LP v Fraktur Klavikula

28
FRAKTUR KLAVIKULA A.Pengertian Fraktur klavikula (tulang kolar) merupakan cedera yang sering terjadi akibat jatuh atau hantaman langsung ke bahu. Lebih dari 80% fraktur ini terjadi pada sepertiga tengah atau proksimal klavikula. Tulang merupakan alat penopang dan sebagai pelindung pada tubuh. Tanpa tulang tubuh tidak akan tegak berdiri. Fungsi tulang dapat diklasifikasikan sebagai aspek mekanikal maupun aspek fisiologikal. Dari aspek mekanikal, tulang membina rangka tubuh badan dan memberikan sokongan yang kokoh terhadap tubuh. Sedangkan dari dari aspek fisiologikal t ulang melindungi organ-organ dalam seperti jantung, paru-paru dan lainnya. Tulang juga menghasilkan sel darah merah, sel darah putih dan plasma. Selain itu tulang sebagai tempat penyimpanan kalsium, fosfat, dan garam magnesium. Namun karena tulang bersifat relatif rapuh, pada keadaan tertentu tulang dapat mengalami patah, sehingga menyebabkan gangguan fungsi tulang terutama pada pergerakan. B. Klasifikasi 1. Klasifikasi patah tulang secara umum adalah : a. Fraktur lengkap Adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang luas sehingga tulang terbagi menjadi dua bagian dan garis patahnya menyeberang dari satu sisi ke sisi lain. b. Fraktur tidak lengkap Adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan garis patah tidak menyeberang, sehingga tidak mengenai korteks (masih ada korteks yang utuh). 1

Transcript of LP v Fraktur Klavikula

FRAKTUR KLAVIKULA

A. Pengertian

Fraktur klavikula (tulang kolar) merupakan cedera yang sering terjadi akibat

jatuh atau hantaman langsung ke bahu. Lebih dari 80% fraktur ini terjadi pada

sepertiga tengah atau proksimal klavikula. Tulang merupakan alat penopang dan

sebagai pelindung pada tubuh. Tanpa tulang tubuh tidak akan tegak berdiri. Fungsi

tulang dapat diklasifikasikan sebagai aspek mekanikal maupun aspek fisiologikal.

Dari aspek mekanikal, tulang membina rangka tubuh badan dan memberikan

sokongan yang kokoh terhadap tubuh. Sedangkan dari dari aspek fisiologikal t ulang

melindungi organ-organ dalam seperti jantung, paru-paru dan lainnya. Tulang juga

menghasilkan sel darah merah, sel darah putih dan plasma. Selain itu tulang sebagai

tempat penyimpanan kalsium, fosfat, dan garam magnesium. Namun karena tulang

bersifat relatif rapuh, pada keadaan tertentu tulang dapat mengalami patah,

sehingga menyebabkan gangguan fungsi tulang terutama pada pergerakan.

B. Klasifikasi

1. Klasifikasi patah tulang secara umum adalah :

a. Fraktur lengkap Adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang

luas sehingga tulang terbagi menjadi dua bagian dan garis

patahnya menyeberang dari satu sisi ke sisi lain.

b. Fraktur tidak lengkap Adalah patah atau diskontinuitas jaringan

tulang dengan garis patah tidak menyeberang, sehingga tidak mengenai

korteks (masih ada korteks yang utuh).

2. Menurut Black dan Matassarin (1993) yaitu fraktur berdasarkan

hubungan dengan dunia luar, meliputi:

a. Fraktur tertutup yaitu fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh,

tulang tidak menonjol melalui kulit.

b. Fraktur terbuka yaitu fraktur yang merusak jaringan kulit, karena

adanya hubungan dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka

potensial terjadi infeksi.

3. Lokasi patah tulang pada klavikula diklasifikasikan menurut Dr. FL Allman

tahun 1967 dan dimodifikasi oleh Neer pada tahun 1968, yang membagi

patah tulang klavikula menjadi 3 kelompok:

a. Tipe I: Fraktur mid klavikula (Fraktur 1/3 tengah klavikula)

- Fraktur pada bagian tengah clavicula.

- Lokasi yang paling sering terjadi fraktur, paling banyak ditemui.

1

- Terjadi di medial ligament korako-klavikula (antara medial dan

1/3 lateral)

- Mekanisme trauma berupa trauma langsung atau tak langsung

(dari lateral bahu)

b. Tipe II : Fraktur 1/3 lateral klavikula

Fraktur klavikula lateral dan ligament korako-kiavikula, dapat

dibagi:

- type 1: undisplaced jika ligament

intak

- type 2: displaced jika ligamen korako-kiavikula

ruptur.

- type 3: fraktur yang mengenai sendi

akromioklavikularis.

c. Tipe III : Fraktur pada bagian proksimal clavicula.

Fraktur yang paling jarang terjadi dari semua jenis fraktur clavicula,

insidensnya hanya sekitar 5%. Mekanisme trauma dapat beruma

trauma langsung dan tak langsung pada bagian lateral bahu yang

dapat menekan klavikula ke sternum. Jatuh dengan tangan terkadang

dalam posisi abduksi.

C. Etiologi

Penyebab farktur klavikula biasanya disebabkan oleh trauma pada bahu akibat

kecelakaan apakah itu karena jatuh atau kecelakaan kendaraan bermotor, namun

kadang dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor non traumatik. Berikut beberapa

penyebab pada fraktur klavikula yaitu :

1. Fraktur klavikula pada bayi baru lahir akibat tekanan pada bahu oleh

simphisis pubis selama proses melahirkan. Fraktur tulang humerus umumnya

terjadi pada kelahiran letak sungsang dengan tangan menjungkit ke atas.

Kesukaran melahirkan tangan yang menjungkit merupakan penyebab

terjadinya tulang humerus yang fraktur. Pada kelahiran presentasi kepala

dapat pula ditemukan fraktur ini, jika ditemukan ada tekanan keras dan

langsung pada tulang humerus oleh tulang pelvis. Jenis frakturnya berupa

greenstick atau fraktur total. Fraktur menurut Strek,1999 terjadi paling

sering sekunder akibat kesulitan pelahiran (misalnya makrosemia dan

disproporsi sefalopelvik, serta malpresentasi).

2

2. Fraktur klavikula akibat kecelakaan termasuk kecelakaan kendaraan

bermotor, jatuh dari ketinggian dan yang lainnya.

3. Fraktur klavikula akibat kompresi pada bahu dalam jangka waktu lama,

misalnya pada pelajar yang menggunakan tas yang terlalu berat.

4. Fraktur klavikula akibat proses patologik, misalnya pada pasien

post radioterapi, keganasan clan lain-lain.

Menurut sejarah fraktur pada klavikula merupakan cedera yang sering terjadi

akibat jatuh dengan posisi lengan terputar/tertarik keluar (outstreched hand) dimana

trauma dilanjutkan dari pergelangan tangan sampai klavikula, namun baru-baru ini

telah diungkapkan bahwa sebenarnya mekanisme secara umum patah tulang

klavikula adalah hantaman langsung ke bahu atau adanya tekanan yang keras ke

bahu akibat jatuh atau terkena pukulan benda keras. Data ini dikemukankan oleh

Nowak et a,l Nordqvist dan Peterson.

Patah tulang klavikula karena jatuh dengan posisi lengan tertarik keluar

(outstreched hand) hanya 6% terjadi pada kasus, sedangkan yang lainnya karena

trauma bahu. Kasus patah tulang ini ditemukan sekitar 70% adalah hasil dari

trauma dari kecelakaan lalu lintas. Kasus patah tulang klavikula termasuk kasus

yang paling sering dijumpai. Pada anak-anak sekitar 10-16 % dari semua kejadian

patah tulang, sedangkan pada orang dewasa sekitar 2,6-5%.

D. Patofisiologi

Klavikula adalah tulang pertama yang mengalami proses pengerasan selama

perkembangan embrio minggu ke-5 dan 6. Tulang klavikula, tulang humerus bagian

proksimal dan tulang skapula bersama-sama membentuk bahu. Tulang klavikula

juga membentuk hubungan antara anggota badan atas dan Thorax. Tulang ini

membantu mengangkat bahu ke atas, ke luar, dan ke belakang thorax. Pada bagian

proksimal tulang clavikula bergabung dengan sternum disebut sebagai sambungan

sternoclavicular (SC). Pada bagian distal klavikula bergabung dengan acromion

dari skapula membentuk sambungan acromioclavicular (AC).

Patah tulang klavikula pada umumnya mudah untuk dikenali dikarenakan

tulang klavikula adalah tulang yang terletak dibawak kulit (subcutaneus) dan

tempatnya relatif di depan. Karena posisinya yang teletak dibawah kulit maka

tulang ini sangat rawan sekali untuk patah. Patah tulang klavikula terjadi akibat dari

tekanan yang kuat atau hantaman yang keras ke bahu. Energi tinggi yang menekan

bahu ataupun pukulan langsung pada tulang akan menyebabkan fraktur.

Fraktur klavikula paling sering disebabkan oleh karena mekanisme kompressi

atau penekanan, paling sering karena suatu kekuatan yang melebihi kekuatan tulang 3

tersebut dimana arahnya dari lateral bahu apakah itu karena jatuh, keeelakaan

olahraga, ataupun kecelakaan kendaraan bermotor.

Pada daerah tengah tulang klavikula tidak di perkuat oleh otot ataupun

ligament-ligament seperti pada daerah distal dan proksimal klavikula. Klavikula

bagian tengah juga merupakan transition point antara bagian lateral dan bagian

medial. Hal ini yang menjelaskan kenapa pada daerah ini paling sering terjadi

fraktur dibandingkan daerah distal ataupun proksimal.

4

E. Pathway Fraktur Klavikula

5

Trauma langsung

Trauma Tidak Langsung

Kondisi Patologis

Fraktur

Pergeseran Fragmen Tulang Nyeri

Diskontinuitas Tulang

Perubahan Jaringan Sekitar

Spasme otot

Peningkatan tekanan kapiler

Pelepasan histamin

edema

Intoleransi Aktivitas

Laserasi

Kerusakan

Integritas

Pergeseran Fragmen Tulang

Deformitas

Gangguan Mobilitas

F. Tanda dan Gejala

Pasien dengan fraktur clavicula biasanya didasari dari mekanisme kecelakaan

dan lokasi adanya ekimosis, deformitas, ataupun krepitasi. Pasien biasanya

mengeluh nyeri setelah terjadinya kecelakaan tersebut dan sulit untuk mengangkat

lengan atau bahu. Fraktur pada bagian tengah clavicula, pada inspeksi bahu

biasanya asimetris, agak jatuh kebawah, lebih ke depan ataupun lebih ke posterior.

Tanda dan gejala dapat dilihat berdasarkan anamnesis misalnya apakah ada riwayat

trauma, dan pemeriksaan fisik bisa kita dapatkan pembengkakan daerah klavikula atau

aberasi, dan akan lebih mudah terlihat pada fraktur terbuka.

Pasien merasakan rasa sakit bahu dan diperparah dengan setiap gerakan

lengan. Pada pemeriksaan fisik pasien akan terasa nyeri tekan pada daerah fraktur

dan kadang-kadang terdengar krepitasi pada setiap gerakan. Dapat juga terlihat

kulit yang menonjol akibat desakan dari fragmen patah tulang. Pembengkakan

lokal akan terlihat disertai perubahan warna lokal pada kulit sebagai akibat trauma dan

gangguan sirkulasi yang mengikuti fraktur. Untuk memperjelas dan menegakkan

diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan penunjang.

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Radiologi

Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”

menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi

keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi

yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi

tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari

karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus

atas dasar. Indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca

sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:

a. Bayangan jaringan lunak.

b. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau

biomekanik atau juga rotasi.

c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.

d. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

2. Pemeriksaan Laboratorium

a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap

penyembuhan tulang.

6

b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan

menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.

c. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),

Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada

tahap penyembuhan tulang.

3. Pemeriksaan lain-lain

a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan

mikroorganisme penyebab infeksi.

b. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan

pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.

c. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan

fraktur.

d. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek

karena trauma yang berlebihan.

e. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada

tulang.

f. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

(Ignatavicius, Donna D, 1995)

H. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada fraktur clavicula ada dua pilihan yaitu dengan tindakan

bedah atau operative treatment dan tindakan non bedah atau nonoperative

treatment. Tujuan dari penanganan ini adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari

patah tulang supaya satu sama lain saling berdekatan dan untuk menjaga agar

mereka tetap menempel sebagaimana mestinya sehingga tidak terjadi deformitas

dan proses penyembuhan tulang yang mengalami fraktur lebih cepat.

Proses penyembuhan pada fraktur clavicula memerlukan waktu yang cukup

lama.Penanganan nonoperative dilakukan dengan pemasangan saling selama 6

minggu. Selama masa ini pasien harus membatasi pergerakan bahu, siku dan

tangan. Setelah sembuh, tulang yang mengalami fraktur biasanya kuat dan kembali

berfungsi. Pada beberapa patah tulang, dilakukan pembidaian untuk membatasi

pergerakan. atau mobilisasi pada tulang untuk mempercepat penyembuhan. Patch

tulang lainnya harus benar-benar tidak boleh digerakkan (immobilisasi). Imobilisasi bisa

dilakukan melalui:

a. Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.

7

b. Pemasangan gips : merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar

tulang yang patah Modifikasi spika bahu (gips klavikula) atau balutan

berbentuk angka delapan atau strap klavikula dapat digunakan untuk

mereduksi fraktur ini, menarik bahu ke belakang, dan mempertahankan

dalam posisi ini. Bila dipergunakan strap klavikula, ketiak harus diberi

bantalan yang memadai untuk mencegah cedera kompresi terhadap

pleksus brakhialis dan arteri aksilaris. Peredaran darah dan saraf kedua

lengan harus dipantau.

c. Penarikan (traksi) : menggunakan beban untuk menahan sebuah anggota,

gerak pada tempatnya.

d. Fiksasi internal : dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan

(plate) atau batang logam pada pecahan-pecahan tulang atau sering

disebut open reduction with internal fixation (ORIF).

e. Fiksasi eksternal: Immobilisasi lengan atau tungkai menyebabkan otot

menjadi lemah dan menciut. Karena itu sebagian besar penderita perlu

menjalani terapi fisik.

I. Komplikasi

Komplikasi pada fraktur clavicula dapat berupa :

1. Malunion

Malunion merupakan suatu keadaan dimana tulang yang patah telah

sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk sudut, atau miring.

Komplikasi seperti ini dapat dicegah dengan melakukan analisis yang cermat

sewaktu melakukan reduksi, dan mempertahankan reduksi itu sebaik mungkin

terutama pada masa awal periode penyembuhan.

Gejala malunion pada clavicula dapat menyebabkan penderita tidak

puas. Gejala sebelum operasi termasuk kelemahan, nyeri, gejala-gejala

neurologik, dan munculnya perasaan yang cemas (bahu yang semakin

memburuk dengan gejala-gejala lainnya)

2. Nonunion

Lebih umum terjadi pada fraktur yang ditangani dengan cara operasi,

khususnya pada studi sebelumnya. Secara keseluruhan, angka non union

yang lebih kurang dari 1 % hingga yang lebih besar dari 10%, telah dilaporkan.

Paling banyak pada fraktur 1/3 distal tetapi hasilnya secara

fungsional memperlihatkan kepuasan. Penanganan operasi termasuk

8

stabilisasi dan graft tambahan pada tulang memberikan hasil yang

memuaskan serta fiksasi dengan plate dan peralatan intermedullary.

Fraktur 1/3 tengah dengan lebih dari 2 cm dan fraktur 1/3 lateral menjadi

faktor resiko lebih tinggi nonunion:

a. Komplikasi neurovaskular, bisa menyebabkan timbulnya trombosis

dan pseudoaneurisma pada arteri axillaris dan vena subclavian

kemudian bisa menyebabkan timbulnya cerebral emboli.

Kerusakan nervus supraclavicular menyebabkan timbulnya nyeri

dinding dada.

b. Refraktur, fraktur berulang pada clavicula yang mengalami

fraktur sebelumnya.

c. Pneumothoraks biasa didapatkan pada pasien dengan fraktur

clavicula terutama yang mengalami multiple traumatik,

diakibatkan oleh karena robeknya lapisan pleura sehingga masuk

udara pada ruang potensial antara pleura viseral dan parietal.

9

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,

untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien

sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan

proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:

1. Anamnesa

a. Identitas Klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,

status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.

register, tanggal MRS, diagnosa medis.

b. Keluhan Utama

Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri

tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.

Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien

digunakan:

1. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi

faktor presipitasi nyeri.

2. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau

digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau

menusuk.

3. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa

sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.

4. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan

klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa

jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.

5. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah

buruk pada malam hari atau siang hari.

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,

yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap

klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga

nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana

yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya

10

kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna

D, 1995).

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi

petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit

tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan

fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit

diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut

maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan

tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).

e. Riwayat Penyakit Keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang

merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti

diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan

kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius,

Donna D, 1995).

f. Riwayat Psikososial

Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya

dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau

pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga

ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).

g. Pola-Pola Fungsi Kesehatan

1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat

Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan

pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk

membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian

juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid

yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian

alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien

melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).

2) Pola Nutrisi dan Metabolisme

Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan

sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan

lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi

11

terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab

masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi

yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar

matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah

muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga

menghambat degenerasi dan mobilitas klien.

3) Pola Eliminasi

Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,

tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi,

warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola

eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah.

Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi

Anna, 1991).

4) Pola Tidur dan Istirahat

Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga

hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu

juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana

lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan

obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).

5) Pola Aktivitas

Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk

kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak

dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk

aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk

pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang

lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).

6) Pola Hubungan dan Peran

Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.

Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D,

1995).

7) Pola Persepsi dan Konsep Diri

Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan

kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk

melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya

yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).

8) Pola Sensori dan Kognitif

12

Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian

distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul

gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan.

Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna

D, 1995).

9) Pola Reproduksi Seksual

Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan

seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak

serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji

status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama

perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).

10) Pola Penanggulangan Stress

Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,

yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi

tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif

(Ignatavicius, Donna D, 1995).

11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan

Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah

dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa

disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien

(Ignatavicius, Donna D, 1995).

2. Pemeriksaan Fisik

Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk

mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini

perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana

spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih

mendalam.

a. Gambaran Umum

1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-

tanda, seperti:

a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,

komposmentis tergantung pada keadaan klien.

b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,

berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.

13

c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik

fungsi maupun bentuk.

2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin

b. Sistem Integumen

Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,

bengkak, oedema, nyeri tekan.

c. Kepala

Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak

ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.

d. Leher

Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek

menelan ada.

e. Muka

Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi

maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.

f. Mata

Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak

terjadi perdarahan)

g. Telinga

Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi

atau nyeri tekan.

h. Hidung

Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.

h. Mulut dan Faring

Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa

mulut tidak pucat.

i. Thoraks

Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.

j. Paru

- Inspeksi: Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya

tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan

dengan paru.

- Palpasi: Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.

- Perkusi: Suara ketok sonor, tak ada redup atau suara

tambahan lainnya.

14

- Auskultasi: Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau

suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.

k. Jantung

- Inspeksi: Tidak tampak iktus jantung.

- Palpasi: Nadi meningkat, iktus tidak teraba.

- Perkusi: suara pekak pada semua lapang jantung

- Auskultasi: Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.

l. Abdomen

- Inspeksi: Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.

- Palpasi: Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar

tidak teraba.

- Perkusi: Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan

- Auskultasi: Peristaltik usus normal 20 kali/menit.

m. Inguinal-Genetalia-Anus

Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada

kesulitan BAB.

b.Keadaan Lokal

Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama

mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem

muskuloskeletal adalah:

1) Look (inspeksi)

Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:

a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan

seperti bekas operasi).

b) Cape au lait spot (birth mark)

c) Fistulae.

d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.

e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang

tidak biasa (abnormal)

f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)

g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)

2) Feel (palpasi)

Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki

mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini

15

merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik

pemeriksa maupun klien.

Yang perlu dicatat

adalah:

a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan

kelembaban kulit.

b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi

atau oedema terutama disekitar persendian.

c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak

kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).

Tonus otot pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan

yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain

itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan,

maka sifat benjolan perlu di deskripsikan permukaannya,

konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau

permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.

B. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Timbul

1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan

fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat

traksi/immobilisasi, stress, ansietas

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea,

kelemahan/keletihan, ketidak edekuatan oksigenasi, ansietas, dan gangguan

pola tidur.

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status

metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh

terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit

buruk, terdapat jaringan nekrotik.

4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan,

kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan

kekuatan/tahanan.

5. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi

tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi

pembedahan.

16

6. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan

berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah

interpretasi informasi.

C. Intervensi Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan

fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat

traksi/immobilisasi, stress, ansietas

a. Tujuan : Nyeri dapat berkurang atau hilang

b. Kriteria hasil :

1) Pasien tampak tenang

2) Pasien melaporkan nyeri berkurang atau hilang

c. Intervensi

- Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga

- Kaji tingkat intesitas, skala nyeri (0-10) dan frekuensi

nyeri menunjukkan skala nyeri.

- Pertahahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring.

- Jelaskan prosedur sebelum memulai setiap tindakan.

- Dorong pasien untuk mendiskusikan masalah sehubungan

dengan cedera.

- Lakukan dan awasi dalam latihan gerak aktif atau pasif.

- Berikan tindakan nyaman seperti pijatan punggung, perubahan

posisi.

- Dorong pasien dalam menggunakan teknik manajemen stress,

seperti relaksasi napas dalam, imajinasi visualisasidan sentuhan

terapeutik.

- Kolaborasi pemberian analgesik sesuai indikasi.

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea,

kelemahan/keletihan, ketidak edekuatan oksigenasi, ansietas, dan

gangguan pola tidur.

a. Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas

b. Kriteria hasil :

1. Perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi

kebutuhan diri.

17

2. Pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan

beberapa aktivitas tanpa dibantu.

3. Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.

c. Intervensi :

- Rencanakan periode istirahat yang cukup.

- Berikan latihan aktivitas secara bertahap.

- Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai

kebutuhan.

- Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan

status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan

oleh terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor

kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.

a. Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.

b. Kriteria hasil :

1. Menyatakan ketidaknyaman hilang

2. Menunjukkan perilaku untuk mencegah kerusakan

kulit dan memudahkan penyembuhan sesuai indikasi.

c. Intervensi:

- Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan,

perdarahan dan perubahan warna

- Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.

- Pantau peningkatan suhu tubuh

- Berikan perawatan luka dengan teknik aseptic, blut luka

dengan kasa yang kering dan gunakan plester kertas.

- Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindak lanjut

misalnya debridement

4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan,

kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan

kekuatan/tahanan.

a. Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.

b. Kriteria hasil :

1) Melakukan pergerakkan dan perpindahan.

18

2) mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi,

dengan karakteristik :

0 = mandiri penuh

1 = memerlukan alat bantu.

2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan,

p engawasan, dan pengajaran.

3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.

4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.

c. Intervensi :

- Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan

akan peralatan.

- Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.

- Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.

- Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif

- Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.

5. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi

tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi

pembedahan.

a. Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.

b. Kriteria hasil :

- Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.

- Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.

- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.

c. Intervensi :

- Pantau tanda-tanda vital.

- Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.

- Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus,

kateter, drainase luka, dll.

- Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan

darah, seperti Hb dan leukosit.

- Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.

6. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan

berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah

interpretasi informasi.

19

a. Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek

prosedur dan proses pengobatan.

b. Kriteria Hasil :

- Melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan

dari suatu tindakan.

- Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta

dalam regimen perawatan.

c. Intervensi :

- Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.

- Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan

kondisinya sekarang.

- Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan

nya.

- Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang

telah diberikan.

20

DAFTAR PUSTAKA

A Graham, Appley. 2005. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur. Edisi 7. Jakarta: WidyaMedika

Anderson, Sylvia Price. 2010. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit.Jakarta: EGC

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untukPerencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Ed. 3. Jakarta: EGC

Junadi, Purnawan. 2004. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Suzanne CS & Barre GB. 2001. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3.Jakarta: EGC

Syaifuddin. 2009. Anatomi Tubuh Manusia Untuk Mahasiswa Keperawatan. Edisi 2.

Jakarta: Salemba Medika

21