Majalah ETNONESIA

18
29 Desember 2012 - 19Januari 2013

description

Majalah etnonesia merupakan majalah yang fokus pada tema-tema budaya, sejarah, serta permasalahan sosial.

Transcript of Majalah ETNONESIA

Page 1: Majalah ETNONESIA

29 Desember 2012 - 19Januari 2013

Page 2: Majalah ETNONESIA
Page 3: Majalah ETNONESIA

Siang ini, terika matahari terasa menyengat di Pelabuhan Sunda Kelapa. Ditambah debu yang diterpa angin cukup kencang membuat rasa tidak nyaman berada di pelabuhan semakin terasa. Namun, dalam kondisi

seperti ini Pelabuhan Sunda Kelapa tetap dipenuhi kapal-kapal yang sedang bongkar muat. Ditambah keberadaan pelabuhan yang merupakan satu ke-satuan dalam paket wisata Kota Tua Jakarta, menjadi semakin ramainya pelabuhan oleh para pelancong baik dalam maupun luar negeri.

Bugis Menatap Laut

3

Page 4: Majalah ETNONESIA

Tak begitu lama, datanglah seorang pria tua yang berperawakan kurang terawat lalu me-nyapa saya, menawarkan paket wisatanya berupa jalan-jalan naik perahu kecil mengel-ilingi pelabuhan. Tawar menawar harga terjadi, tak begitu lama sang pria tua menyetu-jui tawaran saya. Muncul kekawatiran saya saat hendak menaiki perahu kecil tersebut. Ditambah hembusan angin kencang serta keadaan air laut yang kotor.

Perahu kecil mulai didayuh pria tua tersebut, sembari ia melaksanakan tugasnya ia ban-yak bercerita bahwa kini hasil yang didapatnya dalam mengantarkan turis jalan-jalan naik perahu kian merosot, juga harga perahu seperti miliknya yang kian mahal dipasa-ran membuatnya sulit untuk melakukan pembaruan pada perahunya. Tak lupa, pria tua tersebut mengatakan bahwa ia adalah asli bugis, suatu suku yang tersebar sebagaian besar di Sulawesi dan memang terkenal pandai dalam berlayar dilautan luas.

Suku Bugis

Suku Bugis atau orang Bugis merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indone-sia. Suku ini berasal dari Sulawesi Selatan, namun seiring dengan proses perpindahan penduduk, persebaran demografi masyarakat Bugis seakan tersebar merata hampir pelosok Indonesia. Dalam sejarahnya, suku ini mendiami beberapa wilayah diantarnya Kabupaten Bulu Kumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Sindenreng-Pappang, Polewali-Mamasa, Luwu, Pare-pare, Barru, Pangkajene, dan Maros.

Suku Bugis memiliki bahasanya tersendiri yang dinamai sama dengan nama sukunya yakni Bahasa Bugis. Bahasa ini masih keluarga dari bahasa Austronesia Barat dan memi-liki beberapa dialek seperti Luwu, Wajo, Palakka, Enna, Soppeng, Sinderang, Pare-pare, Sawitto, Telumpanuae, dan Ugi. Sistem bahasa mereka pula didukung dengan aksara Lontara yang berasal dari huruf Sansekerta.

Dalam sistem kekerabatannya, suku Bugis menerapkan sistem yang mereka namai Ade Asseajingeng. Dalam sistem ini, peranan pencarian jodoh dalam pembentukan keluarga baru sangat ditonjolkan. Mereka juga menggolaongkan sistem kekerabatan yakni kera-bat sedarah dan kerabat pertalian atau sumpung lolo.

Perahu Phinisi

Dalam sejarahnya, Sulawesi Selatan sangat termasyur akan kehebatan dan ketangguhan mereka dalam membuat perahu. Phinisi, merupakan perahu yang sangat melegenda di Indonesia. Perahu ini merupaka perahu tradisional masyarakat Sulawesi Selatan. Kini, proses pembuatan perahu tradisional Phinisi terdapat di Semenanjung Bira Kababu-paten Bulukumba. Proses pembuatan perahu Phinisi lebih berdasarkan pengalaman.

4

Page 5: Majalah ETNONESIA

Konon pembuat pertama perahu Phinisi adalah Sawaregading putra mahkota Kerajaan Luwu, Perahu Phinisi tersebut pecah dipantai luwu dan pecahannya tersebar di 3 tem-pat berbeda. Lambung Phinisi terdampar di Desa Ara, Haluan dan Buritan Phinisi ter-dampar di Desa Lemo-Lemo, dan layarnya di Desa Bira.

Akhirnya, penghuni ketiga desa diyakini mewarisi keterampilan membuat perahu Phin-isi. Uniknya dalam proses pembuatan perahu Phinisi rangka dipasang setelah kulit per-ahu tersusun dan hal demikian merupakan kebalikan dari lazimnya membuat sebuat perahu.

5

Page 6: Majalah ETNONESIA
Page 7: Majalah ETNONESIA
Page 8: Majalah ETNONESIA

Indonesia merupakan negara dengan 2/3 wilayahnya adalah bagian perairan. Tak meng-herankan, jika meniliki penelitian yang telah dilakukan para ilmuan menyatakan bahwa, praktek-praktek penguasaan laut tersebar dari ujung barat (Aceh) hingga daerah-dae-rah Indonesia bagian timur (Kei, Tanibar, Halmahera, dll).

Melihat lebih jauh mengenai Hak Ulayat Laut tak berbeda dengan konsep Tanah Ulay-at. Perbedaan hanya pada elemen Hak Ulayat tersebut diberikan. Tanah atau Perairan/Laut. Salah satu temuan Hak Ulayat Laut terdapat di desa Sathean. Desa Sathean meru-pakan sebuah desa yang terdapat di kecamatan Pulau-pulau Kei Kecil, Maluku Teng-gara. Desa Sathean dipimpin oleh seorang pemimpin/kepala desa yang mereka sebuat Orang Kaya. Desa Sathean terbagi atas dua kampong, yakni kampung Besar dan Kam-pung Baru. Kampung Besar dihuni oleh orang-orang yang mereka akui sebagai orang asli, sedangkan kampong Baru merupakan kampong yang dihuni orang-orang perantau.

Hal unik yang ada di dua kampong dalam satu desa ini adalah perbedaan orientasi hidup mereka. Jika di kampung besar, penduduk setempat berorientasi pada persawa-han/pertanian dengan memanfaatkan tanah sebagai tempat bercocok tanam. Berbeda dengan kampong baru, mereka lebih memilih laut sebagai sumber penghasilan mereka. Tak mengherankan, kampong baru yang merupakan kampong pendatang dihuni keban-yakan oleh suku Bugis, suku yang terkenal tangguh mengarungi lautan. Namun, secara kekerabatan antara kampong besar dan kampong baru terdapat hubungan diantara keduanya. Menilik sejarahnya, pendiri kampung baru merupakan keluarga keturunan pihak ayahnya berasal dari bugis, sementara pihak ibu berasal dari kampung besar.

Hak Ulayat Bukan Cuma di Darat Hak Ulayat Laut

8

Page 9: Majalah ETNONESIA

Konsep Hak Ulayat laut yag terdapat di desa sathean merupakan penjabaran dari kon-sep petuanan. Konsep ini berakar pada sistem pemerintahan tradisional dahulu. Pada zaman kolonial, Belanda menamakan ratschap pada sistem pemerintahan tradisional di sathean. Dalam sistem pemerintahan ini, dipimpin oleh seorang raja (rat) yang mem-bawahi beberapa desa (kampung/ohoi) yang dipimpin oleh seseorang dengan bergelar Orangkaya. Desa sathean sendiri merupakan sebuah desa yang kedudukannya dibawah ratschap Ibra.

Nah, dalam raschap inilah penguasaan wilayah tertentu mereka sebuat sebagai petu-anan. Wilayah yang terlingkup dalam konsep petuanan bukan hanya wilayah daratan melainkan pula wilayah lautan. Batas wilayah daratan biasanya merupakan batas alam seperti pohon dan sebagainya. Sedangkan batas lautan biasanya merupakan batas ima-jiner/rekaan, seperti melihat batas laut dengan menariknya dari batas darat hingga bats laut dangkal dengan laut dalam. Dalam penentuan laut dangkal dan laut dalam didasar-kan pada warna pada lautan. Terkadang, mereka hanya menentukan bats lautan dari “sebatas pandangan mata” saja.

Dengan control penuh dari raja, wilayah petuanan merupakan wilayah komunal yang bisa dimanfaatkan siapa saja penduduk wilayah tersebut. disinilah Hak Ulayat Laut ter-lihat, control terhadap eksploitasi kekeyaan laut hanya sebatas pada masyarakat setem-pat saja. Jika ada warga wilayah lain yang hendak memanfaatkan kekeyaan laut di desa Sathean, biasanya diperundingkan masalah semacam pembayaran untuk izin. Izin ini mereka sebut sebagai ngasi. Uang hasil ngasi tersebut dipergunakan untuk kepentingan pemerintah desa.

9

Page 10: Majalah ETNONESIA
Page 11: Majalah ETNONESIA
Page 12: Majalah ETNONESIA

Kokok ayam belum bersuara ditambah syair-syair adzan subuh belum juga terdengar, saya sudah memberanikan diri untuk pergi berlibur ke pantai. Tentunya waktu sudah bukan berada di kisaran dini hari, melainkan hendak menyapa subuh yang cukup dingin meskipun itu berada di Jakarta.

Sabtu, adalah hari yang pas untuk berpergian guna melepas penat dari segala aktivitas kerjaan sehari-hari. Saya berangkat saat angin subuh hendak menghebus adalah sebuah perkiraan awal agar saya tidak terjebak kemacetan di perjalanan. Destinasi yang saya rencanakan adalah sebuah pantai di ujung barat pulau Jawa. Yaa, di pantai Anyer saya hendak berlibur.

Backpacker adalah cara paling bijak dan menyenangkan untuk menghabiskan hari libur saya. Mulailah saya menggunakan angkutan umum atau lebih tepatnya saya menaiki an-gkot (angkutan kota) guna mengantarkan saya ke terminal Kampung Rambutan yang

Anyer, Destinasi Cepat Backpacker

12

Page 13: Majalah ETNONESIA

terletak di Jakarta Barat. tak terlalu mahal, Rp. 4.000 saya bayar untuk jarak yang menu-rut saya cukup sepadan dengan harga tarif tersebut.

Tak perlu sampai terminal rupanya, saat berada di pasar Rebo, terlihat Bus Primajasa jurusan Jakarta Merak yang akan mengantarkan saya menuju lokasi. Yup, Jakarta Merak merupakan rute angkutan yang harus dilalui. Tarifnya pun hanya Rp. 18.000. Tak perlu sampai Merak, melainkan hanya sampai Cilegon saja. Di perjalan, karena waktu masih pagi, saya banyak melihat penumpang turun sembarang di ruas Tol Jakarta Merak. Nam-paknya mereka merupakan para penglaju yang hendak bekerja di sekitaran jalan Tol tersebut. selayang pandang memang benar bahwa banyak sekali pabrik-pabrik yang berdiri disana.

Karena masih pagi, waktu tempuh seakan lebih cepat. Saya akhirnya sampai di Cilegon, tepatnya di terminal (bayangan) di kota Cilegon. Sesampainya disana, saya cukup kebin

gungan sedikit mencari angkot yang bisa saya naiki. Tak begitu lama kebingungan itu nampaknya, terlihat angkot berwarna ungu siap mengantarkan saya. Namanya angkot PCI, entah itu nama daerah tujuan atau nama (perusahaan) angkot tersebut. saya me-naikinya hanya sampai masjid angung di Cilegon.

Selanjutnya, selepas turun dari angkot PCI berwarna ungu, saya melanjutkannya dengan menaiki angkot berwarna Silver. Tak kurang, 1 jam kemudian akhirnya saya bisa meng-hirup udara pantai. Tarif angkot yang saya tumpangipun nampaknya sepadan dengan jarak serta tantangan yang penuh liku jalur Cilegon Anyer. Ditambah aktivitas pabrik Kratau Steel, Rp. 10.000 memag layak saya bayar.

Tak terasa memang, saya turun di sampaing hotel Marbela yang memang memiliki akses langung ke pantai. Sampai disini? Nikmatilah pantainya!

1312

Page 14: Majalah ETNONESIA

Cerita singkatnya sih gini. Jadi, Paijo (Indrojoyo Kusumonegoro) enggak sengaja ketemu sama Slamet (Wahyu Sardono) di dalam kereta. Ternyata, mereka berdua punya tujuan yang sama: pengen nimba ilmu di Jakarta. Setelah mereka diantar oleh supir taksi yang salah nganterin mereka ke tempat lokalisasi pelacuran, akhirnya mereka mendapatkan tempat inde-kost yang dimiliki oleh Tante Mira (Rahayu Effendi) serta pembantu cantik yang bernama Halimah (Elvy Sukaesih). Kedua pemuda itupun ketemu dengan senior mereka yang bernama Poltak (Nanu Mulyono) dan Sanwani (Kasino Hadiwibowo).

Cerita semakin lucu ketika mereka berempat saling mengejek satu sama lain (Sanwani S. A. yang asli Betawi dikatain kasarlah sama si ‘Medok’ Slamet, Slamet yang dikatain muka bemo sama Poltak, dan sebagainya) serta mereka akhirnya bekerjasama untuk menyelesaikan beberapa masalah seperti berjuang mencari uang karena orang tua ma-sing-masing pemuda itu tidak mau mengirim uang lagi (Slamet mendapatkan uang me-lalui jasa fotografi, Paijo melalui jasa supir taksi Blue Bird, dan Sanwani-Poltak melalui jasa mengamen) serta kasus Halimah yang dihamili oleh calon suami Tante Mira yang bernama Om/Tuan Sugeng (Kusno Sujarwadi).

Dari komedi yang mereka paparkan, apa sih pelajaran gak langsung yang dapat kita pe-tik. Seenggak-enggaknya film ini ngasih kita tiga pelajaran tentang Jakarta saat ini lho, percaya enggak percaya. Pertama, Jakarta penuh godaan wanita. Kedua, Jakarta penuh godaan uang. Ketiga dan yang terakhir, Jakarta penuh dengan godaan permusuhan kare-na setiap orang punya pemahaman terhadap pengalamannya yang beda-beda.

Pertama, Jakarta penuh dengan wanita seksi. Ya, kalo enggak seksi, cantiklah. Karena, Jakarta kan kota yang isinya itu punya macem-macem orang. Maksudnya, banyak orang dari mana-mana itu masuk ke Jakarta buat cari kehidupan yang lebih baik, termasuk ce-wek. Jadi, cewek-cewek ini juga bakalan beragam, dan juga bakalan cantik-cantik. Seksi-seksi. Sedap, okepunya deh.

Belum lagi, Jakarta kan kayak yang tadi udah dibilang adalah kota. Kota itu punya ban-yak fasilitas bagus tapi langsung didapetin dari luar negeri, atau seenggak-enggaknya ide-ide tentang pembuatan fasilitas itu juga gak jarang ditiru. Contohnya yang nyam-bung sama ini nih: salon. Salon emang budaya asli Indonesia? Salon itu asalnya dari negara-negara bule. Belum lagi yang lebih gak sempet kepikiran di kepala kita, kayak

Mana Tahan (Jakarta)!

14

Page 15: Majalah ETNONESIA

gaya hidup (life style) seperti langsing itu cantik – rajin-rajinlah diet atau ikutin kegiatan tertentu lainnya agar perut singsep. Abis singsep, banyak cowok yang tertarik sama diri ini! Abis itu, jadilah cowok-cowok di Jakarta itu sekedar.... Piala bergilir.... No offense... Just Kidding.

15

Page 16: Majalah ETNONESIA

Kedua, Jakarta adalah kota matre. Matre itu asalnya dari kata bahasa Inggris: matter yang artinya sesuatu yang dianggap berharga secara ekonomis. Yup, ekonomis di sini artinya palingan enggak jauh-jauh dari urusan per-duit-an itu sendiri. Betul aja. Di Ja-karta itu, apa-apa mesti pake uang. Hampir di segala aspek, kecuali bernapas, berdetak jantung, bahagia, dan sebagainya yang gak mesti dibayar pake duit alias uang. Jakarta itu serba mahal. Sekali kaya, kaya banget. Sekali miskin, ya miskin juga.

Ketiga, Jakarta itu banyak godaan permusuhan. Ya, ini disebabkan oleh bermacam-ma-camnya orang yang datang di Jakarta itu sendiri. Ada orang Betawi, ada orang Ambon, ada orang Madura, ada orang Jawa, ada orang Jawa, ada urang Sunda, ada Wong Palem-bang, dan sebagainya (yang gak disebut mohon jangan tersungging eh tersinggung). Nah, setiap orang kan punya pengalamannya sendiri-sendiri, pasti setiap orang itu pu-nya pengertian yang beda juga satu sama lain. Otomatis, kepentingan (keinginan) yang ada pasti beda-beda juga. Nah, kalo perbedaan itu malah bikin ketidaksetujuan, jadinya malah berantem, kan?

Jadi, ada tiga pelajaran penting! Ringkasnya, Pertama, kita (terutama sebagai cowok) boleh aja tergoda dengan keseksian cewek yang body-nya okepunya. Wajar, manusiawi kok itu. Tapi, gak ada salahnya kita menahan nafsu yang berlebihan seenggak-enggaknya buat kebaikan diri sendiri juga.

Contohnya nih, kita sebagai cowok suka ‘colongan’ ngelihat payudara cewek yang adu-hai sangat menggoda. Coba kita pake dua alat ukur, moral sama religi. Kalo dari moral, kita bakal kesangkut sama Hak Asasi Manusia (HAM): tentang kehormatan. Inget, setiap manusia itu punya kehormatannya sendiri-sendiri. Payudara itu kan dipake buat me-nyusui buah hati cewek empunya itu. Nah, kegiatan kayak gitu kan sangat berharga dan nunjukkin harga dirinya sebagai wanita yang keibuan. Kalo kita terus-terusan ngelihat payudara itu, kita mau tega menghancurkan kehormatan wanita sebagai (calon maupun sudah menjadi) ibu?

Kedua, kita harus mikir kalo jadi orang matre itu enggak baik juga. Oke, dengan uang kita bisa dapetin alias beli apa aja yang kita mau. Tapi, apakah uang bisa membeli keba-hagiaan? Kalo bisa, kenapa masih ada koruptor bergelimpangan di Jakarta? Mereka kan punya banyak duit, seharusnya mereka bisa beli kebahagiaan donk? Oh, enggak, mereka gak akan pernah bahagia karena ketamakan dan ke-parno-an yang mereka punyai saat ini. Cukup secara materi mah emang mereka punyai, udah fakta sih.

Ketiga, agar permusuhan bisa kita hindari, kita harus tumbuhin rasa toleransi sama soli-daritas. Berat amat ya bahasanya? Gampangnya gini deh. Toleransi itu artinya menger-

16

Page 17: Majalah ETNONESIA

ti satu sama lain. Ya, apa adanya itu saling sadar dirilah kalo masing-masing dari kita itu punya kelebihan sama kelemahan. Nah, kelebihan yang kita punyai itu mendingan dipake buat menutupi kelemahan yang orang lain punyai deh, begitu juga sebaliknya. Kalo hal itu terjadi, maka itulah yang disebut dengan solidaritas: toleransi yang beru-mur panjang, malah kalo bisa ampe kiamat nanti toleransi tetep ada!

Judul Film : Mana Tahaaan...

Tahun produksi : 1979

Sutradara : Nawi Ismail

Produser : Jiwat Ibrahim

Penulis : Nawi Ismail

Distribusi : Soraya Intercine Films

Page 18: Majalah ETNONESIA