Lingkungan Hidup Dalam Hukum
Transcript of Lingkungan Hidup Dalam Hukum
8
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Negara yang kaya adalah negara yang memiliki semua kekayaan dan
anugerah dari Sang Pencipta. Kekayaan itu terdiri atas berbagai unsur – unsur,
salah satu diantaranya adalah “Hutan”. Hutan merupakan paru – paru dunia,
tempat dimana makhluk hidup meneruskan dan melangsungkan hidup, termasuk
pohon – pohon dan hasil tambang serta berbagai Sumber Daya Alam lainnya.
Sungguh tak dapat dipungkiri bahwa manfaat Hutan bagi kehidupan manusia,
telah memberikan kontribusi yang tak ternilai harganya bagi kesejahteraan hidup
manusia, baik manfaat secara langsung ( tangible ) dan manfaat yang dirasakan
secara tidak langsung ( intangible ).1
1 Rahmawati.( 2004 ).Hutan : Fungsi dan Peranannya Bagi Masyarakat. Makalah Kuliah
Umum Fakultas Pertanian USU. Hal.1
Manfaat langsung seperti penyediaan kayu,
satwa dan hasil tambang. Sedangkan manfaat tidak langsung dapat kita lihat
seperti tempat rekreasi, perlindungan dan pengaturan tata air, serta pencegahan
erosi.
Secara yuridis definisi “Hutan“ termuat dalam Pasal 1 angka 1 Undang
– Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yakni suatu
kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.Dari definisi tersebut tersebut dapat dilihat
bahwa terdapat 3 unsur yang menjadi ciri khas hutan, antara lain :
1. Suatu kesatuan ekosistem 2. Berupa hamparan lahan
Universitas Sumatera Utara
9
3. Berisi sumber daya alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Ketiga ciri pokok yang dimiliki suatu wilayah yang dinamakan hutan
merupakan suatu rangkaian kesatuan komponen yang utuh dan saling
ketergantungan terhadap fungsi ekosistem di bumi, eksistensi hutan sebagai paru
– paru dunia.2
1. Bahwa ada hutan yang berisi Sumber Daya Alam Hayati merupakan karunia
Tuhan Yang Maha Esa, yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia adalah
merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya, yang dapat dimanfaatkan
sebagai modal pembangunan. ( Penjelasan Umum Undang – Undang Nomor
41 tahun 1999 )
Dari pengertian tersebut, tampak bahwa ada 2 kepentingan yang
terkandung dalam hakikat hutan, yakni :
2. Bahwa hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem dalam pesekutuan alam
dan lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Selain memiliki manfaat, hutan juga mempunyai fungsi – fungsi pokok yang
menjadi prinsip kelestarian hutan, yang berfungsi antara lain :
a. Fungsi Ekologis
b. Fungsi Ekonomi
c. Fungsi Sosial
Ini menunjukkan bahwa keberadaan hutan di dunia, khususnya dalam
konteks Indonesia ternyata memperoleh tempat yang cukup dilindungi oleh
peraturan – peraturan hukum yang ada, meskipun mungkin saja hasilnya belum
dapat dibuktikan secara optimal. Keberadaan hutan secara umum dalam hal upaya
dukung hutan terhadap segala aspek kehidupan manusia, satwa dan tumbuhan
Universitas Sumatera Utara
10
sangat ditentukan pada tinggi rendahnya kesadaran manusia akan arti penting
hutan dalam pemanfatan dan pengelolaan hutan itu sendiri. Tentunya hutan
menjadi media hubungan timbal balik antara manusia dan mahluk hidup lainnya
dengan faktor – faktor alam yang terdiri dari proses ekologi dan merupakan suatu
kesatuan siklus yang dapat mendukung kehidupan.3
Laporan World Bank menyebutkan bahwa selama 35 ( tiga puluh lima
tahun) terakhir telah terjadi deforestasi seluas 1,6 ( satu koma enam ) – 1,7 ( satu
koma tujuh ) juta, bahkan mencapai 2,0 ( dunia koma nol ) juta per tahun. Justeru
kondisi tersebut pada era otonomi daerah semakin meningkat jumlahnya, yakni
Mengingat pentingnya arti hutan bagi masyarakat, maka peranan dan
fungsi hutan tersebut perlu dikaji lebih lanjut. Pemanfaatan Sumber Daya Alam
hutan apabila dilakukan sesuai dengan fungsi yang terkandung di dalamnya
seperti adanya fungsi lindung, fungsi suaka, fungsi produksi, fungsi wisata dengan
dukungan kemampuan pengembangan Sumber Daya Manusia, ilmu pengetahuan
dan tekhnologi, akan sesuai dengan hasil yang akan dicapai. Pada kenyataan yang
terjadi dalam masyarakat, kemampuan hutan dan lingkungannya untuk menjamin
kepentingan hidup manusia seringkali kurang mendapat apresiasi yang kurang
baik dari manusia. Manusia sebagai subjek (pelaku) aktivitas kehidupan lalai dan
mengabaikan keseimbangan dalam lingkungan hidup. Manusia dengan nafsu
keserakahannya selalu terpengaruh oleh kepentingan hidup yang berlebihan
porsinya, sementara dalam hal pemeliharaan hutan dan lingkungannya yang
menjadi sebuah kewajiban, kerap kali diabaikan.
2 Alam Setia Zain. (1996 ). Hukum Lingkungan Konservasi Hutan dan Segi – Segi
Pidana. Rineka Cipta : Jakarta .1996. Hal.2 3 Reksohaadiprojo . ( 2003 ). Ekonomi Lingkungan . BPFE Yogyakarta : Yogyakarta .
Hal.12.
Universitas Sumatera Utara
11
mencapai lebih dari 3,0 ( tiga koma nol ) juta per tahun.4
Tentunya belum cukup itu saja permasalahan yang dihadapi oleh sektor
kehutanan Terakhir, arah sektor kehutanan semakin tidak jelas ketika Pemerintah
Republik Indonesia mengeluarkan Inpres No.5 Tahun 2003 tentang Paket
Kebijakan Ekonomi menjelang dan sesudah berakhirnya program kerja sama
dengan International Monetary Fund ( IMF ) atau yang popoler disebut dengan
White Paper.
Beberapa organisasi
konservasi menyatakan jika hal ini tidak segara dilakukan tindakan nyata, maka
diperkirakan hutan dataran rendah Sumatera dan Kalimantan akan lenyap pada
tahun 2010. Adapun penyebab dari deforestasi ( kehilangan hutan ) kebanyakan
terjadi karena praktek industri perkayuan yang berlebihan, pembalakan liar (
Illegal Loging ), ekspansi lahan perkebunan dan pertanian, disamping karena
masalah kebijakan yang kurang mendukung kelestarian hutan dan kegagalan
penegakan hukum di bidang kehutanan.5
5
4
Khusus untuk permasalahan kebijakan yang kurang mendukung
kelestarian hutan, sebagai contoh : pembukaan lahan secara besar – besaran untuk
perkebunan tanpa dibarengi pengawasan yang ketat. Akibatnya banyak lahan
terlantar setelah hutannya dibabat habis. Kemudian adanya ancaman perubahan
fungsi kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi, dimana hutan
lindung atas nama kapital akan dijadikan areal pertambangan. Sementara itu,
penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana ketentuan hukum yang berlaku,
karena lebih disebabkan lemahnya komitmen pemerintah dan aparat penegak
hukum.
www.greenpeace.com, di akses pada tanggal 23 Agustus 2009. 5 Abdul Khakim. ( 2005 ). Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia Dalam Era Otonomi
Daerah. PT.Citra Aditya Bakti : Bandung..Hal.3.
Universitas Sumatera Utara
12
Dalam Bab V bagian Ketiga Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan ini sangat jelas diamatkan tentang Pengelolaan Hutan,
Pemanfaatan dan Penggunaan Hutan tepatnya pada Pasal 23 yang menyatakan
Bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal
bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga
kelestariannya. Pengertian optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat
diperjelas dalam penjelasan Pasal 23 yang secara tegas menyatakan hutan sebagai
sumber daya nasional harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat
sehingga tidak boleh terpusat pada seseorang, kelompok, atau golongan tertentu.
Oleh karena itu, pemanfaatan hutan harus didistribusikan secara berkeadilan
melalui peningkatan peran serta masyarakat, sehingga masyarakat semakin
berdaya dan berkembang potensinya.
Seperti yang kita ketahui bersama, tidak dapat dipungkiri bahwa selama 32
( tiga puluh dua tahun ) pemerintahan Orde Baru menempatkan sektor kehutanan
sebagai andalan perolehan devisa negara nomor 2 (dua) setelah sektor migas
(minyak & gas). Disamping sebagai penghasil devisa, sektor kehutanan juga
menyerap banyak tenaga kerja dan mampu mendorong terbentuknya sentra –
sentra ekonomi dan berhasil membuka keterisolasian di beberapa daerah
terpencil.6
6 Ibid. Hal. 5.
Bertolak dari kondisi ini diperlukan sinergi semua pihak ( stake
holders ) untuk berperan aktif dalam mengelola hutan secara optimal dan lestari.
Dan untuk itu pula, peran serta rakyat tidak dapat diabaikan, karena prinsip
sasaran pemanfaatan hutan dan segala sumber daya yang terkandung didalamnya
ditujukan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat, sesuai dengan hakikat
Universitas Sumatera Utara
13
dari Pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis melalui beberapa informasi yang
penulis dapatkan, bahwa tingginya tingkat pelanggaran pidana dalam bidang
kehutanan justru disebabkan oleh lemahnya fungsi hukum itu sendiri. Tidak dapat
kita pungkiri bahwa prestasi hukum yang ada di negara kita memang belum
mampu dibanggakan kepada masyarakat . Perbuatan – perbuatan merusak hutan
bahkan mengeksploitasi hasil hutan terus menjadi objek atau lahan pribadi, tanpa
memeprhatikan kesejahteraan masyarakat disekitanya. Rata – rata perbuatan
tersebut dilakukan oleh para pengusaha. Dari lebih kurang 205 putusan pengadilan
yang ada , hanya 17,24% saja putusan yang berhasil menghadirkan pelaku utama (
master mind ) ke meja persidangan, sementara itu sebanyak 66,83% putusan
dinyatakan bebas murni dan sebanyak 21,46% putusan menjatuhkan vonis kurang
dari 1 tahun dan selebihnya adalah putusan menjatuhkan vonis sampai 2 tahun
atau lebih. Jelas sekali ini prestasi yang masih kurang maksimal bagi sistem
peradilan Indonesia.7
Berangkat atas kesadaran pentingnya arti hutan bagi manusia di bumi dan
sebagai contoh konkrit atas tingginya pelanggaran serta tindak pidana di bidang
kehutanan, maka penulis mengambil kasus Lahan Register 40 milik pengusaha
asal Sumatera Utara, yakni Darianus Lungguk Sitorus ( D.L.Sitorus ) yang
sekaligus merupakan seorang warga negara Indonesia. Kasus yang dikenal dengan
“Lahan Register 40“ itu sampai hari ini masih terus menjadi perdebatan yang
cukup serius dalam menunjukkan fakta bahwa penanganan hukum terhadap
7 www.APHI.com, di akses pada tanggal 01 September 2009.
Universitas Sumatera Utara
14
pelaku kejahatan bidang kehutanan masih jauh dari pemberdayaan fungsi hukum
dalam sistem peradilan kita.
Penulis sangat tertarik untuk membahas dan menganalisa lebih jauh,
bagaimana peran hukum kita dalam menangani tindak pidana bidang kehutanan
ini, khususnya terhadap apa yang telah dilakukan oleh Darianus Lungguk Sitorus
( D.L. Sitorus ) tersebut. Perbuatan terdakwa memasuki kawasan hutan Negara
kawasan Register 40 serta mengelolanya sehingga merubah fungsi dari hutan
tersebut menjadi sebuah lahan perkebunan kelapa sawit yang dibuktikan dengan
dibangunnya beberapa pabrik kelapa sawit dan koperasi perkebunan kelapa sawit
menjadi sebuah perdebatan dalam tingkatan penegak hukum untuk memutus
apakah perbuatan terdakwa termasuk dalam tindak pidana korupsi yang berarti
telah merugikan keuangan negara, ataukah hanya sebatas sebuah pelanggaran atas
Undang – Undang Kehutanan No.41 Tahun 1999 ynag melindungi kawasan hutan
Register 40 tersebut. Atas dasar pemikiran inilah penulis menjadi tertarik untuk
menganalisis lebih jauh bagaimanakah sebenarnya rumusan yang tepat dalam
memutuskan perkara ini secara yuridis. Lagipula seharusnya hukum maupun
undang – undang yang diciptakan mampu menciptakan keadilan dan dapat
menimbulkan efek jera ( detterence effect ) bagi pelakunya serta bagi masyarakat
umum.
B. PERUMUSAN MASALAH
Universitas Sumatera Utara
15
Dalam hal ini penulis ingin mengemukakan beberapa permasalahan yang
menjadi tolak ukur dalam pembahasan yang berkaitan dengan Analisis Hukum
atas pelaksanaan eksekusi lahan Register 40, diantaranya adalah :
1. Bagaimana pengaturan Hukum Pidana terhadap tindak pidana di
bidang kehutanan menurut Undang – Undang Kehutanan.
2. Bagaimana analisis hukum pidana terhadap Putusan Negeri
Nomor.481/Pid.B/2006 PN.Jkt.Pst dan Putusan Mahkamah Agung
No.2642/k/Pid/2006 PT.Jkt.Pst ( dengan terdakwa Darianus Lungguk
Sitorus ( D.L.Sitorus ).
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Tujuan Penulisan
Bahwa setiap penulisan karya ilmiah tentunya memiliki tujuan yang akan
diperoleh berdasarkan suatu permasalahan yang dibahas. Adapun tujuan yang
ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui sejauh manakah perkembangan hukum terhadap
pengaturan masalah tindak pidana, khususnya dalam bidang kehutanan.
b. Untuk memaparkan dan menjelaskan tindak pidana bidang kehutanan.
c. Untuk membahas bagaimanakah pertanggung jawaban pidana korporasi
yang dilakukan oleh individu maupun badan hukum.
2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
Universitas Sumatera Utara
16
a. Manfaat Teoritis
Yaitu untuk memberikan kontribusi pemikiran dan memperkaya khasanah
dalam bidang hukum pidana pada umumnya, dan tentang tindak pidana
bidang kehutanan pada khususnya, sehingga diharapkan skripsi ini
nantinya dapat menjadi bahan masukan dan referensi bagi mahasiswa
fakultas hukum dan fakultas kehutanan.
b. Manfaat Praktis
1. Untuk memberikan kontribusi dalam rangka sosialisasi kepada
masyarakat luas tentang Tindak Pidana bidang Kehutanan yang terjadi
dan semakin berkembang saat ini, yang diharapkan akan dapat
menimbulkan kesadaran masyarakat dalam mencegah
perkembangannya.
2. Sebagai bentuk kontribusi pemikiran bagi aparat penegak hukum, mulai
dari pihak kepolisian, kejakasaan, kehakiman serta para bagian dari
lembaga peradilan di Indonesia, agar dapat meningkatkan
profesionalisme kerja dalam upaya penegakan hukum dalam
pemberantasan masalah tindak pidana bidang kehutanan.
3. Serta memberikan pemahaman tentang efektivitas pelaksanaan eksekusi
keputusan ataupun kebijakan yang dilahirkan oleh lembaga – lembaga
swadaya masyarakat ataupun kelompok studi hukum lainnya.
D. KEASLIAN PENULISAN
Skripsi dengan judul “Analisis Hukum Atas Tindak Pidana di Bidang
Kehutanan ( Studi Putusan Pengadilan Negeri No.481/k/Pid/2006 PN.Jkt.Pst &
Universitas Sumatera Utara
17
Putusan Mahkamah Agung No.2642/K/Pid/2006 PT.Jkt.Pst dengan Terdakwa
Darianus Lungguk Sitorus ) ini sepengetahuan penulis belum pernah ditulis oleh
siapapun di Fakultas Hukum Sumatera Utara. Apabila dikemudian hari terdapat
judul dan objek pembahasan yang sama sebelum tulisan ini dibuat, maka penulis
siap untuk mempertanggung jawabkannya secara moral dan ilmiah.
E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Setiap karya ilmiah tentunya memerlukan suatu studi kepustakaan atau
sering disebut dengan istilah tinjauan kepustakaan. Pada tahapan ini penelitian
mencari landasan teoritis dari permasalahan penelitiannya sehingga penelitian
yang dilakukan bukanlah aktivitas yang bersifat “ trial and error “.
1. Pengertian Hutan
Kata hutan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu dan forrest
bos dalam bahasa Inggris. Forrest berarti dataran tanah yang bergelombang, dan
dapat dikembangkan untuk kepentingan diluar kehutanan, seperti pariwisata.8
8 Salim,H.S.( 1993 ). Dasar – Dasar Hukum Kehutanan. Sinar Grafika: Jakarta. Hal.40
Dalam Hukum Inggris kuno, hutan (forest) adalah suatu daerah tertentu yang
tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup binatang buas dan burung – burung
hutan. Disamping itu, hutan juga dijadikan tempat pemburuan, tempat istirahat
dan tempat bersenang – senang bagi raja dan pegawai – pegawainya. Namun
dalam perkembangan selanjutnya ciri khas ini menjadi hilang. Menurut KBBI (
Kamus Besar Bahasa Indonesia ), yang dimaksud dengan hutan adalah tanah luas
Universitas Sumatera Utara
18
yang ditumbuhi pohon – pohon, ( biasanya tidak dipelihara orang ). Sedangkan
Menurut Dengler , yang diartikan dengan hutan adalah :
“ Sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembapan, cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh – tumbuhan atau pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat ( horizontal dan vertikal ) “.9
1. Unsur lapangan yang cukup luas ( minimal ¼ Hektar ) yang disebut tanah hutan.
Sedangkan pengertian hutan secara yuridis, menurut pasal 1 ayat 1 Undang
– Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan bahwa hutan
adalah “Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya
alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya
,yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan ”.
Terdapat empat unsur yang terkandung dari definisi hutan diatas, yaitu :
2. Unsur pohon ( kayu, bambu, palem ), flora dan fauna. 3. Unsur Lingkungan. 4. Unsur penetapan pemerintah.
Jika kita bandingkan, ternyata terdapat perbedaan antara pengertian hutan
secara umum dengan pengertian hutan secara yuridis. Untuk dapat menyelami
pengertian tentang hutan lebih jauh, sebaiknya kita lihat dari penjelasan resmi
Pasal 1 ayat 1 Undang – Undang No.41 tahun 1999 .Berdasarkan ketentuan yang
mengatur tentang kehutanan, yaitu Undang – Undang Nomor 41 tahun 1999,
pembagian hutan digolongkan atas empat jenis, yaitu :
a. Hutan berdasarkan Statusnya.
9 W.J.S. Poerwardarminta. Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ). PT.Balai Pustaka : Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
19
Hutan berdasarkan statusnya adalah suatu pembagian hutan yang
didasarkan pada status ( kedudukan ) antara orang, badan hukum atau institusi
yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan terhadap hutan
tersebut. Hutan berdasarkan statusnya dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu
hutan negara dan hutan hak.
1). Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas
tanah.
2). Hutan Negara adalah hutan , yang berada pada tanah yang dibebani hak
atas tanah, yang termasuk dalam kualifikasi hutan negara adalah:Hutan
Adat, Hutan Desa Hutan kemasyarakatan. Hutan Adat adalah : Hutan
Negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat
( rechtgemeenschap ). Hutan Desa adalah Hutan Negara yang dikelola
oleh Desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraaan desa. Hutan
Kemasyarakatan adalah Hutan Negara yang pemanfaataanya untuk
memberdayakan masyarakat.
b. Hutan Berdasarkan Fungsinya.
Dalam pasal 6 sampai dengan pasal 7 Undang – Undang Nomor 41 tahun
1999 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hutan berdasarkan fungsinya
adalah Penggolongan hutan yang didasarkan pada kegunaannya. Hutan ini dapat
digolongkan menjadi tiga macam, yaitu Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan
Hutan Produksi.
1). Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuh –
Universitas Sumatera Utara
20
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Hutan Konservasi ini terbagi
lagi atas tiga macam, antara lain : kawasan hutan suaka alam, kawasan
pelestarian alam dan kawasan Taman Buru.
2) Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, untuk mengatur tata
air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi
(penerobosan ) air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
c. Hutan Berdasarkan Tujuan Khusus.
Menurut Pasal 8 Undang – Undang Kehutanan ( Nomor 41 Tahun 1999 ),
penggunaan hutan untuk keperluan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan
latihan serta untuk kepentingan religi dan budaya setempat, syaratnya tidak
mengubah fungsi pokok kawasan hutan .
d Hutan Berdasarkan Pengaturan Iklim Mikro.
estetika dan resapan air di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai
hutan kota. Menurut Pasal 9 Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999, yang
dimaksud dengan hutan kota adalah hutan yang berfungsi untuk pengaturan iklim
mikro, estetika dan resapan air. Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang
sangat penting dalam menunjang pembangunan bangsa dan negara. Hal ini
dikarenakan hutan dapat memberikan manfaat yang sebesar – besarnya bagi
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Menurut Salim, manfaat hutan
digolongkan menjadi dua, yakni Manfaat Langsung dan Manfaat Tidak
Langsung. Adapun yang dikatakan sebagai manfaat langsung adalah manfaat
Universitas Sumatera Utara
21
yang dapat dirasakan atau dinikmati secara langsung oleh masyarakat, dimana
masyarakat dapat menggunakan dan memanfaatkan hasil hutan, contoh : kayu,
rotan, getah, buah – buahan, madu dan lain – lain. Sementara itu, yang dimaksud
dengan manfaat secara tidak langsung adalah manfaat yang secara tidak langsung
dinikmati oleh masyarakat, tetapi dapat dirasakan adanya keberadaan hutan itu
sendiri.11
a. untuk mengatur tata air.
Contohnya antara lain :
b. untuk menecegah terjadinya erosi.
c. untuk memberikan manfaat terhadap kesehatan.
d. Menciptakan lapangan pekerjaan.
e. Memberikan kontribusi dalam bidang pertahanan keamanan.
f. Memberikan manfaat dalam bidang pariwisata.
g. dan lain – lain.
Selanjutnya, kegiatan pengukuhan hutan merupakan kegiatan yang sangat
penting dalam bidang kehutanan. Hal ini disebabkan karena kegiatan ini
merupakan dasar dalam menentukan status hukum hutan. Pengukuhan Hutan
merupakan kegiatan yang berhubungan dengan penataan batas suatu wilayah yang
telah ditunjuk sebagai wilayah hutan guna memperoleh kepastian hukum
mengenai status hukum dan batas kawasan hutan. Perintah pengukuhan hutan
diatur dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 16 Undang – Undang Nomor 41
Tahun 1999 dan Pasal 7 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1967, yang berbunyi
“ Penetapan kawasan hutan didasarkan pada suatu rencana umum pengukuhan
hutan itu, untuk selanjutnya digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam
11 Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan. ( 1990 ). Hukum Kehutanan Suatu Ringkasan untuk Bahan Penyuluhan Hukum Kehutanan. Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
22
penetapan hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka alam dan hutan wisata ”.12
1. Penunjukkan Kawasan Hutan.
Ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor
33 Tahun 1970 tentang Perencanaa Hutan, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
339 / Kpts – II / 1990 tentang Pedoman Pengukuhan Hutan, serta diatur dalam
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 400/ Kpts – II / 1990 tentang Pembentukan
Panitia Tata Batas.
Di dalam Pasal 15 Undang – Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999,
ditentukan empat tahap dalam pengukuhan hutan, yakni :
2. Penataan Batas Kawasan Hutan.
3. Pemetaan Batas Kawasan Hutan.
4. Penetapan Batas Kawasan Hutan.
Ad.1. Tahap Penunjukkan kawasan Hutan.
Penunjukkan hutan pada dasarnya merupakan penetapan awal peruntukkan
suatu wilayah tertentu sebagai wilayah hutan. Penunjukkan ini dilakukan oleh
Menteri Kehutanan atau pejabat lainnya. Penunjukkan ini dapat didasari pada
Tata Guna Hutan Kesepatan (TGHK) atau Government Besluit13
12 Yahya Hanaf. (1993). Pengukuhan HUtan dan Aspek – Aspek Hukum Bagian II. Bahan Penataran Tekhnis Yuridis Kawasan Hutan. Jakarta. 13 Govenrment Besluit dalam makna bahasa Indonesia disamakan dengan sebuah surat ketetapan yang diberikan atau di keluarkan oleh pemerintah Belanda ( Kolonial ).
(GB)
Pemerintah Hindia Belanda. Disamping itu, penunjukkan kawasan hutan dapat
juga dilakukan atas dasar tukar – menukar kawasan hutan dengan hutan milik,
hasil kompensasi terhadap pemakaian kawasan hutan di daerah – daerah yang
kawasan hutannya sudah berada di bawah batas minimal, dan atau karena
perbuatan – perbuatan hukum lainnya.
Universitas Sumatera Utara
23
Ad.2. Tahap Kegiatan Pengukuhan
Dalam pelaksanaan pengukuhan ini, terdapat delapan kegiatan yang harus
dilakukan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 Keputusan Meneteri
Kehutanan Nomor 339/Kpts-II/1990 tentang Pedoman Pengukuhan
Hutan.Tahapan – tahapan tersebut antara lain :
a. Penyusunan rencana kerja dan pembuatan peta.
Penyusunan rencana kerja memuat tentang rencana – rencana yang akan
dikerjakan. Peta kerja tat batas berisi rancangan batas dibuat berdasarkan
kawasan hutan., yakni dengan cara memindahkan batas kawasan pada peta
dasar dengan skala 1 : 25.000 atau skala 1 : 50.000. Apabila peta skala itu
belum tersedia maka dapat digunakan perta skala 1 : 100.000 atau skala 1 :
250.000.
b. Penyusunan Konsep Trayek Batas.
Konsep Proyek Batas merupakan suatu konsep tentang rencana garis batas
dilapangan yang ditandai dengan rintis batas dan patok batas atau tanda –
tanda batas lainnya. Biasanya pembuatan trayek bats ini dilakukan dengan
memindahkan (plotting) batas kawasan hutan pada peta dasar dengan
memperhatikan kaidah – kaidah kartograf ( proyeksi peta, kordinat garis
geografis, dan skala peta ).
c. Rapat Panitia Batas.
Dalam rapat Panitia Tata Batas dibahas tentang trayek batas dan
inventarisasi adanya hak – hak pihak ketiga dan permasalahan yang terkait.
Apabila segala permasalahan telah dapat diselesaikan, selanjutnya Panitia
Universitas Sumatera Utara
24
Tata Batas mengadakan rapat mengenai persiapan pelaksanaan
pengukuran/pemamcangan batas yang dikoordinasikan oleh Kantor Wilayah
Departemen Kehutanan.
d. Pemancangan Patok Batas.
Kegiatan pemanconagn patok batas merupakan penegasan batas suatu
wilayah yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan sesuai dengan trayek
batas. Pemancangan ini meliputi : pemasangan batas sementara, perintisan
batas sementara serta pemberian tanda – tanda di alapangan tentang adanya
tanah – tanahyang dipertimbangkan akan dimasukkan/dikeluarkan dari
wilayah hutan yang ditunjuk sebagai kawasan hutan. Panitia Tata Batas
meninjau hasil pemancangan batas sementara dan membuat pengumuman
batas sementara atas wilayah/areal yang ditunjuk sebagai kawasan hutan.
e. Inventarisasi & Penyelesaian hak – hak pihak ketiga yang berkaitan dengan
trayek batas.
Tujuan inventarisasi dan penyelesaian hak pihak ketiga yang berkaitan
dengan trayek batas adalah untuk menghimpun tanah – tanah yang dimiliki
oleh pihak ketiga yang terdapat dalam kawasan hutan yang akan ditentukan
status hukumnya dan memberikan penyelesaiannya.
f. Pengumuman.
Tujuan pengumuman ini adalah untuk memberitahukan kepada masyarakat
di sekitar hutan tentang pemancangan batas sementara atas wilayah/areal
yang ditunjuk sebagai kawasan hutan.
g. Kegiatan Pengukuran, Pemetaan dan Pemasangan Pal Batas.
Universitas Sumatera Utara
25
Apabial tidak ada lagi hak – hak pihak ketiga dalam kawan hutan,
dilakukannlah pengukuran secara definitif adn pemasangan pal batas hutan
dari beton dengan ukuran 10 x 10 x 139 cm atau pal batas kayu kelas awet I
atau awet II dengan ukuran 15 x 15 x 130 cm. Pal batas itu diberi nomor
urut dan kode huruf dimulai ari pelebaras rintis batas yang berfungsi untuk
jalannya pemeriksaan batas.
h. Membuat dan Menandatangani Berita Acara Tata Batas.
Apabila ketujuh kegiatan diatas telah dilakukan, maka kegiatan selanjutnya
adalah membuat Berita Acara Tata Batas, dan kemudian ditandatangi oleh
Panitia Tata Batas.
Ad.3. Tahap Penetapan Kawasan Hutan.14
1. Adanya penetapan dari Menteri Kehutanan yang dituangkan dalam Surat
Keterangan ( SK ) Menteri Kehutanan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan penelitian Berita Acara Tata Batas,
Biro Hukum dan Organisasi, Departemen Kehutanan menyiapkan dan memproses
penetapan kawasan hutan yang telah ditata batas dan diketahui pasti luasnya
dengan suatu produk hukum berupa “keputusan” penetapan kawasan hutan tetap
dengan fungsi tertentu atau tanpa fungsi. Selanjutnya, tentang kawasan hutan
sendiri diatur dalam Pasal 4 Ayat ( 1 ) dan ( 2 ) Undang – Undang Kehutanan
Nomor 5 Tahun 1967, dengan pengertian bahwa kawasan hutan merupakan
wilayah yang sudah berhutan atau yang tidak berhutan, yang telah ditetapkan
menjadi hutan. Ada dua ciri khas yang disebut sebagai Kawasan Hutan,
diantaranya :
14 Salim H.S. (2005). Dasar – Dasar Hukum Kehutanan. PT.SInar Grafika : Jakarta. Hal.51.
Universitas Sumatera Utara
26
2. Telah ada penetapan batas kawasan hutan.
Dalam sistem pengelolaan Sumber Daya Alam terdapat 2 ( dua )
paradigma, yaitu pengelolaan Sumber Daya Alam ( hutan ) yang berpusat pada
negara ( state based forest management ) dan pengelolaan Sumber Daya Alam
oleh masyarakat ( Community based forest management ). Paradigma pertama
menempatkan pemerintah dalam posisi sentral dan menentukan, sedangkan
masyarakat mendapat peran hanya sebagai perangkap. Sebaliknya, paradigma
kedua menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama, sedangkan pemerintah
hanya berperan sebagai fasilitator dan administrator untuk mendukung proses
tersebut.
Sebagian pihak berpendapat bahwa Undang – Undang No.41 Tahun 1999
tentang Kehutanan masih menganut paradigma pertama, khususnya dalam konteks
negara menguasai sumber daya hutan, walaupun harus diakui dalam undang –
undang ini terdapat banyak klausul dengan semangat paradigma kedua. Hal ini
dibuktikan, antara lain dengan adanya pengakuan yang lugas terhadap hutan
kemasyarakat ( penjelasan pasal 5 ), hutan adat ( pasal 1 angka 6 ), peranan
masyarakat terhadap pengawasan ( pasal 60 ayat 2 ), pasal 62 dan pasal 64,
masyarakat hukum adat ( pasal 67 ), peran serta masyarakat ( pasal 68 sampai
dengan pasal 70 ) dan gugatan perwakilan atau class action ( pasal 71 ).
2. Pengertian dan Unsur - Unsur Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Istilah Tindak Pidana adalah berasal dari Bahasa Belanda, yakni
“Strafbaar Feit“, yang apabila diartikan ke dalam Bahasa Indonesia sama
Universitas Sumatera Utara
27
artinya dengan “ Peristiwa Pidana “. Banyak sekali pendapat dari para ahli atau
sarjana hukum yang menggunakan istilah berbeda – beda, untuk menunjuk kepada
Peristiwa Pidana. Moeljatno menggunakan istilah “Perbuatan Pidana“, beliau
tidak menggunakan istilah Tindak Pidana. Menurutnya, perbuatan pidana
dirumuskan sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan
diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut.15
Sekarang ini semua undang – undang telah memakai istilah tindak pidana,
seperti Undang – Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang – Undang Tindak
Pidana Imigrasi, Undang – Undang Tindak Pidana Suap, dan seterusnya. Istilah
tindak pidana itupun tidak disetujui oleh Moeljatno, antara lain dikatakan bahwa
“tindak” sebagai kata “tindak pidana” baik dalam pasal – pasalnya sendiri maupun
Hukum pidana Belanda memakai istilah “Strafbaar Feit”,, kadang –
kadang juga “Delict” yang berasal dari bahasa Latin “Delictum ”. Hukum Pidana
negara – negara Anglo Saxon memakai istilah “offense” atau “criminal act ”
untuk maksud yang sama. Oleh karena KUHP Indonesia bersumber pada WvS (
Wetboek van Strafreht ) Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu strafbaar
feit. Selanjutnya timbul masalah dalam menerjemahkan istilah Strafbaar Feit itu
ke dalam bahasa Indonesia. Meoljatno dan Roeslan Saleh memakai istilah
perbuatan pidana meskipun tidak untuk menerjemahkan “strafbaar feit” itu.
Moeljatno menolak istilah peristiwa pidana katanya peristiwa pidana itu adalah
pengertian yang konket yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian yang tertentu
saja, contoh : matinya orang. Artinya hukum pidana tidak melarang orang mati,
tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain.
15 Moeljatno. ( 1983 ). Asas – Asas Hukum Pidana. Sinar Grafika : Bandung . Hal.1
Universitas Sumatera Utara
28
dalam penjelasannya hampir selalu pula memakai kata “perbuatan”. Istilah Feit
digunakan di Negeri Belanda dengan alasan bahwa istilah itu tidak meliputi hanya
perbuatan ( handelen ), tetapi juga pengabaian ( nalaten ). Pemakaian istilah Feit
pun disana dikritik oleh Van der Hoeven, karena katanya yang dapat dipidana
ialah pembuat, bukan feit itu. Senada dengan itu Van Hamel mengusulkan istilah
strafwaardig feit ( strafbaardig ), yang artinya patut dipidana. Oleh karena itulah
Hazewinkel Suringa mengatakan istilah “Delict” yang dipersengketakan , hanya
karena istilah “ Strafbaar Feit ” itu telah biasa dipakai.
Menurut Simons, Strafbaar Feit ialah perbuatan melawan hukum yang
berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang mampu bertanggung jawab.
Kesalahan dalam pengertian ini termasuk juga kesalahan dalam arti luas, yang
meliputi Dollus dan Culpa (kelalaian dan kealpaan). Van Hammel juga
menjelaskan bahwa Stafbaar Feit sebagai perbuatan manusia yang diuraikan oleh
undang – undang, melawan hukum dan patut atau bernilai untuk dipidana
(strafwaardig) dan dapat dicela karena kesalahan.16
1. Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti handeling kelakuan atau tingkah
laku;
Ia merumuskan bahwa
strafbaar feit itu adalah kelakuan orang (menseijke gedraging ) yang dirumuskan
dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (stafwaardig) dan
dilakukan dengan kesalahan.
Jika melihat pengertian – pengertian ini maka dalam pokoknya ternyata :
2. Bahwa pengertian Strafbaar Feit dihubungkan dengan kesalahan orang
yang mengadakan kelakuan tadi.
16 Ibid. Hal.225.
Universitas Sumatera Utara
29
Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifat perbuatannya saja , yaitu
sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar. Apakah yang
melanggar itu benar – benar dipidana seperti yang sudah dicantumkan tergantung
kepada keadaan bathinnya dengan perbuatannya itu yakni dengan kesalahannya
jadi perbuatan pidana dipisahkan dengan kesalahan. Lain halnya Strafbaar Feit,
disitu dicakup pengertian perbutan pidana dan kesalahan. Perbuatan pidana ini
kiranya dapat kita samakan dengan istilah Inggris, yaitu “Criminal Act ”. Pertama,
karena “Criminal Act” ini juga berarti kelakuan dan akibat, atau dengan kata lain
akibat dari suatu kelakuan yang dilarang hukum. Kedua, karena Criminal Act ini
juga dipisahkan dari pertanggung jawaban pidana yang dinamakan Criminal
Liability atau Responsibility. Untuk adanya Criminal Liability ( jadi untuk
dipidananya seseorang ) selain daripada melakukan Criminal Act ( perbuatan
pidana ) orang itu juga harus mempunyai kesalahan ( Guilt ). Hal ini dinyatakan
dalam kalimat Latin, “ Actus Non facit Reus, nisi Mens Sit Rea “ ( An Act Does
not make a person guilt , unless the mind is guilty ).
Sedangkan Sarjana Pompe menguraikan dua macam definisi tentang
Strafbaar Feit ini, yaitu :
1. Definisi yang bersifat Teoritis.
Maksudnya ialah berupa pelanggaran terhadap norma ( kaedah atau tata
hukum ) yang diadakan karena kesalahan pelanggar dan yang harus
dijatuhkan pidana untuk dapat memepertahankan tata hukum dan
menyelamatkan kesejahteraan umum yang sesuai dengan Undang –
Undang Dasar 1945.
2. Definisi yang bersifat Hukum Positif.
Universitas Sumatera Utara
30
Memberikan pengertian bahwa Strafbaar Feit adalah suatu peristiwa
yang oleh undang – undang ditentukan mengandung perbuatan
(Handelling) dan pengabaian (Nelaten), tidak berbuat atau berbuat pasif,
biasanya dilakukan dalam beberapa keadaan, merupakan bagian dari suatu
peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan ikut serta itulah yang disebut
sebagai uraian delik.
Lain lagi definisi yang diberikan oleh Sarjana VOS, beliau memberikan
pengertian yang singkat bagi Strafbaar Feit, yaitu kelakuan atau tingkah laku
manusia yang oleh peraturan perundang – undangan diberikan pidana atau sanksi.
Pada umumnya, tindak pidana disinonimkan dengan kata “Delict “ atau “Delik”,
yang berasal dari Bahasa Latin, yakni “Delictum”, yang jika kita artikan ke dalam
Bahasa Indonesia sendiri yang dimaksud dengan delik ialah “perbuatan yang
dapat dikenakan hukuman karena merupakan terhadap Undang – Undang Tindak
Pidana “.17
17 W.J.S.Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Penerbit Balai Pustaka :
Jakarta.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa batasan terhadap delik pada
umumnya adalah suatu perbuatan aktif atau pasif, yang untuk delik, materil
diisyarakatkan terjadinya akibat yang mempunyai hubungan yang kausal dengan
perbuatan yang melawan hukum formil dan materil dan tidak adanya dasar yang
membenarkan perbuatan itu. Sementara apabila kita melihat dalam KUHP ( Kitab
Undang – Undang Hukum Pidana ), pengertian dari Delik itu sendiri tidak
ditemukan. Tiap – tiap pasal hanya menguraikan unsur – unsur delik yang berbeda
– beda, sesuai dengan jenis perbuatan yang diaturnya. Perbuatan yang oleh aturan
hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dinamakan perbuatan
pidana yang disebut orang dengan delik. Tetapi tidaklah semua perbuatan yang
Universitas Sumatera Utara
31
melawan hukum atau yang bersifat merugikan masyarakat diberikan sanksi
pidana. Begitu pula, tidaklah dapat kita mengatakan bahwa hanya perbuatan –
perbuatan yang menimbulkan kerugian yang besar saja yang dijadikan perbuatan
pidana. Adalah kewajiban pemerintah untuk dengan bijaksana menyesuaikan apa
– apa yang ditentukan sebagai perbuatan pidana itu.
Penentuan itu juga dipengaruhi oleh pandangan – pandangan apakah
ancaman dan penjatuhan pidana itu adalah jalan yang utama untuk mencegah
dilanggarnya larangan – larangan tersebut. Jadi syarat utama dari adanya
“perbuatan pidana” adalah kenyataan bahwa ada aturan yang melarang dan
mengancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
Perbuatan melawan hukum yang tidak dilarang dan diancam oleh undang –
undang dengan pidana, tidaklah merupakan perbuatan yang menderita, yang
terkena oleh perbuatan itu. Tentang penentuan perbuatan apa yang dipandang
sebagai perbuatan pidana , kita menganut asas bahwa tiap – tiap perbuatan pidana
harus ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang – undang. Asas
demikianlah yang disebut sebagai “ asas legalitas ”.
b.Unsur – Unsur Tindak Pidana
Unsur adalah semua syarat - syarat yang harus dipenuhi bagi suatu
perbuatan untuk dapat dikategorikan sebagai perbuatan atau tindakan yang
melawan atau melanggar hukum. Menurut Van Hamel, unsur – unsur dari suatu
Tindak Pidana meliputi :
1. Adanya suatu perbuatan.
Universitas Sumatera Utara
32
2. Perbuatan itu harus ditentukan oleh hukum pidana tertulis (asas legalitas),
yang merupakan perbuatan melawan hukum.
3. Bernilai atau patut dipidana.
Sementara itu, menurut Van Bemellen, yang termasuk dalam unsur –
unsur dari Tindak Pidana diantaranya adalah :
1. Adanya unsur – unsur kesalahan.
2. Kemampuan bertanggung jawab
3. Sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut.
Simons menyatakan bahwa unsur – unsur dari suatu delik, hampir sama
dengan apa yang diuraikan oleh Van Hamel, yakni : 18
1. Merupakan suatu perbuatan manusia.
2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
3. Perbuatan dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya, dalam uraian diatas telah dijelaskan tentang pengertian tindak
pidana, dan secara khusus dalam hukum pidana dikenal sebuah pengkhususan
pada salah satu tindak pidana yang dilakukan oleh badan hukum atau dalam istilah
kerennya disebut dengan tindak pidana korporasi. Dalam perkembangan hukum
Indonesia, penggunaan istilah “korporasi“ merupakan sebutan yang lazim
digunakan dikalangan pakar hukum pidana untuk menyebutkan apa yang biasa
digunakan dalam bidang hukum lain, khususnya dalam bidang hukum perdata,
sehingga badan hukum ( rechtpersoon ) atau yang dalam bahasa Inggris disebut
sebagai Legal Entities atau Corporation.19
18 Leden Marpaung. Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Masalah Prevensinya. Sinar
Grafika .1997. Hal.9 19 Rudy Prasetya. ( 1989 ). Perkembangan Korporasi Dalam Proses Modernisasi. UNDIP
Press : Semarang. Hal.2.
Universitas Sumatera Utara
33
Konsep korporasi pada mulanya dikembangkan pada hukum romawi, lebih
dari seribu tahun yang lalu, tetapi sebegitu jauh hingga abad ke XVIII tidak
mengalami perkembangan. Dalam sistem hukum perdata Belanda yang sampai
saat ini masih dianut oleh sistem hukum di Indonesia, maka subjek hukum yang
dikenal di Indonesia ada dua, yaitu :
1. Manusia ( Persoon )
2. Badan Hukum ( Rechtpersoon ).
Dari pembagian subjek hukum tersebut diatas, apabila korporasi ini
merupakan suatu subjek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum, maka
korporasi termasuk dalam kualifikasi Badan Hukum ( Rechtpersoon ).20 Ada
beberapa pengertian tentang batasan korporasi yang dipaparkan oleh para ahli –
ahli hukum, Subekti dan Tjitrosudiro memberi pembatasan bahwa ynag
dimaksud dengan “ korporasi “ adalah suatu perseroan yang merupakan Badan
Hukum.21
20 Edi Yunara. ( 2005 ). Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi berikut
Studi.Kasus. PT.Citra Aditya Bakti : Bandung. Hal. 9. 21 Muladi & Dwipa Prijatna . ( 1991 ). Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum
Pidana. Bandung Press : Bandung . Hal.14.
Senada dengan pendapat tersebut diatas, sebagaimana dikemukakan
oleh Utrecht dan M.Soleh Djindang , yang mengungkapkan bahwa korporasi
adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama –
sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri sebagai suatu personifikasi.
Korporasi dapat dibagi berdasarkan macamnya, yakni Badan Hukum ( korporasi )
yang terbagi lagi atas badan Hukum yang Orisinil ( murni / asli ), dan Badan
Hukum tidak orisinil. Sedangkan menurut jenisnya badan hukum dapat dibagi
menjadi badan Hukum (korporasi) Publik, dan Badan Hukum ( korporasi ) privat.
Universitas Sumatera Utara
34
Terakhir menurut sifatnya, Badan Hukum terdiri atas Korporasi ( corporatie ) dan
yayasan ( stichting ).22
Ada juga pendapat lain yang dipaparkan oleh Aliansi Nasional Reformasi
KUHP tentang korporasi, yang menyatakan bahwa Korporasi atau badan hukum
adalah satu konsep tentang pribadi bayangan dalam hukum modern. Hukum
pidana modern mengkonstruksikan bahwa pelaku dari tindak pidana adalah
pribadi atau individu (naturalijk person), tetapi dalam perkembangannya, badan
hukum (rechts person) atau korporasi dapat juga melakukan kejahatan yang
menimbulkan kerugian publik. Korporasi biasa didefinisikan sebagai sekelompok
orang yang diperlakukan oleh hukum sebagai satu kesatuan, yaitu person yang
memiliki hak dan kewajiban terpisah dari hak dan kewajiban individu yang
membentuknya.
3. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Berbicara tentang konsep “liability“ atau pertanggung jawaban pidana,
dilihat dari segi falsafah hukum menurut pendapat seorang Filsuf besar dalam
bidang hukum pada abad ke – 20 , Roscoue Pound mengemukakan :” …I’ll use
the simple word “ Liability “ for the situation where by one may exact legaly and
other is legaly subjected on the exaction“. Bahwa untuk pertanggung jawaban
pidana tidak cukup dilakukannya pebuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu
harus ada kesalahan , atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas
22 H.Setiyono. ( 2005 ) .Kejahatan Korporasi. PT.Bayu Media : Malang . Hal.17.
Universitas Sumatera Utara
35
hukum yang tidak tertulis : “ Tidak dipidana, jika tidak ada kesalahan “ ( Geen
Straf Zonder Schuld, Ohne Schuld Keine Straf ). 23
Pound lebih lanjut mengatakan bahwa “ liability “ diartikan sebagai suatu
kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seorang
yang telah dirugikan. Ukuran ganti rugi tersebut tidak lagi dari nilai suatu
pembalasan yang harus dibeli, melainkan dari sudut kerugian, penderitaan yang
ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan, sehingga dengan demikian
konsepsi “liability” diartikan sebagai “reparation”, terjadilah perubahan arti
konsepsi “liabilty” dari “compotition for vengeance“ menjadi “reparation for
injur “ . Perubahan bentuk wujud ganti rugi dengan sejumlah uang kepada kepada
ganti rugi dengan penjatuhan hukuman secara historis merupakan awal dari
pertanggungjawaban atau “liability”.
24
1. Strict Liability Crimes
Pertanggungjawaban Pidana atau “Criminal Liability” adalah
sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata – mata, melainkan
juga menyangkut soal nilai – nilai moral atau kesusilaan umum yang dainut oleh
masyarakat atau kelompok – kelompok masyarakat. Dalam Hukum Pidana Inggris
dikenal dua macam pertanggungjawaban pidana, yakni :
2. Vicarious Liability
23 Moeljatno. ( 2002 ). Asas – Asas hukum Pidana. PT. Rineka Cipta : Bandung. Hal.153.
Pertanggung jawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar, dinamakan Leer van Het Materiele Feit ( Feit Materielle ). Dahulu dijalankan atas pelanggaran Tindak Pidana sejak adanya Arrest Susu Hari H.R.1916 Nederland, hal itu ditiadakan. Juga bagi delik – delik jenis Overtredingen Arrest Susu H.R.14 Februari 1916.
24 Wirjono Projodikoro. ( 1969 ). Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia. PT.Eresco :
Bandung. Hal.67.
Universitas Sumatera Utara
36
Ad 1. Strict Liability Crimes
Selain menganut asas “actus non facit neum nisi mens sit rea “ ( a
harmful act without a blame worthy mental state is not punishable ) hukum
pidana juga menganut prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak tanpa harus
dibuktikan ada atau tidaknya unsur kesalahan pada diri si pelaku tindak pidana.
Prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak ini menurut Hukum Pidana Inggris
hanya diberlakukan terhadap perkara pelanggaran terhadap ketertiban umum atau
kesejateraan umum.
Ad.2 Vicarious Liability
Adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada
seseorang atas perbuatan orang lain . Vicarious Liability hanya berlaku terhadap :
1. Delik – delik yang mensyarakatkan kualitas.
2. Delik – delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan
majikan.
Jika dibandingkan antara “strict liability“ dan ”vicarious liability“ tampak jelas
bahwa persamaan dan perbedaannya . Persamaan yang tampak , bahwa baik “stict
liability crimes” maupun “vicarious liability” tidak mensyaratkan adanya “mens
rea ” atau unsur kesalahan pada orang yang dituntut pidana. Pada pasal 36
Rancangan Undang – Undang Kitab Hukum Pidana tahun 2006 merumuskan
bahwa pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang
ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi
syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. Artinya bahwa tindak
pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat
pertanggungjawaban pidana. Ini berarti bahwa setiap orang yang melakukan
Universitas Sumatera Utara
37
tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus
ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan
diteruskannya celaan ( vewijtbaarheid ) yang objektif terhadap perbuatan yang
dinyatalan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku dan
secara subjektif kepada pemuatan tindak pidana yang memenuhi persyaratan
untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.
Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat
dipidananya pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa
pembuat tindak pidana tidak hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan
dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai
kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.
Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana,
dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya.25
Sudarto menegaskan bahwa dalam ruang lingkup asas
pertanggungjawaban pidana, disamping kemampuan bertanggung jawab,
kesalahan ( Schuld ) dan melawan hukum ( Wederechtelijk ) sebagai syarat untuk
pengenaan pidana ialah pembahasan masyarakat untuk pembuat. Dengan
demikian, konsepsi pertanggungjawaban pidana dalam arti dipidananya pembuat,
ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
26
25 Ibid. Hal.71. 26 Sudarto. (1986). Kapita Selekta Hukum Pidana . PT. Alumni : Bandung. Hal 33-34.
1. Ada suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang
2. Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan
3. Ada pembuat yang mampu bertanggungjawab
4. Tidak adanya alasan pemaaf
Universitas Sumatera Utara
38
Berikut ini penjelasan mengenai syarat – syarat pertanggungjawaban diatas.
Ad 1. Ada suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang
Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat melawan hukum
adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan yang sifat
tercela atau mana dapat bersumber pada Undang – Undang ( melawan hukum
formil atau formelle wedwerechttelijk ), karena bersumber pada masyarakat yang
sering juga disebut dengan bertentangan dengan asas – asas hukum masyarakat,
maka sifat tercela itu tidak tertulis. Sering kali sifat tercela dari suatu perbuatan itu
terletak pada kedua – duanya, seperti perbuatan menghilangkan nyawa orang lain
( pasal 338 KUHP ) adalah dilarang baik dalam undang – undang walaupun dalam
masyarakat adalah wajar setiap perbuatan yang menurut undang – undang,
walaupun kadang kala ada perbuatan yang tercela pula menurut Undang –
Undang, misalnya : perbuatan mengemis ( pasal 504 KUHP ) dan bergelandang (
pasal 505 KUHP ), sebaliknya ada perbuatan yang tercela menurut masyarakata
tetapi tidak menurut Undang – Undang.
Berpegang pada pendirian ini, maka setiap perbuatan yang ditetapkan
sebagai yang dilarang dengan mencantumkannya dalam peraturan (menjadi tindak
pidana) tanpa melihat apakah unsur melawan hukum itu atau tidak dalam
manusia, maka dengan demikian setiap tindak pidana itu sudah mempunyai unsur
melawan hukum. Artinya melawan hukum adalah unsr mutlak dari suatu tindak
pidana. 27
27 Dalam putusan Mahkamah Agung No.30/K/Kr/1969 tanggal 6 Juni 1960 dinyatakan bahwa “dalam setiap tindak pidana selalu ada unsur sifat melawan hukum dari perbuatan – perbuatan yang dituduhkan, walaupun ada dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan”.
Perkataan melawan hukum dalam KUHP yang berlaku saat ini kadang –
kadang disebutkan dalam rumusan tindak pidana dan kadang tidak. Menurut
Universitas Sumatera Utara
39
Schaffmeister, ditambahkannya kata melawan hukum sebagai salah satu unusur
dalam rumusan delik dimaksudkan untuk membatasi ruuang lingkup rumusan
delik yang ( telah ) dibuat terlalu luas. Ia menambahkan bahwa, tanpa
ditambahkannya perkataan melawan hukum mungkin timbul bahaya, yaitu mereka
yang menggunakan haknya akan termasuk kedalam ketentuan undang – undang
pidana.
Sedangkan alasan tidak dicantumkannya dalam tiap – tiap pasal dalam
KUHP adalah bilamana dari rumusan Undang – Undang, perbuatan yang
tercantum sudah sedemikian wajar perbuatan melawan hukumnya, sehinggga
tidak perlu dinyatakan secara eksplisit. Kedudukan sifat melawan hukum sangat
khas di dalam hukum pidana, bersifat melawan hukum mutlak untuk setiap tindak
pidana. Roeslan Saleh mengatakan bahwa memidana sesuatu yang tidak melawan
hukum tidak ada artinya “. Sementara itu Andi A Zainal Abidin mengatakan
bahwa salah satu unsur esensial delik ialah sifat melawan hukum (
wederrechtelijkheid ) dinyatakan dengan tegas atau tidak di dalam suatu pasal
undang – undang pidana, karena alangkah janggalnya kalau seseorang dipidana
yang melakukan perbuatan tidak melawan hukum“. Dengan demikian untuk dapat
dikaitkan seseorang melakukan tindak pidana, perbuatannya itu harus bersifat
melawan hukum.28
28 Abidin, Zainal. (1995). Hukum Pidana I. PT.Sinar Grafika: Jakarta . Hal.12.
Rancangan KUHP juga menentukan masalah melawan hukum
tindak pidana. Mulanya dalam pasal 15 ayat ( 2 ) Rancangan KUHP tahun 2000,
menentukan bahwa untuk dipidanya perbuatan yang dilarang dan diancam
Universitas Sumatera Utara
40
dengan pidana oleh peraturan perundang – undangan, perbuatan tersebut harus
juga bersifat melawan hukum.29
Dengan demikian, kesalahan merupakan konsekuensi atas pilihan sebagai
anggota masyarakat yang bebas sepanjang dalam koridor hukum. Sementara
pandangan ini justru melihat kesalahan bukan masalah “choice”, tetapi masalah
“character”. Pembuat bersalah melakukan tindak pidana bukan sebagai
Ad 2. Ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
Kesalahan ( schuld ) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran bathin
orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena unsur itu selalu melihat
pada diri si pelaku dan bersifat subjektif. Unsur kesalahan dan menemui keadaan
bathin pelaku.Istilah kesalahan (schuld) dalam hukum pidana adalah
berhubungan dengan pertanggung jawaban pidana (mengandung beban
pertangung jawaban pidana, yang terdiri dari kesengajaan (Dollus / Opzet) dan
kelalaian (Culpa). Kesalahan merupakan penilaian normatif terhadap tindak
pidana, perbuatannya dan hubungan keduanya yang dari situ dapat bahwa
pembuatnya dapat berbuat lain, jika tidak ingin melakukan tindak pidana.
Menurut capasity theory, kesalahan merupakan refleksi dari choice (pilihan) dan
freewill (kehendak) pembuat rindak pidana. Kesalahan merupakan kapasitas
pembuatnya untuk mengontrol perbuatannya. Dengan kata lain, dikatakan ada
kesalahan jika pembuat melakukan tindak pidana dalam kontrolnya.
Ketidakmampuan mengontrol perbuatan yang berujung pada dilakukannya tindak
pidana merupakan dasar untuk mencela pembuat.
29 Rancangan Kitab Undang - Undang Hukum Pidana ( RKUHP ) Tahun 2000.
Universitas Sumatera Utara
41
konsekuensi wujud dari kehendak bebasnya, tetapi lebih kepada karakter ( jahat )
yang ada pada dirinya. Seperti halnya unsur melawan hukum, unsur kesalahan ini
ada di sebagian rumusan tindak pidana, yakni kejahatan tertentu dan dicantumkan
secara tegas, ( misalnya pasal 104, pasal 179, pasal 204, pasal 205, pasal 362,
pasal 372, pasal 378, pasal 406 dan pasal 480 KUHP ) dan disebagian lagi tidak
dicantumkan, misal pasal 162, pasal 167, pasal 170, pasal 211, pasal 212, pasal
289, pasal 294 dan pasal 422 KUHP ).30
Suatu pandangan yang dikenal dengan ajaran Feit Materiel, terdapat dalam
teori hukum pidana. Dalam hal ini, penentu adanya kesalahan dan
pertangggungjawaban pidana dilakukan cukup dengan meninjau apakah pembuat
memenuhi seluruh rumusan tindak pidana. Dengan demikian, seseorang dapat
dipertanggung jawabkan dalam hukum pidana sepanjang dapat dibuktikan bahwa
perbuatannya telah memenuhi seluruh isi rumusan tindak pidana. Peranan
Korporasi yang semakin pesat telah memberikan dampak yang pesat dalam
kegiatan masyarakat yang harus diikuti dengan perkembangan di bidang hukum
pidana, sebab kecenderungan korporasi melakukan pelanggaran dalam mencapai
tujuan korporasi. Dibidang hukum pidana, keberadaan suatu badan hukum atau
badan usaha yang menyandang. Istilah korporasi diterima dan diakui sebagai
subjek hukum yang dapat melakukan tindak pidana serta dapat dipertanggung
jawabkan.
31
30 Adami Chazawi .(2002).Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. PT.Raja Grafindo Persada :
Jakarta . Hal 88.
Universitas Sumatera Utara
42
Ad.3. Ada pembuat yang mampu bertanggungjawab.
Menurut Pompe, dapat dipertanggungjawabkan berarti bahwa keadaan
jiwanya dapat menetukan perbuatan itu dipertanggungjawabkan kepadanya.
Masalah ada tidaknya pertanggungjawabkan pidana diputuskan oleh Hakim
karena hal ini merupakan pengertian yuridis bukan medis. Dapat
dipertanggungjawabkan ( toerekenbaarheid ) itu berkaitan dengan kesalahan
(schuld).32
1. Kemungkinan menentukan tingkah lakunya dengan kemauannya.
Dapat dipertanggungjawabkan berarti bahwa keadaan jiwanya dapat
menetukan perbuatan itu dipertanggungjawabkan kepadanya. Istilah di dalam
Pasal 44 KUHP itu terbatas artinya, tidak meliputi melawan hukum. Van
Bemellen, dapat dipertanggungjawabkan itu meliputi :
2. Mengerti tujuan nyata perbuatannya.
3. Sadar bahwa perbuatan itu tidak diperkenankan oleh masyarakat.
Ad.4. Tidak adanya alasan pemaaf
Alasan pemaaf ( Schuld duitsluitingsgronden ) menurut Moeljatno yaitu
merupakan alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan
perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak adanya kesalahan.33
31 Ibid. Hal.89. 32 Moeljatno. ( 2002 ). Asas – Asas hukum Pidana. PT. Rineka Cipta : Bandung. Hal.158.
Menurut pandangan beberapa sarjana/ahli hukum pidana, dasar peniadaan pidana
sebenarnya dapat dibagi dalam 2 ( dua ) bagian, yakni yang tercantum dalam
undang – undang dan yang terdapat diluar undang – undang ( yang diperkenalkan
oleh doktrin/yurisprudensi). Atau dengan kata lain dapat disebut sebagai “dasar
Universitas Sumatera Utara
43
pembenar” dan “dasar pemaaf” . Van Bemellen menyatakan bahwa terdapat
perbedaan antara keduanya, alasan pembenar meniadakan unsure melawan hukum
( yang artinya perbuatan itu sendiri tidak dapat dipidana ). Ini berarti bahwa jika
terjadi penyertaan, yaitu sesorang ikut serta sebagai pembantu, menyuruh
melakukan, memancing untuk melakukan delik itu, ia tidak dapat dipidana pula.
Disini ada unsure obyektif, yaitu perbuatan itu sendiri tidak dapat dipidana.34
33 Ibid. Hal.137. 34 Andi Hamzah. ( 1994 ). Asas – Asas hukum Pidana. PT.Rineka Cipta : Bandung. Hal. 143-145.
Lain haknya dengan dasar / alasan pemaaf yang meniadakan
unsurekesalahan atau unsur subyektif, jika terjadi penyertaan seperti tersebut
dimuka, orang itu tetap dapat dipidana (kalau yang ikut serta dapat
dipertangungjawabkan). Sementara Memory van Toelichting (MvT) tidak
mengadakan pembagian seperti itu, sehingga yang tergolong sebagai alasan
pemaaf sekaligus alasan(dasar) pembenar ialah seperti apa yang tercantum dalam
Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51 ayat (1) dan (2).
1. Pasal 44 : Perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang yang “kurang sempurna akal” atau karena “sakit berubah akal”.
2. Pasal 48 : Perbuatan pidana yang dilakukan karena pengaruh / sesuatu
kekuasaan. 3. Pasal 49 : Melakukan suatu tindak pidana dalam keadaan terpaksa / darurat
(noordweer ) dan ( noordweer exes ) dengan tujuan untuk mempertahankan diri / diri orang lain, mempertahankan kehormatan / harta benda sendiri / kepunyaan orang lain, daripada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga.
4. Pasal 50 : Melakukan / melaksanakan suatu perbuatan untuk menjalankan
peraturan undang – undang. 5.Pasal 51 (1): Melakukan suatu perbuatan untuk menjalankan perbuatan atas
perintah jabatan yang diberikan oleh orang yang berkuasa yang berhak akan itu.
Universitas Sumatera Utara
44
6. Pasal 51 (2) : Melakukan suatu perbuatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak
berhak / tidak sah.
Selanjutnya, membahas tentang pertanggung jawaban atas tindak pidana
korporasi, dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia dikenal 3 ( tiga )
sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana, yaitu :
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang
bertanggungjawab.
b. Korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab.
c. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab.35
Berkolerasi dengan perkembangan konsep korporasi sebagai subjek tindak
pidana, dapat dikemukakan bahwa dalam ketentuan umum KUHP Indonesia yang
masih digunakan sampai saat ini. Indonesia menganut badan mengamini bahwa
suatu Delik hanya dapat dilakukan oleh manusia. Sedangkan fiksi badan hukum
( rechtpersoon ) yang dipengaruhi pemikiran Von Savigny yang terkenal dengan
teori Fiksi ( fiction theory), yang tidak diakui dalam hukum pidana. Sebab,
Dari penjelasan tersebut dapat dikualifisir bahwa pertanggungjawaban
pidana korporasi dapat terbagi atas tiga subjek hukum, yaitu:
a. Pengurus korporasi
b. Korporasi dan pengurus korporasi
c. Korporasi saja.
35 Mardjono, ( 1989 ). Pertanggungjawaban Korporasi. Penerbit Universitas Diponegoro
Press : Semarang. Hal.7.
Universitas Sumatera Utara
45
pemerintah Belanda pada waktu itu bersedia mengadopsi ajaran hukum perdata ke
dalam hukum pidana.36
a. Tanggung jawab mutlak ( Stict Liability )
Mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, menurut teori
hukum terdapat 3 ( tiga ) jenis sistem tanggung jawab, antara lain :
b. Tanggung jawab berdasarkan Kesalahan.
c. Tanggung jawab berdasarkan Kelalaian.
F. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif ( yuridis normatif ),
yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan diajukan pada berbagai peraturan
perundang – undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan
permasalahan dalam skripsi. Penelitian yuridis normative ini disebut juga dengan
penelitian hukum doctrinal, sebagaimana yang dikemukakan oleh Wigjosoebroto
yang membagi penelitian hukum sebagai berikut :
a. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif
b. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas – asas dan dasar – dasar
falsafah (dogma atau doctrinal ) hukum positif.
c. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak
diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu.
36 Ibid. Hal.30.
Universitas Sumatera Utara
46
Menurut Jhony Ibrahim, dalam kaitannya dengan penelitian normative
( doktinal ) dapat digunakan beberapa pendekatan yang berupa : 37
1. Pendekatan Perundang – undangan ( statute approach )
2. Pendekatan Analisis ( analytical approach )
3. Pendekatan Historis ( Historical approach )
4. Pendekatan Filasafat ( Philosophical approach )
5. Pendekatan Kasus ( Case approach)
Skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan metode
pendekatan analisis ( Analytical Approach ) yaitu menganalisis bahan hukum
untuk mengetahui makna yang terkandung dalam istilah yang digunakan oleh
peraturan perundang – undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui
penerapannya dalam putusan – putusan hukum,38
37 Johnny Ibrahim., ( 2007 ). Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu
Media : Surabaya. Hal.300.
serta menggunakan metode
pendekatan kasus ( Case Approach ), yaitu suatu penelitian normatif yang
bertujuan untuk mempelajari norma – norma hukum atau kaidah hukum yang
dilakukan dalam praktek hukum. Kasus tersebut akan dipelajari untuk
memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormalan suatu aturan hukum
dalam prakteknya. Metode pendekatan kasus yang perlu dipahami bahwa alasan –
alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya harus
memperhatikan fakta – fakta materil berupa orang, tempat, waktu dan segala yang
menyertainya. Fakta materil tersebut diperlukan karena baik hakim maupun para
pihak akan mencari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan pada fakta
tersebut. Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah – kaidah atau
norma – norma dalam hukum positif yang dilakukan dan ditujukan pada peratuan
Universitas Sumatera Utara
47
perundang – undangan tertulis dari berbagai literatur yang berkaitan dengan
permasalahan dalam skripsi dan penerapannya dalam praktek.
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis putusan Mahkamah Agung
Jakarta Selatan untuk mengetahui sejauh mana implementasi hukum pidana
terhadap penegakan hukum di bidang kehutanan dengan tujuan untuk menemukan
norma hukum tertentu in concreto.
2. Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian skrispsi ini adalah data sekunder .
Adapun data sekunder tersebut diperoleh dari :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat
dan diterapkan oleh pihak – pihak yang berwenang, yaitu berupa KUHP
dan perundang – undangan.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi
atau bahan kajian kejahatan yang berkaitan denan tindak pidana
menyangkut perlindungan hutan, seperti seminar hukum, majalah –
majalah, karya tulis ilmiah tentang tindak pidana bidang kehutanan dan
beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan persoalan
diatas.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep – konsep
dan keterangan – keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia, dan lain sebagainya.
38 Ibid. Hal.30
Universitas Sumatera Utara
48
3. Metode Pengumpulan Data.
Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode Library Research (Penelitian
kepustakaan), yaitu melakukan penelitian dengan berbagai sumber bacaan seperti
peraturan perundang – undangan, buku – buku, majalah, internet, pendapat sarjana
dan bahan lainnya yang dapat menunjang skripsi ini.
4. Analisa Data.
Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan dan diurutkan,
kemudian diorganisir dalam satu pola, kategori dan uraian dasar. Analisa Data
dalam skripsi ini adalah analisa dengan cara Kualitatif, yaitu menganalisa secara
lengkap dan komprehensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh sehingga
dapat menjawab permasalahan – permasalahan dalam skripsi ini.39
39 Ronny Hanitijo Soemitro. ( 1982 ). Metode Penelitian Hukum. Penerbit PT.Ghalia
Indonesia : Jakarta. Hal.93.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan skripsi ini dirancang dengan susunan sebagai berikut : pada Bab
I berisi Bab Pendahuluan yang merupakan Latar belakang, permasalahan, tujuan
dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika
penulisan.
Bab II tentang pengaturan hukum pidana tentang tindak pidana di bidang
kehutanan berdasarkan ketentuan Undang – Undang Nomor 41 tahun 1999
tentang kehutanan.
Universitas Sumatera Utara
49
Bab III membahas tentang penelitian terhadap studi – studi kasus yang
dilampirkan dalam karya tulis penulis serta analisis kasus yang dilampirkan oleh
penulis.
Bab IV sebagai Bab terakhir dari karya tulis ini berisi kesimpulan dan
saran dari karya tulis penulis.
Universitas Sumatera Utara