LITERASI DIGITAL DAN LITERASI...
Transcript of LITERASI DIGITAL DAN LITERASI...
LITERASI DIGITAL DAN LITERASI MEDIA
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
LAYLAN UMAYYAH ( 110709037 )
PROGRAM STUDI ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2013
Kata pengantar
Assalamu‟alaikum wr.wb
Pertama-tama penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT
karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Terima kasih kepada seluruh pihak yang ikut serta
berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini.
Adapun judul makalah ini adalah “ literasi digital dan literasi media”.
Literasi digital adalah keahlian yang berkaitan dengan penguasaaan
sumber dan perangkat digital. Sedangkan literasi media adalah
kemampuan untuk mengakses, menganalisa, dan menciptakan informasi
untuk hasil yang spesifik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang ada di dalam
makalah ini baik dari segi kata, kalimat ataupun penyusunan makalah,
maka dari itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah
in bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan serta wawasan
pembaca mengenai literasi digital dan literasi media. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.
Assalamu‟alaikum wr.wrb
Medan, Mei 2013
Penulis
LITERASI MEDIA DAN LITERASI DIGITAL
Literasi media adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi
pencitraan media. Kemampuan untuk melakukan hal ini ditujukan agar pemirsa sebagai
konsumen media menjadi sadar tentang cara media dikonstruksi (dibuat) dan diakses. Literasi
media merupakan jargon populis saat ini, tetapi masih banyak masalah yang begitu rumit dalam
implementasinya. Sejak terbukanya kebebasan informasi dan teknologi media, pertumbuhan
media massa dan media baru mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Media komunikasi
yang telah bermetaporis menjadi media digital itu perkembangannya semakin beragam. Agar
lebih gampangnya direpresentasikan oleh pertumbuhan smartphone dan sejenisnya. Dewasa ini
penetrasi berbagai jenis media tersebut telah merambah ke berbagai kalangan dan komunitas di
masyarakat, tanpa membedakan strata social dan ekonomi. Penggunaan media komunikasi
smartphone dan sejenisnya telah bergeser menjadi gaya hidup masyarakat tertentu. Dalam
konteks ini saya menganalogikan bahwa teknologi media telah mengambil bagian dari peran-
peran tertentu di masyarakat. Menurut Baran (2010:23), media berpengaruh terhadap budaya
khalayak dengan ragam cara. Maka tidak heran jika kehidupan masyarakat kita saat ini tidak bisa
terpisahkan oleh kehadiran teknologi media komunikasi. Tekanan itu semakin inten ketika
“media saling berlomba-lomba” dalam memberikan layanan informasi kepada konsumennya.
Tingginya penetrasi media komunikasi itu dampaknya semakin sulit terkontrol. Kini konsumen
tidak sekedar mendapatkan informasi, pengetahuan, dan hiburan, tetapi bisa berinteraktif
langsung. Pada saat yang sama media menanamkan nilai ideologi baru berupa gaya hidup,
budaya konsumerime dan model peniruan sikap dan perilaku para artis/actor tertentu yang
dipopulerkan media. Maka dari itu sudah waktunya penetrasi media yang semakin gencar dan
bebas harus diimbangi dengan literasi media sebagai budaya tangkal atas dampak negative
media.
Banyak literatur menjelaskan bahwa literasi media senantiasa dikaitkan dengan pendidikan
bermedia. Permasalahannya mengapa bermedia perlu dilakukan sebuah literasi?, hal ini karena
masyarakat kita bersifat heterogin, jika dilihat dari etnisitas, agama, insfrastruktur, pendidikan,
pengetahuan, latar belakang profesi, geografis dan berbagai factor lainnya. Varian kesenjangan
dan perbedaan berbagai factor tersebutberdampak pada kemampuan konsumen media dalam
mengakses informasi. Keanekaragaman indicator itu juga yang mengakibatkan perbedaan cara
pandang masyarakat dalam memahami setiap content media (Potter,2001:5). Pemahaman
terhadap literasi media, tersebut merupakan salah satu konsep untuk membangun pengetahuan
konsumen terhadap tekanan isu-isu media. Literasi media juga memberikan penekanan kepada
setiap individu konsumen media di masyarakat melakukan control terhadap content media yang
dimungkinkan dapat mempengaruhi budaya konsumen (Potter,2001:7). Literasi media di-
definisikan Devito (2008:4), sebagai kemampuan untuk memahami, menganalisis, mengakses
dan memproduksi pesan komunikasi massa. Literasi media merupakan bentuk pemberdayaan
(empowerment) agar konsumen bisa menggunakan media lebih cerdas, sehat dan aman.
Sementara itu khusus content media televisi sering dipahami mampu merefleksikan realitas
obyektif di masyarakat. Pada hal media televisi menurut penulis bukanlah cermin dunia realitas
yang ada disekitar kita, karena content media televisi dikonstruksi oleh banyak factor yang
menghasilkan ragam realitas [6]. Artinya konten media televisi tidak dipahami dalam konteks
yang bebas nilai (value free), namun realitas yang dikonstruksi televisi itu syarat dengan
berbagai kepentingan politik keredaksian atau pemiliknya.
Pesan yang diproduksi, dan disampaikan media televisi sangat erat kaitannya dengan pihak yang
mendanainya (Shoemaker & Reese,1996:231). Media itu lebih cenderung merefleksikan
ideology dari pihak-pihak yang mendanai, yakni pemilik modal, baik untuk kepentingan tertentu
atau pada posisi yang bebas nilai/netral. Meski media telah meraih kebebasan dalam pemberitaan
secara universal, tetapi ditataran ideologis dan politik keredaksian mereka masih “terbelenggu”
oleh kepentingan pemodalnya. Pada dasarnya “media merupakan organisasi yang bersifat
komplek dari sebuah institusi social yang penting dalam masyarakat” (Littlejohn.,2005:292).
Pada era informasi global ini tidak bisa kita bayangkan seandainya tidak ada media. Tetapi
ketika media dan informasinya yang bebas dan vulgar menggempur masyarakat yang belum siap
menerimanya, implikasinya banyak menimbulkan masalah baru. Bagi mereka yang memiliki
latar belakang pendidikan dan pemahaman yang cukup tentang media tentu tidak bermasalah.
Tetapi bagi mereka yang rentan pemehamannya terhadap media tentu sulit membedakan mana
content media yang bermanfaat, dan mana yang bermasalah jika dikonsumsi masyarakat tertentu.
Pada titik itulah literasi media hadir untuk memberdayakan kelompok-kelompok rentan tersebut.
Pada lingkup perpaduan antara kehidupan dan pengetahuan tentang literasi media ini Potter,
(dalam Eadie, 2009:562) melihat bahwa “seorang yang melek media dapat menginterpretasikan,
menganalisis, dan memproduksi pesan melalui media”. Hal ini sejalan dengan tujuan literasi
media adalah untuk menghasilkan warga masyarakat yang “well informed” serta dapat membuat
penilaian terhadap content media berdasarkan pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap
media yang bersangkutan (Eadie,2009:564). Literasi media mempunyai konsep memfasilitasi
khalayak konsumen media untuk berbudaya media.Pemamahan konsumen terhadap berbagai
karakter media menjadikannya memiliki nilai tawar terhadap keberadaan content media yang
semakin bebas dan liberal. Content media yang disampaikan kepada public merupakan
konstruksi yang didalamnya mencakup kepentingan tertentu yang dibawa media. Hal ini media
tidak dipahami dalam lingkup yang bebas nilai, tetapi pesan yang dikonstruksi syarat dengan
berbagai kepentingan. Kebebasan media pasca regulasi UU No: 40/2009/ tentang Pers,
UU No 32/2002/tentang Penyiaran, dan UU No:11/2008/ tentang ITE bukan merupakan
jaminan, bahwa media akan terbebas dari nilai tersebut.
Pemahaman Terhadap Budaya Media
Budaya media hingga kini masih di-definisikan secara beragam oleh para ahli maupun penggiat
media. Namun demikian jika dilihat dari sudut pandang pengetiannya, budaya media itu sendiri
lebih dekat dengan “budaya citra”yang cenderung melibatkan penglihatan dan suara/bunyi.
Maknanya ia merupakan salah satu budaya industry yang diorganisasi atas model produksi massa
untuk kepentingan audience berdasarkan ganre masing-masing. Dimana industry media itu
berbentuk komersial dan padat modal, berideologi kapitalisme. Dalam konteks ini “budaya
media berusaha membidik khalayak luas dengan thema-thema tertentu yang berhubungan dengan
masalah kekinian, yang memberikan suatu hieroglif tentang kehidupan social kontemporer”
(Kellner,2010: 2).
Menurut pandangan Douglas Kellner tersebut, budaya media bukan merupakan system
indoktrinasi ideology yang kaku, dan berelasi dengan masyarakat kapitalisme belaka, tetapi juga
member kenikmatan terhadap budaya media dan konsumennya. Bahkan ia mampu bekerjasama
menimbulkan berbagai gagasan dan tindakan yang sejalan dengan nilai, keyakinan, dan praktik
yang ditawarkan media massa, dan media baru (Kellner,2010:3). Pada pengertian yang lebih
mikro budaya media dapat dipahami sebagai hasil konstruksi media yang (media massa dan
baru) yang dianggap efektif berinteraksi dengan budaya masyarakat, dimana media memiliki
pengaruh yang cukup besar terhadap pola kehidupan masyarakat sebagai audience [7]. Kuatnya
pengaruh itu terjadi karena media senantiasa berupaya membangun “theater of mind”
sebagaimanarealitas media pada umumnya. Artinya dalam masyarakat konsumen media itu
muncul suatu hiper-reality, kondisi dimana masyarakat konsumen media dijebak dalam suatu
ruangan yang disadarinya sebagai kenyataan, meski sesungguhnya bersifat semu, samarsamar,
maya atau khayalan belaka (Baudrillard, 1983b: 46). Realitasnya di komunitas masyarakat
konsumen media telah terjadi terdapat cara pandang yang mulai bergeser. Perubahan secara
evolusi itu terlihat terhadap budaya masyarakat konsumen media itu terlihat, bahwa pandangan
dan ideology masyarakat konsumen media bukan lagi bertumpu pada “budaya yang mereka anut
selama ini” tetapi telah bergeser, digantikan oleh budaya media. Secara teoritis budaya media itu
akan selalu berpengaruh terhadap pola kehidupan masyarakat konsumen media, selama media
(massa dan baru) mendominasi kehidupan masyarakat kita. Artinya tanpa disadari ideology yang
diajarkan media cenderung mempengaruhi budaya masyarakat secara universal. Proses pengaruh
budaya media ini jika tidak dilakukan literasi media terhadap masyarakat, lambat laun
akan membawa mala petaka pada masyarakat. Flew (2002:10) dalam artikelnya merangkum
beberapa pendapat yang diajukan oleh Miles (1997), Rice (1999), dan Barr (2000) kedalam
sebuah definisi media baru, yakni semua bentuk media yang menghubungkan Tiga-C yakni :
computing, communication networks dan content dalam format digital (digitalized), dimana
penggabunagan itu sendiri diawali dengan C(convergence). Media baru ini oleh Flew (2002)
dipahami sebagai media digital, yaitu semua bentuk content media yang menggabungkan dan
menyatukan (mengintegrasikan) data, eks, suara dan berbagai macam citra (images) yang
dismpan dalam format digital, dan didistribusikan melalui jaringan komunikasi seperti serat
optic, broadband, satelit dan sistem transmisi gelombang mikro. Inilah definisi dan konsep
media baru yang dilihat dari aspek teknologinya. Konsep pendekatan teknologi yang banyak
digunakan adalah “technological determinist” yang memandang teknologi sebagai suatu
kekuatan mandiri (otonom) yang bekerja untuk mendatangkan dampak pada budaya masyarakat
yang menggunakannya (Flew,2002:39).
Dalam konteks ini ada dua pandangan yang saling bertolak belakang, yakni pandangan yang
optimis dan pesimis terhadap perkembangan teknologi. Mereka yang berpandangan optimis
melihat bahwa media baru diyakini akan membuat perubahan baru di masyarakat secara
universal. Seperti Nicolas Negroponte (1995:227), ia bersikap optimis atas media baru yang
dikatakannya mampu membuka peluang baru untuk meningkatkan kebebasan individu dan
harmoni social di tingkat global. Bill Gates (1996:181) juga melihat bahwa perkembangan media
baru telah menghadirkan era baru dalam perdagangan dan berbagai bisnis lainnya.
Menurut Flew (2002: 36),teknologi (media baru) dapat dipahami dalam 3 (tiga) level :
Level pertama, : teknologi sebagai alat atau artifak budaya yang digunakan manusia
untuk mentransformasikan alam, interaksi social,dan mengembangan kapasitas manusia.
Level kedua : teknologi sebagai konteks penggunanya, yaitu pengguna teknologi yang sesuai
dengan penciptanya. Maka teknologi dapat dimaknai content atau software. Misalnya ketika kita
membicarakan tentang computer maka tidak hanya membicarakan perangkat kerasnya, tetapi
juga perangkat lunaknya, sebab tanpa keduanya PC/laptop tidak lebih hanya sebagai seonggok
logam dan plastic tertentu yang tidak ada maknanya dalam konteks tersebut. Level ketiga :
teknologi sebagai suatu sistem pengetahuan dan social yang menyertai pengembangan dan
penggunaannya. Artinya pengguna teknologi media baru memerlukan proses belajar untuk
memperoleh tingkat pengetahuan dan ketrampilan tertentu sehingga dapat memanfaatkan
teknologi atau media baru tersebut. Media baru sebagai suatu teknologi tidak berhenti diciptakan
sebagai suatu alat, atau aplikasi, tetapi atas penciptaan, pengem bangan dan penggunaannya akan
menghasilkan bentuk budaya baru. Di sadari atau tidak media teknologi global yang berkembang
di dunia maya selama ini telah membentuk budaya teknologi yang diadopsi konsumen media
baru tersebut. Mereka bukan hanya mengadopsi aplikasi teknologinya, tetapi juga jargon-jargon
yang menjadi symbol teknologi global itu. Ketika sebuah komunitas masyarakat tidak mampu
menyesusikan dengan komunitas budaya teknologi itu, maka sesungguhnya komunitas mereka
telah tersingkir dalam pertarungan budaya di komunitasnya. Pemenangnya adalah budaya baru
yang membawa prubahan, dan pembaharuan di masyarakat budaya. Dengan demikian diperlukan
penguatan budaya local, atau kearifan local di komunitas masyarakat.
Literasi digital adalah ketertarikan, sikap dan kemampuan individu yang secara menggunakan
teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan,
menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru, membuat dan
berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat.
Elemen-elemen dasar dari definisi tersebut meliputi:
partisipasi
mengakses
mengintegrasi
menganalisa
mengevaluasi
pengelolaan
penciptaan
komunikasi
Pemberdayaan
Banyak organisasi/lembaga menggunakan istilah yang berbeda, seperti TIK/ICT (teknologi
informasi dan komunikasi) standar, standar teknologi pendidikan dan lain-lain, saya melihat
istilah ini identik dengan standar melek digital.
Ketimbang berkutat dng ganti kurikulum yang berimbas pada polemik panjang dan memakan
dana triliunan, seharusnya pemangku jabatan mulai berpikir tentang „mempersiapkan generasi
yang melek digital‟. Bukan cuma sekedar „perintah‟ dan „basa-basi‟, namun lengkapi kebutuhan
sekolah dengan tools yang diperlukan, tingkatkan kemampuan guru menggunakan ICT (bahkan
para calon guru!), buat drat standar TIK dengan mengacu pada standar ISTE (International
Society for Technology in Education), dsb.
Para pakar pendidikan yang bersinergi dengan pemangku jabatan di bidang pendidikan Briish
Columbia, propinsi paling barat di Kanada, salah satunya telah mulai mengidentifikasi standar
melek digital untuk para pelajar nya. Standar ini mengidentifikasi pengetahuan dan keterampilan
peserta didik yang dibutuhkan untuk menjadi sukses di abad 21. Draft nya disusun mulai dari
Taman Kanak Kanak sampai tingkat universitas. Tujuan mereka juga untuk mengidentifikasi
bagaimana mendayagunakan teknologi sebagai pengajaran dan alat belajar secara tepat guna.
Bloom (1956) telah memperkenalkan satu hierarki kognitif yang disusun dari aras rendah hingga
ke aras tinggi iaitu aras pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan penilaian.
Taksonomi ini dikenali sebagai Taksonomi Bloom. Kini, terdapat satu penambahan aras yang
selaras dengan perkembangan literasi digital. Penambahan tersebut adalah penambahan aras
mencipta yang memerlukan penjanaan idea, barangan, pandangan dan perancangan yang baharu
(Anderson & Krathwohl, 2001).
Taksonomi Bloom
Mencipta
Evaluasi
Analisis
Aplikasi
Pemahaman
Ingatan
Literasi digital dibina berdasarkan tiga prinsip utama. Pertama, pengetahuan dan
kemahiran, kedua, keupayaan memahami kandungan media dan aplikasinya secara
kritikal dan yang ketiga mempunyai kemampuan dan pengetahuan untuk mencipta
dengan menggunakan teknologi digital. Dalam kajian ini, tumpuan akan diberikan kepada
prinsip yang pertama dan diselaraskan dengan konteks kemahiran abad ke-21. Literasi
digital dalam konteks kemahiran abad ke-21 bermaksud keupayaan pengguna
menggunakan kemahiran tersebut dengan cekap dan berkesan.
Literasi Digital yang juga dikenali sebagai Literasi Komputer merupakan salah satu
komponen dalam Kemahiran Literasi Maklumat yang merangkumi kemahiran
penggunaan perkasasan komputer, perisian, Internet, telefon bimbit, PDA dan peralatan
digital yang lain. Digital Literacy atau Literasi Dijital, dimaknai sebagai keaksaraan
dalam berkegiatan di dunia digital, termasuk di dalamnya adalah Internet.
“ A digitally-literate person will be able to express herself by creating a presentation, a podcast
or a video. She will be able to validate data before putting it into a model, and then verify the
results of the modelling process in terms of the accuracy and plausibility of the data.”
“A digitally-literate person will be able to use software applications in elegant and efficient
ways, and even perhaps in ways that could not have been foreseen by the program’s creators.”
Read more: http://melekmedia.org/kajian/literasi-baru/literasi-dijital-dari-kasus-prita/#ixzz2UMD4MvfB
Literasi Digital merujuk kepada keupayaan mengenal pasti, mencari, memahami, menilai dan
menganalisis dan mengguna maklumat melalui teknologi digital.
Daftar Pustaka
id.wikipedia.org/wiki/Literasi_media http://melekmedia.org/kajian/literasi-baru
balitbang.kominfo.go.id/.../LITERASI-MEDIA-DAN-...
http://psssmkamar.wordpress.com/apakah-itu-literasi-digital/