LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

28
LO 1. Jelaskan anatomi dan fisiologi respirasi 2. Bagaimana mekanisme batuk mengeluarkan dahak 3. Bagaimana mekanisme pilek 4. Bagaimana mekanisme demam 5. Bagaimana mekanisme sesak nafas Proses mekanisme terjadinya sesak nafas 1. Mengidentifikasikan proses terjadinya sesak nafas 2. Menjelaskan alur perjalanan syaraf dan otot timbul sesak nafas 3. Menjelaskan faktor – faktor yang mempengaruhi proses terjadinya sesak nafas baik faktor endogen maupun eksogen PENGERTIAN SESAK NAFAS Suatu istilah yang menggambarkan suatu persepsi subjektif ( keluhan yang dirasakan pasien ) mengenai ketidak nyamanan bernapas terdiri dari berbagai sensasi yang berbeda intensitinya selama proses pernafasan Merupakan hasil interaksi berbagai faktor fisiologi, psikologi, sosial dan lingkungan dan dapat menginduksi respons fisiologi dan perilaku sekunder Comroe (1996) – “…bukan takipnea, bukan hiperkapnea dan bukan hiperventilasi tapi pernapasan yang sulit, sejenis pernapasan yang tidak menyenangkan maupun menyakitkan Istilah : Shortness of breath PEMAHAMAN UMUM Dispnea / breathlessness / sesak napas Tidak bisa menghirup cukup udara Udara tidak masuk sempurna Rasa penuh di dada Dada terasa berat, sempit Rasa tercekik Napas pendek Napas berat PATOFISIOLOGI SESAK NAFAS 1. Oksigenasi jaringan berkurang Penyakit yang menyebabkan kecepatan pengiriman oksigen ke jaringan berkurang seperti perdarahan 2. Kebutuhan oksigen meningkat Peningkatan kebutuhan oksigen secara tiba – tiba akan memerlukan oksigen yang lebih banyak untuk proses metabolisme 3. Kerja pernafasan meningkat Otot pernafasan dipaksa bekerja lebih kuat karena adanya penyempitan saluran pernafasan 4. Rangsangan pada sistem syaraf pusat Penyakit – penyakit yang menyerang sistem syaraf pusat 5. Penyakit neuromuskuler Penyakit yang menyerang diafragma Besarnya tenaga fisik yang dikeluarkan untuk menimbulkan sesak nafas tergantung kepada Usia Jenis kelamin Ketinggian tempat Jenis latihan fisik Emosi Gejala sesak nafas biasanya memiliki satu atau beberapa keadaan Penyakit kardiovaskuler Emboli paru Penyakit paru interstitial atau alveolare

description

asdasdasdasd

Transcript of LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

Page 1: LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

LO

1. Jelaskan anatomi dan fisiologi respirasi 2. Bagaimana mekanisme batuk mengeluarkan dahak3. Bagaimana mekanisme pilek4. Bagaimana mekanisme demam5. Bagaimana mekanisme sesak nafas

Proses mekanisme terjadinya  sesak nafas1. Mengidentifikasikan proses terjadinya sesak nafas

2. Menjelaskan alur perjalanan syaraf dan otot  timbul sesak nafas

3. Menjelaskan faktor – faktor yang mempengaruhi proses terjadinya sesak nafas  baik faktor endogen  maupun eksogen

PENGERTIAN SESAK NAFAS

Suatu istilah yang menggambarkan suatu persepsi subjektif  ( keluhan yang dirasakan pasien )  

mengenai ketidak nyamanan bernapas

terdiri dari berbagai sensasi yang berbeda intensitinya

selama proses pernafasan

Merupakan hasil interaksi berbagai faktor fisiologi, psikologi, sosial dan lingkungan dan dapat menginduksi respons   fisiologi dan perilaku sekunder   Comroe (1996) – “…bukan takipnea, bukan hiperkapnea dan bukan hiperventilasi tapi pernapasan yang sulit, sejenis pernapasan yang tidak menyenangkan maupun menyakitkan  “Istilah : “ Shortness of breath “

PEMAHAMAN  UMUM

Dispnea / breathlessness / sesak napas   Tidak bisa menghirup cukup udara

Udara tidak masuk sempurna

Rasa penuh di dada

Dada terasa berat, sempit

Rasa tercekik

Napas pendek

Napas berat

PATOFISIOLOGI  SESAK  NAFAS

1. Oksigenasi jaringan berkurang Penyakit yang menyebabkan kecepatan  pengiriman oksigen  ke jaringan berkurang seperti perdarahan

2. Kebutuhan oksigen meningkat  Peningkatan kebutuhan oksigen secara tiba –  tiba akan  memerlukan oksigen yang lebih banyak untuk proses   metabolisme

3. Kerja pernafasan meningkat Otot pernafasan dipaksa bekerja  lebih kuat karena adanya penyempitan saluran pernafasan

4. Rangsangan pada sistem syaraf pusat Penyakit – penyakit yang menyerang  sistem syaraf  pusat

5. Penyakit neuromuskuler Penyakit yang menyerang diafragma

Besarnya tenaga fisik  yang dikeluarkan untuk menimbulkan sesak nafas  tergantung kepadaUsia Jenis kelamin

Ketinggian tempat

Jenis latihan fisik

Emosi

Gejala sesak nafas  biasanya memiliki satu atau  beberapa keadaan Penyakit kardiovaskuler

Emboli paru

Penyakit paru interstitial atau alveolare

Gangguan dinding dada atau otot dada

Penyakit obstruksi paru

Kecemasan

Page 2: LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

PEMBAGIAN SESAK NAFAS

Dispnea akut  –  Sesak napas yang berlangsung kurang dari 1 bulan 

Dispnea kronik  – Sesak napas yang berlangsung lebih dari 1 bulan 

MEKANISME SESAK NAFAS

Sensasi dispnea berawal dari aktivasi sistem sensorik yang terlibat dalam sistem respirasi.  Informasi sensorik sampai pada pusat  pernapasan di otak dan memproses respiratory - related signals dan menghasilkan pengaruh kognitif, kontekstual dan perilaku sehingga terjadi sensasi dispnea  

Reseptor Pada Respirasi

Kemoreseptor Hiperkapnia

Hipoksia

 Mekanoreseptor  Saluran napas atas

 Reseptor di paru

 Reseptor di dinding dada

Afferent mismatch

6. Interpretasi TG 27. Penegakkan kriteria Dx, DD8. Terapi sebelum dan yang tepat

-medikamentosa-non medikamentosa9. Edukasi

DD: pneumonia

Bronkitis

Laringitis

ISPA

9. Efek obat10. Farmakoterapi 11. Edukasi orang tua12. Penegakan diagnosis banding (farmako dan non farmako)

Trigger 2:

1. Batuk adalah refleks fisiologis sebagai mekanisme pertahanan tubuh untuk mengeluarkan benda asing dari saluran pernafasan. Batuk bukanlah merupakan suatu penyakit, namun merupakan gejala adanya gangguan di saluran pernafasan. Namun bila batuk itu berlebihan, maka batuk akan sangat mengganggu aktivitas. Refleks batuk dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab, diantaranya yaitu :

2. Adanya infeksi bakteri atau virus, misalnya tuberkulosa, influenza3. Adanya factor alergi, seperti debu, hawa dingin, asap rokok.4. Asma5. Peradangan pada jaringan paru dan tumor.6. Efek samping obat, seperti obat anti hipertensi captopril.7. Adanya rangsangan kimiawi (gas, bau).

Mekanisme BatukMekanisme terjadinya batuk dibagi menjadi 3 fase yaitu :

1. Fase Inspirasi

Pada fase ini paru-paru memasukkan udara kurang lebih 2,5 liter, oesofagus dan pita suara menutup sehingga udara terjerat dalam paru-paru.

2. Fase Kompresi

Page 3: LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

Pada fase ini otot perut berkontraksi sehingga diafragma akan naik dan menekan paru-paru, intercosta internus juga ikut berkontraksi sehingga menyebabkan peningkatan tekanan pada paru-paru sampe 100mm/hg.

3. Fase Ekspirasi

Pada fase ini oesofagus dan pita suara terbuka secara spontan dan udara meledak keluar dari paru-paru. Udara yang keluar akan menggetarkan jaringan saluran nafas sehingga menimbulkan suara batuk. Saat udara keluar dari paru-paru dengan kecepatan yang relative tinggi, udara dapat melalui celah-celah bronkus dan trakhea. Hal ini dapat membantu saluran pernafasan untuk membersihkan atau mengeluarkan kotoran benda-benda asing.

Dari mekanisme terjadinya batuk di atas, dapat diketahui bahwa batuk bukanlah suatu penyakit, melainkan sebagai suatu reaksi fisiologis tubuh untuk membersihkan saluran pernafasan dari benda-benda asing.

 Jenis batukBatuk berdasarkan ProduktivitasnyaBerdasarkan produktivitasnya, batuk dapat dibedakan menjadi menjadi 2 jenis, yaitu batuk berdahak (batuk produktif) dan batuk kering (batuk non produktif).

1. Batuk berdahak (batuk produktif)

Batuk berdahak ditandai dengan adanya dahak pada tenggorokan. Batuk berdahak dapat terjadi karena adanya infeksi pada saluran nafas, seperti influenza, bronchitis, radang paru, dan sebagainya. Selain itu batuk berdahak terjadi karena saluran nafas peka terhadap paparan debu, polusi udara, asap rokok, lembab yang berlebihan dan sebagainya.

2. Batuk kering (batuk non produktif)

Batuk yang ditandai dengan tidak adanya sekresi dahak dalam saluran nafas, suaranya nyaring dan menyebabkan timbulnya rasa sakit pada tenggorokan. Batuk kering dapat disebabkan karena adanya infeksi virus pada saluran nafas, adanya faktor-faktor alergi (seperti debu, asap rokok dan perubahan suhu) dan efek samping dari obat (misalnya penggunaan obat antihipertensi kaptopril).

Batuk berdasarkan waktu berlangsungnyaBerdasarkan waktu berlangsungnya, batuk dapat dibedakan menjadi 3, yaitu batuk akut, batuk sub akut dan batuk kronis.

1. Batuk Akut

Batuk akut adalah batuk yang gejala terjadinya kurang dari 3 minggu. Penyebab batuk ini umumnya adalah iritasi, adanya penyempitan saluran nafas akut dan adanya infeksi virus atau bakteri.

2. Batuk Subakut

Batuk akut adalah batuk yang gejala terjadinya antara 3 – 8 minggu. Batuk ini biasanya disebabkan karena adanya infeksi akut saluran pernafasan oleh virus yang mengakibatkan adanya kerusakan epitel pada saluran nafas.

3. Batuk Kronis

Batuk kronis adalah batuk yang gejala batuk yang terjadi lebih dari 8 minggu. Batuk ini biasanya menjadi pertanda atau gejala adanya penyakit lain yang lebih berat seperti asma, tuberculosis, bronchitis dan sebagainya.

2. Mekanisme demam,batuk,pilekMekanisme demam

• Mikroorganisme masuk kedalam tubuh mengeluarkan pirogen eksogen, tubuh juga memiliki pirogen endogen yang dihasilkan dari makrofag seperti limfosit, basofil dan neutrofil. Tujuannya adalah untuk memfagosit dan melisis mikroorganisme dan toksin yang masuk kedalam tubuh• Saat fagositosis ada reaksi kimia yang terjadi, yang akan memicu messenger untuk mengaktifkan sel-sel lain pada system imun kita. Messenger yang bereaksi adalah Interleukin (IL), dan interferon. Yang paling banyak adalah IL-1.• IL-1 memicu hipotalamus untuk meningkatkan suhu dan memicu keluarnya fosfolipase yang akan mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat yang akan memicu keluarnya Prostaglandin (PG)• Efek keluarnya prostaglandin akan mempengaruhi kerja thermostat di hipotalamus. Hal ini akan menyebabkan kerja thermostat naik yang menyebabkan kenaikan suhu. Disinilah terjadinya demam.• Demam dimaksudkan agar microorganism atau virus tidak bias bereplikasi

Mekanisme batuk

• Saluran pernafasan terdiri atas laring, trakea, dan bronkus dimana terdapat jaringan epitel yang dilapisi mucus bersilia bersel goblet. Di jaringan epitel tersebut terdapat reseptor batuk yang peka terhadap rangsangan. • Saat benda asing masuk ke saluran pernafasan, akan menempel di mucus saluran pernafasan. Selanjutnya akan terjadi iritasi pada reseptor batuk, sehingga terjadi aktifasi pusat batuk. Fase ini disebut fase iritasi• Reseptor batuk dan medulla spinalis dihubungkan oleh serat aferen non myelin. Medula Spinalis akan memberikan perintah balik berupa kontraksi otot abductor, kontraksi pada kartilago di laring seperti kartilago aritenoidea yang akan menyebabkan kontraksi diafragma sehingga terjadi kontraksi dan relaksasi intercosta pada abdominal.• Hal ini akan menyebabkan glottis terbuka karena medulla spinalis juga merespon terjadinya inspirasi sehingga akan terjadi inspirasi yang cepat dan dalam. Fase ini disebut fase Inspirasi• Saat bernafas paru memiliki daya kembang paru yang akan menyebabkan glottis menutup selama 0,2 detikSaat glottis menutup tekanan intratorak naik sampai 300cmH20. Fase ini disebut fase kompresi

Mekanisme pilek• Alergen yang masuk tubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells (APC). • Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergen dipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-1) mengaktifkan sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasthma dan membentuk IgE.• IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk IgE. Sel eosinofil, makrofag dan trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah. • Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP.• Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah obstruksi oleh histamin.

• Histamin menyebabkan Vasodilatasi, penurunan tekanan kapiler & permeabilitas, sekresi mukus• Sekresi mukus yang berlebih itulah yang menghasilkan pilek

Page 4: LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

3. Sesak Napas dan Mekanismenya

Dispnea atau yang biasa dikenal dengan sesak napas adala Perasaan sulit bernapas dan biasanhya merupakan gejala utama dari penyakit kardiopulmonal. Orang yang mengalami sesak napas sering mengeluh napas nya terasa pendek dan dangkal. 

Gejala objektif sesak napas termasuk juga penggunaan otot otot pernpasan tambahan seperti sternocleidomastoidseus, scalenus, trapezius, dan pectoralis mayor, adanya pernapasan cuping hidung, tachypnea dan hiperventilasi. Tachypnea adalah frekuensi pernapasan yang cepat, yaitu lebih dari 20 kali permenit yang dapat muncul dengan atau tanpa dispnea. Hiperventilasi adalah ventilasi yang lebih besar daripada jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahan kan pengeluaran CO2 normal, hal ini dapat diidentifikasi kan dengan memantau tekanan parsial CO2 arteri, atau tegangan pa CO2 yaitu lebih rendah dari angka normal yaitu 40mmHg.

Sumber penyebab dispnea termasuk :

1. Reseptor reseptor mekanik pada otot otot pernapasan, paru, dinding dada dalam teoti tegangan panjang, elemen elemen sensoris, gelendong otot pada khususnya berperan penting dalam membandingkan tegangan otot dengan drjat elastisitas nya. Dispnea dapat terjadi jika tegangan yang ada tidak cukup besar untuk satu panjang otot.

2. Kemoreseptor untuk tegangan CO2 dan O2.

3. Peningkatan kerja pernapasan yang mengakibatkan sangat meningkat nya rasa sesak napas.

4. Ketidak seimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasi

Besarnya tenaga fisik yang dikeluarkan untuk menimbulkan dispnea bergantung pada beberapa hal berikut :

1. Usia

2. Jenis kelamin

Page 5: LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

3. Ketinggian tempat

4. Jenis latihan fisik

5. Dan terlibatnya emosi dalam melakukan kegiatan tersebut.

Dispnea nokturna paroksismal menyatakan timbulnya dispnea pada malam hari dan memerlukan posisi duduk dengan segera utnuk bernapas, atau dengan kata lain terbangun dari tidur untuk melakukan usaha bernapas agar tidak terasa sesak.

Pasien denagn gejala dispnea biasanya memiliki satu dari beberapa keadaan seperti berikut yaitu :

Penyakit kardiovaskular

 Emboli paru

 Penyakit paru interstisial atau alveolar

 Gangguan dinding dada atau otot otot dada

 Penyakit obstruktif paru

 Kecemasan

Dispnea adalah gejala utama dari edema paru, gagal jantung kongestif dan penyakit katup jantung. Emboli paru ditandai oleh dispnea mendadak. Dispnea adalah gejala yang paling nyata pada penyakit yang menyerang percabangan trakeo bronchial, parenkim paru dan rongga pleura. 

Dispnea biasanya juga dikaitkan dengan penyakit restriktif yaitu terdapat peningkatan kerja pernapasan akibat meingkt nya resistensi elastic paru seperti padapneumonia, atelektasis kongestif atau dinding dada seperti obesitas dan kifoskoliosis. Atau penyakitjalan napas obstruktif dengan meningkat nya resistensi non elastic bronchial seperti emfisema bronchitis dan asma. Dispnea juga dapat terjadi jika otot pernapasan lemah seperti pada penyakit miastenia gravis, lumpuh, seperti pada polio mielitis. Letih akibat meningkat nya kerja pernapasan kurang mampu melakukan kerja mekanis seperti pada penderita emfisema yang berat dan obesitas.Mekanisme terjadinya sesak napas

Page 6: LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

Dispnea atau sesak napas bisa terjadi dari berbagai mekanisme seperti jika ruang fisiologi meningkat maka akan dapat menyebab kan gangguan pada pertukaran gas antara O2 dan CO2 sehingga menyebabkan kebutuhan ventilasi makin meningkat sehingga terjadi sesak napas. Pada orang normal ruang mati ini hanya berjumlah sedikit dan tidak terlalu penting, namun pada orang dalam keadaan patologis pada saluran pernapasn maka ruang mati akan meningkat.

Begitu juga jika terjadi peningkatan tahanan jalan napas maka pertukaran gas juga akan terganggu dan juga dapat menebab kan dispnea.

Dispnea juga dapat terjadi pada orang yang mengalami penurnan terhadap compliance paru, semakin rendah kemampuan terhadap compliance paru maka makinbesar gradien tekanan transmural yang harusdibentuk selama inspirasi untuk menghasilkan pengembangan paru yang normal. Penyebab menurunnya compliance paru bisa bermacam salah satu nya adalah digantinya jaringan paru dengan jaringan ikat fibrosa akibat inhalasi asbston atau iritan yang sama.

Kemoreseptor1

Perubahan pH, pCO2, dan pO2 darah arteri dapat dideteksi oleh kemoreseptor sentral dan perifer. Stimulasi reseptor ini mengakibatkan peningkatan aktivitas motorik respirasi. Aktivitas motorik respirasi ini dapat menyebabkan hiperkapnia dan hipoksia, sehingga memicu terjadinya dispnea. Menurut studi, terdapat pula peran serta kemoreseptor karotid yang langsung memberikan impuls ke korteks serebri, meskipun hal ini belum dibuktikan secara luas.Hiperkapnia akut yang terjadi pada seseorang sesungguhnya lebih dikaitkan terhadap ketidaknormalan keluaran saraf motorik dibanding aktivitas otot respiratorik. Hal ini disebabkan gejala umum hiperapnia akut berupa urgensi untuk bernapas yang sangat menonjol. Sensasi ini disebabkan oleh meningkatnya tekanan parsial karbondioksida pada pasien-pasien, khususnya yang mengalami quadriplegiamaupun yang mengalami paralisis otot pernapasan. Penderita sindrom hipoventilasi sentral kongenital yang mengalami desentisasi respons ventilatorik terhadap CO2tidak merasakan sensasi sesak napas ketika penderita tersebut henti napas atau diminta untuk menghirup kembali CO2 yang telah dihembuskan. Dengan kata lain,mekanisme yang turut serta dalam sensasi sesak napas ini adalah kenaikan pCO2dan penurunan pO2 dibawah normal. Ketika nilai pCO2 normal dan ventilasi normal, tekanan parsial oksigen harus diturunkan di bawah 6.7 kPa untuk bisa menghasilkan sensasi sesak napas.Hiperkapnia2

Kemoreseptor yang ada biasanya tidak merupakan penyebab langsung terjadinya dispnea. Namun, dispnea yang diinduksi oleh kemoreseptor biasanya merupakan penyebab dari stimulus lain, seperti hiperkapnia. Hiperkapnia dapat menginduksi terjadinya dispnea melalui peningkatan stimulus refleks ke aktivitas otot-otot respiratorik. Pada pasien-pasien yang diberikan agen blokade neuromuskular, ketika mereka diberikan ventilator dan tekanan tidal CO2 dinaikkan sebanyak 5 mmHg, seluruh subjek sontak merasakan sensasi sesak napas. Namun, pada pasien dengan penyakit-penyakit respiratorik umumnya, tetap tidak dijumpai kaitan antara hiperkapnia dan dispnea. Contohnya, pasien COPD yang biasanya mengakami hiperkapnia kronik tidak serta merta mengalami dispnea. Menurut studi, hal ini disebabkan karena peningkatan tekanan parsial karbondioksida tersebut dimodulasi dengan perubahan pH pada kemoreseptor sentral, sehingga sensasi yang dihasilkan berbeda pula.

Page 7: LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

Hipoksia2

Hipoksia berkaitan dengan kejadian dispnea baik secara langsung (indepenen, tidak harus ada perubahan ventilasi) maupun tidak langsung (perubahan kondisi hipoksia dengan terapi oksigen mampu membuat keadaan penderita sesak napas membaik). Namun, hubungan antara hipoksia dengan dispnea tidak absolut; beberapa pasien dengan dispnea tidak mengalami hipoksia, begitu pula sebaliknya.

Metaboreseptor1

Metaboreseptor berada pada otot rangka. Aktivitasnya biasanya diinduksi oleh produk akhir metabolisme. Metaboreseptor ini dapat merupakan sumber sinyal aferen yang berakibat pada persepsi sesak napas ketika berolahraga. Ketika seseorang berolahraga berat, jarang sekali ditemui kondisi hipoksemia maupun hiperkapnia, namun tendensi untuk mengalami gejala sesak napas cenderung tinggi. Lebih-lebih, perubahan pH darah tidak terlalu signifikan di awal-awal latihan. Sensasi dispnea tersebut disinyalir berasal dari metaboreseptor yang ada pada otot rangka. Namun, kondisi detailnya belum terlalu diketahui.

Reseptor Vagal1

Terdapat studi yang menyatakan bahwa adanya udara segar yang langsung dipajankan ke muka atau saluran napas atas dapat menurunkan gejala sesak napas. Beberapa reseptor dingin ini diinervasi oleh nervus vagus serta berfungsi memonitor perubahan aliran di saluran napas atas dengan mendeteksi perubahan temperaturnya. Ada setidaknya empat atau lima tipe-tipe reseptor pernapasan selain reseptor tersebut yang diinervasi nervus vagus. Reseptor-reseptor ini disinyalir mampu menimbulkan sensasi dispnea, meskipun mekanismenya sendiri masih kompleks. Reseptor-reseptor utaanya adalah Slowly Adapting Stretch Receptors(SARS), Rapidly Adapting Stretch Receptors (RARs), dan Reseptor Serat-C.SARSAR dapat ditemui di otot polos dari saluran napas besar. Reseptor ini berlanjut ke serat aferen bermyelin di vagus. Inhalasi karbondioksida, anestetik volatil, dan furosemid dinilai mampu mempengaruhi kerja reseptor ini. Stimulasi reseptor ini dapat menurunkan sensasi dispnea. Inhalasi karbondioksida menghambat aktivitas mereka dengan kerja langsung ke kanal K+ yang sensitif terhadap 4-aminopiridin. Sementara, anestetik tertentu dapat menginhibisi atau menstimulasi reseptor tergantung konsentrasi dan tipe reseptor SAR-nya. Lebih lanjut, furosemid bekerja secara tidak langsung terhadap reseptor sensorik di epitel saluran napas, dimana SAR mampu disensitisasi dengan inhalasinya.RARRAR dikenal sebagai terminal tak bermielin yang terhubung dengan serat aferen bermyelin nervus vagus (Aδ). Reseptor ini beradaptasi cepat untuk mempertahankan inflasi dan deflasi paru. RAR dapat diaktifkan oleh berbagai iritan seperti ammonia, uap eter, asap rokok, serta oleh mediator imunologik dan perubahan patologik saluran napas hingga paru. Pneumotoraks juga dapat menstimulasi RAR, sehingga RAR dianggap berkontribusi terhadap kejadian dispnea. Inhalasi furosemid mampu menurunkan aktivitas RAR, sehingga inhalasi bahan kimia ini mampu memperingan dispnea.

Reseptor Serat-C1

Dua kelompok reseptor serat-C memiliki hubungan langsung ke sirkulasi bronkial atau pulmonal. Reseptor ini dikenal dengan nama reseptor kapiler jukstapulmoner, atau reseptor J. Lokalisasi reseptor ini terletak dekat kapiler alveolar dan merespon peningkatan cairan interstisial diluar kapiler. Reseptor Serat-C Pulmoner berasal dari parenkim paru (injeksi obat ke arteri pulmoner dapat berpengaruh ke kerja reseptor ini), sementaraReseptor Serat-C Bronkial menginervasi mukosa saluran napas (injeksi obat ke arteri bronkial dapat berpengaruh ke reseptor ini). Reseptor pulmoner insensitif terhadap autakoid seperti bradikinin, histamin, serotonin, dan prostaglandin, sementara serat bronkial sensitif terhadap bahan kimia intrinsik

Page 8: LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

tersebut. Namun, kedua grup reseptor ini memiliki respon yang sama terhadap inhalasi anestetik volatil.Kongesti paru adalah stimulan yang kuat untuk reseptor ini, namun hal ini tidak memiliki efek yang kuat terhadap terjadinya sesak napas kecuali disertai aktivitas berat. Stimulan lainnya adalah capsaicin, namun efeknya hanya menyebabkan sensasi ringan di dada. Dengan kata lain, adanya induksi langsung ke reseptor ini tidak sontak menyebabkan gejala sesak napas, harus ada mekanisme penyerta lain atau aktivitas dari reseptor lain.Reseptor Dinding Dada1

Sinyal aferen dari mekanoreseptor di sendi, tendon, dan otot dada berlanjut ke otak dan dapat menyebabkan dispnea. Sebagai contoh, sinyal aferen dari otot interkostal (grup I, II, atau keduanya) memiliki jaras langsung ke korteks serebral.

Vibrasi dari dinding dada mengaktivasi muscle spindle. Aktivasi ini dapat menginduksi sensasi dispnea. Jaras yang berasal dari kelompok otot interkostalis dinilai penting dalam timbulnya sensasi dispnea ini. Aferen nervus frenikus juga terbukti mampu memodulasi aktivitas diafragma. Aktivitas ini mempengaruhi propriosepsi respiratorik dan memicu dispnea. 

Jaras Dispnea 1 Tidak terlalu banyak informasi yang diketahui mengenai jaras saraf dispnea, dan mekanismenya dinilai lebih kompleks dibanding nyeri. Namun, diketahui bahwa aktivitas aferen dari otot repiratorik dan reseptor vagal berlanjut ke batang otak, kemudian ke area talamus.

Dispnea dibuktikan mengaktivasi beberapa area di otak, seperti insula kanan anterior, vermis serebelum, amygdala, korteks singulum anterior, dan korteks singulum posterior. Area ini juga diaktifkan oleh sensasi nyeri dan stimulasi tidak menyenangkan lainnya (haus, mual).

 

Perintah Motorik dan Central Corollary Discharge1

Sensasi dispnea menunjukkan kesadaran seseorang untuk mengubah aktivitas motorik respirasinya. Ketika batang otak atau korteks motorik mengirim perintah eferen ke otot-otot ventilator, beberapa jaras juga disambungkan ke korteks sensorik. Hubungan ini yang disebut central corollary discharge. Akibatnya, kesadaran penuh untuk usaha ekstra bernapas timbul.

Page 9: LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

Gambar 1. Central Corollary Discharge 

Konsep   Afferent Mismatch 1,3 Disosiasi antara amplitudo output motorik dan input sensorik dari mekanoreseptor perifer dapat menyebabkan atau memperparah dispnea. Sebagai contoh, ketika kita merasakan sensasi sesak napas, seperti mekanismecentral corollary discharge sebelumnya, kita akan merespon dengan usaha sadar tambahan untuk menarik napas. Usaha tambahan ini justru mampu memperparah dispnea dengan menambah sensasi ketidaknyamanan bernapas, sementara otot-otot ventilator melemah akibat peningkatan beban mekanik.Lebih lanjut, Campbell dan Howell menyatakan bahwa ketidakseimbangan antara ketegangan otot respiratorik memicu dispnea. Ketidakseimbangan itu mampu dipicu oleh mekanisme neurofisiologik tertentu. Dalam keadaan normal, terdapat hubungan yang seimbang antara kekuatan otot respiratorik dengan volume udara yang masuk. Namun, akibat adanya dispnea, tidak terjadi balance atara aliran udara yang masuk dengan usaha yang diberikan oleh otot-otot dada. Namun, dispnea tidak semata-mata disebabkan oleh kelainan dari kerja otot dinding dada (dalam kasus hiperkapnia, sesoerang juga mampu mengalami sensasi dispnea dengan adanya tambahan agen blokade neuromuskular). Konsep dari Campbell dan Howell tadi akhirnya disempurnakan, sehingga dispnea dinilai merupakan akibat dari disosiasi sinyal motorik ke otot pernapasan dan informasi aferen yang didapatkan. Konsep ini dinamakan disosiasi neuromekanik. 

Dispnea Pada Penyakit Tertentu 2 Pada penyakit yang menyerang sistem pernapasan, patofisiologi dispnea tidak spesifik terhadap satu jalur saja. Ada banyak mekanisme yang dibutuhkan untuk bisa menimbulkan sensasi dispnea

Page 10: LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

pada penyakit-penyakit tersebut. Pengetahuan mengenai patofisiologi yang mendasari penyakit-penyakit (seperti asma, COPD) menjadi dasar hipotesis mekanisme dispnea pada penyakit ini.

Pada asma, beban otot inspirasi meningkat, sehingga usaha yang dibutuhkan untuk melawan resistensi aliran napas akibat bronkokonstriksi juga meningkat. Ketika terjadi hiperinflasi, otot inspirasi menjadi memendek. Kejadian ini mampu mengubah radius kurvatura diafragma, sehingga terjadi mechanical disadvantage. Akibatnya, dibutuhkan usaha tambahan untuk mencapai threshold agar terjadi inspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Pada asma, sensasi dispnea juga diperkirakan berasal dari stimulasi reseptor vagal.Pada pasien dengan kelainan neurologik seperti myastenia gravis, dibutuhkan usaha yang lebih besar untuk memberikan neural drive agar otot-otot respirasi yang melemah terstimulasi. Output neuromotor yang meningkat ini, melalui jalur central corollary discharge, dirasakan sebagai peningkatan efek respiratorik. Akibatnya, terjadi dispnea.Pada pasien COPD, reseptor pada saluran napas dan kemoreseptor berkontribusi terhadap patofisiologi dispnea. Hipoksia akut atau kronik atau hiperkapnia pada COPD juga menyebabkan dispnea tersebut. Selain itu, pada penderita penyakit dengan kelainan dinamika pernapasan, kompresi mekanik tersebut dapat dideteksi oleh serabut aferen vagus.

Pasien-pasien yang menerima treatment ventilasi mekanik biasanya sesak napas meskipun kerja otot pernapasannya berkurang. Penyebabnya bisa jadi merupakan peningkatan tekanan parsial karbondioksida yang tidak sesuai dengan kebutuhan tidal pasien.Pada kasus emboli paru, ketidakseimbangan mekanika respirasi atau pertukaran gas menjadi patofisiologi dasar sesak napas yang menjadi gejala. Pada laporan kasus, dispnea yang terjadi pada pasien emboli paru mampu diobati dengan lisis bekuan darah. Kemungkinan yang paling kuat, reseptor tekanan di pembuluh darah pulmoner atau atrium kanan serta serabut C di pembuluh paru memediasi sensasi tersebut.

Laringitis

Laringitis merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada daerah laring. Laringitis

merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi baik akut maupun kronik.1

Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih

3 minggu. Bila gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis kronis.2

Penyebab dari laringitis akut dan kronis dapat bermacam-macam bisa disebabkan karena

kelelahan yang berhubungan dengan pekerjaan maupun infeksi virus.2

Pita suara adalah suatu susunan yang terdiri dari tulang rawan, otot, dan membran mukos yang

membentuk pintu masuk dari trakea. Biasanya pita suara akan membuka dan menutup dengan

lancar, membentuk suara melalui pergerakan. Bila terjadi laringitis, makan pita suara akan

mengalami proses peradangan, pita suara tersebut akan membengkak, menyebabkan perubahan

suara. Akibatnya suara akan terdengar lebih serak.1

Berdasarkan hasil studi laringitis terutama menyerang pada usia 18-40 tahun untuk dewasa

sedangkan pada anak-anak umumnya terkena pada usia diatas 3 tahun.2

Page 11: LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

Etiologi

Hampir setiap orang dapat terkena laringitis baik akut maupun kronis. Laringitis biasanya berkaitan

dengan infeksi virus pada traktus respiratorius bagian atas. Akan tetapi inflamasi tesebut juga dapat

disebabkan oleh berbagai macam sebab diantaranya adalah 2.3

Tabel 1. Laringitis akut dan kronis

laringitis akut Laringitis kronis

1. Rhinovirus

2. Parainfluenza virus

3. Adenovirus

4. Virus mumps

5. Varisella zooster virus

6. Penggunaan asma inhaler

7. Penggunaan suara berlebih dalam

pekerjaan : Menyanyi, Berbicara dimuka umum

Mengajar

8. Alergi

9. Streptococcus grup A

10. Moraxella catarrhalis

11. Gastroesophageal refluks

1. Infeksi bakteri

2. Infeksi tuberkulosis

3. Sifilis

4. Leprae

5. Virus

6. Jamur

7. Actinomycosis

8. Penggunaan suara berlebih

9. Alergi

10. Faktor lingkungan seperti asap, debu

11. Penyakit sistemik : wegener

granulomatosis, amiloidosis

12. Alkohol

13. Gatroesophageal refluks

Anatomi Saluran PernafasanSaluran penghantar udara yang membawa udara ke dalam paru adalah hidung, faring, laring, trakea,

bronkus, bronkiolus. Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran

mukosa bersilia. Ketika masuk rongga hidung, udara disaring, dihangatkan, dan dilembabkan. Udara

lalu menuju ke faring dan laring.4

Laring terdiri dari rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot dan mengandung

pita suara. Ruangan berbentuk segitiga diantara pita suara (glotis) bermuara ke dalam trakea dan

membentuk bagian antara saluran pernafasan atas dan bawah. Glotis merupakan pemisah antara

saluran pernafasan bagian atas dan bawah. Meskipun laring terutama dianggap berhubungan

dengan fonasi, tetapi fungsinya sebagai organ pelindung tetap jauh lebih penting. 4

Pada waktu menelan, gerakan laring ke atas, penutupan glotis, dan fungsi seperti pintu dari epiglotis

yang berbentuk daun pada pintu masuk laring, berperan untuk mengarahkan makanan dan cairan

masuk ke dalam esofargus. Jika benda asing masih mampu masuk melalui glotis, fungsi batuk yang

Page 12: LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

dimiliki laring akan membantu menghalau benda dan sekret keluar dari saluran pernafasan bagian

bawah.4

Patogenesis

Bila jaringan cedera karena terinfeksi oleh kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi

rangkaian reaksi yang menyebabkan musnahnya agen yang membahayakan jaringan atau yang

mencegah agen ini menyebar lebih luas. Rekasi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang

cedera diperbaiki.5

Rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan cedera ini dinamakan radang.5

Laringitis akut merupakan proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring yang

berlangsung kurang dari 3 minggu. Bila etiologi dari laringitis akut disebabkan oleh adanya suatu

infeksi, maka sel darah putih akan bekerja membunuh mikroorganisme selama proses

penyembuhan. Pita suara kemudian akan menjadi tampak edema, dan proses vibrasi juga umumnya

ikut mengalami gangguan. Hal ini juga dapat memicu timbulnya suara yang parau disebabkan oleh

gangguan fonasi. Membran yang meliputi pita suara juga terlihat berwarna kemerahan dan

membengkak.2

laringitis kronis merupakan suatu proses inflamasi yang menunjukkan adanya peradangan

pada mukosa laring yang berlangsung lama. Pada laringitis kronis proses peradangan dapat tetap

terjadi meskipun faktor penyebabnya sudah tidak ada. Proses inflamasi akan menyebabkan

kerusakan pada epitel bersilia pada laring, terutama pada dinding belakang laring. Hal ini akan

menyebabkan gangguan dalam pengeluaran sekret dari traktus trakeobronkial. Bila hal ini terjadi,

sekret akan berada tetap pada dinding posterior laring dan sekitar pita suara menimbulkan reaksi

timbulnya batuk. Adanya sekret pada daerah pita suara dapat menimbulkan laringospasme.

Perubahan yang berarti juga dapat terjadi pada epitel dari pita suara berupa hiperkeratosis,

diskeratosis, parakeratosis dan akantosis.3

LARINGITIS AKUTPenyalahgunaan suara, inhalasi uap toksik, dan infeksi

menimbulkan laringitis akut. Infeksi biasanya tidak terbatas pada laring, namun merupakan suatu pan-infeksi yang melibatkan sinus, telinga,

Page 13: LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

laring dan tuba bronkus. Virus influenza, adenovirus dan streptokokus merupakan organisme penyebab yang tersering. Difteri harus selalu dicurigai pada laringitis, terutama bila ditemukan suatu membran atau tidak adanya riwayat imunisasi. Pemeriksaan dengan cermin biasannya memperlihatkan suatu eritema laring yang difus. Biakan tenggorokan sebaiknya diambil.6

LARINGITIS KRONISLaringitis kronis adalah inflamasi dari membran mukosa laring

yang berlokasi di saluran nafas atas, bila terjadi kurang dari 3 minggu dinamakan akut dan disebut kronis bila terjadi lebih dari 3 minggu 2.3

Beberapa pasien mungkin telah mengalami serangan laringitis akut berulang, terpapar debu atau

asap iritatif atau menggunakan suara tidak tepat dalam konteks neuromuskular. Merokok dapat

menyebabkan edema dan eritema laring.6

Laringitis Kronis Spesifik

Yang termasuk dalam laringitis kronis spesifik ialah laringitis tuberkulosis dan laringitis luetika 7

1. Laringitis tuberkulosis

Penyakit ini hampir selalu akibat tuberkulosis paru. Biasanya pasca pengobatan, tuberkulosis

paru sembun tetapi laringitis tuberkulosis menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa

laring yang melekat pada kartilago serta vaskularisasinya yang tidak sebaik paru sehingga

bila infeksi sudah mengenai kartilago maka tatalaksananya dapat berlangsung lama.

Secara klinis manifestasi laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium yaitu :

Stadium infiltrasi, mukosa laring posterior membengkak dan hiperemis, dapat mengenai

pita suara. Terbentuk tuberkel pada submukosa sehingga tampak bintik berwarna

kebiruan. Tuberkel membesar dan beberapa tuberkel berdekatan bersatu sehingga

mukosa diatasnya meregang sehingga suatu saat akan pecah dan terbentuk ulkus

Stadium ulserasi, ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus

diangkat, dasarnya ditutupi perkijuan dan dirasakan sangat nyeri.

Stadium perikondritis, ulkus makin dalam sehingga mengenai kartuilago laring terutama

kartilago aritenoid dan epiglotis sehingga terjadi kerusakan tulang rawan.

Stadium pembentukan tumor, terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita

suara dan subglotik.

2. Laringitis luetika

Radang menahun ini jarang dijumpai Dalam 4 stadium lues yang paling berhubungan dengan

laringitis kronis ialah lues stadium tersier dimana terjadi pembentukan gumma yang kadang

Page 14: LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

menyerupai keganasan laring. Apabila guma pecah akan timbul ulkus yang khas yaitu ulkus

sangat dalam, bertepi dengan dasar keras, merah tua dengan eksudat kekuningan. Ulkus ini

tidak nyeri tetapi menjalar cepat

Diagnosis

Diagnosis laringitis akut dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemerinksaan penunjang. Pada anamnesis biasanya didapatkan gejala demam,malaise, batuk, nyeri

telan, ngorok saat tidur, yang dapat berlangsung selama 3 minggu, dan dapat keadaan berat

didapatkan sesak nafas, dan anak dapat biru-biru. Pada pemeriksaan fisik, anak tampak sakit berat,

demam, terdapat stridor inspirasi, sianosis, sesak nafas yang ditandai dengan nafas cuping hidung

dan/atau retraksi dinding dada, frekuensi nafas dapat meningkat, dan adanya takikardi yang tidak

sesuai dengan peningkatan suhu badan merupakan tanda hipoksia1

Pemeriksaan dengan laringoskop direk atau indirek dapat membantu menegakkan diagnosis.

Dari pemeriksaan ini plika vokalis berwarna merah dan tampak edema terutama dibagian atas dan

bawah glotis. Pemeriksaan darah rutin tidak memberikan hasil yang khas, namun biasanya ditemui

leukositosis. pemeriksaan usapan sekret tenggorok dan kultur dapat dilakukan untuk mengetahui

kuman penyebab, namun pada anak seringkali tidak ditemukan kuman patogen penyebab1

Proses peradangan pada laring seringkali juga melibatkan seluruh saluran nafas baik hidung,

sinus, faring, trakea dan bronkus, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan foto.1

Pada laringitis kronis diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.3

Pada anamnesis dapat ditanyakan 3

1. Kapan pertama kali timbul serta faktor yang memicu dan mengurangi gejala

2. Kondisi kesehatan secara umum

3. Riwayat pekerjaan, termasuk adanya kontak dengan bahan yang dapat memicu timbulnya

laringitis seperti debu, asap.

4. Penggunaan suara berlebih

5. Penggunaan obat-obatan seperti diuretik, antihipertensi, antihistamin yang dapat

menimbulkan kekeringan pada mukosa dan lesi pada mukosa.

6. Riwayat merokok

7. Riwayat makan

8. Suara parau atau disfonia

Page 15: LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

9. Batuk kronis terutama pada malam hari

10. Stridor karena adanya laringospasme bila sekret terdapat disekitar pita suara

11. Disfagia dan otalgia

Pada gambaran makroskopi nampak permukaan selaput lendir kering dan berbenjol-benol sedangkan pada mikroskopik terdapat epitel permukaan menebaldan opaque, serbukan sel radang menahun pada lapisan submukosa. 5

Pemeriksaan laboratorium dilakukan pemeriksaan darah, kultur sputum, hapusan mukosa laring, serologik marker.3

Pada laringitis kronis juga dapat dilakukan foto radiologi untuk melihat apabila terdepat pembengkakan. CT scanning dan MRI juga dapat digunakan dan memberikan hasil yang lebih baik. 3

Pemeriksaan lain yang dapat digunakan berupa uji tes alergi.3

Penatalaksanaan

Terapi pada laringitis akut berupa mengistirahatkan pita suara, antibiotik, mnambah kelembaban, dan menekan batuk. Obat-obatan dengan efek samping yang menyebabkan kekeringan harus dihindari. Penyayi dan para profesional yang mengandalkan suara perlu dinasehati agar membiarkan proses radang mereda sebelum melanjutkan karier mereka. Usaha bernyayi selama proses radang berlangsung dapat mengakibatkan perdarahan pada laring dan perkembangan nodul korda vokalis selanjutnya.6

Terapi pada laringitis kronis terdiri dari menghilangkan penyebab, koreksi gangguan yang dapat diatasi, dan latihan kembali kebiasaan menggunakan vocal dengan terapi bicara. Antibiotik dan terapi singkat steroid dapat mengurangi proses radang untuk sementara waktu, namun tidak bermanfaat untuk rehabilitasi jangka panjang. Eliminasi obat-obat dengan efek samping juga dapat membantu.6

Pada pasien dengan gastroenteriris refluks dapat diberikan reseptor H2 antagonis, pompa proton inhibitor. Juga diberikan hidrasi, meningkatkan kelembaban, menghindari polutan. 3.6

Terapi pembedahan bila terdapat sekuester dan trakeostomi bila terjadi sumbatan laring.3

Laringitis kronis yang berlangsung lebih dari beberapa minggu dan tidak berhubungan dengan penyakit sistemik, sebagian besar berhubungan dengan pemajanan rekuren dari iritan. Asap rokok merupakan iritan inhalasi yang paling sering memicu laringitis kronis tetapi laringitis juga dapat terjadi akibat menghisap kanabis atau inhalasi asap lainnya. Pada kasus ini, pasien sebaiknya dijauhkan dari faktor pemicunya seperti dengan menghentikan kebiasaan merokok.3

Prognosis

Laringitis akut umunya bersifat self limited. bila terapi dilakukan dengan baik maka prognosisnya

sangat baik. Pada laringitis kronis prognosis bergantung kepada penyebab dari laringitis kronis

tersebut. 2.3

Page 16: LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

KESIMPULANInfeksi pada laring dapat dibagi menjadi laringitis akut dan laringitis kronis, infeksi maupun

non infeksi, inflamasi lokal maupun sistemik yang melibatkan laring. Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang dari 3 minggu dan biasanya muncul dengan gejala yang lebih dominan seperti gangguan pernafasan dan demam. Laringitis kronis biasanya terjadi bertahap dan telah bermanifestasi beberapa minggu sebelum pasien datang ke dokter dengan keluhan gangguan pernafasan dan nyeri.

Manifestasi klinis laringitis sangat tergantung pada beberapa faktor seperti kausanya, besarnya edema jaringan, regio laring yang terlibat secara primer dan usia pasien. Pasien biasanya datang dengan keluhan satu gejala atau lebih seperti rasa tidak nyaman pada tenggorok, batuk, perubahan kualitas suara atau disfonia, odinofonia, disfagia, odinofagia, batuk, dispneu atau stridor. Manifestasi laringitis kronis terutama pada laringitis kronis iritasi yang paling berat adalah terjadinya ulserasi epitelium laring dengan granulasi.

Diagnosis laringitis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan diberikan sesuai dengan etiologi yang mendasari..Laringitis kronis terbanyak disebabkan oleh iritasi misalnya asap rokok, sehingga pasien disarankan beristirahat total dengan menghentikan kebiasaan merokok dan demikian pula pada laringitis kronis akibat penyalahgunaan suara, pasien disarankan beristirahat. Pada pasien non perokok, kemungkinan besar laringitis kronis dipicu oleh iritasi ”silent” dari asam lambung, sehingga perlu diberikan anti-refluks dari penyekat H2hingga penyekat pompa proton, disertai modifikasi gaya hidup.

Laringitis akut umunya bersifat self limited. bila terapi dilakukan dengan baik maka prognosisnya sangat baik. Pada laringitis kronis prognosis bergantung kepada penyebab dari laringitis kronis tersebut

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN 2005 BAB I Pendahuluan Laringitis akut merupakan penyakit yang umum pada anak-anak, mempunyai onset yang cepat dan biasanya sembuh sendiri. Bila laringitis berlangsung lebih dari 3 minggu maka disebut laringitis kronik. Laringitis didefinisikan sebagai proses inflamasi yang melibatkan laring dan dapat disebabkan oleh berbagai proses baik infeksi maupun non-infeksi. Laringitis sering juga disebut juga dengan ‘croup’. Dalam proses peradangannya laringitis sering melibatkan saluran pernafasan dibawahnya yaitu trakea dan bronkus. Bila peradangan melibatkan laring dan trakea maka diagnosis spesifiknya disebut laringotrakeitis, dan bila peradangan sampai ke bronkus maka diagnosis spesifiknya disebut laringotrakeobronkitis.1,2,3,4 BAB II Epidemiologi Dari penelitian di Seattle – Amerika (Foy dkk, 1973), didapatkan angka serangan croup pada bayi usia 0-5 bulan didapatkan 5.2 dari 1000 anak per tahun, pada bayi usia 6-12 bulan didapatkan 11 dari 1000 anak per tahun, pada anak usia 1 tahun didapatkan 14.9 dari 1000 anak per tahun, pada anak usia 2-3 tahun didapatkan 7.5 dari 1000 anak per tahun, dan pada anak usia 4-5 tahun didapatkan 3.1 dari 1000 anak per tahun. Dari penelitian di Chapel Hill – NC (Danny dkk, 1983) didapatkan data-data perbandingannya yaitu 24.3, 39.7, 47, 31.2, dan 14.5, dan dari data-data tersebut didapatkan 1.26% membutuhkan perawatan di rumahsakit. Di Tuscon – AZ didapatkan angka serangan croup selama tahun pertama kehidupan 107 kasus dari 961 anak. Laringitis atau croup mempunyai puncak insidensi pada usia 1-2 tahun. Sebelum usia 6 tahun

Page 17: LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

laki-laki lebih mudah terserang dibandingkan perempuan, dengan perbandingan laki-laki/perempuan 1.43:1 (Denny dkk, 1993). Banyak dari kasus-kasus croup timbul pada musim gugur dimana kasus akibat virus parainfluenza lebih banyak timbul. Pada literatur lain disebutkan croup banyak timbul pada musim dingin, tetapi dapat timbul sepanjang tahun. Kurang lebih 15% dari para penderita mempunyai riwayat croup pada keluarganya.2,5,6 Anatomi Laring Untuk mengerti patogenesis penyakit laringitis maka kita sebelumnya harus mengetahui anatomi dari laring. Laring terdiri dari 4 kartilago besar yaitu thyroid, krikoid, arytenoid, dan epiglotis, dihubungkan dengan otot, ligamen, dan membran fibroelastis dan membran mukus. Anatomi dari laring pada bayi berbeda dari orang dewasa, dan perbedaan tersebut membuat bayi lebih rentan pada infeksi saluran nafas atas. Laring pada neonatus terletak tinggi pada leher. Epiglotisnya lebih sempit, berbentuk omega, dan posisinya vertikal. Submukosa dari area subglotis merupakan daerah tersempit dari laring, tidak berserabut, menyebabkan ikatan yang lebih longgar dari membran mukus dibanding orang dewasa, memudahkan terjadinya akumulasi dari edema. Sebagai tambahan, kartilago yang menyokong saluran udara dari bayi bersifat lunak, sehingga dapat menyebabkan saluran nafas collapse selama inspirasi. Saluran nafas dari neonatus berukuran 5-6 mm di diameter pada titik tersempitnya, yaitu cincin krikoid, sehingga bayi berada pada resiko tinggi terhadap gagal nafas.5 Gambar 2.1. anatomi saluran nafas.5 Etiologi Etiologi dari laringitis akut yaitu penggunaan suara berlebihan, gastro esophago reflux disease (GERD), polusi lingkungan, terpapar dengan bahan berbahaya, atau bahan infeksius yang membawa kepada infeksi saluran nafas atas. Bahan infeksius tersebut lebih sering virus tetapi dapat juga bakterial. Jarang ditemukan radang dari laring disebabkan oleh kondisi autoimun seperti rematoid artritis, polikondritis berulang, granulomatosis Wagener, atau sarkoidosis. Virus yang sering menyebabkan laringitis akut antara lain virus parainfluenza tipe 1 sampai 3 (75% dari kasus), virus influenza tipe A dan B, ‘respiratory syncytial virus’ (RSV). Virus yang jarang menyebabkan laringitis akut antara lain adenovirus, rhinovirus, coxsackievirus, coronavirus, enterovirus, virus herpes simplex, reovirus, virus morbili (measles), virus mumps.1,2,3,4,5,6 gambar 2.2. Virus Parainfluenza.7 gambar 2.3. Virus Influenza.7 gambar 2.4. Adenovirus.7 gambar 2.5. Measles Virus atau Paramyxovirus.7 Bakteri walaupun jarang tetapi dapat juga menyebabkan laringitis akut, antara lain Haemophilus influenzae type B, Staphylococcus aureus, Corynebacterium diphtheriae, Streptococcus group A, Moraxella chatarralis, Escherichia coli, Klebsiella sp., Pseudomonas sp., Chlamydia trachomatis, Mycoplasma pneumoniae, Bordatella pertussis, dan sangat jarang Coccidioides dan Cryptococcus. C. diphtheriae harus dicurigai sebagai kuman penyebab terutama bila anak belum diimmunisasi, karena C. diphtheriae dapat meyebabkan membranous obstructive laryngitis.1,2,3,4,5,6 gambar 2.6. Haemophilus influenza.7 gambar 2.7. Staphylococcus aureus.7 gambar 2.8. Streptococcus pneumoniae.7 gambar 2.9. Corynebacterium diphtheriae.7 Selain virus dan bakteri laringitis juga dapat disebabkan juga oleh jamur, antara lain Candida albicans, Aspergilus sp., Histoplasmosis dan Blastomyces. Histoplasma dan Blastomyces dapat menyebabkan laringitis sebagai komplikasi dari infeksi sistemik.3,5 gambar 2.10. Candida albicans.7 Patofisiologi Laringitis akut merupakan inflamasi dari mukosa laring dan pita suara yang berlangsung kurang dari 3 minggu. Parainfluenza virus, yang merupakan penyebab terbanyak dari laringitis, masuk melalui inhalasi dan menginfeksi sel dari epitelium saluran nafas lokal yang bersilia, ditandai dengan edema dari lamina propria, submukosa, dan adventitia, diikuti dengan infitrasi selular dengan histosit, limfosit, sel plasma dan lekosit polimorfonuklear (PMN). Terjadi pembengkakan dan kemerahan dari saluran nafas yang terlibat, kebanyakan ditemukan pada dinding lateral dari trakea dibawah pita suara. Karena trakea subglotis dikelilingi oleh kartilago krikoid, maka pembengkakan terjadi pada lumen saluran nafas dalam, menjadikannya sempit,

Page 18: LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

bahkan sampai hanya sebuah celah. Daerah glotis dan subglotis pada bayi normalnya sempit, dan pengecilan sedikit saja dari diameternya akan berakibat peningkatan hambatan saluran nafas yang besar dan penurunan aliran udara. Seiring dengan membesarnya diameter saluran nafas sesuai dengan pertumbuhan maka akibat dari penyempitan saluran nafas akan berkurang. Sumbatan aliran udara pada saluran nafas atas akan berakibat terjadinya stridor dan kesulitan bernafas yang akan menuju pada hipoksia ketika sumbatan yang terjadi berat. Hipoksia dengan sumbatan yang ringan menandakan keterlibatan saluran nafas bawah dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi akibat sumbatan dari saluran nafas bawah atau infeksi parenkim paru atau bahkan adanya cairan.1,4,5 Gejala Klinis dan Diagnosis Laringitis ditandai dengan suara yang serak, yang disertai dengan puncak suara (vocal pitch) yang berkurang atau tidak ada suara (aphonia), batuk menggonggong, dan stridor inspirasi. Dapat terjadi juga demam sampai 39-40, walaupun pada beberapa anak dapat tidak terjadi. Gejala tersebut ditandai khas dengan perburukan pada malam hari, dan sering berulang dengan intensitas yang menurun untuk beberapa hari dan sembuh sepenuhnya dalam seminggu. Gelisah dan menangis sangat memperburuk gejala-gejalanya. Anak mungkin memilih untuk duduk atau dipegangi tegak. Pada anak yang lebih dewasa penyakitnya tidak begitu parah. Pada anggota keluarga lainnya mungkin didapatkan penyakit saluran pernafasan yang ringan. Kebanyakan pasien hanya bergejala stridor dan sesak nafas ringan sebelum mulai sembuh. Gejala tersebut sering disertai dengan gejala-gejala seperti pilek, hidung tersumbat, batuk dan sakit menelan. Pada kebanyakan pasien gejala tersebut timbul 1 sampai 3 hari sebelum gejala sumbatan jalan nafas terjadi.3,4,5,6 Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan suara yang serak, coryza, faring yang meradang dan frekuensi pernafasan dan denyut jantung yang meningkat, disertai pernafasan cuping hidung, retraksi suprasternal, infrasternal dan intercostal serta stridor yang terus menerus, dan anak bisa sampai megap-megap (air hunger). Bila terjadi sumbatan total jalan nafas maka akan didapatkan hipoksia dan saturasi oksigen yang rendah. Bila hipoksia terjadi, anak akan menjadi gelisah dan tidak dapat beristirahat, atau dapat menjadi penurunan kesadaran atau sianosis. Dan kegelisahan dan tangisan dari anak dapat memperburuk stridor akibat dari penekanan dinamik dari saluran nafas yang tersumbat. Dari penelitian didapatkan bahwa frekuensi pernafasan merupakan petunjuk yang paling baik untuk keadaan hipoksemia. Pada auskultasi suara pernafasan dapat normal tanpa suara tambahan kecuali perambatan dari stridor. Kadang-kadang dapat ditemukan mengi yang menandakan penyempitan yang parah, bronkitis, atau kemungkinan asma yang sudah ada sebelumnya.2,4,6 Dengan laringoskopi sering didapatkan kemerahan pada laring yang difus bersama dengan pelebaran pembuluh darah dari pita suara. Pada literatur lain disebutkan gambaran laringoskopi yang pucat, disertai edema yang berair dari jaringan subglotik. Kadang dapat ditemukan juga bercak-bercak dari sekresi. Dari pergerakan pita suara dapat ditemukan asimetris dan tidak periodik. Sebetulnya pemeriksaan rontagen leher tidak berperan dalam penentuan diagnosis, tetapi dapat ditemukan gambaran staplle sign (penyempitan dari supraglotis) pada foto AP dan penyempitan subglotis pada foto lateral, walaupun kadang gambaran tersebut tidak didapatkan. Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan, kecuali didapatkan eksudat maka dapat dilakukan pemeriksaan gram dan kultur dengan tes sensitivitas. Tetapi kultur virus positif pada kebanyakan pasien. Dari darah didapatkan lekositosis ringan dan limfositosis.1,2,3,4,5,6 gambar 2.11. gambaran laringoskopi dari laringitis akut.1,8,9 gambar 2.12. gambaran rontagen laringitis akut, gambaran steeple sign, dibandingkan dengan gambaran rontagen normal.5 Terapi pasien dengan laringitis harus ditangani dengan tenang dan dengan sikap yang menentramkan hati, karena emosi atau marah akan memperburuk keadaan distress pernafasan anak. Kebanyakan pasien mengalami hipoksemia, sehingga oksigenisasi harus dilakukan dan diberikan oksigen yang dilembabkan.

Page 19: LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

Oksigenisasi dapat dinilai pertama-tama dengan cara oximetry pulse noninvasif untuk meminimalkan ketidaknyamanan dan memaksimalkan ketenangan pasien. Bila distres pernafasan parah dan tidak responsif terhadap perawatan pertama makan harus diukur tekanan gas darah arteri untuk menilai hiperkapnia dan asidosis respiratori. Tetapi harus diingat bahwa PaCO2 normal dapat tidak menggambarkan keparahan penyakit karena sumbatan dapat terjadi tiba-tiba. Bila terjadi hiperkapnea maka kebanyakan pasien membutuhkan jalan nafas buatan.5 Pemberian makan pada pasien harus mempertimbangkan keparahan pernyakitnya. Pada pasien yang keadaannya gawat maka tidak boleh diberikan makan dan harus diberikan cairan intravena untuk mempertahankan rehidrasi.5 Nebulisasi epinefrin rasemic sementara dapat memperbaiki distres pernafasan, dengan efek dalam ½ jam dari pemberian aerosol dan hilang efeknya setelah 2 jam. Namun tidak ada bukti bahwa penggunaan epinefrin rasemic merubah dasar penyakit dari laringiti, tetapi penggunaannya telah memperkecil perlunya saluran nafas buatan. Epinefrin rasemic dapat diberikan sering, sampai setiap setengah jam bila diperlukan untuk melegakan distres pernafasan. Epinefrin resemic diberikan dalam dosis 0.25 ml dari larutan 2.25% untuk setiap 5 kg Berat badan, sampai dosis maksimum 1.5 ml. Epinefrin rasemic ini harus diberikan dengan nebulisasi dalam oksigen, karena dapat menyebabkan perburukan sementara dari ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi dalam paru-paru. Irama jantung dan nadi harus dimobitor dan obat harus dihentikan bila terjadi aritmia. Bila tidak terdapat epinefrin rasemic maka dapat digunakan epinefrin saja dengan dosis 5 ml larutan 1:1000 ternyata manjur setara 0,5 efinefrin rasemic 2.25% yang dilarutkan dengan 4.5 ml normal saline dalam memperbaiki distres pernafasan pada laringitis. Efeknya juga hilang dalam 2 jam seperti resemic epinefrin.4,5,6 Pengguanaan kortikosteroid dalam terapi laringitis menimbulkan kontroversi. Pada awalnya penelitian yang menilai kemanjuran steroid menggunakan metodologi yang salah dan menggunakan dosis yang kecil. Lalu bukti-bukti mucul bahwa dosis steroid setara dengan 100 mg kortisol atau 0,3 mg/kg dexametason dapat jadi efektif mengurangi keparahan laringitis dalam 12 dan 24 jam. Penelitian lebih lanjut menemukan bahwa kemanjuran dari penggunaan dosis tunggal parenteral 0.6 mg/kg deksametason dalam mengurangi gejala dan mempercepat kesembuhan, juga mengurangi kebutuhan perawatan intensif dan intubasi endotrakeal. Pada pasien yang memerlukan intubasi, penggunaan prednisolon 2 mg/kg.hari telah menunjukan mempercepat extubasi. Dalam sebuah penelitian pada 120 pasien dengan laringitis yang sedang, penggunaan dexamethasone secara oral dengan dosis 0.15, 0.3 dan 0.6 mg/kg sama efektifnya untuk menghilangkan gejala dan kebutuhan nebulisasi epinefrin. Malah, pertimbangan untuk menggunakan dexamethasone pada pasien dengan laringitis yang parah sekarang direkomendasikan oleh ‘Committee of Infectious Disease of the American Academy of Paediatrics’, ‘The Infectious Diseases and Immunization Comittee of the Canadian Paediatric Society’, dan ‘the Respiratory Committee of the Paediatric Societ of New Zealand. Penelitian terakhir lebih difokuskan kepada pengguanaan steroid nebulisasi. Budesonide nebulisasi dengan dosis 2 mg telah menunjukkan kemanjuran dalam memperbaiki stridor, batuk, dan berbagai kegawatan 2 jam setelah pengobatan. Onset yang cepat ini menunjukkan efek steroid pada permeabilitas vaskular dibandingkan dengan efek anti inflamasi saja. Konsep ini didukung oleh penelitian lebih baru yang menunjukkan nebulisasi 2 mg budesonide sama efektifnya dengan nebulisasi 4 mg epinefrin dalam melegakan gejala. Lebih lanjut, nebulisasi 2 mg bunesonide secara statistik sama manjurnya dengan 0.6 mg/kg dexamethasone per oral dalam mengurangi gejala, mengurangi kebutuhan nebulisasi epinefrin dan mengurangi lama perawatan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada anak yang laringitis harus menerima minimal 0.15 sampai 0.6 mg/kg deksametason dosis tunggal secara peroral, intramuscular, maupun intravena. Dan bukti sekarang menunjukkan perlunya nebulisasi bunesonide,

Page 20: LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

dengan dosis 2 mg terutama pada keadaan darurat. Masih tidak diketahui apakah pemberian kortikosteroid berulang aman dan menguntungkan. Efek samping yang dapat terjadi pada pemakaian kortikosteroid jangka lama antara lain candidiasis.4,5,6 Penggunaan helium-oksigen telah berhasil meningkatkan aliran udara pada pasien dengan obstruksi saluran nafas atas. Kepadatan helium yang rendah mengurangi hambatan aliran udara yang turbulen.5,6 Selain pengobatan kadang pasien memerlukan juga intubasi endotrakeal. Intubasi harus dilakukan dengan perhatian penuh, sehingga meminimalkan cedera dan inflamasi saluran nafas. Tube endotrkea harus ½ sampai 1 ukuran lebih kecil dari ukuran seharusnya berdasarkan usia pasien (atau seukuran dengan jari kelingking pasien) dan tube dipotong untuk memperpendek panjangnya dan mengurangi resistensi aliran udara. Setelah diintubasi pasien jarang memerlukan bantuan ventilator mekanik. Pasien harus diberi oksigen lembab selama diintubasi. Penghisapan harus diminimalkan untuk mengurangi cedera saluran nafas. Anak dengan laringitis memerlukan perawatan di rumah sakit untuk 24 jam sampai seminggu atau lebih, dan kriteria pemulangan pasien harus terjadi perbaikan distres pernafasan dan tidak diperlukan terapi spesifik dalam 24 jam.5 Pemberian antibiotik tidak disarankan kecuali hasil kultur menunjukkan adanya streptococcus, dimana penicillin adalah obat pilihannya.3 BAB III Kesimpulan Laringitis akut merupakan proses peradangan atau inflamasi yang terjadi pada laring dan dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab. Penyebab tersering dari laringitis akut ini adalah virus parainfluenza. Gejala yang terjadi pada laringitis akut ini adalah batuk yang menggonggong, suara serak, stridor inspirasi dan sesak nafas, dapat juga disertai dengan demam. Gejala biasanya lebih berat pada malam hari. Bisa didahului oleh pilek, hidung tersumbat, batuk dan sakit menelan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suara serak, coryza, faring yang meradang dan frekuensi pernafasan dan denyut jantung yang meningkat, disertai pernafasan cuping hidung, retraksi suprasternal, infrasternal dan intercostal serta stridor terus menerus, megap-megap (air hunger), hipoksia, saturarsi oksigen yang rendah, dan sianosis. Dari pemeriksaan penunjang bisa didapatkan pada laringoskopi ditemukan kemerahan pada laring yang difus bersama dengan pelebaran pembuluh darah dari pita suara, kadang bercak-bercak dari sekresi, pergerakan pita suara dapat ditemukan asimetris dan tidak periodik. Dari pemeriksaan rontagen leher dapat ditemukan gambaran staplle sign pada foto AP dan penyempitan subglotis pada foto lateral. Dapat dilakukan pemeriksaan gram dan kultur dengan tes sensitivitas. Dari darah didapatkan lekositosis ringan dan limfositosis. Pada pasien dengan keadaan gawat tidak boleh diberikan makan dan harus diberikan cairan intravena untuk mempertahankan rehidrasi. Nebulisasi epinefrin rasemic dapat memperbaiki distres pernafasan, tetapi bila tidak terdapat epinefrin rasemic maka dapat digunakan epinefrin saja. Anak yang menderita laringitis harus menerima minimal 0.15 sampai 0.6 mg/kg deksametason dosis tunggal secara peroral, intramuscular, maupun intravena. Dan bukti sekarang menunjukkan perlunya nebulisasi bunesonide, dengan dosis 2 mg terutama pada keadaan darurat. Selain pengobatan kadang pasien memerlukan juga intubasi endotrakeal. Pasien harus diberi oksigen lembab selama diintubasi. Anak dengan laringitis memerlukan perawatan di rumah sakit. Pemberian antibiotik tidak disarankan kecuali hasil kultur menunjukkan adanya streptococcus. DAFTAR PUSTAKA 1. http://www.emedicine.com/ent/topic353.htm 2. Herry Garna, Heda Melinda D. Nataprawira. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Indonesia: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. 2005. h 388-392. 3. Kasper, Dennis L. Harrison’s Principles of Internal Medicine, Edisi 16. USA: McGraw Hill. 2005. h 192. 4. Landau, Louis I. Pediatric Respiratory Diseases. USA: Mosby. 1999. h 539-541. 5. Grad, Roni. Acute infections producing upper airway obstruction. Dalam: Kendig’s disorder of the respiratory tract in children. Edisi 6. USA: W.B. Saunders. 1998. h 447-460 6. Rosevelt, Genie E. Acute Inflammatory Upper Airway Obstruction. Dalam: Nelson

Page 21: LO tutorial blok 15 neuromuskuloskeletal

Textbook of Pediatrics. Edisi 17. USA: W.B. Saunders. 2004. h 1405-1408. 7. http://www.visualsunlimited.com

Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu