Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

64

description

Edisi 43, Desember 2013, Diterbitkan oleh: LPM Didaktika UNJ

Transcript of Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Page 1: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43
Page 2: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43
Page 3: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Edisi 43 3

Redaksi

Syukur kami ucapkan kepada semesta yang masih mengizinkan ma-jalah Didaktika terbit untuk edisi ke-43. Banyak akhir yang mengir-ingi kehadiran majalah ini, mulai dari 2013 yang segera habis, Rektor Bedjo yang mesti lekas hengkang, hingga masa kepengurusan kami yang akan tutup buku. Biar begitu, ada asa dan usaha yang tak pernah

habis untuk selalu menghadirkan bacaan untuk pembaca sekalian.

Pada edisi kali ini, kami menyuguhkan bagaimana proses produksi guru dikelola secara profesional sejak hadirnya ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005. Undang-Undang ini mengutamakan agenda profesion-alisasi bagi guru dan tenaga pendidik. Caranya, dengan menyertifikasi para guru yang sudah terlanjur bertahun-tahun mengajar, dan menyelenggarakan Pendidikan Profesi Guru (PPG) untuk para calon guru. Agenda-agenda terse-but giat dilakukan, sebab Kemdikbud punya target seluruh guru di Indonesia mesti sudah profesional pada 2015.

Namun, bagaimana sistem sertifikasi guru secara riil dapat meningkatkan profesionalitas? Apakah tunjangan profesi yang jadi iming-iming utama mampu memotivasi guru dalam meningkatkan kompetensi serta kinerjanya? Bagaimana pula nasib pendidikan guru yang seakan direduksi secara funda-mental dengan keberadaan PPG? Kami membahasnya secara mendalam pada rubrik Laporan Utama.

Sedangkan dalam Laporan Khusus, ada ulasan mengenai Uang Kuliah Tunggal (UKT), sistem penarikan uang kuliah yang baru saja diterapkan di seluruh Perguruan Tinggi Negeri pada 2013. Terobosan yang didasarkan pada salah satu pasal dalam Undang-Undang Perguruan Tinggi ini disinyalir justru bakal membuka pintu kenaikan biaya kuliah. Makanya, beberapa pihak menolak sekuat tenaga.

Selain itu, kami juga menampilkan laporan mengenai beberapa karya seni visual yang digunakan kampus sebagai alat untuk memasyarakatkan nilai-nilai institusinya. Seperti pada logo dan beberapa bangunan monumental yang dimiliki UNJ. Semuanya dapat dibaca dalam rubrik Suplemen.

Kemudian dalam rubrik Seni Budaya, ada ulasan tentang musik Rap dan gaya Hip Hop yang berkembang di Indonesia tidak seperti kemasan aslinya. Beberapa pihak mengemasnya dengan identitas kedaerahan. Katanya, merupa-kan bentuk resistensi kultural terhadap musik kulit hitam yang telah menjadi budaya populer di Indonesia. Namun, tidak dapat dipungkiri ada juga yang menjadikannya sebagai nilai jual. Satu yang sedang mengemuka adalah Rap Betawi dengan ikonnya, Kojek.

Untuk rubrik Kampusiana, kami menyoroti pembangunan UNJ yang nampak mandek di beberapa gedung. Padahal, pembangunan fisik besar-besaran ini sudah berjalan hampir empat tahun. Tidak hanya itu, kami pun masih punya beragam artikel menarik yang tidak hanya akan memenuhi hasrat akan informasi, namun juga mengajak segenap pembaca untuk sama-sama menoleh kembali pada hal-hal di sekitar yang kadang nampak tak berarti.

Akhirnya, kami ucapkan selamat membaca. Senang rasanya apabila kalian dapat membantu kami untuk membuat majalah ini tetap layak untuk dibaca dengan senantiasa memberikan tanggapan melalui kritik dan saran terhadap segala yang kami tampilkan. Semoga kita semua dapat berdialektika dalam alam pikiran yang kritis dan merdeka..

Salam Perjuangan !

Page 4: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

4 Didaktika

Didaktika Edisi 43, Desember 2013LINTAS6-79

LAPORAN UTAMA1112-1314-1516-1718-1920-21

KAMPUSIANA23-25

SUPLEMEN31-3233-34

LAPORAN KHUSUS36-3738-4042-4344-45

SENI BUDAYA48-4950-5152-54

TAMU KITA55

RUANG SASTRA56-57

KARYA58-59

RESENSI60-61

KONTEMPLASI62

Page 5: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Edisi 43 5

Sebentar lagi musim pemilihan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan (BEMJ) sampai dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEM-UN). Dalam pengamatan saya, sudah tiga kali pemilu jumlah massa pemilih, misalnya di FBS, kurang dari 30 persen mahasiswa aktif.

Saya rasa, ada faktor soal si calon yang memang kurang dikenal di orang-orang merdeka non OPMAWA. Mereka cuma populer di kalangan pejabat mahasiswa, lantas berani mencalonkan diri. Kita bukan kampus yang suka budaya pingitan, tetapi keterbukaan dan integritas calon lebih dibutuhkan.

Sepertinya kurang bijak kalau kita biarkan, tetapi saya juga bingung harus berbuat apa: Majelis Tinggi Mahasiswa (MTM) dan Badan Pengawas Mahasiswa (BPM) sampai dengan Lembaga Legislatif Mahasiswa Jurusan (LLM-J) saja tidak akur dalam menetapkan jadwal. Sampai sekarang, isu pemilu tidak diadakan serentak di berbagai jurusan lintas fakultas menguat. Ini disebabkan lambatnya koordinasi MTM dan ketidaksiapan petugas di fakultas untuk menanggapi.

UNJ kampus besar. Saya menghormati orang-orang di dalamnya karena bertahan di Ibukota sebagai kampus besar yang bebas partai. Tetapi, lebih bijak jika soal ini ditindaklanjuti. Masak iya, ketua BEM terpilih hanya dipilih oleh sekian ratus dari sekian ribu orang di fakultasnya?

Bukan masalah siapa calonnya, tapi budaya demokratis yang diimbangi budaya kritis yang intelek. Jangan-jangan ketua BEM dipilih hanya untuk mewakili satu organisasi pencalon, bukan kepentingan mahasiswa secara luas di UNJ, apalagi kepentingan penguatan peran UNJ di Ibukota dan secara luas di Indonesia.

KPU harus bekerja keras dengan meningkatkan jumlah pemilih, dan MTM harus banting tulang mempersiapkan sistem yang membuat si calon benar-benar orang yang dibutuhkan mahasiswa, bukan dibutuhkan karena memang waktunya pemira sudah tiba. .Amar Ar-Risalah

Mahasiswa JBSI-FBS.

Soal Suara-suara Bervolume Rendah

Baru beberapa bulan ini saya menjadi bagian dari keluarga besar jurusan Bahasa dan Sastra Jepang Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Sampai saat ini saya masih memiliki motivasi yang besar untuk belajar. Saya bangga berada di jurusan Bahasa Jepang karena saya menyukainya, juga sebagian besar metode yang saya terima dari dosen sesuai dengan saya. Untuk itu saya berterima kasih kepada seluruh Dosen dan pengurus jurusan Bahasa Jepang UNJ atas kerja keras yang telah mereka lakukan.

Now, let’s talk about this University generally.

Berdasarkan pengalaman saya, 16 juli 2013, pertama kali saya menginjakkan kaki di UNJ dengan niat menempa ilmu. Hal pertama yang saya alami adalah mengantri untuk daftar ulang di Biro Administrasi Akademik (BAAK) pada 22 juli 2013.

Tidak ada masalah dengan daftar ulangnya, hanya saja untuk mengantri yang terkadang membuat saya gusar karena terlalu panjang dan memakan waktu yang lama. Dan itu pun tidak ada antisipasi dari para birokrat. Terlebih lagi banyak berkas untuk registrasi ulang yang tercecer. Begitu pula yang terjadi dengan tes kesehatan dan rontgen di Poliklinik. Selain dari proses registrasi tersebut, untuk bayaran pun saya merasakan kesulitan. Dan saya bingung ketika bayaran, karena tidak diberi tahu sebelumnya jumlah bayarran yang harus dibayarkan ke bank.

Sungguh rumit. Andaikata ada beberapa orang dari kalangan UNJ yang mampu memberikan solusi masalah ini maka saya bersedia menjadi bagian di dalamnya. Akan lebih baik lagi jika orang yang sedang menjabat untuk masalah ini bertanggung jawab atas pekerjaannya. Saya tidak ingin generasi selanjutnya mengalami hal yang serupa dengan saya. Dengan jumlah pendaftar yang banyak seharusnya hal ini sudah dipikirkan sebelum saya masuk ke kampus hijau ini agar masalah antrian ini tidak berulang-ulang setiap tahunnya.

Selanjutnya mengenai tampilan untuk Masa Pengenalan Akademik (MPA) baik di Universitas dan Jurusan. Keduanya sama-sama dapat ditangkap dalam satu kali pandang saja, yakni pemakaian atribut-atribut yang tidak penting. Itu pun tidak ada proses interaksi dari panitia dengan mahasiswa baru mengenai maksud atribut itu.

Baiklah jika kita diajak melihat dari segi tradisi, namun apakah akan terus seperti itu? Hal ini menjadi momok yang mengerikan bagi saya pribadi. Saya juga tidak ingin hal ini terjadi untuk generasi berikutnya. Untuk itu saya meminta kepada pihak UNJ agar menghapuskan pemakaian atribut yang aneh dan kekanak-kanakan itu.

Begitulah first impression yang saya dapat di UNJ. Semoga tulisan saya ini mendapat perhatian dari seluruh pihak terkait.

Terima kasih. .Vegy Januarika Mahasiswa Jurusan Bahasa Jepang 2013

First Impression at The First sight

Surat Pembaca

Kulit Depan: Dhado Wacky, Mahasiswa Seni Rupa 2010

Kulit Belakang: Aby Rafdi Aufar, Mahasiswa Seni Rupa 2011

Page 6: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Akhir-akhir ini tempat parkir motor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sedang dilanda berbagai kasus kehilangan, baik helm maupun motor. Tepat pada Kamis (26/9), telah terjadi pencurian helm di Gedung Parkir, pelakunya berhasil tertangkap

oleh petugas keamanan kampus dan para petugas parkir. “Di sini (Gedung Parkir-Red) memang sudah diintai karena terlihat mencurigakan. Ketika masuk tas mereka kosong, namun ketika keluar sudah penuh. Anehnya lagi mereka ambil helem disini tapi parkir motornya di parkiran belakang,” jelas Herun, penjaga Gedung Parkir.

Kasus pencurian helm memang tengah marak terjadi di UNJ. “Kalau kehilangan helm di sini sudah sering sekali, modus pelakunya juga pintar-pintar. Meraka suami istri, jadi suaminya yang beroperasi, isterinya yang memantau keadaan. Ada juga

yang menaruh motornya di lantai empat, ambil helmnya di lantai 2, banyak deh strategi mereka.” paparnya.

Tidak berhenti sampai di sana, hanya dalam hitungan hari kasus pencurian kembali terjadi di UNJ. Seperti yang diungkapkan Wahyudin Ketua Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam Eka Citra yang juga telah kehilangan motor Yamaha Mio (30/9). “Akhir-akhir ini sudah ada 5 motor yang hilang, anak Eka Citra dua, anak Seni Rupadan satu anak Sigma TV,” ungkapnya saat ditemui Didaktika Selasa (8/10).

Menurut keterangan Wahyudin, motornya memasuki kampus sekitar pukul 17.00. Saat malam hari, ia menggunakan motornya untuk membeli makanan di luar kampus, dan kembali memasuki kampus pukul 23.00. Namun keesokan paginya, Mio berwarna hitam itu telah tiada. “Saya sudah lihat di CCTV, motornya itu

Dalam waktu kurang dari sebulan, lima unit motor hilang di area parkir. Kinerja pengelola parkir dipertanyakan.

Pencurian Motor Merajalela di Kampus

Lintas

6 Didaktika

Foto:Didaktika

Page 7: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Dalam beberapa kasus terakhir, pencurian motor dilakukan dengan ragam modus. Namun, para pencuri cenderung memanfaatkan kelengahan petugas penjaga.

Modus Pencurian Motor di UNJ

hilang pukul 04.56. Di sana terlihat tidak ada petugas keamanan yang menjaga dan kondisi pintu gerbang pun tidak terkunci,” ujar Wahyudin.

Serangkaian kehilangan motor nyatanya kurang ditanggapi serius oleh petugas keamanan kampus. Mufti, anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Sigma TV yang kehilangan motor di UNJ pada Sabtu (7/9), justru mendapat perlakuan tak adil. Ia yang mengambil inisiatif untuk melapor ke polisi, malah digugat balik oleh pihak kampus.

“Ya aneh saja, saya yang kehilangan tapi saya juga yang dilaporin. Akhirnya saya tanggapi saja,” papar Mufti. Salah satu petugas keamanan UNJ menggugatnya dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Mufti tak gentar untuk melaporkan kehilangannya ke Polres Pulo Gadung sebab ia masih memegang karcis parkir UNJ dan STNK motornya. Buat Mufti, mestinya beberapa barang tersebut cukup untuk dijadikan bukti dalam menuntut tanggung jawab kampus.

Menanggapi kejadian pencurian yang terus terjadi, Bambang Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Keamanan UNJ menyayangkan jumlah petugas keamanan kampus yang minim. “Idealnya 160, namun UNJ hanya memiliki 56 petugas,” ujarnya. Sedangkan di kampus A sendiri hanya memiliki sekitar 20 petugas keamanan. Terlebih jika malam hari petugas keamanan di kampus A hanya berjumlah delapan orang.

Tidak lengkapanya fasilitas Pos Keamanan turut dijadikan alasan. “Itu kejadiannya rata-rata jam lima pagi, jadi mungkin saja petugasnya sedang salat, atau ke kamar mandi. Karena di pos tidak tersedia fasilitas untuk itu,” jelasnya.

Hal itu mendapat kritikan dari Mufti “Kalau kinerja petugas keamanannya memang bagus, ya tidak akan terjadi seperti ini. Saya pernah lihat, jam 1 malam petugas yang di gerbang depan bukannya jaga malah main kartu.” ungkapnya..

Pencurian sepeda motor di UNJ bukanlah hal baru. Pada Oktober 2013 lalu tercatat lima sepeda motor raib. Terakhir, Senin (25/11) malam, seorang pencuri babak belur dikeroyok beberapa orang yang memergoki aksinya di depan gedung G (gedung

kemahasiswaan –red). Taufik Hidayat, anggota Unit Kesenian Mahasiswa (UKM) menuturkan, peristiwa itu terjadi sekitar pukul 22.00 WIB. Berdasarkan informasi yang diterimanya, pelaku yang sedang mencoba mencuri sebuah motor Honda Beat dipergoki oleh mahasiswa jurusan Sosiologi. Menurut Taufik, pelaku telah mengamati sepeda motor dari depan Universitas Terbuka (UT).

Pelaku memanfaatkan sepinya penjagaan satpam di tempat parkir belakang Fakultas Ilmu Sosial (FIS). Setelah diinterogasi, pelaku diketahui bernama Supri warga Pulo Gadung. Akhirnya pelaku tidak melanjutkan aksinya. Hal itu menyulut emosi beberapa orang yang ada disana. Pasalnya, pencurian sepeda motor di UNJ sering terjadi. “Yang punya motor itu anak FT, pelaku sambil jalan terus diteriaki maling,” kata Taufik.

Modus memanfaatkan kelengahan penjagaan yang dilakukan oleh pelaku diamini oleh Ari, salah satu juru parkir UNJ. “Biasanya pelaku pencurian memanfaatkan sepinya penjagaan satpam. Apabila satpam sedang banyak bertugas di parkiran FIP maka pelaku mencuri di parkiran FIS, begitu pun sebaliknya,” ujarnya.

Sebelumnya, pada September lalu juga terjadi pencurian motor. Korbannya adalah Wahyudin, Ketua Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam Eka Citra (EC) UNJ. Ia mengatakan, memasuki kampus

pukul 23.00, namun keesokan paginya motor Mio hitam miliknya telah raib.

“Saya sudah lihat pada CCTV, motor itu hilang pukul 04.56. Di tempat kejadian tak ada satupun petugas satpam yang berjaga. Terlebih pintu gerbang terbuka,” ujar Wahyudin yang akrab disapa Jay. Menurut Komandan Satpam Bambang, Pelaku memanfaatkan lengahnya petugas yang mungkin saja sedang shalat atau ke kamar mandi.

Lain halnya dengan Iwan salah satu petugas satpam UNJ mengatakan pernah mendapat laporan kehilangan saat ia berjaga di parkiran belakang FIS. “Sekitar awal tahun ini pernah mendapat dua laporan kehilangan dari mahasiswa. Pelaku menggunakan cara menukar plat nomor. Dia menyebutkan ciri-ciri motornya, akan tetapi plat nomornya berbeda,” celoteh Iwan.

Dalam menjalankan aksinya, pelaku biasanya datang ke kampus dengan membawa plat nomor berikut Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Pelaku akan mencari sepeda motor bertipe sama dengan yang tertera di STNK. “Biasanya sepeda motor yang diincar letaknya jauh dari loket pembayaran parkir. Setelah menemukan motor yang sesuai, pelaku akan menukar plat nomor yang terpasang dengan plat nomor yang dibawanya,” tutur Iwan.

Setelah plat nomor terpasang di kendaraan yang diincar, maka pelaku akan melenggang dengan aman. Tiket parkir yang diminta pun akan dibilang hilang. Atas hilangnya tiket parkir, pelaku hanya akan dikenakan denda sebesar harga karcis yakni Rp 1000.

Selain menggunakan modus tersebut, biasanya mereka

Edisi 43 7

Page 8: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

mengincar motor yang tidak dikunci kemudinya. Hal ini dialami oleh Fauzi Anwar dan Luthfi Hakim, kedua mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) ini kehilangan sepeda motornya di kampus A UNJ. “Waktu itu parkirannya penuh, jadi motor kami diparkir di belakang motor lainnya,” kata mereka.

“Kemudian petugas parkirnya bilang gak perlu dikunci stang,” kenang Luthfi. Ia melanjutkan, ketika hendak pulang, motor kami sudah tidak ada dan tidak ada pertanggungjawaban dari satpam. Mengenai pertanggungjawaban kehilangan motor, Suryadi Pembantu Rektor (PR) II UNJ mengatakan akan bertanggungjawab. “Kami tentu saja akan bertanggungjawab sesuai dengan Peraturan Daerah (PERDA) tentang parkir, kan kalau ada kehilangan itu tanggung jawab pengelola parkir,” cetusnya. Namun, hingga kini para korban sama sekali tak ada yang menerima penggantian dari pihak kampus.

Menanggapi seringnya pencurian sepeda motor di UNJ, Bambang tak menampik. “Memang benar, bulan Oktober ada lima sepeda motor yang hilang dan kami sudah tindaklanjuti,” katanya. Bambang melanjutkan, memang masih ada kelemahan dari sistem parkir. “Tapi toh kami sudah berjaga semaksimal mungkin dengan personel keamanan yang terbatas.”

“Kita masih melakukan penyelidikan untuk mengungkap siapa pelakunya,’’ tambah Bambang. Selain penyelidikan terhadap siapa pelaku pencurian motor ini, pihak keamanan juga akan melakukan koordinasi dengan kepolisian guna meningkatkan pengamanan di dalam kampus itu. “Kami sudah melakukan koordinasi dengan kampus dan Polsek. Mudah-mudahan dalam waktu singkat pelakunya dapat tertangkap dan tidak ada lagi pencurian motor di UNJ,” pungkas Bambang..

Lintas

8 Didaktika

Page 9: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Area Parkir Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang dahulu dikelola oleh Koperasi Pegawai, sejak 11 Maret 2013 resmi dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis Keamanan, Ketertiban, Keindahan Kampus (UPT K3). Perpindahan terjadi karena ada keputusan baru dari rektor. “Hal ini semata karena ada perintah dari rektor,” ujar Taryono, kepala K3P.

Sejak perpindahan tersebut, K3 yang mengelola urusan operasional perparkiran. Mulai dari pengajuan proposal, mengurus pegawai ,sampai hal teknis seperti mencetak karcis parkir. “K3P hanya mengajukan anggaran dan mengurusi hal-hal teknis di lapangan,” ujar Budiman, Kepala Pengelola Parkir.

Tak hanya pengelolaan operasionalnya saja yang berubah, pengelolaan keuangan pun ikut berubah. Semua uang yang masuk dari hasil parkir tidak mengalir mengisi uang kas K3, melainkan masuk dan dikelola oleh bendahara pemasukan Badan Layanan Umum (BLU). “Kami ada laporan untuk diberikan kepada Bendahara BLU setiap harinya,” jelas Mas Bud sapaan akrab Budiman.

Begitu pun dengan anggaran pengeluaran, setiap awal tahun K3 diharuskan membuat proposal anggaran untuk segala keperluannya. Kemudian menanti berapa anggaran yang akan disetujui oleh Biro Administrasi Perencanaan dan Sistem Informasi (BAPSI). Setelah itu baru mengambil uang tersebut dari Bendahara pengeluaran. “Kita hanya buat proposal anggaran. Yang memutuskan berapa dianggarkannya tetap pihak kampus,” tambahnya.

Seperti anggaran tahun ini. Menurut pengakuan Budiman, untuk upah para juru parkir yang berjumlah 53 petugas, kampus memberikan anggaran sekitar RP 900 juta per tahun. “Upah pokoknya satu juta. Tapi, kalau absennya full, upah mereka kita

Pengelolaan Parkir UNJ di Tangan Baru

berikan seorang 1,3 juta perbulan,” jelasnya.

Namun, gaji tersebut dipandang masih rendah. “Yah, itu mah (upah-Red) di bawah Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta,” tutur Hasan Basri, salah satu petugas parkir. Terlebih durasi kerjanya sama dengan standar jam kerja UMR, yakni 8 jam. Jam kerja tersebut dibagi menjadi 2 sesi. Sesi pertama mulai dari pukul 06.00 – 14.00. Dan sesi kedua mulai dari pukul 14.00 – 22.00.

Selain itu, anggaran yang diberikan kampus kepada K3 bukan hanya untuk membayar upah petugas. Tapi, juga untuk keperluan lain seperti kebutuhan logistik, hal teknis, dan pelatihan-pelatihan. “Uangnya juga untuk bikin karcis, konsumsi sehari-hari seperti air galon, dan untuk pelatihan yang suka kita adakan beberapa minggu atau bulan sekali.”

Namun, sayangnya fasilitas anggaran yang diberikan untuk pelatihan-pelatihan tak pernah dirasakan oleh Hasan Basri. “Selama saya di sini belum pernah ikut-ikut pelatihan gitu deh,” aku Hasan, yang sudah tujuh tahun bekerja menjadi petugas parkir UNJ.

Selain itu perpindahan pengelolaan parkir dari Koperasi Pegawai ke K3, dianggap menggangu oleh sebagian pihak. Sebagaimana dirasakan oleh Hasan. “Sekarang kalau kasbon, digantinya harus langsung lunas saat gajian. Kalau dulu kan bisa diangsur per bulan.”

Tak hanya Hasan, pihak pengelola parkir saat ini pun merasakan perbedan itu. Seperti yang diungkapkan Budiman. “Enaknya waktu dikelola oleh Koperasi Pegawai, kita bisa memakai uang pemasukan secara langsung, jika ada agenda dadakan,” ujarnya..

Kini, urusan perparkiran UNJ dikelola UPT K3. Ihwal keuangan, beberapa pihak merasakan kekurangan, cenderung mengganggu kegiatan.

Sumber data: UPT K3P UNJData dihimpun selama 2011 - 2012

Diolah: Litbang Didaktika

Edisi 43 9

Page 10: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

6 DidaktikaIlustrasi: Istimewa

Page 11: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Edisi 43 11

Beranda

Pemerintah khususnya Kemdikbud mestinya sadar kekeliruannya dalam meningkatkan kualitas guru lewat program sertifikasi yang instan. Bagaiamana tidak, meskipun saat ini program tersebut sudah berjalan tujuh tahun dan meluluskan lebih dua juta guru, nyatanya menurut Bank

Dunia yang notabene pendorong program tersebut kualitas guru Indonesia tidak beranjak mutunya.

Hal itu tentu saja berkorelasi kuat terhadap kualitas pendidikan Indonesia secara keseluruhan. Karena guru merupakan insan yang berada di garis paling depan, yang setiap saat berinteraksi dengan murid. Maka tidak heran kultur ketidakadilan telah mengeroposkan dunia pendidikan kita. Praktik jual beli nilai, sistem katrol nilai, maraknya ketidakjujuran melalui kegiatan mencontek, dan tak adanya akuntabilitas keuangan ataupun manajerial dalam dunia pendidikan membuat kita berkutat dalam posisi juru kunci di antara bangsa-bangsa. Karena pada dasarnya sertifikasi tidak berdampak apa-apa pada kemampuan guru dalam meningkatkan kualitas mental peserta didik.

Sebenarnya, sertifikasi guru yang didasari Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) dan dipayungi Peraturan Pemerintah Nomot 78 Tahun 2008 ini memang punya standar cukup ideal dalam misinya. Yakni guru ditargetkan setelah menjalani sertifikasi mampu untuk menguasai berbagai kompetensi. Diantaranya kompetensi pedagogik, emosional, kepribadian dan sosial.

Alih-alih menciptakan guru yang profesional, program sertifikasi ini hanya memotivasi peningkatan gaji guru saja. Karena Kemdikbud pun hanya menargetkan pada 2015 semua guru telah disertifikasi. Dengan target tersebut, penyelenggaraan sertifikasi guru kelihatannya telah dipersepsikan sebagai proyek besar yang keberhasilannya diukur secara kuantitatif sesuai target. Akibatnya, proses pelaksanaannya mudah terbawa ke kebiasaan formalitas birokrasi belaka.

Sehingga, dalam proses sertifikasi pun guru tidak berbeda jauh rancangannya seperti sebelum sertifikasi. Yakni direduksi hanya sebagai operator saja. Ini terlihat dari pelatihannya yang banyak berkutat pada penyusunan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Pengamatan kompetensi di kelas pun kurang diperhatikan. Apalagi, di lapangan guru dikebiri otonominya lewat Ujian Nasional (UN).

Padahal, secanggih apapun model pembelajaran, hasilnya akan nihil bila tidak dicontohkan dan diperagakan dalam kelas. Seperti menurut Profesor Conny R. Semiawan, model pembelajaran yang mampu menciptakan lingkungan belajar yang mengundang dan mampu memberi kesenangan pada tiap peserta didik harus dilatih oleh guru dalam proses sertifikasi. Bukan hanya mengandalkan bakat bawaan guru.

Selain itu, program yang berbiaya miliaran rupiah ini hanya dilangsungkan begitu singkat. Logika sederhananya, para lulusan LPTK yang menghabiskan studi lebih dari empat tahun saja belum tentu mampu menampilkan diri menjadi guru yang profesional. Apalagi sertifikasi yang hanya berdurasi 10 hari.

Makanya, begawan pendidikan H.A.R. Tilaar berani menyimpulkan bahwa sertifikasi ini hanya menghamburkan uang rakyat. Serta merupakan pembohongan publik karena mengklaim mampu men-simsalabim guru profesional dalam waktu 10 hari dengan miliaran uang rakyat.

Justru yang paling kentara dari proses sertifikasi ini adalah praktik korupsi yang mengemuka di hampir semua lini. Di hilir, bukan menjadi rahasia umum lagi jika ingin lebih cepat untuk menjadi peserta sertifikasi mengambil jalur belakang dengan membayar uang pelicin. Sedangkan di hulu, hampir semua daerah mengalami kemunduran dalam proses pencairan dana. Jika cair pun, guru pun harus gigit jari karena uang tunjangan disunat dalam proses birokrasi. Bahkan banyak pula yang tidak dibayarkan.

Oleh karena itu, Kemdikbud mestinya mengevaluasi kembali hasil daripada pelaksanaan sertifikasi guru. Jika lembaganya ini ingin punya komitmen membersihkan diri dari noda-noda korupsi. Karena sudah sama-sama diketahui jika lembaga vital pencerdas bangsa ini justru merupakan salah satu lembaga terkorup di Indonesia.

Pada dasarnya, penataran lewat sertifikasi merupakan jalan pintas, yang hanya menghambur-hamburkan uang tapi tidak menghasilkan hasil signifikan. Penataran tidak peduli melihat hubungan kerja guru dengan tingkat kesejahteraan guru yang mengerdilkan profesionalisme. Kemudian penataran nyatanya hanya memberikan lisensi kenaikan pangkat daripada kenaikan kemampuan profesional.

Padahal, jika saja pemerintah mau untuk memecahkan kebuntuan dalam menghasilkan guru profesional seharusnya tidak berpaling dari lembaga yang dari awal mencetak guru, yakni LPTK. Karena lembaga ini didirikan khusus untuk mendidik dan menyiapkan tenaga-tenaga kependidikan

yang profesional. Dalam arti kata mampu menjalankan sebuah profesi yang khas, yakni mengajar atau mendidik, sesuai dengan berbagai persyaratan profesi guru.

Namun, sejak terbitnya UUGD status khusus LPTK sebagai pencetak guru mulai dikesampingkan. Lewat Pasal 9 UU Nomor 14 Tahun 2005 profesi guru berhak dimasuki oleh sarjana non kependidikan. Karena untuk mendapat sertifikat mengajar para sarjana tinggal memasuki jenjang Pendidikan Profesi Guru (PPG). Hal ini justru tidak mendapat tanggapan berarti dari pihak LPTK sendiri selaku pihak yang keistimewaannya terlucuti.

Bahkan, LPTK cenderung terlihat hanya menjadi pengikut yang membabi-buta terhadap kebijakan pemerintah. Seperti halnya UNJ yang secara reaksioner menanggapi pelaksanaan PPG dengan menghapus praktik mengajar (PPL) mahasiswa kependidikannya. Karena PPL dianggap UNJ akan

dilaksanakan dalam PPG. Praktik Kompetensi Mengajar (PKM) sebagai pengganti PPL yang awalnya dikonsepsikan ke arah observasi kelas pun tidak berbeda sama sekali praktiknya selain dari jumlah SKS-nya yang ralatif lebih kecil.

Alhasil, hal ini ditanggapi oleh beberapa beberapa jurusan dan fakultas yang lebih memilih tetap melaksanakan PPL bukan PKM. Bukan karena ketidakbulatan konsep PKM saja tapi juga terhadap pelaksanaan PPG yang saat ini tidak jelas oleh pihak mana pembiayaannya.

Selama ini, LPTK memang seperti tertidur karena ia telah lama pula didiskriminasikan oleh negara. Konversinya menjadi universitas tidak lebih hanya dalih untuk menampung sebanyak-banyaknya mahasiswa. Bukan sebagai penguatan keilmuan seperti ketika awal ia digagas untuk berkonversi.

LPTK pun kian jauh dari sekolah, yang mestinya menjadi partnernya. Lembaga yang dulu ada di bawah koordinasinya justru dijadikan lembaga elit dan komersil. Padahal, dari lembaga-lembaga sekolah percobaan di bawahnyalah ilmu kependidikan akan banyak digali untuk memperbaiki kualitas pendidikan.

Menilai LPTK, khususnya guru sebagai satu mata rantai pendidikan yang lemah memang harus dilakukan secara obyektif. Akan tetapi memusatkan perhatian hanya kepada LPTK dan guru sebagai sebuah dari sejumlah mata rantai adalah kesalahan yang lebih besar, karena jelas faktor ini tidak berdiri sendiri. Dibutuhkan usaha yang terarah dan kontinyu  didasarkan atas perencanaan yang lebih sistemis dan komprehensif dari pemerintah agar kualitas guru umumnya dan pendidikan khususnya sesuai cita-cita bangsa yang sesuai cita-cita revolusi 1945. Yakni manusia merdeka yang mampu mengisi dan menjaga bangsa ini dengan kekuatan sendiri..

Jalan Buntu Pendidikan Guru

Page 12: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

12 Didaktika

Pada 2006, Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) mengeluarkan kebijakan pelaksanaan Sertifikasi dalam Jabatan

untuk guru. Kebijakan tersebut merupakan amanah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) untuk menciptakan guru-guru profesional. Yakni para guru harus memiliki kualifikasi akademik S1 atau D-IV serta menguasai beberapa kompetensi dasar: profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial.Serius dengan ikhtiarnya, pemerintah berharap 2,5 juta guru Indonesia mampu memiliki sertifikat profesionalnya pada 2015. Melalui target tersebut kualitas pendidikan Indonesia dipercaya mampu didongkrak. Guru memang kerap jadi biang keladi atas karut marutnya pendidikan nasional. Merujuk hasil penelitian Bank Dunia pada 2012 kualitas guru Indonesia berada di posisi terendah dari beberapa begara miskin lainnya. Ihwal tersebut juga melengkapi riset Trends in International Mathematics and Science Study (TIMMS) mengenai kemampuan bernalar pelajar Indonesia yang terus menerus turun selama lima tahun terakhir. “Sementara sebuah lembaga di Kanada pernah meneliti tentang sistem pendidikan. Menurutnya, sistem pendidikan di Indonesia terburuk nomor tiga di dunia,” tegas Retno Listyarti, guru SMAN 13 Jakarta Utara. “Kita cuma di

atas Brazil dan Meksiko.”Oleh karenanya, Kemdikbud mendesak pelaksanaan sertifikasi guru segera ditunaikan. Negara seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Finlandia menjadi rujukan menjalankan sistem sertifikasi guru. Negara-negara tersebut turut pula memberikan imbalan tinggi bagi guru yang tersertifikasi. Ucu Cahyana, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) Universitas Negeri Jakarta (UNJ), lembaga yang menyelenggarakan sertifikasi guru mengamini langkah tersebut ditiru Indonesia. Menurutnya ada dua tujuan utama diberlakukannya kebijakan ini, yaitu peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan guru. “Jadi, untuk meningkatkan kesejahteraan guru, profesionalismenya ditingkatkan dulu melalui program sertifikasi ini,” katanya.Bedanya, di negara yang ditiru Indonesia mengenai sistem sertifikasi gurunya, sertifikasi guru bukan langkah perbaikan tunggal melainkan terangkum dalam strategi besar pendidikan nasionalnya. Misalnya Finlandia memulai dengan revitalisasi lembaga pendidikan pencetak guru. Lalu, apa yang dilakukan oleh Kemdikbud dengan sistem sertifikasinya? Pemerintah memberikan kewenangan penuh kepada Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK) untuk menerapkan sertifikasi guru. Sejumlah universitas negeri mantan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) didaulat untuk menjadi pusat kegiatan sertifikasi di tiap wilayah.

Sertifikasi sendiri dilaksanakan dengan dua cara. Pertama, melalui portofolio berkas-berkas kompetensi dan prestasi yang pernah diraih guru. Sedang jalur lainnya menawarkan beberapa jenis pelatihan, dikenal dengan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Mulanya, PLPG hanya diperuntukkan bagi mereka yang tidak lolos seleksi portofolio. Namun, pada 2011 Kemdikbud memerintahkan kepada seluruh guru untuk ikut dalam prosedur PLPG. Tanpa portofolio. “Sebab (selama 5 tahun) sangat sedikit guru yang lulus portofolio, hanya 1%,” terang Ucu Cahyana. PLPG digelar selama 10 hari untuk tiap kelompok peserta. Dengan komposisi materi yang dianggap mampu memenuhi empat kompetensi yang diemban UUGD. Tiap rombongan belajar akan dilatih membuat beberapa perangkat pembelajaran seperti Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Silabus. Juga diadakan beberapa workshop dan praktik peer teaching. Setelah lulus PLPG, guru-guru akan diberi lisensi mengajar seumur hidup atas mata pelajaran yang diampu. Selain itu, mereka akan menerima tunjangan profesi sejumlah gajinya tiap bulan. Dengan mekanisme ini, pemerintah yakin dapat merevitalisasi peran dan posisi guru di masyarakat. Sebab, guru bakal punya citra baru, yakni sejahtera secara ekonomi dan profesional terhadap pekerjaannya.Ucu Cahyana percaya sertifikasi guru merupakan satu-satunya mekanisme yang dapat dilakukan untuk menjamin

Simsalabim, Jadilah Guru Profesional

LAPORAN UTAMA

Hingga saat ini, sistem sertifikasi tidak mampu menunjukkan kinerja nyata dalam meningkatkan profesionalisme guru.

Oleh : Kurnia Yunita Rahayu

Page 13: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Edisi 43 13

profesionalisme. “Dengan cara lain akan sulit meningkatkan profesionalisme guru, apalagi wilayah Indonesia ini sangat luas,” tutur Ucu. “Kalau jumlah guru hanya 100-200 mungkin gampang (membenahinya), tapi kalau sudah terlanjur gini ya sulit.”Meskipun demikian, Ucu sendiri tak menyangkal bahwa sertifikasi guru melalui PLPG bukan cara instan membentuk guru bergelar profesional. Buatnya, kompetensi yang diharap muncul tentu tak dapat dihasilkan dari 90 jam pelatihan. Pada akhirnya guru harus memupuk kompetensi tersebut secara mandiri.Celah inilah yang jadi satu kekurangan sistem peningkatan kualitas guru di Indonesia, bahwa peningkatan mutu guru hanya dilakukan secara parsial, alih-alih membentuk rancangan besar yang menyeluruh. Pakar pendidikan mantan Rektor IKIP Jakarta Winarno Surakhmad dalam buku Pendidikan Nasional, Strategi dan Tragedi berpendapat kalau kualitas pendidikan hanya bisa terjadi di tingkat akar rumput. “Kualitas pendidikan dalam arti sebenarnya terjadi di tangan guru,” tulisnya.Artinya, pembinaan yang dibutuhkan mesti menjangkau seluruh guru dalam gagasan besar yang sistematis mengenai peningkatan pendidikan nasional. Mulai dari rahim yang melahirkan guru hingga kebutuhan guru yang merata di Indonesia.Jauh panggang dari api, jangankan urusan revitalisasi mantan IKIP, guru Indonesia masih banyak berserak tak diurus tanpa ada pemberdayaan. Data yang dihimpun Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyebutkan 65% dari guru Sekolah Dasar di 20 daerah luar ibukota belum

pernah mengikuti pelatihan apapun dari Kemdikbud bahkan di usia jelang pensiun. Tak hanya di kota kecil, guru di kota besar juga punya cerita sama. Menurut Sekretaris Jenderal FSGI Retno Listyarti, kebanyakan dari mereka baru ikut pelatihan satu kali selama lima tahun terakhir. Di Jakarta bahkan ada guru yang terakhir mengikuti program pelatihan pemerintah pada 1980. “Data-data ini merupakan kondisi dimana kualitas guru yang rendah adalah sumbangsih pemerintah, karena tidak membangun kualitas guru,” ucap Retno. Saat ini, sistem sertifikasi via PLPG punya niat mulia menjawab masalah tersebut. Sayangnya, PLPG dengan kegiatan yang intens hanya dilaksanakan dalam sepuluh hari ini masih dirasa kurang memadai, tanpa ada tindak lanjut yang signifikan.Ginanjar, guru SMAN 7 Pandeglang turut merasakan. Menurutnya, pembinaan secara berkelanjutan minimal dapat dilaksanakan guru beserta Kepala Sekolah. Karena idealnya Kepala Sekolah merupakan guru terbaik di tiap sekolah. Tapi peran tersebut kini sulit diharapkan, mengingat mekanisme perekrutan Kepala Sekolah cenderung bermasalah. Sejak diberlakukannya otonomi daerah, profesi guru ikut dalam paket kebijakan tersebut. Kepala Sekolah kini ditunjuk Kepala Dinas ataupun Pemerintah Daerah setempat. Menurut Ginanjar, hal ini menyebabkan pemilihan petinggi sekolah didasari pada kedekatan pribadi, bukan atas kelayakan kompetensi. “Ada anekdot seperti ini kalau di Pandeglang, nggak usah ngajar rajin-rajin, jadilah tim sukses Bupati, minimal bisa jadi Kepsek,” seloroh Ginanjar.

Sementara peran Kepala Sekolah hampir lumpuh karena dipolitisasi segelintir pihak, kehadiran pengawas sekolah diharap mampu jadi tumpuan. Namun, Ginanjar mengatakan di kota kecil, profesi Pengawas tidak diminati oleh para guru, sebab penghasilannya rendah. “Mesti diingat upah pengawas itu lebih kecil daripada upah guru,” beber Ginanjar soal kondisi pengawas. Mengenai pengaruh kebijakan desentralisasi terhadap performa guru, Guru Besar Emeritus UNJ H.A.R. Tilaar turut meragukannya. Melalui desentralisasi, guru tidak bisa ditempatkan di suatu daerah tanpa restu kepala daerah. Hal ini yang kemudian memengaruhi persebaran guru di Indonesia, pun tentang kualitas pendidikan nasional. Makanya, Tilaar menolak keras perbaikan kinerja guru yang dilakukan dengan sistem sertifikasi. “Mana mungkin menatar orang dalam beberapa hari? Gila itu orang,” ucapnya geram. “Ini (sertifikasi) pembohongan masyarakat!”Sedangkan, Winarno Surakhmad melihat bahwa sertifikasi sebagai intervensi teknis pemberi lisensi mengajar tak mampu memberi motivasi terhadap kualitas guru. “Tujuan peningkatan kualitas guru hanya bisa diraih apabila sertifikasi ditempatkan sebagai bagian dari strategi yang lebih luas. Yang tidak menempatkan sistem tersebut sebagai entitas tunggal,” katanya.Sebab, permasalahan yang melanda guru terjadi bukan karena sertifikasi tidak atau belum dilakukan. Melainkan merupakan satu susunan kompleks, yang perlu diselesaikan dengan sejumlah strategi secara terpadu dan bersinergi..

[1] H.A.R Tilaar [2] Retno Listyarti

Foto: Istimewa Foto: Istimewa

Page 14: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

14 Didaktika

LAPORAN UTAMA

Weni Aisyah, Guru SMP Islam Nurul Huda Bekasi bersikeras untuk mengeyam lagi bangku kuliah setelah 20 tahun

lalu lulus sebagai Ahli Madya. Ia yang mengampu mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolahnya berniat melanjutkan studi menjadi sarjana lantaran kesengsem tunjangan profesi guru bersyarat pendidikan minimal sarjana.Sejak 2006, Kemdikbud memang telah memberikan tunjangan lebih bagi guru yang telah lolos sertifikasi. Namun, karena Weni cuma lulusan D3 ia tak mampu merasakan manisnya tunjangan sertifikasi. Sementara, ia sendiri melihat teman satu profesinya yang baru lulus sarjana telah mampu menikmati gaji tinggi berkat tunjangan sertifikasi.Makanya, Weni tak ragu memenuhi syarat akademik untuk mendapat berkah sertifikasi. “Jujur saja, saya kuliah lagi itu karena dorongan dari luar, karena sertifikasi,” ujar Weni Aisyah, Guru SMP Islam Nurul Huda, Bekasi. “Ya, karena ujung-ujungnya duit.”Weni mulai kuliah pada 2010 dan telah lulus pada 2013. Selama kuliah ia kerapkali meninggalkan tugas mengajarnya di sekolah akibat berbenturan dengan jadwal kuliahnya. “Terpaksa, tapi Kepala Sekolah telah memberi dispensansi,” ujarnya. Meskipun telah lulus, Weni tak bisa langsung ikut program sertifikasi karena harus tunggu giliran bersama jutaan guru lainnya. Kualifikasi akademik sarjana bagi guru memang baru kali ini diberlakukan di Indonesia. Puluhan tahun sebelumnya, hal ini tidak menjadi prioritas. Merujuk data Kemdikbud, baru ada 24,64% guru SD yang bergelar sarjana. Sedangkan tingkat SMP dan SMA masing-masing ada 22,64% dan 78,96%. Sisanya cuma lulusan Diploma bahkan sekolah guru.

Banyaknya guru yang belum sarjana ini disebabkan kebijakan percepatan pembangunan masa Orde Baru melalui Sekolah instruksi Presiden (Inpres). Melalui kebijakan tersebut, siapapun bisa menjadi guru, sebab pemerintah sedang kejar target mendirikan sekolah hingga ke pelosok desa melalui program Sekolah Instruksi Presiden (Inpres)H.A.R. Tilaar, sebagai Koordinator Program Inpres mengakui bahwa kebijakan tersebut merupakan sebuah kekeliruan yang akibatnya muncul puluhan tahun kemudian. “Selama 12 tahun Inpres berjalan, pemerintah mengangkat sejumlah guru secara serabutan,” katanya. “Harusnya ada tindak lanjut setelahnya, tetapi ini tidak ada.”Proses rekrutmen guru yang serabutan serta jumlahnya yang banyak kemudian mengakibatkan gaji guru dibayar rendah. Alex sapaan akrab Tilaar melanjutkan bahwa selama 32 tahun berkuasa Orde Baru telah membuat kondisi sosial ekonomi guru memprihatinkan. Bahkan kondisi tersebut masih meningalkan jejak hingga kini.Berdasarkan data yang dihimpun Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), hingga kini masih terdapat guru honorer di Jakarta yang dibayar Rp 200 ribu. Sedang di Pandeglang dan Tangerang, beberapa guru diganjar bayaran yang sangat murah. Masing-masing Rp 60 ribu dan Rp 150 ribu tiap bulan. Ihwal kesejahteraan memang kerapkali jadi wacana utama yang diserukan guru. Mantan Rektor IKIP Jakarta Conny R. Semiawan pun memberikan apresiasi bahwa sistem sertifikasi turut memberikan tunjangan profesi bagi guru. “Secara formal, ini memang menguntungkan guru. Dalam arti dengan adanya kertas-kertas ijazah maupun sertifikat itu, katakanlah guru ditingkatkan posisinya atas dasar penghargaan-penghargaan yang diberikan pemerintah kepada guru,” ujar Conny.

Tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok akan diberikan kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik. Dengan tujuan meningkatkan profesionalisme serta peran guru di dalam masyarakat, hanya saja tunjangan ini tidak gratis melainkan harus ditebus dengan syarat dan ketentuan berlaku. Mulai dari kualifikasi akademik, hingga persyaratan beban mengajar.“Ada tiga teman saya yang sudah disertifikasi tapi tidak dapat tunjangan, karena jam mengajar kurang dari 24 jam,” tutur Weni Aisyah. Untuk menyiasati mengenai jam belajar, guru biasanya melakukan beragam upaya. Misalnya kerjasama membagi jam mengajar antarguru, mengajar lebih dari satu sekolah. Modus memenuhi target mengajar bukan tanpa dampak buruk, terutama buat siswa. Seringkali karena mengajar di sekolah yang berbeda guru kerap memiliki jadwal yang bersamaan antarsekolah, akibatnya kelas berjalan

Iming-iming Tunjangan ProfesiAlih-alih menjadi pelipur lara bagi guru yang puluhan tahun digaji rendah, tunjangan

profesi justru membuat guru lupa tujuan peningkatan kompetensinya.

Oleh : Kurnia Yunita Rahayu

Ilustrasi: Istimewa

Page 15: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Edisi 43 15

Eka tahu benar ayahnya sering mengalami pungutan liar tersebut. “Biasanya untuk pajak Rp 200 ribu dan langsung dipotong dari Pemda Depok,” katanya.Guru SMAN 7 Pandegalang Ginanjar pun mengamini hal serupa terjadi di daerah ia mengajar. Menurutnya pemotongan dilakukan dinas terkait. “Seperti UPT (Unit Pelaksana Teknis) atau organisasi guru,” katanya. Sayangnya, guru yang mengalami pemotongan tunjangan yang tak jelas ini malah bergeming, dan cenderung memaklumi hal tersebut. “Kalau guru itu, (tunjangannya) dipotong malah bisa berterima kasih lho, karena mereka menganggap itu sebuah kelaziman. Mereka cenderung menganggap wajar apa yang sebenarnya tidak wajar.” Ginanjar melanjutkan.Pada akhirnya, berapapun pungutan liar tak menggerus kegembiraan guru karena mendapat tunjangan. Semua guru

tentu ingin lebih diapresiasi mengingat jasanya pada bangsa. Tak terkecuali bagi Weni Aisyah, buatnya pemerintah harus memberi kehidupan yang layak kepada guru dengan atau tanpa seritifkasi. “Pemerintah harus sadar diri,” celetuknya..

tanpa guru. Sekretaris Jenderal FSGI Retno Listyarti menolak alur pemberian tunjangan yang rumit ini. Baginya, soal kesejahteraan guru sudah semestinya dipenuhi pemerintah. “Kalau niatnya menyejahterakan, mestinya tidak perlu pakai syarat. Hitung-hitung pemerintah ini bayar hutang,” tutur Retno. “Guru Indonesia sudah dibayar murah sejak dulu.”Sudah rumit, mekanisme pemberian tunjangan profesi tak jarang menghadir masalah. Mulai dari keterlambatan pengiriman hingga terdapat sejumlah dana sertifikasi yang benar-benar tidak diterima guru.Eka Supriyadi (22) mahasiswa Jurusan Sejarah UNJ berkisah, ayahnya sudah sejak 2009 mendapat lisensi untuk mengajar di SD Negeri Depok. Namun, di tahun pertama tunjangan profesi yang diberikan Pemerintah Kota Depok hanya sejumlah enam bulan. “Yang sisa enam bulan lagi tidak tahu kemana, tidak diberikan,” ujar Eka menirukan sang bapak. Kejadian yang sama kembali terjadi di 2012, Eka mengaku ayahnya hanya menerima menerima delapan bulan tunjangan profesi.Kasus serupa terjadi pula di beberapa daerah. Menurut data Litbang Kompas, penunggakan pemberian dana sertifikasi juga terjadi di Jawa Barat, Kalimantan Barat dan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Para guru di daerah tersebut mengatakan belum menerima dana sertifikasi selama Triwulan IV-2012. Bahkan, terdapat 343 guru di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur yang sama sekali belum menerima hak profesi mereka sejak 2011 (Kompas, 12/10).Tak hanya soal keterlambatan, dana sertifikasi juga sering jadi modus nakal oknum pemerintah daerah. Selalu ada pemotongan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

“Kalau niatnya menyejahterakan,

mestinya tidak perlu pakai syarat.Hitung-hitung pemerintah ini bayar hutang,” tutur

Retno.

Page 16: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

16 Didaktika

guru dianggap mengkhawatirkan. Sayang, ikhtiar mereka menemui jalan buntu, gugatan mereka dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena dinilai soal menjadi guru bukan hanya milik mahasiswa LPTK seorang.

Meskipun demikian, PPG tetap menimbulkan masalah yang pelik. Aktivis pendidikan Lodewyk F. Paat menilai PPG sebagai program turunan dari UUGD telah menggeser model pendidikan guru Indonesia. Melalui Pasal 8 UUGD, pemerintah cenderung mentransformasikan model pendidikan guru menjadi consecutive model. Yang memberikan pendidikan keguruan usai mahasiswa menyelesaikan urusan pendidikan keilmuan.

Sementara, secara historis Indonesia telah mengembangkan model pengintegrasian pendidikan pedagogik serta keilmuan dalam satu tahap (concurrent model). Sebagaimana yang diterapkan oleh kampus-kampus IKIP yang tersebar di seluruh Indonesia. “Bila consecutive model terus dilaksanakan sambil tetap mempertahankan institusi model IKIP, tentu mahasiswanya akan sangat dirugikan,” ujar Lody sapaan akrab Lodewyk F. Paat.

Sebab, secara teknis waktu penguasaan mahasiswa eks IKIP terhadap materi keilmuan lebih sedikit karena masih harus menekuni mata kuliah kependidikan di jenjang S1. Tetapi harus bersaing dengan lulusan non pendidikan, yang menguasai

materi keilmuan secara komprehensif. Dalam alternatif pekerjaan lain pun, sarjana ilmu murni cenderung lebih diperhitungkan ketimbang sarjana pendidikan. Makanya, Lody tak ragu menegaskan, “bila model ini (PPG) yang mau dijalankan, bubarkan saja jurusan pendidikan!”

Kasak-kusuk soal siapa pantas jadi guru tersebut juga tak bertahan lama karena pelaksanaan PPG untuk seluruh sarjana sendiri yang masih buram. Seperti dikatakan Sekretaris Lembaga Pengembangan Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (LPP UNJ) Ucu Cahyana, “untuk sementara, PPG itu hanya untuk sarjana kependidikan yang telah mengikuti SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan Terluar Tertinggal) jadi saluran untuk mahasiswa non pendidikan belum dibuka, walaupun menurut MK boleh.”

Tahun ajaran 2012/2013 seluruh kampus penyelenggara serempak melaksanakan PPG. UNJ merupakan salah satu yang melaksanakannya. Hingga saat ini, UNJ sudah melaksanakan tiga jenis PPG, yakni PPG Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM3T), PPG Terintegrasi (PPGT) dan PPG Kolaboratif.

“Masing-masing pesertanya adalah sarjana pendidikan yang sudah mengabdi di daerah 3T satu tahun. Kemudian PPGT diikuti oleh calon guru-guru SD dari daerah 3T, mereka lulusan SMA yang diseleksi oleh masing-masing daerah untuk dikirim ke LPTK untuk bisa menjadi

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) benar tak main-main menyiapkan guru guna memajukan pendidikan nasional. Sambil terus menjalankan sertifikasi

bagi 2,5 juta guru Indonesia, Kemdikbud juga turut menyiapkan guru melalui program Pendidikan Profesi Guru (PPG). PPG dilaksanakan oleh mahasiswa yang berminat menjadi guru.

Merunut pasal 9 Undang-Undang Guru dan Dosen yang menjadi landasan PPG, setiap mahasiswa yang telah jadi sarjana atau memiliki gelar Diploma IV harus mengikuti PPG untuk menjadi guru. Tidak hanya terbatas pada mahasiswa lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK).

Ihwal peserta PPG yang tak terbatas ini kemudian menimbulkan kecemburuan para mahasiswa pendidikan, karena mahasiswa non pendidikan mampu ikut serta dalam PPG. Salah satu penolakan keras sempat hadir dari Aliansi yang diwakili tujuh mahasiswa dari beragam universitas. Mereka sempat mengajukan Peninjauan Kembali pasal 9 UUGD kepada Mahkamah Konstitusi.

Menurut mereka, guru merupakan profesi khas yang butuh pembinaan sejak awal masuk di LPTK. Tidak mungkin bisa dicapai dengan pembelajaran PPG yang hanya satu tahun. Dan keberadaan lulusan nonpendidikan sebagai pesaing profesi

LAPORAN UTAMA

Siapa Pantas Jadi Guru? Bubarkan saja Jurusan Pendidikan!

Oleh : Kurnia Yunita Rahayu

Mekanisme cara perekrutan calon guru profesional

Page 17: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Edisi 43 17

Siapa Pantas Jadi Guru?

guru SD. Sedangkan PPG Kolaboratif adalah PPG kejuruan, untuk lulusan SMK yang akan menjadi guru SMK,” tutur Ucu Cahyana.

Sebagai program yang dilaksanakan dalam lingkup nasional, PPG memberikan jatah pembagian mata pelajaran yang akan diselenggarakan kepada masing-masing LPTK. Menurut Ucu, penentuannya didasarkan pada kesiapan kampus itu sendiri dalam mengelola mata pelajaran tersebut sebagai bagian dari PPG.

Misalnya di UNJ, kampus eks IKIP Jakarta ini punya tugas membina profesionalitas calon guru dari delapan program studi (prodi). Yakni Seni Musik, Seni Tari, Seni Rupa, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Biologi dan Fisika. Sedangkan PPG di Universitas Negeri Surabaya membuka 12 prodi, yaitu Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini, Bimbingan Konseling, Pendidikan keolahragaan, Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, Bahasa Indonesia, Ekonomi, Biologi, Matematika, Sejarah dan Pendidikan Kewarganegaraan.

Mudiyanto, mahasiswa PPG Bahasa Inggris di UNJ mengatakan bahwa, 167 peserta PPG angkatan pertama diberikan kegiatan workshop selama satu semester. Alumnus Universitas Tidar Magelang ini melanjutkan, agenda tersebut disambung dengan praktik mengajar di kelas tiap minggunya. Selanjutnya, di semester dua para peserta PPG mulai lebih sibuk melaksanakan Program Pengalaman Lapangan (PPL), Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan Uji Kompetensi Guru (UKG).

Mudi sapaan akrab Mudiyanto sendiri merasa tidak banyak dapat faedah dalam program PPG kecuali soal adminstratif. “Dalam kegiatan PPG itu yang penting

membuat RPP, saat PPL juga harus menunjukkan RPP, membuat laporan pun harus menyertakan RPP,” kata Mudi. Ia berseloroh sejak mengikuti PPG hidupnya bagaikan hanya untuk membuat RPP. “Karena sudah tidak ada materi yang terkait Bahasa Inggris (mata pelajaran yang diampu masing-masing-Red) ataupun teori-teori pendidikan, itu tidak ada di PPG.”

Apa yang terjadi dengan PPG sekarang sebenarnya bukan yang diniatkan pada awal inisiasinya. Conny R. Semiawan yang menggagas ide ini berujar bahwa, tujuan awal PPG adalah mengembalikan peran IKIP sebagai LPTK setelah berubah menjadi universitas.

Conny menghendaki adanya suatu program spesifik yang mampu mematangkan mental keguruan calon guru. Ia menghendaki iklim pendidikan yang ramah terhadap murid melalui pembangunan internal mental environment yang harus diciptakan oleh guru di kelas kelak. Oleh karenanya mahasiswa LPTK harus dipersiapkan sebelum terjun ke lapangan karena, pascakonversi ada dualitas yang tak terarah mengenai bidang keilmuan dan kapasitas pegadogik yang dibangun oleh LPTK.

Untuk menciptakan lingkungan belajar yang mengundang, Conny mengungkapkan bukan hanya butuh bakat bawaan dari tiap pribadi guru. Melainkan mesti dilatih dengan mencontohkan serta meragakan model tersebut, termasuk dalam PPG. “Nah, itu yang kurang diperhatikan dalam PPG. Itu yang saya sayangkan sejak awal terlibat, sebab itulah yang terpenting bagi perkembangan siswa,” tegasnya.

Conny melanjutkan, PPG kini justru mementingkan formalitas belaka, sebab yang dipentingkan melulu soal administratif. Sehingga hal-hal teknis ini berkembang jadi hal yang utama ketimbang konten atau isi pembelajarannya. Makanya, Conny menilai PPG yang berjalan kini telah salah arah. Terlebih, soal dibukanya program pendidikan profesi ini bagi sarjana non kependidikan. “Itu yang dulu saya tentang,” tegasnya.

Buat Conny, keterbukaan akses ini telah memudarkan inti pendidikan keguruan yang ingin dicapai oleh PPG. “Karena yang diutamakan segi lahiriah, yaitu segi instructional objective, segi ilmu-ilmu yang dikuasainya. Bukan bagaimana cara ilmu itu dijadikan materi yang mendarah daging pada diri anak,” pungkas Guru Besar berparas ayu ini..

Conny R. Semiawan, Mantan Rektor IKIP Jakarta

Foto: Istimewa

Page 18: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

18 Didaktika

LAPORAN UTAMA

Di penghujung 2012, beberapa jurusan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) merilis keputusan meniadakan mata kuliah Program Pengalaman

Lapangan (PPL) untuk digantikan dengan mata kuliah lain. Serupa tapi berbeda bobot. PPL bermuatan empat Sistem Kredit Semester (SKS) ditukar dengan Program Kompetensi Mengajar (PKM) yang hanya dua SKS.

Namun, ada yang lain di Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial (FIS). Salah satu mahasiswanya, Andi Anang Firmansyah linglung saat jurusannya tak jua memberi kepastian soal ada tidaknya PPL. Pasalnya, ia sudah semester tujuh, mesti segera mengurus administrasi terkait PPL.

Selain itu, waktu belajar siswa Sekolah Menengah Atas yang jadi tujuan praktik mengajarnya juga hampir dimulai. Sekolah menuntut Andi dan beberapa temannya segera memastikan niatan mereka untuk PPL di sekolah tersebut.

Namun, sekolah cenderung tidak menerima mahasiswa yang ingin melaksanakan PKM. “Kalau seperti itu (PKM), banyak sekolah yang menolak. Karena mereka maunya kami disana selama satu semester penuh,” ujar Andi. Ia melanjutkan, jika ada sekolah yang mau menerima, mereka pasti langsung mengiyakan, karena takut di sekolah lain tidak diterima. “Bisa-bisa tidak PPL jika menunggu keputusan pihak jurusan,” katanya.

Beruntung, Andi dan teman sekelompoknya ambil keputusan tepat. Selang beberapa hari sebelum ia mulai praktik mengajar di sekolah, jurusan Sejarah keluarkan pengumumuan resmi, tentang tetap diberlakukannya PPL.

Kebijakan ini rupanya keputusan bulat yang diambil FIS. Menurut Pembantu

Dekan Bidang Akademik FIS Djunaedi, tak banyak jurusan di fakultasnya yang tahu apalagi mengerti ihwal PKM. “Konsepnya belum jelas, makanya kita masih menjalankan seperti tahun lalu (melaksanakan PPL),” tutur Djunaedi.

Sedangkan Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) PPL Faried Wadjdi saat ditemui Didaktika Agustus lalu mengatakan, dirinya pun masih menunggu ketukan palu universitas terkait PPL dan PKM. Menurutnya, memang belum dibuat rumusan baku terkait mata kuliah praktik mengajar tersebut. “Sementara, jika kita (sekarang) ada dalam masa transisi ya kita lakukan saja seperti PPL biasa,” ujar Faried.

Ribut-ribut soal PPL yang diganti PKM merupakan imbas langsung dari kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menambah durasi pendidikan guru melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG). Rencananya, praktik mengajar memang tak lagi dilaksanakan di tingkatan S1 karena akan dipindah dalam pendidikan profesi. Makanya, yang ada dalam posisi terancam bukan hanya PPL sebagai mata kuliah, tapi juga keberadaan UPT PPL.

Faried Wadjdi membenarkan bahwa dalam beberapa waktu ke depan, unit yang dipimpinnya tak lagi berdiri secara mandiri karena akan dilebur dalam Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP). Kini, LPP sudah ada namun, UPT PPL tak jua masuk ke dalamnya untuk ikut menentukan arah pendidikan keguruan yang mau diusung. LPP hanya fokus pada urusan Sertifikasi Guru dan PPG.

Sayangnya, Kemdikbud juga belum punya kepastian kapan PPG dilaksanakan serentak. Saat ini, PPG baru dilaksanakan untuk angkatan pertama. Pesertanya hanya mereka yang usai mengikuti program Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM3T). Padahal,

Kemdikbud juga mengeluarkan wacana bahwa calon guru profesional harus memiliki lisensi mengajar yang hanya didapat melalui PPG.

Beberapa pegiat dan pakar pendidikan meyakini, pemberlakuan PPG telah mengubah pola pendidikan guru dari model concurrent menjadi consecutive. Hal ini telah mengingkari hakikat institusi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) secara historis. Makanya, menurut Ucu Cahyana, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNJ Kemdikbud punya strategi untuk mengakhiri pendapat ini dengan menggabungkan dua model pendidikan guru tersebut. “Ada beberapa hal yang akan dilakukan untuk mengakhiri perdebatan panjang antara concurrent dan consecutive,” kata Ucu.

Dalam kerangka UUGD, LPTK sekadar jadi lembaga sertifikasi.

Kocar-Kacir LPTKOleh : Indra Gunawan

Winarno Surakhmad, Rektor IKIP Jakarta 1975-1980

Foto: Istimewa

Page 19: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Edisi 43 19

Niatan tersebut rencananya akan diwujudkan dengan penguatan pendidikan keguruan bagi mahasiswa eks Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) sejak semester awal kuliah. Sehubungan dengan itu Farid Wadjdi mengatakan, UNJ akan kembali mengganti PKM dengan mata kuliah Praktik Kompetensi Pembelajaran (PKP).

Nantinya, PKP mengharuskan mahasiswa untuk magang di sekolah sebanyak tiga kali selama berkuliah. Agar mahasiswa lekat dengan kondisi sekolah.

Namun, tidak ada sinkronisasi yang dilakukan antara PKP dan Mata Kuliah Dasar Kependidikan (MKDK). Padahal, hal tersebut tentu dibutuhkan. “Kita (UNJ) selalu terdepan dalam menerapkan kebijakan pemerintah. Tapi tidak memikirkan panduan teknis pelaksanaannya,” cetus Djunaedi.

Apa yang dikatakan Djunaedi merupakan konsekuensi logis dari kampus eks IKIP yang memang berada di bawah koordinasi Dikti, Kemdikbud. Sebagaimana dikatakan Zainal Rafli, “namanya perguruan tinggi pemerintah, ya ikut peraturan yang dibuat pemerintah.” Meskipun ia juga tak dapat memungkiri, beberapa kebijakan nampak merugikan posisi LPTK.

Seperti gambaran guru profesional yang ditawarkan Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) memang menjanjikan

perbaikan kesejahteraan bagi calon guru. Hal ini kemudian menarik masyarakat untuk masuk LPTK hingga terjadi pembludakan jumlah mahasiswa. Di UNJ, pada 2012 berani menerima hingga 6200 mahasiswa dan terpaksa menurunkannya jadi 5700 pada 2013. Kasus ini pun terjadi karena tak pernah ada kontrol dari pemerintah.

Selain itu, jumlah LPTK di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat tak terkendali. Pada 2010, jumlahnya 241 lembaga kemudian melonjak pada 2013 sudah mencapai 415 LPTK. Sehingga kini terdapat sekitar 1,2 juta calon guru yang hampir tak punya bayang-bayang masa depan. Sebab, hanya ada 400 ribu guru pensiun tiap tahun.

Lulusan LPTK yang overload ini pun dipertanyakan kualitasnya. Menurut Zainal Rafli, LPTK negeri selalu jadi bulan-bulanan saat kualitas guru buruk. Padahal, buatnya hal tersebut terjadi karena Kemdikbud tak pernah berupaya mengontrol LPTK swasta, yang menerima banyak mahasiswa tapi tak pernah memperhatikan kualitas pendidikan.

“Hal itulah yang saya selalu protes kepada Dikti, kok Dikti membiarkan begitu? Kenapa bisa disahkan perguruan tinggi-perguruan tinggi dengan kondisi seperti itu,” keluh Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni itu.

Sudah begitu, pembenahan LPTK sebagai tonggak utama perbaikan kualitas guru nyatanya kurang diperhatikan. Menurut Guru Besar Emeritus UNJ H.A.R. Tilaar fasilitas pembelajaran sebagai tempat praktik sangat dibutuhkan calon guru. Namun, hingga kini LPTK justru nampak berjarak dari sekolah. Bahkan, sejak konversi IKIP sekolah-sekolah laboratorium yang dimiliki LPTK justru ditutup.

“LPTK sekarang jauh dari sekolah-sekolah, makanya (LPTK) tidak ditunjang ilmu-ilmu pendidikan terbaru. Akibatnya, ketika para guru mengajar, suasana yang terbangun di kelas cenderung pasif dan kaku,” ujar Tilaar.

Saat LPTK nampak tak punya banyak terobosan baru dalam ilmu-ilmu pendidikan, tak heran jika pakar pendidikan Winarno Surakhmad mengatakan, dalam kerangka UUGD, LPTK sekadar menjadi lembaga sertifikasi. “UUGD sangat mengerdilkan keberadaan LPTK, mendistorsi eksistensinya sehingga berkembang menjadi sekadar lembaga sertifikasi, serta memerosotkan mutu pendidikan itu sendiri,” tulisnya dalam buku Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi. Buatnya, Kemdikbud telah melakukan kekeliruan fatal, menyamakan antara pendidikan profesi dan pendidikan profesional guru konsekutif..

Kocar-Kacir LPTK Foto

: Did

aktik

a

Foto: Istimewa

Page 20: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

20 Didaktika

LAPORAN UTAMAOPINI

Tulisan ini sengaja dimulai dengan mengutip kesimpulan panitia UNESCO karena pernyataan itu menekankan tentang demikian pentinya peranan guru dalam menghadapi perubahan masyarakat global hampir

dalam semua dimensi kehidupan, untuk ikut “moulding the character and minds” dari generasi muda memasuki abad ke-21. Kini kita telah memasuki dekade kedua abad ke-21. Tetapi lebih dari itu sesungguhnya para Founding Fathers pada saat proklamasi menyadari bahwa pada saat proklamasi kemerdekaan masyarakat bangsa Indonesia juga menghadapi masalah yang sama dengan masyarakat dunia dalam memasuki abad 21 yaitu tantangan untuk mengubah masyarakat Indonesia yang serba tertinggal memasuki peradaban modern abad 20.

Ini berarti bahwa yang dibutuhkan adalah proses transformasi budaya, dengan memanfaatkan kedudukan sekolah yang sangat strategis. Sayangnya, sejak proklamasi sistem persekolahan kita belum sepenuhnya diberi kemampuan untuk berperan sebagai pusat pembudayaan tetapi tidak lebih dari tempat untuk “mendengar, mencatat dan menghafal”. Suatu tradisi sekolah yang di zaman penjajahan merupakan tradisi sekolah untuk kaum pribumi yaitu sekolah desa dan bukan tradisi sekolah yang melahirkan Soekarno, Hatta, Syahrir dan para Founding Fathers sebagai pemikir dan pembaharu.

Memasuki abad 21 kita memiliki UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU no.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang dalam pandangan penulis, filosofi pendidikan yang terkandung di dalamnya memungkinkan sekolah dapat berperan sebagai pusat pembudayaan dan mendudukan guru untuk berperan ikut moulding the character and minds of the young generation. Berangkat dari pandangan dasar pendidikan sebagai wahana proses pembudayaan dalam proses transformasi budaya (mencerdaskan kehidupan bangsa) selanjutnya marilah kita soroti “Profesionalisme Guru dan Tenaga Kependidikan dalam Era Globalisasi dan Implikasinya terhadap kurikulum LPTK”.

Guru sebagai Jabatan Profesional dan MaknanyaBagi penulis, lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya bagian tentang Guru adalah suatu pembaharuan pendidikan guru yang revolusioner. Karena melalui UU ini jabatan guru secara resmi didudukkan sebagai jabatan

profesional.

Kalau kita menjajaki sejarah pendidikan Indonesia, kita akan mendapatkan pengetahuan bahwa kualifikasi guru yang mengajar di SD, SLTP, SLTA pada zaman penjajahan dan zaman Indonesia merdeka sampai dengan tahun terakhir dekade 1950-an dan permulaan dekade 1960-an jauh di bawah kualifikasi guru pada saat ini. Pertanyaannya mengapa pada masa penjajahan dan permulaan kemerdekaan, guru dengan kualifikasi pendidikan yang jauh lebih rendah dari kualifikasi pendidikan guru saat ini dipandang telah berhasil menghasilkan lulusan yang “bermutu” sedangkan sekarang dengan kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi banyak dipersoalkan mutu dari pendidikan yang dihasilkan?

Memang tidak proporsional membandingkan pendidikan pada tahun 1950-an dengan mutu pendidikan pada tahun 1989 ke atas. Karena jumlah peserta didik pada dua periode tersebut perbedaannya berlipat. Di samping itu, sekolah pada waktu itu pendidikannya mengutamakan fungsi memilih dan memilah daripada mengembangkan potensi peserta didik. Disinilah letaknya masalahnya. Peranan guru pada saat melayani jumah murid yang jumlahnya sedikit dan peranan sekolah terutama adalah memilah dan memilih, tidak dapat disamakan dengan peranan guru, pada saat tugasnya adalah mengembangkan potensi pserta didik yan heterogen latar belakangnya, baik kemampuan dasar, sosial, ekonomi, dan budaya. Dan kenyataan baru inilah yang menjadikan jabatan guru dituntut menjadi jabatan profesional.

Untuk itu perlu adanya upaya peningkatan untuk meningkatkan pendidikan guru yang berderajat profesional. Dikatakan berderajat karena dalam setiap jabaran profesional dikenal hierarki profesional yaitu: profesioal, semi profesional, teknisi, juru dan tukang. Di Jerman untuk guru SD, harus bependidikan “PAEDAGOGISCHE HOCSCHULE”—4 tahun setelah SMA, untuk guru (Gymnasium) dituntut pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan pada universitas yang meliputi 6 semester untuk penguasaan ilmu pengetahuan sebagai sumber bahan ajar dan 2 semester pedagogik. Kesemuanya baik guru SD, SMP, maupun SMA setelah lulus pendidikan di Perguruan Tinggi/Universitas tidak otomatis berwenang sebagai guru (certified teacher) melainkan harus melalui tahap magang selama 18

Profesionalisme Guru dan Tenaga Kependidikan dalam Era Globalisasi dan Implikasinya terhadap Kurikulum LPTKProf.DR.H.Soedijarto, MA

The importance of the role of the teacher as an agent of change, promoting understanding and tolerance, has never been obvious than today. It is likely become ever more critical in the twenty first century. The need for change, from understanding and pluralism, from autocracy to democracy in its various manifestations and from technologically divided world where high technology is the privilege of the few to technologically united worl places enormous reponbilities on teacher who participate in the moulding of the character and minds of the young generation.

Page 21: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Edisi 43 21

bulan dan diakhiri dengan ujian kewenangan mengajar sebelum dapt memperoleh tanda sebagai guru yang berwenang (certified teacher).

Terilhami oleh praktik pendidikan calon guru di Amerika dan Jerman, dan pengalaman menerapkan berbagai inovasi pendidikan dalam periode 1974-1981, penulis pada tahun 1982 sampai kepada kesimpulan perlunya peningkatan jabatan guru sebagai jabatan profesional, suatu jabatan yang memerlukan pendidikan tingkat lanjut dan latihan khusus, yaitu S1 plus sebagai yang saya tulis dalam artikel pada 1989 (dalam buku Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu, Balai Pustaka, 1989). Dalam kaitan inilah UU No. 14 tahun 2005 yang menuntut pendidikan guru sebagai pendidikan bertaraf S1+D4+ merupakan suatu keputusan yang sesuai dengan tuntutan pendidikan memasuki abad 21.

Walaupun demikian penulis tidak sepenuhnya sepaham dengan UUGD yang membuat taksonomi kompetensi guru menjadi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Menurut penulis, guru profesional harus menguasai tujuh gugus pengetahuan dan teknologi yakni 1. Karakteristik peserta didik; 2. Ilmu pengetahuan sebagai objek belajar dan ways of learning dan mode of inquiry; 3. Hakekat tujuan pendidikan dan kompetensi yang harus dicapai dan dikuasai peserta didik; 4. Teori belajar umumm dan khusus; 5. Model pembelajaran sesuai dengan bidang studi; 6. Teknologi pendidikan; 7. Sistem dan teknik evaluasi.

Kemudian, tujuh gugus pengetahuan dan teknologi tersebut ditambah dengan pengetahuan dan pemahaman dengan filsafat pendidikan, dasar negara pancasila, UUD 1945, sejarah nasional bangsa dan sistem pendidikan nasional. Kiranya seperti itulah pengetahuan yang seharusnya dimiliki guru Indonesia yang berderajat profesional.

Masalah yang harus dibahas selanjutnya adalah bagaimana kita merancang program pendidkan yang dapat menghasilkan pendidik (guru) dan tenaga kependidikan yang profesional?

Kurikulum untuk Pendidikan Prajabatan Guru yang Berderajat Profesional Untuk mendidik calon guru profesional, perlu dirancang dua tahap program pendidikan yaitu: 1. Tahap pendidikan akademik profesional dan 2. Tahap pendidikan dan latihan profesional.

Pada tahap pertama para mahasiswa calon guru mengikuti pendidikan untuk menguasai: 1. Pengetahuan dan pemahaman tentang karakteristik peserta didik, baik kognitif, emosional, fisik dan sosial Sesuai dengan tingkat perkembangannya yang terkait dengan jenjang pendidikan; 2. Pengetahuan dan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan sebagai sumber objek belajar dan sebagai ways of knowing; 3. Filsafat pendidikan dan teori pendidikan, yang meliputi yujuan pendidikan nasional dan peranan setiap kegiatan pendidikan untuk mencaapai tujuan pendidikan; 4. Berbagai teori beljar baik umum, termasuk social learning theory dan khusus yang terkait dengan suatu bidnag studi dan atau dengan karakteristik peserta didik; 5. Berbagai model pembelajaran yang terkait dengan berbagai bidang studi; 6. Teknologi pendidikan; 7. Sistem dan teknik evaluasi; 8. Sejarah dan sistem kenegaraan NKRI sesuai dengan pencasila dan UUD 1945. Tahap ini dapat ditempuh dalam periode enam semester.

Tahap kedua adalah tahap pendidikan dan praktik profesional. Pada tahap ini selama dua semester para mahasiwa belajar menerapkan berbagai pengetahuan dasar akademik yang profesional yang diperoleh selama enam semester pertama untuk: 1. Merencanakan program pembelajaran; 2. Melaksanakan program pembelajaran, termasuk mengevaluasi; 3. Mendiagnosa berbagai hambatan dan masalah yang dihadapi peserta didik; 4. Menyempurnakan program pembelajaran berdasarkan umpan balik yang telah dikumpulkan secara sistematik.

Dalam tahap kedua ini calon mahasiswa dua pertiga waktunya berada dalam lingkungan sekolah untuk mengamati, memimpin dan membimbing proses pembelajaran di bawah supervisi tim dosen profesional. Setelah melalui program pendidikan yang demikian seseorang mahasiswa yang lulus setelah melalui berbagai evaluasi yang komprehensif dan terus menerus dapat memperoleh sertifikat sebagai pengajar.

Mereka yang telah lulus program pendidikan guru profesional inilah yang selanjutnya dapat mengikuti pendidikan pasca sarjana untuk menjadi tenaga kependidikan seperti : Bimbingan konseling, ahli hukum, ahli administrasi pendidikan dan ahli teknologi pendidikan. Dengan demikian tenaga kependidikan yang profesional dalam pandangan saya hendaknya adalah mereka yang telah mengikuti pendidikan guru profesional dan atau telah juga berpengalaman sebagai guru profesional, sehingga dapat berperanan memberikan bantuan profesional kepada guru untuk terus memperbaiki mutu pendidikan..

Soedjiarto (tengah)

Foto: Istimewa

Page 22: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

[1]

[4]

18 Didaktika

Page 23: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

[1] Gedung Eks- Sarwahita

[2] Gedung IDB I

[3] Gedung IDB II

[4] Gedung Parkir

[5] Gedung Pascasarjana

[2] [3]

[4] [5] Karut Marut PembangunanSudah empat tahun UNJ melakukan pembangunan fisik besar-besaran. Kini, beberapa gedung nampak berhenti proses pengerjaannya. Tidak ada transparansi mengenai pembangunan terhadap civitas academica.

Oleh : Virdika Rizky Utama

Foto

: Did

aktik

a

Edisi 43 23

Page 24: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

24 Didaktika

Sejak 2009, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) giat melakukan pembangunan fisik. Mulai dari renovasi gedung lama hingga membangun beberapa

bangunan baru. Kampus eks Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta ini mendapat kucuran hibah dari Islamic Development Bank (IDB) dan dana pendamping dari Government of Indonesia (GoI) untuk membangun.

Hibah IDB sebesar US$ 25 juta digunakan untuk mendirikan beberapa gedung baru, yakni IDB Building I dan II yang terletak di sekitar gedung Rektorat. “Sedangkan dana dari GoI hanya untuk merenovasi gedung yang sudah ada. Gunanya renovasi agar IDB percaya, bahwa kita (UNJ-red) cepat dalam melakukan pembangunan dan diharapkan uang dari IDB cepat turun,” tutur Dedi Purwana, Koordinator Pembangunan IDB di UNJ.

GoI sendiri mengucurkan dana sebesar Rp 25 miliar dari total rencana anggaran pembangunan sebesar Rp 60 miliar. Masing-masing berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2010 sebesar Rp 10 miliar dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011 sebesar Rp 15 miliar.

Berbekal sejumlah dana tersebut, UNJ fokus melaksanakan pembangunan fisik. Utamanya di Kampus A, sudah dilakukan renovasi di beberapa gedung dan pendirian dua IDB Buiding. “Gedung-gedung tersebut nantinya diperuntukkan untuk pengembangan kampus seperti penelitian, beberapa ruang kelas dan ruang kantor untuk perwakilan IDB di UNJ,” kata Koordinator Kegiatan Pembangunan UNJ Dedi Purwana. Selain itu, rencananya kampus akan mendirikan enam gedung baru lainnya. Yakni untuk Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Fakultas Teknik (FT), Fakultas Bahasa dan Seni (FBS). Fakultas Ekonomi, Pascasarjana dan Gedung Kemahasiswaan.

Kini, empat tahun sudah pembangunan fisik dijalankan. Masih dalam masa kepemimpinan Rektor Bedjo Sujanto, beberapa bangunan sudah nampak berdiri, diantaranya IDB Building I dan II. Keduanya sudah hampir selesai dibangun, tinggal menunggu waktu penggunaan serta peruntukannya yang masih simpang siur.

Sementara, beberapa bangunan lainnya terlihat mangkrak. Hampir setahun terhenti pengerjaannya. Misalnya saja, Gedung Parkir, Gedung eks Sarwahita yang terletak di samping Masjid Alumni dan Gedung Pascasarjana. Masing-masing nampak layaknya bangunan setengah jadi.

Menurut Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum (PR II) Suryadi, beberapa gedung yang proses

pembangunannya terhenti bukan dibiayai IDB melainkan pemerintah. Oleh karena itu, hal tersebut menjadi sangat wajar. Sebab, terkait dengan dana yang memang diberikan berangsur oleh pemerintah. Sejumlah dana yang dibutuhkan kampus untuk menyelesaikan sebuah bangunan tidak diberikan sekaligus.

“Sesuai perjanjian sejak 2009, kontrak kerja dengan kontraktor bangunan memang sudah habis dan akan kembali berjalan jika dana dari IDB dan APBN sudah turun,” ujar Suryadi. “Kontrak kerja dengan kontraktor ini berlangsung paling lama dua tahun setelah uang proposal dari IDB dicairkan dan diharapkan selama dua tahun tersebut target pembangunan selesai.” Suryadi melanjutkan, hingga kini pihak kampus belum lagi mendapatkan dana dari IDB untuk melanjutkan proses pembangunan. Lantaran UNJ belum merapikan sejumlah gedung fakultas yang dinilai masih jelek.

Ifaturohiah Yusuf, salah satu panitia pengadaan alat laboratorium 2010 yang banyak pula berhubungan dengan proyek-proyek yang ditangani UNJ mengatakan, pembangunan beberapa gedung yang berhenti secara tidak langsung justru ada hubungannya dengan kasus korupsi pengadaan alat laboratorium yang mendera beberapa orang di UNJ sejak 2012. Menurut Ifath sapaan akrabnya, dana APBN yang tak kunjung turun bukan hanya karena pemerintah belum menurunkanya. Melainkan tim-tim UNJ yang bertugas

KAMPUSIANA

Dedi Purwana, Dekan FEFoto: Istimewa

Page 25: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Edisi 43 25

mengajukannya pun tidak lagi mengusahakannya.

“Sejak ada kasus korupsi kebanyakan teman-teman (yang mengurus proyek) malas mengurus lagi,” seloroh Ifath saat ditemui Didaktika sekitar setahun lalu. “Habis kami sudah kerja keras mengurus proyek seperti itu yang tujuannya untuk kebaikan UNJ malah dihujat beberapa pihak.”

Lagipula, menurut Dedi Purwana ada hal lain yang bisa jadi penyebab beberapa gedung berhenti dibangun. Ia mencontohkan untuk Gedung eks Sarwahita yang berlokasi di sebelah Masjid Alumni, pendiriannya tidak sesuai dengan rencana awal. “Sebenarnya dulu direncanakan hanya empat lantai, namun Pak Rektor (Bedjo Sujanto) menginginkan dibangun 10 lantai, ya sudah jadi sekarang 10 lantai,” ungkap Dedi.

Ketidaksesuaian pembangunan gedung dengan rencana awalnya memang sangat mungkin terjadi di UNJ. Sebab, sejak awal diselenggarakan kegiatan ini seolah tidak punya sebuah rancangan besar yang digunakan dengan disiplin. Hal ini nampak pada kegiatan pembangunan di bawah kepemimpinan Rektor Bedjo Sujanto ini selalu berdalih mengandalkan master plan yang telah disusun oleh Rektor sebelumnya, Sutjipto.

Padahal, kini pihak kampus tidak melaksanakan master plan yang dibuat Sutjipto. Perencanaan yang menegaskan bahwa tiap bangunan tidak boleh didirikan melebihi empat lantai itu dinilai sangat sulit dilaksanakan sebab, sudah tidak relevan dengan dinamika ibukota. Seperti dikatakan Dedi Purwana,

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang menargetkan 30% wilayah dialokasikan untuk ruang terbuka hijau. “Kami mendukung program Pemprov, maka dari itu kita buat gedung melebihi empat lantai. Hal ini dilakukan agar dapat menghemat lahan,” ujar Dedi. “Sisa lahan pembangunan akan kita buat taman terbuka hijau.”

Bagi Sutjipto, tiadanya perencanaan dalam pembangunan kampus ini sangat bermasalah. Karena pada tingkatan berikutnya, master plan dapat menjadi penjelasan atas urgensi serta keberpihakan kegiatan pembangunan yang sedang dilakukan. “Kenyataannya banyak mahasiswa baik S1 maupun Pascararjana tidak pernah tahu rencana pembangunan kampus. Apakah gedung yang sedang dibangun untuk ruang belajar, atau untuk keperluan pribadi UNJ?” tutur Sutjipto.

Sutjipto menyangka, beberapa gedung

bertingkat hanya dibangun untuk urusan bisnis birokrat kampus. Hal ini nampak pada sejumlah bangunan yang digunakan sebagai lokasi bisnis. Padahal, pada 2012 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menargetkan seluruh Perguruan Tinggi Negeri untuk menerima 45.000 mahasiswa. Ia membayangkan, dengan jumlah tersebut kondisi kampus akan sangat sesak dan mestinya disiasati dengan konsep pembangunan yang sesuai. “Awal Perkuliahan tahun lalu (2012) saja, hampir tidak ada tempat untuk berjalan karena jumlah mahasiswa yang membludak diiringi jumlah kendaraaan yang juga naik,” ucapnya.

Hal ini terjadi karena sejumlah gedung baru belum jelas kapan akan selesai dan siapa yang dapat menggunakannya. Apalagi jumlah mahasiswa baru akan meningkat 5% tiap tahun. Proporsi ini sangat jauh dari kesan nyaman dalam melakukan perkuliahan.

Buat mantan rektor yang akrab disapa Tjipto ini, bayang-bayang ketidaknyamanan yang bakal muncul bahkan setelah pembangunan selesai hadir karena selama ini kampus tidak pernah memberikan transparansi mengenai pembangunan kepada civitas academica. Padahal semestinya sudah sejak awal hal macam itu dilakukan oleh pihak kampus, karena apapun yang dilakukan kampus secara langsung akan punya pengaruh pada kehidupan mahasiswa. “Bagaimana mahasiswa bisa mengabdi pada masyarakat kalau kampusnya saja tidak pernah mengabdi pada mahasiswa?” pungkas Tjipto..

Sutjipto, Guru Besar UNJ

Foto: Istimewa

Page 26: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

26 Didaktika

Opini Dosen

Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar ditangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu malam (2/10/13).  Ditemukan barang bukti berupa uang dalam bentuk Dolar Singapura sekitar Rp 3 miliar

di rumah dinasnya, Widya Chandra Jakarta. Kasus tersebut diduga memiliki kaitan dengan perkara pemilihan kepala daerah di Kalimantan Tengah. Kenyataan itu berkebalikan dengan pernyataan Akil Mochtar sebelumnya bahwa “independensi MK adalah harga mati”.

Suap terhadap perkara hukum bukan barang baru di negeri ini. Kasus itu memperpanjang pesimisme publik terhadap penegakan keadilan. Publik yang pesimis itu mengenal orang-orang yang disebut dengan makelar perkara, polisi dengan rekening gendut, jaksa amplop, hingga hakim bayaran. Publik merasa masgul ketika benteng terakhir keadilan tidak lagi bisa dipercaya; kemana lagi publik akan mencari keadilan?

Patokan-patokan tentang penegakan keadilan tampaknya tidak lagi dapat dicocokkan dengan teori kontemporer. Selama ini, dalam teori keadilan yang dikembangkan oleh John Rawls berbunyi bahwa lembaga keadilan adalah realisasi dari nalar publik untuk penegakan keadilan. Nalar publik ini haruslah disokong oleh nilai-nilai yang menjadi pijakan bersama.

Pada kenyataannya, rasionalitas yang menopang lembaga peradilan itu tidak bisa diserahkan saja pada mekanisme peradilan publik semata. Kasus yang terjadi pada lembaga peradilan di Indonesia sekarang ini seperti menunjukkan kepada kita bahwa mekanisme nalar publik, rasionalitas, dan partisipasi masyarakat dalam menegakkan keadilan tidak memadai sebagai kerangka pemahaman bersama. Berbanding terbalik Karena itu, Habermas dan Rawls boleh saja kecewa ketika keadilan tidak bisa diselesaikan oleh lembaga peradilan sendiri. Faktanya, tingginya realisasi ideal itu berbanding terbalik dengan kasus-kasus kejahatan yang melibatkan tokoh pemimpin lembaga peradilan.

Negeri Si Pemimpin Rakus

Dalam konteks politik, pemimpin yang terpilih langsung juga tidak sedikit yang terlibat kejahatan. Di antara 400 kepala daerah di Indonesia, ada sebanyak 174 kepada daerah yang telah dipilih langsung. Sejak 2004 hingga sekarang, ternyata perubahan model pemilihan itu menghasilkan 140 kepala daerah yang sekaligus berstatus sebagai koruptor.

Kita dapat pelajaran,  perbaikan model pemilihan pemimpin tidak memberikan jaminan terhadap perbaikan mental pemimpin. Dalam perubahan sistem tersebut, mental pemimpin hanya terlihat dalam keberanian untuk maju untuk dicalonkan sebagai pemimpin. Contoh, untuk bisa menjadi calon kepala daerah melalui jalur partai maupun jalur independen, seseorang harus berani mengorbankan segala waktu dan tenaga untuk memperoleh suara rakyat.

Untuk maju menjadi calon pemimpin partai, seseorang dituntut berani mengorbankan segala hal yang dimiliki agar memperoleh suara dari para kader. Keberanian itu dapat dikatakan sebagai realisasi dari pepatah Latin, “Virescit

Ilustrasi: Istimewa

Page 27: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Edisi 43 27

Pesan dari fakta di atas, kekayaannya meningkat berkali-kali lipat dibanding sebelumnya. Hal itu berbeda dengan usaha perdagangan dan jasa yang membutuhkan waktu yang lama untuk meningkatkan laba dan kekayaan pribadi.  Jadi dalam banyak hal, jabatan pemimpin menjadi sarana mengumpulkan kekayaan sebesar-besarnya.

Fakta, pada tahun 2012 sudah 24 kepala daerah yang telah diproses hukum karena korupsi. Kejahatan yang menjadi pembicaraan publik di antaranya adalah kasus Bupati Buol yang terlibat dalam kasus penerbitan izin usaha perkebunan dan hak huna usaha PT Citra Cakra Murdaya.

Demikian pula mantan Wali Kota Cilegon diketahui terlibat kasus pembangunan tiang pancang dermaga. Ada kasus Bupati Seluma Murman Effendi yang menyuap 27 anggota DPRD Seluma periode 2009-2014. Wali Kota Semarang Soemarmo dinyatakan terlibat dalam kasus suap kepada anggota dewan terkait dengan pembahasan APBD Kota Semarang.

Kasus-kasus di atas memberikan tengara tentang tak ada hubungan implikatif tentang perubahan sistem politik terhadap karakter kepemimpinan di Indonesia. Maksudnya perbaikan yang ada tidak membawa dampak terhadap perbaikan karakter kepemimpinan. Dalam bahasa ilmiah bisa dikatakan, tidak ada korelasi positif antara perbaikan sistem pemerintahan dengan perbaikan mental pemimpin lembaga peradilan.

Sekarang bisa dijawab, itulah kenapa munculnya pemimpin lembaga peradilan dalam sistem politik, kepemerintahan, dan sosial tidak memberikan harapan terhadap perbaikan kualitas kepemimpinan pada masa yang akan datang. Kita tidak memiliki sistem untuk keluar dari krisis mental para pemimpin bangsa karena mekanisme pemilihan pemimpin dalam lingkungan eksekutif, yudikatif, dan legislatif tidak bisa mengidentifikasi pemimpin-pemimpin peradilan yang rakus dan haus kemewahan. (1/2/13)..

Negeri Si Pemimpin Rakus

vulnere virtus”, keberanian makin besar melalui rasa sakit. Semakin banyak dia mengorbankan segala kenyamanan, maka seseorang semakin berani.

Tetapi para pemimpin kita tidak berani menolak kemewahan yang ditawarkan oleh suatu seseorang atau kelompok. Dalam bahasa Aristoteles, keberanian melawan rasa sakit tidak setara dengan keberanian untuk menjadi sederhana. Kata Artistoles, “Jika pemimpin memiliki keberanian, maka dia tidak mengambil keuntungan apapun terhadap keputusannya.” (Aristoteles, 1134a-1134b). Sarana menjadi kaya Kecenderungan yang terjadi, proses demokratisasi ini justru menjadi peluang untuk mengubah nasib pribadi maupun kelompok. Bukti, pada mulanya seorang pendiri partai hidup dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Setelah menjadi ketua partai, dalam waktu tidak lama dia kemudian berhasil membeli rumah di tanah seluas 500 meter persegi di Jakarta.

SAIFUR ROHMAN, Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia

Ilustrasi: Istimewa

Page 28: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

28 Didaktika

Opini Mahasiswa

Tabir berbicara dalam bahasanya sendiri. Ia mengindikasikan selubung yang menutup, menghalangi penglihatan. Tentu apa yang dianggap penglihatan ini tidak selalu bermakna inderawi.

Pemakaian tabir pasti dilandasi sejumlah motif. Ada ‘hal yang disembunyikan, ada yang dilindungi supaya hal itu tidak bisa dijangkau penglihatan. Hal yang patut diamankan. Ada makna tertentu yang berada dibalik tabir. Oleh karena itu, tabir adalah sarana yang penggunaannya tergantung si pemakai.

Terlepas bagaimana motif perlindungan ataupun pengamanan dari pemakaian tabir, raison d’etre nya adalah sebagai sarana. Konsekuensinya, konotasi tabir menjadi sangat lentur, tergantung bagaimana pemaknaan kontekstual yang mengalaskannya.

Lantas, bagaimana jika tabir berkawin dengan kekuasaan dan dimaknai sebagai selubung terhadap kebenaran?

Jawaban pertanyaan di atas pernah menjadi torehan noda sejarah Indonesia. Lekat dalam ingatan soal orde baru yang mahir membuat tabir untuk menutupi borok dari aneka rupa penyimpangan. Soeharto dan kroninya menciptakan tabir dari kebenaran tragedi 30 September dengan kanal represi militer dan hukum. Hasilnya? Ratusan ribu orang terpenjara, puluhan ribu manusia melayang. Pengorbanan bangsa ini begitu besar untuk menerima konsekuensi dari penjagaan tabir yang dibangun penguasa. Muara semua ini tidak main-main. Karena kedigdayaan tabir atas kebenaran telah bercokol selama puluhan tahun, terciptalah kebenaran semu. Ada realita yang diciptakan untuk menghasilkan kesadaran palsu (false consciousness). Ekses ini disebut Baudrillard sebagai hiperrealitas.

***

Salah satu lembaga yang bekerja untuk kebenaran adalah pers.

Melalui empat fungsinya sebagai lembaga informasi, edukasi, hiburan dan kontrol sosial, pers dengan laku jurnalistiknya berupaya keras mencari kebenaran. Tentu kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran jurnalistik yang dijalankan dengan disiplin verifikasi dan objektivitas yang saklek.

Oleh karena tujuannya adalah kebenaran, pers selayaknya diberi kebebasan dalam menjalankan lakunya. Kebebasan ini tidak dimaknai tanpa batas. Harus ada pertanggungjawaban yang—menurut Bill Kovach dan Tom Rossentiel dalam Sembilan Elemen Jurnalisme—berkiblat pada publik.

Kebebasan menyebarkan informasi yang ada pada pers diakomodasi negara dan diakui sebagai hal yang asasi dalam pasal 28 F UUD 1945 : Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Kebebasan yang dipunyai pers harus dimanfaatkan untuk menyingkap tabir atas kebenaran. Potensi dari penggunaan disiplin verifikasi seharusnya membuat pers lebih bergigi dalam mengajukan pertanyaan atas setiap kejanggalan. Utamanya pada hal-hal yang bersifat publik.

Maka ketika pers yang berupaya menyampaikan kebenaran dihalang-halangi oleh sejumlah pihak, memunculkan pertanyaan, apa tujuan? Apa hal di balik tabir yang ditutupi?

Sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga.

TabirIlustrasi: Istimewa

Page 29: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Edisi 43 29

Mengapa ditutupi?

Apalagi, moda penghalangan diperburuk dengan adanya kekerasan. Dua kata yang apabila dipadukan sangat berdampak negatif bagi sehatnya iklim kebebasan berpendapat : penghalangan dan kekerasan. Bagi para pihak yang melakukan dua tindakan ini layak disinyalir ada usaha perlindungan agar tabir kebenaran yang dirajutnya tidak tersingkap. Ada resistensi terhadap upaya pers yang ingin menengok tabir tersebut supaya bangkai yang disimpan sang perajut tidak terendus. Supaya pembenaran tetap dibenarkan.

Supaya orasi pembenaran tetap pada panggungnya.

***

Yang lebih buruk dari segala buruk adalah apabila resistensi pencarian

kebenaran yang diupayakan pers terjadi kampus.

Kampus semestinya menjadi percontohan iklim kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi bagi masyarakat luas. Apabila kampus sudah mengingkari adanya proses ini, maka kampus sudah menegasikan peran dasarnya sebagai lembaga formal ‘memanusiakan manusia’. Menjadi suatu paradoks ketika kampus yang notabene produsen kebenaran ilmiah, malah membuat tabir dari permasalahannya sendiri.

Sayangnya, dalam beberapa kasus belakangan, kampus semakin melegitimasi diri menjadi contoh yang tidak baik. Beberapa represi kepada pers mahasiswa yang terjadi dimulai dari Sigli, Aceh, yang menimpa Lembaga Pers Mahasiswa Pijar, Universitas Jabal Ghafur. Rektorat secara aktif ingin membekukan Pijar karena pemberitaannya yang dianggap mencemarkan nama baik kampus. Kasus serupa

juga menimpa rekan-rekan pers mahasiswa Epicentrum yang ditekan habis melalui penyuntingan berita pra terbit oleh rektorat IISIP Jakarta. Belum lagi kekerasan yang menimpa awak redaksi LPM Didaktika UNJ yang dibiarkan begitu saja oleh kampus seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Berbagai kanal represi yang dilakukan kampus, dengan mengambil contoh kasus di atas menimbulkan kecurigaan. Apa yang ada di balik tabir yang dilindungi? Mengapa suatu upaya pencarian kebenaran di sentra ilmu pengetahuan dianggap haram?

Menjawab ragam pertanyaan, saya menganalogikan represi pers mahasiswa di kampus dengan apa yang disampaikan Albert Camus dalam novelnya berjudul Sampar. Novel ini menceritakan tentang beberapa perilaku manusia ketika penyakit Sampar mewabah di kota Oran. Salah satu yang diceritakan Camus adalah Cottard si rentenir yang merasa menikmati kondisi sosial yang terjadi akibat wabah Sampar. Kenikmatan Cottard dilatarbelakangi para polisi yang fokus membantu masyarakat Oran mengatasi wabah. Jika dalam situasi normal, Cottard merasa ketakutan karena dikejar-kejar penegak hukum mengingat profesinya saat itu meresahkan masyarakat. Akhirnya, alih-alih membantu pengobatan penderita Sampar, Cottard malah membiarkan penyakit itu terus mewabah. Cottard menolak perilaku haramnya terungkap melalui tindakan pembiaran.

Pastinya, tidak semua orang menyepakati kesimpulan saya. Pada titik ini tesis masuk pada grey area, wilayah yang warna pemaknaannya sulit diidentifikasi. Hal ini wajar, karena kebenaran yang dicari sudah sedemikian dibendung pihak kampus. Sehingga tabir tetap berkuasa dan mengambil perannya sebagai penutup kebenaran dengan anggun.

Meski begitu rapat, para perajut tabir akhirnya harus menerima keadaan bahwa terkaan perihal apa yang tersembunyi dibaliknya begitu bebas bergulir. Pun serapat-rapatnya ia dirajut, upaya membongkar pembenaran dari muka selubung tidak akan pernah selesai..

ROBBI IRFANI MAQMA*

Pemimpin Umum Pers SUMA UI

Ilustrasi: Istimewa

Page 30: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

26 Didaktika

Salah satu visualisasi logo UNJ. Sebuah buku dan objek melayangFoto: Didaktika

Page 31: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Edisi 43 31

[SUPLEMEN]

Indro adalah soal identitas yang disemat oleh tiap kampus dalam lambangnya. Paling tidak, hal tersebut ia pahami lewat penggunaan garis penutup pada tiap sketsa. Indro menilai, penggunaan garis penutup untuk mengelilingi sebuah logo institusi menggambarkan niat menjadi pribadi tertutup. Sedangkan ada kecendrungan untuk punya sifat yang lebih terbuka saat sebuah institusi enggan menaruh kreasi garis di sekeliling lambangnya.

“Saat itu UNJ memilih yang tertutup,” ujar Indro Moerdisuroso ketika ditemui

Didaktika beberapa waktu lalu. Ia melanjutkan, pemilihan model tersebut memang disesuaikan dengan karakter yang ingin diusung oleh kampus. Penentuannya pun tidak asal, sebab merupakan ketukan palu Rapat Senat UNJ. “Senat memutuskan, bahwa UNJ harus bisa menerima segala masukan dari luar, namun tidak serta merta,” papar lelaki yang akrab disapa Pak Indro ini. Mesti ada penyesuaian dengan nilai ke-UNJ-an saat ragam hal dari luar merasuk ke kampus pendidikan ini.

Persoalan identitas memang jadi sorotan

Di Balik Sebuah Logo

Indro Moerdisuroso tidak main-main saat Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Sutjipto mendaulatnya untuk mengerjakan proyek pembuatan logo kampus.

Sebagai dosen dan alumnus Jurusan Seni Rupa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta, ia melakukan penelitian terhadap 50 logo dari berbagai universitas untuk dijadikan referensi. Hasilnya, Indro berhasil mengklasifikasikan ragam logo tersebut ke dalam beberapa kategori.

Hal utama yang menarik perhatian

Oleh : Yogo Harsaid

Bagaimana logo UNJ menampilkan semangat serta identitas yang dipunya kampus saat baru berkonversi dari IKIP menjadi universitas?

Page 32: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

32 Didaktika

utama saat itu. Pasalnya, pada 1999 UNJ merupakan institusi yang baru saja lahir kembali. Ia yang sudah sejak 1964 didaulat untuk melaksanakan tugas mencetak guru-guru bangsa dalam kemasan kelembagaan IKIP, mesti berkonversi menjadi universitas.

Perubahan bentuk kelembagaan ini dilakukan pemerintah dalam rangka meluaskan mandat kepada setiap kampus eks IKIP. Mereka mesti bisa mengembangkan ihwal keilmuan di samping terus mengedepankan ilmu-ilmu kependidikan. “Orang-orang yang kita hasilkan harus tahu soal pendidikan dan bidang studi,” kata Rektor pertama IKIP Jakarta saat sudah dikonversi menjadi UNJ, Sutjipto. “Misalnya guru matematika, adalah guru yang bisa menerjemahkan ilmu matematika ke dalam pengalaman anak.”

Cita-cita konversi IKIP sudah digagas sejak 1990-an oleh Guru Besar UNJ H.A.R. Tilaar, waktu itu menjabat Staff Ahli Menteri Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Tilaar menyadari, untuk menghadapi tantangan zaman abad ke-21 saat ilmu pengetahuan mendominasi segala lini kehidupan, sektor pendidikan harus pegang peranan. Maka yang pertama mesti dilakukan adalah meningkatkan kualitas guru Indonesia lewat penguatan institusi yang memproduksi mereka.

Maka, konversi dipilih jadi jalan yang bisa menguatkan posisi LPTK. Karena saat berbentuk universitas, pengembangan bidang keilmuan untuk menunjang profesi guru diharap dapat dilakukan dengan leluasa. Hingga pada 1999, Presiden Habibie memutuskan untuk mengubah struktur LPTK dari IKIP menjadi Universitas melalui Keppres No. 093/1999.

IKIP Jakarta jadi salah satu yang masuk gelombang awal. Di bawah kepemimpinan Rektor Sutjipto, ia mantap mengubah diri menjadi UNJ. “Dengan menjadi universitas, kita (akan) memperluas persaingan. Kita harus bagus. Karena tujuannya agar terpacu untuk memperbaiki diri,” ujar Rektor Tjipto.

Sebagai universitas, UNJ butuh beberapa perangkat yang bisa memasyarakatkan semangat barunya. Dalam hal ini, logo menempati posisi penting. Sebab ia hadir dalam berbagai kesempatan, sehingga

bisa segera memainkan peranan secara visual.

Rektor Sutjipto kemudian menetapkan beberapa kriteria yang mesti ada dalam logo. Yakni soal keterkaitan dengan IKIP serta mengenai spirit kemajuan. “Jadi saya hanya mencari bahasa visualisasinya yang cocok,” aku Indro Moerdisuroso.

Lewat banyak diskusi yang dilakukan bersama Sutjipto sebagai juru bicara Senat, Indro mengajukan empat desain logo. Ia sengaja membuat beberapa alternatif sebagai pilihan. Sebab ia mengakui, Rektor Sutjipto cukup sensitif dan kritis terhadap karya seni. Dari keempat karya tersebut, Sutjipto jatuh hati pada salah satu desain. Kemudian didaulat untuk menjadi logo resmi UNJ hingga kini.

Sayangnya, Indro Moerdisuroso seolah hanya mengikuti keinginan Rektor Tjipto dalam pembuatan logo. Padahal, layaknya seorang art director ia mesti menerjemahkan dan menjelaskan keinginan pemesan dalam konsep visual yang sesuai. Terlebih, logo merupakan identitas utama secara visual, jadi mesti dibuat relevan dengan zamannya paling tidak hingga 50 tahun ke depan.

Ia justru membuat logo yang sarat dengan makna dan simbol. Tidak dapat dipahami dalam sekali pandang. Hal ini bisa jadi merupakan kelemahan paling akut yang diderita karya visual kebanggaan kampus eks IKIP Jakarta. Karena, tidak mampu memasyarakatkan nilai barunya dalam segi visual secara cepat.

Toto Prastowo, Art Designer majalah VOICE+ mengatakan, gaya naratif dalam karya visual di Indonesia, tak bisa dilepaskan dari kekangan rezim Orde Baru dalam mengeluarkan ide kreatif. Kondisi serba tertutup telah membiasakan masyarakat mengetahui informasi dalam proses lisan. Hingga dalam karya visual pun ada gaya yang masih lekat, gaya bercerita, gaya narasi. Hingga wujud sebuah karya jauh dari konsep yang ingin disampaikan.

Buat Toto, masih mahasiswa Jurusan Seni Rupa kala logo tersebut dibuat, logo UNJ masuk dalam kategori bernarasi. Padahal, di zaman sekarang yang mesti diutamakan adalah kecepatan makna tersebut sampai pada penikmat karya seni. “Logo itu mesti cepat, sederhana

dan keren dalam arti sesuai dengan konteks zaman,” ujarnya.

Namun, logo UNJ sangat jauh dari kesan itu. Dapat dipahami ketika menilik kembali dalam proses pembuatannya yang hanya melibatkan dua orang. Rektor dan si pembuat. Tidak ada andil mahasiswa dalam karya tersebut, paling tidak dalam menanamkan nilai-nilai yang terkait dengan semangat muda para mahasiswa. Padahal, Indro Moerdisuroso dianggap dosen yang dapat mewakilinya saat itu.

Di samping itu, secara visual logo UNJ juga nampak ringkih, tidak menunjukkan kesatuan yang kukuh. Sehingga tidak mewakili sifat mahasiswa yang mestinya aktif menghidupi kehidupan kampus. “Sekarang kita pun bisa berkata bahwa logo itu nggak gue banget,” tegas Toto.

Beberapa kampus lain menggunakan siasat apik saat merasa logonya tidak sesuai semangat zaman yakni dengan mencipta tagline. Sebagaimana dilakukan Universitas Indonesia (UI) dengan We are The Yellow Jacket-nya. Hal ini nampaknya ingin dihindari oleh UNJ dengan menciptakan tagline bersamaan dengan pembuatan logo.

Sayangnya, tagline yang dibuat pun bersifat lawas. Diusulkan sendiri oleh Rektor Tjipto dan nampak tidak ada pertimbangan khusus kepada civitas academica. “Kata Tuhan, masing-masing dari kamu adalah pemimpin,” ujar Sutjipto menerangkan maksud di balik tagline UNJ Building Future Leaders. Perihal mentalitas pemimpin memang semestinya dilatih pada tiap orang, hal ini tidak merujuk dan identik pada identitas UNJ. Satu-satunya identitas yang nampak secara semantik adalah ketiadaan identitas itu sendiri.

Sementara soal grafis Building Future Leaders, Indro Moerdisuroso kemudian membaginya menjadi tiga bagian terpisah. “Mengenai bentuknya yang dibuat miring itu adalah saran dari salah satu dosen Seni Rupa yang lain,” kenang Indro. Ia melanjutkan, kemiringan memang biasa digunakan dalam tipografi untuk menunjukkan kedinamisan. Sejalan dengan identitas baru UNJ yang diharap lebih dinamis dalam mengembangkan ilmu pengetahuan..

Page 33: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Edisi 43 33

[SUPLEMEN]

Upaya mematri identitas dan semangat Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta yang telah dikonversi menjadi Universitas Negeri Jakarta

(UNJ) nampak begitu gencar dilakukan di masa awalnya. Pada 1999, semangat perluasan mandat pengembangan ilmu pengetahuan dalam diri UNJ mewujud dalam logo kampus yang dibuat oleh Indro Moerdisuroso.

Logo tersebut merupakan simbolisasi UNJ secara utuh. Dibuat dengan bentuk teratai segi lima yang menghimpun beragam elemen di dalamnya. Seperti label UNJ, lima pasang sayap garuda, buku, serta tiga garis merah menyerupai api. “Buku

melambangkan teknologi, seni dan ilmu. Warna dasar kuning melambangkan budi pekerti dan lima sayap dan teratai melambangkan Pancasila,” jelas Sjafnir Ronisef, mantan Pembantu Rektor Bidang Akademik UNJ.

Begitu pula dengan motto Building Future Leaders. Dibuat masih dalam semangat UNJ yang tidak lagi memfokuskan diri pada pengembangan ilmu kependidikan. “(Setelah berbentuk universitas-Red) minimum lulusan UNJ bisa jadi pemimpin di masa depan, di semua sektor,” ujar mantan Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Mukhlis R. Luddin.

Namun, pembuatan logo dan motto yang akan ditempatkan dalam segala keperluan administrasi kampus dirasa belum cukup untuk memasyarakatkan semangat bentuk baru kampus ini. Menurut Indro Moerdisuroso, dibutuhkan sebuah strategi visual dalam rangka menanamkan kesadaran civitas academika. “Yaitu dengan melakukan sistem penandaan di lingkungan,” katanya.

Pengajar di Jurusan Seni Rupa ini menambahkan, peran visual dalam komunikasi begitu penting. Sayangnya saat masih berstatus IKIP, kampus pendidikan ini kurang memperhatikan peranan visual tersebut. “Makanya, momen itu (konversi IKIP menjadi UNJ-Red) saya gunakan untuk mengevaluasi lingkungan UNJ,” tambah Indro.

Buatnya, UNJ tidak pernah punya identitas yang jelas secara fisik. Terutama nampak dalam tata letak bangunannya. “Nggak ada yang pernah meyakinkan kita bahwa bagian itu adalah depan, karena hanya ada pagar kumuh,” ujar Indro.

“Padahal, laiknya sebuah kompleks, bagian depan itu menjadi kunci karena posisinya memberi isyarat pada orang-orang yang baru saja masuk, seperti apa tempat yang

akan dimasuki,” lanjut Indro. Meskipun penanda tersebut bersifat abstrak, namun dibutuhkan untuk menunjukkan identitas kampus.

Oleh karena itu, ia tak ragu menyampaikan kritik tersebut kepada Rektor UNJ, kala itu dijabat Sutjipto. Bak gayung bersambut, Rektor pun menerimanya. Mereka sepakat untuk memperbaiki lingkungan kampus, mulai dari bagian terdepan. “Analoginya wajahnya dulu yang dibersihkan,” ungkap Indro Moerdisuroso.

Maka proyek perbaikan tersebut dimulai dengan membuat gapura di Jalan Rawamangun Muka Nomor 1. Namun, Indro mengakui bahwa membuat simbol penanda bagian depan kampus, bukanlah perkara mudah. “Waktu itu proses kreatifnya bikin sakit kepala juga. Soalnya (rektor-Red) nggak mau gapuranya cuma kayak bikin gapura tujuh belasan,” seloroh lelaki yang sedang melanjutkan studi doktoral di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.

Untungnya Indro Moerdisuroso tidak tenggelam dalam kekosongan ide. Imajinasinya tertolong oleh umpan kreatif yang dilemparkan oleh Rektor Sutjipto. “Pak Rektor yang waktu itu memberi ide awal. Ia memberi umpan dengan melengkungkan sebuah kertas di depan saya,” tuturnya.

Lewat kepekaannya seninya, Indro memulai pembuatan desain gapura dengan tuntunan lengkungan kertas Rektor Tjipto. Hasilnya, terwujudlah sebuah bangunan yang menjadi garda terdepan UNJ. Berbentuk persegi panjang berwarna kelabu dengan logo UNJ tersembul di tengahnya.

Menyambung gapura, dibuat pedestrian yang terbelah oleh sungai kecil di tengahnya. Dua jalur pejalan kaki ini memang ingin dibuat istimewa, tampak

Indro Moerdisuroso, Dosen Seni Rupa

Mematung Sebuah Cita-citaOleh : Binar Murgati Pardini

Semangat dan nilai-nilai baru UNJ pascakonversi lebih banyak dimasyarakatkan secara monumental. Dalam kehidupan akademik, nampak tak ada perubahan.

Foto: Didaktika

Page 34: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

asri dengan beberapa palem tinggi yang ditanam di sekitarnya.

Selain itu, dibuat pula sebuah patung berbahan dasar tembaga yang ditempatkan di sudut ruang Teater Terbuka. Menurut Sutjipto, patung ini merupakan visualisasi dari logo dan motto UNJ. Makanya, tidak banyak berbeda dari elemen grafis yang terdapat dalam logo, patung ini menampakkan sebuah buku besar dan beberapa objek melayang di sampingnya. “Karena persyaratannya leader itu harus melihat yang luas,” kata Indro waktu menjelaskan secara sederhana soal makna dari patung tembaga tersebut.

Ia menambahkan, seni merupakan wujud kegemilangan peradaban manusia. Meletakkan karya seni di dalam institusi pendidikan mengandung maksud untuk menunjukkan jati diri sebagai tempat yang mampu membentuk dan mencari nilai kemanusiaan yang terlahir dalam sebuah peradaban. “Bukan sekadar pencitraan menyambut nama baru sebuah institusi,” pungkas Indro Moerdisuroso.

Terbentuknya Kultur Baru Perubahan identitas serta beragam perangkat pendukung yang dibuat dalam rangka konversi IKIP ke UNJ punya potensi besar untuk menjadi konteks atas terciptanya kultur baru civitas academica. Makanya, pembuatannya nampak diutamakan kala itu. Dan tidak dibuat asal, melainkan mengandung semangat dan harapan yang lengkap.

Namun, gagasan perubahan arah kampus mesti pula diimplementasikan dalam kurikulum dan berbagai aktivitas mahasiswa. “Jargon masih dalam bentuk

cita-cita, belum masuk ke dalam bentuk konkret,” terang Mukhlis R. Luddin.

Sebagaimana dikatakan Agung Pardini, salah seorang mahasiswa yang turut merasakan kehidupan masa transisi IKIP menjadi Universitas, mengaku tak banyak kultur akademis yang berubah. Sebab perangkat pendidikannya pun tak berganti. “Untuk kurikulum dalam perkuliahan sendiri tidak banyak perubahan, pun dalam mata kuliah mungkin karena ambil prodi pendidikan,” kata mahasiswa Sejarah angkatan 1999 ini.

Agung melanjutkan, ketika ia mendaftar dan mengikuti seleksi penerimaan nasional pada 1999, kampus yang ia tuju masih bernama IKIP Jakarta. Namun saat berkuliah statusnya sudah berubah menjadi universitas. Walaupun sudah berganti status dan nama menjadi UNJ, ketika proses perkuliahan Agung masih menggunakan sistem administrasi lama. Bahkan lembar Kartu Rencana Studi (KRS) dan Kartu Hasil Studi (KHS) pun masih menggunakan nama dan logo IKIP Jakarta.

Alih-alih banyak perubahan berarti dalam ranah akademik, yang nampak mencolok justru pergeseran dalam komposisi dan tingkat keragaraman mahasiswa. Jumlah mahasiswa asal daerah luar ibukota mengalami penurunan yang cukup signifikan. “Waktu saya masuk di IKIP Jakarta mayoritas mahasiswanya berasal dari luar Jabodetabek sekitar 60-70%. Sedangkan ketika dua tahun lalu diteliti kembali hanya 20% saja mahasiswa yang berasal dari luar Jabodetabek,” ungkap Erfi Firmansyah, dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Naiknya jumlah mahasiswa dalam kota ini tentu dipengaruhi dengan dibukanya beberapa program studi non pendidikan, sebagai wujud perluasan mandat pengembangan ilmu pengetahuan. Selain itu, banyak pihak menganggap konversi telah mengangkat harkat kampus eks IKIP. Tidak lagi sebagai perguruan tinggi kelas dua.

Maka, persaingan untuk memasuki UNJ pun kian ketat, dengan banyaknya peminat yang berasal dari Jabodetabek. Ditambah UNJ terus memepercantik wajah barunya dengan mengadakan pembangunan fisik secara besar-besaran dan semakin memperbaiki citra diri.

Dominasi mahasiswa dalam kota di UNJ ternyata punya pengaruh besar dalam hal penampilan serta gaya hidup mahasiswa. Mereka cenderung memilih gaya hidup urban yang khas. Semasa masih berstatus IKIP Jakarta, mahasiswa tak punya banyak gaya. Penampilannya selalu rapi, sebagaimana citra sosok pendidik.

“Saya ingat betul, setelah 2-3 tahun kemudian sejak saya masuk, mahasiswa yang seangkatan dengan saya itu berubah menjadi lebih rapi sebagaimana sosok pendidik,” ungkap Erfi Firmansyah, pernah berkuliah di IKIP Jakarta angkatan 1993 dan lulus pada 1999.

Namun, saat kampus ini tak lagi fokus memproduksi guru, gaya pakaian mahasiswa jadi lebih beragam. Sosok yang dicitrakan Erfi tak lagi memegang dominasi. Belum lagi soal kendaraan, “dulu nggak ada yang bawa Ferrari, sekarang ada mahasiswa yang bawa Ferrari,” seloroh Mukhlis L Ruddin..

Foto: Didaktika

Gapura di Jalan Rawamangun Muka No. 1, sebagi simbolpenanda bagian depan kampus.

34 Didaktika

Page 35: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Foto: Didaktika

Edisi 43 35

Page 36: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Laporan Khusus

Muslihat Uang Kuliah Tunggal

Oleh : Kurnia Yunita Rahayu

Siasat pengintegrasian beragam alokasi anggaran biaya kuliah dilakukan Dikti. Alih-alih mempermudah pengendalian, justru membuka peluang menambah beban yang harus dibayar mahasiswa.

Persoalan mahalnya biaya kuliah di Indonesia memang bukan hal baru. Terbukti, dalam dasawarsa terakhir angka partisipasi pendidikan formal anak di usia 19-24

tahun masih rendah. Menurut Badan Pusat Statistik, persentase mereka yang bisa berkuliah dari 2003 hingga 2012 masing-masing hanya mencapai 11,71%, 12,07%, 12,23%, 11,38%, 13,08%, 13,29%, 12,72%, 13,77%, 14,26% dan 15,84%. Ihwal tingginya biaya kuliah ini yang kerapkali menghalangi seseorang untuk mengenyam pendidikan tinggi.

Sekretaris Dirjen Dikti Patdono Suwignyo pun menyadari bahwa beban yang ditanggung masyarakat untuk berkuliah terlampau berat. Menurutnya, perbandingan biaya yang ditanggung masyarakat dengan pemerintah tidak proporsional. Masyarakat harus menanggung biaya yang lebih besar ketimbang pemerintah, sedangkan yang ideal adalah sebaliknya.

Oleh karenanya, sejak 2012 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mulai merumus sistem pengelolaan biaya kuliah bertajuk Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi universitas. UKT hadir tak sendirian, ia didampingi Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang diniatkan guna meringankan masyarakat berkuliah.

Apabila sebelumnya seorang yang hendak berkuliah harus membayar banyak alokasi anggaran misal uang gedung, SPP, Sistem Kredit Semester, biaya praktikum, jaket almamater sehingga tiap semester biaya kuliah tidak akan tetap. Melalui UKT mahasiswa hanya perlu membayar satu nilai yang tetap selama berkuliah 4 tahun.

Diakui Patdono, alokasi anggaran yang

terpecah itu sulit dikendalikan oleh pemerintah sehingga muncul angka tinggi sebagai biaya kuliah. “Kalau pemerintah melarang menaikkan SPP, yang dinaikan uang gedung atau SKS, atau praktikum,” ujarnya.

UKT dan BOPTN sendiri merupakan gagasan berdasar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 atau Undang-Undang Perguruan Tinggi (UU PT). Disebutkan dalam Pasal 88 UU PT, pemerintah bertugas menetapkan

standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi secara periodik berskala nasional yang ditimbang dari standar nasional, jenis program studi, dan indeks kemahalan wilayah dari tiap-tiap PTN. Sedangkan perihal BOPTN, tertera dalam Pasal 98 agar pemerintah mengalokasikan dana untuk bantuan operasional bagi PTN dari anggaran fungsi pendidikan.

Ambil langkah cepat menyukseskan program tersebut, Dikti segera keluarkan Surat Edaran Nomor 21/E/T/2012 mengenai sistem penarikan biaya baru dari masyarakat. Selain itu, muncul pula Surat Edaran Nomor 274/E/T/2012 mengenai mekanisme penghitungan penentuan dan Nomor 305/E/T/2012 mengenai pengawasan lonjakan biaya kuliah.

Upaya yang dilakukan Dikti terbilang langkah yang tergesa, karena dalam surat edaran tersebut Dikti tak menyertai konsep besar serta rumusan rinci soal UKT. Apalagi soal legalisasinya yang tak terjamin karena ketika diedarkan terakhir pada 21 Februari 2012, UU PT belum disahkan. UU PT baru sah Juli 2012 empat bulan setelah wacana UKT disebar.

Ketika surat edaran Dikti tiba di meja rektor PTN pun tak ada sambutan baik alias banyak menuai penolakan. Penolakan tersebut didasari melalui UKT, universitas akan mendapat defisit anggaran yang besar karena pada tiap tahun ajaran baru uang dari mahasiswa akan menyusut.

BOPTN yang diusulkan jadi dana pembantu pun tak terlalu bisa diharapkan menambal defisit anggaran. BOPTN bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) dengan

36 Didaktika

Patdono Suwignyo

Foto: Istimewa

Page 37: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

mekanisme pengajuan lelang dan tender yang butuh waktu lama dan baru cair pada akhir tahun sehingga tak mampu digunakan pada tahun anggaran yang sama.

Banu Pratitis, mantan Dekan Fakultas bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta (UNJ) salah satu yang keberatan terhadap UKT dan pernah mengalami polemik anggaran tersebut. Ketika UNJ mulai menerapkan UKT pada 2012, pendapatan di awal tahun anggaran anjlok sehingga ia harus mengeliminir beberapa kebutuhan fakultas yang dipimpinnya. “Tahun pertama dan kedua akan sangat sakit di fakultas,” ungkapnya.

Keberatan seperti yang disampaikan Banu sempat mampir ke Dikti, namun Dikti tak sampai membatalkan UKT. Penerapannya hanya ditunda hingga 2013, setelah itu seluruh PTN Indonesia wajib menjalankannya. Meskipun wajib dilaksanakan pada 2013, beberapa PTN telah curi start menerapkan UKT. Mereka adalah Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Universitas Negeri Surakarta (UNS), dan UNJ.

Langkah yang diambil PTN-PTN tersebut untuk lebih dulu menerapkan UKT bukannya menyelesaikan persoalan tingginya biaya kuliah, malah menimbulkan masalah. Biaya kuliah yang dibebani dibebankan mahasiswa justru melonjak. Biaya tersebut memang baru nampak ketika nominal UKT diakumulasi delapan semester.

Di UNJ, biaya kuliah melonjak hingga sekitar 50% dari tahun ajaran sebelum diterapkan UKT. Lonjakan tersebut terjadi karena UNJ menghitung biaya secara serabutan. Biaya pemeliharaan seluruh gedung dan aset yang dimiliki UNJ turut pula dimasukan ke dalam beban yang harus ditanggung mahasiswa selama kuliah.

“Kita sudah hitung Unit Cost walaupun belum secara rinci, perhitungan masih disempurnakan, masih secara kasar dan sangat besar karena dihitung pemeliharaan gedung dan aset-aset semua,” ungkap Riza Wirawan, Ketua Tim Pengembang UKT UNJ. “Sekarang itu kampus bisa melakukan pemeliharaan aset bukan dari dana rutin tapi karena ada hibah luar negeri. Dengan adanya

unit cost (maka) tetap ada dana pemeliharaan.”

Padahal, pembiayaan gedung dan aset kampus bukan tanggung jawab mahasiswa. Menurut Struktur Pembiayaan Pendidikan yang tertera dalam Lembar Presentasi Rapat Dikti dan Rektor se-Indonesia, 2 Juni 2012, biaya investasi merupakan bagian dari tanggungan pemerintah. Sedangkan

biaya yang mesti dibayar mahasiswa adalah biaya operasional, itu pun tidak seluruhnya.

Tak hanya di UNJ, Unsoed pun justru mengalami kenaikan biaya kuliah ketika menerapkan UKT. Galih Dirza Safir, mahasiswa Unsoed jurusan Ekonomi Pembangunan 2010 pernah membandingkan biaya kuliahnya dengan mahasiswa yang membayar UKT.

“Contoh ya, jurusan saya uang pangkal cuma Rp 3,6 juta kemudian semester satu dan dua membayar Rp 1,1 juta. Tapi dari semester tiga, cuma bayar Rp 850 ribu. Sedangkan dalam UKT, bayar normalnya itu Rp 2,85 juta,” pungkasnya.

Jika dikalkulasikan, mahasiswa yang akrab disapa Galih ini hanya perlu mengeluarkan Rp 10,9 juta untuk biaya kuliah selama delapan semester. Sementara, mereka yang sudah masuk dalam sistem UKT harus membayar Rp

22,8 juta untuk jumlah semester yang sama.

Hal ini dapat terjadi sebab, tiap PTN yang menyelenggarakan UKT berhak menentukan nominal biaya kuliah mahasiswanya. Muslihat semacam itu cenderung tidak terlihat karena setelah UKT diberlakukan mahasiswa hanya hanya disodor nilai tunggal tanpa mengerti alokasinya.

Soal pemberlakuan sistem baru ini pun banyak tak diketahui mahasiswa. “Sama sekali tidak ada sosialisasi mengenai UKT, baik di website kampus ataupun di Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan (BAAK) saat kami mendaftarkan diri,” aku Danang Budianta, mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) 2012.

Di Unsoed informasi yang minimalis malah dijadikan modus untuk menarik uang mahasiswa di luar yang telah ditetapkan di UKT. Mahasiswa

baru diminta untuk menyetorkan Sumbangan Murni yang dibayar

hanya sekali selama berkuliah di Unsoed.

“Salah satu contohnya adalah mahasiswa JPK 2012, mereka mengisi UKT Rp 12 Juta dan

Sumbangan Murni Rp 16 Juta,” ujar Munirah Dinayati, mahasiswa Jurusan Pertanian dan Kelautan (JPK) Unsoed 2008 yang juga ketua Save

Soedirman. Save Soedirman sendiri merupakan gabungan mahasiswa yang menolak penerapan UKT di Unsoed.

Tak hanya sampai di sana, banyak mahasiswa yang ingin membayar Sumbangan Murni di bank mendapati nominal yang dibayarkan naik dari yang sudah disanggupi saat pendaftaran. Karena tidak ada informasi, mereka tetap membayar sejumlah nominal baru yang lebih tinggi.

Save Soedirman menghimpun ada 1500 mahasiswa yang telah membayar via UKT tidak tahu apapun mengenai sistem UKT. Ketika ditanyakan soal kelebihan UKT tersebut, Rektorat Unsoed bergeming. “Mungkin itu terjadi karena sistem online error, atau mahasiswa yang salah klik (nominal UKT-Red), atau maklum saja, mungkin mahasiswa baru banyak yang orang kaya,” kata Munirah menirukan jawaban-jawaban pihak Rektorat Unsoed..

Muslihat Uang Kuliah Tunggal

Edisi 43 37

Page 38: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

38 Didaktika

Laporan Khusus

Sebelum wajib diberlakukan, beberapa kampus telah mengadopsi sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebagai mekanisme biaya kuliah

barunya pada 2012. Bukannya berniat membantu masyarakat berkuliah, UKT justru melenyapkan kesempatan tersebut. Universitas Negeri Jakarta

(UNJ), dan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) jadi contoh UKT yang tak membawa faedah.Di UNJ, biaya kuliah setelah UKT diterapkan nyatanya naik sekitar 50% karena harus menambal defisit anggaran yang ditimbulkan. Rektor UNJ Bedjo Sujanto menyebutkan hanya untuk kebutuhan Fakultas Teknik, UNJ

kekurangan dana mencapai Rp 14 milyar. Namun Bedjo tak gusar, sebab UNJ punya jurus jitu menghadapi anggaran yang minim tersebut dengan kenaikan pendapatan kampus dari akumulasi biaya kuliah mahasiswa selama 4 tahun. “Ini merupakan konsekuensi dari sebuah kebijakan,” ucapnya tegas.

Ditujukan jadi program mesias untuk menguliahkan si miskin, UKT tak lebih tak kurang sekadar turunan gagasan liberalisasi pendidikan Indonesia.

Bermimpi Menguliahkan Si Miskin

Oleh : Kurnia Yunita Rahayu

Bedjo Sujanto, Rektor UNJ

Foto: Istimewa

Page 39: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Edisi 43 39

Defisit anggaran setelah menerapkan UKT memang kerapkali jadi dalih Perguruan Tinggi Negeri (PTN) untuk memungut uang lebih dari mahasiswa. Perihal ini jadi lumrah dilakukan, sebab Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang diharapkan mampu menolong tak mampu berbuat banyak karena terkendala urusan administrasi pencairan anggaran. Makanya PTN tak segan mengatrol biaya kuliah tinggi-tinggi.Kasus serupa juga terjadi di Unsoed, bahkan lebih parah. Tak hanya meninggikan biaya kuliah, Unsoed tetap menarik uang dari mahasiswa di luar alokasi UKT bertajuk Sumbangan Murni. Padahal, pembiayaan di luar UKT merupakan hal yang dilarang. Sekretaris Dirjen Dikti Patdono Suwignyo menampik bila masalah-masalah yang timbul tersebut disebabkan oleh sistem UKT. Menurutnya, hal itu merupakan kesalahan internal universitas yang menerapkan UKT sebelum disahkan. “Karena keputusan mereka menerapkan UKT itu inisiatif sendiri, jadi belum diatur,” katanya.Patdono melanjutkan, jumlah PTN pelaksana UKT 2012 terlalu sedikit sehingga tak mampu mempresentasikan kesalahan UKT. Makanya, Dikti kekeuh untuk menerapkan UKT, dan melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2013 UKT sah dan wajib diterapkan PTN.Peraturan menteri tersebut merumuskan mengenai Biaya Kuliah Tunggal (BKT) yang merupakan biaya yang jadi kebutuhan satu mahasiswa selama berkuliah empat tahun. Nominal BKT tersebut kemudian dibagi dua menjadi UKT, dan BOPTN. UKT adalah nilai yang harus dibayarkan mahasiswa, sedangkan BOPTN merupakan subsidi pemerintah. “Ketiganya tidak bisa dipisah, karena BKT ditentukan dari penjumlahan UKT dan BOPTN,” tegas Patdono Suwignyo. Dalam penerapannya UKT membagi lima tingkatan biaya sesuai kemampuan ekonomi calon

mahasiswa. Penggolongan ini mirip sistem subsidi silang yang telah lama diterapkan beberapa universitas.Tingkat satu dan dua dialokasikan bagi calon mahasiswa berkonomi sangat miskin dan miskin dengan nominal UKT sebesar Rp 500.000 dan Rp 1.000.000. sedangkan untuk golongan 3, 4, dan 5 masing-masing berbeda nilainya, tergantung perhitungan yang dilakukan di tiap kampus. Nah, golongan sangat miskin dan miskin ini hanya dijatah 5% dari jumlah mahasiswa yang diterima di tiap universitas. Alokasi 5% ini terbilang kecil bila niat awal UKT adalah untuk memberikan keringanan bagi masyarakat untuk berkuliah. Patdono pun sadar betul bila ada peningkatan jumlah mahasiswa yang tergolong miskin di PTN. “Seperti di UNAIR, sekarang mahasiswa miskinnya ada 38% padahal dulu cuma 15%.”cerita Patdono.Makanya, alokasi 5% yang dijatah bagi mahasiswa miskin tak banyak membantu. Guntur Prakoso, Mahasiswa

Jurusan Sejarah UNJ 2013 harus bersusah payah untuk menjadi golongan 5%. Awalnya ia yang lulus melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) harus masuk golongan tiga dengan nominal UKT sebesar Rp 2.450.000 per semester. “Sejauh ini, setahu saya semua mahasiswa yang lolos lewat jalur SBMPTN selalu dapat golongan tiga,” katanya. “Kalau yang dari Ujian Masuk Bersama (UMB) pasti di atas golongan tiga (golongan empat dan lima-Red).”Guntur yang harus membayar kuliahnya mandiri merasa keberatan dengan nominal yang disodor UNJ. Kemudian ia mengajukan keringanan kepada Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan (BAAK) UNJ. “Akhirnya saya hanya membayar Rp 500.000 per semester,” ucapnya sumringah.Beban berat UKT tak hanya dirasakan Guntur. Dua alumnus MAN 1 Rangkasbitung Yuli Auliana dan Eki Julistiana turut keberatan. Yuli yang

Foto: Istimewa

Page 40: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

40 Didaktika

diterima di Jurusan Teknik Sipil UNJ harus membayar UKT senilai Rp 2,6 juta per semester. Yuli kemudian memilik hengkang karena tak sanggup membayar. Eki lebih beruntung, pada saat tenggat pembayaran UKT ia dapat informasi mengenai keringanan biaya. “Alhamdulillah, saya dapat berkuliah hanya dengan membayar Rp 1.000.000,” tutur Eki.Merujuk bank data Tim Pengembang UKT UNJ, hanya ada 67 orang dari total mahasiswa UNJ 2013 yang masuk ke golongan 5%. Padahal, berdasarkan ketentuan Dikti, kuota 5 % tersebut wajib dipenuhi PTN. Pada 2013 UNJ menerima 5200 mahasiswa, 260 mahasiswa harusnya masuk golongan 5%. Ada indikasi kuat jatah 5% yang tersisa menguap pada tangan-tangan tak bertanggung jawab karena UNJ tak miliki pakem jelas dan terbuka soal kuota tersebut.Pemerintah pun tak sigap mencari solusi. Persoalan tersebut baru masuk tahap bahan evaluasi dalam antrian panjang pemerataan akses pendidikan. Satu-satunya jalan yang mungkin melalui peningkatan jumlah BOPTN. Namun BOPTN dibagikan dengan nilai yang berbeda. “Tahun ini (2013-Red) UNJ dapat Rp 25 miliar, dan itu tidak seberapa dibanding UI yang dapat Rp 220 miliar,” seloroh Suryadi, Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum UNJ. Beberapa kriteria memang diberlakukan dalam penentuan nilai BOPTN, misalnya prestasi yang disandang PTN melalui jurnal ilmiah hingga akreditasi

kampus. Melalui kriteria ini pemerintah cenderung ingin meningkatkan mutu PTN yang sudah punya bekal untuk memberdayakan diri. Maka tak heran, bila PTN seperti UNJ dan Unsoed yang kondisi keuangannya byar pet menempuh cara instan dengan meninggikan biaya yang harus ditanggung mahasiswa.Menyikapi hal tersebut Patdono punya saran untuk bekerja sama dengan industri sehingga meningkatkan kondisi keuangan PTN. “Kemampuan perguruan tinggi mencari sumber dana itu akan diapresiasi oleh pemerintah dengan memberikan BOPTN yang lebih banyak,” ungkapnya.Skema UKT dan BOPTN ini memang klop dengan gagasan liberalisasi pendidkan di Indonesia. Undang-Undang Perguruan Tinggi (UU PT) sebagai induk kebijakan UKT menjamin hal tersebut. Dalam pasal 65 UU PT disebutkan bahwa PTN diperbolehkan melanjutkan status badan hukum dan Pengelolaan Keuangan-Badan Layanan Umum (PK-BLU). Pada akhirnya, UKT yang berniat jadi program mesias bagi masyarakat untuk berkuliah malah jadi bumerang. Si miskin yang digadang mampu berkuliah melalui golongan 5% tetap dijauhkan dari PTN. Karena melalui UKT potensi biaya kuliah yang tinggi malah terbuka lebar. Tanpa transparansi pengelolaan uang yang jelas, PTN bisa seenaknya memasang bandrol tinggi hanya untuk jaket alamamater melalui mekanisme tak kasat mata..

Laporan Khusus

Jumlah mahasiswa UNJ di tiap Golongan UKT perfakultasSumber Data: Tim Pengembang UKT UNJDiolah: Litbang Didaktika

Page 41: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Aksi beberapa mahasiswa Unsoed yang tergabung dalam Save Soedirman melempari ruang rektorat dengan dengan kembang api (2/5) terkait kebijakan kampus yang menetapkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) secara sepihak.Foto: Istimewa

Edisi 43 41

Page 42: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

42 Didaktika

Universitas Jenderal Soed-irman (Unsoed) memang keterlaluan. Tak hanya curi start terapkan Uang Kuliah Tunggal (UKT), Unsoed

malah ambil kesempatan tarik pungutan liar di tengah ketiadaan konsep jelas men-genai UKT. Pertama, mengenai informasi UKT yang minim sehingga menyebabkan calon mahasiswa salah kaprah mengira UKT adalah biaya awal masuk yang biasa memang besar nominalnya.

Selanjutnya soal biaya Sumbangan Murni yang tidak terangkum dalam UKT. Dalam proses pembayaran di bank pun nominal Sumbangan Murni malah tiba-tiba naik dari yang disanggupi calon mahasiswa saat pendaftaran.

Sumbangan Murni bukan satu-satunya pungutan yang dibebankan kepada ma-hasiswa di luar UKT. Di Unit Pelaksana Teknis Perpustakaan pembuatan kartu anggota masih dibebankan kepada maha-siswa Jurusan Ilmu Politik, Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi dan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan.

Di tingkatan fakultas dan jurusan juga terjadi pungutan semacam itu. “Saya masih harus bayar untuk beli jas labora-torium,” kata Gita Arumsari, Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Sains dan Teknik. Jas laboratorium juga harus dibayarkan di luar UKT oleh mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi, Fakultas Kep-

erawatan, dan Fakultas Peternakan yang bernilai Rp 50.000-Rp 85.000.

Selain itu, Jurusan Ilmu Politik Unsoed juga mewajibkan mahasiswa baru untuk membeli Jurnal Swara Politica yang diklaim guna memenuhi kebutuhan keuangan jurusan. “Kebutuhan yang di-tanggung penuh oleh kampus hanya sam-pai pada level fakultas,” ujar Ketua Jurusan Ilmu Politik Dr. Shofa Marwah dikutip dari Kertas Posisi Save Soedirman.

Save Soedirman juga melansir dalam menentukan unit cost UKT banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan Rektorat Unsoed. “Diantaranya biaya SPMB, item-item yang terkesan hanya copy-paste seperti anggaran catridge yang berulang-

Ketika Cucu-cucu Pak Dirman BerontakR.I.P. Hati Nurani Rektorat Unsoed bin Pengkhianat.Oleh : Kurnia Yunita Rahayu

Laporan Khusus

Mahasiswa Unsoed yang tergabung dalam savesoedirman melakukan unjuk raksa terkait masalah UKT, 12 Desember 2012

Foto: Istimewa

Page 43: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Edisi 43 43

ulang dan beberapa kegiatan tidak jelas, serta anggaran untuk Pembantu Rektor IV yang legitimasi jabatannya juga masih dipertanyakan,” tulisnya.

Menurut Standard Operational Procedure yang dikeluarkan Dirjen Dikti mengenai UKT, perhitungan unit cost merupakan dasar rumusan nominal UKT. Unit cost dihitung untuk mengetahui total biaya operasional seorang mahasiswa selama satu tahun. Perhitungan diharap dilakukan secara ideal, dengan mempertimbangkan kebutuhan serta daya beli mahasiswa.

Perhitungan dimulai dengan rumusan total cost secara bottom-up. Dari ting-katan program studi, jurusan, fakultas, hingga universitas. Pun rumusan total cost harus memperhatikan indeks kemahalan pendidikan yang berkaitan dengan daya beli dan kesanggupan masyarakat dalam mengakses pendidikan.

Sayangnya, Unsoed alpa dalam me-nentukan indeks kemahalan tersebut. “Universitas Jenderal Soedirman tidak pernah melakukan riset terkait daya beli masyarakat. pihak kampus tak punya waktu untuk melakukan riset tersebut,” ujar mantan Rektor Edy Yuwono dilansir dari Bank Data Lembaga Pers Mahasiswa Solidaritas, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed yang dikutip dalam Kertas Posisi Save Soedirman.

Dalam SK Rektor Unsoed Nomor KEP. 654/UN23/PP.01.00/2012 perihal Peneta-pan UKT pada 31 Mei 2012, tertera angka Rp 2.400.000 untuk nominal terendah dan Rp 15.000.000 untuk nilai tertinggi yang mesti dibayar mahasiswa.

Sedangkan berdasar keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 561.4/73/2011 tentang Upah Minimum Tahun 2012, pendapa-tan masyarakat di wilayah kerja Unsoed tidak mencapai nilai UKT terendah yang ditetapkan. Misalnya di Kabupaten Banyu-mas, pada 2012 besaran Upah Minimum Kabupaten (UMK) ditetapkan sejumlah Rp 795.000.

Ketimpangan ini nyata terlihat ketika Save Soedirman menyebar kuesioner kepada mahasiswa angkatan 2012. Dari 1218 pen-erima kuesioner, hanya 168 yang menya-takan mampu melunasi UKT. Menyadari bahwa penerapan UKT di Unsoed terjadi

banyak penyimpangan, mahasiswa Unsoed serius mengkajinya lebih lanjut. Dimulai dari diskusi mengenai UKT, terbentuk Save Soedirman sebagai gabungan mahasiswa yang menolak UKT di Unsoed.

Save Soedirman hadir sebagai ruang bebas bagi mahasiswa Unsoed untuk mengung-kapkan segala protes tentang UKT. Gerak awal Save Soedirman dimulai dengan men-gumpulkan beragam medium penolakan seperti komik, film pendek, poster, artikel, foto hingga musik rap yang dilansir di la-man savesoedirman.com

Sambil menghimpun solidaritas di media daring, Save Soedirman tak alpa meminta penjelasan terkait kelebihan pembayaran UKT, transparansi dana, serta dasar hu-kum penerapan UKT di Unsoed. “Tidak ada keterangan yang jelas, makanya kami ngamuk,” geram Munirah Dinayati, Ketua Save Soedriman kepada Didaktika.

Pada 12 Desember 2012, sekitar 2000 mahasiswa dihimpun Save Soedirman melakukan aksi unjuk rasa pertama di Rektorat Unsoed. Mereka bertahan selama lima hari hingga perwakilan Rektor hadir melakukan negosiasi. Hasilnya, Rektorat Unsoed berjanji melibatkan mahasiswa dalam pembahasan UKT.

Ditunggu merealisasikan janjinya, Re-ktorat Unsoed malah menerbitkan SK Rektor Unsoed Nomor Kept.476/UN23/PP.01.00/2013 perihal penerapan UKT bagi mahasiswa angkatan 2013. Dalam SK tersebut nominal UKT ditetapkan sepihak, padahal Save Soedirman sudah meny-iapkan sederet nominal UKT untuk tiap jurusan dan program studi. Didasari pe-nelitian riil serta tidak keluar dari rambu-rambu yang dikeluarkan Dikti.

Tak ada itikad baik dari Rektorat Unsoed, Save Soedirman kembali melakukan unjuk rasa pada 28 April 2013. Kali ini lebih besar. Mereka mengarak keranda yang ditiduri boneka pocong lambang mayat Rektorat Unsoed, serta membawa nisan bertuliskan ‘R.I.P. Hati Nurani Rektorat bin Pengkhianat’. Iring-iringan keranda itu dibawa oleh ratusan mahasiswa berpakaian serba hitam ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kelurahan Grendeng, Banyumas.

Sehari setelah long march dari kampus ke TPU Kelurahan Grendeng, Save Soed-

irman mengirimkan Surat Somasi kepada Sekretaris Rektor Unsoed. Lewat surat tersebut, mereka menuntut para pejabat Rektorat serta mengancam bila dalam 48 jam tidak ada tanggapan, gugatan ini akan diperkarakan secara hukum. Rektorat Unsoed tetap bergeming.

Merasa tak digubris, kemarahan Save Soedirman memuncak. Pada Hari Pen-didikan Nasional, mereka menyampaikan Mosi Tidak Percaya Mahasiswa Unsoed kepada Rektoratnya. Belasan mahasiswa menyesaki gedung dua lantai itu dengan asap warna-warni. Beberapa bom asap diletakkan disana.

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Unsoed Endang Istanti menyesali laku pengasapan di Gedung Rektorat. Endang menuturkan Rektor Edy Yuwono akan segera menjawab somasi mereka. “Tapi mahasiswa tidak sabar menunggu, Rektor masih menghadiri peresmian Data Center setelah upacara Hardiknas,” kata Endang, dikutip dari laman kompas.com (2/5).

Tanggapan buruk terhadap aksi mahasiswa Unsoed juga ditunjukkan oleh Sekretaris Dirjen Dikti Patdono Suwignyo. Menu-rutnya, penolakan ini hanya soal sosialisasi yang tak maksimal. “UKT ini sosialisas-inya belum sampai ke seluruh mahasiswa, sehingga pemahaman mahasiswa belum pas,” katanya.

Namun, penilaian ini segera ditolak oleh Vinisa Nurul Aisyah, Koordinator Tim Media Save Soedirman. “Kami menggu-nakan beberapa analisis seperti hukum, ekonomi dan sosiologis,” papar Vinisa menjelaskan argumen atas gugatan penola-kan yang mereka layangkan terhadap UKT.

Save Soedirman yakin bahwa pelaksanaan UKT ini sudah banyak melanggar keten-tuan hukum serta mesti diselesaikan di jalur hukum pula. Sebab, sudah mengarah pada penipuan besar-besaran terhadap mahasiswa dan masyarakat.

Serius menempuh jalur hukum, Save Soedirman telah memasukan tuntutan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang untuk mencabut SK Rektor KEP. 654/UN23/PP.01.00/2012 tentang UKT 2012 serta Ombudsman untuk mendorong mediasi..

Foto: Istimewa

Page 44: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Laporan Khusus

Keluarnya sistem penarikan uang kuliah yang bernama Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada 2012 dan 2013 dianggap ampuh dalam mengentaskan tingginya

biaya pendidikan di Indonesia. Dengan visi mencerdaskan kehidupan bangsa dan pemerataan pendidikan bagi tiap warga negara, pemerintah merasa bertanggung jawab dalam meringankan beban mahasiswa miskin di PTN. Melalui skema UKT, mahasiswa hanya perlu membayar satu nilai yang sama tiap semester, mulai awal masuk hingga ia lulus kuliah. Dan ini dipermudah dengan pemberian Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), serta pemberlakuan Biaya Kuliah Tunggal (BKT). Berikut petikan wawancara reporter Didaktika, Ferrika Lukmana Sari dan Kurnia Yunita Rahayu dengan Sekretaris Dirjen Dikti ketika ditemui di kantornya (5/7).

Bagaimana tahapan pemberlakuan UKT?

Ditetapkannya UU No. 12 tahun 2012 (UU PT) pasal 88, bahwa secara periodik pemerintah menetapkan satuan biaya operasional. Standar ini digunakan pemerintah untuk menetapkan anggaran

Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Yang kemudian digunakan sebagai standar pembiayaan mahasiswa. Semua

biaya kuliah dikumpulkan menjadi satu, seperti biaya gedung, SPP, pratikum,

uang jaket dan penyatuan ini disebut Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Tahap pertama ada UUD yang kemudian diterapkan pemerintah. Setelah itu, peraturan penetapan BOPTN, BKT dan UKT dibuat. Ketiga ini tidak bisa dipisahkan, karena rumusnya BKT= BOPTN +

UKT. Maka setiap PTN diharuskan menetapkan UKT. Dan ini semua akan

disosialisasikan ke Rektor dan PR II sambil dibuat Permen dari Mendikbud.

Setelah proses sosialisasi, tiap-tiap Perguruan Tinggi menerapkannya yang dilanjutkan dengan monitoring dan evaluasi. Apabila PT mengalami kesulitan dalam pengimplementasian, akan dijadikan bahan evaluasi dan perbaikan tahun depan.

Apa yang menjadi dasar ide UKT?

Selama ini keluhan perguruan tinggi kan, mahal. UU No. 12 ingin menyelesaikannya dan membantu beban mahasiswa lewat BOPTN. Jadi semua biaya operasional yang ditanggung mahasiswa, menjadi tanggungan pemerintah. Maka biaya operasional mesti lebih rendah.

Kedua, dengan berbagai macam biaya yang ditanggung mahasiswa seperti gedung, SKS, pratikum menjadikan pengawasannya sulit. Dimana ada pelarangan kenaikan SPP, uang gedung, sks maupun pratikum. Agar lebih mudah, semua disatukan menjadi UKT. Pemerintah mengharapkan biaya yang ditanggung mahasiswa tiap tahun menjadi lebih rendah dan mudah dikendalikan.

Apakah ini pertama kali di Indonesia?

Iya. Ini bentuk revolusi, yang diterbitkan UU No. 12 tahun 2012. Revolusi mengenai pembiayaan. Dengan amanat UU No. 12, pemerintah harus

memberikan bantuan operasional PTN. Dulu, belum ada. Setelah ada bantuan operasional, beban mahasiswa jadi berkurang. Kalau SD sudah ada BOS, sedangkan PTN ada BOPTN. Dan ini menjadi perubahan mendasar terkait pembiayaan PTN dengan BOPTN.

Kenapa perguruan tinggi swasta tidak dibantu?

BOPTN 30% digunakan untuk penelitian. Penelitian ini untuk PTN dan PTS. Pemerintah bisa memberikan bantuan ke perguruan tinggi swasta, karena negara belum mempunyai kemampuan untuk itu.

Apakah waktu kuliah dirancang 4 tahun, dengan membagi UKT menjadi 8 semester?

Banyak mahasiswa di PT lulus dalam waktu 8 tahun, kecuali kedokteran 10 semester. Karena banyak yang menyelesaikan kuliah dalam waktu 8 semester maka perhitungan dan analisis BOPTN yang digunakan tenggat waktu 8 semester. Kurikulum kita juga telah 8 semester.

Sebelum ini, sudah ada beberapa kampus yang menerapkan UKT, bagaimana tanggapan Bapak?

Sebelumnya beberapa kampus punya inisiatif melaksanakannya pada 2012. Walaupun dilaksanakan di tahun yang sama, nilainya tidak bisa seragam karena ini disesuaikan dengan Permen. Ada kuota 5% untuk pembayaran 0 – Rp 500.000, dan 5% persen untuk Rp500.000 – Rp1.000.000. Itu semua sudah peraturan pemerintah maka mesti dilaksanakan. Kalau pada 2012 ada PTN yang berinisiatif dan tidak serempak, karena belum diatur. Maka pada 2013 baru dikeluarkan Permen yang mengatur semua perguruan tinggi melaksanakan UKT.

Pada 2012, sudah ada BOPTN?

Sudah ada, tapi mengalami kesulitan karena APBN keluarnya akhir Oktober. Jadi perguruan tinggi negeri belum sempat menggunakannya.

INI BENTUK REVOLUSIPatdono Suwignyo, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi:

44 Didaktika

Foto: Istimewa

Page 45: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Sekarang, bagaimana?

Sekarang BOPTN telah diusulkan, berbarengan dengan APBN bukan APBN-P. Sehingga mulai awal Januari telah diterbitkan, meskipun penerbitan DIPA mengalami revisi. Revisinya sekitar awal Mei yah, bukan akhir November. Ada waktu tujuah bulan untuk menyerap BOPTN, dan itu cukup bagi saya.

Bagaimana evaluasi UKT pada 2012, adakah perbedaan dengan UKT 2013?

Pada 2012 sangat sedikit PTN yang melaksanakan UKT. Sehingga tidak cukup data untuk menjadi bahan evaluasi. Maka evaluasi dilaksanakan setelah pelaksaan UKT di 2013.

Bagaimana PTN menentukan nominal UKT, apakah tidak ada indikasi seenaknya dalam penentuannya ?

Ini sudah diatur Permen dalam golongan I dan II di UKT. Berdasarkan kemampuan ekonomi orang tua mahasiswa. Jika dalam kondisi miskin, pembiayaan lebih kecil. Yah, kalau kaya maka bayarnya harus besar. Bagi kalangan kecil dibantu lewat subsisi Rp0 – Rp500.000.

Subsidi diberikan 5% untuk mahasiswa sangat miskin dan 5% lagi bagi mahasiswa miskin. Maka subsidi silang yang terjadi ditentukan pihak PT, Karena kampus mengetahui lebih detail kemampuan orang tua. Diktikan tidak pernah ketemu mahasiswa, yang tahu pasti PT.

Bagaimana kalau yang miskin lebih dari 5%?

Itu salah satu problem yang perlu dievaluasi. Golongan miskin ditiap PTN memang meningkat. Jika sebelumnya sekitar 15% bisa menjadi 38%. Maka akan kita perbaiki. Dengan kenyataan itu, pada waktu seleksi terlebih dahulu ditanya. Setelah penerimaan mahasiswa baru, baru ketahuan tingkat ekonominya. PT pun diberi kebebasan menentukan golongan-golongan UKT. Itu semua bisa diatur oleh subsidi silang golongan UKT 3,4 dan 5.

Jika sebelumnya yang melarat lebih memilih kerja karena biaya kuliah mahal. Sekarang mereka memperoleh kemudahan dengan semakin murahnya biaya kuliah yang membuka keberanian mereka untuk mendaftar PTN. Sebenarnya minimal kuota 5% bagi mahasiswa miskin, tapi kalau ada 6,7,8 persen itu sudah bagus.

PTN jadi pusing, karena semakin

banyak yang miskin. Maka perlu adanya penambahan BOPTN. Seperti masalah di Universitas Airlangga yang jumlah mahasiswa miskinnya meningkat, sebelumnya 15% menjadi 38%.

Apa yang dapat membedakan nilai BOPTN di tiap perguruan tinggi?

Pertama, BOPTN diberikan bagi rakyat miskin dengan memberikan UKT bernilai kecil. Kedua, supaya berpihak kepada rakyat kecil, tiap PTN harus memiliki mutu yang baik, kuota yang besar bagi penerima bidik misi dan bekerja sama dengan industri, karena itu menentukan besar-kecil penerimaan BOPTN. Semakin besar nilai BOPTN, makin besar peluang mahasiswa miskin dapat berkuliah. Kemampuan kampus dalam pembiayaan operasional inilah yang akan diberi insetif.

Bagaimana kesan tiap PTN dengan UKT?

Positif, semua mendukung. Tapi di tahun pertama banyak yang mengalami kesulitan karena jumlah mahasiswa miskin lebih besar dari yang diperkirakan. Kemudian ketidakselarasan antara keluarnya BOTN dan aturan BKT. Semua itu akan kita awasi, evaluasi menjadi dasar dalam perbaikan. Ada 4 prinsip yang ingin dicapai. Biaya kuliah turun, berpihak kepada masyarakat miskin dan harus ada subsidi silang serta pengendalian mudah.

Ada jaminan biaya kuliah tidak naik?

Tidak boleh naik, kalau BOPTN cair yah biaya harus turun. Apabila jumlah penerima BOPTN semakin naik, mesti turun juga. Dan nilai BOPN tidak mungkin turun.

Jika 1 nominal, bagaimna mengetahui penurunan biaya kuliah?

Dilihat di website Dikti, ada Permen mengenai UKT dan BKT dari seluruh perguruan tinggi, program studi dan bukan hanya satu nominal. Dasarnya menggunakan 5 nominal, ada yang 3 bahkan 7 boleh. Untuk kelompok satu cukup bayar Rp500.000, murahkan. Saya obral saja, semua bayar dibawah 500.

Tanggapan Bapak mengenai beberapa penolakan yang muncul dari mahasiswa?

Sosialisasi mengenai ini belum sampai keseluruh mahasiswa. Jadi mahasiswa kurang paham, ditambah berita-berita

koran yang mengatakan UU Dikti menjadikan biaya pendidikan mahal, mereka belum tahu dan tidak mau tahu.

Teman Unsoed menolak keras karena nyatanya dengan UKT biaya kuliah makin mahal,

Karena tidak cerdas. Karena BOPTN memberikan subsidi besar. Bagi kampus bermutu, memperoleh bidik misi banyak, peningkatan mutu dan banyak kerjasama dengan industri. Jika Unsoed sesuai kriteria itu akan memperoleh BOPTN yang banyak.

Ada kesan dengan UKT, mahasiswa terancam karena harus lulus 4 tahun?

Angka 4 tahun, berdasarkan kurikulum yang digunakan di perguruan tinggi tersebut. Sehingga PTN menerapkan menjadi 8 semseter. Itu bukan ancaman, kalau lulus lebih dari 8 semester yah harus di DO (Drop Out).

Jika berkuliah lebih 8 semester, mesti bayar lagi?

Dengan adanya UKT mereka berusaha lebih keras lagi. Lulus 8 semester kan bagus. Kasihan adik-adik yang lain, mau mengisi bangkunya. Karena masih dipakai oleh kakak kelasnya yang belum lulus.

Ada sanksi terhadap universitas yang melakukan pelanggaran atas pelaksanaan UKT?

Akan dilakukan audit oleh inspektorat apakah perguruan tinggi melaksanakan peraturan BOPTN, UKT dan BKT dengan baik atau tidak. Ini diserta sanki dari Dikti.

Sangsinya apa?

Sangsinya macam-macam, sanki keuangan, BOPTN dikurangi. Berikutnya peringatan dan sanki kepada pejabat.

Apakah konsep UKT lahir di 2012?

Ini baru wacana, beberapa orang mencoba mengimplementasikan pada 2012. Konsep menyeluruh di 2013.

Wacana ini lahir atas ide siapa?

Dari dikti

Apakah UKT dianggap sebagai solusi atas biaya kuliah mahal ?

Iya, UKT salah satu solusinya selain beasiswa bidikmisi dan beasiswa miskin..

Edisi 43 45

Page 46: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43
Page 47: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Celoteh Dari GhettoOleh : Indra Gunawan

Ilustrasi: Istimewa

Lahir sebagai alat melawan para kulit hitam terhadap pemerintah yang diskriminatif, kini menjadi bagian dari gaya hidup.

Page 48: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

48 Didaktika

bang seiring dengan inovasi yang dibuat Melle Mel. Gaya merapal lirik lagu dalam tempo yang sangat cepat ini kemudian dikenal dengan teknik MC-ing atau Rap-ping. Sedang umpatannya soal protes, kemiskinan, hingga sakit hati karena diskriminasi, jadi tradisi lirik Hip Hop di The Bronx. Malah merupakan salah satu simbol perlawanan para kulit hitam.

Hip Hop segera menyebar pada komu-nitas-komunitas kulit hitam di Amerika. Ada yang menyemarakkannya dengan tarian patah-patah atau breakdance maupun dengan seni menggambar di tembok-tembok jalanan, graffiti. Akh-irnya, beberapa elemen tersebut menjadi identik dengan Hip Hop. Bahkan menu-rut Afrika Bambaataa, rapper kulit hitam yang terkenal pada 1970-an, merupakan bagian dari kultur Hip Hop.

Dalam bukunya Hip Hop Perlawanan dari Ghetto Bambaataa menuliskan makin meluasnya gerakan Hip Hop di kalangan masyarakat kulit hitam, telah mengu-rangi tindak kekerasan dan keberadaan geng-geng jalanan dalam masyarakat. Karena rasa frustasi terhadap masalah sosial ekonomi mereka bisa terlampiaskan dalam Hip Hop. Makanya, musik dan gaya hidup ini makin digandrungi banyak

pihak.

Termasuk masyarakat kulit putih. Pen-dengar Hip Hop nampaknya tidak asing dengan nama-nama rapper kulit putih, salah satu yang paling terkenal adalah Eminem. Didukung oleh pesatnya indus-trialisasi musik, Hip Hop menjadi genre yang bukan hanya milik para kulit hitam Amerika, melainkan masyarakat dunia.

Indonesia merupakan salah satu Negara yang menerima Hip Hop. Awal 1990-an masyarakat mengenal rap dari penampi-lan penyanyi Iwa Kusumasumantri. Tampil mengenakan kaos gombrong dan aksesoris bling-bling, lelaki yang akrab disapa Iwa K ini percaya diri meluncur-kan album rap pertamanya, Kuingin Kembali.

Semarak Hip Hop makin menjadi-jadi sejak kemunculan Iwa K. Buktinya, be-berapa rapper lokal lain tak ragu meng-gabungkan diri, dengan niatan menyusul kesuksesan album Iwa K yang laku di pasaran. Mereka adalah Tofu, Neo, Black Skin, Sweet Martabak, Ucog, Two in One, Coro Kru, Boyz Got No Brain, Sound Da Clan dan Da Ricuh. Pada 1995 be-berapa grup rap itu mengeluarkan album

Mengumpat, memang jadi salah satu cara ampuh bagi Melle Mel buat meluapkan marahnya. Seorang Afro-Amerika ini sudah muak

dengan beragam peraturan pemerintah Amerika Serikat yang mengekang serta diskriminatif terhadap kelompoknya. Na-mun, siapa sangka umpatan Melle Mel ini bisa jadi suatu tren yang kemudian diikuti oleh seluruh masyarakat dunia?

Bagaimana tidak, Melle Mel menyalurkan caciannya dengan teknik bicara cepat. Pertama kali ia lakukan dalam sebuah pentas Hip Hop yang digelar di tempat tinggalnya The Bronx, New York, Amerika Serikat pada pertengahan 1970. Melle Mel merupakan salah satu penyanyinya.

The Bronx, adalah saksi bisu tumbuhnya komunitas Hip Hop di negeri Paman Sam. Komunitas ini dibentuk oleh para imigran kulit hitam yang memang tinggal di daerah-daerah terkonsentrasi khusus kulit hitam (ghetto). Awalnya mereka hanya bermusik lewat irama yang dike-luarkan dari disc jockey. Dengan gerakan memutar sedemikian rupa alat ini mampu mengeluarkan bunyi-bunyi unik.

Namun tradisi dalam Hip Hop berkem-

Seni Budaya

[1]

Foto: Istimewa

Page 49: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Edisi 43 49

kompilasi bertajuk Pesta Rap.

“Gila banget, tahun 90-an itu style Hip Hop banyak digandrungi anak muda,” ujar Muhammad Amrullah (26), salah satu rapper lokal yang menjadikan budaya Betawi sebagai ciri khasnya. Buat Kojek

Seni Budaya

sapaan akrab Muhammad Amrullah, kala itu Hip Hop merupakan pilihan bermusik bagi anak muda, terutama yang tinggal di perkotaan. Selain itu, gaya berpaka-ian para rapper juga mulai jadi referensi utama dalam pergaulan.

Rapper asal Manggarai, Jakarta Selatan, Januar Ahmadin (34) mengatakan musik rap dan gaya Hip Hop yang ada di Indo-nesia sangat kental dengan nuansa ke-mewahan serta hura-hura. Bukan sebuah budaya perlawanan sebagaimana yang diprakarsai para kulit hitam di Amerika. “Karena ini tidak terlepas dari pencitraan televisi. Makanya, yang kelihatan cuma senang-senang, bling-bling,” kata lelaki yang akrab disapa Okeng.

Arief Biantoro (22), salah satu pendiri ko-munitas Jakarta Hip Hop Bersatu (JHHB) pun tidak bisa melepaskan gaya berpaka-ian gombrong dan bling-bling sebagai karakteristik Hip Hop. Menurutnya, hal tersebut sudah melekat dalam benak masyarakat. “Kita lihat orang gimbal pake kupluk bendera Jamaika pasti sudah bisa nebak itu reggae. Hip Hop pun seperti itu (gombrong). Itu cirinya,” ujar pegiat komunitas JHHB yang kerap menggelar pertemuan mingguan pecinta Hip Hop di Kota Tua, Jakarta Utara.

Benyamin, sebuah Ikon

Meskipun perkenalan masyarakat Indo-nesia dengan musik rap dan gaya Hip Hop diawali dengan kemunculan Iwa K, banyak pihak menganggap nuansa rap su-dah hadir jauh sebelumnya. Yakni melalui

sosok seniman serba bisa asal Betawi, Benyamin Sueb.

Benyamin diklaim telah menghadir-kan nuansa rap dalam ciri khasnya saat menyanyi. Ia kerap melontarkan celoteh-celoteh spontan dalam tiap lagu. “Rap itu kan keterampilan berkata-kata secara ce-pat. Nah, lagu-lagu Bang Ben yang ngocol itu mirip dengan rap,” tutur Kojek.

Dalam beberapa lagu, Benyamin meng-garapnya secara duet. Ida Royani jadi salah satu pasangan yang paling sering di-pasangkan dengan Bang Ben sapaan akrab Benyamin Sueb. Dalam duetnya, mereka kerap bernyanyi bersahut-sahutan, baik dengan pantun maupun celoteh asal.

Eh ujan gerimis aje

Ikan teri di asinin

Eh jangan menangis aje

Yang pergi jangan di pikirin

Eh ujan gerimis aje

Ikan lele ada kumisnye

Eh jangan menangis aje

Kalo boleh cari gantinye

Penggalan lirik lagu duet Benyamin den-gan Ida Royani berjudul Hujan Gerimis menunjukkan rima yang khas di tiap akhir kalimat. Model lirik lagu dengan pantun ini nampak punya pola yang sama dengan model lirik dalam lagu-lagu rap. Mari kita tilik penggalan lirik dari lagu Borju yang dipopulerkan grup rap Neo di awal 1990-an.

Elo borju jangan belagu

Lagak lu tuh sok tau

Ini itu lihat dulu

Kagak semua orang bisa begitu

Elo borju jangan belagu

Lagak lu tuh sok tau

Ini itu lihat dulu

Kalau belagu muka lu jauhhh..

Kebiasaan menyanyi Bang Ben dan Ida Royani yang suka bersahut-sahutan pan-tun sangat mirip dengan seni bertutur asli Betawi Gambang Rancag. Dalam Gam-bang Rancag, dua orang penutur diper-temukan dalam satu panggung untuk berbalas pantun dengan diiringi alunan Gambang Kromong di tiap lagunya.

Menurut beberapa pengamat, Gambang Rancag punya kesamaan dengan Battle Rap. Sebab gaya bertutur di dalamnya selalu punya rima dan mengikuti alunan musik. Hanya saja para penutur Betawi mesti menceritakan kisah-kisah pahlawan dari Betawi. “Kini tidak banyak orang yang bisa ngerancag,” kata aktivis Lem-baga Kebudayaan Betawi (LKB) Yahya Andi Saputra.

Maka tidak heran saat gelar pendahulu rap bagi Benyamin tidak hanya hadir dari Kojek. Menurut rapper muda ini ia per-nah menyaksikan pengakuan serupa dari Iwa K. Dalam sebuah pertunjukan yang mempertemukan Iwa K dan Benyamin dalam satu panggung, Iwa mengatakan bahwa Bang Ben merupakan rapper pertama di Indonesia. “Ia bilang Bang Ben seorang maestro rap,” kenangnya. .

[1] Iwa K [2] Benyamin dan Ida Royani

[2]

Foto: Istimewa

Page 50: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

50 Didaktika

Saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), Muhammad Amrullah (26) gandrung pada acara-acara yang ditayangkan Music Televi-

sion (MTV), salah satu stasiun televisi yang banyak menghadirkan program khas anak muda. Saking gandrungnya, ia mengambil jatah seluruh keluarganya untuk menonton televisi.

Muhammad Amrullah yang akrab disapa Kojek, saat ditemui Didaktika di kediaman-nya mengaku bahwa tayangan MTV lah yang telah mengenalkannya pada musik rap. Stasiun-stasiun televisi memang kerap menghadirkan video klip lagu-lagu rap seir-ing dengan lakunya album mereka di pasa-ran. Makanya, masyarakatpun akrab dengan gaya Hip Hop yang selalu hadir mengemas rap. Terutama gaya berpakaian para rapper yang khas, yakni baju berukuran ekstra besar serta aksesoris mengkilap.

Selain itu, menurut rapper lokal asal Manggarai Januar Ahmadin (34) Hip Hop yang dihadirkan program-program musik televisi sarat dengan hura-hura. Berbanding terbalik dengan nilai yang dikandung Hip Hop di negara asalnya. Merupakan budaya protes minoritas kulit hitam Amerika Serikat yang sakit hati atas kebijakan pemerintah yang diskriminatif.

Januar Ahmadin menambahkan, televisi memang mengemas Hip Hop dalam suasana bling-bling. Sebagaimana nampak dalam beberapa video klip pertama Iwa K dan Neo yang mulai mengemuka pada 1990-an. Maka, buat rapper yang populer dengan nama Okeng ini, tidak aneh bila masyarakat Indonesia kemudian hanya memahami Hip Hop sebagai gaya, sebagai fashion. “Pada-hal, Hip Hop itu sesungguhnya jiwa,” kata Okeng.

Namun, bagi Kojek yang kini hadir sebagai rapper pengusung kebudayaan Betawi, kebiasaan masyarakat yang mengidentik-kan Hip Hop dengan pakaian gombrong dan aksesoris bling-bling bukanlah masalah serius. “Toh barangnya dibeli dari black market. Nguntungin pedagang di Pasar Ular dan Taman Puring juga,” ujar Kojek. “Yang lebih penting justru bagaimana mengcounter

Seni Budaya

Foto: Istimewa

Page 51: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Edisi 43 51

Hip Hop yang sudah dibuat jadi fashion oleh media.”

Di tengah pencarian makna Hip Hop, beberapa rapper lokal yang terserak di sudut-sudut ibukota menggabungkan diri dalam sebuah komunitas bernama Jakarta Hip Hop Bersatu (JHHB). Berdiri awal 2012, JHHB bertujuan menghimpun serta memberi wa-dah bagi para pecinta Hip Hop yang tercecer di segenap penjuru ibukota.

Che-bukan nama sebenarnya-salah satu rap-per yang menggabungkan diri dalam JHHB mengatakan awalnya mereka yang aktif di komunitas ini hanya mengekspresikan Hip Hopnya pada dunia maya. Wadah aktual-isasi diri mereka pun ada di jejaring sosial Facebook. Sehingga beberapa senior di dunia Hip Hop menyebut mereka sebagai Rapper Facebook.

“Dulu semua kegiatan kita ada di warnet (warung internet). Mencari beat, merekam bahkan membuat lirik, semua terjadi di dalam sekat-sekat warnet,” tutur Che rap-per yang tak mau diketahui nama aslinya. Melalui komunitas ini, Che pemilik lagu 021 beserta puluhan rapper lainnya ingin men-unjukkan bahwa keterbatasan ekonomi tak mampu menghentikan kreativitas mereka.

Mereka yang kemudian bergabung dalam JHHB berusaha untuk tetap berkiprah dalam Hip Hop meski dengan alat-alat sederhana. Menentang kemapanan para musisi lokal yang mampu menyamai kelengkapan Hip Hop di negara asalnya, Amerika Serikat. “Memang disana industrinya lebih maju. Jadi sound system dan alat seperti vinyl dan turntable menjamah setiap kelas sosial. Kalau disini kan hanya dimiliki kelas tertentu,” kata Januar Ahmadin alias Okeng.

Untuk memperkaya khasanah ber-Hip Hop,

Oleh : Satriiono Priyo Utomo

Tidak bisa dipungkiri Hip Hop di Indonesia merupakan sebuah budaya populer. Kini di tengah keterpurukannya dalam dunia industri, beberapa rapper muncul

dengan identitas kedaerahan.

Seni Budaya

JHHB mengadakan kegiatan tiap minggu sore. Mulai dari sekadar kumpul sesama rapper hingga berdiskusi perihal informasi-informasi terbaru mengenai Hip Hop. Jimmy mengatakan di tiap kesempatan ini mereka pun bersama-sama berlatih meningkatkan kemampuan atas tiap elemen Hip Hop.

Lebih lanjut Jimmy mengungkapkan dari beberapa elemen dasar Hip Hop, dua di-antaranya beatbox dan breakdance dipelajari oleh anggota JHHB secara otodidak. Sedang untuk elemen lain seperti graffiti belum ada yang melakukannya. “Graffiti kan juga butuh nyali. Disini anak-anaknya masih banyak yang sekolah,” tutur Jimmy.

Praktik-praktik Hip Hop dalam JHHB juga tidak punya pakem khusus. Tiap elemen yang ada, diragakan sesuai dengan keinginan serta kreativitas pegiatnya. “Namanya juga Jakarta Hip Hop Bercanda, Bang,” seloroh Jimmy.

Munculnya rapper lokal

Masyarakat Indonesia memang cenderung mengenal Hip Hop sebagai budaya populer. Sebagaimana simbol-simbol yang ada di dalamnya, mulai dari genre musik hingga gaya berpakaian khasnya terus menerus direproduksi dalam sebuah industri. Namun saat ini, perkembangan Hip Hop dalam industri musik nampak lesu. Bahkan jarang ada rapper yang menjadi tren seperti di awal kemunculan Hip Hop pada 1990-an.

Che, salah satu rapper anggota JHHB men-ganggap, kini Hip Hop tak lagi mendapat dukungan yang berarti dari berbagai pihak, termasuk para rapper senior. Buatnya, mereka justru nampak memberi jarak pada rapper-rapper pemula. “Masa ketika kita (JHHB) bikin acara dan mengundang artis-artis Hip Hop, mereka minta dibayar

Hip Pop

seperti manggung di tv,” sesal Che. Padahal menurutnya, acara yang digelar selalu hanya bermodal semangat para pecinta Hip Hop.

Minimnya wajah baru dalam Hip Hop di industri musik tak lantas menjadikan genre khas jalanan ini sepi peminat. Kini, berbagai komunitas Hip Hop bermunculan tidak hanya di kota besar, tapi juga di berbagai daerah. Seperti Komunitas Sundanis dari Jawa Barat, Yogya Hip Hop Foundation, Hip Hop Maluku Bersatu (HMB) dan beberapa komunitas lain.

Tanpa memandang etnis, warna kulit, maupun bahasa kini Hip Hop menjalar ke semua kalangan. Musik rap dimodifikasi dengan segala rupa. Pakaian gombrong, topi snapback dan kalung berbandul ukuran besar tak lagi jadi aksesoris khas rapper. Anak-anak daerah mulai menonjolkan karakteristik masing-masing dalam mengu-sung Hip Hop.

Salah satunya Kojek, rapper asal Kemayoran ini mulai membuat nuansa baru dalam Hip Hopnya. Yakni dengan berbusana ala pesilat Betawi dalam tiap penampilan. Lirik lagu yang ia bawakan berkisah tentang masalah dan kritik-kritik sosial, yang tak jauh dari bahan pembicaraan sehari-hari orang Betawi.

Menurut Ketua Yayasan Lembaga Kebu-dayaan Betawi (LKB) Yahya Andi Saputra, fenomena ini merupakan dampak dari glo-balisasi dan otonomi daerah. “Semua daerah menonjolkan semangat kedaerahan,” ung-kapnya. Ia pun mengapresiasi kawula muda yang mau berkarya tanpa menghilangkan identitas lokal masing-masing. “Saya acungi lima jempol bagi anak muda yang masih peduli terhadap budaya daerahnya,” seloroh Yahya. .

Page 52: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

52 Didaktika

Seni Budaya

Rap dalam Kemasan BetawiOleh : Satriiono Priyo Utomo

Kemunculan rapper-rapper muda asal betawi menjadi wujud kesadaran dan resistensi terhadap gempuran budaya populer.

Foto: Istimewa

Page 53: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Edisi 43 53

Rap dalam Kemasan Betawi

Muhammad Amrullah (27) mulai dikenal sebagai musikus rap lewat album Betawi Punya Rapper. Ia merilis album yang

diproduksi oleh perusahaan Royal Prima Musikindo (RPM) pada 2012. Karya Amrullah yang populer disapa Kojek ini cepat menyebar karena ia punya ciri khas, mengemas karyanya dalam bingkai budaya Betawi.

Karirnya bermula saat Kojek mengikuti acara Hip Hop Asongan besutan rapper Igor dari grup Saykoji. Ia pun mendapat beat atau irama rap yang mengandung unsur Betawi dari Igor. “Dari situ gue mu-tusin buat total bawa unsur Betawi dalam rap,” kenang lelaki 27 tahun ini.

Kojek sendiri memang seorang Betawi to-tok. Dalam bermusik, ia memegang teguh wasiat sang ayah yang sudah almarhum, untuk tetap mengusung budaya lokal. Apalagi ia merasa saat ini, kesenian tradi-sional Betawi sudah jarang diketahui oleh masyarakat luas.

Menurut Kojek, budaya Betawi seperti ondel-ondel, gambang kromong, gambang rancag, samrah maupun pantun, kini hanya dapat dinikmati di waktu-waktu tertentu. Seperti dalam pameran atau upacara pernikahan. Namun, upacara adat pun jarang dilaksanakan masyarakat Betawi mengingat biaya yang dibutuhkan untuk melaksanakannya relatif mahal.

Untuk itu, ia mencoba memasukkan unsur budaya Betawi dalam musik. Sebab lewat musik yang sudah berkembang berkat in-dustrialisasi, masyarakat dapat menikmat-inya tanpa harus merogoh kocek sebesar menggelar upacara pernikahan.

Salah satu unsur budaya yang diusung Ko-jek dalam rapnya adalah pantun. Kesenian khas ini memang punya teknik penyampa-ian yang mirip dengan rap. Disampaikan dengan bertutur dalam tempo cepat, sedang kontennya ditulis dengan rima yang khas.

Selain itu dengan membudayakan kembali

pantun di tengah masyarakat, Kojek ber-harap dapat membantu menyelamatkan Bahasa Betawi yang mulai dilupakan. “Dalam keseharian, bahasa ibu kita sudah kehilangan penuturnya,” ujar Kojek. Ia juga ingin publik mengetahui Bahasa Betawi secara mendalam. “Bahasa Betawi bukan cuma lu, gue, atau semua yang berakhiran –e,” katanya.

Makanya, berbalas pantun jadi ritual wajib bagi Kojek dengan rekannya di tiap penampilan. “Kudu mantun. Gue biasain mengalir aje, nggak hapalan,” tutur Kojek dengan logat Betawi yang kental. Say-angnya kebiasaan ini tak mudah diterima, beberapa pihak justru mencela Kojek, termasuk para rapper. “Orang sering bilang, gue mau ngerap apa ngelenong,” tambahnya.

Buat Pakar Linguistik Abdul Chaer, penuturan musik rap dengan pantun yang berdialek Betawi memang bisa jadi sarana alternatif dalam menggairahkan bahasa ibu masyarakat Jakarta. Sebab, pantun merupakan gaya berbahasa khas Melayu yang juga membudaya di Betawi dengan ciri khas berima aaaa. “Jadi tidak ada masalah dialek Betawi yang dibawa-kan dengan rap. Anak muda betawi, mesti rajin menggali dan membuka diri

terhadap kebudayaan,” ujar penulis Kamus Dialek Jakarta dan Folklor Betawi ini.

Biar punya tujuan memelihara budaya, upaya Kojek menyisipkan dialek Betawi dalam musik rap tak melulu memulus karirnya. Sebuah perusahaan rekaman pernah menawari kerjasama dengan syarat mesti mengganti tiap lirik lagu yang berakhiran –e karena dinilai tidak sopan. Namun, Kojek menolaknya.

“Akhirnya gue memilih label RPM,” kata Kojek. Sebab, perusahaan rekaman itu tidak bermasalah saat harus memproduksi album Kojek yang lirik-lirik lagunya selalu terselipi dialek Betawi. Ia menganggap, dengan bergabung bersama perusahaan rekaman, persoalan keterbatasan alat musik dapat teratasi. Proses penyebaran karyanya pun dapat lebih mudah.

Di samping soal dialek, Kojek juga meng-gunakan beragam pakaian dan aksesoris khas Betawi sebagai simbol identitasnya. Celana Boim, baju koko, peci hitam dan sabuk haji hijau senantiasa ia kenakan. Tak lupa, Kojek selalu menyampirkan sarung di leher, sebagai pelengkap simbolnya saat tampil sebagai rapper Betawi.

Soal konten lagu, Kojek juga tak mau berpaling dari Betawi. Sebagai anak muda yang berdomisili di pinggiran ibu-kota, ia tahu betul bagaimana kehidupan masyarakat yang tak melulu berkecuku-pan. Buatnya, hidup di Jakarta adalah per-juangan, butuh kerja keras untuk meraih bahagia. Sebagaimana terungkap dalam penggalan lirik lagu Lo Kate Jakarte ini.

Lo kate jakarte

Hidup cuman nyante-nyante

Kalo males elo nyang berabe

Lo kate jakarte

Hidup cuman nyante-nyante

Ngejar-ngejar mimpi suseh nyampe

Lo Kate Jakarte dan beberapa lagu Kojek yang lain dibalut dengan instrumen lokal yang dipadu peralatan musik modern.

JJ. Rizal, Sejarawan asal Betawi

Foto: Istimewa

Page 54: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

54 Didaktika

11 Lagu kojek, dalam album Rap Betawi

Seperti Tehyan, Gong, Ning Nong dan Gendang yang dipadu padankan dengan Vynil, Turntable, dan Audio Fruity. Peng-gunaan instrumen lokal ini juga menanda-kan bahwa Kojek berupaya menampilkan nuansa Betawi dalam musiknya secara komprehensif.

Selain Kojek, tercatat beberapa nama rap-per yang juga mengusung budaya Betawi dalam penampilannya. Sebut saja Januar Ahmadin (34) rapper asal Manggarai, Ja-karta Selatan. Lelaki yang jadi rekan Kojek dalam penggarapan video klip Lo Kate Jakarte ini juga punya lagu-lagu bertema-kan keadaan sosial Jakarta.

Dalam album pertamanya, Okeng sapaan akrab Januar Ahmadin menyuarakan ajakan-ajakan kepada anak muda Jakarta untuk kembali ke jalan agama. Dengan membiasakan diri mengaji di tengah kondisi kota yang tingkat kriminalitasnya terus saja tinggi. Menurut Okeng, tindak kejahatan terus berlangsung akibat persoa-lan kemiskinan yang tak kunjung selesai dan selalu menawarkan jalan keluar yang

sesat.

“Gue lahir dan besar di Manggarai. Gue ngerap berdasarkan apa yang gue lihat, rasa dan alami,” tutur Okeng. Karena buatnya, secara ideal, rap harus jadi alat untuk menumpahkan emosi tiap penyany-inya. Namun, dalam menyampaikan hal tersebut, Okeng tidak menggunakan di-alek, alat musik, serta pakaian khas Betawi sebagaimana dikenakan Kojek.

Menyusul Kojek dan Okeng, hadir pula Fahrur Rozi dalam deret rapper Betawi. Ia merupakan penyanyi rap yang menge-mukakan bahwa nasib orang Betawi saat ini nampak terpuruk berkat kebiasaanya menjual tanah warisan leluhur. Fahrur Rozi pun menunjukkan ke-Betawi-annya dengan membalut lirik-lirik satirnya dalam dialek Betawi.

Dalam acara Jakarta Punya Cerita yang diselenggarakan Stasiun Radio Sindo Trijaya FM (28/12), sejarawan asal Betawi J. J. Rizal mengatakan kehadiran musik rap dari anak muda Betawi ini dapat menjadi

medium untuk memahami kondisi riil kehidupan di ibukota. Ia pun memandang rap Betawi merupakan manifestasi konkret atas kebudayaan lokal. Dan pada hakikatnya, kemunculan rap Betawi meru-pakan sebuah resistensi secara kultural terhadap gempuran budaya pop.

“Semakin banyak orang yang memakai unsur Betawi semakin bagus,” kata Ketua Yayasan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Yahya Andi Saputra. Ia menilai dengan rap Betawi, anak-anak muda sudah menunjukkan sebuah kesadaran atas tantangan kebudayaan yang terdapat di zamannya.

Hingga saat ini, hasrat masyarakat atas budaya Betawi nampak lesu. Namun, ke-munculan rap Betawi seakan menghadir-kan kegairahan untuk mengenali kembali budaya lokalnya. “Meskipun rasa tradisi hilang lewat adat, tapi ada rasa tradisi lewat kegairahan,” pungkas Yahya Andi Saputra. .

“Penuturan musik rap dengan pantun yang berdialek Betawi memang bisa jadi sarana alternatif dalam menggairahkan bahasa ibu masyarakat Jakarta. Sebab, pantun

merupakan gaya berbahasa khas Melayu yang juga membudaya di Betawi dengan ciri khas berima aaaa,” Abdul Chaer.

Seni Budaya

Foto

: Isti

mew

a

Page 55: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Edisi 43 55

Timur di encuk, lontaran pendek dari persetubuhan. Untuk kenyamanan pelafalan, kata tersebut beberapa kali bermetamorfosa. Mulai dari di encuk, djiancuk, hingga mengemuka dengan jancuk. Penggunaannya pun tak lagi punya makna yang kotor. Melainkan menjadi sapaan akrab, ungkapan keheranan, bahkan kekaguman. “Misalnya ada wanita cantik yang lewat, (aku) pasti akan berkata: jancuk, cantiknya,” kata Sujiwo Tedjo penuh ekspresi.

Saat ditemui di Acara Seminar Sastra Perlawanan sebagai Media Kritik Sosial, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta (UNJ) (24/5), Dalang yang akrab disapa Mbah Djiwo ini juga menganggap Jancuk sebagai kata yang mengandung makna perlawanan.

Buatnya, sebuah kata tidak melulu punya

satu makna. Apalagi mengingat posisi kata sebagai alat utama bagi kesusastraan. Dalam karya sastra, kata selalu bermetamorfosis dari yang bermakna tunggal kepada makna multidimensional. Kerterkaitannya satu sama lainpun cenderung melahirkan keindahan.

Contohnya dalam sajak, keindahan yang terkandung di dalamnya cenderung membuat banyak orang mengapresiasi karya sastra. “Kita bisa lihat, ketika WS Rendra membaca puisi, banyak sekali orang yang mengantri untuk menontonnya,” ujar Sudjiwo Tedjo.

Populernya karya sastra dalam masyarakat membuka peluang untuk menggunakannya sebagai media apik meraih apapun. Salah satunya sebagai alat perlawanan. Dalam jalan panjang Sastra Indonesia, kita mendapatkan Widji Thukul sebagai salah satu punggawanya. “Hanya ada satu kata: Lawan!” ujar Sudjiwo mengutip puisi Peringatan milik Widji Thukul.

Ia melanjutkan, puisi Peringatan karya Widji Thukul begitu revolusioner pada masanya. Sebab Thukul berani melontarkannya kepada pemerintah Orde Baru. Rezim yang antikritik.

Namun, pria bernama lengkap Agus Hadi Sudjiwo ini menganggap gaya Thukul sudah tidak relevan dengan kehidupan masyarakat Indonesia era Reformasi. Karya sastra yang menggunakan kata-kata menghunjam nampaknya sudah tak lagi didengar sebagai kritik yang berarti. “Para demonstran yang berteriak-teriak, jahit mulut, bahkan bakar diri pun sudah nggak mempan,” tegasnya.

Makanya, buatnya kini kritik sosial dapat hadir melalui humor. Sudjiwo mengira, apa yang dilakukan oleh Teater Gandrik bisa jadi contoh yang baik. Kelompok teater itu memang kerap menyajikan penampilan dengan dialog-dialog yang memelintir istilah-istilah politik menjadi lawakan menggelitik. “Mungkin sekarang sudah nggak zamannya lagi yang serius-serius,” seloroh Sudjiwo Tedjo.

Kini, Sudjiwo Tedjo mantap memilih jancuk sebagai nilai jualnya. Selain mudah diingat, jancuk juga melambangkan semangat egaliter yang berkembang dalam masyarakat. Dalam kicauannya di dunia maya, ia dan setengah juta pengikutnya bebas berujar dan mengkritik siapapun dengan: jancuk!.

Tamu Kita

Medio 2010, masyarakat Indonesia mulai akrab dengan jejaring sosial, salah satunya Twitter. Dalam teknologi ini,

dunia bukan hanya dilipat-lipat sehingga setiap orang di berbagai belahan dunia dapat berhubungan dengan orang lain di bagian bumi lainnya secara real time. Tapi, dapat pula mengekspresikan segala yang ada di kepalanya lewat jejaring sosial, tanpa peduli soal status sosial, maupun kedudukannya dalam masyarakat.

Sebagaimana dilakukan oleh Sudjiwo Tedjo. Seniman serba bisa ini pun menjajal tren menggunakan Twitter. Walaupun di awal pembuatan akun, ia tak membuatnya sendiri, tapi didaftarkan oleh teman.

Atas perintah temannya pula, lelaki yang akrab disapa Mbah Djiwo ini melakukan uji coba pada akun barunya. Ia mencoba menuliskan sederet kata di laman antarmuka Twitter. “Karena aku bingung, ya sudah aku ketik saja jancuk. Dan setelah itu yang meretweet banyak sekali. Ditambah presenter Tina Talisa ikut retweet juga,” ucapnya dengan logat khas Jawa Timur.

Maka tidak heran bila para pengguna Twitter di Indonesia, sudah tidak asing lagi dengan kata jancuk yang kerap kali keluar dari akun seniman Sudjiwo Tedjo. Belakangan, justru jadi ciri khas dari Dalang mantan mahasiswa Institut Teknologi Bandung ini. Ribuan kicau ia sebar di jejaring sosial dengan terselip jancuk di dalamnya. Beberapa buku dan lagu pun sempat ia cipta dengan tema dan selalu mengulang-ulang jancuk.

Jancuk, berasal dari tradisi bahasa Jawa

Ihwal perlawanan, kini bisa dilakukan dengan apa saja, termasuk jancuk! Mungkin, sudah bukan zamannya lagi bicara hal serius.

Sudjiwo Tedjo Bicara Perlawanan

Oleh : Yogo Harsaid

Foto: Istimewa

Page 56: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

56 Didaktika

Udara hutan yang lembab di musim penghujan tak sejengkalpun membiarkan tanah bahkan dedaunan ingin mengering. Kabut yang turun di kaki gunung, rintiknya terus jatuh

menggantikan hujan ketika ia tak datang. Dingin di ujung kulit tak pernah melepaskan rasanya dari sekujur tubuh. Di balik pepohonan dan tumbuh-tumbuhan liar, seseorang berlari tergesa. Seluruh tubuh yang basah akibat kabut yang turun dan tanah yang becek, tak membuatnya sejenak berpikir untuk berhenti berlari. Meski nafasnya sudah tak karuan, tersengal-sengal keluar bersama uap dingin dari mulutnya. Dua orang penjaga di depan sebuah rumah bilik tepat di tengah hutan, dilewatinya begitu saja. Ia membuka pintu rumah yang terbuat dari kayu dengan keras. Seisi rumah yang penuh dengan orang-orang sekejap menjadi senyap, mereka mematung dari kegiatannya semula. Menatap ke arah pintu rumah. “Hei, Pandit! Apa yang kau lakukan?!” ucap seseorang yang sedang duduk di tengah ruangan. Badannya begitu kekar dan besar, di bawah hidungnya menggantung kumis tebal yang menyambung hingga jenggot tepat di dagunya. “Ma maaf Bos hah....hah...hah,” ucap orang itu masih berdiri di pintu dengan nafas yang tak teratur. “Ada apa?” tangan kanan orang yang duduk di tengah ruangan itu menggenggam satu gelas bambu besar berisi tuak yang lantas diminumnya. “Aku melihat ada orang sedang berjalan menuju ke sini, Bos,” nafasnya kembali teratur setelah mengambil nafas panjang dari hidungnya. “Ha?! Siapa dia?” “Tidak tahu Bos, tapi tidak salah lagi apabila dia seorang pendekar.” “Hei hei hei, masuklah dahulu Pandit. Duduklah kau di sampingku.” “Baik, Bos.” Pandit berjalan perlahan menuju kursi tepat di sebelah bosnya yang dari

tadi sedang duduk, lantas ia pun duduk. “Ceritakan padaku, siapa pendekar itu?” “Tidak tahu, Bos” “Hah?! Kau tidak tahu?” keningnya mengkerut tepat di hadapan wajah Pandit, “hai teman-teman, dengarlah cerita si Pandit. Dia bilang ada seorang pendekar berjalan sendirian menuju ke sini hahahaha....” “Mau cari mampus dia, Bos!” celetuk seseorang di balik meja sudut ruangan. “Hahahahaha.....” terdengar seluruh ruangan dipenuhi gelak tawa. “Ta tapi ciri-cirinya aku tahu, Bos” “Tunggu!” teriak Bos yang segera menghentikan gelak tawa seisi ruangan, “seperti apa ciri-cirinya, hei Pandit?” “Dia memakai topeng, Bos” “Hah topeng?! Huahahahaha seorang pendekar pemalu rupanya,” kembali gelak tawa terdengar di tiap sudut rumah. “Dia memang betul-betul memakai topeng Bos!” “Lantas, kenapa dia memakai topeng? Burukkah wajahnya? Hingga malu lantas memakai topeng? Hahahaha....” sungguh seisi rumah itu penuh dengan tawa yang berderai, hingga dua orang yang tadi bertugas berjaga di depan pintu depan ikut masuk dan tertawa bersama. “Seperti apa topeng yang ia pakai, Dit?” kembali Bos bertanya kepada Pandit. “Dia memakai topeng tengkorak” “Hah?! Topeng tengkorak?!” “Ya betul, Bos.” “Hmmmm...” dielus-elus jenggot panjangnya, “apakah dia menyeret peti mati di belakang tubuhnya?”

Bandit/////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////

Ruang Sastra

Ilustrasi: Istimewa

Page 57: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Edisi 43 57

[2]

“Tepat, Bos.” Wajah Bos tiba-tiba saja nampak pucat, “bagaimana dengan pakaian yang ia kenakan?” “Compang... camping dan basah, Bos.”

“Astaga!” tiba-tiba tubuh kekar dan besarnya berdiri dari kursi. Suasana ruangan yang tadi diwarnai oleh gelak tawa kini berganti menjadi hening. “Kau melihat dia di mana?” “Tak jauh dari pos pengawasanku, Bos.” 65 pasang mata yang ada di ruangan itu terus memandangi tubuh Bosnya, mengikuti tiap detil gerak tubuh Bos yang sejak tadi terus saja berjalan bolak-balik. Resah. Dia pun

masuk ke dalam ruangan miliknya dan tak lama keluar kembali dengan membawa sebilah parang di tangannya. “Ada apa, Bos? Kenapa kau mengambil parang?” tanya seorang anak buahnya. “Tak tahukah kalian, siapa pendekar yang dimaksud oleh si Pandit?” “Tak tahu, Bos.” “Goblok! Dia pendekar ketua raja pengemis!” “Lantas apa yang Bos takutkan? Kita ini bandit yang paling ditakuti seantero daratan. Menghadapi seorang pendekar pengemis saja pastilah hal yang mudah untuk kita!” “Goblok! Dia adalah orang tersakti di dunia persilatan saat ini. Apakah kalian tidak tahu?! Kita beramai-ramai di sini pun pasti tak akan mampu untuk menghadapinya walau dia hanya sendiri.” “Apa maksudmu, Bos?! Kau merasa lemah di hadapannya?!” “Bangsat! Berani-beraninya kau meremehkanku?!” parang di tanngan Bos bandit meluncur dengan deras merobek leher anak

Muhamad Ridwan Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia 2011

buahnya yang dengan lancang meremehkannya. Seluruh anak buahnya tiba-tiba terdiam tak mampu untuk berkata apapun jua. “Persiapkanlah persenjataan kalian. Beberapa orang ambil barang-barang dan harta rampasan kita. Secepatnya kita pergi dari tempat ini!” “Bos! Kenapa kita harus melarikan diri, padahal belum tentu dia dapat membunuh kita semua?! Aku tak rela bila harus menjadi pengecut!” sebuah lecutan muncul dari mulut salah seorang diantara meraka. “Ya betul, betul! Kami bandit tak rela apabila harus membuang harga diri kami, hanya karena satu pendekar tidak jelas!” tambah yang lainnya. “Bangsat kalian! Berani betul kalian membantah perintahku!” Bos bandit itu mengacungkan parang ke arah anak buahnya. Suasanana di dalam rumah mendadak begitu panas. Anak buah Bos bandit yang tidak sependapat dengan keputusan pemimpin mereka, mencabut parang dari sarungnya masing-masing dan membalas acungan parang Bos mereka. “Bedebah kalian!” dengan tatapan yang begitu tajam, Bos bandit itu melompat ke arah anak buahnya menyerang. Pertempuran sengit terjadi di dalam rumah itu. Darah-darah dari luka tebasan muncrat kesana-kemari membasahi lantai rumah yang terbuat dari kayu. Perabot-perabot seperti meja dan kursi serta lemari berhamburan kemana-mana, luluh lantah. Banyak anak buahnya yang telah ia bunuh namun, tak sedikit pula luka tebasan yang ia terima dalam pertarungan ini. Hingga akhirnya Bos bandit berdiri sendiri di tengah mayat-mayat seluruh anak buahnya. Darah terus menetes dari luka-lukanya.Samar-samar penglihatannya, nampak sesosok tubuh berdiri di pintu rumah. Orang itu mengenakan topeng tengkorak. Menggenggam tali tambang yang terikat pada sebuah peti mati, tak jauh berada dari sisinya. Dan, pakaiannya compang-camping lagi basah. Bos Bandit masih memandang sosok itu datang, sebelum tubuhnya jatuh menghempas lantai..

/////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////

Ilustrasi: Istimewa

Page 58: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

58 Didaktika

Karya

Ajang penciptaan inovasi yang digelar Korea Invention News ini mempertemukan 153 inovator

rekomendasi dari 19 Organisasi Inovasi Internasional yang tersebar di 15 negara, untuk bertanding di Korea Selatan. “Saya mendapat nobel inovasi untuk kategori Big Enterprise,” kata Andi Dwi Saputra. Ia kaget saat menerimanya. Bukan gugup karena bisa sukses dalam lingkup internasional, melainkan Andi tak mengajukan diri dalam kategori tersebut. “Karena saya tidak merasa sebagai Big Enterprise atau pengusaha besar.”

Namun dalam WIAF, nobel diperebutkan oleh mereka yang punya rekam jejak penciptaan inovasi yang konsisten. Pertimbangan itu mampir pada Andi dengan pengalamannya mendirikan serta mempimpin

asosiasi inovasi dan ilmuwan yang mengembalikan nama Indonesia dalam ajang internasional.

Di samping itu, usia Andi yang masih belia jadi sorotan utama Dewan Juri WIAF. Ia baru menginjak 20 tahun saat mendirikan dan menjadi presiden Association of Young Innovator and Scientist Indonesia (AYISI) pada 2012. “Biasanya yang menjadi presiden asosiasi itu berumur antara 40 hingga 60 tahun,” cetusnya.

Maka, Andi yang kala itu masih semester delapan mesti bersaing dengan mereka yang telah lama berkiprah sebagai dosen bahkan profesor. Namun ihwal umur bukan halangan untuk sebuah inovasi. Pria kelahiran 6 Mei 1991 ini berhasil jadi pemenang termuda. Pihak penyelenggara menangkap potensi besar yang terkandung dalam pemuda ini kelak.

Lewat AYISI, Andi berkomitmen untuk membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia bukan negara dengan masyarakat yang konsumtif, melainkan bisa berinovasi dan produktif. “Tidak dalam bidang teknologi, tapi inovasinya Indonesia punya gayanya sendiri,” ungkapnya soal tujuan pendirian AYISI.

Selain itu , pria yang sehari-hari kuliah di Jurusan Psikologi ini ingin mengubah pandangan sebagian masyarakat Indonesia selama ini soal sebuah penemuan. “Inovasi itu tidak sulit seperti di negara-negara lain. Sebenarnya simple dari hal-hal kecil pun bisa,” katanya. Ia melanjutkan, upaya memperkenalkan kreativitas Indonesia di kancah internasional merupakan hal yang paling diapresiasi oleh pihak penyelenggara WIAF.

Dalam ajang ini, putra pasangan Adam Rochmadi dan Endang Sri Wahyuni ini mengajukan tujuh karya dari berbagai bidang. Mulai dari Matematika, Lingkungan, Kedokteran, Kedokteran Hewan, Psikologi, IT dan Desain. Ragam karya yang interdisipliner ini sudah pernah meraih penghargaan dari berbagai negara seperti Bahrain, Korea, Malaysia, dan Indonesia sendiri. Sehingga punya nilai plus baginya dalam mengikuti WIAF yang memang mempertimbangkan konsistensi seorang inovator dalam berkarya.

Seluruh karya cipta Andi diusahakan memiliki nilai keIndonesiaan. Seperti dalam bidang Matematika, ia membuat ragam soal matematika untuk tingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga

Oleh : Yogo Harsaid

Raih Nobel di Usia MudaAndi Dwi Saputra, mahasiswa program studi Psikologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) raih Nobel Inovator dalam ajang First World Innovator Award Festival (WIAF), Desember 2012.

Page 59: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Edisi 43 59

Andi Dwi Putra

Sekolah Menengah Atas (SMA), dengan variasi motif batik Indonesia. “Misalnya untuk anak kindergarten (TK), angka satu, dua, tiga itu dikasih motif batik, kemudian mereka diminta mewarnai,” papar Andi. Dengan metode seperti ini, buatnya anak pun bisa belajar matematika, membaca dan mewarnai sekaligus.

Soal Matematika bermotif batik tersebut disesuaikan dengan materi yang ada di tiap jenjang sekolah. “Seperti pencerminan untuk anak SD, kalau SMP mereka diminta menghitung luas, sedang untuk SMA itu soal mencari diagonal ruang,” kata Andi. Ia menambahkan, di tiap soal selalu disertakan keterangan mengenai motif batik lengkap dengan asal daerah serta sejarah motif tersebut.

Andi mengatakan, model inovasi soal Matematika tersebut pernah ditaksir oleh desainer dari India dan Malaysia. Mereka minta dibuatkan untuk pengembangan pembelajaran di negaranya masing-masing. “Untuk yang kayak gitu, ah saya mikir-mikir dulu,” seloroh Andi. Sebab dalam berkarya, alumnus SMAN 38 Jakarta ini memang tidak punya orientasi komersil.

Di samping Batik, ia pun mengeksplorasi kegunaan tanaman khas Indonesia untuk inovasinya di bidang kedokteran dan kedokteran hewan. “Jadi saya juga membuat inovasi tentang efektivitas Ginseng Jawa dalam meningkatkan stamina tubuh. Serta perbandingan antara Ginseng Jawa dengan Ginseng Korea untuk meningkatkan libido pada

mencit,” ujar lelaki bertubuh tambun ini.

Diantara setumpuk karya lain, Andi Dwi Putra juga punya perhatian terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang kerap mendapat masalah di negara-negara lain. Untuk itu, ia mencipta inovasi yang didukung latar belakang pendidikan psikologinya untuk membantu mereka. Andi pun membuat model pelatihan TKI dalam menolong sesama. “Jadi model psikolog antar teman,” katanya.

Seluruh karya ini ia buat bertahap sejak masih duduk di bangku SMA. Sejak itu pula Andi rajin mengikuti kontes-kontes inovasi. Baik tingkat lokal, hingga internasional. Pengalaman berinovasi sejak usia sekolah memang mengantarkan ia untuk terus berkarya.

Terlebih terdapat sosok inspiratif yang hingga kini, terus saja memompa semangat Andi. Yakni guru Fisikanya di SMAN 38 Jakarta. “Dia itu bukan cuma guru, tapi juga mendidik. Beliau rela menggadaikan hartanya demi membiayai kami ikut olimpiade,” kenang Andi. Makanya, sebagai apresiasi tertinggi, ia membuat satu kategori penghargaan inovasi dalam AYISI yang diadopsi dari nama sang guru, I-QORI Awards.

Memandang persoalan ke beragam perspektif merupakan kunci dari penemuan inovasi Andi. Sebab menurut lelaki bertubuh tambun ini, dengan metode berpikir multiperspektif hal yang unik mudah ditemukan. “Dari hasil yang berbeda inilah yang akan menjadi cikal bakal

Raih Nobel di Usia MudaAndi Dwi Saputra, mahasiswa program studi Psikologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) raih Nobel Inovator dalam ajang First World Innovator Award Festival (WIAF), Desember 2012.

inovasi,” ucapnya sambil tersenyum.

Namun, kemampuan tersebut memang tidak akan muncul bila tidak ada latihan. Sebagaimana dikatakan Andi, orang tuanya punya peran besar dalam membentuk pola pikir multiperspektif dalam dirinya. “Sejak kecil selalu dibelikan mainan yang bersifat edukasi, seperti lego,” kata Andi.

Ia tak malu-malu mengakui permainan balok susun ini telah menanamkan pola pikir yang berarti hingga beranjak dewasa. Andi menambahkan, lego itu punya potensi strategis untuk merangsang pemikiran-pemikiran inovatif. “Karena saat bermain lego, selalu berpikir tidak untuk satu bentuk. Jadi setelah bentuk ini mau dibagaimanakan lagi,” tuturnya..

Foto: Istimewa

Page 60: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

60 Didaktika

Mempertanyakan Nasionalisme dan Revolusi Indonesia

Judul Buku : Nasionalisme dan Revolusi Indonesia Penulis : George Mc Turnan Kahin Tahun Terbit : 2013 Penerbit : Komunitas Bambu Tebal : xxvii + 692 hal

Dewasa ini sangat banyak orang yang berbicara nasionalisme dan menganggap dirinya seorang nasionalis. Pertanyaannya bagaimana tolok ukur

nasionalisme itu? Apa dengan kita memakai batik atau menonton Indonesia di Stadion Utama Gelora Bung Karno, kita sudah dianggap menjadi seorang nasionalis? Lalu bagaimana sebenarnya tumbuh dan berkembangnya nasionalisme di Indonesia? Melalui buku Nasionalisme dan Revolusi Indonesia coba menjelaskan bagaimana lahirnya nasionalisme serta munculnya revolusi Indonesia sebagai ekses dari nasionalisme itu sendiri.

Indonesia telah menjalani proses panjang dalam perjalanannya untuk mencapai sebuah bangsa. Dimulai dari datangnya agama Hindu, Budha, Islam, Kolonialisme sampai proklamasi 1945. Namun, kata nasionalisme itu baru hadir di Indonesia pada dasawarsa edua abad ke-20 (hlm. 55). Embrio nasionalisme laten sebenarnya sudah ada dalam kelompok masyarakat Indonesia sejak Belanda mendirikan VOC pada 1602. Dimana, Belanda membuat stratifikasi sosial pada rakyat. Bangsa Belanda menempati posisi tertinggi dalam stratifikasi sosial diikuti oleh bangsa timur asing dan ditempat terbawah adalah bangsa pribumi.

Secara tidak langsung melalui stratifikasi dan adanya diskriminasi oleh pemerintah colonial baik itu pendidikan, hukum maupun ekonomi membuat kaum pribumi sadar dengan adanya ketidakadilan. Akan tetapi, mereka masih belum bisa melawan pemerintah colonial yang sudah terorganisir. Hal ini karena kaum pribumi masih melakukan perlawanan secara sendiri-sendiri di wilayahnya dan belum mempunyai orang terpelajar. Barulah melalui kebijakan politik etis pada awal abad ke-20, kaum pribumi mendapat kesempatan untuk menikmati pendidikan. Meskipun pada awalnya pendidikan di Hindia Belanda diperuntukkan untuk menciptakan tenaga pekerja yang murah. Tapi, mereka yang mendapatkan pendidikan dapat membandingkan kehidupan bangsanya yang sangat menderita dibanding bangsa-bangsa terjajah lainnya. Terlebih bagi mereka yang mendapatkan pendidikan di Eropa, mereka dapat menyaksikan kesamaan hak sesama manusia yang tak dijalankan di bumi Indonesia.

Karena pendidikan pula kaum terpelajar pribumi dapat bersentuhan secara gagasan dengan Voltaire, Marx dan kawan-kawan. Dari gagasan itu, mereka memimpikan bangsanya dapat merdeka. Kemunculan nasionalisme juga dipengaruhi situasi dunia. Dimana bangsa-bangsa terjajah dapat melakukan perlawanan seperti yang dilakukan Jose Rizal, Kemal Abdul Pasha, Sun Yat Sen hingga Mahatma Gandhi.

Perlawanan untuk mencapai kemerdekaan pun tak lagi hanya melalui fisik seperti era sebelum politik etis. RM Tirtoadisoerjo memulainya melaui tulisan dengan mendirikan Koran Medan Prijaji. Tak hanya sampai ditulisan, mereka pun mendirikan organisasi nasionalis yang bertujuan memerdekakan Indonesia. Dan, cikal bakal dari organisasi itu ialah Sarekat Islam yang didirikan pada 1912. Dari Sarekat Islamlah muncul nama-nama seperti Semaoen yang memimpin PKI dan Soekarno yang Memimpin PNI. Pada 1920-an banyak ideologi hadir di Indonesia baik itu Komunisme, Nasionalisme, Sosialisme maupun Islam. Akan tetapi, tujuan mereka satu yakni memerdekakan Indonesia. Benih nasionalisme yang sudah tertanam selama kolonialisme memuncak ketika Indonesia

diduduki oleh Jepang. Hal ini terlihat dengan diperbolehkannya bangsa Indonesia menyanyikan lagu Indonesia dan mengibarkan bendera merah putih. Dua hal tersebut yang dilarang selama pendudukan Belanda. Tak hanya sampai disitu, nasionalisme semakin memuncak karena sikap Jepang yang sangat keras kepada rakyat Indonesia membuat perasaan anti-Jepang meningkat.

Ketika kemerdekaan itu diraih pada 1945. Lagi-lagi, Belanda mencoba masuk untuk kembali menguasai Indonesia. Melalui politik devide et impera , agresi militer serta penghancuran ekonomi dengan mengeluarkan mata uang

saat agresi militer terjadi. Semuanya gagal menggulingkan pemerintahan Indonesia. Karena, semua paham yang sejak 1920-an hadir di Indonesia melawannya. Meskipun pada 1948, PKI hancur sebagai dampak dari perang dingin dan dituduh pemberontak tak menggoyahkan kemerdekaan Indonesia. Yang secara de jure baru didapat pada 1949. Buku ini sangat lengkap menganalisis kemunculan nasionalisme dari sosial, budaya dan pendidikan di masyarakat saat itu. Dalam buku ini pemikiran Kahin mencerminkan sikap optimis dan rasa antusias yang diresapi oleh masyarakat kala itu. Lantas, Kahin menyimpulkan, “Jika Rakyat Indonesia mampu menunjukkan kualitas yang sama seperti dalam mencapai perjuangan kemerdekaan politik, peluang sukses mereka dalam upaya untuk memecahkan masalah besar pasca revolusi tampak kuat” (hlm. 670-671).

Setelah 68 Tahun

68 tahun sudah Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai sebuah negara dan bangsa yang merdeka. Banyak dari ekspektasi Kahin tentu saja, pupus begitu saja selama enam dekade ini. Kesenjangan ekonomi, wilayah, etnis dan agama terus memecah belah Indonesia. Indonesia sebagai negara merdeka yang seharusnya berdaulat mengatur kehidupannya sendiri masih saja dirong-rong oleh berbagai kepentingan. Pemerintah yang sangat bergantung pada asing di segala aspek kehidupan menjadi penyababnya.

Praktek ini tentu saja warisan orde baru yang melulu masih dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Bagaimana kebijakan ekonomi liberal diterapkan, seperti privatisasi BUMN, eksploitasi Freeport di bumi cendrawasih. Yang tentu saja mengkhianati konstitusi pasal 33 dan membunuh hajat hidup orang banyak. Pemilu lima tahun sekali begitu murah jika harus disogok dengan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat, JAMKESMAS, PNPM, dan sejumlah program lain yang sejatinya hanya mengeluarkan receh-receh jika dibandingkan dengan bongkahan-bongkahan ‘emas’ yang dibawa ke luar negeri oleh pihak Asing. Bahkan untuk air minum saja di Jakarta dikelola oleh perusahaan Prancis. Padahal, para founding father jelas-jelas menolak ekploitasi apapun yang terjadi di Indonesia.

Dalam masalah pendidikan nasional yang di-“privatisasi” dengan BHMN-nya, pemerintah sepertinya tertekan agar menukar sistem pendidikan nasional dengan pertumbuhan ekonomi. Hak-hak anak-anak negeripun terbengkalai, sebab biaya pendidikan terlalu mahal dan tak terjangkau. Padahal satu dari sedikit harapan kita untuk memperbaiki ekonomi adalah dengan memperbaiki sistem pendidikannya. Karena, tidak akan ada artinya kemerdekaan politik jika tidak disertai kemerdekaan ekonomi. Mengutip pernyataan Soekarno, “Nasionalisme dan revolusi kita berbeda dengan nasionalisme dan revolusi yang terjadi di barat. Nasionalisme dan revolusi barat melawan tatanan feodal. Sedangkan, nasionalisme dan revolusi Indonesia melawan kekuasaan modal.” Tepat rasanya bila kita masih mengatakan bahwa Indonesia belum merdeka dan revolusi belum selesai..

Oleh : Virdika Rizky Utama

[Resensi Buku]

Page 61: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Edisi 43 61

Judul: Cleopatra, Sebuah Biografi

Penulis: Duane W. Roller

Penerbit: PT Elex Media Komputindo

Tahun: 2013

Melalui biografi Cleopatra, Duana W. Roller sebagai penulis mengajak pembaca melepaskan pandangan populer tentang Ratu Cleoptra

(69-30 SM). Yang dianggap sebagai wanita penggoda dan penyihir cantik.

Dimana konsep populer yang telah lama ditanamkan lewat pertunjukkan dan pementasan seperti drama, seni gerak, dan film yang menggunakannya sebagai tokoh utama cenderung menyudutkannya.

Menggunakan bahasa yang lugas dan mudah dipahami, Roller mengantarkan pembaca untuk mengetahui lebih dalam tentang sosok Cleopatra. Yang berdasarkan informasi dunia kuno, koleksi kepustakaan Yunani, Latin. Serta berbagai literature dari kesenian, arsitektut, dokumen resmi Mesir, Kesenian Yunani-Romawi dan gambar koin.

Ratu pun didedeskripsikan lebih dari sekedar penggoda. Kontribusinya membangun kerajaan Mesir, menjadikan ia tokoh penting dan luar biasa. Ia ahli sebagai diplomat ulung, panglima angkatan laut, administrator, ahli bahasa, pintar menulis. Yang kemudian juga menjadi tokoh luar biasa di bidang kesustrataan, kesenian dan musik.

Pendidikan Politik Ratu Mesir

Terdiri dari sembilan bab, buku ini secara kronologis menjelaskan Cleoptra dari masa kelahiran hingga kejatuhannya. Pembahasan tentang Pendidikan sang ratu menjadi menarik untuk ditelaah. Karena kondisi sosial kerajaan Mesir yang didominasi kaum pria, tidak memungkin kalangan perempuan memperoleh pendidikan dan hak berpolitik. Meskipun ia berasal dari keluarga kerajaan.

Namun Cleopatra VII menjadi pengecualian, kebesaran dinasti Ptolemous menjadi akses mudah ia memperoleh pendidikan. Terlebih banyak cendekiawan menjalin hubungan kerja sama dan bekerja di lingkungan kerajaan.

Mesir yang dipengaruhi kebudayaan Yunani, menyumbang hal besar bagi perkembangan dan pertukaran budaya dan ilmu pengetahuan. Letak kota Aleksandria yang startegis, menjadi tempat berkumpulnya kalangan intelektual, cindekiawan dan filsuf. Karena Aleksandria dikenal sebagai pusat kota ilmu pengetahuan dan memiliki perpustakaan terbesar.

Cleopatra pun tak menyia-nyiakan kondisi ini, ia pun menikmatinya dengan rajin berkunjung ke perpustakaan dan menghadiri kuliah di Mouiseion. Bidang-bidang seperti filsafat, medis, politik dan kesustrataan dan bahasa

hingga beretorika telah berhasil dikuasainya. Kemampuan berbahasa dan berargumen yang diajarkan cindekiawan Mitrades VI Agung dan Filostratos, telah menguatkan kompetensi Cleopatra dalam menentukan arah politiknya.

Perkembangan budaya Helenis, telah membentuk pandangan baru tentang keutamaan manusia. Terutama keutamaan perempuan dalam partisipasi politik. Dan ini ditekankan dengan banyak penguasa perempuan yang mampu memimpin kerajaan tanpa bantuan pria. Kecerdasan para penguasa ini menjadi inspirasinya dalam mengembalikan kejayaan dinasti Ptolemous di Mesir.

Mereka adalah Ratu Hatsepsut, penerus pemerintahan setelah kematian suaminya dengan berhasil membebaskan Mesir dari bangsa Hiksos dan memperluas wilayahnya. Serta Ratu Artemesia yang memiliki kemampaun memimpin sendiri armadanya dan memainkan peranan penting pertempuran Salamis (Yunani-Persia). Sosok wanita dalam mitologis Yunani hingga para wanita aristokrat Romawi pesaingnya, seperti Fulvia, Oktavia dan Livia. Sehingga menghasilkan persilangan antara peran ratu Helenistik dan Ibu Pengawas Romawi.

Jadi, ketika Cleoptra VII menduduki tahta pada akhir 51 SM, ia sangat berpendidikan dan memiliki visi dan metode politik yang jelas atas ambisinya untuk mengembalikan kejayaan Raja Ptolemous. Ia pun lahir sebagai penguasa Helenistik yang independen dalam menentukan keputusan politik tanpa diperlukan peran pria.

Perkawinan politik, persekutuan, perluasan wilayah dan diplomasi menjadi metode politik yang diterapkan Cleoptra. Seperti, Romawi yang kuat secara politik dan militer, dijadikan alat bagi Cleopatra untuk menguatkan posisi Mesir di kancah politik Romawi. Dengan menjalin hubungan persekutuan dan hubungan “kasih” antara penguasa Roma. Yaitu Julius Caesar dan Markius Antonius. Itu semua demi menurunkan penerus yang layak bagi sejarah terkemuka di dinastinya.

Jalinan kasih yang dirajut dengan Antonius, telah memulihkan kemaharajaan Ptolemous. Antonius telah membantu Cleoptra dalam mencapai banyak keinginannya, memperluas kerajaan sang ratu dan meningkatkan jumlah pewaris hingga tiga orang. Namun jalinan kasih “politik” yang dibangun dua insan ini, justru menjadi boomerang bagi keberlangsungan kerajaan Mesir.

Oktavianus, pemimpin Romawi merasa iparnya (Oktavia) yang menikahi Antonius dizalimi, ketiadaksukaan ini dijadikan agenda politiknya.

Wilayah Mesir yang semakin luas, Sumber Daya Alam memadai, serta lahirnya keturunan besar dari Antonius, menjadi sederet alasan terjadinya perpecahan dan peperangan antara Mesir-Romawi. Karena dianggap menyaingi kekuasaan Romawi.

Berbagai cara memperbaiki persekutuan anatara Romawi-Mesir gagal terjadi, hingga diakhiri kisah tragis dengan bunuh dirinya pasangan Antonius-Cleoptra, serta runtuhnya dinasti Ptolemous. Diiringi takhluknya kerajaan Yunani lainnya seperti Macedonia, Syiria dan Mesir. Dan ini menjadi akhir periode Helenis, Yunani. Dan kekalahan ini diabadikan oleh penulisan sejarah dari pihak pemenang, Romawi yang cenderung menyudutkan dan menghilangkan peran Cleopatra di masa Helenistik.

Roller telah menghadirkan gambaran tentang masyarakat dan budaya Mesir, dan gambaran nyata dari kehidupan intelektual di Aleksandria pada masa Cleopatra, serta tidak kestabilan struktur negara dengan bahasa yang lancar dan mudah dicerna. Namun pembaca harus mengelus dada, karena minimnya informasi di masa Kuno dan kekosonganan di beberapa catatan justru membuyarkan fakta tentang Cleopatra itu sendiri..

Penggoda yang Pandai BerpolitikOleh : Ferrika Lukmana Sari

Page 62: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Kontemplasi

Aidit, mati dibunuh bukan karena seorang anggota PKI, melainkan tak pernah bosan memperingatkan rakyat bahwa Indonesia adalah negara yang tak

merdeka. Setengah jajahan dan setengah feodal. Peringatan macam itu selalu ia kumandangkan dalam tiap forum diskusi, vergadering, pamflet-pamflet buatannya, bahkan saat dimintai pendapat oleh media massa.

Satu peringatannya yang paling terkenal diucapkan pada pidato pembukaan Universitas Rakyat. “Revolusi Indonesia belum selesai,” katanya. Sebab, ada dua tahap dalam Revolusi Indonesia agar sampai tujuan. Pertama, mencapai kemerdekaan yang menyeluruh, tanpa sisa imperialisme maupun feodalisme. Kedua, bebas dari kapitalisme, hingga mewujudkan hidup tanpa ada lagi penghisapan yang dilakukan manusia terhadap manusia lainnya.

Kedua tahap tersebut harus dilaksanakan secara tertib. Tak boleh dilewati atau dilompati. Sebab yang pertama merupakan prakondisi yang mesti dipenuhi agar tahap kedua mampu terlaksana.

Kemudian muncul pertanyaan mengapa sasaran revolusi Indonesia adalah imperialisme dan feodalisme? Hal ini mudah dipahami jika masyarakat Indonesia mau mengingat bahwa 20% wilayah negara ini-Irian Barat-masih diduduki kaum imperialis. Begitu pula dengan sebagian besar sektor penting dalam perekonomian, terutama minyak, masih dikuasai oleh perusahaan kapitalis asing seperti BPM-Shell, Stanvac dan Caltex.

Artinya, untuk sampai pada tujuan revolusi, negara ini mesti merdeka dalam lapangan ekonomi dan politik. Rakyat mesti berdaulat atas dirinya dan segala yang terkandung dalam negaranya. Indonesia adalah republik, dan republik haruslah Res Publica. Ia adalah kepentingan umum, berdasar pada kepentingan rakyat, bukan pada individu atau pun kepentingan salah satu kelas.

Lantas, bagaimana Indonesia bisa menjadi Res Publica? Mengapa sejak dulu, Res Publica sulit diwujud?

Sebelum menjawab, kita tentu tak boleh menyalahkan sejarah. Ruang dan waktu senantiasa bisu meski para pejabat Indonesia yang hadir di Jenewa pada November 1967 bisa tertawa puas. Mereka berhasil dapat pinjaman triliunan rupiah. Guna membuat blue print pembangunan Indonesia yang kemudian melahirkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing.

Sejak saat itu, kita mesti rela berbagi kekayaan alam dengan pihak asing. Tidak berdaulat atas kekayaan alam milik sendiri. Bukan hanya dalam sektor besar, bahkan atas air minum pun, Indonesia tak punya kedaulatan. Prancis menguasai 70% saham perusahaan air minum kemasan, Aqua. Secara otomatis, puluhan mata air dan sungai Indonesia dikuasai olehnya. Maka tidak heran apabila Wawan Tunggul Alam menggambarkan, hingga kini Indonesia masih di bawah cengkraman asing.

Akhirnya, jawaban soal Res Publica tentu ada pada cara pandang kita terhadap Indonesia. Apabila kembali pada sejarah, Soekarno berulang kali mengucap, “Res Publica, sekali lagi mengucap Res Publica!” Sudah jadi fitrah negara untuk melayani kepentingan rakyat.

Bukan malah jadi alat kelas tertentu. Bukan jadi alat kaum borjuis untuk menguasai perdagangan dengan menyingkirkan rakyat dan menguasai alat produksi mereka. Apalagi menjadikan hukum sebagai pemulus jalan dalam mengumpulkan kekayaan pribadi. Karena hal tersebut jelas mengingkari amanah Pasal 33 UUD 1945 yang dengan tegas berpesan, “segala hajat hidup orang

banyak dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Diakui atau tidak, cara pandang bangsa ini sudah lama dituntun oleh para elite negara kepada neoliberalisme. Melalui beberapa perangkatnya seperti GATTS, WTO, NAFTA, ADB, IMF, Bank Dunia dan lembaga-lembaga lain di dunia yang dipimpin oleh Amerika Serikat, mereka berupaya menanam investasi dan mewujudkan liberalisasi perdagangan di seluruh dunia. Terutama Indonesia.

Pihak asing sangat ingin menguasai pasar ekonomi kita. Karena biar bagaimana pun, negeri berpenduduk 220 juta orang ini merupakan negeri yang berlimpah kekayaan alam. Sebuah negara jarahan yang begitu potensial sehingga menarik untuk dikuasai pihak asing. Ironisnya, banyak pengelola negeri ini yang justru membantu memulus jalan pihak asing untuk melaksanakan berbagai rencananya di Indonesia.

Akibatnya, kesejahteraan rakyat dibahasakan dengan impor bahan pangan seperti kedelai, daging sapi maupun bawang. Kemakmuran rakyat pun menjadi narasi perbudakan buruh pabrik kuali Tangerang yang selalu tertindas. Bekerja lebih dari 12 jam setiap hari, tanpa makan apalagi upah yang layak. Sedang di sisi lain, kita dapat menyaksikan sang Gubernur yang melingsut mapan, bergelimang aksesiri luar negeri berbandrol ratusan juta rupiah.

Para pemimpin mestinya sadar, kemakmuran merupakan aspek penting bagi bangsa merdeka. Makanya, tak seharusnya dikuasai sendiri. Sebab, apabila sudah mencapai kemakmuran, sudah barang tentu pula rakyat dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasarnya seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air minum dan lain-lain. Dengan begitu, tiap warga negara pun dapat mengembangkan dirinya meningkatkan kemampuannya, demi kemajuan umat manusia.

Tapi, rasanya ini sulit.

Terlebih, Indonesia jadi tuan rumah pertemuan antarnegara anggota organisasi perdagangan internasional (WTO) pada Desember 2013. Sudah bukan rahasia lagi, WTO adalah alat penjajahan gaya baru. Sejak berdiri pada 1995, WTO lewat beberapa perusahaan raksasa transnasional memang sudah merengkuh lebih dari 80% kuasa perdagangan dunia.

Terbukti berbagai kebijakan WTO tak pernah memperhitungkan kepentingan rakyat seperti petani, buruh, nelayan, serta mengabaikan kelestarian lingkungan hidup di negara-negara berkembang. Yang muncul justru ketidakstabilan harga pangan, pengambilan tanah rakyat secara paksa dan ketergantungan negara miskin akan impor terus saja meningkat. Sebagai contoh, pada 2012 impor produk pangan Indonesia menghabiskan anggaran lebih dari Rp 125 triliun. Dana tersebut dikucurkan untuk mengimpor daging sapi, gandum, beras, kedelai, ikan, garam, cabai dan komoditas pangan lain.

Sementara perusahaan pangan dan pertanian transnasional semakin kuat meraup laba, negara-negara berkembang terbelakang (Least Developed Countries/LDCs) akan kehilangan kedaulatan untuk melaksanakan kebijakan pertaniannya. Negara-negara seperti Indonesia, Philipina, Thailand dan Vietnam akan membatasi kemampuannya untuk menghadapi krisis harga bahan pangan.

Kenyataan ini menunjukkan rakyat tidak berdaulat atas tanah dan airnya sendiri. Jika sudah begini, niscaya Res Publica cuma mimpi belaka. .

Mimpi Res PublicaOleh : Satriono Priyo Utomo

62 Didaktika

Page 63: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

Membaca majalah DIDAKTIKA semakin mudah dengan multimedia

Page 64: Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

www.didaktikaunj.comTujuan yang pasti