Loncat Indah

32
MAKALAH LONCAT INDAH Disusun Oleh: M. DICKY SATRIA PUTRA NPM. 14125456

description

Teori Loncat Indah

Transcript of Loncat Indah

MAKALAH

LONCAT INDAH

Disusun Oleh:M. DICKY SATRIA PUTRA

NPM. 14125456

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI(STAIN) JURAI SIWO METRO

2015

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Yang Maha Besar atas dilimpahan karunia-Nya

sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Penulis berupaya

menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya agar dapat dipahami dengan mudah

oleh par pembacanya.

Setiap bagian dalam makalah ini selalu di mulai dengan motivasi yang

menunjukkan bagaimana setiap isi tulisan yang disajikan akan berguna jika

dipelajari. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi

kita semua. Amin…

Metro, Juli 2015

Penulis,

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................i

KATA PENGANTAR......................................................................................ii

DAFTAR ISI....................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................2

A. Sejarah Loncat Indah......................................................................2

B. Pengertiajn Loncat Indah................................................................9

C. Tehnik Latihan Loncat Indah..........................................................15

BAB III KESIMPULAN..................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

Loncat indah adalah olahraga yang pertama kali ditemukan di Eropa dan

mulai menjadi olahraga kompetisi di Inggris pada tahun 1905. Loncat indah

merupakan perpaduan gerakan akrobatik di udara dan loncatan. Pada dasarnya

loncat indah terdiri dari loncatan yang dimulai dari langkah take off atau pantulan

take off kemudian masuk ke air. Penggunaan papan loncat adalah kombinasi dari

gerakan saat di udara setelah take off dan sebelum masuk ke air.

Di Indonesia sendiri olahraga loncat indah kalah populer dibandingkan

renang. Hal ini dikarenakan loncat indah memiliki resiko yang cukup berbahaya

ketika terjadi kecelakaan. Walaupun begitu olahraga loncat indah tetap

mempunyai tempat di hati para pemacu adrenalin. Seperti para peserta The Cliff

Diving World Series. Dalam acara yang disponsori Red Bull para perenang locat

indah tidak melakukannya di kolam renang, melainkan dari tebing. Walaupun

terlihat ekstrim, tapi dalam melakukan loncat indah dari tebing para perenang

mampu memukau para penonton. Selain karena dilakukan dari ketinggian yang

ekstrim, gerakan akrobatik yang mereka lakukan juga sangat indah sehingga

mereka terlihat memiliki sayap. Acara ini diikuti oleh perenang dari berbagai

negara yang memiliki rasa keberanian yang tinggi. Penyelenggaraannya pun

selalu berpindah.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Beberapa pengertian dari loncat indah antara lain adalah olahraga

yang memperlihatkan keterampilan dan seni bergerak. Inti gerakan pada

loncat indah terletak pada saat peloncat melakukan gerak sebelum masuk

ke dalam air. Olahraga ini dilakukan dengan loncatan pada papan tolak,

kemudian melakukan gerakan di udara dan akhirnya terjun masuk ke

dalam air. Dalam perlombaan loncat indah, keindahan dan ketepatan

gerakan menjadi acuan penilaian.

Loncat Indah Adalah Cabang Olahraga Yang Menyerupai

Akrobatik Udara Di Atas Permukaan Air. Loncatan Biasanya Di Lakukan

Dari Papan Plat Dan Spring Board, Kemudian Melakukan Berbagai Gaya

Sebelum Terjun Ke Dalam Air.

Loncat Indah adalah perpaduan dari gerak akrobatik dan loncatan

di udara yang di mainkan di air (kolam renang yang khusus) . Olahraga

loncat indah ditemukan di Eropa dan diperlombakan pertama kalinya di

Inggris pada tahun 1905.

B. Filsafat Modern: Rasionalisme dan Idealisme

1. Rasionalisme

Usaha manusia untuk memberi kemandirian kepada akal

sebagaimana yang telah dirintis oleh para pemikir renaisans, masih

berlanjut terus sampai abad ke-17. Abad ke-17 adalah era dimulainya

pemikiran-pemikiran kefilsafatan dalam artian yang sebenarnya. Semakin

lama manusia semakin menaruh kepercayaan yang besar terhadap

kemampuan akal, bahkan diyakini bahwa dengan kemampuan akal segala

macam persoalan dapat dijelaskan, semua permasalahan dapat dipahami

dan dipecahkan termasuk seluruh masalah kemanusiaan.

Keyakinan yang berlebihan terhadap kemampuan akal telah

berimplikasi kepada perang terhadap mereka yang malas mempergunakan

akalnya, terhadap kepercayaan yang bersifat dogmatis seperti yang terjadi

pada abad pertengahan, terhadap norma-norma yang bersifat tradisi dan

terhadap apa saja yang tidak masuk akal termasuk keyakinan-keyakinan

dan serta semua anggapan yang tidak rasional.

Dengan kekuasaan akal tersebut, orang berharap akan lahir suatu

dunia baru yang lebih sempurna, dipimpin dan dikendalikan oleh akal

sehat manusia. Kepercayaan terhadap akal ini sangat jelas terlihat dalam

bidang filsafat, yaitu dalam bentuk suatu keinginan untuk menyusun

secara a priori suatu sistem keputusan akal yang luas dan tingkat tinggi.

Corak berpikir yang sangat mendewakan kemampuan akal dalam filsafat

dikenal dengan nama aliran rasionalisme.1

Pada zaman modern filsafat, tokoh pertama rasionalisme adalah

Rene Descartes (1595-1650). Tokoh rasionalisme lainnya adalah Baruch

Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716).

Descartes dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern. Descartes sangat

menyadari bahwa tidak mudah meyakinkan tokoh-tokoh Gereja bahwa

dasar filsafat haruslah rasio. Tokoh-tokoh Gereja waktu itu masih

berpegang teguh pada keyakinan bahwa dasar filsafat haruslah iman

sebagaimana tersirat dalam jargon credo ut intelligam yang dipopulerkan

oleh Anselmus. Untuk meyakinkan orang bahwa dasar filsafat haruslah

akal, ia menyusun argumentasinya dalam sebuah metode yang sering

disebut cogito Descartes, atau metode cogito saja. Metode tersebut dikenal

juga dengan metode keraguan Descartes (Cartesian Doubt).2

Descartes mengembangkan pikiran filsafatnya. Ia meragukan

segala sesuatu yang dapat diragukan. Pertama-tama ia mulai meragukan

hal-hal yang berkaitan dengan panca indera. Ia meragukan adanya

badannya sendiri. Keraguan itu dimungkinkan karena pada pengalaman

mimpi, halusinasi, ilusi dan pengalaman tentang roh halus, ada yang

1 Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, selanjutnya disebut Rizal, Filsafat Ilmu (Cet. VII; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 58-59.2 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Cet. VI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998), h. 109

sebenarnya itu tidak jelas. Pada keempat keadaan itu seseorang dapat

mengalami sesuatu seolah-olah dalam keadaan yang sesungguhnya. Pada

langkah pertama ini Descartes berhasil meragukan semua benda yang

dapat diindera. Menurut Descartes, dalam keempat keadaan itu (mimpi,

halusinasi, ilusi dan hal gaib), juga dalam jaga, ada sesuatu yang selalu

muncul. Ada yang selalu muncul baik dalam jaga maupun dalam mimpi,

yaitu gerak, jumlah dan besaran (volume). Ketiga hal tersebut adalah

matematika. Untuk membuktikan ketiga hal ini benar-benar ada, maka

Descartes pun meragukannya. Ia mengatakan bahwa matematika bisa

salah. Saya sering salah menjumlah angka, salah mengukur besaran,

demikian pula pada gerak. Jadi, ilmu pasti pun masih dapat saya ragukan,

meskipun matematika lebih pasti dari benda. Kalau begitu, apa yang pasti

itu dan dapat kujadikan dasar bagi filsafatku? Aku ingin yang pasti, yang

distinct. 3

Sampailah ia sekarang kepada langkah ketiga dalam metode cogito.

Satu-satunya hal yang tak dapat ia ragukan adalah eksistensi dirinya

sendiri yang sedang ragu-ragu. Mengenai satu hal ini tidak ada satu

manusia pun yang dapat menipunya termasuk setan licik dan botak sekali

pun. Bahkan jika kemudian ia disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada,

maka penyesatan itu pun bagi Descartes merupakan bukti bahwa ada

seseorang yang sedang disesatkan. Ini bukan khayalan, melainkan

kenyataan. Batu karang kepastian Descartes ini diekspresikan dalam

bahasa latin cogito ergo sum (saya berpikir, karena itu saya ada).

Dalam usaha untuk menjelaskan mengapa kebenaran yang satu

(saya berpikir, maka saya ada) adalah benar, Descartes berkesimpulan

bahwa dia merasa diyakinkan oleh kejelasan dan ketegasan dari ide

tersebut. Di atas dasar ini dia menalar bahwa semua kebenaran dapat kita

kenal karena kejelasan dan ketegasan yang timbul dalam pikiran kita:”

Apa pun yang dapat digambarkan secara jelas dan tegas adalah benar.

Dengan demikian, falsafah rasional mempercayai bahwa

pengetahuan yang dapat diandalkan bukanlah turunan dari dunia

3 Ahmad Tafsir, op. cit., h. 129-131.

pengalaman melainkan dari dunia pikiran. Descartes mengakui bahwa

pengetahuan dapat dihasilkan oleh indera, tetapi karena dia mengakui

bahwa indera itu bisa menyesatkan seperti dalam mimpi atau khayalan,

maka dia terpaksa mengambil kesimpulan bahwa data keinderaan tidak

dapat diandalkan.4

Cogito ergo sum dianggap sebagai fase yang paling penting dalam

filsafat Descartes yang disebut sebagai kebenaran filsafat yang pertama

(primum philosophium). Aku sebagai sesuatu yang berpikir adalah suatu

substansi yang seluruh tabiat dan hakikatnya terdiri dari pikiran dan

keberadaannya tidak butuh kepada suatu tempat atau sesuatu yang bersifat

bendawi.

Untuk menguatkan gagasannya, ia mengemukakan ide-ide bawaan

(innate ideas). Descartes berpendapat bahwa dalam dirinya terdapat tiga

ide bawaan yang telah ada pada dirinya sejak lahir, yaitu pemikiran, Tuhan

dan keluasan. Argumen tentang ide bawaan tersebut adalah ketika saya

memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir, maka harus diterima

bahwa pemikiran merupakan hakikat saya. Ketika saya mempunyai ide

sempurna, maka pasti ada penyebab sempurna bagi ide tersebut, karena

akibat tidak mungkin melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu

tidak lain adalah Tuhan. Adapun alasan tentang keluasan karena saya

mengerti ada materi sebagai keluasan, sebagaimana diketahui dan

dipelajari dalam ilmu geometri.

Mengenai substansi, Descartes menyimpulkan bahwa selain dari

Tuhan ada dua substansi, yaitu jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran dan

materi yang hakikatnya adalah keluasan. Tetapi, karena Descartes telah

menyangsikan adanya dunia di luar dirinya, maka ia kesulitan

membuktikan adanya dunia luar tersebut. Bagi Descartes, satu-satunya

alasan untuk menerima adanya dunia luar adalah bahwa Tuhan akan

menipu saya sekiranya Ia memberi ide keluasan. Namun tidak mungkin

Tuhan sebagai wujud yang sempurna akan menipu saya. Jadi, di luar saya

benar-benar ada dunia material.

4 Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam perspektif (Cet. XVI; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 100-101.

Adapun Spinoza beranggapan bahwa hanya ada satu substansi,

yaitu Tuhan. Jika Descartes membagi substansi menjadi tiga, yaitu tubuh

(bodies), jiwa (mind) dan Tuhan, maka Spinoza menyimpulkan hanya ada

satu substansi. Adapun bodies dan mind bukan substansi yang berdiri

sendiri, melainkan sifat dari satu substansi yang tak terbatas. Ketika ia

ditanya,”Bagaimana membedakan atribut bodies dan mind?” Spinoza

memberi jawaban mengejutkan: ”Anda hanyalah satu bagian dari substansi

kosmik (universe)”. Jika demikian, alam semesta juga adalah Tuhan. Bagi

Spinoza, Tuhan dan alam semesta adalah satu dan sama. Ya, Spinoza

percaya kepada Tuhan, tetapi Tuhan yang dimaksudkannya adalah alam

semesta ini. Tuhan Spinoza itu tidak berkemauan, tidak melakukan

sesuatu, tak mempedulikan manusia dan tak terbatas (ultimate). Inilah

penjelasan logis dan dapat diketahui tentang Tuhan menurut Spinoza.5

Sebagai penganut rasionalisme, Spinoza dianggap sebagai orang

yang tepat dalam memberikan gambaran tentang apa yang dipikirkan oleh

penganut rasionalisme. Ia berusaha menyusun sebuah sistem filsafat yang

menyerupai sistem ilmu ukur (geometri). Seperti halnya orang Yunani,

Spinoza mengatakan bahwa dalil-dalil ilmu ukur merupakan kebenaran-

kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi. Spinoza meyakini bahwa jika

seseorang memahami makna yang dikandung oleh kata-kata yang

dipergunakan dalam ilmu ukur, maka ia pasti akan memahami makna yang

terkandung dalam pernyataan “sebuah garis lurus merupakan jarak

terdekat di antara dua buah titik”, maka kita harus mengakui kebenaran

pernyataan tersebut. Kebenaran yang menjadi aksioma.

Contoh ilmu ukur (geometri) yang dikemukakan oleh Spinoza di

atas adalah salah satu contoh favorit kaum rasionalis. Mereka berdalih

bahwa aksioma dasar geometri seperti, “sebuah garis lurus merupakan

jarak yang terdekat antara dua titik”, adalah idea yang jelas dan tegas yang

baru kemudian dapat diketahui oleh manusia. Dari aksioma dasar itu dapat

dideduksikan sebuah sistem yang terdiri dari subaksioma-subaksioma.

Hasilnya adalah sebuah jaringan pernyataan yang formal dan konsisten

5 Ahmad Tafsir, op. cit., h. 137-138.

yang secara logis tersusun dalam batas-batas yang telah digariskan oleh

suatu aksioma dasar yang sudah pasti.

2. Idealisme

Filsafat saat ini merupakan bentuk reaksi langsung atau tak

langsung atas pemikiran George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Ia

adalah seorang pemikir spekulatif yang paling hebat. Semua ahli sejarah

filsafat menyetujui bahwa dia seorang raksasa di bidang filsafat. Sehingga

karena kehebatannya, filsafat Barat tidak pernah mampu mencapai lagi

kehebatan filsafat Hegel. Oleh karena itu, Filsafat Hegel sering disebut

sebagai puncak dari Idealisme Jerman. Fisafatnya banyak diinspirasikan

oleh Imannuel Kant. Disamping Immanuel Kant, Hegel memiliki

konsistensi dalam berfikir dan kemampuan rasio yang mampu

menerjemahkan hidup dalam bentuk rumusan dialektikanya yang terkenal.

Dia adalah seorang yang progresif dalam berpikir dan bertindak, meskipun

di satu sisi dia bukanlah seorang yang reaksioner dalam bersikap terhadap

realitas. Filsafat Roh yang merupakan kharakternya merupakan hasil

sintesa antara pemikiran Fichte dan Schelling di zaman pertumbuhan

filsafat Idealisme Jerman abad – 19. Dia cenderung memaknainya sebagai

Roh Mutlak atau Idealisme Mutlak.

Hegel yang pada awalnya sangat terpengaruh oleh filsafat Kant

tersebut kemudian menemukan caranya tersendiri melalui kontemplasi

yang terus menerus. Pada dasarnya filsafat Hegel mematahkan anggapan

kaum empiris seperti John Locke, Barkeley, dan David Hume. Kaum

Empiris ini mengambil sikap tegas pada metafisika. Bagi Locke,

metafisika tidak mampu menjelaskan basis fundamental fisafat atau

Epistemologi dan tidak dapat mencapai realitas total. Pendapat ini

diteruskan kembali oleh David Hume bahwa metafisika tidaklah berharga

sebagai ilmu dan bahkan tidak mempunyai arti. Menurut David Hume,

metafisika hanya merupakan ilusi yang ada diluar batas pengertian

manusia.

Dengan metafisika kemudian Hegel mencoba membangun suatu

system pemikiran yang mencakup segalanya baik Ilmu Pengetahuan,

Budaya, Agama, Konsep Kenegaraan, Etika, Sastra, dll. Hegel meletakkan

idea tau roh atau jiwa sebagai realitas uatam, dengan ini ia akan menyibak

kebenaran absolute dengan menembus batasan-batasan individual atau

parsial. Kemandirian benda-benda yang terbatas bagi Hegel dipandang

sebagai ilusi, tidak ada yagn benar nyata kecuali keseluruhan.

Sebelum membahas metode dialetika Hegel, sehendaknya kita

ketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dealetika. Istilah dialetika

berasal dari bahasa Yunani, dialego, yang berarti debat atau diskusi. Jadi,

dealetika adalah pengalaman sehari-hari dalam dialog. Hegel sangat

mengagumi ucapan filsuf Yunani Herakleitos bahwa “pertentangan adalah

bapa segala sesuatu”6. Dengan metode dialetika ini, Hegel mensintesiskan

antara filsafat idealisme subyektif (Fichte) dengan filsafat idealisme

obyektif (Schelling) menjadi filsafat idealisme mutlak.7

Proses dialetika selalu terdiri atas tiga fase. Fase pertama (tesis)

yang lawannya (antitesis), yaitu fase kedua. Lalu muncullah fase ketiga

yang memperdamaikan fase pertama dan kedua atau disebut dengan

(sintesis). Namun, dengan munculnya sintesis, bukan berarti tesis dan

antitesis di tiadakan atau dihilangkan. Hegel juga mengatakan, dalam

sintesis masih terdapat tesis dan antitesis, tetapi kedua-duanya diangkat

kepada tingkatan baru. Dengan kata lain, dalam sintesis baik tesis maupun

antitesis mendapaat eksistensi baru. Atau bisa disebut, kebenaran yang

terkandung dalam tesis dan antitesis tetap disimpan dalam sintesis, tetapi

dalam bentuk lebih sempurna. Maka dari itu proses dealetika sebaiknya

dikiaskan dengan gerak spiral dan bukan dengan gerak garis lurus.[15]

C. Filsafat Modern: Empirisme dan Paragmatisme

1. Empirisme

Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan

pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri 6 K. Bertens, 2012. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI)7 Zubaedi, 2010. Filsafat Barat. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

dan mengecilkan peran akal. Istilah empirisme diambil dari bahasa yunani

empeiria yang berarti pengalaman. Sebagai suatu doktrin, empirisme

adalah lawan rasionalisme. Akan tetapi tidak berarti bahwa rasionalisme

ditolak sama sekali. Dapat dikatakan bahwa rasionalisme dipergunakan

dalam kerangka empirisme, atau rasionalisme dilihat dalam bingkai

empirisme8.

John Locke (1632-1704) yang untuk pertama kali menerapkan

metode empiris kepada persoalan-persoalan tentang pengenalan atau

pengetahuan. Bagi Locke, yang terpenting adalah menguraikan cara

manusia mengenal. Locke berusaha menggabungkan teori-teori empirisme

seperti yang diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme

Descartes. Usaha ini untuk memperkuat ajaran empirismenya. Ia

menentang teori rasionalisme mengenai idea-idea dan asas-asas pertama

yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut dia, segala

pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Peran akal

adalah pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Oleh karena itu akal

tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri.[33] Pada waktu

manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong

(tabula rasa). Di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-

pangalaman inderawi. Seluruh pengetahuan kita diperoleh dengan jalan

menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari

penginderaan serta refleksi yang pertama dan sederhana. Tapi pikiran,

menurut Locke, bukanlah sesuatu yang pasif terhadap segala sesuatu yang

datang dari luar. Beberapa aktifitas berlangsung dalam pikiran. Gagasan-

gagasan yang datang dari indera tadi diolah dengan cara berpikir, bernalar,

mempercayai, meragukan dan dengan demikian memunculkan apa yang

dinamakannya dengan perenungan.

Locke menekankan bahwa satu-satunya yang dapat kita tangkap

adalah penginderaan sederhana. Ketika kita makan apel misalnya, kita

tidak merasakan seluruh apel itu dalam satu penginderaan saja.

Sebenarnya, kita menerima serangkaian penginderaan sederhana, yaitu

8 Ahmad Tafsir, op. cit., h. 173.

apel itu berwarna hijau, rasanya segar, baunya segar dan sebagainya.

Setelah kita makan apel berkali-kali, kita akan berpikir bahwa kita sedang

makan apel. Pemikiran kita tentang apel inilah yang kemudian disebut

Locke sebagai gagasan yang rumit atau ia sebut dengan persepsi. Dengan

demikian kita dapat mengatakan bahwa semua bahan dari pengetahuan

kita tentang dunia didapatkan melalui penginderaan.Ini berarti bahwa

semua pengetahuan kita betapapun rumitnya, dapat dilacak kembali

sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama yang

dapat diibaratkan seperti atom-atom yang menyusun objek-objek material.

Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak kembali seperti demikian itu

bukanlah pengetahuan atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan

mengenai hal-hal yang factual.9

Di tangan empirisme Locke, filsafat mengalami perubahan arah. Jika

rasionalisme Descartes mengajarkan bahwa pengetahuan yang paling

berharga tidak berasal dari pengalaman, maka menurut Locke,

pengalamanlah yang menjadi dasar dari segala pengetahuan. Namun

demikian, empirisme dihadapkan pada sebuah persoalan yang sampai

begitu jauh belum bisa dipecahkan secara memuaskan oleh filsafat.

Persoalannya adalah menunjukkan bagaimana kita mempunyai

pengetahuan tentang sesuatu selain diri kita dan cara kerja pikiran itu

sendiri.10

2. Paragmatisme

Pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya guna. Pragma

berasal dari kata Yunani. Makna pragmatisme adalah suatu aliran yang

mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya

sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis.

Artinya, segala sesuatu dapat diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan.

Dan aliran ini menekankan pada praktik dalam mengadakan pembuktian

9 Juhaya S. Praja, op. cit., h. 26.10 Bambang Q-Anees dan Radea Juli A. Hambali, selanjutnya disebut Bambang, Filsafat Untuk Umum (Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 334.

pembenaran dari sesuatu hal yang dapat dilihat dari tindakannya yang

praktis atau dari segi kegunaan.

Menurut pragmatisme, berpikir itu mengabdi pada tindakan, dan

tugas pikir itu untuk bertindak. Hal ini mengakibatkan tindakan-tindakan

itu menjadi kriteria berpikir dan kegunaan. Dengan kata lain, hasil dari

tindakan itu menjadi suatu kebenaran.

Sebagai aliran filsafat, pragmatisme berpendapat bahwa pengetahuan

mencari, bukan sekedar untuk tahu demi tahu, melainkan untuk mengerti

masyarakat dan dunia. Pengetahuan bukan sekedar objek pengertian,

permenungan atau kontemplasi, tetapi untuk berbuat sesuatu bagi

kebaikan, peningkatan serta kemajuan masyarakat dunia. Pragmatisme

lebih memprioritaskan tindakan daripada pengetahuan dan ajaran, dan

kenyataan pengalaman hidup di lapangan daripada prinsip muluk-muluk

yang melayang di dunia. Oleh karena itu, prinsip untuk menilai pemikiran,

gagasan, teori, kebijakan, pernyataan tidak hanya cukup berdasarkan

logisnya dan bagusnya rumusan-rumusan tetapi berdasarkan dapat-

tidaknya dibuktikan, dilaksanakan dan mendatangkan hasil.

William James adalah seorang filsuf dari Amerika Serikat, yang

terkenal sebagai salah seorang pendiri Mazhab Pragmatisme. Selain

sebagai filsuf, James juga terkenal sebagai seorang psikolog. William

James menentang pandangan sebelum dia bahwa kesadaran tidak

mewujudkan kesatuan lahiriah. Ia justru menyatakan bahwa kesadaran

adalah suatu fungsi yang bersumber dari pengalaman murni. Pengalaman

murni adalah perubahan-perubahan yang terus dari kehidupan manusia dan

akan menjadi bahan refleksi manusia pada masa depan. Oleh karena itu,

James menolak adanya kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, dan

bersifat tetap serta berdiri sendiri. Menurut James kebenaran selalu dapat

diubah dan direvisi oleh pengalaman murni.

Menurut James, pragmatisma adalah teori yang sesuai dengan

keinginannya, atau lebih tepatnya, sebuah “metode”. Yang tidak untuk

dibandingkan dengan pemahaman religius ataupun filsafat yang mencoba

memberikan penjelasan dan pengarahan didalam hidup. Pragmatisma,

berdasarkan pendapat James, adalah bersifat radikal empiris, bukan

kealamian. Didalam bukunya dia mengatakan: “ Tidak ada yang baru dari

metode pragmatisma”. Pragmatisma mewakili “ sifat-sifat empiris”. “dan

diwaktu yang sama pragmatisma ada bukan untuk memberikan hasil yang

istimewa, melainkan hanyalah sebuah metode”. “Pragmatisma tidak

memiliki doma, dan doktrin didalam metodenya”. “Tidak ada hasil yang

berbeda, lebih lanjut lagi, tetapi hanyalah sifat-sifat pemahamanlah yang

dimaksudkan dari metode pragmatisma”. Sifat-sifat seperti melihat sesuatu

sebagaimana adanya, dasar-dasar, “kategori”, pengenalan keinginan; dan

melihat jauh ke belakang, sebab-akibat dan fakta.”

Pragmatisma merupakan anthropocentis murni, dengan alasan itu

pulalah dipakai kata humanisme untuk menggambarkan pragmatisma.

Menurut Kantian, pragmatisma adalah humanisme selama tidak mewakili

kemampuan berpikir didalam dunia nyata. Sedangkan, menurut Kant,

dengan pemahaman dan pemikiran yang lebih jernih, mempercayai

kemampuan pemikirian dalam menciptakan gambaran tetap dari bumi

(apapun yang menjadi dasarnya), pragmatisma menolak pandangan itu.

“Adalah Schilcore (pelopor filsafat pragmatisma) yang menyadari adanya

inti dari kenyataan yang dapat dirasakan. Keliatannya sama dengan

pandangan Kant, tetapi diantara keduanya ada pemisah yaitu perbedaan

mendalam antara rasioanlisme dan empirisme.

Berdasarkan hal itulah, semua ketertarikan dan alasan pribadi, dan

pemikiran murni dari idealisme Hegel dapat kita katakan tidaklah ada.

Alasan tidak menciptakan fakta; hanyalah memberi perintah dan

mengelompokkan fakta. Seperti halnya saya menyatakan sesuatu itu benar,

dan saya terus menyatakannya sampai sesuatu itu menjadi lebih dari

sekedar alasan; Saya menyatakannya dengan pemikiran yang

mengingatkan saya akan hubungannya dengan apa yang saya lakukan dan

pikirkan.

Menurut James, penilaian dan hukuman adalah penuntun sedehana

dari tingkah laku, sehingga pemikiran akan norma kita tidak bersifat

selamanya; lebih kepada menyesuaikan teradap situasi. Dampaknya,

perbedaan antara penilaian fakta dan penilaian harga serta perbedaan

antara alasan teoris dan alasan praktikal menghilang. Kata-kata “benar”dan

“nyata” menyatakan bentuk dari nilai perasaan ketidakbergunaan; dan kata

“baik” adalah sebuah penyamaran. Ini adalah bukti dimana James secara

tidak sadar membenarkan pendapat Nietzche mengenai kekacauan

pemakaian teori norma primordial.

Teori James akan insting sangatlah bersifat individualis dan

sangatlah kolot pada pelaksanaannya. Mengesampingkan pernyataannya

mengenai perubahan insting, yang berlawanan dengan diskusinya pada

“Iron Law of Habit/Hukum Utama Kebiasaan” dan keprcayaannya akan

tujuan dasar pendidikan sebagai pengembangan awal kebiasaan individual

dan kelompok, dalam pembentukan masyarakat yang lebih sempurna.

Singkatnya, James menegaskan, dasar dari semua pendidikan adalah

mengumpulkan semua insting asli yang dikenal oleh anak-anak, dan tujuan

pendidikan adalah organisasi pengenalan kebiasaan seagai bagian dari diri

untuk menjadikan pribadi yang lebih baik. Sumbangan James yan paling

berpenaruh terhadap metode pendidikan adalah hubungannya dengan

susunan kebiasaan.

D. Filsafat Modern : Eksistensialisme

Eksistensialisme muncul sebagai reaksi terhadap pandangan

materialisme. Paham materialisme ini memandang bahwa pada akhirnya

manusia itu adalah benda, layaknya batu atau kayu, meski tidak secara

eksplisit. Materialisme menganggap hakekat manusia itu hanyalah sesuatu

yang material, betul-betul materi. Materialisme menganggap bahwa dari segi

keberadaannya manusia sama saja dengan benda-benda lainnya, sementara

eksistensialisme yakin bahwa cara berada manusia dengan benda lain itu

tidaklah sama. Manusia dan benda lainnya sama-sama berada di dunia, tapi

manusia itu mengalami beradanya dia di dunia, dengan kata lain manusia

menyadari dirinya ada di dunia. Eksistensialisme menempatkan manusia

sebagai subjek, artinya sebagai yang menyadari, sedangkan benda-benda yang

disadarinya adalah objek.

Secara umum eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir

karena ketidakpuasan beberapa filosof terhadap filsafat pada masa Yunani

hingga modern, seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya

pandangan spekulatif tentang manusia. Intinya adalah penolakan untuk

mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan

keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat

tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan, juga

pemberontakan terhadap alam yang impersonal yang memandang manusia

terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang membuat manusia kehilangan

hakekat hidupnya sebagai manusia yang bereksistensi. Eksistensialisme juga

lahir sebagai reaksi terhadap idealisme. Idealisme dan materialisme adalah dua

pandangan filsafat tentang hakekat yang ekstrem. Materialisme menganggap

manusia hanyalah sesuatu yang ada, tanpa menjadi subjek, dan hal ini dilebih-

lebihkan pula oleh paham idealisme yang menganggap tidak ada benda lain

selain pikiran. Idealisme memandang manusia hanya sebagai subjek, dan

materialisme memandangnya sebagai objek. Maka muncullah eksistensialisme

sebagai jalan keluar dari kedua paham tersebut, yang menempatkan manusia

sebagai subjek sekaligus objek.

Jean-Paul Sartre filsuf lain dari eksistensialisme berpendapat eksistensi

mendahului esensi, manusia adalah mahkluk eksistensi, memahami dirinya

dan bergumul di dalam dunia. Jean-paul Sartre kemudian menyimpulkan

bahwa manusia tidak memiliki suatu apapun, namun dia dapat membuat

sesuatu bagi dirinya sendiri. Menurut Sartre adanya manusia itu bukanlah

“etre” melainkan “a etre”. Artinya manusia itu tidak hanya ada tapi dia

selamanya harus membangun adanya, adanya harus dibentuk dengan tidak

henti-hentinya.

Munculnya eksistensialisme juga didorong oleh situasi dunia secara

umum, terutama dunia Eropa barat. Pada waktu itu kondisi dunia pada

umumnya tidak menentu akibat perang. Di mana-mana terjadi krisis nilai.

Manusia menjadi orang yang gelisah, merasa eksistensinya terancam oleh

ulahnya sendiri. Manusia melupakan individualitasnya. Dari sanalah para

filosof berpikir dan mengharap adanya pegangan yang dapat mengeluarkan

manusia dari krisis tersebut. Dari proses itulah lahir eksistensialisme.

Satre berkeyakinan bahwa inti setiap relasi antarmanusia adalah konflik,

saling menegasikan terus-menerus, karena seorang manusia menjadi subjek

sekaligus juga objek bagi yang lain. Oleh karena itu, satu dengan yang lainnya

berusaha untuk memasukkan orang lain ke dalam pusat ”dunia”-nya.

Mengikuti Nietzsche, Sartre mengutuk setiap bentuk objektivikasi dan

impersonalisasi. Tak ada standar baik dan buruk kecuali kebebasan itu sendiri.

Sartre menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan

mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep

manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan

sadar dan bebas bagi diri sendiri. Sepanjang sejarah eksistensialisme,

kebebasan ala Sartre ini boleh dibilang paling ekstrim dan radikal. Dalam

sejarah perkembangan filsafat, agaknya tidak ada pendirian tentang kebebasan

yang ekstrim dan radikal seperti Sartre.

Secara garis besar filsafat eksistensialisme menekankan kebebasan

manusia, tidak ada nilai nilai yang bisa mengekang kebebasan manusia

menurut Sartre. Filsafat eksistensialisme Sartre berbeda dengan filsafat

eksintesialisme kierkegard yang juga dikenal sebagai salah tokoh filsuf

eksistensialisme besar. meskipun sama sama berpandangan kebebasan yang

mnjadi titiktolak utama, akan tetapi perbedaan filsafat eksistensialisme dari

kedua tokoh ini terletak pada tanggapan mereka terhadap Tuhan. Kierkegard

menagnggap manusia bebas dengan mempercayai tuhan. Kiergard

memberikan analogi yang bagus antara kebebasan dengan tuhan dia

menganalogikan dengan cerita Adam dan Hawa, dimana pada saat Adam dan

Hawa diciptakan tuhan dan mnghuni surga mereka berdua diperkenankan

menikmati dan memakan segala macam buah yang ada di surga, akan tetapi

tuhan melarang Adam dan Hawa memberikan larangan keras untuk memakan

satu jenis buah di surga yaitu buah Khuldi (dalam Islam). Larangan tersebut

tidak membuat Adam dan Hawa menjauh akan tetapi justru penasaran dan

memakan buah tersebut, dari kisah tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa

sebenarnya tuhan telah memberikan pilihan terhadap Adam dan Hawa dengan

tetap membiarkan merekan berdua memakan buah tersebut, meskipun

larangan sudah diberikan, jika tuhan mengekang dan tidak memberikan

kebebasan kepada Adam dan Hawa jangankan memakan buah tersebut,

mendekati pohon tersebut saja Adam dan Hawa akan terpelanting oleh

kekuatan Tuhan. oleh sebab itu Kierkegard termasuk dalam salah satu Filsuf

eksistensialis Theistik (mempercayai tuhan), mengambil posisi yang

brsebrangan dengan Kierkegard, Sartre justru menentang keberadaan tuhan,

yang menyebabkan Sartre menjadi salah satu filsuf Eksistensialis Atheistik

(tidak mmpercayai tuhan) selain Martin Heideger

Dari penjelasan Sartre diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa manusia

memang memiiki kebebasan dalam menuntukan pilihan, bahkan menurut

Sartre manusia dikutuk untuk bebas, akan tetapi kebebasan yang diilih juga

harus mempertimbangkan kepentingan secara luas. Kebebasan menurut Sartre

juga harus disertai dengan tindakan secara terus menerus, karena sejatinya

adalah mahluk yang menindak dan untuk menindak terkait dengan kesadaran

akan dunia.11

11 Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, h. 44

BAB III

PENUTUP

Demikianlah makana mengenai pemikiran dari beberapa tokoh filsafat

seperti Rene Descartes (1595-1650) (rasionalisme), George Wilhelm Friedrich

Hegel (idealisme), John Locke (1632-1704) (emperisme), William James

(pragmatisme), dan Jean-Paul Sartre (eksistensialisme), mudah-mudahan makalah

ini dapat memberikan gambaran singkat mengenai pemikiran-pemikiaran dari

tokoh tersebut dan memberikan keseuaian antara pemikiran para filsafat tersebut

terhadap kehidupan kita dimasa sekarang ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adisusilo, Sutarjo, Sejarah Pemikiran Barat Dari yang Klasik Sampai yang Modern, 2013.

Ahmadi, Asmoro. Filsafat Umum, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2007

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Cet. VI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998),

Bambang Q-Anees dan Radea Juli A. Hambali, selanjutnya disebut Bambang, Filsafat Untuk Umum (Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003),

Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002

Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam perspektif (Cet. XVI; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 100-101.

Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Cet. VII; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 58-59.