Majalah Cloud

36
Vol.1 Nomor 1 Clouds 1 Media Informasi dan Komunikasi Kelompok FA Edisi 1 Agustus-September 2011 Prediksi Cuaca dan Iklim Agustus 2011 Clouds Media Informasi dan Komunikasi Kelompok Fisika Awan Volume 1 Nomor 1 Edisi Agustus - September 2011 Mewaspadai Defisit Air dan Kebakaran Hutan Musim Kemarau 2011 Pengolahan dan Penerapan Data TRMM di DAS Larona Keringkah Tahun ini di Indonesia? Segenap Keluarga Besar Kelompok Fisika Awan Mengucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puasa dan Idul Fitri 1432 H, Mohon Maaf Lahir dan Bathin

Transcript of Majalah Cloud

Page 1: Majalah Cloud

Vol.1 Nomor 1 Clouds 1

Media Informasi dan Komunikasi Kelompok FA Edisi 1 Agustus-September 2011

Prediksi Cuaca dan Iklim Agustus 2011

Clouds Media Informasi dan Komunikasi Kelompok Fisika Awan

Volume 1 Nomor 1 Edisi Agustus - September 2011

Mewaspadai Defisit Air dan Kebakaran Hutan Musim Kemarau 2011

Pengolahan dan Penerapan Data TRMM di DAS Larona

Keringkah Tahun ini di Indonesia?

Segenap Keluarga Besar Kelompok Fisika Awan Mengucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puasa dan Idul Fitri 1432 H,

Mohon Maaf Lahir dan Bathin

Page 2: Majalah Cloud

2 Clouds Vol. 1 Nomor 1

Penanggung JawabKetua Kelompok Fisika Awan

Pimpinan RedaksiDini Harsanti

Dewan RedaksiHalda Aditya BelgamanCornelius Antoni NababanKrisna Aditya

KontributorTri Handoko SetoErwin MulyanaM. Djazim SyaifullahFindy RenggonoR. Djoko Goenawan

Alamat RedaksiKelompok Fisika AwanUPT Hujan Buatan BPPTGedung BPPT I Lt. 19 Jl. M. H. Thamrin No. 8 Jakarta Pusat 10340Telp. (021) 3168828Fax. (021) 3906225E-mail: [email protected]

Berawal dari forum pertemuan anggota kelompok Fisika

Awan (FA) pada selasa (19/7) maka disepakati terbitnya ma-jalah untuk ajang komunikasi dan informasi kelompok Fisika Awan. Majalah ini diberi judul “Clouds”. Kata “Clouds” dalam bahasa Inggris berarti “awan” dalam bentuk jamak, hal ini berkaitan dengan pekerjaan (tu-poksi) kelompok Fisika Awan.

Majalah Clouds bertujuan menampung semua ide dan pe-mikiran dari anggota kelompok FA. Majalah ini juga merupakan ajang aktualisasi diri kelompok FA sebagai bentuk eksistensi kelompok FA. Fokus utama ma-jalah Clouds adalah prediksi bu-lanan mengenai iklim dan cuaca sebagai bentuk tanggung jawab kelompok FA terhadap UPT Hu-jan Buatan. Prediksi ini dapat dijadikan rekomendasi untuk pelaksanaan kegiatan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Selain artikel Laporan Utama kami juga mengetengahkan tulisan menarik lainnya, mulai dari Rubrik Mete-orologi, Artikel Ilmiah, Tahukah Anda dan lainnya. Semoga edisi perdana ini mendapat respon yang baik dan terus berlanjut.

Selamat membaca.

EDITORIAL DAFTAR ISI

Page 3: Majalah Cloud

Vol.1 Nomor 1 Clouds 3

Editorial 1

Laporan Utama 4

Rubrik Meteorologi 14

Artikel Ilmiah 20

Tahukah Anda... 28

Rubrik Manajemen 31

Karikatur FA 35

DAFTAR ISI

Page 4: Majalah Cloud

4 Clouds Vol. 1 Nomor 1

LAPORAN UTAMA LAPORAN UTAMA

Hingga akhir Juli 2011, suhu muka laut (SST) di Ekuatorial

Samudera Pasifik telah mendekati normalnya, sehingga secara umum fenomena La Nina yang sudah berlangsung beberapa bulan bela-kangan saat ini kondisinya sudah berubah menjadi netral. Walaupun La Nina sudah menghilang, namun sirkulasi atmosfer masih mereflek-sikan kondisi La Nina. Kondisi suhu muka laut yang netral ini diperkira-kan akan berlangsung hingga No-vember 2011.

Berdasarkan data anomali OLR (Outgoing Longwave Radiation), selama Juli 2011 sebagian besar wilayah Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Nusa Teng-

gara mengalami defisit curah hu-jan, sedangkan di wilayah Sulawesi kondisinya netral. Wilayah Maluku dan Papua terjadi peningkatan curah hujan. Warna merah pada gambar di atas menunjukkan terjadi defisit curah hujan, sedangkan warna biru menunjukkan terjadi peningkatan cu-rah hujan. Prediksi Agustus 2011

Prediksi yang dikeluarkan oleh APCC (Asia Pacific Climate Center) dengan model MME (Multi Model Ensemble) untuk Agustus 2011 menunjukkan di wilayah Indonesia curah hujan bervariasi antara nor-mal, di bawah normal dan di atas normal. Wilayah Sumatera bagian selatan ekuator, Jawa, Kalimantan

Mewaspadai Defisit Air dan Kebakaran Hutan Musim Kemarau 2011

Page 5: Majalah Cloud

Vol.1 Nomor 1 Clouds 5

LAPORAN UTAMA LAPORAN UTAMA

bagian barat, dan sebagian besar Sulawesi serta Maluku bagian se-latan diperkirakan akan mengalami defisit hujan. Sementara itu di NTB dan NTT serta papua bagian barat diperkirakan curah hujannya normal. Curah hujan di atas normal diperkira-kan akan terjadi di wilayah Papua bagian timur. Perkiraan curah hujan untuk Agustus 2011 selengkapnya dapat dilihat pada gambar di atas. Prediksi Tiga Bulanan (ASO)

Prakiraan hasil ke-luaran model Multi Model Ensemble (MME) di wilayah In-donesia untuk bulan Agustus-September-Oktober 2011 bisa

dilihat pada gambar di samping. Berdasar-kan gambar terlihat di wilayah Sumatera seb-elah utara ekuator un-tuk tiga bulan ke depan (ASO 2011) hujannya di atas normal. Sebaliknya di wilayah Sumatera bagian selatan ekuator akan mengalami defisit hujan. Defisit hujan akan di-

alami juga di wilayah jawa hingga NTT. Sementara untuk wilayah Kalimantan dan Sulawesi serta Maluku hujannya normal. Di wilayah Papua bagian barat cend-erung normal sedangkan di bagian timur relatif lebih basah.

Dari hasil analisis prediksi curah hujan dari keluaran model yang ada

Page 6: Majalah Cloud

6 Clouds Vol. 1 Nomor 1

LAPORAN UTAMA LAPORAN UTAMAini, maka disimpulkan sebagian be-sar wilayah Indonesia pada musim kemarau tahun ini diperkirakan hu-jannya normal dan di bawah normal. Perlu diwaspadai terjadinya keba-karan hutan dan lahan serta defisit air di beberapa waduk dan danau di Indonesia.

Daerah Al-iran Sungai (DAS) Mamasa dan sekitarnya pada Agustus ini diperkira-kan hujannya di bawah nor-mal. Dengan demikian jika dilihat pola his-torisnya, pada bulan Agustus meru-pakan celuk terendah curah hujan tahunan. Pada bulan ini akan sulit ditemukan awan berpotensi hujan kecuali di sekitar punggungan bukit batas DAS Mamasa bagian timur yaitu di daerah Sumarorong. Kondi-si yang sama diperkirakan terjadi di DAS Kota Panjang di Sumatera Barat dan Riau. Pertumbuhan awan dan hujan kemungkinan juga akan

sulit terjadi pada Agustus ini, kecuali di wilayah Bukit Barisan di bagian barat batas DAS Kota Panjang.

Beberapa wilayah di Riau, Kalim-antan Barat dan Kalimantan Tengah juga perlu diwaspadai munculnya ka-but asap akibat kebakaran hutan dan

lahan. Kondisi kering akibat sulit ter-bentuknya awan hujan dapat meng-akibatkan mudah terjadi kebakaran di samping kultur sosial masyarakat pedesaan yang seringkali membuka lahan baru pada saat kemarau den-gan cara membakar semak. (em)

Erwin Mulyana, lahir di Cirebon tahun 1964. Menyelesaikan S1 di jurusan Geofisika-Meteorologi ITB dan S2 di bidang Earth Environtmental Science Hok-kaido University, Jepang. Bergabung di UPT Hujan Buatan BPPT sejak tahun 1992. Saat ini aktif sebagai peneliti di kelompok Fisika Awan.

Page 7: Majalah Cloud

Vol.1 Nomor 1 Clouds 7

LAPORAN UTAMA

Istilah El Nino berasal dari bahasa Spanyol yang berarti "anak laki-

laki", dalam bahasa Inggris “boy”. Nelayan Peru awalnya menggu-nakan istilah anak -referensi untuk anak Kristus- untuk menggambarkan kondisi lautan yang hangat di lepas pantai Amerika Selatan yang biasan-ya muncul sekitar Natal. Saat ini, istilah El Nino mengacu pada pema-nasan luas lautan Pasifik Tengah dan Timur yang mengarah ke perubahan besar dalam pola cuaca di seluruh Pasifik.

Fenomena El-Nino secara umum adalah kodisi suhu muka laut (Sea Surface Temperatur – SST) di Pasi-fik Tengah dan Timur wilayah Ekua-tor mengalami kenaikan terhadap nilai normalnya. Anomali SST adalah kondisi dimana terjadi perubahan/ penyimpangan nilai SST terhadap normalnya. Akibat dari kondisi ini menyebabkan terjadinya perubahan fenomena iklim secara global di se-kitar wilayah tersebut.

Peningkatan SST di wilayah terse-but menyebabkan meningkatnya aktifitas konveksi yang melebihi nor-mal sehingga curah hujan mening-kat di atas normal. Pusat konveksi di Pasifik Barat dan Indonesia akan bergeser ke wilayah ini, akibatnya

di sebagian wilayah Indonesia jum-lah curah hujannya akan menurun secara drastis di bawah normalnya. Meningkatnya nilai SST tersebut me-nyebabkan tekanan udara menjadi rendah di wilayah tersebut sehingga mengakibatkan angin pasat yang bertiup di wilayah Pasifik Barat dan Tengah menjadi berkurang kecepa-tannya dan bahkan menjadi angin baratan.

Fenomena yang lain yang merupa-kan 'pasangan' dari kondisi El-Nino adalah La-Nina. Fenomena La-Nina merupakan kondisi dimana nilai anomali SST negatif yang berarti nilai SST di Pasifik Tengah dan Timur lebih rendah dari nilai normalnya. Akibatnya pertumbuhan awan berkurang dan pusat pertumbuhan awan bergeser ke Pasifik Barat/Indo-nesia.

Pada kondisi ini wilayah Indonesia menerima curah hujan yang besar yang dapat menyebabkan banjir. Secara umum tingkat intensitas/kekuatan feno-mena El-Nino diukur dari besarnya anomali positif SST di wilayah Pasifik Timur / Tengah. Semakin besar nilai anomali SST di wilayah tersebut semakin besar kekuatan El-Nino.

Keringkah Tahun ini di Indonesia?

Page 8: Majalah Cloud

8 Clouds Vol. 1 Nomor 1

LAPORAN UTAMASea Surface Temperature (SST)

Lantas bagaimana cara memoni-tor kondisi tersebut? Para pakar telah mengidentifikasi daerah laut

Pasifik Tengah dan Timur yang suhu muka lautnya sangat mempengaruhi kondisi global tersebut, mereka menamakannya daerah Nino. Dae-rah Nino terbagi menjadi Nino1.2, Nino3, Nino3.4 dan Nino4. Daerah Nino1.2 berada di 0o~10oS dan 90o

W~80oW, daerah Nino3 di 5oN~5oS dan 150oW~90oW, daerah Nino4 be-

rada di 5oN~5oS dan 160oE~150oW, sementara daerah Nino3.4 meru-pakan interseksi dari Nino3 dan Nino4 yang berada di 5oN~5oS dan

170oE~120oE. Gambar paling atas mengilustrasikan posisi dari daerah-daerah tersebut.

Data daerah Nino3.4 biasanya digunakan untuk analisis dengan alasan bahwa daerah tersebut mem-punyai respon yang baik terhadap fenomena menghangatnya suhu muka laut di timur (Peru) dan di barat

Page 9: Majalah Cloud

Vol.1 Nomor 1 Clouds 9

LAPORAN UTAMA(Pasifik Barat) serta mempunyai korelasi yang cukup kuat terhadap nilai SOI. Disamping itu nilai anomali SST di kawasan ini juga mempunyai hubungan yang cukup erat dengan tingkat kekeringan di wilayah Indo-nesia.

Gambar kedua dari atas menun-jukkan kondisi anomali SST daerah Nino sejak tahun 2000. Dikatakan kondisi memasuki fase El Nino apa-bila nilai anomali tersebut mencapai di atas +1º, ada juga beberapa pen-dapat memberikan batas ambang di atas +0.5º sudah memasuki fase tersebut. Sedangkan kondisi La Nina terjadi apabila anomali men-capai di bawah -1º atau -0.5º. Nilai diantara keduanya adalah kondisi normal. Dari gambar tersebut terlihat pada Juli ini secara umum kondisi anomali suhu muka lautnya masih pada ambang normal.

Sebagai tambahan pengetahuan kita, selama kejadian El Nino terjadi perubahan sirkulasi laut dan atmos-fer yang meliputi:• Terjadi kondisi yang lebih hangat

dari suhu air laut normal di seluruh bagian Tengah dan Timur Samud-era Pasifik wilayah tropis.

• Terjadi peningkatan konveksi men-ingkat atau meningkatnya keawa-nan di Samudra Pasifik tengah bagian tropis, terjadi migrasi kon-vektivitas dari Australia / Indonesia

timur menuju Samudera Pasifik Tengah.

• Trade wind lebih lemah dari nor-malnya.

• Nilai Southern Oscillation Index (SOI) yang negatif.

Trade wind adalah angin yang ber-tiup dari timur (easterly) sampai teng-gara (southeasterly) pada belahan bumi selatan, sedangkan di belahan bumi utara, angin bertiup dari timur (easterly) sampai timur laut (north-easterly) timur ke arah timur laut yang mempengaruhi daerah tropis dan subtropis, termasuk daerah Aus-tralia bagian utara. Ini berarti bahwa, di kedua belahan bumi, mereka cenderung bertiup dari timur ke barat dan menuju ke Ekuator.

Southern Oscillation Index (SOI)

Seperti disebutkan di muka selama kejadian El Nino terjadi perubahan pada South Oscilation Index (SOI). SOI menurut A.J. Troup (1965), didefinisikan sebagai :

[ Pdiff - Pdiffav ]SOI = 10 ---------------------- SD(Pdiff) dimana Pdiff = (rerata Tahiti MSLP di Tahiti ) - (rerata MSLP Darwin), pada bulan ituPdiffav = rerata historis (long term) of Pdiff pada bulan itu

Page 10: Majalah Cloud

10 Clouds Vol. 1 Nomor 1

LAPORAN UTAMA

SD(Pdiff) = standar deviasi dari Pdiff. Perkalian dengan 10 merupakan

konvensi saja, dengan mengguna-kan konvensi ini nilai SOI berkisar dari -35 sampai 35.

Jika nilai SOI negatif, maka te-kanan di Tahiti relatif lebih kecil dibandingkan dengan tekanan di Darwin. Kondisi ini antara lain me-nyebabkan; bergesernya kolam hangat dari Pasifik Barat ke Pasifik Timur; pertumbuhan awan di Pasifik Timur di atas normalnya; terjadi ke-keringan di Pasifik Barat terutama di Indonesia Timur karena suplai uap air bergeser ke timur dan lain-lain. Fenomena ini yang disebut dengan fenomena El-Nino. Jika nilai SOI positif maka keadaan akan sebalik-nya dan fenomena ini dikenal de-ngan fenomena La-Nina. Nilai SOI

yang kadang positif dan kadang negatif memberi pengertian bahwa kejadian/fenomena El-Nino maupun La-Nina mempunyai perulangan.

Gambar di atas menunjukkan bahwa nilai SOI selama tahun 2010 konsisten positif di atas +10, kondisi ini menyebabkan; bergesernya kolam hangat dari Pasifik Timur ke Pasifik Barat; terjadi pertumbuhan awan di Pasifik Barat di atas normalnya dan bahkan mencapai wilayah Indonesia. Dari kedua parameter tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum ta-hun ini masuk dalam kondisi normal dan untuk wilayah Indonesia potensi pertumbuhan awan masih cukup baik. Kelihatannya kondisi ekstrim kering tidak akan terjadi pada tahun ini.

Page 11: Majalah Cloud

Vol.1 Nomor 1 Clouds 11

LAPORAN UTAMA

Dipole Mode Index (DMI)

Selain fenomena El Nino di wilayah Pasifik, wilayah Indonesia juga dipengaruhi oleh fenomena iklim

di wilayah Samudera Hindia yang dikenal dengan Dipole Mode. Di-pole mode disingkat DM merupakan fenomena yang mirip dengan El Nino tetapi terjadi di Samudera Hindia.

Peristiwa dipole mode ditandai adanya perbedaan anomali suhu permukaan laut (Sea Surface Tem-perature - SST) antara Samudera Hindia tropis bagian barat (50oE – 70 oE, 10oS – 10oN) dengan Samudera Hindia tropis bagian timur (90oE – 110oE, 10oS – ekuator). Anomali SST ini memiliki kondisi yang lebih din-gin dari normal dan muncul dipantai barat Sumatera (Samudera Hindia bagian timur), sementara di Samu-dera Hindia bagian barat terjadi pe-

manasan dari biasanya. Beberapa riset menentukan se-

buah indeks untuk mempelajari fenomena dipole mode ini, yang

disebut dengan Dipole Mode Index (DMI)). DMI didefinisikan sebagai selisih anomali SST di Samudera Hindia Bagian Barat dengan wilayah Samudera Hindia Bagian Timur se-perti pada gambar di atas :

Secara umum tahapan siklus Di-pole Mode dapat dijelaskan sebagai berikut : • Muncul anomali SST negatif di

sekitar selat Lombok hingga sela-tan Jawa pada bulan Mei – Juni, bersamaan terjadi anomali angin tenggara yang lemah di sekitar Jawa dan Sumatera.

• Anomali terus menguat (Juli-Agus-tus) dan meluas sampai ke ekuator di sepanjang pantai selatan Jawa

Page 12: Majalah Cloud

12 Clouds Vol. 1 Nomor 1

LAPORAN UTAMA

hingga pantai barat Sumatera. Kondisi diatas dibarengi mun-culnya anomali positif SST di Sam-

udera Hindia bagian barat. Adanya dua kutub di Samudera Hindia

ekuator ini, semakin memperkuat anomali angin tenggara di sepan-jang ekuator dan pantai barat Su-

matera. • B i a s a n y a siklus menca-pai puncaknya pada Oktober, dan selanjutnya m e n g h i l a n g dengan cepat pada Novem-ber-Desember.

Nilai Dipole Mode Index positif DMI(+) : kondisi anomali SST di wilayah S a m u d e r a Hindia tropis bagian barat lebih besar dari-pada di bagian timurnya aki-batnya terjadi p e n i n g k a t a n curah hujan dari normalnya di pantai timur Afrika dan Sam-udera Hindia bagian barat

sedangkan di Benua Maritim Indonesia mengalami penurunan curah hujan dari nor-

Page 13: Majalah Cloud

Vol.1 Nomor 1 Clouds 13

LAPORAN UTAMA

malnya yang menyebabkan kekerin-gan. Nilai Dipole Mode Index negatif DMI(-) : terjadi kondisi sebaliknya, yang menyebabkan terjadi pening-katan curah hujan di wilayah Benua Maritim Indonesia.

Dari gambar terlihat bahwa nilai DMI beberapa minggu terakhir bernilai positif tetapi terkesan menu-run tren-nya. Positifnya nilai DMI mengindikasikan penurunan curah hujan di wilayah Indonesia terutama bagian barat sehingga perlu diwas-padai.

Meskipun tahun ini merupakan tahun normal untuk kondisi El Nino,

tetapi untuk wilayah Barat Indonesia yang cukup dipengaruhi oleh fenom-ena Dipole Mode perlu mendapat perhatian khusus karena nilai DMI-nya yang masih positif meskipun kelihatannya cenderung menurun. Semoga ke depannya nilai DMI se-makin turun dan ke arah negatif yang mengindikasikan banyaknya penguapan di wilayah Samudera Hindia tropis bagian timur, sehingga peluang hujannya semakin besar. Semoga. (djz)

M. Djazim Syaifullah, lahir di Kebumen tahun 1969, menyelesaikan S1 di ju-rusan Fisika MIPA UGM pada tahun 1994 dan S2 di bidang Agroklimat IPB. Bergabung di UPT Hujan Buatan BPPT sejak tahun 1995. Saat ini aktif sebagai Peneliti di Kelompok Fisika Awan dengan jabatan Peneliti Madya

Page 14: Majalah Cloud

14 Clouds Vol. 1 Nomor 1

INFO METEOROLOGI

Pengolahan dan Penerapan Data TRMM di DAS Larona

Satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) merupa-

kan wahana yang tepat untuk studi karakteristik dan mekanisme curah hujan tropis. Satelit ini diluncurkan pada 27 November 1997 di Tane-gashima Space Center Jepang yang membawa 5 sensor utama, yaitu PR (Precipitation Radar), TMI (TRMM Microwave Imager), VIS (Visible In-frared Scanner), LIS (Lightning Im-aging Sensor), dan CERES (Clouds and Earth’s Radiant Energy System).

Satelit TRMM merupakan hasil kerjasama dua badan antariksa na-sional, yaitu Amerika Serikat (NASA: National Aeronautics and Space Ad-ministration) dan Jepang (NASDA: National Space Development of Ja-pan, yang sekarang berubah menjadi JAXA: Japan Aerospace Exploration Agency). Satelit TRMM berorbit polar (non-sun-synchronous) dengan inkli-nasi sebesar 35o terhadap ekuator, berada pada ketinggian orbit 350 km (pada saat-saat awal diluncurkan), dan diubah ketinggian orbitnya men-jadi 403 km sejak 24 Agustus 2011 sampai sekarang. Pengoperasian satelit TRMM pada ketinggian orbit 403 km ini dikenal dengan istilah TRMM boost.

Karakteristik umum sensor-sensor satelit TRMM dijelaskan berikut ini. Pertama, sensor VIRS (Visible Infra-red Scanner) terdiri dari 5 kanal yang masing-masing pada panjang gelom-bang 0.63, 1.6, 3.75, 10.8 dan 12 mikrometer. Sensor VIRS ini teruta-ma digunakan untuk pemantauan li-putan awan, jenis awan, dan temper-atur puncak awan, dan sensor VIRS TRMM ini memiliki kemiripan dengan sensor AVHRR NOAA (Advance Very High Resolution Radiometer, Nation-al Oceanic and Atmospheric Admin-istration). Resolusi spasial dari data yang dihasilkan oleh sensor VIRS adalah 2,2 km.

Kedua adalah sensor TMI (TRMM Microwave Imager) yang merupa-kan suatu multichannel passive microwave radiometer yang berop-erasi pada 5 frekuensi, yaitu 10.65, 19.35, 37.0, dan 85.5 GHz polarisasi ganda dan pada 22 235 GHz po-larisasi tunggal. Dari sensor TMI ini dapat diekstraksi data-data untuk integrated column precipitation con-tent, air cair dalam awan (cloud liquid water), es awan (ice cloud), intensi-tas hujan (rain intensity), tipe hujan (rain type), misalnya hujan stratiform ataukah hujan konvektif. Sensor TMI

Page 15: Majalah Cloud

Vol.1 Nomor 1 Clouds 15

INFO METEOROLOGI INFO METEOROLOGI

ini memiliki kemiripan dengan sensor SSM/I DMSP (Special Sensor Micro-wave/Imager, Defense Meteorologi-cal Satellite Program).

Sensor ketiga adalah sensor PR (Precipitation Radar), sensor ini bek-erja pada frekuensi 13.8 GHz untuk mengukur distribusi presipitasi se-cara 3 dimensi, baik untuk presipitasi di atas daratan maupun di atas lau-tan, serta untuk menentukan kedala-man lapisan presipitasi. Data-data yang dihasilkan dari ketiga sensor satelit TRMM ini (VIRS, TMI, dan PR) dikelola oleh GDFC (Goddart Space Flight Center) NASA.

Sensor yang keempat, yaitu CERES (Clouds and the Earth’s Radiant Energy System). CERES ini digunakan untuk mengukur en-ergi pada atmosfer, dengan meng-gunakan informasi dari instrumen cloud imaging yang beresolusi tinggi, CERES juga dapat menentukan cloud properties, termasuk jumlah awan, altitud, ketebalan, dan ukuran partikel-partikel awan.

Sensor kelima adalah LIS (Light-ning Imaging Sensor), sensor ini dikembangkan oleh Global Hydrol-ogy Center NASA yang merupa-kan kombinasi optik dan elektronik. Sensor ini menyediakan informasi mengenai karakteristik awan, storm dynamics, dan variabilitas seasonal dan tahunan thunderstorm.

Aplikasi Data TRMM

Data-data hujan yang diperoleh dari satelit TRMM telah diaplikasikan untuk berbagai keperluan, seperti pengamatan iklim dan cuaca, ana-lisis iklim, analisis anomali hujan, verifikasi model iklim, studi hidrologi,

Page 16: Majalah Cloud

16 Clouds Vol. 1 Nomor 1

INFO METEOROLOGI

resolusi spasial 0.25 x 0.25 dera-jat. Data presipitasi TRMM ini dapat memenuhi kebutuhan data curah hujan dengan resolusi temporal dan spasial yang detail dan kontinu. Na-mun, keakuratan data TRMM perlu diuji lebih lanjut untuk keperluan riset selanjutnya. Riset ini dilakukan untuk menguji keakuratan dan keeratan data presipitasi TRMM dengan data curah hujan AWS dan penakar kon-vensional (Plantsite) pada resolusi spasial yang sempit (1 pixel dan 4 pixel).

Pada riset ini digunakan data cu-rah hujan dari penakar dan AWS di DAS Larona pada periode Oktober 2008 sampai September 2010. Data TRMM yang digunakan pada periode yang sama dengan mengambil 1 pix-el data untuk Plantsite (0.25 x 0.25) dan 4 pixel untuk Sorowako (me-wakili DAS Larona). Uji yang dilaku-kan adalah regresi linear sederhana untuk mencari koefisien determinasi antara TRMM dengan AWS, TRMM dengan Penakar (hanya Plantsite) dan AWS dengan TRMM (hanya Plantsite).

Dari hasil plotting data TRMM, AWS dan Penakar (gambar 1), pola curah hujan pada DAS Larona meru-pakan pola ekuatorial dimana ada dua puncak hujan sepanjang tahun yaitu pada bulan Maret dan Desem-ber. Pola curah hujan TRMM identik

monitoring topan dan badai, banjir dan tanah longsor, dan lain seba-gainya.

Namun dalam pemanfaatan data TRMM ini tidak disarankan untuk mencari atau mengetahui jumlah hu-jan (kuantitasnya) dalam bentuk mm/bulan atau mm/hari karena masih memiliki tingkat kesalahan atau bias error yang cukup besar. Oleh karena itu sebelum digunakan untuk meng-etahui jumlah hujan (kuantitasnya), maka nilai bias error tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu dengan koefisien nilai bias error rata-rata data TRMM.

Akan tetapi apabila hanya se-ke-dar untuk mengetahui kualitas hu-jan, misalnya deras, besar, sedang, ringan, atau kecilnya curah hujan, pola hujan, sebaran spasial curah hujan, persentase anomali hujan, ataupun hubungan curah hujan den-gan pengendali-pengendali hujan (ENSO, DMI, SOI, dan lain sebagain-ya), maka data TRMM sudah bisa di-gunakan karena nilai bias error hujan yang dihasilkan cukup seragam dan konstan untuk setiap waktu, musim, dan lokasi (Abd Rahman, 2010).

Validasi Data TRMM dengan Data AWS di DAS Larona

Data TRMM yang digunakan pada riset ini adalah data TRMM 3B42RT dengan resolusi data 3 jam dan

Page 17: Majalah Cloud

Vol.1 Nomor 1 Clouds 17

INFO METEOROLOGI

dengan pola AWS dan Penakar di-mana pada 1 pixel (Plantsite) TRMM over estimate sedangkan pada 4 pixel TRMM under estimate. Pada penelitian sebelumnya (Prasetya, 2011), pola data TRMM (PR3A25) cenderung identik CH penakar pada resolusi spasial yang lebih luas (se-luruh Indonesia). Data TRMM cend-erung under estimate untuk resolusi spasial yang sempit (Plantsite) dan cenderung upper estimate untuk re-solusi yang lebih besar (Sorowako).

Kondisi ini bisa disebabkan karena curah hujan yang diukur oleh AWS maupun panakar pada DAS Larona berkumpul pada satu area, sehingga curah hujan yang terukur kurang me-wakili curah hujan wilayah DAS La-rona karena curah hujan yang lebih besar berada di atas badan air (di wilayah danau). Untuk pengukuran yang lebih akurat sebaiknya ada pengukuran hujan tepat di atas dan-au. Keakuratan data TRMM juga san-gat bergantung dengan posisi satelit pada saat pengukuran. Pada sudut inklinasi yang besar (mendekati 35º), maka keakuratan data TRMM se-makin rendah karena panjang area pengukuran yang semakin panjang sehingga awan yang terukur tidak tepat di atas target.

A. Plantsite

Pengujian data TRMM dilakukan

dengan melakukan regresi terhadap data Penakar dan AWS. Pengu-jian dilakukan dengan memposisi-kan data Penakar dan AWS sebagai independent variable dan TRMM sebagai dependent variable. Hasil regresi AWS dengan TRMM men-unjukkan pola yang identik dengan slope 0,957 dan variasi data yang cukup jauh beda dengan intercept intercept 125,4. Selain itu juga koe-fisien determinasi (Rsquare) antara AWS dan TRMM tidak signifikan den-gan nilai 0,154. Kondisi ini bisa saja disebabkan data AWS yang kurang baik.

Hasil regresi linear antara TRMM dengan penakar menunjukkan pola yang identik dengan slope 1,7 na-mun memiliki variasi data yang san-gat kecil intercept 0,127. Koefisien determinasi (Rsquare) antar TRMM dengan penakar lebih baik dari AWS dengan TRMM dengan nilai 0,256. Kondisi ini menunjukkan data TRMM tidak valid untuk dimanfaatkan dalam resolusi yang kecil (1 pixel).

B. Sorowako

Pengujian TRMM untuk resolusi yang lebih besar (Sorowako, 4 pixel) di-lakukan dengan metode yang sama dengan melakukan analisis regresi sederhana dengan memposisikan TRMM sebagai independent variable dan AWS sebagai dependent vari-

Page 18: Majalah Cloud

18 Clouds Vol. 1 Nomor 1

INFO METEOROLOGI

baik pada data TRMM maupun AWS. Untuk melihat hasil yang signifikan perlu dilakukan filtering dengan me-tode lain yang lebih baik (misal low pass filter atau high pass filter) untuk melihat hubungan data TRMM den-gan AWS maupun penakar dengan hasil yang lebih.

Selain variasi data yang sangat besar, penempatan stasiun-stasiun AWS belum mewakili DAS Larona secara keseluruhan. Data AWS cenderung menumpuk pada satu wilayah tertentu, sehingga hujan yang cenderung jatuh lebih besar di atas badan air tidak dapat terukur. Keakuratan data TRMM juga sangat berpengaruh terhadap posisi sudut inklinasi dari satelit TRMM itu sendi-ri. Dengan variasi yang sampai 35º

able. Hasil regresi sederhana terse-but dilihat pada resolusi waktu harian dan bulanan. Untuk resolusi harian didapat nilai koefisien determinasi 0,142 dengan persamaan regresi y = 0,142 + 7,954. Sedangkan untuk resolusi bulanan nilai koefisien de-terminasi 0,235 dengan persamaan regresi y = 0,392 + 146,0.

Hasil ini tidak signifikan dimana data TRMM hanya mampu menje-laskan 23,5% data AWS. Penulis mencoba mengurangi variasi bula-nan data TRMM dan AWS dengan melakukan running average pada masing-masing data resolusi bula-nan. Kemudian hasil running aver-age di uji regresi linear. Hasilnya nilai koefisien determinasinya meningkat menjadi 0,455. Hal ini menunjukkan besarnya variasi data secara bulanan

Page 19: Majalah Cloud

Vol.1 Nomor 1 Clouds 19

INFO METEOROLOGI

maka keakuratan akan berkurang begitu men-jauhi wilayah Sorowako. (can)

Cornelius Antoni Nababan, lahir di Medan pada tahun 1985, menyelesaikan pen-

didikan S1 di Meteorologi dan Geofisika IPB dan mulai bergabung di UPT Hujan

Buatan BPPT sejak 2011. Saat ini aktif sebagai anggota kelompok Fisika Awan.

Page 20: Majalah Cloud

20 Clouds Vol. 1 Nomor 1

Karakteristik MJO di Benua MaritimStudi Kasus di Kototabang Sumatera Barat

Oleh: Tri Handoko Seto

1. PendahuluanVariasi IntraMusim (VIM) adalah

kejadian dominan dari anomali kon-veksi di wilayah tropis. Fenomena ini dikarakterisasikan oleh konveksi yang merambat ke arah timur dan anomali sirkulasi dengan periode antara 30 sampai dengan 60 hari di daerah tropis (e.g. Matthews, 2000; Madden and Julian, 1994; Hendon and Salby, 1994; Rui and Wang, 1990).

Banyak studi menunjukkan bahwa Pulau Sumatera berperan pent-ing dalam proses perambatan VIM. Weickmann dan Khalsa (1990) menunjukkan bahwa terdapat pen-ingkatan signifikan suatu peristiwa konvektif di dekat Sumatera (~100 E). Sebaliknya, Peristiwa VIM mengalami penurunan signifikan mendekati wilayah benua maritim (e.g. Dunkerton and Crum, 1995; Nitta et al., 1992). Nitta et al. (1992) menunjukkan bahwa propagasi arah timur SCC dihalangi oleh topografi permukaan benua maritim (terutama di atas Sumatera) ketika melintas diatas benua tersebut. Pada bebera-pa kasus, tidak terdapat sistem baru

yang dapat berkembang di wilayah Pasifik barat setelah sistem-sistem konveksi tereduksi di atas benua maritim. Akan tetapi, pada kasus yang lain, terdapat SCC baru yang diciptakan di timur Kalimantan (Per-hatikan Gambar 19 disadur dari Nitta et al., 1992).

Variasi diurnal adalah salah satu peristiwa dominan dari aktivitas konveksi di wilayah tropis. Melalui pengamatan satelit terhadap variabel “kecerahan” temperatur (brightness temperature), Hendon dan Woodber-ry (1993) menunjukkan bahwa va-riasi diurnal aktivitas konveksi tropis muncul di setiap musim dan bahwa intensitas variasi diurnal tersebut relatif lemah selama musim panas di belahan bumi utara. Nitta dan Sekine (1994) menunjukkan bahwa variasi diurnal aktivitas konveksi san-gat dominan diatas Suma-tera dan wilayah laut yang berdam-pingan dengan Sumatera.

2. Fenomena MJO Juli 2002Gambar 1 menunjukkan plot lon-

gitude-latitude TBB dirata-ratakan terhadap tanggal 4-6, 10-12, 15-17 dan 24-26 Juni 2002. Pada tanggal

ARTIKEL ILMIAH

Page 21: Majalah Cloud

Vol.1 Nomor 1 Clouds 21

4-6 Juni, super cloud cluster pertama (SCC1) muncul di sekitar 70 – 90 E (Gambar 1a). SCC1 kemudian melaju ke arah timur dan muncul di atas benua maritim (100-120 E) se-lama tanggal 10-12 Juni. Sementara itu, SCC kedua (SCC2) ter-bentuk di seki-tar 70 – 90 E pada periode yang sama (Gambar 1b). Selama tang-gal 15 – 17 Juni, SCC1 ke-mudian melaju ke arah Pasifik barat (140-160 E), dan SCC2 melaju ke arah timur dari Samudera Hindia menuju benua maritim (Gambar 1c). Selama tanggal 24 – 26 Juni, SCC2 merambat lebih jauh ke arah timur dan menampakkan diri diatas Pasifik barat (Gambar 1d).

Penulis mendefinisikan CC seba-gai cloud cluster yang berpropagasi ke arah barat dengan TBB < 255 K, dengan skala spasial > 200 Km, dan

skala waktu > 1 hari. Selama tang-gal 10 – 14 Juni, CC dengan TBB < 255 K berkembang di bawah naun-gan/lapisan SCC1, dan lewat dia-tas Sumatera dengan interbal 1 – 2

hari (pada t a n g g a l 10, 11 dan 14 Juni). S e l a m a tanggal 16 – 17 Juni, a k t i v i t a s konveks i yang su-dah men-g a l a m i peningka-tan den-gan TBB < 255 K muncul di atas Su-m a t e r a d i d a l a m n a u n g a n fase ak-tif SCC2.

Aktivitas konveksi diatas Sumatera dinaikkan hingga beberapa kali den-gan TBB < 240 K (pada ketinggian ~ 10 Km). Umur aktivitas-aktivitas tersebut adalah kurang dari 1 hari, dan tidak menunjukkan propagasi je-las ke arah barat. Akan tetapi, ketika SCC2 mencapai Pasifik Barat (130 –

Gambar 1. Longitude-latitude plots of TBB averaged over (a) 4–6, (b) 10–12, (c) 15–17, and (d) 24–26 in June 2002. “*” in each panel indicates the location of the observation site.

ARTIKEL ILMIAH ARTIKEL ILMIAH

Page 22: Majalah Cloud

22 Clouds Vol. 1 Nomor 1

160 E), propagasi jelas ke arah barat cluster-cluster awan akan teramati (e.g. dari 160 E pada tanggal 24 Juni

ke 130 E pada tanggal 26 Juni).Penulis membagi periode observa-

si ke dalam 3 periode untuk memba-has sifat-sifat aktivitas konveksi di atas Sumatera pada fase VIM yang berbeda. Gambar 2 me-nunjukkan variasi waktu TBB, angin zonal pada

Gambar 2. Time variations of (a) TBB, (b) zonal wind at 850 hPa, and (c) vertical shear of horizontal wind between 700 hPa and 150 hPa. Wind data are derived from NCEP/NCAR reanalysis. In panel (a), TBB is averaged over 100 E–105 E longitudinally and 1 S–1 N latitudinally. Thick solid curve shows TBB smoothed by 2-day running mean, and thin solid curve shows TBB observed every one hour. In panels (b) and (c), zonal wind at 850 hPa and vertical shear of horizontal wind between 700 hPa and 150 hPa are averaged over 100 E–105 E longitudinally and 2.5 S–2.5 N latitudinally. Zonal wind at 850 hPa and vertical shear of horizontal wind between 700 hPa and 150 hPa are smoothed by 2-day running mean.

850 hPa, dan pergeseran vertikal angin horizontal antara 700 dan 150 hPa yang diturunkan dari reanalysis

Artikel Ilmiah

NCEP/NCAR diatas wilayah khatu-listiwa Sumatera. Penulis telah me-milih level tekanan 700 hPa dan 150 hPa untuk menghitung pergeseran vertikal angin horizontal di troposfer, karena pergeseran vertikal angin horizontal di antara 700 hPa dan 150

Page 23: Majalah Cloud

Vol.1 Nomor 1 Clouds 23

hPa mempunyai kolerasi terbanyak dengan variasi di Indeks Presipitasi (GPI) Geostationary Operational En-vironmental Satellite (GOES) selama TOGA COARE (Saxen dan Rut-ledge, 2000). Angin zonal pada 850 hPa dan pergeseran vertikal angin horizontal di antara 700 hPa dan 150 hPa “dihaluskan” dengan menjalan-kan perata-rataan selama 2 hari.

Dari variasi temporal TBB, angin zonal pada 850 hPa dan pergeseran vertikal angin horizontal diantara 700 hPa dan 150 hPa sebagaimana dis-ebutkan di atas, penulis membagi keseluruhan periode observasi seba-gai berikut :• Periode 1 (1-9 Juni) : angin zonal

pada 850 hPa lemah (<1 m/s), dan puncak awan bertambah se-cara bertahap dengan beberapa peningkatan aktivitas konveksi. Pergeseran vertikal angin horizon-tal diantara 700 hPa dan 150 hPa meningkat dari ~ 10 m/s ke ~ 20 m/s. Periode ini diklasifikasikan se-bagai fase inaktif VIM.

• Periode 2 (10-19 juni) : selama tanggal 10-17 Juni, angin baratan dengan tekanan 850 hPa mening-kat sebesar 2 kali dengan berlalu-nya SCC1 dan SCC2, dan puncak awan tinggi dengan TBB < 270 K menjadi dominan. Kemudian dari tanggal 17 Juni, kemunculan men-dadak angin baratan terjadi dan

Gambar 3. Daily rainfall amount observed at Kototabang GAWstation in June 2002.

aktivitas konveksi lalu melemah dengan cepat. Pergeseran vertikal angin horizontal diantara 700 hPa dan 150 hPa meningkat dari ~20 m/s ke 32 m/s. Periode ini diklasifi-kasikan sebagai fase aktif VIM.

• Periode 3 (20-26 Juni): angin baratan kuat dengan kecepatan ~2 m/s pada 850 hPa menjadi dominan selama tanggal 20-22 Juni, untuk kemudian berkurang sampai mencapai ~0 m/s pada tanggal 26 Juni. Pada periode in aktivitas konveksi mengalami su-presi. Pergeseran vertikal angin horizontal antara 700 hPa dan 150 hPa kemudian terus menurun. Pe-riode ini diklasifikasikan sebagai fase VIM pasca-kemunculan men-dadak angin baratan. Peningkatan aktivitas konvektif,

yang muncul dalam SCC-SCC yang

Artikel Ilmiah

Page 24: Majalah Cloud

24 Clouds Vol. 1 Nomor 1

teratur, berlangsung selama ~10 hari (10-19 Juni) pada kasus yang diba-has dalam makalah ini. Hal ini adalah konsisten dengan skala waktu tipikal (10 – 15 hari ) dari organisasi/ketera-turan SCC-SCC (Lau et al., 1991).

Penulis lebih lanjut menyelidiki variasi temporal data permukaan (jumlah curah hujan harian, tekanan, kelembapan spesifik, temperatur dan radiasi matahari) pada Juni 2002. Gambar 3 menunjukkan jumlah cu-rah hujan harian yang diamati di Sta-siun GAW Kototabang selama Juni 2002. Selama periode 1, kejadian curah hujan terobservasi setiap hari kecuali pada tanggal 3 dan 4 Juni.

Jumlah curah hujan terbesar 73 mm/hari teramati pada tanggal 2 Juni, dan jumlah curah hujan yang cukup besar (>15 mm/hari) juga teramati pada tanggal 8 dan 9 Juni. Selama periode 2, kejadian curah hujan teramati ketika cluster-cluster awan yang tumbuh di SCC1 berada di atas wilayah pengamatan pada tanggal 10 – 12 dan 14 Juni. Jumlah curah hujan yang relatif besar, yaitu 18 mm/hari terobservasi pada tang-gal 11 Juni. Kejadian curah hujan juga teramati pada tanggal 15 dan 16 Juni, ketika aktivitas konvektif me-ngalami peningkatan di SCC2. Akan tetapi, kejadian curah hujan tidak ter-amati pada wilayah observasi pada tanggal 17 Juni, meskipun puncak

awan dengan TBB < 255 K teramati di atas Sumatera. Selama periode 3, tidak ada curah hujan yang ter-amati. Meskipun penakar hujan di atas daerah pengamatan tidak bisa mengamati sama sekali kejadian cu-rah hujan di atas Sumatera, kejadian curah hujan teramati di atas wilayah pengamatan mengalami penguatan oleh VIM. Level curah hujan berubah sekali tergantung terhadap apakah suatu kejadian curah hujan konvek-tif atau stratiform. Selama periode 1, kejadian curah hujan konvektif yang disebabkan oleh sirkulasi lokal domi-nan terhadap situs observasi. Se-baliknya, baik kejadian curah hujan konvektif maupun stratiform teramati selama periode 2. Pada tanggal 11 Juni, kejadian curah hujan stratiform yang disebabkan oleh lewatnya CC yang telah tumbuh dengan baik ter-amati di atas situs observasi. Ketika kejadian curah hujan disebabkan oleh lewatnya SCC2 teramati di atas situs observasi (15-16 Juni), baik kejadian konvektif dangkal maupun dalam teramati.

3. DiskusiPada makalah ini, akan didis-

kusikan variasi temporal aktivitas konveksi di atas Sumatera dengan menggunakan klasifikasi periode 1-3. Variasi temporal aktivitas kon-vektif di atas Sumatera oleh VIM me-

Artikel Ilmiah

Page 25: Majalah Cloud

Vol.1 Nomor 1 Clouds 25

miliki sifat yang sama dengan yang aktivitas konvektif yang sama selama TOGA COARE. Hal ini dijelaskan se-bagai berikut :• Selama periode inaktif VIM (pe-

riode 1) aktivitas konvektif seba-gaimana diketahui dari TBB se-cara gradual bertambah kuat. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa mekanisme yang secara bertahap melembapkan troposfer tengah dan atas terjadi. Selama TOGA COARE, sel-sel konvektif yang terisolasi yang berulang kali men-embus troposfer tengah dan atas dan melembapkan udara memiliki peran penting dalam menciptakan kondisi yang baik untuk organisasi sistem-sistem konveksi berskala besar (Redelsperger et al., 2002; Demott and Rutledge, 1998a, b).

• Intensitas maksimum aktifitas kon-veksi sebagaimana diketahui dari TBB terjadi pada tanggal 10-17 Juni, dan aktivitas tersebut men-dahului kemunculan tiba-tiba angin baratan maksimum (17-18 Juni). Hal ini konsisten dengan model studi (e.g. Lau et al., 1989) dan studi pengamatan di atas Pasifik barat selama TOGA COARE (Rick-enbach dan Rutledge, 1998; Lin dan Johnson, 1996). Pergeseran vertikal moderat angin horizontal (20-30 m/s) memiliki peran yang penting dalam organisasi aktivitas

konvektif mesoscale dengan skala horizontal >100 Km (Saxen dan Rutledge, 2000; Rickenbach dan Rutledge, 1998).Studi kasus yang dilakukan penu-

lis selama Juni 2002 menunjukkan sifat yang sama yang ditemukan di TOGA COARE. Akan tetapi, suatu perbedaan juga teramati antara studi kasus penulis dan TOGA COARE. Selama TOGA COARE, kejadian konvektif mesoscale teramati 2-5 hari setelah kemunculan tiba-tiba an-gin baratan maksimum (Rickenbach dan Rutledge, 1998). Akan tetapi, pada studi kasus penulis, suatu ke-jadian konvektif yang teroganisir dengan baik/teratur tidak teramati selama pasca fase kemunculan tiba-tiba angin baratan VIM (periode 3).

Lebih jauh lagi, mungkin terda-pat sifat-sifat yang berbeda didalam studi kasus penulis karena Sumatera terletak di tepian paling timur Samud-era Hindia dan memiliki kawasan pe-gunungan tinggi pada sisi baratnya (Sumatera). Interaksi antara samu-dera dan daratan kemungkinan menyebabkan sifat-sifat berbeda aktivitas konvektif di dalam VIM den-gan aktifitas konvektif VIM di dalam TOGA COARE, karena pengama-tan TOGA COARE dilakukan di atas samudera terbuka di Pasifik barat. Sehingga pada makalah ini, penu-lis juga akan memperhatikan per-

Artikel Ilmiah

Page 26: Majalah Cloud

26 Clouds Vol. 1 Nomor 1

bedaan-perbedaan aktifitas konvektif dari VIM antara TOGA COARE dan studi kasus penulis.

4. KesimpulanPada Juni 2002, aktivitas konvek-

tif di atas Samudera Hindia, benua maritim, dan Pasifik barat diperkuat secara signifikan oleh VIM. Tempera-tur kecerahan (brigthness) benda hitam yang diamati oleh GMS (TBB) menunjukkan bahwa 2 kluster super cloud (SCCs) tumbuh di atas Sam-udera Hindia (70 – 90 E) di paruh per-tama Juni 2002, dan berpropagasi ke arah timur dari Samudera Hindia ke Pasifik barat. Aktivitas konveksi juga meningkat di atas Pasifik barat (130 – 160 E) pada paruh selanjutnya bu-lan Juni 2002. Dari variasi temporal TBB, angin zonal pada 850 hPa, dan pergeseran vertikal angin horizontal diantara 700 dan 150 hPa, penulis mengklasifikasikan periode observa-si menjadi fase inaktif (1 – 9 Juni), fase aktif (10 – 19 Juni), fase pasca kemunculan mendadak angin bara-tan VIM (20 – 26 Juni). Selama fase inaktif VIM, aktivitas konveksi yang disebabkan oleh sirkulasi lokal ada-lah dominan diatas Sumatera.

Curah hujan lebat tercatat terjadi di atas daerah pegunungan Suma-tera selama fase inaktif VIM. Selama fase aktif VIM, kluster-kluster awan (CCs), yang tumbuh di bawah nau-

ngan konvektif SCC dengan periode 1-2 hari, kebanyakan menyebabkan pembentukan aktivitas konveksi diatas Sumatera. Curah hujan yang relatif besar teramati terjadi di atas daerah pegunungan Sumatera se-lama fase aktif VIM. pada fase pasca kemunculan mendadak angin bara-tan VIM, aktivitas konveksi tersupresi di atas Sumatera.

Sifat aktivitas konveksi yang dite-mukan diatas Sumatera relatif sama dengan yang ditemukan di samudera tropis dan Global Atmosphere/Cou-pled Ocean-Atmosphere Response Experiment (TOGA COARE). Akan tetapi, sirkulasi lokal memiliki per-anan penting dalam pembentukan aktivitas konveksi diatas Sumatera didalam fase inaktif VIM. (ths)

Referensi

1. DeMott, C. A. and Rutledge, S. A.: The ver-

tical structure of TOGA COARE convection.

Part I: Radar Echo Distributions, J. Atmos.

Sci., 55, 2730–2747, 1998a.

2. DeMott, C. A. and Rutledge, S. A.: The ver-

tical structure of TOGA COARE convection,

Part II: Modulating influences and implica-

tions for diabatic heating, J. Atmos. Sci.,

55, 2748–2762, 1998b.

3. Dunkerton, T. J. and Crum, F. X.: Eastward

propagating ~2- to 15-day equatorial con-

vection and its relation to the tropical in-

traseasonal oscillation, J. Geophys. Res.,

100, 25 781–25 790, 1995.

Artikel Ilmiah

Page 27: Majalah Cloud

Vol.1 Nomor 1 Clouds 27

4. Hendon, H. H. and Woodberry, K.: The di-

urnal cycle of tropical convection, J. Geo-

phys. Res., 98, 16 623–16 637, 1993.

5. Hendon, H. H. and Salby, M. L.: The life

cycle of the Madden- Julian oscillation, J.

Atmos. Sci., 51, 2225–2237, 1994.

6. Lau, K. M., Nakazawa, T., and Sui, C. H.:

Observations of cloud cluster hierarchies

over the tropical western Pacific, J. Geo-

phys. Res., 96, 3197–3208, 1991.

7. Lin, X. and Johnson, R. H.: Kinematic and

thermodynamic characteristics of the flow

over the western Pacific warm pool during

TOGA COARE, J. Atmos. Sci., 53, 695–

715, 1996.

8. Madden, R. A. and Julian, P. R.: Observa-

tions of the 40–50-day tropical oscillation –

A review, Mon. Wea. Rev., 122, 814–837,

1994.

9. Nitta, Ts. and Sekine, S.: Diurnal varia-

tion of convective activity over the tropical

western Pacific, J. Meteor. Soc. Japan, 72,

627–641, 1994.

10. Nitta, Ts., Mizuno, T., and Takahashi,

K.: Multi-scale convective systems dur-

ing the initial phase of the 1986/1987 El

Ni˜no, J. Meteor. Soc. Japan, 70, 447–

466, 1992.

11. Redelsperger, J.-L, Parsons, D. B., and

Guichard, F.: Recovery processes and

Artikel Ilmiah

Tri Handoko Seto, lahir di Banyuwangi pada tahun 1971. Menyelesaikan S1 di jurusan Fisika Universitas Brawijaya dan melanjutkan pendidikan S2 serta S3 di Kyoto University. Bergabung di UPT Hujan Buatan BPPT sejak tahun 1997, dan menjabat sebagai Ketua Kelompok Fisika Awan sejak 2010.

factors limiting cloud-top height follow-

ing the arrival of a dry air intrusion ob-

served during TOGA COARE, J. Atmos.

Sci., 59, 2438–2457, 2002.

12. Rickenbach, T. M. and Rutledge, S. A.:

Convection in TOGA COARE: Horizon-

tal scale, morphology, and rainfall pro-

duction, J. Atmos. Sci., 55, 2715–2729,

1998.

13. Rui, H. and Wang, B.: Development

characteristics and dynamic structure of

tropical intraseasonal convection anom-

alies, J. Atmos. Sci., 47, 357–379, 1990.

14. Saxen, T. R. and Rutledge, S. A.: Sur-

face rainfall-cold cloud fractional cov-

erage relationship in TOGA COARE:

A function of vertical wind shear, Mon.

Wea. Rev., 128, 407–415, 2000.

15. Weickmann, K. M. and Khalsa, S. J. S.:

The shift of convection from the Indian

Ocean to the western Pacific Ocean

during a 30–60 day oscillation, Mon.

Wea. Rev., 118, 964–978, 1990.

Page 28: Majalah Cloud

28 Clouds Vol. 1 Nomor 1

Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Sejarah Manusia

Adakah hubungan antara peruba-han iklim dengan peristiwa-peris-

tiwa bersejarah? Para ahli berusaha mencari jawabannya. Kemunduran kerajaan atau kekaisaran masa lalu seringkali dikaitkan dengan ketidakcakapan pemimpinnya atau serangan dari lawan. Namun, ada penelitian yang mencoba mencari hubungan antara perubahan iklim dengan berbagai peristiwa dalam sejarah. Ternyata ada beberapa peri-stiwa besar yang bertepatan dengan perubahan cuaca dan iklim.

Sebuah studi meneliti perubahan iklim musim panas di Eropa selama ribuan tahun dengan peristiwa-peris-tiwa sejarah yang terjadi selama peri-ode tersebut. Studi itu menghasilkan gambaran rinci tentang hubungan variabilitas iklim masa lalu dan pe-rubahan dalam sejarah manusia. Penelitian yang dipimpin oleh Willy Tegel (university of Freidburg) dan rekannya, ahli paleoklimatologi dari Swiss Federal Research Institute WSL, Ulf Buntgen, berkolaborasi dengan para arkeolog untuk mem-buat pusat data yang terdiri dari 9000-an potongan kayu dari 2500 ta-hun yang lalu. Sampel ini berasal dari pohon hidup, sisa bangunan, dan ar-tefak kayu lainnya. Semua sampel

berasal dari Jerman, Perancis, Italia dan Austria. Hasil studi mereka ini diterbitkan dalam versi online Jurnal Science pada 13 Januari 2011 lalu.

Dengan mengukur luas cincin per-tumbuhan tahunan kayu, para pe-neliti dapat menentukan suhu dan curah hujan tiap tahun. Untuk men-dapatkan suhu tahunan, para peneliti mengukur lingkaran-lingkaran dalam kayu dari pohon konifera yang tum-buh lebih cepat saat musim panas dan lebih lambat saat musim dingin datang. Untuk memperoleh tingkat curah hujan, para peneliti melihat lebar lingkaran di pohon oak yang tumbuh lebih cepat saat curah hu-jan tinggi. Mereka juga mengguna-kan metode lain untuk memastikan tahun-tahun yang diwakili lingkaran-lingkaran itu.

Hasilnya, analisis menunjukkan perubahan iklim yang kita alami sekarang, belum pernah terjadi dalam 2500 tahun terakhir. Karena data menghubungkan pola cuaca dengan tahun tertentu, para peneliti juga dapat memastikan cuaca dalam momen tertentu dalam sejarah. Data menunjukkan iklim mempengaruhi budaya dengan cara yang dramatis.

Contohnya pergeseran tidak biasa pola cuaca yang ekstrem antara ta-

TAHUKAH ANDA...

Page 29: Majalah Cloud

Vol.1 Nomor 1 Clouds 29

hun 250 hingga 550, bertepatan den-gan periode pergolakan politik dan ekonomi di Eropa. Saat pola cuaca kembali stabil pada sekitar tahun 700 sampai 1000, masyarakat kem-bali berkembang di pinggiran barat laut Eropa. Pada sekitar tahun yang sama, koloni Nordik berkembang di Islandia dan Greenland.

Iklim juga diduga memiliki peran

dalam epidemi Black Death yang m e n e w a s k a n setengah populasi Eropa pada tahun 1347. Selama pu-luhan tahun men-jelang wabah ini, penelitian men-unjukkan terjadi musim panas yang basah dan cuaca dingin. Kondisi ini kemungkinan menyebabkan melu-asnya kelaparan dan tingkat keseha-tan yang memburuk, sehingga orang-orang mudah terjangkit wabah.

Cuaca basah yang berkepan-jangan hingga 300 tahun yang mendorong penyebaran wabah pes

pada abad pertengahan, bertepatan dengan kemerosotan Kekaisaran Romawi. Contoh lainnya ada cuaca dingin pada awal abad ke-17 yang bertepatan dengan Perang Tiga Pu-luh Tahun di Eropa. Pada masa ini banyak orang meninggalkan Eropa dan bermigrasi ke Amerika. Mereka pergi bukan karena ada perang, tapi karena cuaca dingin.

Namun Buntgen menegaskan, penemuan korelasi ini tidak serta merta membuat perubahan iklim menjadi penyebab utama sejumlah

peristiwa berse-jarah. Dengan melihat masa lalu, penelitian ini da-pat membantu masyarakat mem-

persiapkan diri dengan lebih baik untuk perubahan iklim di masa men-datang. “Kita perlu memiliki pemaha-man yang lebih baik tentang sistem iklim masa lalu dan keberagamann-ya untuk memahami situasi saat ini”, ujar Buntgen.

TAHUKAH ANDA... TAHUKAH ANDA...

Page 30: Majalah Cloud

30 Clouds Vol. 1 Nomor 1

Dalam jurnal “Proceedings of The Royal Society, series B: Biological Sciences” pada 13 Juli 2011 me-nerbitkan sebuah artikel penelitian yang berjudul “Periodic climate cool-ing enhanced natural disasters and wars in China during AD 10 - 1900” yang menyebutkan bahwa selama periode 10 - 1900 masehi, bencana alam yang terjadi akibat perubahan iklim secara periodik telah mengaki-batkan pergantian dinasti China, di antaranya kehancuran dan keruntu-han dinasti Han, Tang, Song utara, Song selatan, Ming, dan lain-lain. Artikel ini juga menyebutkan, baik serangan dari luar maupun keka-cauan dari dalam sama sekali bukan disebabkan oleh faktor yang dikenal sebelumnya, seperti feodalisme, perseteruan kasta, ataupun tidak becusnya suatu dinasti, melainkan diakibatkan oleh iklim yang dingin.

Penelitian ini menggunakan me-tode analisis matematika, analisis wavelet, dan analisis statistik secara detail terhadap suhu udara, bencana alam, harga beras, wabah penyakit, wabah belalang, dan data peper-angan sejak 10 - 1900 masehi yang diperoleh dari inti es, lingkar tahun pada pohon, endapan di dasar da-nau, serta catatan sejarah.

Menurut pemahaman, setiap 2 derajat menurunnya suhu udara, masa tumbuhnya rerumputan akan

berkurang 40 hari, yang dapat men-gakibatkan pengaruh sangat buruk di padang rumput, terutama me-nyebabkan krisis pakan ternak. Kri-sis ini berefek langsung terhadap produksi hewan ternak, sehingga suku pengembara yang tinggal di daerah utara China yang relatif lebih mudah terkena dampak langsung perubahan iklim dingin ini terpaksa harus mengungsi ke selatan. Selama periode musim dingin sepanjang sejarah kuno Tiongkok, tercatat per-pindahan suku pengembara dari ut-ara dalam skala besar. Tercatat juga dalam sejarah China bahwa musim kemarau yang berkepanjangan aki-bat perubahan iklim menyebabkan terjadinya wabah belalang sehingga menimbulkan krisis pangan akibat rusaknya tanaman padi.

Artikel lainnya yang berjudul “Glob-al climate change, war and popula-tion decline in recent human history” juga membahas hal serupa selama periode 1400-1900 atau yang lebih dikenal dengan nama jaman es kecil. Jaman es kecil adalah periode pend-inginan yang terjadi setelah periode hangat abad pertengahan. Peruba-han iklim pada periode ini ditenggarai sebagai pemicu munculnya ekspansi dan ekspedisi pelayaran bangsa Eropa ke seluruh penjuru dunia teru-tama ke daerah-daerah tropis yang kaya akan rempah-rempah. (dh)

Tahukah Anda...

Page 31: Majalah Cloud

Vol.1 Nomor 1 Clouds 31

Rubrik Manajemen majalah Clouds edisi perdana ini akan coba diisi

dengan topik manajemen sumber daya manusia dan organisasi, meng-ingat pentingnya peranan SDM di dalam suatu organisasi. Artikel ini disarikan dari beberapa situs dan buku manajemen pengembangan SDM dan Organisasi, khususnya banyak disarikan dari buku karangan Anthony Dio Martin, seorang The Best EQ Trainer di Indonesia, yang berjudul “ Toxic Employee”. Karena terbatasnya jumlah halaman di ma-jalah Clouds ini maka bahasan men-genai toxic employee dibagi menjadi beberapa seri yang tiap serinya akan terbit pada edisi Clouds berikutnya.

Toxic Employee?Robert Payne, ahli sejarah serta

penulis biografi terkemuka mengata-kan, “The small Hitlers are around us every day” (Hitler-hitler kecil berada di sekitar kita setiap hari). Rasanya, ini tidak mengada-ada, Anda pasti setuju kalau di sekitar kita memang selalu ada orang yang perlu kita waspadai karena pikiran dan sikap mereka amat merusak. Namun me-nariknya, mereka sendiri sama sekali tidak menyadari bahwa pikiran dan sikap mereka bisa merugikan bagi

Toxic Employee (Seri-1)

orang lain.Hal ini betul-betul mirip seperti

yang terjadi pada Hitler yang se-benarnya. Sejarah mencatat Adolf Hitler memang telah menumpahkan darah banyak orang tetapi dia sendiri tidak pernah melakukannya secara langsung. Dalam buku “The Life and Death of Adolf Hitler” dikatakan bahwa Hitler telah menyebabkan hidup jutaan orang menjadi gila mau-pun masuk camp konsentrasi. Tetapi, saat dia melewati tempat yang dia hancurkan, tirai jendela mobilnya se-lalu ditutup agar tidak menyaksikan kerusakan yang dia timbulkan. Na-mun dalam tulisannya kepada Eva Braun, Hitler tetap saja mengatakan “…Selama tiga dekade, hanya kasih dan kecintaan kepada orang-orang saya yang telah menuntun pikiran, tindakan serta hidup saya selama ini. Merekalah yang sebenarnya memberi kekuatan bagi saya untuk segera mengambil keputusan-kepu-tusan yang sulit. Saya sendiri tidak mau terjadi kekacauan dan perang bagi Jerman di tahun 1939..”.

Adolf Hitler yang sesungguhnya telah lama meninggal, tetapi keny-ataan menunjukkan sifat-sifat yang sama masih sering kita temukan di sekitar kita. Sifat dari manusia pe-

RUBRIK MANAJEMEN

Page 32: Majalah Cloud

32 Clouds Vol. 1 Nomor 1

muja diri, yang merasa dirinya mel-akukan kebaikan, tetapi pada saat yang sama juga menghancurkan orang lain atau organisasi di mana dia hidup, termasuk tempat kerjanya.

Asal Mula Toxic EmployeeAsal usul toxic employee ini dari

bidang psikologi dijelaskan dalam beberapa teori, yaitu teori nature, nurture, dan teori lainnya. Teori pertama, teori nature mengatakan bahwa ‘kebiasaan buruk’ toxic em-ployee ini adalah bagian dari karak-ter yang sudah terbentuk sejak kecil. Sikapnya yang negatif dan meracuni sekelilingnya merupakan bagian dari kepribadiannya. Dengan kata lain, dalam DNA-nya sudah terdapat benih-benih toxic.

Teori kedua, teori nurture mengata-kan bahwa toxic employee terbentuk dari lingkungannya. Mulanya ia ada-lah karyawan yang baik dan positif, namun sejak ia banyak disakiti dan janji kepadanya tidak dipenuhi, ia mulai menjadi toxic.

Teori ketiga, teori ember kosong. Teori ini diambil dari konsep psikolo-gi positif yang dicetuskan Donald Cliffton. Pada prinsipnya teori ini mengatakan bahwa biasanya mere-ka-meraka ini adalah orang yang pahit dan punya pengalaman buruk sehingga output-nya pun jadi negatif.

Hampir mirip dengan teori nurture, hanya saja berdasarkan konsep ini, mereka mempunya ‘Rekening emosi pribadi’ yang kosong karena seu-mur hidupnya penuh dengan segala hal yang negatif. Hidupnya banyak diliputi mentalitas kekurangan, yang membuatnya sulit membagikan hal yang positif bagi orang lain dan cenderung ‘menghisap’ orang lain untuk keuntungan pribadinya.

Teori keempat, mengatakan asal muasal toxic employee adalah dari kondisi yang mendapatkan pengua-tan (reinforcement). Dengan perilaku mereka, justru mereka mendapat-kan tempat dan perhatian. Itulah sebabnya mereka mempertahankan sikap toxic mereka. Apalagi, jika si-kap mereka bisa membuat mereka dipromosikan.

Toxic Employee, Musuh Organisasi

Berikut ini 7 ciri-ciri atau kriteria si toxic employee: Ciri pertama dari tox-ic employee adalah cenderung untuk selalu berpikir negatif (negaholic) dan pesimis. Bila ditanya pendapatnya terhadap sebuah ide baru, mereka akan selalu bersikap negatif. Mereka akan mengeluarkan berbagai alasan kenapa suatu ide atau gagasan itu tidak mungkin dijalankan. Mereka selalu menemukan masalah atau

RUBRIK MANAJEMEN

Page 33: Majalah Cloud

Vol.1 Nomor 1 Clouds 33

kendala di balik ide-ide cerdas. Ini bertolak belakang dengan pengala-man orang-orang sukses yang justru menemukan ide-ide kreatif di balik masalah. Kalaupun tidak di depan Anda, mereka sering kasak-kusuk di belakang dengan mengatakan ide-ide baru itu sudah pernah dilakukan orang lain atau tidak bakal bisa diap-likasikan. Mereka belum mencoba, tetapi sudah berpikir negatif lebih dulu.

Ciri kedua dari toxic employee ada-lah mereka menjadi duri dalam dag-ing bagi tim. Akibatnya, energi tim lebih banyak dihabiskan untuk men-gurusi mereka daripada memikir-kan dan melaksanakan ide sebuah proyek. Pikiran, sikap, dan tindak-tanduk mereka menyita banyak per-hatian dan energi tim. Orang-orang tidak fokus lagi untuk memajukan proyek dan justru kehabisan energi untuk meladeni pikiran dan kritikan dari si toxic employee. Intinya, toxic employee mengurangi laju perkem-bangan kerja tim.

Ciri ketiga dari toxic employee adalah mereka lebih banyak menjadi ‘masalah’ ketimbang memberikan ‘solusi’. Kadangkala mereka san-gat kritis dan jeli dalam melihat per-masalahan. Tetapi ujung-ujungnya mereka tidak akan bergerak dari masalah. Umumnya mereka senang melemparkan masalah dan mening-

galkan tim dalam kondisi bingung. Setelah itu, mereka hengkang tanpa meninggalkan solusi apapun.

Ciri keempat dari toxic employee adalah egosentris (self centered). Dalam berbagai situasi, mereka bisa tampak melontarkan ide cemerlang yang bertujuan demi kepentingan banyak orang dan perusahaan. Tapi ujung-ujungnya hanyalah kepentin-gan sendiri yang ia pikirkan. Pernah ada seorang karyawan toxic yang menjadi pentolan serikat buruh pe-rusahaan. Bersama dengan kawan-nya, mereka menuntut perusahaan mereka yang suka meminta lembur. Pembelaan yang mereka bawa yaitu, karyawan perlu lebih banyak waktu untuk keluarga. Ide ini nampaknya cukup humanis dan etis. Tetapi tanpa sepengetahuan teman dan perusa-haannya, ia punya kepentingan lain. Ia tidak ingin terlambat untuk mengu-rusi klinik kesehatan yang dibangun oleh istrinya. Jadi, ia ingin pulang on-time agar bisa mengurus kliniknya. Di sisi lain, ia tergolong cukup egois dalam kerja. Kalau pekerjaannya se-lesai, ya sudah. Ia tidak peduli men-genai kualitas hasil kerjanya.

Ciri kelima dari toxic employee ada-lah emosional. Hal menjengkelkan dari toxic employee adalah tempera-mennya yang emosional. Bila ditegur atau dikritik, mereka bisa menjadi sangat sensitif dan defensif. Kritik

Rubrik Manajemen

Page 34: Majalah Cloud

34 Clouds Vol. 1 Nomor 1

KARIKATUR FAdinilai sebagai serangan pada di-rinya. “Ah, paling-paling yang bilang begitu, ngga suka dan sentimen atau iri dengan saya”, itulah pikirannya dalam hati. Akibatnya, orang-orang ini menjadi sulit me-nerima masukan dan feedback dari orang lain.

Ciri keenam dari toxic employee adalah suka menyebar gosip dan berita negatif. Gosip yang mereka lontarkan mampu mempengaruhi semangat dan budaya kerja. Aki-batnya, aroma kecurigaan menguat di dalam tim. Orang menjadi mudah berprasangka negatif. Dalam situasi macam ini, justru dialah yang ser-ing dijadikan tempat curhat. Inilah momentum baginya untuk menye-barkan virus-virus pikiran negatif dan kecurigaan kepada semakin banyak orang.

Ciri ketujuh dari toxic employee adalah ia tidak pernah bersyukur. Saat mendapatkan hal-hal baik, orang-orang macam ini tidak mampu mengungkapkan rasa syukur. Mere-ka berdalih perusahaan/organisasi memang sudah sepantasnya berlaku seperti itu. Tidak ada sedikitpun rasa terima kasih pada perusahaan atas hal-hal baik yang sudah diterimanya. Mereka suka mengeluh dan mencari sisi-sisi negatifnya, daripada melihat sisi positifnya.

Nah untuk membahas satu per-satu ciri-ciri toxic employee ini dan

cara menanganinya akan dilanjutkan pada edisi Clouds berikutnya. (dh)

Referensi:

1. http://www.corporateheights.com/core-characteristics-toxic-em-ployee/

2. http://www.smallbusinessmoney.org/toxic-employees.html

3. Anthony Dio Martin, Toxic employ-ee, HR Excellency, Jakarta, 2009.

4. http://www.cartoonstock.com/directory/s/suit_up_and_show_up.asp

5. http:/ /www.entrepreneurmag.co.za/advice/ staff/labour-com-

Rubrik Manajemen

Page 35: Majalah Cloud

Vol.1 Nomor 1 Clouds 35

KARIKATUR FA

Page 36: Majalah Cloud

36 Clouds Vol. 1 Nomor 1