatan, dan sebagainya.

Dari Jakarta ke Yogyakarta

Kedatangan Sekutu yang di dalamnya terdapat prajurit-prajurit Belanda ke sejumlah daerah, antara lain Jakarta, Surabaya, Medan, kian memanaskan suhu api revolusi di Indonesia.

Awalnya, Sekutu beralibi kedatangannya adalah untuk melucuti dan memulangkan prajurit Jepang serta merehabilitasi tawanan perang sehingga diterima dengan baik oleh pejuang-pejuang Indonesia. Namun ketika Sekutu melakukan sejumlah tindakan provokasi dan menduduki tempat-tempat strategis, keadaan berbalik. Sekutu kini dipandang sebagai musuh dan berniat mengembalikan kekuasaan kolonial Hindia Belanda, karena secara bersamaan Belanda juga membentuk pemerintahan sipil Hindia Belanda yang dinamakan Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Akibatnya terjadilah bentrokan-bentrokan senjata. Situasi keamanan Jakarta menjadi rawan sehingga pemerintah mengeluarkan keputusan untuk memindahkan ibu kota negara ke Yogyakarta. Jakarta dinyatakan sebagai kota diplomasi agar tidak menjadi daerah pertempuran seperti yang dialami Surabaya.

Seiring dengan perpindahan ibu kota, Markas Umum TKR Laut juga pindah markasnya ke Yogyakarta. Di Yogyakarta, disusun Markas Besar Tertinggi TKR Laut dan mengangkat Laksamana III M. Pardi. Kemudian juga disusun 3 divisi TKR Laut di Pulau Jawa, yaitu Divisi I Jawa Barat berkedudukan di Cirebon dipimpin Laksamana III M. Adam, Divisi II Jawa Tengah berkedudukan di Purworejo pimpinan Laksamana M. Nasir, dan Divisi III Jawa Timur berkedudukan di Surabaya dipimpin Laksamana III A.R. Aris. Sementara di Sumatera dibentuk Staf Umum Komandemen Sumatera. Guna memantapkan jati dirinya sebagai elemen pertahanan negara matra laut, TKR Laut kemudian berubah menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) di pertengahan tahun 1946. Sejalan dengan perubahan tersebut, di Jawa dibentuk 12 pangkalan ALRI dan di Sumatera dibentuk 5 pangkalan ALRI.

Mempertahankan Kemerdekaan Sepanjang kurun waktu antara 1945 hingga 1947 kekuatan ALRI sangatlah sederhana, baik alat utama sistem senjata (alutsista) yang dimilikinya maupun jumlah personel. Meskipun demikian semua keterbatasan itu tidak menyurutkan semangat juang prajurit ALRI untuk menggelar operasi lintas laut dalam rangka menyebarluaskan berita proklamasi dan menyusun kekuatan bersenjata di berbagai tempat di Indonesia. Di samping itu mereka juga harus melakukan operasi penerobosan blokade laut Belanda dalam rangka mendapatkan bantuan dari luar negeri. Operasi atau ekspedisi lintas laut yang dilaksanakan ALRI berhasil menyusun kekuatan bersenjata di Kalimantan Selatan, Bali, Maluku, dan Sulawesi. Namun hampir seluruh kekuatan pertahanan pejuang Indonesia tersebut harus menemui kegagalan akibat kuatnya tekanan militer Belanda. Hanya di Kalimantan, ALRI berhasil menancapkan kekuatan bersenjatanya hingga tercapainya pengakuan kedaulatan tahun 1949.

Kepahlawanan para prajurit samudra tercermin dalam berbagai pertempuran laut dengan Angkatan Laut Belanda antara lain Pertempuran Selat Bali, Pertempuran Laut Cirebon, dan Pertempuran Laut Sibolga. Keterbatasan dalam kekuatan dan kemampuan menyebabkan ALRI harus mengalihkan perjuangan ke kawasan pedalaman, terutama setelah sebagian besar pangkalannya di Jawa dikuasai Belanda pada agresi militer 1947 dan 1948. Sebagian besar kapal ALRI ditenggelamkan. Dampaknya, antara tahun 1948 – 1949 muncul sebutan ALRI Gunung bagi prajurit ALRI yang bergerilya di pedalaman. Namun

20 Desember 2013

tekad untuk kembali berperan di mandala laut tidak pernah surut, sehingga dibentuklah kesatuan Corps Armada (CA) untuk memelihara jati diri mereka sebagai pejuang bahari. Dengan demikian di Jawa sistem pangkalan dihapus dan disusun 6 kesatuan CA. Unsur armada ALRI yang masih mempertahankan eksistensi hanya di Sumatera.

Konsolidasi

Periode perang kemerdekaan berakhir setelah tercapai gencatan senjata antara pejuang Indonesia dengan Belanda yang dilanjutkan perundingan damai. Memasuki akhir tahun 1949 dilaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Perundingan KMB 27 Desember 1949 menghasilkan adanya pengakuan kedaulatan negara RI oleh Kerajaan Belanda. Indonesia juga dinyatakan sebagai bagian dari persemakmuran Belanda dan menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun RIS tidak berusia lama, karena sejak tanggal 17 Agustus 1950 RIS dibubarkan dan kembali RI. Sementara itu di dalam negeri, dilakukan konsolidasi seluruh kekuatan gerilya, termasuk ALRI. Sesuai dengan hasil KMB, sejak tahun 1949 ALRI menerima berbagai jenis peralatan alutsista dari Belanda, antara lain kapal-kapal perang, kapal patroli, pesawat amfibi, dan kendaraan tempur amfibi, beserta fasilitas-fasilitas pendukungnya seperti pangkalan angkatan laut dan galangan perbaikan kapal. Secara simultan, ALRI juga melakukan pembenahan organisasi dan pengembangan serta perekrutan personel melalui lembaga-lembaga pendidikan. Peningkatan kualitas sumber daya prajurit ALRI juga dilaksanakan dengan mengirim sejumlah personel untuk mengikuti pendidikan di luar negeri.

Antara tahun 1949 - 1959 ALRI berhasil menyempurnakan organisasi dan meningkatkan kemampuannya hingga setingkat dengan angkatan laut modern. Di bidang organisasi, ALRI membentuk Armada, Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL), Penerbangan Angkatan Laut dan Komando Daerah Maritim (KDM) sebagai komando pertahanan kewilayahan aspek laut.

Mempertahankan Integritas NKRI

Meskipun Indonesia telah mencapai kedaulatan penuh sejak tahun 1950, namun kian meningkatnya gangguan keamanan dan menguatnya elemen-elemen separatis menjadi faktor utama yang merongrong keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Dalam operasi penugasan PRRI di Sumatera, Permesta di Sulawesi, DI/TII di Jawa Barat, dan RMS di Maluku, ALRI memperoleh banyak pelajaran dalam penerapan konsep operasi laut, operasi amfibi, dan operasi gabungan dengan angkatan lain.

Tantangan terbesar ALRI dalam mempertahankan keutuhan NKRI teruji ketika terjadi konfrontasi dengan Belanda terkait masalah Irian Barat. Irian barat merupakan satu-satunya wilayah RI yang masih diduduki Belanda walau telah tercapai pengakuan kedaulatan tahun 1949. Berbagai langkah diplomatik ditempuh untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan NKRI, namun selalu menemui jalan buntu. Belanda tetap bersikukuh untuk mempertahankan kekuasaannya di Irian Barat dengan berbagai alasan. Oleh sebab itu, Indonesia terpaksa mengampanyekan

konfrontasi yang disebut Tri Komando Rakyat (Trikora) dan strategi diplomasi kapal perang (gunboat diplomacy).

Guna mengimbangi kekuatan militer Belanda, Indonesia melakukan pembelian alutsista secara besar-besaran dari luar negeri, utamanya dari Uni Soviet. Dengan demikian kekuatan ALRI telah mencakup kemampuan peperangan permukaan, bawah permukaan, udara, dan darat, sehingga tanggal 5 Desember 1959 diresmikan pembentukan Komando Armada ALRI.

Alutsista Soviet yang memperkuat jajaran Armada ALRI saat itu antara lain kapal penjelajah (cruiser) RI Irian, kapal perusak (destroyer) kelas Skory, fregat kelas Riga, kapal selam kelas Whiskey, kapal cepat rudal kelas Komar, pesawat pembom menengah Ilyushin IL-28, dan tank amfibi PT-76. Dengan kekuatan tersebut sepanjang era tahun 1960-an, ALRI disebut-sebut sebagai angkatan laut yang terbesar di Asia Tenggara.

Beberapa operasi laut yang digelar ALRI selama Kampanye Pembebasan Irian Barat Trikora antara lain operasi infiltrasi yang melibatkan satuan kapal cepat torpedo kelas Jaguar. Pada operasi tersebut, satuan tugas ALRI harus berhadapan dengan kapal- kapal perang Belanda di Laut Aru tanggal 15 Januari 1962 yang menyebabkan meletusnya Pertempuran Laut Aru. Komodor Yos Soedarso beserta salah satu kapal cepat ALRI: RI Macan Tutul tenggelam dalam pertempuran laut tersebut. Peristiwa ini kemudian dikenang sebagai Hari Dharma Samudra.

Pada saat itu, ALRI mampu mengorganisasi sebuah naval campaign yaitu Operasi Jayawijaya, yang merupakan operasi amfibi terbesar dalam sejarah operasi militer Indonesia. Tidak kurang dari 100 kapal perang dan 16.000 prajurit disiapkan dalam operasi tersebut. Gelar kekuatan tersebut akhirnya memaksa Belanda kembali ke meja perundingan dan mengembalikan Irian Barat ke pangkuan NKRI pada 1 Mei 1963.

Pembentukan Federasi Malaya sebagai hasil dekolonisasi Kerajaan Inggris dipandang pemerintah Indonesia bagian dari politik neokolonialisme dan imperialisme (Nekolim) yang akan mengancam kedaulatan NKRI. Oleh sebab itu dilakukan politik konfrontasi dan gelar Operasi Dwikora untuk menentang pembentukan Federasi Malaya. Meskipun unsur-unsur Angkatan Bersenjata RI telah disiapkan untuk operasi tersebut, namun masih sebatas operasi infiltrasi yang melibatkan prajurit-prajurit KKO-AL.

Sementara unsur-unsur laut menggelar pameran bendera dalam rangka mengimbangi provokasi kekuatan laut negara-negara sekutu Inggris. Operasi Dwikora tidak dilanjutkan seiring dengan suksesi pemerintahan di Indonesia pascapemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965.

Komando Armada ALRI mengalami reorganisasi pada 5 Desember 1966 menjadi Komando Armada Samudera (Koarsam) dan Komando Armada Nusantara (Koartara). Reorganisasi ini merupakan konsekuensi dari perkembangan alutsista ALRI.

21 XII

22 Desember 2013

“Indonesia selaku non claiment state, tentunya tetap akan mengambil langkah-langkah terkait dengan berkembangnya situasi di Laut Cina Selatan”

Pembangunan Kekuatan

Sejak tahun 1966 ALRI memasuki babak baru dalam perjalanan sejarahnya seiring dengan integrasi ABRI. Dengan adanya integrasi ABRI secara organisatoris dan operasional telah mampu menyamakan langkah pada pelaksanaan tugas di bidang pertahanan dan keamanan sehingga secara doktrinal, arah pengembangan kekuatan dan kemampuan setiap angkatan menjadi terpusat. Terkait dengan integrasi ABRI, nama ALRI yang telah disandang sejak tahun 1946 diubah menjadi TNI Angkatan Laut (TNI AL) berdasarkan Keppres No. 69 tahun 1971 dan digunakan hingga saat ini. Perubahan nama juga dialami KKO-AL yang berganti menjadi Korps Marinir sejak tahun 1975.

Perubahan signifikan lainnya adalah peralihan alutsista, dari produk Uni Soviet ke produk negara-negara Barat, seperti Belanda, Inggris, Jerman Barat, termasuk Amerika. Kebijakan ini nyaris melumpuhkan kemampuan operasional TNI AL, karena banyaknya alutsista eks Uni Soviet yang mangkrak. Oleh sebab itu, pada tahun 1970 TNI AL mereorganisasi Koarsam dan Koartara menjadi Komando Armada serta membentuk Eskader Barat dan Eskader Timur.

Memasuki tahun 1979 kedua eskader tersebut kembali direorganisasi menjadi Eskader Nusantara. Namun setelah kehadiran alutsista baru dari Barat, secara perlahan kemampuan TNI AL kembali terdongkrak. Di sini, TNI AL beralih mengadopsi teknologi Barat untuk memodernisasi kekuatan dan kemampuannya. Sejalan dengan kian pulihnya kemampuan TNI AL, berdasarkan Surat Keputusan Panglima ABRI No. Kep/09/P/III/1984

tentang Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur TNI AL, Eskader Nusantara dilikuidasi menjadi dua Komando Armada RI Kawasan, yaitu Komando Armada RI Kawasan Barat (Koarmabar) dan Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim). Masing-masing Komando Armada RI Kawasan membawahi Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) yang tersebar di beberapa daerah. Lantamal sendiri hasil reorganisasi dari Komando Daerah Maritim (Kodamar).

Secara struktural, Koarmabar membawahi 4 Lantamal, 4 Fasilitas Pemerliharaan dan Perbaikan (Fasharkan), 4 Pangkalan Udara TNI AL (Lanudal), 22 Pangkalan TNI AL (Lanal) dan 83 Pos TNI AL (Posal) di wilayah barat. Keempat Lantamal wilayah barat tersebut, meliputi Lantamal I di Belawan, Lantamal II di Padang, Lantamal III Jakarta dan Lantamal IV Tanjung Pinang. Sedangkan di wilayah timur, Koarmatim membawahi 7 Lantamal, 5 Fasharkan, 5 Lanudal, 35 Lanal dan 106 Posal. Ketujuh Lantamal wilayah timur meliputi Lantamal V Surabaya, Lantamal VI Makassar, Lantamal VII Kupang, Lantamal VIII Bitung, Lantamal IX Ambon, Lantamal X Jayapura dan Lantamal XI Merauke.

Kegiatan operasi yang menonjol pada kurun waktu 1975-an adalah Operasi Seroja dalam

23 XII

rangka integrasi Timor-Timur (Tim-Tim) ke dalam NKRI. TNI AL berperan aktif dalam gelar operasi pendaratan pasukan, operasi darat gabungan, dan pergeseran pasukan melalui laut hingga lepasnya Tim-Tim dari NKRI pascareferendum 1999.

Pada saat yang sama, TNI AL juga mengembangkan operasi militer non tempur berupa operasi bakti kemanusiaan seperti Surya Bhaskara Jaya (SBJ) di berbagai daerah terpencil yang hanya bisa dijangkau lewat laut. Operasi ini berintikan kegiatan pelayanan kesehatan, pembangunan dan rehabilitasi sarana publik, dan berbagai penyuluhan dibidang kesehatan, hukum, dan bela negara. Kegiatan ini dilaksanakan secara rutin setiap tahun hingga sekarang. Operasi bakti yang menonjol adalah saat penyaluran bantuan dan logistik ke Aceh setelah terkena dampak tsunami tahun 2005.

Di bidang kemaritiman, TNI AL senantiasa berkomitmen tetap menggalakan pembangunan sektor kelautan, khususnya yang berhubungan dengan aspek pertahanan dan keamanan di laut. Kegiatan-kegiatan nyata yang dilakukan TNI AL antara lain mendirikan badan-badan pengkajian pembangunan kelautan bersama-sama dengan pemerintah dan swasta di beberapa daerah, program desa pesisir percontohan yang terangkum dalam Pembinaan Desa Pesisir (Bindesir), dan program pembinaan potensi nasional menjadi kekuatan maritim (Binpotnaskuatmar).

Kemudian dalam rangka menggelorakan jiwa bahari, TNI AL

“beberapa alternatif guna mencegah terjadinya

konflik dengan menjadikan kawasan

Laut Cina Selatan sebagai kawasan

kerja sama”

24 Desember 2013

menggelar event kelautan skala internasional seperti Arung Samudera 1995, Sail Bunaken 2009, Sail Banda 2010, Sail Wakatobi-Belitung 2011, Sail Morotai 2012, dan Sail Komodo 2013. TNI AL juga menjadi pendukung utama dicanangkannya Tahun Bahari 1996 dan Deklarasi Bunaken 1998 yang merupakan manifestasi pembangunan kelautan di Indonesia.

Pemekaran organisasi juga dilakukan di lingkungan Korps Marinir dengan pembentukan satuan setingkat divisi: Pasukan Marinir-I di Surabaya dan Pasukan Marinir-2 di Jakarta. Rencananya, akan dibentuk Pasukan Marinir-3 di Sorong, Papua.

Di tataran internasional, kemampuan TNI AL dalam melaksanakan gelar operasi lintas laut antarnegara sebagaimana yang dilaksanakan oleh Satgas Merah Putih saat pembebasan MV Sinar Kudus di perairan Somalia, muhibah keliling dunia KRI Dewaruci, dan Satgas Maritime Task Force (MTF) 448 United Nations Interim For Lebanon (UNIFIL) di perairan Lebanon. Semua itu merupakan prestasi yang diperhitungkan oleh dunia internasional. Selain itu konsistensi pembangunan kekuatan TNI AL yang mengedepankan potensi dalam negeri menjamin terwujudnya kemandirian alutsista yang meningkatkan ketahanan nasional. Langkah modernisasi juga ditempuh TNI AL dengan menjalin kerjasama alih teknologi dengan negara-negara sahabat. Kemudian guna

membangun sikap saling mempercayai atau confidence building measure (CBM) antarnegara demi mewujudkan stabilitas regional dan internasional, TNI AL melaksanakan kerjasama keamanan dengan angkatan laut negara sahabat baik berupa patroli terkoordinasi maupun latihan bersama.

Tantangan TNI AL Kedepan

Perkembangan situasi di tingkat kawasan yaitu Asia Tenggara kini makin dinamis, yang diwarnai pula situasi yang memanas terkait sengketa wilayah kaya sumber daya alam di Laut China Selatan antara China dengan sejumlah negara Asia Tenggara.

Kondisi di tingkat kawasan itu layak menjadi rujukan dalam pengembangan TNI AL ke depan, khususnya terkait dengan visi mewujudkan TNI AL yang andal dan disegani. Visi ini sangat penting dan tepat karena Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan luas wilayah laut 93.000 km persegi dan luas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 6.159.032 km persegi. Kondisi geografis Indonesia ini semakin spesial dengan posisi yang terletak di antara dua benua dan dua samudera besar, sehingga membuat wilayah ini dari abad ke abad senantiasa menjadi jalur perlintasan perniagaan yang sangat penting dan vital.

25 XII

Oleh karenanya, kebutuhan adanya angkatan laut yang kuat dengan perlengkapan sesuai zaman dan kebutuhan dengan ditunjang sumber daya manusia yang memiliki profesionalisme dan kompetensi tinggi sudah menjadi keniscayaan. Akan tetapi kekuatan TNI AL yang andal dan disegani itu pun, takkan bisa terwujud jika visi maritim yang kuat dan integral belum terbangun di negeri ini.

Secara de facto, Indonesia tidak termasuk negara yang bersengketa dengan China, namun kita justru harus memanfaatkan situasi ini sebagai rujukan kesiapan segenap sumber daya maritim untuk mengantisipasi kemungkinan konflik. Kita lihat saat ini China sangat menggenjot kekuatan maritimnya, yang terakhir dengan peluncuran kapal induk Liaoning yang bakal dilengkapi pesawat tempur J-15, yang merupakan kopian dari pesawat tempur Rusia versi kapal induk, Sukhoi Su-33. Meski sejumlah pengamat seperti misalnya Rodger Baker dan Zhang Zhixing dalam ulasan berjudul The Paradox of China’s Naval Strategy di situs kajian strategis stratfor.com (http://www.stratfor.com/weekly/paradox-chinas-naval-strategy) menilai China masih dalam proses transisi untuk memproyeksikan kekuatan maritimnya keluar demi kepentingannya, segenap perkembangan ini harus diikuti dengan cermat demi kepentingan nasional kita.

Dengan demikian, pembangunan kekuatan maritim adalah tahap lebih lanjut setelah dipenuhinya kualitas yang unggul atas pertahanan matra darat. Ditambahkannya, dalam perkuatan armada laut, sebuah negara harus sudah memiliki pertahanan darat, sistem intelijen, pemerintahan dan perekonomian yang kuat, juga dengan dasar strategi ekonomi politik yang tangguh untuk menjaga kedaulatan negaranya.

Meninjau kondisi aktual di tingkat kawasan, misi TNI AL yang saat ini masih sejalan dengan TNI secara umum yaitu membangun kekuatan dengan ukuran minimum essential force atau kekuatan pokok minimal perlu secara dinamis terus dikaji dan disesuaikan dengan perkembangan tingkat kawasan. Konsep pertahanan dan alat utama sistem senjata (Alutsista) penunjangnya semestinya sudah makin diarahkan menuju prinsip kesetaraan, meski mungkin kesetaraan minimal. Artinya, Alutsista dan segala kemampuan sumber daya penunjangnya harus memiliki kualitas setara dengan kekuatan termaju di kawasan, walaupun dari segi kuantitas mungkin belum menyamai. Tak kalah penting, ketersediaan Alutsista dan kelengkapannya juga sesuai dengan tren potensi ancaman.

Sementara itu, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana DR. Marsetio memaparkan lebih lanjut, Laut Cina Selatan merupakan

26 Desember 2013

area yang vital dalam sistem pelayaran internasional karena sejak lama telah menjadi Sea Lanes of Communication (SLOC), dan Sea Lanes of Trade (SLOT) bagi perdaganangan internasional, suplai energi dan ekonomi, di samping memiliki kandungan sumber daya alam yang besar. Karena itulah, maka upaya-upaya meningkatkan keamanan dan stabilitas di Laut Cina Selatan menjadi penting artinya terutama melalui kerja sama strategis meritim, dalam rangka mencegah terjadinya konflik kawasan ini. Potensi konflik di era ini adalah masalah Laut Cina Selatan. Masalah ini sebenarnya adalah menyangkut hegemoni kekuatan AS dengan Cina.

Namun demikian ada beberapa alternatif guna mencegah terjadinya konflik, yaitu dengan menjadikan kawasan Laut Cina Selatan sebagai kawasan kerja sama. Dengan demikian maka segala suatu permasalahan yang terjadi di kawasan tersebut hendaknya diselesaikan melalui kerja sama antar negara-negara di kawasan.

Indonesia selaku non claiment state, tentunya tetap akan mengambil langkah-langkah terkait dengan berkembangnya situasi di Laut Cina Selatan. TNI Angkatan Laut dalam melaksanakan tugasnya, tentu mendukung kebijakan politik luar negeri, sehingga langkah yang diambil TNI Angkatan Laut terkait dengan memanasnya kondisi di Laut Cina Selatan, yaitu tetap akan konsisten pada komitmennya untuk membangun kekuatan dan kemampuannya berdasarkan kebijakan balancing without alliance, yang dimaknai dengan pembangunan kekuatan dan kemampuan yang diarahkan sebagai penyeimbang bagi persaingan kekuatan militer di kawasan. Pada prinsipnya TNI Angkatan Laut akan tetap menjunjung tinggi prinsip zero enemy a thousand friends, melalui kegiatan kerja sama kawsan yang mengarah kepada stabilitas keamanan maritim di kawsan khususnya di Laut Cina Selatan.

Oleh sebab itu lanjut KSAL, TNI Angkatan Laut akan tetap meningkatkan kesiapan Sistem Senjata Armada Terbaru (SSAT), sedangkan pembinaan penggelaran kekuatannya diarahkan guna mencapai gelar permanen dan penindakan ke daerah-daerah yang berpotensi konflik dan rawan selektif, khususnya gelar kekuatan di perairan tertentu dalam rangka antisipasi situasi yang berkembang seperti di Laut Cina Selatan. Penggunaan kekuatan yang diimplementasikan dalam bentuk gelar operasi akan selalu memperhatikan efektivitas dan efisiensi operasi guna mewujudkan TNI Angkatan Laut yang handal dan disegani.

Hal tersebut juga akan berlaku di seluruh wilayah perbatasan yang rawan konflik, seperti halnya kondisi di perbatasan Indonesia dan Malaysia di sepanjang perairan Kalimantan Timur atau yang lebih dikenal dengan perairan Ambalat. Walaupun penyelesaian perundingan diplomatik terkait batas wilayah negara antara Indonesia dengan Malaysia masih terus berlangsung, tidak akan mengubah kebijakan pertahanan negara yang memprioritaskan pada stabilitas keamanan di wilayah perbatasan rawan konflik, sehingga dengan demikian TNI Angkatan Laut tetap akan menempatkan alutsistanya di wilayah tersebut guna terus menjaga kedaulatan NKRI di samping menjadi alat penangkalan.

Sementara itu, website Center For Defense and Maritimes Studies menyebutkan ada 5 tantangan yang harus di hadapi oleh TNI AL. Terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi oleh TNI Angkatan Laut untuk mewujudkan Rancangan Renstra TNI Angkatan Laut 2010-2014, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Tantangan-tantangan itu meliputi sebagai berikut.

Pertama, kebijakan politik. Renstra TNI Angkatan Laut merupakan implementasi dari kebijakan pertahanan yang telah ditetapkan oleh Departemen Pertahanan, khususnya Postur Pertahanan Negara 2010-2029. Namun demikian, hendaknya tidak diabaikan pula bahwa pelaksanaan kebijakan pertahanan berada dalam ruang nasional yang sarat dengan berbagai kepentingan. Kadang kala kepentingan-kepentingan tersebut tidak selalu mengacu pada kepentingan nasional.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pelaksanaan pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang diputuskan oleh pemimpin nasional. Meskipun secara tertulis pembangunan kekuatan telah diperinci dalam kerangka waktu tertentu beserta besaran kebutuhan anggaran yang diperlukan, dukungan dari pemimpin nasional tidak dapat diabaikan begitu saja. Sebab meskipun semua instansi pemerintah yang terkait dengan program pengembangan material telah menyetujui pengadaan sejumlah alutsista bagi Angkatan Laut, keputusan akhir berada pada pemimpin nasional.

Kedua, kebijakan ekonomi. Selama ini, alokasi anggaran pertahanan dalam APBN secara ril nilainya sebenarnya kecil. Meskipun pada APBN Tahun Anggaran 2010 anggaran pertahanan menduduki pos ketiga terbesar dalam alokasi APBN, namun sesungguhnya lebih dari 60 persen dari anggaran pertahanan terserap untuk alokasi belanja pegawai. Adapun prosentase untuk pengadaan alutsista tergolong kecil sekali. Oleh sebab itu, sebagian besar dukungan anggaran untuk pengadaan alutsista masih bertumpu pada kredit luar negeri, baik kredit ekspor maupun kredit negara.

Masih bergolaknya ekonomi negara-negara maju akan terus berimplikasi negatif terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Hal ini tidak bisa dihindari dalam era globalisasi yang menciptakan interdependensi ekonomi antar bangsa. Terpengaruhnya kinerja ekonomi Indonesia dipastikan akan berdampak pula pada besaran anggaran pertahanan yang dialokasi dalam APBN tahun-tahun mendatang. Bisa saja secara nominal jumlah anggaran pertahanan akan terus meningkat dalam periode 2010-2014, tetapi perlu diperhitungkan pula nilai tukar rupiah terhadap Dollar maupun Euro sebagai dua alat pembayaran utama dalam pengadaan alutsista.

Ketiga, faktor birokrasi. Birokrasi dalam pengadaan alutsista selama ini cukup panjang dan rumit. Pada satu sisi, situasi demikian diciptakan untuk mengurangi sebesar mungkin potensi kerugian negara akibat pengadaan alutsista yang tidak tepat guna dan sasaran. Tetapi pada sisi lain, rantai birokrasi yang panjang secara tidak langsung menciptakan pula masuknya beragam kepentingan pihak-pihak terkait yang seringkali tidak selaras

27 XII

dengan kebutuhan pengadaan alutsista yang diinginkan oleh TNI Angkatan Laut.

Selama ini, masalah birokrasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terlaksananya pengadaan alutsista sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam Renstra. Masih terkait dengan birokrasi yaitu belum memadainya kemampuan Departemen Pertahanan untuk melaksanakan penilaian (assessment) terhadap pengajuan pengadaan dari Angkatan, sehingga terkadang perdebatan terhadap usulan dari Angkatan tidak menyentuh pokok permasalahan. Faktor birokrasi makin rumit ketika sudah memasuki ranah politik, yaitu persetujuan dari parlemen untuk penganggarannya.

Keempat, tekanan dari luar negeri. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan kawasan Asia Tenggara sangat diperhitungkan oleh pihak lain. Oleh sebab itu, pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut selalu mendapat perhatian khusus dari negara-negara yang berkepentingan. Karena pengadaan sistem senjata masih mengandalkan pada buatan asing, seringkali tekanan politik dari pihak-pihak asing tertentu tidak terhindarkan ketika TNI Angkatan Laut hendak mengakuisisi satu jenis senjata.

Tekanan tersebut bukan semata aspek komersial, tetapi mencakup pula aspek politik. Khususnya ketika Indonesia hendak membeli sistem senjata dari negara lain yang tidak satu aliran politik dengan kekuatan besar di kawasan Asia Pasifik. Hal itu bisa dilihat dalam pelaksanaan Renstra TNI Angkatan Laut 2005-2009, khususnya pada program pengembangan material matra laut.

Kondisi seperti itu kurang menguntungkan bagi Indonesia, terlebih lagi apabila Indonesia tidak bisa bersikap taktis pada tataran politik dan operasional. Sebagai contoh, apabila Indonesia memutuskan untuk membeli sebagian alutsista TNI dari Rusia, kebijakan itu harus diimbangi dengan tetap menjaga kerjasama yang telah terjalin dengan Amerika Serikatnya. Misalnya meningkatkan kualitas interaksi militer kedua negara, baik penambahan frekuensi latihan dan lain sebagainya. Tindakan tersebut dilaksanakan untuk menepis kekhawatiran bahwa pengadaan alutsista dari Rusia seolah-olah akan digunakan mengancam kepentingan Amerika Serikat di kawasan.

Kelima, ketidaksiapan industri pertahanan dalam negeri. Kebijakan transfer of technology yang telah dicanangkan oleh Departemen Pertahanan dalam pengadaan alutsista perlu dikaji secara seksama. Apakah kebijakan itu selaras dengan kebijakan

28 Desember 2013

luar negeri yang saat ini dianut oleh Indonesia? Pertanyaan ini diajukan sebab transfer teknologi dalam prakteknya bukan suatu hal yang bebas nilai, melainkan sarat dengan kepentingan politik dari negara pemilik teknologi.

Di samping itu, kesiapan industri pertahanan dalam negeri juga harus mendukung. Mengacu pada pengalaman beberapa negara berkembang lainnya yang di antaranya menganut kebijakan transfer of technology dalam pembangunan kekuatan lautnya, proses pengadaan dari galangan luar negeri harus didukung pula oleh kesiapan industri perkapalan nasional. Tanpa itu maka kebijakan tersebut sebatas konsep yang tidak dapat dilaksanakan di lapangan.

Selama ini, belum ada sinkronisasi antara kebijakan pertahanan, khususnya tentang pembangunan kekuatan ke depan dengan kebijakan pemerintah tentang perusahaan BUMN bidang pertahanan. Sebagai contoh, apabila dalam satu kurun renstra Departemen Pertahanan menyetujui pengadaan kapal perang yang sebagian di antaranya harus diproduksi di galangan perkapalan nasional lewat mekanisme co-production, sudah sewajarnya bila hal itu melibatkan dengan Kementerian BUMN dan BUMN bidang pertahanan yang terkait. Dengan demikian BUMN bersangkutan dapat mempersiapkan diri sejak dini, sehingga tidak terjadi lagi kasus terlambatnya penyerahan kapal perang karena ketidaksiapan dari BUMN bersangkutan.

Kesiapan yang dimaksud di sini tidak sekedar meliputi kesiapan fasilitas produksi, tetapi mencakup pula aspek perencanaan, kesiapan teknologi dan sumber daya manusia. Tiga aspek yang terakhir patut untuk diperhatikan, sebab kebijakan pemerintah selama ini untuk BUMN bidang pertahanan terkesan hanya meminta mereka memberikan keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan bagaimana kesiapan terhadap ketiga aspek.

Sebagai contoh, harus ada perencanaan berjangka panjang yang sinkron antara kebijakan pertahanan dengan kebijakan BUMN. Sinkronisasi kebijakan tersebut penting, sebab dengan demikian BUMN industri pertahanan dapat mempersiapkan kapasitas produksi mereka dan menghitung proyeksi pertumbuhan industrinya dengan adanya kebijakan pertahanan yang konsisten, khususnya dalam masalah pembangunan kekuatan. Ketidakkonsistenan pelaksanaan pembangunan kekuatan selama ini turut menyumbang pula pada ketidaksiapan BUMN industri pertahanan untuk mendukung kebutuhan alutsista TNI. Di samping itu, harus diakui pula bahwa pasca reformasi, pemerintah tidak lagi sepenuhnya memberikan perhatian khusus terhadap BUMN industri pertahanan sehingga perkembangan industri-industri tersebut tersendat.

Perkembangan Alutsista TNI AL

KSAL Laksamana DR. Marsetio sendiri mengakui terdapat beberapa program modernisasi alutsista. Sesuai dengan rencana strategis pembangunan TNI Angkatan Laut ke depan, kini telah dan sedang melaksanakan beberapa program modernisasi alutsista TNI Angkatan Laut diantaranya:

a. Program pengadaan Kapal Selam Diesel Engine kelas Changbogo, yang pembangunannya dilaksanakan di Korea Selatan. Pengadaan Kapal Selam tersebut akan memperkuat jajaran Satuan Kapal Selam sebagai unsur intai sekaligus meningkatkan efek deterrence, sehingga kekuatan TNI Angkatan Laut akan semakin disegani.

b. Rencana pengadaan Kapal Bantu Hidros Oceanografi (BHO), yang akan menambah kekuatan unsur survei sehingga dapat mendukung data-data operasi.

c. Rencana pengadaan kapal jenis Perusak Kawal Rudal (PKR), yang direncanakan dibangun di Belanda dan Indonesia serta Kapal jenis Multi Role Light Frigate (MRLF). Penambahan kapal PKR berkemampuan menembakkan rudal ini diharapkan mampu menambah kekuatan pukul utama unsur-unsur kapal permukaan.

d. Pengadaan kapal jenis Kapal Cepat Rudal (KCR) 40 meter dan 60 meter. Pengadaan KCR kedua jenis yang dibuat oleh produsen dalam negeri ini, diharapkan akan menambah kekuatan unsur patroli sekaligus mampu digunakan sebagai kekuatan pemukul.

e. Pengadaan kapal layar latih sebagai pengganti Kapal Latih KRI Dewaruci yang saat ini usianya sudah terlalu tua, untuk mampu melaksanakan tugasnya sebagai salah satu sarana diplomasi TNI Angkatan Laut.

f. Pengadaan pesawat udara jenis Patroli Maritim CN-235, Helly AKS, sebagai bagian dari perkuatan Sistem Senjata Armada Terpadu.

g. Pengadaan Kendaraan Tempur Marinir BMP-3F, kendaraan tempur BTR-4 serta Batteray Multi Launch Rocket System (MRLS) akan memperkuat kemampuan Pasukan Marinir dalam melaksanakan tugasnya.

Namun untuk memenuhi kebutuhan seluruh alutsista TNI Angkatan Laut menyusunnya secara bertahap ke dalam beberapa rencana strategis, jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Panyusunan tersebut berdasarkan pendekatan kemampuan (capability based planning), sehingga walaupun dihadapkan dengan kamampuan alokasi anggaran negara yang masih terbatas, diharapkan seluruh kebutuhan alutsista tersebut akan sesuai dengan operation requirement.

Strategi TNI AL Dengan Keterbatasan Alutsistanya

Memang secara geostrategis, kondisi dan posisi Indonesia yang strategis memiliki sisi positif yang menguntungkan Indonesia, namun di sisi lain, kondisi tersebut juga mengundang sisi negatif, yaitu rentan terhadap hadirnya ancaman, karena luasnya wilayah yurisdiksi nasional Indonesia serta posisinya yang sangat terbuka dari segala arah. Oleh sebab itu, dihadapkan dengan luas wilayah perairan yurisdiksi nasional Indonesia yang mencapai 5,8 juta KM2, dan memiliki 17.499 pulau, maka dengan jumlah alutsista TNI Angkatan Laut yang terbatas saat ini, jelas akan menuntut adanya sebuah strategi dan pola operasi yang tepat, sehingga segenap kemampuan dan kekuatan TNI Angkatan Laut dapat diarahkan kepada terjaminnya keamanan laut yurisdiksi nasional Indonesia.

Kaderisasi Kepemimpinan di TNI AL

29 XII

Untuk kaderisasi kepemimpinan, KSAL mengungkapkan, “Berbicara tentang kaderisasi kepemimpinan di tubuh TNI Angkatan Laut, berarti masuk pada pembahasan tentang begaimana pembinaan personel TNI Angkatan Laut itu sendiri. Perencanaan pembangunan di bidang personel pada dasarnya diarahkan untuk mendukung pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut secara keseluruhan dan untuk menjamin tercapainya tugas pokok TNI Angkatan Laut, khususnya mendukung rencana gelar operasi yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan bidang personel disusun berdasarkan kerangka Tri Pilar Kebijakan Pembangunan TNI Angkatan Laut, dengan mempertimbangkan kebijakan zero growth dan right sizing untuk menuju Minimum Essential Force (MEF)”.

Terkait dengan proses kaderisasi kepemimpinan di tubuh TNI Angkatan Laut, tentu erat hubungannya dengan pola pembinaan personel yang dilakukan oleh TNI Angkatan Laut. Dalam pola pembinaannya, TNI Angkatan Laut melaksanakan kebijakan pembinaan personelnya yang mengacu pada terwujudnya sasaran pembangunan bidang personel per tahun, maka beberapa kebijakan binpers yang telah ditetapkan yaitu menyangkut bidang penyediaan personel, bidang pendidikan, bidang penggunaan, bidang perawatan dan bidang penghapusan.

Sehubungan dengan kaderisasi yang dilakukan oleh TNI Angkatan Laut, maka telah dilaksanakan beberapa langkah guna menyiapkan kader kepemimpinan TNI Angkatan Laut ke depan, melalui proses:a. Pendidikan. Proses pendidikan yang diterapkan oleh

TNI Angkatan Laut mengacu pada kebijakan yang telah ditentukan guna menyiapkan kader-kader pemimpin TNI Angkatan Laut di masa depan. Melalui tahapan proses

pendidikan formal yang diselenggarakan di lingkungan TNI Angkatan Laut, TNI maupun lembaga pendidikan di luar lingkungan TNI, diharapkan para kader pemimpin tersebut mendapatkan bekal pendidikan formal yang sesuai dengan kompetensinya seperti diantaranya, pelaksanaan pendidikan program S2 STTAL yang dibuka guna mewujudkan personel yang mampu menguasai ilpengtek khususnya bidang maritim. Contoh lainnya, yaitu bagi personel yang ingin menempuh pendidikan formal di luar lingkungan TNI, kini TNI Angkatan Laut membuka peluang dengan menjali kerja sama antara TNI Angkatan Laut dengan beberapa perguruan tinggi di dalam dan luar negeri, untuk meningkatkan kualitas personel yang nantinya dapat menjadi kader pemimpin TNI Angkatan Laut.

b. Penugasan (Assignment). Penyiapan kader pemimpin TNI Angkatan Laut, selain melalui tahapan pendidikan juga dilaksanakan melalui tahap penilaian dari aspek pengalaman penugasan. Penilaian pengalaman penugasan tersebut dimulai sejak personel tersebut di strata Perwira Pertama sampai strata Perwira Tinggi, melalui pemberian pengalaman penugasan yang lengkap, baik di laut maupun di darat sesuai dengan pembindaan pola karier personel, melalui penahapan job grading/nevellering guna membantu personel yang bersangkutan membentuk karakter dan jiwa Pemimpin yang kuat, sehingga mampu memimpin organisasi TNI Angkatan Laut. Disamping itu, dengan pengalaman tugas yang lengkap, diharapkan akan menambah wawasan berpikir sehingga nantinya mampu mengambil keputusan dengan tepat agar organisasi dapat berjalan dengan baik dan optimal.”

(Naskah: Noor/Dari Berbagai Sumber, Foto: DISPENAL)

30 Desember 2013

31 XII

utipan lagu yang dipopulerkan oleh Madona di atas ditujukan bagi wan-ita yang hingga kini namanya terus harum bukan hanya di Argentina na-mun seantero dunia, María Eva Duar-te de Perón atau lebih dikenal dike-

nal dengan nama Evita, lahir di Los Toldos, kota kecil di Provinsi Buenos Aires, Argen-tina tanggal 7 Mei 1919. Istri kedua Presiden Argentina Juan Domingo Perón (1895–1974) dan Ibu Negara Argentina sejak 1946 hingga wafatnya pada 1952.

Evita menghabiskan masa kecilnya di kota Junín, Buenos Aires. Ayahnya Juan Duarte dan ibunya Juana Ibarguren (juga dikenal se

“Don’t cry for me ArgentinaThe truth is I never left youAll through my wild days

My mad existenceI kept my promise

Don’t keep your distance”

K

32 Desember 2013

bagai Doña Juana) adalah imigran Basque. Ayahnya adalah seorang peternak kaya yang memiliki beberapa istri sebe-lumya. Saat Evita berusia satu tahun, ayahnya kembali ke istri sahnya dan meninggalkan Evita serta ibunya dalam ke-miskinan. Mereka terpaksa pindah ke daerah permukiman miskin di Junín yang disebut Los Toldos. Ibunya bekerja se-bagai penjahit untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kelu-arga Evita dipandang rendah karena mereka dianggap telah dicampakkan oleh ayahnya dan saat itu hukum Argentina ti-dak menyetujui adanya anak diluar nikah. Saat pemakaman Juan Duarte, Evita beserta ibu dan sauda-

ranya hanya boleh memberikan penghormatan terakhir dengan singkat dan setelah itu langsung diarahkan untuk meninggalkan pemakaman ayahnya. Hal ini dilakukan atas perintah istri sah Juan Duarte yang tidak menginginkan is-tri lain dan anak-anaknya menghadiri upacara pemakaman tersebut. Kejadian pengusiran Evita dan keluarganya selalu diingat oleh Evita sebagai salah satu kenangan pahitnya.

Pada tahun 1935 di usia 15 tahun, Eva pindah ke Buenos Aires untuk mengejar impiannya menjadi bintang film. Eva ditemani oleh ibunya ke suatu audisi di stasiun radio dan kemudian Eva dititipkan kepada keluarga Bustamontes yang merupakan teman dari keluarga Duarte. Setibanya di Buenos Aires, Eva Duarte dihadapkan dengan kesulitan hidup tanpa pendidikan formal atau koneksi. Kota tersebut sangat padat padat selama periode ini karena migrasi yang disebabkan oleh depresi besar. Pada tanggal 28 Maret 1935, ia memulai debut profesional dengan memerankan ‘”The Perezes Misses”, di Comedias Theater. Kemudian pada ta-hun 1936, Evita mulai mengikuti tur keliling negaranya ber-sama sebuah perusahaan teater, bekerja sebagai model, dan berperan dalam beberapa film melodrama.

Tahun 1942 keuangan Evita mulai stabil karena sebuah pe-rusahaan yang bernama Candilejas (disponsori oleh pabrik sabun) menyewanya sebagai pemeran dalam drama radio yang berjudul Muy Bien. Drama tersebut disiarkan di Radio El Mundo (Radio Dunia), salah satu stasiun radio terpent-ing di masa itu. Kemudian, Evita juga menandatangani kontrak selama lima tahun dengan Radio Belgrano yang memberikannya peran di dalam sebuah drama sejarah ber-judul Great Women of History. Dia memerankan Elizabeth I dari Inggris, Sarah Bernhardt, dan Tsarina dari Rusia. Evi-ta kemudian menjadi rekanan pemilik radio. Di tahun 1943, Evita merupakan salah satu aktris dengan bayaran termahal di Argentina. Meskipun demikian, karir Evita di dunia film terbilang singkat dengan rentang waktu berkarir sekitar 8 tahun.

Patriot

33 XII

34

35 XII

36

37 XII

38

39 XII

40

41 XII

42

43 XII

44

45 XII

46

47 XII

48