Majalah ETNONESIA edisi 3

18
1/2 April 2013

description

Majalah etnonesia merupakan majalah yang fokus pada tema-tema budaya, sejarah, serta permasalahan sosial.

Transcript of Majalah ETNONESIA edisi 3

Page 1: Majalah ETNONESIA edisi 3

1/2 April 2013

Page 2: Majalah ETNONESIA edisi 3

Manusia Liar EropaOleh Rachel Hartigan Shea Foto Charles Fréger

Bisa dibaca secara daring di: http://ngi.cc/f5v

Mereka membangkitkan maut, tetapi menganugerahkan kehidupan subur

Jantung purba masih berdetak di Eropa. Di balik kilau kecanggihan pon-sel, terdapat berbagai ritual terhadap peristiwa panen, titik balik mataha-ri, dan rasa takut pada kegelapan musim dingin. Ternyata Eropa—atau setidaknya di beberapa tempat di sana—belum kehilangan pertalian-nya dengan irama alam. Pertalian itu berkobar kembali pada berbagai perayaan yang berlangsung di segala pelosok benua ini mulai awal De-sember hingga Paskah. Perayaan itu sama dengan hari raya Kristiani,

Page 3: Majalah ETNONESIA edisi 3

tetapi ritualnya sendiri banyak yang lebih tua daripada agama Kristen. Kaum lelaki mengenakan kostum yang menutupi wajah dan menyem-bunyikan bentuk sejati mereka. Lalu mereka turun ke jalan, dan den-gan samaran itu melintasi batas antara manusia dan hewan, nyata dan spiritual, peradaban dan alam liar, kematian dan kelahiran kembali. Seseorang “memiliki kepribadian rangkap,” kata António Carneiro, yang berpakaian seperti careto iblis untuk Karnaval di Podence, Portu-gal. Fotografer Charles Fréger bertekad merekam hal yang disebutnya “Eropa prasejarah” ini dalam perjalanan dua musim dingin di 19 negara. Bentuk kostum yang dicatatnya berbeda-beda di setiap wilayah dan bah-kan di setiap desa. Di Corlata, Rumania, orang berpakaian seperti rusa jantan untuk reka ulang sebuah perburuan diiringi penari. Di Sardinia, Italia, kambing, kijang, babi, atau beruang kadang berperan sebagai kurban.Di seluruh Austria, Krampus, makhluk antitesis Santo Nikolas, menakut-nakuti anak nakal. Di berbagai belahan dunia ada si manusia liar. Di Prancis, dia disebut l’Homme Sauvage; di Jerman, Wilder Mann; di Polandia, Macidula adalah versi badutnya. Setengah manusia setengah binatang, si manusia liar mewakili hubungan rumit antara komunitas ma-nusia, terutama di pedesaan, dengan alam.

Beruang adalah kerabat dekat si manusia liar—dalam sebagian legenda, hewan ini adalah leluhur manusia. Selain makhluk yang berjalan tegak, beruang juga tidur selama musim dingin. Perlambang kematian dan kela-hiran kembali pada hibernasi ini mencanangkan kedatangan musim semi yang melimpah ruah. Menurut Fréger, bagi peserta perayaan, “menjadi beruang adalah cara untuk mengekspresikan hewan itu sekaligus cara untuk mengendalikannya.” Secara tradisi, perayaan juga merupakan ri-tus akil balig untuk remaja lelaki. Mengenakan pakaian beruang atau

Page 4: Majalah ETNONESIA edisi 3

manusia liar adalah cara untuk “menampakkan kekuatan,” kata Fréger. Banyak kostum digayuti lonceng-lonceng berat untuk menandakan ke-jantanan. Pertanyaannya adalah apakah orang Eropa—orang Eropa be-radab—meyakini bahwa ritual ini harus dilaksanakan agar tanah, ternak, dan penduduk menjadi subur. Apakah mereka benar-benar meyakini bah-wa kostum dan ritual mampu mengusir kejahatan dan mengakhiri musim dingin? “Mereka semua tahu bahwa semestinya mereka tidak meyakini itu,” kata Gerald Creed, yang mempelajari tradisi topeng di Bulgaria. Kehidupan modern menganggap itu tak masuk akal. Tetapi, mereka tetap terbuka terhadap kemungkinan bahwa cara-cara lama memang telah berurat berakar.

Artikel dari National Geographic Indonesia adalah halaman dengan li-sensi resmi yang diberikan pihak NGI bagi ETNONESIA.

Terima Kasih

Page 5: Majalah ETNONESIA edisi 3

Itung-itungan Manfaat Hutan Kota

Hutan kota kampus UI seluas 90 Ha, secara geografis terletak pada 06°20’ 45” LS dan 106°49’15” BT. Berdasarkan wilayah adminis-trasi pemerintah, 55,4 Ha kawasan ini termasuk wilayah kota Jakarta Selatan, Kecamatan Jagakarsa, Kelurahan Srengseng Sawah. Wilayah kampus UI beserta hutan kotanya sebelah utara berbatasan dengan Ke-camatan Jagakarsa, Kelurahan Srengseng Sawah Jakarta Selatan, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Beiji Timur kota Depok, sebe-lah timur berbatasan dengan Kelurahan Pondok Cina kota Depok, dan sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Beiji Kecamatan Kukusan kota Administrasi Depok.

Keadaan tingkat oksigen di Hutan Kota UI Depok dapat diperhitung kan dengan pendekatan pemenuhan oksigen oleh hutan kota (Gerar-kis, 1974 dalam Wisesa, 1988). Pendekatan pemenuhan oksigen oleh hutan kota ditentukan berdasarkan faktor faktor pendukung baik yang berasal dari internal kampus seperti maha siswa, dosen serta pegawai di kam pus UI Depok, maupun eksternal kampus seperti penduduk Kelurah an Srengseng Sawah Jakarta Selatan, Kelurahan Pondok Cina Depok, Ke lurahan Kukusan Depok dan kenda raan bermotor baik wilayah Depok maupun di Jakarta Selatan.

Berdasarkan Peta Kesesuaian Wilayah untuk tanaman semusim daerah Parung Depok Bogor Ciawi (1979) skala 1:50.000, jenis tanah yang terdapat di daerah kampus UI beserta hutan kotanya adalah Lato-sol merah dengan bahan induk Tuf Andesit. Wilayah ini memiliki drainase sedang serta memiliki bentuk berombak dengan punggung punggung cembung. Jenis tanah ini memiliki kelas kesesuaian wilayah yang dibagi tiga yaitu: (a) untuk tanaman semusim, (b) untuk tanaman

Page 6: Majalah ETNONESIA edisi 3

musiman (c) untuk padi sawah. Untuk jenis tanaman tahunan memiliki kelas kesesuaian sangat sesuai (highly suited), sedangkan untuk jenis tanaman semusim dan padi sawah memiliki kelas kesesuaian yang agak sesuai (mo-derately suited), dimana hal ini dikarenakan adanya faktor pembatas.

Menurut White, Handler dan Smith (1959) dalam Nugraha (1991), manusia mengoksidasi 3.000 kalori setiap hari dari makanannya den-gan mengonsumsi 600 liter oksigen (27 mol) atau 840 gram O2/hari dan menghasilkan sekitar 480 Karbondioksida (22 mol). Untuk ma-hasiswa, dosen dan pegawai dikampus UI Depok, jumlah kebutuhan oksigen dihitung berdasarkan lama aktivitas di kampus yaitu 8 jam tiap hari. Jumlah kebutuhan oksigen secara ideal di kampus UI Depok menjadi 280 gram O2. Sehingga kebutuhan oksigen untuk penduduk (interen) yang berada dalam lingkup kampus UI Depok dapat dihitung sebagai berikut:

Kebutuhan oksigen manusia per orang per hari:

= 600 liter O2/hari x 1,4 gr O2/liter udara

= 840 gr O2/hari

• Kebutuhan oksigen untuk dosen dan pegawai sampai dengan 31 Desember 2002:

= 5.098 jiwa x 280 gr* O2/hari

= 1.427.440 gr O2/hari

= 1,4 ton O2/ 8 jam.

Selanjutnya Berdasarkan SK Rektor UI No. 84/ SK/12/1988 ditetap-

Page 7: Majalah ETNONESIA edisi 3

kan hutan kota UI dengan nama Mahkota Hijau dengan luas 90 Ha. Dari luasan hutan kota tersebut berdasarkan pendekat an Gerarkis, bahwa tiap m2 luas hutan kota dapat menghasilkan oksigen 50,625 gram tiap hari, sehingga untuk luasan 90 Ha hutan kota UI Depok dapat memproduksi oksigen sebesar 45,56 ton tiap harinya. Jika diasumsikan pengguna hutan kota tersebut hanya penduduk, maka pada tahun 2002 hutan kota UI mampu menyup lai oksigen kependuduk sekitar 850,97 gram/hari.

Page 8: Majalah ETNONESIA edisi 3
Page 9: Majalah ETNONESIA edisi 3
Page 10: Majalah ETNONESIA edisi 3

Serah Naik Jajah Turun

Matahari terlihat tidak terlalu terik, perjalanan jauh yang ditem-puh memang cukup membuat lelah siapa saja yang berpergian disiang bolong seperti ini. Apalagi perjalanan yang dilakukan adalah perjalanan lintas pulau seperti saya. Perjalanan Jawa Sumatera atau lebih tepatnya dai kota Bandung ke Jambi adalah perjalanan yang sangat melelahkan. Sepanjang perjalanan memasuki wilayah sumatera merupakan sebuah perjalanan yang bagaikan pembalikan dibanding perjalanan saya saat masih di wilayah pulau Jawa. Hawa yang terasa cukup panas ditambah dengan jalanan yang tidak semulus tol-tol di pulau jawa membuat kesan pertama yang timbul dibenak saya adalah rasa ingin pulang. Namun, jauh dilubuk hati rasa ingin terus melanjutkan perjalanan merupakan rasa yang jauh lebih besar dibanding rasa pertama tadi.

Page 11: Majalah ETNONESIA edisi 3

Dalam perjalanan ini, tak bermaksud bagi saya untuk menginformasikan berupa reportase atau bahkan sebuah penelitian kecil tentang suku asli yang ada di Jambi. Perjalanan ini hanyalah sebuah perjalanan biasa saya melihat indahnya Indonesia. Ups salah, saya pergi ke Jambi sebatas men-emui keluarga saya yang merantau kelewat jauh diabnding domisili kami diwaktu kecil dulu. Namun, tak ada salahnya jika diperjalan tersebut saya bisa melihat-lihat atau kenal lebih dekat dengan suku asli di Jambi.

Teman seperjalanan saya yang duduk di samping tempat duduk saya merupakan asli orang Jambi. Ia setidaknya setiap tiga bulan sekali selalu pulang ke kampung halamannya sekedar menengok orang tuanya serta juga memberikan uang hasil pertaruhannya dinegeri sebrang sebagai perantauan kepada orang tuanya. Tak disangka, pertama kali saya menan-

Page 12: Majalah ETNONESIA edisi 3

yakan tentang suku asli Jambi, ia langsung menjawab dengan satu kata “Kubu”. Namun, obrolan yang lebih dalam justru saya temukan sebagai obrolan yang menjerumuskan saya pada prasangka burung tentang orang Kubu. Ia beranggapan bahwa orang Kubu merupakan orang yang tak be-radab dan lebih baik dijauhi. Teringat dimasa kecilnya bahwa ia sering kali “Kubu” dijadikan bahan para orang tua non-Kubu untuk menghenti-kan rengekan/kenakalan anak-anak mereka. Semisal: “Ayo jangan main terus, cepat mandi jangan seperti anak-anak Kubu” atau “Sudah, jangan nagis terus, nanti didatangin orang Kubu”.

Dalam perbincangan saya tersebut, tak jauh bahwa streotip hadir dalam keseharian masyarakat di Jambi tersebut. perlu diingat bahwa di wilayah Jambi, mayoritas masyarakat didominasi oleh mereka orang-orang Me-layu Jambi sebelum akhirnya masyarakat Kubu.

Orang Kubu atau lebih baik disebut sebagai Suku Anak Dalam merupak-an masyarakat asli diwilayah Jambi, Sumatera. Masyarakat ini tersebar di pedalaman-pedalama hutan di Jambi dan lebih sering bersinggungan dengan anak-anak sungai yang mengalir di wilayah pedalaman Hutan tersebut. katakanlah sebaran orang Kubu berada di wilayah-wilayah sep-erti Taman nasional Bukit 12, Taman Nasional Bukit 30, Taman Nasional Kerinci Seblat.

Suku Anak dalam atau Kubu atau bisa juga disebut sebagai Orang Rimba merupakan masyarakat yang berpindah-pindah dalam suatu hutan guna mencari sumber pangan mereka. Atau dalam istilah disebut pula sebagai melangon/melangun. Perpindahan tersebut bisanya terjadi diwilayah anak-anak sungai yang terdapat di beberapa Taman Nasional di Jambi seperti sungai Musi, rawas, dan Tembesi. Orang Kubu dalam menjalank-an aktivitasnya sehari-hari sebagai interaksinya dengan masyarakat

Page 13: Majalah ETNONESIA edisi 3

yang bersinggungan dengan mereka telah banyak dipengaruhi pula oleh orang-orang melayu. Sehingga dalam struktur organisasi Orang Kubu lebih banyak bercirikan Melayu Jambi. Seperti misalnya pemimpin mer-eka yang disebut Depati dan tokoh yang serupa dukun disebut sebagai Besale. Juga ada tokok yang mengerti permasalahan luar dalam dalam suku ini disebut sebagai Malim.

Teringat pula bagi saya setelah cukup lama berbincang dengan teman seperjalanan saya tentang Orang Kubu adalah bagaimana mereka men-jadi masyarakat-masyarakat yang berada dalam struktur kesultanan Jam-bi. Masyarakat Kubu, bagi saya merupakan salah satu suku yang berun-tung. Beruntung disini diartikan keberadaan mereka masih dianggap oleh penguasa pada jamannya dulu dan dengan demikian wilayah hidup mereka juga dijaga kelestariannya. “Serah Naik Jajah Turun” merupakan satu istilah yang menjadikan Kubu bisa eksis dalam setiap kehidupan ke-sultanan Jambi. “Serah Naik Jajaah Turun” diartikan sebagai upeti/pajak yang harus diberikan masyarakat Kubu terhadap sultan mereka. Dengan “premi” yang dibayarkan tersebut, kesultanan Jambi memebrikan per-lindungan bagi orang Kubu beserta seperangkat hak-hak yang diberikan pula pada mereka. Termasuk perlindungan terhadap hutan yang menjadi tempat hidup mereka.

Kubu, dengan segala kesederhaan hidup mereka merupakan suatu ma-syarakat yang hidup harmonis dengan alam terutama hutan yang mem-berikan mereka kehidupan. Pada masa dimana hutan masih lestari dan digunakan secara bijaksana. Masyarakat Kubu memeroeh manfaat yang tiada tara akan karunia alam yang melimpah yang datang disertai ke-arifan lokal yang mereka lakukan. Namun, industrialisai yang melanda negeri ini menjadikan hutan-hutan yang ada sering digunakan guna ke-pentingan ekonomi semata yang justru menguntungkan mereka yang

Page 14: Majalah ETNONESIA edisi 3

buka Orang Kubu yang lebuh membutuhkan. Para transmigran dari Jawa menyumbang kerusakan terbesar oleh apa yang kini diderita hutan-hu-tan diwilayah Jambi. Penebangan liar dan segala konsekuensinya had-ir dalam keseharian Orang Kubu. Kini, dengan pola berpindah-pindah dalam hutan, orang Kubu kian terdesak lantarak luas areal hutan yang kian meneympit.

Saat saya disadarkan dalam perjalanan, saya menemukan fakta baru bahwa Orang Kubu kini tak bisa lagi berbuat banyak menghalau para pemotong kayu ilegal. Mereka haya bisa menarik balik “upeti” daripara pengambil kayu-kayu dalam hutan guna memenuhi kebutuhan hidup orang-orang Kubu. “Serah Naik Jajah Turun” kini tak berlaku. Melayu Jambi yang dahulu diberikan upeti lalu mereka meindungi kini tak lagi diharapkan. Orang Kubu saat ini lebih banyak “berubah” menjadi ma-syarakat melayu yang dicirikan mereka sebagai Islam dan dianggap mer-eka sebagai kaum suci/dewa. Mungkinkah Kubu akan menjadi kenangan sama seperti kenangan saya dalam perjalanan jauh Bandung-Jambi ini?

Balibo, Kenangan Negeri Lorosai

Saat pertama kali ada film berlatar Timor Leste yang berkisah tentang hi-langnya atau lebih tepatnya terbunuhnya wartawan Australia, saya cukup bersemangat untuk menonton film tersebut. film berjudul Balibo yang disutradai dan ditulis oleh Robert Connolly dan dibintangi oleh Bea Vie-gas sebagai Juliana, Anthony LaPaglia sebagai Roger East, dan Oscar Isaac sebagai Jose Ramos-Horta serta beberapa pemain lainnya cukup bisa membuat gambaran bagaimana keadaan Timor Leste yang dahulu sedang dalam masa “dijajah” Indonesia.

Saat pertama kali mendengar tentang film ini, saya mendapatkan infor-masinya di forum internet. Hal yang cukup menarik adalah bagaimana

Page 15: Majalah ETNONESIA edisi 3

orang-orang dalam forum internet tersebut terlihat dengan sangat gam-blang bahwa mereka tak menyukai film ini (terlepas dari kualitas akting/sinematografi). Lebih tepatnya, pengguna internet tak menyukai film Balibo adalah bagaimana Indonesia digambarkan sebagai negara yang kejam dan tak berprikemanusiaan dalam. Melihat perilaku pengguna fo-rum internet, dari sini bisa dilihat bahwa pemerintah Indonesia (rezim Soeharto) berhasil membingkai kekerasan yang mereka lakukan sebagai sebuah bagian integrasi NKRI yang merupakan harga mati. Rakyat juga dihalusinasikan bahwa apa yang terjadi di Timor Leste merupakan kon-sekuensi logis dan benar bahwa itulah yang harus ditempuh pemerintah untuk mengutuhkan kedaulatan NKRI.

Kembali lagi ke film Balibo, dalam film tersebut menceritakan bagaima-na perjuangan Roger East mencari kebenaran tentang hilangnya lima wartawan Australia yang sedang meliput di wilayah Timor Leste. Pencar-ian tersebut memang tak sengaja ia lakukan, lantaran motivasi utamanya adalah saat Jose Ramos-Horta mengajaknya bergabung menjadi kepala pemberitaan Timor Leste. Saat pergi meninggalkan Australia, perkela-naan ia mencari kebenaran tentang hilangnya para wartawan ia lakukan. Namun, tak disangka bahwa pemerintah negerinya sendiri merestui apa yang dilakukan Indonesia di Timor Leste, tak ayal bahwa ia kemudian menjadi buronan tentara RI untuk menjegal Roger East mencari kebena-ran di tanah Lorosai.

Hal unik yang pertama saya lihat dari film ini adalah bagaimana Jose Ra-mos-Horta yang sering muncul di pemberitaan adalah keenergikan dan semangat yang membara demi memerdekakan negaranya. Saya melihat ia bagaikan seorang anak muda yang sangat bersemangat, gaul, serta pintar. Sungguh penggambaran sosok yang mungkin berlebihan namun dalam pengkarakteran suatu film sudah sangat tepat dan memenag meng-

Page 16: Majalah ETNONESIA edisi 3

hibur. Tapi, sungguh disayangkan saya tak melihat Xanana Gusmao hadir dalam film ini. Saya cukup berharap banyak bahwa ia bisa ditampilkan dalam film ini, bukan karena saya pernah melihatnya secara langsung dalam suatu kuliah umum, melainkan saya ingin melihat bagaimana san-gan sutradara menampilkan sosok-sosok inti Timor Leste dalam suatu scene yang memikat penontonnya.

Kembali lagi ke fokus utama saya bahwa Balibo sedikit banyak telah membuka mata saya bahwa ada narasi-narasi modernism yang melihat suatu wilayah bukan dari masyarakat apa yang ada disana da bagaima-na cara memajukan masyarakat tersebut. namun, saya lebih melihat ini sebagai suatu perebutan sumber daya yang melimpah di tanah loro-sai. Terlebih, secara De Facto Timor Leste yang telah dilepas Portugis dan mengikrarkan proklamasinya sudah tentu merupakan negara yang merdeka. Dalam hal ini, Fretilin sebagai penguasa dan penarik simpati masyarakat Tomir Leste telah menjadi penguasa yang bisa memprokla-mirkan kedaulatannya, namun seperti biasa ada saja “aktor antagonis” dalam setiap kehidupan. Partai-partai yag kalah rupanya tak ingin Freti-lin menjadi penguasa di Timor Leste dan akhirnya meminta bantuan In-donesia guna merebut tanah Lorosai yag menjanjikan beragam kekayaan yang menggiurkan. Singkat cerita Indonesia akhirnya menginvansi Timor Leste disertai dengan intrik-intrik politik pada Australia yang akhirnya mendukung Indonesia. Setahu saya bahwa Australia dinajikan sesuatu keuntungan yang bisa dipeloehnya di Timor Leste seandainya Austra-lia tidak mencampuri urusan Indonesia menginvansi Timor Leste. Saya singkat lagi, akhirnya Timor Leste direbut Indonesia dan menjadi bagian provinsi yang ada di Indonesia. Para pengikrar kemerdekaan Timor Leste akhinya menyebar, mulai dari pergi ke pegunungan dan berjuang secara separatis disana, hingga pergi keluar negeri dengan perjuangan diplomasi yang terus menggebu.

Page 17: Majalah ETNONESIA edisi 3

Kekerasan, kekejaman, dan kesewenangan penguasa dalam memerin-tah suatu wilayah bisa dilihat dalam film Balibo ini. Kita seakan diajak bagaimana Timor Leste dalam era tersebut merupakan wilayah yang ter-ancam. Wilayah yang teriakan, tangisan, dan tawa bercampur menjadi satu dan sulit dibedakan lagi. Mana suara tangisan dan teriakan keseng-saraan penduduk yang terancam oleh kehadiran pasukan lengkap dengan senjatanya, serta mana suara tawa pasukan RI yang menenteng senjata dan dengan mudahnya menembakkan pada siapa saja yang dikehenda-kinya. Sungguh ironi, saya bilang demikian adalah bagaimana masyara-kat Indonesia kini masih menilai bahwa apa yang terjadi di Timor Leste merupakan suatu peristiwa biasa. Bahkan setahu saya dulu bahwa Timor Leste merupakan suatu negeri yang ingin bergabung ke Indonesia namun kemudian negeri tersebut berpisah lagi, tak ada narasi-narasi kesewenan-gan, tangisan, serta kekerasan dalam ingatan saya tentang negeri yang bagi saya jauh sekali saat melihat lokasi saya di peta Indonesia.

Pada kenyataannya, Timor Leste meruapakan negeri yang merdeka dari Portugis, namun nafsu keserakahan segelintir elit polik lah yang telah menjerumuskan negeri Lorosai ke jurang kesengsaraan hingga akhirnya Presiden B.J Habibie melakukan jajak pendapat yang hasilnya rakyat Timor Leste mengininkan berpisah dengan Indonesia. Sungguh ironi, saat saya membaca beragam komentar di forum internet tentang film ini yang intinya mereka tak terima bahwa Indonesia diposisikan sebagai bangsa penjajah dan biadab. Terakhir bahwa, saat saya melihat peta In-donesia kini wilayah yang dahulu merupakan bagian NKRI dengan be-ragam usaha militernya telah berubah warna. Dari warna-warni hijau dengan gradasi yang dimaksudnkan sebagai kontur geografis, kini neg-eri tersebut telah berubah warna menjadi putih polos yang beda dengan wilayah-wilayah lain di NKRI.

Page 18: Majalah ETNONESIA edisi 3