LLaporan Utamaaporan Utama -...

40

Transcript of LLaporan Utamaaporan Utama -...

Page 1: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan
Page 2: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

Laporan UtamaLaporan Utama

22 MITRA HUKUM

Lembaga Kajian Islam dan Per-damaian (LAKIP) melakukan survey terhadap guru agama dan siswa SMU di wilayah Jabodetabek. Survei terse-but melibatkan 590 dari total 2.639 guru PAI dan 93 siswa beragama Islam dari jumlah 611.678 murid sekolah menengah di Jabodetabek. Hasilnya, 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan ke-beratan jika umat nonmuslim mem-bangun tempat ibadah di lingkungan tempat tinggal mereka. Selain itu, 57,2 persen guru dan 45,2 persen siswa ti-dak setuju jika umat nonmuslim men-jadi kepala sekolah. Hasil survei juga menunjukkan tingkat dukungan ter-hadap aksi kekerasan cukup tinggi. Begitu juga tingkat kesediaan mereka terlibat dalam aksi kekerasan terkait isu agama. Direktur Eksekutif LaKIP yang juga Guru Besar Universitas Is-lam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Bambang Pranowo, menya-takan, hasil penelitian yang dilakukan di 59 sekolah swasta dan 41 sekolah negeri itu merupakan sinyal bahaya

bagi kehidupan berbangsa dalam bing-kai pluralitas.

Hasil survey LAKIP yang di-luncurkan bertepatan dengan peris-tiwa bom buku dan bom bunuh diri di Cirebon, dimana tersangka berasal dari lingkungan pendidikan tinggi serta mencuatnya NII KW 9 yang menjadikan kampus sebagai sasa-ran rekruitment anggotanya, sontak menjadikannya pembicaraan hangat. Baik yang meragukan, membenarkan ataupun yang menolak hasil survey tersebut. Namun, sesungguhnya hasil survey tersebut tidak berbeda jauh dari penelitian-penelitian serupa.

Sebelumnya, Th e Wahid Institute melaporkan bahwa selama tahun 2010 telah terjadi 63 kasus atau rata-rata 5 kasus perbulan untuk pelanggaran hak kebebasan beragama/keyakinan di In-donesia. Bentuk pelanggaran berupa Pembiaran (22%), Pelarangan kegiatan ibadah dan ekspresi keyakinan (8%), Pelarangan/Pembatasan rumah iba-dah (19%) dan Pelarangan/Pemaksaan Keyakinan (40%). Sedangkan untuk

PENDIDIKAN AGAMADAN TOLERANSI BERAGAMA

“Intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan” berarti setiap pembedaan, pengabaian, larangan atau pengutamaan yang didasarkan pada agama atau kepercayaan dan yang tujuannya atau akibatnya meniadakan atau

mengurangi pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan mendasar atas dasar yang setara

(Pasal 2 Deklarasi Internasional tahun 1981 tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan diskriminasi berdasarkan Agama atau Keyakinan)

Page 3: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

33

Laporan UtamaLaporan Utama

MITRA HUKUM

kasus-kasus tindakan intoleransi yang terjadi pada tahun 2010 ini berjum-lah 133 kasus. Bentuk intoleransi dan diskriminasi yaitu diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan (10%), Pembatasan ibadah dan kebebasan berekpresi (6%), Ancaman kekerasan dan intimidasi (9%), Pemaksaan dan pembatasan keyakinan (26%), Pe-nyerangan fi sik dan property (21%), Pembatasan rumah ibadah (15 %) dan Penyebaran Kebencian (13%). Pelaku intoleransi dan diskriminasi dominan dilakukan oleh masyarakat sipil (or-mas) dengan 116 pelaku (83%). Dan sisanya 17% dilakukan oleh aparat pemerintah.

Kondisi serupa ditemukan pula oleh SETARA Institute yang men-catat bahwa pada tahun 2010 terjadi 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang men-gandung 286 bentuk tindakan, yang menyebar di 20 propinsi. Dari 286 bentuk pelanggaran kebebasan be-ragama berkeyakinan, terdapat 103 tindakan negara yang melibatkan para penyelenggara negara sebagai ak-tor, dan terdapat 183 tindakan yang dilakukan oleh warga negara. Setara mengindentifi kasikan pelaku tindakan pelanggaran pada kategori ini adalah individu warga negara maupun indi-vidu-individu yang tergabung dalam organisasi masyarakat. Kelompok yang paling banyak melakukan pelanggaran berturut-turut: Masyarakat (70 tin-dakan), MUI (22 tindakan), Front Pembela Islam-FPI (17 tindakan), Fo-rum Umat Islam-FUI (11 tindakan), Gerakan Reformis Islam-GARIS (10 tindakan), Gerakan Anti Ahamadi-yah-GERAM (5 tindakan), individu

(5 tindakan), dan sisanya berbagai or-ganisasi dengan jumlah keterlibatan di bawah 5 tindakan.

Penelitian LaKIP, Wahid Institute maupun Setara hanya gambaran dari wajah masyarakat secara keseluruhan yang sedang mengalami kecenderun-gan makin radikal. Dan apakah pen-didikan agama yang diberikan sejak tingkat dasar sampai perguruan tinggi memberikan sumbangan terhadap tin-dakan intoleran dan radikal ?

PENDIDIKAN AGAMA DAN TOLERANSI

Arif Saiful Huda, salah seorang guru SMA Islam terpadu Al-Misykat, dalam sebuah diskusi di Jombang, mengungkapkan toleransi merupakan bagian dari nilai-nilai yang tergan-tung dalam akhlak dan agama. Dalam agama,akhlak seseorang ditempatkan pada posisi yang utama. Namun, Arif mengakui praktek-praktek pengajaran yang tidak mendukung terbentuknya sikap toleransi antar sesama bagi siswa masih terjadi di sekolah. Menurut Arif, pendidikan agama yang di ajar-kan di sekolah lebih banyak bersifat doktrin sehingga tidak ada kesempa-tan bagi siswa untuk berdiskusi secara mendalam. “Di sekolah, materi agama yang diajarkan hanya bersifat norma-tive sehingga agama hanya dipahami dari sisi amaliahnya saja.” Kondisi ini sangat tidak mendukung berkembang-nya jiwa toleransi antar sesama pada siswa. “Seharusnya pelajaran agama di-kupas secara tuntas agar tidak menim-bulkan fanatisme madzhab,” lanjut dia. Hal senada disampaikan Aan Anshory, Presidium Jaringan Islam Anti Dis-kriminasi Jawa Timur, mengungkap-

Page 4: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

Laporan UtamaLaporan Utama

44 MITRA HUKUM

kan bahwa model pendidikan seka-rang ini cender-ung mengajarkan pada siswa untuk tidak siap meneri-ma perbedaan. Model pengaja-ran pada materi keagamaan kata Aan, lebih banyak bersifat normat-ife dan vertikalis. “Undang-undang sudah menetap-kan bahwa per-bedaan agama dan keyakinan tidak dilarang, tapi kenapa sekolah tidak bisa mengajarkan itu pada muridnya?” Sesalnya.

Brenda Watson dalam bukunya Education and Belief (1987) yang me-nyebut beberapa kesalahan pengaja-ran agama di sekolah. Pertama, sering terjadi bahwa guru mengubah proses pendidikan (education-process) men-jadi proses indoktrinasi (indoctrina-tion process). Murid bukannya diberi kebebasan untuk bertanya, mengkri-tisi, dan mempertanyakan doktrin agama, tetapi cenderung dipaksa un-tuk menerima doktrin agama sebagai sesuatu yang absolut dan tidak boleh dibantah. Kedua, sering terjadi kes-alahan dalam memberikan pelajaran agama yang lebih menekankan pada pelajaran yang bersifat normatif-informatif dan sedikit menekankan pada religious education. Ketiga, ini berkaitan dengan sesuatu yang cukup rumit untuk dielakkan, yaitu biasanya seorang guru susah untuk melepas-

kan ideologi atau komitmen agama yang dianutnya ketika mengajarkan pendidikan agama. Kesalahan ini di-perparah oleh kesalahan pendekatan berikutnya, yaitu biasanya orang tua murid pun memunyai peranan yang besar dalam membangun fanatisme keagamaan seorang anak didik. Orang tua biasanya khawatir kalau anaknya masuk ke sekolah yang memunyai ciri khas agama berbeda dengan kepercay-aan mereka. Menurutnya, kesalahan-kesalahan pendekatan di atas terjadi pada tradisi pengajaran agama-agama besar di dunia. Kesalahan pengajaran tersebut pada satu sisi menyebabkan pengajaran agama kehilangan peminat. Apalagi bagi siswa yang sudah terbiasa dengan tradisi kritis mempertanyakan segala bentuk informasi yang menurut akal mereka perlu dipertanyakan. Di sisi lain, pendekatan seperti itu akan menumbuhkan fanatisme keagamaan yang kental dan pada akhirnya nilai-nilai toleransi dan pluralisme yang di-emban oleh setiap agama kehilangan

Page 5: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

55

Laporan UtamaLaporan Utama

MITRA HUKUM

nilai signifi kansinya dalam memupuk persaudaraan sesama umat manusia.

Sedangkan Muhammad Munadi mengidentifi kasi bahwa pembelajaran agama didominasi nilai agama ber-dasar mitos dan ideology. Pembelaja-ran agama berdasarkan mitos, megaki-batkan agama dimanifestasikan dalam bentuk mengambil ayat-ayat kitab suci agama untuk mengusir syetan, dan pe-milihannya berdasar kebutuhan yang tidak sesuai dengan nilai spirit agama. lainnya. Dominasi lain berupa pembe-lajaran agama berdasar ideologi. Model ini lebih mengutamakan klaim-klaim yang belum terbukti dan belum dip-raktekkan di masyarakat yang meme-luk agama tertentu. Lebih diperparah lagi dalam prakteknya pembelajaran atau pendidikan agama maupun mor-al mengalami realitas obyektif yang buruk, menurut Komarudin Hidayat dikarenakan: (1) Pendidikan Agama lebih berorientasi pada belajar tentang Agama; (2) Tidak tertibnya penyu-sunan dan pemilihan materi-materi pendidikan agama, sehingga sering ditemukan hal-hal yang prinsipil yang seharusnya dipelajari lebih awal, malah terlewatkan; dan (3). Kurang-nya penjelasan yang luas dan men-dalam serta kurangnya penguasaan se-mantik dan generik atas istilah-istilah kunci dan pokok dalam ajaran agama sehingga sering ditemukan penjela-san yang sudah jauh dan berbeda dari makna, spirit dan konteksnya. Selain itu ada indikasi lain bahwa ada keta-kutan tokoh agama terhadap posisinya yang bisa bergeser seiring dengan pe-rubahan keilmuan umat.

Menurut Komarudin Hidayat, sekolah telah terhegemoni oleh pen-

guasa dan tokoh agama, dengan tafsir tunggal ideologi negara dan agama. Akibatnya mereka kurang memaha-mi pluralisme dalam masyarakatnya. Dalam hal ini Komarudin Hidayat memberikan pemikiran ideal yang menarik tentang pendidikan/pengaja-ran agama yang relatif adaptif dengan perkembangan dan realitas masyara-katnya yaitu dengan membebaskan diri dari dikte-dikte sejarah masa lalu, membaca dan memahami ayat-ayat suci beserta sebab-sebab turunnya, dan mengeluarkan makna etisnya. Untuk metode pengajarannya sendiiri Mu-hammad Munadi merekomendasikan model pendidikan yang toleran yaitu :

1. Model Aksi-Refl eksi-Aksi dalam pembelajaran yang lebih memen-tingkan pada siswanya. Model ini diterapkan oleh Paulo Freire yang lebih mementingkan pembelajaran hadap masalah (poblem possing) dengan paradigma kritis menggu-nakan dialog antara fasilitator dan pembelajar yang membawa per-cakapan yang bernilai pengalaman divergen, harapan, perspektif, dan nilai (value). Dialog yang digunak-

Page 6: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

Laporan UtamaLaporan Utama

66 MITRA HUKUM

an bukan bermakna sebatas teknis dan taktik, tetapi komunikasi kritis yang berarti merefl eksikan bersama (guru dan siswa) apa yang diketa-hui dan tidak diketahui kemudian bertindak kritis untuk mentrans-fomasi realitas. Pembelajaran ini bersifat membebaskan yang memi-liki prasyarat, diantaranya:

(i) Tidak ada pembagian kekua-saan, kedudukan guru dan siswa adalah seimbang dalam mencari ke-benaran ilmu pengetahuan (setara dalam srawung ilmiah). Keduanya merupakan mitra belajar sehingga harus saling menghormati;

(ii) Penggunaan sumber daya se-tempat (khususnya murid, sumber belajar, bahan ajar, dan lainnya yang terkait dengan pembelajaran). Sumber dari luar siswa hanya me-mainkan peran pendukung dan ti-dak lagi merupakan sumber domi-nan dan kontrol; (iii) Pembelajaran mengakar pada konteks setempat, model rancangan dan pelaksanaan model secara sederhana dan relevan berasal dari masukan siswa; dan (iv) Menekankan pada pembelaja-ran kualitatif dan berorientasi pada proses.

2. Model Ignasian. Model ini hampir mirip dengan yang pertama, lang-kah yang ditempuh meliputi: kon-teks, pengalaman (langsung mau-pun tidak langsung), refl eksi (daya ingat, pemahaman, daya imajinasi dan perasaan) untuk menangkap arti dan nilai hakiki dari apa yang dipelajari, aksi (tindakan ini meng-acu kepada pertumbuhan batin manusia berdsarkan pengalaman

yang telah direfl eksikan dan men-gacu juga kepada yang ditampil-kan), dan evaluasi Selain perbaikan pada materi, dan metode pengaja-ran.

Singkat kata, pemerintah perlu mendesain ulang kurikulum pendi-dikan agama menjadi pendidikan agama yang berbasis multikultural yang lebih menyentuh pada persoa-lan konkret, seperti eksklusivisme, in-toleransi, apatisme, dan diskriminasi rasial, sehingga fenomena kekerasan atas nama agama dapat dieliminasi. Dengan demikian, sektor pendidikan bisa memberikan kontribusinya untuk menjaga kebhinekaan di Indonesia. (Siti Aminah Tardi)

DAFTAR BACAANAchmad Fauzi, Revitalisasi Pen-

didikan Agama, Kompas, Selasa, 22 Februari 2011

Muhammad Munadi, Pendidikan Agama dan Toleransi, http://muham-madmunadi.blogspot.com/2010/03/pendidikan-agama-dan-toleransi.html

Pendidikan Agama Belum Ajar-kan Jiwa Toleransi, Written by Suara Warga, www.lakpesdamjombang.org

Setara Institute, Pelanggaran Ke-bebasan Beragama/Berkeyakinan Ta-hun 2010, Setara Institute, Jakarta, 2011

Th e Wahid Institute, Laporan Pelanggaran Kebebasan/Berkeyakinan 2010, Th e Wahid Institute, Jakarta, 2011

Page 7: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

77

Laporan UtamaLaporan Utama

MITRA HUKUM

DISKRIMINASI PENDIDIKAN AGAMA DI PERGURUAN TINGGI UMUM

“ Saya diuntungkan dalam pelajaran agama di Perguruan Tinggi,di ITB selama 3 tahun, kita bisa memilih mata kuliah pelajaran agama,

dan Agama Budha yang saya pilih.... Dua hal dari agama Budha yang saya ingat ketika Budha ditanya oleh muridnya, “

Apakah untuk mencapai nirwana harus melalui Budha ?” Dijawab oleh Budha,

“Oh, tidak. Ajaran saya adalah rakit untuk mencapai sungai.” (Bambang Harymurti, 18 April 2011)

Bambang Harymurti, Pimpinan Umum Tempo berbagi pengalaman-nya tentang pelajaran agama yang di-pilihnya saat menempuh pendidikan di ITB, dalam Pelatihan Advokasi Kebebasan Beragama, pada perten-gahan April lalu. Walau, pada awal-nya memilih pelajaran agama Budha didasarkan pada kebutu-han praktis,

namun ia tidak memungkiri pengeta-huannya tentang agama Budha secara tidak langsung menjadikannya sebagai muslim yang toleran terhadap setiap perbedaan.

Bambang sangat ber-untung dapat memilih pelajaran agama diluar agama yang dianutnya. Berbeda den-gan Badri, seorang mahasiswa antro-pologi FKIP Universitas Lambung Mangkurat. Ia harus memilih mata pelajaran agama yang tidak sesuai den-gan keyakinannya. Dalam daftar mata kuliah agama yang wajib diambil oleh setiap mahasiswa, tidak tercantum Ka-haringan, agama yang dianut Badri. Dia harus memilih salah satu agama dari enam agama yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu atau Budha sebagai mata pelajaran perkuliahannya.

Pengalaman Badri ternyata bu-

Page 8: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

Laporan UtamaLaporan Utama

88 MITRA HUKUM

kanlah pengalaman pertama ma-hasiswa Kaharingan yang kesulitan dalam mengambil mata kuliah agama ataupun mahasiswa penganut Sunda Wiwitan, Parmalin, kelompok peng-hayat dan berbagai agama adat lain-nya. Mereka ter(di)paksa memilih salah satu agama sebagai mata pelaja-ran yang diambil. Bagi yang menolak, kerapkali ia dikeluarkan. Namun, bagi yang mengikutinya tidak berarti mu-dah. Tidak jarang mereka harus men-gulangnya karena gagal pada bagian praktik, seperti sholat, wudhu dan membaca Alquran yang bukan men-jadi bagian dari ritual agamanya.

Merunut Politik Perbedaan terha-dap Agama Lokal/Penghayat Keper-cayaan

Praktik diskriminatif yang dialami penganut agama adat/kepercayaan be-rakar dari “perbedaan” yang lahir dari pengakuan negara atas agama dan per-lakuan berbeda kepada “agama” dan “kepercayaan” yang menjadi landasan kebijakan negara. Dan hal ini didasar-kan kepada UU No.1/PnPs/1965 ten-tang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama.

UU ini awalnya hanya berbentuk Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 Tahun 1965 yang dikeluarkan Soek-arno pada 27 Januari 1965. Penpres ini merupakan bagian dari gagasan Nasakom Presiden Soekarno untuk memobilisasi kekuatan-kekuatan na-sionalisme, agama dan komunisme demi meningkatkan kekuatan poli-tiknya. Sehingga konfi gurasi politik pada era demokrasi terpimpin yang otoriter, sentralistik dan terpusat di tangan Presiden Soekarno, menyebab-

kan produk-produk hukum pada masa tersebut juga bersifat otoriter dan sen-tralistik, tidak terkecuali UU Penodaan Agama. Selanjutnya UU ini pada masa orde baru digunakan secara efektif un-tuk mengontrol hak sipil dan politik warga negaranya untuk tujuan “tertib sosial”. Dan UU ini pada masa refor-masi dijadikan dasar untuk melaku-kan persekusi, kekerasan dan label-ing “sesat” dan “menyesatkan” oleh kelompok agama-agama mayoritas. UU ini merupakan paradigma dasar bagaimana “agama” dan “kepercayaan” dikelola, diatur, dan ditertibkan demi kepentingan rezim penguasa.

Permasalahan utama dalam UU Penodaan Agama, jika dilihat dari latarbelakang lahirnya UU ini adalah ”hampir di seluruh Indonesia tidak se-dikit timbul aliran-aliran atau organ-isasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan den-gan nilai-nilai agama. Situasi ini telah menimbulkan pelanggaran hukum, memecah persatuan nasional, meny-alahgunakan dan atau mempergunak-an agama, dan menodai agama. Dan perkembangan aliran dan organisasi kebatinan dianggap telah berkembang ke arah membahayakan agama-agama yang ada.” Tuduhan bahwa penghayat kepercayaan menimbulkan pelang-garan hukum, memecah persatuan nasional, menyalahgunakan dan atau mempergunakan agama, dan meno-dai agama adalah tuduhan yang tidak mendasar, terutama di era reformasi saat ini. Tuduhan tersebut tidak dapat dilepaskan dari konstelasi politik pada saat itu, yaitu terdapat lebih dari 360 kelompok kebatinan di seluruh Jawa. Kelompok-kelompok ini memainkan

Page 9: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

99

Laporan UtamaLaporan Utama

MITRA HUKUM

peran menentukan hingga pada pe-milu 1955, partai-partai Islam gagal meraih suara mayoritas.

Permasalahan lain, dalam penjela-san Pasal 1, terdapat pengertian men-genai “agama yang dianut di Indo-nesia” yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Keenam agama tersebut mendapat bantuan dan perlindun-gan. Sedangkan bagi agama-agama lain, misalnya : Yahudi, Zaratustrian, Shinto, dan Th aoism tidak dilarang di Indonesia. Agama-agama tersebut mendapat jaminan penuh oleh Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, dan agama-agama tersebut “dibiarkan adanya”, asal tidak mengganggu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam per-aturan ini atau peraturan perundan-gan lain. Penjelasan ini selanjutnya ditafsirkan bahwa 6 (enam) agama tersebut sebagai agama yang diakui dan mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan dan penodaan agama, mendapat fasilitas-fasilitas dari negara dan menjadi kerangka berpikir dalam penyelenggaraan negara. Disisi lain untuk agama-agama local, penganut kepercayaan/kebatinan dalam penjela-san UU dinyatakan “Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”.

Pengkategorian ini tidak terlepas dari defi nisi “agama” yang diajukan Depag yaitu harus memuat unsure-unsur (1) Kepercayaan terhadap Tu-han YME, (2) Memiliki Nabi, (3) Kitab Suci, (4) Umat, dan (5) Suatu system hokum bagi penganutnya. Pendefi nisian ini sendiri tidak terlepas

dari konstelasi politik pada masa itu, dimana Badan Kongres Kebatinan Seluruh Indonesia (BKKI) pada ta-hun 1957 mendesak Soekarno untuk mengakui secara formal kebatinan setara dengan agama. Akibat pendefi -nisian tersebut, maka kelompok ke-percayaan, kebatinan atau agama adat tidak tercakup didalamnya, sehingga mereka digolongkan sebagai “belum beragama”. Defi nisi ini diperkuat den-gan keluarnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.477/74054/1978, yang antara lain menyebutkan agama yang diakui oleh pemerintah adalah Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha.

Keberadaan aliran kebatinan/ke-percayaan/agama adat diakui semen-jak dicantumkan dalam GBHN 1978 yang diwadahi dalam ”Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Keberadaannya tidak merupakan agama, dan untuk pembinaannya di-lakukan: ”agar tidak mengarah kepada pembentukan agama baru dan untuk mengefektifkan pengambilan langkah yang perlu, agar pelaksanaan keper-cayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, benar-benar sesuai dengan dasar Ketuhanan yang Maha Esa menu-rut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. Hal sama masih terdapat dalam GBHN 1998 yang menyebut-kan :”Penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dibina dan diarahkan untuk mendukung terpe-liharanya suasana kerukunan hidup bermasyarakat. Melalui kerukunan hidup umat beragama dan penganut kepercayaan Tuhan YME terus di-mantapkan pemahaman bahwa keper-cayaan terhadap Tuhan YME adalah

Page 10: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

Laporan UtamaLaporan Utama

1010 MITRA HUKUM

bukan agama dan oleh karena itu pembinaannya dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru dan penganutnya diarahkan un-tuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh negara. Pembinaan pen-ganut kepercayaan terhadap Tuhan YME merupakan tanggungjawab pemerintah dan masayarakat.”

Akibatnya para penganut keper-cayaan, kebatinan atau agama lokal menjadi sasaran penyebaran ”agama-agama diakui” atau ”dikembalikan ke agama induknya”. Hal ini misal-kan menimpa Agama Tolotang yang dipaksa menjadi Hindu, sepertihal-nya Hindu di Bali. Agama Kaharin-gan digabungkan atau diintegrasikan ke dalam Agama Hindu. Akibatnya penganut kepercayaan, kebatinan dan agama adat untuk mendapatkan hak-hak dasarnya harus menundukkan diri ke dalam salah satu dari enam agama, termasuk dalam pendidikan agama.

Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum

Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi baru dimulai sejak tahun 1960 dengan adanya ketetapan MPRS No. II/ MPRS/1960 yang berarti pendidi-kan agama sebelum itu secara formal-nya baru diberikan di Sekolah Rakyat sampai dengan Sekolah Lanjutan Tingkat atas saja. Adapun dasar op-erasionalnya, pelaksanaan pendidikan Agama di Perguruan Tinggi tersebut ditetapkan dalam UU No. 22 Ta-hun 1961 tentang Perguruan Tinggi. Dalam BAB III Pasal Psal 9ayat 2 sub b, terdapat ketentuan sebagai beri-kut: ”Pada Perguruan Tinggi Negeri di berikan Pendidikan Agama sebagai

mata pelajaran dengan pengertian bahwa mahasiswa berhak tidak ikut serta apabila menyatakan keberatan”.

Setelah meletusnya G.30.S.PKI pada tahun 1965, kemudian diada-kan sidang umum MPRS pada ta-hun 1966, maka mulai saat itu status pendidikan agama di sekolah-sekolah berubah dan bertambah kuat. Den-gan adanya ketetapan MPRS XXVII/ MPRS/1966, Bab I pasal 1 berbu-nyi: “Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari SD sampai den-gan Universitas- Universitas Negeri.” Selanjutnya dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 diamanatkan dalam bab IX pasal 39, ”Isi kurikulum pada se-tiap jenis dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan agama”. Hal yang sama juga termaktub dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 bab V pasal 12 bagian 1 (a) yang menyebut-kan bahwa “Setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapat-kan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.

Dari uraian tersebut diatas, maka nampak bahwa pendidikan agama se-laras dengan paradigma politik perbe-daan antara agama dan kepercayaan sebagaimana dimaksud UU Penodaan Agama. Alhasil, pendidikan agama yang disediakan oleh lembaga-lem-baga pendidikan hanya terbatas pada enam agama, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama/berkepercayaan

Page 11: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

1111

Laporan UtamaLaporan Utama

MITRA HUKUM

dan hak atas pendidikan, yang di-jamin dalam konstitusi.

Hak Kosntitusional Penghayat Ke-percayaan

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 memberikan hak dan jaminan secara konstitusional, bah-kan memberikan kepada setiap orang kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, serta berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, ses-uai dengan hati nuraninya. Demiki-an halnya untuk pendidikan, UUD 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggara-kan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hak dan jaminan konstitusional itu dijamin pula dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No-mor 11 Tahun 2005 tentang Ratifi kasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan juga Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifi kasi Kov-enan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Sehingga hak atas kebebasan beragama/kepercayaan dan hak atas pendidikan merupakan hak konstitusional dan dengan demikian negara Republik Indonesia juga me-miliki tanggung jawab dan kewajiban konstitusional untuk menjamin ter-penuhinya.

Sedangkan untuk pengertian agama dan kepercayaan menurut Pas-

al 18 UU No.12 Tahun 2005, harus diartikan secara luas atau dengan kata lain agama tidak boleh diartikan se-cara sempit. Agama/kepercayaan tra-disional dan agama/kepercayaan yang baru didirikan termasuk ke dalam pengertian agama/kepercayaan. Pasal 18 ayata (1) UU No.12/2005 juga melindungi keyakinan orang untuk tidak bertuhan (atheistic), non-tuhan (non-theistic), atau bertuhan (theis-tic). Artinya, penghayat dan agama sama-sama dilindungi. Negara atapun pihak ketiga tidak boleh menyem-pitkan pengertian agama/penghayat. Di pihak lain, negara tidak mempu-nyai kewenangan untuk melakukan penyeragaman pengertian agama/penghayat. Klaim negara untuk yang memberikan batasan-batasan penger-tian agama dan kepercayaan adalah se-buah pelanggaran atas ketentuan pasal 18 ayat (1) UU No.12/2005.

Terkait dengan UU Penodaan Agama, walau Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materiil. Namun, dalam sejumlah pertimban-gannya MK menyatakan bahwa : “...masyarakat penganut kepercayaan adalah masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam me-nyakini kepercayaannya sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam Pasal 28 E ayat (2) UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami adalah ben-tuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi”. Sedan-gkan disenting opinion Hakim Ma-ria Farida Indarti menilai seharusnya permohonan uji materiil dikabulkan, karena terdapat terdapat perbedaan adressat dalam norma dan penjelasan UU Penodaan Agama. Menurutnya

Page 12: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

Laporan UtamaLaporan Utama

1212 MITRA HUKUM

UU Penodaan Agama, dalam penjela-sannya hanya ditujukan kepada or-ganisasi kepercayaan/penghayat, kare-nanya UU Penodaan Agama bersifat diskriminatif. Secara substansi, Hakim Maria menilai bahwa prasa “Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa “, merupak-an pelanggaran forum internum dari kebebasan beragama/berkeyakinan se-seorang yang tidak boleh diintervensi siapapun termasuk negara.

Dengan demikian pengertian “Setiap peserta didik pada satuan pen-didikan berhak mendapatkan pen-didikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”, adalah meli-puti agama-agama adat dan penghayat kepercayaan. Melalui proses advo-kasi, Badri kini bisa mengikuti mata kuliah agama Kaharingan. Namun, keberhasilan Badri masihlah bersifat lokal dan parsial, masih dibutuhkan perjalanan panjang untuk menjadikan para penganut agama adat/penghayat

menikmati hak-hak dasarnya. Hak ha-ruslah direbut ! (Siti Aminah)

DAFTAR BACAANFultoni dkk, Hak Atas Kebebasan

Beragama, Buku Saku Paralegal Seri -2,Th e Indonesian Legal Resource Center (ILRC) dan HiVOS, Jakarta, 2009

Hamlan Andi Baso Malla, Posisi Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi, makalah, tt

Margiyono dkk, Bukan Jalan Tengah : Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi Perihal Pengu-jian Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Indone-sian Legal Resource Center (ILRC) dan Freedom House, Jakarta, 2010

Noorhalis Majid, Mata KuliahKaharingan,Demos Indonesia 16 Desember 2009

Nurcholish Madjid, Masalah Pen-didikan Agama di Perguruan Tinggi Umum,makalah Seminar Depag, di IPB, Bogor, 12 Mei 1998

Undang- Un-dang Republik In-donesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang Dasar 1945

Page 13: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

1313

OpiniOpini

MITRA HUKUM

PengantarIndonesia adalah negara yang ber-

pijak diatas kaki keanekaragaman. Mu-lai dari keanakeragaman etnis, budaya, adat istiadat, hukum, agama yang di-integrasikan dalam semboyan negara, Bhineka Tunggal Ika, yang berarti ber-beda-beda tapi tetap satu. Kondisi so-siologis inilah yang mendasari pendiri negara mencetuskan landasan fi losofi s negara yang mengakomodasi keanek-aragaman tersebut dalam landasan fi -losofi s bernegara, yaitu pancasila yang berarti lima sila. Kelima sila tersebut adalah Ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Pancasila menjadi landasan berpijak bernegara di indonesia sekal-igus mengamanhkan cita luhur dalam bernegara.

Menurut Mahfud MD, negara pancasila adalah sebuah religious na-tion state yakni sebuah negara kebang-

saan yang religius yang melindungi dan memfasilitasi berkembangnya semua agama yang dipeluk oleh rak-yatnya tanpa membedakan besarnya jumlah pemeluk masing-masing. Hal inilah yang kemudian menjadikan pancasila sebagai Staats-Fundamental-norm, norma tertinggi yang menjiwai seluruh produk hukum dan kebijakan negara. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bah-wa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Nilai pancasila inilah yang mengajarkan sikap toleran dan menghargai pluralitas pada bangsa indonesia. Dalam pancasila sendiri pun telah dikonsepsikan bahwa in-donesia negara religius yang berdasar atas ketuhanan. Namun problemnya kemudian ketika negara tidak ‘ne-tral’ dalam menempatkan perannya terhadap keberagaman, termasuk ke-beragaman agama yang tidak hanya terdiri dari 6 agama legal, namun juga kepercayaan adat atau bahkan mereka

Menyoal Tanggung Jawab Negara dalam Menjamin Kebebasan Beragama BerkeyakinanOleh : Nurul Mahmudah

““Kita cari ruang bebas. Dimana warna yang beraneka adalah rahmat, dimana bentuk yang beragam adalah hidayah. Imana konfl ik menjadi pertanda kemajuan. Ke sanalah kita menengadah. Dimana pendapatnmu, pendapatnya dan pendapatkau, dimung-

kinkan bercanda dan bercumbu dalam saling penghormatan”(Ahmad Wahib- Tokoh Pemikir& Aktivis Pluralis)

Page 14: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

OpiniOpini

1414 MITRA HUKUM

yang atesi sekalipun. Sehingga dalam konsep negara yang demikian perlu ditelaah lebih lanjut korelasi antara ru-musan pancasila yang mencoba man-gakomodasi kondisi plural masyarakat indonesi yang diterjemahkan dalam kebijakan pemerintah.

Kondisi Keberagaman dan Pelang-garan Kebebasan Beragama Ber-keyakinan

Dalam perkembangannya, keber-agaman tak serta merta menawarkan kehidupan yang damai dan tenteram. Keberagaman juga memunculkan bibit-bibit pertikaian secara horison-tal maupun vertikal. Salah satu per-masalahan krusial yang dialami oleh bangsa indonesia adalah masalah keberagamaan-kepercayaan. Berbagai fenomena mulai dari tindakan ke-kerasan terhadap pemeluk agama atau kepercayaan minoritas, pemberlakuan peraturran perundang-undangan yang tidak menjamin kebebasan beragama dan diskriminatif, hingga tindakan pasif negara ketika terjadi konfl ik be-ragama, saat ini masih menjadi per-masalahan yang hangat.

Kondisi keberagaman dapat di-tunjukkan dalam data ststistik kepen-dudukan. Total penduduk Indonesia menurut Badan Pusat Statistik pada 2010 mencapai 234,2 juta atau naik dibanding jumlah penduduk 2000 yang mencapai 205,1 juta jiwa dan tahun 2005 yang mencapai 213, 3 juta jiwa. Jumlah pemeluk agama sampai tahun 2005 berdasarkan data statistik yang diterbitkan BPS tahun 2005 berjumlah 213.375.287 jiwa, dengan rincian: pemeluk agama Is-lam 189.014.015 (88,58%), pemeluk agama Kristen 12.356.404 (5,79%), pemeluk agama Katolik 6.558.541

(3,07%), pemeluk agama Hindu 3.697.971 (1,73%), pemeluk agama Budha 1.299.565 (0,61%), pemeluk agama Kong Hu Cu 205.757 (0,10%) dan lainnya 243.034 (0,11%).

Kelompok agama yang dilegitima-si oleh negara (Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu) sesuai yang terdapat dalam Undang-Undnag PNPS memang secara statsitik meru-pakan kelompok mayoritas. Berbeda dengan kelompok minoritas penganut agama-kepercayaan yang hanya terdiri dari 0,11% dari total penduduk In-donesia. Kelompok minoritas ini lah yang seringkali menjadi sasaran dari persekusi, tindakan intoleransi dan diskriminasi oleh negara dan masyara-kat.

Contoh kasus tindakan persekusi berupa penyerangan terhadap kelom-pok minoritas terjadi pada tanggal 6 Februari 2011. Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik diserang oleh 1500 massa tak dikenal yang mengakibatkan tiga orang tewas, empat orang luka berat dan dua orang luka ringan1. Tinda-kan kriminal juga terjadi di Temang-gung, jawa tengah pada tanggal 8 Feb-ruari 2011, dua hari berselang setelah peristiwa di Cikeusik, Banten. Massa yang berdemo di pengadilan neg-eri temanggung terkait dengan kasus penodaan agama dengan tersangka antonius tersebut merasa tidak puas atas putusan hakim yang memvonis 5 tahun penjara bagi terdakwa. Mer-eka kemudian meluapkan kekecewaan dengan merusak Gereja Katolik Santo Petrus dan Santo Paulus yang terletak 2 kilometer dari Pengadilan Negeri Temanggung; Gereja Pantekosta Di Indonesia yang berjarak 3 kilometer 1 Disarikan dari www.tempointeraktif.com. di-akses pada tanggal 12 Maret 2011

Page 15: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

1515

OpiniOpini

MITRA HUKUM

dari Pengadilan Negeri Temanggung; dan Sekolah Kristen Graha Shekinah yang berjarak sekitar 3 kilometer dari Pengadilan Negeri Temanggung.2

Kasus diskriminasi seringkali di-alami oleh kelompok penganut keper-cayaan seperti Penghayat yang tidak mendapatkan pengakuan dari negara dan berimbas pada tidak dipenuhinya pelayanan publik oleh negara. Satu ka-sus yang terjadi pada Asep Pujanegara, seorang penganut kepercayaan peng-hayat, agama adat di sunda. Ia tidak bisa mencatatkan perkawinanya di Kantor Catatan Sipil lantaran keper-cayaan yang dia anut tidak diakui dan dianggap tidak beragama.

Pada tataran lokal, muncul ke-bijakan-kebijakan diskriminatif yang melanggengkan pelanggaran kebe-basan beragama-berkeyakinan. Ter-bukti dengan munculnya perda-perda berbasis agama yang mengatur ke-hidupan beragama di daerah. Padahala dalam kerangka ketatanegaraan, per-soalan Agama merupakan kewenangan pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah. Perda-perda diskriminatif mu-lai dari perda pelarangan Ahmadiyah3, pengaturan berbusana bagi perem-

2 Disarikan dari www.wartanews.com, diakses pada tanggal 12 Maret 20113 SK pelarangan Ahmadiyah antara lain dikelu-arkan oleh Gubernur Jawa Timur, Soekarwo dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa terdapat 189 kebijakan bermuatan diskrimininatif, terdiri atas 54 kebijakan berimplikasi pada krimi-nalisasi perempuan, 25 berdampak pada kontrol terhadap tubuh perempuan, 10 berdampak pada pembatasan kebebasan beragama bagi komunitas Ahmadiyah, 96 berdampak pada pengaturan iba-dah/kehidupan keagamaan, dan empat berdam-pak terhadap pengaturan buruh migran. (Lapo-ran Pemantauan : Atas Nama Otonomi Daerah : Pelembagaan Diskriminasi dalam tatanan Negara-Bangsa Indonesia)

puan bahkan peraturan mengenai pelaksanaan ajaran agama tertentu di daerah menyebabkan adanya dis-kriminasi yang dialami oleh minori-tas agama setempat. Hal ini semakin memperkuat fakta bahwa negara tidak punya komitmen yang cukup kuat dalam menjamin kebebasan beragama berkeyakinan warga negaranya, teru-tama bagi mereka yang minoritas.

Terlebih pada tataran hukum na-sional, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No. 140/PUU-VII/2009, MK menyatakan bahwa UU Penodaan Agama, meski dibuat dalam situasi darurat pada 1965, masih dianggap relevan, tidak bertentangan dengan UUD 1945 terutama yang terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan beragama dan berkeya-kinan. Permohonan judicial review itu pun ditolak dengan alasan terse-but. Padahal dalam rumusan pasal 1 yang diujikan, memberikan rumusan yang ambigu dan multi tafsir menge-nai penodaan agama. Sehingga dalam prakteknya menimbulkan pelang-garan terhadap kebebasan beragama berkeyakinan warga negara itu sendiri atau bahkan dijadikan legitimasi begi seklompok orang untuk melakukan tindakan intoleransi ataupun dis-krminasi. UU Penodaan agama yang mutantis mutandis dengan pasal 156 KUHP pada prakteknya mengkrimi-nalisasikan golongan minoritas yang memilki kepercayaan berbeda atau tafsir berbeda terhadap 6 agama main-stream. Sebut saha kasus Lia Eden, Yusman Roy, Sumarudin dan lainnya yang dipenjara karena memiliki penaf-siran yang berbeda tentang agama.

Data dari setara institute men-catat sepanjang tahun 2007-2009 terdapat 291 tindakan pelanggaran

Page 16: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

OpiniOpini

1616 MITRA HUKUM

kebebasan beragama-berkeyakinan. Tindakan tersebut terdiri dari 139 tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh negara dan 152 Tindakan yang dilakukan oleh warga negara4. Adapun data dari Wahid Institute dalam Lapo-ran Kebebasan Ber-agama/Berkeyaki-nan tahun 2010 mencatat bahwa dari 135 kasus tindakan intoleransi dan diskriminasi yang terjadi selama 2010, 23 kasus (16%) pelakunya adalah neg-ara dalam hal ini pejabat pemerintah baik pusat maupun daerah. Sementara sisanya 118 kasus (84%) pelakunya adalah masyarakat. Dan apabila dito-tal pelanggaran dan intoleransi yang melibatkan negara sebagai pelaku menjadi 87 kasus, atau 7 kali setiap bulannya. Apabila pada tahun 2009 tindakan pelanggaran dan intoleransi yang melibatkan aparat pemerintah hanya 35 kasus, maka dengan jumlah 87 kasus pelanggaran dan intoleransi yang dilakukan negara pada tahun 2010 ini berarti meningkat lebih dari duakali lipat5.

Jaminan Hukum Kebebasan Ber-agama Berkeyakinan

Hak atas kebebasan beragama-berkeyakinan merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun (Non-Derogable Rights). Manfred Nowak dalam bukunya Pen-gantar pada rezim HAM internasional menjelaskan bahwa6

“Hak-hak khusus seperti larangan pe-nyiksaan dan perbudakan atau laran-

4 Lihat, Setara Institute, Negara Harus Bersi-kap, Tiga Tahun Laporan Kondisi Kebebasan Beragama Berkeyakinan di Indonesia, 2007-20095 Lihat, Wahid Institute, Laporan Kebebasan Be-ragama/Berkeyakinan dan Toleransi tahun 20106 Lihat halaman 62, Terjmhn. Nowak, Manfred, 2003, Pengantar pada Rezim HAM Internasional, Pustaka HAM Raoul Wallenberg Institute.

gan aturan-aturan pemberian hukum yang retroaktif, serta, sampai batas-batas tertentu, hak untuk hidup, ke-bebasan pribadi, kebebasan beragama dan memeluk kepercayaan, dianggap sebagai hak-hak yang tidak terpengaruh keadaan darurat yang tidak dapat di-batasi bahkan pada masa perang.”

Jaminan kebebasan beragama-berkeyakinan merupakan prasyarat pada masyarakat dan negara yang demokratis. Dalam negara demokra-tis harus ada pemenuhan kedaulatan rakyat, persamaan di depan hukum dan pemerintahan, perlindungan ter-hadap hak-hak individu termasuk hak beragama-berkeyakinan serta pengakuan atas keberagaman warga. Jaminan dan perlindungan juga meru-pakan salah satu ciri dari negara hu-kum atau rechstaat.

Secara konstitusional, pasal 28 E ayat 17, 28 I ayat 18 dan Pasal 29 ayat 29 Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan jaminan hukum terhadap pelaksanaan hak kebebasan beragama. Instrumen hukum nasional yang memberikan legitimasi hak atas kebebasan beragama-berkeyakinan adalah pasal 4 Undang-Undang no-

7 Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidi-kan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan menginggalkannya serta ber-hak kembali.8 Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak be-ragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun9 Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap pen-duduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan ke-percayaannya itu

Page 17: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

1717

OpiniOpini

MITRA HUKUM

mor 39 tahun 199910. Instrumen HAM internasional adalah pasal 18 DUHAM11 dan pasal 18 ICCPR12.

Selain itu, instrumen internasi-onal yang tidak kalah penting adalah Deklarasi Penghapusan Segala Ben-tuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan (Declaration on Th e Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimina-tion Based On Religion Or Belief) yang dicetuskan melalui resolusi Sidang Umum PBB No 36/55 pada 25 No-vember 1981. Deklarasi ini jauh lebih rinci mengatur jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan dibanding Kovenan Internasional tentang Hak-hak sipil dan Politik, hanya saja kare-na bentuknya deklarasi maka bersifat

10 Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi ma-nusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun11 Setiap orang berhak atas kebebasan piki-ran, hati nurani dan agama; dalam hal ini ter-masuk kebebasan berganti agama atau keyaki-nan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau keyakinan dengan cara mengajarkannya, mempraktikkannya,melaksanakan ibadahnya dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri12 1) Setiap orang berhak atas kebebasan berfi kir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun ber-sama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau ke-percayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran; 2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga menganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya ses-uai dengan pilihannya.

tidak mengikat (non binding) bagi negara pihak. Namun meskipun tidak mengikat secara hukum, deklarasi ini mencerminkan konsensus yang luas dari komunitas internasional. Karena itu, memiliki kekuatan moral dalam praktik hubungan internasional pada umumnya. Indonesia sebagai negara anggota PBB tidak bisa mengabaikan isi dari deklarasi ini dalam memenuhi hak asasi warga negara-nya.

Jaminan hukum tersebut secara substansi dapat dikatakan baik dan lengkap dalam menjamin kebebasan beragama berkeyakinan. Namun per-soalan implementasi hukum tak dapat terlepas dari aparatur dalam hal ini peran negara untuk secara konsekuen mengimplementasikan hukum, serta kultur masyarakat yang mempenga-ruhi implementasi hukum terssebut. Sehingga persoalan pelaksanaan hak kebebasan beragama dan berkeyaki-nan yang secara yuridis diatur oleh peraturan perundangan menemui per-soalan dititik tersebut.

Penutup Cita-Cita demokrasi akan ke-

setaraan politik dan toleransi begi ke-lompok minoritas direfl eksikan dalam hak kesetaraan di depan hukum dan perlindungan yang sama oleh hukum termasuk larangan menyeluruh ter-hadap diskriminasi dan perlindun-gan dari diskriminasi serta jenis-jenis perlindungan berbeda unntuk kelom-pok minoritas13. Dalam terminologi HAM, negara memiliki kewajiban ter-kait dengan pemenuhan HAM yaitu Kewajiban untuk menghormati, ke-

13 Lihat Nowak, Manfred, Pengantar pada Rezim HAM Internasional, 2003 Pustaka HAM Raoul Wallenberg Institute Of Human Rights and Humanitarian Law. Hlamn 48.

Page 18: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

OpiniOpini

1818 MITRA HUKUM

wajiban untuk memenuhi dan kewa-jiban untuk melindungi.

Kewajiban untuk menghormati HAM mengacu pada kewajiban un-tuk menghindari tindakan inter-vensi oleh negara, mempersyaratkan bahwa yangd siebutkan terakhir tadi tidak dapat diterima berdasarkan klausul-klausul tentang keterbatasan dan kondisi hukum yang relevan. Intervensi-intervensi yang tidak dapat dijustifi kasi dianggap sebagai pelang-garan terhadap HAM terkait14. Kewa-jiban untuk memenuhi HAM men-gacu pada kewajiban negara untuk mengambil tindakan-tindakan legisla-tif, administratif, peradilan dan prak-tis yang diperlukan untuk memasti-kan bahwa hak-hak yang diperhatikan dilaksanakan sebesar mungkin15.

Kewajiban untuk melindungi HAM juga menuntut aksi negara yang positif, namun berbeda dari ke-wajiban-kewajiaban untuk memenuhi yangd disebutkan diatas tadi yang di-tujukan untuk menghindari pelang-garan HAM oleh seorang sebagai pribadi16. Kewajiban negara ini se-cara yuridis ditegaskan di dalam Pasal 28I ayat (4) Perubahan Kedua UUD 194517, Pasal 8 UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia18, Pasal 1 ayat (3) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang diratifi kasi oleh UU No. 12 Tahun 2005.

14 Ibid. Hlmn 5015 Ibid. Hlmn 5116 Ibid. Hlmn 5317 Untuk menegakkan dan melindungi Hak asasi Manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan ditung-kan dalam peraturan perundang-undangan.18 Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia terutama men-jadi tanggung jawab negara.

Terkait dengan kondisi kebebasan beragama-berkeyakinan di Indone-sia yang menunjuukkan fakta bahwa negara masih menjadi pihak dominan dalam melakukan pelanggaran, maka jaminan itu sendiri akan menjadi ses-uatu yang sulit untuk dipenuhi. Nega-ra harus konsisten menjunjung tinggi amanah konstitusi serta prinsip-prinisp universalitas, indivisibel dan interdependen dalam HAM. Komit-men negara atas jaminan kebebasan beragama-berkeyakinan tersebut ha-rus diimplementasikan dalam langkah strategis dalam menegakkan HAM.

Pada tataran yuridis, negara ha-rus merevisi peraturan perundang-undangan yang masih diskriminatif seperti Undang-Undang Nomor 1 Ta-hun 1965 mengenai Penyalahgunaan dan/ atau penodaan agama. Revisi tersebut diperlukan untuk menghar-monisasikan regulasi mengenai keber-agamaan dengan instrumen hukum nasional maupun internasional yang mengatur mengenai keberagamaan. Hal ini merupakan langkah awal un-tuk menjaga ketertiban hukum sekal-igus menjamin ketertiban masyarakat itu sendiri. Selain itu, harmonisasi juga diperlukan pada tataran per-aturan-peraturan di tingkatan daerah dengan peraturan diatasnya dengan melakukan judicial review terhadap peraturan daerah berbasi agama yang diskriminatif.

Pada tataran konfl ik berbasis agama seperti persekusi ataupun ke-kerasan berbasis agama, negara berke-wajiban untuk menjadi pihak netral. Dalam artian, negara mengakomodasi kedua kelompok dalam menegakkan hak mereka, baik kelompok mayoritas apalagi kelompok minoritas. Kondisi tertib masyarakat akan tercipta jika

Page 19: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

1919

OpiniOpini

MITRA HUKUM

negara berperan aktif dalam meny-elesaiakan konfl ik beragama-berkeya-kinan yang terjadi. Perlunya negara menindak tegas pelaku kekerasan berbasis agama merupakan tindakan aktif dalam menjaga ketertiban sosial. Karena tidak bisa dipungkiri, dalam masayarakat yang plural, konfl ik men-jadi sebuah keniscayaan.

ReferensiILRC, 2009, Jaminan Hukum

dan HAM Kebebasan Beragama : Buku Saku Untuk Kebebasan Ber-agama, Ja-karta : ILRC (Th e Indonesian Legal Resource Center)

ILRC, 2009, Memahami Dis-kriminasi : Buku Saku Untuk Kebe-basan Beragama, Jakarta : ILRC (Th e Indonesian Legal Resource Center)

Kristanto, Agustinus Edi & Pa-tra M Zein (ed), 2009, Refl eksi Ke-beragaman Agama : Hukum Sesat dan Menyesatkan Hukum, Jakarta : YLBHI

Margiyono, Muktiono & Su-lityowati Irianto, 2010. Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi perihal Pengujian Undang-Undang no-mor 1 tahun 1965 tentang Penyalahgu-naan dan/atau Penodaan Agama : Bu-kan Jalan Tengah, Jakarta : ILRC (Th e Indonesian Legal Resource Center)

Nowak, Manfred, 2003, Peng-antar pada Rezim HAM Internasional, Pustaka HAM Raoul Wallenberg Insti-tute Of Human Rights and Humanitar-ian Law. Terj.

Pratiwi, Cekli Setya, SH, LLM, 2010, Urgensi Menempatkan Relasi Agama, Negara dan Hak Asasi Manusia secara Proporsional dan Konstitusional, dalam Hak asasi Manusia dalam Per-pektif Islam, Malang : LPSHAM Mu-hammadiyah Jatim-Madani

Sihombing, Uli Parulian, Meng-

gugat Bakor Pakem : Kajian Hukum terhadap Pengawasan Agama dan Ke-percayaan di Indonesia, 2008, ILRC.

Setara Institute, Negara Harus Bersikap, Tiga Tahun Laporan Kondisi Kebebasan Beragama-Berkeyakinan di Indonesia

Wahid Institute, Laporan Kebe-basan Beragama/Berkeyakinan dan Tol-eransi tahun 2010

Peraturan HukumUndang-Undang Dasar 1945Undang-Undang Nomor 39 ta-

hun 1999 tentang HAMUndang-Undang Nomor 12 Ta-

hun 2005 tentang Ratifi kasi ICCPRUndang-Undang Nomor 1 Ta-

hun 1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama

Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan (Declaration on Th e Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimina-tion Based On Religion Or Belief)

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (United Nation Declaration Of Human Rights)

Komentar Umum 22 pasal 18 Konvenan Sipil dan Politik (ICCPR Relevant General Comments article 18)

Sumber Eletronikwww.tempointeraktif.com, di-ak-

ses pada tanggal 12 Maret 2011www.wartanews.com, diakses

pada tanggal 12 Maret 2011www.wikipedia.org, diakses pada

tanggal 12 Maret 2011

Page 20: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

AktivitasAktivitas

2020 MITRA HUKUM

Ketidakmampuan perguruan tinggi hukum dalam memenuhi ke-butuhan-kebutuhan masyarakat atas keadilan hukum (legal justice) dan keadilan social (social justice) mau-pun beradaptasi terhadap peruba-han kultural dan bangunan sosial, dikondisikan dan dipengaruhi oleh konsep-konsep hukum dan nilai-nilai yang diperkenalkan dan ditanamkan fakultas-fakultas hukum kepada para mahasiswa. Pendidikan hukum lebih berorientasi pada nilai-nilai dan ke-lompok sosial tertentu yang mendapat prioritas perhatian dan mempengaruhi cara berpikir, sikap dan persepsi ma-hasiswa hukum di dalam memandang berbagai permasalahan social yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Kenyataan-kenyataan tersebut menjadi titik tolak Th e Indonesian Legal Resource Center (ILRC) melaku-kan intervensi ke lembaga pendidikan timggi hukum untuk membangun persfektif social justice dalam pen-didikan tinggi hukum. Bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (Unibraw), Fakultas Hukum Universitas Hasa-nudin (Unhas) dan Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih (Uncen) telah berhasil menyusun Blue Print

Pendidikan Tinggi Hukum Berbasis Keadilan Sosial. Salah satu workplan blue print adalah pembaharuan kuri-kulum pendidikan hukum berbasis ke-adilan sosial dengan melakukan evalu-asi menyeluruh terhadap materi yang disampaikan dalam perkuliahan pen-didikan hukum. Untuk itu diseleng-garakan Workshop Pengembangan Alat Evaluasi Kurikulum Fakultas Hukum Dengan Indikator Keadilan Sosial (Social Justice), yang diseleng-garakan di Surabaya pada tanggal 27 Februari – 1 Maret 2011

Keadilan Sosial (Social Justice) yang didefi nisikan sebagai “Tatanan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang majemuk yang mendis-tribusikan hak dan kewajiban yang setara terhadap individu atau kelom-pok sosial dalam sistem hukum dan sosial secara efektif dan berkelanju-tan”, selanjutnya dijadikan alat evalu-asi kurikulum fakultas hukum. Peserta berhasil merumuskan variabel dan in-dikator dari alat evaluasi kurikulum. Selanjutnya alat evaluasi tersebut, akan digunakan untuk menguji se-jauhmana materi-materi dalam setiap matakuliah sudah mengakomodir in-dikator - indikator social justice ? dan bagaimana metode pengajaran diberi-kan?. Pada tahapan awal, peserta me-

Workshop Pengembangan Alat Evaluasi Kurikulum Fakultas Hukum Dengan Indikator Keadilan Sosial Surabaya, 27 Februari – 1 Maret 2011

Page 21: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

2121

AktivitasAktivitas

MITRA HUKUM

nyepakati pada lima mata kuliah yaitu Pengantar Ilmu Hukum (PIH), Pen-gantar Filsafat Hukum, Ilmu Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Agraria.

Evaluasi ini selanjutnya akan dilaku-kan melalui serangkaian Focus Groups Disscussion (FGD) di setiap fakultas hukum. (SAT)

Variabel Indikator

Tatanan Kehidupan Masyarakat, Bangsa, dan Negara yang Majemuk

Prinsip PluralismePrinsip InklusivismePrinsip ToleransiPrinsip KoeksistensiPrinsip PersatuanPrinsip Ke-bhinekaan

Distribusi Hak dan Kewajiban Secara Setara

Kesadaran Distribusi Sumber Daya Alam Secara Adil

Politik Afi rmasi/Diskriminasi PositifDesentralisasiSistem Sosial yang Partisipatif

Pengakuan dan “Penguatan” Lembaga Adat/Masyarakat LokalPengakuan dan Penghormatan Hak-Hak Masyarakat Adat/LokalPrinsip Keseimbangan

Individu atau Ke-lompok Sosial yang Termarginalkan

Kelompok Miskin Struktural (the least well-off )Mereka yang tidak memperoleh akses ke sumber dayaKelompok Minoritas yang Rentan, Terpinggirkan dan Terabaikan

Efektifi tas Jaminan dan Perlindungan HukumPeningkatan Kapasitas IndividuAkses bagi Kelompok Sosial MarginalTanggung Jawab NegaraKesesuaian Kebutuhan Individu dan Kelompok Marginal

Berkelanjutan Jaminan dan Perlindungan HukumPeningkatan Kapasitas IndividuAkses bagi Kelompok Sosial Marginal

Tabel Alat Evaluasi Kurikulum Fakultas Hukum Dengan Indikator Keadilan Sosial

Page 22: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

AktivitasAktivitas

2222 MITRA HUKUM

Guru Besar Hukum Tata Nega-ra Universitas Indonesia, sekaligus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Jimly Asshiddiqie menyatakan pendidikan hukum Indonesia mem-butuhkan revolusi. Revolusi dari con-tent based menuju pendidikan hukum yang berperspektif keadilan sosial. “Kita harus mengubah hukum kita berorientasi kepada keadilan sosial, karenanya harus dilakukan revolusi yang dimulai dari dunia pendidikan, “ ujarnya di Fakultas Hukum Universi-tas Brawijaya saat memberikan Public Lecture (Kuliah Umum) dengan tema “Konstitusionalisme dan Keadilan So-sial” pada tanggal 12 April 2011.

Public Lecture ini merupakan kerjasama antara FH UB dan ILRC, sebagai bagian dari peningkatan pen-getahuan tentang keadilan sosial. Ku-liah Umum dibuka oleh Dekan Dr Sihabbudin SH MH dan dihadiri oleh Guru Besar FH, dosen, mahasiswa S-1 dan Pascasarjana.

Menurutnya, revolusi hukum se-

harusnya dilakukan serentak bersama aparat penegak hukum seperti kepoli-sian, kejaksaan dan hakim. Namun, dunia pendidikanlah yang paling me-mungkinkan untuk mengawali rev-olusi hukum, salah satunya melalui revolusi kurikulum fakultas hukum. Ide ini telah Jimly sampaikan dalam berbagai forum, termasuk dalam per-temuan dekan fakultas hukum. Ide tersebut memunculkan dialog apakah perlu menambah satu mata kuliah baru tentang keadilan sosial ? atau me-masukkan nilai keadilan sosial pada setiap mata kuliah. Jimly lebih setuju pendapat kedua.

Keadilan SosialDi awal kuliahnya, Jimly mengin-

gatkan bahwa Keadilan Sosial adalah sila kelima dalam Pancasila. Sila ke-lima ini tidak lain merupakan ujung harapan dari semua sila lainnya. Sila pertama sampai dengan sila keempat saling berkaitan satu sama lain. Ketu-hanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan

Public LectureJimly Asshiddiqie:

“Lakukan Revolusi Kurikulum Fakultas Hukum !”

Malang, 12 April 2011

Berkelanjutan Tanggung Jawab NegaraKesesuaian antara kebutuhan individu & kelompok sosial marginalPelestarian Nilai-Nilai Pancasila

Penghargaan terhadap kearifan lokal

Keberpihakan terhadap individu dan kelompok sosial marginalKonsistensi Kebijakan dan Implementasinya

Page 23: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

2323

AktivitasAktivitas

MITRA HUKUM

Yang Adil dan Beradab, Persatuan In-donesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Kes-emua ini harus menghasilkan keadilan social bagi seluruh rakyat. Karena itu, perumusan kelima sila itu pada Alinea IV Pembukaan UUD 1945 diakhiri dengan kalimat, “serta dengan mewu-judkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Ide tentang keadilan me-mang mengandung banyak aspek dan dimensi, yaitu keadilan hukum, keadilan ekonomi, keadilan politik, dan bahkan keadilan sosial. Pada po-koknya, yang terakhir ini, istilah ke-adilan social, merupakan simpul dari semua dimensi keadilan tersebut. Is-tilah ini biasanya menunjuk kepada ide pembentukan struktur kehidupan bermasyarakat yang didasarkan atas prinsip-prinsip persamaan (equality) dan solidaritas. Dalam konsep ke-adilan sosial terkandung pengakuan akan martabat manusia yang memiliki hak-hak yang bersifat asasi. Tujuan keadilan sosial menginginkan kesen-jangan antar lapisan masyarakat tidak terlalu jauh harus diwujudkan. Walau pelapisan masyarakat/stratifi kasi so-sial adalah sebuah keniscayaan namun kesenjangan ini tidak boleh terlalu jauh.”Beda sekali di Indonesia, ada masyarakat yang memiliki pendapatan Rp 500 ribu hingga 500 juta sebulan. Ini kan terlalu jauh,” ungkapnya.

Konsep keadilan sosial (social jus-tice) itu sendiri biasa dibedakan dari konsep keadilan hukum yang biasa dipakai dan diberlakukan dalam kebi-jakan publik yang menuntut paksaan oleh kekuasaan negara. Tetapi konsep

keadilan sosial tentu juga tidak han-ya menyangkut persoalan moralitas dalam kehidupan bermasyarakat yang berbeda-beda dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain sehingga derajat uni-versilitasnya menjadi tidak pasti. Ke-adilan sosial memang harus dibedakan dari pelbagai dimensi keadilan, sep-erti keadilan hukum, keadilan politik, keadilan ekonomi, dan sebagainya, meskipun dapat juga dipahami bahwa keseluruhan ide tentang keadilan itu pada akhirnya dapat dicakup dalam ide keadilan sosial. Karena pada akh-irnya, keadilan hukum dan keadilan ekonomi itu harus membuahkan hasil akhir pada perwujudan keadilan social bagi semua. Di dalamnya, terkandung pengertian bahwa (i) Ketidakadilan yang ada selama ini harus ditanggu-langi sampai ke titik yang terendah, (ii) Redistribusi kekayaan, kekuasaan dan status individu, komunitas, dan kekayaan sosial (societal good), dan iii) Negara c.q. Pemerintah bertanggung-jawab pemerintahan untuk memasti-kan kualitas dasar kehidupan bagi se-luruh warganegara.

Page 24: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

AktivitasAktivitas

2424 MITRA HUKUM

Menanggapi pertanyaan pe-serta terkait nilai-nilai keadilan sosial apa yang akan digunakan ? Apakah menggunakan teori dan nilai-nilai Barat ataukah Timur ? Jimly me-nyarankan agar dosen membebaskan

para mahasiswanya untuk mempela-jari teori-teori dalam artian seluas-lu-asnya. Dan pada akhirnya, mahasiswa tersebut dapat memilih teori dan ni-lai-nilai yang akan digunakan. (SAT)

ILRC dan Freedom House (FH) mengadakan diskusi dengan para alumni pelatihan paralegal di Kantor Wahid Institute (14/4). Tujuan diskusi tersebut adalah untuk sharing pengalaman alumni pelatihan paralegal dalam melakukan advokasi kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan diseminasi pengeta-huan hak kebebasan beragama. Diskusi ini diikuti oleh alumni pelatihan advo-kasi kebebasan beragama dan alumni pelatihan paralegal kebebasan beragama serta dihadiri oleh komunitas-komunitas minoritas keagamaan seperti Bahai dan Ahmadiyah. Ma-sing-masing alumni pelatihan membagi pengalamannya, dan agenda yang akan dilakukan ke depan. Diskusi tidak hanya menghasilakan reko-mendasi bersama, tetapi juga ada aktifi tas yang akan dan sedang dikerjakan di masing-masing komunitasnya. Begitu juga, komunitas-komunitas minoritas ke-agamaan membagi informasi terbaru atas kasus-kasus berkaitan dengan pelang-garan kebebasan beragama di komunitasnya. Model diskusi seperti sangat pent-ing, untuk membangun jaringan yang terkonsolidasi dan kuat dalam advokasi kasus-kasus kebebasan beragama (UPS).

DISKUSI KEBEBASAN BERAGAMA?BERKEYAKINANDISKUSI KEBEBASAN BERAGAMA?BERKEYAKINANDAN TEMU ALUMNI PELATIHAN PARALEGALDAN TEMU ALUMNI PELATIHAN PARALEGAL

Jakarta, 14 April 2010Jakarta, 14 April 2010

Page 25: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

2525

AktivitasAktivitas

MITRA HUKUM

FGD REFORMASI KURIKULUM FGD REFORMASI KURIKULUM DAN METODE PENGAJARANDAN METODE PENGAJARAN

Malang, Surabaya, Makasar, Papua Malang, Surabaya, Makasar, Papua

Th e Indonesian Legal Resource Center (ILRC) bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (Unibraw), Fakultas Hukum Universitas Hasanudin (Unhas) dan Fakultas Hu-kum Universitas Cendrawasih (Uncen) telah berhasil menyusun Blue Print Pen-didikan Tinggi Hukum Berbasis Keadilan Sosial. Sebagai salah satu upaya untuk membangun persfektif social justice dalam pendidikan tinggi hukum.

Salah satu workplan blue print adalah pembaharuan kurikulum pendidikan hukum berbasis keadilan sosial dengan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap materi yang disampaikan dalam perkuliahan pendidikan tinggi hukum. Untuk melakukan evaluasi, telah dikembangkan Alat Evaluasi Kurikulum Fakultas Hukum Dengan Indikator Keadilan Sosial (Social Justice).

Untuk membahas evaluasi kurikulum dan metode pengajarannya diseleng-garakan FGD tentang Reformasi Kurikulum dan Metode Pengajaran di setiap fakultas hukum. FGD bertujuan untuk (1) Mengidentifi kasi materi-materi dalam matakuliah PIH, Pengantar Filsafat Hukum, Ilmu Negara, Agraria dan Pidana apakah sudah/belum mengakomodir indikator - indikator Social Justice ? dan (2) Mengidentifi kasi metode pengajaran dalam penyampaian materi-materi. Peserta masing-masing FGD berjumlah 20 (duapuluh) orang dari masing-mas-ing fakultas hukum.

Page 26: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

AktivitasAktivitas

2626 MITRA HUKUM

PELATIHAN LEGAL KLINIK UNTUK MAHASISWAPELATIHAN LEGAL KLINIK UNTUK MAHASISWA“TIDAK MENYOGOK UNTUK “TIDAK MENYOGOK UNTUK

MENEGAKKAN HUKUM DAN KEADILAN !”MENEGAKKAN HUKUM DAN KEADILAN !”Semarang, 4-6 Mei 2011

Fakultas Hukum Universitas Sti-kubank (UNISBANK) Semarang, tengah menyiapkan para mahasiswan-ya untuk menjadi sarjana hukum yang ahli, profesional dan memiliki ke-mampuan untuk menerapkan hukum dalam menyelesaikan masalah hukum di masyarakat, sebagai bagian dari pencapaian visi dan misinya. Salah satunya dengan memperkenalkan dan melakukan uji coba metode pengaja-ran pendidikan hukum klinis.

Untuk menghasilkan sarjana hu-kum yang berkualitas, diperlukan du-kungan metode pengajaran ataupun sarana belajar mahasiswa agar mem-punyai sikap kritis. Pada saat ini, se-cara umum metode pengajaran yang digunakan pendidikan tinggi hukum adalah metode ceramah atau teach-ing. Pengajar menyampaikan materi dan mahasiswa menerima materi yang diajarkan. Metode ini mahasiswa leb-ih sebagai obyek yang akan menerima

Secara umum, hasil evaluasi terhadap SAP matakuliah mengidentifi kasikan bahwa setiap matakuliah memiliki pokok bahasan yang mengakomodir indika-tor-indikator keadilan sosial. Sedangkan untuk metode pengajaran, secara umum masih diberikan dalam bentuk kuliah. Secara khusus, FH Unair menambahkan matakuliah Hukum Perburuhan dan FH Uncen menambahkan matakuliah Hu-kum Adat, sebagai mata kuliah yang dievaluasi muatan materinya. (SAT)

Page 27: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

2727

AktivitasAktivitas

MITRA HUKUM

berbagai ilmu dari pengajar, sehingga partisipasi aktif dari peserta didik san-gat minim. Dengan metode teach-ing ini, mahasiswa hanya mengenal hukum secara teori dan minim pen-galaman dalam menyelesaikan kasus dan realitas masyarakat. Sedangkan metode pengajaran learning melalui Pendidikan Hukum Klinis (Clinical Legal Education/CLE), merupakan learning process dimana mahasiswa fakultas hukum diberikan pengeta-huan praktis (practical knowledge), keahlian (skill) dan nilai-nilai (values) untuk memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat, dengan menggu-nakan metode pengajaran secara inter-aktif dan refl ektif. Dan salah satu lem-baga implementasi CLE adalah legal clinic yang dijalankan oleh mahasiswa dengan supervisi dari dosen senior yang sudah berpengalaman dalam praktik litigasi ataupun non litigasi.

Untuk membentuk legal clinic tersebut Fakultas Hukum Unisbank memulainya dengan membentuk tim supervisor yang terdiri dari tiga orang dosen sekaligus praktisi hukum. Langkah berikutnya adalah dengan melakukan rekruitment dan pelatihan intensive untuk mahasiswa yang akan menjalankan klinik hukum. Sebe-lum pelatihan, dilaksanakan Seminar Nasional dengan tema Akses Keadi-lan Bagi Masyarakat Miskin, dengan narasumber Uli Parulian Sihombing (ILRC) yang menyampaikan konsep keadilan sosial sebagai nilai yang akan digunakan dalam legal clinic, Dadang Trisasongko/PGR yang memberikan materi terkait Akses terhadap Keadi-lan dan Abdul Jamil/LKBH FH UII, yang menyampaikan pengalaman

LKBH UII dalam mengelola legal klinik. Setelah Seminar, selanjutnya dilaksanakan pelatihan untuk mem-bekali mahasiswa dalam mengelola legal klinik.

Pelatihan diikuti oleh 20 orang mahasiswa dari 35 orang mahasiswa yang mendaftar. Materi pelatihan dititiktekankan kepada pengenalan metode CLE yaitu legal klinik, Etika Profesi, Mempersiapkan Penyuluhan Hukum, dan Memberikan Konsultasi Hukum, baik langsung maupun tertu-lis. Metode pelatihan yang digunakan adalah diskusi kelompok, presentasi, simulasi dan curah pendapat. Me-lalui metode tersebut, mahasiswa me-nyatakan: dari ra wani dadi wani (dari tidak berani menjadi berani) untuk bicara dalam menyampaikan gagasan-gagasannya. Peserta pelatihan berha-sil merumuskan indikator kelurahan yang akan menjadi sasaran pemberian bantuan hukum, dan tahapan-taha-pan yang akan dilakukan. Pada tatan-an nilai, melalui curah pendapat mer-eka menyepakati bahwa hukum tidak boleh diperjualbelikan dan menghasil-kan slogan “Tidak Menyogok Untuk Menegakkan Hukum dan Keadilan”.

Untuk mencapai bentuk ideal le-gal klinik sebagai bagian dari metode CLE masih harus didiskusikan lebih lanjut, termasuk dengan menginte-grasikan dengan mata kuliah bantuan hukum yang terdapat di FH Unis-bank. Semangat para mahasiswa, Tim Supervisor yang pengalaman, dan dukungan penuh dari pihak dekanat menjadi peluang Unisbank men-jadi yang pertama menerapkan CLE. Amin (SAT)

Page 28: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

SuplemenSuplemen

2828 MITRA HUKUM

“MELINDUNGI KORBAN, BUKAN MEMBELA PELAKU”

Kertas Posisi atas dikeluarkannya Sejumlah Produk Hukum Daerahyang Melarang Aktifi tas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)

Oleh:Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia Seluruh Indonesia

(SEPAHAM)

1. Pendahuluana. Latar Belakang

Kekerasan demi kekerasan terus terjadi. Penyerangan, pengrusakan rumah dan tempat ibadah, pengusiran, ancaman dan berbagai bentuk tindakan me-langgar hak asasi manusia serta pengingkaran hukum sudah kerap terjadi di tanah air kita.

Kini, pelarangan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) telah sema-kin marak dilakukan Pemerintah Daerah, melalui sejumlah produk peraturan perundang-undangan daerah. Hingga hari ini, telah dikeluarkan sebanyak 21 produk hukum daerah, dalam bentuk Surat Edaran Kepala Daerah, Peraturan Kepala Daerah, Surat Keputusan Kepala Daerah, Surat Keputusan Bersama, Surat Pernyataan Bersama, yang intinya sama, melarang aktifi tas JAI dalam segala bentuk.

Fenomena lahirnya produk hukum daerah menjadi perhatian publik, teru-tama saat JAI seringkali menjadi sasaran kekerasan oleh berbagai pihak yang mengatasnamakan agama, sehingga dikhawatirkan, produk hukum daerah tersebut menjadi alat legitimasi yang justru memberikan ruang terbuka la-hirnya kekerasan demi kekerasan.

Tentu, menjadi perhatian pula bagi akademisi untuk melihat relevansi produk hukum daerah tersebut untuk melarang JAI, sehingga menjadi jelas bagaimana sesungguhnya produk hukum tersebut ditempatkan dalam kon-teks ketatanegaraan Indonesia, yang mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 beserta peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini menggerak-kan kami untuk melakukan suatu analisis hukum atas produk hukum daerah tersebut, dan salah satu contoh yang kami analisis adalah Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No: 188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Ak-tifi tas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur. Pertimbangannya, produk hukum tersebut melengkapi dirinya dengan pertimbangan UUD 1945 dan sejumlah peraturan perundang-undangan hak asasi manusia yang mengacu pada ketentuan hukum Internasional.

Pada tanggal 28 Pebruari 2011 Gubernur Jawa Timur (selanjutnya dise-

Page 29: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

2929

SuplemenSuplemen

MITRA HUKUM

but Gubernur), Dr. H. Soekarwo, mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur No: 188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktifi tas Jemaat Ahmadi-yah Indonesia (JAI) di Jawa Timur (selanjutnya disebut SK Gubernur). Hal tersebut merupakan peristiwa hukum yang tidak lazim di Indonesia dimana seorang gubernur pada tingkat propinsi melarang aktifi tas keagamaan, khu-susnya Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Tujuan dari dikeluarkannya SK tersebut adalah untuk menjaga public or-der dan national security dengan melakukan pembatasan terhadap aktifi tas-aktifi tas Jemaat Ahmadiyah di Jawa Timur yang dianggap sebagai bahaya laten terhadap kerukunan antar umat beragama. Konteks dari SK Gubernur tersebut hadir pasca kasus penyerangan terhadap anggota Jemaat Ahmadiyah di Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Jawa Barat pada tanggal 6 Pebruari 2011 yang menewaskan hingga 3 (tiga) orang. Selanjutnya, terkait dengan peristiwa kekerasan berbasis agama, untuk wilayah Jawa Timur pada Selasa, 15 Pebruari 2011, terjadi penyerangan terhadap Pesantren Alma’hadul Islam YAPI di Desa Kenep, Beji, Kabupaten Pasuruan yang menimbulkan keru-sakan bangunan dan korban luka-luka di pihak santri. Dalam hal kekerasan berbasis agama di Indonesia, Jawa Timur merupakan penyumbang yang san-gat signifi kan dengan prosentase sebesar 30 % (tiga puluh pesen) dengan tendensi yang terus naik dari waktu ke waktu yaitu pada tahun 2009 terdapat 12 kasus dan pada tahun 2010 terjadi 14 kasus.

Latar belakang inilah yang perlu dikaji secara kritis, karena dampak sos-ialnya sudah meluas, apalagi dikaitkan dengan produk hukum daerah yang terbit di sejumlah daerah di Indonesia.

b. MotivasiPenyusunan kertas posisi ini mempunyai dasar pertimbangan sebagai beri-kut:1. Dosen sebagai bagian dari civitas akademika dan epistemic society mempu-

nyai tiga kewajiban dasar yaitu mendidik, meneliti dan mengabdi kepada masyarakat sehingga sudah menjadi kewajibannya juga ketika muncul permasalah publik yang terkait dengan kompetensinya maka sangat ur-gent secara moral untuk ikut berkontribusi sesuai dengan kapasitasnya;

2. Kasus kekerasan berbasis agama di Indonesia sudah pada tingkat yang sangat memprihatinkan dan mengkhawatirkan karena telah menimbul-kan korban jiwa serta mengancam eksistensi negara Indonesia yang Bhin-neka Tunggal Ika;

3. Produk hukum daerah (Surat Edaran Kepala Daerah, Peraturan Kepala Daerah, Surat Keputusan Kepala Daerah, Surat Keputusan Bersama, Su-rat Pernyataan Bersama) merupakan bentuk respon hukum dari otori-tas pemerintahan daerah terhadap kasus-kasus kekerasan berbasis agama

Page 30: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

SuplemenSuplemen

3030 MITRA HUKUM

yang mempunyai konsekuensi sangat mendasar di bidang penegakan hak asasi manusia (HAM) terutama bagi kelompok beragama/berkeyakinan minoritas dan besar kemungkinan produk hukum daerah tersebut men-jadi model respon hukum bagi otoritas pemerintahan daerah lainnya di seluruh Indonesia.

4. Pada sejumlah kasus penyerangan terjadap JAI, saat ini SK Gubernur merupakan produk hukum yang paling operasional. Dengan adanya SK Gubernur, pemerintah provinsi menjadi bisa mendayagunakan sumber dayanya termasuk polisi Pamong Praja sebagai aparat penegak hukum daerah.

5. Produk hukum daerah yang demikian, perlu untuk secara kritis dianalisa kedudukan hukumnya dan kemudian menjadi model koreksi, evaluasi dan pedoman bagi para pemangku kepentingan terkait;

c. Pendekatan Perspektif yang digunakan dalam penyusunan kertas posisi ini adalah hu-

kum dan hak asasi manusia. Baik hukum maupun hak asasi manusia dilihat dalam perspektif yang luas. Hukum tidak hanya mencakup aspek normatif tetapi juga aspek empiris. Dengan demikian yang hendak dilihat bukan hanya teks hukum tetapi juga signifi kansi dan relevansinya dengan situasi empirik. Sedangkan hak asasi manusia mencakup konsep, teori, maupun penormaan-nya baik di tingkat internasional maupun yang sudah menjadi hukum positif di Indonesia.

Tujuan yang membingkai penyusunan kertas posisi ini adalah:1. Analisis masalah mendasar dari produk hukum daerah, dalam hal ini

difokuskan pada Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No: 188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktifi tas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur.

2. Memberikan penjelasan dan analisis hukum atas produk hukum daerah; 3. Menegaskan posisi atas pertanyaan apakah dikeluarkannya produk hukum

daerah tersebut baik sesuai dengan prinsip hukum dan hak asasi manusia.

2. Rasionalisasi a. Elemen-elemen pokok SK Gubernur i. SK Gubernur (in forma sebagai instrumen normatif ).

Sesungguhnya demikian jelas, Gubernur tidak mempunyai kewenangan untuk mengatur masalah a quo melalui SK Gubernur karena sebenarnya pen-gaturan ini merupakan kewenangan lembaga legislatif karena secara substansi hal yang diatur menyangkut masalah hak asasi manusia yang masuk dalam lingkup materi di tingkat Undang-Undang.

SK Gubernur tidak mempunyai rujukan atau dasar pembuatan dari suatu

Page 31: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

3131

SuplemenSuplemen

MITRA HUKUM

Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi) sebelumnya yang mengatur men-genai substasi SK a quo sehingga dasar pembuatannya semestinya adalah mengacu kepada asas-asas umum pemerintahan yang baik (general principles of proper administration) sehingga dalam melakukan kewenangan umumnya Gubernur tidak bertindak sewenang-wenang (abuse of power).

Sehingga, SK Gubernur tersebut merupakan suatu perbuatan tata usaha negara yang dibuat tanpa disertai kewenangan pejabat tata usaha negara yang membuatnya, in casu adalah Gubernur.

ii. Gubernur (subyek pengaturan). Kedudukan Gubernur dapat dijelaskan, diantaranya, adalah sebagai berikut:1. Kepala pemerintah daerah di tingkat provinsi yang bertugas dan ber-

wenang memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah di tingkat provinsi berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;

2. Yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Presiden di wilayah provinsi;

3. Dan bertanggung jawab kepada Pemerintah (Presiden);4. Mempunyai urusan wajib, bersama DPRD Provinsi, sebagai kewenan-

gannya yang meliputi di antaranya adalah penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;

5. Mempunyai kewajiban untuk mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya;

6. Dilarang untuk membuat keputusan yang mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat tertentu dan jika dilakukan per-buatan tersebut maka bisa menjadi dasar pemberhentian dari jabatannya;

7. Merupakan bagian dari organ administrasi negara yang mempunyai kewajiban (duty bearer) untuk menghormati (sikap pasif untuk tidak menginterfensi penikmatan hak asasi), melindungi (sikap aktif untuk menghilangkan gangguan/hambatan penikmatan hak asasi) dan me-menuhi (mewujudkan suatu keadaan/kondisi atau eksistensi suatu pe-nikmatan hak asasi) hak asasi manusia yang dimiliki oleh seluruh pen-duduknya (rights holders) secara progresif, partisipatif, non-diskriminasi, dan restoratif.

iii. Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur (obyek pengaturan).

Dalam konteks ketatanegaraan di Indonesia sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Hak Asasi Manusia (as moral and legal claims) maka organisasi ini (JAI), sebagaimana dan setara dengan organisasi keagamaan yang lainnya, merupakan:a. Organisasi keagamaan yang bagi setiap individu anggotanya maupun se-

Page 32: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

SuplemenSuplemen

3232 MITRA HUKUM

cara kelompok merupakan bagian dari warga negara Indonesia (WNI);b. Subyek hukum yang mempunyai hak (pengakuan, jaminan, perlindun-

gan, kepastian yang adil, dan perlakuan yang setara) dan kewajiban yang sama dalam sistem hukum yang ada di Indonesia berdasarkan prinsip ke-setaraan (equal before the law) sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan prinsip-prinsip HAM;

c. Mempunyai kebebasan untuk memeluk agama dan beribadat sesuai den-gan agamanya dan keyakinannya tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights) kecuali berdasarkan pembatasan yang diatur oleh undang-undang dan semata-mata untuk moralitas, kesehatan, kes-elamatan, keamanan, dan ketertib-an masyarakat, nilai-nilai agama, dan hak serta kebebasan dasar orang lain. Seperangkat pembatasan tersebut dapat dilakukan jika dan hanya jika semata-mata untuk penguatan hak asasi manusia dan bukan untuk melemahkan hak asasi manusia itu sendiri apalagi pembatasan tersebut dilakukan atas dasar penafsiran hukum dan implementasi yang diskriminatif dan semata-mata dilakukan sebagai ha-sil dominasi kekuasaan (politik, hukum, etnisitas, gender, ekonomi, dsb.) oleh kelompok tertentu terhadap kelompok yang lainnya.

d. Merupakan pemegang hak asasi manusia (rights holder) yang berhak atas hak asasi mereka berupa tindakan organ-organ negara dalam bentuk peng-hormatan, perlindungan dan pemenuhan secara progresif, partisipatif, non-diskriminasi, dan restoratif.

e. Motif (Konsideran Filosofi s, Sosiologis, dan Normatif )SK Gubernur sebagai produk hukum lahir dengan dasar-dasar pertimban-

gan sebagai berikut:a. Masyarakat mempunyai kewajiban menjaga dan memelihara kerukunan

antar umat beragama;b. Kerukunan antar umat beragama menjadi bagian integral dari ketentra-

man dan ketertiban umum;c. Kerukunan umat beragama berkorelasi terhadap perwujudan persatuan

dan kesatuan bangsa;d. Untuk poin (a) s.d (c) merupakan duplikasi dari konsideran menimbang

poin (e) SKB Mendagri, Jaksa Agung, dan Menteri Agama tertanggal 9 Juni 2008, hanya SK Gubernur menambahkan batasan teritorial keber-lakuan yaitu wilayah Provinsi Jawa Timur.

e. Aktifi tas JAI laten sebagai pemicu gangguan keamanan dan ketertiban umum;

f. Larangan aktifi tas JAI dapat menciptakan stabilitas keamanan;

Page 33: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

3333

SuplemenSuplemen

MITRA HUKUM

Secara normatif, yang menjadi acuan yuridis penerbitan SK Gubernur adalah peraturan perundang-undangan sebagai berikut:a. Pasal 28, 28E, 28J dan 29 UUD RI Tahun 1945; Pasal-pasal ini mengatur

jaminan hak kebebasan beragama, berkeyakinan dan beribadah bagi se-luruh rakyat Indonesia. Pasal 28J membolehkan adanya pembatasan atas pelaksanaan hak-hak tersebut dengan alasan moralitas publik, keamanan, kesehatan, ketertiban, diatur dengan undang-undang, penghormatan hak dan kebebasan orang lain, dan nilai-nilai agama. (untuk yang terakhir ini sangat tidak lazim dan overlapping karena dalam negara yang mempun-yai pluralitas umat beragama justru nilai-nilai agama yang ingin dijamin malah digunakan untuk membatasi hak atas kebebasan dirinya sendiri. Pertanyaannya, apakah ketentuan ini merupakan justifi kasi normatif un-tuk adanya kanibalisme antar umat beragama terutama umat mayoritas terhadap umat minoritas?).

b. UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama; Eksistensi Undang-Undang ini dikukuhkan oleh oleh Mahkamah Konstitusi melalui penolakan secara keseluruhan terhadap upaya judicial review yang pernah diajukan oleh para aktivis hak kebe-basan beragama. UU a quo dianggap masih relevan untuk melindungi masyarakat dari upaya pencemaran terhadap nilai-nilai agama di Indone-sia. UU a quo juga yang sering dijadikan alasan hukum untuk melakukan labelisasi suatu kelompok agama/kepercayaan (terutama yang minoritas) sebagai sesat dan menyesatkan sehingga layak dan perlu untuk dilakukan pelurusan kembali yang tidak jarang dilakukan melalui cara-cara anarkhis dan melanggar hak asasi manusia.

c. UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; terkait dengan kedudukan negara, in casu Gubernur, Undang-Undang ini menegas-kan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggunga jawab Pemerintah. Dan juga, Undang-Undang ini menegaskan karakter hak kebebaan beragama/ber-keyakinan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun dan oleh siapapun. Pembatasn hanya boleh dilakukan sebagaimana sudah dijelaskan di poin (a).

d. UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan undang-un-dang perubahannya; Undang-Undang ini memberikan alasan masalah ke-wenangan Gubernur untuk mengatur masalah JAI dari aspek pelaksanaan kewajiban Gubernur untuk menjaga ketertiban dan ketentraman masyara-kat. Yang tidak boleh dilupakan bahwa Undang-Undang ini juga memuat larangan bagi Gubernur untuk membuat ketetapan yang diskriminatif karena bisa menjadi landasan bagi pemecatan Gubernur dari jabatannya;

e. UU No.11 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICESCR; Undang-Undang

Page 34: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

SuplemenSuplemen

3434 MITRA HUKUM

ini sebagai instrumen ratifi kasi terhadap Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya sebenarnya tidak ada kaitannya atau irrelevant dengan ma-salah hak kebebasan beragama pada umumnya dan masalah JAI pada khu-susnya karena memang hanya mengatur masalah hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

f. UU No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR; Undang-Undang ini meratifi kasi Kovenan Hak Sipil dan Politik yang justru pada prinsipnya melindungi hak-hak kebebasan beragama, berkeyakinan dan segala ben-tuk manifestasinya serta tidak mengijinkan adanya reduksi hak-hak terse-but meskipun itu melalui pembatasan yang diijinkan.

g. PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota;

h. PP ini justru tidak tepat dijadikan dasar hukum, apalagi mengingat bah-wa pasal 10 ayat (3) huruf F Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 men-egaskan bahwa agama tidak termasuk urusan yang di delegasikan kepada Pemerintah Daerah.

i. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mendagri No. 8-9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Be-ragama dan Pendirian Rumah Ibadat; Peraturan ini memberikan penegasan akan kewenangan Gubernur dan Pemerintahan Daerah lainnya untuk ikut campur tangan dalam masalah kerukunan antar umat beragama meskipun tidak dijelaskan lebih detail tentang hal apa yang termasuk dan apa yang di luar kewenangan tersebut. Peraturan ini secara abstrak menekankan terwujudnya harmonisasi antar umat beragama namun dalam realitasnya justru berpotensi sebagai instrumen untuk melakukan upaya-upaya dis-kriminasi terhadap umat beragama/berkeyakinan yang minoritas.

j. Keputusan Jaksa Agung No: Kep-004/A/JA/01/1994 tentang Pembentu-kan Koordinasi Pakem; Hasil penelitian dari Indonesian Legal Resources Center menyimpulkan bahwa aturan hukum ini merupakan warisan ko-lonial yang sudah tidak relevan lagi terhadap semangat Pancasila dan plu-ralitas bangsa Indonesia sehingga merekomendasikan untuk dicabut dan dengan sendirinya Badan Koordinasi Pengawas Kepercayaan Masyarakat juga dibubarkan.

k. Keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Mendagri tertang-gal 9 Juni 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Ang-gota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat; Keputusan yang sering disebut SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah ini, yang secara substantif merupakan kepanjangan dari UU No.1/PNPS/1965, memberikan pembatasan aktifi tas kepada dua kelompok masyarakat, yang pertama adalah JAI dan yang kedua adalah

Page 35: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

3535

SuplemenSuplemen

MITRA HUKUM

anggota masyarakat non-JAI. Untuk JAI dan segenap anggota, secara substantif penganut dan pengurusnya dilarang melakukan penyebaran faham keagamaannya; sedangkan untuk Warga masyarakat dilarang un-tuk melakukan tindakan melawan hukum, anarkisme misalnya, kepada seluruh anggota, penganut, pengurus maupun aset JAI.

Pada penetapan yang Keenam dari SKB ini memerintahkan kepada aparat Pemerintah dan Pemerintah Daera, in casu Gubernur, untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini. Jelas, bahwa Gubernur berdasarkan SKB ini harus membina tidak hanya JAI, namun juga Warga Masyarakat yang laten melakukan tindak kekerasan berbasis agama.

f. Isi PenetapanPada penetapan Pertama dari SK Gubernur berisi tentang pelarangan terha-dap:a. Aktifi tas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI); (yang dilarang adalah ak-

tifi tas yang mempunyai dimensi forum eksternum, namun tidak semua aktifi tas JAI termasuk dalam larangan SK Gubernur melainkan dengan kualifi kasi poin (b) dan (c) );

b. Yang dapat memicu dan/atau menyebabkan; (kualifi kasi apa sehingga dikategorikan sebagai sebuah pemicu dan/atau penyebab suatu aktifi tas tidak dijelaskan di SK Gubernur, seperti kategori sebagai inisiator, keter-kaitan, dan generator)

c. Terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat Jawa Timur (penger-tian dan batasan atau lingkup dari keamanan dan ketertiban in casu tidak jelas dalam SK Gubernur ini).

Sedangkan pada penetapan Ketiga merinci aktifi tas apa saja yang dilarang, yaitu:a. Menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan maupun elektronik;b. Memasang papan nama organisasi di tempat umum;c. Memasang identitas JAI pada tempat-tempat ibadah dan lembaga pendi-

dikannya;d. Menggunakan atribut JAI dalam segala bentuknya.

Sebenarnya dalam penetapan Ketiga disebutkan bahwa cakupan aktifi tas yang dilarang antara lain adalah poin (a) s.d (d), yang secara terminologi “antara lain” berarti tidak hanya sebatas pada empat aktifi tas tersebut. Na-mun secara tata cara pembuatan peraturan perundang-undangan, penyebu-tan “antara lain” tersebut tidak tepat karena justru akan mengaburkan pokok

Page 36: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

SuplemenSuplemen

3636 MITRA HUKUM

materi yang akan diatur karena terlalu luas dan bisa multi-interpretasi, jadi bisa diartikan secara defi nitif yang dilarang adalah memang empat hal yang diatur dalam poin (a) s.d (d).

Menjadi pertanyaan berikutnya adalah mengenai korelasi dan relevansi an-tara isi penetapan pertama dengan isi penetapan kedua. Aktifi tas-aktifi tas di penetapan Kedua seperti penyebaran ajaran agama, pemasangan papan nama organisasi, papan identitas gedung, dan pemakaian atribut sungguh sangat meragukan apabila dapat dikategorikan sebagai pemicu terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban. Dengan realitas bahwa kebijakan represif tersebut hanya terjadi pada JAI maka SK Gubernur dapat dikatakan sebagai sebuah produk kebijakan yang diskriminatif berdasarkan alasan agama.

Negara, in casu Gubernur, telah melegitimasi dan mengadopsi secara normatif melalu SK Gubernur tindakan-tindakan anarkis oleh sekelompok organisasi masyarakat yang dilakukan sebelumnya berupa perusakan papan organisasi dan identitas properti JAI yang notabene justru terjadi di luar Jawa Timur. Dalam hal ini maka menjadi indikasi betapa negara telah kalah oleh kelompok-kelompok radikal yang menggunakan agama sebagai alasan pem-benar.

Dari segi lingkup materi yang diatur, SK Gubernur tidak sejalan atau inkonsisten dengan SKB Tiga Menteri tahun 2008 karena SKB tersebut se-benarnya selain mengatur mengenai aspek pembatasan aktifi tas Ahmadiyah (sisi penyebaran agama) juga SKB tersebut juga menegaskan akan kewajiban bagi warga masyarakat non-JAI untuk tidak melakukan tindakan-tindakan melawan atau melanggar hukum seperti tindakan anarki maupun intimidasi. Padahal pada prinsipnya, peraturan perundang-undangan yang tingkat hi-rarkinya lebih rendah tidak boleh mengurangi (mereduksi) norma-norma yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dimana keduanya mengatur masalah yang sama.

Fakta bahwa sejumlah ketentuan SK Gubernur tersebut kabur serta ber-tentangan dengan ketentuan peraturan yang lebih tinggi juga menandakan bahwa SK Gubernur ini juga tidak bersesuaian dengan elemen lain konsep negara hukum. Elemen lain dimaksud adalah kejelasan dan kepastian keten-tuan peraturan perundangan. Elemen bertujuan untuk mencegah peluang negara/pemerintah untuk bertindak sewenang-wenang, sekaligus kepastian bagi warga negara mengenai konsekuensi bila melakukan atau tidak melaku-kan tindakan tertentu.

b. Konstruksi relasi antar elemenBerdasarkan landasan hukum yang menjadi konsideran dari SK Gubernur, dalam perspektif Hak Asasi Manusia maka hubungan antara Gubernur den-gan JAI seharusnya dapat digambarkan sebagai berikut:

Page 37: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

3737

SuplemenSuplemen

MITRA HUKUM

Undang-Undang Dasar Indonesia Pasal 28I (4) jo. Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dengan tegas telah menentukan bahwa perlind-ungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (in casu Gubernur). Sungguh Sangat paradoks justru ketika pada konsideran menimbang poin (a) dari SK Gubernur justru membebankan kewajiban perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak atas atas rasa aman dan hak atas kebebasan beragama kepada warga masyarakat. Dengan demikian SK Gubernur adalah produk hukum yang paradoksal karena telah memutarbalikan konsep tanggung jaw-ab negara.

Berdasarkan isi ketetapan SK Gubernur, pola hubungan yang terjadi an-tara Gubernur sebagai representasi negara dan JAI sebagai anggota warga negara (rakyat) dapat digambarkan sebagai berikut:(lihat bagan dibalik halaman ini, pola hubungan...)

3. RekomendasiBerdasarkan analisa yang telah diuraikan di atas maka terhadap SK Gubernur a quo kami mengajukan sejumlah rekomendasi sebagai berikut:a. Gubernur Jawa Timur mencabut Surat Keputusan No.188/94/

KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktifi tas Jemaat Ahmadiyah Indone-sia (JAI) di Jawa Timur, karena SK tersebut telah bertentangan dengan UUD 1945, sejumlah ketentuan hukum dan prinsip-prinsip HAM.

b. Gubernur Jawa Timur selanjutnya dapat melakukan usaha-usaha un-tuk menciptakan kerukunan antar umat beragama di Jawa Timur me-lalu mekanisme persuasif, dialogis, dan kalaupun melakukan pembatasan terhadap suatu aktifi tas keagamaan kelompok tertentu maka harus dapat dibenarkan secara hukum dan sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undan-gan, serta melibatkan kelompok tertentu tersebut;

c. Mengingat bahwa produk hukum daerah serupa telah terjadi di 17 daerah lainnya di Indonesia, kami menegaskan bahwa:

d. Presiden sebagai kepala pemerintahan dan negara di Indonesia sesegera mungkin membuat Surat Keputusan Presiden yang berisi tentang perin-

GUBERNURGUBERNUR JAIJAI

Duty bearer:Duty bearer:Protecting, Pro-Protecting, Pro-moting and moting and Fulfilling of JAI’s Fulfilling of JAI’s rights.rights.

Rights holder:Rights holder:Bebas meme-Bebas meme-luk agama dan luk agama dan menjalankan menjalankan ajarannyaajarannya

Hukum & KebijakanHukum & Kebijakan

Page 38: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

SuplemenSuplemen

3838 MITRA HUKUM

GUBERNURGUBERNUR JAIJAI

Berdasarkan:Berdasarkan:• • Kewenangan normatif Kewenangan normatif

kepala daerahkepala daerah• • Pelaksana politik hukum Pelaksana politik hukum

PresidenPresiden• • Rekomendasi politik Rekomendasi politik

DPRDDPRD• • Dukungan kelompok Dukungan kelompok

agama mayoritas non-agama mayoritas non-JAIJAI

• • Legitimasi akademik Legitimasi akademik institusi keilmuaninstitusi keilmuan

• • Dukungan kelompok ke-Dukungan kelompok ke-pentingan lainnya (partai pentingan lainnya (partai politik, ormas, tokoh politik, ormas, tokoh masyarakat) dengan jus-masyarakat) dengan jus-tifikasi pelurusan aqidah tifikasi pelurusan aqidah ataupun ketertiban/ke-ataupun ketertiban/ke-amanan umum. amanan umum.

Aktifis HAM dan Demokra-Aktifis HAM dan Demokra-si/ NGO/CSO:si/ NGO/CSO:• • Represi akibat men-Represi akibat men-

guatnya relasi-kuasa guatnya relasi-kuasa dan relasi-kepentingan dan relasi-kepentingan antara Negara dan Ke-antara Negara dan Ke-lompok Anarkis berbasis lompok Anarkis berbasis agamaagama

• • Pelemahan kekuatan Pelemahan kekuatan kelompok penekan dalam kelompok penekan dalam advokasi terkait hak atas advokasi terkait hak atas kebebasan beragama.kebebasan beragama.

Pembatasan aktifitas ke-Pembatasan aktifitas ke-agaaman JAI yang berupa:agaaman JAI yang berupa:• • Menyebarkan ajaran Menyebarkan ajaran

agama dalam segala agama dalam segala bentuknya;bentuknya;

• • Memasang papan identi-Memasang papan identi-tas organisasi;tas organisasi;

• • Memasang papan identi-Memasang papan identi-tas properti organisasi;tas properti organisasi;

• • Penggunaan atribut keor-Penggunaan atribut keor-ganisasian.ganisasian.

Kelompok Agama Minoritas Kelompok Agama Minoritas non-JAI:non-JAI:• • Situasi hukum yang repre-Situasi hukum yang repre-

sif menempatkan mereka sif menempatkan mereka sebagai kelompok yang sebagai kelompok yang sangat rentan dan terba-sangat rentan dan terba-tas dalam penikmatan tas dalam penikmatan hak-hak keagamaanyahak-hak keagamaanya

SK-GUBERNURSK-GUBERNUR

Bentuk produk hukum negara yang Bentuk produk hukum negara yang dapat dikategorikan:dapat dikategorikan:• • Bertentangan dengan konsep Bertentangan dengan konsep

tanggung jawab negara terkait tanggung jawab negara terkait dengan penegakan hak asasi dengan penegakan hak asasi manusia berdasarkan norma-manusia berdasarkan norma-norma hukum internasional norma hukum internasional maupun konstitusi Indonesia;maupun konstitusi Indonesia;

• • Paradoksal karena menempat-Paradoksal karena menempat-kan korban yang terlanggar kan korban yang terlanggar hak keamanan dan hak atas hak keamanan dan hak atas ke-bebasan beragamanya justru ke-bebasan beragamanya justru sebagai obyek pembatasan hu-sebagai obyek pembatasan hu-kum atas hak asasi manusia dan kum atas hak asasi manusia dan hak-hak dasarnya;hak-hak dasarnya;

• • IrrelevantIrrelevant dengan situasi ma- dengan situasi ma-syarakat beragama di Indonesia syarakat beragama di Indonesia yang majemuk;yang majemuk;

• • Mereduksi secara manipulatif Mereduksi secara manipulatif terhadap nilai-nilai normatif terhadap nilai-nilai normatif yang diatur dalam peraturan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di atasnya;perundang-undangan di atasnya;

• • Kontradiktif karena antara tu-Kontradiktif karena antara tu-juan, konsideran hukum dan isi juan, konsideran hukum dan isi penetapan inkonsisten dan tidak penetapan inkonsisten dan tidak irrelevantirrelevant. .

• • Diskriminatif karena menerap-Diskriminatif karena menerap-kan sekularisasi negara secara kan sekularisasi negara secara ekstrim hanya kepada kelompok ekstrim hanya kepada kelompok agama tertentu, agama tertentu, in casuin casu JAI. JAI.

Kelompok JAI:Kelompok JAI:• • Mengalami anarkisme Mengalami anarkisme

akibat legitimasi dan jus-akibat legitimasi dan jus-tifikasi sebagai kelompok tifikasi sebagai kelompok yang “sesat”, “dibatasi”, yang “sesat”, “dibatasi”, dan “terlarang”.dan “terlarang”.

• • Terlanggar HAM lainnya Terlanggar HAM lainnya seperti hak-hak ekonomi, seperti hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya akibat sosial, dan budaya akibat labelisasi di atas.labelisasi di atas.

• • Terbatasi hak-hak ke-Terbatasi hak-hak ke-warganegaraan lainnyawarganegaraan lainnya

DAMPAKDAMPAK• • Menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan maupun elektronik;Menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan maupun elektronik;• • Memasang papan nama organisasi di tempat umum;Memasang papan nama organisasi di tempat umum;• • Memasang identitas JAI pada tempat-tempat ibadah dan lembaga pendidikannya;Memasang identitas JAI pada tempat-tempat ibadah dan lembaga pendidikannya;• • Menggunakan atribut JAI dalam segala bentuknya. Menggunakan atribut JAI dalam segala bentuknya. • • Menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan maupun elektronik;Menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan maupun elektronik;• • Memasang papan nama organisasi di tempat umum;Memasang papan nama organisasi di tempat umum;• • Memasang identitas JAI pada tempat-tempat ibadah dan lembaga pendidikannya;Memasang identitas JAI pada tempat-tempat ibadah dan lembaga pendidikannya;• • Menggunakan atribut JAI dalam segala bentuknya. Menggunakan atribut JAI dalam segala bentuknya.

Page 39: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

3939

SuplemenSuplemen

MITRA HUKUM

tah kepada seluruh organ-organ pemerintahan baik di pusat maupun dae-rah untuk tidak menerbitkan Surat Keputusan maupun Peraturan Umum yang dapat merugikan hak asasi manusia dan mengingkari hak-hak kon-stitusional kelompok agama atau kepercayaan minoritas;

e. Presiden sebagai kepala pemerintahan dan negara di Indonesia pula perlu mengambil inisiatif untuk mencegah terulangnya kekerasan dan intimi-dasi dari kelompok/institusi manapun, termasuk untuk tidak melibatkan alat-alat negara seperti militer dalam penyelesaian kasus-kasus kekekerasan yang terjadi.

f. Sebagai pertanggungjawaban negara, dalam hal ini pemerintah, seb-agaimana pasal 28I ayat 4 dan berdasar Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999, maka seluruh penyelenggaraan pemerintahan harus aktif mengambil lang-kah-langkah untuk menghormati, melindungi, memenuhi hak-hak asasi manusia, tanpa diskriminasi, baik dalam proses pembentukan kebijakan atau peraturan dan penegakan hukumnya.

16 Maret 2011

Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia Seluruh Indonesia (SEPAHAM)

No Nama Pusat Studi/Universitas01 Muktiono Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (Uni-

braw) dan Pusat Pengembangan HAM dan Demokrasi/PPHD, Malang

02 Eko Riyadi Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Univer-sitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta

03 R. HerlambangPerdana

Pusat Kajian Hukum HAM/HRLS, Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), Surabaya

04 Dwi Rahayu Kajian Hukum HAM/HRLS, Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), Surabaya

05 Inge Christanti Peneliti Pusat Studi HAM Universitas Surabaya (Ubaya), Surabaya

06 Dian Noes-wantari

Peneliti Pusat Studi HAM Universitas Surabaya (Ubaya), Surabaya

07 Majda El Muntaj Kepala Pusat Studi HAM Univ. Negeri Medan / Pusham Unimed, Medan

Page 40: LLaporan Utamaaporan Utama - mitrahukum.orgmitrahukum.org/.../2012/09/Mitra..Diskriminasi-Pend-Agama-di-PT1.pdf · 62,7 persen responden guru PAI dan 40,7 persen siswa menyatakan

SuplemenSuplemen

4040 MITRA HUKUM

No Nama Pusat Studi/Universitas08 Fulthoni Fakultas Hukum Universitas At Tahiriyah,

Jakarta09 Surya Tjandra Pusat Kajian Hukum Sosial–Hukum Perburuhan

dan Hukum Jaminan Sosial, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, Jakarta

10 Gautama Arun-dhati

Pusat Studi HAM, Fakultas Hukum Universitas Jember/Unej, Jember

11 Al Khanif Pusat Studi HAM, Fakultas Hukum Universitas Jember/Unej, Jember

12 Heru Susetyo Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Jakarta

13 Yakub Widodo Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Uni-kal), Pekalongan

14 Widodo Dwi Putro

Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram), Mataram

15 Antonius Cahyadi

Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Jakarta

16 Manunggal K Wardaya

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto

17 Rahayu Kelompok Kajian HAM dan HHI (Hukum Humaniter) Fakultas Hukum Universitas Dipo-negoro (Undip), Semarang

Terkait kertas posisi ini lebih jauh, bisa menghubungi: Muktiono, SH., M.Phil. – Fakultas Hukum Unibraw [+62 81334178971] dan/atau Heru Susetyo, SH., LL.M. – Fakultas Hukum Universitas Indonesia [+62 8159200011, +62 81310922211]