LP B20

39
LAPORAN PENDAHULUAN HIV AIDS DI RUANG MELATI I RSUD DR. MOEWARDI Disusun untuk memenuhi tugas praktek Keperawatan Medikal Bedah Dosen Pembimbing : Ns. Henni Kusuma, M.Kep., Sp.KMB Oleh : Gigih Sanjaya Putra 22020110141036 PRAKTIK KLINIK TAHAP AKADEMIK DALAM KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Transcript of LP B20

Page 1: LP B20

LAPORAN PENDAHULUAN

HIV AIDS

DI RUANG MELATI I

RSUD DR. MOEWARDI

Disusun untuk memenuhi tugas praktek Keperawatan Medikal Bedah

Dosen Pembimbing : Ns. Henni Kusuma, M.Kep., Sp.KMB

Oleh :

Gigih Sanjaya Putra

22020110141036

PRAKTIK KLINIK TAHAP AKADEMIK DALAM KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2013

Page 2: LP B20

LAPORAN PENDAHULUAN

HIV AIDS

1. PENGERTIAN

Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan infeksi retrovirus RNA yang

dulunya disebut sebagai “human T lymphotrophic virus III” (HTL-III). Infeksi HIV akan

merusak limfosit T, terutama CD4+, yang akan menyebabkan imunodefisiensi. Hal ini

akan menjadi predisposisi terhadap infeksi virus, fungi, mycobacteria atau parasit.

Seiring dengan waktu, HIV akan menjadi Acquired Immune Deficiency Syndrome

(AIDS), apabila limfosit T CD4+ di bawah 200 cells/μl disertai infeksi HIV (Scully,

2004).

Terdapat dua virus utama pada infeksi HIV yaitu HIV-1 yang sejauh ini paling

umum di dunia dan HIV-2 yang menyebar terutama di Afrika Barat. Pintu masuk utama

HIV ke dalam tubuh adalah melalui darah dan mukosa yang terbuka pada vagina, vulva,

rectum, penis dan juga pada oral cavity (Scully, 2002).

2. ETIOLOGI

Terdapat dua virus utama pada infeksi HIV, yang hanya mempunyai sedikit

perbedaan pada pathogenesis, manifestasi infeksi, perawatan dan prognosis yaitu HIV-1

yang sejauh ini paling umum di dunia dan HIV-2 yang menyebar terutama di Afrika

Barat (Scully, 2004).

Pada individu yang terinfeksi, biasanya virus akan membentuk antibody dalam

waktu 6-12 minggu. Kebanyakan individu yang terinfeksi HIV akan berada dalam fase

viremia selama 2-6 minggu. Pada kasus yang langka, bisa selama 35 bulan.periode

inkubasi AIDS pada kebanyakan individu yang terinfeksi HIV adalah 10-12 tahun. Kira-

kira 30% penderita AIDS yang meninggal setelah 3 tahun didiagnosa AIDS dan kira-kira

50% hidup selama 10 tahun (Little dkk., 2002).

Pintu masuk utama HIV ke dalam tubuh adalah melalui darah dan mukosa yang

terbuka pada vagina, vulva, rectum, penis dan juga pada oral cavity. HIV yang masuk ke

dalam tubuh menuju kelenjar limfe dan berada dalam sel dendritik selama beberapa hari

(Greenberg dkk., 2008).

Page 3: LP B20

Kemudian terjadi sindrom retroviral akut seperti flu disertai viremia hebat dengan

keterlibatan berbagai kelenjar limfe. Sindrom ini akan hilang sendirir setelah 1-3 minggu,

karena kadar virus yang tinggi dalam darah dapat diturunkan oleh sistem imun tubuh.

Proses ini berlangsung berminggu-minggu sampai terjadi keseimbangan antara

pembentukan virus baru dan upaya eliminasi respon imun. Titik keseimbangan disebut

set point. Apabila angka ini tinggi, perjalanan penyakit menuju AIDS akan berlangsung

cepat (Tjay, 2000).

Tahap selanjutnya adalah serokonversi yaitu perubahan antibodi negative menjadi

positif, terjadi 1-3 bulan setelah infeksi dan pasien akan memasuki masa tanpa gejala.

Pada masa ini terjadi penurunan CD4 secara bertahap (CD4 normal = 800-1.000/mm3)

yang terjadi setelah replikasi persisten HIV dengan kadar RNA virus realtif konstan.

Mula-mula penurunan jumlah CD4 sekitar 30-60/tahun, tetapi pada 2 tahun terakhir

penurunan jumlah menjadi cepat sekitar 50-100/tahun sehingga jika tanpa pengobatan,

rata-rata masa infeksi HIV sampai masa AIDS adalah 8-10 tahun saat jumlah CD4 akan

mencapai di bawah 200 (Tjay, 2000).

3. PATOFISIOLOGI

Tubuh mempunyai suatu mekanisme untuk membasmi suatu infeksi dari benda

asing, misalnya : virus, bakteri, bahan kimia, dan jaringan asing dari binatang maupun

manusia lain. Mekanisme ini disebut sebagai tanggap kebal (immune response) yang

terdiri dari 2 proses yang kompleks yaitu :

Kekebalan humoral dan kekebalan cell-mediated. Virus AIDS (HIV) mempunyai

cara tersendiri, sehingga dapat menghindari mekanisme pertahanan tubuh. “ber-aksi”

bahkan kemudian dilumpuhkan.

Virus AIDS (HIV) masuk ke dalam tubuh seseorang dalam keadaan bebas atau

berada di dalam sel limfosit. Virus ini memasuki tubuh dan terutama menginfeksi sel

yang mempunyai molekul CD4. Sel-sel CD4-positif (CD4+) mencakup monosit,

makrofag dan limfosit T4 helper. Saat virus memasuki tubuh, benda asing ini segera

dikenal oleh sel T helper (T4), tetapi begitu sel T helper menempel pada benda asing

tersebut, reseptor sel T helper .tidak berdaya; bahkan HIV bisa pindah dari sel induk ke

dalam sel T helper tersebut. Jadi, sebelum sel T helper dapat mengenal benda asing HIV,

Page 4: LP B20

ia lebih dahulu sudah dilumpuhkan. HIV kemudian mengubah fungsi reseptor di

permukaan sel T helper sehingga reseptor ini dapat menempel dan melebur ke sembarang

sel lainnya sekaligus memindahkan HIV. Sesudah terikat dengan membran sel T4 helper,

HIV akan menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik ke dalam sel T4 helper.

Dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse transcriptase, HIV

akan melakukan pemrograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk

membuat double-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA ini akan disatukan ke dalam

nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen.

Fungsi T helper dalam mekanisme pertahanan tubuh sudah dilumpuhkan, genom

dari HIV - proviral DNA - dibentuk dan diintegrasikan pada DNA sel T helper sehingga

menumpang ikut berkembang biak sesuai dengan perkembangan biakan sel T helper.

Sampai suatu saat ada mekanisme pencetus (mungkin karena infeksi virus lain) maka

HIV akan aktif membentuk RNA, ke luar dari T helper dan menyerang sel lainnya untuk

menimbulkan penyakit AIDS. Karena sel T helper sudah lumpuh maka tidak ada

mekanisme pembentukan sel T killer, sel B dan sel fagosit lainnya. Kelumpuhan

mekanisme kekebalan inilah yang disebut AIDS (Acquired Immunodeficiency

Syndrome) atau Sindroma Kegagalan Kekebalan.

Sumber : Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta ; Media Aesculapius

Page 5: LP B20

4. PATHWAY

HIV masuk ke dalam tubuh

Menginfeksi sel yg mempunyai molekul CD4(limfosit,T4, Monosit, sel dendrite)

Mengikat molekul CD4

Memiliki sel target dan memproduksi virus

Sel limfosit T4 hancur

Imunitas tubuh menurun

Infeksi opurtinistik

System pernafasan system pencernaan system integument system neurologis

Peradangan pada infeksi jamur peristaltic peradangan kulit infeksi sspJaringan paru

Sesak , demam perdangan mulut diare kronis lesi bercak putih peningkatan kesadaran

Kejang, nyeri kepala

gg. pertukaran gas sulit menelan cairan output gatal, nyeri, sisik prbhn prss pikirpningktan suhu mual, muntah

intake kurang bibir kering gg. Rasa nyaman

gg. nutrisi kekurangn cairan

sumber : Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta ; Media Aesculapius

Page 6: LP B20

5. MANIFESTASI KLINIS

a. Gejala mirip flu, termasuk demam ringan, nyeri badan, menggigil, dapat muncul

beberapa minggu sampai bulan setelah infeksi. Gejala menghilang setelah respons

imun awal menurunkan jumlah partikel virus, walaupun virus tetap dapat bertahan

pada sel-sel lain yang terinfeksi (Corwin, 2009).

b. Selama periode laten, orang yang terinfeksi HIV mungkin tidak memperhatikan

gejala, atau pada sebagian kasus mengalami limfadenopati (pembengkakan kelenjar

getah bening) persisten.

c. Antara 2 sampai 10 tahun setelah infeksi HIV, sebagian besar pasien mulai

mengalami berbagai infeksi oportunistik, bila tidak ditangani. Penyakit-penyakit ini

mengisyaratkan munculnya AIDS dan berupa infeksi ragi pada vagina atau mulut,

dan berbagai infeksi virus misalnya varisela zoster (cacar air dan cacar ular),

sitomegalovirus, atau herpes simpleks persisten. Wanita dapat menderita infeksi ragi

kronik atau penyakit radang panggul (Corwin, 2009).

d. Setelah terbentuk AIDS, sering terjadi infeksi saluran napas oleh organisme

oportunistik Pneumocystis carinii. Dapat timbul sarcoma Kaposi yang resisten

bermacam-macam obat karena pasien AIDS tidak mampu melakukan respons imun

yang efektif untuk melawan bakteri, walaupun dibantu sarcoma Kaposi. Pasien AIDS

yang mengidap sarcoma Kaposi biasanya mengalami perjalanan penyakit yang cepat

memburuk yang menyebabkan kematian dalam beberapa bulan. Penyakit biasanya

cepat menyebar ke luar paru termasuk otak dan tulang (Corwin, 2009).

e. Gejala pada Susunan Saraf Pusat adalah sakit kepala, defek sarkoma, kejang,

perubahan kepribadian, dan demensia. Pasien dapat menjadi buta dan akhirnya koma.

Banyak dari gejala tersebut timbul karena infeksi bakteri dan virus oportunistik pada

SSP, yang menyebabkan peradangan otak. HIV juga dapat secara langsung merusak

sel-sel otak.

f. Diare dan berkurangnya lemak tubuh sering terjadi pada pasien AIDS. Diare terjadi

akibat infeksi virus dan protozoa. Infeksi jamur (thrush) di mulut dan sarcoma Kaposi

dan menyebabkan nyeri hebat saat menelan dan mengunyah, dan ikut berperan

menyebabkan berkurangnya lemak dan gangguan pertumbuhan (Corwin, 2009).

Page 7: LP B20

g. Berbagai kanker muncul pada pasien AIDS akibat tidak adanya respons imun selular

terhadap sel-sel sarcoma Kaposi. Kanker yang sebenarnya jarang dijumpai, sarcoma

Kaposi sering terjadi pada pasien AIDS. Sarkoma Kaposi adalah kanker yang ditandai

oleh lesi kulit berwarna merah. Sebagian besar individu pengidap sarkoma Kaposi

terinfeksi melalui hubungan homoseks. Hasil riset terkini menunjukkan bahwa ko-

infeksi disertai virus herpes yang unik, human herpesvirus 8, memicu munculnya

sarcoma Kaposi. Human herpesvirus 8 jarang terjadi kecuali di kalangan homoseks

Amerika Serikat (Corwin, 2009).

h. Tuberkulosis BTA Positif, BTA Negatif dan MDR pada Pasien Koinfeksi TB-HIV,

Diantara semua pasien yang dikumpulkan, hasil terbanyak didapatkan adalah hasil

BTA negatif. Hal ini diakibatkan oleh status imunitas yang turun pada pasien HIV.

Banyaknya kasus BTA negative sebesar 66%, turunnya derajad imunosupresi akan

mempengaruhi gambaran bakteriologis pasien koinfeksi TB-HIV sehingga sering

memberikan hasil sputum BTA negatif pada pasien dengan status imunitas yang

rendah. Menurut Pozniak, menyatakan bahwa 16 infeksi HIV bisa meningkatkan

insidens MDR-TB. Hal ini berdasarkan penelitian di New York tahun 1987 sampai

1992. Sedangkan kasus MDR-TB secara kebetulan ditemukan 1 kasus pasien dengan

sputum BTA positif. Pasien koinfeksi TB-HIV stadium lanjut yang ditandai dengan

kadar CD4 rendah lebih sering menimbulkan lesi ekstraparu dan menimbulkan lesi

yang minimal pada gambaran radiologisnya (Murrey, 1996).

6. KLASIFIKASI HIV AIDS

Menurut Little dkk. (2002), pertama kali terinfeksi HIV, pasien dapat dikelompok

menjadi tiga kelompok yang dapat dilihat pada tabel 1.

Klasifikasi infeksi HIV yang paling sering digunakan adalah yang dipublikasi oleh U.S.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 1986, yang berdasarkan

kondisi tertentu yang terkait dengan infeksi HIV. Pada tahun 1993, klasifikasi CDC telah

direvisi menjadi (CDC 1993b) (Hoffmann dkk., 2007).

Page 8: LP B20

Tabel 1. Categorization of HIV Exposure

(Little dkk., 2002)

Kelompok Tanda

Kelompok 1 - Immediate post-HIV exposure

- Antibodi HIV positif- asimptomatik

Kelompok 2 - Progressive Immunosupresan- HIV simptomatik stage.

CD4 < 400

- Constitutional symptom (demam, malaise,

limfadenopati, diarre, penurunan berat badan, oral

candidiasis)

Kelompok 3 - AIDS; CD4 <200

- Kaposi’s sarcoma, limfoma, pneumonia, cervical

carcinoma, diarre kronis.

- HIV telah menginfeksi CNS yang bisa menyebabkan

dimensia

Tabel 2. Kategori Klinis Pada Klasifikasi CDC untuk Orang Yang Terinfeksi HIV

(Hoffmann dkk., 2007)

Kategori Tanda

Kategori A - Infeksi HIV asimptomatis

- Akut (primer) infeksi HIV yang disertai dengan

penyakit atau riwayat infeksi HIV akut

- Lymphadenopathy yang persisten dan menyeluruh

Kategori B - Kondisi simptomatik* yang tidak termasuk pada kondisi

Dalam Kategori C. Contohnya, namun tidak tebatas

pada:

Bacillary angiomatosis

Candidiasis, oropharyngeal (thrush)

Candidiasis, vulvovaginal; persistent, frequent, or

poorly responsive to therapy

Page 9: LP B20

Cervical dysplasia (sedang atau parah)/cervical

carcinoma in situ

Constitutional symptoms, misalnya demam (38.5° C)

atau diare yang lebih dari 1 bulan

Hairy leukoplakia, oral

Herpes zoster (shingles), melibatkan paling tidak dua

episode yang terpisah atau lebih dari satu dermatome

Idiopathic thrombocytopenic purpura

Listeriosis

Pelvic inflammatory disease, khususnya jika terdapat

komplikasi dengan tuboovarian abscess

Peripheral neuropathy

Kategori C - Penyakit AIDS**

- Candidiasis of bronchi, trachea, or lungs

- Candidiasis, esophageal

- Cervical cancer, invasive*

- Coccidioidomycosis, disseminated or extra pulmonary

- Cryptococcosis, extrapulmonary

- Cryptosporidiosis, chronic intestinal (durasi lebih dari 1

bulan)

- Penyakit Cytomegalovirus (selain liver, spleen, or

nodes)

- Cytomegalovirus retinitis (dengan hilangnya

penglihatan)

- Encephalopathy, HIV-related

- Herpes simplex: chronic ulcer(s) (durasi lebih dari 1

bulan); atau bronchitis, pneumonitis, atau esophagitis

- Histoplasmosis, disseminated atau extrapulmonary

- Isosporiasis, chronic intestinal (durasi lebih dari 1

bulan)

Page 10: LP B20

- Kaposi's sarcoma

- Lymphoma, Burkitt's (atau istilah sejenis)

- Lymphoma, immunoblastic (or equivalent)

- Lymphoma, primary, of brain

- Mycobacterium avium complex or M. kansasii,

disseminated or extrapulmonary

- Mycobacterium tuberculosis, pada tempat tertentu

(pulmonary or extrapulmonary)

- Mycobacterium, spesies yang lain atau spesis yang

belum teridentifikasi, disseminated atau

extrapulmonary

- Pneumocystis pneumonia

- Pneumonia, recurrent*

- Progressive multifocal leukoencephalopathy

- Salmonella septicemia, recurrent

- Toxoplasmosis of brain

- Wasting syndrome due to HIV

Terdapat juga klasifikasi menurut jumlah limfosit T CD4+ yang ditunjukkan pada tabel 3.

Klasifikasi lesi oral pada infeksi HIV ditunjukkan pada tabel 4.

Table 3. The CD4+ T-lymphocyte categories

(Hoffmann dkk., 2007)

Kategori CD4+ T- lymphocyte

Kategori 1 >500 CD4+ T-cells/μl

Kategori 2 200-499 CD4+ T-cells/μ

Kategori 3 <200 CD4+ T-cells/μl

Page 11: LP B20

Tabel 4. Klasifikasi Lesi Oral Pada Penyakit HIV

(Scully, 2004)

Kelompok Tanda

Kelompok I - Lesi yang sangat berhubungan dengan infeksi HIV

- Candidiasis: eritematous, hiperplastik, thrush

- Hairy leukoplakia (EBV)

- HIV gingivitis

- Necrotising ulcerative gingivitis

- HIV periodontitis

- Kaposi sarcoma

- Non-Hodgkin’s limfoma

Kelompok II - Lesi yang kurang berhubungan dengan infeksi HIV

- Atypical ulceration (oropharyngeal)

- Idiopathic thrombocytogeic purpura

- Penyakit glandula salivarius: mulut kering, pembesaran

glandula salivarius mayor unilateral atau bilateral

- Infeksi virus (selain EBV): cytomegalovirus, herpes

simplex virus, human papilloma virus, epithelial

hyperplasia, verruca vulgaris, varicella zoster virus

Kelompok III - Lesi yang mungkin berhubungan dengan infeksi HIV

- A miscellany of rare diseases

7. KOMPLIKASI

a. Oral Lesi karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,

peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,

dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai oleh

bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Jika tidak diobati, kandidiasis

oral akan berlanjut mengeni esophagus dan lambung. Tanda dan gejala yang

menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di balik sternum

(nyeri retrosternal).

Page 12: LP B20

b. Neurologik a.ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS

(ADC; AIDS dementia complex).

1) Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan

berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan psikomotorik, apatis dan ataksia.

stadium lanjut mencakup gangguan kognitif global, kelambatan dalam respon

verbal, gangguan efektif seperti pandangan yang kosong, hiperefleksi paraparesis

spastic, psikosis, halusinasi, tremor, inkontinensia, dan kematian.

2) Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit kepala, malaise,

kaku kuduk, mual, muntah, perubahan status mental dan kejang-kejang. diagnosis

ditegakkan dengan analisis cairan serebospinal.

c. Gastrointestinal Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang

diperbarui untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan BB >

10% dari BB awal, diare yang kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan yang

kronis, dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang

dapat menjelaskan gejala ini.

1) Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan

sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam,

malabsorbsi, dan dehidrasi.

2) Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal,

alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.

3) Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang

sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatal-

gatal dan diare.

d. Respirasi Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea),

batuk-batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi

infeksi oportunis, seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare (MAI),

cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides.

e. Dermatologik Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis

karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri, gatal,

rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis seperti herpes zoster dan

herpes simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri dan merusak

Page 13: LP B20

integritas kulit. moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh

pembentukan plak yang disertai deformitas. dermatitis sosoreika akan disertai ruam

yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah.penderita

AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang disertai dengan kulit

yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti ekzema dan

psoriasis.

f. Sensorik

1) Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis

sitomegalovirus berefek kebutaan

2) Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran

dengan efek nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis,

sitomegalovirus dan reaksi-reaksi obat.

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Menurut Hoffmann dkk (2007), pengujian antibodi HIV paling tidak membutuhkan 2

uji, yaitu:

a. Screening test, yaitu ELISA

b. Confimatory test, yaitu Western blot atau immunofluorescence assay (IFT or IFA)

Untuk mengekslusi terjadinya pencampuran sampel, sampel darah kedua dari pasien

yang sama harus di uji. Baru kemudian diagnosis infeksi HIV dapat dikomunikasikan

kepada pasien dengan hasil seropositif (Hoffmann dkk, 2007).

Menurut Anonim (2010), tes HIV ELISA dan HIV Western blot digunakan untuk

mendeteksi virus HIV dalam darah. Menurut Nisyrios (2005), ELISA dilakukan untuk

mendeteksi HIV p24 antigen dan antibodi HIV. Beberapa interpretasi uji ELISA dan

Western Blot, antara lain:

a. Tes ELISA yang menunjukkan hasil positif harus dikonfirmasi dengan uji Western

blot. Jika keduanya menunjukkan hasil yang positif maka menegaskan suatu infeksi

HIV. Pemeriksaan lebih lanjut harus diulang dalam interval 3-6 bulan.

b. Jika hasil Western blot menunjukkan hasil negatif, maka hasil ELISA

dipertimbangkan sebagai hasil false positive, hal ini menunjukkan pasien tidak

Page 14: LP B20

terinfeksi HIV. Pengulangan tes dilakukan jika pasien memiliki resiko dalam tiga

bulan dari tes pertama.

c. Jika Western blot menunjukkan hasil yang tidak tentu, pasien mungkin baru terinfeksi

HIV dan dalam proses seroconverting. Skrining HIV ELISA harus diulang setiap

interval 2 minggu untuk menentukan apakah uji Western blot menjadi positif.

d. Jika HIV ELISA dan Western blot menunjukkan hasil positif, tes darah lainnya dapat

dilakukan untuk menentukan banyaknya HIV pada aliran darah. Pada suatu infeksi

HIV, hasil uji CBC (complete blood count) dan sel darah putih akan menunjukkan

suatu abnormalitas. Selain itu, jumlah sel CD4 yang lebih rendah dari rentang normal

juga menjadi tanda bahwa virus sedang merusak sistem pertahanan tubuh (Anonim,

2010).

9. PENATALAKSANAAN

a. Medis

1) Pengendalian Infeksi Opurtunistik Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan

pemulihan infeksi opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian

infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab

sepsis harus dipertahankan bagi pasien di lingkungan perawatan kritis.

2) Terapi AZT (Azidotimidin) Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat

antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi

antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim

pembalik traskriptase. Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human

Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3.

3) Terapi Antiviral Baru Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas

system imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi

virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :

a) Didanosine

b) Ribavirin

c) Diedoxycytidine

d) Recombinant CD 4 dapat larut.

Page 15: LP B20

4) Vaksin dan Rekonstruksi Virus Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen

tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat

menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk

menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.

5) Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan

sehat,hindari stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-obatan yang mengganggu

fungsi imun.

b. Perawatan

Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain:

1) Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan mencegah

kemungkinan terjadi infeksi

2) Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang ada

3) Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan

dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim RT

dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV

4) Mengatasi dampak psikososial

5) Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit, dan

prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis

6) Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu

memperhatikan perlindungan universal (universal precaution)

Tabel 5. Pilihan Perawatan Untuk Manifestasi Oral Yang Sering Muncul Pada Pasien HIV

(Vaseliu dkk, 2010)

Lesi Perawatan untuk Dewasa Keterangan

Oral Candidiasis

(Erythematous,

Pseudomembranous

dan Hyperplastic)

Topikal

a. Nystatin (Mycostatin)

b. Gel Oral: aplikasi gel setiap 8 atau 6 jam

sekali selama 10-14 hari

c. Cream: aplikasi setiap 12 jam, selama 10-

14 hari

- Bentuk oral kandidiasis yang

berbeda dapat terjadi secara

terus menerus

- Hiperplastik candidiasis

membutuhkan perawatan

sistemik

Page 16: LP B20

Sistemik

a. Nystatin (Mycostatin) 400.000-600.000

U setiap 6 jam selama 14 hari

b. Ketoconazole (Nizoral) 200-400 mg PO

q.d

c. Fluconazone (Diflucan) 50-100 PO q.d

d. Itroconazole (Sporanox) (capsule atau

solution) 200mg PO qd selama 7 hari

e. Amphotericin B10 mg IV setiap 6 jam,

selama 10 hari

Profilaksis

Fluconazole 100mg PO qwk, untuk waktu

yang lama

- Ketoconazole dapat

berinteraksi dengan Lopinavir-

Ritonavir (Kaletra) pada dosis

>200 mg/hari

- Topikal fluoride harus

digunakan untuk periode yang

lama untuk menghalangi

kandungan gula yang tinggi

pada beberapa medikasi

antifungal.

- Amphotericin B dapat

digunakan pada infeksi yang

resisten terhadap azole

- Amphotericin B juga terdapat

pada sediaan topical

- Gigi tiruan harus dilepas ketika

dilakukan medikasi

Angular Cheilitis Topikal

a. Nystatin-triamcinolone (Mycostatin II)

ointment yang diaplikasikan pada area

yang terkena setelah makan dan waktu

tidur.

b. Cream Clotrimazole 1% (Mycelex)

c. Cream Miconazole 2% diaplikasikan

setiap 12 jam pada area terkena,

selama 1-2 minggu

Lesi cenderung sembuh secara

perlahan karena gerakan

membuka mulut yang selalu

berulang-ulang

Page 17: LP B20

Infeksi Herpes

Simplex Virus

(HSV)

Sistemik

a. Acyclovir (Zovirax) 800 mg PO q4h,

selama 10 hari

b. Foscarnet 24-40 mg/kg PO q8h,

untuk lesi herpetik yang menetap.

a. Ganciclovir, Valacyclovir

dan Famciclovir

kemungkinan efektif.

b. Foscarnet merupak obat

pilihan untuk kasus dimana

resisten terhadap Acyclovir.

c. Pasien yang mengkonsumsi

Acyclovir harus

diinstruksikan untuk

mengkonsumsi banyak

cairan.

d. Medikasi antiviral topikal

berguna untuk lesi herpes

labial dan perioral

Linear Gingival

Erythema (LGE)

Lokal

a. Skaling dan root-planning

b. 0.12% chlorhexidine gluconate

(Periogard, Peridex) 0.5 oz q12h

dikumurkan selama 30 detik dan

diludahkan

a. Profilaksis yang

dianjurkan: sikat gigi

b. flossing, dan penggunaan

obat kumur.

c. Agen antifungal berguna

pada perawatan LGE

Xerostomia Topikal

a. Mengunyah atau menghisap permen

bebas gula

b. Minum air sesering mungkin

c. Subtitusi commercial artificial saliva

d. Produk topikal fluoride

Sistemik

Pilocarpine (Salagen) 5 mg PO q8h sebelum

makan; obat dapat ditingkatkan hingga 7. 5

a. Pengukuran higienitas oral

yang baik dan kontrol diet

(kontrol gula dan makanan

mengandung gula) sangat

diajurkan untuk mencegah

karies.

b. Obat kumur dengan

kandungan alcohol yang

tinggi harus dihindari karena

Page 18: LP B20

mg PO q8h memiliki efek

mengeringkan.

Pembesaran Parotid

(Glandula saliva

Mayor)

Sistemik

a. Anti-inflamasi non steroid

b. Analgesik

c. Antibiotik

d. Steroid

Pembuangan glandula parotid

secara

bedah berguna untuk alasan

estetika

Oral Hairy

Leukoplakia (OHL)

Lokal

a. Podophyllin resin 25 1-2 kali aplikasi

pada daerah yang terkena, dengan

interval 1 minggu

b. Retinoic acid (Tretinoin)

c. Surgical excision

Sistemik

a. Acyclovir (Zovirax) 800 mg PO q6h,

selama 14 hari

b. Famciclovir 500 mg PO q8h, selama 5-

10 hari

c. Valacyclovir 1000 mg PO q8h, selama

5-10 hari

a. Penggunaan chlorhexidine

dapat menyebabkan staining

pada gigi, lidah, dan

restorasi; perubahan rasa

dan deskuamasi dan iritasi

mukosa.

b. Metronidazole tidak boleh

diberikan pada pasien yang

mengkonsumsi didanosine

(ddI) atau zacitabine (ddC),

karena dapat berpotensi

menimbulkan peripheral

neuropathy

Page 19: LP B20

PENGKAJIAN

1. Data Demografi

Nama, umur, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, ras, status perkawinan, alamat,

pekerjaan, status imigrasi, perilaku beresiko. Nama anggota keluarga atau orang yang

dapat dihubungi

2. Riwayat social

a. Orientasi sexual: pria, wanita, MSM (gay),

b. Aktifitas sexual tak aman: berganti ganti pasangan, tanpa pengaman

c. Riwayat pekerjaan

d. Riwayat traveling

e. Homeless, gangguan mental

f. Bantuan dari badan/lembaga social AIDS

3. Riwayat kesehatan terdahulu

a. Riwayat Penyakit Terdahulu

Page 20: LP B20

Cara terinfeksi HIV, TBC, Hepatitis A, B, C, sering mengalami infeksi virus dan

jamur, hemofilia, riwayat transfuse, transplantasi, STD,

b. Review semua sistem yang mungkin terganggu oleh HIV

4. Pola Kesehatan

a. Persepsi tentang kesehatan, penanganan kesehatan: persepsi terhadap penyakit,

penggunaan alkohol dan obat-obatan

b. Nutrisi/metabolisme: kehilangan BB, anorexia, mual, muntah, lesi pada mulut, ulser

pada rongga mulut, sulit menelan, kram abdomen

c. Eliminasi: diare persisten, nyeri saat bak

d. Aktifitas dan olah raga: kelelahan kronik,kelemahan otot, kesulitan berjalan, batuk,

sesak nafas, kemampuan melakukan ADL.

e. Tidur dan istirahat: insomnia

f. Gangguan kognitif dan persepsi: sakit kepala, nyeri dada, kehilangan memori,

demensia, parestesis

g. Kebutuhan klinis pasien:

1) Obat-obatan: alergi, riwayat pengobatan sekarang, cara memperoleh ARV.

2) Nutrisi: membutuhkan oral/enteral/parenteral

3) Terapi rehabilitasi: fisioterapi, terapi wicara

4) Perawatan khusus: apakah membutuhkan perawatan khusus karena mengalami

mis. Dekubitus, inkontensia, oksigen atau suction

5) Alat bantu: walker, cructh,kursi roda, handled shower, seat bath, urinal.

6) Suplai barang-barang habis pakai: pampers, diapers, kasa, infus, kateter dan tube

feeding

5. Pemeriksaan fisik

a. Respirasi

1) Sesak nafas (dispneu, takipneu)

2) Batuk produktif dan batuk non produktif dengan SaO2 < 80% (PCP)

3) Retraksi interkostalis

b. Gastrointestinal

1) lesi pada mulut - Kapossi sarcoma

2) Candida mulut - plag putih yang melapisi

Page 21: LP B20

3) Rongga mulut dan lidah – kandidiasis

4) Lesi putih pada lidah (hairy leukoplakia)

5) Ginggivitis

6) Muntah

7) Diare

8) Inkontinen alvi

9) Hepatosplenomegali

c. Muskuloskeletal

Muscle wasting

d. Neurologis

ataxia, tremor, sakit kepala (toxoplasmosis), kurang kordinasi (ADC), kehilangan

sensori, apasia, kehilangan konsentrasi (ADC), kehilangan memori (ADC=AIDS

Dementia Complex), apatis, depresi, penurunan kesadaran, kejang (Toxoplasmosis),

paralysis, koma

e. Reproduksi

Adanya lesi atau keluaran dari genital (herpes simpleks)

f. Kebutuhan Spritual

Agama : Partisipasi pasien dalam kegiatan keagamaan, Pentingnya agama bagi pasien

g. Kondisi keuangan

1) Kemampuan pasien melanjutkan pekerjaannya

2) Pengeluaran dan pemasukan setiap bulan

3) Asuransi kesehatan yang dimiliki

h. Data social

1) Kepemilikan rumah/panti/asrama/kost

2) Fasilitas di rumah: listrik, air bersih

i. Pengkajian masyarakat

1) Keamanan memadai

2) Fasilitas kesehatan terdekat: rumah sakit, klinik, puskesmas, apotek

3) Transportasi menggunakan kendaraan sendiri atau umum.

DIAGNOSA KEPERAWATAN

Page 22: LP B20

1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang

beresiko.

2. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi

non opportunisitik yang dapat ditransmisikan.

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi,

kelelahan.

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang,

meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.

5. Diare berhubungan dengan infeksi GI

6. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang

dicintai.

INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Diagnos keperawatan : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi,

malnutrisi dan pola hidup yang beresiko.

Tujuan dan criteria hasil : Pasien akan bebas infeksi oportunistik dan komplikasinya

dengan kriteria tak ada tanda-tanda infeksi baru, lab tidak ada infeksi oportunis, tanda

vital dalam batas normal, tidak ada luka atau eksudat.

Intervensi :

a. Monitor tanda-tanda infeksi baru.

Rasional : untuk pengobatan dini

b. Gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci tangan sebelum meberikan

tindakan.

Rasional : mencegah pasien terpapar kuman pathogen dati rumah sakit

c. Anjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang patogen.

Rasional : mencegah bertambahnya infeksi

Page 23: LP B20

d. Kumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.

Rasional : Meyakinkan diagnosis akurat

e. Atur pemberian antiinfeksi sesuai order

Rasional : Mempertahankan kadar darah yang terapeutik

2. Diagnosa keperawatan : Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan

infeksi HIV, adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.

Tujuan dan Kriteria hasil : Infeksi HIV tidak ditransmisikan, tim kesehatan

memperhatikan universal precautions dengan kriteriaa kontak pasien dan tim kesehatan

tidak terpapar HIV, tidak terinfeksi patogen lain seperti TBC.

Intervensi :

a. Anjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah transmisi HIV dan

kuman patogen lainnya.

Rasional : pasien dan keluarga memerlukan informasi ini

b. Gunakan darah dan cairan tubuh precaution bila merawat pasien. Gunakan masker

bila perlu.

Rasional : mencegah transmisi infeksi ke orang lain

3. Diagnosa keperawatan : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran

oksigen, malnutrisi, kelelahan.

Tujuan dan kriteria hasil : Pasien berpartisipasi dalam kegiatan, dengan kriteria bebas

dyspnea dan takikardi selama aktivitas.

Intervensi :

a. Monitor respon fisiologis terhadap aktivitas

Rasional : respon bervariasi dari hari ke hari

b. Berikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu

Rasional : mengurangi kebutuhan energi

c. Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.

Rasional : Ekstra istirahat perlu jika karena meningkatkan kebutuhan metabolik

Page 24: LP B20

4. Diagnosa keperawatan : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya

absorbsi zat gizi.

Tujuan dan criteria hasil : Pasien mempunyai intake kalori dan protein yang adekuat

untuk memenuhi kebutuhan metaboliknya dengan kriteria mual dan muntah dikontrol,

pasien makan TKTP, serum albumin dan protein dalam batas n ormal, BB mendekati

seperti sebelum sakit.

Intervensi :

a. Monitor kemampuan mengunyah dan menelan.

Rasional : intake menurun dihubungkan dengan nyeri tenggorokan dan mulut

b. Monitor BB, intake dan ouput

Rasional : Menentukan data dasar

c. Atur antiemetik sesuai order

Rasional : mengurangi muntah

d. Rencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.

Rasional : meyakinkan bahwa makanan sesuai dengan keinginan pasien

5. Diagnosa keperawatan : Diare berhubungan dengan infeksi GI

Tujuan dan criteria hasil : Pasien merasa nyaman dan mengnontrol diare, komplikasi

minimal dengan kriteria perut lunak, tidak tegang, feses lunak dan warna normal, kram

perut hilang.

Intervensi :

a. Kaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.

Rasional : mendeteksi adanya darah dalam feses

b. Auskultasi bunyi usus

Rasional : hipermotiliti umumnya dengan diare

c. Atur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order

Rasional : mengurangi motilitas usus yang pelan, memperburuk perforasi intestinal

d. Berikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside

Rasional : untuk menghilangkan distensi

Page 25: LP B20

6. Diagnosa keperawatan : Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas

tentang keadaan yang orang dicintai.

Tujuan dan criteria hasil : Keluarga atau orang penting lain mempertahankan suport

sistem dan adaptasi terhadap perubahan akan kebutuhannya dengan kriteria pasien dan

keluarga berinteraksi dengan cara yang konstruktif.

Intervensi :

a. Kaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya

Rasional : memulai suatu hubungan dalam bekerja secara konstruktif dengan keluarga

b. Biarkan keluarga mengungkapkan perasaan secara verbal

Rasional : agar apa yang dimaksud dapat dimengerti secara jelas

c. Ajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.

Rasional : menghilangkan kecemasan dari transmisi melalui kontak sederhana

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonima, 2010, HIV Infection,

http://health.nytimes.com/health/guides/disease/hivinfection/ overview.html, Accessed

22/4/2013.

2. Brunner and Suddart. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8, Jakarta ; EGC

3. Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku Edisi 3. Alih bahasa: Nike Budhi

Subekti. Jakarta: EGC.

4. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan Depkes

RI. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan bagi ODHA. Jakarta. 2003.

Page 26: LP B20

5. Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk

Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made

Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta

6. Fauci, A.S. & Lane, H.C., 2000. Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV): AIDS

dan Penyakit Terkait. Dalam: Asdie, A.H.

7. FDA, 2004, Summary of Safety and Effectiveness Data,

http://www.fda.gov/downloads/BiologicsBloodVaccines/BloodBloodProdu

cts/ApprovedProducts/PremarketApprovalsPMAs/ucm091919.pdf, Accessed 22/4/2013.

8. Ganda K.M., 2008, Dentist's Guide To Medical Conditions and Complications, Wiley-

Blackwell, USA, h.360-1

9. Greenberg MS., Glick M., Ship J.A., 2008, Burket’s Oral Medicine, 11th edition, BC

Decker Inc, Hamilton.

10. Hoffman C., Rockstroh J.K., Kamps B.S.,, 2007, HIV Medicine, 15th Ed, Flying

Publisher, Paris

11. http://pphipkabi.org . diakses 22/4.2013

12. Little JW., Falace DA., Miller CS., Rhodus NL., 2002, Dental Management of The

Medically Compromised Patient, 6th edition, Mosby.

13. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta ; Media Aesculapius

14. Murray JF. Tuberculosis and HIV Infection : Global Perspectives. Respir Med 1996;

2:209-13.

15. Reznik, D.A., 2005, Oral Manifestations of HIV Disease, International AIDS Society-

USA, 13(5):146-7

16. Scully C., 2004, Oral Maxillofacial Medicine- ther basis of diagnosis and treatment.

Elsevier Limited.

17. Steel E., 2010, Early HIV Symptoms in the Mouth,

http://www.ehow.com/about_5138970_early-hiv-symptoms-mouth.html, Accessed

22/4/2013.

18. Tjay TH. 2000. Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efeknya. Elexcomputindo:

Jakarta.

19. Vaseliu, N., Kamiru, H., Kabur, M. , 2010, Oral Manifestations of HIV Invection,

http://www.bayloraids.org/curriculum/files/13.pdf, Accessed 22/4/2013

Page 27: LP B20