LSM Dan Politik
-
Upload
novi-hendra -
Category
Documents
-
view
1.854 -
download
10
description
Transcript of LSM Dan Politik
LSM DAN POLITIK
(Novi Hendra, S. IP)
Abdurrahman Wahid itu selain menjadi presiden RI ketiga, dia juga presiden
lembaga swadaya masyarakat. Demikianlah gelar untuk Gus Dur dari rekan-rekannya di
LSM. Bisa dimengerti, karena Gus Dur memang adalah aktivis LSM. Demikian pula
semasa reformasi, banyak menteri yang berasal dari LSM, sebut saja misalnya Erna
Witoelar, Adi Sasono, dan Hasballah M Saad. Jadi semenjak reformasi, LSM menanjak
naik dan diakui perannya.
Belum lama ini hadir dua buku baru mengenai lembaga swadaya masyarakat
(LSM) di Indonesia yang kedua-duanya ditulis oleh orang Indonesia sendiri. Pertama
adalah buku berjudul The Politics of NGOs in Indonesia: Developing Democracy and
Managing a Movement yang ditulis oleh Bob S Hadiwinata. Buku ini merupakan tesis
doktoralnya di Kings College, Cambridge University, Inggris, dan diterbitkan oleh
Routledge Curzon, New York, tahun 2003. Buku kedua berjudul An Uphill Struggle:
Advocacy NGOs under Soeharto’s New Order yang ditulis oleh Meuthia Ganie-
Rochman, yang juga hasil tesis doktoralnya di Catholic University of Nijmegen, Belanda,
dan diterbitkan oleh Lab Sosio, FISIP UI, Depok, tahun 2002. Dua buku ini memperkaya
kajian tentang LSM dan menjelaskan bagaimana posisi LSM dalam sistem politik di
Indonesia dan perannya dalam transisi demokrasi. Kedua penulis ini berlatar belakang
akademis sehingga melihat LSM secara berjarak dan sebagai orang luar. Ganie-Rochman
pernah sebentar bekerja di INFID dan setelahnya kembali ke kursi akademis.
Sebenarnya sudah ada beberapa tesis doktoral tentang LSM di Indonesia yang
ditulis oleh aktivisnya sendiri, yaitu dari Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk
Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM di Indonesia di tahun 1996, dan dari
Kastorius Sinaga, NGOs in Indonesia: A Study of the Role of Non-Governmental
Organizations in the Development Process di tahun 1994. Di samping itu, ada akademisi
asing, seperti Philip J Eldridge, yang menulis Non-Government Organizations and
Democratic Participation in Indonesia di tahun 1995, dan Anders Uhlin yang menulis
Indonesia and the Third Wave of Democratization: The Indonesia Pro-Democracy
Movement in a Changing World di tahun 1997. Mengingat dunia LSM kaya dengan
persoalan dan dimensi, maka studi-studi ini telah membantu banyak orang dalam
memahami perkembangan LSM di Indonesia, terutama posisinya dalam sistem politik
yang berubah.
Sebagaimana disebutkan oleh kedua penulis pertama di atas, maka kebanyakan
studi ilmu politik memfokuskan pada peranan dari badan dan kelembagaan formal di
dalam sistem politik. Hubungan yang dinamis antara negara dan masyarakat lebih banyak
diwakili oleh lembaga kepresidenan, parlemen, dan kehakiman di satu pihak; dan di
pihak lain institusi politik yang telah mapan, seperti partai politik (parpol), organisasi
kemasyarakatan (ormas), dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya, baik dari
kalangan bisnis, profesi, dan lainnya. Karena itu, LSM merupakan fenomena baru dalam
sistem politik, dan sejujurnya belum banyak dimengerti orang meskipun sudah hadir
sejak tahun 1960-an.
Di dalam khazanah sistem politik Barat pun, NGO (Non-Governmental
Organizations) juga merupakan fenomena baru yang belum banyak dibahas. Karena itu,
ketidakpahaman tentang LSM di Indonesia juga bisa dimaklumi. Sebagaimana dilihat
dari kepustakaan di atas, maka studi yang serius tentang LSM di Indonesia baru
dilakukan di pertengahan dasawarsa 1990-an. Studi Ganie-Rochman memusatkan pada
peran LSM di tengah otoriterisme Orde Baru (Orba) serta peran dari LSM bidang
advokasi. Untuk itu, ia mengetengahkan studi kasus berbasis isu, yaitu Kedung Ombo
(konflik tanah dan bendungan), Marsinah (perburuhan), dan Jelmu Sibak (lingkungan dan
kehutanan). Sementara studi Hadiwinata lebih memusatkan pada diri LSM itu sendiri,
baik dalam aspek gerakannya maupun dalam aspek kelembagaannya. Studi kasus yang
diangkat adalah LSM-LSM di Yogyakarta. Kedua studi ini kiranya saling melengkapi
satu sama lain dalam membantu memahami dunia LSM di Indonesia.
LSM sebagai Sektor Ketiga
Bila kita ingat pada zaman Orba, LSM pada masa itu identik dengan kelompok
antipemerintah atau oposan atau bahkan dituduh sebagai "agen asing". Masa Orba adalah
masa yang gelap dalam demokrasi. Ketika itu kita selalu merasakan kehadiran militer dan
intel di mana-mana. Pertemuan atau seminar dengan mudah dilarang. Banyak orang takut
atau khawatir bisa "diciduk" setiap saat atau dituduh PKI. Kasus-kasus penindasan dalam
isu-isu pertanahan, perburuhan, kehutanan, dan lingkungan bukan main banyaknya. Di
pihak lain, penguasa dengan mudah menumpuk kekayaan dan kekuasaan tanpa batas, dan
Soeharto terus-menerus menjadi presiden tanpa kita tahu kapan berakhirnya. LSM pada
saat itu adalah musuh penguasa. Dan akibatnya yang positif, semua aktivis LSM,
meskipun berbeda-beda ideologi dan posisi, merasa menjadi satu dan mempunyai musuh
yang satu. Baru semenjak reformasi, di mana ada kebebasan politik, LSM dianggap
sebagai salah satu bagian kelembagaan politik yang penting dan diakui.
Kini, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), LSM telah tumbuh dari hanya
berjumlah sekitar 10.000 di tahun 1996 menjadi sekitar 70.000 di tahun 2000. Fenomena
ini sama dengan yang terjadi di berbagai negara lainnya, di mana jumlah LSM telah
meningkat secara tajam. Karena itu tidak mengherankan, sebagaimana dikatakan
Hadiwinata, bahwa LSM telah menjadi "Sektor Ketiga", yaitu sektor publik yang
mengedepankan kepedulian sosial atau personal. Sektor Pertama adalah sektor negara
atau pemerintah yang berkewajiban menjamin pelayanan bagi warga negaranya dan
menyediakan kebutuhan sosial dasar, sedangkan Sektor Kedua adalah sektor swasta yang
terdiri dari kalangan bisnis dan industrial yang bertujuan mencari penghidupan dan
menciptakan kekayaan.
Sebagai Sektor Ketiga, maka LSM beroperasi di luar pemerintah dan pasar.
Mengutip Salamon dan Anheier, Hadiwinata mendefinisikan LSM mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut: (1) Formal, artinya secara organisasi bersifat permanen, mempunyai
kantor dengan seperangkat aturan dan prosedur; (2) Swasta, artinya kelembagaan yang
berada di luar atau terpisah dari pemerintah; (3) Tidak mencari keuntungan, yaitu tidak
memberikan keuntungan (profit) kepada direktur atau pengurusnya; (4) Menjalankan
organisasinya sendiri (self-governing), yaitu tidak dikontrol oleh pihak luar; (5) Sukarela
(voluntary), yaitu menjalankan derajat kesukarelaan tertentu; (6) Nonreligius, artinya
tidak mempromosikan ajaran agama; dan (7) Nonpolitik, yaitu tidak ikut dalam
pencalonan di pemilu (hal 5).
Studi tentang LSM mula-mula lebih banyak dalam konteks studi manajemen.
LSM dikategorikan sebagai sektor voluntary, yaitu terletak di wilayah yang merupakan
irisan dari dunia birokratik dengan dunia swasta. Akan tetapi, sejak awal tahun 1990,
Hadiwinata yang mengutip buku Samuel Huntington, The Third Wave: Democratization
in the Late Twentieth Century, menyatakan bahwa sejak itu telah terjadi ekspansi
demokratik secara global dengan menyebarnya tuntutan populer akan kebebasan politik,
representasi, partisipasi, dan akuntabilitas.
Hal ini mendorong munculnya teori "masyarakat sipil" (civil society) dan
"gerakan sosial" (social movement). Dengan mengutip Joel Migdal, maka agen-agen
utama dalam hubungan negara dan masyarakat adalah "kekuatan-kekuatan sosial" (social
forces), dan bukan lagi "kelas-kelas sosial" (social classes). LSM adalah salah satu
kekuatan sosial tersebut, yang lahir karena respons yang spontan dari berbagai kelompok
di masyarakat yang peduli karena adanya stagnasi ekonomi, represi politik, dan
sektarianisme yang menghinggapi kelompok-kelompok revolusioner (hal 32-36). Dengan
memasukkan LSM sebagai bagian dari "organisasi masyarakat sipil" dan "gerakan sosial
baru", maka dimensi analisisnya juga menjadi berbeda sama sekali. Dari sinilah LSM
menjadi bagian penting dari sistem politik yang berubah di negara-negara berkembang,
termasuk di Indonesia.
LSM dan otoriterisme Orba
Menarik untuk diamati bahwa kebanyakan studi tentang Orba selama ini melihat
pada dinamika negara dan kurang sekali pada dinamika masyarakatnya. Mereka lebih
memusatkan pada perubahan kebijakan dikarenakan permainan dari berbagai unsur di
dalam negara dan kurang sekali menghubungkannya dengan tuntutan-tuntutan dari
masyarakat. Mengutip Andrew MacIntire, Ganie-Rochman menyebut enam perspektif
studi semacam ini, yaitu state-qua-state, bureaucratic policy dan patrimonial cluster,
bureaucratic pluralism, bureaucratic authoritarianism, structuralism, serta restricted
pluralism.
Kelemahan studi-studi semacam ini adalah melihat pada sebuah lingkaran
kekuasaan negara yang seolah-olah menjadi sangat berkuasa dan sangat berpengaruh.
Karena itu, studi Ganie-Rochman mencoba menemukan kembali unsur masyarakat yang
kurang dibahas dalam berbagai studi sebelumnya. Kuncinya, menurut Ganie-Rochman
terletak pada bagaimana Orba sebagai sebuah negara developmental terus-menerus
berusaha menciptakan legitimasinya melalui kinerja ekonominya. Dan pencapaian
ekonomi ini yang sebenarnya mendorong tumbuhnya kelompok-kelompok kritis yang
baru di masyarakat, yaitu kalangan wiraswastawan, mahasiswa, kaum profesional, dan
LSM-LSM, yang sesungguhnya juga diuntungkan dari kebijakan ekonomi pemerintah.
Akan tetapi, justru kelompok-kelompok kritis baru inilah yang menuntut
diadakannya keterbukaan politik dari rezim Soeharto. Dan hal inilah yang tidak dipenuhi
oleh Soeharto, yang selama tiga dekade kekuasaannya berusaha terus- menerus
menumpuk kekuasaannya dan mengabaikan tuntutan masyarakat. Bentuk pemerintahan
otoriter semacam inilah yang berdampak negatif kepada kekuasaan Soeharto sendiri
karena memunculkan ketidakpuasan dari berbagai kelompok tersebut dan menggerogoti
basis kekuasaannya sendiri. Tiadanya "keterbukaan politik" merupakan dasar dari
ketidakpuasan kelas menengah yang baru tumbuh di Indonesia (hal 25-38). Di sinilah
kiranya tempat dari bertumbuhnya LSM. Mereka inilah yang banyak di antaranya
mendirikan atau bergabung ke dalam LSM, baik para mantan aktivis mahasiswa maupun
pemimpin-pemimpin sosial semacam Abdurrahman Wahid.
Hadiwinata, dengan mengutip studi Eldridge, mencatat bahwa LSM telah bekerja
di bawah tekanan yang terus-menerus di masa Orba sehingga mereka harus sering
mengubah strategi dan pendekatannya. Eldridge telah membuat tiga model paradigma
LSM dalam hubungannya dengan negara, yaitu: (1) kerja sama tingkat tinggi-
pembangunan akar rumput (grassroot); (2) politik tingkat tinggi-mobilisasi akar rumput;
dan (3) pemberdayaan dari bawah. Menurut Hadiwinata, ini paralel dengan model
pendekatan LSM yang diajukan oleh David Korten tentang LSM generasi satu
(pendekatan kesejahteraan), generasi dua (pendekatan developmental), dan generasi tiga
(pendekatan pemberdayaan). Juga tidak jauh berbeda dari Charles Elliot tentang tiga jenis
strategi LSM, yaitu kesejahteraan, pembangunan, dan pemberdayaan.
Patut dicatat bahwa perubahan strategi dan pendekatan LSM mulai berubah
karena kritik internal di dalam dirinya, yang tertuang dalam "Deklarasi Baturraden"
tanggal 19 Desember 1990, yang mengkritik kecenderungan konservatif di kalangan
LSM, serta menuntut strategi baru yang bersifat pemberdayaan akar rumput (hal 42).
Sejak tahun 1990-an ke atas, LSM secara eksplisit masuk ke dalam pengorganisasian
politik, yang disebut sebagai LSM advokasi oleh Ganie-Rochman atau masuk ke dalam
gerakan sosial oleh Hadiwinata. Fenomena ini menarik karena LSM telah ikut mengubah
dunia politik tradisional dari sekadar lembaga-lembaga politik formal dan tradisional
menjadi berorientasi pada kekuatan masyarakat. Studi-studi kasus oleh kedua penulis itu
menunjukkan hal tersebut.
Gerakan advokasi oleh LSM
Sejak tahun 1990-an, semakin banyak LSM yang bergerak "melawan"
pemerintah. Hadiwinata mencatat bahwa sepanjang dasawarsa 1990-an, hubungan antara
pemerintah dan LSM semakin memburuk. Tuduhan utama adalah LSM telah berlawanan
dengan ideologi negara maupun dengan kepentingan nasional. Akan tetapi, faktor
sebenarnya dari memburuknya hubungan tersebut adalah karena tumbuhnya generasi
baru LSM yang berorientasi radikal yang menentang berbagai kebijakan pemerintah.
LSM telah dituduh "berpolitik" dan mengorganisasikan rakyat miskin. Konfrontasi
terbuka antara pemerintah dan LSM yang mencuat ke publik dikenal sebagai "insiden
Brussel" di tahun 1989, yang dianggap menghina Presiden Soeharto dalam kunjungannya
ke Brussel, Belgia, dan yang menyebabkan pengejaran dan penangkapan atas aktivis-
aktivis LSM.
Puncak kemarahan rezim adalah ditutupnya IGGI oleh Soeharto pada April 1992.
Akan tetapi, LSM juga semakin berubah, dari membantu kaum miskin secara jangka
pendek, kini mengarah ke tuntutan perubahan norma, nilai, struktur, dan kelembagaan
yang telah menyebabkan ketidakadilan dan penindasan. Sejak itu, LSM memperkuat
resistensi mereka terhadap rezim Soeharto dengan mengedepankan aksi-aksi kolektif
populer yang terkait dengan organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok akar rumput
(hal 97-100).
Sejak itu, sebenarnya di kalangan LSM juga terjadi polarisasi, antara LSM yang
bersifat "pembangunan" dan LSM yang bersifat "gerakan". Hadiwinata membedakan
kedua hal ini berdasarkan orientasinya, yaitu dalam hal: (1) peran; (2) falsafah organisasi;
(3) misi dan tujuan; (4) bidang kegiatan; (5) pandangan atas kemiskinan; (6)
hubungannya dengan kelompok sasaran; dan (7) hubungannya dengan pemerintah.
Sebenarnya perubahan ke arah gerakan sosial dan pendekatan pemberdayaan juga muncul
karena beberapa alasan, yaitu: (a) adanya radikalisasi di dalam gerakan mahasiswa, di
mana gerakan mahasiswa yang tersumbat sejak NKK/BKK kemudian menyalurkan
aspirasinya ke LSM; (b) peran kaum intelektual yang membawa perspektif radikal ke
komunitas LSM, seperti lewat teori ketergantungan dan teori penyadarannya Paulo
Freire; (c) meningkatnya represi, eksploitasi, dan marjinalisasi kelas-kelas bawah (petani,
buruh, sektor informal, dan lainnya) yang menyumbang pada radikalisasi LSM. Sejak itu,
pemberdayaan akar rumput menjadi agenda utama dari berbagai LSM gerakan (hal 104-
112).
Di pihak lain, jenis LSM yang bersifat "politik" ini oleh Ganie-Rochman disebut
sebagai LSM advokasi. LSM advokasi didefinisikan sebagai "mereka yang kegiatannya
bertujuan untuk adanya perubahan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah" (hal 5).
Menurut dia, ciri-ciri utama LSM advokasi adalah: (a) Target pada badan-badan
pemerintah; (b) Target pada badan-badan internasional; (c) Adanya strategi advokasi; (d)
Adanya metode advokasi; dan (e) Adanya tujuan-tujuan transformasi. Isu-isu advokasi
juga dilakukan lewat pembentukan opini publik di media massa. Bagi LSM, advokasi
bukan hanya alat untuk meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat, tetapi juga untuk
memperluas ruang politik mereka.
Dengan mempertanyakan legitimasi pemerintah lewat isu-isu tertentu, semacam
lingkungan hidup, maka LSM dapat sekaligus mengkritik kegagalan pemerintah dalam
kebijakan pembangunannya. Dalam banyak hal, advokasi LSM menyentuh masalah-
masalah perubahan politik. Dengan sendirinya ini membuat mereka berhadapan langsung
dengan kekuasaan otoriter negara Orba. Menurut Ganie-Rochman, beberapa isu politik
yang biasa diadvokasikan LSM adalah mengenai: (1) kebebasan berorganisasi; (2)
kebebasan berekspresi; (3) pemilu yang adil; (4) aturan hukum (rule of law); (5) UU
Antisubversi dan Haatzaai Artikelen; dan (6) UU yang membatasi ekspresi politik (hal
106-121).
Studi Ganie-Rochman menyimpulkan bahwa strategi advokasi LSM Indonesia
umumnya berkisar pada tiga hal, yaitu: (1) memilih pengadilan sebagai arena politik; (2)
menargetkan pada perubahan peraturan/UU; dan (3) menggali dukungan advokasi
internasional (hal 284). Strategi ini ditempuh agar mendapatkan cara yang lebih aman
dan efektif. Bagi LSM, advokasi politik, seperti melalui DPR, dipandang terlalu riskan
dan tidak berguna karena DPR dikuasai pemerintah juga. Karena itu, advokasi lebih
banyak dilakukan lewat bantuan media massa dan lewat pertemuan-pertemuan publik.
Advokasi juga dilakukan melalui jaringan-jaringan yang ada maupun lewat pembentukan
koalisi-koalisi.
Pada akhirnya, menurut Ganie-Rochman, dampak advokasi LSM dalam hal
membuat hidup yang lebih baik bagi komunitas lokal tidaklah signifikan. Kasus- kasus
yang diangkat dari Kedung Ombo, Jelmu Sibak, dan perburuhan tidak menghasilkan
kompensasi yang adil kepada masyarakat lokal. Dampak LSM hanya dapat dilihat dari
aspek politik, seperti dalam kasus Kedung Ombo, pemerintah menjadi sadar akan adanya
kemungkinan citra negatif dari pelaksanaan program/proyek pemerintah yang salah.
Demikian pula di perburuhan, pemogokan kini diakui sebagai bentuk ekspresi yang sah
dari perselisihan perburuhan. Di Jelmu Sibak, keberhasilannya terletak pada
dihentikannya kegiatan pembalakan hutan dan naiknya isu tersebut ke tingkat nasional
(hal 287-289).
LSM pasca-Soeharto
Apa yang dikerjakan LSM setelah jatuhnya Soeharto? Ini adalah pertanyaan yang
muncul setelah berubahnya konstelasi politik di Indonesia. Jatuhnya rezim Soeharto
menandai juga transisi ke demokrasi, yang populer disebut sebagai reformasi. Hanya
dalam jangka waktu tiga tahun sejak 1998, ada tiga presiden Indonesia silih berganti. Ini
transisi politik dengan dinamika politik yang luar biasa, terutama bila dibandingkan
dengan kekuasaan Presiden Soeharto selama 32 tahun. Sejak reformasi itu pula, lahir
berbagai macam parpol dan ormas, serta meningkatnya jumlah LSM.
Menurut Hadiwinata, kehadiran LSM, baik yang bersifat pembangunan maupun
gerakan, masihlah diperlukan. Dua alasan dikemukakannya. Pertama, meningkatnya
kemiskinan, baik di kota maupun desa, karena konsekuensi pelaksanaan kebijakan
penyesuaian struktural yang mengakibatkan pengangguran, penghapusan subsidi
pemerintah, dan ambruknya sistem jaminan sosial. Meningkatnya kemiskinan membuat
relevannya LSM pembangunan dalam membantu masyarakat.
Kedua, meningkatnya konflik dan ketidakteraturan publik di seluruh Indonesia
selama periode transisi ke demokrasi membuat relevan hadirnya LSM gerakan. Dengan
demikian, bagi Hadiwinata, peran LSM pada era pasca-Soeharto bisa dirumuskan sebagai
"memfasilitasi transisi ke demokrasi". LSM adalah lembaga yang mempunyai akses ke
organisasi akar-rumput dan mempunyai komitmen kepada kelompok-kelompok marjinal.
Meskipun demikian, banyak tantangan yang dihadapi LSM dalam era transisi ke
demokrasi, sebagaimana terjadi dalam kasus Brasil dan Uruguay. Di negara-negara
tersebut, masyarakatnya menoleh kepada partai-partai politik yang lebih dapat
memberikan simbol-simbol dan identitas ideologis yang lebih kuat. Hal seperti itu juga
dalam derajat tertentu terjadi di Indonesia. Karena itu, perlu bagi LSM untuk
meredefinisikan kembali peran-peran mereka saat ini. LSM perlu terlibat dalam konteks
politik yang lebih besar.
LSM memperkuat nilai-nilai perjuangan
Menghadapi transisi demokrasi yang tampaknya tidak berkesudahan ini, ditambah
lagi kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, bagaimana peran dan posisi LSM
sekarang? Setelah "Reposisi Ornop" tahun 1999, maka LSM belum lagi mengadakan
evaluasi dan reposisi dari dalam. Saat ini kebanyakan LSM menjalankan spesialisasi
bidang yang semakin beragam dan dengan keahlian (kompetensi) yang cukup memadai,
dan ini cukup diakui oleh pihak-pihak lain, baik pemerintah maupun badan asing.
Meskipun demikian, LSM bukanlah wadah profesi dan bukan juga wadah politik. LSM
adalah gerakan sosial. Banyaknya LSM "gadungan" dan LSM "buatan" dari pihak-pihak
luar yang oportunistik tidak menghancurkan reputasi LSM.
Meskipun jumlahnya semakin besar, LSM adalah juga komunitas yang kecil
karena adanya komunitas inti. Masing- masing aktivis mengetahui dan mengikuti record
aktivis lainnya. Dalam masa reformasi, banyak aktivis yang "menyimpang" atau "keluar"
dari etika LSM, dan segera namanya dicoret secara "otomatis" dari keanggotaan
komunitas LSM. Karena itu, memang di balik membesarnya LSM, nilai-nilai "puritan"
perjuangan LSM masihlah menjadi bawah sadar para aktivisnya, serta menjadi ukuran
dalam menilai gerakan mereka sendiri. Banyak penelitian tentang LSM yang tidak
menyadari hal tersebut. Seberapa pun banyaknya varian LSM, semua di dalamnya
menyadari bahwa LSM adalah bagian dari gerakan sosial yang bekerja dan berpihak ke
rakyat kecil. Dan, itu yang menyatukan semua aktivis LSM di seluruh Indonesia dan juga
di seluruh dunia. Jadi, jangan lupa dengan slogan berikut ini, "LSM sedunia, bersatulah!".