MAHKAMAH AGUNG DAN GAGASAN KEKUASAAN KEHAKIMAN …

15
Mahkamah Agung dan Gagasan Kekuasaall Kehakillulll yang Ideal MAHKAMAH AGUNG DAN GAGASAN KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG IDEAL Eman Suparman i Penlliis anikel membahas keberadaall Mahka- /Ilah Agung dan segenap permasalahanflya. Penillis juga mengangkat perdebatan akademis remwlg sumber legalislis kekuasaan keha- kimall. Kriteria kekuasaall kehakimall yal1p, ideal Juga menjadi pembahasan dalam orrikel ini. Lebih rind lagi. penulis juga mengal1gkar persoalall klasik. yailu bagaimana melVlljudkall kekuasaan kehakiman yang merdeka. I. Latar Belakang Pennlisan dan Perumnsan Masalah 241 Melalui judul di alaS penulis hendak mencoba mengurai pema- haman alas dua frase 2 yang dalam wacana hukum di Indonesia. kedua Frase itu telah dipertautkan dan sangat lazim dipahami, yaitu Frase "Mahkamah Agung" dan frase "Kekuasaan Kehakiman". Masing-masing Frase tersebur boleh jadi memiliki pengertian sendiri-sendiri, yang bisa saja berbeda atau mungkin juga sama. Akan tetapi dalam kenyaraannya, kedua Frase di atas. telah lama bertaur atau dipertaurkan sehingga dalam wacana Hukum Indonesia memiliki makna tertemu ya ng utuh. Makna tertentu yang utuh tersebut dapat dijumpai dalam pasal 24 ayat (I) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD '45) yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: I Pengaj<lr pada Fakullas Hukulll UNPAD Bandung, sedang S3 [lada POIH UNO IP Semarang. 2 Dalam Kamus Besar Bahasa Indone sia, kala frasa (frase) her,u li gahungan uua kala alau lehih yang be rsifa l nonpredikalif. Dalam konteks lulisan herikut ini. "Mahkamah Agung" dianggap schagai sa lu frase, hegilu juga haln ya dengan "Kekuasaan Kchakiman". olch karena itu judul tulisan di alas akan tampak lerdiri alas dua frase. Nomor 3 Tahun XXX

Transcript of MAHKAMAH AGUNG DAN GAGASAN KEKUASAAN KEHAKIMAN …

Page 1: MAHKAMAH AGUNG DAN GAGASAN KEKUASAAN KEHAKIMAN …

Mahkamah Agung dan Gagasan Kekuasaall Kehakillulll yang Ideal

MAHKAMAH AGUNG DAN GAGASAN KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG IDEAL

Eman Suparman i

Penlliis anikel membahas keberadaall Mahka­/Ilah Agung dan segenap permasalahanflya. Penillis juga mengangkat perdebatan akademis remwlg sumber legalislis kekuasaan keha­kimall. Kriteria kekuasaall kehakimall yal1p, ideal Juga menjadi pembahasan dalam orrikel ini. Lebih rind lagi. penulis juga mengal1gkar persoalall klasik. yailu bagaimana melVlljudkall kekuasaan kehakiman yang merdeka.

I. Latar Belakang Pennlisan dan Perumnsan Masalah

241

Melalui judul di alaS penulis hendak mencoba mengurai pema­haman alas dua frase2 yang dalam wacana hukum di Indonesia. kedua Frase itu telah dipertautkan dan sangat lazim dipahami, yaitu Frase "Mahkamah Agung" dan frase "Kekuasaan Kehakiman". Masing-masing Frase tersebur boleh jadi memiliki pengertian sendiri-sendiri, yang bisa saja berbeda atau mungkin juga sama. Akan tetapi dalam kenyaraannya, kedua Frase di atas. telah lama bertaur atau dipertaurkan sehingga dalam wacana Hukum Indonesia memiliki makna tertemu yang utuh. Makna tertentu yang utuh tersebut dapat dijumpai dalam pasal 24 ayat (I) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD '45) yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

I Pengaj<lr pada Fakullas Hukulll UNPAD Bandung, sedang S3 [lada POIH UNO IP Semarang. 2 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kala frasa (frase) her,uli gahungan uua kala alau lehih yang bersifal nonpredikalif. Dalam konteks lulisan herikut ini. "Mahkamah Agung" dianggap schagai salu frase, hegilu juga halnya dengan "Kekuasaan Kchakiman". olch karena itu judul tulisan di alas akan tampak lerdiri alas dua frase.

Nomor 3 Tahun XXX

Page 2: MAHKAMAH AGUNG DAN GAGASAN KEKUASAAN KEHAKIMAN …

242 Hukul1l dan PembangunGn

"Kekuasaan kehakiman dilakukan aleh sebuah Mahkalllah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-ulldang ".

Dari rumusan pasal di atas, sepimas dapat diketahui bahwa apa yang disebut dengan Mahkamah Agung adalah salah saw bad an atau lembaga yang memiliki tug as melaksanakan kekuasaan kehakiman. Oleh karena, menurut pasal tersebut, di samping Mahkamah Agung masih ada lain-lain badan kehakiman yang juga menjadi pelaksana kekuasaan kehakiman yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang.

Terhadap persoalan di atas penulis tertarik untu k melakukan kajian lebih lanjut. Adapun salah saw alasan mengapa masalah kekuasaan kehakiman yang ideal ini menarik untuk dikaji. karena penlliis mencermati selama ini ada sinyalemen dari berbagai kalangan bahwa telah terjadi gangguan terhadap badan-badan pelaksana kekuasaan kehakiman dalam mewujudkan gagasannya yang ideal. Dalam kerangka rencana kajian tersebut. terdapat beberapa masalah yang perin ditelusuri jawabannya lebih lanjut, adalah sebagai berikut:

I. Apakah yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman itu? 2. Dari manakah sumber kekuasaan kehakiman yang harus dilaksanakan

oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menu rut Undang-undang tersebut?

3. Apakah kriteria kekuasaan kehakiman yang ideal itu? 4. Faktor-faktor apakah yang mungkin dapat mempengaruhi pelaksanaan

kekuasaan kehakiman yang merdeka?

II. Beberapa Batasan dan Pengertian

"Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia" . J

Pengertian kekuasaan Negara yang merdeka, dimaksudkan bahwa kekuasaan kehakiman terpisah dari kekuasaan pemerimahan dan kekuasaan Perundang-undangan serta merdeka dari pengarllh kedua kekuasaan itu. Untuk hal tersebut dengan jelas dapat dijumpai dalam penjelasan resmi pasal 24 dan 25 UUD '45. Bahkan penjelasan terse but masih menguraikan sebllah harapan yakni: " ... berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam Undang-undang tentang kedudukan para hakim. Jaminan tentang

J Liha( Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketellluan-Kctentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, LNRI Tahun 1970 No. 74.

luli - September 2000

Page 3: MAHKAMAH AGUNG DAN GAGASAN KEKUASAAN KEHAKIMAN …

Mahkamah Agung da/l Gagasan Kekuasaan Kehakima/l ya/lg Ideal 243

kedudukan para hakim yang dimaksud dalam kaitan ini tidak lain adalah jaminan kemandirian hakim sebagai aparatur penyelenggaraan peradilan, termasuk di dalamnya jaminan peningkatan kesejahteraan para hakim. "Kesejahteraan para hakim yang dimaksud antara lain melipUli gaji serra tunjangan para hakim sebagai pejabat negara dengan segala konsckuensinya'" Upaya ke arah itu telah lama dilakukan oleh pemerintah. Salah satu bukti dari upaya tersebut adalah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1994 tentang Peraturan Gaji Hakim. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) tersebut gaji pokok hakim dinaikkan 100 % sehingga jumlahnya menjadi dua kali lipat gaji pokok Pegawai Negeri Sipil (PNS). Terhadap kebijakan itu seorang penulis memberi komentar: " ... Illerupakan sesuatu yang menggembirakan Illengingat selama ini sebaga i PNS gaji pokok hakim disamakan dengan gaji pokok PNS lain yang jelas tidak seimbang dengan beratnya tugas dan tanggung jawab hakim".'

Masalah pro dan korma tentang adanya perbedaan sistelll penggajian antara hakim dengan PNS yang bukan hakim tidak terlalu menarik untuk dikaji. Akan tetapi adanya asumsi bahwa tanggung jawab hakim lebih berat dari PNS lainnya , juga tidak seluruhnya dapat diterima. Yang pasti profesi PNS yang bernama hakim yang se lama ini masih menjadi salah satu bagian dari kekuasaan eksekutif memang dituntut sikapnya yang mandiri serta memiliki kemerdekaan sikap dalam menjatuh­kan putusannya. Oleh karena itu hakim sebagai organ pelaksana kekuasaan kehakiman, idealnya memang merupakan pejabat negara yang bukan bag ian dari PNS, sehingga tidak bernaung di bawah kekuasaan eksekutif dengan berbagai macam atributnya yang kaku.

Sebagaimana telah diketahui bahwa kekuasaan negara itu terdiri atas tiga jenis. yaitu: (I) kekuasaan legislatif, (2) kekuasaan yudikat if (kekuasaan kehakiman), dan (3) kekuasaan eksckutif. Berdasarkan isyarat konstitusi di atas , maka " ... kedua kekuasaan yang berada berdampingan dengan keh:uasaan kehakiman itu tidak boleh mencampuri segal a urusan peradilan yang merupakan realisasi Kekuasaan Kehakiman".'

Sementara itu yang dimaksud dengan peradilan sebagai realisasi dari kekuasaan kehakiman mengandung artie menerima. memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan. Atau dengan kata lain, "peradilan adalah pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya

4 AI Wisnubroto, "Hakim dan Peradiillll lIi indoflexia datam lJeberapa aspek kqiial1" . Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya , 1997, hal. 18. , Ihid., hal. 38. ft K. Wanljik Saleh, .. Kehakiman dan Peradilafl". Jakarta: Simbur Cahaya. 1976, hal. 17 .

Nomor 3 Tahun XXX

Page 4: MAHKAMAH AGUNG DAN GAGASAN KEKUASAAN KEHAKIMAN …

244 Hllkillll daJl Pelllbullglllll.m

tllntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan uiadakan oleh negara serta be bas dari pengaruh apa atau siapa pun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan benujuan mencegah 'eigenricluing' n. 7

Jika demikian tugas pokok dari kekuasaan kehakiman, maka pemberian kebebasan kepada kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan peradilan memang sudah se layaknya. Ha l itu disebabkan karena perbuatan mengadili adalah perbuatan yang luhur ullluk memberikan suatu rlltusan terhadap suatu perkara yang scmata-lllata harus didasarkan kepada kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Oleh karena ilU kekuasaan kehakilllan lllernang mutlak " ... harus dijauhkan dari tekanan atau pengaruh dari pihak manapun, baik oknum, golongan dalam Illasyarakat. apalagi yang nalllanya kekuasaan pemerintahan yang biasanya memiliki jaringan yang kuat dan luas. sehingga dikhawatirkan pihak ya ng lemah akan dirugikan" x

Mahkamah Agung sebagai salah satu badan yang mclakukan kekuasaan kehakilllan , didefinisikan dalam Undang-Undang tentang Mah­kamah Agung, sebagai berikut: " Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Teninggi dari semua lingkungan peradilan. yang dalam melaksana­kan tugasnya ter lepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain"." Sedangkan dalam pasal I Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985. Mahkamah Agung disebut juga Lelllbaga Tinggi Negara sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan Maje lis Permusyawaratan Rakyat RI Nomo,. III /M PRII978.

III, SlIlIIber-sllmber Kekuasaan dan Kckllasaan Kehakiman

Sebagai salah satu bentuk kekuasaan di dalam negara . Kekuasaan Kehakiman (kekuasaan yudikatif) sebenarnya setara dengan kekuasaan­kekuasaan negara yang lainnya , seperti eksekutif dan legislatif. Namun UUD '45 teramat singkat sehingga sama seka li tidak Illenyebutkan dari mana sumber kekuasaan kehakiman itu berasa!. Demikian pu la halnya mengenai "susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu. UUD '45 menyerahkan pengaturan selanjutnya kepada undang-undang" (Pasal 24 ayat (2) UUD '45). Oleh karena itu kemudian lahir Undang-undang tentang Ketentuan-ketenruan Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 tahun 1970.

7 R.M. SmJikno Mertokusul1lo. Sf.Hem Peradilall di Indol1e.ria: dalam .Jurnul lIukum, No. 9 Vol. 4 Tahun 1997. hal. 2. x K. Wamj ik Saleh, Or. Cil.. hal. 17. 'I Lillat Pasa! 2 UU NO!l1or 14 Tabun 1985 tcntang Mahkalllah Agung. LNRf 1985 No. 73 .

.illii - Seplemher 200()

Page 5: MAHKAMAH AGUNG DAN GAGASAN KEKUASAAN KEHAKIMAN …

Mahkalllah Agung dan Gagasan Kekuasaall Kehakiman yang Ideal 245

Undang-undang tersebut keluar sekaligus mencabut undang-undang sebelumnya yang dianggap "lidak merupakan pelaksanaan murni dari pasal 24 UUD '45 karena memuat kelentuan-ketentuan yang bertentangan dengan UUD '45"-"

Sepintas akan dikaji terlebih dahulu mengenai hakikat kekuasaan dan sumber-sumbernya. Mochtar Kusumaatmadja di dalam tulisannya per­nah mengemukakan perihal kekuasaan dan sumbernya . Hakikat kekuasaan menurut Mochtar Kusumaatmadja , "dalam pelbagai bentuknya itu tetap sam a yaitu kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya pad a pihak lain"." Selanjutnya beliau mengemukakan: Kekuasaan ilu sendiri (an sich) tidak baik atau buruk, tergantung (daripada) bagaimana kita menggunakannya. la merupakan suatu unsur yang mUllak bagi kehidupan masyarakal yang tertib bahkan setiap bentuk organisasi yang teratur. Akan tetapi karena sifat-sifat dan hakikatnya, kekuasaan itu llntuk dapat bermanfaat harus ditetapkan ruang lingkup, arah, dan batas-batasnya. Untuk itu kita membutuhkan hukum. Sekali ditelapkan hendaknya pengaturan kekuasaan dipegang teguh. Inilah inti dari pengertian bahwa kekuasaan ilu harus tunduk pada hukum."

Adapun sumber kekuasaan dapat bermacam-macam. Dari tlilisan Mochtar Kusumaatmadja di atas, dapat dicermali kemudian disimpulkan bahwa sumber kekuasaan itu dapat berupa: (I) wewenang formal (format authority), (2) kekuatan fisik, (3) pengaruh politik atau kegamaan, (4) kekuatan senjata, (5) kekayaan (uang) atau kekuatan ekonomi lainnya, dan (6) dalam keadaan-keadaan tertentu kejujuran atau moral yang tinggi dan pengetahuan juga tidak dapat diabaikan sebagai sumber-sumber kekuasaan.13

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kekuasaan didefinisikan sebagai: "Kemampuan orang atau golongan untuk menguasai orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang, karisma, atau kekualan fisik". Pengertian ini sejalan dengan apa yang telah dikemukakan di atas, hanya sedikit bedanya yakni di atas tidak disebulkan unsur karisma sebagai salah satu sumber. Unsur karisma dirasakan perlu untuk diulas, karena karisma nuansanya sedikit berlainan dengan kejujuran atall moral yang

10 Libat Konsiderans Menimbang huruf '"a" dari Undang-umlang Nomor 14 Tailun 1970. II Mochtar Kusumaatmadja. Fungs; dOll Perkembangon Hukum da/am Pembangullofl Nasiona/; dalam Majalah I1mu Hukum PADJADJARAN, Nomor 1 Tahun 1970, hal. 9. 12 Ibid., hal. 10. n Or. Cit., hal. 9.

Nomor 3 Tahun XXX

Page 6: MAHKAMAH AGUNG DAN GAGASAN KEKUASAAN KEHAKIMAN …

246 HukU1J1 dan Pelllbangwza1Z

tinggi, sebagaimana disebut sebagai salah salU sumber kekuasaan di atas. Karisma mengandung arti "keadaan atau bakat yang dihubungkan dengan kemampuan yang luar biasa dalam hal kcpemill1pinan seseorang untuk mcmbangkitkan pemujaan dan rasa kagum dari masyarakal lerhadap dirinya". Mungkin saja karisma dapat lahir karena seseorang memiliki kejujuran atau moral yang amal linggi atau lerpuji . Akan lelapi belum lentu sebaliknya, seseorang yang ber-karisma lamas otomatis ia mcmiliki keju­juran atau moral yang tinggi.

Menyimak paparan di alas, lampaknya kekuasaan kehakiman yang diamanatkan oleh UUD '45 untuk diselenggarakan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman mcnurut undang-undang, boleh jadi sumbernya semata-mata pad a wewenang formal. Artinya wewenang yang dipero leh resmi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang sail. Manakala demikian, maka Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dengan segala perubahan dan perbaikannya melalui undang-undang yang baru dan Undang-undang Nomor 14 Talmn 1985 tentang Mahkamah Agung, menjadi sumber bagi penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Jika sumber kekuasaan kehakiman dapal dipastikan berasal dari ketentuan undang-undang yang mengatur kekuasaan tersebu!, itu berarti dapat dirunut bahwa sumber asli dari kekuasaan kehakiman pad a hakikatnya juga be rasa I dari rakyat. Mengapa demikian? Hal itu disebabkan Undang-undang yang menjadi dasar kekllasaan kehakiman itu dihasilkan bersama oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (pasal 5 ayat (I) UUD '45). Akan tetapi, hingga tulisan ini disusun penulis belul11 pernah mengetahui perihal adanya kewajiban penyelenggara kekuasaan kehakiman untuk menyampaikan pertanggung-jawaban atas tugas dan kewajibannya kepada seluruh rakyat sebagai pemberi kekuasaan. Bahkan mengenai hal itu pun sama sekali tidak pernah dianggap penting untuk dilakukan, karena selama ini kekuasaan kehakiman dianggap merupakan bag ian dari kekuasaan eksekutif. sehingga cukup jika yang melaporkan tanggung jawabnya dilakukan oleh Presiden saja.

Sebuah perkembangan baru di negara ini yakni terhilung mulai tanggal 29 Oktober 1999 urusan-urusan yang berkaitan dengan kekllasaan kehakiman dicoba dieliminir dari lingkungan kekuasaan eksekutif. Salah satu upayanya antara lain dihapus dan berganti namanya Departemen Kehakiman menjadi Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Upaya ini tentu saja bermaksud mengeluarkan urusan-urusan yang berkenaan dengan organ peradilan yang adalah penyelenggara kekuasaan kehakirnan dari tubuh eksekutif. Lebih lanjut urusan organ peradilan dari tingkat yang

iuli - September 2000

Page 7: MAHKAMAH AGUNG DAN GAGASAN KEKUASAAN KEHAKIMAN …

Mahkamah Agullg dall Gagasan Kekuasaan Kehakiman yang Ideal 247

paling rendah hingga yang tertinggi seyogianya harus di urus oleh lembaga yudikatif sendiri.

Lima dekade lebih sedikit, Departemen Kehakiman tercatat dalam skenario sejarah penegakkan hukum di Indonesia telah memerankan fungsinya sebagai penguasa at as separoh sosok pribadi hakim. Separoh bag ian yang lainnya dikuasai oleh Mahkamall Agung sebagai salah salU badan penyelenggara kekuasaan kehakiman. Buktinya. golongan, pangkal. serta penghasilan dan sistem penggajiannya selal11a itu berada di bawah kendali Departemen Kehakiman (eksekutif). Sememara itu urusan yang menyangkut benar atau tidaknya, baik atau buruknya dalam memberikan pertimbangan putusan, Mahkal11ah Agung-lah (yudikatif) yang berkompeten 1I11luk menilai hakil11 bawahan pad a pengadilan rendahan.

Semoga saja hal itu merupakan salah satu upaya ke arah pemurnian kembali dari pelaksanaan pasal 24 UUD '45 yang selama kurun yang lampau seakan kurang dihiraukan pembiasannya. Sebagaimana telah dikemukakan di atas , tuntutan dari UUD '45 itu sendiri sudah amat jelas, yakni kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka. artinya terlepas 'dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Demikian strategisnya kekuasaan kehakiman dalam konteks kekuasaan negara dalam arti makro, sehingga si penyusun penjelasan resmi UUD '45 menguraikan seperti itu. Oleh karena itu tidak memiliki cukup alasan untuk mengatakan bahwa mekanisme penyelenggaraan negara Indonesia berdasarkan UUD '45 itu berlandaskan pada asas kekeluargaan. Akibat penafsiran asas kekeluargaan yang keliru dan bias itulah maka selama ini sendi-sendi utama dalam berbangsa dan bernegara, khususnya menyangkut kekuasaan kehakiman menjadi menyim­pang dari konstitusi yang telah disepakati para pendiri negara ini.

IV. Kriteria Kekuasaan Kehakiman yang Ideal

Kata "Ideal" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti "sesuai dengan yang dicita-citakan atau diangan-angankan atau dikehen­daki". Dalam kehidupan masyarakat manusia. sesua[U yang dicita-citakan atau diangan-angankan oleh setiap manusia yang sehat jasmani dan juga berakal sehat, seialu sesuatu yang baik. Ukllran baik itu sendiri harus objektif dan universal. Kriteria baik sekurang-kurangnya harus didasarkan pacta tiga ukuran, yakni: (I) Baik berdasarkan aturan Tuhan Yang Maha Pencipta, (2) Baik menurut aturan dan kesepakatan masyarakat manusia yang sehat dan berakal sehat di mana pun dan apa pun bangsanya, serta (3) Baik menu rut individu yang menilai dan mel11iliki sifat dan kecenderungan untuk baik itu sendiri.

Namar 3 Tahun XXX

Page 8: MAHKAMAH AGUNG DAN GAGASAN KEKUASAAN KEHAKIMAN …

248 flukum dall Pembungwlall

Dalam konteks gagasan kekuasaan kehakiman yang ideal, tentu saja kriteria kekuasaan kehakiman yang ideal itu sebagaimana yang dicita­citakan atau diangan-angankan oleh para pendiri Republik Indonesia. Hal itu jeI.as dapat dijumpai dari pasal 25 dan 24 UUD '45 beserta penjeJasan resminya. Adalah sangat autentik keinginan para perumus UUD '45 untuk menciptakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Persoalannya kemudian, mengapa para penye­lenggara negara ini dalam perjalanan sejarahnya membuat penafsiran yang lain dari apa yang dicita-citakan atau diangan-angankan para pendahulunya itu? lawaban untuk hal itu tidak mudah untuk dicarL Tulisan ini pun tidak bermaksud untuk mencari jawaban tersebut. Namun sekurang-kurangnya berusaha mengingatkan bahwa selama ini telah berlangsung sesuatu tin­dakan yang kurang sesuai dengan harapan semula para pendiri negara inL

Upaya pemurnian pelaksaan pasal 24 dan 25 UUD '45 sebenarnya telah dilakukan tatkala UU Nomor 14 Tahun 1970 diundangkan. Di dalam pasal I Undang-undang tersebut kembali ditegaskan cita-cita konstitusi di atas, yaitu: "Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan ... ". Penjelasan pasal tcrsebut kembali menegaskan bahwa "kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandung arti kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya .. ".

Demikian pula ketika Undang-undang Nomor 14 Tal1Un 1985 tentang Mahkamah Agung diundangkan, upaya penegasan akan cita-cita kekuasaan kehakiman yang merdeka itu diulang kembali. Pasal 2 UU Nomor 14 Tahun 1985, tegas menyebut: "Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya ter/epas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh­pengaruh lain" ."

Dalam hal pengangkatan Hakim Agung, Undang-undang Mahka­mah Agung mengatur bahwa "Hakim Agung diangkat oleh Kepala Negara daTi daftar nama calon yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat" [pasal 8 ayat (I)]. Apakah pasal ini telah mengindikasikan bahwa pengisian lembaga tinggi negara yang bernama Mahkamah Agung itu telah sesuai dengan cita-cita konstitusi UUD 1945 atau tidak, yang pasti DPR sebagai wakil rakyat telah terlibat dalam pencalonannya. Demikian pula jika diperhatikan siapa yang mengangkat Hakim Agung, adalah Kepala Negara. Meskipun di Indonesia Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dipegang

14 Cetak miring oleh penulis. Eman Suparman

Juli - September 201XJ

Page 9: MAHKAMAH AGUNG DAN GAGASAN KEKUASAAN KEHAKIMAN …

Mahkalllah Agung dan Cagasan Kekuasaan KehakilllQll rang Ideal 249

oleh saLU orang, nalllun tugas, kewajiban. hak. dan wewenang kedua jabatan ilu secara konstitusional berlainan.

Dalalll rangka Illelakukan kaj ian alas kClllerdekaan kekuasaan kehakilllan ini. ada baiknya jika disilllak lebih lanjul secara saksallla Undang-undang tentang Mahkalllah Agung NOlllor 14 Tahun 1985. Masalahnya Undang-undang tersebul di sana sini Illasih mengandung anasir -anasir rencampur-bauran kekuasaan . Secara subslans ial Undang-undang lentang Mahkamah Agung masih Illemberikan IOlerans i atas keterlibatan kekuasaan eksekutif terhadap yudikatif. AkibalIlya UU tersebut masih rnengesankan kuatnya pengaruh pemerimah terhadap kekuasaan kehakiman di dalalllnya. Buktinya, mari disimak penjelasan resmi atas pasal 8 UU Nomor 14 Tahun 1985 tersebut.

Dalam ayat (I) diuraikan: "Daflar nama ca lon Hakim Agung yang berasal baik dari kalangan Hakim karier maupun dari lu ar kalangan Hakim karier disusun berdasarkan konsultasi amara Dewan Perwakilan Rakyal. Pemerimah, dan Mahkamah Agung ya ng pelaksanaannya disesuaikan dengan kelemuan yang berlaku bagi lembaga masing-masing '· .

Dalam ayat (2) diuraikan: " Yang dimaksud dengan "Pemerimah" adalah Memeri yang bersangkutan".

Dari penjelasan dua ayat di atas cliperoleh gambaran be tapa pengaruh pemerintah terhadap kekuasaan kehakiman belulll sama sekali tereliminasi. Terbukti Undang-undang lentang Mahkamah Agung m3sih memual ketentuan semacam itu. Lebih-Iebih penjelasan ayal (2) ya ng tegas menyebur Pemerimah adalah Menteri yang bersangkutan. Sangal kental nuansa keterlibaran kekuasaan eksekulifnya di sana. Oleh karena yang dilllaksud dengan Memeri dalam ayat ilu lidak lain aclalah tvIenteri Kehakiman , ketika itu. Bukankah persoalan campur tangan kekuasaan eksekul if itulah yang Illenjadi iSll sentral tidak merdekanya kekuasaan kehakiman selama ini?

Masalah sela njumya adalah bagailllana Illungkin Mahkamah Agung sebaga i penyelenggara kekuasaan kehakiman dapat sepenuhnya merdeka. sedangkan pengisian organ-organnya saja yakni para hakim agungnya e1iangkal dengan keterlibatan pemerintah?

Apabila demikian adanya norma yang mendasari kekuasaan keha­kiman di Indones ia, maka bukan gagasannya yang lidak ieleal. tetapi kecen­derungan pemerimah sendiri yang terlaiu luas jangkallan kekuasaannya. Oleh karena itu sangat beralasan jika dalam menyongsong "Era Indo nesia Baru " sebelum Kabinet Persatuan Nasional 1999-2004 lerbentuk. Majelis Permllsyawaratan Rakyat (M PR) berupaya mengamandemen UUD '45.

Nomor 3 Tatum XXX

Page 10: MAHKAMAH AGUNG DAN GAGASAN KEKUASAAN KEHAKIMAN …

250 Hukul11 dan Pembangullan

Upaya tersebut terutama dilakukan umuk mereduksi kecenderungan terlalu luasnya kekuasaan pemerintah (Presiden) berdasarkan UUD '45 terhadap kekuasan-kekuasaan negara yang lainnya.

Demikian jelasnya apa yang menjadi ius constituendum (das sollell) dari para founding fathers Republik Indonesia tentang kekuasaan keha­kiman yang ideal. Jib dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia kemudian diinterpretasikan berbeda dengan cita-citanya semula. bukan berarti Indonesia tidak pernah memiliki gagasan ideal tentang kekuasaan kehakiman. Tugas utama para penyelenggara negara di masa-masa yang akan datang ada lah mengembalikan kekuasaan kehakiman itu kepada porsi yang sesuai dengan das sollen-nya.

Barangkali ada baiknya sedikit menengok apa yang pernah diupaya­kan semasa Pemerintahan Orde Lama. Ketika itu tahun 1956 sejumlah hakim. termasuk diantaranya dua orang Hakim Agung. menyusun sepe­rang kat usulan untuk pasal-pasal konstitusi yang berkenaan dengan organisasi dan kekuasaan kehakiman. "Pasal-pasal tersebut memuat ketentuan, antara lain. organisasi kehakiman yang mandiri. dipimpin dan dike lola oleh Mahkamah Agung, dengan pengangkatan sebagai hakim untuk seumur hidup"." Terhadap hal tersebut Lev selanjutnya memberikan komentar, " ... berarti harus dilepaskannya pengadilan dari Kementrian Kehakiman dan dikuranginya pengawasan pihak eksekutif terhadapnya. Menurutnya, Wirjono Prodjodikoro menggambarkan Kabinet dan Mahka­mah Agung setaraf, masing-masing tunduk pada kemauan Parlemen. Kabinet mengangkat pegawainya sendiri dan Mahkamah Agung meng­angkat dan mengelola para hakim"."

Tindakan menghapus Departemen Kehakiman dan menggantinya menjadi Departemen Hukum dan Perundang-undangan, boleh jadi merupa­kan reaktualisasi gagasan lama dalam rangka memurnikan pelaksanaan pasal 24 dan 25 UUD '45. Akan tetapi persoalannya tidak sesederhana yang dibayangkan. Masalah berat masih menghadang di depan. Lembaga pengadilan sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman belum sepenuhnya diberi wewenang untuk mengawasi badan-badan Iainnya dalam pemerin­tahan. Bahkan wewenang demikian cenderung untuk dipertahankan dan tidak pernah akan diberikan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan politik.17

U Daniel S. Lev., "Hukum dan Politik di Indonesia, Ke.yinamhungan dan Perubahan", Jakarta: LP3ES. 1990, halaman 50. 1(, Daniel S. Lev . Ibid .. halaman 72. " Op. Cit., hal. 51

JlIli - Seprember 2000

Page 11: MAHKAMAH AGUNG DAN GAGASAN KEKUASAAN KEHAKIMAN …

Mahkalllah Agung dan Gagasan Kekuasaan Kehakinum yang Ideal 2S1

Padahal gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka yang diadopsi Indonesia dari konsep aslinya" iru, sesungguhnya terkait erat dengan fungsi kekuasaan kehakiman itu sendiri. Fungsi kekuasaan kehakiman yang dimaksud antara lain sebagai lembaga yang mengontrol atau mengawasi pelaksanaan hukum atau perundang-undangan (produk legislatif) oleh lembaga eksekutif (pemerintah).

Menutup paparan pada bag ian ini, relevan kiranya apa yang diungkapkan Daniel S. Lev berikut ini: "Kemandirian badan kehakiman mengandung harapan meningginya prestise dan kemampuan forum kelembagaan mereka dan bahkan akan menyebabkan para hakim lebih tang gap terhadap kepentingan profesional. Apalagi jika badan ini dapat bekerja sesuai dengan ketentuan formal. atau dengan kata lain jika badan kehakiman dapat dibedakan seeara tajam dari birokrasi pemerintahan". '"

v. Beberapa Faktor Yang Mungkin Dapat Mempengaruhi Pelaksa­naan Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Sebagai pejabat yudikatif, seorang hakim dituntut memiliki jiwa yang teguh dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka . Namun kenyataannya, dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak berada di ruangan yang hampa. Ia terkait dengan sistem yang ada, tennasuk di dalamnya sistem kekuasaan.20 lronisnya akhir-akhir ini sorotan terhadap profesi hakim sebagai pejabat yudikalif amat genear. Bahkan muneu1 isti1ah Ko1usi Peradilan dengan tuduhan hakim dagang hukum." Merebaknya isu tersebut semakin kuat dengan munculnya "kasus dugaan kolusi yang terjadi di Mahkamah Agung RI" yang menggegerkan masyarakat pada awal tahun 1996.

Kasus yang amat mempermalukan lembaga penyelenggara keku­asaan kehakiman iru bermula dari boeornya "Surat Rahasia" Ketua Muda Bidang Pidana Umum yang ketika itu dijabat oleh H. Adi Andojo Soetjipto u.b. Waki1 Ketua MA RI kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, tanggal 19 Desember 1995 Nomor 18/P idum/XII /95. lsi surat tersebut adalah permintaan agar Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan pidana atas nama Ram Gulumal alias V. Ram yang diputus bebas. Adapun alasan mengapa harus diajukan per-

IR Yang dimaksud dengan konsep aslinya adalah Ajaran Tr;a.\" Politica da ri Montesquieu. 1<) D<llliei S. Lev, Op. Cit.. hal. 398. 20 Ai WisnubrolO. Op_ Cit.. hal. 84 II Baca AI Wislluhroro, Thil!. , hal. 48.

Nomor 3 Tahun XXX

Page 12: MAHKAMAH AGUNG DAN GAGASAN KEKUASAAN KEHAKIMAN …

252 HukulII dOll PembatlgUlulfl

mohonan peninjauan kembali, karena telah didapatkan adanya kolusi antara terdakwa/penasihat hukumnya dengan Majelis Hakim Agung yang meng­adili perkara tersebut."

Berdasarkan sumber dan wujudnya, sekurang-kurangnya terdapat dua jenis pengaruh yang secara domi nan memiliki potensi untuk menye­lewengkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka . Per­£0111a, pengaruh yang bersllmber dari kekuasaan pemerintah (eksekutif); dan Kedua, pengaruh yang bersumber dari faktor kekuasaan lain. Wujud pengaruh yang penama dari kekuasaan pemerimah (eksekutit) dapat berupa tekanan langsung Illaupun tidak langsung Illelalui sistclll birokrasinya. Sedangkan bentllk pengaruh yang kedua bisa saja sangat konkrit. Illisalnya berupa kekayaan (uang) atau kekuatan ekonollli lainnya. Kedua bentuk pengaruh di atas pada dasarnya Illellliliki tujuan yang serupa. yakni Illelakukan tekanan terhadap pemegang kekuasaan kehakiman, sehingga segala tindakannya menjadi tidak merdeka.

Kedua jenis pengaruh di atas boleh jadi merupakan jenis pengaruh yang paling dominan dan paling efektif hasilnya. Oleh karena hampir dapat dipastikan tidak ada faktor-faktor lain yang memiliki tingkat signifikansi setara dengan kedua jenis sumber pengaruh di atas. Kalau pun tidak dikatakan tidak ada lagi sama sekali. Pengaruh dari kekuasaan pemerintah (eksekutit) ini yang paling penama dan boleh jadi cukllp dominan. Leb ih­lebih pada masa lalu Peradilan di Indonesia berada pada konsep dual isme birokrasi. Sebagaimana telah diutarakan terdahulu, bahwa hakim sebagai organ kekuasaan kehakiman berada pada dua kubu. Terhadap para hakim rendahan , Mahkamah Agung memiliki tugas yang terbatas, yaitu hanya melakukan pengawasan atas hal-hal yang berkaitan dengan masalah teknis yustisial. Sememara yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat administratif kepegawaian dan penggajian kewenangannya berada di bawah kendali Departemen Kehakiman (eksekutif).

Oleh karena itu. tidak heran bila kemudian "pihak-pihak tertentu dari kalangan eksekutif lalu memanfaatkan kekuasaan melalui sistem biro­krasinya untuk mempengaruhi kebebasa n hakim dalam menjalankan fungsinya. Apalagi jika kekuasaan eksekutif cenderung bersifat arogan". '.l Beberapa contoh kasus yang memberi indikasi adanya pengaruh kekuasaan

22 Mengenai Kronologis Terjadinya Masalah Kolusi di Mahkamah Agung ditulis oleh 1-1 . Adi Andojo Soeljipto, dapat Jibaca dalam huku Menyill);kap Kll/)Ul PeradiLan Kita; Menyoa/ Kolusi di Mallkamah AKl/llg" , Jakarta: Puswb Forum Add St::jahtera, 1996 hal. 53-87.

D Lihat AI Wisnuhroto, Or. Cil.. hal. 85.

iI/ii - Seplember 2{)()(J

Page 13: MAHKAMAH AGUNG DAN GAGASAN KEKUASAAN KEHAKIMAN …

Mahkamah Agung dan Gagasan Kekuasaan Kehakiman yang Ideal 253

eksekutif terhadap putusan hakim antara lain (I) Putusan Mahkamah Agung mengenai Peninjauan Kembali perkara Gugatan Warga Kedung Ombo yang lahan garapan dan miliknya tergenang atau digenangi oleh a ir Waduk Kedung Ombo; (2) Putusan atas gugatan tanah adat terhadap Pemerintall Propinsi DT I Irian Jaya (Kasus Henock Hebe Ohee); dan (3) Kasus gugatan Majalah Tempo melawan Departemen Penerangan.

Adapun pengaruh dari faktor kekuasaan la in yang diyakini secara umum adalah pengaruh dari kekayaan (uang) atau kekuatan ekonomi lainnya. Untuk jenis pengaruh yang kedua ini, timbu ll ah fenomena korupsi dan ko lusi yang menyelewengkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Seorang penulis memaparkan hasil pengamatannya yang patut menjadi perhatian, sebagai berikut: "Bagi sebagian besar praktisi hukum, dugaan adanya kolusi bahkan korupsi , di lingkungan peradilan bukanlah suatu yang aneh atau l11engejutkall. Sudah tidak l11enjadi rahasia di kalangan pengacara bahwa l11ereka tidak boleh bergamung hanya kepada argu mentasi­argumentasi juridis untuk memenangkan perkara yang mereka tangani di Pengadilan. Pendekatan-pendekatan "non juridis" sangat diperlukan, bahkan ridak jarang lebih menentukan dari faktor-falctor juridis. Tuduhan adanya mafia peradilan yang dikel11ukakan oleh salah seorang mantan Hakim Agung beberapa tahun yang lal u, adalah merupakan indikasi bagaimana mengkhawatirkannya tingkat kolusi di lingkungan peradilan di Indonesia" . 24

Selanjutnya Yasonna mengemukakan, "Sebenarnya kasus kolusi yang mencoreng wajah Mahkamah Agung bukanlah hanya sekali ini saja. Kasus Pemalsuan Keputusan Mahkamah Agung pernah terbongkar bebe­rapa tahun lalu. Pada masa Operasi Tertib Pusat (Opstibpus) tahun 1970-an akhir sampai awal tahun 1980-an, banyak hakim tertallgkap basah ketika menerima uang suap di kantornya. Hakim tersebut meminta uang suap kepada seorang nyonya sebesar 50 juta rupiah untuk memenangkan perkaranya" . 25

Mencermati penuturan seorang penulis di atas, semakin yakin bahwa kekayaan (uang) atau kekuatan ekonomi lainnya merupakan salah sam sumber kekuasaan. Sebagai salah satu sumber kekuasaan, kekayaan (uang) ternyata pengaruhnya tidak kalah dominan jika dibandingkan dengan

24 Lihal Yasonna H. Laoly. Kolusi: Fel10mel111 atau Penyakir Kron;s; dalam Menyingkap Kabul Peradilan Kita, Menyou! Kolusi di Mahkamah AMun/: . Jakarta: Puslaka Forum ALlil Sejahtera, 1996, hal. 17-38, [171 . 2S Dikutip oleh Yasonna H. Laoly dari Syed Husse in Alatas, Korupsi : Sifa!, Sebah, dalT FUflgsi. Jakarta: LP3ES , 1987 hal. 108.

Namar 3 Tahun XXX

Page 14: MAHKAMAH AGUNG DAN GAGASAN KEKUASAAN KEHAKIMAN …

254 Hukum dall Pembangunan

pengaruh kekuasaan pemeril1lah (eksekutit). Dengan demikian kedua-dua jenis pengaruh itu memiliki kesetaraan dalam menggelincirkan kemerde­kaan kekuasaan kehakiman.

Menarik kiranya jika paparan berikut ini disimak sekaligus dijadikan sebagai penutup pada bag ian ke lima ini. "Kelihatannya pen­dewaan materi dalam dua dekade ini semakin terlihat dominan. Tidak sepeni pada masa nilai-nilai tradisional masih kuat. Pad a saat ini status sosial sudah ditentukan dengan . keberhasilan mengakumulasi hana kekayaan. labatan saja tidak cukup jika tidak diikuti dengan penumpukan harta. Orang yang mampu menumpuk kekayaan dan menunjukkan gaya hidup mewah dipandang sebagai orang yang berhasil dan mempunyai status sosial yang tinggi , tanpa mempersoalkan apakah harta tersebut cliperoleh secara halal atau tidak. Batasan apa yang benar clan tidak benar , sah clan tidak sah menjadi kabur. Akibatnya korupsi dianggap sebagai suatu hal yang wajar saja. Bahkan orang-orang yang tidak menggunakan kesempatan yang ada dianggap sebagai orang-orang aneh" 2"

V. Penutup

Mengakhiri seluruh paparan dalam penulisan makalah ini, penulis mencoba menyimpulkan sebagai berikut:

Pertama, Kekuasaan kehakiman clalam suatu negara adalah cabang ketiga dari kekuasaan negara yang keberadaannya setara dengan cabang­cabang kekuasaan negara yang lainnya, sehingga kekuasaan tersebut sudah seyogianya terbebas dari pengaruh kekuasaan negara atau kekuasaan pemerimahan yang lainnya.

Kedua.. Bila ditelusuri hakikat sumbernya, seluruh cabang kekuasaan dalam negara memiliki sumber yang sarna dan hanya satu, yakni kesepakatan rakyat. Tentu saja jika dirunut lebih jauh akan bermuara pad a Causa Prima, yakni Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai Sumber dari segala Sumber.

Ketiga, Kekuasaan Kehakiman termasuk kriteria yang icleal manakala kekuasaan tersebut dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan lain­lain bad an kehakiman menu rut undang-undang sena terbebas dari pengaruh apa pun dan siapa pun. Baik pengaruh kekuasaan maupun kekayaan atau uang dan yang sejenisnya.

u, Yasonlla H. uloly, or. Cit., hal. 17-38, [33].

Juli - September 2000

Page 15: MAHKAMAH AGUNG DAN GAGASAN KEKUASAAN KEHAKIMAN …

Mahkamah Agung dan Gagasan Kekuasaan Kehakiman yang Ideal 255

Keempal, Seperti telah dikemukakan bahwa pengaruh yang acapkali sangat dominan dalam menggelincirkan pemegang kekuasaan kehakiman, sehingga tindakannya tidak lagi merdeka sebagaimana harapan dan idealnya sebuah kekuasaan kehakiman adalah pengaruh kekuasaan pemerintah (eksekutif) dan kekayaan (uang) atau kekuatan ekonomi lainnya.

DAFTAR BACAAN

Kusumaatmadja, Mochtar, "Fungsi dan Perkembangan Hukum datam Pembangunan Nasional"; dalam Majalah PADJADJARAN, Nomor I September 1970, halaman 5-16.

Laoly. Yasonna H., Kolusi: "Fenomena aWli Penyokil Kronis ": dalam Menyingkap Kabll! Peradilan Kila Mcnyoal Kolusi di Mahkamah Agung. Jakarta: Pus taka Adil Sejahtera, 1996, halaman 17-38.

Lev, Daniel S., Hukum dan Polilik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta: LP3ES, 1990.

Mertokusumo, R.M. Sudikno, "Sislem Peradilan di Indonesia"; dalam 1urnal Hukum, Nomor 9 Vol. 4, 1997, halaman 1-8.

Saleh, K. Wantjik, Kehakiman dan Peradilan. Jakarta Simbur Cahaya, 1976.

Siringoringo, Aldentua & Tumpal Sihite (ed), Menyingkop Kabut Peradilan KilO: Menyoal Kolusi di Mahkamah Agung. 1akarta: Forum Adil Sejahtera, 1996.

Soetjipto, Adi Andojo, "Uraian Seeara Kronologis Terjadinya Masalah Koilisi di Mahkomah Agung "; dalam Menyingkap KabUl Perodilan Kita. Jakarta: Pustaka Forum Adil Sejahtera, 1996, halaman 53-87.

Subekti, R., Kekuasaan Mahkamah Agung RI. Bandung: Alumni, 1980.

Wisnubrolo, A I., Hakim dall Peradilan di Indonesia da/alll 8eberapa Aspek Kajian. Yogyakarta: Penerbit Universitas Alma Jaya , 1997.

Nomor 3 Tahun XXX