MAJALAH HIDAYATULLAH - Rubrik Kajian utama

8

Transcript of MAJALAH HIDAYATULLAH - Rubrik Kajian utama

Page 1: MAJALAH HIDAYATULLAH - Rubrik Kajian utama
Page 2: MAJALAH HIDAYATULLAH - Rubrik Kajian utama

NOPEMBER 2014/MUHARAM 1436 11

KAJIAN UTAMARasulullah beRsabda, “Iman Itu ada 70 cabang lebIh

atau 60 cabang lebIh. Yang palIng utama adalah ucapan la ilaha illallah, dan Yang pa lIng Rendah adalah me­

nYIngkIRkan RIntangan (kotoRan) daRI tengah jalan, se­dang Rasa malu Itu (juga) salah satu cabang daRI Iman”.

(RIwaYat muslIm)

Iman, dengan 70 cabangnYa, adalah pondasI daRI bangunan peRadaban Islam.  Suara hida yatullah akan

me ngupas cabang­cabang Iman InI untuk mengantaRkan kIta kepada cIta­cIta tegaknYa kembalI

peRadaban madInah!

TIM PENULIS: Mahladi (pemimpin Redaksi Kelompok Media hidayatullah),

Hamim Thohari (ketua dewan syura hidayatullah), Hanif Hannan (anggota dewan

syura hidayatullah), Ahkam Sumadiyana (pengurus pimpinan pusat hidayatullah).

Penanggungjawab Rubrik: deka kurniawan. Fotografer: muh. abdus syakur

Cabang iman ke-30

Selamatkan Hidupmu dengan Wara’

11

Dalam hidup ada hal yang halal dan ada yang haram. Sesuatu yang halal tentu saja boleh kita lakukan. Sesuatu yang haram, sudah barang tentu harus kita

jauhi. Namun, ada pula hal-hal yang samar dan tidak secara jelas sebagai larangan. Bukan hitam, juga bukan putih. Orang menyebutnya: wilayah abu-abu.

Dalam agama, perkara yang masih samar itu disebut syubhat. Perkara seperti ini banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pemberian hadiah, misalnya, seringkali sarat dengan penyogokan dan gratifikasi. Bisnis online dan investasi usaha, begitu juga. Seringkali tersamar unsur haramnya. Terhadap perkara syubhat ini, agama menganjurkan hendaknya kita berhati-hati. Jika hati kita merasa ragu, maka segera tinggalkanlah. Sikap ini yang disebut wara’. Dengan sikap ini kita akan terjaga dari unsur haram. Begitu penting sikap ini dimiliki seorang mukmin sehingga Rasulullah menegaskan dalam Hadits yang diriwayatkan Thabrani bahwa kebaikan agama seseorang ditandai dengan sikap wara’. Wallahu a’lam bish-Shawab.

Page 3: MAJALAH HIDAYATULLAH - Rubrik Kajian utama

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com12

Wara’, menurut Al-Harawi, adalah sikap menjauhi maksiat secara optimal dengan penuh hati-hati, serta menjauhi dosa-dosa dengan penuh takzim kepada Allah . Sedang menurut Yunus bin ‘Abid,

wara’ adalah sikap meninggalkan setiap hal yang syubhat (samar-samar dan meragukan) dan mengintropeksi diri setiap kejap mata.

Wara` PemimPin Sikap wara` berlaku untuk setiap hamba. Jika sikap ini ada pada diri pemimpin, maka kemuliaannya akan lebih tinggi. Sebab, pemimpin seperti ini akan menyelamatkan dirinya dan orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin yang wara` akan menghindari semua perbuatan yang mengantar pada kemaksiatan. Jangankan berbuat maksiat, perbuatan yang mubah (boleh) saja akan dihindarinya, jika hal tersebut mengantarkan kepada kemaksiaatan. Karekter asli orang-orang wara’ adalah menjauhi perkara yang haram dan tidak berani melakukan suatu yang dapat membawa dirinya terjerumus kepada perkara yang haram. Begi tu hati-hatinya se-hing ga mereka lebih memilih untuk mening-galkan perkara tersebut. Rasulullah

telah me-negaskan bahwa hukum segala yang halal itu telah jelas. Begitu juga yang haram. Dan, di an tara keduanya, kata Rasulullah dalam Hadits yang diriwayat-kan Bukhari, ada perkara syubhat. Barangsiapa

ber hati-hati dari syubhat tersebut, dia telah membersih-kan dirinya untuk agama dan kehormatannya. Namun, barangsiapa yang terjerumus ke dalam syubhat itu, dia akan terjerumus ke dalam haram, bagaikan peternak yang menggembala di sekitar kawasan terlarang dan nyaris memasuki kawasan tersebut. Perumpamaan ini perlu direnungkan semua pem-impin. Sebab, seorang pemimpin pada dasarnya sedang menggembalakan rakyatnya. Jika rakyatnya dibiarkan mendekati kawasan terlarang, lama kelamaan mereka akan merangsek masuk ke kawasan tersebut, lalu mema-kan rumput dan segala tanaman di sana. Yang paling aman adalah memilih kawasan yang jelas-jelas halal. Karena, batas antara yang halal dan haram itu jelas. Ibarat lahan, pagar yang memisahkan antara area yang boleh dilintasi dengan yang tidak boleh sangat jelas. Pemimpin yang wara’ akan memilih sikap hati-hati. Ia akan menghindari lubang-lubang kecil yang bisa mem-buatnya tergelincir ke dalam lubang yang lebih besar dan dalam. Sebelum berkubang dengan perbuatan dosa, segala hal yang mengantarkan ke arah tersebut dijauhi secara optimal.

KAJIAN UTAMA

Hati-hati, Syubhat Jebakan Haram

Page 4: MAJALAH HIDAYATULLAH - Rubrik Kajian utama

NOPEMBER 2014/MUHARAM 1436 13

sudah tidak peduli halal dan haram. Yang haram saja tak dipedulikan, apalagi yang syubhat. Mereka juga tak segan-segan menghambur-hambur-kan hartanya untuk biaya kampanye dan mengiklankan diri. Mereka tanpa malu membangun citra diri yang jauh dari jati diri sebenarnya. Syahwat untuk menonjolkan diri, baik untuk menda-patkan jabatan atau sekadar mendapatkan pujian, benar-benar telah banyak menelan korban. Betapa banyak pemimpin yang terperosok jatuh ke ju-rang kehinaan akibat ketamakannya. Mereka selalu haus pujian dan sanjungan. Mereka ingin selalu menonjol.

Jauhi Kesia-siaan Orang yang memiliki sifat wara` akan selalu men-jaga dirinya agar tidak jatuh pada perbuatan yang sia-sia. Dalam berucap, ia sangat berhemat. Tidak menghambur-hamburkan kata-kata kecuali yang baik dan benar. Ia juga pandai memilih kata-kata yang tidak menying-gung perasaan orang lain. Ia juga mengetahui di mana, kapan, dan kepada siapa berbicara. Orang yang wara` akan menjauhi kebencian, iri hati, ghibah, dan namimah. Semua perbuatan tersebut hanya akan mendatangkan kebangkrutan. Suatu ketika Rasulullah bertanya kepada para Sahabat, “Tahukah kamu siapakah orang yang bangkrut itu?” Para Sahabat menjawab, “Orang yang tidak mempu-nyai dirham atau harta sama sekali.” Lalu beliau menjawab, “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari Kiamat dengan membawa pahala shalat, shaum, dan zakat, namun dia juga suka mencela ke sana ke mari, men-uduh berzina, memakan harta orang lain, menumpahkan darah, dan suka memukul.” Sebagian kebaikan dari orang tersebut, kata Rasulullah

sebagaimana dikutip dari Hadits riwayat Muslim, akan diberikan kepada orang-orang yang telah disakiti-nya. Apabila kebaikannya telah habis sebelum selesai semua yang menjadi tanggungannya, maka diambillah kesalahan-kesalahan orang yang disakiti dan ditimpakan kepadanya. Terakhir, dia dilemparkan ke dalam neraka. Orang yang wara`’ akan menghindari segala perbuatan sia-sia. Mereka akan menjauhi segala perbuatan yang tidak mendatangkan manfaat dan kebaikan. Duduk-duduk yang tidak mendatangkan pahala akan dijauhi, sekalipun tidak menggunjing. Mereka gunakan waktu sebaik mungkin untuk berzikir, membaca al-Qur’an, belajar atau menga-jar, menyeru berbuat baik (makruf) dan mencegah dari perbuatan mungkar. Rasulullah bersabda, “Termasuk baiknya keislam-an seseorang adalah meninggalkan semua yang tidak bermanfaat.” (Riwayat Shahih Jami’ Shaghir) Wallahu a’lam bish-Shawab.

Misalnya, menerima hadiah. Pada dasarnya hal ini mubah. Tetapi bagi seorang pemimpin harus hati-hati saat menerima hadiah. Bisa jadi hadiah yang diterima tersebut meruapakan “sogokan”. Kebiasaan menerima hadiah bagi seorang pemimpin bisa membentuk kebiasaan pamrih, juga membangun karakter korupsi. Bersikap hati-hati merupakan solusi terbaik yang ditawarkan Islam. Bagi pemimpin yang beriman, Allah telah membe-rinya peringatan (warning) berupa perasaan “tidak enak” ketika menerima sesuatu yang meragukan. Pada saat seperti itu seorang pemimpin langsung bertindak untuk menyetop pemberian tersebut. Benarlah nasihat Rasulullah , “Tinggalkan yang meragukan kepada yang tidak meragukan.” (Riwayat Turmudzi) Pemimpin yang wara’ akan meninggalkan segala hal yang haram dan bersikap hati-hati pada semua hal yang masih syubhat. Bagi pemimpin yang hatinya bersih, segala yang meragukan akan mendatangkan kegelisahan dan kerisauan. Hatinya menjadi tidak tenang. Rasulullah bersabda, “Kebaikan adalah sesuatu yang dapat menenangkan jiwa dan hati, sedangkan dosa adalah sesuatu yang tidak dapat menenangkan jiwa dan hati, sekalipun para ahli fatwa memberikan fatwa kepadamu.” (Riwayat Ahmad, Thabrani dan Baihaqi) Akan tetapi, pemimpin yang hatinya kotor dan tercemar oleh berbagai kemaksiatan, hatinya tidak akan mampu menangkap “sinyal” berupa kerisauan hati. Mereka tetap merasa aman ketika berbuat dosa. Ibarat listrik, sekringnya tidak berbunyi saat konslet. Saat ini kita membutuhkan pemimpin yang sensitif, yang hatinya peka terhadap segala hal yang memba-hayakan diri dan kehidupan orang banyak. Sebelum api membakar seluruh rumah dan bangunan sekitarnya, ia siapkan pemadam kebakaran.

Dua KetamaKan Ada dua ketamakan yang siap menghancurluluhkan pertahanan iman seseorang, yaitu ketamakan terhadap harta dan ketamakan terhadap jabatan Rasulullah bersabda, “Tidaklah dua serigala lapar yang dilepas dalam kumpulan domba lebih ganas memang sa domba-domba itu dibandingkan ketamakan seseorang akan kedudukan dan harta terhadap agama-nya.” (Riwayat Shahih Jami’ Shaghir) Seseorang yang tamak terhadap harta akan menghalal-kan segala cara untuk mendapatkannya. Tak peduli harus menggadaikan harga diri dan kehormatannya. Jika miskin, ia tak malu meminta-minta. Jika seorang pedagang, ia tak malu menipu dan memanipulasi. Harta sering kali membuat orang gelap mata. Ada anggapan barang yang haram saja sulit dicari, apalagi yang halal. Ini potret buram ketamakan manusia. Mereka

Page 5: MAJALAH HIDAYATULLAH - Rubrik Kajian utama

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com14

Terhadap hal ini, Allah berfirman:

k l m n o Dan janganlah sebagian kamu memakan harta seba-gian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil … (Al-Baqarah [2]: 188) Sikap Rasulullah yang amat berhati-hati terhadap perkara syubhat patut kita contoh. Dengan berhati-hati dan berusaha meninggalkan hal-hal yang syubhat, kehor-matan dan agama seseorang akan selamat. Kalaupun ia tanpa sadar terlanjur melakukan hal yang syubhat, segera sadar dan tidak meneruskannya. Karena orang yang membiarkan dirinya terjerumus pada perkara syubhat, akan mudah terjerumus kepada perkara haram. Banyak hal yang kelihatannya kecil, karena dibiarkan bisa menjadi persoalan besar. Misalnya, kebiasaan mem-buang puntung rokok sembarangan. Bahkan tak jarang orang membuang puntung rokok dalam keadaan menyala. Pikir mereka, toh akan mati dengan sendirinya. Lagi pula, tidak ada yang menggubrisnya. Padahal, tabiat sepele seperti itu bisa berakibat fatal. Rumah bisa hangus, dan hutan bisa terbakar. Karena itu waspadalah! Bukan sekadar aturan formal yang bisa mencegah kita mendekati bahaya, tetapi ikatan moral bisa pula mendorong kita berhati-hati. Meski tidak ada larangan secara tegas, naluri kita bisa merasakan adanya potensi-potensi bahaya. Dengan berhati-hati, kita bisa menghindari potensi bahaya tadi. Sebaliknya, dengan sembrono kita akan gampang menuai masalah di kemudian hari. Mereka yang sampai melakukan dosa besar, mungkin pada mulanya tidak berencana melakukan itu. Keadaan seperti ini pernah dialami seorang rahib yang saleh dari Bani Israil. Pada suatu hari seorang wanita datang kepadanya untuk berobat. Mulanya sang rahib merasa keberatan. Ia khawatir ini bisa menjadi pintu masuknya kemaksiatan. Tetapi karena wanita itu memaksanya, ia pun melu-nak. Saat mengobati dan mereka berdua saja, setan mulai menggodanya. Terjerumuslah keduanya dalam kemaksia-tan. Bahkan, sang wanita itu hamil. Saat itulah sang rahib panik. Ia takut kejahatannya terkuak dan dapat menghancurkan kehormatannya. Setan lalu membujuknya agar membunuh wanita ini. Sang rahib termakan bujukan tersebut. Kehormatan dan kesalehan-

Suatu ketika, Rasulullah terjaga dari tidur. Beliau mendapati kurma di sampingnya. Beliau mengambil dan memakannya. Namun sampai akhir malam, beliau tidak bisa tidur. Beliau membolak-balikkan tubuh di atas

ranjang sambil mengerang. Sampai-sampai istri beliau terkejut dan bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau tidak bisa tidur semalaman?” Beliau menjawab, sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Ahmad, “Aku menemukan kurma di sam-pingku dan memakannya. Aku khawatir ia merupakan kurma sedekah.” Itulah kehati-hatian Rasulullah . Kurma yang terlan-jur beliau makan, membuat beliau tidak bisa tidur. Padahal sebutir kurma belum pasti haram. Bahkan mungkin saja halal. Apalagi Rasulullah ketika itu baru saja terban-gun. Wajar bila ia tak teliti dengan keadaannya saat itu. Pastilah orang-orang akan memaafkannya bila memang beliau salah. Namun, tidak bagi Rasulullah . Keadaan seperti itu saja telah membuatnya resah berkepanjangan. Beliau kha-watir, jangan-jangan kurma yang sudah terlanjur dimakan itu merupakan sedekah. Rasulullah memang boleh menerima hadiah, tetapi tidak boleh menerima sedekah. Lalu bagaimana dengan kita andai mengalami kejadian serupa? Sudahkah kita mengikuti jejak Sang Teladan umat?

menJauhi syubhat Riba sudah pasti haram. Karena itu, seorang Muslim yang taat, tak akan mau menikmati uang riba hasil ren-tenir. Namun bagaimana bila kita ditawari “berinvestasi” oleh seorang pengusaha? Apalagi pengusaha itu men-janjikan keuntungan 10 persen per bulan dari uang yang disetorkan. Apakah kita akan menerima? Atau, apakah terbesit keraguan dalam hati kita untuk menerimanya? Tawaran berinvestasi seperti ini sudah lama marak. Keuntungan yang diberikan bersifat flat (tetap) dan jumlahnya besar. Tak akan rugi. Bahkan, hanya dengan bersantai uang akan datang sendiri. Namun Muslim sejati tak akan tergiur dengan iming-iming seperti ini. Ia pasti akan merasa ragu. Dalam hat-inya akan bertanya, jenis usaha apa yang bisa menjanjikan keuntungan sebesar itu? Jangan-jangan ada pihak lain yang dirugikan. Keragu-raguan itulah yang memutuskan-nya untuk menolak tawaran itu.

Jangan Abaikan Sinyal-sinyal Itu!

KAJIAN UTAMA

Page 6: MAJALAH HIDAYATULLAH - Rubrik Kajian utama

NOPEMBER 2014/MUHARAM 1436 15

nya hancur dalam sekejap. Ini semua bermula dari syubhat. Oleh sebab itu, jangan bermain-main dan memandang remeh syubhat. Ia bisa menjerumuskan kita pada perkara haram dan dosa yang berujung neraka.

sinyal Wara’ Saat muncul perasaan risih mau melakukan sesuatu yang kurang pantas dalam pandangan agama, segera jauhi perbuatan itu. Perasaan risih ini ibarat sinyal yang memberi peringatan agar kita tidak mendekatinya. Jika terlanjur melakukannya, segera istighfar dan memperbaiki diri. Dengan begitu kita telah memelihara kehormatan diri dan agama kita. Perasaan risih inilah, dalam bahasa agama disebut wara’. Ia merupakan cabang iman. Asal arti kata wara’ ada-lah menahan diri dari yang diharamkan. Kemudian dipin-jam untuk istilah menahan diri dari hal yang diboleh kan dan halal. Salah satu contoh, kebiasaan memakai mobil dinas untuk keperluan pribadi. Bila telah terbiasa, mungkin kita tak akan merasa risih. Tetapi seorang aparat yang hati-hati, akan ada perasaan risih karena ia telah menggunakan sesuatu di luar tugas semestinya. Dia merasa lebih tenang memakai mobil pribadinya atau memakai kendaraan umum. Meski teman-temannya menganggap biasa, ia tetap saja ada perasaan ragu dan tidak nyaman memakai mobil

plat merah itu di luar jam kerjanya. Hati yang jernih me-miliki kepekaan seperti itu. Rasulullah bersabda, “Yang dimaksud perbuatan birr (terpuji) adalah akhlak yang baik. Adapun dosa ada-lah apa yang meragukan dirimu sekalipun orang-orang mendukungmu.” (Riwayat Muslim). Meminjam istilah Al-Ghazali, takwa memiliki lahir dan batin. Maka untuk mencapai batinnya takwa adalah dengan wara’. Seorang yang bersikap wara’ tidak hanya melaksana-kan hal yang lahir tapi juga memperhatikan yang batin. Sebagaimana kata Ibnu Umar, tidaklah seorang hamba mencapai hakikat ketakwaan sampai ia meninggalkan apa yang meragukan hatinya. Kebaikan agama seseorang adalah ditandai dengan wara’. Sebagaimana sabda Rasulullah , “Keutamaan ilmu lebih baik dibandingkan keutamaan ibadah. Dan kebaikan agamamu adalah wara’. ” (Riwayat Thabrani). Beruntunglah orang yang bersikap wara’. Seorang yang wara’ akan bisa memelihara kehormatan diri dan agamanya. Jika dia seorang pemimpin, akan disegani bawahannya. Saat pimpinannya secara tegas tidak me-makai mobil dinas untuk urusan keluarga, bawahannya juga akan segan melakukan hal serupa. Bukan hanya itu. Mereka yang mau mencoba main mata untuk menyuap juga merasa segan. Kalau yang abu-abu saja dijauhi, apalagi yang jelas-jelas hitam. Wallahu a’lam bishshawab.

Page 7: MAJALAH HIDAYATULLAH - Rubrik Kajian utama

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com16

Peradaban modern telah mendorong manusia hidup larut dalam egoisme, kesombongan, dan ambisi materi. Mereka terkungkung oleh sikap kepura-puraan, kefasikan, dan penghambaan kepada hawa nafsu.

Bersikap wara’ terhadap kehidupan dunia, pada saat manusia berlomba-lomba menguasainya, menjadi so-lusi agar umat Islam tidak larut dalam arus materialisme. Maka, sebagai wujud rasa sayang, Allah menuntun manusia secara konkrit dengan menjelaskan hakikat kehidupan melalui firman-Nya:

? > = < ; : 9 8 H G F ED C B A @

RQ P O N M L K J I \ [Z Y X W V U T S

a ` _ ^ ] “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu, serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning, kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta kerid-haan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al-Hadiid [57]: 20) Hanya saja, bersikap wara’ bukan perkara mudah. Lalu, bagaimana merealisasikan sikap ini? Apa pula lang-kah-langkah yang bisa kita tempuh? Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mari simak teladan manusia-manusia pilihan. Pertama, Rasulullah . Suatu hari, cerita Anas RA, Rasulullah melintasi suatu jalan. Beliau melihat kurma dan berkata, “Sekiranya aku tidak khawatir kurma itu berasal dari sedekah, niscaya aku akan memakannya,” (Bukhari dan Muslim). Cerita ini menunjukkan betapa berhati-hatinya Rasulullah terhadap perkara yang masih samar. Kedua, Abu Bakar as-Shiddiq. Menurut Aisyah RA, Abu Bakar memiliki seorang budak yang diberi tugas mengumpulkan keuntungan dari usaha-usahanya. Dari hasil itulah Abu Bakar makan.

KAJIAN UTAMA

Pada suatu ketika, budak itu datang membawa ma-kanan. Abu Bakar pun memakannya. Kemudian budak itu berkata, “Tahukah engkau apa yang sedang engkau makan?” “Apa ini?” tanya Abu Bakar. “Ketika di masa jahiliah dahulu aku menjadi para-normal untuk seseorang, padahal aku tidak mengerti perdukunan. Aku hanya membodohinya saja. Dia mem-beriku imbalan. Yang sedang engkau makan itu termasuk hasil darinya,” jelas sang budak. Abu Bakar segera memasukkan jarinya ke dalam mulutnya dan memuntahkan segala yang telah masuk ke dalam perutnya.” (Riwayat Bukhari). Ketiga, Ali Bin Abi Thalib. Seseorang yang berasal dari Tsaqif bercerita bahwa Ali menugaskan Abdullah bin Umair memimpin daerah Akbari, bagian dari wilayah Kufah. Suatu hari Ali meminta kepada Abdullah untuk shalat Zuhur di rumahnya. Abdullah menerima. Ketika sampai di rumah Ali, Abdullah mendapati sebuah cawan berisi air dan cangkir. Lalu Ali meminta dibawakan ‘bathiah’ (mangkok). Ia membuka tutupnya dan makan dengan rebusan air kacang. Abdullah berkata kepada Ali, “Wahai Amirul Muk-

Tips Menghidupkan Sikap Wara’

Page 8: MAJALAH HIDAYATULLAH - Rubrik Kajian utama

NOPEMBER 2014/MUHARAM 1436 17

minin, engkau mengkonsumsi seperti ini di Iraq, padahal Iraq memiliki makanan yang lebih dari ini.” Ali berkata, “Demi Allah, tidaklah aku lakukan hal ini karena bakhil terhadap makanan. Engkau tahu bahwa tidak ada yang lebih menjaga milikku dari pada aku. Aku tidak suka mengadakan sesuatu yang tidak aku miliki. Dan aku tidak suka memasukkan sesuatu ke dalam pe-rutku kecuali yang baik.” (Kitab al-Wara’, Ibnu Abi Dunya, nomor 58). Tiga kisah ini memberi teladan kepada kita bagaimana seharusnya melawan materialisme yang menjadi loko-motif kehidupan dunia. Nah, agar kita bisa meneladani mereka, kita perlu memahami beberapa hal berikut: Pertama, bersikap hati-hati terhadap siapa saja yang menjadikan Islam sebagai permainan dan jangan tertipu oleh dunia. Firman Allah :

. / 0 1 2 3 4 5 67 8 9 : ; < = >

“Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda-gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkan-lah (mereka) dengan Al Qur’an itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbua-tannya sendiri…” (Al-An’am [6]:70). Kedua, kita harus yakin bahwa kehidupan dunia ini semata-mata hanya tipuan belaka. Allah berkata dalam al-Qur’an surah Al-A’raaf [7] ayat 51 bahwa orang-orang yang menjadikan agama se-bagai permainan dan senda gurau maka pada hari kiamat nanti, Allah akan melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan hari pertemuan mereka dengan Allah

. Ketiga, pentingnya mengetahui cara pandang orang-orang kafir terhadap dunia agar kita tidak mengikutinya. Di dalam al-Qur`an surah Al-Baqarah [2] ayat 212 dijelaskan bahwa Allah telah menjadikan kehidupan di dunia indah dalam pandangan orang-orang kafir. Mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal, orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari Kiamat kelak. Keempat, senantiasa menolak keinginan syahwat yang mengutamakan kehidupan dunia. Allah , dalam al-Qur`an surah Ali-Imran [3] ayat 14 juga menjadikan indah dalam pandangan manusia, apa-apa yang mereka inginkan, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.

Kelima, utamakan kehidupan akhirat daripada dunia. Firman Allah :

b c d e f g h i j kl m n o p q r s t

u v w xy z {

“Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang-siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Ali-Imran [3]:145). Keenam, yakini bahwa kehidupan dunia hanya semen-tara, sedangkan akhirat kekal dan selama-lamanya. Allah telah mengingatkan manusia akan hal ini da-lam al-Qur`an surat Al-Anam [6] ayat 32. Kata Allah , tidakkah manusia paham bahwa kehidupan dunia ini tak lain hanyalah bermain-main dan bersenda gurau belaka? Kampung akhirat itu jauh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Ketujuh, hakikat harta dan anak-anak adalah ujian bagi kita. Allah berpesan dalam al-Qur`an surah At-Taubah [9] ayat 55, bahwa manusia tak boleh terlena dengan harta benda dan anak-anak. Sebab, kata Allah , boleh jadi harta benda dan anak-anak tersebut bisa menyiksa mereka dalam kehidupan dunia ini, serta di akhirat kelak. Kedelapan, hati kita tidak boleh dilalaikan dengan urusan dunia. Lagi-lagi Allah mengingatkan orang-orang beriman dalam al-Qur`an surah Al-Munafiquun [63] ayat 9 bahwa mereka tak boleh dilalaikan oleh harta dan anak-anak dari mengingat Allah . Barangsiapa berbuat lalai, kata Allah

, mereka akan menjadi orang-orang yang merugi. Bagaimana menyikapi keragu-raguan dalam masalah hukum: halal atau haram? Imam Nawawi memiliki ki-atnya. Menurutnya, jika muncul keragu-raguan akan halal atau haramnya sesuatu, sedangkan tidak ada dalil tegas dan tidak ada pula ijma’, lalu orang-orang yang punya kemampuan berijtihad mencoba berijtihad dengan meng-gandengkan hukum pada dalil, dan hasilnya ada yang halal namun masih ada yang tak jelas hukumnya, maka sikap wara’ adalah meninggalkan yang masih meragukan tersebut. Sikap wara’ seperti ini termasuk dalam sabda Nabi , “Barangsiapa yang selamat dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” (Ri wa -yat Muslim). Wallahu a’lam bishshawab.