LSM Dan Politik

21
LSM DAN POLITIK (Novi Hendra, S. IP) Abdurrahman Wahid itu selain menjadi presiden RI ketiga, dia juga presiden lembaga swadaya masyarakat. Demikianlah gelar untuk Gus Dur dari rekan-rekannya di LSM. Bisa dimengerti, karena Gus Dur memang adalah aktivis LSM. Demikian pula semasa reformasi, banyak menteri yang berasal dari LSM, sebut saja misalnya Erna Witoelar, Adi Sasono, dan Hasballah M Saad. Jadi semenjak reformasi, LSM menanjak naik dan diakui perannya. Belum lama ini hadir dua buku baru mengenai lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia yang kedua-duanya ditulis oleh orang Indonesia sendiri. Pertama adalah buku berjudul The Politics of NGOs in Indonesia: Developing Democracy and Managing a Movement yang ditulis oleh Bob S Hadiwinata. Buku ini merupakan tesis doktoralnya di Kings College, Cambridge University, Inggris, dan diterbitkan oleh Routledge Curzon, New York, tahun 2003. Buku kedua berjudul An Uphill Struggle: Advocacy NGOs under Soeharto’s New Order

description

Oleh Novi Hendra, S. IP

Transcript of LSM Dan Politik

Page 1: LSM Dan Politik

LSM DAN POLITIK

(Novi Hendra, S. IP)

Abdurrahman Wahid itu selain menjadi presiden RI ketiga, dia juga presiden

lembaga swadaya masyarakat. Demikianlah gelar untuk Gus Dur dari rekan-rekannya di

LSM. Bisa dimengerti, karena Gus Dur memang adalah aktivis LSM. Demikian pula

semasa reformasi, banyak menteri yang berasal dari LSM, sebut saja misalnya Erna

Witoelar, Adi Sasono, dan Hasballah M Saad. Jadi semenjak reformasi, LSM menanjak

naik dan diakui perannya.

Belum lama ini hadir dua buku baru mengenai lembaga swadaya masyarakat

(LSM) di Indonesia yang kedua-duanya ditulis oleh orang Indonesia sendiri. Pertama

adalah buku berjudul The Politics of NGOs in Indonesia: Developing Democracy and

Managing a Movement yang ditulis oleh Bob S Hadiwinata. Buku ini merupakan tesis

doktoralnya di Kings College, Cambridge University, Inggris, dan diterbitkan oleh

Routledge Curzon, New York, tahun 2003. Buku kedua berjudul An Uphill Struggle:

Advocacy NGOs under Soeharto’s New Order yang ditulis oleh Meuthia Ganie-

Rochman, yang juga hasil tesis doktoralnya di Catholic University of Nijmegen, Belanda,

dan diterbitkan oleh Lab Sosio, FISIP UI, Depok, tahun 2002. Dua buku ini memperkaya

kajian tentang LSM dan menjelaskan bagaimana posisi LSM dalam sistem politik di

Indonesia dan perannya dalam transisi demokrasi. Kedua penulis ini berlatar belakang

akademis sehingga melihat LSM secara berjarak dan sebagai orang luar. Ganie-Rochman

pernah sebentar bekerja di INFID dan setelahnya kembali ke kursi akademis.

Page 2: LSM Dan Politik

Sebenarnya sudah ada beberapa tesis doktoral tentang LSM di Indonesia yang

ditulis oleh aktivisnya sendiri, yaitu dari Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk

Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM di Indonesia di tahun 1996, dan dari

Kastorius Sinaga, NGOs in Indonesia: A Study of the Role of Non-Governmental

Organizations in the Development Process di tahun 1994. Di samping itu, ada akademisi

asing, seperti Philip J Eldridge, yang menulis Non-Government Organizations and

Democratic Participation in Indonesia di tahun 1995, dan Anders Uhlin yang menulis

Indonesia and the Third Wave of Democratization: The Indonesia Pro-Democracy

Movement in a Changing World di tahun 1997. Mengingat dunia LSM kaya dengan

persoalan dan dimensi, maka studi-studi ini telah membantu banyak orang dalam

memahami perkembangan LSM di Indonesia, terutama posisinya dalam sistem politik

yang berubah.

Sebagaimana disebutkan oleh kedua penulis pertama di atas, maka kebanyakan

studi ilmu politik memfokuskan pada peranan dari badan dan kelembagaan formal di

dalam sistem politik. Hubungan yang dinamis antara negara dan masyarakat lebih banyak

diwakili oleh lembaga kepresidenan, parlemen, dan kehakiman di satu pihak; dan di

pihak lain institusi politik yang telah mapan, seperti partai politik (parpol), organisasi

kemasyarakatan (ormas), dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya, baik dari

kalangan bisnis, profesi, dan lainnya. Karena itu, LSM merupakan fenomena baru dalam

sistem politik, dan sejujurnya belum banyak dimengerti orang meskipun sudah hadir

sejak tahun 1960-an.

Page 3: LSM Dan Politik

Di dalam khazanah sistem politik Barat pun, NGO (Non-Governmental

Organizations) juga merupakan fenomena baru yang belum banyak dibahas. Karena itu,

ketidakpahaman tentang LSM di Indonesia juga bisa dimaklumi. Sebagaimana dilihat

dari kepustakaan di atas, maka studi yang serius tentang LSM di Indonesia baru

dilakukan di pertengahan dasawarsa 1990-an. Studi Ganie-Rochman memusatkan pada

peran LSM di tengah otoriterisme Orde Baru (Orba) serta peran dari LSM bidang

advokasi. Untuk itu, ia mengetengahkan studi kasus berbasis isu, yaitu Kedung Ombo

(konflik tanah dan bendungan), Marsinah (perburuhan), dan Jelmu Sibak (lingkungan dan

kehutanan). Sementara studi Hadiwinata lebih memusatkan pada diri LSM itu sendiri,

baik dalam aspek gerakannya maupun dalam aspek kelembagaannya. Studi kasus yang

diangkat adalah LSM-LSM di Yogyakarta. Kedua studi ini kiranya saling melengkapi

satu sama lain dalam membantu memahami dunia LSM di Indonesia.

LSM sebagai Sektor Ketiga

Bila kita ingat pada zaman Orba, LSM pada masa itu identik dengan kelompok

antipemerintah atau oposan atau bahkan dituduh sebagai "agen asing". Masa Orba adalah

masa yang gelap dalam demokrasi. Ketika itu kita selalu merasakan kehadiran militer dan

intel di mana-mana. Pertemuan atau seminar dengan mudah dilarang. Banyak orang takut

atau khawatir bisa "diciduk" setiap saat atau dituduh PKI. Kasus-kasus penindasan dalam

isu-isu pertanahan, perburuhan, kehutanan, dan lingkungan bukan main banyaknya. Di

pihak lain, penguasa dengan mudah menumpuk kekayaan dan kekuasaan tanpa batas, dan

Soeharto terus-menerus menjadi presiden tanpa kita tahu kapan berakhirnya. LSM pada

saat itu adalah musuh penguasa. Dan akibatnya yang positif, semua aktivis LSM,

Page 4: LSM Dan Politik

meskipun berbeda-beda ideologi dan posisi, merasa menjadi satu dan mempunyai musuh

yang satu. Baru semenjak reformasi, di mana ada kebebasan politik, LSM dianggap

sebagai salah satu bagian kelembagaan politik yang penting dan diakui.

Kini, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), LSM telah tumbuh dari hanya

berjumlah sekitar 10.000 di tahun 1996 menjadi sekitar 70.000 di tahun 2000. Fenomena

ini sama dengan yang terjadi di berbagai negara lainnya, di mana jumlah LSM telah

meningkat secara tajam. Karena itu tidak mengherankan, sebagaimana dikatakan

Hadiwinata, bahwa LSM telah menjadi "Sektor Ketiga", yaitu sektor publik yang

mengedepankan kepedulian sosial atau personal. Sektor Pertama adalah sektor negara

atau pemerintah yang berkewajiban menjamin pelayanan bagi warga negaranya dan

menyediakan kebutuhan sosial dasar, sedangkan Sektor Kedua adalah sektor swasta yang

terdiri dari kalangan bisnis dan industrial yang bertujuan mencari penghidupan dan

menciptakan kekayaan.

Sebagai Sektor Ketiga, maka LSM beroperasi di luar pemerintah dan pasar.

Mengutip Salamon dan Anheier, Hadiwinata mendefinisikan LSM mempunyai ciri-ciri

sebagai berikut: (1) Formal, artinya secara organisasi bersifat permanen, mempunyai

kantor dengan seperangkat aturan dan prosedur; (2) Swasta, artinya kelembagaan yang

berada di luar atau terpisah dari pemerintah; (3) Tidak mencari keuntungan, yaitu tidak

memberikan keuntungan (profit) kepada direktur atau pengurusnya; (4) Menjalankan

organisasinya sendiri (self-governing), yaitu tidak dikontrol oleh pihak luar; (5) Sukarela

(voluntary), yaitu menjalankan derajat kesukarelaan tertentu; (6) Nonreligius, artinya

Page 5: LSM Dan Politik

tidak mempromosikan ajaran agama; dan (7) Nonpolitik, yaitu tidak ikut dalam

pencalonan di pemilu (hal 5).

Studi tentang LSM mula-mula lebih banyak dalam konteks studi manajemen.

LSM dikategorikan sebagai sektor voluntary, yaitu terletak di wilayah yang merupakan

irisan dari dunia birokratik dengan dunia swasta. Akan tetapi, sejak awal tahun 1990,

Hadiwinata yang mengutip buku Samuel Huntington, The Third Wave: Democratization

in the Late Twentieth Century, menyatakan bahwa sejak itu telah terjadi ekspansi

demokratik secara global dengan menyebarnya tuntutan populer akan kebebasan politik,

representasi, partisipasi, dan akuntabilitas.

Hal ini mendorong munculnya teori "masyarakat sipil" (civil society) dan

"gerakan sosial" (social movement). Dengan mengutip Joel Migdal, maka agen-agen

utama dalam hubungan negara dan masyarakat adalah "kekuatan-kekuatan sosial" (social

forces), dan bukan lagi "kelas-kelas sosial" (social classes). LSM adalah salah satu

kekuatan sosial tersebut, yang lahir karena respons yang spontan dari berbagai kelompok

di masyarakat yang peduli karena adanya stagnasi ekonomi, represi politik, dan

sektarianisme yang menghinggapi kelompok-kelompok revolusioner (hal 32-36). Dengan

memasukkan LSM sebagai bagian dari "organisasi masyarakat sipil" dan "gerakan sosial

baru", maka dimensi analisisnya juga menjadi berbeda sama sekali. Dari sinilah LSM

menjadi bagian penting dari sistem politik yang berubah di negara-negara berkembang,

termasuk di Indonesia.

Page 6: LSM Dan Politik

LSM dan otoriterisme Orba

Menarik untuk diamati bahwa kebanyakan studi tentang Orba selama ini melihat

pada dinamika negara dan kurang sekali pada dinamika masyarakatnya. Mereka lebih

memusatkan pada perubahan kebijakan dikarenakan permainan dari berbagai unsur di

dalam negara dan kurang sekali menghubungkannya dengan tuntutan-tuntutan dari

masyarakat. Mengutip Andrew MacIntire, Ganie-Rochman menyebut enam perspektif

studi semacam ini, yaitu state-qua-state, bureaucratic policy dan patrimonial cluster,

bureaucratic pluralism, bureaucratic authoritarianism, structuralism, serta restricted

pluralism.

Kelemahan studi-studi semacam ini adalah melihat pada sebuah lingkaran

kekuasaan negara yang seolah-olah menjadi sangat berkuasa dan sangat berpengaruh.

Karena itu, studi Ganie-Rochman mencoba menemukan kembali unsur masyarakat yang

kurang dibahas dalam berbagai studi sebelumnya. Kuncinya, menurut Ganie-Rochman

terletak pada bagaimana Orba sebagai sebuah negara developmental terus-menerus

berusaha menciptakan legitimasinya melalui kinerja ekonominya. Dan pencapaian

ekonomi ini yang sebenarnya mendorong tumbuhnya kelompok-kelompok kritis yang

baru di masyarakat, yaitu kalangan wiraswastawan, mahasiswa, kaum profesional, dan

LSM-LSM, yang sesungguhnya juga diuntungkan dari kebijakan ekonomi pemerintah.

Akan tetapi, justru kelompok-kelompok kritis baru inilah yang menuntut

diadakannya keterbukaan politik dari rezim Soeharto. Dan hal inilah yang tidak dipenuhi

oleh Soeharto, yang selama tiga dekade kekuasaannya berusaha terus- menerus

menumpuk kekuasaannya dan mengabaikan tuntutan masyarakat. Bentuk pemerintahan

Page 7: LSM Dan Politik

otoriter semacam inilah yang berdampak negatif kepada kekuasaan Soeharto sendiri

karena memunculkan ketidakpuasan dari berbagai kelompok tersebut dan menggerogoti

basis kekuasaannya sendiri. Tiadanya "keterbukaan politik" merupakan dasar dari

ketidakpuasan kelas menengah yang baru tumbuh di Indonesia (hal 25-38). Di sinilah

kiranya tempat dari bertumbuhnya LSM. Mereka inilah yang banyak di antaranya

mendirikan atau bergabung ke dalam LSM, baik para mantan aktivis mahasiswa maupun

pemimpin-pemimpin sosial semacam Abdurrahman Wahid.

Hadiwinata, dengan mengutip studi Eldridge, mencatat bahwa LSM telah bekerja

di bawah tekanan yang terus-menerus di masa Orba sehingga mereka harus sering

mengubah strategi dan pendekatannya. Eldridge telah membuat tiga model paradigma

LSM dalam hubungannya dengan negara, yaitu: (1) kerja sama tingkat tinggi-

pembangunan akar rumput (grassroot); (2) politik tingkat tinggi-mobilisasi akar rumput;

dan (3) pemberdayaan dari bawah. Menurut Hadiwinata, ini paralel dengan model

pendekatan LSM yang diajukan oleh David Korten tentang LSM generasi satu

(pendekatan kesejahteraan), generasi dua (pendekatan developmental), dan generasi tiga

(pendekatan pemberdayaan). Juga tidak jauh berbeda dari Charles Elliot tentang tiga jenis

strategi LSM, yaitu kesejahteraan, pembangunan, dan pemberdayaan.

Patut dicatat bahwa perubahan strategi dan pendekatan LSM mulai berubah

karena kritik internal di dalam dirinya, yang tertuang dalam "Deklarasi Baturraden"

tanggal 19 Desember 1990, yang mengkritik kecenderungan konservatif di kalangan

LSM, serta menuntut strategi baru yang bersifat pemberdayaan akar rumput (hal 42).

Sejak tahun 1990-an ke atas, LSM secara eksplisit masuk ke dalam pengorganisasian

Page 8: LSM Dan Politik

politik, yang disebut sebagai LSM advokasi oleh Ganie-Rochman atau masuk ke dalam

gerakan sosial oleh Hadiwinata. Fenomena ini menarik karena LSM telah ikut mengubah

dunia politik tradisional dari sekadar lembaga-lembaga politik formal dan tradisional

menjadi berorientasi pada kekuatan masyarakat. Studi-studi kasus oleh kedua penulis itu

menunjukkan hal tersebut.

Gerakan advokasi oleh LSM

Sejak tahun 1990-an, semakin banyak LSM yang bergerak "melawan"

pemerintah. Hadiwinata mencatat bahwa sepanjang dasawarsa 1990-an, hubungan antara

pemerintah dan LSM semakin memburuk. Tuduhan utama adalah LSM telah berlawanan

dengan ideologi negara maupun dengan kepentingan nasional. Akan tetapi, faktor

sebenarnya dari memburuknya hubungan tersebut adalah karena tumbuhnya generasi

baru LSM yang berorientasi radikal yang menentang berbagai kebijakan pemerintah.

LSM telah dituduh "berpolitik" dan mengorganisasikan rakyat miskin. Konfrontasi

terbuka antara pemerintah dan LSM yang mencuat ke publik dikenal sebagai "insiden

Brussel" di tahun 1989, yang dianggap menghina Presiden Soeharto dalam kunjungannya

ke Brussel, Belgia, dan yang menyebabkan pengejaran dan penangkapan atas aktivis-

aktivis LSM.

Puncak kemarahan rezim adalah ditutupnya IGGI oleh Soeharto pada April 1992.

Akan tetapi, LSM juga semakin berubah, dari membantu kaum miskin secara jangka

pendek, kini mengarah ke tuntutan perubahan norma, nilai, struktur, dan kelembagaan

yang telah menyebabkan ketidakadilan dan penindasan. Sejak itu, LSM memperkuat

resistensi mereka terhadap rezim Soeharto dengan mengedepankan aksi-aksi kolektif

Page 9: LSM Dan Politik

populer yang terkait dengan organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok akar rumput

(hal 97-100).

Sejak itu, sebenarnya di kalangan LSM juga terjadi polarisasi, antara LSM yang

bersifat "pembangunan" dan LSM yang bersifat "gerakan". Hadiwinata membedakan

kedua hal ini berdasarkan orientasinya, yaitu dalam hal: (1) peran; (2) falsafah organisasi;

(3) misi dan tujuan; (4) bidang kegiatan; (5) pandangan atas kemiskinan; (6)

hubungannya dengan kelompok sasaran; dan (7) hubungannya dengan pemerintah.

Sebenarnya perubahan ke arah gerakan sosial dan pendekatan pemberdayaan juga muncul

karena beberapa alasan, yaitu: (a) adanya radikalisasi di dalam gerakan mahasiswa, di

mana gerakan mahasiswa yang tersumbat sejak NKK/BKK kemudian menyalurkan

aspirasinya ke LSM; (b) peran kaum intelektual yang membawa perspektif radikal ke

komunitas LSM, seperti lewat teori ketergantungan dan teori penyadarannya Paulo

Freire; (c) meningkatnya represi, eksploitasi, dan marjinalisasi kelas-kelas bawah (petani,

buruh, sektor informal, dan lainnya) yang menyumbang pada radikalisasi LSM. Sejak itu,

pemberdayaan akar rumput menjadi agenda utama dari berbagai LSM gerakan (hal 104-

112).

Di pihak lain, jenis LSM yang bersifat "politik" ini oleh Ganie-Rochman disebut

sebagai LSM advokasi. LSM advokasi didefinisikan sebagai "mereka yang kegiatannya

bertujuan untuk adanya perubahan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah" (hal 5).

Menurut dia, ciri-ciri utama LSM advokasi adalah: (a) Target pada badan-badan

pemerintah; (b) Target pada badan-badan internasional; (c) Adanya strategi advokasi; (d)

Adanya metode advokasi; dan (e) Adanya tujuan-tujuan transformasi. Isu-isu advokasi

Page 10: LSM Dan Politik

juga dilakukan lewat pembentukan opini publik di media massa. Bagi LSM, advokasi

bukan hanya alat untuk meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat, tetapi juga untuk

memperluas ruang politik mereka.

Dengan mempertanyakan legitimasi pemerintah lewat isu-isu tertentu, semacam

lingkungan hidup, maka LSM dapat sekaligus mengkritik kegagalan pemerintah dalam

kebijakan pembangunannya. Dalam banyak hal, advokasi LSM menyentuh masalah-

masalah perubahan politik. Dengan sendirinya ini membuat mereka berhadapan langsung

dengan kekuasaan otoriter negara Orba. Menurut Ganie-Rochman, beberapa isu politik

yang biasa diadvokasikan LSM adalah mengenai: (1) kebebasan berorganisasi; (2)

kebebasan berekspresi; (3) pemilu yang adil; (4) aturan hukum (rule of law); (5) UU

Antisubversi dan Haatzaai Artikelen; dan (6) UU yang membatasi ekspresi politik (hal

106-121).

Studi Ganie-Rochman menyimpulkan bahwa strategi advokasi LSM Indonesia

umumnya berkisar pada tiga hal, yaitu: (1) memilih pengadilan sebagai arena politik; (2)

menargetkan pada perubahan peraturan/UU; dan (3) menggali dukungan advokasi

internasional (hal 284). Strategi ini ditempuh agar mendapatkan cara yang lebih aman

dan efektif. Bagi LSM, advokasi politik, seperti melalui DPR, dipandang terlalu riskan

dan tidak berguna karena DPR dikuasai pemerintah juga. Karena itu, advokasi lebih

banyak dilakukan lewat bantuan media massa dan lewat pertemuan-pertemuan publik.

Advokasi juga dilakukan melalui jaringan-jaringan yang ada maupun lewat pembentukan

koalisi-koalisi.

Page 11: LSM Dan Politik

Pada akhirnya, menurut Ganie-Rochman, dampak advokasi LSM dalam hal

membuat hidup yang lebih baik bagi komunitas lokal tidaklah signifikan. Kasus- kasus

yang diangkat dari Kedung Ombo, Jelmu Sibak, dan perburuhan tidak menghasilkan

kompensasi yang adil kepada masyarakat lokal. Dampak LSM hanya dapat dilihat dari

aspek politik, seperti dalam kasus Kedung Ombo, pemerintah menjadi sadar akan adanya

kemungkinan citra negatif dari pelaksanaan program/proyek pemerintah yang salah.

Demikian pula di perburuhan, pemogokan kini diakui sebagai bentuk ekspresi yang sah

dari perselisihan perburuhan. Di Jelmu Sibak, keberhasilannya terletak pada

dihentikannya kegiatan pembalakan hutan dan naiknya isu tersebut ke tingkat nasional

(hal 287-289).

LSM pasca-Soeharto

Apa yang dikerjakan LSM setelah jatuhnya Soeharto? Ini adalah pertanyaan yang

muncul setelah berubahnya konstelasi politik di Indonesia. Jatuhnya rezim Soeharto

menandai juga transisi ke demokrasi, yang populer disebut sebagai reformasi. Hanya

dalam jangka waktu tiga tahun sejak 1998, ada tiga presiden Indonesia silih berganti. Ini

transisi politik dengan dinamika politik yang luar biasa, terutama bila dibandingkan

dengan kekuasaan Presiden Soeharto selama 32 tahun. Sejak reformasi itu pula, lahir

berbagai macam parpol dan ormas, serta meningkatnya jumlah LSM.

Menurut Hadiwinata, kehadiran LSM, baik yang bersifat pembangunan maupun

gerakan, masihlah diperlukan. Dua alasan dikemukakannya. Pertama, meningkatnya

kemiskinan, baik di kota maupun desa, karena konsekuensi pelaksanaan kebijakan

penyesuaian struktural yang mengakibatkan pengangguran, penghapusan subsidi

Page 12: LSM Dan Politik

pemerintah, dan ambruknya sistem jaminan sosial. Meningkatnya kemiskinan membuat

relevannya LSM pembangunan dalam membantu masyarakat.

Kedua, meningkatnya konflik dan ketidakteraturan publik di seluruh Indonesia

selama periode transisi ke demokrasi membuat relevan hadirnya LSM gerakan. Dengan

demikian, bagi Hadiwinata, peran LSM pada era pasca-Soeharto bisa dirumuskan sebagai

"memfasilitasi transisi ke demokrasi". LSM adalah lembaga yang mempunyai akses ke

organisasi akar-rumput dan mempunyai komitmen kepada kelompok-kelompok marjinal.

Meskipun demikian, banyak tantangan yang dihadapi LSM dalam era transisi ke

demokrasi, sebagaimana terjadi dalam kasus Brasil dan Uruguay. Di negara-negara

tersebut, masyarakatnya menoleh kepada partai-partai politik yang lebih dapat

memberikan simbol-simbol dan identitas ideologis yang lebih kuat. Hal seperti itu juga

dalam derajat tertentu terjadi di Indonesia. Karena itu, perlu bagi LSM untuk

meredefinisikan kembali peran-peran mereka saat ini. LSM perlu terlibat dalam konteks

politik yang lebih besar.

LSM memperkuat nilai-nilai perjuangan

Menghadapi transisi demokrasi yang tampaknya tidak berkesudahan ini, ditambah

lagi kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, bagaimana peran dan posisi LSM

sekarang? Setelah "Reposisi Ornop" tahun 1999, maka LSM belum lagi mengadakan

evaluasi dan reposisi dari dalam. Saat ini kebanyakan LSM menjalankan spesialisasi

bidang yang semakin beragam dan dengan keahlian (kompetensi) yang cukup memadai,

dan ini cukup diakui oleh pihak-pihak lain, baik pemerintah maupun badan asing.

Page 13: LSM Dan Politik

Meskipun demikian, LSM bukanlah wadah profesi dan bukan juga wadah politik. LSM

adalah gerakan sosial. Banyaknya LSM "gadungan" dan LSM "buatan" dari pihak-pihak

luar yang oportunistik tidak menghancurkan reputasi LSM.

Meskipun jumlahnya semakin besar, LSM adalah juga komunitas yang kecil

karena adanya komunitas inti. Masing- masing aktivis mengetahui dan mengikuti record

aktivis lainnya. Dalam masa reformasi, banyak aktivis yang "menyimpang" atau "keluar"

dari etika LSM, dan segera namanya dicoret secara "otomatis" dari keanggotaan

komunitas LSM. Karena itu, memang di balik membesarnya LSM, nilai-nilai "puritan"

perjuangan LSM masihlah menjadi bawah sadar para aktivisnya, serta menjadi ukuran

dalam menilai gerakan mereka sendiri. Banyak penelitian tentang LSM yang tidak

menyadari hal tersebut. Seberapa pun banyaknya varian LSM, semua di dalamnya

menyadari bahwa LSM adalah bagian dari gerakan sosial yang bekerja dan berpihak ke

rakyat kecil. Dan, itu yang menyatukan semua aktivis LSM di seluruh Indonesia dan juga

di seluruh dunia. Jadi, jangan lupa dengan slogan berikut ini, "LSM sedunia, bersatulah!".