Lit NOI Utuh

109
LAPORAN PENELITIAN PENGARUH PEMBERIAN KURKUMIN TERHADAP KADAR SERUM ANTI MULLERIAN HORMONE PADA TIKUS MODEL ENDOMETRIOSIS RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SOETOMO Oleh : Nova Hanafi, dr. Pembimbing : Ashon Sa’adi, dr., SpOG (K)* Dr. Widjiati, drh., M.Si** * DEPARTEMEN / SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNAIR / RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA

Transcript of Lit NOI Utuh

Page 1: Lit NOI Utuh

LAPORAN PENELITIAN

PENGARUH PEMBERIAN KURKUMIN TERHADAP

KADAR SERUM ANTI MULLERIAN HORMONE

PADA TIKUS MODEL ENDOMETRIOSIS

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

Dr. SOETOMO

Oleh :

Nova Hanafi, dr.

Pembimbing :

Ashon Sa’adi, dr., SpOG (K)*

Dr. Widjiati, drh., M.Si**

* DEPARTEMEN / SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNAIR / RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA

** DEPARTEMEN EMBRIOLOGI FKH UNAIR SURABAYA 2011

UCAPAN TERIMA KASIH

Page 2: Lit NOI Utuh

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan karunia,

rahmat dan hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan penelitian dengan

judul “ Pengaruh Pemberian Kurkumin Terhadap Kadar Serum Anti Mullerian

Hormone Pada Tikus Model Endometriosis “, yang merupakan salah satu tugas akhir

dalam menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis I Obstetri dan Ginekologi

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo

Surabaya.

Melalui kesempatan ini perkenankan saya menyampaikan ucapan terima kasih, rasa

hormat dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. Dr.Agung Pranoto, dr., MSc, SpPD(KEMD) Finasim, selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga; Prof.Dr.Muhammad Amin,dr.,SpPK(K);

Prof.Dr.MS Wiyadi,dr.,SpTHT-KL(K), selaku mantan Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Airlangga Surabaya atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk

mengikuti pendidikan spesialis di Departemen / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.

2. Dodo Anondo, dr., MPH sebagai Direktur RSUD Dr. Soetomo Surabaya; Dr.Slamet

Riyadi Yuwono,dr.,MARS,DTM&H, selaku mantan Direktur RSUD dr.Soetomo

Surabaya yang telah memberikan saya kesempatan untuk menuntut ilmu di lingkungan

rumah sakit yang beliau pimpin

3. Prof. R. Prajitno Prabowo, dr., SpOG(K), guru besar Departemen / SMF Obstetri

dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr.

Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan

selama mengikuti pendidikan spesialis.

4. Prof. R. Hariadi, dr., SpOG(K), guru besar Departemen / SMF Obstetri dan

Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo

Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan selama

mengikuti pendidikan spesialis.

5. Prof. Muhammad Dikman Angsar, dr., SpOG(K), guru besar Departemen / SMF

Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya/ RSUD

Dr. Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan

selama mengikuti pendidikan spesialis.

Page 3: Lit NOI Utuh

6. Prof. Lila Dewata Azinar, dr., SpOG(K), guru besar Departemen / SMF Obstetri dan

Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo

Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan selama

mengikuti pendidikan spesialis.

7. Prof. Samsulhadi, dr., SpOG(K), guru besar, Ketua Divisi Fertilitas, Endokrinologi

dan Reproduksi Departemen / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran

Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas segala nasehat,

dorongan, dan bimbingan yang diberikan selama mengikuti pendidikan spesialis.

8. Prof. Suhatno, dr., SpOG(K), guru besar, Ketua Divisi Ginekologi Onkologi

Departemen / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas

Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan

bimbingan yang diberikan selama mengikuti pendidikan spesialis.

9. Prof. Dr. Agus Abadi, dr., SpOG(K), guru besar, Ketua Divisi Fetomaternal

Departemen / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas

Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan

bimbingan yang diberikan selama mengikuti pendidikan spesialis.

10. Prof. Soehartono DS, dr., SpOG(K), guru besar Departemen / SMF Obstetri dan

Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo

Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan selama

mengikuti pendidikan spesialis.

11. Prof. Heru Santoso, dr., SpOG(K), guru besar Departemen / SMF Obstetri dan

Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo

Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan selama

mengikuti pendidikan spesialis.

12. Prof. Djoko Waspodo, dr., SpOG(K) (Alm.), guru besar Departemen / SMF Obstetri

dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr.

Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan

selama mengikuti pendidikan spesialis.

13. Dr. Poedji Rochjati, dr., SpOG(K), Kepala Safe Motherhood Initiative Departemen /

SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya /

RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang

diberikan selama mengikuti pendidikan spesialis.

Page 4: Lit NOI Utuh

14. Widohariadi, dr., SpOG(K), Direktur NRC Departemen / SMF Obstetri dan

Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo

Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan selama

mengikuti pendidikan spesialis.

15. Prof. Dr. Erry Gumilar Dachlan, dr., SpOG(K), guru besar Departemen / SMF

Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD

Dr. Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, bimbingan dan kepercayaan

yang diberikan selama mengikuti pendidikan spesialis.

16. Bambang Trijanto, dr., SpOG(K), Ketua Divisi Obstetri Sosial Departemen / SMF

Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD

Dr. Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan

selama mengikuti pendidikan spesialis.

17. Hari Paraton, dr., SpOK(K), Ketua Divisi Uroginekologi Rekonstruksi Departemen /

SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya /

RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang

diberikan selama mengikuti pendidikan spesialis.

18. Dr. Hendy Hendarto, dr., SpOG(K), Kepala Departemen / SMF Obstetri dan

Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo

Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan selama

mengikuti pendidikan spesialis.

19. Dr. Hermanto TJ, dr., SpOG (K), Ketua Program Studi Departemen / SMF Obstetri

dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr.

Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan

selama mengikuti pendidikan spesialis.

20. Brahmana Askandar Tj., dr., SpOG(K), Sekretaris Program Studi Departemen /

SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya /

RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang

diberikan selama mengikuti pendidikan spesialis.

21. Baksono Winardi, dr., SpOG(K), Koordinator Penelitian dan Pengembangan

Departemen / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas

Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan

bimbingan yang diberikan selama mengikuti pendidikan spesialis.

Page 5: Lit NOI Utuh

22. Agus Sulistyono, dr., SpOG(K), Kordinator Pelayanan Departemen / SMF Obstetri

dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr.

Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan

selama mengikuti pendidikan spesialis.

23. Ashon Sa’adi, dr., SpOG(K), staf pengajar Departemen / SMF Obstetri dan

Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo

Surabaya selaku pembimbing kami yang senantiasa mendorong kami, memberi

nasehat, meluangkan waktu untuk dapat menyelesaikan penelitian ini.

24. Dr. Widjiati, drh, Msi, staf pengajar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas

Airlangga dan selaku pembimbing penelitian kami atas segala nasehat, dorongan,

bimbingan, teguran dan arahan dan bimbingannya mulai pembuatan proposal

penelitian, pelaksanaan hingga penyusunan laporan penelitian.

25. Dr. Budiono, dr, MKes, staf pengajar Divisi Biostatistik dan Kependudukan

Departemen llmu Kesehatan Masyarakat/Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran

Universitas Airlangga dan selaku pembimbing statistik penelitian kami atas

bimbingannnya dengan penuh kesabaran dan dedikasi hingga terselesaikannya

penelitian kami.

26. Seluruh staf pengajar Departemen / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran

Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas segala nasehat,

dorongan, bantuan, bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan penelitian ini

27. Seluruh rekan PPDS I Departemen / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan rekan

PPDS I dari departemen keilmuan lain atas segala bantuan dan kerjasamanya selama

kami mengikuti pendidikan spesialis.

28. Seluruh karyawan dan karyawati baik paramedis maupun non paramedis RSUD Dr.

Soetomo atas segala bantuan dan kerjasamanya selama kami mengikuti pendidikan

spesialis.

29. Seluruh pasien dan keluarganya yang pernah dirawat di lingkungan RSUD Dr.

Soetomo khususnya lingkungan Departemen SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas

kesempatan , bantuan dan kerjasama yang diberikan selama kami mengikuti

pendidikan spesialis.

Page 6: Lit NOI Utuh

30. Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua saya, bapak

Mansur (alm) dan ibu Umi Hanah, kedua mertua saya bapak Laksdya (Purn)

Soeratmin dan ibu Sri Poedjiastuti serta semua kakak, adik dan keponakan saya yang

tercinta yang telah memberikan nasehat, dukungan, dorongan dan doa restu yang tak

terhingga selama saya menjalani pendidikan spesialis ini

31. Akhir kata kepada istriku tercinta dr. Ria Sandy Deneska dan anak-anakku tersayang

Muhammad Alfian Hanafi, Vania Azzahra Hanafi dan Rasyaa Raufa Hanafi atas

pengorbanan, pengertian, dorongan, kesabaran, semangat serta doa yang diberikan

selama saya mengikuti pendidikan spesialis ini

Kami menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang akan sangat bermanfaat bagi

penelitian ini. Semoga Allah SWT membalas segala budi baik yang telah diberikan

kepada kami dan senantiasa melimpahkan petunjuk, rahmat dan hidayahNya serta

menjadikan ilmu yang bermanfaat. Amin.

Surabaya, November 2011

Penulis

Nova Hanafi,dr

Page 7: Lit NOI Utuh

ABSTRACT

The Effect of Curcumin to the Anti Mullerian Hormone ( AMH ) Concentration

In Serum of Endometriotic Rat Model

Objective : to study the AMH concentration in serum of endometriotic rat model with

curcumin supplementation.

Place and time : experimental animals at embryology laboratory Veterinary Faculty

of Airlangga University, Surabaya, July – October 2011

Design and methods : experimental laboratory tests using 38 female rats (Rattus

Novergicus) with the inclusion criteria. To make endometriotic rat model, each rat was

injected with: both cyclosporin A and ethynil estradiol intramuscularly, human

endometrial tissue of benign ovarian tumors intraperitoneally. The endometriotic rat model

were randomly divided into two groups. The intervention group was comsuming curcumin

24 mg (240 mg/kg) once daily until fourteen days. The rat were sacrificed and the AMH

concentration from serum were measured by ELISA kit assay from Cusabio Biotech,

Wuhan, China.

Result : there was a significant difference in serum concentration of AMH between

curcumin group (44.9 ± 20.1) an placebo group ( 29.8 ± 11.9 ) ( p < 0.05 ).

Conclusion : the concentration of serum AMH is higher in endometriotic rat models with

curcumin supplementation than placebo.

Keywords : curcumin, endometriosis, anti mullerian hormone

Page 8: Lit NOI Utuh

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL i

UCAPAN TERIMA KASIH ii

ABSTRAK vii

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR SINGKATAN xiii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar belakang masalah 1

1.2 Rumusan masalah 4

1.3 Tujuan penelitian 4

1.3.1 Tujuan umum 4

1.3.2 Tujuan khusus 4

1.4 Manfat penelitian 4

1.4.1 Aspek ilmu pengetahuan 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Endometriosis 5

2.2 Patofisiologi endometriosis 5

2.2.1 Aliran balik menstruasi 5

2.2.2 Imunologi pada endometriosis 6

2.2.3 Nuclear Factor-Kappa B (NF-κB) 9

2.3 Folikulogenesis 10

2.4 Apoptosis sel granulosa 13

2.5 Anti Mullerian Hormone (AMH) 15

2.5.1 Peran AMH pada perkembangan folikel 15

2.5.2 Mekanisme regulasi AMH 17

2.5.3 Sumber dan pola kadar AMH pada serum 18

2.5.4 AMH dan endometriosis 19

2.6 Terapi medis endometriosis 20

2.7 Kurkumin 21

Page 9: Lit NOI Utuh

2.7.1 Farmakokinetik dan efek samping 21

2.7.2 Aktivitas biologi 22

2.8 Binatang percobaan pada penelitian endometriosis 24

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 27

3.1 Kerangka konseptual 27

3.2 Narasi 28

3.3 Hipotesa penelitian 29

BAB 4 METODE PENELITIAN 30

4.1 Desain penelitian 30

4.2 Tempat dan waktu penelitian 30

4.3 Populasi, sampel dan besar sampel 30

4.3.1 Populasi 30

4.3.2 Sampel 30

4.3.3 Besar sampel 30

4.4 Kriteria subyek penelitian, variabel penelitian, dan

definisi operasional 30

4.4.1 Kriteria subyek penelitian 30

4.4.2 Variabel penelitian 31

4.4.3 Definisi operasional 31

4.5 Instrumen penelitian 33

4.6 Prosedur penelitian 33

4.6.1 Prosedur pengambilan sampel 33

4.6.2 Kerangka operasional 34

4.6.3 Alur penelitian 35

4.7 Pengelolaan data 36

4.8 Anggaran 36

4.9 Kelayakan etik 36

BAB 5 HASIL PENELITIAN 37

5.1 Karakteristik sampel penelitian 37

5.2 Analisa hasil penelitian 38

BAB 6 PEMBAHASAN 40

6.1 Model endometriosis 40

6.2 Karakteristik sampel penelitian 41

Page 10: Lit NOI Utuh

6.2 Perbandingan kadar serum AMH pada perlakuan dengan

kurkumin dan plasebo 42

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan 46

7.2 Saran 46

BAB 8 DAFTAR PUSTAKA 47

LAMPIRAN 52

Page 11: Lit NOI Utuh

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Ekspresi AMH pada folikel ovarium kuda 17

Tabel 5.1 Hasil uji normalitas berat badan tikus kelompok kurkumin

dan plasebo 38

Tabel 5.2 Hasil uji homogenitas berat badan tikus kelompok kurkumin

dan plasebo 38

Tabel 5.3 Hasil uji normalitas kadar serum AMH 39

Tabel 5.4 Hasil uji t dua sampel bebas kadar serum AMH 39

Page 12: Lit NOI Utuh

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Peran sentral makrofag pada patogenesa endometriosis 7

Gambar 2.2 Pengaruh gonadotropin dan berbagai faktor

pertumbuhan pada folikulogenesis 10

Gambar 2.3 Mekanisme apoptosis pada sel 14

Gambar 2.4 Peran AMH pada pertumbuhan folikel ovarium 16

Gambar 2.5 Hubungan berbagai faktor keluarga TGF-β dalam

folikulogenesis 20

Gambar 2.6 Mekanisme kerja Kurkumin pada aktivasi

Cytokine-induced NF-κB 23

Page 13: Lit NOI Utuh

DAFTAR SINGKATAN

AP-1 : Activator Protein-1APC : Antigen Presenting CellBDMC : Bisdemethoxycurcumin bFGF : Basic Fibroblast Growth FactorDD : Death DomainDMC : DemethoxycurcuminEGF : Epidermal Growth FactorEGF(R) : Epidermal Growth Factor (Receptor)EGR-1 : Early Growth Factor-1ERK : Extracellular signal-Regulated KinaseFADD : Fas Associated DD proteinGADD : Growth Arrest and DNA DamageHER-2 : Human Epidermal Growth Factor Receptor-2HGF : Hepatocyte Growth FactorIAP : Inhibitor of ApoptosisICAM-1 : Intercelluler Adhesion Molecule-1IFN-γ : Interferon GammaIGF-1 : Insulin-like Growth Factor-1IKK : IκB Kinase ComplexiNOS : Inducible Nitric Oxide SynthaseIκBα : Inhibitory Kappa Beta AlfaJNK : c-Jun NH2 terminal KinasekD : kilo DaltonKIR : Killer Inhibitory ReceptorsLPS : LipopolysaccharideMAPK : Mitogen Activated Protein KinaseMHC : Major Histocompatibility ComplexNIK : NF-κB Inducing KinaseNOS : Nitric Oxide SynthasePPAR-γ : Peroxisome Proliferator Activated Receptor GammaRANTES : Regulated upon Activation, Normal T-cell Expressed and Secreted ROS : Reactive Oxygen SpeciesSCID : Severe Combined Immuno DefficientsICAM-1 : Soluble Intercelluler Adhesion Molecule-1THC : TetrahydrocurcuminTIMP : Tissue Inhibitors of MMPTNFR : Tumour Necrosis Factor ReceptorTRADD : TNF Receptor Associated Death DomainTRAF : TNF Receptor Associated FactorVEGF : Vascular Endothelial Growth Factor

Page 14: Lit NOI Utuh

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Endometriosis adalah salah satu penyakit yang masih merupakan masalah bagi

kesehatan wanita usia reproduktif. Didapatkan angka prevalensi pada populasi umum

wanita usia reproduktif antara 3-10 % (Sperrof, 2005). Pada umumnya mereka ke dokter

dengan keluhan nyeri pelvis kronis, nyeri haid, nyeri sanggama, dan infertilitas. Data di

Rumah Sakit dr.Soetomo Surabaya menunjukkan kejadian endometriosis pada tindakan

laparoskopi terhadap penderita infertilitas, yaitu pada tahun 1987 sampai 1991 sebesar

23,8 %, pada tahun 1992 sampai 1993 meningkat menjadi 37,2 %, dan terakhir pada tahun

2002 mencapai 50 % (Samsulhadi, 2002). Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan

tingginya angka infertilitas pada penderita endometriosis, yaitu faktor mekanik berupa

perlekatan organ reproduksi sehingga mengganggu pengambilan oosit oleh fimbria saat

ovulasi serta hambatan pertemuan sperma dan oosit di tuba Falopii, defek dari respon

imunologi dan penurunan kualitas oosit akibat gangguan proses folikulogenesis.

Penurunan kualitas oosit ini akan menyebabkan rendahnya angka kejadian kehamilan pada

wanita endometriosis hingga kurang dari 35 % (Barnhart dkk.2002) dan tingginya angka

kejadian abortus sampai 27 % (Matalliotakis dkk.,2008).

Defek respon imunologi ditandai dengan peningkatan proses inflamasi yang

diinduksi oleh aktifitas makrofag di dalam cairan peritoneum, makrofag tersebut akan

mensekresi secara berlebihan beberapa sitokin diantaranya TNF-α (Bedaiwy dkk., 2002).

TNF-α akan berdifusi dan masuk ke dalam folikel, kemudian melalui ikatan dengan

reseptornya (TNF-R1) pada membran sel granulosa, TNF-α akan mengaktifkan sinyal

kematian sel dan menginduksi terjadinya kaskade dari caspase dan merangsang proses

apoptosis pada sel granulosa (Hussein, 2005). TNF-α juga akan meningkatkan produksi

ROS melalui jalur JNK-1 dan akan meningkatkan stres oksidatif yang menstimulasi proses

apoptosis sel granulosa (Antosiewicz dkk.,2007). Proses apoptosis yang patologis tersebut

akan menyebabkan gangguan pada fungsi sel granulosa. Telah dibuktikan pada penelitian

sebelumnya bahwa pada proses folikulogenesis didapatkan kerjasama antara sel granulosa

dan sel oosit (Elvin dkk.,1999). Kedua sel tersebut saling berkomunikasi melalui jalur

parakrin untuk menghasilkan kualitas oosit yang baik untuk fertilisasi, sehingga apabila

Page 15: Lit NOI Utuh

terjadi gangguan pada fungsi sel granulosa dapat mengakibatkan menurunnya kualitas

oosit dan meningkatkan angka infertilitas pada penderita endometriosis.

Terapi yang umum digunakan pada endometriosis adalah dengan pembedahan atau

secara medis dengan obat hormonal atau kombinasi keduanya. Prinsip dasar terapi adalah

menekan gejala dan mencegah progresivitas dengan mengurangi implan endometriosis.

Umumnya terapi yang diberikan berguna untuk menanggulangi keluhan nyeri. Angka

kesembuhan terapi pembedahan sekitar 80%, tetapi terapi pembedahan terlalu invasif dan

angka kekambuhannya sekitar 10 % - 20 % serta masih memerlukan tambahan terapi

( Sperrof, 2005). Beberapa terapi hormonal yang saat ini digunakan bertujuan untuk

menghambat pertumbuhan implan endometriosis dengan jalan menekan hormon steroid

yang dikeluarkan oleh ovarium dan menimbulkan keadaan hipoestrogenik. Terapi medis

endometriosis tersebut hanya bisa digunakan dalam waktu yang terbatas oleh karena efek

samping hipoestrogen yang timbul, sehingga penderita diharapkan pada masalah baru yaitu

infertilitas. Tingginya angka kekambuhan yang mencapai 45% setelah menyelesaikan

terapi medis juga masih menjadi masalah hingga saat ini.

Sejalan dengan kondisi diatas, para ilmuwan berusaha menemukan terapi baru

dengan target molekul yang berbeda, memiliki efektifitas yang tinggi dan efek samping

yang lebih sedikit (Nasu dkk., 2007). Salah satu metode pengobatan medis yang

dikembangkan untuk tujuan tersebut adalah pengobatan dengan menggunakan bahan

herbal yaitu kurkumin. Kurkumin merupakan bahan aktif yang diekstraksi dari Curcuma

longa, dalam bahasa inggris disebut Turmeric dan dalam bahasa indonesia disebut kunir.

Kurkumin diketahui dapat menekan mutagenesis dan digunakan sebagai agen

chemopreventive untuk berbagai kanker seperti kanker usus besar, payudara, prostat,

esofagus, paru-paru, serta menghambat atherosclerosis, menghambat pertumbuhan virus

dan bakteri. Kurkumin juga mempunyai efek anti-inflamasi melalui penekanan aktivasi

nuclear factor- κB (NF-κB), efek antiproliferatif melalui penekanan cyclin D1 dan produk

gen anti-apoptosis, menginduksi pelepasan sitokrom C dan mempunyai efek anti

angiogenesis (Sandur dkk., 2007) serta diketahui pula mempunyai efek antioksidan

(Sharma dkk.,2005).

Pada penelitian sebelumnya telah dibuktikan bahwa kurkumin menghambat

pertumbuhan sel endometriosis melalui penekanan ekspresi VEGF (vascular endothelial

growth factor) (Kuswojo dkk., 2009) yaitu suatu faktor angiogenesis yang poten dan

penelitian oleh Johari telah membuktikan bahwa kurkumin dapat meningkatkan jumlah

Page 16: Lit NOI Utuh

dan maturasi ovum pada mencit model endometriosis yang dilakukan stimulasi ovarium

melalui penekanan proses inflamasi (Johari dkk.,2010) sementara penelitian oleh Sa’adi

mendapatkan bahwa kurkumin dapat menekan faktor angiogenesis VEGF dan luas implan

endometriosis pada mencit model endometriosis sebanding dengan progestin (MPA)

(Sa’adi, 2010).

Salah satu marker yang dapat digunakan untuk mengetahui fungsi sel granulosa

adalah AMH (anti Mullerian hormone) atau MIS (mullerian inhibiting substance) yaitu

suatu glikoproterin dimer yang termasuk dalam transforming growth factor-beta (TGF-β)

superfamily. AMH pada wanita dihasilkan oleh sel granulosa folikel pre-antral dan antral

yang ikut berperan pada folikulogenesis (Visser dan Themmen,2005). AMH disekresi oleh

ovarium ke dalam sirkulasi sehingga kadar AMH dapat diukur dalam serum. Kadar AMH

serum didapatkan menurun pada penderita endometriosis dan sebanding dengan

derajatnya, semakin berat maka kadar AMH juga semakin turun (Shebl dkk.,2009) begitu

pula pada kadar AMH dalam cairan folikel (Falconer,2009). AMH mempunyai

keunggulan dalam menggambarkan fungsi sel granulosa oleh karena tidak dipengaruhi

siklus menstruasi dan pemakaian obat kontrasepsi, sehingga dapat diukur pada setiap fase

(Streuli dkk.,2008). AMH suatu marker dengan nilai prognostik yang cukup baik dalam

memprediksi jumlah oosit matur yang didapatkan dalam suatu siklus tehnologi reproduksi

berbantu atau assisted reproductive technology (ART) pasca stimulasi gonadotropin (La-

Marca dkk., 2010). AMH bahkan memiliki nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan

marker lainnya seperti FSH, inhibin B, dan estradiol (Hazout dkk., 2004). Kadar serum

AMH penting untuk memprediksi respon ovarium pada wanita endometriosis yang

mengikuti program ART. Diharapkan apabila didapatkan kadar AMH yang tinggi maka

angka keberhasilan program ART diharapkan pula akan meningkat.

Penelitian berikut mengajukan konsep bahwa apoptosis sel granulosa yang terjadi

karena peningkatan faktor inflamasi pada endometriosis akan menyebabkan penurunan

kadar AMH. Diharapkan dengan pemberian kurkumin dapat menghambat proses inflamasi

dan apoptosis sehingga mampu menekan gangguan fungsi sel granulosa yang ditandai

dengan tingginya kadar AMH. Dengan tingginya kadar AMH diharapkan fertilitas juga

meningkat. Mengingat kurkumin belum pernah digunakan pada manusia untuk pengobatan

endometriosis dengan infertilitas dan penelitian pada manusia untuk mengetahui efek

kurkumin terkendala etika, maka pada penelitian ini digunakan tikus sebagai model

endometriosis.

Page 17: Lit NOI Utuh

1.2 Rumusan masalah

Apakah kadar AMH pada serum tikus model endometriosis yang mendapat

suplementasi kurkumin lebih tinggi daripada plasebo?

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Mempelajari pengaruh pemberian kurkumin terhadap kadar AMH pada serum tikus

model endometriosis.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengukur kadar AMH pada serum tikus model endometriosis yang mendapat

suplementasi kurkumin.

2. Mengukur kadar AMH pada serum tikus model endometriosis yang mendapat

suplementasi plasebo.

3. Membandingkan kadar AMH pada serum tikus model endometriosis yang

mendapat suplementasi kurkumin dan plasebo?

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Aspek ilmu pengetahuan

1. Mendapatkan data yang bisa dipakai sebagai data dasar untuk penelitian lebih

lanjut mengenai khasiat kurkumin terhadap patofisiologi endometriosis

2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar penelitian selanjutnya pada

tikus model endometriosis sebelum dilakukan uji klinis pada manusia.

Page 18: Lit NOI Utuh

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Endometriosis

Endometriosis adalah suatu penyakit yang jinak. Didefinisikan dengan

didapatkannya kelenjar dan jaringan endometrium di luar rongga uterus (Speroff,2005).

Penyakit ini bersifat kronis dan progresif menimbulkan gejala berupa nyeri haid,nyeri

sanggama, infertilitas, dan nyeri panggul kronis.

Insiden endometriosis meningkat selama lebih dari 30 tahun terakhir. Hal

ini disebabkan semakin meningkatnya kepekaan dalam mendiagnosis endometriosis dan

penggunaan laparoskopi untuk membantu menegakkan diagnosa endometriosis. Angka

prevalensi endometriosis pelvis pada populasi wanita usia reproduktif secara umum

didapatkan sekitar 3-10 %. Sementara pada wanita dengan nyeri pelvik didapatkan

prevalensi antara 5-20 % dan pada wanita dengan infertilitas didapatkan prevalensi 20-40

% (Speroff,2005). Data di Rumah Sakit dr.Soetomo Surabaya menunjukkan kejadian

endometriosis pada tindakan laparoskopi terhadap penderita infertilitas, yaitu pada tahun

1987 sampai 1991 sebesar 23,8 %, pada tahun 1992 sampai 1993 meningkat menjadi 37,2

%, dan terakhir pada tahun 2002 mencapai 50 % (Samsulhadi,2002). Di Rumah Sakit dr.

Cipto Mangunkusumo Jakarta kejadian infertilitas dengan endometriosis sebesar 69,5%

sedangkan di Rumah Sakit dr.Moewardi Solo kejadian infertilitas disertai endometriosis

pada bedah ginekologi pada tahun 2000 sebesar 13,6% ( Hendarto,2007).

2.2 Patofisiologi endometriosis

Banyak teori tentang penjelasan patogenesa endometriosis, tetapi belum ada satu

teori pun yang bisa menjelaskan secara sempurna mengenai semua manifestasi penyakit

ini. Salah satu teori yang paling banyak dianut adalah teori tentang aliran balik menstruasi.

2.2.1 Aliran balik menstruasi

Teori Sampson (1927) berupa retrograde menstruation (aliran balik menstruasi)

paling banyak mendapat dukungan pada mekanisme yang terlibat dalam perkembangan

endometriosis. Aliran balik menstruasi adalah refluks aliran darah menstruasi melalui tuba

fallopii kedalam ke rongga abdomen. Kesimpulan Sampson ini didukung oleh beberapa

pengamatan yaitu:

Page 19: Lit NOI Utuh

1. Ditemukannya darah dalam cairan peritoneum pada 75-90% wanita yang menjalani

laparoskopi saat menstruasi dengan tuba yang paten.

2. Prevalensinya meningkat pada wanita yang mengalami hambatan aliran darah

menstruasi melalui vagina.

3. Lokasi implantasi jaringan endometriosis umumnya pada daerah pelvis yaitu

sekitar ovarium, kavum Douglas, dinding belakang uterus dan ligamentum di

sekitarnya. (Speroff,2005).

Walaupun aliran balik menstruasi terjadi pada 70-90 % wanita, ternyata hanya 10%

yang terdiagnosa menjadi endometriosis, artinya hanya sebagian kecil saja yang

berkembang. Hal ini menunjukkan terdapat faktor lain yang menentukan berkembangnya

penyakit ini. Diduga hal tersebut berkaitan dengan perubahan respon imun yang menjadi

abnormal pada penderita endometriosis (Berkkanoglu dan Arici, 2003).

2.2.2 Imunologi pada endometriosis

Pada endometriosis didapatkan perubahan imunitas baik imunitas humoral maupun

seluler. Perubahan tersebut mengakibatkan pembersihan debris refluks darah menstruasi

menjadi tidak efektif. Meskipun cairan peritonium wanita endometriosis mengandung

sejumlah sel imun yang meningkat pada kenyataannya aktivitas sel imun tersebut justru

membantu berkembangnya endometriosis daripada mencegah (Speroff,2005).

Perubahan pada sistem imun humoral dibuktikan dengan ditemukannya banyak

antibodi pada cairan peritonium maupun intravaskuler. Studi oleh Mathur dkk.(1982)

mendapatkan adanya IgG dan IgA anti endometrium dan ovarium pada serum dan sekret

vagina wanita endometriosis. Hal ini diasumsikan sebagai mekanisme pembersihan debris

menstruasi pada saluran reproduktif. Peneliti lain menemukan antibodi dalam sirkulasi

seperti antibodi anti nuclear, anti-DNA dan antiphospolipid atau antibodi lain seperti

antibodi anti endotelial dan antitiroid. Banyaknya antibodi yang ditemukan pada wanita

endometriosis menunjukkan peningkatan aktivitas dari sel limfosit B dan ini diasumsikan

bahwa endometriosis merupakan penyakit autoimun (Mathur dkk.,1982; Nothnick

dkk.,2001).

Abnormalitas dari sistem imun seluler menyangkut perubahan aktivitas dari sel NK

(Natural Killer cell) dan sel makrofag. Oosterlynck menemukan bahwa didapatkan

penurunan sitotoksisitas dari sel NK pada cairan peritonium. Penurunan aktivitas sel NK

semakin meningkat sesuai gradasi endometriosis (Oosterlynck dkk.,1991). Mekanisme

Page 20: Lit NOI Utuh

yang menyebabkan penurunan aktivitas sel NK belum jelas, tetapi sarjana Wu

mendapatkan peningkatan ekspresi Killer Inhibitory Receptors (KIR) pada cairan

peritonium penderita endometriosis. Hal ini kemungkinan menjadi salah satu penyebabnya

(Wu dkk.,2000).

Sel makrofag merupakan faktor penting dalam fisiologi imunitas seluler. Pada

siklus menstruasi normal, makrofag berfungsi sebagai scavenger (pembersih) sel

endometrium yang masuk dalam rongga peritonium dan akan mengalami apoptosis setelah

menyelesaikan perannya sebagai sel fagosit agar terhindar dari respon yang berlebihan.

Pada penderita endometriosis didapatkan peningkatan jumlah, konsentrasi dan aktivitas sel

makrofag (Berkkanoglu dan Arici,2003). Selain itu, sel makrofag pada cairan peritonium

penderita endometriosis mengekspresikan faktor anti apoptosis yaitu Bcl-2 lebih tinggi

dibanding normal dan hal ini yang mengakibatkan sel endometrium terlindungi dari proses

apoptosis (McLaren dkk.,1997). Akibat peningkatan jumlah dan aktivitas tersebut

kemudian menyebabkan sel makrofag pada penderita endometriosis dapat menstimulasi

implantasi dan pertumbuhan sel endometrium dengan memproduksi berbagai sitokin dan

faktor pertumbuhan (gambar 2.1) (Lebovic dkk.,2001).

Gambar 2.1 Peran sentral makrofag pada patogenesa endometriosis

Sumber : Lebovic dkk., 2001.

Sitokin merupakan glikoprotein yang diproduksi oleh sel makrofag, limfosit atau

sel mesotel peritonium. Pada cairan peritonium wanita endometriosis telah diidentifikasi

beberapa sitokin pro inflamasi dan faktor-faktor pertumbuhan yang penting, yaitu

interleukin (IL)-1, IL-6, IL-8, Tumor Necrosis Factor (TNF)-α, Regulated on Activation,

Normal T-cell Expressed and Secreted (RANTES) dan Vascular Endothelial Growth

Factor (VEGF) .

Page 21: Lit NOI Utuh

IL-1 terutama diproduksi oleh monosit dan makrofag. Beberapa penelitian telah

membuktikan peningkatan konsentrasi IL-1 pada cairan peritonium penderita

endometriosis. IL-1 terutama berperan dalam stimulasi faktor angiogenesis yaitu VEGF

dan IL-6 pada stroma sel endometriosis. IL-1 juga membantu sel endometrium lolos dari

surveilans sistem imun dengan menginduksi pelepasan sICAM-1 (Vigano dkk.,1998).

Selain itu juga menstimulasi proliferasi sel B dan produksi antibodi yang diketahui

meningkat pada endometriosis (Senturk dan Arici,1999).

IL-6 merupakan sitokin pleiotropic yang dapat memodulasi sitokin lain,

mempromosi aktivasi sel T dan diferensiasi sel B. Telah diketahui pula bahwa IL-6 dapat

menghambat proliferasi dari sel stroma endometrium. Tetapi di sisi lain pada sel

endometriosis diketahui resisten atau tidak respons terhadap efek inhibisi IL-6. Hal ini

kemungkinan disebabkan oleh penurunan konsentrasi reseptor solubel IL-6 (Rier

dkk.,1995).

IL-8 adalah sebuah kemokin yang menginduksi kemotaksis dari netrofil dan

merupakan faktor angiogenik yang poten. Telah dibuktikan bahwa didapatkan peningkatan

konsentrasi IL-8 pada penderita endometriosis dan berkorelasi dengan gradasi penyakit

(Gazvani dkk.,1998). IL-8 dapat berperan sebagai autokrin faktor pertumbuhan karena

menstimulasi proliferasi sel endometriosis. Diketahui pula TNF-α menstimulasi proliferasi

sel stroma endometriosis melalui induksi gen dan ekspresi protein dari IL-8 (Iwabe

dkk.,2000).

RANTES adalah sebuah sitokin yang berperan sebagai kemoatraktan bagi

makrofag, monosit dan sel T ke dalam peritonium. Konsentrasi RANTES diketahui

meningkat pada cairan peritonium penderita endometriosis dan meningkat sesuai

gradasinya. Produksi RANTES dapat distimulasi oleh sitokin lain. Pada percobaan in vitro,

kultur dari sel stroma endometrium dapat mensintesa mRNA RANTES dan mensekresi

protein bila diinduksi oleh TNF-α dan IFN-γ ( Hornung dkk.,1997).

VEGF adalah suatu mediator penting yang berperan pada angiogenesis lokal yang

diproduksi oleh monosit dan makrofag. VEGF menstimulasi proliferasi dari sel endotel

vaskuler. Faktor–faktor yang berperan menstimulasi produksi VEGF diantaranya adalah

IL-1, TGF-β, faktor–faktor pertumbuhan (PDGF,EGF), dan prostaglandin E2. Pada cairan

peritonium penderita endometriosis didapatkan kadar VEGF yang lebih tinggi dibanding

normal dan kadarnya sebanding dengan derajat penyakitnya (McLaren dkk.,1997)

Page 22: Lit NOI Utuh

TNF-α diproduksi oleh netrofil, makrofag, limfosit dan sel NK. Sitokin ini

mempunyai kemampuan untuk inisiasi sekresi berbagai sitokin lain dan faktor-faktor yang

berhubungan dengan respon inflamasi. TNF-α cairan peritonium berperan untuk fasilitasi

perlekatan jaringan endometrium ektopik pada peritonium sehingga implan tersebut

menjadi berkembang. Konsentrasi TNF-α dalam cairan peritonium wanita endometriosis

meningkat dan berhubungan dengan stadium endometriosis. Dibandingkan sitokin lainnya,

TNF-α dalam cairan peritonium merupakan diskriminator bermakna untuk membedakan

endometriosis dengan bukan endometriosis (Bedaiwy dkk.,2002; Berkkanoglu dan

Arici,2003). Penelitian lain telah membuktikan bahwa kadar TNF-α dalam cairan folikuler

lebih tinggi pada wanita endometriosis dibandingkan wanita dengan gangguan infertilitas

karena faktor tuba (Falconer,2009).

TNF-α sebagai ligand, walaupun dapat berfungsi untuk regulasi fisiologis seperti

respon imun, hematopoisis dan morfogenesis, dapat pula berimplikasi pada tumorigenesis,

syok septik, rejeksi transplantasi, replikasi virus, resorpsi tulang, rheumatoid arthritis dan

diabetes mellitus. TNF-α dapat menstimulasi proliferasi sel, diferensiasi, survival atau

apoptosis (Aggarwal,2003).

2.2.3 Nuclear Factor-Kappa B (NF-κB)

Banyak bukti telah melaporkan bahwa Nuclear Factor-Kappa B (NF-κB), sebuah

faktor transkripsi yang memiliki peran utama dalam respon inflamasi. NF-κB adalah

heterodimer dari protein homologus c Rel protein, yang normalnya berada di sitoplasma

dari sel dan berikatan dengan IκBα yang membuatnya inaktif. Stimulus seperti sitokin,

virus dan oksidan memecah ikatan NF-κB dengan IκBα. NF-κB lalu pindah ke nukleus

dan berikatan dengan DNA dari gen-gen mediator inflamatori yang mengakibatkan

meningkatnya produksi dan sekresi NF-κB. Sebagai inhibitor glukokortikoid

menginaktivasi NF-κB dengan meningkatkan IκBα dan reaksi inilah yang menjadi basis

dari reaksi inflamasi.

NF-κB berperan penting terhadap respon imun dan inflamasi melalui regulasi gen

yang mengode sitokin pro inflamasi (IL-1,IL-2,IL-12 dan TNF-α), molekul adhesi

(endothelial leukocyte adhesion molecule, vascular cell adhesion molecule dan

intercellular adhesion molecule), kemokin, faktor pertumbuhan dan beberapa enzim

seperti COX-2 dan inducible nitric oxide synthase (iNOS). Molekul ini merupakan

komponen penting respon imun alamiah untuk menginvasi mikroorganisme atau debris

Page 23: Lit NOI Utuh

lainnya dan dibutuhkan untuk migrasi sel inflamasi dan sel fagosit dari jaringan. Tikus

model dengan defek pada aktivitas NF-κB atau berkurangnya beberapa sub unit NF-κB

seperti Rel-A (p65) mempengaruhi imunitas alamiah, adaptif dan perkembangan organ

limfoid (Tripathi dan Aggarwal,2006; Ramos dkk.,2007).

Beberapa gen yang diregulasi oleh NF-κB terbukti berdampak pada patofisiologi

endometriosis. Studi in vitro menunjukkan aktivasi NF-κB di dalam sel stroma

endometriosis melalui jalur NF-κB klasik diinduksi oleh IL-1, TNF-α atau lipopolisakarida

(Ramos dkk.,2007). Studi oleh Ramos menunjukkan NF-κB aktif di dalam sel

endometriosis peritonium, lesi merah endometriosis menunjukkan derajat aktivasi NF-κB

lebih tinggi dibanding lesi hitam. Selain itu juga ditemukan ekspresi ICAM-1 meningkat

bermakna pada lesi merah dibanding lesi hitam. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan

meningkatnya aktivitas jalur NF-κB pada lesi endometriosis.

2.3 Folikulogenesis

Pembentukan dan pertumbuhan folikel sudah terjadi sejak janin usia 18-20 minggu

kehamilan. Kebanyakan folikel berada dalam keadaan resting follicle dinamakan sebagai

folikel primordial. Fase istirahat folikel tertahan pada tahap diploten dari profase meiosis I,

tetapi sebagian ada yang masuk ke fase pertumbuhan. Adanya sinyal pertumbuhan oleh

gonadotropin (FSH dan LH memuncak pada usia kehamilan 28-30 minggu) tidak diikuti

ovulasi, sehingga folikel yang tumbuh berakhir dengan atresia. Penipisan cadangan folikel

karena atresia pada mamalia diketahui pada 99 % folikel yang terbentuk, hanya 1% yang

mencapai ovulasi.

Gambar 2.2 Pengaruh gonadotropin dan berbagai faktor pertumbuhan pada

folikulogenesis

Sumber : McGee dan Hsueh, 2000.

Page 24: Lit NOI Utuh

Cadangan folikel secara terus menerus tumbuh ke fase pertumbuhan melalui proses

pemilihan awal atau “Initial recruitment”, hormon atau faktor-faktor yang memicu

terjadinya proses tersebut belum diketahui. Hanya sekelompok folikel primordial saja yang

dapat dipengaruhi faktor pemicu dan masuk ke fase pertumbuhan, sedang yang lain tetap

tidak aktif atau “Dormant”. Folikel yang terpilih akan berkembang sampai ke fase

preantral kemudian antral setelah itu terjadi proses pemilihan kembali “Cyclic

recruitment” oleh gonadotropin untuk berlanjut ke fase berikutnya, bila saat itu

gonadotropin kadarnya rendah maka akan terjadi atresia (McGee dan Hsueh, 2000).

Beberapa teori menerangkan terjadinya atresia folikel melalui proses apoptosis,

diantaranya :

1. Folikel mengalami atresia karena disebabkan kelainan oosit, sel granulosa, dan

kondisi lingkungan.

2. Semua folikel mampu mencapai tahap ovulasi kecuali dipicu untuk atresia oleh

stimulan iatrogenik misalnya androgen, IL-6, Fas, dan sebagainya.

3. Atresia memang “takdir” dari folikel itu sendiri.

Folikel yang mengalami apoptosis menunjukkan adanya gambaran involusi, bentuk

menjadi ireguler, sitoplasma mengalami kondensasi, membrane blebbing, hipertrofi sel

teka, kerusakan germinal vesicle, dan fragmentasi oosit menjadi apoptotic body. Multi

studi telah mendemonstrasikan pentingnya peran growth factor dalam menekan terjadinya

apoptosis, antara lain:

a. Gonadotropin, telah diketahui bahwa hilangnya lonjakan gonadotropin akan memicu

dan mempercepat terjadinya atresia dalam 3-4 hari. Perubahan sel granulosa dan sel

teka dipengaruhi gonadotropin sebagai penentu kelangsungan pertumbuhan folikel.

Selanjutnya folikel atretik dapat dicegah dengan pemberian gonadotropin eksogen.

b. IGF-1, berfungsi untuk meningkatkan pengaruh stimulasi gonadotropin pada

diferensiasi folikel. Walaupun demikian peran IGF-1 menghambat atresia folikel

secara pasti belum diketahui. Pemberian IGF-1 di model kultur menunjukan efek

yang sama seperti penggunaan gonadotropin eksogen pada hewan coba hamster.

c. Estrogen dan Androgen. Estrogen dan FSH diketahui dapat meningkatkan indeks

mitosis dan akumulasi reseptor FSH pada sel granulosa sehingga folikel sangat peka

terhadap konsentrasi FSH rendah. Sebaliknya, androgen mempunyai sifat atretogenik

terhadap folikel sehingga banyak terjadi piknotik sel granulosa dan degenerasi sel

oosit. Androgen diproduksi oleh sel teka yang kemudian oleh sel granulosa

Page 25: Lit NOI Utuh

digunakan sebagai bahan pembentukan estrogen. Konsentrasi androgen yang rendah

dapat meningkatkan aktifitas aromatase sehingga meningkatkan produksi estrogen,

tetapi pada konsentrasi tinggi akan dimetabolisme oleh sel granulosa menjadi 5α-

androgen yang merupakan androgen paling poten, androgen ini tidak bisa dirubah

menjadi estrogen dan menghambat pembentukan reseptor LH yang esensial untuk

pertumbuhan folikel serta menghambat aktifitas aromatase. Dengan demikian bila

rasio androgen – estrogen folikel meningkat maka akan memicu proses apoptosis

folikel.

d. Selain factor-faktor diatas apoptosis juga dipengaruhi oleh IL6, Fas Ligand, Aktivin,

Inhibin, TGF α, dan lain-lain.

Pada hewan coba tikus dibuktikan bahwa awal pertumbuhan folikel dipicu oleh

gonadotropin. Peran gonadotropin dalam menginisiasi folikel istirahat ke fase

pertumbuhan dianggap yang terpenting. Pertumbuhan folikel ini diawali oleh perubahan

bentuk sel granulosa dari pipih menjadi kuboid (folikel primer), perubahan sel granulosa

tersebut dipengaruhi kadar FSH. Terbukti pada pemberian GnRH analog dimana reseptor

FSH di sel granulosa terblokir menyebabkan tidak terjadinya perubahan tersebut.

Walaupun apoptosis dapat terjadi pada semua fase tetapi saat yang paling mudah

jatuh ke atresia adalah transisi dari preantral (folikel sekunder) ke antral (folikel tertier).

FSH dan LH adalah hormon tropik yang esensial untuk proliferasi sel granulosa dan

pemilihan folikel antral. LH/hCG sendiri tidak efektif untuk mendukung pertumbuhan

folikel sehingga FSH merupakan survival factor predominan pada permulaan pertumbuhan

folikel. Estrogen folikel diperoleh dari aromatisasi androgen di sel granulosa dan

produksinya tergantung dari FSH. Androstenedion diproduksi oleh sel teka dan

dipengaruhi oleh LH. Folikel preovulator (folikel Graafian) juga memerlukan survival

factor untuk terjadinya ovulasi dimana mekanismenya berbeda.

Kerja sama hormon intrafolikular mungkin diperlukan untuk lolosnya satu oosit ke

ovulasi. Terjadinya apoptosis pada folikel preovulatoar dapat dicegah dengan pemberian

FSH dan LH. Selain itu pemberian sejenis growth hormon seperti, IGF-1, TGF-α

(transforming growth factor alpha), terbukti menekan apoptosis. Jadi pada fase

preovulatoar untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya diperlukan kerjasama antara

sistem endokrin, parakrin, autokrin, dan intrakrin (McGee dan Hsueh, 2000).

Page 26: Lit NOI Utuh

2.4 Apoptosis sel granulosa

Apoptosis atau programmed cell death adalah proses kematian sel yang terprogram

dimana integritas dan arsitektur jaringan sekitarnya dipertahankan normal. Apoptosis

terjadi melalui dua jalur utama :

1. Jalur ekstrinsik atau Dead Receptor Pathway

2. Jalur intrinsik atau jalur mitokondria.

Jalur ekstrinsik apoptosis dimulai setelah death receptor diduduki oleh protein Fas

atau dengan TNF-α yang diproduksi oleh limfosit T atau makrofag yang teraktivasi.

Reaksi ini akan diikuti oleh apoptotic pathway yang terdiri dari seperangkat enzim yaitu

TRADD, FADD, caspase 8 dan 10 kemudian menggerakkan efektor apoptosis. Sebagian

rangsangan yang berasal dari TNF-α juga akan menstimulasi mitokondria (Beere,2005).

Pada jalur intrinsik inisiasi ditimbulkan oleh bahan-bahan biokimia yang akan

memberi sinyal pada mitokondria. Terbukanya membran mitokondria tersebut ditentukan

pula oleh berbagai protein dari keluarga Bcl-2. Perubahan ini menyebabkan keluarnya

sitokrom-c, selanjutnya akan mengaktivasi caspase 9 yang kemudian akan menggerakkan

efektor apoptosis.

Danudjo (2003) menyatakan bahwa pada penderita endometriosis terjadi apoptosis

patologis di sel granulosa ovarium. Apoptosis ini terjadi karena adanya ikatan Fas Fas-

ligand di folikel imatur akibat rendahnya kadar FSH karena disupresi oleh umpan balik

negatif hormon estrogen. Tingginya hormon estrogen terjadi karena produksi yang

berlebih dari implan endometriosis karena rangsangan IL-6 zalir peritonium melalui enzim

aromatase. Apoptosis sel granulosa yang patologis inilah yang diduga menyebabkan

infertilitas ( Danudjo,2003)

Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan produk intermediet pada

metabolisme normal oksigen. Untuk melindungi dari efek merugikan, sel memproduksi

sistem anti oksidan untuk membatasi produksi ROS, menginaktivasi dan memperbaiki

kerusakan sel. Akan tetapi stres oksidatif dapat terbentuk ketika terjadi ketidakseimbangan

antara produksi ROS dan perlindungan anti oksidan. TNF-α ikut berperan dalam

peningkatan kadar stres oksidatif dengan jalan menginduksi produksi ROS melalui jalur

JNK-1 (Antosiewicz dkk.,2007).

Stres oksidatif diketahui menimbulkan efek perusakan pada sel dan menginduksi

terjadinya proses apoptosis. Zeller melaporkan bahwa produksi ROS oleh sel mononuclear

dalam cairan peritonium penderita endometriosis didapatkan meningkat (Zeller,1987).

Page 27: Lit NOI Utuh

Beberapa penelitian juga membuktikan peningkatan stres oksidatif pada penderita

endometriosis. Ota dkk berargumen bahwa peningkatan konsentrasi stres oksidatif

diakibatkan oleh peningkatan xanthin oxidase yaitu suatu ROS-generating enzyme (Ota

dkk.,2001). Szczepanska dkk melaporkan bahwa didapatkan penurunan secara signifikan

kadar superoxide dismutase dan glutathione peroxidase (suatu anti oksidan enzimatik)

pada penderita endometriosis dibandingkan penderita infertilitas oleh sebab idiopatik

(Szczepanska dkk.,2003). Sementara itu Seino dkk mendapatkan kadar 8-hydroxy-2-

deoxyguanosine (8-OhdG) yaitu suatu marker kerusakan DNA akibat stres oksidatif,

meningkat dalam sel granulosa penderita endometriosis (Seino dkk., 2002).

Gambar 2.3 Mekanisme apoptosis pada sel

Sumber : Portt dkk.,2011

Page 28: Lit NOI Utuh

2.5 Anti Mullerian Hormone ( AMH )

Hormon Anti Mullerian (Anti Mullerian Hormone/AMH) atau disebut juga sebagai

Mullerian Inhibiting Substance (MIS) termasuk dalam kelompok Transforming Growth

Factor β (TGF- β) yang merupakan glikoprotein homodimeric dengan berat molekul 140

kD. Fungsi utama AMH awalnya diketahui pada diferensiasi seks fetus (Josso dkk., 2001).

Pada fase diferensiasi ini dengan pengaruh dari gen sry pada kromosom Y, gonad

pada kromosom laki-laki berdiferensiasi menjadi testis. Diferensiasi ini dipengaruhi

beberapa hormon, yaitu testosteron yang diproduksi oleh sel Leydig dimana hormon ini

berfungsi pada stimulasi perkembangan karakteristik seks laki-laki, seperti diferensiasi

duktus Wolfii menjadi epididimis, vas deferens, dan vesika seminalis. Hormon lainnya

adalah AMH, hormon ini diproduksi sel Sertoli testis yang berfungsi pada regresi duktus

Mullerian, dimana duktus ini pada perempuan akan berkembang menjadi uterus, tuba, dan

vagina bagian proksimal (Visser dan Themmen, 2005).

AMH memiliki dua reseptor, yaitu reseptor tipe I (AMHRI) dan reseptor tipe II

(AMHRII). Reseptor ini merupakan reseptor dengan membran tunggal yang terdiri dari

serin atau threonin kinase. AMHRII merupakan ligand binding yang spesifik dengan TGF-

β dan aktivin. Sedangkan AMHRI memiliki peran dalam tahap akhir signaling pasca

aktivasi oleh AMHRII. Ekspresi gen yang mengatur AMH pada manusia berhasil diisolasi

pada tahun 1995 yang terletak pada kromosom 12 dan terdiri dari 11 exon. Ekspresi

AMHRII didapatkan pada duktus Mulleri dan gonad sedangkan ekspresi AMHRI masih

belum didapatkan secara spesifik (Josso dkk., 2001).

2.5.1 Peran AMH pada Perkembangan Folikel

Perkembangan atau pertumbuhan folikel ovarium dibagi menjadi initial

recruitment, yaitu tahapan maturasi dari folikel primordial dan cyclic recruitment, yaitu

tahapan pertumbuhan folikel antral menjadi folikel dominan sampai terjadinya ovulasi.

Pada tahap initial recruitment terjadi proses pemilihan folikel primordial yang akan

berkembang masuk dalam fase pertumbuhan dimana dalam proses ini tidak tergantung

gonadotropin. Proses ini terus berlangsung mulai dari bayi hingga menopause. Sedangkan

pada tahap cyclic recruitment proses yang terjadi adalah pemilihan folikel antral yang

tidak jatuh dalam proses atresia sehingga akan menjadi folikel dominan dengan bantuan

gonadotropin (gonadotropin dependent) (Findlay dkk.,2009). Follicle-stimulating

hormone (FSH) merupakan hormon utama pada fase cyclic recruitment dan menjadi dasar

Page 29: Lit NOI Utuh

siklus menstruasi yaitu dengan adanya sekresi estradiol dari folikel dominan (Broekmans

dkk., 2008).

Awal ekspresi AMH pada wanita adalah pada sel granulosa folikel primordial,

yaitu mulai folikel primer saat umur kehamilan 36 minggu sedangkan pada folikel yang

lebih besar sekresi AMH terutama oleh sel granulosa di sekitar oosit. Ekspresi AMH terus

berlangsung sejalan dengan pertumbuhan folikel di ovarium hingga ukurannya mencapai 4

– 6 mm yang disebut folikel antral. Sehingga ekspresi AMH terjadi pada masa folikel

primordial hingga folikel antral atau khususnya pada folikel-folikel yang tidak

berkembang menjadi folikel dominan. Sehingga fase sebelum folikel primordial dan

setelah folikel antral tidak didapatkan ekspresi AMH (Visser dan Themmen, 2005).

Gambar 2.4 Peran AMH pada pertumbuhan folikel ovarium. Pengaruh inhibisi

pertumbuhan folikel oleh AMH dapat terjadi pada (a) yaitu tahap initial

recruitment folikel primordial dan (b) mempengaruhi sensitifitas folikel

antral terhadap FSH.

Sumber: Broekmans dkk, 2008

Sebuah penelitian melaporkan bahwa oosit dan folikel preantral dan preovulasi

berperan dalam regulasi kadar mRNA AMH intra folikuler. Sehingga salah satu pemegang

regulasi perkembangan dan pertumbuhan folikel adalah oosit. Pola ekspresi AMH ini

menunjukkan kepada kita bahwa AMH memiliki peran penting baik dalam regulasi

pertumbuhan folikel maupun proses seleksi folikel untuk ovulasi (gambar 2.4) (Visser dan

Themmen, 2005).

Page 30: Lit NOI Utuh

Penelitian pada kuda untuk melihat ekspresi AMH pada ovarium menunjukkan

bahwa ekspresi AMH pertama kali didapatkan pada sel granulosa folikel primer dan

ekspresinya terbesar didapatkan pada folikel preantral. Ekspresi AMH kemudian menurun

pada folikel antral besar atau folikel yang mengalami atresia (tabel 2.1) (Ball dkk., 2008).

Tabel 2.1 Ekspresi AMH pada folikel ovarium kuda.

Folikel

Primordial

Folikel

Preantral

Folikel Antral

Besar (>30mm)

Folikel

Atresia

Corpus

Luteum

Jumlah Folikel 10 5 3 6 3

Ekspresi AMH - ++(+) +(+) -(+) -

Sumber: Ball dkk, 2008

AMH juga berperan dalam mempengaruhi ambang sensitifitas folikel terhadap

FSH pada proses seleksi folikel dominan. Penelitian invitro pada tikus menunjukkan

folikel antral menjadi lebih sensitif terhadap FSH tanpa adanya AMH (Durlinger dkk.,

2001). Penelitian lainnya juga menunjukkan adanya korelasi negatif antara jumlah AMH

pada cairan folikel dan kadar estradiol dalam folikel antral kecil, hal ini menunjukan

adanya hubungan antara produksi AMH dengan aktivitas FSH (Andersen dan Byskov,

2006). Ekspresi AMH pada folikel ovarium manusia menurun pada folikel antral besar (6-

8 mm) saat masuk fase cyclic recruitment yang dipengaruhi FSH. Penelitian pada

polimorfisme gen AMH dan AMH reseptor II (AMHRII) menunjukkan bahwa AMH dapat

mempengaruhi produksi Estradiol dari folikel antral dan menginduksi pertumbuhan

folikel, hal ini dapat terjadi akibat penurunan reseptor ligan AMH yang aktif sehingga

menyebabkan peningkatan pengaruh FSH terhadap pertumbuhan dan sintesis hormon pada

folikel (Kevenaar dkk., 2006).

2.5.2 Mekanisme Regulasi AMH

Mekanisme regulasi AMH intrafolikuler hingga kini belum diketahui dengan pasti

namun diduga FSH secara lokal berperan dalam regulasi umpan balik negatif kadar AMH

intrafolikuler melalui sekresi estradiol . Penelitian pada ovarium 24 wanita yang bertujuan

untuk mengevaluasi kadar AMH dan estradiol intrafolikuler menunjukkan adanya korelasi

negatif yang kuat antara kadar AMH dengan konsentrasi estradiol (Nielsen dkk., 2010).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian lainnya yang memperkuat pendapat bahwa

Page 31: Lit NOI Utuh

FSH berperan sebagai regulator negatif ekspresi AMH intrafolikuler (Desforges-Bulle

dkk., 2009; Dumesic dkk., 2009). Tetapi peneliti lain mendapatkan bahwa AMH

mengurangi kepekaan folikel terhadap rangsangan FSH. Pendapat ini berdasarkan fakta

bahwa AMH menurunkan aktivitas aromatase di ovarium dan folikel ovarium tikus yang

dihilangkan gen AMH nya menjadi lebih peka terhadap rangsangan FSH dibandingkan

tikus normal (Durlinger dkk.,2001).

Salmon dkk (2004) melakukan penelitian in vitro pada tikus. Ekspresi AMH oleh

sel granulosa akan berkurang bila dilakukan oositektomi dan meningkat kembali bila oosit

dikultur kembali bersama sel granulosa. Menurunnya ekspresi mRNA AMH pada sel

granulosa yang dilakukan oositektomi disebabkan oleh hilangnya sinyal dari oosit,

sehingga diduga oosit berperan pada regulasi AMH oleh sel granulosa.

2.5.3 Sumber dan Pola Kadar AMH pada Serum

Walaupun AMH memiliki kemampuan autokrin dan parakrin pada pertumbuhan

folikel namun pengukuran kadar AMH dilakukan dengan melihat jumlahnya dalam serum.

Kadar AMH serum menurun seiring dengan bertambahnya usia dan berhubungan langsung

dengan penurunan jumlah dan pertumbuhan folikel primordial (Kevenaar dkk.,2006).

Meskipun sumber pasti kadar serum AMH belum diketahui namun folikel antral

merupakan salah satu sumber utama kadar AMH pada serum karena folikel antral

mendapatkan suplai darah yang lebih baik dan jumlah sel granulosa yang lebih banyak bila

dibandingkan folikel preantral (Broekmans dkk.,2008).

Hiperstimulasi ovarium dengan FSH eksogen dapat menunjukkan perbedaan kadar

AMH pada berbagai fase folikel ovarium karena hiperstimulasi ini menyebabkan

banyaknya folikel antral kecil berkembang menjadi folikel dominan. Hiperstimulasi ini

menyebabkan penurunan yang drastis kadar AMH perifer akibat penurunan jumlah folikel

antral kecil dan meningkatnya jumlah folikel dominan.

Kadar AMH pada bayi meningkat beberapa minggu setelah lahir dan

mencapai kadar maksimum setelah pubertas. Hal ini konsisten dangan hasil penelitian

yang menunjukkan bahwa perkembangan ovarium dan peningkatan jumlah folikel antral

sejalan dengan peningkatan usia. Pada wanita dewasa kadar AMH serum menurun sejalan

dengan meningkatnya usia dan menghilang saat menopause. Kadar AMH serum

tampaknya tidak dipengaruhi oleh siklus menstruasi. Sebuah penelitian yang memanipulasi

paparan FSH dengan cara memberikan hormon seks steroids atau gonadotropin releasing

Page 32: Lit NOI Utuh

hormone agonist ternyata tidak memberikan pengaruh yang bermakna pada kadar AMH

serum (La Marca dkk.,2004). Sementara penelitian lain membuktikan AMH mempunyai

keunggulan dalam menggambarkan fungsi sel granulosa oleh karena tidak dipengaruhi

siklus menstruasi dan pemakaian obat kontrasepsi, sehingga dapat diukur pada setiap fase

(Streuli dkk.,2008).

2.5.4 AMH dan endometriosis

Pada penderita endometriosis didapatkan kadar AMH serum yang rendah.

Beberapa penelitian telah membuktikan hal tersebut. Lemos dkk. (2008) membuktikan

bahwa kadar AMH serum penderita endometriosis menurun dibandingkan wanita infertil

karena faktor tuba. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Shebl dkk. (2009) yang

melakukan penelitian pada 909 wanita yang melakukan program IVF/ICSI dan

mendapatkan bahwa kadar serum AMH pada penderita endometriosis yang ringan hampir

tidak berbeda dengan kontrol (male factor) tetapi pada penderita stadium berat didapatkan

perbedaan yang signifikan. Akan tetapi penelitian oleh Campos dkk.(2010) mendapatkan

hasil bahwa kadar AMH pada cairan folikel penderita endometriosis ringan adalah sama

dibandingkan wanita infertil karena faktor tuba yang menjalani program IVF.

Perbedaan hasil ini kemungkinan sejalan dengan hipotesa bahwa proses inflamasi

dan faktor-faktor yang berperan di dalamnya mempengaruhi produksi AMH. Falconer

(2009) membuktikan bahwa pada endometriosis didapatkan kadar estradiol dan jumlah

total folikel saat petik oosit antara penderita endometriosis dan faktor tuba tidak berbeda,

tetapi didapatkan kadar AMH yang lebih rendah dan kadar TNF-α yang lebih tinggi pada

penderita endometriosis. Hal ini membuktikan bahwa faktor-faktor inflamasi yang terlibat

dalam patogenesa endometriosis terlibat secara langsung dengan penurunan kadar AMH

pada penderita endometriosis (Falconer, 2009). Hong dkk.(2003) memperlihatkan

keterlibatan TNF-α dalam regulasi AMH pada sel testis tikus meskipun kemungkinan hal

ini berbeda karena perbedaan jenis kelamin dan spesies.

Page 33: Lit NOI Utuh

Gambar 2.5 Hubungan berbagai faktor keluarga TGF-β dalam folikulogenesis

Sumber : Knight dkk., 2006.

Diketahui pula bahwa faktor-faktor pertumbuhan yang termasuk dalam kelompok

keluarga Transforming Growth Factor-β (TGF-β) berperan penting dalam folikulogenesis

( gambar 2.6 ). Salah satunya adalah GDF-9 yang diekspresikan oleh oosit. AMH juga

merupakan salah satu keluarga TGF-β yang diproduksi oleh sel granulosa. Seperti sudah

diketahui bahwa pada endometriosis didapatkan gangguan kualitas dan maturasi dari oosit

akibat penurunan ekspresi GDF-9 (Elvin dkk.,1999; Hendarto,2007). Hal ini terjadi akibat

peningkatan faktor inflamasi yaitu TNF-α pada endometriosis. Dengan akibat terjadinya

peningkatan proses apoptosis pada sel granulosa mengakibatkan pula gangguan pada

pertumbuhan sel granulosa yang berdampak pada folikulogenesis dan produksi AMH oleh

sel granulosa. Hal ini telah dibuktikan oleh Elvin dkk.(1999) bahwa didapatkan oosit yang

dikelilingi hanya satu lapis sel granulosa pada terjadinya defisiensi faktor GDF-9 (Elvin

dkk.,1999). Toya dkk.(2000) juga telah membuktikan bahwa pada penderita endometriosis

didapatkan penurunan jumlah sel granulosa pada fase G2/M dan peningkatan pada fase S

yang kemungkinan diakibatkan oleh gangguan siklus sel karena peningkatan aktivitas

sitokin pro inflamasi (Toya dkk., 2000).

2.6 Terapi medis endometriosis

Terapi medis endometriosis selama ini banyak menggunakan preparat hormonal,

sebagai contoh : GnRH agonis, preparat progestin, danazol atau kontrasepsi oral.

Umumnya obat-obat tersebut memberikan efek samping berupa hambatan proses ovulasi,

sehingga penderita dihadapkan pada masalah baru yaitu infertilitas. Diharapkan terapi

Page 34: Lit NOI Utuh

yang ideal adalah dapat menekan target sel secara efektif, aman, murah, efek samping

ringan dan tidak mengganggu fertilitas. Salah satu alternatif terapi yang saat ini dapat

dijadikan pilihan adalah terapi herbal. Terapi herbal yang kami bahas adalah tentang

kurkumin.

2.7 Kurkumin

Turmeric (kunir) merupakan akar dari tumbuhan Curcuma Longa, merupakan salah

satu obat tradisional yang telah digunakan selama berabad-abad di kawasan Asia

Tenggara. Turmeric mengandung bahan aktif Kurkumin (diferuloymethane),

Demethoxykurkumin (DMC), Bisdemethoxykurkumin (BDMC) dan minyak turmeric (ar-

turmerones dan α/β-turmerones). Sedangkan Tetrahydrokurkumin (THC) merupakan

metabolit utama dari kurkumin. Berbagai kandungan aktif tersebut mempunyai efek yang

berbeda sebagai anti inflamasi, anti proliferatif, anti angiogenesis. Tapi penelitian yang

dilakukan Sandur menunjukkan gabungan kurkumin tersebut memiliki efek sinergi.

Sediaan kurkumin di pasaran biasanya digunakan untuk penelitian dan uji klinis

mengandung 77 % kurkumin murni, 17 % DMC dan 3 % BDMC ( Sandur dkk.,2007).

Penelitian selama lebih dari 50 tahun menunjukkan bahwa polyphenol ini( struktur

dalam kurkumin) mampu mencegah dan mengobati kanker. Kurkumin mampu menekan

inisiasi, promosi dan metastasis tumor . Potensi anti kanker ini karena kemampuannya

menekan proliferasi sel rnelalui penekanan faktor transkripsi, COX-2, lypoxigenase,

matrixmetalloproteinase (MMP)-9, urinary plasminogen activator, TNF-α, kemokin, cell

surface adhesion molecule dan cycline D1 (Aggarwal dkk, 2006).

Kurkumin diketahui mempunyai efek anti inflamasi melalui penekanan aktivasi

nuclear factor-κB (NF-κB), efek anti proliferatif melalui penekanan cyclin D l dan produk

gen antiapoptosis, menginduksi pelepasan cytocrome C, aktivasi caspase dan p53 dan

mempunyai efek anti angiogenesis melalui down-regulation Vascular Endothelial Growth

Factor (VEGF) (Sandur,2007). Review literatur oleh Sharma dkk, menunjukkan bahwa

kurkumin juga mampu menurunkan aktivitas i-NOS yang merupakan salah satu oksidan

bebas sehingga kurkumin juga berperan sebagai antioksidan (Sharma dkk.,2005).

2.7.1 Farmakokinetik dan efek samping

Absorbsi, metabolisme , distribusi jaringan dari kurkumin telah dipelajari selama

lebih dari tiga dekade. Studi yang dilakukan pada tikus menunjukan absorbsi kurkumin

Page 35: Lit NOI Utuh

pada intestinal hingga 60 %. Setelah pernberian intravenous dan intraperitoneal pada tikus,

50 % diekskresikan melalui kandung empedu setelah 5 jam. Penelitian preklinis dosis oral

pada tikus menunjukkan sejumlah kecil kurkumin di plasrna dengan kadar kurkumin

glucoronide dan kurkumin sulfat yang tinggi di plasma dan sejumlah kecil

hexahydrokurkumin, hexahydrocurcumenol, hexydrocurcurmin glucoronidel. Penelitian

kurkumin oral pada tikus yang dilakukan di India mendapatkan peningkatan

bioavailabilitas kurkumin hingga 154 % bila pemberian oral bersamaan dengan piperine.

Kurkumin menunjukkan bioavailabilitas yang rendah pada rodent oleh karena metabolisme

di intestinal dan kurkumin yang telah diserap menjalani first pass metabolisme di hepar

dan dieksresikan di kandung empedu. Sharma dkk (2005) mengemukakan pada penelitian

efek toksik kurkumin pada binatang selama ini dilaporkan rendah dengan dosis hingga 5

g/kg yang diberikan oral pada tikus. Uji preklinis yang didukung pembiayaan dari divisi

pencegahan institut kanker nasional Amerika tidak ditemukannya efek samping pada tikus,

anjing dan monyet pada dosis hingga 3,5 g/kg BB. Satu studi melaporkan kejadian ulkus

lambung tikus tapi tidak diketemukan pada penelitian berikutnya. Uji klinis terbaru

menyebutkan tidak ada efek toksik dari diet 0,2 % kurkumin (1,2 g/kg BB) yang diberikan

pada tikus dan 0,2 % diet (300 mg/kg BB) yang diberikan pada tikus selama l4 hari.

2.7.2 Aktivitas biologi

Penekanan DNA-binding activity dari NF-κB berhubungan dengan harnbatan

aktivitas reporter NF-κB dan dengan menekan NF-κB akan meregulasi produk gen COX-

2, Cyclin Dl dan VEGF, kurkumin paling efektif menekan produk gen tersebut dibanding

DMC dan BDMC (Sandur dkk.,2007). Kemampuan kurkumin menekan aktivasi NF-κB

yang diinduksi oleh TNF-α sangat kuat dibanding 20 obat analog yang diperiksa oleh

Aggarwal dkk pada tahun 2006.

Beberapa gen yang ikut terlibat dalam inisiasi imun, fase akut dan respon inflamasi

diatur pada tahap transkripsi oleh NF-κB. Aktivasi NF-κB diatur secara ketat oleh

penghambat endogen IκB, yang berupa suatu kompleks dengan NF-κB di sitoplasma.

Dengan adanya stimulasi dari sitokin, IκB akan mengalami fosforilasi dan akan mengalami

degradasi oleh proteasome.

Fosforilasil IκBα melibatkan berbagai kinase yang berhubungan dengan cytokine-

specific membran receptor complexes yang akan mengaktifkan NF-κB Inducing Kinase

(NIK). NIK aktif selanjutnya akan memfosforilase dan mengaktifkan IκB Kinase Complex

Page 36: Lit NOI Utuh

(IKK). IKK merupakan bagian dari multiprotein kompleks yang mengandung sub unit

IKK-α dan IKK-β, keduanya in vitro dapat memfosforilasi cytokines-induced IκB.

Aktivasi dari kompleks IKK akan mengakibatkan fosforilase dan degradasi IκBα dan akan

diikuti dengan terlepasnya NF-κB kemudian akan bertranslokasi ke dalam nukleus dan

mengaktifkan transkripsi gen multiple κB dependent. Termasuk diantaranya TNF-α, lL-6,

IL-8 dan beberapa kemokin, MHC kelas II, ICAM-1, iNOS, COX-2 ( gambar 2.7 ) (Jobin

dkk,1999).

Gambar 2.6 Mekanisme kerja Kurkumin pada aktivasi Cytokine-induced NF-κB

Sumber : Jobin dkk.,1999.

Kurkumin mampu menekan jalur NF-κB dan gen NF-κB target cytokines, Cao dkk

mendemonstrasikan efek kurkumin pada sel stroma endometriosis, kurkumin menghambat

induksi sitokin pro inflamatori, sitokin angiogenik dan macrofag migration inhibitory

factor oleh NF-κB pada model in vitro. Beberapa penelitian terbaru juga menyebutkan

efek modulasi kurkumin terhadap beberapa target molekul penting (TNF, IL-I, IL-6),

beberapa faktor transkripsi (AP-1, Egr-1, beta catenin dan PPAR gamma), enzim (COX-2,

iNOS), reseptor ( EGFR dan HER2) dan sel siklus protein (cyclin D l, p2l) (Wieser dkk,

2007).

Sel endometrium manusia telah diketahui mengekspresikan protein NF-κB, in vitro

tampak aktivasi NF-κB terhadap IL-lβ dan TNF-α. Selama menstruasi NF-KB teraktivasi

Page 37: Lit NOI Utuh

di glandular epitelium dan endothelium dari endometrium. Pada kultur sel stroma

endometrium manusia, TNF-α menstimulasi aktivasi NF-κB sehingga terjadi peningkatan

produksi IL-8. NF-κB juga meningkatkan RANTES pada kultur stroma endometriosis,

RANTES kemungkinan mempunyai peran penting pada patogenesis endometriosis

(Ramos dkk,2007).

Perjalanan translasi DNA memicu transkipsi gen yang mengkode kemokin, sitokin

dan molekul adhesi seperti ICAM-I. NF-κB ini akan berikatan bagian promoter dari DNA

yaitu pada ujung 5'. Kemudian enzim RNA polymerase akan berikatan dengan kompleks

faktor transkripsi dan DNA tersebut, dan membuka susunan double helix DNA. Setelah itu

terjadi transkripsi dari template strand DNA menjadi mRNA. Hasil transkripsi dari mRNA

ini kemudian dibawa ke sitosol untuk ditranslasikan menjadi protein di ribosom. Sitokin

ini penting untuk migrasi faktor inflamasi dan sel fagosit ke jaringan pada saat NF-κB

teraktivasi oleh karena infeksi atau luka. ICAM-1 mRNA ditemukan meningkat dalam sel

stroma endometriosis, hal ini mendukung peranan molekul adhesi dalam patofisiologi

endometriosis (Ramos dkk, 2007).

2.8 Binatang percobaan pada penelitian endometriosis

Satu mekanisme yang diterima luas mengenai perkembangan lesi endometriosis

pada peritoneum adalah adhesi dan pertumbuhan fragmen endometrium kedalam rongga

peritoneum melalui aliran balik menstruasi. Oleh karena aliran balik menstruasi hampir

terjadi pada semua wanita fase reproduksi, maka diperlukan beberapa faktor abnormal

sehingga lesi endometriosis ektopik dapat tumbuh dan berkembang. Sulit untuk meneliti

peran fisiologis pada patogenesa penyakit ini pada manusia. Sebagai tambahan adanya

pertimbangan etik membatasi penelitian eksperimental dan juga tidak memungkinkan

untuk memantau progresivitas tanpa intervensi yang invasif. Penelitian mengenai

mekanisme yang fundamental seperti perlekatan sel endometrium menstruasi, invasi dan

angiogenesis yang mengawali pembentukan dan perkembangan endometriosis, juga terapi

baru endometriosis yang tidak memungkinkan untuk diujicobakan pada manusia,

sebaiknya dilakukan pada hewan coba.

Oleh karena adanya pergeseran sel menstruasi kedalam peritoneum diperlukan

untuk terjadinya penyakit ini secara spontan, endometriosis hanya terjadi pada manusia

dan sebagian primata. Primata telah lama dipakai sebagai hewan coba untuk penelitian

endometriosis, tapi karena biaya yang diperlukan sangat mahal untuk binatang ini maka

Page 38: Lit NOI Utuh

pemakaian monyet untuk hewan coba saat ini mulai dibatasi. Oleh karena alasan ini hewan

coba yang kecil seperti tikus mulai dipakai (Grummer, 2006).

Berbeda dengan manusia dan hewan primata, pada tikus tidak mengalami

pergeseran jaringan endometrium, oleh karena itu mereka tidak mengalami endometriosis

spontan. Walau demikian endometriosis dapat diinduksi dengan mentransplantasikan

jaringan endometrium ke bagian ektopik. Dengan cara ini dapat dibedakan dua tipe model

percobaan yaitu homologus dan heterologus. Pada tipe homologus dipakai implan

endometrium yang diambil dengan cara pembedahan pada tikus sejenis, sedangkan tipe

heterologus dipakai implan endometrium yang diambil dari fragmen endometrium manusia

yang ditransfer ke intraperitoneum atau subkutaneus dari tikus yang telah dibuat

imunodefisiensi. Pada penelitian ini kami akan menggunakan tipe heterologus.

Fragmen endometriosis manusia yang diambil saat siklus menstruasi fase

proliferasi atau fase sekresi maupun endometrium menstruasi dapat diimplantasikan

dengan baik pada intraperitoneum atau subkutaneus tikus imunodefisiensi. Fragmen ini

berimplantasi dan membentuk endometriotic-like lession yang mempunyai bentuk

makroskopik dan histologi yang sama dengan penderita endometriosis. Pemeliharaan

reseptor estrogen dan progesteron tampak pada jaringan ektopik manusia tersebut.

Angiogenesis menjamin kelangsungan transplantasi dan transport sistemik obat yang

diberikan untuk jaringan endometrium manusia tersebut. Terbentuknya pembuluh darah

pada tikus terjadi 4 hari setelah transplantasi, terlepas dari lokalisasi lesi ektopiknya.

Ketika jaringan endometrium diinokulasikan kedalan rongga peritoneum, adhesi

peritoneum terjadi 2 hari setelah implantasi. Tempat implantasi fragmen endometriosis

yang paling sering diantaranya usus halus, otot abdomen, hepar, dan jaringan lemak sekitar

organ abdomen. Studi yang dilakukan Grummer tahun 2001 didapatkan angka

penyembuhan sangat bervariasi dari hewan coba yang satu ke yang lain tapi tidak lebih

dari 30%.

Karena pada model tikus heterologous, jaringan manusia yang ditransplantasikan,

waktu yang tersedia untuk pemeliharaan jaringan ini terbatas. Dari beberapa studi yang

pernah melakukan kultur endometrium manusia pada tikus (nude mouse) tidak lebih dari 4

minggu. Setelah 3 minggu inokulasi terjadi banyak perubahan dan infiltrasi limfosit pada

implan endometriosis tersebut.

Dengan semakin berkembangnya penelitian maka diperlukan jaringan implan

manusia yang dapat bertahan lebih lama, sehingga dikembangkan model tikus

Page 39: Lit NOI Utuh

heterologous endometriosis yang mengalami defek pada sistem imunnya. Jaringan

endometrium manusia telah berhasil ditransplantasikan pada tikus severe combined

immunodeficient (SCID), tikus ini menunjukkan defisiensi fungsi limfosit T dan B.

Dibandingkan dengan model nude mouse, jaringan endometrium manusia yang

ditransplantasikan ke tikus SCID menunjukkan tingginya angka “take-rate” dari fragmen

dan juga pemeliharaan morfologi serta ekspresi reseptor hormon steroid selama 4 minggu.

Walau tikus ini kekurangan limfosit T dan B, tetapi mereka tetap mempunyai aktifitas sel

NK. Sarjana Matsura-Sawada pada tahun 2005 mengkultur jaringan endometriosis

manusia pada subkutaneus tikus SCID kemudian dibuat defek pada aktifitas sel NK. Pada

model ini mereka membuat siklus menstruasi 28 hari seperti pada manusia dengan

memberi hormon dari luar dan melakukan ooforektomi pada tikus tersebut. Ternyata

didapatkan perubahan histologi seperti pada endometrium eutopik manusia tapi tanpa

tanda desidualisasi (Grummer, 2006).

Kemampuan untuk mentransplantasikan sel endometrium manusia ke binatang

menawarkan keuntungan yang lebih sebagai model endometriosis pada binatang. Tikus

imunokompromis menawarkan kesempatan yang unik untuk mempelajari aktifitas dan

ekspresi biokimia pada sel endometriosis manusia. Tikus SCID memiliki kombinasi

defisiensi fungsi limfosit T dan limfosit B. Sarjana Awwad dan kawan-kawan pada tahun

1999 berhasil mentransplantasikan sel endometrium manusia ke permukaan peritoneum.

Implan endometrium ini tetap mempertahankan struktur intraseluler dan karakteristik

biokimia dengan memelihara pola sitokeratin manusia dan ekspresi C3 (Awwad dkk.,

1999).

Page 40: Lit NOI Utuh

Gangguan Proliferasigranulosa

Oosit

Folikel

Granulosa

Gangguan Maturasioosit

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka konseptual

: variabel terkontrol

: variabel bebas

: menstimulasi

: menghambat

3.2 Narasi

AMH folikel ↓

Makrofag aktif ↑

Endometriosis

Inflamasi kronis

AMH serum ↓

KURKUMIN

Akti-vasi NFκβ

IL-1,IL-6,IL-8 ↑

TNF-α↑

RANTES

Stress oksidatif ↑Kaskade kaspase aktif ↑

Apoptosis ↑

VEGF ↑

GDF-9 ↓

----

----

----

Page 41: Lit NOI Utuh

Sel endometrium masuk ke dalam rongga peritonium akibat aliran balik menstruasi

dan berkembang menjadi endometriosis. Kemudian menyebabkan terjadinya reaksi

inflamasi. Adanya defek imunologis menyebabkan makrofag mensekresi secara berlebihan

berbagai sitokin termasuk faktor angiogenesis.

Sitokin TNF-α dan interleukin 1 mempengaruhi jalur aktifasi klasik NF-κβ

sehingga terjadi proses transkripsi dari berbagai target gen. Fosforilasi yang terjadi karena

aktifnya kompleks IKK menyebabkan ikatan NF-κβ menjadi bebas didalam sitoplasma.

NF-κβ yang bebas bertranslokasi ke dalam nukleus dan berikatan dengan DNA untuk

memproduksi sitokin TNF-α, molekul adhesi ICAM-1, serta faktor angiogenesis VEGF.

TNF-α juga akan menstimulasi produksi RANTES yang merupakan aktivator poten

makrofag.Hal ini akan membentuk suatu lingkungan mikro yang menguntungkan bagi

pertumbuhan endometriosis.

Peningkatan kadar TNF-α dalam cairan peritoneum mempunyai dampak negatif

pada ovarium melalui reseptor TNFR-1 pada sel granulosa, yang kemudian berikatan

dengan dead receptor dan mengaktifkan kaskade kaspase menyebabkan terjadinya

apoptosis patologis sel granulosa. Pengaruh lain dari peningkatan proses apoptosis adalah

meningkatnya stress oksidatif yang akhirnya makin meningkatkan pula proses apoptosis

dalam sel granulosa.

Apoptosis sel granulosa menyebabkan gangguan pada produksi beberapa faktor

pertumbuhan yang berperan pada proses maturasi oosit.Salah satu faktor pertumbuhan

yang dihasilkan sel oosit adalah GDF-9. Penurunan GDF-9 akan menyebabkan gangguan

pada proliferasi sel granulosa sehingga sel granulosa tidak berkembang. Proses apoptosis

yang meningkat disertai dengan proliferasi sel granulosa yang terhambat akan menurunkan

kadar AMH yang diproduksi sel granulosa sehingga kadar AMH serum juga turun.

Kurkumin dapat menghambat aktifasi NF-κβ sehingga proses apoptosis sel

endometriosis terjadi. Secara tidak langsung produksi VEGF, dan TNF-α dapat dihambat.

Kurkumin mencegah aktifitas makrofag yang berlebihan dan mengembalikan kekuatan

makrofag untuk memfagosit sel endometriosis. Akhirnya, menurunkan kadar sitokin pro

inflamasi TNF-α didalam cairan peritoneum dan cairan folikel. Harapannya adalah

menurunkan apoptosis sel granulosa. Selain itu diharapkan mengembalikan proses

folikulogenesis berjalan normal sehingga kadar AMH juga meningkat.

3.3 Hipotesis penelitian

Page 42: Lit NOI Utuh

Kadar serum AMH pada tikus model endometriosis yang mendapat suplementasi

kurkumin lebih tinggi daripada plasebo

BAB 4

Page 43: Lit NOI Utuh

METODE PENELITIAN

4.1 Desain penelitian

Desain penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium pada tikus

dengan randomisasi sampel disertai kontrol pembanding.

4.2 Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di laboratorium embriologi Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Airlangga Surabaya pada bulan Agustus – Oktober 2011.

4.3 Populasi, sampel dan besar sampel

4.3.1 Populasi

Pada penelitian ini yang menjadi populasi adalah tikus (Rattus novergicus)

unit hewan coba laboratorium.

4.3.2 Sampel

Sebagai sampel adalah dua kelompok tikus, yaitu : kelompok A dan

kelompok B disuntik siklosporin A dan mendapat suntikan jaringan endometrium

manusia secara intraperitoneum, selanjutnya diberi suntikan estradiol pada hari-1

dan hari-5, mulai hari-14 kelompok A mendapat kurkumin per sonde selama 14

hari, sedang kelompok B mendapat plasebo per sonde selama 14 hari.

4.3.3 Besar sampel

Rumus Federer : ( n – 1 )( t – 1) ≥ 15; dengan t = 2 (perlakuan), maka

didapatkan : n – 1 ( 2 – 1 ) ≥ 15

n – 1 ( 1 ) ≥ 15

n – 1 ≥ 15

n ≥ 16

Oleh karena dari penelitian terdahulu didapatkan angka kegagalan 12,5% (Vika

dkk., 2006) maka jumlah sampel dikoreksi dengan rumus 16/(1-fail) dengan fail =

0,125 16/(1-0,125) = 18,2 19

4.4 Kriteria subyek penelitian, variabel penelitian, dan definisi operasional

4.4.1 Kriteria subyek penelitian

Kriteria inklusi : Tikus (Rattus novergicus) betina

Berusia 3 bulan

Berat tikus 100 - 150 gram

Dara (belum pernah kawin)

Page 44: Lit NOI Utuh

Sehat, ditandai dengan bulu halus, mata bersinar, tidak

pincang, tidak didapatkan adanya bekas luka

Kriteria eksklusi : Pernah dipakai sebagai hewan coba penelitian lain

Kriteria putus uji : Tikus betina yang sakit atau mati sejak perlakuan

adaptasi 1 minggu di kandang.

4.4.2 Variabel penelitian

Variabel bebas : Kurkumin

Variabel tergantung : Kadar AMH serum.

4.4.3 Definisi operasional

1. Mendapatkan suntikan siklosporin A :

Tikus disuntik siklosporin A, penyuntikan siklosporin A intramuskulus

pada paha.

2. Siklosporin A :

Sediaan obat tersebut adalah Sandimmun produksi Novartis. Berisi

Siklosporin A 50 mg/ml dengan kemasan 1 ml/ampul. Adapun dosis

terapi pada manusia 10 mg/kgBB/hari. Setelah dikonversi maka

didapatkan dosis pada tikus sebesar 1,26 mg per tikus.

3. Mendapatkan suntikan estrogen :

Penyuntikan estrogen dilakukan secara intramuskulus pada paha di hari

ke-1 dan ke-5 setelah perlakuan penyuntikan endometrium

intraperitoneum. Sediaan yang digunakan adalah Ovalumon produksi

Wonder. Berisi Ethynil Oestradiol 20.000 IU. Dosis pada tikus adalah

30 µg/kgBB. Maka dosis untuk tikus berat 100 -150 gram akan

memperoleh 3 µg atau 30 IU (1 µg setara 10 IU). Satu vial berisi 30 ml

yang mengandung 20.000 IU, maka 1 ml setara 666 IU, sehingga tiap

tikus akan mendapatkan 0,05 ml yang setara dengan 33,33 IU.

4. Biopsi endometrium :

Biopsi yang diambil dari operasi bahan uterus tumor jinak ovarium,

setelah dilumatkan disimpan dengan media PBS (phosphate buffered

saline). Dilakukan washing 2 x dengan alat sentrifugal putaran 3000

rpm. Supernatan dibuang kemudian ditambahkan PBS dengan

perbandingan 1 : 5, penicillin 200 IU/ml dan streptomisin 200 µg/ml.

Dosis yang diberikan pada tikus adalah 0,1 ml per tikus.

Page 45: Lit NOI Utuh

5. Suntikan intraperitoneum :

Penyuntikan jaringan biopsi endometrium secara intraperitoneum,

disuntikkan membuta pada rongga peritoneum, perlahan-lahan selama

60 detik. Tikus diposisikan terlentang dan jarum dimasukkan sejajar

dengan kakinya dengan kemiringan 45O dari permukaan perut tikus,

kemudian didorong melalui dinding abdomen ke dalam rongga

peritoneum. Apabila masuk intraperitoneum akan terasa tekanan yang

berbeda.

6. Suntikan intramuskular :

Suntikan dilakukan didaerah kaki belakang dan muskulus yang disuntik

adalah quadriceps atau triseps. Disuntikkan secara perlahan selama 10

detik untuk mengatasi rasa sakit.

7. Kurkumin personde :

Sediaan kurkumin produksi Merck dengan nama dagang Curcumin,

dalam kemasan botol mengandung bahan aktif kurkumin 95%, dalam

bentuk bubuk berwarna kuning (10 g). Dosis pada tikus adalah 240

mg/kgBB, dengan tikus berat berkisar 100 - 150 gram, maka dosis yang

diberikan tiap tikus adalah 24 mg per tikus. Kurkumin disondekan

dengan alat khusus sonde melalui mulut tikus. Perlakuan ini diberikan

mulai hari ke-14 sampai dengan hari ke-27.

8. Tikus coba :

Hewan coba adalah tikus (Rattus novergicus) betina yang berusia 3

bulan belum pernah bunting, berat berkisar 100 - 150 gram.

9. Tikus betina sakit :

Tikus betina yang ditandai tampak lemas, tidak aktif, mata lebih banyak

terpejam, pellet tidak dimakan, suhu meningkat, frekwensi denyut

jantung dan frekwensi nafas masing-masing diluar rentang. Kondisi

tikus normal : suhu 37,5°C – 39,5°C, frekwensi denyut jantung 330-480

detak permenit, dengan frekwensi pernafasan 80–120 x/menit.

10. Tikus model endometriosis :

Page 46: Lit NOI Utuh

Tikus coba yang telah mendapatkan siklosporin A, jaringan

endometrium intraperitoneum, dan estradiol.

11. Kadar AMH :

Adalah kadar Anti Mullerian Hormone ( AMH ) dalam serum tikus

model endometriosis yang diperiksa dengan metode ELISA.

4.5 Instrumen penelitian

4.5.1 Kandang :

Tempat mengelompokkan tikus menjadi dua kelompok. Kelompok A

mendapatkan kurkumin dan kelompok B mendapatkan plasebo. Masing-masing

kandang berisi 19 tikus.

4.5.2 Makanan :

Makanan dan minuman tikus akan mendapatkan jenis dan porsi yang sama.

Semua tikus akan mendapatkan perlakuan yang sama selama masa adaptasi 1

minggu maupun setelah mendapat perlakuan.

4.5.3 Alat suntik :

Alat suntik yang digunakan adalah disposable syringe 1 cc, beserta jarum

khusus untuk memasukkan perlakuan personde dan disposable syringe 3 cc untuk

mengambil darah sampel.

4.6 Prosedur penelitian

4.6.1 Prosedur pengambilan sampel

Bahan yang dipergunakan untuk penelitian ini adalah serum dari darah tikus

model endometriosis. Bahan diambil dengan cara aspirasi darah intrakardiak

kemudian dimasukkan dalam tabung reaksi dan didiamkan selama kurang lebih 1

jam supaya menggumpal atau mengalami aglutinasi. Kemudian dimasukkan

sentifuge dan diputar dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit pada suhu 4° C.

Serum diambil dan dimasukkan dalam tabung ependrof.

Page 47: Lit NOI Utuh

4.6.2 Kerangka operasional

Tikus betina usia 3 bulanBerat 100 - 150 gr

Adaptasi 1 minggu

Inj. Siklosporin A hr ke-1

Inj. Jaringan Endometrium hr ke-1

Inj. Estrogen hr ke-1 dan ke-5

Kelompok A Kelompok B

Tikus Model Endometriosis

Tikus Model Endometriosis

Plasebo personde hr ke-14 selama 14 hr

Kurkumin personde hr ke-14 selama 14 hr

Pemeriksaan kadar AMH

Ambil darah

Ambil serum

Page 48: Lit NOI Utuh

4.6.3 Alur penelitian

1. Seluruh hewan coba yang digunakan diambil dari Unit Hewan Coba

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

2. Hewan coba yang digunakan adalah tikus (Rattus novergicus) betina yang

berumur kurang lebih tiga bulan dengan berat 100 - 150 gram, dipilih

berdasar kriteria inklusi dan eksklusi.

3. Adaptasi tikus coba selama 1 minggu sebelumnya di kandang yang bersih,

cukup udara, cukup cahaya, makanan minuman yang cukup dan homogen

4. Tikus tersebut dibagi dalam 2 kelompok masing-masing berjumlah 19

ekor. Kelompok A dan B adalah tikus model endometriosis. Kelompok A

akan mendapat perlakuan suplementasi kurkumin, kelompok B hanya

perlakuan dengan plasebo.

5. Membuat tikus model endometriosis dari bahan biopsi endometrium,

suntikan siklosporin, dan suntikan estrogen.

6. Penyuntikan siklosporin pada hari ke-1 secara intramuskulus pada kedua

kelompok A dan B, masing-masing tikus disuntikkan 0,2 ml, Penyuntikan

dengan disposable syringe 1 ml.

7. Penyuntikan bahan biopsi endometrium pada hari ke-1 secara

intraperitoneum pada kedua kelompok A dan B, masing-masing tikus

disuntikkan 0,7 ml. Penyuntikan dengan disposable syringe 1 ml,

menggunakan jarum berukuran 16 agar jaringan endometrium dapat

masuk.

8. Penyuntikan estrogen pada hari ke-1 dan ke-5 secara intramuskulus pada

kedua kelompok A dan B, masing-masing tikus disuntikkan 0,05 ml,

Penyuntikan dengan disposable syringe 1 ml.

9. Perlakuan suplementasi kurkumin diberikan pada hari ke-14 personde

pada kelompok A. Untuk kelompok B diberikan plasebo. Perlakuan pada

kedua kelompok tersebut sampai hari ke-27 (14 hari).

10. Pengambilan bahan sampel pada hari ke-28.

11. Pemeriksaan kadar AMH dengan kit ELISA.

12. Data penelitian dicatat dalam formulir pengambilan data.

Page 49: Lit NOI Utuh

4.7 Pengelolaan data

Data penelitian ini dicatat dalam formulir pengambilan data. Analisa data

menggunakan software SPSS (Software Package for Social Science). Dilakukan uji

normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov. Bila data berdistribusi normal

dilanjutkan dengan uji t dua sampel bebas. Bila data tidak berdistribusi normal akan

dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Tingkat kemaknaan yang dipergunakan dalam

penelitian ini sebesar 0,05.

4.8 Anggaran

Anggaran bersifat mandiri.

4.9 Kelayakan etik

Kelayakan etik didapatkan dari komisi etik penelitian Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Airlangga Surabaya.

Page 50: Lit NOI Utuh

BAB 5

HASIL PENELITIAN

Penelitian telah dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2011 di

laboratorium embriologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya.

Sampel yang digunakan adalah 38 ekor tikus yang telah memenuhi kriteria inklusi. Tikus

kemudian dibuat menjadi model endometriosis, dibagi menjadi dua kelompok yaitu

kelompok perlakuan yang diberi kurkumin dan kelompok kontrol yang diberi plasebo.

Selama penelitian tidak ada tikus yang sakit atau mati, sehingga semua sampel dapat

dimasukkan dalam penelitian.

Penelitian ini menggunakan tingkat kemaknaan 0,05 sehingga bila uji statistik

didapatkan harga p ≤ 0,05 dikatakan bermakna, sedangkan bila didapatkan harga p > 0,05

dikatakan tidak bermakna. Sebelum dilakukan analisis statistik variabel penelitian berskala

rasio dilakukan uji normalitas Kolgomorov-Smirnov satu sampel. Apabila hasil uji

normalitas berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan uji statistik parametrik yaitu

perbandingan rerata dua kelompok menggunakan uji t dua sampel bebas.

5.1 Karakteristik sampel penelitian

Setelah dilakukan uji normalitas distribusi Kolmogorov-Smirnov satu sampel pada

variabel berat badan tikus kelompok kurkumin didapatkan p = 0,416 ( sebelum perlakuan )

dan p = 0,712 ( sesudah perlakuan ). Demikian juga pada kelompok plasebo, didapatkan p

= 0,787 (sebelum perlakuan) dan p = 0,711 (sesudah perlakuan). Karena p > 0,05 maka

kedua kelompok berdistribusi normal ( Tabel 5.1 ).

Karena berdistribusi normal, kemudian dilakukan uji t dua sampel bebas, dan

didapatkan p > 0,05 pada kedua kelompok sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada

perbedaan yang bermakna. Demikian pula pada perubahan berat badan antara kedua

kelompok, didapatkan p > 0,05 sehingga tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada

kedua kelompok dan dikatakan kedua kelompok adalah homogen. Karena berat badan

tikus adalah homogen maka variabel BB tidak dimasukkan dalam analisis berikutnya

(Tabel 5.2 ).

Page 51: Lit NOI Utuh

Tabel 5.1 Hasil uji normalitas berat badan tikus kelompok kurkumin dan plasebo

Kelompok Mean SD harga p Ket.

Kurkumin Sebelum 122,1 9,2 0,416 normal

Sesudah 146,6 13,1 0,712 normal

Plasebo Sebelum 122,4 11,6 0,787 normal

Sesudah 143,9 11,5 0,711 normal

Keterangan : p > 0,05 adalah berdistribusi normal

Tabel 5.2 Hasil uji homogenitas berat badan tikus kelompok kurkumin dan plasebo

Kelompok

Berat badan

( gram ) Perlakuan Kontrol harga p Ket.

(kurkumin) (plasebo)

Sebelum 122,1 ± 9,2 122,4 ± 11,6 0,939 homogen

Sesudah 146,6 ± 13,1 143,9 ± 11,5 0,515 homogen

Perubahan BB 24,4 ± 13,2 21,6 ± 11,4 0,475 homogen

Keterangan : p > 0,05 adalah tidak berbeda bermakna (homogen)

5.2 Analisa hasil penelitian

Pada penelitian ini kadar serum AMH diukur dengan metode ELISA menggunakan

kit assay produksi Cusabio Biotech, Wuhan, Cina. Pelaksanaan pengukuran metode

ELISA dilakukan di Unit layanan pemeriksaan laboratoris, konsultasi dan pelatihan

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya. Setelah dibaca dengan

mesin pembaca ( microplate reader ), kadar serum AMH dibuat berdasarkan kurva standar

dengan dasar nilai standar dari pembuat kit assay (Cusabio Biotech). Normalitas variabel

kadar serum AMH diuji menggunakan Kolmogorov-Smirnov satu sampel, dimana

didapatkan p = 0,061 (p > 0,05), berarti berdistribusi normal. Karena berdistribusi normal,

Page 52: Lit NOI Utuh

uji statistik yang dipakai adalah uji parametrik dengan memakai uji t dua sampel bebas.

Hasil uji t dua sampel bebas didapatkan harga p = 0,008 ( p ≤ 0,05 ) yang berarti

didapatkan perbedaan yang bermakna rerata kadar serum AMH antara kelompok kurkumin

dan kelompok plasebo (Tabel 5.4).

Tabel 5.3 Hasil uji normalitas kadar serum AMH

Mean SD harga p Ket.

Kadar serum AMH 37,4 18,1 0,061 normal

( ng / ml )

Keterangan : p > 0,05 adalah berdistribusi normal

Tabel 5.4 Hasil uji t dua sampel bebas kadar serum AMH

Kelompok

Perlakuan Kontrol harga p

Ket.

(kurkumin) (plasebo)

Kadar serum AMH 44,9 ± 20,1 29,8 ± 11,9 0,008 berbeda

( ng / ml ) bermakna

Keterangan : p ≤ 0,05 adalah berbeda bermakna

Page 53: Lit NOI Utuh

BAB 6

PEMBAHASAN

6.1 Model endometriosis

Model endometriosis yang dibuat pada tikus tidak sepenuhnya mewakili keadaan

endometriosis pada manusia. Tetapi endometrial-like lession yang dihasilkan dari

pembuatan model ini paling mirip dengan sel endometriosis pada manusia dari segi

morfologi dan histopatologinya, sehingga keadaan ini dianggap cukup mewakili sebagai

model eksperimental. Pembuatan model tikus endometriosis dilakukan dengan

menurunkan fungsi respon imun secara buatan, yaitu menekan proliferasi dan diferensiasi

limfosit menggunakan siklosporin A (suatu imunosupresan). Selanjutnya, ekstrak sel

endometrium manusia diinjeksikan ke dalam rongga abdomen tikus. Diharapkan akan

terjadi proses inflamasi akibat masuknya benda asing ke dalam rongga abdomen tikus.

Proses ini akan berlangsung sekitar 3-6 hari, kemudian dilanjutkan fase proliferasi yang

bertujuan untuk membentuk jaringan granulasi. Injeksi estrogen intramuskulus digunakan

agar terjadi proliferasi dan pertumbuhan jaringan endometrium di dalam rongga abdomen.

Pembentukan jaringan granulasi berlangsung hingga hari ke 14, proses tersebut dapat

berlanjut hingga hari ke 28 (Fortin dkk.,2003; Grummer, 2006).

Pada hari ke 14, perlakuan kurkumin dan plasebo pada tikus model endometrosis

dimulai. Kami tidak melakukan pemeriksaan konfirmasi kejadian endometriosis secara

makroskopis maupun histopatologi, oleh karena mengacu pada angka keberhasilan

kejadian endometriosis berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Awwad

(1999) sebesar 96 % , Vika (2006) sebesar 87,5 %, Kuswojo (2009) sebesar 89,5 %, dan

Sa’adi (2010) sebesar 80 %.

Pada penelitian ini kami mendapatkan bahwa meskipun secara statistik didapatkan

perbedaan yang bermakna pada rerata kadar AMH pada kedua kelompok, tetapi kami

melihat bahwa hasil pada setiap kelompok adalah tidak seragam. Pada kelompok

kurkumin, kami masih mendapatkan sampel dengan kadar serum AMH yang rendah,

begitu juga pada kelompok plasebo, kami masih mendapatkan kadar serum AMH yang

cukup tinggi. Hal ini kemungkinan dapat dijelaskan oleh penelitian sebelumnya oleh

Grummer dkk.(2001) bahwa hal ini dipengaruhi oleh kemampuan recovery oleh tikus

model itu sendiri. Dikatakan bahwa kemampuan recovery bervariasi pada setiap individu

Page 54: Lit NOI Utuh

dan tidak melebihi angka 30 %. Hal ini perlu dipertimbangkan dalam menganalisa hasil

penelitian, mengingat bila kita akan melakukan uji obat tertentu, karena perbedaan jumlah

lesi pada kedua kelompok hewan coba dapat disebabkan oleh perbedaan recovery pada

awal eksperimen dibanding efek dari obat yang diujikan.

6.2 Karakteristik sampel penelitian

Pada penelitian ini, kami membagi tikus coba secara random dalam 2 kelompok

yaitu kelompok dengan perlakuan pemberian suplemen kurkumin dan satu kelompok

dengan perlakuan pemberian suplemen plasebo (cairan NaCl). Oleh karena itu perlu

diperhatikan karakteristik sampel penelitian yang berpengaruh pada hasil penelitian, yaitu

usia dan berat badan tikus. Kami menggunakan tikus betina dengan usia yang sama yaitu 3

bulan. Pada usia ini, tikus dianggap sudah matang secara seksual sehingga dianggap status

hormonalnya sama. Kami tidak melakukan pemeriksaan hapusan vagina untuk melihat

status birahi tikus pada saat mulai melakukan perlakuan atau saat mengambil sampel darah

karena telah dibuktikan oleh Aoki dkk.(1994) bahwa pertumbuhan sel endometrium yang

ditransplantasikan pada mencit SCID tidak dipengaruhi oleh siklus estrus dari tikus,

sehingga memungkinkan dilakukannya transplantasi jaringan endometrium pada semua

siklus birahi tikus. Selain itu pemeriksaan kadar AMH pada manusia telah dibuktikan oleh

Streuli dkk.(2008), bahwa kadar AMH tidak dipengaruhi siklus menstruasi dan pemakaian

obat kontrasepsi, sehingga dapat diukur pada setiap fase siklus menstruasi, oleh karena itu

pengukuran kadar serum AMH pada tikus coba penelitian kami ini juga dianggap tidak

terpengaruh siklus birahinya.

Berat badan tikus coba pada penelitian kami sekitar 100 – 150 gram. Kami

mengukur berat badan tikus secara random. Berat badan tikus kami uji dengan uji

Kolmogorov Smirnof satu sampel, ternyata didapatkan distribusi yang normal. Setelah itu

kami lakukan analisa statistik dengan uji t dua sampel bebas dan tidak didapatkan

perbedaan yang bermakna pada pengukuran berat badan sebelum dan sesudah perlakuan

maupun pada perubahan berat badan pada kedua kelompok ( p>0,05) sehingga variabel

berat badan adalah homogen. Sebagai perbandingan terdapat beberapa penelitian pada

manusia yang menghubungkan antara body mass index (BMI) dan endometriosis.

Penelitian oleh Ferrero dkk.(2005) mendapatkan bahwa BMI pada 366 wanita dengan

endometriosis lebih rendah dibandingkan 268 wanita yang menjalani laparoskopi karena

masalah ginekologi ringan yang lain. Sementara penelitian oleh Yi dkk.(2009)

mendapatkan adanya hubungan antara derajat endometriosis dengan BMI wanita penderita

Page 55: Lit NOI Utuh

endometriosis. Pada wanita dengan derajat endometriosis yang berat didapatkan BMI yang

lebih rendah dibanding dengan derajat ringan atau sedang. Kami analogikan ada

persamaan antara penghitungan berat badan tikus dengan pengukuran BMI pada manusia,

sehingga karena hasilnya homogen maka kemungkinan kami anggap bahwa derajat

endometriosis yang positif pada kedua kelompok adalah sama. Sementara itu pada

penelitian oleh Freeman dkk.(2007) didapatkan bahwa pada wanita yang obesitas memiliki

kadar AMH yang lebih rendah dibanding non obesitas, karena berat badan tikus homogen,

kami menganggap perbedaan kadar serum AMH pada tikus coba tidak terpengaruh oleh

berat badan tikus.

6.3 Perbandingan kadar serum AMH pada perlakuan dengan kurkumin dan

plasebo

Sampai saat ini metode pengobatan untuk endometriosis pada manusia masih

belum memberikan hasil yang menggembirakan. Salah satu permasalahannya adalah

kekhawatiran akan efek samping yang timbul akibat pengobatan tersebut, sebagai contoh

efek hipoestrogenik akibat pemberian GnRH agonis atau efek hiperandrogen pada

pemberian danazol. Pemikiran yang dicoba untuk dikembangkan adalah usaha untuk

menemukan obat baru yang tidak menghambat poros hipotalamus-pituitari-ovarium,

sehingga penderita tidak dihadapkan pada permasalahan infertilitas. Salah satu alternatif

yang bisa digunakan adalah penggunaan media herbal yaitu kurkumin.

Sebuah Randomized Controlled Trial (RCT) tentang khasiat kurkumin pada

pengobatan endometriosis telah dilaporkan oleh Yang dkk.(2006). Pada penelitian ini

dikatakan bahwa campuran beberapa obat diantaranya kurkumin mempunyai keamanan

dan efikasi yang sama dibandingkan gestrinone dalam pencegahan rekurensi pada pasien

endometriosis post operasi. Salah satu mekanisme yang dipercaya sebagai efek kurkumin

disini adalah penekanan sitokin pro inflamasi, hambatan pada COX-2 dan efek anti

oksidan (Wieser dkk.,2007).

Beberapa penelitian telah membuktikan penyebab peningkatan proses apoptosis

pada endometriosis yaitu distimulasi oleh peningkatan sitokin pro inflamasi, diantaranya

yang banyak diteliti adalah TNF-α. Didapatkan peningkatan TNF-α baik dalam cairan

peritonium maupun cairan folikel. Penelitian oleh Hendarto (2007) mendapatkan

peningkatan kadar TNF-α pada cairan peritonium wanita endometriosis dan peningkatan

tersebut sesuai dengan derajat endometriosisnya. Semakin tinggi derajatnya maka kadar

TNF-α semakin meningkat. Sementara pada penelitian oleh Falconer dkk. (2009)

Page 56: Lit NOI Utuh

didapatkan kadar TNF-α pada cairan folikel wanita endometriosis lebih tinggi daripada

wanita yang infertil karena faktor tuba.

Mekanisme molekuler yang dapat menjelaskan keterlibatan TNF-α dalam proses

apoptosis tersebut adalah akibat aktivasi salah satu faktor transkripsi yaitu NF-κβ. Studi in

vitro menunjukkan aktivasi NF-κβ di dalam sel stroma endometriosis melalui jalur NF-κβ

klasik yang diinduksi oleh IL-1, TNF-α atau lipopolisakarida (Ramos dkk.,2007). Faktor

transkripsi NF-κβ diketahui berperan dalam patogenesa terjadinya endometriosis, yaitu

merangsang proses adhesi, invasi, angiogenesis, inflamasi, proliferasi, dan menghambat

apoptosis sel endometriosis. Peran aktifasi jalur klasik NF-κβ merupakan respon imunitas

alamiah sehingga merangsang inflamasi dan mempertahankan lesi endometriosis (Ramos

dkk., 2010). Aktivasi faktor transkripsi NF-κβ juga berhubungan dengan peningkatan ROS

(Reactive Oxygen Species). Penelitian oleh Ngo dkk (2009) telah membuktikan

peningkatan ROS pada sel stroma dan epitel dari endometrioma dan endometrium wanita

endometriosis. Bahan ROS yang utama yaitu superoksida ( O2-) akan diubah menjadi H2O2

oleh enzim SOD (super oxide dismutase), selanjutnya dapat membentuk hydroxyl radicals

(OH-) karena pengaruh Ion Fenton terhadap H2O2 atau Haber Weiss reactions terhadap O2-.

Hydroxyl radicals memiliki waktu paruh yang pendek dan jauh lebih reaktif dibandingkan

superoksida. Schreck dkk. (1991) membuktikan H2O2 mengaktifasi faktor transkripsi NF-

κB. H2O2 menyebabkan terlepasnya ikatan NF-κB dengan IκB.

Pada beberapa penelitian telah dibuktikan adanya penurunan kadar AMH baik pada

serum maupun pada cairan folikel wanita endometriosis. Penelitian oleh Lemos dkk.(2008)

mendapatkan kadar AMH pada serum wanita endometriosis lebih rendah dibandingkan

kontrol yaitu wanita dengan infertilitas karena faktor tuba ( 1,26 ± 0,7 vs 2,02 ± 0,72

dengan p = 0,004). Penelitian oleh Shebl (2009) juga membuktikan penurunan kadar AMH

pada serum wanita endometriosis dibandingkan kontrol (faktor suami) dan meningkat

sesuai derajat endometriosisnya, pada wanita dengan endometriosis ringan didapatkan

mean kadar AMH tidak berbeda dengan kontrol ( 3,28 ± 1,93 vs 3,44 ± 2,06 ;p = 0,61)

pada wanita dengan derajat berat didapatkan mean kadar AMH yang berbeda signifikan

(2,38 ± 1,83 vs 3,58 ± 2,46; p<0,0001). Sementara pada penelitian oleh Falconer dkk.

(2009) mendapatkan bukti penurunan kadar AMH pada cairan folikel wanita

endometriosis. Mekanisme penurunan kadar AMH ini belum sepenuhnya dapat dijelaskan,

kemungkinan hal ini dipengaruhi peningkatan kadar TNF-α dalam cairan folikel wanita

endometriosis, yang akhirnya menginduksi terjadinya peningkatan proses apoptosis pada

Page 57: Lit NOI Utuh

sel granulosa. Penurunan kadar AMH ini kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya

jumlah sel granulosa secara kumulatif akibat peningkatan proses apoptosis. Akan tetapi hal

ini memerlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikannya.

Pada penelitian kami, rerata kadar AMH pada tikus model endometriosis kelompok

kurkumin lebih tinggi dibanding kelompok plasebo ( 44,9 ± 20,1 vs 29,8 ± 11,9 )

( tabel 5.4 ). Berdasarkan uji t dua sampel bebas didapatkan perbedaan bermakna antara

dua kelompok tersebut ( p = 0,008 ). Perbedaan hasil ini kemungkinan akibat keberhasilan

kurkumin dalam menghambat proses apoptosis yang terjadi, adapun mekanismenya bisa

melalui beberapa jalur antara lain penghambatan aktivasi faktor transkripsi NF-κβ dengan

berbagai akibatnya, penekanan aktivitas inflamasi melalui penekanan TNF-α secara

langsung atau melalui efek antioksidasi. Singh dan Aggarwal (1995) telah membuktikan

bahwa kurkumin dapat menghambat aktivasi faktor transkripsi NF-κβ dengan target

penekanan sebelum terjadinya fosforilasi Iκβα. Penelitian Jobin (1999) juga telah

membuktikan hal yang sama. Kurkumin terbukti mengurangi dampak negatif akibat defek

imun penderita endometriosis dengan cara anti TNF-α, anti NF-κβ, anti oksidan, anti JNK

dan anti aktivasi jalur kaspase. Kurkumin mampu menekan jalur NF-κB dan gen NF-κB

target cytokines.

Kurkumin juga mempunyai kemampuan antioksidan yang kuat. TNF-α sendiri

menginduksi pembentukan stres oksidatif melalui jalur JNK-1 yang akhirnya dapat

menginduksi proses apoptosis (Antosiewicz dkk.,2007). Kurkumin mempunyai efek anti

oksidan dan hal ini telah dibuktikan pada beberapa penelitian. Kurkumin menghambat

terbentuknya hydroxyl radicals (OH-) akibat reaksi Fenton atau Haber-Weiss dengan

memperbanyak aktivitas antioksidan seperti SOD, GPx, GSH, dan GST. Demikian pula

pemutusan rantai atau penambahan rantai hidrogen pada struktur phenolic dapat

mengkatalisa bahan hidrogen peroksida (H2O2) menjadi H2O dan O2. Kurkumin adalah

antioksidan eksogen dengan cara memecah rantai oksidan sehingga menghambat

peroksidasi lemak (Pari dkk.,2008).

Pada penelitian kami, pada kelompok plasebo didapatkan satu sampel dengan kadar

yang tinggi (67,8 ng/ml) melebihi kadar rerata AMH pada kelompok kurkumin, hal ini

kemungkinan terjadi karena kemampuan recovery akibat pengaruh faktor imun yang lebih

baik pada tikus tersebut, sementara pada kelompok kurkumin kami mendapatkan 2 sampel

dengan kadar AMH yang lebih rendah ( 11,8 ng/ml dan 26,4 ng/ml ) dibanding rerata

Page 58: Lit NOI Utuh

AMH pada kelompok plasebo, hal ini kemungkinan karena derajat endometriosis yang

terjadi lebih tinggi daripada pada kelompok plasebo.

Dengan terhambatnya proses apoptosis yang terjadi akan menyebabkan jumlah sel

granulosa yang mampu bertahan menjadi lebih banyak sehingga protein dan hormon yang

disekresi juga menjadi lebih tinggi. Dengan lebih banyaknya sel granulosa yang selamat

dari proses apoptosis abnormal, maka diharapkan akan meningkatkan fertilitas pada

penderita endometriosis. Hal ini telah dibuktikan pada penelitian oleh Johari (2010),

dimana didapatkan efek positif suplementasi kurkumin pada mencit model endometriosis

dengan didapatkannya angka keberhasilan fertilisasi yang lebih tinggi dibanding plasebo

ditinjau dari banyaknya ovum dan kemampuan oosit untuk menyelesaikan meiosisnya.

Pada kelompok yang diberikan suplemen kurkumin didapatkan rerata jumlah ovum 15,42

± 3,17 dibandingkan kelompok plasebo dengan rerata jumlah ovum 8,21±2,82 (p=0,0001).

Hasil ini dapat menjelaskan penelitian kami dimana diduga oosit berperan pada regulasi

AMH oleh sel granulosa. Penelitian oleh Salmon (2004) telah membuktikan bahwa

ekspresi AMH oleh sel granulosa akan berkurang bila dilakukan oositektomi dan

meningkat kembali bila oosit dikultur kembali bersama sel granulosa.

Penelitian yang mempelajari pengaruh kurkumin terhadap kadar AMH sampai saat

ini belum pernah dilaporkan. Penelitian kami telah membuktikan bahwa didapatkan kadar

serum AMH yang lebih tinggi pada kelompok yang mendapat suplementasi kurkumin,

namun perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk lebih memahami mekanisme yang

mendasari hasil penelitian tersebut.

Page 59: Lit NOI Utuh

BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Kadar serum AMH pada tikus model endometriosis yang mendapat

suplementasi kurkumin lebih tinggi daripada plasebo

7.2 Saran

1. Perlu penelitian lanjutan tentang pengaruh kurkumin terhadap proses apoptosis

dan kadar ROS pada tikus model endometriosis

2. Mengembangkan penelitian lebih lanjut tentang manfaat kurkumin pada

pengobatan endometriosis dan penentuan standar dosisnya

Page 60: Lit NOI Utuh

BAB 8

DAFTAR PUSTAKA

Aggarwal BB. 2003. Signalling pathways of the TNF superfamily : A double–edged sword, Nat Rev Immunol 3(9): 745–756.

Aggarwal S, Ichikawa H, Takada Y, Sandur S, Shishodia S, Aggarwal BB, 2006. Curcumin (Diferuloylmethane) down-regulates expression of cell proliferation and antiapoptotic and metastatic gene products through suppression of IκBα kinase and Akt activation. Mol Pharmacol 69 : 195-206.

Andersen CY , Byskov AG, 2006. Estradiol and regulation of anti Mullerian hormone, Inhibin-A, and Inhibin-B secretion: Analysis of small antral and preovulatory human follicles’ fluid. J Clin Endocrinol Metab 91: 4064-4069.

Antosiewicz J, Ziolkowski W, Kaczor JJ, Antosiewicz AH, 2007. Tumor necrosis factor-α induced reactive oxygen species formation is mediated by JNK1-dependent ferritin degradation and elevation of labile iron pool. Free Radic Biol Med 43: 265-270.

Aoki D, Katsuki Y, Shimizu A, Kakinuma C. 1994. Sucessfull heterotransplantation of human endometrium in SCID mice. Obstet Gynecol 83: 220-228

Awwad JT, Sayegh RA, Hassan T, Tao XJ, Issacson K, 1999. The SCID mouse : an experimental modelfor endometriosis. Hum Reprod 14: 3107-3111.

Ball BA, Conley AJ, Grundy SA, Sabeur K, 2008. Expression of anti-Müllerian hormone (AMH) in the equine testis. Theriogenology 69: 624-631.

Bedaiwy MA, Falcone T, Sharma RK, Goldberg JM, Attaran M, Nelson DR, Agarwal A, 2002. Prediction of endometriosis with serum and peritoneal fluid marker: a prospective controlled trial. Hum Reprod 17(2): 426-431.

Beere HM, 2005. Death versus survival : functional interaction between the apoptotic and stress-inducible heat shock protein pathways. J Clin Invest 115(10): 2633-2639.

Berkkanoglu M, Arici A, 2003. Immunology and endometriosis. Am J Reprod Immunol 50(1): 48-59.

Broekmans FJ, Visser JA, Laven JS, Broer SL, Themmen AP, Fauser BC, 2008. Anti Mullerian hormone and ovarian dysfunction. Trends in Endocrinol and Metab 19(9): 340-347.

Campos CS, Vaamonde D, Andreoli C, Martins AC, Genro VK, Souza CA, Chapon R, Cunha-Filho JSL, 2010. Follicular fluid anti Mullerian hormone concentration is similar in patients with endometriosis compared with non endometriotic patients. Reprod Biomed Online 21: 470-473.

Cao WG, Morin M, Metz C, Maheux R, Akoum A, 2005. Stimulation of macrophage migration inhibitory factor expression in endometrial stromal cells by interleukin 1, beta involving the nuclear transcription factor NF-κB. Biol Reprod 73: 565-570

Danudjo TO, 2003. Peran IL-6 serta IL-8 dalam zalir peritoneal penderita infertilitas disertai endometriosis dalam proses apoptosis sel granulosa ovarii yang patologis. Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya.

Desforges-Bullet V, Gallo C, Lefebvre C, Pigny P, Dewailly D, Catteau-Jonard S, 2010. Increased anti-Müllerian hormone and decreased FSH levels in follicular fluid obtained in women with polycystic ovaries at the time of follicle puncture for in vitro fertilization. Fertil Steril 94: 198-204.

Page 61: Lit NOI Utuh

Dumesic DA, Lesnick TG, Stassart JP, Ball D, Wong A, Abbott DH, 2009. Intrafollicular anti Mullerian hormone (AMH) levels predict follicle responsiveness to FSH in normoandrogenic ovulatory women undergoing GnRH analog/recombinant human FSH therapy for IVF-ET. Fertil Steril 92(1): 217-221

Durlinger AL, Gruijters MJ, Kramer P, Karels B, Kumar TR, Matzuk MM, Rose UM, de Jong FH, Uilenbroek JT, Grootegoed JA, Themmen AP, 2001. Anti Mullerian hormone attenuates the effects of FSH on follicle development in the mouse ovary. Endocrinology 142(11): 4891-4899.

Elvin JA, Clark AT, Wang P, Wolfman NM, Matzuk MM, 1999. Paracrine actions of GDF-9 in the mammalian ovary. Mol Endocrinol 13: 1035-1048.

Falconer H, Sundqvist J, Gemzell-Danielsson K, von Schoultz B, D'Hooghe TM, Fried G.2009. IVF outcome in women with endometriosis in relation to tumour necrosis factor and anti-Müllerian hormone. Reprod Biomed Online 18: 582-588.

Findlay JK, Kerr JB, Britt K, Liew SH, Simpson ER, Rosario D, Drummond A, 2009. Ovarian physiology : follicle development, oocyte and hormone relationships. Anim Reprod 6: 16-19.

Freeman EW, Gracia CR, Sammel MD, Lin H, Lim LC,Strauss JF IIIrd. 2007. Association of anti-Mullerian hormone levels with obesity in late reproductive-age women. Fertil Steril 87:101–106

Gazvani MR, Christmas S, Quenby S, Kirwan J, Johnson PM, Kingsland CR, 1998. Peritoneal fluid concentrations of interleukin-8 in women with endometriosis: relationship to stage of disease. Hum Reprod 13: 1957-1961.

Grummer R, 2006. Animal models in endometriosis research. Hum Reprod Update, 12(5): 641-649.

Hazout A, Bouchard P, Seifer DB, Aussage P, Junca AM, Cohen-Bacrie P, 2004. Serum anti müllerian hormone/müllerian inhibiting substance appears to be a more discriminatory marker of assisted reproductive technology outcome than follicle-stimulating hormone, inhibin B, or estradiol. Fertil Steril 82: 1323-1329.

Hendarto H. 2007. Profil kadar TNF-α, GDF-9 dan Hyaluronan pada gangguan folikulogenesis sebagai gambaran penurunan kualitas oosit pasien infertil dengan endometriosis. Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya.

Hong CY, Park JH, Seo KH, Kim JM, Im SY, Lee JW, Choi HS, Lee K, 2003. Expression of MIS in the Testis Is Downregulated by Tumor Necrosis Factor Alpha through the Negative Regulation of SF-1 Transactivation by NF-κB. Mol Cell Biol 23: 6000-6012.

Hornung D, Isabelle PR, Chao VA, Vigne JL, Schriock ED, Taylor RN, 1997. Immunolocalization and regulation of the chemokine RANTES in human endometrial and endometriosis tissues and cells. J Clin Endocrinol Metab 82: 1621-1628.

Husein MR, 2005. Apoptosis in the ovary: molecular mechanisms. Hum Reprod Update 11(2): 162-178.

Iwabe T, Harada T, Tsudo T, Nagano Y, Yoshida S, Tanikawa M, Terakawa N, 2000. Tumor Necrosis Factor-a promotes proliferation of endometriotic stromal cells by inducing interleukin-8 gene and protein expression. J Clin Endocrinol Metab 85: 824-829.

Jobin C, Bradham CA, Russo MP, Juma B, Narula AS, Brenner DA, Sartor RB, 1999. Curcumin blocks cytokine-mediated NF-κB activation and proinflammatory gene expression by inhibiting inhibitory factor I-κB kinase activity. J Immunol 163: 3474-3483.

Page 62: Lit NOI Utuh

Johari S, Hendarto H, Samsulhadi, Widjiati, 2010. Pengaruh kurkumin terhadap jumlah dan maturasi ovum hasil stimulasi ovarium pada endometriosis. Penelitian Departemen/SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan FK Unair/RSUD dr Soetomo Surabaya.

Josso N, Clemente N, Gouedard L, 2001. Anti Mullerian hormone and its receptors. Mol Cell Endorinol 179: 25-32.

Kevenaar ME, Meerasahib MF, Kramer P, van de Lang-Born BM, de Jong FH, Groome NP, Themmen AP,Visser JA, 2006. Serum anti Mullerian hormone levels reflect the size of the primordial follicle pool in mice. Endocrinology 147: 3228-3234.

Knight PG, Glister C, 2006. TGF-β superfamily members and ovarian follicle development. Reproduction 132: 191-206.

Kuswojo H, Sa’adi A, Hendarto H, Samsulhadi, Widjiati, 2009. Pengaruh curcumin terhadap ekspresi VEGF dan luas implant endometriosis. Penelitian Departemen/SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan FK Unair/RSUD dr Soetomo Surabaya.

La Marca A, Sighinolfi G, Radi D, Argento C, Baraldi E, Artenisio AC, Stabile G, Volpe A, 2010. Anti Mullerian hormone (AMH) as a predictive marker in assisted reproductive technology (ART). Hum Reprod Update 16: 113-130.

Lebovic DI, Mueller MD, Taylor RN, 2001. Immunology and endometriosis. Fertil Steril 75: 1-10.

Lemos NA, Arbo E, Scalco R, Weiler E, Rosa V, Cunha-Filho JS, 2008. Decreased anti Mullerian hormone and altered ovarian follicular cohort in infertile patients with mild/minimal endometriosis. Fertil Steril 89: 1064-1068.

Mathur S, Peress MR, Wiliamson HO, Youmans CD, Maney SA, Garvin AJ, Rust PF, Fudenberg HH, 1982. Autoimmunity to endometrium and ovary in endometriosis. Clin Exp Immunol 50: 259-266.

McGee EA, Hsueh AJW, 2000. Initial and cyclic recruitment of ovarian follicles. Endocr Rev, 21: 200–214.

McLaren J, Prentice A, Charnock-Jones DS, Smith SK, 1996. VEGF concentrations are elevated in peritoneal fluid of women with endometriosis. Hum Reprod 11: 220-223.

McLaren J, Prentice A, Charnok-Jones DS, Sharkey AM, Smith SK, 1997. Immunolocalization of the apoptosis regulating proteins Bcl-2 and Bax in human endometrium and isolated peritoneal fluid macrophages in endometriosis. Hum Reprod 12: 146-152.

Nasu K, Nishida M, Ueda T, Yuge A, Takai N, Narahara N, 2007. Application of Nuclear-κB inhibitor BAY 11-7085 for the treatment of endometriosis: an invitro study. Am J Phys Endocrinol Metab 293: 16-23.

Nielsen ME, rasmussen IA, Westergaard LG, Andersen CY, 2010. Concentrations of Anti-Müllerian Hormone in fluid from small human antral follicles show a negative correlation with CYP19 mRNA expression in the corresponding granulosa cells. www.molehr.oxfordjournals.org, download pada 20 Mei 2011.

Nothnick WB, 2001. Treating endometriosis as an auto immune disease. Fertil Steril 76: 223-231.

Oosterlynck DJ, Mueleman C, Waer M, Koninckx PR, 1994. TGF-β activity is increased in peritoneal fluid from women with endometriosis. Obstet Gynecol 83: 287-292.

Ota H, Igarashi S, tanaka T, 2001. Xanthine oxidase in eutopic and ectopic endometrium in endometriosis and adenomyosis. Fertil Steril 75: 785-790.

Pari L, Tewas D, Eckel J, 2008. Role of curcumin in health and disease. Arch Phys Biochem 114: 127-149.

Page 63: Lit NOI Utuh

Portt L, Norman G, Clapp C, Greenwood M, Greenwood MT, 2011. Anti apoptosis and cell survival : A review. Biochim Biophys Acta 1813: 238-259.

Ramos RG, Donnes J, Defrere S, Leclercq I, Squiflet J, Luosse JC, van Langendonckt A, 2007. Nuclear factor kappa B is constitutively activated in peritoneal endometriosis. Mol Hum Reprod 13: 503-509.

Rier SE, Zarmakoupis PN, Hu X, Becker JL, 1995. Dysregulation of interleukin-6 responses in ectopic endometrial stromal cells: correlation with decreased soluble receptor levels in peritoneal fluid of women with endometriosis. J Clin Endocrinol Metab 80 : 1431- 1437.

Sa’adi A. 2010. Efek curcumin dan progestin (MPA) terhadap ekspresi VEGF dan luas implant endometriosis. Penelitian Konsultan FER Departemen/SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan FK Unair/RSUD dr Soetomo Surabaya.

Salmon NA, Handyside AH, Joyce IM, 2004. Oocyte regulation of anti-Mullerian hormone expression in granulosa cells during ovarian follicle development in mice. Develop Biol 266: 201-108.

Samsulhadi, 2002. Endometriosis: Dari biomolekuler sampai masalah klinis. Majalah Obstetri dan Ginekologi, 10(1): 43-50.

Sandur SK, Pandey MK, Sung B, Ahn KS, Akira Murakami A, Sethi G, Limtrakul P, Aggarwal BB, 2007. Curcumin, demethoxycurcumin, bisdemethoxycurcumin, tetrahydrocurcumin and turmerones differentially regulate anti-inflammatory and anti-proliferative responses through a ROS-independent mechanism. Carcinogenesis, 28(7): 1765-1773.

Seino T, Saito H,Kaneko T, Takahashi T, Kawachiya S, Kurachi H, 2002. Eight-hydroxy-2-deoxyguanosine in granulosa cells is correlated with the quality of oocytes and embryos in an in vitro fertilization–embryo transfer program. Fertil Steril 77: 1184-1190.

Senturk LM, Arici A, 1999. Immunology of endometriosis. J Reprod Immunol 43 : 67-83.Sharma RA, Gescher AJ, Steward WP, 2005. Curcumin : the story so far. Eur J Cancer 41:

1955-1968.Shebl O, Ebner T, Sommergrubber M, Sir A, Tews G, 2009. Anti Mullerian hormone

serum levels on women with endometriosis : a case control study. Gynecol Endocrinol 25 : 713-716.

Speroff L, Fritz MA, 2005. Endometriosis. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility, seventh edition, Philadelphia, Lippincott Williams and Wilkins, pp. 1103-1133.

Szczepanska M, Kozlik J, Skrypczak J, Mikolaczyk M, 2003. Oxidative stress maybe a piece in the endometriosis puzzle. Fertil Steril 79: 1288-1293.

Toya M, Saito H, Ohta N, Saito T, Kaneko T, Hiroi M, 2000. Moderate and severe endometriosis is associated with alterations in the cell cycle of granulosa cells in patients undergoing in vitro fertilization and embryo transfer. Fertil Steril 73 : 344-350.

Tripathi P, Aggarwal A, 2006. NF-κB transcription factor : a key player in the generation of immune response. Curr Science 90: 519-531.

Vigano P, Gaffuri B, Somigliana E, di Blasio AM, Vignali M, 1998. Expression of ICAM-1 mRNA and protein is enhanced in endometriosis versus endometrial stromal cells in culture. Mol Hum Reprod 4 : 1150-1156.

Page 64: Lit NOI Utuh

Vika SP, Hendarto H, Suhartono DS, Widjiati, 2006. Pengaruh pemberian siklosporin A sebagai penurun jumlah limfosit serum terhadap terjadinya implant endometriosis pada mencit. Penelitian Departemen/SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan FK Unair/RSUD dr Soetomo Surabaya.

Visser JA, de Jong FH, Laven JS, Themmen AP, 2006. Anti-Mullerian hormone: a new marker for ovarian function. Reproduction 131: 1-9.

Visser JA, Themmen AP, 2005. Anti Mullerian hormone and folliculogenesis. Mol Cell Endocrinol 234: 81-86.

Wieser F, Cohen M, Gaeddert A, 2007. Evolution of medical treatment for endometriosis: back to the roots?. Hum Reprod Update 13: 487-499.

Wu MY, Yang JH, Chao KH, Hwang JL, Yang YS, Ho HN, 2000. Increase in the expression of killer cell inhibitory receptors on peritoneal natural killer cells in women with endometriosis. Fertil Steril 74: 1187-1191.

Zeller JM, Henig I, Radwanska E, Dmowski WP, 1987. Enhancement of human monocyte and peritoneal macrophage chemiluminescence activities in women with endometriosis. Am J Reprod Immunol Microbiol 13: 78-82

Page 65: Lit NOI Utuh

Lampiran 1

DATA HASIL PENELITIAN

Berat badan tikus sebelum dan Berat badan tikus sebelum dan

sesudah pemberian kurkumin sesudah pemberian plasebo

Berat badan

sebelum sesudah

125 130

140 160

115 145

130 160

130 155

120 155

125 145

130 155

125 150

125 145

110 115

125 160

110 160

130 140

120 125

115 135

100 150

120 140

125 160

Berat badan

sebelum sesudah

105 130

110 140

125 140

135 160

155 160

115 140

130 140

130 150

120 150

130 160

125 150

120 145

110 150

130 140

120 120

125 135

115 135

115 160

110 130

Page 66: Lit NOI Utuh

Kadar serum AMH ( ng/ml ) tiap kelompok perlakuan

Kurkumin Plasebo

70,2 67,8

31,8 34,2

45,4 24,8

26,4 30,8

37,4 14,6

30,4 39,6

29,6 31,8

38,6 34,2

36,8 17,6

33,8 30,8

53,8 20,4

50,2 36,2

96,8 27,4

58,6 26,4

35,2 34,4

36,6 23,8

77,2 36,4

11,8 21,8

54,2 12,8

Lampiran 2

HASIL ANALISA STATISTIK

Page 67: Lit NOI Utuh

Kurkumin

NPar Tests

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

19 19 19

122.1053 146.5789 24.4737

9.17663 13.12892 13.21770

.203 .160 .157

.142 .153 .116

-.203 -.160 -.157

.884 .699 .684

.416 .712 .737

N

Mean

Std. Deviation

Normal Parameters a,b

Absolute

Positive

Negative

Most ExtremeDifferences

Kolmogorov-Smirnov Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

BB_awal BB_akhir Delta BB

Test distribution is Normal.a.

Calculated from data.b.

T-Test

Paired Samples Statistics

146.5789 19 13.12892 3.01198

122.1053 19 9.17663 2.10526

BB_akhir

BB_awal

Pair1

Mean N Std. DeviationStd. Error

Mean

Paired Samples Test

24.47368 13.21770 3.03235 18.10296 30.84441 8.071 18 .000BB_akhir - BB_awalPair 1Mean Std. Deviation

Std. ErrorMean Lower Upper

95% ConfidenceInterval of the

Difference

Paired Differences

t df Sig. (2-tailed)

Placebo

Page 68: Lit NOI Utuh

NPar Tests

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

19 19 19

122.3684 143.9474 21.5789

11.59123 11.49625 11.43249

.150 .161 .144

.150 .161 .125

-.090 -.129 -.144

.653 .700 .627

.787 .711 .826

N

Mean

Std. Deviation

Normal Parameters a,b

Absolute

Positive

Negative

Most ExtremeDifferences

Kolmogorov-Smirnov Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

BB_awal BB_akhir Delta BB

Test distribution is Normal.a.

Calculated from data.b.

T-Test

Paired Samples Statistics

143.9474 19 11.49625 2.63742

122.3684 19 11.59123 2.65921

BB_akhir

BB_awal

Pair1

Mean N Std. DeviationStd. Error

Mean

Paired Samples Test

21.57895 11.43249 2.62279 16.06867 27.08923 8.227 18 .000BB_akhir - BB_awalPair 1Mean Std. Deviation

Std. ErrorMean Lower Upper

95% ConfidenceInterval of the

Difference

Paired Differences

t df Sig. (2-tailed)

T-Test

Page 69: Lit NOI Utuh

Group Statistics

19 122.1053 9.17663 2.10526

19 122.3684 11.59123 2.65921

19 146.5789 13.12892 3.01198

19 143.9474 11.49625 2.63742

19 24.4737 13.21770 3.03235

19 21.5789 11.43249 2.62279

PerlakuanKurkumin

Placebo

Kurkumin

Placebo

Kurkumin

Placebo

BB_awal

BB_akhir

Delta BB

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Independent Samples Test

.708 .406 -.078 36 .939 -.26316 3.39169 -7.14182 6.61550

-.078 34.200 .939 -.26316 3.39169 -7.15441 6.62810

.208 .651 .657 36 .515 2.63158 4.00350 -5.48789 10.75105

.657 35.383 .515 2.63158 4.00350 -5.49281 10.75597

.221 .641 .722 36 .475 2.89474 4.00926 -5.23642 11.02590

.722 35.268 .475 2.89474 4.00926 -5.24229 11.03176

Equal variancesassumed

Equal variancesnot assumed

Equal variancesassumed

Equal variancesnot assumed

Equal variancesassumed

Equal variancesnot assumed

BB_awal

BB_akhir

Delta BB

F Sig.

Levene's Test forEquality of Variances

t df Sig. (2-tailed)Mean

DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper

95% ConfidenceInterval of the

Difference

t-test for Equality of Means

NPar Tests

Page 70: Lit NOI Utuh

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

38

37.3842

18.04501

.214

.214

-.078

1.321

.061

N

Mean

Std. Deviation

Normal Parameters a,b

Absolute

Positive

Negative

Most ExtremeDifferences

Kolmogorov-Smirnov Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

KADAR AMH( ng/ml )

Test distribution is Normal.a.

Calculated from data.b.

Case Summaries

KADAR AMH ( ng/ml )

19 44.9895 20.08332 4.60743 37.4000 11.80 96.80

19 29.7789 11.99535 2.75192 30.8000 12.80 67.80

38 37.3842 18.04501 2.92729 34.2000 11.80 96.80

PerlakuanKurkumin

Placebo

Total

N Mean Std. DeviationStd. Errorof Mean Median Minimum Maximum

T-Test

Group Statistics

19 44.9895 20.08332 4.60743

19 29.7789 11.99535 2.75192

PerlakuanKurkumin

Placebo

KADAR AMH ( ng/ml )N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Independent Samples Test

4.348 .044 2.834 36 .007 15.21053 5.36670 4.32635 26.09470

2.834 29.393 .008 15.21053 5.36670 4.24076 26.18030

Equal variancesassumed

Equal variancesnot assumed

KADAR AMH ( ng/ml )F Sig.

Levene's Test forEquality of Variances

t df Sig. (2-tailed)Mean

DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper

95% ConfidenceInterval of the

Difference

t-test for Equality of Means

Page 71: Lit NOI Utuh

Lampiran 3

Kelaikan Etik

Page 72: Lit NOI Utuh

Lampiran 4

Foto kegiatan penelitian

Page 73: Lit NOI Utuh

Jaringan endometrium manusia Menyuntik jaringan endometrium

Yang sudah dihaluskan ke dalam intraperitonium

Contoh model endometriosis (+) Contoh model endometriosis ( - )

Aspirasi darah intrakardiak Serum darah setelah di sentrifuge

Sampel serum darah Kit assay untuk AMH tikus

Page 74: Lit NOI Utuh

Running ELISA mulai Running ELISA sedang

berjalan

Running ELISA selesai Microplate reader