LP TC gadar

55
PRAKTIK PROFESI PEMINATAN KLINIK KEPERAWATAN GAWAT DARURAT Laporan Pendahuluan 23 Juni 2009 TRAUMA CAPITIS OLEH TITI ISWANTI AFELYA C 121 04 039 PRAKTEK PROFESI PEMINATAN KLINIK

description

Gadar TC

Transcript of LP TC gadar

Page 1: LP TC gadar

PRAKTIK PROFESI PEMINATAN KLINIKKEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Laporan Pendahuluan

23 Juni 2009

TRAUMA CAPITIS

OLEH

TITI ISWANTI AFELYA

C 121 04 039

PRAKTEK PROFESI PEMINATAN KLINIKPROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR

2009

Page 2: LP TC gadar

BAB I

PENDAHULUAN

A. Definisi

Cedera pada otak bisa berasal dari trauma langsung atau tidak langsung pada

kepala. Trauma tidak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau

kekuatan yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma

langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi-

deselerasi dan pembentukan rongga.. trauma langsung juga menyebabkan rotasi

tengkorak dan isinya. Kekuatan itu bisa terjadi seketika atau menyusul rusaknya

otak oleh kompresi, goresan atau tekanan.

B. Etiologi

Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain :

1. Benda Tajam. Trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat.

2. Benda Tumpul, dapat menyebabkan cedera seluruh kerusakan terjadi ketika

energi/ kekuatan diteruskan kepada otak.

Mekanisme cedera kepala

1. Akselerasi, ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang

diam. Contoh : akibat pukulan lemparan.

2. Deselerasi. Contoh : kepala membentur aspal.

2

Page 3: LP TC gadar

3. Deformitas. Dihubungkan dengan perubahan bentuk atau gangguan integritas

bagan tubuh yang dipengaruhi oleh kekuatan pada tengkorak.

Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam

menentukan berat-ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala.

Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak

membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat benda tumpul, atau karena

terkena lemparan benda tumpul. Cedar perlambatan (deselerasi) adalah bila

kepala membentur objek yang secara relative tidak bergerak, seperti badan

mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersaman bila

terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi

bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi

dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma

regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.

Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan mungkin karena

memar pada permukan otak, laserasi substansia alba, cedara robekan atau

hemoragi. Sebagai akibat, cedaea sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan

autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya

meliputi hyperemia (peningkatan volume darah) pada area peningkatan

permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan

peningkatan intracranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan

cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.

3

Page 4: LP TC gadar

C. Patofisiologi

Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala.

Lesi jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada

tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri

Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan yaitu :

1. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak,

2. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam dan,

3. Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain

dibentur oleh benda yang bergerak (kepala tergencet).

Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala

diterangkan oleh beberapa hipotesis yaitu getaran otak, deformasi tengkorak,

pergeseran otak dan rotasi otak .

Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan

coup. Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada

orang-orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada

coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena

sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan.

Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala

primer dan cedera kepala skunder. Cedera kepala primer merupakan cedera yang

terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera, dan merupakan suatu

fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak

4

Page 5: LP TC gadar

banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang

sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal.

Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan

lebih merupakan fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat,

pencegahan cedera kepala skunder dapat mempengaruhi tingkat

kesembuhan/keluaran penderita.

Penyebab cedera kepala skunder antara lain; penyebab sistemik (hipotensi,

hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab

intracranial (tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak

(brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi).

Aspek patologis dari cedera kepala antara lain; hematoma epidural

(perdarahan yang terjadi antara tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan

subdural (perdarahan yang terjadi antara dura mater dan arakhnoidea), higroma

subdural (penimbunan cairan antara dura mater dan arakhnoidea), perdarahan

5

Page 6: LP TC gadar

subarakhnoidal cederatik (perdarahan yang terjadi di dalam ruangan antara

arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma serebri (massa darah yang

mendesak jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah arteri), edema otak

(tertimbunnya cairan secara berlebihan didalam jaringan otak), kongesti otak

(pembengkakan otak yang tampak terutama berupa sulsi dan ventrikel yang

menyempit), cedera otak fokal (kontusio, laserasio, hemoragia dan hematoma

serenri setempat), lesi nervi kranialis dan lesi sekunder pada cedera otak.

D. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis cedera kepala dapat berupa

1. Penurunan kesadaran, bisa sampai koma

2. Bingung

3. Penglihatan kabur

4. Susah bicara

5. Nyeri kepala yang hebat

6. Keluar cairan darah dari hidung atau telinga

7. Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.

8. Mual

9. Pusing

10. Berkeringat

11. Pucat

12. Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

6

Page 7: LP TC gadar

E. Evaluasi Diagnostik

1. CT –Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran

ventrikel pergeseran cairan otak.

2. MRI : sama dengan CT –Scan dengan atau tanpa kontraks.

3. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti

pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.

4. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.

5. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran

struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen

tulang).

6. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang

otak..

7. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada

otak.

8. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid.

9. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh

dalam peningkatan TIK.

10. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau

oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK.

11. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab

terhadap penurunan kesadaran. 7

Page 8: LP TC gadar

12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi

yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.

F. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei

sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara

lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E

(exposure/environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.

Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer

sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga homeostasis

otak (3).

1. Survey Primer

a. A (Airway)

Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus

diperhatikan. Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas

kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering

terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh

benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang

wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra

servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi,

fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat

melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas 8

Page 9: LP TC gadar

yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan

dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk

menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa

orofaring.

b. B ( Breathing)

Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan

napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila

tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita

dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat

memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya

dilakukan intubasi endotrakheal (1).

c. C (Circulation)

Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat

kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat

dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai

warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi

perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status

sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera

kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg

untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat

digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila

denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90

9

Page 10: LP TC gadar

mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan

sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba

pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila

ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka (1).

2. Survey sekunder

Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi.

Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%,

sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu,

karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera

otak dibandingkan keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang

berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah

head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan

bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial (1).

]Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat

menentukan keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila

keadaan penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik

penderita.

Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos

buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola

mata (doll’s eye phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu

dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea . Tidak semua pederita

cedera kepala harus dirawat di rumah sakit. Indikasi perawatan di rumah

10

Page 11: LP TC gadar

sakit antara lain; fasilitas CT scan tidak ada, hasil CT scan abnormal, semua

cedera tembus, riwayat hilangnya kesadaran, kesadaran menurun, sakit

kepala sedang-berat, intoksikasi alkohol/obat-obatan, kebocoran liquor

(rhinorea-otorea), cedera penyerta yang bermakna, GCS<15>(3).

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk

memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang

dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena,

hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan

antikonvulsan (3).

Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom

intrakranial >30 ml, midline shift >5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan

fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm (3,29).

G. Komplikasi

1. Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus

frontal atau dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.

2. Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini,

minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).

3. Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis

meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiupetik.

11

Page 12: LP TC gadar

Komplikasi jangka panjang akibat trauma kepala antara lain;

1. Kerusakan saraf cranial (anosmia, gangguan visual, oftalmoplegi, paresis

fasialis, gangguan auditorik)

2. Disfasia.

3. Hemiparesis.

4. Sindrom Pasca TK/ Post Concussional Syndrome.

5. Fistula karotika-kavernosus.

6. Epilepsi post trauma.

7. Infeksi dan fistula LCS.

H. Klasifikasi Cedera Kepala

1. Klasifikasi Patologi Cedera Kepala

a. Cedera kepala primer

Cedera kepal primer mencakup : fraktur tulang, cedera fokal, dan cedera

otak difusa, yang masing-masing mempunyai mekanisme etiologis dan

patofisiologi yang unik.

1) Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak,

naumun biasanya jejas ini bukan merupakan penyebab utama

timbulnya kecacatan neurologis.

12

Page 13: LP TC gadar

2) Cedera fokal merupakan akibat kerusakan setempat yang biasanya

dijumpai pada kira-kira separuh dari kasus cedera kepala berat.

Kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural,

dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata

telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas.

3) Cedar otak difusa pada dasarnya berbeda dengan cedera fokal, di

mana keadaan ini berkaitan dengan disfungsi otak yang luas, serta

biasanya tidak tampak secara makroskopis. Mengingat bahwa

kerusakan yang terjadi kebanyakan melibatkan akson-akson, maka

cedar ini juga dikenal dengan cedera aksional difusa.

b. Kerusakan otak sekunder

Cedera kepala berat seringkali menampilkan

abnormalitas/gangguan sistemik akibat hipoksia dan hipotensi, di mana

keadaan-keadaan ini merupakan penyebab tersering dari kerusakan otak

sekunder . hipoksia dan hipotensi semata akan menyebabkan perubahan-

perubahan minimal, yang kemusian bersamaan dengan efek cedera

mekanis memperberat gangguan-gangguan metabolisme serebral.

Hipoksia dapat merupaka akibat dari kejadian aspirasi, obstyruksi

jalan nafas, atau cedera toraks yang terjadi bersamaan dengan trauma

kepala, namun sering juga terjadi hipoksia pascacedera kepala dengan

ventilasi normal dan tanpa adanya keadaan-keadaan tersebut di atas.

13

Page 14: LP TC gadar

Hipotensi pada penderita cedera kepala biasanya hanya sementara

yaitu sesaat setelah konkusi atau merupaka tahap akhir dari kegagalan

meduler yang berkaitan dengan herniasi serebral.

c. Edema serebral

Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepal madalah edema

vasogenik dan edema iskemik. Edema vasogenik disebabkan oleh adanya

peningkatan oermeabilitas kapiler akibat sawar darah otak sehingga

terjadi penimbunan cairan plasma ekstraseluler terutama di massa putih

serebral. Edema iskemik merupakan penimbunan cairan intraseluler

sehingga sel tersebut tidak dapat mempertahankan keseimbangan

cairannya.

Edema serebral yang mencapai maksimal pada hari ke tiga

pascacedera, dapat menimbulkan suatu efek massa yang bermakna. Di

samping itu edema ini sendiri dapat juga terjadi, tanpa adanya tampilan

suatu kontusi atau perdarahan intraserebral. Keadaan ini dapat terjadi

akibat gangguan sekunder dari hipotensi sistemik dan hipoksia, cedera

arterial atau hipertensi intracranial. Gangguan aliran darah serebral

traumayika yang mengakibatkan anoksia jaringan juga tampil sebagai

daerah “swelling” hipodens difus.

d. Pergeseran otak(Brain Shift)-herniasi batang otak

14

Page 15: LP TC gadar

Adanya suatu massa yang berkembang membesar (hematom, abses

atau pembengkakan otak) di semua lokasi dalam kavitas intracranial

(epidural/subdural/intraserebral,supra-/infratentorial)biasanya akan

menyebabkan pergeseran dan distorsi otak, yang bersamaan dengan

peningkatan intracranial akan mengarah terjadi herniasi otak, keluar dari

kompartemen intracranial di mana massa tersebut berada.

2. Klasifikasi Klinis Cedera Kepala

Cedera kepala pada praktek klinis sehari-hari dikelompokkan atas empat

gradasi sehubungan dengan kepentingan seleksi perawatan penderita,

pemantauan diagnostic-klinik penanganan dan prognosisnya, yaitu :

Tingkat I : bila dijumpai adanya riwayat kehilangan kesadaran/pingsan

yang sesaat setelah mengakami trauma, dan kemudian sadar kembali. Pada

waktu diperiksa dalam keadaan sadar penuh, orientasi baik, dan tidak ada

deficit neurologist.

Tingkat II : kesadaran menurun namun masih dapat mengikuti perintah-

perintah yang sederhana, dan dijumpai adanya deficit neurologist fokal.

Tingkat III : kesadaran yang sangat menurun dan tidak bisa mengikuti

perintah (walaupun sederhana)sana sekali. Penderita masih bisa bersuara ,

namun susunan kata-kata dan orientasinya kacau, gaduh gelisah. Respon

motorik bervariasi dari keadaan yang masih mampu melokalisir rasa sakit

15

Page 16: LP TC gadar

sampai tidak ada respon sama sekali. Postur tubuh dapat menampilkan

posisi dekortikasi-deserebrasi.

Tingkat IV : tidak ada fungsi neurologist sama sekali.

Kategori Penentuan Keparahan Cedera Kepala berdasarkan Nilai Glasgow Coma

Scale(GCS).

Penentuan

keparahanDeskripsi Frekuensi

Minor

Sedang

GCS 13 – 15

Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia

tetapi kurang dari 30 menit.

Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio

serebral, hematoma

GCS 9 – 12

Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih

dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.

Dapat mengalami fraktur tengkorak

GCS 3 – 8

Kehilanmgan kesadaran dan atau terjadi amnesia

lebih dari 24 jam

Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau

55 %

24 %

16

Page 17: LP TC gadar

Berat hematoma intracranial. 21 %

17

Page 18: LP TC gadar

BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

Dasar data Pengkajian Pasien

Data tergantung pada tipe, lokasi, dan keparahan cedera dan mungkin

dipersulit oleh cedera tambahan pada organ-organ vital.

Aktivitas/Istirahat

Gejala : Merasa lemah, lelah, hilang keseimbangan.

Tanda : Perubahan kesadaran,letargi,hemiparese quadreplegia, ataksia, cara

berjalan tak tegap. Masalah dalam keseimbangan cedera (trauma)

ortopedi, kehilangan tonus otot, otot spastik.

Sirkulasi

Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi).

Perubahan frekwensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi

dengan bradikardia, disritmia).

Integritas Ego

Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).

Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresidan

impulsif.

18

Page 19: LP TC gadar

Eliminasi

Gejala : Inkontinentia kandungan kemih/usus atau mengalami gangguan

fungsi.

Makanan/Cairan

Gejala : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera.

Tanda : Muntah (mungkin proyektil). Gangguan menelan (batuk, air liur

keluar disfagia)

Neurosensori

Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian. Vertigo,

sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada

ekstremitas. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya,

diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia. Gangguan

pengecapan dan juga penciuman.

Tanda ; Perubahan kesadaran sampai koma.

Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,

konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).

Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata,

ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan seperti pengecapan,

penciuman dan pendengaran.Wajah tidak simetri. Genggaman lemah, tidak

seimbang. Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah. Apraksia, hemiparise,

quedreplegia. Postur (dekortikasi, deserebrasi), kejang. Sangat sensitif terhadap

sentuhan dan gerakan. Kehilangan sensasi sebagian tubuh.

19

Page 20: LP TC gadar

Nyeri/Kenyamanan

Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya

lama.

Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang

hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat, merintih.

Pernapasan

Tanda : Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas

berbunyi, stridor, tersedak. Ronki, mengi positif (kemungkinan karena

aspirasi).

Keamanan

Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.

Tanda : Fraktur/dislokasi. Gangguan penglihatan. Kulit laserasi, abrasi,

perubahan warna, seperti “raccoon eye” tanda Batle di sekitar telinga

(merupakan tanda adanya trauma).. Adanya aliran cairan (drainase) dari

telinga/hidung (CSS). Gangguan kognitif. Gangguan rentang gerak, tonus otot

hilang, kekuatan secara umum mengalami paralysis. Demam, gangguan dalam

regulasi suhu tubuh.

Interaksi Sosial

Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang,

disartria, anomia.

20

Page 21: LP TC gadar

Pemenuhan Pembelajaran

Gejala : penggunaan alkohol/obnat lain. Pertimbangan Rencana Pemulangan :

Membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi,

menyiapkan makan, belanja, perawatan, pengobatan, tugas-tugas

rumah tangga, perubahan tata ruang dan penempatan fasilitas lainnya

di rumah.

B. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran

darah oleh SOL (hemoragi dan hematom), edema serebral, penurunan

TD/hipoksia ditandai dengan :

Perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, peruhan respon motorik,

sernsorik, gelisah, perubahan tanda vital

Tujuan : mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan

fungsi motorik/sesnsorik.

Kriteria : Tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda peningkatan TIK.

Intervensi :

a. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau

yang menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial

peningkatan TIK.

R/ : menentukkan pilihan intervensi, penurunan tanda gwjala

neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal

mungkin menunjukan bahwa pasien itu perlu dipindahkan ke perawatan

intensif untuk memantau TIK dan atau pembedahan

b. Pantau/catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan

nilai standar (misalnya Skala Coms Glascow)

21

Page 22: LP TC gadar

R/ : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan

potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi,

perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.

- Evaluasi kemampouan membuka mata, seperti spontan (sadar

penuh), membuka hanya jika diberi rangsangan nyeri, atau tetap

tertutup (koma).

R/ : Menentukan tingkat kesadaran.

- Kaji respon verbal; catat apakah pasien sadar, orientasi terhadap

orang, waktu dan tempat baik atau malah bingung; menggunakan

kata-kata/frase yang tidak sesuai

R/ : mengukur kesesuaian dalam berbicara dan menentukan tingkat

kesadaran.

- Kaji respon motorik terhadap perintah yang sederhana, gerakan

yang bertujuan (patuh terhadap perintah, berusaha untuk

menghilangkan rangsang nyeri yang diberikan) dan gerakan yang

tidak bertujuan (kelainan postur tubuh). Catat gerakan anggota

tubuh dan catat sisi kiri dan kanan secara terpisah .

R/ : Mengukur kesadaran secara keseluruhan dan kemamppuam

untuk berespon pada rangsangan eksternal dan merupakan petunjuk

keadaan kesadaran terbaik pada pasien yang matanya tertutup

sebagai akibat pasien trauma atau afasia. Pasien dikatakan sadar

apabila pasien dapat meremas atau melepas tangan pemeriksa atau

dapat menggerakan tangan sesuai dengan perintah. Gerakan yang

bertujuan dapat meliputi mimik kesakitan atau gerakan menarik

atau menjauhi rangsangan nyeri. Gerakan lain (fleksi abnormal dari

ekstremitas tubuh) biasanya sebagai indikasi kerusakan serebral

yang menyebar. Tidak adanya gerakan spontan pada salah satu sisi

tubuh yang menandakan kerusakan pada jalan motorik pada

hemisfer otak yang berlawanan (kontralateral).

22

Page 23: LP TC gadar

c. Pantau TD

- Catat adanya hipertensi sistolik secara terus menerus dan tenaga

nadi yang semakin berat; observasi terhadap hipertensi pada pasien

yang mengalami trauma multiple.

R/ : Normalnya, autoregulasi mempertahankan aliran darah otak

yang konstan pada saat ada fluktasi tekanan darah sistemik.

Kehilangan autoregulasi dapat mengikuti kerusakakan vaskularisasi

serebral lokal atau menyebar. Peningkatan tekanan darah sistemik

yang diikuti oleh penurunan tekanan darah diastole merupakan

tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan

tingkat kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat juga

mengakibatkan kerusakan/iskemia serebral.

- Frekwenai jantung, catat adanya bradikardia, takikardia, atau

bentuk disritmia lainnya.

R/ : Perubahan pada ritme (paling sering bradikaria) dan disritmia

dapat timbul yang mencerminkan adanya depresi/trauma pada

batang otak pada pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung

sebelumnya.

- Pantau pernapasan meliputi pola dan iramanya, seperti adanya

periode apnue setelah hiperventilasi yang disebut pernapasan

cheynestokes.

R/ : Napas yang tidak teratur dapat menunjukan adanya gangguan

serebral/peningkatan TIK dan memerlukan intervensi yang lebih

lanjut termasuk kemungkinan dukungan napas buatan.

d. Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketjaman, kesamaan antara kiri

dan kanan, dan reaksinya terhadap cahaya.

R/ : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (N.III) dan

berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik.

Ukuran/kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan

23

Page 24: LP TC gadar

simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan

fungsi yang terkoordinasi dari saraf cranial optikus dan okulomtorius.

e. Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya penglihatan yang

kabur, ganda, lapang pandang menyempit dan kedalaman persepsi.

R/ : Gangguan penglihatan, yang dapat diakibatkan oleh kerusakan

mikroskopik pada otak, mempunyai konsekwensi terhadap keamanan

dan juga akan mempengaruhi pilihan intervensi.

f. Kaji l;etak/gerakan mata, catat apakah pada posisi tengah atau ada

deviasi pada satu sisi atau kebawah. Catat pula hilangnya refleks

DOLLS EYE.

R/ : Posisi dan gerakan mata membantu menemukan lokasi area otak

yang terlibat. Tanda awal dari peningkatan TIK adalah kegagalan

dalam kegagalan dalam abduksi pada mata, mengindikasikan

penekanan/trauma pada saraf cranial V.Hilangnya DOLLS EYE

mengindikasikan adanya penurunan pada fungsi batang otak dan

prognosisnya jelek.

g. Catat ada tidaknya refelks-refleks tertentu seperti refleks menelan,

batuk dan Babinski dan sebagainya.

R/ : Penurunan refleks menandakan adanya kerusakan pada tingkat otak

tengah atau batang otak dan sangat berpengaruh langsung terhadap

pasien. Refleks Babinski positif mengindikasikan adanya trauma

sepanjang jalur piramida pada otak

h. Pertahankan kepala/leher pada posisi tengah/posisi netral, sokong

dengan gulungan handuk kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada

kepala.

R/ : Kepala yang miring pada satu sisi akan menekan vena jugularis

dan menghambat aliran darah vena.yang selanjutnya akan

meningkatkan TIK.

i. Kolaborasi :

24

Page 25: LP TC gadar

- Tinggikan kepala pasien 15 – 45 derajat sesuai indikasi yang dapat

ditoleransi.

R/ : Meningkatkan aliran balik vena dari kepal sehingga akan

mengurangi kongesti dan edema atau risiko terjadinya peningkatan

TIK.

- Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.

R/ : menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan

vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK.

- Berikan obat sesuai indikasi.

Diuretik (manitol, furosemid)

R/ : Diuretik dapat digunakan pada fase akut untuk menurunkan air

dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK.

Steroid (dexametason, metilprednisolon).

R/ : menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema

jaringan.

Antikonvulsan (Fenitoin).

R/ : untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktivitas kejang.

Analgetik (Kodein).

R/ : Untuk menghilangkan nyeri.

Sedatif (Difenhidramin).

R/ : untuk mengendalikan kegelisahan.

Antipiretik ( asetaminofen).

R/ : Mengendalikan demam.

2. Risiko pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler,

obstruksi trakeobronchial.

Tujuan : mempertahankan pola pernapasan normal/efektif, bebas sianosis

dengan GDA dalam batas normal pasien.

Intervensi :

25

Page 26: LP TC gadar

a. Pantau frekwensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidak teraturan

pernapasan.

R/ : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal (umumnya

mengikuti cedera otak) atau menandakan lokasi /luasnya keterlibatan otak.

Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi

mekanis.

b. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.

R/ : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan

kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.

c. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif jika pasien

sadar.

R/ : mencegah/menurunkan atelektasis.

d. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15

detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.

R/ : Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam

keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri.

Penghisapapan pada trachea yang lebih dalam harus dilakukan dengan

ekstra hati-hati, karena hal tersebut dapat mengakibatkan hipoksia yang

menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh cukup

besar terhadap perfusi serebral.

e. Kolaborasi :

- Pantau atau gambarkan analisa gas darah, tekanan oksimetri

R/ : Menentukan kecukupan pernapasan. Keseimbangan asam basa dan

kebutuhan akan terapi.

- Lakukan ronsen toraks ulang

R/ : melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tanda komplikasi yang

berkembang (seperti atelektasis atau bronkopneumonia).

- Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.

26

Page 27: LP TC gadar

R/ : Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan

peningkatan TIK fase akut namun tindakan ini seringkali berguna pada

pada akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan memberikan jalan napas

dan menurunkan risiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.

3. Perubahan Persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi sensori,

transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neureologis, ditandai dengan :

Disorientasi waktu, tempat dan orang; perubahan dalam respons terhadap

rangsang; inkoordinasi motorik; perubahan dalam postur; ketidakmampuan

untuk memberitahu posisi bagian tubuh (propiosepsi); perubahan pola

komunikasi, distorsi audiotorius dan visual; konsentrasi buruk, perubahan

proses berpikir/berpikir ngacau.

Tujuan : Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan

fungsi persepsi.

Kriteria : mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlambatan

residu. Mendemonstrasikan perubahan perilaku/gaya hidup untuk

mengkompensasi/defisit hasil.

Intervensi :

a. Evaluasi/pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara,

alam perasaan/afektif, sensorik dan proses piker

R/ : Fungsi serebral bagian atas biasanya terlebih dahulu oleh adanya

gangguan sirkulasi, oksigenasi. Kerusakan dapat terjadi saat trauma awal

atau kadang-kadang berkembang setelahnya akibat dari pembengkakan

atau perdarahan. Perubahan motorik, persepsi, kognitif dan kepribadian

mungkin berkembang dan menetap dengan perbaikan respons secara

perlahan-lahan atau tetap bertahan secara terus menerus pada derajat

tertentu.

27

Page 28: LP TC gadar

b. Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas/dingin, benda

tajam/tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh. Perhatikan

adanya masalah penglihatan atau sensasi yang lain.

R/ : Informasi penting untuk keamanan pasien. Semua sistem sensorik

dapat terpengaruh dengan adanya perubahan yang melibatkan peningkatan

atau penurunan sensitivitas atau kehilangan sensasi/kemampuan untuk

menerima dan berespons secara sesuai pada suatu stimuli.

c. Hilangkan suara bising/stimuli yang berlebihan sesuai kebutuhan

R/ : menurunkan ansietas, respon emosi yang berlebihan/bingung yang

berhubungan dengan sensorik yang berlebihan.

d. Buat jadual istirahat yang adekuat/periode tidur tanpa adanya gangguan.

R/ : Mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan, memberikan kesempatan

untuk tidur REM (ketidakadanya tidur REM ini dapat meningkatkan

gangguan persepsi sensorik).

e. Gunakan penerangan siang atau malam hari.

R/ : Memberikan perasaan normal tentang pola perubahan waktu dan pola

tidur/bangun.

f. Kolaborasi :

- Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terpi wicara, dan terapi

kognitif.

R/ : Pendekatan antar disiplin dapat menciptakan rencana

penatalaksanaan terintegrasi yang didasarkan atas kombinasi

kemampuan/ketidakmampuan secara individu yang unik dengan

berfokus pada peningkatan evaluasi dan fungsi fisik, dan ketrampilan

perceptual.

4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau

kognitif ditandai dengan : ketidakmampuan bergerak sesuai tujuan dalam

lingkungan fisik, termasuk mobilitas ditempat tidur, pemindahan, ambulasi.

28

Page 29: LP TC gadar

Kerusakan koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan kontrol

otot.

Tujuan : melakukan kembali/mempertahankan posisi fungsi optimal

dibuktikan oleh tidak adanya kontraktur, footdrop.

Kriteria hasil : Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian

tubuh yang sakit dan /atau kompensasi. Mendemonstrasikan teknik/perilaku

yang memungkinkan dilakukannya kembali aktivitas. Mempertahankan

integritas kulit, kandung kemih dan fungsi usus.

Intervensi :

a. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada

kerusakan yang terjadi.

R/ : Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan

mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.

b. Kaji derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan

(0-4).

R/ : Pasien mampu mandiri (nilai 0) atau memerlukan bantuan/peralatan

yang minimal (nilai 1); memerlukan bantuan sedang/dengan

pengawasan/diajarkan (nilai 2); memerlukan bantuan/peralatan yang terus

menerus dan alat khusus (nilai 3); atau tergantung secara total pada

pemberi asuhan (nilai 4). Seseorang dalam semua kategori sama-sama

mempunyai risiko kecelakaan, namun kategori dengan nilai 2 – 4

mempunyai risiko yang terbesar untuk terjadinya bahaya tersebut

sehubungan imobilisasi.

c. Beri/Bantu untuk melakukan latihan rentang gerak.

R/ : Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi/posisi normal

ekstremitas dan menurunkan terjadinya vena yang statis.

d. Berikan perawatan kulit yang cermat, masase dengan pelembab, dan ganti

linen/pakaian yang basah dan pertahankan linen tersebut tetap bersih dan

bebas dari kerutan (jaga tetap tegang).

29

Page 30: LP TC gadar

R/ : Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan risiko

terjadinya ekskoriasi kulit.

e. Pantau haluaran urine. Catat warna dan bau dari urine. Bantu dengan

latihan kandung kemih jika memungkinkan.

R/ : Pemakaian kateter Foley selama fase akut memungkinkan dibutuhkan

untuk jangka waktu yang panjang sebelum memungkinkan untuk

dilakukan latihan kandung kemih. Saat kateter dilepas, beberapa metode

kontrol dapat dicoba seperti kateterisasi intermiten (selama pengosongan

sebagian atau seluruhnya);kateter eksternal, interval diatas pispot

memberikan duk inkontinen.

f. Berikan cairan dalam batas-batas yang dapat ditoleransi (contoh toleransi

neurologis dan jantung).

R/ : sesaat setelah fase akut cedera kepala, dan jika pasien tidak memiliki

faktor kontraindikasi yang lain, pemberian cairan yang memadai akan

menurunkan risiko terjadinya infeksi saluran kemih/batu ginjal/batu

kandung kemih dan berpengaruh cukup baik terhadap konsistensi feses

yang normal dan turgor kulit menjadi optimal.

5. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit

rusak, prosedur invasif, penurunan kerja sillia, statis cairan tubuh, kekurangan

nutrisi, respon inflamasi (penggunaan steroid), perubahan sistem integritas

tertutup (kebocoran CSS).

Tujuan : mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi, mencapai

penyembuhan luka tepat waktu bila ada.

Intervensi :

a. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan

yang baik.

R/ : Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.

30

Page 31: LP TC gadar

b. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka, garis

jahitan), daerah yang terpasang alat invasi (terpasang infus dan

sebagainya), catat karakterisitik dari drainase dan adanya inflamasi.

R/ : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan

tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.

c. Pantau suhu tubuh secara teratur. Catat adanya demam, mengigil,

diaforosis, dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).

R/ : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya

memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.

d. Anjurkan untk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru

secara terus menerus, observasi karakterisitk sputum.

R/ : Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk

menurunkan risiko terjadinya pneumonia, atelektasis. Catatan : Drainase

postural harus digunakan dengan hati-hati jika ada risiko terjadinya

peningkatan TIK.

e. Berikan perawatan perawatan perineal. Pertahankan integritas dan sistem

drainase urine tertutup jika menggunakannya. Anjurkan untuk minum

adekuat.

R/ : Menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan bakteri atau

infeksi yang merambah naik.

f. Observasi warna/kejernihan urine. Catat adanya bau busuk (yang tidak

enak).

R/ : Sebagai indicator dari perkembangan infeksi pada saluran kemih yang

memerlukan tindakan dengan segera.

g. Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah pengunjung

yang mengalami infeksi saluran infeksi bagian atas.

R/ : Menurunkan pemajanan terhadap “pembawa kuman penyebab infeksi”

h. Kolaborasi :

- Berikan antibiotik sesuai indikasi.

31

Page 32: LP TC gadar

R/ : Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien yang mengalami

trauma (perlukaan), kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan

untuk menurunkan risiko terjadinya infeksi nosokomial.

- Ambil bahan pemeriksaan (spesimen) sesuai indikasi.

R/ : Kultur/sensitivitas, pewarnaan gram Gram dapat dilakukan untuk

memastikan adanya infeksi dan mengidentifikasi organisme penyebab

dan untuk menentukan obat pilihan yang sesuai.

6. Risiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan

perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran),

kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan, status

hipermetabolik.

Tujuan : mendemonstrasikan kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan.

Tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai laboratorium dalam

batas-batas normal.

Intervensi :

a. Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi

sekresi.

R/ : menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien

terlindung dari aspirasi

b. Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya atau suara yang

hiperaktif.

R/ : Bising usus membantu dalam menentukan respons untuk makan atau

berkembangnya komplikasi seperti paralitik ileus.

c. Timbang berat badan sesuai indikasi.

R/ : mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.

d. Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien seperti tinggikan

kepala tempat tidur selama makan atau selamam pemberian makan lewat

NGT.

32

Page 33: LP TC gadar

R/ : menurunkan risiko regurgitasi atau terjadinya aspirasi.

e. Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan

teratur.

R/ : meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi

yang diberikan yang dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.

f. Tingkatkan kenyaman, lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat

makan. Anjurkan orang terdekat untuk membawa makanan yang disukai

pasien.

R/ : Dapat meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi makan.

g. Kolaborasi :

- Konsultasi dengan ahli gizi.

R/ : merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan

kalori/nutrisi tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh, dan

keadaan penyakit sekarang.

- Pantau pemeriksaan laboratorium seperti albumin darah, zat besi,

ureum/kreatinin, glukosa, AST/ALT dan elektrolit darah.

R/ : mengidentifikasi defisiensi nutrisi. Fungsi organ dan respons

terhadap terapi nutrisi tersebut.

- Berikan makan dengan cara yang sesuai seperti melalui NGT, melalui

oral dengan makanan lunak dan cairan yang agak kental.

R/ : pemilihan rute pemberian tergantung pada kebutuhan dan

kemampuan pasien.

7. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan

berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal sumber-sumber

informasi, kurang mengingat/keterbatasan kognitif ditandai dengan meminta

informasi, pernyataan salah konsepsi, ketidakakuratan mengikuti instruksi.

Tujuan :

- Berpartisipasi dalam proses belajar.

33

Page 34: LP TC gadar

- Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan pengobatan, potensial

komplikasi.

- Melakukan prosedur yang diperlukan dengan benar.

Intervensi :

a. Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari pasien dan juga

keluarganya.

R/ : memungkinkan untuk menyampaikan informasi yang didasarkan atas

kebutuhan secara kebutuhan.

b. Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan proses trauma dan

pengaruh sesudahnya.

R/ : membantu dalam menciptakan harapan yang realistis dan

meningkatkan pemahaman pada keadaan saat ini.

c. Diskusikan rancana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.

R/ : berbagai tingkat bantuan perlu direncanakan yang didasarkan atas

kebutuhan yang bersifat individual.

d. Berikan instruksi dalam bentuk tulisan dan jadwal mengenai aktivitas,

obat-obatan dan faktor-faktor penting lainnya.

R/ : memberikan penguatan visual dan rujukan setelah sembuh.

e. Diskusikan dengan pasien dan orang terdekat perkembangan dari gejala

seperti munculnya tanda dan gejala yang pernah dialaminya saat trauma

terjadi (pikiran melayang, pikiran kacau, mimpi berulang/mimpi buruk),

emosi/fisik yang sulit berespon; perubahan gaya hidup termasuk adaptasi

dan tingkah laku yang merusak.

R/ : Dapat menjadi tanda adanya eksaserbasi respon pasca traumatik yang

dapat terjadi dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah

mengalami trauma.

34

Page 35: LP TC gadar

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth .2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal bedah. Edisi 8 Volume 3.Jakarta : EGC.

Doenges E. Marilynn .2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3, Jakarta : EGC

Gallo, and Huddack. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik Volume II .Jakarta : EGC.

Price A. Sylvia & Wilson M. Lorraine .2003. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit Edisi 4 Buku II. Jakarta : EGC.

Satyanegara; Editor, L. Djoko Lestiono.Ilmu Bedah Syaraf Edisi III. Jakarta : Garamedia Pustaka Utama.

Komplikasi Cedera Kepala dalam http://www.freewebs.com/accidental_child/ diakses tanggal 22 juni 2009

Trauma Kepala dalam http://ababar.blogspot.com/2008/12/trauma-capitis.html diakses tanggal 22 juni 2009

Penatalaksanaan Trauma Kapitis dalam http://catatanperawat.byethost15.com/asuhan-keperawatan/asuhan-keperawatan-cedera-kepala-trauma-capitis/ diakses tanggal 22 juni 2009

Asuhan Keperawatan Trauma Kapitis dalam file:///G:/yaya%20(130609)/refarat/Askep%20pada%20Trauma%20Kapitis%20%C2%AB%20Nurseview.htm diakses tanggal 22 juni 2009

35

Page 36: LP TC gadar

Konsep Medis Trauma Kapitis dalam http://www.cerminduniakedokteran.com diakses tangggal 22 juni 2009

36