MADING PATULUNG 4

4
“Sang Penolong” Malam semakin larut. Jalanan mulai sepi. Udara makin lama makin dingin. Gerimis turun semakin lama semakin lebat. Petir sesekali menyambar diikuti suara gemuruh yang menggelegar. Hoaam, tidur dibawah selimut pasti nyaman.” Aku segera naik ke tempat tidur dan mulai memejamkan mata. Suara hujan yang jatuh di atas genting semakin lama semakin keras. Tiba –tiba glegagarrr!” suara petir sangat keras terdengar. Di ikuti padamnya lampu listrik. Ibuuu!teriak kaget . Oh, aku baru ingat kalau kemarin Ibu ke rumah Nenek di desa. Dalam sekejap, semuanya tampak gelap. Dalam kegelapan seperti itu rasanya bernafas pun jadi sesak. Tanganku meraba-raba pinggiran tempat tidur, mencoba berdiri lalu jalan merayap. Sejak kecil, aku paling tidak menyukai kegelapan. Bahkan saat tidur pun, aku tetap menyalakan lampu tidur. Plak!” Kakiku tersandung kaki kursi yang tidak terlihat karena gelap. Alangkah leganya, ketika aku melihat sedikit cahaya menuju kamar. Rupanya, Bapak datang membawa lilin untuk menerangkan ruangan. Sudah tidak usah takut,” kata Bapak. “Ayo tidur, besok kamu kan harus sekolah.” Baru saja aku akan menjawab, tiba-tiba terdengar pintu rumah diketuk keras-keras. Bapak dan aku segera keluar kamar menuju ke pintu depan. Bapak segera membukakan pintu. Seorang laki- laki berdiri di depan pintu, bajunya basah dan tubuhnya menggigil. Tolonglah kakak saya dan keluarganya,Pak.... mereka tidak sempat

description

mading

Transcript of MADING PATULUNG 4

Page 1: MADING PATULUNG 4

“Sang Penolong”Malam semakin larut. Jalanan mulai sepi. Udara makin lama makin dingin. Gerimis turun semakin lama semakin lebat. Petir sesekali menyambar diikuti suara gemuruh yang menggelegar.

“Hoaam, tidur dibawah selimut pasti nyaman.”  Aku segera naik ke tempat tidur dan mulai memejamkan mata. Suara hujan yang jatuh di atas genting semakin lama semakin keras. Tiba –tiba “glegagarrr!” suara petir sangat keras terdengar. Di ikuti padamnya lampu listrik.

“Ibuuu!” teriak kaget . Oh, aku baru ingat kalau kemarin Ibu ke rumah Nenek di desa. Dalam sekejap, semuanya tampak gelap. Dalam kegelapan seperti itu rasanya bernafas pun jadi sesak. Tanganku meraba-raba pinggiran tempat tidur, mencoba berdiri lalu jalan merayap.

Sejak kecil, aku paling tidak menyukai kegelapan. Bahkan saat tidur pun, aku tetap menyalakan lampu tidur.

“Plak!” Kakiku tersandung kaki kursi yang tidak terlihat karena gelap.

Alangkah leganya, ketika aku melihat sedikit cahaya menuju kamar. Rupanya, Bapak datang membawa lilin untuk menerangkan ruangan.

“Sudah tidak usah takut,” kata Bapak. “Ayo tidur, besok kamu kan harus sekolah.”

Baru saja aku akan menjawab, tiba-tiba terdengar pintu rumah diketuk keras-keras. Bapak dan aku segera keluar kamar menuju ke pintu depan.

Bapak segera membukakan pintu. Seorang laki- laki berdiri di depan pintu, bajunya basah dan tubuhnya menggigil.

“Tolonglah kakak saya dan keluarganya,Pak.... mereka tidak sempat mengungsi sebelum banjir menerjang rumahnya,” kata orang tadi tersendat-sendat.

Di perkampungan sebelah memang datarannya sangat rendah, di dekatnya ada kali yang kalau hujan sedikit saja air langsung naik dan rumah-rumah warga di perkampungan itu pasti langsung diserbu air-air dari kali. Untungnya rumahku berada di dataran yang tinggi.

“Tenang Pak saya akan memanggil anggota Tim SAR yang lain,” kata Bapak seraya membimbing orang itu masuk ke rumah.

Page 2: MADING PATULUNG 4

“Hah? Bapak harus pergi malam-malam begini. Padahal, hujan sangat lebat. Dingin dan gelap,” pikirku dalam hati. Aku berharap anggota Tim SAR yang lain saja yang menolong,tapi ternyata pikiranku salah, bapak sebagai ketua Tim SAR haruslah ikut menolong.

Bapak pun segera mempersiapkan peralatan-peralatan yang akan dibutuhkannya nanti. Hujan semakin lebat. Listrik belum menyala. Tiba-tiba, aku merasa kesal! Dalam cuaca seperti ini, aku merasa lebih aman kalau Bapak ada di rumah. Apalagi disaat Ibu tidak ada.

“Malam-malam hujan lebat begini Bapak tetap mau pergi? Biar anggota Tim SAR yang lain sajalah Pak!”  Rayuku agar Bapak tidak pergi.“Orang yang sedang dalam kesulitan harus segera ditolong, bayangkan kalau kamu yang berada di posisi orang tadi, pasti kamu sangat membutuhkan pertolongan orang lain, ya kan?” kata Bapak sambil bersiap-siap.

“Kenapa  tidak anggota lain saja yang berangkat,biar ayah tinggal di rumah saja menemani aku,” setengah merajuk. “Aku takut sendirian, pak!”

“Kan ada Mbok Min,” jawab Bapak pendek.

Bapak tidak sempat berkata-kata lagi padaku. Dengan cepat Bapak beranjak ke ruang depan menemui orang tadi. Lalu mereka segera keluar.

“Huh!” Aku benar-benar merasa terabaikan. Kekesalanku memuncak pada orang tadi dan juga kepada Bapak. Aku segera pergi menuju ke kamarku.

Aku jadi sulit tidur. Mungkin karena aku belum terbiasa tidur dengan cahaya yang hanya berasal dari lilin. Tetapi yang jelas, kekesalan dalam hatiku yang membuatku sulit memejamkan mata.

Pagi itu aku sengaja bangun pagi-pagi, aku ingin lebih awal tiba di sekolah. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu Keisha, sahabatku. Aku ingin meluapkan uneg-uneg dan kekesalan hatiku. Aku yakin, Keisha pasti akan membelaku dan sependapat denganku.

Seperti biasanya, aku berjalan kaki ke sekolah. Sekolahku terletak tidak jauh dari rumahku. Ternyata di sekolah masih sepi. Teman-teman juga belum banyak yang datang. Keisha juga belum datang.

Tak lama kemudian Keisha muncul. Sahabatku yang satu ini memang suka datang pagi-pagi. Aku segera menemuinya. Aku sudah tidak sabar untuk menceritakan kekesalan yang sudah memuncak dalam hati. Tetapi baru saja aku akan ngomong, eh Keisha sudah menyerobot.

Page 3: MADING PATULUNG 4

“Rumahku kan semalam kebanjiran,” kata Keisha cepat. Wajahnya agak kusut, tetapi Keisha berkata dengan penuh semangat. “Ibuku panik, aku juga ikut panik dan takut! Kami sekeluarga tidak sempat mengungsi sebelum banjir datang karena itu terjadi saat tengah malam, aku segera menghubungi pamanku yang rumahnya tidak terkena banjir untuk meminta bantuan”.

Keisha mengatur nafasnya sejenak.

“Wah, kalau Tim SAR tidak datang menolong, mungkin hari ini aku tidak masuk sekolah,” lanjutnya perlahan.

Aku tersentak, kata-kata yang sudahku siapkan mendadak buyar.

“Jangan-jangan...” Aku menduga sesuatu. Aku teringat peristiwa tadi malam. Aku diam sejenak. Sementara Keisha terus memuji-muji Tim SAR yang telah menolong ia dan keluarganya.

Untunglah, kemarin malam Bapak tetap pergi, aku membayangkan seandainya tadi malam Bapak menuruti keinginanku untuk tetap di rumah. Bisa-bisa sahabatku itu tidak masuk sekolah dan... itu karena kesalahanku!. Oh, aku tidak berani meneruskan pikiranku. Sungguh aku malu dan menyesal.

Keisha berceloteh lagi, “Kalau sudah besar aku ingin menjadi anggota Tim SAR. Aku ingin menolong orang-orang yang sedang ditimpa musibah.”

“Aku juga,” ucapku dalam hati. “Keisha akan kuberitahu kalau salah satu anggota Tim SAR  adalah bapakku, tapi memberitahunya nanti saja... pasti Keisha kaget!”

Kekesalan di hatiku sudah lenyap. Yang ada sekarang adalah rasa bangga. Ya, bangga pada bapakku, sang penolong.