LP Fraktur Femur Dextra

46
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Konsep Dasar 1. Pengertian Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang, umumnya akibat trauma dan digolongkan sesuai dengan jenis arah garis fraktur (Tambayong, 2000 hal : 124). Menurut Mansjoer (2000, hal : 346) fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Smeltzer (2001, hal : 2357) mendefinisikan fraktur sebagai suatu keadaan terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya. Sedangkan Price (2005, hal : 1183) mengemukakan bahwa fraktur merupakan patah tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti generasi tulang / osteoporosis (Widya, 2009). Sedangkan 1

description

laporan penfdahuluan fraktur femur dextra

Transcript of LP Fraktur Femur Dextra

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A.    Konsep Dasar

1.      Pengertian

Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang, umumnya akibat trauma dan

digolongkan sesuai dengan jenis arah garis fraktur (Tambayong, 2000 hal : 124).

Menurut Mansjoer (2000,  hal : 346)  fraktur adalah terputusnya kontinuitas 

jaringan tulang dan tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.

Smeltzer (2001, hal : 2357) mendefinisikan fraktur sebagai suatu keadaan

terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya.

Sedangkan Price (2005, hal : 1183) mengemukakan bahwa fraktur merupakan

patah tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.  

Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang

disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti

generasi tulang / osteoporosis (Widya, 2009). Sedangkan menurut Hartanto

(2011) fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas  batang femur yang terjadi

akibat trauma langsung dan umumnya sering dialami oleh laki-laki dewasa.

Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa

fraktur femur ialah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan oleh trauma fisik

atau tanga fsisik uyang terjadi secara langsung.

1

2.      Etiologi

Corwin (2009, hal : 336) menyebutkan penyebab fraktur yang paling

sering adalah trauma, terutama pada anak-anak dan dewasa muda. Adapun

beberapa jenis penyebab terjadinya fraktur adalah sebagai berikut:

a.       Fraktur patologis, yaitu fraktur yang diakibatkan oleh trauma minimal atau

tekanan ringan dan sering terjadi pada orang tua yang mengidap osteoporosis atau

penderita tumor, infeksi atau penyakit lain.

b.      Fraktur stress (fatigue fraktur), yaitu dapat terjadi pada tulang normal akibat stres

tingkat rendah yang berkepanjangan. Fraktur ini terjadi pada mereka yang

menjalani olahraga daya tahan misalnya lari jarak pendek. 

Menurut Rasjad (2007) bahwa penyebab terjadi fraktur adalah sebagai

berikut :

a.       Fraktur fisiologis

Suatu kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan oleh kecelakaan, tenaga

fisik dan trauma yaitu dapat disebabkan oleh :

1)      Cedera langsung, yaitu pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah

secara spontan.

2)      Cedera tidak langsung,  yaitu pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,

misalnya jatuh dengan tangan terjulur menyebabkan fraktur klavikula atau orang

tua yang terjatuh menganai bokong dan berakibat fraktur kolom femur.

b.      Fraktur patologis

Dalam hal ini kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit dimana

dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur. Hal ini dapat terjadi pada

2

berbagai keadaan, antara lain :  tumor tulang (jinak dan ganas),  infeksi seperti

osteomielitis, scurvy (penyakit gusi berdarah), osteomalasia, rakhitis,

osteoporosis.

3.      Manifestasi Klinis

Smeltzer (2001, hal : 2358)  menyebutkan bahwa manifestasi klinis dari

fraktur adalah sebagai berikut :

a.       Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang

diimobilisasi.

b.      Deformitas terjadi karena pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai,

ekstremitas yang diketahui dengan membandingkan esktremitas normal.

c.       Pemendekan tulang terjadi pada fraktur panjang karena kontraksi otot yang

melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.

d.      Krepitus teraba saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, yang teraba akibat

gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya.

e.       Pembengkakan dan perubahan warna kulit lokal pada kulit yang terjadi akibat

trauma dan pendarahan yang mengalami fraktur.    

 Corwin (2009, hal 337) juga menyebutkan dan menjelaskan bahwa

manifestasi klinis dari fraktur adalah sebagai berikut :

a.       Nyeri biasanya patah tulang traumatik dan cedera jaringan lunak. Spasme otot

dapat terjadi setelah patah tulang dan menimbulkan nyeri aktivitas dan berkurang

dengan istirahat. Fraktur patologis mungkin tidak disertai nyeri.

b.      Posisi tulang atau ekstremitas yang tidak alami mungkin tampak jelas.

3

c.       Pembengkakan di sekitar tempat fraktur akan menyertai proses inflamasi.

d.      Gangguan sensasi atau kesemutan dapat terjadi, yang menandakan kerusakan

saraf. Denyut nadi di bagian distal fraktur harus utuh dan sama dengan bagian

nonfraktur. Hilangnya denyut nadi di sebelah distal dapat menandakan sindrom

kompartemen.

e.       Krepitus (suara gemeretak) dapat terdengar saat tulang digerakkan karena ujung

ujung patahan tulang bergeser satu sama lain. 

4.      Klasifikasi

Corwin (2009, hal : 335) mengemukakan istilah-istilah yang digunakan

untuk menjelaskan berbagai jenis fraktur, antara lain :

a.       Fraktur komplit, yaitu fraktur yang mengenai suatu tulang secara keseluruhan.

b.      Fraktur inkomplit, yaitu fraktur yang meluas secara parsial pada tulang.

c.       Fraktur sederhana (tertutup), yaitu fraktur yang tidak menyebabkan robeknya

kulit.

d.      Fraktur compound (terbuka), yaitu fraktur yang menyebabkan robeknya kulit.

Menurut  Mansjoer (2000, hal : 364)  klasifikasi fraktur adalah sebagai

berikut :

a.       Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang

dengan dunia luar.

b.      Fraktur terbuka (open compund), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang

dengan dunia luar karena  adanya  perlukaaan di kulit.

Adapun klasifikasi fraktur terbuka berdasarkan tingkat derajatnya, yaitu :

4

1)      Derajat I : luka kurang 1 cm, kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda

luka remuk, fraktur sederhana, transversal, oblik / kominutif ringan dan

kontaminasi minimal.

2)      Derajat II : Laserasi kurang 1 cm, kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap /

avulsi, fraktur kominutif sedang, kontaminasi sedang.

3)      Derajat III : terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit,

otot dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.

Smeltzer (2001, hal : 2358) menyebutkan bahwa klasifikasi fraktur

berdasarkan pergeseran anatomis  tulang bergeser atau tidak bergeser, adalah

sebagai berikut :

a.       Greenstik, yaitu fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya.

b.      Transversal, yaitu fraktur sepanjang garis tengah tulang.

c.       Oblik, yaitu fraktur yang membentuk sudut garis tengah tulang (lebih tidak stabil

dibandingkan transversal)

d.      Spiral, yaitu fraktur memuntir seputar tulang.

e.       Kominutif, yaitu fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen.

f.       Depresi, yaitu fraktur dengan fragmen patahan dorongan ke dalam (sering terjadi

pada tulang tengkorak dan wajah).

g.      Kompresi, yaitu fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang

belakang).

h.      Patologik, yaitu fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang,

metastasis tulang, tumor).

i.        Avulsi, tertariknya fragmen oleh ligament / tendon pada perlekatannya.

5

j.        Epifesial, yaitu fraktur melalui epifisis.

k.      Impaksi, yaitu fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang

lainnya.

Selanjutnya, Smeltzer (2001) menyebutkan bahwa klasifikasi fraktur

femur ada 6 (enam) tipe, antara lain :

a.       Fraktur Subtrochanter Femur

Fraktur subtrochanter femur yaitu fraktur di mana garis patahnya berada 5

cm dari distal trochanter minor, fraktur ini dibagi dalam beberapa klasifikasi

tetapi lebih sederhana dan mudah dipahami adalah klasifikasi Fielding dan

Magliato, yaitu :

1)      Tipe I yaitu garis fraktur satu level dengan trochanter minor.

2)      Tipe II yaitu garis patah berada 1-2 inch di bawah dari batas trochanter minor.

3)      Tipe III yaitu garis patah berada 2-3 inch di distal dari batas atas trochanter

minor. 

b.      Fraktur Batang Femur (Dewasa)

Fraktur batang femur biasanya terjadi karena truma langsung akibat

kecelakaan atau jatuh dari ketinggian, patah pada daerah ini dapat menimbulkan

perdarahan yang cukup banyak, sehingga mengakibatkan penderita jatuh dalam

shock, salah satu klasifikasi fraktur batang femur dibagi berdasarkan adanya luka 

yang berhubungan dengan daerah yang patah, yaitu dengan 2 jenis antara lain:

1)      Fraktur tertutup

6

2)      Fraktur terbuka, ketentuan fraktur femur bila terdapat hubungan tulang yang

patah dengan dunia luar dibagi dalam 3 (tiga) derajat, yaitu :

a)      Derajat I, terjadi apabila hubungan dengan dunia luar timbul luka kecil, biasanya

diakibatkan oleh tusukan fragmen tulang dari dalam  menembus keluar.

b)      Derajat II, terjadinya luka lebih besar (> 1 cm) dan luka ini disebabkan karena

benturan dari luar.

c)      Derajat III, terjadinya luka lebih luas dari derajat kedua, lebih kotor  dan jaringan

lunak banyak yang ikut rusak.

c.       Fraktur Supracondyler Femur

Fraktur supracondyler femur fragmen bagian distal selalu terjadi dislokasi

ke posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot-otot

gastrocnemius, bisanya fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung karena

kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial stres valgus  atau varus disertai

rotasi.   

d.      Fraktur Intercondyler Femur

Fraktur intercondyler femur biasanya diikuti oleh fraktur supercondyler,

sehingga terjadi bentuk T atau Y  pada fraktur.

e.       Fraktur Condyler Femur

Mekanisme trauma fraktur condyler femur biasanya merupakan kombinasi

dari gaya hiperabduksi dan abduksi disertai dengan tekanan pada sumbu femur ke

atas.

f.       Fraktur Colum Femur

7

Fraktur colum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung, misalnya

penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor langsung

terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan oleh trauma tidak

langsung yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak dari tungkai bawah.

Fraktur ini dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :

1)      Fraktur intrakapsuler yaitu fraktur femur yang terjadi di dalam sendi, panggul

dan kapsula, melalui kepala femur (capital fraktur) dan melalui leher dari femur.

2)      Fraktur ekstrakapsuler yaitu fraktur yang terjadi di luar sendi dan kapsul melalui

trochanter femur yang lebih besar / kecil pada daerah intertrochanter dan terjadi

di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2 (dua) inch di bawah

trochanter kecil.

5.      Patofisiologi

Corwin (2009, hal : 337) menjelaskan bahwa  patofisologi pada fraktur

yaitu ketika tulang patah, sel tulang mati. Perdarahan biasanya terjadi di sekitar

tempat patah dan ke dalam jaringan lunak di sekitar tulang tersebut. Jaringan

lunak biasanya mengalami kerusakan akibat cedera. Reaksi inflamasi yang intens

terjadi setelah patah tulang. Sel darah putih dan sel mast berakumulasi sehingga

menyebabkan peningkatan aliran darah ke area tersebut. Fagositosis dan

pembersihan debris sel mati dimulai. Bekuan fibrin (hematoma fraktur)  terbentuk

di tempat patah dan berfungsi sebagai jala untuk melekatnya sel-sel baru.

Aktivitas osteoblas segera terstimulasi dan terbentuk tulang baru imatur yang

8

disebut kalus.  Bekuan fibrin segera direabsorbsi dan sel tulang baru secara

perlahan mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati.

Selanjutnya, Corwin (2009, hal : 337) menambahkan bahwa tulang sejati

menggantikan kalus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi. Penyembuhan

memerlukan waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan (fraktur pada anak

sembuh lebih cepat). Penyembuhan dapat terganggu atau terlambat apabila

hematoma fraktur atau kalus rusak sebelum tulang sejati terbentuk, atau apabila

sel tulang baru rusak selama kalsifikasi dan pengerasan.

6.      Penatalaksanaan  

Suratun (2008, hal : 150) menyebutkan bahwa ada 4 (empat) konsep dasar

yang harus dipertimbangkan untuk menangani fraktur, yaitu :

a.       Rekognisi, yaitu menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kecelakaan dan

selanjutnya di rumah sakit dengan melakukan pengkajian terhadap riwayat

kecelakaan, derajat keparahan, jenis kekuatan yang berperan pada peristiwa yang

terjadi, serta menentukan kemungkinan adanya fraktur melalui pemeriksaan dan

keluhan dari klien.

b.      Reduksi fraktur, yaitu mengembalikan posisi tulang ke posisi anatomis, dengan

cara :

1)      Reduksi terbuka : dengan pembedahan, memasang alat fiksasi interna (misalnya

pen, kawat, sekrup, plat, paku dan batangan logam).

2)      Reduksi tertutup :ekstremitas dipertahankan dengan gips, traksi, brace, bidai, dan

fiksator eksternal.   

9

c.       Imobilisasi : setelah direduksi, fragmen  tulang harus diimobilisasi atau

dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar hingga terjadi penyatuan.

Metode imobilisasi dilakukan dengan fiksasi eksterna dan interna. 

d.      Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, meliputi :

1)      Mempertahankan reduksi dan imobilisasi

2)      Meninggikan daerah fraktur untuk meminimalkan pembengkakan

3)      Memantau status neuromuskular

4)      Mengontrol kecemasan dan nyeri

5)      Latihan isometrik dan setting otot

6)      Kembali pada aktivitas semula secara bertahap

Menurut Corwin (2009, hal : 339) penatalaksanaan yang dilakukan  pada

kasus fraktur, yaitu :

a.       Fraktur harus segera diimobilisasi untuk memungkinkan pembentukan hematoma

fraktur dan meminimalkan kerusakan.

b.      Penyambungan kembali tulang (reduksi) penting dilakukan agar terjadi pemulihan

posisi dan rentang gerak kembali normal. Sebagian besar reduksi dapat dilakukan

tanpa intervensi bedah (reduksi tertutup). Apabila diperlukan pembedahan untuk

fiksasi (reduksi terbuka), pin atau sekrup dapat dipasang untuk mempertahankan

sambungan. Traksi dapat diperlukan untuk mempertahankan reduksi dan

menstimulasi penyembuhan.

c.       Imobilisasi jangka panjang setelah reduksi penting dilakukan agar terjadi

pembentukan kalus dan tulang baru. Imobilisasi jangka panjang biasanya

dilakukan dengan pemasangan gips, atau penggunaan bidai.

10

Smeltzer (2001, hal 2359) menjelaskan bahwa penatalaksanaan

kedaruratan yang dilakukan pada kasus fraktur adalah sebagai berikut :

a.       Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari

adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah. Maka bila

dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh segera

sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang mengalami cedera harus

dipindahkan dari kenderaan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas

harus disangga di atas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi

maupun angulasi. Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri,

kerusakan jaringan lunak dan perdarahan lebih lanjut.

b.      Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan

menghindarkan gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian

yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh

fragmen tulang.

c.       Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan

bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang. Imobilisasi

tulang panjang ekstremitas bawah juga dapat dilakukan dengan membebat kedua

tungkai bersama, dengan ekstremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi

ekstremitas yang cedera. Pada cedera ekstremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke

dada, atau lengan bawah yang cedera digantung pada sling. 

d.      Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk

mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan

11

reduksi fragmen, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui luka maka

pasangkan bidai sesuai yang diterangkan diatas.

e.       Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian dilepaskan

dengan lembut, pertama pada bagian tubuh yang sehat dan kemudian dari sisi

yang cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada sisi yang cedera.

Ekstremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah kerusakan

lebih lanjut.       

7.      Komplikasi

Menurut Suratun (2008, hal : 150) komplikasi pada kasus fraktur adalah

sebagai berikut :

a.       Komplikasi awal

1)      Syok yaitu dapat berupa fatal dalam beberapa jam setelah odema

2)      Emboli lemak yaitu dapat terjadi 24-72 jam

b.      Komplikasi lanjutan

1)      Mal union / non union

2)      Nekrosis avaskular tulang

3)      Reaksi terhadap alat fiksasi interna

8.      Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Fraktur

Smeltzer (2001, hal 2361) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi penyembuhan fraktur adalah sebagai berikut :

12

a.       Faktor yang mempercepat penyembuhan fraktur, yaitu : 1) Imobilisasi fragmen

tulang, 2) Kontak fragmen tulang maksimal, 3)  Asupan darah yang memadai, 4)

Nutrisi yang baik, 5) Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang, 6)

Hormon-hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D, steroid anabolik, 7)

Potensial listrik pada patahan tulang

b.      Faktor yang memperlambat penyembuhan fraktur, yaitu : 1) Trauma lokal

akstensif, 2) Kehilangan tulang, 3) Imobilisasi tidak memadai, 4) Rongga atau

jaringan diantara fragmen, 5) Infeksi, 6) Keganasan lokal, 7) Penyakit tulang

metabolik, 8) Radiasi tulang (nekrosis radiasi), 9)  Nekrosis avaskuler, 10) Fraktur

intraartikuler (cairan sinovial mengandung fibrolisin, yang akan melisis bekuan

darah awal dan memperlambat pembentukan jendalan), 11) usia (lansia sembuh

lebih lama), 12) kortikosteroid (menghambat percepatan perbaikan).

B.     Asuhan Keperawatan

1.      Pengkajian

Menurut Doenges (1999, hal : 761) pengkajian pada klien fraktur,

didasarkan pada gejala-gejala yang tergantung pada sisi, beratnya dan jumlah

kerusakan pada struktur lain, yang meliputi :

a.      Aktivitas / istirahat

Tanda : keterbatasan / kehilangan fungsi yang efektif (perkembangan sekunder

dari jaringan yang bengkak / nyeri)

b.      Sirkulasi

13

Tanda : hipertensi (kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri / ansietas) atau

hipotensi (kehilangan darah), takikardia (respon stres, hipovelemi), penurunan

nadi pada distal yang cedera, pengisian kapiler lambat, pembengkakan jaringan

atau hematoma pada sisi yang cedera.

c.       Neurosensori

Gejala : hilangnya gerakan / sensasi, spasme otot, kebas / kesemutan (parestesia).

Tanda : deformitas lokal ; angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi,

spasme otot, terlihat kelemahan / hilangnya fungsi, agitasi (mungkin berhubungan

dengan nyeri / ansietas atau trauma lain).

d.      Nyeri / keamanan

Gejala : nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokasi pada area

jaringan / kerusakan saraf, spasme / kram (setelah imobilisasi).

e.       Keamanan 

Tanda : laserasi kulit, avulse jaringan, perdarahan, perubahan warna,

pembengkakan lokal.

f.       Penyuluhan / pembelajaran

Gejala : lingkungan cedera.

Pertimbangan rencana pemulangan : memerlukan bantuan dengan transportasi,

aktivitas perawatan diri dan tugas pemeliharaan / perawatan rumah.

g.      Pemeriksaan diagnostik 

Adapun pemeriksaan yang dilakukan pada klien fraktur adalah sebagai

berikut :

1)      Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi/ luasnya fraktur  atau trauma.

14

2)      Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur dan juga dapat

digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

3)      Arteriogram : dilakukan apabila kerusakan vaskuler dicurigai.

4)      Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat  (hemokonsentrasi) atau menurun

(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel),

peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal  setelah trauma.

5)      Kreatin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.

6)      Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi

multipel, atau cedera hati.

2.      Diagnosa Keperawatan

Doenges (1999, hal : 763-775) menyebutkan bahwa diagnosa keperawatan

yang didapat pada klien fraktur adalah sebagai berikut : 

a.       Risiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang.

b.      Nyeri (akut) berhubungan dengan gerakan fragmen tulang, edema dan cedera

pada jaringan lunak.

c.       Risiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan

penurunan / interupsi aliran darah, cedera vaskuler langsung, edema berlebihan,

pembentukan trombus.

d.      Risiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan

aliran darah / emboli lemak, perubahan membran alveolar / kapiler, interstitial,

edema paru, kongesti.

15

e.       Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler

(nyeri / ketidaknyamanan, terapi restriktif / imobilisasi tungkai).

f.       Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk, fraktur terbuka,

bedah perbaikan, pemasangan traksi pen, kawat, sekrup, perubahan sensasi

sirkulasi, akumulasi ekresi / sekret dan imobilisasi fisik. 

g.      Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan

primer, kerusakan kulit, trauma jaringan.

h.      Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis dan

kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan / mengingat, salah

interpretasi informasi / tidak mengenal sumber informasi. 

3.      Rencana Asuhan Keperawatan

Menurut Doenges (1999, hal : 763-775) perencanaan yang akan

dilaksanakan pada diagnosa keperawatan klien fraktur adalah sebagai berikut :

a. Risiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang.

Tujuan : fraktur stabil.

Kriteria hasil : mempertahankan stabilisasi dan posisi fraktur, menunjukkan

mekanika tubuh yang meningkatkan stabilitas pada sisi fraktur, menunjukkan

pembentukan kalus  / mulai penyatuan fraktur dengan tepat.

1) Pertahankan tirah baring / ekstremitas sesuai indikasi. Rasional :

meningkatkan stabilitas, menurunkan kemungkinan gangguan posisi.

16

2) Letakkan papan dibawah tempat tidur atau tempatkan pasien pada tempat

tidur ortopedik.

Rasional : dapat membantu deformasi gips yang sudah kering.

3) Sokong fraktur dengan bantal / gulungan selimut.

Rasional : mencegah gerakan yang tidak perlu dan perubahan posisi.

4) Evaluasi pembebat ekstremitas terhadap resolusi edema.

Rasional : pembebat koaptasi digunakan untuk memberikan imobilisasi

fraktur dimana pembengkakan jaringan berlebihan. Intervensi 5) 

Pertahankan posisi / integritas traksi.

Rasional : mengatasi tegangan otot atau pemendekan.

6)  Bantu meletakkan beban di bawah roda tempat tidur bila diindikasi.

Rasional : membantu posisi tepat pasien dan fungsi traksi dengan

memberikan keseimbangan timbal balik.

7) Kaji ulang tahanan yang mungkin timbul dengan terapi.

Rasional : mempertahankan integritas tarikan traksi.

8) Kaji ulang foto / evaluasi

. Rasional : memberikan bukti visual mulainya pembentukan kalus / proses

kebutuhan atau tambahan terapi. 

b. Nyeri (akut) berhubungan dengan gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada

jaringan lunak.

Tujuan : nyeri hilang atau berkurang.

Kriteria hasil : klien menyatakan nyeri hilang, menunjukkan tindakan santai,

mampu berpartisipasi dalam aktivitas tidur / istirahat dengan tepat, menunjukkan

17

penggunaan ketrampilan relaksasi dan aktivitas sesuai indikasi untuk situasi

individual.

1) Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring.

Rasional : untuk menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi

tulang / tegangan yang cedera.

2) Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena.

Rasional : untuk meningkatkan aliran darah balik vena, menurunkan

edema dan menurunkan nyeri.

3) Hindari penggunaan sprei bantal plastik  di bawah ekstremitas yang dalam

gips.

Rasional : untuk meningkatkan ketidaknyamanan karena peningkatan

produksi panas dalam gips yang kering.

4) Tinggikan penutup tempat tidur, pertahankan linen terbuka pada ibu jari

kaki.

Rasional : untuk mempertahankan kehangatan tubuh tanpa

ketidaknyamanan karena tekanan selimut pada bagian yang sakit.

5) Evaluasi keluhan nyeri / ketidaknyamanan, perhatikan lokasi dan

karakteristik.

Rasional : mempengaruhi pilihan atau pengawasan keefektifan intervensi.

6) Lakukan kompres dingin / es 24-48 jam pertama dan sesuai dengan

keperluan.

Rasional : menurunkan edema / pembentukan hematoma, menurunkan

sensasi nyeri.

18

7) Dorong pasien untuk mendiskusikan masalah sehubungan dengan cedera.

Rasional : untuk membantu menghilangkan ansietas.

8) jelaskan prosedur sebelum memulai.

Rasional : memungkinkan pasien untuk siap secara mental untuk aktivitas

9) Beri obat sebelum perawatan aktivitas.

Rasional : untuk meningkatkan relaksasi otot

10) Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif / aktif. 

Rasional : untuk mempertahankan kekuatan / mobilitas otot yang sakit.

11) Berikan alternatif tindakan kenyamanan seperti pijatan.

Rasional : untuk meningkatkan sirkulasi umum yaitu menurunkan area

tekanan lokal dan kelelahan otot.

12) Identifikasi aktifitas terapeutik yang tepat untuk usia klien.

Rasional : untuk mencegah kebosanan, menurunkan ketegangan.

13) Selidiki adanya keluhan nyeri yang tidak biasanya  / tiba-tiba.

Rasional : dapat menandakan terjadinya komplikasi, seperti infeksi.

14) Berikan obat sesuai indikasi.

Rasional : menghilangkan nyeri pada tulang.

15) Berikan  / awasi analgesik yang dikontrol pasien bila diindikasi.

Rasional : untuk mempertahankan kadar analgesik darah adekuat, mencegah

fluktuasi dalam penghilangan nyeri.        

c. Risiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan

penurunan / interupsi aliran darah, cedera vaskuler langsung, edema berlebihan,

pembentukan trombus.

19

Tujuan : Fungsi neuro vaskuler kembali normal.

Kriteria hasil : Mempertahankan perfusi jaringan, terabanya nadi, kulit hangat,

sensasi normal, sensori biasa, tanda vital stabil.

1) Lepaskan perhiasan dari ekstremitas yang sakit.

Rasional : dapat membendung sirkulasi bila terjadi edema.

2) Evaluasi adanya kualitas nadi perifer distal terhadap cedera melalui palpasi /

doppler.

Rasional : penurunan atau tidak adanya nadi menggambarkan cedera vaskuler

dan perlunya evaluasi medik segera terhadap status sirkulasi.

3) Kaji aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan distal pada fraktur.

Rasional : kembalinya warna harus cepat (3-5 hari).

4) Lakukan pengkajian neuromuskuler.

Rasional : gangguan perasaan kebas, peningkatan nyeri terjadi bila sirkulasi pada

saraf tidak adekuat.

5) Tes sensasi saraf perifer dengan menusuk pada kedua selaput antara ibu jari

pertama dan kedua serta kaji kemampuan untuk dorsofleksi ibu jari bila

diindikasikan.

Rasional : panjang dan posisi saraf perineal meningkatkan risiko cedera pada

fraktur kaki, edema atau malposisi.

6) pertahankan peninggian ekstremitas yang cedera.

Rasional : meningkatkan drainase vena / menurunkan edema.

7) Kaji keseluruhan panjang ekstremitas untuk tipe cedera untuk pembengkakan /

pembentukan edema.

20

Rasional : peningkatan lingkar ekstremitas yang cedera dapat diduga adanya

pembengkakan jaringan / edema umum tetapi dapat menunjukkan perdarahan.

Intervensi 8) Selidiki tanda iskemia ekstremitas tiba-tiba seperti penurunan suhu

kulit, dan peningkatan nyeri.

Rasional : dislokasi fraktur sendi dapat menyebabkan kerusakan arteri yang

berdekatan dengan akibat hilangnya aliran darah ke distal.

Intervensi 9) Dorong pasien untuk secara rutin latihan jari / sendi distal cedera.

Rasional : meningkatkan sirkulasi dan menurunkan pengumpulan darah

khususnya pada ekstremitas bawah.

Intervensi 10) Selidiki nyeri tekan, pembengkakan pada dorsofleksi kaki.

Rasional : terdapat peningkatan potensial untuk tromboflebitis dan emboli paru

pada pasien imobilisasi selama 5 hari atau lebih.

Intervensi 11) Awasi tanda vital, perhatikan tanda-tanda pucat / sianosis.

Rasional : Ketidakadekuatan volume sirkulasi dan mempengaruhi perfusi

jaringan.

Intervensi 12) Berikan kompres es sekitar fraktur sesuai indikasi.

Rasional : menurunkan edema / pembentukan hematoma yang dapat menggangu

sirkulasi.

Intervensi 13) Bebat  / buat spalk sesuai kebutuhan.

Rasional : mungkin dilakukan pada keadaan darurat untuk menghilangkan

restriksi sirkulasi yang diakibatkan oleh pembentukan edema pada ekstremitas

yang sakit.

Intervensi 14) Kaji / awasi tekanan intrakompartemen.

21

Rasional : peninggian tekanan (biasanya sampai 30 mmHg atau lebih)

menunjukkan kebutuhan evaluasi segera dan intervensi.

15) Awasi Hb / Ht, pemeriksaan koagulasi (kadar protombin).

Rasional : membantu menurunkan trombus vena dalam.    

d. Risiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan

aliran darah / emboli lemak, perubahan membran alveolar / kapiler, interstitial,

edema paru, kongesti.

Tujuan : Pernapasan kembali adekuat / dalam keadaan normal.

Kriteria hasil : Mempertahankan fungsi pernapasan adekuat, dibuktikan oleh

tidak adanya dipsnea / sianosis, frekuensi pernapasan dan GDA dalam batas

normal.

Intervensi 1) Auskultasi bunyi nafas, perhatikan terjadinya ketidaksamaan.

Rasional : perubahan dalam / adanya bunyi adventius menunjukkan terjadinya

konflik pernafasan.

Intervensi 2) Awasi frekuensi pernafasan, perhatikan stridor, retraksi.

Rasional : takipnea, dispnea dan perubahan dalam mental dan tanda dini

insufisiensi pernafasan mungkin hanya indikator terjadinya emboli paru ada tahap

awal masih adanya tanda / gejala menunjukkan distres pernapasan luas /

cenderung gagal.

Intervensi 3) Atasi jaringan cedera / tulang dengan lembut, khususnya selama

beberapa hari pertama.

Rasional : mencegah terjadinya emboli lemak.

Intervensi 4) Instruksikan dan bantu dan latihan nafas  dalam dan batuk.

22

Rasional : meningkatkan ventilasi alviolar dan perfusi.

Intervensi 5) Perhatikan peningkatan kegelisahan, kacau, letargi, stupor.

Rasional : gangguan pertukaran gas dapat menyebabkan terjadinya

penyimpangan pada tingkat kesadaran pasien.

Intervensi 6) Observasi sputum untuk tanda adanya darah.

Rasional : hemodialisa dapat terjadi dengan emboli paru.

Intervensi 7) Berikan obat sesuai indikasi heparin untuk dosis rendah.

Rasional : untuk mencegah bertambah pembekuan pada tromboflebitis.

Intervensi 8) Berikan obat kortikosteroid.

Rasional : untuk mencegah dan mengatasi emboli lemak.

Intervensi 9) Berikan tambahan oksigen bila diindikasi.

Rasional : Untuk meningkatkan sediaan oksigen.

Intervensi 10) Awasi pemeriksaan laboratorium.

Rasional : menurunkan PaO2 dan peningkatan PaCO2 menunjukkan gangguan

pertukaran gas.       

e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler

(nyeri / ketidaknyamanan, terapi restriktif / imobilisasi tungkai).

Tujuan : Mempertahankan mobilitas agar mampu melakukan aktivitas.

Kriteria hasil : Meningkatkan/  mempertahankan mobilitas pada tingkat paling

tinggi yang mungkin, mempertahankan posisi fungsional, meningkatkan

kekuatan / fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh dan menunjukkan

teknik yang memampukan melakukan  aktifitas.

Intervensi 1) Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cedera.

23

Rasional : pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri / persepsi diri tentang

keterbatasan fisik aktual, memerlukan informasi / intervensi untuk meningkatkan

kemajuan kesehatan.

Intervensi  2) Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik / rekreasi.

Rasional : memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi.

Intervensi 3) Instruksikan pasien untuk bantu dalam rentang  gerak  pasien / aktif

pada ekstremitas yang sakit dan yang tidak sakit.

Rasional : meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan

tonus otot.

Intervensi 4) Dorong penggunaan latihan isometrik mulai dengan tungkai yang

sakit dan tidak sakit.

Rasional : kontraksi otot isometrik tanpa menekuk sendi atau menggerakkan

tungkai dan membantu mempertahankan kekuatan otot.

Intervensi 5) Berikan papan kaki, bebat pergelangan, gulungan trokanter.

Rasional : berguna untuk mempertahankan posisi fungsional ekstremitas dan

mencegah komplikasi.

Intervensi 6) Tempatkan dalam posisi telentang  secara periodik  bila mungkin.

Rasional : menurunkan risiko kontraktur fleksi  panggul.

Intervensi 7) Bantu / dorong perawatan diri /  kebersihan diri.

Rasional : meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi, meningkatkan kontrol

pasien dalam situasi dan meningkatkan kesehatan diri.

Intervensi 8) Berikan / bantu dalam mobilisasi dengan kursi roda, tongkat.

24

Rasional : imobilisasi dini menurunkan komplikasi tirah baring dan

meningkatkan penyembuhan dan normalisasi fungsi organ.

Intervensi 9) Awasi tekanan darah dengan melakukan aktivitas, perhatikan 

keluhan pusing.

Rasional : hipotensi postural adalah masalah umum menyertai tirah baring  lama

dan memerlukan intervensi  khusus.

Intervensi 10) Ubah posisi secara periodik dan dorong klien untuk latihan batuk

atau panas dalam.

Rasional : mencegah atau menurunkan komplikasi kulit / pernafasan.

Intervensi 11) Auskultasi bising usus, awasi kebiasaan eliminasi.

Rasional : untuk memudahkan eliminasi dan mencegah komplikasi.

f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk, fraktur terbuka,

bedah perbaikan, pemasangan traksi pen, kawat, sekrup, perubahan sensasi

sirkulasi, akumulasi eksresi / sekret dan imobilisasi fisik. 

Tujuan : Untuk mencegah terjadinya kerusakan kulit.

Kriteria hasil : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan prilaku

/ teknik untuk mencegah kerusakan kulit / memudahkan penyembuhan luka sesuai

indikasi dan mencapai penyembuhan luka sesuai indikasi, mencapai penyembuhan

luka sesuai waktu / penyembuhan lesi terjadi.

Intervensi 1) Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan,

perubahan warna, kelabu memutih.

Rasional : memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang

mungkin disebabkan oleh alat atau pemasangan traksi. 

25

Intervensi 2) masase kulit dan penonjolan tulang.

Rasional : menurunkan tekanan pada area yang peka dan risiko abrasi / kerusakan

kulit.

Intervensi 3) Ubah posisi dengan sering.

Rasional : mengurangi tekanan konstan pada area yang sama  dan meminimalkan

risiko kerusakan kulit.

Intervensi 4) Kaji posisi cincin bebat pada alat traksi.

Rasional : posisi yang tidak tepat dapat menyebabkan cedera kulit.

Intervensi 5) Bersihkan kulit dengan sabun dan air, gosok perlahan dengan

alkohol.

Rasional : memberikan gips tetap kering dan area yang bersih.

Intervensi 6) Potong pakaian dalam yang menutup area dan perlebar beberapa

inci di atas gips. R

asional : berguna untuk bantalan tonjolan tulang.

Intervensi 7) Gunakan telapak tangan untuk pemasangan, pertahankan atau

lepaskan gips dan dukung bantal setelah pemasangan.

Intervensi 8) Potong kelebihan plester dari akhir gips sesegera mungkin.

Rasional : tingkatkan pengeringan gips dengan mengangkat linen tempat  tidur,

memajankan pada sirkulasi udara.

Intevensi 9) Observasi untuk potensial area yang tertekan, khususnya pada akhir

dan bawah bebatan.

Rasional : tekanan dapat menyebabkan ulserasi, nekrosis.

Intervensi 10) Beri bantalan pada akhir gips dengan plester tahan air.

26

Rasional : memberikan perlindungan yang efektif pada lapisan gips  dan

kelembaban. Membantu mencegah kerusakan material gips pada akhir dan

menurunkan iritasi kulit.

Intervensi 11) Masase kulit sekitar akhir gips dengan alkohol.

Rasional : mempunyai efek pengering yang menguatkan kulit.

Intervensi 12) Lakukan perawatan kulit.

Rasional : untuk mencegah kerusakan jaringan.   

g. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan

primer, kerusakan kulit, trauma jaringan.

Tujuan : Infeksi tidak terjadi.

Kriteria hasil : Mencapai penyembuhan luka  sesuai waktu, bebas drainase

purulen atau eritema, dan demam.

Intervensi 1) Inspeksi kulit untuk adanya iritasi atau robekan kntibuitas.

Rasional : pen atau kawat tidak harus dimasukkan melalui kulit yang terinfeksi,

kemerahan, atau abrasi.

Intervensi 2) Kaji sisi pen / kulit, perhatikan keluhan peningkatan nyeri.

Rasional : dapat mengindikasikan timbulnya infeksi lokasi.

Intervensi 3) Berikan perawatan pen / kawat steril sesuai protokol dan latihan

mencuci tangan.

Rasional : dapat mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan infeksi.

Intervensi 4) Observasi luka, krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan, bau

drainase yang tidak enak / asam.

27

Rasional : tanda perkiraan infeksi ganggren.

Intervensi 5) Kaji tonus otot dan refleks tendon.

Rasional : untuk mencegah kekuatan otot dan tetanus.

Intervensi 6) Selidiki nyeri tiba-tiba / keterbatasan gerak.

Rasional : dapat mengindikasikan terjadinya osteomielitis.

Intervensi 7) Lakukan prosedur isolasi.

Rasional : adanya drainase purulen akan memerlukan kewaspadaan luka / linen

untuk mencegah kontaminasi silang.

Intervensi 8) Awasi pemeriksaan laboratorium  seperti hitung darah lengkap.

Rasional : anemia dapat terjadi pada osteomielitis, leukositosis biasanya  adanya

proses infeksi.

Intervensi 9) Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan antibiotik.

Rasional : untuk menghilangkan mikroorganisme atau sebagai kekebalan tubuh.

h. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis dan

kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan / mengingat, salah

interpretasi informasi / tidak mengenal sumber informasi.

Tujuan : Pemahaman, kondisi, prognosis dan pengobatan terpenuhi.

Kriteria hasil : Menyatakan pemahaman, kondisi, prognosis, pengobatan dan

melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan

tindakan.

Intervensi 1) Kaji ulang patologi, prognosis dan harapan yang akan datang.

Rasional : memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan

informasi.

28

Intervensi 2) Identifikasi tersedianya sumber pelayanan di masyarakat.

Rasional : memberikan bantuan untuk memudahkan perawatan diri dan

mendukung kemandirian.

Intervensi 3) Dorong pasien untuk melanjutkan latihan aktif untuk sendi di atas

dan di bawah fraktur.

Rasional : mencegah kekakuan sendi, kontraktur, kelelahan otot, meningkatkan

kembalinya aktifitas sehari-hari.

Intervensi 4) Kaji ulang perawatan luka yang tepat.

Rasional : menurunkan risiko trauma tulang / jaringan dan infeksi yang dapat

berlanjut menjadi osteomielitis.

Intervensi 5) Identifikasi tanda-tanda dan gejala-gejala yang memerlukan

evaluasi medik, seperti nyeri berat, demam / menggigil, bau tidak enak, perubahan

sensasi, pembengkakan, paralisis, ibu jari atau ujung jari putih / dingin, titik

hangat, area lunak, gips  retak.

Rasional : Intervensi cepat dapat menurunkan beratnya komplikasi seperti infeksi

/ gangguan sirkulasi.        

29