Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

39
STRUKTUR ILMU DALAM FILSAFAT ILMU Nov 11, '08 4:13 AM for everyone BAB II PEMBAHASAN A. PENGERTIAN STRUKTUR ILMU. “Ilmu” berasal dari bahasa ‘Arab “alima” sama dengan kata dalam bahasa Inggris “Science” yang berasal dari bahasa Latin “Scio” atau “Scire” yang kemudian di Indonesiakan menjadi Sains (Sidi Gazalba, Jakarta 1973. h. 54). A. Thomson dalam Sidi Gazalba menggambarkan “Ilmu adalah pelukisan fakta-fakta pengalaman secara lengkap dan konsisten dalam istilah-istilah yang sesederhana mungkin, . pelukisan secara lengkap dan konsisten itu melalui tahap pembentukan definisi, melakukan analisa, melakukan pengklassifikasian dan melakukan pengujian”(Sidi Gazalba, Jakarta 1973. h. 54-55). Jujun S. Suriasumantri menggambarkannya dengan sangat sederhana namun penuh makna “Ilmu adalah seluruh pengetahuan yang kita miliki dari sejak bangku SD hingga Perguruan Tinggi”(Jujun S Suriasumantri,1990, h. 19). Beerling, Kwee, Mooij dan Van Peursen menggambarkannya lebih luas “Ilmu timbul berdasarkan atas hasil penyaringan, pengaturan, kuantifikasi, obyektivasi, singkatnya, berdasarkan atas hasil pengolahan secara metodologi terhadap arus bahan-bahan pengalaman

Transcript of Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

Page 1: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

STRUKTUR ILMU DALAM FILSAFAT ILMUNov 11, '08 4:13 AMfor everyone

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN STRUKTUR ILMU.

“Ilmu” berasal dari bahasa ‘Arab “alima” sama dengan kata dalam bahasa Inggris “Science”

yang berasal dari bahasa Latin “Scio” atau “Scire” yang kemudian di Indonesiakan menjadi

Sains (Sidi Gazalba, Jakarta 1973. h. 54).

A. Thomson dalam Sidi Gazalba menggambarkan “Ilmu adalah pelukisan fakta-fakta

pengalaman secara lengkap dan konsisten dalam istilah-istilah yang sesederhana mungkin, .

pelukisan secara lengkap dan konsisten itu melalui tahap pembentukan definisi, melakukan

analisa, melakukan pengklassifikasian dan melakukan pengujian”(Sidi Gazalba, Jakarta 1973. h.

54-55).

Jujun S. Suriasumantri menggambarkannya dengan sangat sederhana namun penuh makna “Ilmu

adalah seluruh pengetahuan yang kita miliki dari sejak bangku SD hingga Perguruan

Tinggi”(Jujun S Suriasumantri,1990, h. 19).

Beerling, Kwee, Mooij dan Van Peursen menggambarkannya lebih luas “Ilmu timbul

berdasarkan atas hasil penyaringan, pengaturan, kuantifikasi, obyektivasi, singkatnya,

berdasarkan atas hasil pengolahan secara metodologi terhadap arus bahan-bahan pengalaman

yang dapat dikumpulkan.”(Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen, Yogyakarta, 1990, h. 14-15).

Sehingga dengan demikian, ilmu adalah kumpulan pengetahuan secara holistik yang tersusun

secara sistematis yang teruji secara rasional dan terbukti empiris.

Ukuran kebenaran Ilmu adalah rasionalisme dan empirisme sehingga kebenaran ilmu bersifat

Rasional dan Empiris.

Fungsi ilmu/pengetahuan ilmiah:

Page 2: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

1. Menjelaskan

2. Meramal

3. Mengontrol

Sebagai contoh: Pengetahuan tentang kaitan antara hutan gundul dengan banjir memungkinkan

kita untuk bisa meramalkan apa yang akan terjadi sekiranya hutan-hutan terus ditebang sampai

tidak tumbuh lagi. sekiranya kita tidak menginginkan timbulnya banjir sebagaimana diramalkan

oleh penjelasan tadi maka kita harus melakukan kontrol agar hutan tidak dibiarkan menjadi

gundul. Demikian juga, jka kita mengetahui bahwa hutan-hutan tidak ditebang sekiranya ada

pengawasan, maka untuk mecegah banjir kita harus melakukan kontrol agar kegiatan

pengawasan dilakukan, agar dengan demikian hutan dibiarkan tumbuh subur dan tidak

mengakibatkan banjir.

Pengetahuan tentang kaitan antara hutan gundul dengan banjir memungkinkan kita untuk bisa

meramalkan apa yang akan terjadi dan berdasarkan ramalan tersebut kita bisa melakukan upaya

untuk mengontrol agar ramalan itu menjadi kenyataan atau tidak.

Empat jenis pola penjelasan:

deduktif : mempergunakan cara berpikir deduktif dalam menjelaskan suatu gejala dengan

menarik kesimpulan secara logis dari premis-premis yang telah ditetapkan sebelumnya.

probabilitas : merupakan penjelasan yang ditarik secara induktif dari sejumlah kasus

yang dengan demikian tidak memberi kepastian dimana penjelasan bersifat peluang

seperti “kemungkinan”, “kemungkinan besar”, atau “hampir dapat dipastikan”.

fungsional/teleologis : merupakan penjelasan yang meletakkan sebuah unsur dalam

kaitannya dengan sistem secara keseluruhan yang mempunyai karakteristik atau arah

pekembangan tertentu.

genetik : mempergunakan faktor-faktor yang timbul sebelumnya dengan menjelaskan

gejala yang muncul kemudian.

“Struktur” adalah cara bagaimana sesuatu disusun atau dibangun; susunan; bangunan

Page 3: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

Peter R Senn dalam Ilmu Dalam Persektif (Jujun Suriasumantri) meskipun tidak secara

gamblang ia menyampaikan bahwa ilmu memiliki bangun struktur (Jujun S Suriasumantri,

Jakarta, 1981, h. 110-128)

Van Peursen menggambarkan lebih tegas bahwa “Ilmu itu bagaikan bangunan yang tersusun dari

batu bata. Batu atau unsur dasar tersebut tidak pernah langsung di dapat di alam sekitar. Lewat

observasi ilmiah batu-batu sudah dikerjakan sehingga dapat dipakai kemudian digolongkan

menurut kelompok tertentu sehingga dapat dipergunakan. Upaya ini tidak dilakukan dengan

sewenang-wenang, melainkan merupakan hasil petunjuk yang menyertai susunan limas ilmu

yang menyeluruh akan makin jelas bahwa teori secara berbeda-beda meresap sampai dasar ilmu.

Istilah yang pada ilmu pasti lama masih merujuk pada sesuatu seperti “ruang” (ruang fisis),

“garis lurus (garis lurus lintasan sinar cahaya dalam hampa udara), sekarang lebih baik diganti

dengan lambang tanpa arti seperti X, Y. Pakatan tertentu (disebut aksioma) yang sebetulnya

merupakan semacam definisi mengenai istilah-istilah itu, memberikan petunjuk bagaimana

“pengertian dasar” ini dapat dipergunakan”.(Van Peursen, Jakarta, 1989, h. 28).

Page 4: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

Skema struktur dan proses pengetahuan ilmiah

Teori

Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan menjadi suatu faktor tertentu

dari sebuah disiplin keilmuan.

Misalnya : Teori ekonomi makro

Teori ekonomi mikro

Teori mekanika Newton

Teori relativitas Einstein

Tujuan akhir disiplin keilmuan adalah mengembangkan sebuah teori keilmuan yang bersifat utuh

dan konsisten.

Hukum

Hukum pada hakekatnya merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua variable

atau lebih dalam suatu kaitan sebab akibat.

Misalnya : teori ekonomi mikro terdiri dari hukum penawaran dan permintaan.

Maka dapat disimpulkan bahwa :

Teori adalah pengetahuan ilmiah yang memberikan penjelasan tentang “mengapa” suatu gejala-

gejala terjadi sedangkan hukum adalah memberikan kemampuan kepada kita untuk meramalkan

tentang “apa” yang mungkin terjadi.

Page 5: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

Dimana Teori dan Hukum merupakan “alat” kontrol gejala alam yang bersifat universal.

Teori-teori yang tingkat keumumannya rendah disatukan menjadi satu teori yang mampu

mengikat keseluruhan teori-teori tersebut.

Misalnya Teori yang dikemukakan oleh Ptolomeus, Copernicus, Johannes Keppler kemudian

disatukan kedalam sebuah teori yang dikemukakan oleh Newton.

Ilmu teoritis terdiri dari sebuah sistem pernyataan. Dimana beberapa ilmu teoritis ini disatukan

dalam sebuah konsep dan dinyatakan dalam sebuah teori. Makin tinggi tingkat keumuman suatu

konsep maka makin “teoritis” konsep tersebut.

Makin teoritis suatu konsep maka makin jauh pernyataan yang dikandungnya bila dikaitkan

dengan gejala-gejala fisik yang tampak nyata.

Kegunaan praktis dari sebuah konsep yang bersifat teoritis baru dapat dikembangkan sekiranya

konsep yang bersifat mendasar tersebut diterapkan pada masalah-masalah yang bersifat praktis.

Sehingga kita sering mendengar konsep dasar dan konsep terapan yang diwujudkan dalam

bentuk ilmu dasar/murni dan ilmu terapan serta penelitian dasar dan penelitian terapan.

Ragam Proposisi

Bebagai keterangan mengenai obyek sebenarnya itu dituangkan dalam pernyataan-pernyataan,

petunjuk-petunjuk atau ketentuan-ketentuan mengenai apa yang perlu berlangsung atau

sebaiknya dilakukan dalam hubungannya dengan obyek sederhana itu. Memaparkan pola-pola

dalam sekumpulan sifat, ciri, kecenderungan, atau proses lainnya dari fenomenon yang ditelaah.

Dapat dibedakan menjadi tiga ragam proposisi yaitu sebagai asas,kaidah, dan teori.

1. Asas ilmiah: suatu asas atau prinsip adalah sebuah proposisi yang mengandung

kebenaran umum berdasarkan fakta-fakta yang telah diamati.

2. Kaidah ilmiah: suatu kaidah atau hukum dalam pengetahuan ilmiah adalah sebuah

proposisi yang mengungkapkan keajegan atau hubungan tertib yang dapat diperiksa

kebenarannya diantara fenomena.

Page 6: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

3. Teori ilmiah: suatu teori dalam scientific knowledge adalah sekumpulan proposisi yang

saling berkaitan secara logis untuk memberi penjelasan mengenai sejumlah fenomena.

Prinsip merupakan pernyatan yang berlaku secara umum bagi sekelompok gejala-gejala tertentu,

yang mampu menjelaskan kejadian yang terjadi, misalnya saja hukum sebab akibat sebuah

gejala.

Misalnya : Prinsip Ekonomi

Prinsip Kekekalan Energy

Postulat merupakan asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut pembuktian.

Kebenaran ilmiah pada hakikatnya harus disatukan lewat sebuah proses yang disebut metode

ilmiah, tapi postulat ilmiah yang ditetapkan tanpa melalui prosedur ini melainkan ditetapkan

secara begitu saja. Bila postulat dalam pengajuannya tidak memerlukan bukti tentang

kebenarannya maka hal ini berlainan dengan asumsi yang harus ditetapkan dalam sebuah

argumentasi ilmiah. Asumsi merupakan pernyataan yang kebenarannya secara empiris dapat

diuji.

Sebagai contoh umpamanya kita dapat mengambil cara orang mengemudikan mobil dijalan raya.

Sekiranya orang itu beranggapan bahwa keadaan jalan raya pada waktu pagi buta adalah aman

disebabkan karena jarangnya kenderaan yang lalu lalang, maka kemungkinan besar orang itu

akan mengendarai mobilnya secara kurang hati-hati, toh asumsinya bahawa jalanan adalah aman

bukan? Sebaliknya mungkin juga terdapat orang lain yang mempunyai pendapat yang berbeda.

Menurut penilainnya justru pada pagi butalah keadaan jalanan adalah sangat tidak aman

disebabkan banyak orang mengendarai mobil secara sembrono. Oleh sebab itu maka dia memilih

asumsinya bahwa keadaan jalan raya adalah tidak aman.Itulah sebabnya maka asumsi ini harus

dibuktikan kebenarannya sebab dengan asumsi yang tidak benar kita akan memilih cara yang

tidak benar pula.

B. PENGERTIAN ILMU TEORITIS DAN ILMU PRAKTIS

Page 7: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

Kehidupan manusia pada dasarnya berpangkal pada sifat dasar yang berhasrat dan ingin berbuat

(to know and to do) dan pengetahuan teoretis akan memuaskan hasrat mengetahui, sedang

pengetahuan praktis dapat memenuhi keinginan berbuat. Dengan demikian, dalam konsepsi kami

ilmu akan dibedakan pertama-tama dalam dua ragam:

1. Ilmu teoritis (theoretical science)

2. Ilmu praktis (practical science)

Pembedaan antara pengetahuan teoretis dan pengetahuan praktis sudah dikenal sejak zaman

Yunani Kuno. Misalnya filsuf Aristoteles membagi kumpulan pengetahuan rasional menjadi tiga

kelompok: pengetahuan teoretis (misalnya fisika), pengetahuan praktis (misalnya etika), dan

pengetahuan produktif (misalnya retorika). Pembagian selanjutnya sebagai pelengkap pembagian

menurut ragam ialah pembagian ilmu menurut jenisnya. Ini merupakan suatu pembagian ilmu

yang memakai isi substansif itu dicerminkan oleh pokok soal atau objek material dari

pengetahuan yang bersangkutan. Oleh karena ditunjukan dan diketahui obyek material yang

ditelaah menjadi pengetahuan itu, maka dalam pembagian jenis ilmu biasanya orang dapat serta

merta mengetahui hal apa saja yang menjadi sasaran jenis-jenis ilmu yang dikemukakan,

walaupun mungkin hanya

dalam garis besarnya saja.

Penelitian murni atau penelitian dasar adalah penelitian yang bertujuan untuk menemukan

pengetahuan baru yang sebelumnya belum pernah diketahui.

Ilmu-ilmu murni kemudian berkembang menjadi ilmu-ilmu terapan, seperti contoh dibawah ini :

ILMU MURNI ILMU TERAPAN

Mekanika Mekanika Teknik

Hidrodinamika Teknik Aeronautikal /Teknik & Desain Kapal

Page 8: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

Bunyi Teknik Akustik

Cahaya & Optik Teknik Iluminasi

Kelistrikan / Teknik Elektronik /

Magnestisme Teknik Kelistrikan

Fisika Nuklir Teknik Nuklir

Cabang utama ilmu-ilmu sosial yakni antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif

waktu dan tempat), psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia), ekonomi

(mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhannya lewat proses pertukaran), sosiologi

(mempelajari struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu politik (mempelajari sistem dan proses

dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara).

Cabang utama ilmu-ilniu sosial yang lainnya mempunyai cabang-cabang lagi seperti

antropologi terpecah menjadi lima yakni, arkeologi, antropologi fisik, linguistik, etnologi dan

antropologi sosial/kultural, semua itu kita golongkan ke dalam ilmu murni.

Ilmu murni merupakan kumpulan teori-teori ilmiah yang bersifat dasar dan teoritis yang

belum dikaitkan dengan masalah kehidupan yang bersifat praktis. Ilmu terapan merupakan

aplikasi ilmu murni kepada masalah-masalah kehidupan yang mempunyai manfaat praktis.

Banyak sekali konsep ilmu-ilmu sosil “murni” dapat diterapkan langsung kepada

kehidupan praktis, ekonomi umpamanya, meminjam perkataan Paul Samuelson, merupakan ilmu

yang beruntung (Fortunate) karena dapat diterapkan langsung kepada kebijaksanaan umum

(public policy).

Penelitian murni atau penelitian dasar adalah penelitian yang bertujuan untuk menemukan

pengetahuan baru yang sebelumnya belum pernah diketahui.

Page 9: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

Penelitian terapan adalah penelitian yang bertujuan untuk mempergunakan pengetahuan ilmiah

yang telah diketahui untuk memecahkan masalah kehidupan yang bersifat praktis. Penelitian

terapan inilah yang nantinya menghasikan teknologi-teknologi.

Manusia disebut juga Homo Faber (makhluk yang membuat peralatan) disamping Homo Sapiens

(makhluk yang berpikir) yang mencerminkan kaitan antara pengetahuan yang bersifat teoritis

dengan teknologi yang bersifat praktis.

BAB III

Page 10: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Struktur ilmu dalam filsafat ilmu merupakan bagian yang penting dipelajari mengingat

ilmu merupakan suatu bangunan yang tersusun bersistem dan kompleks.

Melalui ilmu kita dapat menjelaskan, meramal dan mengontrol setiap gejala-gejala alam

yang terjadi.

Tujuan akhir dari disiplin keilmuan yaitu mengembangkan sebuah teori keilmuan yang

bersifat utuh dan konsisten.

Makin tinggi tingkat keumuman suatu konsep maka makin teoritis konsep tersebut.

Makin teoritis suatu konsep maka makin jauh penyataan yang dikandungnya.

Ilmu-ilmu murni berkembang menjadi ilmu-ilmu terapan. Ilmu-ilmu terapan ini akan

melahirkan teknologi atau peralatan-peralatan yang berfungsi sebagai sarana yang

memberi kemudahan dalam kehidupan.

B. SARAN

Dengan mengetahui struktur dari ilmu ini maka dapat kita bedakan nantinya pemahaman dari

sejauh mana kajian mengenai gejala-gejala alam. Bekal ini pula yang nantinya kita pergunakan

dalam penelitian-penelitian yang akan kita lakukan. Tampaknya akal budi manusia tidak

mungkin berhenti berpikir, hasrat mengetahui ilmuan tidak dapat padam, dan keinginan berbuat

seseorang tidak bisa dihapuskan. Ini berarti perkembangbiakan pengetahuan ilmiah akan berjalan

terus dan pembagian ilmu yang sistematis perlu dari waktu ke waktu diperbaharui.

Page 11: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

DAFTAR PUSTAKA

Sidi Gazalba Drs,1973, Sistematika Filsafat, Buku 1, Jakarta, Bulan Bintang

Jujun S Suriasumantri,1990, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka

Sinar Harapan

Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen, 1990, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Tiara

Wacana

Al Rasyidin, Mardiyanto,....., Panduan Kuliah “Filsafat Ilmu”, Medan, F.T. IAIN

Sumatera Utara

Wisma pandia, 2008, Filsafat ilmu diambil dari: www.sttip.com/modul%20filsafat

%20ilmu.pdf

http://alfaned.multiply.com/journal/item/1/STRUKTUR_ILMU_DALAM_FILSAFAT_ILMU

Page 12: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

Rabu, 05 Mei 2010

RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN FILSAFAT ILMU

RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKANFILSAFAT ILMUOleh:UDIN WAHYUDINMAHASISWA PROGRAM PASCA SARJANA (PPS) PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKANUNIVERSITAS NEGERI MANADOA. PendahuluanRuang lingkup filsafat ilmu dan bidang filsafat sebagai keseluruhan pada dasarnya men -cakup dua pokok bahasan, yaitu pertama, membahas sifat pengetahuan ilmiah, dan kedua menelaah cara-cara mengusahakan pengetahuan ilmiah pada pokok bahasan pertama filsafat ilmu berhubungan erat dengan filsafat pengetahuan atau epistemologi, yang merupakan bidang kajian filsafat yang secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk pengetahuan manusia. Pada pokok bahasan kedua yakni terkait dengan pokok soal cara-cara mengusahakan pengetahuan ilmiah, filsafat ilmu erat hubungannya dengan logika dan metodologi, dan dalam hal ini kadang-kadang filsafat ilmu dijumbuhkan pengertiannya dengan metodologi. Jadi filsafat ilmu ialah penyelidikan filosofis tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu sesungguhnya merupakan penyelididkan lanjutan.Filsafat ilmu dikelompokkan menjadi dua yaitu :1. Filsafat ilmu umum, yang mencakup kajian tentang persoalan kesatuan, keseragaman, serta hubungan diantara segenap ilmu. Kajian ini terkait dengan masalah hubungan antara ilmu dengan kenyataan, kesatuan, perjenjangan, susunan kenyataan, dan sebagainya.2. Filsafat ilmu khusus, yaitu kajian filsafat ilmu yang membicarakan kategori-kategori serta metode-metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu tertentu atau dalam kelompok-kelompok ilmu tertentu, seperti dalam kelompok ilmu alam, kelompok ilmu masyarakat, kelompok ilmu tehnik dan sebagainya (beerling dkk, 1986: 40) dalam (filsafat ilmu sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan, 2007: 44).Filsafat ilmu dapat pula dikelompokan berdasarkan model pendekatan, yaitu:1. Filsafat ilmu terapan, yaitu filsafat ilmu yang mengkaji pokok pikiran kefilsafatan yang

Page 13: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

melatarbelakangi pengetahuan normatif dunia ilmu. Pada kajian ini dunia ilmu bertemu dengan dunia filsafat. Jadi filsafat ilmu terapan tidak bertitik tolak dari dunia filsafat melainkan dari dunia ilmu. Dengan kata lain filsafat ilmu terapan merupakan deskripsi pengetahuan normatif. Filsafat ilmu terapan sebagai pengetahuan normatif mencakup:a. Pengetahuan yang berupa pola pikir hakekat keilmuan.b. Pengetahuan mengenai model praktek ilmiah yang diturunkan dari pola pikir.c. Pengetahuan mengenai berbagai sarana ilmiah.d. Serangkaian nilai yang bersifat etisyang terkait dengan pola pikir dengan model praktek yang khusus. Misal etika profesi.Dengan filsafat ilmu terapan maka menjadi jelaslah saling hubungan antara objek-objek dengan metode-metode, antara masalah-masalah yang hendak dipecahkan dengan tujuan penyelidikan ilmiah, antara pendekatan secara ilmiah dengan pengolahan bahan-bahan secara ilmiah.2. Filsafat ilmu murni, yaitu bentuk kajian filsafat ilmu yang dilakukan dengan menelaah secara kritis dan eksploratif terhadap materi kefilsafatan, membuka cakrawala terhadap kemungkinan berkembangnya pengetahuan normatif yang baru. Bila filsafat ilmu terapan berangkat dari ilmu khusus menuju kajian filosofis, filsafat ilmu murni mengambil arah sebaliknya, yaitu berangkat dari kajian filosifis terhadap asumsi-asumsi dasar yang ada dalam ilmu, misalnya terkait dengan anggapan dasar tentang “realitas” dalam ilmu-ilmu khusus dan konsekuensinya pada pemahaman terhadap “realitas” secara keseluruhan.B. Hubungan filsafat ilmu dengan epistemologiFilsafat ilmu secara sistematis merupakan cabang dari rumpun kajian epistemologi. Epistemologi sendiri mempunyai dua cabang yaitu filsafat pengetahuan (theories of knowledge) dan filsafat ilmu (theory of science). Objek material filsafat pengetahuan yaitu gejala pengetahuan, sedang objek material filsafat ilmu yaitu mempelajari gejala-gejala ilmu menurut sebab terpokok. Dalam epistemologi yang dibahas adalah objek pengetahuan, sumber dan alat untuk memperoleh alat pengetahuan, kesadaran dan metode, validitas pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan (Verhak dan Haryono, 1989: 3). Dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 46).Ilmu merupakan pengetahuan yang diatur secara sistematis dan langkah-langkah pencapaiannya dipertanggungjawabkan secara teoritis. Filsafat pengetahuan memeriksa sebab-musabab pengetahuan dengan bertitik tolak pada gejala pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Filsafat pengetahuan menggali kebenaran, kapasitas dan tahap-tahapnya, objektivitasnya, abstraksi, intuisi, asal pengetahuan dan arah pengetahuan. Yang membedakan ilmu dari pengetahuan adalah metode ilmiah. (Verhak dan Haryono, 1989: 3). Dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 46) (Verhak dan Haryono, 1989: 12). Dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 46).Epistemologi akan menunjukkan asumsi dasar ilmu, agar penelaahan filsafat ilmu tidak terpaku pada ragam objek material ilmu. Pertanyaan dari ontologi “apakah karakter pengetahuan kita tentang dunia?” Pertanyaan ontologi dan epistemologi tidak dijawab dengan penyelidikan empiris yang terkait dengannya. Pertanyaan filsafat dipecahkan bukan dengan penyelidikan empiris, tetapi dipecahkan dengan penalaran. Dengan bantuan telaah epistemologi maka akan didapat pemahaman hakiki tentang karakter dari objek ilmu. Misal: terdapat karakter yang berbeda antara ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial humaniora dalam hal objek material, yakni bahwa ilmu alam memiliki karakter objek yang deterministik, sedangkan ilmu sosial-humaniora memiliki karakter objek yang indeterministik dan penuh motivasi.Munculnya persoalan epistemologi bukan mengenai suatu prosedur penyelidikan ilmiah, tetapi dengan mempertanyakan: “mengapa prosedur ini dan bukan yang lain?”, “apa jaminannya, bila

Page 14: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

ada, metode itu membuktikan yang lainnyakah?”. Dalam konteks ilmu sosial, filsafat mempertanyakan metode dan prosedur yang dipergunakan peneliti sosial dari disiplin sosial apapun yang membuat mereka superior (dan memberi mereka otoritas intelektual terbesar). Apa dasar klaim otoritas intelektualnya?.Relevansi problem filsafat muncul dari fakta bahwa setiap perangkat riset atau prosedur tidak dapat diterangkan dengan memisahkan pandangan khusus tentang dunia. Tidak ada tehnik atau metode penyelidikan ilmiah yang memperkokoh dirinya sendiri. Berbagai status instrumen riset pada dasarnya tergantung pada jastifikasi epistemologis. Instrumen riset tidak dapat dipisahkan dari teori, sebagai peralatan riset, mereka bekerja hanya bersama-sama dengan asumsi-asumsi tentang hakekat dunia fisik, masyarakat, keberadaan manusia, dan bagaimana mereka mengetahuinya.Ilmu alam, terkait secara pokok dalam term-term positivistik, mempelajari sesuatu yang objektif, tidak hidup, dunia fisik. Masyarakat, hasil akal manusia, adalah subyektif, emotif sebaik intelektual. Apa yang kita tunjuk sebagai causal, mekanistik dan pengukuran berorientasikan model eksplanasi adalah tidak memadai, karena kesadaran manusia tidak ditentukan oleh kekuatan alam. Tingkah laku masyarakat manusia adalah selalu mengandung nilai, dan pengetahuan reliabel tentang kebudayaan hanya dapat digapai dengan cara mengisolasi ide-ide umum, opini, atau tujuan khusus sejarah masyarakat. Itu membuat tindakan sosial adalah penuh makna subyektif.Toulmin dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 47). Mengatakan bahwa epistemologi tidak berakar pada periode pemikiran, tidak terkait pada prosedur praktis dan problem-problem yang secara historis berkaitan dengan disiplin. Misal: debat metodologis ilmu sosial tidak dapat dipahami secara bebas dari tempat budaya yang lebih luas dari penemuan-penemuan yang dihasilkan oleh riset awal yang didasarkan pada asumsi epistemologis yang berbeda, yaitu seperti pada ilmu alamAlat untuk memperoleh ilmu pengetahuan sangat tergantung dari asumsi terhadap objek. Demikian juga telaah dalam filsafat ilmu, sarana dan alat untuk memproses ilmu harus selaras atau konsisten dengan karakter objek material ilmu. Disini timbul perbedaan paradigma yang disebabkan oleh karakter objek yang berbeda. Misal antara ilmu alam dan ilmu sosial-humaniora terdapat perbedaan metode dan sarana yang dipakai.Adapun validitas/keabsahan yang merupakan bukti bahwa suatu ilmu adalah benar secara epistemologis bukanlah sesuatu yang didatangkan dari luar, melainkan ia adalah hasil atau konsekuensi dari metode penyelidikan dan hasil penyelidikan. Oleh karena itu masalah validitas apakah ukurannya cocok (realiable) atau tidak itu tergantung pada metode dan karakter objek. Sehingga jenis ilmu yang satu dan lainnya tidak sama. Dengan kata lain kita tidak bisa menguji metode dan hasil ilmu yang satu dari teropong ilmu lainnya. Misal: ilmu-ilmu empiris validitas untuk produk ilmunya harus-lah empiristis (Hindes Barry, 1977: 5-6) dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 48).1. Asumsi beberapa jenis objek ilmuDewasa ini kita sudah memasuki masa spesialisasi ilmu, kita hanya tahu masing-masing metodologi ilmu kejuruan. Namun kita juga harus mempunyai wawasan yang luas tentang metodologi ilmu-ilmu pada umumnya, yang didalamnya dijabarkan perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara masing-masing ilmu. Dalam khasanah filsafat ilmu, kita banyak mengenal bentuk ilmu, jenis ilmu, dan paradigma ilmu. Dari berbagai bentuk, jenis dan paradigma ilmu tersebut maka kita dapat memperoleh gambaran adanya ragam, tingkat dan aliran ilmu.a. Ilmu alam dan empiris

Page 15: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

Ilmu empiris berpandangan sebagai berikut: ilmu mempelajari objek-objek empiris di alam semesta ini. Ilmu mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang menurut anggapannya mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Jadi berdasarkan objek telaahnya maka ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris. Ilmu membatasi diri hanya pada kejadian yang bersifat empiris, dimana objek-objek yang berada di luar jangkauan pengalaman manusia tidak termasuk bidang penelaahan ilmu (Yuyun, 1981: 6) dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 48).Ilmu empiris mempunyai beberapa asumsi mengenai objek (empiris), antara lain: (1) Menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, yaitu dalam hal: bentuk, struktur, dan sifat, sehingga ilmu tidak bicara mengenai kasus individual, melainkan suatu kelas tertentu.(2) Menganggap bahwa suatu benda tidak mungkin mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kelestarian relatif dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang diselidiki.(3) Menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan-urutan kejadian yang sama (Paul Niddich dalam Yuyun S, 1981: 7-9) yang dikutif dari(Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 48).Namun ilmu tidak menuntut adanya hubungan kausalitas yang mutlak, sehingga kejadian tertentu harus diikuti oleh kejadian yang lain, melainkan bahwa suatu kejadian mempunyai kemungkinan atau (peluang) besar untuk mengakibatkan terjadinyakejadian lain. Ilmu tentang objek empiris pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan, hal itu perlu, sebab kejadian alam sangat komplek.Kegiatan yang dilakukan dalam ilmu alam tidak merupakan objek penelitian ilmu alam, sebab praktek ilmu alam merupakan suatu aktifitas manusiawi yang khas. Manusia memang dapat terlibat sebagai subjek dan sebagai objek, dengan kata lain manusia adalah yang mempraktekkan dan diprakteki.b. Ilmu abstrak Ilmu formal seperti halnya matematika, logika, filsafat, dan statistika adalah jenis ilmu yang berfungsi sebagai penopang tegaknya ilmu-ilmu lainnya. Ilmu yang tergolong formal pada umumnya berasumsi bahwa objek ilmu adalah bersifat abstrak, tidak kasat mata, dan tidak terikat oleh ruang dan waktu. Objek dapat berupa konsep dan bilangan, ia berada dalam pemikiran manusia.c. Ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaanIlmu kemanusiaan mencakup juga ilmu-ilmu sosial, ia merupakan ilmu empiris yang yang mempelajari manusia dalam segala aspek hidupnya, ciri khasnya, tingkah lakunya baik perseorangan maupun bersama, dalam lingkup kecil maupun besar.Objek material ilmu sosial adalah lain sama sekali dengan objek material dalam ilmu alam yang bersifat deterministik. Objek material dalam ilmu sosial adalah berupa suatu tingkah laku dalam tindakan yang khas manusia, ia bersifat bebas dan tidak bersifat deterministik, ia mengandung: pilihan, tanggung jawab, makna, pengertian, pernyataan privat dan internal, konvensi, aturan, motif dan sebagainya, oleh karena itu tidak cocok apabila diterapi dengan predikat “sebab-akibat”.Konsekuensi epistemologis dari perdebatan tersebut diawali dengan tidak memadainya metodologi ilmu alam untuk memahami fenomena manusia kecuali sebagai objek alamiah. Kerja dari penelitian empiris adalah untuk menemukan secara persis pola yang menghubungkan antara

Page 16: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

aturan-aturan, motif, situasi, hubungan sosial dan tingkah laku, dan memformulasikannya sebagai pembawa keteraturan. Tentu saja data mentah sebagai realitas sosial objektif mempunyai status subjektif, karena terkait dengan nilai-nilai, kepercayaan, ideologi. Lantas apakah ilmu sosial dapat digolongkan sebagai ilmu yang subjektif?, padahal semua ilmu mengklaim dirinya menafsirkan data secara objektif.Ilmu berbeda-beda terutama tidak karena objek material berbeda, tetapi khususnya karena mereka berbeda menurut objek formal. Objek ilmu kemanusiaan yaitu manusia sebagai keseluruhan. Ia melampaui status objek benda-benda disekitarnya. Peneliti dalam penelitian ilmu sosial juga berada pada taraf yang sama sebagai objek. Perbedaan tersebut juga menimbulkan perbedaan pendekatan, dimana dalam rangka cara berpikir ilmu-ilmu alam adalah univok, sedangkan dalam rangka ilmu-ilmu sosial maka cara berpikirnya analog: setiap lingkungan masyarakat “sama” namun dalam “kesamaannya” itu juga berbeda. Karena ciri khas di atas, maka ilmu-ilmu kemanusiaan harus menggunakan titik pangkal dan kriterium kebenaran yang berbeda dari ilmu-ilmu lainnya. Titik pangkal berbeda karena peneliti tidak lagi berada di luar objek penelitian, dengan kata lain subjek terlibat dalam penelitian tentang sesamanya (Veuger dan Haryono, 1989: 70) dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 50).Dalam ilmu manusia kita menghadapi keadaan bahwa praktek ilmiah sebagai aktivitas manusiawi merupakan juga objek penelitian ilmu manusia. Misal: merupakan objek psikologi, karena praktek ilmiah merupakan kegiatan psikis; merupakan aspek sosiologi, karena praktek ilmiah merupakan kegiatan sosial; objek ilmu sejarah, karena praktek ilmiah merupakan kegiatan historis.Dalam ilmu kemanusiaan, manusia dari dalam terlibat dalam aktivitas-aktivitasnya sendiri. Hal itu merupakan sumber informasi tentang motivasi intern manusia. Namun hal itu sekaligus membuat menipu kita, kecuali kalau ia kritis.d. Ilmu sejarahCiri ilmu sejarah dibandingkan dengan ilmu empiris lainnya yaitu sifat objek materialnya, yaitu data-data peninggalan masa lampau baik berupa kesaksian, alat-alat, makam, rumah, tulisan, karya seni. Semuanya itu mirip dengan objek material ilmu kealaman, karena sama-sama sebagai benda mati. Namun objek ilmu sejarah tidak dapat dikenai eksperimen karena menyangkut masa lampau dan tidak dapat dibalikkan lagi. Sering peninggalan sejarah tertelan oleh masa, terlindung dan merupakan saksi bisu, bahkan sering hilang. Karena sering banyak hal yang mempengaruhi kemurnian objek manusiawi berkaitan dengan sikap menilai dari subjek penelitian, maka objektivitas ilmu sejarah sebagai ilmu kemanusiaan menjadi problem dalam menentukan patokan objektivitas.2. Taraf-taraf kepastian subjektivitas dan objektivitas ilmua. EvidensiEvidensi objek pengetahuan berkenaan dengan taraf kepastian kepastian pengetahuan yang dapat dicapai subjek dalam ilmu-ilmu terjadi berdasarkan evidensi objek yang dikenal. Evidensi dan kepastian itu perlu dilihat dari sudut kesatuan asli subjek dan objek dalam gejala pengetahuan manusia pada umumnya. Misal: dalam filsafat, evidensi objek bersangkutan dialami subjek dengan cara mendalam. Dengan demikian mutu kepastian adalah meyakinkan dan paling tinggi, paling bebas, sekaligus paling pribadi.a.1. Dalam ilmu-ilmu empirisSemua ilmu empiris, termasuk ilmu-ilmu kemanusiaan mengejar kepastian. Namun taraf kepastian konkret dalam ilmu-ilmu empiris bersifat bebas. Artinya tidak pernah ada paksaan pada akal agar sesuatu disetujui. Dengan kata lain evidensi dalam ilmu-ilmu empiris selalu

Page 17: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

bersifat nisbi, sehingga perlu disetujui berdasarkan pilihan bebas tanpa paksaan.Makin dekat bidang ilmu tertentu pada pengalaman manusia seutuhnya, maka makin besar kesatuan subjek-objek, sehingga makin kurang pula peran subjek dalam kesatuan itu. Jadi evidensi dan kepastian diwarnai subjektivitas yang membangun. Misal: dalam filsafat dan humaniora.Makin jauh bidang ilmu tertentu dari pengalaman manusia seutuhnya, maka makin kurang kesatuan subjek objek, sehinga makin kurang pula peran subjek dalam kesatuan itu. Jadi evidensi dan kepastian lebih diwarnai oleh objektivitas (di luar pengalaman subjektif). Misal: dalam ilmu alam.a.2. Dalam ilmu-ilmu pastiDalam context of discovery sebagaimana ilmu yang lain memang ilmu pastipun masih dalam taraf coba-coba. Sedangkan dalam context of justification, maka tidak ada hipotesa lagi, melainkan ungkapan-ungkapan yang bersifat aksiomatis dan dalil-dalil. Ia berlaku tanpa terikat ruang dan waktu. Memang ilmu-ilmu pasti tidak bersifat empiris, sehingga sifat evidensinya bersifat mutlak. Sekali seorang ilmuwan memilih sistem tertentu maka ia sudah tidak bebas lagi untuk meragukan atau menolak hasil sistem ilmu yang bersangkutan (Verhak, 1989: 116) dalam (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 52).Ilmu alam agak jauh dari pengalaman konkrit, sebab sifatnya eksak. Tidak saja keeksakan dalam konsep-konsepnya. Konsep dalam ilmu alam jauh dari pengalaman yang terbuka (bersifat eksklusif). Isi konsep dan isi observasi berkaitan secara univok. Konsep-konsep yang dipakai dalam ilmu alam agak jauh dari data-data dri pengalaman yangterbuka bagi setiap orang, sehingga ilmu alam sukar untuk dimengerti bagi orang yang bukan ahli. Lagi pula ilmu alam dalam dalam menyelididki realitas jasmani terus-menerus memperluas sarana observasinya, sehingga peran indera berkurang. Contoh: melihat data cukup dengan membaca petunjuk grafik, jarum.b. ObjektivitasIlmu dikatakan objektif karena ilmu mendekati fakta-faktanya secara metodis, artinya menurut cara penelitian yang dikembangkan oleh subjek yang mengenal. Misal: ilmu alam berhasil menyalurkan pengaruh subjektif, sehingga terbentuk ilmu yang benar-benar intersubjektif. Kesulitan khusus bagi ilmu-ilmu manusia yaitu bahwa ilmu-ilmu itu dalam praktek tidak dapat melakukan eksperimen secara netral. Misal: tidak bisa menguji coba terlebih dahulu pelbagai bentuk sosial. Walaupun pengalaman eksperimental dalam ilmu-ilmu manusia diperlukan, maka hal yang memungkinkan yaitu arah menuju kemanusiaan yang lebih baik serta utuh (Van Peursen, 1986: 64) dalam (Tim dosen filsafat ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2007: 52).Objektivitas ilmu alam adalah objektivitas yang menyangkut apa yang diberikan sebagai objek. Ojek tidak mesti berupa suatu benda, tetapi objek itu merupakan sesuatu yang tampak bagi indera manusia (panca indera).Ilmu alam maupun ilmu sosial adalah non-refleksif sejauh tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai kodratnya sendiri sebagai ilmu dengan mempergunakan sarana-sarana teoritis dan eksperimentalnya.B. Hubungan Filsafat Ilmu dengan Cabang Filsafat LainFilsafat ilmu bersinggungan dengan bagian-bagian filsafat sistematik lainnya, seperti ontologi (ciri-ciri susunan kenyataan), filsafat pengetahuan (hakekat serta otensitas pengetahuan), logika (penyimpulan yang benar), metodologi (konsep metode), dan filsafat kesusilaan (nilai-nilai serta tanggungjawab).

Page 18: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

Pertama, Ontologi adalah cabang filsafat yang mempersoalkan masalah “ada” dan meliputi persoalan sebagai berikut: apakah artinya “ada”, apakah golongan-golongan dari hal yang ada?, apakah sifat dasar kenyataan dan ada yang terakhir?, apa cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari kategori logis yang berlainan (objek fisik, pengertian universal, abstraksi dalam bilangan) dapat dikatakan ada?Filsafat ilmu berkaitan dengan ontologi karena filsafat ilmu dalam telaahnya terhadap ilmu akan menyelidiki landasan ontologis dari suatu ilmu. Landasan ontologis ilmu dapat dicari dengan menanyakan apa asumsi ilmu terhadap objek materi maupun objek formal?, apakah objek bersifat phisik ataukah bersifat kejiwaan?Kedua, Epistemologi adalah teori tentang pengetahuan. Dalam epistemologi yang dibahas adalah objek pengetahuan, sumber dan alat untuk memperoleh pengetahuan, kesadaran dan metode, validitas pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan. Epistemologi berkaitan dengan pemilahan dan kesesuaian antara realisme atas pengetahuan: tentang proposisi, konsep-konsep, kepercayaan, dan sebagainya., dan realisme tentang objek, secara terpilih disusun dalam term “objek real”, fenomena, pengalaman, data indera, dan lainnya. Epistemologi berusaha untuk memaparkan dan menjawab problem-problem yang muncul dalam area tertentu, misal: positivisme logis. Semua epistemologi meletakkan beberapa oposisi sebagai penyusun teori pengetahuan, tujuannya yaitu meletakkan yang memungkinkan bagi suatu pengetahuan. Misal: teori-fakta, manusia-dunia, transendental subjektif-transendental objektif. Epistemologi meliputi konsepsi yang spesifik tentang “subjek”, “objek” dan hubungan keduanya, dan itu dievaluasi dan menderivasikan keterangan untuk mengevaluasi pengetahuan dari “pengetahuan” tentang hubungan. Spesifikasi epistemologis tentang kriteria validitas semua pengetahuan harus memperkirakan validitas pengetahuan yang mendahuluinya, yang darinya spesifikasinya diderivasi.Ketiga, Logika adalah cabang filsafat yang persoalannya begitu luas dan rumit, namun ia berkisar pada persoalan penyimpulan, khususnya berkenaan dengan prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang absah. Penyimpulan yaitu proses penalaran guna mendapat pengertian baru dari satu atau lebih proposisi yang diterima sebagai benar, dan kebenaran dari kesimpulan itu diyakini terkandung dalam kebenaran proposisi yang belakangan. Tatanan logis adalah merupakan syarat mutlak bagi suatu ilmu. Pernyataan-pernyataan dan kesimpulan-kesimpulan mengenai esensi-esensi dan sebab-sebab dari objek dalam bidang pengetahuan tertentu tidak bisa dihitung secara sewenang-wenang, tetapi harus ditata dan diklasifikasi sesuai dengan prinsip tertentu dan mengikuti metode tertentu. Penyelidikan mengenai “cara-cara memperoleh pengetahuan ilmiah” bersangkutan dengan susunan logik dan metode logik, urutan serta hubungan antara pelbagai langkah dalam penyelidikan ilmiah.dan bersangkutan pula dengan, susunan logik serta metodologik, urutan serta hubungan antara unsur-unsur serta struktur-struktur yang berlaku dalam pemikiran ilmiah.Namun persoalan-persoalan logika yang penting dalam kaitannya dengan ilmu yaitu: apakah ciri-ciri suatu sistem aksiomatik, bagaimana kita dapat memastikan bahwa suatu aksioma sesungguhnya bukan suatu dalil yang dapat diturunkan dari aksioma yang lain?, apakah sekumpulan aksioma tertentu akan menghasilkan semua yang dapat dikatakan dalam bidangnya?. Bagaimanakah kita dapat mengetahui bahwa kesimpulan aksioma tersebut tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang salah? (The Liang Gie: 1977: 186) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 54).Keempat, Metodologi yaitu berkaitan dengan suatu konsep metode, ia mempersoalkan: apakah arti suatu metode, apakah sifat dasar metode, apakah ada metode yang khas bagi ilmu?, apakah

Page 19: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

ada kaitan antara tujuan suatu penyelidikan dengan metode yang hrus dipakai?. Disinyalir dalam ilmu-ilmu terdapat derajat kebebasan yang tinggi antara tujuan dan metode.Filsafat ilmu mempersoalkan masalah metodologik, yaitu mengenai azas-azas serta alasan apakah yang menyebabkan ilmu dapat memperoleh predikat “pengetahuan ilmiah”. Filsafat akan mencari prinsip metodis suatu ilmu, sebab prinsip metodis merupakan titik tolak penyelidikan suatu ilmu. Fungsi metodologi yaitu menguji metode yang dipergunakan untuk menghasilkan pengetahuan yang valid. Metodologi meletakan prosedur yang dipergunakan untuk menguji proposisi. Prosudur ini dijastifikasi maknanya dengan argumen filosofis. Adalah jelas metodologi-metodologi mengklaim untuk menentukan prosudur yang benar bagi ilmu, harus memperkirakan bentuk pengetahuan yang didalamnya beberapa pengertian superior dihasilkan dalam ilmu. Ilmu diperkirakan valid hanya bila hasilnya sesuai dengan prosedur: yang diperkirakan tidak dapat disahkan oleh ilmu. Metodologi meletakkan aturan bagi prosedur praktek ilmu, penderivasian makna pengetahuan dibuktikan oleh filsafat. Metodologi adalah produk filsafat dan ilmu-ilmu adalah realisasi dari metodologi (Barry Hindes, 1977: 5) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 55).Perkiraan metodologis mungkin diderivasi dari epistemologi, yakni suatu konsepsi bentuk pengetahuan yang memungkinkan dicapainya pengetahuan yang valid (dari ontologi tentang apa yang eksis). Karakter pengetahuan sangat berhubungan dengan apa yang menjadi sifat esensial dari objek penyelidikan.Kelima, Etika, yaitu cabang filsafat yang mempersoalkan baik dan buruk. Dalam kaitannya dengan ilmu yaitu berkaitan dengan tujuan ilmu, tanggungjawab ilmu terhadap masyarakat.Hubungan filsafat ilmu dengan etika dapat mengarahkan ilmu agar tidak mencelakakan manusia, melainkan membimbing ilmu agar dapat menjadi sarana mensejahterakan manusia. Ilmu bertendensi untuk membuka tabir/kedok dari kemutlakan-kemutlakan alam yang oleh sejarah diangkat menjadi kemutlakan budaya. Tujuan ilmu yang memperoleh pengertian lebih mendalam tentang motif-motif tingkah laku manusia yang diliputi kegelapan supaya manusia menjadi lebih utuh, dewasa, dan bebas (Van Melsen, 1985: 123-4) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 55).C. Hubungan Filsafat Ilmu dengan Ilmu-Ilmu. Perkembangan ilmu yang makin cepat ini juga dialami oleh banyak ilmu serta pengaruhnya yang semakin besar terhadap kehidupan masyarakat. Untuk itu sudah saatnya kita memberi perhatian yang besar terhadap filsafat ilmu, sehingga kita dapat mengatasai keterkungkungan spesialisasi ilmu.1. Perbedaan Filsafat dan Ilmu Filsafat dan ilmu mempunyai banyak persamaan. Kedua bidang tersebut tumbuh dari sikap refleksif, sikap bertanya, dan dilandasi oleh kecintaan yang tidak memihak terhadap kebenaran. Hanya saja kalau filsafat dengan metodenya mampu mempertanyakan keabsahan dan kebenaran ilmu, sedang ilmu dengan metodenya tidak mampu mempertanyakan asumsi limu, metode ilmu, kebenaran ilmu, dan keabsahan ilmu. Ilmu tertentu menyelidiki bidang-bidang yang terbatas, sedang filsafat lebih bersifat inklusif dan bukan eksklusif, ia berusaha untuk memasukkan dalam pengetahuannya apa yang bersifat umum untuk segala bidang dan untuk pengalaman manusia pada umumnya. Dengan begitu filsafat berusaha mendapatkan pandangan yang lebih komperhensif tentang benda-benda (Titus dkk, 1984: 283) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 56).Ilmu dalam pendekatannya lebih analitik dan diskriptif: ia berusaha untuk menganalisa scara keseluruhan pada unsur-unsur yang menjadi bagian-bagiannya, serta menganalisa organisme kepada anggota-anggotanya. Filsafat lebih sintetik atau sinoptik: menghadapi sifat dan kualitas alam dan kehidupan sebagai keseluruhan. Filsafat berusaha menggabungkan benda-benda dalam

Page 20: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

sintesa yang interpretatif dan menemukan arti benda-benda. Jika ilmu condong untuk menghilangkan faktor-faktor pribadi dan menganggap sepi nilai-nilai demi menghasilkan objektivitas, maka filsafat mementingkan personalitas, nilai-nilai dan bidang pengalaman (Titus dkk, 1984: 283) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 56).2. Spesialisasi Ilmu Dewasa ini setiap pengetahuan terpisah satu dari yang lainnya. Ilmu terpisah dari moral, moral terpisah dari seni, dan seni terpisah dari ilmu. Kita tidak lagi memiliki pengetahuan yang utuh, melainkan terpotong-potong. Spesialisasi pendidikan, pekerjaan, dan kemajuan diberbagai bidang pengetahuan menyebabkan jurang pemisahsemakin lebar. Ilmu semakin diperluas juga diperdalam oleh para ilmuannya, dengan demikian timbul suatu subdisiplin yang akhirnya dapat menjadi disiplin yang berdiri sendiri.3. Kerja Sama Filsafat dengan Ilmu Dalam beberapa abad terakhir filsafat telah mengembangkan kerjasama yang erat dengan ilmu. D. Kesimpulan Berpikir filsafat berarti berpikir untuk menemukan kebenaran secara tuntas. Analisis filsafat tentang hakekat ilmu harus ditekankan kepada upaya keilmuan dalam mencari kebenaran, yang selanjutnya terkait secara erat dengan aspek-aspek moral, seperti kejujuran. Analisis filsafat ilmu tidak boleh berhenti pada upaya untuk meningkatkan penalaran keilmuan melainkan sekaligus harus mencakup pendewasaan moral keilmuan (Yuyun, 1981: 43) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 61).Filsafat ilmu mempunyai wilayah lebih luas dan perhatian lebih transendent daripada ilmu-ilmu. Maka dari itu filsafat pun mempunyai wilayah lebih luas daripada penyelidikan tentang cara kerja ilmu-ilmu. Filsafat ilmu bertugas meneliti hakekat ilmu. Diantaranya paham tentang kepastian, kebenaran, dan objektivitas (Verhak, 1989: 108) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 61).Filsafat ilmu harus merupakan pengetahuan tentang ilmu yang didekati secara filsafat dengan tujuan untuk lebih memfungsionalkan wujud keilmuan baik secara moral, intelektual, maupun sosial. Filsafat ilmu harus mencakup bukan saja pembahasan mengenai ilmu itu sendiri beserta segenap perangkatnya melainkan sekaligus kaitan ilmu dengan berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, kebudayaan, moral, sosial dan politik. Demikian juga pembahasan yang bersifat analitis dari tiap-tiap unsur bahasan harus diletakkan dalam kerangka berpikir secara keseluruhan (Yuyun, 1981: 39) dalam (Filsafat Ilmu, 2007: 61).

DAFTAR PUSTAKATim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat Universitas Gaja Mada (UGM), 2007, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Liberty, Yogyakarta.Soetrisno dan Hanafi, Rita, 2007, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Penerbit Andi, Yogyakarta.Salam, Burhanuddin, 2000, Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, Rineka Cipta, Jakarta. http://taliabupomai.blogspot.com/2010/05/ruang-lingkup-dan-kedudukan-filsafat.html

Page 21: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

TugasMata Kuliah : Filsafat IlmuDosen : Prof. Dr. T. Fatima Djajasudarma, Drs.

 

Kaitan Antara Etika dan Ilmu Pengetahuan

 

Maqbul HalimL2G04026

 

PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG 2004

Kaitan Antara Etika dan Ilmu PengetahuanOleh : Maqbul  Halim

(L2G04026)

Page 22: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

  Pertentangan Ontologis: Ilmuan dan Gereja

Copernicus (1473-1543) dan kemudian diteruskan oleh Galileo (1564-1642), berteori tentang “bumi berputar mengelilingi matahari”, bukan sebaliknya seperti yang diyakini dalam ajaran gereja. Agama (gereja) adalah mata air sebagian besar tatanan moral dalam pengertian metafisik menentang pernyataan Copernicus itu. Perbedaan pendapat antara ilmuan dan kalangan gereja ini menandai babak dimulainya pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama. Galileolah yang kemudian menjadi tumbal pada puncak pertentangan ini ketika menghadapi pengadilan agama agar ia mencabut pernyataannya bahwa bumi mengelilingi matahari.

Pertentangan ini sesungguhnya terjadi pada wilayah medan ontologis (metafisika). Petualangan untuk mengungkap kebenaran dalam gejala alam semesta mestilah bebas dari nilai. Sementara pada tahap ini, petunjuk-petunjuk agama sebagai suatu nilai kebenaran tentang alam semesta, membatasi kontemplasi ontologis kalangan ilmuan untuk mengungkap hakikat dari realitas alam. Dapat dikatakan bahwa pertarungan sesungguhnya yang terjadi antara ilmuan dan agamawan ketika itu adalah upaya otoritas agama untuk mempertahankan maknanya tentang realitas, sementara kalangan ilmuan lebih pada perjuangan untuk membebaskan diri dari nilai-nilai untuk mengungkap hakikat realitas. Pertentangan dalam ruang ontologis inilah yang sesungguhnya dialami antara otoritas gereja dengan Copernicus, Galileo, Socrates, dan sebagainya.

Kegigihan ilmuan tersebut di atas sebenarnya merupakan sebuah tekad untuk menemukan kebenaran, sebab menemukan kebenaran—apalagi mempertahankannya, diperlukan keberanian moral. Sejarah kemanusiaan dihiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawahnya dalam mepertahankan kebenaran apa yang mereka anggap benar (Jujun S. Suriasumantri 1994). Demikian untuk hal ini, perlawanan yang dilakukan ilmuan ini adalah sebuah perlawan ontologis: kebenaran asali tentang alam semesta. Pihak gereja mendasarkan legitimasinya tentang kebenaran alam semesta menurut panduan al-Kitab sementara kalangan ilmuan mendasarkannya pada prinsip-prinsip kontemplasi yang positivistik.

Pada tahun 1800-an, akhirnya ilmuan memperoleh otonominya secara utuh. Otonomi dalam artian bahwa kegiatan kontemplasi “ontologis” ilmu untuk menyibak hakikat realitas terbebas dari pengaruh nilai-nilai dari luar wilayah ontologis itu seperti agama, ideologi atau pertimbangan etis. Di sinilah ilmu pengetahuan mendapatkan otonomi untuk mengembangkan kajian dan penelitiannya. Mempelajari gejala alam menurut hukum-hukum yang bekerja dan mengatur kejadian-kejadian alam, bukan menurut ketentuan-ketentuan yang diidealkan oleh ajaran agama dari al-kitab atau ideologi tertentu. Otonomi Pengembangan Ilmu

Berkat otonomi ini pula, ilmuan dapat berekspansi melalui proses-proses ontologis sehingga melahirkan berbagai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ini dibangun atas dasar kajian-kajian epistemologis terhadap obyek-obyek pengetahuan yang dilahirkan oleh proses ontologis sebelumnya. Ilmu pengetahuan berkembang pesat pada tahap ini, karena berbagai macam metode ilmiah untuk mendapatkan pengetahuan, dikembangkan dikembangkan terus oleh para ilmuan. Gejala alam dan gejala kehidupan manusia (sosial-humaniora), satu-satu persatu ditemukan dan terus menambah perbendaharaan pengetahuan manusia. Begitu pula, obyek material melahirkan juga ilmu-ilmu murni maupun terapan (sesuai dengan obyek formalnya),

Page 23: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

seperti ilmu ekonomi, biologi, hukum, fisika, kedokteran, fisika, pertanian, sosiologi, antropologi, politik, dan sebagainya.

Seperti disebutkan tadi, bahwa obyek-obyek material ilmu dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok—dasarnya dalam filsafat ilmu: yakni ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Ilmu alam melahirkan sejumlah obyek formal yang dikaji oleh dan menurut disiplinnya sendiri seperti biologi, fisika, farmasi, pertanian, peternakan, kedokteran, peternakan, matematika, kimia, geologi, dan sebagainya. Ilmu-ilmu yang tergolong ke dalam ilmu alam ini dibagi menjadi dua, yaitu: ilmu murni yang mencakup biologi, fisika, matematika, dan kimia; dan ilmu terapan yang mencakup fisika terapan, biologi terapan, kimia terapan, peternakan, pertanian, geologi, teknologi dan sejenisnya.

Sedangkan yang tercakup ke dalam ilmu-ilmu sosial adalah sosiologi, antropologi, politik, administrasi, ekonomi, hukum, budaya, komunikasi, psikologi, dan sebagainya. Seperti ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial juga dibagi ke dalam dua kelompok, yakni ilmu murni dan ilmu terapan. Ilmu murni mencakup antropologi, politik, sosiologi, psikologi, ekonomi, budaya, hukum, dan sejenisnya. Sementara yang tergolong ke dalam ilmu terapan antara lain komunikasi, pemerintahan (politik terapan), kependudukan (sosiologi terapan), administrasi, manajemen atau akuntansi (ekonomi terapan), hukum tata negara (hukum terapan), dan sebagainya.

Kembali kepada tiga dasar terbentuknya ilmu penetahuan dalam filsafat ilmu: ontologis, epistemologis, dan aksiologis, maka ilmu-ilmu murni yang telah dikemukakan sebelumnya mengembangkan dirinya dalam wilayah dasar ontologis dan epistemologis. Sementara untuk ilmu-ilmu terapan berkembang dalam wilayah dasar aksiologis. Tulisan ini akan berlanjut pada kemajuan yang dicapai ilmu pengetahuan pada tingkatan aksiologis. Tingkatan ini akan berbicara mengenai manfaat dan kegunaan hasil ilmu pengetahuan ini untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia.  Tingkatan Aksiologi Pengetahuan

Dalam filsafat ilmu, menurut Bertrand Russel, tahap ini disebut juga tahap manipulasi. Dalam tahap ini, ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman (ontologi dan epistemologi), melainkan juga untuk memanipulasi faktor-faktor yang terkait dengan alam untuk mengontrol dan mengarahkan proses-proses alam yang terjadi. Konsep ilmiah tentang gejala alam sifatnya abstrak menjelma bentuk jadi kongkret berupa teknologi, misalnya (Jujun S. Suriasumantri 1994).

Teknologi yang dapat diartikan sebagai penerapan konsep-konsep ilmiah untuk memecahkan persoalan-persoalan praktis, dalam perjalan dan pencapaian-pencapaiannya, justru menimbulkan masalah lain. Eksesnya yang dapat disebutkan misalnya dehumanisasi, degradasi eksistensi kemanusiaan, dan pengrusakan lingkungan hidup. Sejarah kehidupan manusia memang telah mencatatkan bahwa Perang Dunia I dan II merupakan ajang pemanfaatan hasil temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaannya secara destruktif ini menimbulkan kontroversi. Pada satu sisi hal itu menimbulkan efek kehancuran pada manusia dan alam, sementara pada sisi lainnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian banyak dimanfaatkan dalam peperangan dan kehancuran alam adalah bagian dari rangkain perjalan ilmu untuk mengunkap hakikat gejala alam dan manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sering melupakan faktor-faktor manusia. Misalnya, manusia mesti menyesuaikan diri terhadap teknologi-teknologi baru (Jaques Ellul 1964). Akhirnya, eksistensi manusia terpinggirkan dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Jujun S. Suriasumantri 1984).

Page 24: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

Bencana-bencana yang ditimbulkan oleh pamanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (science and technology) antara kerusakan ekologi. Banyak yang dapat disebutkan tentang kehancura ekologi: kontaminasi air, udara, tanah, dampak rumah kaca, kepunahan spesies tumbuhan dan hewan, pengrusakan hutan, akumulasi limba-limba toksik, penipisan laporan ozon (CO1) pada atmosfir bumi, kerusakan ekosistem lingkungan hidup, dan lain-lain. Lebih-lebih lagi, musuh kemanusiaan, yaitu perang. Perang Dunia I dan II yang meluluhlantakkan Eropa dan sejumlah kawasan di Asia dan Pasifik menggoreskan luka kemanusiaan. Berapa korban manusia berguguran akibat bom atom yang dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki, Jepang. Atau kawasan Asia Tengah, yaitu Afganistan yang menjadi ajang ujicoba penemuan mutakhir teknologi perang buatan Amerika Serikat dan Uni Soviet (sekarang Rusia).

Pada akhirnya ilmuan memang tiba pada opsi-opsi: apakah ilmu pengetahuan dan teknologi netral dari segala nilai atau justru batas petualangan dan prospek pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak boleh mengingkari suatu nilai, seperti nilai moral, religius, dan ideologi. Ilmu pengetahuan sudah sangat jauh tumbuh dan berkembang untuk dirinya sendiri, sementara teknologi atau ilmu pengetahuan terapan lain terus bergulir mengikuti logika dan perspektifnya sendiri—dalam hal ini tak ada nilai-nilai lain yang diizinkan memberikan kontribusi. Kecemasan tertinggi di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terjadi ketika ilmu kedokteran berhasil menyelesaikan proyek eksperimennya mengembangkan janin dengan metode yang disebut “bayi tabung”.

Lalu kemudian ternyata masih ada yang lebih mutakhir dari pada “bayi tabung” itu, yakni suksesnya para ilmuan merampungkan eksperimen kloningnya. Yang terakhir ini mengubah hakikat manusia secara dramatis; ilmu pengetahuan yang diciptakan oleh manusia mampu menciptakan manusia juga. Bahkan, ilmu pengetahuan yang diproyeksi untuk membantu dan memudahkan manusia mencapai tujuan-tujuan hidupnya, justru berkembang dimana ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri mengkreasikan tujuan-tujuan hidup itu sendiri.  Pertentangan Aksiologis: Ilmuan dan Humanis

Kalangan humanis kemudian mengajukan sejumlah pertanyaan etis yang penting. Antara lain pertanyaan itu adalah: untuk apa sebenarnya ilmu harus dipergunakan? Dimanakah batas ilmu harusnya berkembang? Namun pertanyaan ini tidak urgen bagi ilmuan dan tidak merupakan tanggung jawab bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Penelaahan tujuan ilmu pengetahuan itu dikembangkan dan diterapkan, untuk tulisan ini, cukup penting. Karena ide dasar penerapan hasil-hasil ilmu pengetahuan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan penghidupan manusia. Seperti disebutkan sebelumnya, ekspektasi besar manusia pada ilmu pengetahuan bahwa itu dapat membantu dan memudahkan manusia mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Namun yang terjadi kemudian adalah absuditas (paradoks): bahwa ilmu pengetahuan justru membiaskan kehancuran dan malapetaka bagi alam dan manusia (kehancuran itu telah disebutkan pada pragraf sebelumnya).

Adakah ini berarti bahwa gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebaiknya cukup sampai di sini? Atau boleh dilanjutkan tetapi menurut konsideran dari otoritas-otoritas tertentu (bukan otoritas administratif dan institusi keagamaan atau ideologi)? Akan tetapi, bila ruang gerak prospek ilmu pengetahuan dan teknologi ini dipagari, berarti kita telah melangkah mundur hingga pada jamannya Galileo atau Socrates.  Konsekuensinya, kemandirian ilmu pengetahuan untuk berkembang terkebiri, sementara problem yang muncul sesungguhnya tidak bersumber pada pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi itu.

Page 25: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

Untuk sementara, dasar ontologis, epistemologis dan aksiologis terbentuknya pengetahuan perlu diungkit kembali untuk mempetakan persoalan yang ditimbulkan oleh pencapaian-pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut dasar-dasar ini, suatu pengetahuan merupakan hasil kontemplasi yang menguak hakikat realitas alam dan manusia sebagai suatu obyek empiris (tahap ontologis). Ketika realitas yang berbentuk obyek itu berusaha dipahami dan dimengerti (diketahui), maka itulah tahap epistemologis. Intervensi kepentingan manusia dan nilai-nilai etika, moral, dan agama tidak ditemukan dalam tahap ini dan memang tidak relevan ditempatkan dalam proses itu. Ketika ada pertanyaan tentang manfaat pengetahuan itu bagi kehidupan manusia, berarti yang dimaksudkan adalah tahap aksiologis dari pengetahuan itu. Dalam tahap ini, persitwa alam dan manusia tidak lagi bergerak secara orisinal menurut kecenderungan alamiahnya, tetapi sudah merupakan proses yang artikulatif dan manipulatif. Dalam artian bahwa, kepentingan manusia sudah dapat berinfiltrasi ke dalam penerapan pengetahuan itu.

Tahap aksiologis inilah dari sejumlah rangkaian kegiatan keilmuan suatu pengetahuan yang kerap menimbulkan kontroversi dan paradoks. Hal ini dimungkinkan karena adanya kemampuan manusia melakukan artikulasi dan manipulasi terhadap kejadian-kejadian alam untuk kepentingannya. KEPENTINGAN manusia sangat ditentukan oleh motif dan kesadaran yang pada manusia itu sendiri. Jadi, fokus persoalan ilmu pengetahuan pada tingkat aksiologis ini ada pada manusia. Oleh karena itu, maka tinjauan kita tentang manusia akan sangat membantu memahami dan menyusun pengertian tentang bagaimana sebaiknya ilmu pengatahuan dan teknologi diteruskan pengembangannya dalam tataran aksiologi. Sekaligus pula diperperterang kembali bahwa pertentangan antara kalangan humanis dan ilmuan pada abad ini adalah berkisar pada tingkatan aksiologis itu. Berbeda pada zamam Copernicus atau Galileo, di mana ilmuan bertentangan dan saling mempertahankan keyakinan dengan kalangan gerja pada tataran ontologis. Oleh karena itu, tuntutan kemanusiaan pada wilayah aksiologi ilmu pengetahuan dan teknologi ini mendapat permakluman secara luas. Aspek Etika (Moral) Ilmu Pengetahuan

Kembali, kita akan fokus pada manusia sebagai manipulator dan artikulator dalam mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri daru Freud yang dikenal dengan nama “id”, “ego” dan “super-ego”. “Id” adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dalam agama) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instink: libido (konstruktif) dan thanatos (destruktif dan agresif). “Ego” adalah penyelaras antara “id” dan realitas dunia luar. “Super-ego” adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani (Jalaluddin Rakhmat, 1985). Dalam agama, ada sisi destruktif manusia, yaitu sisi angkara murka (hawa nafsu).

Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Milsanya dalam pertarungan antara id dan ego, dimana ego kalah sementara super-ego tidak berfungsi optimal, maka tentu—atau juga nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan—amatlah nihil kebaikan yang diperoleh manusia, atau malah mungkin kehancuran. Kisah dua kali perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalah pilihan “id” dari kepribadian manusia yang mengalahkan “ego” maupun “super-ego”-nya.

Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggungjawab manusia dalam mengembangkan

Page 26: Ltm 2 Struktur Ilmu Dalam Filsafat Ilmu

ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan potensi “id” (libido) dan nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well-supporting bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakikat moral, tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.

Etika adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya (ought to), benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau good dan teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani. Bernaung di bawah filsafat moral (Herman Soewardi 1999). Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiban itu, dengan argumen bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh karena itu, etika pada dasarnya adalah seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan (good) yang pelaksananya (executor) tidak ditunjuk. Executor-nya menjadi jelas ketika sang subyek berhadap opsi baik atau buruk—yang baik itulah materi kewajiban ekskutor dalam situasi ini. Rujukan: Jaques Ellul, 1964, “The Tecnological Society”. Alfred Knopf, New York.Rakhmat, Jalaluddin, 1985, “Psikologi Komunikasi”, Remaja Rosdakarya, Bandung.Suriasumantri Jujun S., 1984, “Filsasfat Ilmu”, sebuah pengantar populer. Pustaka Sinar Harapan: JakartaSoewardi, Herman, 1999, “Roda Berputar Dunia Bergulir” Kognisi Baru Tentang Timbul-Tenggelamnya Sivilisasi, Bakti Mandiri, Bandung.

Read more: http://www.oocities.com/maqbulhalim/Course/FilsafatIlmu1.html?201023#ixzz10N0gBrXa