Lokalisasi S.aureus

download Lokalisasi S.aureus

of 13

Transcript of Lokalisasi S.aureus

1

KEBERADAAN BAKTERI Staphyloccus aureus PADA KELENJAR AMBING MENCIT SEBAGAI MODEL KASUS MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAHOleh : Sayu Putu Yuni Paryati

ABSTRAKKejadian mastitis pada sapi di Indonesia sangat tinggi, sebagian besar merupakan mastitis subklinis. Berbagai penyebab mastitis subklinis, di antaranya adalah bakteri. Staphylococcus aureus. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari keberadaan bakteri dalam jaringan kelenjar ambing yang diinfeksi oleh S. aureus berdasarkan gambaran histopatologi menggunakan pewarnaan Warthin-Starry. Sebanyak 42 ekor mencit laktasi diinfeksi dengan S. aureus. Masing-masing ambing ditetesi 50 l suspensi yang mengandung10 9 sel / ml melalui lubang puting (orificium externa). Tiga ekor mencit sebagai kontrol negatif (tidak diinfeksi). Mencit yang diinfeksi dengan S. aureus dibagi menjadi 14 kelompok sesuai tahapan waktu, yaitu: 2, 4, 6, 8, 12, 16, 20, 20, 24, 36, 48, 60, 72, 84 dan 96 jam pasca infeksi (p.i.). Mencit dieuthanasi sesuai perlakuan, jaringan ambing diambil untuk pembuatan preparat histopatologi dan dilakukan pewarnaan Warthin-Starry. Pengamatan secara histopatologi menunjukkan, bahwa infeksi bakteri S. aureus pada mencit tidak menyebabkan adanya perubahan jaringan ambing secara klinis. Patogenesis bakteri S. aureus dimulai dari puting ambing melalui ductus lactiverus menuju alveol. Bakteri S. aureus dapat ditemukan pada jaringan interstitium (6 jam p.i), fokus peradangan, PMN dan makrofag (8 jam p.i), lumen dan epitel alveol (12 jam p.i) serta di antara jaringan lemak fat pad (mulai 48 jam p.i), menyebabkan bakteri dapat persisten dalam jaringan sebagai penyebab mastitis kronis.

PENDAHULUANMastitis atau peradangan pada ambing merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada ternak, khususnya ternak perah. Selain menimbulkan kerugian secara ekonomi karena menurunnya produksi dan kualitas susu serta biaya pengobatan yang mahal, kejadian mastitis juga dapat membahayakan masyarakat konsumen yang mengkonsumsi susu asal ternak yang menderita mastitis. Dari sampel susu yang diperiksa di tiga daerah di P. Jawa, dapat diketahui 3 jenis bakteri penyebab mastitis subklinik yang paling sering terisolasi adalah Streptococcus agalactiae, Staphylococcus aureus dan Eschericia coli. Pada peternakan sapi perah, S. aureus mempunyai arti penting sebagai penyebab mastitis

2

karena bakteri dapat menyebar ke mana-mana dan dapat membentuk koloni dengan baik pada kulit dan puting ambing. Tingkat kejadian infeksi S. aureus dalam satu kandang dapat mencapai 35% (Subronto 1985). Tahap awal infeksi bakteri adalah adanya kontak permukaan antara sel inang dan bakteri, dimana dalam proses ini melibatkan komponen permukaan sel seperti protein dan karbohidrat (Mims 1986). Proses adhesi merupakan tahap infeksi yang sangat penting dan dominan sebagai penentu ekspresi penyakit yang bersifat subklinis. Peran adhesi dan kolonisasi bakteri pada permukaan sel ambing, jauh lebih penting dibandingkan dengan kemampuan invasi bakteri tersebut. Menempelnya bakteri pada permukaan sel epitel ambing menyebabkan degenerasi dan nekrosa sel epitel (Estuningsih 2001). S. aureus tersebar luas di dunia dan banyak menyebabkan kelainan-kelainan pada kulit dan membran mukosa hewan maupun manusia. Bakteri ini bersifat gram positif, fakultatif anaerob, katalase positif, koagulase positif dan menghasilkan asam laktat. Pada biakan agar padat membentuk koloni kuning keemasan (Todar 1998). S. aureus tidak membentuk spora, tidak ada flagela, tumbuh baik pada suhu 37 C dan mati apabila dipanaskan pada suhu 80 C selama setengah jam. Berbagai komponen S. aureus yang berperan dalam mekanisme infeksi adalah : (1) Polisakarida dan protein yang merupakan substansi penting di dalam dinding sel, seperti protein adhesin hemaglutinin (Wahyuni 1998) dan glikoprotein fibronectin (Nelson et al. 1991). Protein permukaan ini berperan dalam proses kolonisasi bakteri pada jaringan inang; (2). Invasin yang berperan dalam penyebaran bakteri di dalam jaringan, misalnya leukocidin, kinase, hyaluronidase; (3). Kapsul dan protein A yang dapat menghambat fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear ; (4). Substansi biokimia, seperti : carotenoid dan produk katalase, dapat membuat bakteri bertahan hidup dalam fagosit ; (5). Protein A, coagulase dan clumping factor untuk menghindarkan diri dari respon imun inang. S. aureus dengan coagulase negatif terbukti kurang virulen dibandingkan dengan yang mempunyai faktor coagulase (Haraldsson dan Jonsson 1984) ; dan (6). Toksin yang dapat melisis membran sel dan jaringan inang (Todar 1998).

3

BAHAN DAN METODE PENELITIANMateri PenelitianDalam penelitian ini digunakan mencit strain ddY yang sedang laktasi (5 hari post partum) sebagai hewan model. Mencit diperoleh dari PT. Bio Farma (Persero) Bandung. Infeksi pada mencit menggunakan isolat bakteri S. aureus lapangan yang diperoleh dari kasus mastitis subklinis pada sapi perah (Abrar 2000). Media dan bahan lain yang digunakan adalah : media untuk kultur bakteri Todd Hewitt Broth (THB), bahan untuk pembuatan preparat histopatologi, yaitu Normal Buffer Formalin (BNF), xylol, alkohol bertingkat dimulai dari 70% sampai absolut, parafin dan perekat dan Hematoxylin-eosin.

Metode PenelitianSebanyak 42 ekor mencit diinfeksi dengan isolat S. aureus dan 3 ekor mencit tidak diinfeksi sebagai kontrol negatif. Infeksi dilakukan dengan cara meneteskan 50 l suspensi bakteri yang diperkirakan mengandung 109 bakteri/ml suspensi. Penetesan dilakukan secara bertahap setetes demi setetes (satu tetes sebanyak 5 l), tepat di atas lubang puting (orificium externa) ambing menggunakan pipet mikro (Biorad). Selanjutnya dilakukan euthanasi dan pengamatan jaringan secara makroskopis. Pengambilan jaringan ambing dilakukan dalam 14 tahap waktu, yaitu 2 ,4 ,6, 8, 12, 16, 20, 24, 36, 48, 60, 72, 84 dan 96 jam pasca infeksi, masing-masing sebanyak 3 ekor untuk dibuat preparat histopatologi melalui tahapan fiksasi menggunakan buffer normal formalin (BNF) 10%, dipotong tipis dan dilakukan proses dehydrasi dalam alkohol bertingkat (80%, 90%, 95%) serta clearing menggunakan xylol. Tahap berikutnya dilakukan embedding dengan parafin yang memiliki titik leleh 58o C (Richert Jung, Germany) dan dicetak dalam cetakan khusus. Jaringan dipotong dengan ketebalan 5 m menggunakan mikrotom, kemudian diletakkan pada permukaan air agar terapung. Jaringan diambil dengan gelas objek dan dibiarkan menempel selama semalam atau dipanaskan pada suhu kurang lebih 60o

C dan siap digunakan untuk berbagai teknik pewarnaan. Untuk melihat

keberadaan bakteri dalam jaringan kelenjar susu digunakan teknik pewarnaan Warthin-Starry.

4

ParameterPengamatan dilakukan terhadap lokalisasi bakteri di dalam jaringan kelenjar ambing (di dalam lumen alveol, jaringan interstitium dan di dalam sel epitel kelenjar susu). Lokalisasi bakteri pada jaringan kelenjar ambing dilihat secara histopatologi menggunakan teknik pewarnaan Warthin-Starry. Dengan teknik pewarnaan ini, akan terihat sitoplasma sel berwarna kuning hingga kecoklatan dengan inti berwarna coklat, bakteri berwarna coklat tua hingga hitam. Keberadaan bakteri dinyatakan secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASANReidentifikasi IsolatBerdasarkan pengamatan morfologi koloni, pada media padat agar darah tumbuh koloni kuning keemasan. Pengamatan terhadap aktivitas hemolitik menunjukkan bahwa bakteri tidak menghemolisis darah. Pada media THB, isolat menunjukkan adanya pertumbuhan (keruh) dan adanya protein A ditunjukkan dengan tumbuhnya koloni difus pada media soft agar (SA) menjadi kompak pada serum soft agar (SSA). Uji hemaglutinasi menunjukkan hasil positif lemah pada sel darah merah sapi, ayam, kuda, anjing dan kelinci. Hal ini sesuai dengan hasil identifikasi terdahulu oleh Abrar (2000).

Kelenjar Ambing Mencit setelah Diinfeksi S. aureusPengamatan secara klinis dan makroskopis terhadap ambing dari semua kelompok mencit yang diinfeksi dengan S. aureus tidak menampakkan adanya tanda-tanda peradangan dan terlihat sama dengan kelompok kontrol. Puting tampak normal, tidak menampakkan adanya pembengkakan, eksudasi maupun keropeng. Keadaan ini tampak pada seluruh kelompok perlakuan. Puting pada semua mencit

5

berwarna putih, tersembunyi di antara rambut abdomen. Mencit juga tidak memperlihatkan tanda-tanda gelisah, tidak menggaruk-garuk dan tidak menunjukkan tingkah laku yang berbeda dibandingkan dengan mencit kontrol. Aktivitas makan dan minum berjalan normal, menunjukkan bahwa infeksi S. aureus tidak menimbulkan perubahan secara klinis. Keadaan ini tidak berbeda dengan yang terjadi pada ambing sapi penderita mastitis subklinis, yaitu tidak terlihat gejala peradangan. Ketika kulit bagian ventral mencit dibuka, tampak ada perubahan pada bagian subkutis. Subkutis tampak lebih basah pada mencit yang diinfeksi S. aureus. Hal ini terlihat pada kelompok mencit 12, 16, 20, 24 dan 36 jam pasca infeksi. Diperkirakan karena terjadinya edema radang ringan. Sedangkan pada kelompok mencit 2 jam sampai dengan 8 jam pasca infeksi tidak tampak adanya perubahan ini. Hiperemi pada pembuluh darah yang menuju ke kelenjar ambing tampak pada kelompok mencit 2 jam sampai dengan 36 jam pasca infeksi. Juga disertai adanya sedikit eksudat disekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelenjar ambing sedang terjadi peradangan. Dan pada kelompok mencit 48 jam pasca infeksi, keadaan subkutis sedikit kering sehingga kulit agak susah dipisahkan dari kelenjar ambing.

Histologi KelenjarAmbing Mencit NormalStruktur kelenjar ambing mencit merupakan bagian dari kulit yang terdiri atas lapisan superfisial epidermis berupa epitel berlapis pipih, dan lapisan dalam dermis terdiri atas jaringan ikat. Sejumlah kelenjar sebasius tampak berjajar di sepanjang lapisan kulit. Kelenjar ambing mencit normal (kontrol) memperlihatkan gambaran sesuai dengan susunan histologis kelenjar ambing sapi normal (Hurley 2000).

6

Struktur kelenjar ambing mencit normal tersusun dari jaringan sekretori berbentuk kelenjar tubulo-alveolar yang mensekresikan susu ke dalam lumen alveol. Lumen alveol dibatasi oleh selapis sel epitel kuboid (Gambar 1).

Gambar 1. Struktur kelenjar ambing mencit normal. Struktur terdiri dari susunan kelenjar tubulo-alveol berisi sekresi susu.(HE 86 X) Dalam keadaan aktif, sel epitel ini sangat pipih dan lumen penuh terisi susu. Penglepasan sekret (susu) disertai dengan penglepasan bagian apikal sel alveol, sehingga sel epitel tampak kasar. Singh (1991) menjelaskan, bahwa protein yang terdapat dalam sitoplasma sebagai unsur yang membentuk bagian sekret dilepaskan dari sel melalui eksositosis. Pembuluh darah dan kapiler terdapat pada jaringan interstitium (stroma) di antara alveol-alveol. Beberapa alveol bersatu membentuk suatu struktur lobulus yang dibatasi oleh jaringan ikat. Interstitium juga mengandung jaringan ikat longgar dan terdapat sel-sel lemak di antara kelenjar ambing. Sel lemak akan meluas

7

membentuk jaringan lemak (fat pad) pada keadaan kelenjar tidak aktif untuk menggantikan tempat kelenjar yang tidak berproduksi lagi.

Gambar 2. Sekresi susu dalam lumen alveol ambing mencit normal. Tampak globula lemak dalam sekresi susu sebagai gelembung-gelembung berwarna putih (HE 350 X) Susu disalurkan dari alveol sampai ke glandula sisterna dalam suatu sistem duktus yang disebut ductus lactiferus yang mempunyai susunan selapis sel epitel yang lebih kompak dilengkapi dengan jaringan ikat berupa membrana basalis yang lebih tebal. Dari ductus lactiferus, susu dialirkan menuju kisterna atau duktus yang lebih besar sebagai saluran pengumpul. Dengan pewarnaan HE, inti sel tampak berwarna biru tua sedangkan sitoplasma berwarna merah keunguan. Sel-sel epitel tubulus mengambil warna lebih kuat dibandingkan dengan sel epitel alveol kelenjar ambing, sedangkan sekresi susu tampak berwarna merah muda keunguan dengan globula lemak berupa ruang-ruang kosong berwarna putih di dalam lumen alveol (Gambar 2).

8

Lokalisasi bakteri di dalam jaringan kelenjar ambingKemampuan S. aureus berkolonisasi pada puting ambing maupun pada saluran-saluran kelenjar ambing menyebabkan bakteri mampu beradaptasi dan bertahan hidup pada susu dan selanjutnya bakteri menyebar sampai pada saluran di atasnya bahkan sampai ke alveol serta hidup dan berkembang pada jaringanjaringan ini (Sandholm et al. 1991). Dengan teknik pewarnaan Warthin-Starry, keberadaan bakteri S. aureus dapat dilacak sebagai titik-titik kokus berwarna coklat tua hingga hitam di dalam sel maupun jaringan interstitium. Sitoplasma sel terlihat berwarna kuning hingga kecoklatan dengan inti berwarna coklat.

Gambar 3. Bakteri S. aureus yang telah difagositosis dalam PMN (tanda panah), 8 jam p.i. (Warthin-Starry, 860 X). Pada kelompok 2 dan 4 jam p.i., bakteri tampak pada jaringan kulit dan puting ambing. Beberapa bakteri juga sampai pada kelenjar akar rambut. Adanya bakteri pada jaringan interstitium dapat dilihat mulai 6 jam setelah diinfeksi S. aureus

9

dan terlihat bakteri berbentuk kokus yang telah difagositosis oleh PMN dan makrofag 8 jam p.i. (Gambar 3). Ini sesuai dengan hasil penelitian Anderson dan Chandler (1975), bahwa fagositosis oleh neutrofil terhadap bakteri yang diinokulasikan pada kelenjar ambing terjadi mulai 6 jam pasca infeksi. Pada saat ini terjadi diapedesis sel-sel leukosit sebagai respon pertahanan tubuh inang terhadap infeksi.

Gambar 4. Bakteri S. aureus (tanda panah) pada epitel dan lumen alveol menyebabkan degenerasi, nekrosis dan atrofi kelenjar 48 jam p.i. (Warthin-Starry 860 X). Mulai 12 jam setelah diinfeksi oleh S. aureus, bakteri tampak sudah sampai ke lumen. Neutrofil mengalami perubahan yang bersifat degeneratif sehingga terjadi peningkatan jumlah bakteri S. aureus (Anderson dan Chandler 1975). Bakteri juga ditemukan pada sel epitel alveol disertai infiltrasi sel-sel radang, degenerasi, nekrosis dan deskuamasi epitel alveol (Gambar 4). Selanjutnya terjadi atrofi sel

10

epitel dan lumen alveol mengecil mengakibatkan sekresi susu berkurang dan akhirnya berhenti. Gambaran ini terlihat hingga 96 jam p.i. Bakteri juga tampak pada jaringan interstitium (6 jam p.i), fokus peradangan, PMN dan makrofag 8 jam p.i) dan fat pad (48 jam p.i). Pada jaringan lemak, bakteri dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama sebagai penyebab mastitis yang bersifat subklinis dan kronis (Gambar 5).

Gambar 5. Bakteri S. aureus (tanda panah) dalam jaringan lemak (fat pad) 72 jam p.i. (Warthin-Starry 860 X)

Secara umum dapat dilihat bahwa perubahan pada jaringan kelenjar ambing yang diinfeksi oleh S. aureus terjadi lebih cepat jika dibandingkan dengan perubahan jaringan yang diinfeksi oleh S. agalactiae pada penelitian Estuningsih (2001). Hal ini mungkin terjadi karena faktor-faktor virulensi yang dimiliki oleh S. aureus, misalnya keberadaan protein A dan kapsul polisakarida yang dapat menghambat terjadinya proses fagositosis, enzim hyaluronidase yang mempermudah bakteri menginvasi

11

jaringan, adesin fibronectin memudahkan perlekatan bakteri pada sel inang (Nelson et al. 1991) dan adanya coagulase dan clumping factor membantu bakteri untuk menghindar dari respon kekebalan inang serta toksin yang dihasilkan S. aureus dapat menyebabkan kerusakan-kerusakan pada jaringan kelenjar ambing (Anderson dan Chandler 1975).

KESIMPULANKesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian adalah :

1.

Infeksi bakteri S. aureus pada mencit tidak menyebabkan adanya perubahan jaringan ambing secara klinis.

2.

Patogenesis bakteri S. aureus sebagai penyebab mastitis dimulai dari puting ambing melalui ductus lactiverus menuju alveol. Bakteri S. aureus dapat ditemukan pada jaringan interstitium (6 jam p.i), fokus peradangan, PMN dan makrofag (8 jam p.i), lumen dan epitel alveol (12 jam p.i) serta di antara jaringan lemak fat pad (mulai 48 jam p.i), menyebabkan bakteri dapat persisten dalam jaringan sebagai penyebab mastitis kronis.

3.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mencit kemungkinan besar dapat digunakan sebagai hewan model untuk menjelaskan patogenesis mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. aureus pada sapi perah

12

DAFTAR PUSTAKAAbrar M. 2001. Isolasi, Karakterisasi dan Aktivitas Biologi Hemaglutinin Staphylococcus aureus dalam Proses Adhesi pada Permukaan Sel Epitel Ambing Sapi Perah. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana IPB. Anderson JC, Chandler RL. 1975. Experimental Staphylococcal Mastitis in The Mouse : Histological, Ultrastructural and Bacteriological Changes Caused by A Virulent Strain of Staphylococcus aureus. J. Comp. Path. 85:499-510. Estuningsih S. 2001. Patogenesis Mastitis Subklinis pada Sapi Perah : Pendekatan Histopatologis Mastitis Subklinis Akibat Infeksi Streptococcus agalactiae Hemaglutinin Positif pada Mencit. Disertasi Doktor Pascasarjana. IPB. Haraldsson I, Jonsson P. 1984. Histopathology and Pathogenesis of Mouse Mastitis Induced with Staphylooccus aureus Mutans. J. Comp. Path. 94:183196. Hurley WL. 2000. Mammary Gland Anatomy of Cattle. Lactation Biology. ANSCI 308. Departement of Animal Sciences University of Illionis. Urbana-Champaign. http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. [13-12-2001]. Mims CA. 1986. The Pathogenesis of Infectious Disease. Third Ed. Akademic Press. London Nelson L, Flock JI, H k M, Lindberg M, Mller HP, Wadstrm T. 1991. Adhesins in Staphylococcal Mastitis as Vaccine Component. Flem. Vet. J. Suppl. Sandholm M, Ali-Vehmas T, Nyholm K, Honkanen-Buzalski T, Louhi M. 1991. Failure Mechanisms Lactional Therapy of Staphylococcal Mastitis. Flem. Vet. J. 62, Suppl. (1) : 171-186. Singh I. 1991. Teks dan Atlas Histologi Manusia. Alih Bahasa : Jan Tambayong. Edisi I. Binarupa Aksara. Jakarta. 300-301. Subronto. 1985. Ilmu Penyakit Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Todar K. 1998. Bacteriology 330 Lecture http://www.bact.wisc.edu/bact330/lecturestaph Topics : Staphylococcus.

Wahyuni AETH. 1998. Peran Hemaglutinin Streptococcus agalactiae dalam Proses Adhesi pada Sel Epitel Sapi Perah. Thesis Magister Program Pascasarjana IPB.

13

Riwayat Penulis :Dr. Sayu Putu Yuni Paryati, M.Si., lahir di Tabanan, 4 Juni 1965. Alumnus FKHUniversitas Udayana tahun 1990, lulus Magister tahun 2002 dan Doktor tahun 2006 dari Sekolah Pascasarjana IPB. Saat ini merupakan dosen Kopertis wilayah IV yang dipekerjakan di Fakultas Kedokteran Universitas Achmad Yani (UNJANI), Cimahi.