LP Sirosis Hepatis
description
Transcript of LP Sirosis Hepatis
LAPORAN PENDAHULUAN
SIROSIS HEPATIS
RUANG MAWAR RS MARGONO SOEKARJO
STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
SEMESTER I
SA’BANI NUR ARDLIYAH
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2015
SIROSIS HEPATIS (SIROSIS HATI)
A. LATAR BELAKANG
Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia. Di dalam hati terjadi proses-proses
penting bagi kehidupan kita, yaitu proses penyimpanan energi, pengaturan metabolisme
kolesterol, dan penetralan racun/obat yang masuk dalam tubuh kita, sehingga dapat kita
bayangkan akibat yang akan timbul apabila terjadi kerusakan pada hati.
Sirosis hepatis adalah suatu penyakit di mana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah
besar dan seluruh system arsitekture hati mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi
penambahan jaringan ikat (firosis) di sekitar paremkin hati yang mengalami regenerasi. sirosis
didefinisikan sebagai proses difus yang di karakteristikan oleh fibrosis dan perubahan strukture
hepar normal menjadi penuh nodule yang tidak normal.
Di negar maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ke tiga pada pasien
yang berusai 45-46 tahun ( setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker). Diseluruh dunia sirosis
menempati urutan ke tujuh penyebab kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun
akibat penyakit ini. Sirosis hati merupakan panyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang
perawatan penyakit dalam. Di Indonesia sirosis hati lebih sering di jumpai pada laki – laki dari
pada perempuan. dengan perbandingan 2 – 4 : 1.
B. DEFINISI
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui
penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari
penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati (Sujono H, 2002).
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan
adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses
peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul.
Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak
teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G.
Bare, 2001).
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus, ditandai dengan
adanya pembentukan jaringan disertai nodul. Dimulai dengan proses peradangan, nekrosis sel
hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. (Iin Inayah, 2004).
C. ETIOLOGI
Penyebab Chirrosis Hepatis :
Secara morfologis, penyebab sirosis hepatis tidak dapat dipastikan. Tapi ada dua penyebab yang
dianggap paling sering menyebabkan Chirrosis hepatis adalah:
1. Hepatitis virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab chirrosis hati,
apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada tahun 1965 dalam darah
penderita dengan penyakit hati kronis , maka diduga mempunyai peranan yang besar untuk
terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi chirrosisi. Secara klinik telah dikenal bahwa
hepatitis virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi
gejala sisa serta menunjukan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis
virus A
2. Zat hepatotoksik atau Alkoholisme.
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel
hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan berakibat nekrosis atau degenerasi
lemak, sedangkan kerusakan kronis akan berupa sirosis hati. Zat hepatotoksik yang sering
disebut-sebut ialah alcohol. Sirosis hepatis oleh karena alkoholisme sangat jarang, namun
peminum yang bertahun-tahun mungkin dapat mengarah pada kerusakan parenkim hati.
3. Hemokromatosis
Bentuk chirrosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan timbulnya
hemokromatosis, yaitu:
a. Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.
b. Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai pada penderita
dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe, kemungkinan
menyebabkan timbulnya sirosis hati.
D. PATOFISIOLOGI DAN PATHWAY
Patofisiologi
Infeksi hepatitis viral tipe B/C menimbulkan peradangan sel hati. Peradangan ini
menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas (hepatoseluler), terjadi kolaps lobulus hati dan
ini memacu timbulnya jaringan parut disertai terbentuknya septa fibrosa difus dan nodul sel hati,
walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologi sirosis hati sama atau hampir sama, septa bisa
dibentuk dari sel retikulum penyangga yang kolaps dan berubah jadi parut. Jaringan parut ini
dapat menghubungkan daerah porta dengan sentral. Beberapa sel tumbuh kembali dan
membentuk nodul dengan berbagai macam ukuran dan ini menyebabkan distorsi percabangan
pembuluh hepatik dan gangguan aliran darah porta, dan menimbulkan hipertensi portal. Hal
demikian dapat pula terjadi pada sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama. Tahap berikutnya
terjadi peradangan pada nekrosis pada sel duktules, sinusoid, retikulo endotel, terjadi
fibrinogenesis dan septa aktif. Jaringan kolagen berubah dari reversible menjadi ireversibel bila
telah terbentuk septa permanen yang aseluler pada daerah porta dan parenkim hati. Gambaran
septa ini bergantung pada etiologi sirosis. Pada sirosis dengan etiologi hemokromatosis, besi
mengakibatkan fibrosis daerah periportal, pada sirosis alkoholik timbul fibrosis daerah sentral.
Sel limposit T dan makrofag menghasilkan limfokin dan monokin, mungkin sebagai mediator
timbulnya fibrinogen. Mediator ini tidak memerlukan peradangan dan nekrosis aktif. Septal aktif
ini berasal dari daerah porta menyebar ke parenkim hati.
Pathway
Pathway Sirosis Hepatis (Sirosis Hati)
E. GEJALA DAN TANDA KLINIS
1. GEJALA
Gejala chirrosis hati mirip dengan hepatitis, karena terjadi sama-sama di liver yang mulai rusak
fungsinya, yaitu: kelelahan, hilang nafsu makan, mual-mual, badan lemah, kehilangan berat
badan, nyeri lambung dan munculnya jaringan darah mirip laba-laba di kulit (spider angiomas).
Pada chirrosis terjadi kerusakan hati yang terus menerus dan terjadi regenerasi noduler serta
ploriferasi jaringan ikat yang difus.
2. TANDA KLINIS
Tanda-tanda klinik yang dapat terjadi yaitu:
a. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita chrirosis.
Timbulnya ikterus (penguningan ) pada seseorang merupakan tanda bahwa ia sedang
menderita penyakit hati. Penguningan pada kulit dan mata terjadi ketika liver sakit dan tidak
bisa menyerap bilirubin. Ikterus dapat menjadi penunjuk beratnya kerusakan sel hati. Ikterus
terjadi sedikitnya pada 60 % penderita selama perjalanan penyakit
b. Timbulnya asites dan edema pada penderita chirrosis
Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air menumpuk pada kaki
(edema) dan abdomen (ascites). Faktor utama asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik
pada kapiler usus . Edema umumnya timbul setelah timbulnya asites sebagai akibat dari
hipoalbuminemia dan resistensi garam dan air.
c. Hati yang membesar
Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dan ke bawah. Hati membesar sekitar 2-3
cm, dengan konsistensi lembek dan menimbulkan rasa nyeri bila ditekan.
d. Hipertensi portal
Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal yang memetap di atas nilai
normal. Penyebab hipertensi portal adalah peningkatan resistensi terhadap aliran darah
melalui hati.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila penderita ada ikterus. Pada
penderita dengan asites , maka ekskresi Na dalam urine berkurang ( urine kurang dari 4
meq/l) menunjukkan kemungkinan telah terjadi syndrome hepatorenal.
b. Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan ikterus, ekskresi pigmen
empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak terserap oleh darah, di dalam usus akan
diubah menjadi sterkobilin yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja berwarna cokelat
atau kehitaman.
c. Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan, kadang –kadang dalam
bentuk makrositer yang disebabkan kekurangan asam folik dan vitamin B12 atau karena
splenomegali. Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan gastrointestinal maka
baru akan terjadi hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni bersamaan dengan adanya
trombositopeni.
d. Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi penderita yang
sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada sirosis globulin menaik, sedangkan
albumin menurun. Pada orang normal tiap hari akan diproduksi 10-16 gr albumin, pada
orang dengan sirosis hanya dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari.9 Kadar normal
albumin dalam darah 3,5-5,0 g/dL38. Jumlah albumin dan globulin yang masing-masing
diukur melalui proses yang disebut elektroforesis protein serum. Perbandingan normal
albumin : globulin adalah 2:1 atau lebih. 39 Selain itu, kadar asam empedu juga termasuk
salah satu tes faal hati yang peka untuk mendeteksi kelainan hati secara dini.
2. Sarana Penunjang Diagnostik
a. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah,: pemeriksaan fototoraks,
splenoportografi, Percutaneus Transhepatic Porthography (PTP)
b. Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi kelaianan di hati, termasuk
sirosi hati. Gambaran USG tergantung pada tingkat berat ringannya penyakit. Pada tingkat
permulaan sirosis akan tampak hati membesar, permulaan irregular, tepi hati tumpul, .
Pada fase lanjut terlihat perubahan gambar USG, yaitu tampak penebalan permukaan hati
yang irregular. Sebagian hati tampak membesar dan sebagian lagi dalam batas nomal.
c. Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis hati akan jelas kelihatan
permukaan yang berbenjol-benjol berbentuk nodul yang besar atau kecil dan terdapatnya
gambaran fibrosis hati, tepi biasanya tumpul. Seringkali didapatkan pembesaran limpa.
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Istirahat di tempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan demam.
2. Diet rendah protein (diet hati III protein 1gr/kg BB, 55 gr protein, 2.000 kalori). Bila ada
asites diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau III (1.000-2000 mg). Bila proses
tidak aktif diperlukan diet tinggi kalori (2.000-3000 kalori) dan tinggi protein (80-125
gr/hari). Bila ada tanda-tanda prekoma atau koma hepatikum, jumlah protein dalam
makanan dihentikan (diet hati II) untuk kemudian diberikan kembali sedikit demi sedikit
sesuai toleransi dan kebutuhan tubuh. Pemberian protein yang melebihi kemampuan
pasien atau meningginya hasil metabolisme protein, dalam darah viseral dapat
mengakibatkan timbulnya koma hepatikum. Diet yang baik dengan protein yang cukup
perlu diperhatikan.
3. Mengatasi infeksi dengan antibiotik diusahakan memakai obat-obatan yang jelas tidak
hepatotoksik.
4. Mempebaiki keadaan gizi bila perlu dengan pemberian asam amino esensial berantai
cabang dengan glukosa.
5. Roboransia. Vitamin B compleks. Dilarang makan dan minum bahan yang mengandung
alkohol.
Penatalaksanaan asitesis dan edema adalah :
1. Istirahat dan diet rendah garam. Dengan istirahat dan diet rendah garam (200-500 mg
perhari), kadang-kadang asitesis dan edema telah dapat diatasi. Adakalanya harus dibantu
dengan membatasi jumlah pemasukan cairan selama 24 jam, hanya sampai 1 liter atau
kurang.
2. Bila dengan istirahat dan diet tidak dapat diatasi, diberikan pengobatan diuretik berupa
spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat ditingkatkan sampai 300 mg/hari bila
setelah 3 – 4 hari tidak terdapat perubahan.
3. Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi
medikamentosa yang intensif), dilakukan terapi parasentesis. Walupun merupakan cara
pengobatan asites yang tergolong kuno dan sempat ditinggalkan karena berbagai
komplikasinya, parasentesis banyak kembali dicoba untuk digunakan. Pada umunya
parasentesis aman apabila disertai dengan infus albumin sebanyak 6 – 8 gr untuk setiap
liter cairan asites. Selain albumin dapat pula digunakan dekstran 70 % Walaupun
demikian untuk mencegah pembentukan asites setelah parasentesis, pengaturan diet
rendah garam dan diuretik biasanya tetap diperlukan.
4. Pengendalian cairan asites. Diharapkan terjadi penurunan berat badan 1 kg/hari. Hati-hati
bila cairan terlalu banyak dikeluarkan dalam suatu saat, dapat mencetuskan ensefalopati
hepatik
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengkajian pada klien dengan chirrosis hepatis dilakukan mulai dari pengumpulan data yang
meliputi : biodata, riwayat kesehatan, keluhan utama, sifat keluhan, riwayat kesehatan masa lalu,
pemeriksaan fisik, pola kegiatan sehari-hari. Hal yang perlu dikaji pada klien degan chirrosis
hepatis :
1. Aktivitas dan istirahat :
kelemahan, kelelahan, terlalu lelah, letargi, penurunan massa otot/tonus.
2. Sirkulasi
Riwayat Gagal jantung koroner kronis, perikarditis, penyakit jantung, reumatik, kanker
(malfungsi hati menimbulkan gagal hati), Distrimia, bunyi jantung ekstra (S3, S4).
3. Eliminasi
Flatus, Distensi abdomen (hepatomegali, splenomegali, asites), penurunan atau tidak ada
bising usus, Feces warna tanah liat, melena, urin gelap, pekat.
4. Nutrisi
Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/tidak dapat menerima, Mual, muntah, Penurunan
berat badan atau peningkatan cairan penggunaan jaringan, Edema umum pada jaringan, Kulit
kering,Turgor buruk, Ikterik, angioma spider, Nafas berbau/fetor hepatikus, perdarahan gusi.
5. Neurosensori
Orang terdekat dapat melaporkan perubahan keperibadian, penurunan mental, perubahan
mental, bingung halusinasi, koma bicara lambat/tak jelas.
6. Nyeri
Nyeri tekan abdomen/nyeri kuadran atas, Pruritus, Neuritis Perifer, Perilaku
berhati-hati/distraksi, Fokus pada diri sendiri.
7. Respirasi
Dispnea Takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas tambahan, Ekspansi paru terbatas
(asites), Hipoksia
8. Keamanan
Pruritus, Demam (lebih umum pada sirosis alkoholik), Ikterik, ekimosis, petekia.
Angioma spider/teleangiektasis, eritema palmar.
9. Seksualitas
Gangguan menstruasi/impoten, Atrofi testis, ginekomastia, kehilangan rambut (dada, bawah
lengan, pubis).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan
2. Perubahan suhu tubuh: hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi pada sirosis
3. Gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan pembentukan edema.
4. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ikterus dan status imunologi yang terganggu
5. Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan
gangguan gastrointestinal.
6. Resiko cedera berhubungan dengan hipertensi portal, perubahan mekanisme pembekuan dan
gangguan dalam proses detoksifikasi obat.
7. Nyeri kronis berhubungan dengan agen injuri biologi (hati yang membesar serta nyeri tekan
dan asites)
8. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan asites dan pembentukan edema.
9. Perubahan proses berpikir berhubungan dengan kemunduran fungsi hati dan peningkatan
kadar ammonia
10. Pola napas yang tidak efektif berhubungan dengan asites dan restriksi pengembangan toraks
akibat aistes, distensi abdomen serta adanya cairan dalam rongga toraks
C. RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa
Keperawatan
Rencana Keperawatan
NOC NIC Rasional
Intoleransi
aktivitas
berhubungan
dengan
kelelahan dan
penurunan
berat badan
Tujuan: Peningkatan energi
dan partisipasi dalam
aktivitas
Kriteria Hasil: Melaporkan peningkatan
kekuatan dan kesehatan pasien.
Merencanakan aktivitas untuk memberikan kesempatan istirahat yang cukup.
Meningkatkan aktivitas dan latihan bersamaan dengan bertambahnya kekuatan.
Memperlihatkan asupan nutrien yang adekuat dan menghilangkan alkohol dari diet.
1. Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP).
2. Berikan suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan K)
3. Motivasi pasien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat
4. Motivasi dan bantu pasien untuk melakukan latihan dengan periode waktu yang ditingkatkan secara bertahap
1. Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses penyembuhan.
2. Memberikan nutrien tambahan.
3. Menghemat tenaga pasien sambil mendorong pasien untuk melakukan latihan dalam batas toleransi pasien.
4. Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri
Perubahan
suhu tubuh:
hipertermia
berhubungan
dengan proses
inflamasi pada
sirosis
Tujuan: Pemeliharaan suhu
tubuh yang normal
Kriteria Hasil:
Melaporkan suhu tubuh yang normal dan tidak terdapatnya gejala menggigil atau perspirasi.
Memperlihatkan asupan cairan yang adekuat.
1. Catat suhu tubuh secara teratur.
2. Motivasi asupan cairan
3. Lakukan kompres dingin atau kantong es untuk menurunkan kenaikan suhu tubuh.
4. Berikan antibiotik seperti yang diresepkan.
5. Hindari kontak dengan infeksi.
6. Jaga agar pasien dapat beristirahat sementara suhu tubuhnya tinggi.
1. Memberikan dasar untuk deteksi hati dan evaluasi intervensi.
2. Memperbaiki kehilangan cairan akibat perspirasi serta febris dan meningkatkan tingkat kenyamanan pasien.
3. Menurunkan panas melalui proses konduksi serta evaporasi, dan meningkatkan tingkat kenyaman pasien.
4. Meningkatkan konsentrasi antibiotik serum yang tepat untuk mengatasi
infeksi.5. Meminimalkan
resiko peningkatan infeksi, suhu tubuh serta laju metabolik.
6. Mengurangi laju metabolik.
Gangguan
integritas kulit
yang
berhubungan
dengan
pembentukan
edema.
Tujuan: Memperbaiki
integritas kulit dan proteksi
jaringan yang mengalami
edema.
Kriteria Hasil: Memperlihatkan turgor kulit
yang normal pada ekstremitas dan batang tubun.
Tidak memperlihatkan luka pada kulit.
Memperlihatkan jaringan yang normal tanpa gejala eritema, perubahan warna atau peningkatan suhu di daerah tonjolan tulang.
Mengubah posisi dengan sering.
1. Batasi natrium seperti yang diresepkan.
2. Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.
3. Balik dan ubah posisi pasien dengan sering.
4. Timbang berat badan dan catat asupan serta haluaran cairan setiap hari.
5. Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematus.
6. Letakkan bantalan busa yang kecil dibawah tumit, maleolus dan tonjolan tulang lainnya.
1. Meminimalkan pembentukan edema.
2. Jaringan dan kulit yang edematus mengganggu suplai nutrien dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma.
3. Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi edema.
4. Memungkinkan perkiraan status cairan dan pemantauan terhadap adanya retensi serta kehilangan cairan dengan cara yang paling baik.
5. Meningkatkan mobilisasi edema.
6. Melindungi tonjolan tulang dan meminimalkan trauma jika dilakukan dengan benar.
Gangguan
integritas kulit
berhubungan
dengan ikterus
dan status
imunologi
Tujuan: Memperbaiki
integritas kulit dan
meminimalkan iritasi kulit
Kriteria Hasil:
Memperlihatkan kulit yang utuh tanpa terlihat luka atau infeksi.
1. Observasi dan catat derajat ikterus pada kulit dan sklera.
2. Lakukan perawatan yang sering pada kulit, mandi tanpa menggunakan sabun dan melakukan masase dengan losion
1. Memberikan dasar untuk deteksi perubahan dan evaluasi intervensi.
2. Mencegah kekeringan kulit dan meminimalkan pruritus.
3. Mencegah ekskoriasi
yang
terganggu Melaporkan tidak adanya
pruritus. Memperlihatkan
pengurangan gejala ikterus pada kulit dan sklera.
Menggunakan emolien dan menghindari pemakaian sabun dalam menjaga higiene sehari-hari.
pelembut (emolien).3. Jaga agar kuku pasien
selalu pendek.
kulit akibat garukan.
Perubahan
status nutrisi,
kurang dari
kebutuhan
tubuh
berhubungan
dengan
anoreksia dan
gangguan
gastrointestinal
.
Tujuan: Perbaikan status
nutrisi
Kriteria Hasil:
Memperlihatkan asupan makanan yang tinggi kalori, tinggi protein dengan jumlah memadai.
Mengenali makanan dan minuman yang bergizi dan diperbolehkan dalam diet.
Bertambah berat tanpa memperlihatkan penambahan edema dan pembentukan asites.
Mengenali dasar pemikiran mengapa pasien harus makan sedikit-sedikit tapi sering.
Melaporkan peningkatan selera makan dan rasa sehat.
Menyisihkan alkohol dari dalam diet.
Turut serta dalam upaya memelihara higiene oral sebelum makan dan menghadapi mual.
Menggunakna obat kelainan gastrointestinal seperti yang diresepkan.
Melaporkan fungsi gastrointestinal yang normal dengan defekasi yang
1. Motivasi pasien untuk makan makanan dan suplemen makanan.
2. Tawarkan makan makanan dengan porsi sedikit tapi sering.
3. Hidangkan makanan yang menimbulkan selera dan menarik dalam penyajiannya.
4. Pantang alkohol.5. Pelihara higiene oral
sebelum makan.6. Pasang ice collar
untuk mengatasi mual.7. Berikan obat yang
diresepkan untuk mengatasi mual, muntah, diare atau konstipasi.
8. Motivasi peningkatan asupan cairan dan latihan jika pasien melaporkan konstipasi.
9. Amati gejala yang membuktikan adanya perdarahan gastrointestinal.
1. Motivasi sangat penting bagi penderita anoreksia dan gangguan gastrointestinal.
2. Makanan dengan porsi kecil dan sering lebih ditolerir oleh penderita anoreksia.
3.Meningkatkan selera makan dan rasa sehat.
4. Menghilangkan makanan dengan “kalori kosong” dan menghindari iritasi lambung oleh alkohol.
5. Mengurangi citarasa yang tidak enak dan merangsang selera makan.
6. Dapat mengurangi frekuensi mual.
7. Mengurangi gejala gastrointestinal dan perasaan tidak enak pada perut yang mengurangi selera makan dan keinginan terhadap makanan.
8. Meningkatkan pola defekasi yang normal dan mengurangi rasa tidakenak serta
teratur. Mengenali gejala yang dapat
dilaporkan: melena, pendarahan yang nyata.
distensi pada abdomen.
9. Mendeteksi komplikasi gastrointestinal yang serius.
Resiko cedera
berhubungan
dengan
hipertensi
portal,
perubahan
mekanisme
pembekuan
dan gangguan
dalam proses
detoksifikasi
obat.
Tujuan: Pengurangan resiko
cedera
Kriteria Hasil:
Tidak memperlihatkan adanya perdarahan yang nyata dari traktus gastrointestinal.
Tidak memperlihatkan adanya kegelisahan, rasa penuh pada epigastrium dan indikator lain yang menunjukkan hemoragi serta syok.
Memperlihatkan hasil pemeriksaan yang negatif untuk perdarahan tersembunyi gastrointestinal.
Bebas dari daerah-daerah yang mengalami ekimosis atau pembentukan hematom.
Memperlihatkan tanda-tanda vital yang normal.
Mempertahankan istirahat dalam keadaan tenang ketika terjadi perdarahan aktif.
Mengenali rasional untuk melakukan transfusi darah dan tindakan guna mengatasi perdarahan.
Melakukan tindakan untuk mencegah trauma (misalnya, menggunakan sikat gigi yang lunak, membuang ingus secara perlahan-lahan,
1. Amati setiap feses yang dieksresikan untuk memeriksa warna, konsistensi dan jumlahnya.
2. Waspadai gejala ansietas, rasa penuh pada epigastrium, kelemahan dan kegelisahan.
3. Periksa setiap feses dan muntahan untuk mendeteksi darah yang tersembunyi.
4. Amati manifestasi hemoragi: ekimosis, epitaksis, petekie dan perdarahan gusi.
5. Catat tanda-tanda vital dengan interval waktu tertentu.
6. Jaga agar pasien tenang dan membatasi aktivitasnya.
7. Bantu dokter dalam memasang kateter untuk tamponade balon esofagus.
8. Lakukan observasi selama transfusi darah dilaksanakan.
9. Ukur dan catat sifat, waktu serta jumlah muntahan.
10. Pertahankan pasien
1. Memungkinkan deteksi perdarahan dalam traktus gastrointestinal.
2. Dapat menunjukkan tanda-tanda dini perdarahan dan syok.
3. Mendeteksi tanda dini yang membuktikan adanya perdarahan.
4. Menunjukkan perubahan pada mekanisme pembekuan darah.
5. Memberikan dasar dan bukti adanya hipovolemia dan syok.
6. Meminimalkan resiko perdarahan dan mengejan.
7. Memudahkan insersi kateter kontraumatik untuk mengatasi perdarahan dengan segera pada pasien yang cemas dan melawan.
8. Memungkinkan deteksi reaksi transfusi (resiko ini akan meningkat dengan pelaksanaan lebih dari satu kali transfusi yang
menghindari terbentur serta terjatuh, menghindari mengejan pada saat defekasi).
Tidak mengalami efek samping pemberian obat.
Menggunakan semua obat seperti yang diresepkan.
Mengenali rasional untuk melakukan tindakan penjagaan dengan menggunakan semua obat.
dalam keadaan puasa jika diperlukan.
11. Berikan vitamin K seperti yang diresepkan.
12. Dampingi pasien secara terus menerus selama episode perdarahan.
13. Tawarkan minuman dingin lewat mulut ketika perdarahan teratasi (bila diinstruksikan).
14. Lakukan tindakan untuk mencegah trauma :
a. Mempertahankan lingkungan yang aman.
b. Mendorong pasien untuk membuang ingus secara perlahan-lahan.
c. Menyediakan sikat gigi yang lunak dan menghindari penggunaan tusuk gigi.
d. Mendorong konsumsi makanan dengan kandungan vitamin C yang tinggi.
e. Melakukan kompres dingin jika diperlukan.
f. Mencatat lokasi tempat perdarahan.
g. Menggunakan jarum kecil ketika melakukan penyuntikan.
15. Berikan obat dengan
diperlukan untuk mengatasi perdarahan aktif dari varises esofagus)
9. Membantu mengevaluasi taraf perdarahan dan kehilangan darah.
10. Mengurangi resiko aspirasi isi lambung dan meminimalkan resiko trauma lebih lanjut pada esofagus dan lambung.
11. Meningkatkan pembekuan dengan memberikan vitamin larut lemak yang diperlukan untuk mekanisme pembekuan darah.
12. Menenangkan pasien yang merasa cemas dan memungkinkan pemantauan serta deteksi terhadap kebutuhan pasien selanjutnya.
13. Mengurangi resiko perdarahan lebih lanjut dengan meningkatkan vasokontriksi pembuluh darah esofagus dan lambung.
14. Meningkatkan keamanan pasien.
a. Mengurangi resiko trauma dan perdarahan dengan menghindari cedera, terjatuh, terpotong,
hati-hati; pantau efek samping pemberian obat.
dll.b. Mengurangi resiko
epistaksis sekunder akibat trauma dan penurunan pembekuan darah.
c. Mencegah trauma pada mukosa oral sementara higiene oral yang baik ditingkatkan.
d. Meningkatkan proses penyembuhan
e. Mengurangi perdarahan ke dalam jaringan dengan meningkatkan vasokontriksi lokal.
f. Memungkinkan deteksi tempat perdarahan yang baru dan pemantauan tempat perdarahan sebelumnya.
g. Meminimalkan perambesan dan kehilangan darah akibat penyuntikan yang berkali-kali.
15. Mengurangi resiko efek samping yang terjadi sekunder karena ketidakmampuan hati yang rusak untuk melakukan detoksifikasi (memetabolisasi) obat secara normal.
Nyeri kronis
berhubungan
dengan agen
Tujuan: Peningkatan rasa
kenyamanan
Kriteria Hasil:
1. Pertahankan tirah baring ketika pasien mengalami gangguan rasa nyaman pada
1. Mengurangi kebutuhan metabolik dan melindungi hati.
2. Mengurangi
injuri biologi
(hati yang
membesar
serta nyeri
tekan dan
asites)
Mempertahankan tirah baring dan mengurangi aktivitas ketika nyeri terasa.
Menggunakan antipasmodik dan sedatif sesuai indikasi dan resep yang diberikan.
Melaporkan pengurangan rasa nyeri dan gangguan rasa nyaman pada abdomen.
Melaporkan rasa nyeri dan gangguan rasa nyaman jika terasa.
Mengurangi asupan natrium dan cairan sesuai kebutuhan hingga tingkat yang diinstruksikan untuk mengatasi asites.
Merasakan pengurangan rasa nyeri.
Memperlihatkan pengurangan rasa nyeri.
Memperlihatkan pengurangan lingkar perut dan perubahan berat badan yang sesuai.
abdomen.2. Berikan antipasmodik
dan sedatif seperti yang diresepkan.
3. Kurangi asupan natrium dan cairan jika diinstruksikan.
iritabilitas traktus gastrointestinal dan nyeri serta gangguan rasa nyaman pada abdomen.
3. Memberikan dasar untuk mendeteksi lebih lanjut kemunduran keadaan pasien dan untuk mengevaluasi intervensi.
4. Meminimalkan pembentukan asites lebih lanjut.
Kelebihan
volume cairan
berhubungan
dengan asites
dan
pembentukan
edema.
Tujuan: Pemulihan kepada
volume cairan yang normal
Kriteria Hasil:
Mengikuti diet rendah natrium dan pembatasan cairan seperti yang diinstruksikan.
Menggunakan diuretik, suplemen kalium dan protein sesuai indikasi tanpa mengalami efek samping.
Memperlihatkan peningkatan haluaran urine.
Memperlihatkan pengecilan lingkar perut.
Mengidentifikasi rasional pembatasan natrium dan
1. Batasi asupan natrium dan cairan jika diinstruksikan.
2. Berikan diuretik, suplemen kalium dan protein seperti yang dipreskripsikan.
3. Catat asupan dan haluaran cairan.
4. Ukur dan catat lingkar perut setiap hari.
5. Jelaskan rasional pembatasan natrium dan cairan.
1. Meminimalkan pembentukan asites dan edema.
2. Meningkatkan ekskresi cairan lewat ginjal dan mempertahankan keseimbangan cairan serta elektrolit yang normal.
3. Menilai efektivitas terapi dan kecukupan asupan cairan.
4. Memantau perubahan pada pembentukan asites dan penumpukan cairan.
5. Meningkatkan
cairan. pemahaman dan kerjasama pasien dalam menjalani dan melaksanakan pembatasan cairan.
Perubahan
proses berpikir
berhubungan
dengan
kemunduran
fungsi hati dan
peningkatan
kadar amonia.
Tujuan: Perbaikan status
mental
Kriteria Hasil:
Memperlihatkan perbaikan status mental.
Memperlihatkan kadar amonia serum dalam batas-batas yang normal.
Memiliki orientasi terhadap waktu, tempat dan orang.
Melaporkan pola tidur yang normal.
Menunjukkan perhatian terhadap kejadian dan aktivitas di lingkungannya.
Memperlihatkan rentang perhatian yang normal.
Mengikuti dan turut serta dalam percakapan secara tepat.
Melaporkan kontinensia fekal dan urin.
Tidak mengalami kejang.
1. Batasi protein makanan seperti yang diresepkan.
2. Berikan makanan sumber karbohidrat dalam porsi kecil tapi sering.
3. Berikan perlindungan terhadap infeksi.
4. Pertahankan lingkungan agar tetap hangat dan bebas dari angin.
5. Pasang bantalan pada penghalang di samping tempat tidur.
6. Batasi pengunjung.7. Lakukan pengawasan
keperawatan yang cermat untuk memastikan keamanan pasien.
8. Hindari pemakaian preparat opiat dan barbiturat.
9. Bangunkan dengan interval.
1. Mengurangi sumber amonia (makanan sumber protein).
2. Meningkatkan asupan karbohidrat yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan energi dan “mempertahankan” protein terhadap proses pemecahannya untuk menghasilkan tenaga.
3. Memperkecil resiko terjadinya peningkatan kebutuhan metabolik lebih lanjut.
4. Meminimalkan gejala menggigil karena akan meningkatkan kebutuhan metabolik.
5. Memberikan perlindungan kepada pasien jika terjadi koma hepatik dan serangan kejang.
6. Meminimalkan aktivitas pasien dan kebutuhan metaboliknya.
7. Melakukan pemantauan ketat terhadap gejala yang baru terjadi dan meminimalkan trauma pada pasien
yang mengalami gejala konfusi.
8. Mencegah penyamaran gejala koma hepatik dan mencegah overdosis obat yang terjadi sekunder akibat penurunan kemampuan hati yang rusak untuk memetabolisme preparat narkotik dan barbiturat.
9. Memberikan stimulasi kepada pasien dan kesempatan untuk mengamati tingkat kesadaran pasien.
Pola napas
yang tidak
efektif
berhubungan
dengan asites
dan restriksi
pengembangan
toraks akibat
aistes, distensi
abdomen serta
adanya cairan
dalam rongga
toraks
Tujuan: Perbaikan status
pernapasan
KriteriaHasil:
Mengalami perbaikan status pernapasan.
Melaporkan pengurangan gejala sesak napas.
Melaporkan peningkatan tenaga dan rasa sehat.
Memperlihatkan frekuensi respirasi yang normal (12-18/menit) tanpa terdengarnya suara pernapasan tambahan.
Memperlihatkan pengembangan toraks yang penuh tanpa gejala pernapasan dangkal.
Memperlihatkan gas darah yang normal.
Tidak mengalami gejala konfusi atau sianosis.
1. Tinggalkan bagian kepala tempat tidur.
2. Hemat tenaga pasien.3. Ubah posisi dengan
interval.4. Bantu pasien dalam
menjalani parasentesis atau torakosentesis.
a. Berikan dukungan dan pertahankan posisi selama menjalani prosedur.
b. Mencatat jumlah dan sifat cairan yang diaspirasi.
c. Melakukan observasi terhadap bukti terjadinya batuk, peningkatan dispnu atau frekuensi denyut nadi.
1. Mengurangi tekanan abdominal pada diafragma dan memungkinkan pengembangan toraks dan ekspansi paru yang maksimal.
2. Mengurangi kebutuhan metabolik dan oksigen pasien.
3. Meningkatkan ekspansi (pengembangan) dan oksigenasi pada semua bagian paru).
4. Parasentesis dan torakosentesis (yang dilakukan untuk mengeluarkan cairan dari rongga toraks) merupakan tindakan yang menakutkan bagi pasien. Bantu pasien agar bekerja
sama dalam menjalani prosedur ini dengan meminimalkan resiko dan gangguan rasa nyaman.
a. Menghasilkan catatan tentang cairan yang dikeluarkan dan indikasi keterbatasan pengembangan paru oleh cairan.
b. Menunjukkan iritasi rongga pleura dan bukti adanya gangguan fungsi respirasi oleh pneumotoraks atau hemotoraks (penumpukan udara atau darah dalam rongga pleura).
DAFTAR PUSTAKA
Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek, 2006, Nursing Interventions Classification (NIC),
Mosby Year-Book, St. Louis
Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, EGC,
Jakarta
Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC), Mosby Year-Book, St.
Louis
Marjory Gordon, dkk, 2001, Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2001-2002,
NANDA
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Soeparman. (2004). Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.