Majalah Ilmu Bedah

32

description

Majalah Ilmu Bedah

Transcript of Majalah Ilmu Bedah

Page 1: Majalah Ilmu Bedah
Page 2: Majalah Ilmu Bedah
Page 3: Majalah Ilmu Bedah
Page 4: Majalah Ilmu Bedah

Pelindung/Penasehat :Ketua Bagian Ilmu Bedah

Ketua Program Study Ilmu Bedah Para Ketua Sub Bagian Ilmu Bedah

Pengarah :Dr.dr. Djoko Widodo, Sp.BS

Dr.dr. Warsinggih, Sp.B-KBDdr. Septiman, Sp.B (K) Onk

dr. M. Asykar A. Palinrungi, Sp.U

Pemimpin Redaksi :dr. Annas Ahmad

Sekretaris Redaksi :dr. Azis Beru Gani

Bendahara :dr. Agus Endrawanto

Divisi fotografi :dr. Ilham Arief (koord), dr. Uwais R, dr. James D. Laly

dr. Januario

Divisi Reportase : dr. A.Irwansyah Ahmad (koord), dr. Nilam Smaradania, dr. Arwi Amiruddin,

dr. Herlina, dr. Aris Abidin

Divisi Artikel Ilmiah :dr. Suriadi Nurdin (koord), dr. Asyuddin, dr. Mulkyawan Bahrun,

dr. Muhammad Nawir, dr. Pyewidont Todingan

Divisi Iklan/Sponsorship : dr. A. Bau Tune Mangkau (koord), dr. Fikhi Anggara Melbana,

dr. Tom Ch. Adriani, dr. Arif Budiman

Divisi Percetakan, posting dan layout :dr. Gerson (koord), dr. Budiman Siri, dr. Faisal Bawanong, dr. Asdar Tajuddin

Dewan Redaksi : dr. Abdul Syukur Kuddus, dr. Jufri, dr. Made Santika

dr. Muhammad Astar, dr. Fahri Rumi, dr. Yoskar Kambuno, dr. Annas Ahmad

PENGURUS REDAKSI

Alamat Redaksi :Majalah Ilmu Bedah Makassar

Bagian Ilmu BedahFakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea Makassar 90245Telp./Fax : 0411 585 771, email : [email protected]

ii

Page 5: Majalah Ilmu Bedah

Salam sejawat,Apa kabar dunia kedokteran Makassar?, Teriring salam perkenalan dari seluruh crew dapur redaksi Majalah Ilmu Bedah Makassar yang baru saja terlahir ke dunia nyata bagaikan seonggok neonatus yang bertekad mengarungi samudera dunia kedokteran dari rahim Makassar.

Majalah ini diterbitkan pertama kali untuk kalangan internal Bagian Bedah sebagai bentuk tingginya dinamika aktualisasi Tri Dharma Perguruan Tinggi pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah. Laporan kasus, Tinjauan Pustaka, Evaluasi Kasus dan Peneli-tian adalah sebuah syarat wajib sebagai tahapan keilmuan yang harus dipenuhi oleh setiap Residen Bedah, sehingga semakin banyak temuan-temuan ilmu baru yang patut dikem-bangkan dan dipublikasikan sepanjang masa sebagaimana motto para sejawat “The Long Life Study”. Karena itu, majalah ini akan banyak diisi oleh laporan kasus, tinjauan pustaka, evaluasi kasus dan penelitian yang dilakukan oleh residen bedah. Pada setiap edisi majalah ini, akan diberi topik tertentu sesuai dengan topik pilihan yang akan diisi atau ditulis oleh para konsulen pada Bagian Ilmu Bedah Unhas secara simultan dari delapan sub bagian. Berbeda dari jurnal ilmiah lainnya, majalah ini akan dilengkapi dengan Profil tokoh serta gallery kegiatan Bagian Bedah.

Harapan kami, kehadiran majalah ini dapat menjadi bahan rujukan atau referensi baru para dokter utamanya alumni dalam mengup-date keilmuan di daerah kerja masing-masing, sehingga transformasi ilmu pengetahuan dari center bedah Makassar kepada para alumni di daerah akan berjalan.

Kami sadar bahwa untuk mencapai tahap kedewasaan berpikir, kesempurnaan isi dan keis-timewaan tampilan dari sebuah majalah local sangat membutuhkan sebuah proses panjang. Olehnya itu, dukungan dari para pembaca baik berupa kritik, saran, gagasan maupun sum-bangsih isi majalah sangat kami harapkan. Kreatif, inovatif, sederhana dan actual adalah slogan yang kami usung dalam mengemban misi penerbitan Majalah Ilmu Bedah Makassar ini.

Akhir kata, ucapan terima kasih dan penghargaan yang tak ternilai kepada Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS selaku Ketua Bagian Ilmu Bedah FK Unhas yang telah memberi-kan legalitas dan kepercayaan kepada pengurus redaksi, kepada Dr.dr. Ibrahim Labeda, SpB-KBD selaku Ketua Program Study Ilmu Bedah FK Unhas, Seluruh Ketua Sub Bagian Ilmu Bedah dan Para Konsulen yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu atas bantuan gagasan dan dukungan demi terbitnya majalah ini.

Wassalam,Pemimpin Redaksi

Pengantar Redaksi

iii

Page 6: Majalah Ilmu Bedah

Pedoman UmumTulisan yang diutamakan adalah tulisan asli yang belum pernah diterbitkan sebelumnya dan hanya ditujukan kepada

majalah ini. Hak cipta seluruh isi makalah yang telah dimuat beralih kepada penerbit majalah ini dan seluruh isinya tidak boleh direproduksi dalam bentuk apapun

Seluruh pernyataan dalam artikel berada dalam tanggungjawab penulis, dewan redaksi berhak melakukan suntingan karangan dalam rupa gaya, bentuk dan kejelasan tanpa mengubah isinya. Makalah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia yang menggunakan bahasa/istilah baku yang efektif dan efisien atau bahasa inggris yang menggunakan ejaan amerika.

Bentuk artikelMakalah dapat berupa laporan kasus, tinjauan pustaka, evaluasi kasus dan hasil penelitian dalam bidang ilmu bedah,

diketik dengan spasi ganda, jarak tepi kertas dengan tulisan adalah 2,5 cm dengan huruf arial font 11 pada kertas ukuran kwarto. Tinjauan pustaka, laporan kasus dan evaluasi kasus tidak lebih dari 20 halaman sedangkan hasil penelitian tidak

lebih dari 30 halaman.

Kelengkapan makalahMakalah dialamatkan kepada Redaksi Majalah Ilmu Bedah Makassar, d/a Bagian Ilmu Bedah FK Unhas RSWS. Sedapat mungkin makalah disampaikan dalam bentuk compact disc program word 2007 dan I berkas salinan (print out) yang

tersusun sesuai urutan 1) halaman judul, 2) abstrak, 4) isi, 5) daftar pustaka, 6) table-tabel, 7) gambar-gambar dan keterangannya.

Halaman Judul dan PenulisanHalaman judul berisi 1) judul makalah yang ditulis ringkas dan tidak menggunakan singkatan, 2) nama lengkap dan gelar akademik penulis, 3) nama departemen dan institusi, 4) satu alamat korespondensi penulis . Nama penulis yang

dicantumkan haruslah hanya yang ikut bertanggungjawab terhadap isi makalah dan telah memberikan kontribusi yang substansial dalam 3 hal : 1) konsep dan desain atau analisis dan interpretasi data, 2) penulisan makalah atau melakukan

revisi atas bagian isi makalah, 3) pembuatan makalah versi terakhir yang akan dipublikasikan.

AbstrakAbstrak 1) dibuat dalam bahasa Indonesia dan inggris, 2) berbentuk abstrak terstruktur, 3) memuat inti pendahuluan, metode, hasil terpenting dan simpulan utama, 4) tidak lebih dari 250 kata untuk hasil penelitian atau 150 kata untuk

laporan kasus, disertai 3-10 keywords untuk yang berbahasa inggris.

IsiIsi makalah tersusun dalam urutan headings : Pendahuluan, metode, hasil, diskusi dan simpulan. Tidak diperkenankan

menggunakan singkatan yang tidak lazim dan catatan kaki. Data hasil ukur menggunakan system unit international. Angka di awal kalimat ditulis lengkap dalam huruf tereja. Pencantuman nomor daftar pustaka, nomor gambar dan table

tersusun sesuai urutan kemunculan dalam isi.

Tabel dan GambarTabel dan gambar disajikan dalam lembar terpisah dengan telah disebutkan letaknya dalam narasi makalah. Judul tabel diletakkan diatas dan setiap table diidentifikasi dengan nomor yang ditulis dengan angka. Setiap singkatan dalam tabel

diberi keterangan sesuai urutan alphabet berupa catatan kaki di bawah table.

Metode statisticMetode statistik yang digunakan harus diterangkan dalam bab metodologi dan untuk metode yang jarang digunakan

harus diterangkan secara detail serta diberi keterangan rujukannya

Ucapan Terima KasihUcapan terimakasih terbatas untuk pemberi bantuan teknis dan atau dana serta dukungan dari pemimpin institusi

Daftar RujukanDaftar rujukan disusun sesuai dengan ketentuan Vancouver. Sebaiknya tidak lebih dari 25 buah dan berupa rujukan

terbaru dalam satu decade terakhir. Rujukan diberi nomor sesuai urutan pemunculannya dalam narasi. Hindari penggunaan abstrak dan komunikasi pribadi kecuali sangat esensial. Nama jurnal disingkat sesuai yang tercantum dalam

indeks medicus. Rujukan yang telah diterima namun belum diterbitkan dalam suatu jurnal ditulis sesuai aturan dan tambahan : in press.

PETUNJUK BAGI PENULISMajalah Ilmu Bedah Makassar

Alamat Redaksi : Majalah Ilmu Bedah MakassarBagian Ilmu Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas HasanuddinJl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea Makassar 90245

Telp./Fax : 0411 585 771, email : [email protected]

Makalah di alamatkan ke redaksi Majalah Ilmu Bedah Makassar

iv

Page 7: Majalah Ilmu Bedah

Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang tak pernah henti melimpahkan rahmat dan karunianya dalam setiap aktivitas kemanusiaan kita, termasuk dinamika pendidikan pada bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas hasanuddin

Tafsir atas nilai Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah aktualisasi dan implementasi Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kedalam setiap dinamika institusi pendidikan. Sebagai bagian integral dari sistem pendidikan dibawah naungan Universitas Hasanuddin, maka bagian bedah berkomitmen untuk konsisten dalam membangun

Assalamu Alaikum Wr WB.Ungkapan “ilmu itu buruan dan tulisan adalah pengikatnya maka ikatlah buruanmu dengan tali yang kokoh”, adalah kalimat yang pantas kami ucapkan sehubungan terbitnya majalah residen bagian ilmu bedah FKUH ini sebagai usaha residen Bedah dalam mengikat buruannya.

Jumlah residen yang semakin bertambah dari tahun ketahun menuntut pula peningkatan kwalitas baik peserta didik maupun para pengajarnya, yang dapat dilihat dari berbagai tulisan yang dimuat di jurnal jurnal nasional maupun Internasional dan di lingkungan Ilmu Bedah FKUH sendiri.

sistem pendidikan yang berlandaskan Tri Dharma Perguruan Tinggi tersebut. Olehnya itu, pengakuan atas gagasan penerbitan Majalah Ilmu Bedah Makassar sebagai sebuah langkah maju sekaligus cerminan atas komitmen kita semua dalam meningkatkan integritas seluruh civitas akademika Unhas utamanya bagian bedah fakultas kedokteran menuju perwujudan Bagian Ilmu Bedah sebagai Pusat Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Bedah yang professional, beretika dan berwawasan global pada tahun 2022.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kami haturkan kepada para residen yang dengan kreatif, inovatif menggagas penerbitan majalah ini dengan harapan dapat menjadi sebuah pustaka atau wahana transformasi gagasan dan temuan-temuan penelitian terbaru untuk diteruskan kepada public utamanya dalam lingkup Bedah Makassar sebagai center pendidikan Indonesia Timur.

Yang pasti, kamipun berkomitmen untuk terus memberikan supporting atas kemajuan majalah ini karena segala yang timbul dalam proses tersebut adalah merupakan sebuah upaya memajukan dunia pendidikan kedokteran yang semakin banyak menghadapi tantangan global.

Billahittaufiq Wal Hidayah,

KETUA BAGIAN ILMU BEDAHFAKULTAS KEDOKTERAN UNHAS

Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS

KATA SAMBUTAN

V

Disadari bahwa pada penerbitan pertama kali ini tentu belum dapat memenuhi harapan para pembacanya, baik dari segi cakupan, kwalitas maupun kelangsungan kedepan. Tetapi kami yakin majalah ini tidak akan kekurangan jumlah kiriman tulisan yang bermutu mengingat penelitian penelitian yang dilakukan oleh para residen turut dibimbing langsung oleh para senior dari bagian Ilmu bedah.

Beberapa kegiatan lain yang dilakukan oleh para residen bedah yang turut pula mewarnai proses belajar-mengajar kiranya pula terus di kembangkan diantaranya kegiatan olahraga dan pengajian bulanan sehingga tidak hanya menciptakan calon ahli bedah dengan kualitas keilmuan yang tinggi namun juga disertai dengan jiwa dan fisik yang prima.

Akhirnya, saya ucapkan selamat atas penerbitan majalah Residen Ilmu Bedah FKUH ini semoga terus mengembangkan diri dan tetap empati, jujur, santun dan menjadi panutan yang dapat dinikmati oleh masyarakat sekitarnya, semoga....

Makassar, 17 April 2012KETUA PROGRAM STUDI ILMU BEDAH FK-UH

DR. Dr. Ibrahim Labeda, SpB-KBD

Page 8: Majalah Ilmu Bedah

Visi dan Misi i

Pengurus Redaksi ii

Pengantar Redaksi iii

Sambutan

Daftar Isi

v

iv

Gelora Mahasiswa

Evaluasi Kasus Trauma Toraksdi Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo MakassarAde Hanny M Kainama - Muhammad Nuralim Mallapasi

LAPORAN KASUS

EVALUASI KASUS

TINJAUAN PUSTAKA

5

1

10

15

23

Evaluasi Kasus Batu Saluran Kemih di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudiro Husodo MakassarAgus AS. Partang - M. Asykar A. Palinrungi - Achmad M. Palinrungi

Anatomi dan Fisiologi Sistem HepatobilierVincentius Daniel

Petunjuk Bagi Penulisiv Majalah Ilmu Bedah Makassar

1. Ketua Bagian Ilmu Bedah FK UNHAS

Cedera Pleksus BrakhialisMulkyawan Bahrun - Willy Adhimarta

2. Ketua Program Studi Ilmu Bedah FK UNHAS

MAJALAHILMU BEDAH MAKASSAR

Daftar isi

vi

Page 9: Majalah Ilmu Bedah

Majalah Ilm

u Bedah Makassar

1

PENDAHULUANPleksus brakhialis merupakan saraf-saraf yang keluar dari vertebra servikalis dan menuju ke pundak dan tangan. Terdapat lima saraf yang mencakup dalam pleksus brachialis berupa C5, C6, C7, C8, dan T1. [1]

Data mengenai insiden trauma pleksus brachialis sulit diketahui dengan pasti, Goldie dan Coates melaporkan 450-500 kasus cedera supraklavi-kular tertutup terjadi setiap tahun di Inggris. Pada laporan yang lain, Narakas membuat suatu pedoman “seven seventies “ dengan mengacu pada pengalaman menangani 1068 pasien se-lama 18 tahun yang salah satunya berisi 70% kecelakaan pengendara sepeda motor dengan trauma multipel akan berimplikasi 70% diantara berupa cedera supraklavikuler, 70% cedera supraklavikuler merupakan avulsi saraf yang melibatkan C7, C8, T1. [1]

Enam puluh satu kasus kelumpuhan pleksus bra-chialis akibat persalinan tercatat dalam 30.451 persalinan hidup di rumah sakit hibah Kaiser, San Francisco, antara Januari 1972 hingga De-sember 1982 dengan insiden 2.0/1,000 kelahiran. Tiga puluh delapan pasien dievaluasi dalam ku-run waktu 1 tahun hingga 11,5 tahun. Penyebab trauma jalan lahir terkait cedera pleksus brachia-lis adalah kelumpuhan wajah, fraktur klavikula, ekimosis tangan, dan cephalohematoma. [2]Selain itu pada data lainnya dalam populasi Amerika ditemukan bahwa cedera pleksus bra-chialis teridentifikasi sebanyak 113 (0.1%) dari 103,434 anak dengan trauma yang masuk rumah sakit antara bulan April 1985 hingga Maret 2002. Enam puluh satu persen diantaranya merupa-kan anak laki-laki. Kebanyakan penyebab cedera adalah kecelakaan motor dengan membawa pe-numpang dibelakangnya (36 kasus [32%]) atau kecelakaan pada pejalan kaki (19 kasus [17%]). Trauma kepala didiagnosis pada 47% anak dan 27% diantaranya mengalami konkusi, perdarahan intrakranial 21%, dan fraktur tulang kepala 14%. Trauma vaskuler ekstremitas atas terjadi pada 16% pasien. Cedera muskuloskeletal yang ter-banyak antara lain fraktur humerus (16%), tulang iga (16%), klavikula (13%), dan skapula (11%). Fraktur spinal terjadi pada 12% pasien, dan

cedera medulla spinalis terjadi 4%. The Injury Se-verity Score berkisar antara 1 sampai 75, dengan skor rata-rata 10 dan 6 pasien meninggal karena adanya cedera yang berkepanjangan selama peri-ode trauma. [3]

Data epidemiologi cedera pleksus brachialis pada populasi multitrauma tercatat sebanyak 54 dari 4538 (1.2%) pasien yang terdapat pada ber-bagai fasilitas trauma regional. Pasien didominasi laki-laki usia muda. Penyebab tersering berupa kecelakaan motor namun hanya 0.67% dari ke-celakaan ini yang kemudian menyebabkan kead-aan cedera pleksus. Sebaliknya, 4.2% korban ke-celakaan roda dua dan 4.8% korban kecelakaan snow mobile menderita cedera pleksus. Cedera pada supraklavikula terjadi pada 62% pasien dan 38% pasien memiliki cedera infraklavikula. Cedera supraklavikula nampaknya lebih berat dibandingkan cedera infraklavikula,dikarenakan adanya resiko neuropraksi pada 50% kasus. [4]

KASUS :Laki-laki 40 tahun, MRS dengan keluhan utama kelumpuhan lengan kiri, dialami sejak kurang lebih 7 bulan yang lalu akibat kecelakaan lalu lin-tas, pasien sedang mengendarai motor kemudian terjatuh akibat kehilangan keseimbangan. Pasien terjatuh dengan mekanisme yang tidak jelas, na-mun diketahui ada cedera di bahu kiri. Riwayat pingsan tidak ada, muntah tidak ada. Setelah kecelakaan pasien mulai merasakan tangannya melemah secara perlahan hingga tidak dapat digerakkan sama sekali seperti sekarang. Riwayat keluhan yang sama sebelumnya tidak ada. Riway-at pengobatan sebelumnya tidak ada.

STATUS LOKALISEkstremitas Superior SinistraI : Tampak brachii dan antebrachii sinis-tra sedikit atrofi, warna kulit sama dengan sekitarnya,m luka (-), hematoma (-), edema (-)P : Nyeri tekan (-), krepitasi (-)ROM : tidak terdapat pergerakan aktif dari eks-tremitas superior sinistra, pergerakan pasif (+), kesan flaccid.NVD : sensibilitas (-), arteri radialis teraba, capillary refill < 2”Motorik 5 0 sensorik N (-)

CEDERA PLEKSUS BRAKHIALISMulkyawan Bahrun - Willy Adhimarta

Laporan Kasus

Page 10: Majalah Ilmu Bedah

Maj

alah

Ilm

u Be

dah

Mak

assa

r

2RADIOLOGI

Hasil Pemeriksaan MRI Servikal (5-10-2010)Telah dilakukan pemeriksaan MRI Sevikal T1W1 tanpa dan dengan kontras dan T2W1, potongan axial dan sagital, dilanjutkan MR-Mye-lografi dengan hasil sebagai berikut :• Alignment corpus vertebra cervicalis baik,

tidak tampak listhesis, kurva lordosis cervica-lis dalam batas normal

• Lesi berbentuk oval, hiperdens pada T1W1, tidak menyangat post kontras pada level C7 sebelah dalam foramen intervertebralis C6-C7 kiri pada pangkal plexus brachialis C7 kiri, yang hiperintens pada T2W1 berbentuk segitiga. Lesi tersebut menekan medulla spi-nalis dari sisi kiri dan menyebabkan canalis stenosis pada level C6-C7

Page 11: Majalah Ilmu Bedah

Majalah Ilm

u Bedah Makassar

3• Tulang-tulang vertebra cervicalis dalam batas

normal• Intensitas diskus intervertebralis dalam batas

normal• MR-Myelography : tampak lesi hiperintens

berbentuk segitiga yang menekan medulla spinalis dari sisi kiri dan menyebabkan cana-lis stenosis pada level C6-C7

Kesan : Sesuai hematoma subarachnoid lama pada pangkal plexus brachialis C7 kiri

DISKUSI Pada pasien ini ditemukan keluhan berupa kelumpuhan pada lengan kiri, Dialami sejak kurang lebih 7 bulan yang lalu akibat kecelakaan lalu lintas, pasien sedang mengendarai motor kemudian terjatuh akibat kehilangan keseim-bangan. Pasien terjatuh dengan mekanisme yang tidak jelas, namun diketahui ada cedera di bahu kiri. Riwayat pingsan tidak ada, muntah tidak ada. Setelah kecelakaan pasien mulai merasakan tangannya melemah secara perlahan hingga tidak dapat digerakkan sama sekali seperti sekarang. Riwayat keluhan yang sama sebelumnya tidak ada. Riwayat pengobatan sebelumnya tidak ada.

Gejala klinis berupa kelemahan pada lengan kiri yang dialami sejak 7 bulan yang lalu akibat ke-celakaan lalu lintas. Pasien sedang mengendarai motor kemudian terjatuh akibat kehilangan ke-seimbangan. Pasien terjatuh dengan mekanisme yang tidak jelas, namun diketahui ada cedera di bahu kiri. Riwayat pingsan tidak ada, mun-tah tidak ada. Setelah kecelakaan pasien mulai merasakan tangannya melemah secara perlahan hingga tidak dapat digerakkan sama sekali seperti sekarang.

Pada pemeriksaan fisis pada ekstremitas Su-poerior kiri pada inspeksi tampak brachii dan antebrachii kiri sedikit atrofi, warna kulit sama dengan sekitarnya, tidak ada luka, tidak ada hematoma, dan tidak ada edema serta krepitasi tidak ditemukan. Pada pemeriksaan ROM tidak terdapat pergerakan aktif dari ekstremitas supe-rior kiri, pergerakan pasif ada, kesan flaccid. Pada pemeriksaan NVD tidak ditemukan adanya sen-sibilitas, arteri radialis teraba, capillary refill < 2”.Pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan kelainan. Sedangkan pada pemeriksaan radiologi ditemukan kesan Sesuai hematoma subarachnoid lama pada pangkal plexus brachialis C7 kiri.Avulsi akar saraf adalah kerusakan/robeknya

akar saraf dari medulla spinalis pada kanal spinal. Lokasi anatomi lesi menyebabkan terputusnya/coaptation ujung saraf yang satu dengan lain-nya sehingga regenerasi spontan tidak mungkin terjadi. Salah satu tipe cedera avulsi melibatkan akar saraf c5 dan c6 yang membentuk upper trunk pleksus brachialis. Cedera avulsi seperti ini umumnya terjadi dengan mekanisme trauma berupa traksi kuat pada ekstremitas bawah ke arah bawah atau pukulan langsung pada bahu ke arah bawah diikuti memiringkan kepala ke arah berlawanan, yang dapat terjadi pada kecelakaan pengendara sepeda motor.

Sebelumnya, penanganan untuk avulsi akar saraf c5 dan c6 berupa prosedur neurotization dengan menggunakan saraf-saraf intercostal, pleksus servikal, atau cabang pleksus brakilais sebagai donor untuk menginervasi otot-otot tertentu, seringkali otot bisep. Namun keterbatasan teknik ini yang hanya mampu menginervasi otot tert-entu menyebabkan masih adanya kecacatan pada pasien. Untuk mengatasi kekurangan teknik neurotization diciptakan teknik untuk men-ginervasi kembali otot-otot tertentu, prosedur penyambungan upper trunk ke rami anterior c3 dan c4 memungkinkan kembalinya fungsi parsial minimum kelompok ooto yang diinervasi oleh upper trunk pleksus brachialis. Prosedur penyambungan ini menjadikan fungsi sensorik dan motorik otot-otot yang diinervasi oleh upper trunk dan dermatom sekunder kembali, selain itu juga dapat meringankan nyeri neurogenik dan disfungsi otonomik.

Kandidat pasien untuk prosedur ini antara lain pasien dengan avulsi akar saraf C5 dan C6 yang dapat menerima anestesi menyeluruh, sementara jika pasien menunjukkan adanya paralisis diafragramatik (to side of avulsion/ pada sisi avulsi) ipsilateral melalui foto polos tidak dapat mengikuti prosedur penyambungan C3 dan C4 karena adanya gambaran paralisis diafragmatik menunjukkan adanya kerusakan rami C3, C4, dan C5 sehingga tidak dapat dijadikan sebagai donor untuk regenerasi saraf. Hasil yang optimal ditemukan jika penyambungan bypass dilakukan dalam 6 minggu setelah cedera, namun restorasi parsial juga terjadi pada pasien yang dioperasi lebih dari 12 bulan setelah cedera. Pasien dewasa dengan diagnosis avulsi namun terlambat di diagnosis dan ditangani lebih dari 12 bulan tidak dipertimbangkan untuk menjalani prosedur ini

Page 12: Majalah Ilmu Bedah

Maj

alah

Ilm

u Be

dah

Mak

assa

r

4karena hasilnya mengecewakan.

Pada pasien ini dilakukan repair plexus brachialis teknik pembedahan berupa NERVE GRAFTS. Graft saraf sural kemudian dibagi menjadi dua atau lebih potong, potongan yang panjang digu-nakan sebagai jembatan celah antara rami anteri-or C3 dan C4 pada bagian atas. potongan lainnya digunakan sebagai perantara ramus anterior C3 dan C5 upper trunk. Graft diamankan dengan menggunakan 4-6 jahitan interuptus 8-0 nilon pada setiap ujung. Ramus anterior C4 ke bagian C6 upper trunk dijembatani dengan cara yang sama, sebaiknya digunakan lebih dari satu po-tong graft untuk menjembatani setiap celah jika rami anterior dan upper trunk cukup besar pada area cross-sectional untuk menyokong potongan graft tambahan, diperlukan banyak donor saraf dari C3 dan C4 untuk memberikan re-innervasi distal yang adekuat. (jika terdapat kekurangan donor saraf dapar diambil pada ekstremitas bagian kontralateral). Ramus anterior C4 berisi serat saraf yang lebih banyak dibandingkan ramus C3, sehingga bagian ramus C4 juga dapat dihubungkan dengan bagian C5 upper trunk via bypass bridge graft.

DAFTAR PUSTAKA1. Foster, M., Traumatic Brachial Plexus Inju-

ries. 2011, emedicine. p. 1-4.2. Brachial Plexus Birth Palsy: A 10-Year Report

on the Incidence and Prognosis. Journal of Pediatrics Orthopaedics, 1984. 4(6).

3. Dorsi, M., W. Hsu, and A. Belzberg, Epidemi-ology of brachial plexus injury in the pedi-atric multitrauma population in the United States. Journal of Neurosurgery, 2010. 5.

4. Rajiv, M., Epidemiology of Brachial Plexus

Injuries in a Multitrauma Population. Neuro-surgery, 1997. 40(6): p. 1182-89.

5. Snell, R., Ekstremitas superior, in Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, J. Oswari, Edi-tor. 1998, Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. p. 132-253.

6. Moore, K. and A. Agur, Essential Clinical Anatomy ed. 3. 2007, Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins.

7. Junqueira, L. and J. Carneiro, Basic Histol-ogy Text and Atlas, ed. 11. 2005, New York: McGraw-Hill Medical.

8. Gartner, L. and J. Hiatt, Color Text Book of Histology, ed. 3. 2007, Philadelphia: Saunders Elsevier.

9. Wood, M. and P. Murray, Current Concepts in the Surgical Management of Brachial Plexus Injuries. 2006, www. DCMSonline.org. p. 31-4.

10. Foster, M., Brachial Plexus Injury Traumatic. 2009, emedicine.

11. Grant, G., R. Goodkin, and M. Kliot, Evalu-ation and treatment of traumatic peripheral nerve injuries, in Neurosurgical Operative At-las Spine and Peripheral Nerves, B. Branden-burg, Editor. 2007, Thieme Medical Publisher: New York. p. 888-94.

12. Yoshikawa, T., et al., Brachial Plexus Injury: Clinical Manifestations, Conventional Imag-ing Findings, and the Latest Imaging Tech-niques. Radiographics, 2006. 26: p. 133-44.

13. Van, H., et al. MRI of the brachial plexus. Volume, 84-90

14. Bhandari, P., et al., Current trends in the management of brachial plexus injuries. Indian Journal of Neurotrauma, 2008. 5(1): p. 21-5.

15. Aulina, S. and A. Pratiwi, Rehabilitasi pada nyeri dalam nyeri neuropatik 2001: Kelom-pok Studi Nyeri PERDOSSI.

16. Weiss, L. and J. Silver, Brachial Plexopathies in Easy EMG. 2004, Eidenburgh: Butterworth Heinemann.

17. Kaye, V., Traumatic Brachial Plexopath. 2008.18. Murad, G., S. Yamada, and R. Lonser, Brigde

Bypass Coaptation for Upper Trunk Cervi-cal Nerve Root Avulsion, in Neurosurgical Operative Atlas Spine and Peripheral Nerves, B. Brandenburg, Editor. 2007, Thieme Medi-cal Publisher: New York. p. 396-401.

Page 13: Majalah Ilmu Bedah

Majalah Ilm

u Bedah Makassar

5

PENDAHULUANTrauma toraks masih merupakan masalah yang sangat signifikan dari morbiditas dan mortalitas yang terjadi di Amerika Serikat. Trauma toraks merupakan penyebab kematian dan diperkirakan sekitar 150.000 kasus kematian per tahun yang terjadi akibat trauma toraks. Prevalensi umur paling banyak terjadi pada usia kurang dari 40 tahun.(12)

Sedangkan insiden penderita trauma toraks di Amerika Serikat diperkirakan 1 dari 4 kematian disebabkan karena trauma toraks LoCicero dan Mattox 1989.(12) Kematian yang disebabkan oleh trauma toraks sebesar 20%-25% dari seluruh kasus trauma yang menyebabkan kematian.(9) Hanya 15%-30% penderita trauma tumpul toraks yang memerlukan tindakan operasi, jadi sebagian besar hanya memerlukan tindakan sederhana untuk menolong korban dari ancaman kematian.(3)

Penyebab terbanyak dari trauma tumpul toraks seperti yang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat masih didominasi oleh korban kecelakaan lalu lintas 70%-80%.(2)

Alberta Trauma Registry di Calgary Canada dalam laporan penelitiannya pada tahun 2003 menyatakan bahwa insiden trauma tumpul toraks sebanyak 94,8% sedangkan sisanya sebanyak 4,6% adalah trauma tajam. 14 Di Amerika Serikat tercatat 372 kasus trauma toraks per tahun dimana 27% disertai cedera ekstremitas, 24% disertai cedera traktus digestivus dan 15% yang disertai cedera otak. Di RS. Dr. Soetomo Surabaya tercatat 149 kasus trauma toraks per tahun dimana 19% disertai cedera ekstremitas, 14% disertai cedera otak dan 9% yang disertai cedera traktus digestivus. Sedangkan di RS. Cipto Mangunkusumo FKUI Jakarta tercatat sejak tahun 1981 insiden trauma toraks adalah sebesar 16,8% dari seluruh kasus trauma. Dimana trauma tumpul 8% dan trauma tajam 8,8%. Sedangkan etiologi penyebab trauma toraks di Jakarta adalah akibat kecelakaan lalu lintas 63%-78%.10

RUMUSAN MASALAHBerdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat dirumuskan pada penelitian ini adalah bagaimana insidens trauma toraks yang terjadi di RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo.

TUJUANTujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui insidens serta mengevaluasi penatalaksanaan kasus trauma toraks yang terjadi di Rumah Sakit Dr. Wahidin

EVALUASI KASUS TRAUMA TORAKSDI RUMAH SAKIT WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR

PERIODE TAHUN 2006-2009

Ade Hanny M Kainama - Muhammad Nuralim Mallapasi

Sudirohusodo selama periode tahun 2006 – 2009

METODEMetode yang digunakan adalah penelitian dengan studi retrospektif-diskriptif terhadap kasus trauma toraks. Dilakukan studi terhadap catatan medik penderita yang di rawat di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo antara tahun 2006 sampai 2009.

Dari data yang didapat kemudian dicatat serta dievaluasi : jumlah kasus, kelompok usia, jenis kelamin, jenis trauma, etiologi penyebab trauma, lokasi trauma, pasien yang dipasang chest tube WSD, indikasi pemasangan WSD, trauma toraks yang disertai/ tidak disertai dengan trauma lain, berdasarkan jumlah pasien yang sembuh, meninggal dan pulang paksa serta motilitas bila disertai dengan trauma lain. Data yg terkumpul diolah, dianalisis dan disajikan berupa tabel dan narasi.

HASIL PENELITIANDari hasil studi restrospektif yang dilakukan diperoleh data penderita Trauma toraks yang datang ke UGD serta mendapat perawatan di RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo dari tahun 2006 sampai 2009 sebanyak 360 pasien dengan rata-rata 90 pasien per tahun

Tabel 1. Distribusi Jumlah Kasus Trauma Toraks di RS Wahidin Sudirohusodo periode Tahun 2006-2009

Di Calgary Canada, Alberta Trauma Registry melaporkan pada tahun 2003 tercatat 325 kasus trauma toraks per tahun.14 Di Surabaya angka yang tercatat di RS Dr. Soetomo terdapat 149 kasus trauma toraks per tahun. Di FKUI Jakarta tercatat sejak tahun 1981 insiden trauma toraks sebesar 16,8% dari seluruh kasus trauma.10 Sedangkan Di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar sendiri selama periode tahun 2006-2009 tercatat sebanyak 360 kasus pasien trauma toraks dengan rata-rata penderita

Evaluasi Kasus

Page 14: Majalah Ilmu Bedah

Maj

alah

Ilm

u Be

dah

Mak

assa

r

yang dirawat sebanyak 90 pasien per tahun.

Tabel 2. Distribusi Umur Kasus Trauma toraks di RS Wahidin Sudirohusodo periode Tahun 2006-2009

Berdasarkan distribusi umur, pasien trauma toraks yang mendapat perawatan di RS. Dr.Wahidin Sudirohusodo selama tahun 2006 – 2009 terbanyak adalah pada golongan umur 25 – 44 tahun (43,6%) dan paling sedikit pada golongan umur > 65 tahun (3,5 %). Sesuai dengan insiden yang terjadi di Amerika Serikat dimana prevalensi umur paling banyak terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Di Calgary Canada Alberta Trauma Registry melaporkan bahwa insiden terbanyak adalah pada golongan umur 15 – 64 tahun (85,5%) dan paling sedikit pada golongan umur > 65 tahun (14,5%).14 Di FKUI RSCM trauma toraks dengan prevalensi tertinggi ditemukan pada usia < 12 tahun dan di atas 60 tahun.10

Tabel 3. Distribusi kasus Trauma Toraks di RSWS Periode tahun 2006-2009 : Berdasarkan Jenis kelamin

Berdasarkan distribusi jenis kelamin, pasien yang datang ke RS. Dr.Wahidin Sudirohusodo selama periode 2006 – 2009 adalah pria 306 pasien (85,3%) sedangkan wanita hanya 54 pasien (14,7%). Kasus yg terjadi di Makassar dilaporkan pria : wanita = 5,6 : 1 disebabkan karena aktifitas kegiatan dan mobilitas tinggi dalam berkendara serta bekerja. Tidak ada laporan yang jelas mengenai prevalensi berdasarkan

jenis kelamin pada trauma toraks.

Tabel 4. Distribusi kasus Trauma Toraks di RS Wahidin Sudirohusodo Berdasarkan Jenis Trauma

Berdasarkan distribusi dari jenis trauma yang terjadi di RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar untuk trauma tumpul toraks adalah sebanyak 333 kasus (92,5%) sedangkan untuk trauma toraks penetrans sebanyak 27 kasus (7,5%).

Stockinger and Mc Swain (2004) di Tulaena university Amerika Serikat melaporkan 583 kasus trauma thoraks, 338 pasien (57,8%) dengan trauma tajam sedangkan trauma tumpul 192 pasien (32,9%).12 Alberta Trauma Registry di Calgary Canada dalam penelitian tahun 2003 menyatakan bahwa dari 325 pasien insiden trauma tumpul toraks sebanyak 94,8% sedangkan sisanya 4,6% adalah trauma tajam.14 Demetriades dkk (2004) melaporkan insiden trauma tumpul thoraks sebesar 65% dan trauma thoraks penetrans 35%.12 Di FKUI RSCM dilaporkan sebanyak 18,8% merupakan trauma thoraks, 8% dengan trauma tumpul dan 8,8% dengan trauma tajam.10

Tabel 5. Distribusi kasus Trauma Torax di RS Wahidin Sudirohusodo Berdasarkan etiologi penyebab trauma

Berdasarkan distribusi etiologi dan penyebab trauma toraks, pasien yang datang ke RS. Dr.Wahidin Sudirohusodo selama periode 2006 – 2009 penyebab

6

Page 15: Majalah Ilmu Bedah

Majalah Ilm

u Bedah Makassar

7terbanyak pada trauma tumpul toraks adalah akibat kecelakaan lalu lintas sebanyak 274 kasus (76,1%) dan paling sedikit adalah akibat tindak kekerasan seperti dipukul oleh benda keras/tumpul 2,7%. Keadaan ini sesuai dengan kepustakaan bahwa sekitar 70%-80% kasus trauma toraks merupakan trauma tumpul dan terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.2 Di FKUI RSCM etiologi penyebab trauma toraks di Jakarta juga adalah akibat kecelakaan lalu lintas 63%-78%.10

Tabel 6. Distribusi kasus Trauma Toraks di RS Wahidin Sudirohusodo Berdasarkan Lokasi Trauma

Berdasarkan distribusi lokasi trauma didapatkan hasil yang hampir sama yakni untuk hemitoraks dekstra 138 kasus (38,3%) dan hemitoraks sinistra 125 kasus (34,7%) sedangkan untuk jejas bilateral sebanyak 40 kasus (11,1%). Tidak ada laporan yang jelas mengenai prevalensi berdasarkan lokasi trauma pada trauma toraks. Mustakim Fauzi, dkk (2009) dari RS. Moh. Hoesen Palembang melaporkan bahwa terdapat 45,1% cedera pada hemithorax sinistra, 35,3% cedera pada hemithorax dekstra, 15,8 cedera pada abdomen dan hanya 3,6% cedera bilateral.

Tabel 7. Distribusi kasus Trauma Toraks di RS Wahidin Sudirohusodo yang dilakukan Tindakan Operasi :

Berdasarkan distribusi kasus trauma toraks dari 360 pasien 111 kasus (30,83%) dipasang WSD chest tube, 6 kasus (1,66%) menjalani operasi thoracotomy, dan

masing-masing 3 kasus (0,83%) menjalani operasi thoraco-laparomoty dan pericardiotomy. Sedangkan 229 kasus (63,6%) tidak dipasang chest tube dan hanya mendapat penanganan terapi konservatif. Ini sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan bahwa hanya 15%-30% penderita trauma tumpul toraks yang memerlukan tindakan operasi, jadi sebagian besar hanya memerlukan tindakan sederhana.3

Washington (1985) dan Richardson (1996) menyebutkan bahwa 85% pasien trauma toraks dapat sembuh tanpa tindakan operasi. Dan hanya 15% saja yang membutuhkan tindakan thoracotomy.12

Tabel 8. Distribusi kasus Trauma Toraks di RSWS Berdasarkan indikasi Pemasangan WSD (Chest tube ) :

Distribusi kasus trauma toraks berdasarkan indikasi pemasangan chest tube di RS Wahidin Sudirohusodo Makassar yang terbanyak adalah dari 131 pasien terdapat 60 pasien dengan hemothoraks (45,8%) dan yang paling sedikit adalah effusi pleura dan tension pneumothorax masing-masing hanya 3 pasien (2,29%) sedangkan sebanyak 11 pasien (8,39%) menolak tindakan. Alberta Trauma Registry di Calgary Canada melaporkan bahwa sebanyak 134 pasien (41,2%) dengan pneumotorax, 45 pasien (13,8%) hemopneumothorax, 29 pasien (8,9%) hemothorax dan hanya 2,5% (8 pasien) dengan tension pneumothorax.14

Di FKUI RSCM Jakarta dilaporkan bahwa sebanyak 38% pasien disertai pneumotoraks, 42% disertai hemothorax dan 69% pasien yang disertai flail chest. Sedangkan Landercasper melaporkan 13% kematian pasien di Rumah Sakit yang disertai flail chest.10

Page 16: Majalah Ilmu Bedah

Maj

alah

Ilm

u Be

dah

Mak

assa

r

8Tabel 9. Distribusi kasus Trauma Toraks di RSWS antara yg disertai atau TIDAK disertai dengan trauma lain :

Distribusi kasus trauma toraks kebayakan disertai dengan trauma pada organ lain. Dari 360 kasus trauma toraks didapatkan 115 kasus (31,94%) yang disertai dengan cedera kepala, 24,4% disertai dengan cedera pada tulang wajah, 17,5% disertai dengan cedera ekstremitas, 15,1% disertai dengan cedera traktus digestivus dan hanya 10% yang cedera pada thorax/jantung saja. Sedangkan yang paling sedikit dilaporkan adalah trauma toraks yang disertai trauma urogenital sebanyak 4 kasus atau hanya (1,17%) semuanya adalah trauma ginjal.

Di Amerika Serikat dilaporkan dari 372 kasus trauma toraks per tahun 27% disertai cedera ekstremitas, 24% disertai cedera traktus digestivus dan 15% yang disertai cedera otak. Di RS. Dr. Soetomo Surabaya tercatat 149 kasus trauma toraks per tahun dimana 19% disertai cedera ekstremitas, 14% disertai cedera otak dan 9% yang disertai cedera traktus digestivus.

Di Calgary Canada, Alberta (2003) melaporkan dari 325 pasien trauma thorax per tahun 65,8% yang disertai cedera otak, 60,3% disertai dengan cedera ekstremitas termasuk fraktur pelvis, 42,5% disertai cedera traktus digestivus, 37,5% disertai dengan cedera kulit termasuk luka bakar, 20,6% disertai cedera tulang wajah, dan hanya 10% yang cedera pada thorax/jantung saja.14 Richardson (1974) dalam tulisannya melaporkan bahwa dari 55 pasien trauma thorax yang disertai fraktur costa 64% disertai laserasi paru, 33% perlu dilakukan laparotomy eksplorasi, 14% disertai trauma jantung, 78% disertai cedera ekstremitas, dan 53% disertai cedera otak.10

Tabel 10. Distribusi kasus Trauma Toraks di RSWS Berdasarkan jumlah pasien yg Sembuh, Meninggal, dan Pulang Paksa :

Berdasarkan distribusi pasien trauma toraks dari 360 kasus trauma toraks yang terjadi selama periode 2006-2009 di RS. Wahidin Sudirohusodo sebanyak 279 pasien (77,5%) dinyatakan sembuh dan di ijinkan pulang. Sebanyak 21 pasien (5,83%) meninggal. Sebanyak 60 pasien (17,7%) pasien minta pulang paksa atau menolak untuk ditindaki lebih lanjut. Di FKUI RSCM Jakarta dilaporkan Mortalitas yang disertai fraktur iga 1,8%. Sedangkan bila disertai flail chest meningkat 3,9%. Angka Mortalitas akibat trauma thorax meningkatkan resiko kematian dari 27% menjadi 33%. Sedangkan bila disertai pneumothorax akan meningkatkan resiko kematian sebesar 38%, hemothorax 42%, kontusio paru 56% dan flail chest 69%.10 Landercasper melaporkan 13% kematian di RS pada pasien yang disertai flail chest. Di atas usia 65 tahun sebesar 29% dan bila di bawah usia 65 tahun hanya 7%.10

Demetriades dkk (2004) melaporkan dari 2648 pasien trauma thoraks 7,8% kematian akibat trauma tumpul dan 4% karena trauma penetrans. Sebanyak 979 pasien (2,9%) meninggal saat tiba di RS, 117 pasien (12%) dengan tanda-tanda syok hipovolemik berhasil selamat setelah surgical resusitasi, tetapi (77%) setelah resusitasi meninggal setelah 1 s/d 6 jam (17%) antara 6 s/d 24 jam, (3%) antara 24 s/d 72 jam dan (3%) setelah 72 jam (yang terakhir dikatakan Mortality Rate = 100%).12

KESIMPULAN1. Selama periode tahun 2006-2009 tercatat sebanyak 360

pasien trauma toraks dengan rata-rata penderita yang dirawat sebanyak 90 pasien per tahun.

2. Rata-rata umur penderita yang terbanyak adalah pada usia produktif 25 – 44 tahun (43,6%) karena aktifitas kegiatan serta mobilitas yang tinggi dalam berkendara dan pekerjaan.

3. Tidak ada laporan yang jelas menyebutkan mengenai prevalensi berdasarkan jenis kelamin. Di RS Wahidin Sudirohusodo Makassar dilaporkan pria : wanita = 1: 5,6.

Page 17: Majalah Ilmu Bedah

Majalah Ilm

u Bedah Makassar

94. Insiden kasus trauma toraks sebagian besar disebabkan

oleh trauma tumpul 70%-80% sedangkan untuk trauma toraks penetrans 10%-20%. Di Makassar insiden yang terjadi untuk trauma tumpul toraks > 92,5% sedangkan untuk trauma toraks penetrans 7,5%.

5. Kebanyakan kasus trauma toraks di RSWS Makassar (76,1%) disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas penyebab terbanyak adalah karena tidak memakai helm atau memakai helm standar yg tidak terkancing dengan baik. Juga akibat etika yang kurang baik di dalam berkendara seperti balapan liar atau mengemudi dengan ugal-ugalan dengan batas kecepatan yang melebihi batas kecepatan maksimum.

6. Tidak ada perbedaan yang signifikans pada lokasi trauma pada kasus trauma toraks. Di RSWS Makassar dilaporkan terdapat (38,3%) pada hemithorax dekstra, (34,7%) pada hemithorax sinistra, dan (11,1%) pada thorax bilateral.

7. Sebagian besar penatalaksanaan pada penderita trauma toraks adalah dengan konservatif Di Makassar sebagian besar pasien mendapat penanganan konservatif (67,5%) sedangkan kasus ditindaki dengan pemasangan WSD chest tube (30,83%). Juga sebanyak (1,66%) menjalani operasi thoracotomy dan masing-masing (0,83%) menjalani operasi thoraco-laparotomy dan pericardiotomy.

8. Berdasarkan indikasi pemasangan WSD chest tube di dapatkan bahwa yang terbanyak adalah hemotoraks (45,8%), pneumotoraks (25,9%), dan hemopneumotoraks (13,7%).

9. Sebagian besar trauma toraks biasanya disertai dengan trauma pada organ lain. Di Makassar hampir sebagian besar kasus trauma toraks disertai dengan cedera kepala (31,94%) dan umumnya pasien masuk dengan keluhan kesadaran menurun. Kemudian banyak pula dilaporkan trauma toraks yang disertai cedera maksilofasial sebanyak (24,4%). Kemudian hal yang penting dan patut dilaporkan adalah trauma toraks yang disertai dengan trauma ekstremitas (17,5%) terutama multiple fraktur dan trauma digestivus (15,1%). Ke-2 kasus ini selain menyebabkan cedera dan komplikasi yang sangat serius juga merupakan penyebab mortalitas yang tinggi dari angka kematian. Sedangkan cedera thorax/jantung saja sebanyak (10%).

10. Mortalitas trauma toraks bila disertai dengan trauma pada organ lain lebih tinggi. Berdasarkan evaluasi kasus kematian terdapat (5,83%) kasus trauma toraks yang terjadi di Makassar semua adalah cedera organ multipel. Sebanyak 11 pasien meninggal sebelum 24 jam (52,3%) dan umumnya masuk dengan keluhan kesadaran menurun. Hampir sebagian besar kasus disertai dengan trauma kepala dan trauma ekstremitas.

Penyebab kematian pada umunya adalah akibat syok hipovolemik. Sedangkan pada 10 pasien yang meninggal setelah 24 jam (47,7%) umumnya penyebab kematian adalah syok hipovolemik atau syok septik dengan beberapa komplikasi seperti Acute Renal Failure, ARDS, MOF, bahkan SIRS. Semua pasien meninggal setelah mendapat perawatan di ICU.

11. Pengambilan keputusan dirasakan sangat penting khususnya di dalam menentukan tindakan segera dalam penanganan kasus-kasus pasien trauma toraks. Inform concern yang cepat, cermat, jelas dan terarah sangat diperlukan khususnya untuk tindakan emergency agar supaya pasien dan keluarganya dapat mengerti tindakan apa yang akan dilakukan terhadapnya.

SARANUntuk memberikan gambaran data yang akurat maka hendaknya perlu dilakukan pengambilan data di beberapa Rumah Sakit lain atau jejaring selain di RS. Wahidin Sudirohusodo dan perlu pembenahan dari sistem pencacatan rekam medis yang lebih lengkap pada status penderita baik yang datang ke UGD maupun pasien yang kontrol setelah berobat jalan ke poliklinik Bedah, untuk memungkinkan pengambilan data yang lebih lengkap.

Page 18: Majalah Ilmu Bedah

Maj

alah

Ilm

u Be

dah

Mak

assa

r

10

PENDAHULUANBatu saluran kemih (BSK) adalah penyakit terbanyak ke tiga pada sistem traktus urinarius setelah penyakit infeksi saluran kemih dan prostat.1 Batu saluran kemih [BSK] atau urolithiasis merupakan keadaan patologis yang sering dipermasalahkan baik dari segi kejadian [insidens], etiologi, patogenesis maupun dari segi pengobatan. Kejadian [insidens], maupun komposisi batu penderita BSK ini tidak sama diberbagai belahan bumi, bervariasi menurut suku bangsa dan geografi, selain itu setiap peneliti mengemukakan angka yang berbeda-beda. Walaupun demikian, untuk komposisi batu diperoleh kesan bahwa batu kalsium oksalat merupakan jenis batu yang paling banyak dijumpai.2

Amerika serikat melaporkan 5-10% dari penduduknya dalam hidupnya pernah menderita batu saluran kemih,sedangkan insiden pasien batu ginjal berkisar 0.1-0.3% per tahun atau sekitar 240.000 sampai 720.000 pasien per tahun. Angka yang didapat di Amerika Serikat hampir sama dengan angka di Eropa. Sebagai contoh,di Swedia dilaporkan 5-10% penduduknya dalam hidupnya pernah menderita batu saluran kemih, angka untuk laki-laki 10-20% sedangkan untuk wanita 3-5%. Insiden penyakit ini 0.14% dari seluruh penduduk per tahun.3 Pembentukan batu saluran kemih ditemukan sekitar 5-10% pada populasi di Eropa dan Amerika bagian Utara. Frekuensi yang cukup tinggi telah dilaporkan pada beberapa tempat di dunia dan hanya ada beberapa tempat yang secara geografi ditemukan penyakit batu saluran kemih yang jarang terjadi, seperti Greenland dan sebagian kecil daerah di Jepang.4

Di Indonesia, penderita BSK masih banyak, tetapi data lengkap kejadian penyakit ini masih belum banyak dilaporkan. Menurut beberapa hasil penelitian yang dikutip dari kepustakaan2 dijelaskan bahwa Hardjoeno dkk di Makassar [1977-1979] menemukan 297, Rahardjo dkk [1979-1980] 245 penderita BSK, Puji Rahardjo dari RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo menyatakan penyakit BSK yang diderita penduduk Indonesia sekitar 0,5%, bahkan di RS PGI Cikini menemukan sekitar 530 orang penderita BSK pertahun, Rusfan dkk [Makassar, 1997-1998] melaporkan adanya 50 kasus dan Ratu G2 dari RS Dr. Wahidin Sudirohusodo [Makassar 2002-2004] melaporkan 199 kasus. Hutagalung S3 melaporkan hasil penelitian periode 8 Januari – 16 Oktober 1998 di klinik batu RSUPN-CM terdapat 156 kasus. Dewa Ayu5 pada RSUP Sanglah Denpasar tahun 2007 melaporkan 113 kasus.

Sampai saat ini Indonesia belum memiliki angka penyakit batu saluran kemih namun bila angka insiden

EVALUASI KASUS BATU SALURAN KEMIH DI RUMAH SAKIT DR. WAHIDIN SUDIRO HUSODO MAKASSAR PERIODE JANUARI

2006-DESEMBER 2010

Agus AS. Partang - M. Asykar A. Palinrungi - Achmad M. Palinrungi

diproyeksikan untuk penduduk Indonesia yang jumlahnya sekitar 210 juta, maka tiap tahun akan didapat pasien baru batu saluran kemih sekitar 294.000 kasus. Morbiditas yang diakibatkan batu saluran kemih bisa ditandai dengan rasa sakit yang ringan sampai berat, dan juga komplikasi terjadinya urosepsis dan gagal ginjal, yang dapat menimbulkan mortalitas. Angka kekambuhan batu setelah pengobatan dan kenaikan faktor resiko kekambuhan yang perlu diperhatikan. Berdasarkan literatur angka kekambuhan dalam satu tahun 15-17%, dalam empat tahun 50% dan dalam 10 tahun sekitar 75%. Kenaikan faktor resiko kekambuhan yang ditandai dengan kadar sitraturia yang rendah, rasio kadar kalsium sitrat dan rasio kalsium natrium dalam urine yang meningkat. Apabila terdapat kasus batu kambuh, hal ini akan menaikkan angka morbiditas dan mortalitas sehingga diperlukan biaya yang cukup besar.3

Prevalensi penyakit batu ginjal di perkirakan antara 1%-5%, dengan kemungkinan menderita batu bervariasi tergantung pada umur, jenis kelamin,ras dan letak geografi. Penyakit batu lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita. Dikatakan bahwa batu saluran kemih pada laki-laki 3-4 kali lebih banyak daripada wanita. Batu relatif lebih jarang terjadi sebelum umur 20 tahun tetapi puncak insidens pada dekade empat dan ke ke lima.6,7

METODE PENELITIAN1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif terhadap kasus batu saluran kemih (BSK) di RS. Wahidin Sudirohusodo

2. Tempat dan Waktu PenelitianPenelitian ini dilaksanakan di RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar dengan mengumpulkan data penderita batu saluran kemih (BSK) mulai 1 Januari 2006 sampai 31 Desember 2010

3. Populasi PenelitianPopulasi penelitian adalah semua penderita yang didiagnosa menderita batu saluran kemih (BSK) dan dilakukan penanganan baik konservatif maupun pembedahan dan endourologi

4. Bahan dan Cara Penelitian- Data penderita batu saluran kemih (BSK) mulai Januari

2006 sampai Desember 2010 dikumpulkan berdasarkan status pasien di rekam medik pasien, laboratorium patologi klinik dan daftar pasien pada ruang tindakan khusus Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL).

- Data yang telah dikumpul kemudian diolah, dilakukan deskripsi data dalam bentuk narasi, tabel dan gambar (diagram).

Evaluasi Kasus

Page 19: Majalah Ilmu Bedah

Majalah Ilm

u Bedah Makassar

11HASIL PENELITIANSelama periode penelitian 1 Januari 2006 hingga 31 Desember 2010 didapatkan 549 kasus batu saluran kemih (BSK). Data dikelompokkan menurut umur, jenis kelamin, lokasi batu, jenis tindakan, komposisi batu, dan jenis kuman/bakteri.

Tabel 1. Distribusi Jumlah Kasus BSK Berdasarkan Tahun

Tahun Frekuensi Persentase (%)

Tahun 2006 170 31.0

Tahun 2007 103 19.0

Tahun 2008 97 18.0

Tahun 2009 69 12.0

Tahun 2010 110 20.0

Total 549 100

Dari data tabel 1 diperlihatkan distribusi BSK berdasarkan jumlah pasien pertahun yaitu tahun 2006 sebanyak 170 kasus (31 %), tahun 2007 sebanyak 103 kasus (19 %), tahun 2008 ditemukan 97 kasus (18 %), tahun 2009 sebanyak 69 kasus (12 %), dan pada tahun 2010 didapatkan 110 kasus (20 %) dari total 549 kasus dalam kurun waktu 5 tahun.

Tabel 2. Distribusi Jumlah Kasus BSK Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

Laki-laki 386 70.0

Perempuan 163 30.0

Total 549 100 Dari data tabel 2 diketahui distribusi jumlah kasus BSK berdasarkan jenis kelamin dengan jumlah total 549 pasien, didapatkan bahwa pasien jenis kelamin laki-laki sebanyak 386 orang (70 %) dan perempuan sebanyak 163 orang (30 %).

Tabel 3. Distribusi Jumlah Kasus BSK Berdasarkan Umur

Umur (Tahun) Frekuensi Persentase (%)

0 - 10 9 2

11 - 20. 13 3

21 - 30 34 6

31 - 40 122 22

41 - 50 172 31

51 - 60 111 20

61 ≥ 88 16

TOTAL 549 100

Dari data tabel 3 diketahui distribusi jumlah kasus BSK berdasarkan kelompok umur dengan jumlah total pasien 549 orang, didapatkan bahwa kelompok umur 0 – 10 tahun sebanyak 9 orang (2.0 %), umur 11 – 20 tahun sebanyak 13 orang (3.0 %), umur 21 – 30 tahun sebanyak 34 orang

(6.0 %), umur 31 – 40 tahun sebanyak 122 orang (22.0 %), umur 41 – 50 tahun sebanyak 172 orang (31%), umur 51 – 60 tahun sebanyak 111 orang (20%) dan umur di atas atau sama dengan 61 tahun sebanyak 88 orang (16.0 %).

Tabel 4. Distribusi Jumlah Kasus BSK berdasarkan Lokasi Batu

Lokasi Batu Frekuensi Persentase (%)

Batu Ginjal 358 62.0

Batu Ureter 131 22.5

Batu Kandung Kemih 87 15.0

Batu Uretra 3 0.5

Total 579 100

Dari data tabel 4 diketahui distribusi jumlah kasus BSK berdasarkan lokasi anatomi batu dengan total 579 kasus, didapatkan bahwa batu ginjal sebanyak 358 kasus (62.0 %), batu ureter sebanyak 131 kasus (22.5 %), batu kandung kemih sebanyak 87 kasus (15.0 %), dan batu uretra sebanyak 3 kasus (0,5 %).

Tabel 5. Distribusi Penatalaksanaan Tindakan Terhadap Kasus BSK

Tindakan Frekuensi Persentase (%)

Pielolitotomi 96 16.0

ESWL 200 33.0

URS+Dj.Steint 139 23.0

Ureterolitotomi 13 2.0

Vesikolitotomi 44 7.0

EKL / Litotripsi 84 14.0

Uretrolitotomi 3 0.5

Konservatif 29 4.5

Total 608 100

Dari data tabel 5 diketahui distribusi prosedur penatalaksanaan pada kasus BSK dengan total tindakan 608 tindakan, didapatkan bahwa prosedur pielolitotomi sebanyak 96 tindakan (16.0 %), prosedur ESWL sebanyak 200 tindakan (33.0 %), prosedur URS + Dj.Steint sebanyak 139 tindakan (23.0 %), prosedur ureterolitotomi sebanyak 13 tindakan (2.0 %), prosedur vesikolitotomi sebanyak 44 tindakan (7,0 %), prosedur EKL / Litotripsi sebanyak 84 tindakan (14.0 %), prosedur uretrolitotomi sebanyak 3 tindakan (0,5 %), dan terapi konservatif sebanyak 29 kasus (4.5 %).

Tabel 6. Distribusi Komposisi Jenis Batu BSK Menurut Analisa Batu

Jenis Batu Frekuensi Persentase (%)

Kalsium Oksalat 117 91.0

Brushit 43 34.0

Apatit 17 13.0

Struvit 8 6.0

Page 20: Majalah Ilmu Bedah

Maj

alah

Ilm

u Be

dah

Mak

assa

r

Asam Urat 39 31.0

Sistin 16 13.0

Total Sampel 128

Dari data tabel 6 diketahui distribusi komposisi jenis batu menurut analisa batu setelah prosedur tindakan dengan total pemeriksaan analisa terhadap batu sebanyak 128 sampel, didapatkan bahwa batu kalsium oksalat sebanyak 117 sampel (91.0 %), batu brushit sebanyak 43 sampel (34.0 %), batu apatit sebanyak 17 sampel (13.0 %), batu struvit sebanyak 8 sampel (6.0 %), batu asam urat sebanyak 39 sampel (31.0 %), dan batu sistin sebanyak 16 sampel (13.0%).

Tabel 7. Distribusi Bakteri BSK Menurut Kultur Urine

Kuman / Bakteri Frekuensi Persentase (%)

Produksi Urease

Stapilokokkus sp. 14 20

Proteus sp. 2 3

Klebsiella sp. 10 14

Pseudomonas 6 9Tidak Poduksi Urease

Escherichia coli 26 37

Asinobakter sp. 3 4

Kompilobakter 1 1

Alkalies fekalis 3 4

Enterobakter 5 7

Providensia 1 1

Total Sampel 71 100

Dari data tabel 7 diketahui distribusi kuman atau bakteri yang ditemukan melalui pemeriksaan kultur urine pada pasien BSK dengan total 71 pasien. Didapatkan ada kelompok kuman yang dapat memproduksi urea antara lain stafilokokkus sp sebanyak 14 kasus (20.0 %), proteus sp sebanyak 2 kasus (3.0 %), klebsiella sp sebanyak 10 kasus (14%), pseudomonas sebanyak 6 kasus (9.0 %), sedangkan kuman patogen lainnya yaitu Escherchia coli sebanyak 26 kasus (37 %), asinobakter sp sebanyak 3 kasus (4.0 %), kompilobakter sebanyak 1 kasus (1.0 %), alkalies fekalis sebanyak 3 kasus (4.0 %), dan enterobakter sebanyak 5 kasus (7.0 %), providensia sebanyak 1 kasus (1.0 %).

DISKUSIDalam penelitian retrospektif ini didapatkan total kasus BSK sebanyak 549 pasien selama periode 1 Januari 2006 hingga 31 Desember 2010. Jika dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya di Makassar didapatkan gambaran adanya kecenderungan peningkatan jumlah kasus BSK, seperti terlihat pada tabel 8. Banyak penelitian tentang BSK yang dilaksanakan di Indonesia namun belum ada data tentang tingkat insidens BSK secara nasional.Tabel 8. Angka kejadian BSK dari beberapa penelitian di Makassar

Pengarang Waktu Kasus Rasio L : P

Hardjono, dkk 1977-1979 269 5.0 : 1

Datuk R 1987-1992 122 1.5 : 1

Rusfan, Hardjono 1997-1998 50 4.6 : 1

Ratu G, A.Baji 2002-2004 199 3.9 : 1

Penulis 2006-2010 549 2.3 : 1

Dikutip dari kepustakaan 2

Pada kepustakaan diterangkan prevalensi jenis kelamin laki-laki lebih sering menderita BSK dibanding perempuan. Rasio insiden pada laki-laki dengan perempuan antara rasio 1,8 : 1 sampai rasio 3,8 – 1.18 Hal ini terlihat pada tabel 2 (diagram 1), jumlah kasus BSK pada laki-laki sebanyak 386 kasus dan perempuan 163 kasus dengan rasio 2,3 : 1.

Dari penelitian ini didapatkan gambaran frekuensi kasus pada kelompok umur 0 – 20 tahun sebanyak 22 kasus atau sekitar 5%, pada kelompok antara 31 tahun sampai 60 tahun, merupakan kelompok umur yang rentan menderita BSK dengan jumlah kasus 405 pasien dari total 549 kasus atau sekitar 73% (diagram 2). Hiatt dkk, menyatakan bahwa kejadian batu relatif jarang pada umur sebelum 20 tahun, dan puncak insiden pada umur 40 – 60 tahun.6

Pada tabel 4 (diagram 3) didapatkan gambaran distribusi kasus BSK berdasarkan lokasi anatomi batu terbanyak didapatkan kasus batu ginjal sekitar 62 % dari 579 kasus batu dengan total pasien 549 orang. Hal ini disebabkan

12

Page 21: Majalah Ilmu Bedah

Majalah Ilm

u Bedah Makassar

13adanya beberapa pasien menderita lebih dari satu penyakit batu berdasarkan lokasi batu. Batu ginjal dan batu ureter sebagai kelompok batu saluran kemih bagian atas dengan frekuensi 489 kasus atau sekitar 84,5 % dari total BSK. Memon dkk (2003-2007) melaporkan 257 kasus BSK dan didapatkan batu ginjal 116 kasus (45 %).19 Sementara Qaader dkk (2006) mendapatkan prevalensi BSK pada saluran kemih bagian atas sebanyak 84,6 % dari total 184 kasus.20

Pada tabel 5 (diagram 4) yang memperlihatkan pola distribusi tindakan terhadap kasus BSK, hal ini sesuai dengan modalitas terapi yang dimiliki pada fasilitas RS. Wahidin Sudirohusodo. Tindakan ESWL terbanyak dilakukan sebanyak 200 kasus (33 %). Prosedur ESWL merupakan tindakan dimana batu ginjal dan ureter dihancurkan menjadi fragmen-fragmen kecil dengan menggunakan gelombang kejut. Fragmen ini dapat keluar spontan, sehingga terapi non-invasif ini membuat pasien terbebas dari batu tanpa pembedahan ataupun endoskopi.1 Namun dari data terlihat bahwa tindakan invasif masih cukup tinggi, hal ini kemungkinan disebabkan tingkat keparahan penyakit BSK pada saat terdiagnosa pertama kali.

Dari tabel berikut diperlihatkan data distribusi komposisi batu yang membentuk BSK menurut analisa batu setelah terapi didapatkan gambaran bahwa kalsium oksalat masih dominan menyebabkan BSK yaitu sebanyak 117 kasus atau 91 %. Pada penelitian lainnya yang dilakukan Dewa dkk

(2007) di RS. Sanglah Denpasar mendapatkan gambaran distribusi dengan kalsium oksalat yang dominan yaitu 100 % membentuk batu saluran kemih.5 Dan pada penelitian di Makassar oleh Baji dkk (2004) mendapatkan kalsium oksalat sekitar 87,4 % dari total komponen pembentuk batu.2

Tabel 9. Komposisi batu dan PersentaseTabel 9. Komposisi batu dan Persentase

Komposisi Batu Persentase (%)

Calcium-Containing StonesCalcium oxalate 60Hydroxyapatite 20Brushite 2Non–Calcium-Containing StonesUric acid 7Struvite 7Cystine 1–3Triamterene <1Silica <12,8-Dihyroxyadenine <1

Dikutip dari Kepustakaan 6

Dikepustakaan didapatkan gambaran bahwa kalsium oksalat membentuk sekitar 60 % dari semua batu saluran kemih, 20 % hidroksiapatit dan 2 % brushit.6

Dari data tabel 7 didapatkan gambaran bahwa E.coli sebanyak 26 kasus (37 %) masih dominan dalam memberikan kontribusi infeksi saluran kemih pada total 71 sampel kultur. Kelompok kuman/bakteri penghasil urea juga terlihat memberikan kontribusi dalam distribusi bakteri yang diisolasi pada kultur urine, dan terbanyak pada kelompok ini adalah stafilokokkus.Kesimpulan

Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa selama 5 tahun (Januari 2006 – Desember 2010) ditemukan sebanyak 549 kasus BSK di RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Penderita BSK jenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan rasio 2,3 : 1. Kasus BSK lebih banyak pada kelompok umur 41 – 50 tahun yaitu 172 kasus, ditemukan batu ginjal yang dominan sebanyak 358 kasus, dan prosedur tindakan ESWL terbanyak dilakukan sebanyak 200 kasus. Komposisi batu terbanyak yaitu

Page 22: Majalah Ilmu Bedah

Maj

alah

Ilm

u Be

dah

Mak

assa

r

14kalsium oksalat (117), kemudian brushit (43), asam urat (39). Ditemukan kuman E.Coli terbanyak yaitu 26 sampel pada tes kultur urine penderita BSK.Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menilai hubungan antar variabel sehingga didapatkan hasil analisa statistik tentang gambaran pola distribusi BSK.

DAFTAR PUSTAKA1. Stoller ML.Urinary Stone Disease. In: Tanagho EA,

McAninch JW. Smith’s General Urology. 17th ed. New York: Mc Grow Hill Medical Companies; 2008. p. 246-76

2. Ratu G, Badji A, Hardjoeno. Profil Analisis Batu Saluran Kemih Di Laboratorium Patologi Klinik. Dalam: Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. Vol 12. 2006. hal. 114-7

3. Hutagalung S, Rahardjo D. Bakteriuria pasca Extracrporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) di RSUPN Cipto Mangunkusumo. JURI Jurnal. Vol.10. Jakarta: 2003. hal.8-13

4. Tiselius G. Epidemiology and Medical Management of Stone Disease. In: BJU International. Sweden: 2003. P. 758-67

5. Dewa Ayu D, Subawa A. Profil Analisis Batu Saluran Kencing Di Instalasi Laboratorium Klinik RSUP Sanglah Denpasar. JURI Journal. Vol 10. Jakarta: 2003. hal. 205-9

6. Pearle MS, Lotan Y. Urinary Lithiasis and Endourology. In: Wein AJ, Kavoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA, editors. Campbell-Walsh Urology. 9th ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 2007

7. Lina N, Hadisaputro S, Muslim R. Faktor-Faktor Resiko Kejadian Batu Saluran Kemih pada Laki-Laki (Studi Kasus di RS Dr.Karyadi, RS Roemani dan RSI Sultan Agung Semarang). JURI Journal. Jakarta: 2007. hal. 1-9

8. Purnomo B. Batu Saluran Kemih. Dalam: Dasar-dasar Urologi. Edisi ke-2. Jakarta : CV. Infomedika; 2008. hal. 57-68

9. Widjoseno, Puruhito, Rahardjo D, Malawat HR, Santoso A, Yuwana, dkk. Saluran Kemih dan Alat Kelamin Lelaki. Dalam: Sjamsuhidajat R, Jong W, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004. hal.733-807

10. John R, Simon B, Suzanne B. Stone Disease. In: Oxford Handbook of Urology. 1st ed. Oxford University Press; 2006. p. 350-400

11. Chung HJ, Abraham HM, Meng MV, Stoller ML. Theories of Stone Formation. In: Stoller ML, Meng MV, editor. Urinary Stone Disease. Totowa NJ: Humana Press inc.; 2007. p. 55-68

12. Lieske JC, Segura JW. Evaluation and Medical Management of Kidney Stones. In: Potts JM, editor. Essential Urology. Totowa NJ: Humana Press Inc.; 2004

13. Mandel I, Mandel N. Structure and Compositional Analysis of Kidney Stone. In: Urinary Stone Disease.

Stoller ML, Meng MV, editor. Totowa NJ: Humana Press inc.; 2007. p. 69-81

14. Parmar MS. Kidney Stones, Clinical Review. BMJ Journal. 2004;328:1420-4

15. Miller NL. Management of Kidney Stones, Clinical Review. BMJ Journal. 2007;334:468-472

16. Taher A. Guidelines Penatalaksanaan Penyakit Batu Saluran Kemih 2007. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Jakarta; 2007. hal. 1-44

17. John R, Simon B, Suzanne B. Urological Investigation. In: Oxford Handbook of Urology. 1st ed. Oxford University Press; 2006. p. 40-66

18. Dallera JE, Chandhoke PS. Epidemiology and Incidence of Stone Disease. In: Stoller ML, Meng MV, editor. Urinary Stone Disease. Totowa NJ: Humana Press inc.; 2007. p. 27-34

19. Memon JM, Athar M, Akhund AA. Clinical Pattern of Urinary Stone Disease in Our Setting. Annals Journal. 15th Vol. Nawabshah: 2009. p.17-20

20. Qaader DS, Yousif SY, Mahdi LK. Prevalence and Etiology of Urinary Stones in Hospitaized Patients in Baghdag. Eastern Mediterranean Health Journal. 12th Vol. Baghdag: 2006. p.853-7

Page 23: Majalah Ilmu Bedah

Majalah Ilm

u Bedah Makassar

15

PENDAHULUANHati, kandung empedu dan saluran empedu semuanya berhubungan erat dengan fisiologi pencernaan. Karena letak anatomi yang berdekatan, fungsi yang berkaitan, dan kesamaan dari kompleksitas gejala yang ditimbulkan oleh gangguan pada ketiga struktur ini, maka cukup beralasan bila ketiga struktur ini dibicarakan secara bersamaan.1

Salah satu kemajuan terbesar dalam operasi hati adalah pemahaman dari segmental anatomi hati. Sistem Couinaud untuk nomenklatur segmental hati diterima secara luas dalam praktek. Hati dibagi menjadi potongan panjang longitudinal yang ditarik melalui vena hepatika dan vena cava, dan melintang melalui bifurkasi portal utamanya.

Kolesistitis dan kolesistolitiasis adalah dua penyakit saluran empedu yang paling menyolok. Diagnosis kolesistitis dan kolelitiasis akut atau kronik berdasarkan kolesistografi atau ultrasonografi.2,3

ANATOMI DAN FISIOLOGIA. HEPAR Hepar merupakan organ terbesar di dalam tubuh manusia dengan berat 1200-1600 g. Berat hepar tergantung pada berat masing-masing tubuh, yaitu 1,8 % - 3,1 % dari total berat tubuh. Hepar dibungkus oleh capsula glison, suatu jaringan ikat yang transparan. Ukuran tranversal dari hepar berkisar 20 cm - 22,5 cm, dan ukuran vertikal berkisar 15 cm – 17,5 cm, dengan diameter anteroposterior terbesar berkisar 10 cm – 12,5 cm. Hepar mempunyai konsistensi kenyal, berwarna coklat kemerahan. Bentuk hepar adalah piramid, yang puncaknya dibentuk oleh bagian pada lobus sinistra, sedangkan basisnya pada sisi lateral kanan yang lokasi pada dinding thorax kanan. 2,3,9

Hepar dibungkus peritoneum viseralis kecuali gallbladder bed, porta hepatis dan di posterior pada daerah yang disebut bare area dari hepar di kanan dari vena cava inferior. Duplikasi peritoneum yang meluas dari dinding abdomen anterior dan diafragma ke hepar membentuk ligamentum yang mempertahankan organ hepar pada tempatnya. Duplikasi horisontal peritoneum membentuk ligamentum koronarium yang nampak jika menarik hepar ke bawah. Tepi kanan yang bebas dari ligamentum koronarium membentuk ligamentum triangular kanan dan ujung kiri membentuk ligamentum triangular kiri yang melekat pada apeks lobus kiri dan mencapai procesus fibrous hepar yang melekat pada diafragma. Dari pertengahan, muncul ligamentum falciforme yang meluas ke anterior sebagai membrana tipis menghubungkan permukaan hepar ke diafragma, dinding abdomen dan umbilikus. Ligamentum teres (obliterasi vena umbilikalis) yang berjalan ditepi inferior ligamentum falciforme dari umbilikus sampai fisura umbilkalis. Fisura umbilikalis berada pada permukaan inferior hepar sinistra dan terdapat triad portal kiri. Ligamentum falciforme, sebagai penanda permukaan yang jelas, yang secara historis

ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM HEPATOBILIERVincentius Daniel

digunakan untuk pembagian lobus hepar kiri dan lobus hepar. 2,3,9

Gambar 1. Anatomi Hepar7

Ligamentum Hepatoduodenale terdiri dari porta hepatis yang mengandung duktus choledochus, arteri hepatica dan vena porta. Di tepi kanan dan dorsal porta hepatis terdapat Foramen Winslow yang juga dikenal sebagai Foramen Epiploica. Di tempat inilah dilakukan Pringle Maneuver untuk mengontrol vaskularisasi hepar ketika dilakukan operasi. 2

Gambar 2. Foramen Winslow2

Hepar terdiri dari 2 buah lobus, dextra dan sinistra. Ligamentum falciforme sering digunakan untuk membagi hepar menjadi lobus kanan dan kiri. Pada lobus dextra terdapat Fossa sagitalis dextra dan fossa sagitalis sinistra. Pada Fossa sagitalis dextra terdapat Vesica fellea di inferior dan Vena cava di superior. Pada Fossa sagitalis sinistra terdapat ductus venosum arantii dan vena umbilicalis. Diantara Fossa Vesica fellea dan fossa venae cava umbilicalis terdapat lobus quadratus hepatitis sedang di bagian superiornya terdapat lobus caudatus hepatis. Diantara lobus caudatus dan quadratus terdapat porta hepatis yang merupakan pintu tempat keluar masuknya

TINJAUAN PUSTAKA

Page 24: Majalah Ilmu Bedah

Maj

alah

Ilm

u Be

dah

Mak

assa

r

16struktur dari dan ke hepar yaitu:• Arteri hepatica propria dextra dan sinistra• Vena porta• Ductus cystikus, ductus hepaticus dan ductus

choledochus. 1,2,3,9

True / surgical Couinaud’s segmental anatomi dari hepar adalah yang paling banyak digunakan oleh ahli bedah sebagai deskripsi secara anatomi fungsional atau anatomi modern. Klasifikasi Couinaud membagi hepar kedalam 8 segmen yang masing-masing disuplai oleh pedikel yang terdiri dari vena porta, arteri hepatika dan duktus biliaris. Scissura utama terdapat vena hepatika media yang berada pada arah anteroposterior dari fosa kandung empedu sampai ke sisi kiri vena cava inferior dan membagi hepar menjadi hemiliver kiri dan kanan. Garis dari scissura dikenal juga sebagai Cantlie’s line yang secara fungsional membagi hepar menjadi lobus kanan dan lobus kiri. Hepar kanan dibagi menjadi sektor anterior (segmen V dan segmen VIII) dan sektor posterior (segmen VI dan segmen VII) oleh scissura kanan dimana terdapat vena hepatika kanan. Scissura kiri berada di posterior ligamentum teres dan terdapat vena hepatika kiri. Hepar kiri dibagi menjadi sektor anterior (segmen III dan IV) dan sektor posterior (segmen II) oleh scisura kiri. Sedangkan lobus kaudatus (segmen I) merupakan bagian posterior hepar. Sistim yang di kenal seperti ini cukup untuk tindakan mobilisasi hepar dan tindakan hepar yang sederhana, tetapi tidak dapat menggambarkan lebih banyak kerumitan dan anatomi fungsional yang di perlukan bagi ahli bedah hepar. 2,3,9

Gambar 4. Anatomi surgical Couinaud’s3

Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang dinamakan lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ. Di antara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang dinamakan sinusoid, yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika. Sinusoid dibatasi oleh sel fagositik atau sel kupffer. Sel kupffer merupakan sistem monosit-makrofag, dan fungsi utamanya adalah memfagosit bakteri dan benda asing lain dalam darah. Hanya sumsum tulang yang mempunyai massa sel onosit-makrofag yang lebih banyak daripada yang terdapat dalam hati. Jadi hati merupakan salah satu organ utama sebagai pertahanan terhadap invasi bakteri dan agen toksik. Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika yang melingkari bagian perifer lobulus hati, juga terdapat saluran empedu. Saluran empedu interlobular membentuk kapiler empedu yang sangat kecil yang dinamakan analikuli (tidak tampak), berjalan ditengah-tengah lempengan sel

hati. Empedu yang dibentuk dalam hepatosit diekskresi ke dalam kanalikuli yang bersatu membentuk saluran empedu yang makin lama makin besar hingga menjadi saluran empedu yang besar (duktus koledokus). Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm. 2,3,10

Gambar 5. Fisiologi Hepar10

Komponen struktural dasar hepar adalah hepatosit atau sel hepar. Unit fungsional dasar hepar adalah lobulus hepar yang pada manusia ada beberapa juta jumlahnya. Lobulus ini memiliki kontur heksagonal dan dibentuk oleh hepatosit, tersusun dalam pasangan kolom yang menyebar dari vena sentral. Pada beberapa daerah, lobulus dibatasi oleh jaringan penghubung yang mengandung duktus biliaris, limfatik, saraf dan pembuluh-pembuluh darah. Daerah-daerah ini berlokasi pada sudut lobulus dan ditempati oleh portal triad disebut portal spaces. Terdapat 3-6 portal triad perlobulus, masing-masing mengandung venula (cabang vena portal), arteriol (cabang arteri hepatika), duktus (bagian dari sistim biliaris) dan pembuluh limfatik.2,3,10

Hepatosit-hepatosit disusun seperti jeruji roda pada tiap lobulus, membentuk sebuah lapisan dan terdiri dari 1 atau 2 sel tebalnya. Lempengan seluler ini arahnya dari perifer ke pusat lobulus. Ruang antara lempengan sel ini mengandung kapiler yang dikenal sebagai sinusoid hepar. Sinusoid ini adalah pembuluh yang berdilatasi yang mengandung sel-sel endotelial yang berpori. Sel endotelial dipisahkan dari hepatosit sebelahnya oleh ruang subendotelial yang dikenal dengan ruang dari Disse, dimana proyeksi hepatosit seperti serabut retikuler dan mikrovili dapat ditemukan. Permukaan hepatosit mempunyai hubungan yang erat / rapat dengan dinding endotelial, dimana mudah bagi makromolekul untuk pertukaran dari lumen sinusoid ke sel hepar. Tipe-tipe lain sel yang dapat ditemukan pada lobulus hepar adalah makrofag dan fat-storing cell. Di antara sel-sel sinusoid terdapat makrofag hati (sel Kupffer) yang berfungsi untuk mencerna dan menghancurkan partikel asing dalam darah yang mengalir melewati hati. Sel kupffer merupakan fagosit mononuklear dan ditemukan pada permukaan luminal sel endotelial.2,3,8,10

Page 25: Majalah Ilmu Bedah

Majalah Ilm

u Bedah Makassar

17

Gambar 6. Sel Hepar3

Vascularisasi HeparSirkulasi darah pada hepar dibentuk oleh arteri hepatika, vena porta, dan vena hepatika yang disebut sirkulasi portal. Arteri celiakus yang bercabang berasal dari aorta muncul dari hiatus diafragma, yang secara karakteristik sangat pendek dan bercabang menjadi arteri gastrika kiri, arteri lienalis dan arteri hepatika komunis.2,3,8,10

1. Arteri hepatica communisMerupakan cabang dari arteri coeliaca, berjalan ke ventral pada margo superior pancreas, di sebelah dorsal pars superior duodeni. Kemudian memasuki foramen epiploicum Winslowi; berjalan didalam ligamentum itu bersama-sama dengan duktus membelok dan masuk ke dalam ligamentum hepatoduodenale di bagian caudal ductus choledochus, vena porta, pembuluh limfe, dan serabut saraf menuju porta hepatis. Di dalam ligamentum hepatoduodenale, arteri hepatis communis berada di sebelah anterior agak ke kiri dari duktus choledocus dan berada disebelah anterior vena porta. Sampai pada porta hepatis, arteri hepatica communis bercabang menjadi 2 yaitu :a. Arteri hepatica propria dextra

Dalam 80% kasus, arteri hepatica dextra mengarah ke posterior ductus hepatica communis sebelum masuk parenkim hati. Dalam 20% kasus, arteri hepatica dextra terletak di anterior ductus hepatica communis. Setelah mencapai parenkim hati, cabang arteri hepatica dextra ke anterior kanan (Segmen V dan VIII), dan cabang posterior kanan (Segmen VI dan VII). Cabang posterior awalnya berjalan horisontal melalui fisura hilus transversus (Gunz) biasanya muncul di dasar Segmen V dan berdekatan dengan procesus caudatus.

b. Arteri hepatica propria sinistraArteri hepatica sinistra berjalan secara vertikal menuju fisura umbilikalis yang kemudian memberikan percabangan (sering disebut arteri hepatica sentralis) ke Segmen IV, sebelum melanjutkan untuk menyuplai segmen II dan III. Cabang kecil tambahan dari arteri hepatica sinistra mensuplai lobus kaudatus (Segmen I), meskipun cabang arteri caudatus juga berasal dari arteri hepatica dextra.

2. Vena portae hepatisDibentuk oleh gabungan antara vena mesenterica superior dan vena lienalis. Berjalan disebelah dorsal pars superior duodeni, lalu berjalan ascendens masuk ke dalam

ligamentum hepatoduodenale. Di dalam ligamentum hepatoduodenale, vena porta berada di sebelah dorsal dari arteri hepatica communis, sampai pada porta hepatis, vena portae bercabang 2 membentuk ramus dextra dan sinistra dan bersama-sama dengan arteri hepatica propria dextra dan sinistra masuk ke dalam lobus hepatis dextra dan lobus hepatis sinistra.

3. Vena HepaticaMembawa darah dari hepar masuk kedalam vena cava inferior. Terdiri dari tiga vena hepatica utama (kanan, tengah dan kiri) merupakan saluran keluar utama hati, meskipun vena tambahan dengan ukuran berbeda selalu ada sebagai hubungan langsung antara vena cava dan permukaan posterior lobus kanan.

Arteri hepatika komunis, berjalan dalam jaringan yang pendek di retroperitoneal kemudian melewati permukaan suprior dan sisi kiri dari duktus hepatika komunis. Arteri hepatika komunis mensuplai 25 % aliran darah ke hepar dan vena porta mensuplai sisanya yaitu 75 %. Dari aksis celiakus, Arteri hepatika komunis menuju ke atas dan ke lateral berdekatan dengan Duktus biliaris komunis. Arteri gastroduodenalis yang mensuplai proksimal duodenum dan pankreas adalah cabang pertama dari arteri hepatika komunis. Lalu Arteri gastrika dextra sebagai cabangnya yang menuju ke curvatura minor dalam omentum minus.2,3,8,9

Aliran darah hepar berasal dari 2 sumber yaitu Vena porta dan Arteri hepatika. Ini merupakan 25 % dari cardiac output (COP). Vena porta memberikan ¾ aliran darah dan sebagian darah Vena porta telah melewati kapiler gastrointestinal; banyak oksigen telah terpakai. Darah yang dari Arteri hepatika mengandung banyak oksigen dan ¾ oksigen digunakan oleh hepar berasal dari arteri hepatika. Cabang Vena porta dan Arteri hepatika, memberi cabang venula portal, arterial hepatika yang masuk ke acinus hepatika. Aliran darah dari pembuluh-pembuluh terminal ini ke sinusoid yang mana merupakan jaringaningan kapiler dari hepar. Sinusoid berhubungan dengan pembuluh hepatika terminal. Drainase venula-venula terminal ini di bentuk cabang-cabang besar vena hepatika yang merupakan tributaries vena cava inferior. Tekanan Vena portal secara normal sekitar 10 mmHg pada manusia, dan aliran vena hepatika sekitar 5 mHg. Mean pressure pada cabang-cabang Arteri hepatika yang membungkus sinusoid sekitar 90 mmHg.2,3,8

Gambar 7. Vaskularisasi hepar3

Page 26: Majalah Ilmu Bedah

Maj

alah

Ilm

u Be

dah

Mak

assa

r

18 Aliran LimfatikLimfatik hepar mengalir ke pembuluh superficial maupun dalam. Pembuluh dalam muncul bersama pada porta hepatis dan berakhir dalam nodus limfoid hepatis yang tersebar sepanjang pembuluh darah hepatis (contoh: nodus limfoid cysticus yang berada dekat vesica biliaris). Semua ini kemudian mengalir ke nodus limfoid coeliacus yang kemudian masuk ke ductus thoracicus. Beberapa pembuluh limfe mengikuti vena hepatika melewati diafragma dan berakhir pada nodus limfoid phrenicus.

Pembuluh limfe superficial mengikuti aliran yang sama dengan pembuluh dalam, tetapi dapat juga mengalir ke nodus limfoid mediastinal.2,3,8

Gambar 8. Aliran limfatik hepar.3

InervasiHepar menerima inervasi dari simpatis dan pasimpatis. Serat saraf mencapai hepar melalui plexus hepatik yang berasal dari plexus coeliacus. Plexus hepaticus mengandung serabut dari ganglia simpatis T7 sampai T10, yang bersinaps dalam plexus coeliacus, nervi vagi dexter dan sinister serta phrenicus dexter. Ia menyertai arteri hepatica dan ductus bilier ke dalam ramifikasi terhalusnya, bahkan ke triad hepatica dan parenkim hati. Nervus hepatic mengikuti suplai darah hepar dan masuk ke porta hepatis.

Nervus memasuki hepar pada portal hepatis dan berjalan di canalis porta dengan pembuluh triad portal. Serat simpatis menginervasi pembuluh darah. Badan sel neuron parasimpatis dapat ditemukan dekat porta hepatis. Serat parasimpatis menginervasi ductus yang besar dengan dinding yang terdiri dari otot polos, dan mereka juga menginervasi pembuluh darah.

Gambar 9. Inervasi hepar. 3FisiologiHati mensekresi sekitar 1 liter empedu setiap hari. Unsur utama empedu adalah air (97%), elektrolit, garam empedu, fosfolipid (terutama lesitin), kolesterol, dan pigmen empedu (terutama bilirubin terkonyugasi). Garam empedu penting untuk pencernaan dan absorpsi lemak dalam usus halus. Setelah diolah oleh bakteri usus halus, maka sebagian besar garam empedu akan direabsorpsi di ileum, mengalami resirkulasi ke hati, serta kembali dikonyugasi dan disekresi. Bilirubin (pigmen empedu) merupakan hasil akhir metabolisme dan merupakan petunjuk penyakit hati dan saluran empedu yang penting, karena bilirubin cenderung mewarnai jaringaningan dan cairan yang berkontak dengannya. Monosakarida dari usus halus diubah menjadi glikogen dan disimpan dalam hati (glikogenesis). Dari depot glikogen ini, glukosa dilepaskan secara konstan ke dalam darah (glikogenolisis).2,3

Empedu dibentuk di membran kanalikuli hepatosit. Sebagian juga pada duktulus-duktulus empedu dan di sekresi oleh proses aktif yang secara relatif tidak bergantung pada aliran darah. Empedu terdiri dari larutan ion-ion anorganik dan organik. Komponen organik utama empedu adalah asam empedu terkonjugasi, kolesterol, fosfolipid, pigmen empedu dan protein. Dalam keadaan normal 600-1000 ml empedu di produksi perhari. Tekanan sekresi empedu sekitar 10 – 20 cm dengan tekanan sekresi maksimal 30 – 35 cm pada keadaan obstruksi biliaris total. Empedu disekresi dalam dua tahap oleh hepar : (1) Bagian awal disekresikan oleh sel-sel hepatosit. Sekresi awal ini mengandung sejumlah besar asam empedu dan kolesterol, kemudian empedu disekresikan ke dalam kanalikuli biliaris yang terletak diantara sel-sel hati. (2) Kemudian, empedu mengalir ke perifer menuju septa interlobularis, tempat kanalikuli mengosongkan empedu ke dalam duktus biliaris terminal dan kemudian mencapai duktus hepatikus dan duktus biliaris komunis. Dari sini empedu langsung dikosongkan menuju ke duodenum atau dialihkan melalui duktus sistikus ke dalam kandung empedu. Empedu melakukan dua fungsi penting: pertama, empedu berperan penting dalam pencernaan dan absorbsi lemak. Kedua, empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan penting dari darah, hal ini terutama meliputi bilirubin, dan kelebihan kolesterol yang dibentuk oleh sel-sel hepar. (2,3)

Langkah pembentukan bilirubin:1. Proses pemecahan pembukaan dari cincin tetrapyrole

menjadi biliverdin - iron - globin (terjadi dalam jaringan RES)

2. Besi/ iron – globin akan dipisahkan - terbentuk biliverdin (terjadi dalam jaringan RES)

3. Biliverdin direduksi - Unconjugated Bilirubin (terjadi dalam jaringan RES). Komponen ini (Unconjugated bilirubin) tidak larut dalam air dan tidak memberikan reaksi Van der Berg kecuali bila sebelumnya ditambah bahan yang dapat melarutkannya. Selanjutnya akan dibawa masuk ke dalam sel-sel hepar dan dalam perjalanannya di dalam darah akan diikat dengan albumin dan α - globulin.

4. Sampai ke dalam sel-sel hepar, bilirubin tersebut akan mengalami konjugasi dengan glukuronidase+sulfat

Page 27: Majalah Ilmu Bedah

Majalah Ilm

u Bedah Makassar

19- bilirubin diglukuronide dan bilirubin sulfat. Kedua bahan ini disebut Conjugated Bilirubin - larut dalam air dan memberikan reaksi Van der Berg yang langsung yang disebut juga Bilirubin Direct.

5. Conjugated bilirubin disekresi ke dalam canaliculi billier dan dibawa ke ductus bilier, msk ke dalam usus halus. Di usus halus, oleh flora usus akan diubah menjadi sterkobilirubinogen dan urobilinogen.

Kebanyakan dari urobilinogen akan diekskresi melalui faeces dimana sebagian akan direduksi menjadi urobilin yang berwarna, sedangkan 1/3 – ½ dari urobilinogen akan diresorpsi kembali melalui vena porta dan dibawa ke hepar (Siklus EnteroHepatik)

Gambar 10. Metabolisme Bilirubin (12)

Fungsi hati sebagai metabolisme lemakHati dapat membentuk, mensintesis lemak & katabolisis asam lemakAsam lemak dipecah menjadi beberapa komponen :1. Senyawa 4 karbon – Keton Bodies2. Senyawa 2 karbon–Active Acetate (dipecah mjd asam

lemak dan gliserol)3. Pembentukan cholesterol4. Pembentukan dan pemecahan fosfolipid

Hati pembentuk utama, sintesis, esterifikasi dan ekskresi kholesterolSerum Cholesterol - standar pemeriksaan metabolisme lipid

Fungsi hati sebagai metabolisme karbohidratPembentukan, perubahan dan pemecahan karbohidrat, lemak dan protein saling berkaitan satu sama lain yang disebut Metabolic Pool. Hati mengubah pentosa dan heksosa yang diserap dari usus halus menjadi glikogen, mekanisme ini disebut Glikogenesis. Glikogen di dalam hati dipecahkan menjadi glukosa disebut Glikogenolisis. Selanjutnya hati mengubah glukosa melalui Heksosa Monophosphat Shunt dan terbentuklah Pentosa yang bertujuan menghasilkan energi, Biosintesis dari nukleotida, nucleic acid dan ATP, Membentuk/ biosintesis senyawa 3 karbon (3C) yaitu piruvic acid (asam piruvat diperlukan dalam siklus krebs)

Fungsi hati sebagai metabolisme proteinHati mensintesis banyak macam protein dari asam amino. Pada proses deaminasi hati mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino. Pada proses transaminasi hati memproduksi asam amino dari bahan non nitrogen. Hati merupakan satu-satunya organ yang membentuk plasma albumin dan ∂ - globulin dan organ utama bagi produksi urea. Urea merupakan end product metabolisme protein. ∂ - globulin selain dibentuk di hati, juga dibentuk di limpa & sumsum tulang. β – globulin hanya dibentuk di dalam hati. Albumin mengandung ± 584 asam amino dengan BM 66.000.

Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darahHati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan koagulasi darah. Misalnya: fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, XBila ada benda asing yang menusuk dan terkena pembuluh darah, yang beraksi adalah faktor ekstrinsik. Bila ada hubungan dengan katup jantung, yang beraksi adalah faktor intrinsik. Fibrin harus isomer biar kuat pembekuannya dan ditambah dengan faktor XIII. Vitamin K dibutuhkan untuk pembentukan protrombin dan beberapa faktor koagulasi.

Fungsi hati sebagai metabolisme vitaminSemua vitamin disimpan di dalam hati khususnya vitamin A, D, E, KFungsi hati sebagai detoksikasiHati adalah pusat detoksikasi tubuh, misalnya proses oksidasi, reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap berbagai macam bahan seperti zat racun, over dosis obat (juga racun)Fungsi hati sebagai fagositosis dan imunitasSel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan melalui proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi ∂ - globulin sebagai imun livers mechanism.Fungsi hemodinamikHati menerima ± 25% dari cardiac output. Jantung mengeluarkan darah (Stroke Volume). Cardiac output = Stroke Volume x Frekuensi (1 menit).Aliran darah hati yang normal ± 1500 cc/ menit atau 1000 – 1800 cc/ menit. Menerima darah dari Arteri hepatica ± 25% dan di dalam Vena porta 75%. Tekanan darah Vena porta ± 10 mmHg. Tekanan Arteri hepatica sama dengan tekanan darah arteri sistemik. Tekanan darah sinusoid (kapiler-kapiler dan endotel mudah ditembus oleh sel dengan molekul besar) ± 8,5 mmHg sedangkan Vena hepatica tekanannya 6,5 mmHg. Tekanan darah Vena cava inferior di level diaphragma ± 5 mmHg.O2 yang terkandung di dalam Vena porta lebih tinggi dari O2 di dalam vena biasa. Aliran darah hepar dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal. Aliran darah berubah cepat pada waktu exercise, terik matahari dan shock. Hepar merupakan organ penting untuk mempertahankan aliran darah.

Page 28: Majalah Ilmu Bedah

Maj

alah

Ilm

u Be

dah

Mak

assa

r

20 Reseksi hepar dan hubungannya dengan Struktur Vaskular dan Duktus

Tabel 1. Pembagian Reseksi Hepar3

Gambar 11. Subsegmentasi dari Hepar3

Lobektomi KananUntuk melakukan Lobektomi kanan atau Lobektomi trisegmental (Extended Lobektomi Kanan) digunakan incise subkostal yang dapat diperluas ke thoraks atau paraxiphoid atau ke kiri apabila diperlukan.

Incisi ligamentum triangular kanan dan koronarium sehingga lobus kanan dapat diretraksi. Bebaskan semua perlekatan hepar dengan sekitarnya sehingga hepar dapat dimobilisasi dan tervisualisasi dengan baik. Pada Lobektomi kanan dan kiri yang sebenarnya, kandung empedu harus dikorbankan.

Diseksi dimulai di hilus. Ligasi cabang-cabang arteri hepatica, vena porta dan duktus biliaris sebelum diangkat. Digunakan diseksi secara tumpul dengan batas garis pada fissure median yang memanjang dari fossa kandung empedu dibawahnya dan vena cava inferior diatasnya (Cantli’s line). Diseksi harus melewati sebelah kanan dari vena hepatica media untuk mempertahankan drainase dari segmen IV. Ligasi Vena hepatica dekstra ekstrahepatik sebelum dilakukan transeksi dari hepar.

Gambar 12. Lobektomi Kanan3

Lobektomi Kiri Lobus kiri direseksi dengan meligasi Arteri hepatica sinistra, vene porta dan ductus bilier. Lobus kiri dimobilisasi dengan membebaskan Ligamentun Triangulare kiri. Transeksi harus mengikuti garis dari sisi kiri fossa kandung empedu ke sisi kiri dari fossa dari vena cava inferior. Ekspose dan Ligasi Vena hepatika sinistra dan cabang-cabang vena hepatika media sebelah kiri intrahepatik atau ekstrahepatik pada vena cava setelah konfirmasi anatomi yang tepat melalui ultrasonik. Ligasi terbaik dilakukan pada akhir pembedahan untuk memastikan hanya meligasi dari segmen yang direseksi. Reseksi yang dilakukan bisa berupa lobus, segmental bahkan incisi baji untuk tumor yang terletak di permukaan.

Gambar 13. Lobektomi Kiri3

Page 29: Majalah Ilmu Bedah

Majalah Ilm

u Bedah Makassar

kandung empedu dan cabang profunda berjalan sepanjang fossa kandung empedu antara kandung empedu dan hepar. Arteri sistikus biasanya berada di superior duktus sistikus dan melewati posterior duktus hepatika komunis. Dengan demikian, secara anatomi duktus hepatika komunis, hepar dan duktus sistikus membentuk Trigonum Calot. Pada lokasi di trigonum ini terdapat beberapa struktur yang sangat penting untuk ahli bedah yaitu arteri sistikus, arteri hepatika kanan dan duktus sistikus.

Gambar 17. Trigonum Calot(1,2,6,8,9)

Fungsi kandung empedu adalah untuk mengentalkan dan menyimpan empedu yang dibawa dari hepar melalui ductus cystikus diantara waktu makan dan melepaskan empedu ke dalam usus lewat ductus cystikus selama makan.1,3

Ductus cysticusMerupakan lanjutan dari kandung empedu, terletak pada porta hepatis. Panjangnya kurang lebih 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm. Bersatu dengan ductus hepaticus communis membentuk ductus choledochus. Mukosa duktus ini berlipat-lipat, terdapat 3- 12 lipatan berbentuk spiral yang pada penampang longitudinal terlihat sebagai valvula yang disebut Valvula Spiralis Heisteri yang memudahkan cairan empedu mengalir masuk ke dalam kandung empedu tetapi menahan aliran keluarnya.1,2,6,8,9

FisiologiEmpedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 ml per hari. Di luar waktu makan, empedu disimpan sementara di dalam kandung empedu dan di sini mengalami pemekaran sekitar 50%. Pengaliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa empedu yang diproduksi akan dialih-alirkan ke dalam kandung empedu. Setelah makan kandung empedu berkontraksi, sfingter relaksasi dan empedu mengalir ke dalam duodenum. Aliran tersebut sewaktu-waktu seperti disemprotkan karena secara intermiten tekanan saluran empedu akan lebih tinggi daripada tahanan sfinter. Garam empedu, lesitin dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak dan garam anorganik. Garam empedu adalah molekul steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol.

Segmentektomi Lateral KiriSegmentektomi Lateral kiri dilakukan dengan mengangkat segmen 2 dan segmen 3 disebelah lateral Ligamentum falciforme, sedangkan segmen 4 tetap dipertahankan.

Gambar 14. Segmentektomi Lateral Kiri.3

B. KANDUNG EMPEDUAnatomiMerupakan suatu kantong berbentuk lonjong seperti buah pir dengan panjang sekitar 7-10 cm dengan kapasitas 30-50 ml. Kandung empedu dibagi menjadi 4 bagian anatomis, yaitu fundus, korpus, infundibulum, dan collum. Dinding kandung empedu terdiri dari otot-otot polos dan jaringan fibrosa dan lumennya dilapisi epitel torak yang banyak mengandung kolesterol dan lemak. Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh lipatan peritoneum viseral. Infundibulum kandung empedu longgar, karena tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan peritoneum.2,3

Gambar 15. Anatomi Kandung Empedu8

Gambar 16. Pembagian Kandung Empedu3

VaskularisasiArteri sistika tunggal biasanya mensuplai darah ke kandung empedu, tetapi 12 % biasa ditemukan arteri sistikus ganda. Asal arteri ini sangat bervariasi. Pada kebanyakan kasus (75%) arteri sistikus berasal dari proksimal arteri hepatika kanan dan segera membagi menjadi 2 cabang. Cabang superfisialis yang berjalan sepanjang permukaan peritoneal

21

Page 30: Majalah Ilmu Bedah

Maj

alah

Ilm

u Be

dah

Mak

assa

r

Pengaturan produksinya dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai duapuluh kali produksi normal kalau diperlukan. 1,2,6,8,9

Hormon sel APUD kolesistokinin (CCK) dari selaput lendir usus halus yang disekresi karena rangsang makanan berlemak atau produk lipolitik di dalam lumen usus, merangsang nervus vagus, sehingga terjadi kontraksi kandung empedu. Demikian CCK berperan besar terhadap terjadinya kontraksi kandung empedu setelah makan.2

C. DUCTUS CHOLEDOCHUSPanjangnya kurang lebih 8,5 cm dengan diameter rata-rata 6 mm, dibentuk oleh persatuan ductus cysticus dan ductus hepaticus communis. Di dalam perjalanannnya terbagi menjadi 4 bagian:• Pars Supraduodenalis, dengan panjang 2 - 5 cm,

terletak pada tepi bebas ligamentum hepatoduodenale, di depan foramen epiploica Winslow, sedikit di sebelah dextroanterior A. hepatica communis dan vena porta.

• Pars Retroduodenalis, dengan panjang 1 - 3,5 cm, berada di sebelah dorsal pars superior duodeni di luar ligamentum hepatoduodenale, berjalan sejajaringan dengan vena porta. Bagian duktus ini ada kemungkinan bebas atau terfiksasi sebagian dengan duodenum.

• Pars Pancreatika, berada disebelah ventral vena renalis sinistra dan vena cava inferior. Pada caput pancreas, ductus choledochus bersatu dengan ductus pancreaticus Wirsungi.

• Pars Intraduodenal, masuk secara menyilang ke duodenum bersama-sama dengan ductus pancreaticus Wirsungi, bermuara ke dinding posterior pars descenden duodeni membentuk Papilla Duodeni Mayor (Vateri) yang pada bagian distalnya dikelilingi oleh otot sfingter Oddi.6

Gambar 18 .Ductus Choledochus3

DAFTAR PUSTAKA1. Sarr, Michael G; Cameron, John. Sistem

Empedu, dalam Sabiston, David C, Buku Ajar Bedah,Jakarta:EGC 1994, hal 115-161

2. Schwartz S, Anatomy of the Extrahepatic Biliary Tract, in: Mangot’s Abdominal Operations, 9th ed, Norwalk:Appleton & Lange;2005.p 1337-1352

3. Skandalakis JE, Colborn GL, Weidman TA, Foster RS, Kingsnorth AN Jr, Skandalakis LJ, Skandalakis PN, and Mirilas PS. Liver. In : Skandalakis, Surgical Anatomy. USA: McGraw-Hill; 2006.

4. Hadi S, Karnihardja N. Kolestasis, dalam: Gawat

darurat di bidang gastro-enterologi. Bandung : FK-Unpad – RS Hasan Sadikin ; 1990, hal 106-114

5. Peitzman, Andrew B., Rhodes, Michael., Schwab, C. Willian., Yealy, Donald M., and Fabian, Timothy C., The Trauma Manual. Second Edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2002. Hal. : 249 – 59.

6. Price, Sylvia A., and Wilson, Lorraine M., Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi Keempat, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 1994. Hal. : 426 – 57.

7. Raftery, Andrew T., Applied Basic Science for Basic Surgical Training, Churchill Livingstone, London. 2000. Hal. : 497 – 504.

8. Beauchamps, Evers, Msttox, Townsend, Sabiston Textbook of Surgery, 18th Edition, 2007

9. Sjamsuhidajat R., and Wim de Jong., Saluran Empedu dan Hati, Pankreas, Dalam : Buku Ajaringan Ilmu Bedah. Edisi Revisi, Penerbit EGC, Jakarta. 2008.

10. Kapit W, Macey R, Meisami E, The Liver and Bile in Digestion, in: The Physiology Coloring Book, Harper Collins Publisher, Inc;1987, p 73

11. White T. Taylor., Mulholland Michael W., and Harrison R. Cameron, Hepatic and Portal Hypertension Sugery, In : Reoperative Gastrointestinal Sugery. Appleton and Lange, California. 1987. Hal. : 135 – 51.

12. Campbell FC. Jaundice. 2003. http://www.qub.ac.uk/cm/sur/webpages/finalyeur/ jaundice/jaundice.html

22

Page 31: Majalah Ilmu Bedah
Page 32: Majalah Ilmu Bedah