Majalah DENTA edisi 4

32

description

Majalah DENTA edisi tahun 2016. Diproduksi oleh DENTA CSSMoRA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Transcript of Majalah DENTA edisi 4

Page 1: Majalah DENTA edisi 4
Page 2: Majalah DENTA edisi 4

SANTRI

MEMBANGUN NEGERI

MERANGKAI HARMONI

MENJUNJUNG BUDI PEKERTI

Page 3: Majalah DENTA edisi 4

3Assalamualaikum

Hai sobat DENTA! Sudah lama kita ti-dak berjumpa lagi dalam edisi majalah. Kali ini DENTA akan membahas b erbagai isu menarik yang beredar di saat ini. Majalah DENTA kali ini mencoba datang dengan inovasi dan rubrik yang asyik untuk dibaca. Tim Redaktur men-gucapkan syukur pada Allah SWT yang telah memberikan kita nikmat s ehat jasmani dan ro-hani sehingga kita bisa menyelesaikan majalah untuk tahun ini. Selanjutnya terima kasih ke-pada seluruh pihak yang telah membantu un-tuk terea lisasikan penerbitan majalah DENTA yang telah lama dinanti-nantikan kehadirann-ya oleh banyak kalangan, terutama dari CSS-MoRA UIN Jakarta. Semoga bermanfaat un-tuk semuanya Amin.

Wassalamualaikum.

Redaksi DENTA

TIM REDAKSI

Pelindung :Ketua CSSMoRA UIN Syarif Hidyatullah Jakarta

Pembimbing :Surotul IlmiyahMalikatul Ma’munahIsmatuz Zulfa :

Pemimpin Umum:M. Iqbal Syauqi Al Ghiffary

Pemimpin Redaksi:Wildanul Akhyar

Sekretaris Siti Nur Paisa

Bendahara Nur Izdihar Hadi

Kontributor:Widya PrayogaAchmadHanan LutfiAbdul HarInnana SyarifahAnnisa Tristiana

LayouterMuna Mushoffa

Sekretariat:Jl. Tarumanegara Kav. 12 C no. 48 Ciputat - Tangerang Selatan

DENTA CSS MORA UIN JAKARTA

@denta_css

denta-cssmorauinjakarta.blogspot.com

cssmorauinjkt.org

Page 4: Majalah DENTA edisi 4

4

Kata Redaksi 2Daftar Isi 3

Headline 4 Opini I 6Resensi 8

Freezone 9Opini II 10

Uswah 12

15 Hot Out17 Profil 19 Kolom Ketua21 Humor Santri22 Pojok Sastra25 Event27 Galeri CSSMoRA UIN Jakarta

DAFTAR ISI

Page 5: Majalah DENTA edisi 4

5

Sebagian besar rakyat dunia, yang mengenal lebih dalam mengenai Indonesia, setidaknya akan sepakat bahwa negeri yang luas ini adalah salah satu wilayah dengan kondi-si multikultural yang sangat luas. Kita tak bisa pungkiri bahwa dari prakiraan hampir 17.000 pulau yang terdeteksi dalam wilayah teritorial negara ini, tersimpan kekayaan kultur dan adat yang dicipta dan diwariskan turun-temurun oleh tiap generasi. Meski selayaknya masih agak rancu membicarakan budaya Indonesia, terlebih ke-tika ia berusaha diketemukan dengan kajian saintifik modern, namun usaha ini perlu digal-akkan mengingat peran penting kebudayaan yang nyatanya tak perlu keberadaannya serta merta diberangus. Sebuah budaya, nyatanya adalah produk masyarakat yang disepakati se-cara konsensus oleh wilayah tersebut dan men-jadi norma yang tak boleh dilanggar. Mengha-pus kultur, berarti adalah berusaha mengubah kesepakatan yang ada di sebuah komunitas penduduk. Bukankah tanpa kejelian dan sudut pandang yang lebih luas, usaha itu akan banyak berbenturan, baik secara ideologis adat mau-pun berujung konflik fisik?

Mendudukkan Budaya Indonesia

Pada prakteknya, kultur Indonesia tel-ah memberikan banyak sekali pandangan ter-hadap banyak hal. Infrastruktur masa lampau beserta dinamika masyarakatnya banyak ter-catat dalam naskah-naskah manuskrip maupun prasasti-prasasti yang setidaknya menandakan bahwa peradaban tulis Indonesia telah banyak mencatat peristiwa. Lantas, sebagai sebuah bu-daya: tentu saja perjalanan sebuah adat tidak serta merta muncul begitu saja, dan ia mungkin lebih tua dari budaya menulis di kalangan mas-yarakat. Indonesia dikatakan memiliki tingkat varian flora maupun fauna yang amat kaya. Dari corak yang istimewa ini, leluhur bangsa ini tentu telah banyak melakukan uji coba ter-hadap berbagai tetumbuhan untuk keperluan mereka sehari-hari. Salah satu keperluan yang memiliki urgensi adalah terkait perobatan. Para pendahulu kita, secara sederhana telah melaku-kan riset. Mereka menguji, menilai dampak, serta mematenkannya di lingkungan suku atau kerajaan. Kultur diturunkan turun temurun, dari generasi ke generasi. Saat ini meskipun

Indonesia Kaya: Perspektif Kesehatan dalam Nilai-Nilai Budaya Indonesia

Headline

Page 6: Majalah DENTA edisi 4

6 riset kesehatan sangat pesat, nyatanya budaya masyarakat tetap dipandang penting dan urgen sebagai komponen pengobatan. Kita ambil contoh, seperti penggu-naan jamu di kalangan kita. Jamu, Anda tahu, nyatanya selalu menjadi salah satu alternatif pengobatan yang dipilih karena sifatnya yang murah dan mudah. Sebut saja kunir, temu-lawak, kencur, jahe, dan masih banyak lagi. Bagaimanapun secara kultur ramuan-ramuan tersebut telah lumrah di antara kita. Begitupun selain budaya perobatan, kultur meski tidak berkaitan langsung dengan sebuah pengobatan, nyatanya ia menjadi sebuah penghormatan yang luhur. Dalam budaya Jawa, kita kenal istilah tingkeban, lalu adat menanam ari-ari dalam tanah – dan diberi lampu, dan sebagainya. Secara medis maupun sosial, apa pengaruhnya? Kita tak cukup tahu. Bagaimana-pun unik – bahkan anehnya – sebuah kultur, masyarakat yang telah menjadikannya sebuah keyakinan dan warisan budaya tetap berusaha melestarikannya.

Riset Hari Ini dan Perkembangan Budaya

Kita telah banyak bicara bahwa ken-yataannya leluhur bangsa Indonesia telah banyak mencoba berbagai tetumbuhan juga menguji kepercayaan akan gerak alam, dan se-

dikit banyak hal ini bisa kita katakan sebagai sebuah usaha penelitian. Budaya sebagai laku, semesetinya berbeda sebagai objek penelitian. Hal-hal yang berada dalam keyakinan dan ikti-kad kaum, tak bisa serta merta dilanggar – atau malah dihakimi keberadaannya. Metodologi dan fasilitas penelitian, saat ini sudah berkembang sedemikian pe-sat. Kita tahu, sedikit banyak budaya Indone-sia yang telah jamak dilakukan mulai banyak dipertanyakan, dan selajutnya: diganti dengan yang lebih mampu dipertanggungjawabkan. Dalam usaha pembudayaan, misalnya dalam perihal program Keluarga Berencana, selain dari sisi agama yang menimbulkan banyak pertentangan di masa lampau, nyatanya tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat benturan ide-ologis dalam masyarakat yang memegan teguh adat. Di sini kita tak bisa katakan, bahwa te-knologi kesehatan yang pesat harus merekon-struksi adat. Para peneliti tentunya tetap konsisten dengan metode yang diambil, dan diketahui melalui riset pula bahwa tak seluruh adat – meski telah diwariskan turun temurun – dapat memberikan dampak yang baik untuk fisik ses-erang maupun kondisi masyarakat setempat. Beberapa wabah penyakit, dalam hal ini juga seringkali adalah dampak budaya yang tidak diiringi kesadaran masyarakat untuk mencari

tahu. Begitupun pihak intelektual: mungkin informa-si yang ada belum sampai pada mere-ka. Dan kita tetap berharap, bahwa riset, budaya, dan publikasi informasi terkini adalah hak setiap warga nega-ra. (SY)Op

ini

Page 7: Majalah DENTA edisi 4

7Op

ini

Indahnya Berkuda

“Pasola secara harfiah bermakna permainan ketangkasan dengan saling melempar lembing kayu

di atas kuda yang ditunggangi,”

Oleh: M. Iqbal Dzaky Asy’ariAnggota CSSMoRA UIN Jakarta 2013, Jurusan Pendidikan Dokter

OPINI

Page 8: Majalah DENTA edisi 4

8Pasola, mungkin kata tersebut kurang

familiar di kalangan masyarakat ibu kota. Sebagian besar kita dibutakan

oleh hiruk-pikuk sibuknya pekerjaan sehingga kesempatan dalam mengeksplor keberanekarag-aman budaya Indonesia sangat minim. Ya, Pasola merupakan tradisi yang dilakukan oleh pemuda di Sumba dengan cara berperang menggunakan kayu sembari berkuda. Pasola sendiri termasuk dari rangkaian upacara Adat Nyale yang bertu-juan mensyukuri hasil panen pada tahun terse-but. Upacara ini rutin dilakukan bulan Februari dan Maret di 4 desa di Sumba, yakni Kodi, Lam-boya, Wonokaka, dan Gaura.

Jika kita menganalisis makna Pasola, tersusun dari kata utama “Sola” yang dalam bahasa Sum-ba memiliki arti lembing kayu yang digunakan untuk saling melempar di atas kuda yang sedang ditunggangi. Setelah mendapatkan imbuhan Pa yang bermakna permainan, Pasola secara harfiah bermakna permainan ketangkasan dengan sal-ing melempar lembing kayu di atas kuda yang ditunggangi.

Kali ini penulis ingin memperdalam pemba-hasan kita dalam “berkuda”. Sebelum lebih jauh, mari kita coba menelaah kembali hadist Nabi berikut:

Artinya: “Ajarilah anakmu untuk berenang, memanah dan berkuda.”

Kalau menilai berkuda hanya dalam segi transportasi, tentu sudah tidak re levan lagi di zaman globalisasi ini. Kuda kalah bersaing den-gan “kuda” yang lain. Namun, pada zaman Nabi hingga sekitar akhir abad 7 M, kuda masih men-jadi pilihan utama sebagai alat transportasi dan tentunya kendaraan perang yang efektif dalam memporak-porandakan pasukan lawan. Meski-pun demikian, masih ada orang di dunia dan In-donesia tentunya masih melaksanakan sunnah Nabi tersebut untuk olahraga ataupun hanya se-kedar hobi.

Berkuda dalam aspek kesehatan me rupakan jenis olahraga yang tergolong berat (hard exer-cise). Karena membakar kalori hingga 340 kkal tiap jamnya. Hal ini membuat para ilmuwan da-lam bidang kesehatan mulai meneliti secara detail apa saja yang terjadi dan apa saja manfaatnya se-lama berkuda. Selama berkuda, gerakan gallop-ing akibat naik turunnya kaki kuda yang ritmis membuat tulang belakang bergerak secara har-monis. Hal ini mirip jika kita sedang mendapat-

kan terapi pij at namun jauh lebih efisien karena lebih s erentak dan berlangsung terus-menerus.

Kita tahu, bahwa tulang belakang atau ver-tebra merupakan tempat dimana semua saraf dalam tubuh kita disalurkan dari otak menuju masing-masing organ. Dengan demikian, keti-ka gerakan galloping tadi yang menggerakkan vertebra maka akan melancarkan impuls dari masing-masing persarafan. Baik itu persara-fan motorik maupun sensorik. Jika persarafan berjalan dengan mulus, maka tiap organ tubuh dapat menjalankan fungsinya lebih maksimal.

Dan hal ini telah dibuktikan dengan dilaku-kannya penelitian pada 17 anak yang mengala-mi cerebral palsy. Mereka mendapatkan terapi selama 18 minggu dengan berkuda. Outputn-ya cukup signifikan dengan naiknya indikator penilaian motorik hingga 7,6%. Tentu hasil ini membawa kebahagiaan tersendiri bagi keluarga pasien terhadap prognosis dari anaknya. Pene-litian lain, berkuda meningkatkan fungsi dari pancreas dalam mensintesis insulin pada pasien DM 2 usia lanjut. Pasien yang mendapatkan terapi ini sejumlah 24 orang selama 12 ming-gu dan menunjukkan hasil yang memuaskan. Yakni kenaikan 10% dari sensivitas insulin, ke-naikan cardiac output lebih tinggi (60%) dari olahraga berat lain (40-45%) dan kenaikan laju metabolik dasar sebesar 13%.

Dari hasil diatas, para ilmuwan terus me-neliti lebih lanjut efek lain berkuda dalam kes-ehatan. Tentunya hasil yang diharapkan adalah hasil yang maksimal dan memiliki dampak yang signifikan pada kehidupan manusia. D engan demikian para penduduk dunia akan menger-ti manfaatnya, sehingga banyak dari mereka akan berkuda lagi. Toh, mungkin hanya seba-tas hobi ataupun olahraga. Harapan dari penu-lis sendiri ingin mencoba membuka mata kita semua untuk melihat suatu manfaat dari tradisi masyarakat Indonesia bahwa ternyata berkuda memiliki impact yang positif dalam kesehatan kita. Di sisi lain, kita akan terus bisa melestari-kan adat tersebut supaya anak cucu kita nanti tidak hanya mengetahui derasnya arus global-isasi. (IS)

Page 9: Majalah DENTA edisi 4

9

Novel ini merupakan bagian dari trilogi novel Bumi yang mengisahkan petualangan Raib, Ali, dan Seli. Penulis mengajak kita ber-imajinasi menjadi seorang petualang yang harus bertahan dalam sebuah kompetisi ber-gengsi di sebuah komunitas yang disebut klan Matahari. Petualangan mereka dimulai tatka-la mereka dimulai saat liburan sekolah mereka harus berubah menjadi sebuah petualangan di dunia paralel yang bertujuan untuk meng-hubungkan kembali hubungan Klan Matahari dan Klan Bulan yang telah terputus setelah ratusan tahun lamanya.

Sebagai cerita, semula Miss Selena se-bagai pimpinan Klan Bulan mengira jikalau kedatangan mereka tidak akan disambut sama sekali karena melihat hubungan Klan Bulan dan Klan Matahari, namun dugaan mereka salah. Mereka disambut meriah dan secara kebetulan bertepatan dengan pembu-kaan kompetisi bergengsi di Klan Matahari yakni kompetisi menemukan bunga matahari yang pertama kali mekar. Dari situlah Raib, Seli, Ali dan Ily diminta ketua konsil Klan Ma-tahari untuk ikut dalam kompetisi. Petualan-gan pun dimulai, berbagai macam rintangan harus mereka lewati mulai dari burung-bu-rung pemangsa, hewan ganas, tumbuhan be-racun, sampai dengan lorong yang dipenuhi tikus-tikus buas. Namun mereka tetap bisa melewati semua itu dengan selamat karena bisa dikatakan kombinasi kelompok mere-ka sangat lengkap dengan kelebihan mas-ing-masing.

Beberapa tokoh di novel ini, sep-erti Seli dari keturunan Klan Matahari memiliki kekuatan petir yang menyam-bar, Raib jelmaan putri raja Klan Bulan ini mampu beteleportasi jarak dekat sekaligus mampu mengeluarkan puku-lan yang sangat keras yang disertai gu-guran salju, Ily sang ksatria terlatih da-lam memainkan peralatan perang, Ali si anak jenius dari Klan Bumi yang mampu berubah jadi beruang raksasa.

Disini seorang Tere Liye mampu menyajikan kisah epik petualangan yang cukup menarik untuk dibacaDi novel ini, penulis lebih menekankan pada nuansa adventure, yang sedikit membuat pem-baca lebih “berpikir”. yang kenal betul permainan tersebut. Selain itu, sisi adat dalam sebuah pertaruhan tradisi turut mewarnai petualangan para tokoh yang memiliki relasi kultur.

Walaupun cerita yang disajikan penulis cukup menarik, tetapi tampak alur cerita terkesan berulang-ulang ter-utama ketika pemecahan masalah, seh-ingga pembaca mudah menebak alurnya, juga ada beberapa kata yang agak terasa kurang logis. Secara keseluruhan novel Bulan Tere Liye ini mengajarkan bah-wa sudah selayaknya seorang pemuda memiliki kebijaksanaan dan kecerdasan karena pemudalah yang akan menjadi generasi penerus sebuah tradisi. (A.H)

Namanya Seli, usianya 15 tahun, kelas sepuluh. Dia sama seperti remaja yang lain. Menyukai hal yang sama, men-dengarkan lagu-lagu yang sama, pergi ke gerai fast food, menonton serial drama, film, dan hal-hal yang disukai

remaja.Tetapi ada sebuah rahasia kecil Seli yang tidak pernah

diketahui siapa pun. Sesuatu yang dia simpan sendiri sejak kecil. Sesuatu yang menakjubkan dengan tangannya.

Namanya Seli. Dan tangannya bisa mengeluarkan petir.***

Penunggang Harimau SaljuparaPetualangan

Judul : Bulan

Penulis : Tere LiyePenerbit : Gramedia

Tebal Buku : 400 halaman; 13.5 x 20 cm

Kota Terbit : JakartaTahun Terbit : 2015

Resensi

Page 10: Majalah DENTA edisi 4

10

Calon ibu tentu menginginkan anak yang dikandungnya lahir tanpa cacat. Banyak budaya yang sudah

melekat di kalangan masyarakat, namun masih menimbulkan kontroversi. Faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya tersebut ternyata membawa dampak positif maupun negatif ter-hadap kesehatan ibu dan anak.

Periode persalinan bagi wanita hamil mer-upakan masa yang diharap-harapkan. Bersalin sendiri merupakan proses fisiologis yang dimu-lai dari rasa nyeri akibat kontraksi rahim yang teratur, hingga proses mengeluarkan janin. Akan tetapi pada kenyataannya proses persali-nan dapat terhambat oleh beberapa hal. Misal-nya, kelainan pada kontraksi rahim yang terlalu lemah atau terlalu kuat.

Kontraksi rahim yang teratur, yang biasa disebut his, jika terlalu lemah akan memper-lama proses persalinan, sehingga melelahkan dan membahayakan ibu dan janin. Sebaliknya, his yang terlalu kuat dapat mengakibatkan rup-tur uteri atau atonia uteri (uterus berkontraksi terus menerus).

Diyakini salah satu cara memperlancar per-salinan yaitu dengan mengkonsumsi air ren-daman rumput fatimah pada saat menjelang kelahiran. Salah satu cara yang populer di mas-yarakat adalah dengan merendam rumput fati-mah kering ke dalam air hangat, kemudian air hasil rendamannya diminum menjelang persa-linan.

Rumput fatimah atau dalam bahasa latin Labisia pumila mengandung bahan fitokimia yaitu flavonoid. Flavonoid merupakan bah-an alami yang memiliki struktur menyerupai hormon tipe steroid tubuh, yaitu estradiol dan menunjukkan aktivitas estrogenik. Ia dia-sumsikan berfungsi sebagaimana estrogen en-dogen pada tubuh, sehingga mampu memicu kemampuan kontraksi lebih tinggi pada otot uterus dengan meningkatkan jumlah reseptor oksitosin dan agen α-adenergik yang memod-ulasi channel kalsium membran.

Estrogen juga sangat diperlukan dalam komunikasi intraseluler dengan cara mening-katkan pembentukan taut antar sel dalam otot rahim. Kondisi ini memungkinkan untuk menghasilkan kontraksi uterus yang baik. Se-lain itu juga dapat menstimulasi produksi zat prostaglandin yang menstimulasi kontraksi uterus.

Namun meskipun berbagai riset dilaku-kan, penggunaan rumput fatimah dalam per-salinan ternyata tidak dianjurkan, bahkan ada sebagian larangan penggunaanya menjelang persalinan. Konsumsi air rendaman rumput fatimah dengan dosis yang tidak tepat, dikha-watirkan akan menimbulkan kontraksi yang sangat meningkat dan dapat mengakibatkan uterus yang meregang atau robeknya dinding uterus, bahkan robekan rahim spontan dapat menyebabkan perdarahan serius. (SN)

Budaya Rumput Fatimah Seputar Persalinan

Freezone

Page 11: Majalah DENTA edisi 4

11

Beberapa Masalah Ritual Adat Indonesia

Indonesia merupakan suatu negara dengan seribu satu keunikan, bukan ungka-pan yang berlebihan mengingat Indonesia terdiri dari ribuan pulau, baik besar maupun kecil. Bahkan beberapa di antaranya belum berpenghuni dan belum memiliki nama. Se-tiap pulau berpenghuni di Indonesia memi-liki sejarah, legenda, dan budaya yang tetap dijaga oleh masyarakatnya hingga sekarang. Mulai dari upacara adat, keyakinan, peratur-an dan pantangan nenek moyang dijaga den-gan baik, dilestarikan dan sulit ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia. Selain itu kebu-dayaan lainnya yang masuk dan berafiliasi dengan budaya asli Indonesia beberapa abad yang lalu, hingga saat inipun masyarakat tetap setia melestarikannya. Dari sini dapat kita ketahui bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang sangat meng-hargai warisan leluhurnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa segala adat yang dijaga oleh masyarakat Indonesia di masing-masing tempat tinggalnya memi-liki dampak langsung terhadap lingkungan, keberadaan varietas flora dan fauna. Tak lupa pula dampak kesehatan, baik pada pop-ulasi maupun individu. Salah satu contohnya adalah kepercayaan Suku Toraja bahwa bagi siapa saja yang membunuh moa yang hidup

di telaga Tilangnga’ akan mendapatkan kes-ialan. Secara langsung kepercayaan tersebut dapat memberikan dampak positif bagi ke-berlangsungan hidup moa yang merupakan fauna khas Sulawesi. Namun ternyata tidak semua adat-is-tiadat yang dilestarikan oleh masyarakat In-donesia berdampak positif. Terkadang bu-daya ini menghasilkan dampak yang kurang baik bagi kesehatan masyarakat yang mele-starikannya. Beberapa wilayah dengan adat kea-gamaan yang kental masih sering mengada-kan acara berkumpul untuk melaksanakan doa dan sembahyang bersama atau pesta adat lainnya. Sering kali dalam acara-acara tersebut diwajibkan bagi tuan rumah untuk menyediakan rokok sebagai suguhan atau jamuan bagi para tamu yang hadir. Mau tidak mau tuan rumah harus tetap menyediakan rokok meski menyadari akan dampak negat-ifnya. Akibat masyarakat sangat mendukung akan kebiasaan tersebut, bila suatu acara ti-dak ada rokok, mereka enggan untuk mengh-adiri undangan acara tersebut. Contoh lain, kebiasaan ekstrim juga dilakukan masyarakat Bali di Desa Trunyan, Bangli, Provinsi Bali. Warga di daerah ini memiliki cara pemakaman jenazah yang tidak

Oleh: Muhammad FanshuriAnggota CSSMoRA UIN Jakarta 2010, Jurusan Ilmu Keperawatan

Opini

Page 12: Majalah DENTA edisi 4

12biasa, yakni dengan membaringkan jenazah pada suatu tempat di bawah pohon. Hal ini tentu dapat membahayakan bagi masyarakat di sekitar pemakaman. Apabila salah satu jenazah tersebut meninggal akibat penyakit menular, maka pen-yakit tersebut dapat menyebar atau menginfek-si manusia yang masih hidup lantaran sumber penyakitnya tidak dihilangkan, baik itu dengan dikubur dalam tanah atau dikremasi. Kebiasaan bertentangan dengan kese-hatan lainnnya dilakukan oleh Suku Dani yang mendiami Lembah Baliem, Papua. Warga suku ini melakukan pemotongan jari tangan untuk memenuhi kewajiban dalam tradisi yang mereka anut. Pemotongan jari merupakan bentuk kese-dihan yang mendalam atas meninggalnya salah satu anggota keluarga mereka. Tradisi ini harus dilakukan oleh seorang Suku Dani, bila tidak tentu sanksi sosial akan berlaku seperti dikucil-kan. Pemotongan jari itu dilakukan den-gan beberapa cara, diantaranya adalah dengan menggunakan benda tajam seperti pisau, pa-rang atau kapak, dengan cara menggigit ruas jari hingga putus atau dengan cara mengikat jari dengan tali hingga aliran darahnya berhenti yang menyebabkan jari menjadi mati rasa kemu-

dian baru dilakukan pemotongan. Tradisi ini dikatakan bertolak belakang dengan nilai kes-ehatan karena dengan sengaja membuat ses-eorang cacat atau kehilangan sebagian organ tubuhnya. Cara pemotongan yang dilakukan pun tidak memenuhi standar kesehatan yaitu sama sekali tidak terjamin keamanannya dan sangat berisiko menimbulkan gangguan kes-ehatan lebih lanjut, seperti infeksi bakteri ter-tentu atau mikroorganisme lainnya, karena pemotongan tidak dilakukan dengan steril. Beberapa contoh di atas hanya se-kelumit tradisi adat masyarakat Indonesia dan masih banyak sekali tradisi-tradisi yang cukup bertentangan dengan kesehatan. Hal ini dilakukan oleh masyarakat bukan karena kurangnya kesadaran atau pengetahuan ter-hadap kesehatan dan kebugaran jasmani, na-mun karena keyakinan kuat pada ajaran ne-nek moyang mereka. Sebuah kepercayaan menurut manu-sia modern mungkin tidak masuk akal, namun para pelestari adat ini tetap percaya bahwa di balik semua peraturan adat yang mereka lakukan, terdapat makna keseimbangan alam dan kesejahteraan bagi semua makhluk yang hidup berdampingan.

Page 13: Majalah DENTA edisi 4

13

Jalan Panjang Ulama dan Pesantren Memberdayakan Umat

KH. Sahal Mahfudh atau akrab disa-pa Mbah Sahal merupakan pengasuh pondok pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati sejak tahun 1963. Beliau adalah salah satu ulama di Indonesia yang disegani karena kehati-hatian-ya dalam bersikap dan mengambil hukum ser-ta kedalaman ilmunya dalam berfatwa. Lahir di Pati 17 Desember 1937, Mbah Sahal sudah akrab dengan dunia pe-santren. Beliau merupakan putra dari KH. Mahfudh Salam dan Hj. Bad’iah, ayahnya ialah pendiri pesantren Maslakul Huda pada Tahun 1910. Nasab kelurarga beliau bermuara kepa-da Syekh Ahmad Mutamakin, seorang ulama tasawuf yang hidup sekitar abad 18 di daerah Kajen. Perjalanan menuntut ilmu Mbah Sahal bermula dari MI dan MTS Perguruan Islam Mathaliul Falah Kajen Pati. Selepas pendi-dikan tsanawiyahnya Mbah Sahal melanjutkan pendidikan agamanya dengan nyantri (menja-di santri) di banyak pesantren di Jawa. Pesantren Bendo, Pare, Kediri yang saat itu di asuh oleh Kyai Muhajir menjadi

pelabuhan pertama Mbah Sahal dalam men-dalami ilmu agama. Selama di Bendo Kyai Sahal banyak mendalami ilmu fiqh dan ta-sawuf. Empat tahun berselang mbah Sahal pindah ke Pesantren Rembang yang saat itu diasuh oleh Kyai Zubair. Waktu berselang sekian tahun, sampai akhirya pada perten-gahan tahun 1960-an, Kyai Sahal menim-ba ilmu di mekkah, di bawah bimbingan langsung Syaikh Yasin Al-Fadani sampai beliau kembali pada 1963. Di akhir dekade 1960-an itu pula, Kyai Sahal menikah den-gan Nyai Nafisah dari Tambakberas, Jom-bang. Sejak kembali ke ke Indonesia, Mbah Sahal mendapat banyak tawaran posisi pent-ing sebagai pengajar di beberapa perguruan tinggi, termasuk akhirnya menjadi rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama di Jepara pada 1989 di samping aktivitas pokoknya se-bagai pengasuh pondok pesantren Maslakul Huda. Ternyata, karir organisasinya berkembang pesat, mulai dari menjadi pemi-

Uswah

KH. M.A. SAHAL MAHFUDZ:

Page 14: Majalah DENTA edisi 4

14mpin MUI (Majelis Ulama Indonesia) tingkat Jawa Tengah, lalu menjadi Rais Aam Syuriah PBNU sejak 1999, dan juga Ketua MUI Pusat. Kepakaran beliau dalam fikih, menjadikannya sebagai seorang yang ditunggu pendapatnya dalam berbagai permasalahan umat.

Pemberdayaan Ekonomi dan Kesehatan

Salah satu pondasi keilmuan yang diba-ngun oleh Kyai Sahal adalah terkait konsepsi Fikih Sosial. Kajian fikih yang dimaksud disini adalah teori fikih yang diarahkan untuk pemba-ngunan kesejahteraan masyarakat dalam berb-agai bidang. Sebagai pemimpin pesantren, Kyai Sahal dikenal sebagai pendobrak pemikiran tra-disional di kalangan NU yang mayoritas berasal dari kalangan akar rumput. Sikap demokrat -isnya menonjol dan mendorong kemandirian dengan memajukan kehidupan masyarakat di sekitar pesantrennya melalui pengembangan pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Salah satu poin menarik misalnya ada-lah terkait Bank Perkreditan Rakyat yang dirancang oleh Kyai Sahal di daerah Pati. Di pe-santren ia punya lembaga khusus, Biro Pengem-bangan Pesantren dan Masyarakat, berdiri ta-hun 1977 sampai sekarang, yang menangani pengembangan masyarakat dari sisi mencip-takan pendapatan, kesehatan, dan pendidikan. Mula-mula membina perajin kerupuk yang di sana disebut kerupuk tayamum karena digoreng pakai pasir. Ia beri pinjaman bergulir tak ber-bunga dari saldo kegiatan internal pesantren seperti kegiatan belajar-mengajar, dari SPP, se-dikit demi sedikit dikumpulkan. Ketika ada program Jaring Pengaman Sosial saat krisis ekonomi tahun 1997-1998, ada bantuan beras dari Jepang. Pesantren Maslakul Huda termasuk yang kebagian jatah membagi beras untuk orang miskin. Ia terima, dengan syarat tidak mau hanya membagi. Bila hanya membagi akan membuat mereka jadi lebih ter-gantung. Maka ia meminta mereka memben-tuk kelompok, tiap sepuluh keluarga jadi satu kelompok. Ada kira-kira 176 kelompok. Setiap keluarga dalam kelompok diminta menabung setiap hari, besarnya terserah kesepakatan ang-

gota kelompok. Rata-rata per keluarga bisa menabung Rp 1.000 per hari. Itu tabungan milik mereka, mereka urus sendiri, dan setor sendiri ke BPR atas nama kelompok. Setelah proyek selesai dalam tiga bulan, masing-masing kelompok rata-rata punya tabungan Rp 900.000. Ini lalu dipakai modal usaha kelompok. Jumlahnya ratusan kelompok, kebanyakan ibu-ibu. Ketika pihak Jepang dilapori, mereka terkesan dan berse-dia membantu biaya pelatihan Rp 500.000 per kelompok. Pelatihan disesuaikan kebu-tuhan kelompok, dan rata-rata dilatih pem-bukuan keuangan karena akan berhubungan dengan bank nantinya. Belum lagi pemberdayaan di bidang kesehatan. Kiai Sahal pun mengawali peng-abdiannya di Pengurus Besar NU melalui Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK NU), sebuah lembaga di NU yang pada 1970-an cukup intens menggarap layanan kesehatan ibu dan anak, termasuk KB. Pa-dahal, saat itu sangat banyak kiai NU yang mengharamkan Keluarga Berencana (KB). Kampanye itu memang lazimnya dilakukan aktivis LSM. Aktivitas itu dilaku-kan Kiai Sahal lantaran kepeduliannya yang sangat kuat terhadap kesehatan ibu dan anak (KIA), termasuk untuk mengurangi kema-tian ibu dan anak. Tugas mulia Kiai Sahal itu harus dilanjutkan generasi NU saat ini. Apalagi kini capaian MDG’s ternyata me-leset jauh dari target. Ini bukan pekerjaan yang mudah. Karena kuatnya komitmen Kiai Sa-hal dalam layanan kesehatan ibu dan anak, Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU (YKM NU) yang bergerak dalam bidang keseha-tan mendirikan Rumah Sakit Islam (RSI) di Pati yang kini sudah sangat berkembang. Mbah Sahal juga pernah mendapatkan penghargaan dari WHO terkait usahanya membentuk taman gizi di lingkungan pe-santren yang digerakkan oleh santri untuk masyarakat sekitar, serta menjadi beberapa pembicara dalam berbagai forum pember-dayaan kesehatan.

Page 15: Majalah DENTA edisi 4

15Yang Diwariskan: Kiprah Intelektual dan Pemikiran

Jumat, 24 Januari 2014, dalam keadaan terpejam, beliau terus melafal-kan bermacam-macam doa, melantunkan surat-surat pendek serta tiada hentinya membaca tahlil, hingga akhirnya sekitar pukul 01.05 WIB, Indonesia kehilangan salah satu ulama besarnya. KH. Sahal Mahfudh wafat di RSI Pati dengan did-ampingi dokter pribadi keluarga. Pengi-ringan beliau ke peristirahatan terakhir di komplek pemakaman yang berdekat-an dengan Syekh Mutamakkin, dijubeli umat, sebuah pertanda: umat menghargai jasa beliau yang tak putus-putus. Kyai Sahal merupakan satu di antara ulama NU yang memiliki kepakaran dalam dun-ia menulis, baik dalam bahasa Indonesia atau ba-hasa Arab. Beberapa kitab di antaranya Thariqat al-Hushul ila Ghayahal-Ushul, selain itu bukun-ya yang tersohor Nuansa Fikih Sosial, dan ma-sih banyak yang lainnya. Selain itu, Mbah Sahal selalu membuat naskah yang rapi dalam setiap pidatonya, sehingga setiap gagasan yang disam-paikan tampak matang dan konsisten, serta hasil tulisan itu bisa diperbanyak untuk dikaji khalay-ak umum. Minat baca Kyai Sahal sangat tinggi dan bacaannya cukup banyak terbukti beliau punya koleksi 1.800-an buku di rumahnya. Meskipun Kyai Sahal orang pesantren bacaannya cukup beragam, diantaranya tentang psikologi, bahkan novel detektif, walaupun bacaan yang menjadi favoritnya adalah buku tentang agama. Beliau membaca dalam artian konteks kejadian. Kiprah intelektual beliau dalam bidang fikih sosial pun diakui oleh dunia akademis, sehingga salah satu pencapaian Mbah Sahal adalah mendapat gelar kehormatan Doktor Honoris Causa dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Salah satu hal yang dipegang teguh dan menjadi poros utama dalam posisi beliau sebagai Rais Aam PBNU dahulu adalah terkait hubun-gan negara dan agama. Menurutnya, pemerintah sebagai pengayom memang bertanggung jawab

membina, memberi fasi litas untuk semua agama, tetapi jangan intervensi terlalu jauh sebab agama adalah soal transenden dengan Tuhan. Selain itu, Mbah Sahal memiliki pe-mikiran bahwa adanya globalisasi justru menjadi sebuah momen untuk memberan-gus konsumerisme masyarakat. Globalisa-si, menurut beliau, memang adalah sebuah keniscayaan. Namun nilai-nilai global yang dapat mengarah menuju budaya konsumtif ini harus diimbangi dengan budaya produkti-vitas yang tinggi. Sehingga, menurut beliau, pe mberdayaan ekonomi menjadi salah satu syarat mutlak menghadapi globalisasi. Pemikiran Mbah Sahal selanjutnya terkait pesantren, adalah soal kesatuan pe-santren dan masyarakat. Pesantren dalam hal ini nyatanya tidak boleh mengambil jarak dengan masyarakat, selalu menyatu, dalam bidang dakwah. Bidang dakwah nyatanya bu-kan hanya soal ritual – shalat, mengaji, zakat – saja, melainkan juga dalam ranah material. Pesantren Maslakul Huda yang diasuhnya otomatis menjadi “laboratorium sosial” bagi santri. Masih banyak buah pemikiran Mbah Sahal terkait permasalahan bangsa ini, da-lam demokrasi, pemberantasan korupsi, dan lainnya. Namun kesantunan dan kesederha-naan beliau nyatanya tak bisa ditawar: beliau mengajarkan bagaimana mencintai negara, a gama, serta masyarakat secara nyata. (WP)

Page 16: Majalah DENTA edisi 4

16

Salah satu hal menjadi bagian dari perkembangan ilmu kesehatan dan obat-obatan di Indonesia adalah

penggunaan tanaman herbal sebagai bah-an obat untuk mengobati berbagai penyakit yang diderita oleh masyarakat. Dalam hal ini sering kita mendengar istilah “jamu” sebagai suatu ramuan yang digunakan masyarakat Indonesia dalam mengobati berbagai penya-kit yang diambil dari tumbuhan dan hewan. Hal ini pun tidak jauh berbeda dengan adan-ya keterkaitan budaya turun-temurun adat Indonesia dengan berbagai kepercayaan dan kearifan lokal dalam menggunakan jamu.

Jamu dibuat dari bahan-bahan alami sep-erti daun, buah, akar, batang, serta bunga yang dipercaya mempunyai efek terapi pada penyakit yang diderita. Selain itu dari hewan juga ada namun jarang penggunaannya. Se-bagai suatu bentuk pengobatan tradisional, jamu memegang peranan penting dalam pengobatan di negara-negara berkembang.

Menurut ahli bahasa Jawa Kuno, istilah “jamu” berasal dari singkatan dua kata ba-hasa Jawa Kuno yaitu “Jampi” dan “Usodo”. Djampi berarti penyembuhan, serta usodo berarti kesehatan. Pada abad pertengahan (15-16 M), istilah usodo jarang digunakan. Sebaliknya istilah jampi semakin popular

diantara kalangan keraton. Kemudian se-butan “jamu” mulai diperkenalkan kepada publik oleh “dukun” atau tabib pengobat tradisional. Bukti bahwa jamu sudah ada sejak zaman dulu dan sering dimanfaatkan adalah dengan adanya relief Candi Boro-budur pada masa Kerajaan Hindu-Bud-ha tahun 722 M, di mana relief tersebut menggambarkan kebiasaan meracik dan minum jamu untuk memelihara keseha-tan. Bukti sejarah lainnya yaitu penemuan prasasti Madhawapura dari peninggalan Kerajaan Hindu-Majapahit yaitu adanya profesi “tukang meracik jamu” yang dise-but Acaraki.

Seiring zaman dan perkembangan te-knologi serta ilmu pengetahuan, para ahli Botani, Farmasi, dan ahli lain mulai meng-gali informasi dan melakukan berbagai pe-nelitian serta mempublikasikan berbagai hasil penelitian tentang manfaat dari tana-man-tanaman obat tradisional. Sehingga, jamu yang hanya bisa dikonsumsi kalan-gan masyarakat tertentu, bisa dikonsumsi lapisan masyarakat luas.

Mulai abad pertengahan sampai awal abad ke-20 mulai dikembangkan obat sin-tetik dari kimia. Disitulah penggunaan

Budaya dan Perkembangannya Jamu:

Free

zoneHot Out

Page 17: Majalah DENTA edisi 4

17obat herbal mulai berkurang, dan ilmuwan pun berlomba-lomba membuat senyawa sinte-tik dari berbagai senyawa aktif yang ada pada tumbuhan, seperti morfin, efedrin, atropin, dan beberapa turunan lainnya untuk diproduksi secara massal dan digunakan secara komersial. Namun pada awal abad ke-21 kesadaran mulai timbul lagi di masyarakat akan penggunaan pada obat sintetik yang mempunyai banyak kekurangan dalam penggunaannya. Terlebih yang juga menjadi permasalahan adalah efek samping yang ditimbulkan bisa membahaya-kan fungsi organ dan berbagai gangguan tu-buh seperti alergi, dermatitis, dan sebagainya.

Bahan-bahan alam/tumbuhan yang mem-punyai khasiat terapi diuji fungsinya secara il-miah dengan pengembangan berbagai metode penelitian mulai dari tahap pemisahan senyawa murninya, pengujian pada hewan coba (prak-linis), pengujian pada manusia (klinis) sampai penentuan sediaan yang akan digunakan da-lam ekstrak yang dihasilkan untuk diproduksi secara massal.

Sampai sekarang daerah-daerah yang mempunyai kearifan lokal dan kebudayaan yang tetap kuat, masih mengutamakan pen-gobatan tradisional dalam melakukan tera-pi terhadap berbagai penyakit yang diderita warganya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa masyarakat adat masih cenderung mempertahankan untuk menggunakan tum-buhan obat untuk memenuhi kebutuhan obat mereka. Inama (2008) menyebutkan bahwa suku Marin Sendawi Anim di TN (Taman Nasional) Wasur menggunakan 125 spesies tumbuhan berkhasiat obat. Hasil penelitian di tempat lain, masyarakat di sekitar Hutan Lindung Gunung Limut, Kalimantan Timur, menggunakan 91 spesies tumbuhan berkhasiat obat (Nurhayati 2006). Lalu di TN Bali Barat sebanyak 59 spesies tumbuhan obat (Arafah 2005), di masyarakat Dayak Meratus, Kali-mantan Selatan, sebanyak 95 spesies tumbu-han obat (Kartikawati 2004), di masyarakat lokal suku Muna, Sulawesi Utara, sebanyak 61 spesies tumbuhan obat (Windandri 2006), serta di masyarakat Talang Mamak, TN Bukit Tigapuluh, Riau, sebanyak 78 spesies tumbu-han obat (Setyowati dan Wardah 2007). Hasil penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan bahan-bahan obat alami masih menjadi pilihan bagi masyarakat adat. Selain

itu, hasil penelitian-penelitian ini menunjuk-kan bahwa kearifan lokal masyarakat adat dalam memanfaatkan bahan-bahan dari alam tersebar merata di seluruh Indonesia.

Akan tetapi, patut disadari pula bahwa arus informasi dan modernisasi yang kian pe-sat berkembang dapat menjadi faktor utama penyebab hilang dan tererosinya kearifan lokal masyarakat adat (Windandri 2006; Setyowati dan Wardah 2007). Selain erosi pada ting-kat kearifan lokal masyarakat adat, perhatian juga patut diberikan pada faktor tumbuhan obat yang terancam keletariannya. Zuhud et al. (1994) mengidentifikasikan sedikitnya ter-dapat 6 faktor yang mengancam kelestarian tumbuhan obat dari hutan tropika, yaitu:

1. Sebagian besar bahan baku obat tra-disional berasal dari tumbuhan yang dipanen secara langsung dari alam/hutan secara be-sar-besaran. Hasil pemanenan dari usaha bu-didaya belum dapat mengimbangi pemanenan dari alam.

2. Kerusakan habitat akibat: eksploitasi hutan (pembalakan), perambahan hutan, per-ladangan berpindah, penebangan liar, kegiatan eksploitasi barang tambang, pembukaan jalan, dan lain-lain.

3. Konversi hutan menjadi lahan non-huta.4. Eksploitasi hasil hutan kayu yang mer-

upakan spesies pohon komersial, dimana spesies kayu komersial tersebut juga merupa-kan spesies tumbuhan obat.

5. Kurangnya perhatian terhadap pembudi-dayaan.

6. Tererosinya budaya dan pengetahuan tr-adisional dari penduduk lokal yang berdiam di dalam atau di sekitar hutan.

Sumber : Setyowati FM, Wardah. 2007. Keanekarag-

aman Tumbuhan Obat Masyarakat Talang Ma-mak di Sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Riau. Biodiversitas 8 (3) : 228-232.

Windadri FI, Rahayu M, Uji T, Rustiami H. 2006. Pemanfaatan Tumbuhan sebagai Bahan Obat oleh Masyarakat Lokal Suku Muna di Ke-camatan Wakarumba, Kabupaten Muna, Sulawesi Utara. Biodiversitas 7 (4) : 333-339.

Zuhud EAM. 2008. Potensi Hutan Tropika Indonesia Sebagai Penyangga Bahan Obat Alam Untuk Kesehatan Bangsa. http://www.iwf.or.id/ Potensihutanobat.pdf. [14 Oktober 2009]

Page 18: Majalah DENTA edisi 4

18

Di balik perjalanan

Dari sekian banyak anggota CSSMoRA UIN Jakarta mungkin sudah tak asing lagi dengan sosok yang satu ini, yah, yaitu kak Arif Kurniawan. Dia adalah salah satu anggota CSS MoRA UIN

Jakarta angkatan 2007 yang bisa dikatakan sudah “melegenda”. Pemuda kelahiran Sukosari tahun 1989 yang akrab disapa Kak

Arif ini merupakan salah satu anggota berpengaruh dalam CSSMoRA UIN Jakarta maupun CSSMoRA Nasional.

Arif Kurniawan

Prof

il Al

umni

Profil

Dari sekian banyak anggota CSSMo-RA UIN Jakarta mungkin sudah tak asing lagi dengan sosok yang satu ini, yah, yaitu kak Arif Kurniawan. Dia adalah salah satu anggota CSSMoRA UIN Jakarta angkatan 2007 yang bisa dikatakan sudah “melegenda”. Pemuda ke-lahiran Sukosari tahun 1989 yang akrab disapa Kak Arif ini merupakan salah satu orang yang berpengaruh dalam CSSMoRA UIN jakarta maupun CSSMoRA Nasional. Setelah lulus dari perkuliahan ia memutuskan mendirikan sebuah yayasan dan

juga dibantu teman-teman dari CSSMoRA UIN Jakarta lainnya. Pendirian yayasan ini di-dirikan oleh 11 orang yakni ; Arif Kurniawan, Nurli Faiz, Agus Anang Fatoni, Arga Inde-ra W, Da’watul Himma, Ahmad Thobroni, Fahmi Salafuddin, Ali Machfud, M.Muwaffaq Zaki, Khoerul Ahmada Putera dan Fuad Hari-yanto. Yayasan ini dinamakan Bangun Swarna Dwipa, bergerak di bidang sosial kesehatan dan enterpreuneur. Kegiatan dalam bidang kesehatan meliputi penyuluhan kesehatan ke pesantren dan masyarakat, pemeriksaan kes-

Page 19: Majalah DENTA edisi 4

19Profil

ehatan secara berkala ke pesantren, juga kelas inspiratif (memberikan motivasi kepada siswa kelas 3). Sedangkan dalam bidang enterpre-neurship adalah pendirian Apotek dan Klinik Medika Moora. Yayasan yang baru didirikan sekitar setahun lalu ini diharapkan menjadi wa-dah pengabdian dan belajar anggota CSSMoRA UIN Jakarta baik dalam masa studi ataupun melakukan pengabdian. Selain kesibukan mer-awat yayasan yang baru didirikan ini ia juga melakukan bisnis di bidang travel, di PT Duta Nusantara Travel dan mendirikan toko buku untuk kedokteran dan ilmu kesehatan. Selama menjadi mahasiswa ia dikenal aktif berorganisasi baik di dalam kampus mau-pun diluar kampus. Tentu banyak pengalaman yang didapatkan saat aktif dalam organisasi. Baginya menjadi mahasiswa adalah menjadikan diri bisa bermanfaat untuk orang banyak, salah satunya dengan menempa diri menghadapi keadaan bersama orang banyak, yang nantin-ya juga akan dirasakan di kehidupan bermas-yarakat. Selanjutnya, terang Kak Arif, kuliah ti-dak hanya bertatap muka dengan dosen di kelas namun kuliah juga bertatap muka dengan ban-yak orang di luar kelas, yang justru mungkin tidak didapatkan ilmunya selama di kelas. Dan hal yang tidak kalah penting adalah membagi waktu antara kuliah dan organisasi. Lulusan dari pesantren Darul A’mal ini pada awalnya memang bercita-cita sebagai tena-ga kesehatan, dan saat masih pesantren ia tidak pernah aneh-aneh dalam bercita-cita. Ia men-genang “Saya saat masih duduk di bangku Ali-yah menginginkan saat kuliah nanti di bidang kesehatan, entah apa itu jurusannya saya belum tahu, yang terpenting adalah ikhtiar terlebih dahulu untuk mendapatkannya”. Awalnya se-

lain ingin meneruskan studi di bidang keseha-tan, ia juga berencana mendaftarkan di STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). “Namun karena mungkin ditakdirkan menjadi tenaga kesehatan, akhirnya ia diterima di Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” ujarnya terkekeh. Kak Arif masih aktif membimbing adik-adiknya, terutama di CSSMoRA sendiri yang dianggapnya keluarga. Tak jarang ia ser-ing diundang sebagai pemateri dalam pelatihan tentang keorganisasiaan di CSSMoRA dan di organisasi lain. Dalam hal ini Kak Arif berpesan kepa-da teman-teman CSSMoRA UIN Jakarta. Per-tama, adalah hal yang perlu diingat adalah jika sekian banyak teman-teman CSSMoRA UIN Jakarta yang sudah aktif diberbagai organisasi lain dan mempunyai kedudukan penting, tetap jadikan CSSMoRA tempat pulang. CSSMoRA sebagai organisasi berbasis kekeluargaan jad-ikan organisasi ini untuk mengeratkan kedeka-tan dengan anggota lain, karena kalian adalah satu keluarga. Kedua, rasa peduli kepada CSSMoRA yang dibuktikan dengan loyalitas, tidak cukup tapi juga dengan berkontribusi dalam mema-jukan CSSMoRA UIN Jakarta sebagai tempat belajar dan berkembang bagi kalian. Ketiga, jadilah bermanfaat dimana saja untuk pengabdian setelah kalian lulus nanti. Terakhir, hal yang tidak kalah dilupakan adalah bukti keloyalan adalah peduli terhadap komuni-tasnya yaitu CSSMoRA. (AKH)

Page 20: Majalah DENTA edisi 4

20

budaya bangsa yang menyebabkan bang-sa mampu menyerap dan mengolah kebu-dayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh komunitas yang lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat san-gat kuat dan sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan mas-yarakat tersebut. Salah satu suku terbesar di Indone-sia adalah suku Jawa. Sering kita jumpai ritu-al-ritual keagamaan atau adat di masyarakat Jawa yang tidak bisa dijumpai di masyakarat suku lain. Banyak kearifan lokal yang telah membumi di masyarakat Jawa, seperti puasa pati geni, hari raya kupat, bersih desa, mito-ni dan lain sebagainya. Salah satu kearifan lokal yang masih dilestarikan sampai seka-rang oleh masyarakat Jawa adalah mitoni/ tingkeban. Tingkeban merupakan upacara ken-duri atas kehamilan tujuh bulan. Banyak orang mengenal upacara ini dengan sebutan mitoni yang berasal dari bahasa Jawa pitu

Tingkeban (Mitoni):: Kearifan Lokal Budaya Jawa Dalam Kesehatan

Oleh: Maulidah Nur AtiqohKetua CSSMoRA UIN Jakarta 2015-2016

Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan budaya dan bahasa. Budaya-bu-daya yang mencuat dari beragam suku di In-donesia membentuk identitas bangsa yang luhur dengan sikap toleransi yang tinggi terhadap beragamnya budaya dan bahasa ditengah masyarakat. Namun, peradaban manusia yang sudah demikian maju memak-sa budaya-budaya modern mengisi dimen-si-dimensi kehidupan di masyarakat, mulai dari kehidupan berumahtangga hingga ke-majuan teknologi industri dan informasi. Di tengah kemajuan zaman seper-ti itu, kultur yang telah mengakar di mas-yarakat tidak boleh sampai diacuhkan begitu saja, karena hal tersebut mengandung nilai yang perlu dilestarikan. Kearifan lokal di masyarakat inilah yang akan merespon bu-daya modern, apakah akan membawa man-faat untuk masyarakat atau bahkan sebalikn-ya. Sebagaimana sempat disinggung, salah satu aspek penting tak terpisahkan dari budaya adalah kearifan lokal. Haryati Soebadio berpendapat bahwa kearifan lo-kal merupakan suatu identitas/kepribadian

KOLOM KETUA

Page 21: Majalah DENTA edisi 4

21yang artinya tujuh. Menurut cerita asal nama “Tingkeban” adalah berasal dari nama seorang ibu yang bernama Niken Satingkeb, yaitu istri dari Ki Sedya. Mereka berdua memiliki sembi-lan orang anak akan tetapi kesembilan anakn-ya tersebut selalu mati pada usia dini. Berbagai usaha telah mereka jalani, tetapi tidak pula membuahkan hasil. Hingga suatu saat mereka memberanikan diri untuk menghadap kepada Kanjeng Sinuwun Jayabaya. Jayabaya akhirnya menasehati mereka agar menjalani beberapa ritual. Namun sebagai syarat pokok, mereka harus menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan khusyu’ dan sen-antiasa berbuat baik belas kasihan kepada ses-ama. Selain itu, mereka harus mensucikan diri, mandi dengan menggunakan air suci yang ber-asal dari tujuh sumber air. Setelah serangkaian ritual yang dianjur-kan oleh Raja Jayabaya, ternyata Tuhan meng-abulkan permohonan mereka. Ki Sedya dan Ni-ken Satingkeb mendapat momongan yang sehat dan berumur panjang. Untuk mengingat nama Niken Satingkeb, serangkaian ritual tersebut ditiru oleh para generasi selanjutnya hingga sekarang dan diberi nama Tingkeban dengan harapan mendapat kemudahan dan tidak ada ha-langan selama hamil, melahirkan, hingga si anak tumbuh dewasa. Atas dasar inilah akhirnya hing-ga kini ritual Tingkeban tetap dilaksanakan bah-kan menjadi suatu keharusan bagi masyarakat Jawa khususnya di daerah Solo dan sekitarnya (Fauzi, 2013). Ada juga yang mengatakan bahwa Tingkeban berasal dari bahasa Jawa: sing di-enti-enti wis mathuk jangkep (yang ditung-gu-tunggu sudah hampir sempurna) karena pada masa ini umur kandungan sudah mendekati masa kelahiran. Menurut ilmu sosial dan budaya, tingke-ban dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digu-nakan guna melewati suatu kecemasan, baik se-lama masa mengandung, ketika melahirkan, bah-kan pada anak yang akan lahir. Maka dari itu, digagaslah suatu ritual yang sarat akan makna, dan hingga saat ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat Jawa. Maksud dari perayaan mitoni

‘tujuh bulan’ atau Tingkeban ini hakikatnya adalah suatu permohonan kepada Tuhan agar anak dalam kandungan selalu selamat dan la-hir dengan lancar serta tepat waktu (Sutardjo, 2008: 101). Sejalan dengan keterangan tadi, dalam ilmu Keperawatan Maternitas disebutkan bah-wa dalam masa kehamilan, seorang wanita akan mengalami berbagai adaptasi fisiologis maupun psikologis. Secara psikologis, wanita akan men-galami adaptasi maternal. Wanita, dari remaja hingga usia sekitar 40-an, menggunakan masa hamil 9 bulan untuk beradaptasi sebagai ibu. Adaptasi ini merupakan proses sosial dan kog-nitif kompleks yanng bukan didasarkan pada naluri, tetapi dipelajari (Rubin, 1967a; Affon-so dan Sheptak, 1989). Kehamilan merupa-kan “krisis maturitas” yang dapat menimbul-kan stres, tetapi juga berharga karena wanita menyiapkan diri untuk memberi perawatan dan mengamban tanggung jawab yang lebih besar. Seiring persiapannya untuk menghadapi peran baru, wanita mengubah konsep dirinya menjadi seorang yang seumur hidup berkomitmen un-tuk merawat seorang individu lain. Meskipun beberapa ritual yang dilaku-kan ada yang berbeda, tingkeban secara umum memiliki tujuan yang sama yaitu untuk me-manjatkan do’a, mengharapkan kebaikan, kes-ehatan dan keselamatan bagi ibu serta bayi yang akan segera dilahirkan. Acara tingkeban biasanya dipimpin oleh pemuka agama desa se-tempat dan dihadiri oleh warga setempat un-tuk turut mendo’akan kebaikan wanita yang sedang hamil beserta calon bayinya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa tingkeban dapat memberikan dampak positif terhadap kondisi psikologis wanita yang akan menghadapi persalinan. Meskipun bukti secara ilmiah tidak banyak membuktikan hubungan antara tingkeban dengan penurunan cemas pada wanita hamil, nilai luhur yang didalamnya mampu mengukuhkan tingkeban menjadi tradisi yang sampai sekarang masih dilaksanakan karena dampaknya di berbagai sisi kehidupan masyarakat.

Page 22: Majalah DENTA edisi 4

22

Sebagian Kyai pada um umnya men-yatakan tayammum di pesawat terbang itu tidak sah, karena tidak ada "turaab" (tanah) sebagaimana disyaratkan madzhab Syafi'i, sedangkan kursi pesawat juga tidak terma-suk yang dimaksud "maa 'alaa wajhil ardli" (benda-be nda diatas bumi) menurut Maliki ataupun "maa min jinsil alrdli" (benda-benda dari bumi) yang dimaksud Hanafi. Sebagian pembela praktek ini be-rargumen bahwa mereka bermaksud men-

gambil guna "ghubaar" (debu) dari kursi pe-sawat. Tapi, "Kursi pesawat itu s udah tidak ada debunya", kata Kiyai Yusuf Muhammad rahimahullah, "Wong sudah dibersihkan pa-kai vacuum cleaner kok! Yang masih ada ke-mungkinan ditempeli ghubaar, ya pramug-arinya..." Cuma, bagaimana nasib pramu -garinya kalau dipakai tayammum orang satu pesawat?

Tayamum pada Pramugari

Adanya Tuhan (?) Di sebuah ruang kelas, para mahasi-sawa sedang mengikuti mata kuliah Filsafat. Dosen yang mengajar mencoba melempar-kan topik diskusi tentang Tuhan.

“Ada yang pernah melihat Tuhan?” tanya si dosen.Semua diam tak menjawab. “Ada yang pernah mendengar Tuhan bersu-ara?” si dosen bertanya lagi. Kali ini pun tak ada yang menyahut.“Ada yang pernah menyentuh Tuhan?” tan-ya dosen. Semua diam.“Kesimpulannya tidak ada Tuhan,” kata dosen senang.

Terdengar gumaman protes, sampai akhirnya seorang mahasiswa bertanya,“Ada yang pernah melihat otak Pak Dosen?”“Ada yang pernah mendengar otak Pak Dosen?” Tak seorangpun menjawab.“Ada yang pernah menyentuh otak Pak Dosen?” Sekali lagi hening.“Kesimpulannya Pak Dosen tidak punya otak,” kata mahasiswa.

Sumber : https://ladangsantri.wordpress.com/

Humor Santri

Page 23: Majalah DENTA edisi 4

23

TAKZIYAHOleh: Ismatuz Zulfa

Pagi itu Paini meradang menahan sakit di bale tempatnya tidur. Ia tinggal seorang diri di rumah petaknya yang tidak besar tapi juga tidak kecil. Suaminya, Gimo telah lama meninggal karena penyakit kanker yang meng-gerogoti parunya. Begitu pula dengan anak tunggal Paini, meninggal karena kecelakaan. Sakit tua Paini membuatnya harus beristirahat di ranjang tiap hari. Paini melirik jam dinding yang meng-gantung di gedhek rumahnya, tampak sarang laba-laba menghitam menutupi muka jam. Paini perlu menajamkan mata yang sudah lemah agar dapat menentukan waktu saat ini. Pukul sem-bilan, katanya lirih. Wajar, ia rasakan perutnya kosong. Biasanya setiap pagi-pagi sekali, Leli, keponakannya, datang mengantar makanan. Leli akan menemaninya hingga azan dhuhur menegur Leli pulang. Paini memejamkan mata, sekadar un-tuk mengurangi nyeri pada pinggang belakan-gnya. Tapi, bukan kegelapan yang ia peroleh dengan menutup mata, malah sederet gambar masa lalu berjalan tanpa bisa ia kendalikan. Paini menerawang, tampak olehnya keluarga Gimo datang bertandang ikut menge-lukan duka di rumah Paini sepeninggal Gimo. Segelintir tetangga juga datang. Paini tak tahu pasti maksud utama kedatangan tetaggan-ya, tapi ia bahagia ada yang merelakan waktu takziyah di rumahnya. Yang pasti, setelah usai upacara penguburan Gimo, beberapa di antara mereka mengajak Paini bicara, lalu menyebut-kan angka-angka. Kurang begitu mengerti, Paini bertan-ya, “Angka apa itu?” “Hutang suamimu.” jawab mereka hampir serempak. Paini ber-ooh panjang tanpa meninggalkan kesan heran, meski ia agak ter-kejut. Paini tak pernah tahu suaminya memi-liki hutang. Pengalaman mengajarkannya, memiliki hutang sungguh mengerikan. Apalagi bagi golongan seperti ia, tak jelas kapan bisa dapatkan uang. Ia pikir, suaminya tidak bakal

menutupi kebutuhan dengan berhutang, seperti dirinya yang tidak pernah belanja kecuali uang terbawa di tangan. Untuk keperluan sehari-hari dan makan ia tangguhkan pada hasil kebun samping rumah dan sepetak sawah peninggalan orang tuanya. Hutang Gimo memang tidak seberapa, menurut mereka, yang biasa menonton siaran berita korupsi di tivi, tak mencapai jutaan rupi-ah. Tapi uang Paini pun tak menyentuh ratusan ribu rupiah. Paini hanya diam dengan ekspresi datar. Ditagih hutang tepat sepulang mengantar jenazah Gimo bukan kesedihan pertama bagin-ya. Ia hampir kebal dengan rasa sedih. Setelah berjanji akan segera melunasi hutang Gimo, mereka buru-buru pulang. Paini lalu berjalan ke teras, membuka baskom bertu-tup serbet yang disediakan untuk menampung sumbangan uang para petakziyah. Paini tertawa getir, ia pikir baskom itu terlalu besar untuk dua amplop yang menggeletak pasrah di dasar bas-kom. Tawa Paini surut menjadi senyuman. Se-pasang amplop yang kesepian, Paini mengum-bar khayal. “Ayo, ikut aku, biar kalian tak lagi mera-sa kesepian di baskom gelap ini.” kata Paini melucu, bermaksud menghibur diri sambil men-gambil dua amplop dari baskom.

--o0o--

Masih di bale, Paini ikut tersenyum ter-bayang hari kematian Gimo. Entah sudah bera-pa tahun yang lalu, ia tak terlalu pandai meng-hitung hari. Ia juga tak pernah memeringati tiap tahun kematian suaminya seperti yang dilaku-kan oleh beberapa tetangga. Surat Fatihah yang ia kirimkan setiap usai sholat barangkali lebih dari cukup untuk suami dan anaknya, harap Paini. Kantuk menyerang Paini. Semalam ia tak bisa tidur nyenyak. Kata beberapa orang, ke-tika usia telah lanjut, jadwal tidur yang teratur

Pojok Sastra

Page 24: Majalah DENTA edisi 4

24akan berantakan. Penurunan fungsi saraf, ujar orang-orang pintar yang pernah berbicara di balai desa.Belum sampai detik jam berbunyi belasan kali dari Paini mengatupkan kelopak mata, suara pintu rumah yang digeser memaksa Paini kem-bali membuka mata. Paini tersenyum, Leli sudah datang. Ia tak jadi membawa kantuknya ke alam ti-dur. Paini begitu bahagia jika ada orang yang berkunjung ke rumahnya. Paini memiliki teman berbincang, ia tak lagi kesepian. Apalagi Leli, Leli pandai sekali bertutur cerita. Saat Paini masih kuat berjalan-jalan lama, ia akan datang ke rumah saudara-sauda-ranya. Sampai luar desa pun ia kunjungi, ten-tu dengan jalan kaki. Selain untuk menghemat uang, kakinya pun bisa lebih kuat. Sepuluh ribu langkah tiap hari, kata karyawan pabrik suatu saat dapat menguatkan tulang. Paini memang percaya omongan orang-orang yang diang-gap pintar. Karyawan juga termasuk hitungan orang pintar bagi Paini, karena butuh surat-su-rat yang tak begitu ia mengerti untuk menjadi bagian dari karyawan pabrik. Ketika kedua kakinya mulai tak sang-gup berjalan jauh dan lama, ia kadang hanya keliling desa. Namun sejak beberapa minggu lalu, Paini lebih sering terbaring atau seseka-li duduk di ranjang kamar. Satu waktu, Paini akan memaksa menapakkan kaki ke teras dan duduk di lincak depan rumah. Ia akan men-gamati pohon-pohon dan menyapa orang lewat atau menonton kelinci hutan berkejaran, seka-dar menghilangkan rasa bosan di kamar. “Kenapa wajahmu murung, Lel?” tanya Paini saat Leli tengah menyiapkan makan pagi untuk Paini. Leli tak menjawab. Ia tentu tak mau gelisah yang ia bawa dari luar, masuk ke dalam rumah yang sudah menyedihkan ini. Leli menata nasi dan menuangkan sayur daun sing-kong di piring lalu memberikannya pada Paini.“Maaf Lek, tidak apa-apa kok.” Jawab Leli. Leli terpaksa menjawab saat mengetahui mata Paini menolak sodoran piringnya jika Leli belum juga angkat bicara. Paini menerima piring yang diserah-kan Leli. Meski gerakannya lambat dan ter-batas, untuk urusan makan, ia tak mau lagi menyusahkan orang dengan menyuapi dirinya. “Lha wong tinggal nyendok wae kok, nyusa-hin orang terus.” Katanya saat ditanya kena-

pa tak meminta bantuan orang lain untuk menyupinya. “Lel, kamu sudah merasa keberatan merawatku?” tanya Paini tiba-tiba. “Iya ya, Lel, kenapa lama nian maut menjemputku.” lanjut Paini sebelum Leli sempat menjawab pertanyaannya. Leli tak menanggapi penu-turan Paini. Barangkali Leli tak menemukan jawaban yang tepat, ia pun lebih memilih diam. Paini tak memedulikaan diamnya Leli. Ia kembali berucap, “Menurutmu Lel, apakah akan banyak petakziyah yang datang ketika aku mati nanti?” kata Paini sambil me-natap genteng rumahnya yang dihuni beber-apa keturunan monggo. Leli tercekat mendengar penuturan Paini kali ini. Ia tahu betul maksud Paini. Dua Lelaki dari keluarga Paini meninggal dengan kisah berbeda namun sama-sama mengiris hati, terutama untuk Paini sendiri. Leli kala itu masih berada di usia SD, namun ia cukup mengerti apa yang terjadi. Leli tak mampu lagi menjawab pertanyaan Paini. Leli yang biasanya ceriwis berceloteh, kini tak punya nyali menguraikan jawaban. Lama sudah Leli terdiam, Paini pun tak kembali membuka suara. Paini juga tidak menyantap makanan di piring yang sedari tadi ia pegang. Tiba-tiba selera makannya hilang. Derik belalang di kebun mengiringi kesunyian di antara keduanya. “Mengapa kau tak menjawab pertanyaanku? Apakah kau benar-benar mengharapkanku segera mati?” Paini menutup keheningan mereka dengan pertanyaan yang membuat Leli makin terce-kat. Ternyata Paini tidak sekadar mengung-kapkan isi hatinya, ia benar-benar menunggu pertanyaannya dijawab Leli. Tiba-tiba ingatan memaksa Paini mengenang kejadian kecelakaan putra semata wayang. Mayat anaknya dibawa warga kam-pung dengan omelan-omelan. Kecelakaan pemabuk, ribut warga. Paini hanya sanggup menatap nanar mayat yang dipenuhi darah, sedang Gimo tetap di bale kamar, tak mam-pu bangun. Sisa asap rokok puluhan tahun lalu tak mampu ditahan oleh parunya yang lemah. Tak ada tetangga yang datang di ke-matian anaknya. Hanya Leli dan bapaknya yang merelakan waktu mengurangi luka hati

Page 25: Majalah DENTA edisi 4

25Paini. Paini bahkan ikut mencangkul tanah tempat istirahat terakhir anaknya, dibantu bapak Leli dan satu warga bayaran yang dari mukanya tampak sangat terpaksa. Selang beberapa minggu setelah ke-matian anak Paini yang disusul meninggaln-ya Gimo, pemilik ladang dan sawah puluhan hektar yang tinggal tak jauh dari rumahnya menutup usia. Mati yang wajar, pikir Paini saat itu. Tetangganya itu sudah sangat tua, namun masih sering bertandang kema-na-mana, termasuk ke sawah dan ladangnya. Paini turut datang melayat, meski duka kehi-langan keluarganya belum sepenuhnya lun-tur. Banyak sekali orang yang ikut hormat kepergian saudagar kampung itu. Bahkan ru-mah dan halamnnya yang luas masih belum cukup menampung tamu. Beberapa tamu ia kenal baik, namun lebih banyak yang asing dari ingatannya. Tanpa sengaja Paini nyeletuk, “Ka-lau aku mati nanti juga ingin lah, dilayat dan diiring banyak orang seperti ini.” Menden-gar celetukan Paini, orang yang duduk di sebelah Paini yang tak lain tetangga Paini menanggapi ucapannya, “Bukannya kamu tak punya banyak kenalan, ya? Kaya juga ti-dak. Apalagi sekarang kamu tinggal sendiri, mana mungkin kematianmu dilayat banyak orang?” sindir tetangga Paini tanpa menga-lihkan pandangannya semula ke arah Paini. Paini hanya nyengir mendengar pe-nuturan tetangganya. Ia yakin ada hal lain selain kaya dan terkenal yang dapat menarik tamu datang ke rumahnya. Kalau kenalan, mungkin Paini bisa mengusahakannya. Paini kenal hampir semua penduduk desa, tinggal apakah Paini mampu menarik hati mereka untuk datang ke rumahnya yang sepi. Paini mengatupkan kedua kelopak matanya. Rasanya berat dan sakit ter-ingat dua kematian bagian dari dirinya. Paini tersenyum kecut. Ia ingat betul uca-pan tetangganya itu, menempel kuat pada pikirannya, sekuat harapan Paini mewujud-kan impiannya. “Lel, besok kamu masak di sini saja. Sudah lama dapurku tak mengebulkan asap.” pesan Paini ketika Leli hendak pamit pulang. Leli merasa aneh. Bukankah dapur bu leknya sudah lama dibongkar? Tak ada lagi dapur. Tapi Leli tak membantah, ia hanya men-gangguk mengiyakan.

--o0o-- Pagi setelah obrolan tegang Leli dengan Paini, Leli datang lebih pagi dari biasanya. Ia merasa perlu segera menemui Paini, anaknya tak rewel lagi seperti kemarin. Setelah mengantar anaknya ke sekolah, Leli langsung belok ke arah rumah Paini. Ia sudah membawa bahan makanan. Kali ini dia ingin masak di rumah Paini, seperti keinginan Paini kemarin. Sampai di rumah Paini, Leli menuju bale tempat Paini tidur. Biasanya Paini selalu duduk atau sekadar bangun saat Leli datang. Mungkin Paini sedang butuh istirahat, pikir Leli, jadi Leli tak ingin mengganggunya. Ia langsung menu-ju dapur setelah melihat mata Paini masih ter-pejam. Sayangnya Leli melewatkan detail ciri orang tidur, apalagi saat usia senja tentu kentara dengan gerakan naik turunnya dada atau perut. Leli tidak mengamati gerak napas Paini. Kini Leli duduk mematung mengantar kepergian jenazah Paini. Ia tak memerhatikan kasuk-kusuk tetangganya membicarakan pelayat kematian Paini yang jumlahnya membludak. Halaman rumah tetangga kanan-kiri rumah Paini juga tak mencukupi sebagai tempat petakziyah. Tujuh hari berturut-turut rumah yang diting-galkan Paini tak pernah sepi. Ada saja makanan yang tersaji di hadapan para petakziyah meski keluarga mengaku tak menyajikan. Yang menja-di bahasan utama mereka tak lain karena ham-pir semua petakziyah Paini tidak dikenal warga, bahkan oleh sanak saudara. Kasak-kusuk pun tak berhenti seusai para pelayat pulang dari kubur, bahkan makin menyebar setelah empat puluh hari kematian Paini.

Ciputat, Oktober 2014*Penikmat sastra dari pesisir Pati

Glossarium:- Bale : tempat tidur dengan atau tanpa kasur, ranjang- Lincak : tempat duduk yang biasanya terbuat dari bambu yang disusun- Monggo: serangga berkaki delapan, mirip la-ba-laba tapi tidak beracun- Wong tinggal nyendok wae kok: tinggal menyendok saja kok

Page 26: Majalah DENTA edisi 4

26

Diawal tahun 2016 ini CSSMORA UIN Jakarta dihangatkan dengan masa pemilu CSS-MoRA Nasional. Pemilu CSSMoRA Nasional ini menjadikan tiga calon yang akan maju. M. Zidni Nafi dari UIN Gunung Jati Bandung, Faris Mu-hammad Hadiningrat dari UIN Syarif Hidayat-ullah Jakarta, dan Ahmad Idus Showabi dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Semangat mer-ayakan pesta demokrasi ini lebih meriah dari ta-hun sebelumnya. Setiap calon berkampanye dari tanggal 26 Februari sampai 10 Maret 2016. Pelaksanaan pemungutan suara dilakukan pada tanggal 14-19 Maret 2016 dengan sistem online di tiap Pergu-ruan Tinggi. Pelaksanaan penghitungan suara pada tanggal 20 Maret, dan pengumuman pe-menang pada tanggal 25 Maret. Menurut ketua CSSMoRA Nasional 2014-2015, Ivannullah Anggriawan, “Pemilu CSSMoRA Nasional sekarang, pada awalnya ter-jadi kekhawatiran akan penurunan antusiasme anggota CSSMoRA untuk turut berpartisipasi dalam pemilu. Mengingat peserta calon ketua yang dapat diusung hanya berasal dari PTAIN (Perguruan Tinggi Angama Islam Negeri), hal ini merujuk pada peraturan KPU CSSMoRA yang menyatakan bahwa calon ketua harus be-rasal dari angkatan 2013. Seperti yang diketahui

MENUJU CSSMoRADEMOKRATIS DAN POPULIS

bahwa perguruan tinggi yang memiliki ang-gota di angkatan 2013 hanyalah PTAIN dan PTS (Perguruan Tinggi Swasta) seperti Uni-versitas Surya dan UNISMA. Keadaan ini me-maksa anggota non-PTAIN untuk libur dulu dalam mengusung calon,”. “ N a m u n kekhawatiran itu tidak terbukti” lanjutnya. Menurut salah satu anggota CSS-MoRA yang menolak disebutkan namanya, antusiasme pemilu CSSMoRA Nasional pada tahun ini meningkat. “Hemat saya, hal ini mungkin kita tahu, dibandingkan calon-calon yang ada, elektabilitas salah satu calon secara nasional dirasa kurang. Namun kita tidak menafikan integritas para calon yang dianggap mumpuni sehingga berbeda dengan tahun lalu,” sam-bungnya. “Mungkin juga alasan lain yang mem-buat antusiasme pemilu CSSMoRA periode ini lebih bagus, adalah posisi calon periode lalu yang memiliki jabatan strategis di CSSMo-RA,” lanjutnya. Dari tahun ke tahun diharapkan kepengurusan CSSMoRA Nasional mampu berkembang lebih baik dari tahun-tahun se-belumnya. Siapapun dari mereka yang terpilih mempunyai cita-cita tinggi untuk membawa CSSMoRA yang lebih baik, semoga. (WA)

Suasana debat kandidat di ITS Surabaya

Event

Page 27: Majalah DENTA edisi 4

27

CSSMoRA Gemakan Sholawat di UIN Jakarta

Tangerang Selatan, 26/03 Pada tanggal 25 Maret lalu, telah dilak-sanakan kegiatan Tabligh Akbar “UIN Jakarta Bersholawat dan Santunan Anak Yatim” yang diselenggarakan CSSMoRA (Community San-tri Scholars of Ministry of Religious Affairs) UIN Jakarta dan Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN, bekerjasama dengan Majelis Rasulullah SAW. Lapangan Triguna di samping UIN Syar-if Hidayatullah Jumat malam kemarin (25/03) dipadati kaum muslimin Acara UIN Bersholawat ini, dalam sambutan yang disampaikan Widya Prayoga selaku perwakilan panitia penyelenggara dari CSSMoRA, merupakan bentuk silaturrahim komunitas penerima beasiswa santri Kemente-rian Agama RI kepada mahasiswa UIN Jakarta serta kepada masyarakat luas. “Semoga lewat acara UIN Bersholawat ini kita juga bisa men-jalin perdamaian dan persaudaraan, serta men-gambil hikmah dari Syekh Syarif Hidayatullah yang menjadi nama universitas kita ini,” ujar Widya.

Jamaah tampak khidmah menyimak dan melantunkan Simthud Duror bersama pemimpin majelis. Di panggung hadir Kapol-sek Ciputat, ketua PCNU Tangerang Selatan KH. Muhammad Tohir, serta pejabat dari Kelu-rahan Cempaka Putih. Tausiyah dan doa diisi oleh Habib Abdurrahman bin Ahmad Al Hab-syi, dan acara ditutup dengan penyerahan san-tunan secara simbolis kepada anak yatim oleh perwakilan dari UIN Jakarta. Kegiatan tersebut mendapatkan apresi-asi dari Rektor UIN Jakarta, yang diwakili oleh Kepala Subbagian Administrasi dan Alum-ni, Drs. Rohmatullah. Selain menyampaikan amanat Rektor, Bapak Rohmatullah juga men-gulas sejarah Syarif Hidayatullah sebagai cikal bakal nama institusi UIN dan hikmah yang bisa diambil dari sejarahnya. “Syarif Hidayatullah, yang juga dikenal dengan Sunan Gunung Jati ini, merupakan seorang pemimpin yang memi-liki peran penting dalam perkembangan daerah Jakarta, yang waktu itu masih bernama Jaya-karta. Karena hubungan itulah, Syarif Hidayat-ullah terpilih menjadi nama universitas ini,”

Event

Page 28: Majalah DENTA edisi 4

28

Peringatan Maulid Nabi SAW

Pembinaan PBSB 2015 di Yogyakarta

Foto Peringatan Ulang Tahun ke-8 CSSMoRA

Page 29: Majalah DENTA edisi 4

29Galeri

Gathering CSSMoRAdi Bogor

Pengobatan Gratis di PP. Al Nahdlah Depok

Lomba Badminton Gebyar SEGAOfficial Upgrading

Pelatihan Organisasi

Page 30: Majalah DENTA edisi 4

30Kru DENTA

Karya DENTA

Page 31: Majalah DENTA edisi 4

31UIN

Jakarta Bersholaw

at oleh CSSM

oRA U

IN Jakarta

bersama M

ajelis Rasulullah

Page 32: Majalah DENTA edisi 4

32