Lingkungan Tata Ruang

34
Laporan Akhir Penetrasi pembangunan yang cepat di kota-kota di Indonesia memberikan dampak luas terhadap kota itu sendiri maupun wilayah pinggirannya. Konsekuensi paling logis adalah meningkatnya urbanisasi yang disertai dengan laju pertumbuhan penduduk perkotaan, baik secara alamiah maupun migrasi penduduk desa ke kota. Dampak lainnya adalah alih guna lahan perdesaan menjadi perkotaan karena adanya peningkatan kebutuhan ruang untuk aktivitas kota. Disamping itu, terdapat keterbatasan supply ruang perkotaan terutama di pusat kota yang justru memiliki intensitas penggunaan lahan paling tinggi. Akibatnya penduduk perkotaan mengalami kesulitan mendapatkan lahan untuk beraktivitas, salah satu contohnya adalah aktivitas permukiman. Hal ini menyebabkan beralihnya fungsi lahan terbuka dan pertanian yang ada di pinggiran kota menjadi fungsi permukiman. Bila hal ini berlangsung treus menerus, maka akan mengakibatkan terjadinya perluasan kota yang tidak terencana, yang tentu saja akan memebrikan dampak lebih lanjut terhadap kondisi perkotaan. Seperti terjadinya penurunan kualitas lingkungan, banjir, kemacetan, dan sebagainya. Berikut ini akan diuraikan fenomena urbanisasi dan sub urbanisasi di Jakarta dan Semarang. 2.1 FENOMENA URBANISASI 2.1.1 Jakarta Metropolitan Jakarta memiliki laju perkembangan kota sangat tinggi dan kompleks. Gejala tersebut mulai terasa sejak akhir tahun 60-an hingga sekarang. Hingga kini urbanisasi di Jakarta telah membengkak lebih dari 10 juta jiwa dengan pertambahan penduduk relatif tinggi. Akibatnya telah terjadi kemacetan lalu lintas, pencemaran lingkungan, banjir, dan penggunaan lahan yang tak terkendali. Kondisi seperti ini telah menjadi fenomena keseharian bagi pertumbuhan Kota Jakarta. 2 FENOMENA URBANISASI DAN SUB URBANISASI DI W WILA Y YA H H S S T T U U D D I I Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 1 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

description

tata ruang untuk teknik lingkungan

Transcript of Lingkungan Tata Ruang

Page 1: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

Penetrasi pembangunan yang cepat di kota-kota di Indonesia

memberikan dampak luas terhadap kota itu sendiri maupun wilayah

pinggirannya. Konsekuensi paling logis adalah meningkatnya

urbanisasi yang disertai dengan laju pertumbuhan penduduk

perkotaan, baik secara alamiah maupun migrasi penduduk desa ke

kota. Dampak lainnya adalah alih guna lahan perdesaan menjadi

perkotaan karena adanya peningkatan kebutuhan ruang untuk aktivitas

kota. Disamping itu, terdapat keterbatasan supply ruang perkotaan

terutama di pusat kota yang justru memiliki intensitas penggunaan

lahan paling tinggi. Akibatnya penduduk perkotaan mengalami

kesulitan mendapatkan lahan untuk beraktivitas, salah satu contohnya

adalah aktivitas permukiman. Hal ini menyebabkan beralihnya fungsi

lahan terbuka dan pertanian yang ada di pinggiran kota menjadi fungsi

permukiman. Bila hal ini berlangsung treus menerus, maka akan

mengakibatkan terjadinya perluasan kota yang tidak terencana, yang

tentu saja akan memebrikan dampak lebih lanjut terhadap kondisi

perkotaan. Seperti terjadinya penurunan kualitas lingkungan, banjir,

kemacetan, dan sebagainya. Berikut ini akan diuraikan fenomena

urbanisasi dan sub urbanisasi di Jakarta dan Semarang.

2.1 FENOMENA URBANISASI

2.1.1 Jakarta

Metropolitan Jakarta memiliki laju perkembangan kota sangat tinggi

dan kompleks. Gejala tersebut mulai terasa sejak akhir tahun 60-an

hingga sekarang. Hingga kini urbanisasi di Jakarta telah membengkak

lebih dari 10 juta jiwa dengan pertambahan penduduk relatif tinggi.

Akibatnya telah terjadi kemacetan lalu lintas, pencemaran lingkungan,

banjir, dan penggunaan lahan yang tak terkendali. Kondisi seperti ini

telah menjadi fenomena keseharian bagi pertumbuhan Kota Jakarta.

2 FFEENNOOMMEENNAA UURRBBAANNIISSAASSII DDAANN SSUUBB UURRBBAANNIISSAASSII DDII WWIILLAAYYAAHH SSTTUUDDII

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 1 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 2: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

Perkembangan pemanfaatan lahan di Jakarta mulai meningkat dengan

dimulainya Repelita. Pada Pelita I dan II, pemerintah bertindak sebagai

satu-satunya pemrakarsa pembangunan. Namun kemudian pada

Pelita III peran swasta mulai nampak dan memiliki kemampuan untuk

melakukan investasi pembangunan. Sebagai akibatnya, kawasan

dengan kepadatan rendah yang awalnya diperuntukkan sebagai

cachtment area (daerah tangkapan air) berubah menjadi lahan

perumahan. Demikian pula dengan kawasan pinggiran Jakarta

(perbatasan dengan Botabek), sudah berkembang pesat aktivitas-

aktivitas perumahan dan industri. Perkembangan lebih lanjut tidak

hanya di wilayah Kota Jakarta, melainkan menyebar sampai ke wilayah

Bogor, Bekasi, Tangerang, dan Depok hingga kemudian ditetapkan

sebagai wilayah perluasan Kota Jakarta yang disebut dengan

Jabodetabek.

2.1.1.1 Faktor Penyebab Urbanisasi

Karakteristik urbanisasi yang terjadi di DKI Jakarta hampir sama

dengan kota-kota besar di dunia, yaitu ditandai dengan meningkatnya

jumlah penduduk kota yang terjadi setiap tahun. Kemudian dilanjutkan

dengan pemusatan segala aktivitas masyarakat yang tertuju pada satu

kawasan sehingga secara radikal merubah struktur keruangan kota.

Perubahan tersebut terlihat pada pola perubahan pemanfaatan lahan

yang diindikasikan oleh intensitas lahan terbangun, sebaran fasilitas

perkotaan, sistem jaringan transportasi serta pola pergerakan ke pusat

kota, juga perkembangan land use, perkembangan tingkat urbanisasi

dan migrasi penduduk kota, dan selanjutnya perkembangan aktivitas

ekonomi kota.

2.1.1.2 Pola keruangan Perubahan Pemanfaatan Lahan

a) Intensitas Lahan Terbangun

Perkembangan Kota Jakarta yang semakin meningkat menimbulkan

beberapa permasalahan, terutama dalam hal kebutuan perumahan

dan transportasi. Pembangunan perumahan baik oleh pemerintah

maupun swasta berdampak pada meningkatnya intensitas lahan

terbangun, bahkan lahan konservasi juga dijadikan sebagai

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 2 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 3: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

perluasan permukiman kota. Intensitas lahan terbangun yang terus

meningkat menyebabkan sulit dijumpainya lahan hijau/terbuka yang

berfungsi sebagai ruang publik. Dapat dipastikan hampir seluruh

lahan di DKI Jakarta sudah terbangun baik untuk bangunan

perumahan, kawasan perdagangan dan jasa, industri, perkantoran

maupun bangunan lain. Berdasarkan data Rencana Tata Letak

Bangunan (RTBL) dari Dinas Tata Kota DKI Jakarta tahun 1996,

terdapat 103 kawasan perumahan baru, 13 rumah susun dan 32

lokasi apartemen dengan luas lantai 5.323.022 m2.

Gambar 2.1 Pertumbuhan Jakarta dan Botabek

Sumber : Master Plan DKI Jakarta, Dalam Johara, 1999

b) Sebaran Fasilitas Perkotaan

Aktivitas perkotaan yang ada di Jakarta tidak terlepas dari fungsinya

sebagai ibukota negara. Fungsi ini tidak hanya sebagai pusat

pelayanan secara nasional tetapi juga interaksi antar negara.

Disamping sebagai pusat pemerintahan, pusat industri dan

perdagangan, pusat aktivitas pelayanan jasa, Jakarta juga sebagai

pintumasuk dan keluarnya transportasi internasional yang

mobilitasnya cukup tinggi. Karena sifatnya yang demikian, maka

muncul berbagai kawasan perdagangan, kawasan rekreasi, serta

didukung oleh fasilitas perekonomian.

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 3 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 4: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

Efek yang timbul akibat pemanfaatan ruang yang berkaitan dengan

persebaran fasilitas kota, cenderung mengindikasikan adanya

pemusatan aktivitas di beberapa kawasan. Dampak bangkitan yang

muncul adalah terakumulasinya aktivitas transportasi ke pusat kota

yang semakin padat. Fenomena ini adalah bukti nyata tidak

terkendalinya aktivitas transportasi kota dengan baik.

c) Sistem Jaringan Transportasi dan Pola Pergerakan ke Pusat Kota

Jaringan transportasi dan pola pergerakan ke pusat kota Jakarta

dari kawasan suburban dan atau kota-kota di luar Jakarta memicu

adanya penyesuaian, perbaikan, dan penambahan jalan dan moda

angkutan baru. Data tahun 1998/1999 mencatat bahwa pada jam-

jam puncak setidaknya terdapat lebih dari 40.000 kendaraan yang

melintas di berbagai ruas jalan di Jakarta. Selain itu, besarnya

mobilitas penduduk ke tempat kerja menuju Jakarta yang berasal

dari Bodetabek dan dalam Jakarta sendiri mencapai angka 62,5 %.

Pola pergerakan seperti ini mengakibatkan terbentuknya suatu pola

ulang alik atau commuter antara DKI Jakarta dan Bodetabek. Faktor

utama penyebab kemacetan tersebut adalah adanya bangkitan

penduduk di wilayah Botabek ke wilayah DKI Jakarta. Kebijakan

penambahan dan pelebaran badan jalan hanyalah salah satu terapi

masalah transportasi, sebab apabila mobilitas penduduk tidak

dikendalikan dengan baik tanpa melihat aspek keruangannya, maka

kemacetan selamanya akan tetap muncul. Oleh karena itu

pelebaran badan jalan sebagai langkah antisipasi, tidak akan

begitu saja dapat mengatasi persoalan transportasi. Penekanan

penanganan sistem transportasi harus diiringi dengan pemerataan

pusat-pusat fasilitas publik di berbagai kawasan sub urban. Dengan

demikian pola pergerakan penduduk yang selama ini terpusat di

Jakarta, berangsur-angsur mengarah dan menyebar ke kawasan

sub urban.

d) Perkembangan Land Use

Perkembangan Kota Jakarta mulai menunjukkan percepatan

pembangunan sejak awal Repelita III sejalan dengan keberhasilan

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 4 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 5: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

pembangunan di bidang ekonomi. Lalu perkembangan tersebut

semakin masif, dimana terjadi pembangunan dan pengembangan

permukiman/perumahan secara intensif dan ekstensif yang

dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta. Hal ini berdampak

pada perubahan struktur tata ruang perkotaan DKI Jakarta.

Pertumbuhan ekonomi yang cukup cepat di Jakarta mempengaruhi

intensitas penggunaan lahan untuk aktivitas bangkitan berupa

industri, perdagangan dan jasa. Akibatnya harga lahan semakin

mahal, bahkan tibul kondisi kelangkaan lahan di pusat kota Jakarta.

Sehingga yang terjadi adalah penyebaran minat investasi ke

wilayah pinggiran Jakarta yang dibarengi dengan sistem

aksesibilitas yang semakin baik. Perkembangan yang dimulai dari

barat kota satelit Bumi Serpong Damai, kemudian Lippo Karawaci,

Kota Legenda, memanjang hingga Balaraja Industrial Esate,

merupakan bukti nyata adanya pergeseran minat investasi itu.

Pada saat ini perkembangan struktur ruang Kota Jakarta masih

diarahkan pada pengembangan poros barat dan timur. Akan tetapi

karena tekanan pembangunan yang cukup besar maka daerah

selatan pun yang sebelumnya adalah kawasan tangkapan air,

berangsur-angsur mulai berdiri bangunan-bangunan permukiman.

Dampak yang timbul adalah terjadinya sprawling area yang

menciptakan wilayah tidak saling terikat secara fungsi antara satu

dengan lainnya.

2.1.1.3 Perkembangan Tingkat Urbanisasi dan Migrasi Penduduk Kota

Berdasarkan data BPS DKI Jakarta, bahwa penduduk DKI Jakarta

sepanjang tahun 1961-2000 terus mengalami peningkatan yang tajam.

Jika pada tahun 1961 penduduk Jakarta baru berkisar antara 2,91 juta

jiwa maka dalam kurun waktu 10 berikutnya meningkat menjadi 4,55

juta jiwa. Pada akhir tahun 2000 lalu angka tersebut berubah menjadi

9,72 juta jiwa. Namun bila dicermati lagi dalam kurun waktu 1971-1980

hingga 1980-1990 laju pertumbuhan penduduk Kota Jakarta justru

mengalami penurunan sebesar 1,55 % per tahun. Sementara pada

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 5 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 6: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

kawasan Botabek berangsur-angsur mengalami peningkatan sebesar

1,26 % per tahun.

Gambar 2.2 Grafik Perkembangan Penduduk DKI Jakarta

Tahun 1961 – 2000

0

500000

1000000

1500000

2000000

2500000

3000000

SP 1961 SP 1971 SP 1980 SP 1990 SP 2000

Tahun

Jum

lah

Pend

uduk Jakarta Pusat

Jakarta Utara

Jakarta Barat

Jakarta Selatan

Jakarta Timur

Sumber : SP 1961, SP 1971, SP 1980, SP 1990, SP 2000

Gambar 2.3 Grafik Kepadatan Penduduk DKI Jakarta per Km²

Tahun 1961 - 2000

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

SP 1961 SP 1971 SP 1980 SP 1990 SP 2000

Tahun

Jum

lah

Pend

uduk

Jakarta Pusat

Jakarta Utara

Jakarta Barat

Jakarta Selatan

Jakarta Timur

DKI Jakarta

Sumber : SP 1961, SP 1971, SP 1980, SP 1990, SP 2000

Pada saat yang bersamaan, kepadatan penduduk DKI Jakarta

menunjukkan fenomena yang cukup mengkawatirkan. Jika pada tahun

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 6 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 7: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

1961 kepadatan penduduk DKI Jakarta masih sekitar 4,395 ribu jiwa

per km2 kemudian pada tahun 2004 diperkirakan akan mencapai lebih

dari 14,7 ribu jiwa per km2.

2.1.1.4 Perkembangan Aktivitas Ekonomi Perkotaan

Kedudukan Jakarta sebagai ibukota negara memiliki pengaruh yang

luar biasa terhadap aktivitas ekonomi perkotaan. Hal ini dipicu adanya

pemusatan aktivitas ekonomi baik yang berskala nasional bahkan

internasional. Oleh karena itu perkembangan perekonomian akan terus

meningkat seiring dengan pertumbuhan Jakarta sebagai pusat

pelayanan berbagai aktivitas. Peningkatan yang cukup tinggi terjadi

selama periode tahun 1993-1996, baik yang dilakukan oleh PMA

maupun PMDN. Penyerapaninvestasi yang cukup tinggi di wilayah

DKI Jakarta meliputi beberapa aktivitas diantaranya adalah kegiatan

jasa, perumahan, perkantoran, danperhotelan yang tersebar di seluruh

wilayah kota.

Apabila dilihat dari struktur PDRB DKI Jakarta, tampak bahwa sektor

yang memiliki kontribusi besar adalah sektor perbankan dan lembaga

keuangan yaitu sebesar 23 % dari total PDRB, sektor perdagangan

dan jasa sebesar 22 %, kemudian sektor industri pengolahan sebesar

21,1 %. Sedangkan pada sektor pertanian, tingkat pertumbuhannya

semakin kecil dengan kontribusi hanya sebesar 0,2 % dengan tingkat

pertumbuhan 2,24 % per tahun. Kondisi ini memperjelas bahwa DKI

Jakarta secara dominan dipengaruhi oleh ketiga sektor utama tersebut

yaitu kegiatan perbankan dan lembaga keuangan, jasa dan

perdagangan, dan sektor industri. Meskipun sektor industri telah

dibatasi perkembangannya, tetapi tetap menjadi sektor yang cukup

memainkan peran dalam menggerakkan roda perekonomian DKI

Jakarta.

Sebagai antisipasi dalam meminimalisasi dampak aktivitas ekonomi

perkotaan adalah berupa perluasan aktivitas industri maupun sektor

lain ke wilayah sub urban. Dampak yang diharapkan akan mampu

dalam mengurangi beban ekonomi maupun beban sosial. Di sampng

itu, proses pemerataan pembangunan dapat berjalan dengan baik dan

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 7 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 8: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

disertai dengan penataan struktur ruang yang responsif terhadap

perkembangan kota.

2.1.1.5 Dampak-dampak yang Timbul

a) Struktur Ruang dan Pemanfaatan Lahan yang Tidak Terencana

Perkembangan Kota Jakarta di seluruh aspek pembangunan secara

spasial merubah struktur ruang akibat tingginya aktivitas

penggunaan lahan. Dalam perkembangan pemanfaatan ruang yang

terjadi di Jakarta terlihat pola perkembangannya cenderung

menyebar akibat tingginya harga lahan di pusat kota. Hal ini terlihat

dari adanya kecenderungan permukiman ke arah bagian Selatan,

Tenggara, serta bagian Barat-Timur wilayah Jakarta.

Perkembangan penggunaan lahan Kota Jakarta ditandai oleh

pesatnya permintaan akan lahan untuk kegiatan usaha dan tempat

hunian. Pada umumnya pertumbuhan perumahan di Jakarta terjadi

secara spontan. Sementara sebaran industri Kota Jakarta terdapat

di beberapa daerah terutama di bagian utara dan timur mengalami

perkembangan yang cukup pesat. Dan terjadi kecenderungan

perkembangan mengarah ke daerah pinggiran (daerah penyangga)

yang sebagian besar ke arah timur dan barat Jakarta. Selain itu,

pada beberapa perumahan skala besar justru menggunakan

kegiatan industri sebagai basis ekonominya.

Munculnya aktivitas-aktivitas baru di daerah pinggiran Kota Jakarta

seperti permukiman, industri, perdagangan dan jasa tersebut baik

secara spontan maupun terencana memberikan dampak luas

terhadap pola pemanfaatan ruang kota, sehingga merubah struktur

ruang yang direncanakan sebelumnya dalam RTRW.

b) Penurunan Kualitas Pelayanan Infrastruktur

Perkembangan aktivitas penduduk Kota jakarta juga ikut

mempengaruhi sistem transportasi yang ada, seperti menurunnya

kualitas jaringan prasarana transportasi yang berbanding lurus

dengan semakin rendahnya pelayanan sarana transportasi karena

meningkatnya jumlah pengguna sarana yang ada. Selain itu,

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 8 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 9: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

tumbuhnya lokasi-lokasi aktivitas penduduk terutama perumahan

baru di wilayah Botabek yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan

sarana dan prasarana lalu lintas telah menimbulkan berbagai

masalah lalu lintas yang pada akhirnya akan berakibat terjadi

degradasikinerja sistem lalu lintas dari waktu ke waktu. Indikasi ini

terlihat melalui fenomena keruwetan lalu lintas di wilayah

Jabodetabek.

Pada umumnya perkembangan permukiman yang terjadi masih

mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi dengan Jakarta.

Sebagian besar penghuni perumahan bekerja di Jakarta dan

pengembang masih mengandalkan pasarana yang sudah ada.

Kemacetan tetap saja terjadi sebab tidak seimbang antara

perkembangan perumahan dengan prasarana yang harus tersedia.

Selain itu juga terdapat peningkatan kebutuhan akan air bersih di

Kota Jakarta yang belum dapat terpenuhi akibat pertumbuhan

penduduk yang semakin pesat. Tingkat pelayanan PDAM yanga da

sekarang berdasarkan jumlah sambungan pada masing-masing

PDAM masih berada di bawah target yangakan dicapai yaitu

sebesar 80 %. Kondisi tersebut mendorong besarnya pemakaian air

tanah oleh masyarakat padahal kualitas air tanah di Jakarta sudah

menurun akibat adanya intrusi air laut.

c) Keterbatasan Daya Dukung Lingkungan untuk Kawasan Terbangun

Meningkatnya kawasan terbangun di Kota Jakarta seperti

peruntukan kawasan permukiman, industri, perkantoran,

perdagangan dan jasa menyebabkan menurunnya daya dukung

lingkungan. Akibatnya terjadinya gangguan lingkungan perkotaan

seperti banjir, intrusi air laut, suhu udara yang terus meningkat,

polusi udara, polusi air dan tanah. Hampir seluruh peruntukan lahan

pusat kota diberdayakan untuk kawasan terbangun dan hanya

sedikit disisakan untuk lahan penghijauan kota. Pemanfaatan

sebagai daerah resapan air terdapat di wilayah pinggiran kota yang

berbatasan dengan Kabupaten Bogor, khususnya di Kota Depok

dan sekitarnya. Namun demikian, saat ini kawasan tersebut telah

berkembang menjadi permukiman padat. Hal tersebut tentu saja

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 9 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 10: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

akan mengurangi tingkat pelayanan air bersih. Kebutuhan air bersih

untuk wilayah DKI Jakarta sangat bergantung dari sumber air

permukaan sehingga bila ada perubahan siklus hidrologi di daerah

Kabupaten Bogor maka akan berpengaruh terhadap DKI Jakarta

dalam hal penyediaan air bersih.

2.1.2 Semarang

2.1.2.1 Faktor Penyebab Urbanisasi

Urbanisasi selalu dikaitkan dengan adanya kegiatan “pengkotaan”

suatu kawasan atau wilayah. Banyak indikator yang bisa digunakan

untuk melihat apakah di suatu kawasan terjadi fenomena urbanisasi

atau tidak, salah satunya adalah dengan melihat perkembangan

penduduk, baik dari segi pertumbuhan maupun dari segi sosial

ekonominya. Adanya perkembangan penduduk akan mendorong

aktivitas-aktivitas lain yang merupakan bentuk pemenuhan kebutuhan

penduduk itu sendiri seperti perumahan, kegiatan perdagangan dan

jasa serta fasilitas dan utilitas, atau sebaliknya. Sehingga berakibat

pada kawasan tersebut seperti tumbuhnya ruang-ruang perkotaan baru

yang merupakan wadah aktivitas masyarakat.

2.1.2.2 Pola Keruangan Perubahan Pemanfaatan Lahan

a) Intensitas Lahan Terbangun

Data terakhir (tahun 1996) tercatat pemanfaatan lahan terbangun di

perkotaan memiliki komposisi 38 % untuk perumahan, 20 % untuk

industri, 27 % untuk perusahaan dan jasa 15 %. Dengan demikian

perumahan masih mendominasi pemanfaatan lahan yang ada di

Kota Semarang. Adapun pemanfaatan lahan pedesaan intensitas

tertinggi dimanfaatkan untuk kebun campur 13,75 % yang di

dalamnya terdapat permukiman penduduk, sedangkan

pemanfaatan lahan pedesaan yang juda memiliki intensitas tinggi

adalah sawah sebesar 12,96 %.

Apabila dilakukan perbandingan antara luas arahan menurut RTRW

dengan kondisi eksisting tampak ada fenomena deviasi (selisih)

dalam pemanfaatan lahannya. Apabila dilihat dari arahan RTRW,

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 10 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 11: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

cadangan luas lahan baik untuk lahan terbangun maupun yang

belum terbangun masih ada alokasi lahan seluas 10.721,68 Ha

(terbangun) dan yang belum terbangun memiliki sisa lahan seluas

10.143,34 Ha dari total lahan arahan RTRW. Sementara untuk

selisih penggunaan lahan untuk kegiatan lain (jalan, sungai,

saluran, bendungan) mengalami deviasi pemanfaatan lahan seluas

577,36 Ha.

b) Sebaran Fasilitas Perkotaan

Secara umum, keberadaan fasilitas utama kota di Semarang masih

memusat di pusat kota. Semakin keluar kota atau semakin dekat ke

perbatasan, ketersediaan fasilitas semakin berkurang. Fasilitas-

fasilitas perkotaan seperti pusat perbelanjaan,rumah sakit berskala

regional, pusat pemerintahan secara kuantitas masih terkonsentrasi

di pusat kota Semarang (Central Bussines District).

Meskipun demikian ada kecenderungan upaya penyebaran fasilitas

perkotaan tersebut ke wilayah pinggiran, misalnya saat ini

Universitas Diponegoro membangun kampus baru di Tembalang

sebagai wujud perkembangan ke arah selatan Semarang.

Kemudian diikuti dengan pembangunan perumahan real estate di

Banyumanik serta pusat perbelanjaan yang cukup representatif

untuk memenuhi kebutuhan pada kawasan ini. Hal ini merupakan

fenomena urban dan sub urban yang masing-masing menempatkan

aktivitasnya sesuai dengan kapasitas pengembangan dan segmen

pasar serta harga lahan yang masih memungkinkan untuk

dijangkau.

c) Sistem Jaringan Transportasi dan Pola Pergerakan ke Pusat Kota

Sistem transportasi yang ada di Metropolitan Semarang apabila

dilihat dari modanya menunjukkan bahwa arus lalu lintas bus umum

yang masuk dan keluar terminal, ternyata jumlahnya mengalami

penurunan baik penumpang maupun armadanya.

Dari tabel di bawah ini dapat disimpulkan bahwa telah terjadi

penurunan jumlah armada daritahun 1996 sampai dengan 2000.

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 11 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 12: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

Sementara itu jumlah kendaran pemakai jalan tol cencerung

meningkat dari tahun 1996 - 2000. Fenomena ini memberikan

kejelasan bahwa bukanlah arus mobilitas masyarakat yang

berkurang tetapi adanya fenomena peningkatan kepemilikan

kendaraan pribadi. Dengan adanya peningkatan kepemilikan

kendaraan pribadi, semakin berkurang jumlah pengguna bus

angkutan umum. Melihat data prasarana jalan yang ada di

Metropolitan Semarang (Dishub Kota Semarang), hampir 85-90 %

kondisi jalan arteri dan kolektor masih dalam kondisi baik,

sedangkan untuk jalan lokal sekitar 7-15 % dalam kondisi yang

kurang baik.

Tabel 2.1 Perkembangan Jumlah Bus dan Penumpang pada Jalur Utama

di Metropolitan Semarang

Tahun Jurusan

1996 1997 1998 1999 2000

Bus 250 181 130 124 116Terboyo-

Jatingaleh Penumpang 5.883.977 4.119.556 2.707.586 2.361.977 1.943.650

Bus 362 332 251 239 263Terboyo-

Mangkang Penumpang 7.777.153 6.415.929 4.198.538 3.660.241 3.672.985

Bus 220 177 170 173 177Ngalian-

Pucanggading Penumpang 4.193.637 3.349.341 2.929.378 2.582.120 2.502.591

Bus 225 179 137 151 145Johar-

Perumnas Penumpang 569.113 4.578.960 3.102.282 3.137.077 2.951.356

Sumber : Kota Semarang Dalam Angka Tahun 2000

Dalam rencana pengembangan transportasi Metropolitan Semarang

terlihat adanya upaya peningkatan angkutan umum dari sub

terminal ke terminal induk. Bahkan ada rencana penambahan

trayak baru dari sub terminal ke sub terminal yang lain.

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 12 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 13: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

Tabel 2.2 Arus Transportasi yang Melalui Jalan Tol di Metropolitan

Semarang

Gerbang Tol Tahun

Muktiharjo Gayamsari Tembalang Manyaran

(1) (2) (3) (4) (5)

1996 0 0 6.198.535 3.773.629

1997 0 0 6.497.301 4.139.693

1998 3.446.802 1.191.553 6.000.016 4.737.133

1999 4.651.333 2.018.625 6.820.476 5.560.294

2000 5.118.120 2.239.662 7.771.064 5.775.203

Sumber : Kota Semarang Dalam Angka Tahun 2000

Dalam melihat sistem pola pergerakan, ada dua fenomena khusus

yang membatasinya, yaitu pola pergerakaninternal dan pola

pergerakan eksternal. Pola internal ini melihat mobilitas yang terjadi

dalam kawasan Metropolitan Semarang, misalnya peregrakan

buruh industri yangmenuju lokasi industri tempat bekerja. Pola

pergerakan eksternal melihat antara Metropolitan Semarang

dengan kota-kota lain di luar Metropolitan Semarang, dilihat dari

banyaknya arus transportasi yang masuk dan keluar Kawasan

Metropolitan Semarang.

d) Perkembangan Land Use

Berdasarkan data BPN Kota Semarang, perkembangan

penggunaanlaahn di Kota Semarang selama tahun 1993 – 2001

menunjukkan gejala perubahan yang signifikan pada penggunaan

lahan untuk perumahandan industri yang mengalami peningkatan

luas. Penggunaan lahan untuk perumahan mengalami penambahan

luas sekitar 422,78 Ha, untuk industri meningkat menjadi 26,14 Ha,

sedangkan untuk perusahaan, jasa , dan lain-lain tidak

menunjukkan perubahan yang berarti.

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 13 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 14: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

TABEL 2.3 PERKEMBANGAN PENGGUNAAN LAHAN DI METROPOLITAN

SEMARANG SELAMA TAHUN 1993 - 2001

Penggunaan Lahan (Ha) Tahun Perumahan Perusahaan Industri Jasa Open

Space Taman Lain-lain

1993 10.496,77 935,55 650,71 829,17 21.898,65 13,52 2.545,63 1994 10.580,14 935,55 652,60 829,17 21.813,39 13,52 2.545,63 1995 10.660,69 935,55 653,14 829,17 21.732,30 13,52 2.545,63 1996 10.801,18 935,55 654,28 829,17 21.591,30 13,52 2.545,63 1997 10.845,56 935,55 655,48 829,17 21.545,72 13,52 2.545,63 1998 10.879,15 935,55 673,65 829,17 21.493,96 13,52 2.545,63 1999 10.884,56 935,55 673,65 829,17 21.488,55 13,52 2.545,63 2000 10.902,61 935,55 675,30 829,17 21.468,85 13,52 2.545,63 2001 10.919,55 935,54 676,85 829,17 21.450,35 13,52 2.545,63 Sumber : BPN Kota Semarang Tahun 2002

GAMBAR 2.4 POLA KONSTELASI KOTA METROPOLITAN

Sumber : Bappeda Kota Semarang dalam Program Jangka Menengah Kota

Semarang Menuju Kota Metropolitan

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 14 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 15: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

Arah kecenderungan perkembangan secara fisik Kota Metropolitan

Semarang berjalan dari arah Barat Laut (Kecamatan Tugu)

memanjang ke arah timur (Genuk) dan membentang berkembang ke

bagian tengah, selatan dan tenggara. Perkembangan ini cenderung

sebagai wilayah terbangun (built up area) Kota Metropolitan

Semarang. Kota Semarang dikembangkan melalui sistem

pengembangan-pengembangan yang bersifat terencana, terarah,

terpadu dan dinamis dengan usaha menciptakan sarana dan

prasarana bagi kegiatan masayarakat dalam taraf optimal.

Dalam proses pertumbuhannya, kutub pengembangan ini secara

desentralisasi akan memberikan dorongan pertumbuhan pada pusat-

pusat pengembangannya dan secara konsentris pusat-pusat

pengembangan akan tetap terikat pada pola kutub pengembangannya.

Namun secara sistem jaringan konstelasi akan terjadi pola hubungan

fungsional maupun kausal diseluruh ruang-ruang kegiatan kota, maka

akan didapatkan suatu bentuk Kota Metropolitan Semarang yang utuh

dengan pola kegiatan yang berimbang di antara ruang-ruang kegiatan

(pemerataan).

2.1.2.3 Perkembangan Tingkat Urbanisasi dan Migrasi Penduduk Kota

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa salah satu indikator

adanya urbanisasi dengan melihat perkembangan penduduk suatu

kawasan. Di Kota Semarang, fenomena urbanisasi yang terjadi dapat

ditunjukkan dari kondisi pertambahan migrasi penduduk pada tahun

1990-2001. Tabel di bawah ini menunjukkan adanya gejala pergeseran

penduduk kota dari CBD ke sub-urban karena faktor-faktor yang

kurang mendukung bagi penduduk untuk tinggal nyaman di pusat

Metropolitan Semarang.

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 15 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 16: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

Tabel 2.3 Jumlah Pertambahan Penduduk Kota Semarang

Tahun 1990 – 2001

Tahun Pertambahan Alami

Pertambahan Migrasi Total

(1) (2) (3) (4) 1990 12.186 -3.937 8.199 1991 12.313 9.401 21.714 1992 10.509 6.352 16.861 1993 5.923 5.488 11.411 1994 9.853 7.800 17.653 1995 9.913 5.414 15.327 1996 8.130 4.542 12.672 1997 6.375 2.875 9.250 1998 7.288 5.778 13.066 1999 7.994 8.845 16.839 2000 9.613 8.782 18.395 2001 9.088 9.853 18.941

Rata-rata pertambahan per tahun 15.027 Sumber : BPS Kota Semarang Tahun 1990 – 2001

Tabel 2.4 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk

Metropolitan Semarang 2000 dan 2001 Jumlah Penduduk Tahun No. Kecamatan 2000 2001

Pertumbuhan (%)

1. Mijen 37.377 37.927 1,47 2. Gunungpati 56.901 57.485 1,02 3. Banyumanik 101.978 104.578 2,50 4. Gajah Mungkur 56.933 57.550 1,08 5. Semarang Selatan 77.813 78.036 0,28 6. Candisari 77.302 77.719 0,53 7. Tembalang 98.989 103.343 4,39 8. Pedurungan 133.739 137.784 3,02 9. Genuk 61.299 62.996 2,76

10. Gayamsari 62.429 63.142 1,14 11. Semarang Timur 84.836 81.816 - 3,55 12. Semarang Utara 127.293 122.736 - 3,57 13. Semarang Tengah 77.774 77.210 - 0,72 14. Semarang Barat 144.888 146.651 1,21 15. Tugu 23.895 24.145 1,04 16. Ngaliyan 86.221 89.202 3,45 17. Sayung 89.573 88.927 -0,72 18. Maranggen 124.575 126.500 1,55 19. Karangawen 75.619 75.324 -0,39 20. Ungaran 114.860 114.982 0,11 21. Bergas 50.096 51.030 1,86 22. Pringapus 41.662 42.120 1,10 23. Kaliwungu 61.898 88.631 43,19 24. Boja 88.025 62.291 -29,23

Metropolitan Semarang 1.955.975 1.972.125 0,83 Sumber: Bappeda Semarang, 2000

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 16 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 17: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

Secara keseluruhan kondisi tersebut terjadi karena adanya

penggunaan lahan secara besar-besaran sebagai kawasan

permukiman, hal ini dipicu oleh harga lahan yang relatif murah

dibandingkan dengan kawasan di pusat Kota Semarang. Selain itu,

adanya beberapa peruntukan lahan sebagai aktivitas industri di

pinggiran Kota Semarang juga mendorong proses urbanisasi di

pinggiran Kota Semarang seperti di Kecamatan Ngaliyan, yang tumbuh

pesat akibat kegiatan industri di Kecamatan Tugu, atau Kecamatan

Sayung yang juga berkembang akibat adanya kegiatan industri di

Kecamatan Genuk.

2.1.2.4 Perkembangan Aktivitas Ekonomi Perkotaan

Karakteristik urbanisasi di Kawasan Metropolitan Semarang selain

dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk perkotaan, juga dipengaruhi

oleh perkembangan aktivitas ekonomi perkotaan. Adapun salah satu

yang termasuk dalam ekonomi perkotaan ini adalah aktivitas industri,

perdagangan dan jasa. Dari ketiga sektor ekonomi tersebut, selama

tahun 1988 hingga 1998 (10 tahun) tingkat pertumbuhan tertinggi

berada pada sektor jasa yakni sebesar 29,06%, lalu disusul sektor

industri dan perdagangan berturut-turut 22,46% dan 24,27%.

Ketiga sektor tersebut secara signifikan telah memberikan pengaruh

terhadap perkembangan urbanisasi di Metropolitan Semarang.

Kegiatan industri sangat erat kaitannya dengan jumlah tenaga kerja

dimana adanya kegiatan industri yang menimbulkan bangkitan

penduduk baik yang bersifat tetap (migrasi) maupun ulang-alik

(commuter) untuk bekerja dan atau menetap di sekitar kawasan

industri. Sedangkan untuk kegiatan perdagangan dan jasa,

perkembangannya lebih banyak dipengaruhi oleh ketersediaan sarana

dan prasarana terutama sekali jaringan jalan. Pada umumnya kegiatan

perdagangan dan jasa, selain yang berada di pusat Kota Semarang

juga berkembang di sepanjang jalan utama di pinggiran Kota

Semarang. Kondisi ini pada taraf lebih lanjut akan mendorong

perkembangan aktivitas penduduk seperti perumahan, pendidikan,

perkantoran atau jasa.

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 17 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 18: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

Faktor lain yang juga berpengaruh pada perkembangan ekonomi

perkotaan adalah perkembangan nilai investasi PMA dan PMDN di

Kota Semarang. Pada tahun 2001-2002, nilai investasi di Kota

Semarang lebih didominasi oleh PMA. Ini menunjukkan tingginya nilai

investasi ke Kota Semarang, yang berarti akan semakin tinggi pula

konsentrasi aktivitas ekonomi di Kota Semarang sebagai kawasan

metropolitan.

2.1.2.5 Dampak-dampak yang Timbul

Adapun dampak-dampak yang timbul akibat terjadinya fenomena

urbanisasi di Kawasan Metropolitan Semarang adalah sebagai berikut:

a) Struktur Ruang dan Pemanfaatan Lahan Yang Tidak Terencana

b) Penurunan Kualitas Pelayanan Infrastruktur

c) Keterbatasan Daya Dukung Lingkungan untuk Kawasan Terbangun

2.2 FENOMENA SUB-URBANISASI

2.2.1 Pinggiran Jakarta

Pada mulanya, wilayah Metropolitan Jabotabek terdiri atas 7 wilayah

administrasi. Namun sejak tanggal 29 April 1999, Kotatif Depok

diresmikan menjadi Kota, sehingga wilayah Jabotabek saat ini berubah

menjadi Jabodetabek yang meliputi :

• Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta;

• Kota Bogor;

• Kabupaten Bogor;

• Kota Tangerang;

• Kota Bekasi;

• Kabupaten Bekasi;

• Kota Depok (mulai diresmikan sejak tahun 1999).

Fenomena perkembangan sub-urbanisasi di pinggiran Jabodetabek ini

diwakili oleh Kota Tangerang yang merupakan wilayah yang secara

langsung terkena dampaknya dari perkembangan wilayah barat

Jakarta. Dan yang mewakili wilayah perluasan permukiman da industri

Kota Jakarta di bagian selatannya adalah Kabupaten Bogor. Kedua

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 18 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 19: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

wilayah ini secara representatif dapat mewakili perkembangan wilayah

sub-urban dengan segala implikasinya terhadap pemanfaatan ruang.

2.2.1.1 Karakteristik Sub Urbanisasi

Fenomena sub-urbanisasi di Indonesia lebih bercirikan sebagai

globalisasi di kawasan sub-urban. Faktor-faktor pendorongnya

merupakan kombinasi dari kekuatan politik-ekonomi yang bergerak

pada tataran makro hingga mikro. Hal ini kemudian berdampak pada

perkembangan penggunaan lahan kota dan pola interaksi aktivitas

yang berlangsung di atasnya, dan pada sisi lain terjadinya peningkatan

eksploitasi lahan – terutama konversi lahan pertanian produktif

maupun kawasan konservasi – dan perluasan kerusakan ekosistem

lokal. Karakteristik sub urbanisasi di pinggiran Jakarta dicirikan oleh

faktor-faktor sebagai berikut :

a. Tingkat Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk

Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk kota yang semakin

tinggi, maka tingkat perkembangan di wilayah pinggirannya juga

akan semakin tinggi. Oleh karena itu perkembangan penduduk

Kota Tangerang dipengaruhi oleh laju arus migrasi masuk ke Kota

Tangerang. Migrasi ini diakibatkan tekanan penduduk Kota Jakarta

yang setiap tahunnya terus meningkat sementara itu terjadi

kelangkaan lahan di perkotaan terutama untuk aktivitas

permukiman.

Pertumbuhan dan kepadatan penduduk kedua kota mengalami

peningkatan setiap tahunnya sehingga proses urbanisasi masih

akan berlangsung. Dengan demikian potensi perkembangan

penduduk Tangerang dan Kabupaten Bogor akan semakin masif

seperti yang terjadi di Jakarta. Hal ini akan berdampak langsung

pada penggunaan lahan di wilayah sub-urban. Jika pada awalnya

sebagian besar guna lahan wilayah sub-urban adalah lahan

pertanian, lama kelamaan bergeser menjadi lahan permukiman

dan industri.

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 19 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 20: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

b. Perkembangan Perumahan Skala Besar

Pada umumnya pertumbuhan perumahan atau permukiman skala

besar di Wilayah Jabotabek terjadi secara spontan. Dalam hal ini

pola pertumbuhan atau perkembangan tidak mengikuti sistem

kota-kota yang berjenjang. Akibatnya terjadi ketidakefektifan dan

kurang efisiennya pelayanan jaringan prasarana. Selain itu,

dengan adanya kota baru atau permukiman berskala besar

beserta kegiatan ekonomi yang mengikutinya mendorong

perubahan ordo kota di beberapa kota kecil seperti Kota Cikupa,

Pasar Kemis dan lain sebagainya.

Perkembangan permukiman skala besar ditandai oleh pesatnya

permintaan akan lahan untuk kegiatan usaha atau tempat hunian,

khususnya kawasan perumahan sebagai akibat perkembangan

ekonomi yang cukup pesat di Kota Jakarta. Sehingga

perkembangan permukiman di wilayah sub-urban Jabodetabek

yang terjadi pada umumnya masih punya ketergantungan yang

sangat tinggi dengan Kota Jakarta.

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Botabek, batas peruntukan

lahan untuk permukiman sebesar 159,780 Ha, sedangkan saat ini

sudah terbangun untuk kawasan permukiman baik itu yang

dibangun melalui developer maupun individu telah mencapai ±

67.483 Ha. Ini berarti telah terjadi fenomena perkembangan

penggunaan lahan permukiman secara luar biasa yang melampaui

batasan aturan normatif yang ada.

c. Perkembangan Kawasan Industri

Secara umum perkembangan penggunaan lahan di wilayah

Bodetabek terutama kegiatan industri dan jasa pertumbuhannya

cukup signifikan. Perkembangan industri yang mulai ke timur

merupakan perluasan kawasan industri yang berada di Jakarta

Utara. Hal ini disebabkan semakin padatnya kegiatan industri di

Jakarta Utara yang telah mengarah pada penurunan kualitas

lingkungan. Perkembang ini juga menyebar ke wilayah Barat

Jakarta, dan juga sudah menjangkau wilayah Selatan Jakarta.

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 20 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 21: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

Salah satu dari bangkitan akbat tumbuhnya industri di beberapa

wilayah Jakarta tersebut adalah pembangunan perumahan dalam

skala besar. Hal ini terjadi akibat tuntutan kebutuhan tempat

tinggal para pelaku industri/karyawan yang ingin bermukim di

sekitar kawasan untuk mengurangi biaya transportasinya.

d. Peningkatan Intensitas Pergerakan Aktivitas Kota

Wilayah Jabotabek memiliki volume lalu lintas yang cukup tinggi

terutama pada jam-jam puncak. Seperti pada ruas Jalan Daan

Mogot yang menghubungkan Kota Tangerang – DKI Jakarta arus

lalu lintas kendaraan mencapai 47.880 unit.

Besarnya volume kendaraan disebabkan oleh :

• Adanya kawasan industri skala menengah dan besar dengan

pergerakan angkutan barang yang tinggi. Volume lalau lintas

telah melebihi daya dukung jalan ( di atas 30%) terutama di

kota-kota penyangga Jakarta.

• Sebagai pusat perdagangan dan jasa yang merupakan core

pertumbuhan utama di wilayah Jabotabek.

• Mobilitas penduduk ke tempat kerja (DKI Jakarta), baik itu yang

berasal dari Botabek maupun internal DKI Jakarta sendiri.

Kondisi tersebut menyebabkan pola ulang-alik (commuter)

antara Jakarta – Botabek semakin meningkat, terutama ruas-

ruas jalan tertentu atau disimpul-simpul jalan tol.

2.2.1.2 Pola Keruangan Perubahan Pemanfaatan Lahan

a) Intensitas Lahan Terbangun

Pesatnya perkembangan sub-urban Kota tangerang secara

langsung berdampak pada perubahan pola keruangan lahan kota.

Proporsi lahan terbangun dan lahan terbuka hijau di Kota tangerang

sudah tidak ideal lagi yakni 26,22% untuk lahan terbuka hijau

sementara lahan terbnagun telah mencapai 73,78%. Secara rinci

penggunaan lahannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Dapat disimpulkan bahwa intensitas lahan terbangun berpengaruh

besar terhadap pola keruangan pemanfaatan lahan. Hal ini

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 21 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 22: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

diindikasikan oleh banyaknya kawasan-kawasan terbangun baik

untuk perumahan, industri, perdagangan maupun aktivitas lainnya.

b) Sebaran Fasilitas-Fasilitas Perkotaan

Meningkatnya jumlah penduduk dan aktifitas masyarakat di wilayah

sub-urban seperti yang terjadi di Kabupaten Tangerang dan

Kabupaten Bogor, dengan sendirinya memelurkan keberadaan

fasilitas-fasilitas sosial. Dalam hal ini, fasilitas sosial yang dimaksud

adalah fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas peribadatan,

fasilitas olahraga. Peletakan Bandara Soekarno-Hatta di barat

Jakarta dekat Tangerang juga merupakan upaya menyebarkan

fasilitas kota agar tidak terakumulasi dalam satu kawasan.

c) Sistem Jaringan Transportasi

Ketersediaan jaringan transportasi yang semakin luas, seperti

pembangunan jalan tol, jalan regional, ataupun penambahan jalur

kereta api menyebabkan aksesbilitas dari Jakarta – Botabek

menjadi semakin mudah, apalagi jarak Jakarta – Botabek relatif

dekat sehingga memungkinkan untuk dilaju. Kondisi tersebut

ditambah dengan meningkatnya kebutuhan akan lahan permukiman

menjadi salah satu katalisator perkembangan Kota Jakarta ke

wilayah pinggiran (Jabotabek). Ini terlihat dari pembangunan

beberapa jaringan transportasi yang ternyata sangat mempengaruhi

perkembangan wilayah Jabotabek.

Perkembangan sarana dan prasarana tansportasi di wilayah

Jabotabek berkembang seiring perkembangan beberapa aktivitas

utama yang potensial sebagai pembangkit lalu lintas seperti sektor

perdagangan dan perumahan. Pada kegiatan perdagangan, dengan

adanya pembangunan jaringan transportasi menyebabkan tumbuh

kembangnya kawasan perdagangan, terutama di wilayah-wilayah

pinggiran. Perkembangan aktivitas perumahan, terutama

perumahan skala besar sangat signifikan pengaruhnya terhadap

sistem transportasi yang ada, sebab lokasi-lokasi perumahan juga

merupakan pembangkit lalu lintas yang sangat besar.

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 22 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 23: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

2.2.1.3 Faktor-faktor Penyebab

a) Harga Lahan Perkotaan Yang Semakin Mahal dan Meningkatnya

Penjualan Lahan Di Kawasan Pinggiran Metropolitan Jabodetabek

b) Pembangunan Kota Berbasis Pada Perluasan Jaringan

Transportasi

c) Peningkatan Permintaan Perumahan bagi Masyarakat Golongan

Menengah ke atas

2.2.1.4 Dampak-dampak yang Timbul

a) Peningkatan Kemacetan Lalu Lintas pada Pintu-Pintu Masuk Kota

Fenomena kemacetan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan

dari kehidupan Ibukota Jakarta. Hal yang lebih berpengaruh

terhadap kemacetan lalu lintas Jakarta adalah fenomena

penduduk penglaju (commuter) yang terdapat di Wilayah

Jabodetabek. Para commuter ini tidak hanya menggunakan

kendaraan publik seperti bus, mikrolet atau kereta saja tetapi

jumlah kepemilikan kendaraan pribadi meningkat, sementara

kemampuan dyaa angkut tidak maksimal atau kurang dari

kemampuan angkutnya. Hal itu semua berlangsung karena pada

daerah Jabodetabek, mobilitas penduduk ke tempat kerja

menunjukkan arah pergerakan ke DKI Jakarta.

b) Perkembangan Kota yang Tidak Beraturan

Pemanfaatan ruang yang terjadi di daerah sub-urban

menunjukkan pola yang menyebar, dimana aktivitas menjadi

terpusat dan menimbulkan adanya kantong-kantong aktivitas

terutama pada daerah sub-urban. Perkembangan kota yang

mneyebar tersebut diakibatkan oleh tingginya harga lahan pada

daerah perkotaan, sehingga untuk menyiasati pembangunan

perumahan tersebut dilakukan pada daerah pinggiran. Sebaran

aktivitas, terutama permukiman, yang tidak terpusat ini berdampak

pada penyediaan fasilitas dan utilitasnya, yang menjadi tidak

efisien, karena membutuhkan biaya investasi yang tinggi.

c) Degradasi Lingkungan

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 23 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 24: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

Masalah degradasi lingkungan adalah berupa :

Terjadinya pemanfaatan lahan berupa permukiman padat di

daerah resapan air. Fenomena tersebut mengakibatkan

dampak berupa terganggunya siklus hidrologi yang dapat

mengganggu ketersediaan air bersih bagi DKI Jakarta.

Pemanfaatan lahan pada kawasan lindung sebagai daerah

permukiman. Perkembangan tersebut dapat mengakibatkan

bencana banjir di wilayah hulu sungai (Jakarta), Longsor/erosi

di daerah Bogor.

Reklamasi pantai di sepanjang pantai utara Tangerang-

Jakarta, yang dpaat mengakibatkan kerusakan pantai dan

mudah masuknya air laut ke daerah daratan, karena

reklamasi tersebut mengakibatkan terjadinya abrasi dan

kerusakan hutan bakau.

2.2.2 Pinggiran Semarang

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa Metropolitan Semarang

adalah Kota Semarang yang memiliki penduduk 1.322.320 Jiwa (> 1

Juta Jiwa) termasuk didalamnya kecamatan-kecamatan yang secara

administratif berada di dalam wilayahnya. Sedangkan wilayah

pinggirannya adalah wilayah yang berbatasan langsung baik secara

administratif maupun adanya keterkaitan teknis perkembangan sistem

kota-kota terhadap Kota Semarang. Wilayah belakang tersebut antara

lain Kecamatan Boja dan Kecamatan Kaliwungu (Kab. Kendal),

Kecamatan Sayung, Mranggen, dan Karangawen (Kab. Demak),

Kecamatan Ungaran, Bergas, dan Pringapus (Kab. Semarang).

Pengambilan wilayah pinggiran Metropolitan Semarang seperti di atas

adalah atas pertimbangan kemudahan dalam penyusunan program-

progran pembangunan yang akan dilaksanakan secara terpadu.

2.2.2.1 Karakteristik Sub-Urbanisasi

a. Tingkat Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk

Pertumbuhan dan kepadatan penduduk tertinggi di wilayah

pinggiran Kota Semarang, terdapat di IKK Mranggen masing-

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 24 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 25: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

masing sebesar 5,01% dan 1.730 jiwa/km2, kawasan Mranggen

didominasi dengan aktivitas industri. Secara keseluruhan, wilayah

pinggiran Kawasan Metropolitan Semarang pada tahun 1999 –

2000, terjadi peningkatan pertumbuhan dan kepadatan penduduk

terutama untuk wilayah Kabupaten Kendal dan Demak, yakni IKK

Sayung, Karangawen, dan Boja.

Kecenderungan pengembangan pertumbuhan penduduk

mengarah pada wilayah pinggiran kota sebagai akibat dari

perluasan aktivitas kota. Pusat kota yang tidak lagi mampu

menampung desakan jumlah penduduk memberikan dampak

yang cukup serius terhadap wilayah dipinggirannya (sub-urban).

Sehingga batasan urban dan sub-urban lama kelamaan menjadi

bias dan bahkan tidak ada batasan lagi.

Pertambahan penduduk yang terus meningkat mengindikasikan

bahwa perkembangan penduduk Kota Semarang menyebar

kearah pinggiran kota (sub-urban) sehingga sebagai

konsekuensinya adalah terjadi perubahan guna lahan perkotaan.

Selain itu meningkatnya pertumbuhan penduduk di wilayah sub-

urban seperti yang terjadi di Banyumanik, Tembalang atau lainnya

menyebabkan kemajemukan aktivitas masyarakat. Dan lambat

laun wilayah-wilayah tersebut menjadi kota satelit bagi Semarang

seperti halnya Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi sebagai kota

peyanggga aktifitas masyarakat Jakarta.

b. Perkembangan Perumahan Skala Besar

Perkembangan permukiman baru di wilayah pinggiran

Metropolitan Semarang disebabkan berkurangnya daya dukung

lingkungan permukiman di pusat Kota Semarang seperti kawasan

yang secara fisik kurang atau tidak sesuai untuk kawasan

terbangun. Hal tersebut diakibatkan karena kurangnya daya

dukung lahan permukiman di pusat Kota Semarang, dan semakin

tingginya harga lahan di pusat kota. Kondisi ini mendorong

perkembangan perumahan skala besar yang siap bangun (siap

huni) di wilayah pinggiran Kota Semarang.

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 25 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 26: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

Beberapa daerah di kawasan sub-urban Semarang yang memiliki

karakteristik khusus untuk daerah perumahan, dapat dirincikan

sebagai berikut :

Di Metropolitan Semarang pengembangan perumahan

terbanyak adalah di Kecamatan Banyumanik dengan total

luasan izin lokasi yang dimohon oleh 21 pengembang

mencapai luas 384,67 ha. Disusul perumahan di Kecamatan

Tembalang oleh 13 Pengembang dengan total luas izin lokasi

788,48 ha, kemudian pengembangan perumahan di Kecamatan

Ngalian oleh 12 Pengembang dengan total luas izin lokasi

338,26 ha.

Daerah Tugu dan daerah Genuk, daerah ini persebaran

perumahan cukup pesat karena ditunjang oleh aksesibilitas

yang baik, namun pengembangan ke arah ini perlu diperhatikan

mengingat fungsi utama daerah ini adalah sebagai lahan

industri.

Perkembangan Kecamatan Mranggen yang cepat setelah

adanya Perumahan Pucanggading dan Kecamatan Boja

dengan adanya pembangunan Kota Baru Bukit Semarang Baru

di Kecamatan Mijen.

Adapun dampak ikutan dari pembangunan kawasan perumahan

Bukit Semarang Baru secara umum membawa implikasi positif

dan negatif. Dampak positif yang muncul adalah peluang kerja

bagi masyarakat setempat, peningkatan kualitas infrastruktur,

sebagai indikator peningkatan kesejahtertaan masyarakat, serta

peningkatan nilai lahan. Sedangkan implikasi negatif yang muncul

diantaranya adalah tidak terkontrolnya pertumbuhan wilayah sub-

urban, menyempitnya lahan pertanian, kepadatan lalu lintas,

pengelompokan masyarakat desa, serta perubahan ekologi

lingkungan.

Begitu juga hal pembangunan perumahan skala menengah dan

besar di Kecamatan Tembalang meningkat seiring dengan laju

pertumbuhan penduduk. Sesuai dengan peruntukan yaitu

kawasan pendidikan tinggi dan permukiman kota maka hampir

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 26 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 27: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

sebagian besar penggunaan lahan mengarah pada fungsi utama.

Tetapi di beberapa pusat pertumbuhan seperti di Kelurahan

Tembalang dan Bulusan, intensitas guna lahan mengarah kepada

pengembangan kawasan pendidikan. Sehingga timbul

permasalahan yang serupa dengan di Kecamatan Banyumanik

yaitu berupa penguasaan lahan oleh pengembang skala

menengah dan besar.

Jumlah pengembang yang terdapat di Kecamatan Banyumanik

sebanyak 14 pengembang dengan jumlah ijin lokasi yang dimohon

sebesar 592,63 Ha atau sebesar 28% dari luas permukiman di

Kecamatan Tembalang atau 13% dari luas keseluruhan di

Kecamatan Tembalang khususnya di daerah yang berada jauh

dari pusat kota seperti Kelurahan Tandang, Sendang Mulyo, dan

Sendang Guwo. Sedangkan mengetahui lebih lanjut mengenai

perbandingan ijin lokasi yang diperoleh terhadap penggunaan

lahan permukiman di Kecamatan Tembalang dapat dilihat pada

tabel berikut:

Luas lahan yang dimiliki oleh para pengembang tersebut belum

seluruhnya dibebaskan. Dari permintaan ijin lokasi seluas 592,63

ha, pihak pengembang baru dapat membebaskan lahan sekitar

373,8 ha atau sekitar 63% dari permohonan awal. Tanah yang

telah dikuasai oleh pengembang sebagian besar baru

dimatangkan saja tanpa dilakukan pembangunan secara fisik.

Keterlambatan ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya

karena ada keterbatasan modal. Sehingga pihak pengembang

hanya dapat membangun lahannya untuk kawasan permukiman

sebesar 58,27 ha atau sekitar 9,8% dari luas ijin lokasi yang

dimohon. Jika hal tersebut dibandingkan dengan Kecamatan

Banyumanik maka lahan yang telah dibebaskan oleh pengembang

di Kecamatan Tembalang jumlahnya jauh lebih kecil dari

Kecamatan Banyumanik. Kondisi ini menyebabkan banyaknya

lahan tidur di Kecamatan Tembalang, yang pada akhirnya juga

menjadi penyebab pelayanan fasilitas seperti telepon dan

transportasi menjadi terbatas. Fenomena ini merupakan salah satu

pemicu terjadinya perkotaan terpencar, di mana penduduk tidak

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 27 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 28: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

dapat mendirikan bangunan di lahan tersebut karena lahan

tersebut telah dikuasai oleh para pengembang.

c. Perkembangan Kawasan Industri

Pengembangan kegiatan industri di wilayah pinggiran Metropolitan

Semarang terdapat di Kecamatan Sayung, Kaliwungu dan

Ungaran. Adanya kegiatan industri tersebut ternyata berdampak

terhadap perkembangan wilayah pinggiran Semarang, khususnya

daerah-daerah yang merupakan lokasi kegiatan industri. Pada

umumnya daerah-daerah yang merupakan lokasi industri

mengalami transformasi penduduk dari masyarakat pedesaan

menjadi masyarakat perkotaan yang lebih cepat dibanding daerah

lain. Hal tersebut ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk di

beberapa kecamatan di wilayah pinggiran Metropolitan Semarang

yang cenderung meningkat sebagai indikasi perkembangan suatu

wilayah kearah pinggiran perkotaan. Selain itu perkembangan

wilayah pinggiran Metropolitan Semarang akibat kegiatan industri

juga ditunjukkan oleh proporsi tenaga kerja sektor industri yang

relatif besar dibandingkan sektor lain kecuali sektor pertanian.

d. Peningkatan Intensitas Pergerakan

Perkembangan daerah-daerah pinggiran Metropolitan Semarang

baik dari aktivitas permukiman maupun industri menyebabkan

terjadinya peningkatan intensitas pergerakan sehingga dapat

menimbulkan kemacetan lalu lintas pada ruas-ruas jalan tertentu

sebab terjadi peningkatan volume kendaraan pribadi. Selain itu,

intensitas pergerakan juga meningkat pada kawasan-kawasan

yang memiliki peruntukan lahan untuk kegiatan industri di

Kecamatan Tugu, Genuk, Kaliwungu dan Sayung akibat

penggunaan jalur transportasi bersama (jalur Pantura Jakarta –

Surabaya) sehingga volume kendaraan yang lewat semakin

meningkat.

Selain itu pembangunan jalur transportasi darat yang baru di

Metropolitan Semarang mampu mendorong perkembangan

wilayah di sekitarnya yang ditandai dengan adanya peningkatan

intensitas pergerakan. Berikut ini adalah pembangunan prasarana

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 28 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 29: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

jalan yang mempengaruhi perkembangan wilayah pinggiran

Metropolitan Semarang:

a) Arteri Primer yang menghubungkan Kota Semarang – Bawen –

Yogyakarta serta Semarang – Bawen – Solo. Jalur ini

merupakan jalur propinsi dengan intensitas pergerakan

tertinggi. Menyebabkan perkembangan Kota Ungaran dan

sekitarnya, selain akibat adanya kegiatan industri yang

dialokasikan di sekitar Ungaran.

b) Kolektor Primer, menghubungkan Kota Semarang – Purwodadi

yang berpengaruh terhadap perkembangan Kota Mranggen

sebagai daerah permukiman.

c) Pembangunan Jalan Tol Semarang yang mehubungkan Jalan

Sukun – Teuku Umar – Krapyak – Majapahit – Kaligawe yang

menyebabkan perkembangan beberapa wilayah pinggiran di

Metropolitan Semarang.

d) Pembangunan beberapa jalan arteri seperti jalan arteri di

daerah Pedurungan yang menyebabkan perkembangan

Kecamatan Pedurungan menjadi lokasi permukiman.

Besarnya arus pergerakan manusia ditandai dengan seberapa

besar tingkat ulak-alik (comutting) penduduk setempat dalam

menjangkau aktifitas perkotaan. Seperti diketahui bahwa

banyaknya permukiman di kawasan Banyumanik berdampak

serius pada menjejalnya sistem aktifitas yang ada. Sementara ini

penduduk Banyumanik yang notebene-nya adalah pendatang

menyebabkan arus pergerakan lebih terkonsenrasi pada CBD

(central business district) terdekat seperti Kota Semarang dan

Ungaran, karena kedua kota ini merupakan tujuan aktifitas

maupun tempat bekerja penduduk Banyumanik. Selain itu

pergerakan aktifitas kawasan masih terkonsentrasi pada kawasan-

kawasan strategis yang berada pada jalur transportasi dengan

memanfaatkan potensi pasar.

2.2.2.2 Pola Keruangan Perubahan Pemanfaatan Lahan

a) Intensitas Lahan Terbangun

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 29 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 30: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

Intensitas lahan terbangun di kawasan pinggir Kota Semarang

pada tahun 2001 relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan

lahan tidak terbangun. Kondisi lahan terbangun yang ada di

wilayah pinggiran Kota Semarang sudah mencapai angka 30%

kecuali di Karangawen, Kaliwungu dan Pringapus masih dibawah

20%. Pada kawasan yang lahan terbangunnya masih berada di

bawah 20% secara riil masih memiliki kelonggaran dalam hal

pendirian bangunan baru. Sementara pada kawasan yang memiliki

prosentase lahan terbangun di atas 30% seperti di Mranggen,

Boja, Sayung, Ungaran dan Bergas, kontrol terhadap pemanfaatan

lahan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang harus

diperketat. Karena pada kawasan ini sebagian besar merupakan

lahan persawahan sebagai salah satu basis sumber pangan

Metropolitan Semarang.

Proporsi intensitas lahan terbangun paling besar adalah lahan

permukiman dan perumahan. Lokasinya tersebar di Banyumanik

dan Tembalang, dengan pola ruang yang tidak terstruktur dan

bersifat sporadis.

b) Sebaran Fasilitas-Fasilitas Perkotaan

Sebaran fasilitas-fasilitas perkotaan pada umumnya masih

terpusat di CBD Semarang. Pada Kawasan Sub-urban Kota

Semarang sebaran fasilitas-fasilitas perkotaan sebagian besar

berupa aktivitas industri, perumahan dan pendidikan. Wilayah

pinggiran yang ditumbuhi kawasan industri paling banyak adalah

di Kecamatan Sayung sepanjang Jalan Arteri Primer Semarang –

Demak (Pantura). Selain itu di Kecamatan Tugu juga tak kalah

pesatnya yaitu di sepanjang Jalan Arteri Primer Semarang –

Kendal. Di selatan Kota Semarang pertumbuhan industri terdapat

di sepanjang ruas jalan menuju Ungaran. Sedangkan untuk

perumahan tumbuh dan berkembang di Ngalian sebagai dampak

akan kebutuhan tempat tinggal bagi buruh industri yang ada di

Kecamatan Tugu. Selain di Kecamatan Tugu, pengembangan

perumahan juga tumbuh pesat di Kecamatan Banyumanik, yang

menjawab kebutuhan tempat tinggal bagi pembukaan titik

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 30 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 31: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

pertumbuhan baru yang dianggap cepat. Selain itu juga

merupakan antisipasi kebutuhan akan perumahan bagi tumbuhnya

pusat pendidikan tinggi yakni Kampus Baru UNDIP di Tembalang.

c) Sistem Jaringan Transportasi

Jaringan transportasi di pinggiran Metropolitan Semarang tidak

terlepas dari sistem yang ada di dalam Kota Semarang sendiri.

Akses ke luar Kota Semarang dihubungkan oleh 5 (lima) jalan

arteri, empat diantaranya arteri primer yaitu: Jalan Semarang –

Demak/Surabaya, Jalan Semarang – Kendal/Jakarta, Jalan

Semarang – Purwodadi Jalan Semarang – Ungaran/Yogyakarta

dan satu jalan arteri sekunder dari Semarang menuju arah Boja.

Di dalam Metropolitan Semarang sendiri terdapat Jalan Tol

Semarang. Di sebelah barat berpangkal di Krapyak, sedangkan

sebelah timur berawal di Kaligawe yang kedua-duanya bertemu di

pintu tol Jatingaleh. Akhir dari tol ini adalah di Banyumanik

selanjutnya menyebar atau terus ke Jalan Setiabudi langsung

menuju Yogyakarta atau Solo.

Permasalahan yang muncul sehubungan dengan transportasi di

pinggiran Metropolitan Semarang ini adalah kurang terkoordinirnya

aktivitas angkutan perkotaan, dimana dibiarkannya mobil pribadi

dijadikan angkutan umum. Permasalahan ini muncul akibat

kurangnya moda transportasi yang ada di pinggiran kota. Selain itu

masih banyak kawasan pinggiran yang belum tersentuh oleh jalur

angkutan kota, maka muncul terminal ojek bagi warga yang

membutuhkan dengan biaya cukup tinggi bila dibandingkan

dengan angkutan kota.

2.2.2.3 Faktor-faktor Penyebab

Faktor-faktor yang mendorong terjadinya sub-urbanisasi di wilayah

pinggiran Metropolitan Semarang antara lain:

a) Harga Lahan Perkotaan yang Semakin Mahal dan Meningkatnya

Penjualan Lahan di Kawasan Pinggiran Metropolitan Semarang.

b) Pembangunan Kota Berbasis pada Perluasan Jaringan

Transportasi

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 31 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 32: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

c) Peningkatan Permintaan Perumahan bagi Masyarakat Golongan

Menengah ke Atas.

2.2.2.4 Dampak-dampak yang Timbul

Dampak yang ditimbulkan dari sub-urbanisasi di wilayah pinggiran

Metropolitan Semarang adalah sebagai berikut:

a) Peningkatan Kemacetan Lalu Lintas pada Pintu-pintu Masuk Kota

Perkembangan wilayah pinggiran yang tidak diimbangi dengan

penyediaan fasilitas yang memadai mampu memberikan

permasalahan tersendiri bagi kota induk salah satunya adalah

kemacetan lalu lintas. Hal ini disebabkan penduduk di wilayah

pinggiran sebagian besar aktivitasnya masih berlangsung di kota

induk sehingga pada saat mereka akan melakukan aktivitasnya di

kota secara bersamaan akan terjadi kemacetan lalu lintas akibat

penumpukan kendaraan pribadi di pintu masuk kota. Hal ini dapat

dilihat di salah satu wilayah pinggiran Metropolitan Semarang,

yaitu Mranggen, dimana pada pagi dan sore hari terjadi

kemacetan lalu lintas akibat penumpukan kendaraan pribadi

(sepeda) maupun angkutan umum yang membawa penduduk

Mranggen bekerja di Semarang.

Selain itu perkembangan Banyumanik yang membentuk sistem

aktivitas kota mengakibatkan terjadinya perubahan guna lahan

yang cenderung menyebar/meloncat (froging) sehingga tidak

membentuk sistem fungsi lahan yang compact. Selain itu

perkembangan sektor-sektor perdagangan, industri dan jasa di

ruas jalan tersebut berdampak kepada terganggunya sistem

transportasi wilayah. Salah satunya adalah kondisi kelas jalan

sudah tidak mampu lagi menahan beban arus lalu lintas dan jenis

kendaraan yang melintasinya. Adapun industri-industri yang

berada pada ruas jalan tersebut diantaranya PT. Kubota

Indonesia, PT. Yuwono Setiabudi, PT. Jamu Jago, PT. Mega

Rubber Factory, dan lain-lain. Pengaruh yang tidak kalah penting

adalah keberadaan Swalayan ADA dan pintu tol Banyumnaik dan

Jatingaleh.

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 32 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 33: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

b) Perkembangan Kota yang Tidak Beraturan

Pertumbuhan penduduk yang tinggi menuntut adanya kebutuhan

ruang kota guna mampu menampung aktivitas penduduk yang

selalu berkembang. Di satu sisi perkembangan aktivitas penduduk

kota mendorong perubahan dan perkembangan kebutuhan lahan

dan ruang kota, sedangkan di sisi lain kebutuhan lahan kota yang

terbatas menyebabkan pemenuhan kebutuhan akan ruang kota,

salah satunya terpenuhi di wilayah pinggiran kota induk.

Seperti pertumbuhan penduduk Banyumanik yang tinggi menuntut

adanya pengendalian pemanfaatan lahan kota yang mampu

menampung aktivitas penduduk yang juga selalu berkembang.

Penyebab utama ketidak teraturan guna lahan disebabkan oleh

tidak meratanya persebaran fasilitas kota yanhg hanya

terkonsentrasi di salah satu pusat kota saja. Dengan kata lain

perkembangan fasilitas fisik meloncat (urban sprawl) sehingga

tidak ada kesatuan dari perkembangan ruang-ruang aktivitas

perkotaan yang menyebabkan perkembangan lahan perkotaan

menjadi tidak terkendali.

c) Degradasi Lingkungan

Dampak sub-urbanisasi di wilayah pinggiran ditinjau dari segi

lingkungan hidup adalah turunnya kualitas lingkungan hidup

seperti tingkat polusi dan kebisingan di kawasan semakin

meningkat, hilangnya lahan konservasi dan penurunan muka air

tanah akibat tingginya pemenuhan akan lahan terbangun.

Kenyataan penurunan luasan lahan konservasi maupun

penurunan muka air tanah akan menimbulkan bencana banjir,

longsor pada kawasan lokal maupun kawasan di bawahnya.

Pertambahan jumlah penduduk dan penggunaan lahan

berdampak langsung kepada struktur ekologis lingkungan seperti

berkurangnya daya permeabilitas tanah, suhu udara yang

meningkat, berkurang kandungan air tanah dalam bumi dan

berkurangnya sistem drainase alam. Seperti pada kawasan

Banyumanik, indikasi ke arah tersebut sudah terlihat dengan

adanya gejala yang terjadi seperti ;

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 33 Kawasan Perkotaan & Sub Urban

Page 34: Lingkungan Tata Ruang

Laporan Akhir

1. Tingginya intensitas penggunaan lahan kawasan yang

mengabaikan persyaratan KDB dan KLB sehingga kepadatan

kurang terkendali dan tingkat run off yang tinggi kepada

wilayah di bawahnya.

2. Berkurangnya lahan kosong sebagai drainase dengan

meningkatnya intensitas lahan terbangun seperti di kelurahan

Banyumnaik, Ngesrep dan Sumurboto.

3. Berkurangnya ruang hijau akibat aktivitas penggunaan lahan

yang tidak teratur seperti di beberapa jalur tranportasi kawasan.

Fasilitasi dan Penyelesaian Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang II - 34 Kawasan Perkotaan & Sub Urban