LOCAL GENIUS - ejournal.perpusnas.go.id

12
129 Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010 I Peninggalan tertulis tertua yang ditemukan di Indonesia, mempergunakan huruf Pallava dan berbahasa Sansekerta. Peninggalan itu kita kenal sebagai prasasti dan ditemukan di Kutai, Kalimantan Timur dan Jawa Barat. Sementara itu raja-rajanya pun mempergunakan nama Sansekerta, seperti Mulavarman dan Purnavarman. Kenyataan ini kemudian mendorong ahli Barat, yang dewasa ini dapat digolongkan sebagai penganut aliran kolonial, berkesimpulan bahwa telah terjadi proses hinduisasi di Kutai maupun Jawa Barat pada masa itu (Coedes, 1968). Bahkan sampai sekarang masih ada ahli Barat yang menganut pandangan ini, seperti yang terlihat dalam laporan penelitian terhadap apa yang terjadi di Sumatra Timur pada abad yang lebih kemudian. Sementara itu dilaporkan pula olehnya bahwa apa yang terjadi adalah sebuah proses adaptasi kebudayaan setempat terhadap kebudayaan Tamil (Perret, 2010: 126). Penganut aliran “kolonial” di dalam analisisnya terhadap kebudayaan “lokal” senantiasa mendasarkan pandangannya dari sudut kebudayaan asing. Sebagaimana diketahui, dewasa ini dalam filsafat ilmu telah muncul aliran baru yang dikenal sebagai aliran “pasca kolonial”. Aliran ini muncul setelah bangsa-bangsa yang dahulu terjajah, yang menjadi obyek penelitian mereka, telah memerdekakan diri. Kenyataan ini menyadarkan peneliti (Barat) untuk tidak lagi mendasarkan analisisnya daru sudut pandang NOERHADI MAGETSARI LOCAL GENIUS

Transcript of LOCAL GENIUS - ejournal.perpusnas.go.id

Page 1: LOCAL GENIUS - ejournal.perpusnas.go.id

129Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010

I

Peninggalan tertulis tertua yang ditemukan di Indonesia,mempergunakan huruf Pallava dan berbahasa Sansekerta.Peninggalan itu kita kenal sebagai prasasti dan ditemukan di Kutai,Kalimantan Timur dan Jawa Barat. Sementara itu raja-rajanya punmempergunakan nama Sansekerta, seperti Mulavarman danPurnavarman. Kenyataan ini kemudian mendorong ahli Barat,yang dewasa ini dapat digolongkan sebagai penganut aliran kolonial,berkesimpulan bahwa telah terjadi proses hinduisasi di Kutaimaupun Jawa Barat pada masa itu (Coedes, 1968). Bahkan sampaisekarang masih ada ahli Barat yang menganut pandangan ini, sepertiyang terlihat dalam laporan penelitian terhadap apa yang terjadidi Sumatra Timur pada abad yang lebih kemudian. Sementara itudilaporkan pula olehnya bahwa apa yang terjadi adalah sebuah prosesadaptasi kebudayaan setempat terhadap kebudayaan Tamil (Perret,2010: 126).

Penganut aliran “kolonial” di dalam analisisnya terhadapkebudayaan “lokal” senantiasa mendasarkan pandangannya darisudut kebudayaan asing. Sebagaimana diketahui, dewasa ini dalamfilsafat ilmu telah muncul aliran baru yang dikenal sebagai aliran“pasca kolonial”. Aliran ini muncul setelah bangsa-bangsa yangdahulu terjajah, yang menjadi obyek penelitian mereka, telahmemerdekakan diri. Kenyataan ini menyadarkan peneliti (Barat)untuk tidak lagi mendasarkan analisisnya daru sudut pandang

NOERHADI MAGETSARI

LOCAL GENIUS

Page 2: LOCAL GENIUS - ejournal.perpusnas.go.id

130

Noerhadi Magetsari

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

mereka, melainkan dari kacamata bangsa itu sendiri. Dengandemikian maka permasalahan tidak lagi difokuskan pada asumsibahwa kebudayaan lokallah yang beradaptasi terhadap kebudayaanasing, atau kebudayaan asing mempengaruhi kebudayaan lokalmelalui proses indianisasi misalnya, melainkan bagaimanakebudayaan lokal mengolah kebudayaan asing itu sesuai dengankarakteristik maupun kepentingannya masing-masing.

Dari apa yang telah disampaikan di atas, maka sesungguhnyaapa yang menjadi inti permasalahan adalah sudut pandang. Padagilirannya sudut pandang ini akan merumuskan persoalan apa yanghendak dijelaskan. Dalam kaitan ini ada di antara kita yang masih“terperangkap” dalam sudut pandang kolonial. Sebagai contohdapat dikemukakan bahwa dalam buku Sejarah Nasional IndonesiaJilid II, misalnya, walaupun diterbitkan oleh DepartemenPendidikan dan Kebudayaan, masih membicarakan “UpacaraPenghinduan” (Sartono Kartodirdjo dkk., 1975:34). Contoh lainyang masih dapat dijumpai, di kalangan arkeologi misalnya, adalahmasalah pengaruh-mempengaruhi. Apabila terdapat kesamaanantara produk budaya lokal dengan produk asing, maka penjelasanyang diberikan adalah bahwa kebudayaan lokal berasal darikebudayaan asing itu (Sartono Kartodirdjo dkk., 1975, Jilid I:34).

Atas dasar semuanya itu, serta dalam suasana keilmuan pascakolonial, maka kita seyogyanya melepaskan diri dari perangkapaliran atau ajaran kolonial yang selama ini dijejalkan ke dalampikiran kita. Daripada kita mencari kebudayaan apa yang telahmempengaruhinya, maka seyogyanya kita berupaya untukmengungkapkan bagaimana sesungguhnya kebudayaan kita itu.Dengan cara ini maka kita akan dapat lebih baik mengenali dirikita, identitas kita, kelemahan dan kekuatan kebudayaan kita. Dibawah ini akan dicoba diungkapkan bagaimana kalau sudut pandangIndonesia diterapkan, walaupun terhadap data yang sama denganapa yang telah dikaji oleh para peneliti terdahulu.

Page 3: LOCAL GENIUS - ejournal.perpusnas.go.id

131

Local Genius

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

II

Dalam kesempatan lain (Magetsari, 1986), saya telahmengusulkan bahwa apa yang terjadi bukanlah proses penghinduanatau proses adaptasi, melainkan oleh karena Bangsa kita pada waktuitu telah mulai memeluk Agama Hindu. Bahwa setelah memeluksuatu Agama, orang lalu memakai nama, mempelajari bahasa, ataumempergunakan hurufnya, merupakan sesuatu yang wajar.Kecenderungan ini dapat dianalogikan dengan apa yang terjadi padawaktu Bangsa kita memeluk Agama Islam. Kita juga lalumempelajari Bahasa dan mempergunakan huruf Arab oleh karenaAgama Islam diajarkan dalam Bahasa Arab. Demikian pula halnyadengan penggunaan nama-nama dalam Bahasa Arab. Sebaliknya,kita tidak pernah mempelajari bahasa atau huruf Mandarin, ataumempergunakan nama-nama Cina oleh karena kita tidak menganutAgama Tao atau Konghucu, walaupun warga keturunan Cina danhubungan kita dengan Cina telah lama terjalin, paling tidak sejakabad ke-5, sebagaimana Fa-hsien menyampaikannya dalam catatanperjalanannya.

Di atas telah disampaikan bahwa di Kutai dan di Jawa Baratditemukan peninggalan tertulis yang biasa dikenal sebagai prasasti.Bentuk prasasti keduanya berbeda satu dengan lainnya. PrasastiKutai berbentuk yupa atau tugu, sedangkan yang di Jawa Baratdituliskan pada batu alam.

Di Kutai ditemukan tujuh buah yupa yang mencatat beberapaperistiwa yang tejadi pada masa itu. Pertama yang mencatat tentangsilsilah raja. Yupa lain mencatat beberapa tindakan yangdilakukannya, antara lain pemberian hadiah berupa minyak danhewan dalam jumlah besar kepada rakyatnya maupun kepada parabrahmana. Dari sumber tertulis ini dapat diketahui bahwa salahseorang penganut Agama Hindu yang pertama di Indonesia adalahseorang putra seorang raja Raja KunduEga. Setelah menganutAgama Hindu ia memakai nama Sansekerta, yaitu Aœvavarman.Setelah itu semua keturunan sang raja menyandang namaSansekerta. Di antara dinasti Varman ini, yang menonjol adalahMûlavarman. Sebagai raja ia dikenang sebagai seorang raja besardan pemurah, sehingga para brahmana yang hidup pada masa

Page 4: LOCAL GENIUS - ejournal.perpusnas.go.id

132

Noerhadi Magetsari

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

pemerintahannya merasa perlu untuk mencatat kedermawanansang raja dalam prasasti. Rupa-rupanya Sang Raja menyediakantempat khusus bagi para brahmana yang disebut Waprakeœvâra.Berita ini memberitahukan kepada kita bahwa Kerajaan Kutai padawaktu itu telah memiliki sebuah struktur pemerintahan yangmantap di mana para brahmana memperoleh kedudukan khususdari Sang Raja. Hal ini berbeda dari struktur masyarakat hindu diIndia yang meletakkan brahmana di atas kasta Sang Raja, yangberkasta ksatria.

Dalam kurun waktu yang kurang lebih sama, penganutpertama Agama Hindu di Indonesia pun seorang raja dari JawaBarat. Raja ini, setelah memeluk Agama Hindu, tidak sajamengganti namanya menjadi nama Sansekerta, akan tetapi jugamenamakan kerajaannya dengan nama Sansekerta pula. Raja ituadalah Raja Pu[Gavarman dari Kerajaan Târumânâgara.Sebagaimana halnya dengan raja yang hidup sejaman dengannya,ia pun mencatat beberapa peristiwa penting yang dilakukannya.Dalam prasasti Tugu (Poerbatjaraka, 1952:13-14) ia mencatat bahwaia telah menggali kanal guna mengalirkan air dari SungaiChandrabhâga melalui istananya ke laut. Di samping itu ia punmenggali kanal lain guna mengalirkan air dari Sungai Gomati kekediaman para brahmana di mana neneknya menjadi pendeta disana. Prasasti in juga mencatat bahwa setelah pekerjaan ini selesai,dilakukan sebuah upacara oleh para brahmana, dan untuk inimereka menerima hadiah 1000 ekor sapi dari Sang Raja. Beritaini pun menunjukkan kekhasan struktur masyarakat Târuma-nâgara, di mana nenek Sang Raja diberitakan berkedudukansebagai pendeta, sebuah status yang seharusnya diduduki olehmereka yang berkasta brahmana. Sebagaimana diketahui Raja,dalam hal ini adalah cucu sang nenek pendeta, biasanya berkastaksatria. Kenyataan ini merupakan sesuatu yang tidak lazim, karenamenurut tradisi Hindu India, tidaklah mungkin dalam satu keluargayang anggota keluarganya memiliki dua kasta yang berlainan.Kekhasan lain juga ditunjukkan oleh prasasti Ciaruteun dan KebonKopi (Poerbatjaraka, 1952: 12). Dalam prasasti ini Sang Rajamenyamakan dirinya dengan Dewa Wisnu, dengan mengatakanbahwa telapak kakinya sama dengan telapak kaki Dewa Wisnu dan

Page 5: LOCAL GENIUS - ejournal.perpusnas.go.id

133

Local Genius

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

telapak kaki gajahnya sama dengan Airawata, gajah Dewa Wisnu.Penyamaan raja dengan dewa ini sesungguhnya sangat tidak lazimdi India melainkan menjadi lazim di Indonesia, yang kemudiandikenal sebagai konsep dewa-raja atau sebagaimana yang diuraikandalam Kakawin Nâgarakrtâgâma (abad ke 15) tentangpendharmaan Raja menjadi Dewa. Prasasti terakhir yang dapatdijadikan sumber kajian adalah prasasti yang berisi puji-pujian yangditujukan kepada Sang Raja. Raja Purnavarman dipuji sebagaiseorang Raja yang gagah perkasa dan penakluk para musuhnya,namun hormat kepada para pangerannya. Dalam kapasitasnya yangdemikian ini, tidak mengherankan bahwa ia pun memilikitungangan seekor gajah, sesuatu yang tidak dimiliki oleh raja lainsesudahnya.

III

Di atas telah diulas masalah penganut Agama Hindu yangpertama, maka bagaimana halnya dengan Agama Buda, mengingatbahwa peninggalan Agama Buda berupa candi cukup banyakditemukan. Namun patut disayangkan bahwa penganutnya tidakada yang meninggalkan sumber tertulis sebagaimana penganutAgama Hindu. Sumber tertua tentang masalah ini, sebagaimanayang telah disinggung di atas, hanya dapat diketahui dari catatanFa-hsien yang pernah berkunjung pada abad ke-lima. Mamundemikian ia hanya memberitakan bahwa di samping Agama HinduAgama Buda juga sudah dianut.

Catatan I-tsing, pada abad ke-tujuh, menyampaikan informasiyang lebih rinci tentang perkembangan Agama Buda di Indonesia.Walaupun para peneliti sepakat bahwa kerajaan yang dimaksudkanI-tsing itu berada di wilayah kita, walaupun letak yang sesungguhnyamasih menjadi perdebatan, apakah di Sumatra atau di Jawa. Namundemikian apa yang dapat diketahui tentang apa yang terjadi padawaktu itu ialah bahwa wilayah ini memiliki sarana kajian AgamaBuda yang baik. Paling tidak bagi para pendeta Cina yang berupayamenerjemahkan kitab suci Agama Buddha dari Bahasa Sansekertake dalam Bahasa Mandarin. Bahkan I-tsing secara khusus datang

Page 6: LOCAL GENIUS - ejournal.perpusnas.go.id

134

Noerhadi Magetsari

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

kembali untuk menerjemahkan kitab-kitab itu dengan membawaenam muridnya. Hanya patut disayangkan bahwa kitab apa yangditerjemahkan tidak ikut tercatat, sehingga kita dewasa ini tidakdapat mengetahuinya dengan pasti. Namun demikian dari jumlahmurid yang dibawanya serta jangka waktu yang dilaluinya, yaitudua belas tahun, dapatlah diperkirakan bahwa cukup banyak kitabyang berhasil diterjemahkannya. Penelitian Iwamoto terhadap karyaI-tsing, megungkapkan bahwa salah sebuah Sûtra yang berhasilditerjemahkan itu adalah Mahâparinirvâna-sûtra. Menurut catatanI-tsing, Sûtra ini diterjemahkan oleh Hui-ning di Holing pada sekitartahun 664, di mana ia menetap selama tiga tahun. Dalam iamenerjemahkan Ma-hâparinirvâna Sûtra itu, ia dibantu olehpendeta setempat, Jo-na--pa-t’o-lo (Jñânabhadra, atau apabiladiterjemahkan ke dalam Bahasa Mandarin menjadi Chih-hsien).Menurut Iwamoto Ho-ling adalah Kerajaan Mataram Kuno yangdiperintah oleh Dinasti Œailendra (Iwamo-to, 1980: 85 dst).

Perlu kiranya dicatat di sini bahwa apa yang telah dikemukakanoleh Iwamoto ini belum pernah diungkapkan oleh penelititerdahulu, walaupun catatan I-tsing ini sebagai sumber penelitiantelah banyak dikaji (Wolters, 1967). Dari penelitiannya terungkappula bahwa Ho-ling di samping memiliki sarana penerjemahan yanglebih baik atau lebih kondusif daripada India, tinggal paling tidakseorang pendeta yang mampu membantu penerjemahan.Sebagaimana diketahui, sebuah penerjemahan tidak mungkinberhasil apabila penerjemah hanya sekedar menguasai bahasanyanamun tidak menguasai dengan baik isi yang diterjemahkannya.Dalam hal penguasaan isi inilah bantuan pendeta dari Ho-ling itudiperlukan. Bahwa “Ho-ling” atau Mataram Kuno itu memilikipendeta yang hebat juga dapat dikaji melalui sumber Tibet.

Sumber yang dimaksudkan itu adalah sebuah naskah yangberisikan Sejarah Tibet, dan yang diterjemahkan oleh Roerich(1949, vol. I: 244). Naskah ini memberitakan bahwa Atiœa(DîpaEkaraœrîjñâna) mengunjungi guru gSer-gliE -pa(SuvarGadvîpin). Dari biografinya, dapatlah diketahui bahwa Atiœatinggal di SuvarGadvîpa selama dua belas tahun untukmenyempurnakan ajaran Buddha murni yang kuncinya ada pada

Page 7: LOCAL GENIUS - ejournal.perpusnas.go.id

135

Local Genius

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Pendeta Agung SuvarGadvîpin seorang. Adapun tujuannya adalahuntuk memperdalam ajaran Agama Buddha yang murni, danPendeta Suvarnadvipin dianggap sebagai satu-satunya guru yangmenguasai ajaran itu. Dari padanya ia menerima sejumlah besarajaran rahasia yang mengutamakan ajaran tentang Upâya untukmeningkatkan kreativitas Mental guna memperoleh Pencerahan.Selanjutnya Sumpa, di dalam dPag-bsam-ljon-bzang, menambahkanbahwa DîpaCkâra pergi ke SuvarGadvîpa dan menemuiDharmakîrti serta belajar di bawah bimbingannya selama dua belastahun tentang bagaimana mengembangkan bodhicitta, yangmencakup pranidhâna dan avatâra.” (Chattopadhyaya, 1967: 85-86). Bahwa Atiœa pernah berguru kepada Suvarnadvîpin rupa-rupanya masih terus dikenal sampai sekarang. Hal ini dapatdiketahui dari kenyataan bahwa para pendeta Tibet masih banyakyang berziarah ke Candi Borobudur, karena percaya bahwatempatnya berguru adalah Borobudur. Kepercayaan ini kiranyamendukung hasil penelitian Iwamoto dim atas yang mengkaitkanSuvarnadvipa atau Ho-ling dengan Kerajaan Mataram Kuno.

Walaupun kedua berita di atas telah lama diterbitkan, namuntidak banyak dikembangkan lebih lanjut, seperti misalnya mengapaI-tsing menerjemahkan berbagai kitab sucinya justru di Ho-ling danbukan di negerinya. Mengapa Atiœa, seorang pendeta Agama Budayang terkemuka sampai datang ke SuvarGabhûmi khusus untukberguru kepada SuvarGadvîpin dan tidak pergi belajar ke Nâlandayang telah sangat terkenal. Seandainya permasalahan tersebutdidalami, maka peran Indonesia dalam perkembangan Agama Budadapat kiranya diungkapkan. Melalui pengungkapan yang demikianini maka pendapat yang beranggapan bahwa budaya lokalberadaptasi terhadap budaya India kiranya patut dipertanyakan.Paling tidak kedua berita Cina dan Tibet itu menyiratkan, bahwaSuvarGadvîpa, paling tidak sejak abad ke-tujuh, telah memiliki danmenawarkan sesuatu yang tidak dimiliki India. Bahkan dari beritaI-tsing, dapat pula diketahui bahwa Ho-ling merupakan tempatyang lebih baik untuk keperluan penerjemahan. Bahkan beritaTibet menyiratkan bahwa SuvarGadvîpa, tidak hanya menawarkansarana melainkan juga memiliki pendeta yang berilmu tinggi yangcukup berharga untuk didatangi, dari Tibet sekali pun. Luput pula

Page 8: LOCAL GENIUS - ejournal.perpusnas.go.id

136

Noerhadi Magetsari

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

dari perhatian, misalnya, bahwa dalam perjalanannya dari Tibetmenuju Suvarnadvipa, Atiœa tentunya juga melewati pusat agamaBuda pada waktu itu, Nâlanda; atau bagaimana nama seorangpendeta SuvarGadvîpa sampai dapat terdenganr ke Tibet sehinggamenarik perhatiannya untuk datang dan berguru kepadanya.Masalah-masalah yang demikian ini dengan sendirinya terabaikansebagai akibat prasangka bahwa negara terjajah seperti Indonesiamustahil mampu memiliki kesemuanya itu.

IV

Sebuah contoh lain yang dapat dikemukakan di sini adalahCandi Borobudur. Pada waktu dilakukan pemugaran terhadapnya,oleh Proyek Pemugaran Candi Borobudur telah dilakukaninventarisasi terhadap berbagai karangan yang telah diterbitkanberkenaan dengan candi itu. Pada waktu itu telah tercatat lebihdari 1000 judul karangan dalam bentuk buku maupun artikelmajalah yang telah ditulis dan diterbitkan. Namun demikianberbagai karangan itu sebagian besar bersifat deskriptif, yangmendeskripsikannya dari sudut arsitekturnya (van Erp, 1931), ataudari sudut arkeologi (Krom, 1927). Demikian pula ada yangmendeskripsikan reliefnya (Jan Fontein, 1967) atau mencari maknahubungan bentuk, namanya (Stutterheim, 1956), hubungan candidengan sumber tertulis (de Casparis, 1950).

Tidak bisa dipungkiri bahwa berbagai hasil penelitian yangtelah diterbitkan itu sangatlah berharga. Namun demikian apa yangbelum dipermasalahkan adalah apa sesungguhnya yangmembedakan Candi Borobudur dari candi-candi di India. Denganlain perkataan apakah yang menjadi kekhasan Candi Borobuduryang dapat mengisyaratkan warna Indonesia. Mudah dimengertibahwa masalah yang demikian ini sukar diharapkan datang daripara peneliti asing, walaupun seandainya mereka telah menganutaliran pasca kolonial sekali pun. Atas dasar itu maka sudahsepantasnya dan sudah waktunya bagi kita untukmempermasalahkan apa yang belum dipermasalahkan oleh parapeneliti asing pendahulu kita.

Page 9: LOCAL GENIUS - ejournal.perpusnas.go.id

137

Local Genius

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Dalam hal Candi Borobudur, apa yang telah diungkapkanadalah kebesaran, keagungan, keindahan gaya seni relief maupunarcanya. Bahkan Candi ini pun telah terdaftar sebagai salah satuWarisan Budaya Dunia. Namun demikian kesemuanya itubelumlah terkait dengan Indonesia. Kita hanya bangga bahwa CandiBorobudur berada di Indonesia. Namun demikian apasesungguhnya yang menunjukkan keindonesiaan Borobudur yangtidak dimiliki bangsa atau ditemukan di tempat lain belumlahmenarik perhatian kita. Demikian pula halnya dengan produk-produk budaya yang lain apakah itu kebudayaan materi atau verbal,yang tangible apalagi yang intangible.

Sebagaimana diketahui, aspek intangible csebuah candi adalahlatar belakang agamanya. Sebagaimana diketahui, Candi Borobudursecara struktur terdiri dari bangunan berundak berlantai lima diikutidengan tiga teras berbentuk oval dan akhirnya dipuncaki dengansebuah stupa besar. Bangunan berundak yang berpagar langkan,dihiasi dengan relief. Seluruh relief yang dipahatkan di dindingcandi dan di pagar langkannya itu telah dikenali ceritanya dengancara mengkaitkannya dengan sumber tertulis. Bagian terbawahdihiasi dengn relief MahâkarmavibhaEga, yang mengajarkantentang sebab penderitaan manusia dan apa akibat perbuatanmereka di alam kemudian. Bagian di atasnya yang dapat dikatakansebagai badan, dihiasi dengan berbnagai aspek kehidupanBodhisattva yaitu Jâtaka dan Avadâna. Selanjutnya diikuti denganLalitavictara, yaitu ceritera tentang kehidupan Sang BuddhaGautama sendiri. Akhirnya Gandavyûha dan Bhadracarî yangmengajarkan cara mencapai Kebuddhaan.

Hiasan relief ini kemudian juga dilengkapi dengan patung.Patung-patung itu diletakkan dalam relung yang ditempatkan diatas pagar langkan, sehingga menghadap ke empat penjuru mataangin. Akcobhya menghadap ke Timur, Amitâbha ke Barat,RatnasaCbhava ke Selatan dan Amoghasiddi ke Utara. Di relungpaling atas di atas pagar langkan lantai ke lima, ditempatkan arcaVairocana yang menghadap ke empat penjuru mata angin.Akhirnya di tiga teras oval di dalam stupa berongga Vjrasattva.

Page 10: LOCAL GENIUS - ejournal.perpusnas.go.id

138

Noerhadi Magetsari

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Ditinjau dari sudut Agama Buda, maka rangkaianMahâkarmavibhangga sampai Bhadracari dapat digolongkan kedalam aliran Mahayana. Selanjutnya, arca-arca Tathâgata ituditempatkan sesuai dengan mandala sebagaimana yang diuraikandalam Guhyasamâja tantra. Atas dasar ini maka arca-arca Tathâgataini dapat digolongkan ke dalam aliran Tantra. Dengan demikianmaka Candi Borobudur mengintegrasikan aliran Buda Mahâyânadengan Tantrayâna dalam sebuah bangunan. Pengintegrasiansemacam ini tidak ditemukan di tempat lain.

Bahwa pengintegrasian Mahâyâna dengan Tantrayâna ituhanya dikembangkan di Indonesia, direkam secara tertulis dalamKitab Sang Hyang Kamahâyanikan. Dalam kitab ini diuraikanbahwa Mahâyâna merupakan persiapan untuk melaksanakanTantrayâna. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa aliran filsafatYogacâra diterapkan sebagai jembatan antara keduanya.

V

Dari uraian singkat di atas, menjadi jelas kiranya bahwa apabilahasil penelitian yang lampau dikaji kembali dengan sudut pandangIndonesia, maka apa yang menjadi kekhasan atau mungkin jugakelebihan kebudayaan “lokal” akan dapat diungkapkan. Demikianjuga keunggulan pendeta/ ilmuwan kita, akan dapat ditampilkan.

Atas dasar itu, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuandan terutama dalam mengisi kemerdekaan yang telah kita rebut,maka sudah sepantasnyalah apabila kita merubah pola pikir, secaraepistemologis dari kolonial ke pasca-kolonial. Secara metodologismerubah paradigma dari pengungkapan proses pengaruhkebudayaan asing (India), sebagaimana yang diutarakan dalam BukuSejarah Nasional II halaman 20 – 27 misalnya, menjadipengungkapan kebudayaan sendiri.

Jakarta, 31 Mei 2010.

Page 11: LOCAL GENIUS - ejournal.perpusnas.go.id

139

Local Genius

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Kepustakaan

Casparis, J.G. deInscripties uit de Çailendra-tiid. Prasasti Indonesia I.Bandung: 1950. Disertasi.

Chattopadhyaya, A.Atisa and Tibet. Calcutta, 1967

Coedes, G.The Indianized States of Southeast Asia. Honolulu, 1968.

Fontein, J.The Pilgrimage of Sudhâna.The Hague: 1967.

Erp, Th. vanBeschrijving van Barabudur II, Bouwkundige Beschrijn-g.‘s-Gravenhage, 1931.

Iwamo-to, Y.“The Sâi-lendra Dynasty and Chandi Borobudur”, yangdiajukannya dalam International Symposium on ChandiBorobudur di Kyoto pada tanggal 25-27 September 1980, dalamBorobudur.Tokyo, 1980.

Krom, N.J.Barabudur. Archaeological Description.The Hague, 1927.

Magetsari, Noerhadi“Local Genius dalam kehidupan beragama”, dalam Ayatrohaedi(ed.), Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta, 1986:56-65.

Perret, DanielKolonialisme dan Etnisitas. Batak dan Melayu di SumatraTimur Laut.Jakarta, 2010.

Poerbatjaraka, R.M.Riwayat Indonesia I. Jakarta, 1952.

Sartono Kartodirdjo, Marwati Poesponegoro, NugrohoNotosusanto (eds.)

Sejarah Nasional Indonesia I dan II. Jakarta, 1975.

Page 12: LOCAL GENIUS - ejournal.perpusnas.go.id

140

Noerhadi Magetsari

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Stutterheim, W.F.“Chandi Barabudur, Name, Form, and Meaning” (1929),diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh F.D.K. Bosch,dalam Studies in Indonesian Archaeology.The Hague, 1956.

Roerich, G.N.The Blue Annals. Calcutta, 1949, vol. I.

Wolters, O.W.Early Indonesian Commerce.New York, 1967.