LI Analisis Skenario C Blok 7 2015

30
1.1 Bagaimana penyesuaian fisiologis tubuh saat mendaki gunung? 1.2 Apa saja faktor yang mempengaruhi penyesuaian fisiologis tubuh saat mendaki gunung? Prinsip-prinsip utama yang terjadi pada aklimatisasi: 1. Peningkatan ventilasi paru yang cukup besar 2. peningkatan jumlah sel darah merah 3. peningkatan kapasitas difusi paru 4. peningkatan vaskularisasi jaringan perifer 5. peningkatan kemampuan sel dalam menggunakan oksigen sekalipun nilai pO2 rendah. Pajanan pO2 rendah secara mendadadak akan merangsang kemoreseptor arteri sehingga kemoreseptor tersebut akan meningkatkan ventilasi alveolus menjadi maksimal 1,65 kali di atas normal. Perubahan awal 1. Terjadinya Peningkatan Frekuensi Pernafasan. Selama minggu pertama adaptasi, terjadi perubahan yang bervariasi. Frekuensi pernafasan dan kedalamnya meningkat dalam darah, menyebabkan lebih banyak oksigen diangkut ke gelembung udara paru. Peningkatan frekuensi pernafasan dimulai pada jam awal kedatangan di ketingian kurang dari 2000 m. Hilangnya karbondioksida menyebabkan tubuh menjadi lebih alkalis (basa). Untuk mengkompensasi meningkatnya alkalinitas tubuh, ginjal akan mengeluarkan bicarbonate-unsur alkali dalam kencing. Adaptasi ini terjadi dalam 24-48 jam setelah hiperventilasi (nafas cepat) mulai.

description

tutorial

Transcript of LI Analisis Skenario C Blok 7 2015

Page 1: LI Analisis Skenario C Blok 7 2015

1.1 Bagaimana penyesuaian fisiologis tubuh saat mendaki gunung?

1.2 Apa saja faktor yang mempengaruhi penyesuaian fisiologis tubuh saat

mendaki gunung?

Prinsip-prinsip utama yang terjadi pada aklimatisasi:

1. Peningkatan ventilasi paru yang cukup besar

2. peningkatan jumlah sel darah merah

3. peningkatan kapasitas difusi paru

4. peningkatan vaskularisasi jaringan perifer

5. peningkatan kemampuan sel dalam menggunakan oksigen sekalipun nilai

pO2 rendah. Pajanan pO2 rendah secara mendadadak akan merangsang

kemoreseptor arteri sehingga kemoreseptor tersebut akan meningkatkan

ventilasi alveolus menjadi maksimal 1,65 kali di atas normal.

Perubahan awal

1. Terjadinya Peningkatan Frekuensi Pernafasan.

Selama minggu pertama adaptasi, terjadi perubahan yang bervariasi.

Frekuensi pernafasan dan kedalamnya meningkat dalam darah, menyebabkan

lebih banyak oksigen diangkut ke gelembung udara paru. Peningkatan

frekuensi pernafasan dimulai pada jam awal kedatangan di ketingian kurang

dari 2000 m. Hilangnya karbondioksida menyebabkan tubuh menjadi lebih

alkalis (basa). Untuk mengkompensasi meningkatnya alkalinitas tubuh, ginjal

akan mengeluarkan bicarbonate-unsur alkali dalam kencing. Adaptasi ini

terjadi dalam 24-48 jam setelah hiperventilasi (nafas cepat) mulai.

2. Meningkatnya Frekuensi Denyut Jantung.

Sel-sel tubuh memerlukan masukan oksigen yang teratur sehingga

jantung berdenyut lebih cepat untuk memenuhi kebutuhan. Kecuali di

ketinggian yang ekstrim, denyut jantung akan kembali ke normal setelah

aklamatisasi.

3. Perpindahan Cairan

Aliran darah ke otak meningkat untuk mencukupi kebutuhan otak

dengan volume oksigen yang mencukupi (sebanding dengan yang dapat

diperoleh di atas laut). Di paru-paru, kapiler paru mengalami konstriksi

(pengkerutan), meningkatkan resistansi aliran ke paru dan meningkatkan

tekanan darah di paru. Yang berbahaya adalah tekanan darah yang tinggi

Page 2: LI Analisis Skenario C Blok 7 2015

dalam arteri pulponalis menyebabkan cairan ”lari” dari kapiler dan tumpah ke

paru sehingga terjadi pembengkakan di paru.

Perubahan lanjutan

1. Meningkatnya Produksi Sel Darah Merah

Selama aklimitasi berlanjut, sumsum tulang berperan dengan

meningkatkan produksi sel darah merah. Sel-sel darah merah yang baru akan

berfungsi dalam darah setelah 4-5 hari, sehingga akan meningkatkan

kapasitas darah dalam pengangkut oksigen.

2. Meningkatnya Produksi 2,3 DPG (Diphosphoglycareta)

Dengan meningkatnya produksi sel darah menjadi peningkatan 2,3

DPG. Ini adalah fosfat organic yang membantu oksigen untuk bergabung

dengan sel-sel darah merah. Produksi myoglobin, protein intramuskuler

pembawa oksigen dalam sel-sel darah juga meningkat.

3. Meningkatnya Jumah Pembuluh Darah Kapiler.

Tubuh mengembangkan lebih banyak pembuluh darah kapiler untuk

merespon terhadap ketinggian. Ini merubah kecepatan penyerapan oksigen

dengan memperpendek jarak antara sel dan pembuluh darah kapiler.

a. Bagaimana perubahan fisiologi tubuh yang normal pada saat berada di

ketinggian ?(pada keadaan normal dan setelah berada di ketinggian)

Terjadi perubahan fisiologis yang signifikan terhadap kinerja paru saat berada

di ketinggian ataupun dataran rendah yaitu berpengaruh dalam Respons ventilasi.

Saat di ketinggian tekanan barometer menurun, ventilasi meningkat untuk

meminimalkan penurunan PaO2. Peningkatan ventilasi terjadi bila tekanan oksigen

inspirasi menurun sampai kira-kira 13,3 kPa (kilopascal) atau pada ketinggian 3000

meter dan tekanan oksigen alveolar kira-kira 8 kPa. Peningkatan ventilasi ini

merupakan akibat perangsangan hipoksia dari badan karotid yang derajatnya

berbeda tiap individu.

Hipoksia akut menyebabkan peningkatan ventilasi, setelah 15 menit terjadi

pengurangan hiperventilasi sekitar 25-30%; pengurangan ini terjadi akibat reaksi

sekunder neurotransmitter di sistem saraf pusat dan penurunan nilai metabolik

serebral, walaupun mekanismenya belum diketahui. Selanjutnya setelah beberapa

hari, ventilasi terus meningkat akibat kompensasi ginjal terhadap alkalosis

Page 3: LI Analisis Skenario C Blok 7 2015

respiratorik melalui ekskresi bikarbonat yang memperbaiki status asam basa

sehingga merangsang pernapasan.

Hiperventilasi karena ketinggian akan diikuti peningkatan curah jantung,

frekuensi jantung dan tekanan darah sistemik. Efek ini akibat perangsangan

simpatis system kardiovaskular yang menyebabkan perangsangan

kemoreseptorarteri dan peningkatan inflasi paru.

Selain itu mungkin juga merupakan akibat langsung efek hipoksia

miokardium yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah pulmoner.

Peningkatan curah jantung, vasokonstriksi hipoksik pulmoner dan rangsang saraf

simpatis pembuluh darah menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmoner rata-

rata yang selanjutnya dapat mengakibatkan hipertensi pulmoner serta peningkatan

kerja ventrikel kanan.

Fisiologi tubuh di ketinggian

1. Sistem respirasi

Ketinggian menyebabkan penurunan tekanan parsial oksigen (PO2)

inspirasi. Penurunan tekanan parsial oksigen menyebabkan penurunan

tekanan oksigen kapiler alveolar. Seiring dengan penurunan PO2, tubuh akan

mengkompensasinya dengan meningkatkan ventilasi. Respons ventilasi

merupakan keadaan fisiologi yang terjadi akibat ketinggian. Bila tekanan

barometer  menurun, ventilasi meningkat untuk meminimalkan penurunan

PO2.

PO2 darah yang rendah pada keadaan normal tidak akan meningkatkan

ventilasi alveolus secara bermakna sampai tekanan oksigen alveolus turun

hampir separuh dari normal. Sebab dari berkurangnya efek perubahan

tekanan oksigen pada pengaturan pernapasan berlawanan dengan yang

disebabkan oleh mekanisme yang mengatur karbondioksida dan ion hidrogen.

Peningkatan ventilasi yang benar-benar terjadi bila PO2 turun mengeluarkan

karbondioksida dari darah dan oleh karena itu mengurangi tekanan PCO2.

Penyebab langsung penurunan PCO2 adalah selalu hiperventilasi

alveolar(ventilasi alveolus dalam keadaan kebutuhan metabolisme yang

berlebihan). Hiperventilasi menyebabkan alkalosis respiratorik dan kenaikan

Page 4: LI Analisis Skenario C Blok 7 2015

pH darah. Hiperventilasi menggambarkan usaha tubuh untuk meningkatkan

PO2 dengan usaha membuang CO2 yang berlebihan dari paru sehingga

menimbulkan gejala sesak napas.

2. Sistem Kardiovaskular

Otot jantung seperti halnya otot rangka, menggunakan energy kimia

untuk menyebabkan kontraksi. Energy ini dihasilkan terutama dari

metabolisme oksidatif asam lemak dan sebagian kecil dari bahan makanan

yang lain, khususnya laktat dan glukosa. Karena itu, semakin berkurang

kandungan oksigen di udara, maka proses pembentukan energy pun akan

terganggu, dan suplai ke jantung pun akan ikut berkurang.

3. Sistem Aliran darah

Pada penderita hipoksia (hipoksia hipotoksik), aliran darah juga

terganggu akibat dari kompensasi tubuh tehadap sistem cardiovascular. Mula-

mula takikardi; kemudian bradikardia jika otot jantung tidak cukup mendapat

oksigen. Peningkatan tekanan darah yang diikuti dengan penurunan tekanan

darah jika hipoksia tidak diatasi.

4. Sistem Eskresi

Perubahan fungsi sistem ekskresi, seperti ginjal pada ketinggian 3200 m

sebagai efek langsung hipoksia sejalan dengan mekanisme kompensasi

adaptasi sistem lainnya. Pengeluaran urin dan ekskresi sodium ini juga

berhubungan dengan penurunan tekanan parsial Oksigen (PO2). Diuresis dan

natriuresis disertai ekskresi bikarbonat dan kalium sejalan dengan penurunan

inspirasi oksigen yang akut dan dimediasi oleh kemoreseptor perifer sensitive

oksigen. Ketika respon hiperventilasi hipoksia dimediasi oleh kemoreseptor

perifer, respon diuresis dan natriuresis hipoksia akan muncul selama 24-48

jam pertama bervariasi setiap individu hingga dampaknya bisa menyebabkan

dua sampai tiga kali peningkatan ekskresi protein dan urin yang

mekanismenya melibatkan perubahan permeabilitas kapiler. Dalam hal PO2

yang rendah pun, sel kortikal intestitial meningkatkan produksi eritropoietin

guna membantu oksigenasi ke jaringan, yang dilepaskan sejak 1-2 jam

pertama setelah paparan hipoksia dengan puncak pada 24-48 jam dan

menurun setelah beberapa minggu dan terjadi penekanan feedback.

Page 5: LI Analisis Skenario C Blok 7 2015

5. Sistem saraf

Apabila sistem syaraf kekurangan suplai oksigen dapat menyebabkan

ischemic pada jaringan, bila berkelanjutan dapat menyebakan nekrosis dan

kemudian sel mengalami degenerasi. Kekurangan oksigen pada kelenjar juga

dapat menyebabkan kurangnya produksi cairan endolimfe dan perolimfe yang

mengatur keseimbangan tubuh.

1.2 Bagaimana pengaruh pendakian gunung dengan cepat tanpa berhenti

terhadap tubuh?

3.1 Apa tujuan pemberian Oxygen pada kasus?

3.2 Apa pengaruh A dipapah turun gunung?

Penatalaksanaan

Penanganan yang dapat dilakukan terhadap penderita hipoksia adalah:

Pemberian oksigen

Merupakan tindakan memberikan oksigen ke dalam saluran pernafasan dengan alat

bantu oksigen. Pemberian oksigen dapat dilakukan meallui tiga cara, yaitu melalui

kanula, nasakm dan masker. Pemberian oksigen ini ditujukan untuk memenuhi

kebutuhan oksigen dan mencegah terjadinya hipoksia.

Penanganan pada daerah tinggi yaitu:

1) Turun segera

Dengan turun segera dari ketinggian dapat menyembuhkan gejala dalam beberapa jam,

namun misi naik gunung dapat tertunda

2) Istirahat di ketinggian yang sama

Diharapkan terjadinya proses aklimatisasi(penyesuaian ketersediaan O2 yang menurun

di dataran tinggi), namun gejala baru akan hilang dalam 24-48 jam.

3) Istirahat dan minum Acetazolamide, atau Deksametason, atau keduanya

Dengan Acetazolamide, gejala dapat hilang dalam 12-24 jam, namun ada efek

samping obat. Sedangkan pada Deksametason dapat menghilangkan gejala dalam

beberapa jam, namun hanya menyembunyikan gejala dan tidak terjadi proses

aklimatisasi.

4) Terapi oksigen hiperbarik

Page 6: LI Analisis Skenario C Blok 7 2015

Gejala akan hilang dalam beberapa menit, namun hanya dapat meningkatkan jumlah

O2 yang larut dalam darah arteri, sehingga memberikan arti yang terbatas pada

hipoksia stagnan, anemik, histotoksik, dan hipoksik.

Acute Mountain Sickness

Penyakit ketinggian dapat terjadi pada beberapa orang ketika berada di ketinggian

minimal 2.500 meter, tetapi gejala serius bisa saja tidak terjadi hingga berada di ketinggian

3.000 meter. Sulit untuk menentukan siapa yang mungkin akan terpengaruh oleh penyakit

ketinggian karena tidak ada faktor-faktor tertentu seperti usia, jenis kelamin, atau kondisi fisik

yang berkorelasi dengan kerentanan seseorang terhadap sakit karena ketinggian. Acute

mountain sickness ini sebenarnya lebih sering terjadi pada pria muda yang terlalu

bersemangat karena mereka lebih cenderung untuk mencoba melakukan pendakian cepat

dengan berlari menaiki gunung seperti beberapa superhero yang nekad (Fiore, 2010).

Acute mountain sickness adalah kelainan yang sangat umum di ketinggian. Pada lebih

dari 3.000 meter 75% orang akan mengalami gejala ringan. Terjadinya AMS tergantung pada

elevasi, laju pendakian, dan kerentanan individu. Banyak orang akan mengalami AMS ringan

selama proses aklimatisasi. Gejala biasanya mulai 12 sampai 24 jam setelah tiba di ketinggian

dan mulai penurunan keparahan sekitar hari ketiga. Adapun klasifikasi dari AMS yaitu ringan,

sedang, dan berat (Schommer, 2011).

Beberapa gejala yang bisa dilihat dari pendaki yang mengalami AMS ringan adalah

sakit kepala, mual & pusing, kehilangan nafsu makan, kelelahan, sesak napas, tidur

terganggu, dan perasaan malaise umum (Schommer, 2011).

Gejala cenderung lebih buruk pada malam hari dan ketika irama pernapasan menurun.

AMS ringan tidak mengganggu aktivitas normal dan gejala umumnya mereda dalam waktu

dua sampai empat hari sebagai aklimatisasi tubuh. Selama terjadinya gejala yang ringan, dan

hanya mengganggu, pendakian dapat melanjutkan ke tingkat menengah. Ketika hiking, adalah

penting untuk segera mengkomunikasikan gejala penyakit kepada teman seperjalanan.

Pada AMS sedang, akan sulit untuk beraktivitas normal, meskipun orang masih dapat

berjalan sendiri. Pada tahap ini, hanya terapi medikamentosa yang dapat membalikkan

masalah. Turun ke tempat yang lebih rendah sekitar 300 meter akan menghasilkan beberapa

perbaikan, dan 24 jam pada ketinggian yang lebih rendah akan menghasilkan perbaikan yang

signifikan. Orang harus tetap di ketinggian rendah sampai semua gejala sudah reda (sampai 3

hari). Pada titik ini, orang telah menyesuaikan dengan iklim untuk ketinggian itu dan dapat

mulai mendaki lagi.

Page 7: LI Analisis Skenario C Blok 7 2015

Tanda-tanda dan gejala AMS sedang meliputi sakit kepala parah yang tidak berkurang

dengan obat-obatan, mual dan muntah, kelelahan, sesak napas, serta penurunan koordinasi

(ataksia).

Tes terbaik untuk AMS sedang adalah menyuruh seseorang yang terkena AMS sedang

berjalan dengan tumit sampai ujung kaki membentuk garis lurus seperti yang dilakukan pada

tes kesadaran. Seseorang dengan ataksia tidak akan mampu berjalan lurus. Ini merupakan

indikasi yang jelas bahwa turun ke ketinggian yang lebih rendah perlu segera dilakukan. Hal

ini penting untuk menghindari sebelum ataksia mencapai titik di mana mereka tidak bisa

berjalan sendiri (yang akan memerlukan evakuasi tandu), seperti terlihat pada gambar 1.

Gambar 1. Evakuasi tandu terhadap pasien AMS sedang (Ruhaizad, 2012)

Dalam kasus AMS berat, terdapat beberapa peningkatan keparahan gejala, seperti sesak

napas saat istirahat, ketidakmampuan untuk berjalan, penurunan status mental, dan bocor

cairan di paru-paru. AMS berat ini mengharuskan pendaki untuk turun ke tempat yang lebih

rendah secepatnya dari ketinggian sebelumnya.

Ada dua kondisi serius yang berhubungan dengan ketinggian AMS berat, yaitu High

Altitude Cerebral Edema (HACE) dan High Altitude Pulmonary Edema (HAPE). HAPE

adalah kelainan yang lebih sering terjadi, terutama bagi mereka yang mampu beradaptasi

terhadap iklim. Tapi, ketika hal ini terjadi, biasanya menyerang kelompok orang yang sudah

mendaki terlalu tinggi dan terlalu cepat atau pendakian pada daerah yang sangat tinggi dan

tinggal di sana. Dalam kedua kasus ini kurangnya hasil oksigen mengakibatkan kebocoran

cairan melalui dinding kapiler dan memunculkan kelainan baik pada paru-paru atau otak

(Fiore, 2010).

High altitude cerebral edema adalah hasil dari pembengkakan jaringan otak dari

kebocoran cairan. Untuk gejalanya sendiri HACE dapat dilihat dari adanya sakit kepala, rasa

lemah, disorientasi, kehilangan koordinasi, penurunan tingkat kesadaran, kehilangan memori,

Page 8: LI Analisis Skenario C Blok 7 2015

halusinasi & perilaku psikosis, dan koma (Schommer, 2011).

Gejala ini umumnya terjadi setelah seminggu atau lebih pada daerah yang tinggi. Kasus

berat dapat menyebabkan kematian jika tidak ditangani dengan cepat. Turun ke tempat yang

lebih rendah dengan segera sekitar 600 meter ke bawah adalah upaya menyelamatkan nyawa

yang diperlukan. Ada beberapa obat yang dapat digunakan untuk pengobatan di lapangan, tapi

ini memerlukan pelatihan yang tepat dalam penggunaannya (Schommer, 2011).

Siapapun yang menderita HACE harus dievakuasi ke fasilitas medis untuk tindak lanjut

pengobatan.

High altitude pulmonary edema adalah kasus dimana terdapat hasil dari cairan yang

terbentuk di paru-paru. Cairan ini mencegah pertukaran oksigen yang efektif. Ketika kondisi

menjadi lebih parah, tingkat oksigen dalam aliran darah berkurang, yang menyebabkan

sianosis, gangguan fungsi otak, dan kematian (Schommer, 2011).

Gejala HAPE ini meliputi sesak napas pada saat istirahat, sesak di dada, batuk terus-

menerus membesarkan cairan putih, berair, atau berbusa, adanya kelelahan dan kelemahan,

perasaan sesak napas yang akan datang di malam hari, kebingungan, dan perilaku irasional

(Schommer, 2011).

Kebingungan, dan perilaku irasional adalah tanda-tanda bahwa oksigen tidak cukup mencapai

otak. Salah satu metode untuk pengujian diri sendiri untuk HAPE adalah untuk memeriksa waktu

pemulihan kita setelah pengerahan tenaga.

Grade Symptoms Signs Chest Xray

Mild Sesak napas saat melakukan HR (rest) < 90-100 Eksudat dalam paru-

kegiatan, batuk kering RR (rest) <20 paru kurang dari

dusky nailbeds 25%

Moderat Sesak napas saat istirahat, HR 90-110 Eksudatnya

E kelelahan, batuk serak RR 16-30 bertambah menjadi

cyanotic nailbeds 50% pada satu atau

kedua paru

Severe Sesak napas, Kelelahan HR > 110 Eksudat lebih dari

ekstrim, sesak Ketika RR > 30 50% pada kedua

berbaring (orthopnea) wajah & kuku sianosis, paru

sputum darah, koma

Klasifikasi dari HAPE dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi HAPE (Dietz, 2000)

Dalam kasus HAPE, turun ke tempat yang lebih rendah secepatnya sekitar 600 meter

ke bawah adalah hal yang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa. Siapapun yang

Page 9: LI Analisis Skenario C Blok 7 2015

menderita HAPE harus dievakuasi ke fasilitas medis untuk tindak lanjut yang tepat

pengobatan (Dietz, 2000).

Penanganan Acute Mountain Sickness (AMS)

Obat terbaik guna mencegah kerusakan lebih lanjut pada AMS adalah melakukan

aklimatisasi atau turun ke tempat yang lebih rendah. Gejala AMS ringan dapat diobati

dengan pembunuh rasa sakit untuk sakit kepala, acetazolamide dan deksametason. Hal ini

membantu untuk mengurangi keparahan gejala, tapi ingat, mengurangi gejala tidak

menyembuhkan masalah dan bahkan bisa memperburuk masalah dengan menutupi gejala

lain (Fiore, 2010).

Acetazolamide memungkinkan pendaki untuk bernapas lebih cepat sehingga

membantu metabolisme dengan persediaan oksigen yang lebih banyak, sehingga

meminimalkan gejala-gejala yang disebabkan oleh miskinnya oksigenasi yang sangat

membantu pada malam hari ketika kemampuan pernapasan menurun. Dosis pemberian

acetazolamide adalah 125 mg po setiap 12 jam, dan pendaki diharuskan untuk tidak

melanjutkan pendakiannya sampai gejala-gejala AMS hilang secara total. Namun,

acetazolamide tidak memproteksi sepenuhnya pendaki yang telah membaik dan ingin

melanjutkan pendakiannya. Acetazolamide ini sendiri merupakan obat sulfonamide

derivative, sehingga tidak dianjurkan untuk diberikan kepada pendaki yang menderita

alergi sulfa (Stephen, 2010).

Acute mountain sickness ini juga dapat ditangani dengan pemberian deksametason 4

mg per oral atau intramuscular setiap 6 jam sebanyak 2 dosis. Pendaki tidak boleh

melanjutkan pendakiannya sampai membaik kurang lebih 18 jam (Fiore, 2010).

Deksametason ini sendiri memiliki efek anti inflamasi dan anti alergi dengan pencegahan

pelepasan histamin. Pendaki yang mengalami AMS juga bisa diberikan terapi oksigen

hiperbarik menggunakan hyperbaric bag dengan kecepatan pemberian oksigen 4

liter/menit. Bentuk dari hyperbaric bag dapat dilihat di gambar 2 di bawah (Stephen, 2010).

Page 10: LI Analisis Skenario C Blok 7 2015

Gambar 2. Hyperbaric Bag (Dietz, 2000)

Penanganan High Altitude Cerebral Edema (HACE)

High altitude cerebral edema merupakan kasus lanjutan setelah seorang pendaki

mengalami AMS. Hal ini bisa terjadi akibat kurangnya oksigen sehingga menimbulkan

kebocoran kapiler yang menyebabkan edema karena akumulasi cairan di otak (Fiore, 2010).

Dalam penanganannya, pemilihan deksametason merupakan obat yang tepat, karena

deksametason ini adalah obat steroid yang kuat dan dapat menyelamatkan jiwa pada orang

dengan HACE, dimana obat ini bekerja dengan mengurangi pembengkakan dan mengurangi

tekanan dalam rongga kepala. Obat ini “membeli waktu” terutama pada malam hari ketika

mungkin saja terjadi masalah untuk turun. Tidaklah bijaksana untuk naik saat menggunakan

deksametason. Deksametason dapat sangat efektif. Misalnya, banyak orang yang lesu atau

bahkan koma akan membaik secara signifikan setelah menerima deksametason baik tablet

atau suntikan, dan bahkan tidak terkecuali para pendaki yang turun dengan bantuan (Fiore,

2010).

Pemberian deksametason dengan dosis awal 8 mg IM diikuti 4 mg IM/po setiap 6 jam

adalah penanganan yang dianjurkan. Pendaki gunung juga kadang-kadang membawa obat ini

untuk mencegah atau mengobati AMS. Perlu digunakan hati-hati, karena bagaimanapun juga

obat ini dapat menyebabkan iritasi lambung. Pada orang alergi terhadap obat sulfa,

deksametason juga dapat digunakan untuk pencegahan, dengan dosis 4 mg dua kali sehari

selama sekitar tiga hari. Ibuprofen (600 mg tiga kali sehari) juga dapat diberikan dan efektif

dalam menghilangkan sakit kepala akibat ketinggian. Terapi oksigen hiperbarik juga bisa

menjadi pilihan dalam menangani kasus HACE ini (Dietz, 2000).

Page 11: LI Analisis Skenario C Blok 7 2015

Gambar 3. MRI dari High Altitude Cerebral Edema (Dietz, 2000)

Penanganan High Altitude Pulmonary Edema (HAPE)

Patofisiologi HAPE sudah jelas berbeda dari AMS ataupun HACE. HAPE diawali

dengan adanya vasokontriksi dari pembuluh darah paru yang disebabkan oleh hipoksia,

sehingga terjadi perpindahan darah dari pembuluh darah menuju paru-paru dan menghasilkan

hipertensi paru-paru.

Sama seperti HACE, pendaki dengan diagnosis HAPE sangat diwajibkan untuk segera

turun. Pasien sebaiknya diangkut dengan tandu, karena berjalan dapat meningkatkan tekanan

arteri pulmonar yang akan memperburuk gejala. Usahakan juga pasien dalam keadaan hangat

agar tekanan arterinya tidak kembali meningkat.

Pemberian nifedipine merupakan terapi yang dianjurkan untuk kasus ini. Pasien

diharuskan mengunyah 10 mg + 10 mg yang ditelan di awal, dan dilanjutkan dengan 10 mg

po setiap 4 jam. Bila pasien koma, hancurkan nifedipine dan diminumkan kepada pasien.

Nifedipine ini bersifat memvasodilatasikan pulmonar dan juga menghilangkan hipertensi

pulmonar. Obat ini juga bisa meningkatkan saturasi oksigen, walaupun beresiko menimbulkan

hipotensi (Paralikar, 2010).

Selain nifedipine, penggunaan hyperbaric bag juga bisa dilakukan guna mempercepat

waktu perbaikan tekanan bagi tubuh pasien yang gagal beraklimatisasi. Bedrest dan

pemberian furosemide 80 mg tiap 12 jam juga dapat membantu terapi untuk pasien dengan

gejala HAPE (Dietz, 2000).

Gambar 4. HAPE chest X-ray (Dietz, 2000)

1. Pencegahan Kasus High Altitude Illness

Page 12: LI Analisis Skenario C Blok 7 2015

Pencegahan high altitude illness bisa difokuskan terhadap AMS, karena HACE dan

HAPE tak akan terjadi bila tidak diawali dengan AMS. Beberapa pedoman yang dapat diikuti

guna menjaga kenyamanan dalam pendakian antara lain (Schommer, 2011):

a. Jika mungkin, jangan berlari atau mendaki terlalu cepat dalam 24 jam pertama untuk

ketinggian yang tinggi. Mulai di bawah 3.000 meter dan seterusnya.

b. Jika mendaki dimulai di atas 3.000 meter, tingkatkan ketinggian sebanyak 300 meter

per hari, dan untuk setiap 900 meter dari elevasi yang diperoleh, ambil hari istirahat

untuk menyesuaikan diri.

c. Mendaki ke tempat tinggi dan usahakan tidur di tempat yang lebih rendah! Pendaki

bisa naik lebih dari 300 meter dalam satu hari selama bisa kembali turun dan tidur di

ketinggian yang lebih rendah.

d. Jika pendakian dimulai dari ketinggian moderat, jangan dulu mendaki sampai gejala

penyakit berkurang. Jadi bila gejala malah meningkat, usahakan untuk turun ke

tempat yang lebih rendah terlebih dahulu.

e. Perlu diingat bahwa setiap orang berbeda ketahanannya pada ketinggian yang

berbeda-beda pula. Pastikan setiap orang dalam tim kita benar-benar mampu

menyesuaikan dengan iklim dan ketinggian sebelum mendaki ke tempat yang lebih

tinggi.

f.Tetap terhidrasi dan minum dengan baik. Aklimatisasi sering disertai dengan

kehilangan cairan, sehingga kita perlu untuk minum banyak cairan untuk tetap

terhidrasi dengan baik (setidaknya 4-6 liter per hari). Output urin harus berlimpah

dan jernih, kuning pucat.

g. Kalau bisa beraktivitaslah pada cahaya di siang hari, hal ini lebih baik daripada tidur

karena pernapasan menurun selama tidur sehingga dapat memperburuk gejala.

h. Hindari tembakau, alkohol dan obat-obatan depresan lainnya termasuk, barbiturat,

penenang, obat tidur dan opiat seperti dihydrocodeine. Ini lebih lanjut menurunkan

ritme pernapasan saat tidur yang mengakibatkan memburuknya gejala.

i. Makan makanan berkalori tinggi sementara saat berada pada ketinggian.

j. Ingat: Aklimatisasi dihambat oleh kelelahan, dehidrasi, dan alkohol.

Acetazolamide adalah obat yang paling dicoba dan diuji untuk pencegahan dan

pengobatan penyakit ketinggian. Untuk pencegahan, 125-250 mg dua kali sehari mulai satu

atau dua hari sebelum dan berlanjut selama tiga hari setelah ketinggian tertinggi tercapai

merupakan hal yang efektif (Fiore, 2010). Konsentrasi puncak acetazolamide pada darah

antara satu sampai empat jam setelah pemberian tablet. Penelitian telah menunjukkan bahwa

pemberian profilaksis acetazolamide pada dosis 250 mg setiap 8-12 jam sebelum dan selama

Page 13: LI Analisis Skenario C Blok 7 2015

pendakian efektif untuk mengurangi gejala berat (sakit kepala, mual, sesak napas, pusing,

mengantuk, dan kelelahan) penyakit gunung akut (AMS). Fungsi paru lebih besar baik pada

subyek dengan AMS ringan dan subyek tanpa gejala. Para pendaki juga biasanya mengalami

kesulitan kurang tidur (Stephen, 2010).

Deksametason (steroid) adalah obat yang menurunkan pembengkakan otak dan

memperbaiki efek dari AMS. Dosis biasanya 4 mg dua kali sehari selama beberapa hari

dimulai dengan pendakian. Hal ini mencegah sebagian besar gejala penyakit ketinggian

berkembang. Namun perlu diingat bahwa deksametason adalah obat kuat dan harus digunakan

dengan hati-hati, hanya atas saran dari dokter serta harus digunakan untuk membantu

aklimatisasi oleh orang-orang yang cukup memenuhi syarat atau mereka dengan pengalaman

dalam melakukan penggunaannya (Paralikar, 2010)

Adaptasi Lingkungan

Mekanisme Adaptasi Terhadap Ketinggian

a. Adaptasi Fungsional

Setelah efek permulaan dan respon terhadap stress ketinggian, biasanya dicirikan dengan

menghilangnya gejala mountain sickness akut terjadi respon adaptasi yang berkembang secara

gradual kadang membutuhkan waktu beberapa bulan hingga beberapa tahun untuk

perkembangan yang lengkap. Frisancho (1979) menyebutkan beberapa mekanisme adaptasi

fungsional terjadi melalui aklimatisasi berhubungan langsung dengan ketersediaan oksigen

dan tekanan oksigen pada jaringan, terjadi melalui modifikasi :

Ventilasi paru-paru.

Volume paru-paru dan kapasitas difusi pulmoner.

Transport oksigen dalam darah.

Difusi oksigen dari darah ke jaringan.

Penggunaan oksigen pada tingkat jaringan.

Penduduk asli kota pada tempat tinggi beraklimatisasi terhadap tempat tinggi sejak

lahir atau selama pertumbuhan mempunyai kapasitas aerobic yang lebih tinggi daripada

subjek yang beraklimatisasi pada saat dewasa. Diantara subjek yang beraklimatisasi pada

tempat tinggi selama masa pertumbuhan hampir 25% variabilitas dalam kapasitas aerobic

dapat dijelaskan dengan faktor perkembangan dan dengan faktor genetis 20-25 % (Frisancho

et al 1995 dalam Tutiek Rahayu).

Page 14: LI Analisis Skenario C Blok 7 2015

Hubungan antara tingkat aktivitas pekerjaan dan aktivitas aerobic yang lebih besar

diantara subjek yang beraklimatisasi pada tempat tinggi sebelum umur 10 tahun daripada

setelah umur tersebut.Sehingga dapat dikatakan bahwa kapasitas aerobik normal pada tempat

tinggi berhubungan dengan aklimatisasi perkembangan dan fakor genetik tetapi ekspresinya

dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti aktivitas pekerjaan dan komposisi badan.

Kapasitas untuk beradaptasi pada tempat yang tinggi bervariasi pada tiap

individu.Beberapa orang tidak pernah beraklimatisasi dengan sukses sementara lainnya dapat

menyesuaikan diri tetapi tidak dapat bekerja dengan penuh. Salah satu penyebab stress

lingkungan di ketinggian untuk manusia yakni tekanan udara yang rendah yang menjadi

faktor keterbatasan signifikan dalam daerah ketinggian.

Presentase oksigen di udara pada ketinggian 2 mil (3,2 km) sama seperti sea level

(21%). Namun tekanan udara lebih rendah 30 % pada ketinggian yang lebih jauh disebabkan

molekul pada atmosfer lebih jarang sehingga letak molekul-molekul tersebut saling berjauhan.

Ketika kita menghirup udara pada sea level, tekanan atmosfer sekitar 1,04 kg per cm2 yang

menyebabkan oksigen dengan mudah melewati membrane permeable selektif paru menuju

darah. Pada ketinggian tekanan udara yang lebih rendah membuat oksigen sulit untuk

memasuki sistem vascular tubuh.Hasilnya berdampak pada hipoksia atau kekurangan oksigen.

Ketika kita bepergian ke daerah yang lebih tinggi tubuh kita mulai membentuk respon

fisiologis yang efisien.Terdapat kenaikan frekuensi pernapasan dan denyut jantung hingga dua

kali lipat walapun saat istirahat.Denyut nadi dan tekanan darah meningkat karena jantung

memompa lebih kuat untuk mendapatkan lebih banyak oksigen.Kemudian tubuh mulai

membentuk respon efisien secara normal yaitu aklimatisasi.Sel darah merah lebih banyak

diproduksi untuk membawa oksigen lebih banyak. Paru-paru akan lebih mengembang untuk

memfasilitasi osmosis oksigen dan karbondioksida. Terjadi pula peningkatan vaskularisasi

otot yang memperkuat transfer gas.

Ketika kembali pada level permukaan laut setelah terjadi aklimatisasi yang sukses

terhadap ketinggian, tubuh akan mempunyai lebih banyak sel darah merah dan kapasitas paru

yang lebih besar. Berdasarkan hal ini, Amerika dan beberapa Negara lain sering melatih para

atletnya di pegunungan. Akan tetapi, perubahan fisiologik ini hanya berlangsung singkat.

Pada beberapa minggu tubuh akan kembali pada kondisi normal.

b. Adaptasi Biokimia

Pada ketinggian didapati terjadinya stress reduktif yang juga mengakibatkan

peningkatan produksi radikal bebas oleh sistem transport electron mitokondria terutama pada

Page 15: LI Analisis Skenario C Blok 7 2015

kompleks I dan III. Pada hipoksia, terjadi penurunan jumlah oksigen yang tersedia untuk

direduksi menjadi H2O pada sitokrom oksidase.Terjadilah akumulasi ekuivalen pereduksi

yang menginduksi auto oksidasi kompleks mitokondria dan membangkitkan spesies oksigen

reaktif.

Hipoksia ini dapat menyebabkan peningkatan produksi spesies oksigen reaktif seperti

anion superoksida (O2-), radikal hidroksil (-OH), dan hydrogen peroksida (H2O2) dari sel

parenkim dan endotel vaskuler yang hipoksik.Maka dari itu, sel memiliki mekanisme

pertahanan terhadap radikal bebas yakni berupa sistem antioksidan sebagai adaptasi biokimia

dengan memiliki enzim-enzim antioksidan seperti superoksida dismutase (SOD), glutation

peroksidase, dan katalase.

c. Adaptasi Genetik

Faktor genetik berperan dalam adaptasi terhadap ketinggian dengan ditemukannya gen

yang selektif pada lingkungan hipoksia. Individu dengan alel dominan untuk saturasi oksigen

lebih tinggi mempunyai keuntungan selektif pada lingkungan tinggi yang hipoksia.

Belum banyak penelitian yang menghubungkan antara faktor genetik dengan ketinggian

geografis.Gelvis meneliti manusia yang tinggal di dataran tinggi Tibet untuk mengetahui

bagaimana protein melindungi enzim yang berperan dalam mekanisme perlindungan otot dari

bahaya oksidatif.Hasil penelitian mereka menyebutkan adanya adaptasi pada tingkat protein

yang menyebabkan orang Tibet mampu hidup di ketinggian.Simonson juga menemukan

adanya bukti genetik adaptasi orang Tibet di dataran tinggi. Hasil penelitian mereka

menunjukkan dengan akurat ternyata DNA orang Tibet tidak sama dengan orang yang hidup

di dataran tinggi Tiongkok. Mereka menemukan dua gen yaitu EGLN 1 dan PPARA yang

terletak pada kromosom manusia 1 dan 22. Peranan gen tersebut dalam adaptasi di dataran

tinggi tidak jelas, baik EGLN1 dan PPARA dapat menyebabkan penurunan konsentrasi

hemoglobin. Seluruh manusia mempunyai gen EPAS1, tetapi orang-orang Tibet mempunyai

versi gen yang spesial. Melalui proses evolusi yang panjang, individu-individu yang mewarisi

jenis gen ini mampu bertahan dan menurunkannya pada anak-anak mereka, sehingga jenis gen

spesial ini menjadi sesuatu yang sudah lumrah di seluruh penduduk.

Penelitian yang berhubungan dengan ketinggian untuk daerah ATPase6 mtDNA manusia

sudah pernah dilakukan oleh Ariningtyas dan Humayanti.Mereka meneliti variasi mutasi pada

populasi dataran rendah Cirebon dan dataran tinggi Kuningan.Hasil penelitian mereka belum

ditemukannya mutasi spesifik untuk populasi dataran rendah dan dataran tinggi, karena

mutasi A8701G dan A8860G yang ditemukan terdapat pada dua populasi yang diteliti.

Page 16: LI Analisis Skenario C Blok 7 2015

HIPOKSIA

Hipoksia merupakan suatu keadaan yang terjadi secara akut sebagai akibat dari tidak

adekuatnya oksigenisasi jaringan. Dulu dikenal dengan istilah anoxia, tapi tidak relevan

karena selama manusia hidup jaringan tidak pernah mengalami keadaan tanpa oksigen sama

sekali.

Klasifikasi Hipoksia

Menurut sebabnya hipoksia ini dibagi menjadi 4 macam (Suroto, 1995) :

1. Hypoxic – Hipoksia, yaitu hipoksia yang terjadi karena menurunnya tekanan parsial

oksigen dalam paru atau karena terlalu tebalnya dinding paru. Hypoxic – Hipoksia

inilah yang sering dijumpai pada penerbangan, karena semakin tinggi terbang semakin

rendah tekanan barometernya sehingga tekanan parsial oksigennya pun semakin kecil.

2. Anemic – Hipoksia, yaitu hipoksia yang disebabkan oleh karena berkurangnya

hemogloblin dalam darah baik karena jumlah darahnya yang kurang (perdarahan)

maupun karena kadar HB dalam darah menurun (anemia).

3. Stagnant – Hipoksia, yaitu hipoksia yang terjadi karena adanya bendungan sistem

peredaran darah sehingga aliran darah tidak lancar, sehingga jumlah oksigen yang

diangkut dari paru menuju sel menjadi berkurang. Stagnant hipoksia sering terjadi

pada penderita penyakit jantung.

4. Histotoxic – Hipoksia, yaitu hipoksia yang terjadi karena adanya bahan racun dalam

tubuh sehingga menggangu kelancaran pernapasan internal. Contohnya pada orang

yang mengkonsumsi alkohol dan narkotika, atau terkena racun sianida, maka

kemampuan sel untuk menggunakan oksigen yang tersedia menjadi menurun.

Faktor – faktor yang mempengaruhi hipoksia :

1. Ketinggian tempat

2. Kecepatan naik

3. Lamanya ketinggian

4. Suhu lingkungan

5. Kegiatan fisik

6. Faktor individual :

a. Toleransi perorangan

b. Jasmani

c. Emosi

Page 17: LI Analisis Skenario C Blok 7 2015

d. Aklimitasi

Tingkatan hipoksia berkaitan dengan tekanan atmosfer, ketinggian, dan saturasi oksigen

dalam darah, dibagi menjadi :

1. Indifferent stage

Kelainan biasanya muncul sejak ketinggian 5000 kaki. Kelainan berupa

memanjangnya adaptasi gelap. Oleh karena itu, bagi penerbang fighter diwajibkan

memakai masker oksigen sejak dari permukaan tanah pada malam hari.

2. Compensatory stage

Adanya kompensasi faali terhadap hipoksia, sehingga gejala hipoksia tidak terlalu

terlihat. Biasanya gejala yang nampak berupa pernapasan yang cepat dan dalam, serta

peningkatan dari nadi, sirkulasi, dan curah jantung.

3. Disturbance stage

Pada tingkat kompensasi faali sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan oksigen jaringan.

Gejala – gejala subjektif, meliputi :

a. Malas

b. Ngantuk

c. Euphoria

d. Pusing dan sakit kepala

Gejala – gejala objektif, meliputi :

a. Panca indera

Kedua penglihatan menurun tajam. Daya perabaan dan rasa sakit menurun atau

bahkan menghilang. Pendengaran adalah indera terakhir yang mengalami

gangguan.

b. Fungsi otak

Kemunduran kecerdasan adalah tanda yang pertama kali muncul. Daya ingat

jangka pendek dan kemampuan membuat keputusan menurun. Waktu reaksi

memanjang.

c. Sifat kepribadian

Tergantung sifat dasar dari penerbang. Bisa timbul euphoria, over confidence,

ataupun moroseness.

d. Fungsi psikomotor

Koordinasi gerak otot menurun. Terlihat adanya gerakan yang kaku dan patah-

patah, tulisan jelek, dan formasi pada saat terbang terganggu.

e. Gejala hiperventilasi

f. Cyanosis

Page 18: LI Analisis Skenario C Blok 7 2015

4. Critical stage

Pada tingkat akhir ini kesadaran menghilang karena kegagalan sirkulasi dan sstem saraf pusat

(Suroto, 1995).

Tingkat Hipoksia

TingkatKetinggian dalam kaki Saturasi oksigen

dalam darahBernapas udara Bernapas 100% O2

Indifferent 0 – 10000 34000 – 39000 95% - 90%

Compensatory 10000 – 15000 39000 – 42500 90% - 80%

Disturbance 15000 – 20000 42500 – 44800 80% - 70%

Critical 20000 – 23000 44800 – 45500 70% - 60%

Gejala – gejala objektif, meliputi :

a. Air hunger, yaitu rasa ingin menarik napas panjang terus menerus

b. Frekuensi nadi dan pernapasan naik

c. Gangguan pada cara berpikir dan konsentrasi

d. Gangguan dalam melakukan gerakan koordinatif, misalnya memasukkan paku ke

dalam lubang yang sempit

e. Sianosis, yaitu warna kulit, kuku dan bibir menjadi biru.

f. Lemas

g. Kejang – kejang

h. Pingsan dan sebagainya.

Time of Useful Consciousness (TUC)

Time of Useful Consciousness (TUC) adalah waktu efektif yang masih dapat

digunakan sebelum seseorang menderita serangan hipoksia pada tiap ketinggian, di luar waktu

itu kesadaran akan hilang. Waktu itu berbeda – beda pada tiap ketinggian, semakin tinggi

semakin pendek waktu tersebut. TUC ini juga dipengaruhi oleh kondisi badan dan kerentanan

seseorang terhadap hipoksia. TUC ini perlu diperhatikan oleh para awak pesawat agar mereka

dapat mengetahui berapa waktu yang tersedia baginya bila mendapat serangan hipoksia pada

ketinggian tersebut. Sebagai contoh : TUC pada ketinggian 22.000 kaki = 10 menit, 25.000

kaki = 3-5 menit, 28.000 kaki = 2,53 menit, 30.000 kaki = 1,5 menit, 35.000 kaki = 0,5 -1

menit, 40.000 kaki = 15 detik dan 65.000 kaki = 9 detik (Suroto, 1995).

Pengobatan hipoksia

Page 19: LI Analisis Skenario C Blok 7 2015

Pengobatan hipoksia yang paling baik adalah pemberian oksigen secepat mungkin

sebelum terlambat, karena bila terlambat dapat mengakibatkan kelainan (cacat) sampai

dengan kematian. Pada penerbangan bila terjadi hipoksia harus segera menggunakan masker

oksigen atau segera turun pada ketinggian yang aman yaitu di bawah 10.000 kaki. (Harding,

1988)

Pencegahan hipoksia

Pencegahan hipoksia dapat dilakukan dengan beberapa cara mulai dari penggunaan

oksigen yang sesuai dengan ketinggian tempat kita berada, pernapasan dengan tekanan dan

penggunaan pressure suit, pengawasan yang baik terhadap persediaan oksigen pada

penerbangan, pengukuran pressurized cabin, mengikuti ketentuan – ketentuan dalam

penerbangan dan sebagainya. Cara lain untuk pencegahan yaitu latihan mengenal datangnya

bahaya hipoksia agar dapat selalu siap menghadapi bahaya tersebut (Dhenin, 1978).

Oleh karena itu, kasus Hypoxia ini tidak terjadi pada penduduk setempat yang sudah terbiasa

hidup di daerah dataran tinggi tersebut dan bagi pendaki gunung diperlukan pos-pos

pemberhentian agar tubuh selalu dapat beradaptasi secara baik terus-menerus.

Kesetimbangan Pengikatan Oksigen oleh Hemoglobin

Keadaan tersebut dapat dijelaskan berdasarkan sistem reaksi kesetimbangan pengikatan

oksigen oleh hemoglobin:

Hb(aq) + O2(aq) ↔ HbO2(aq)

HbO2 merupakan oksihaemoglobin yang berperan dalam membawa oksigen ke seluruh

jaringan tubuh termasuk otak. Tetapan kesetimbangan dari reaksi tersebut adalah:

Kc = [HbO2] / [Hb][O2]

Pada ketinggian 3 km, tekanan parsial gas oksigen sekitar 0,14 atm, sedangkan pada

permukaan laut tekanan parsial gas oksigen sebesar 0,2 atm.

Kesetimbangan akan bergeser ke kiri

Berdasarkan azas Le-Chatelier, dengan berkurangnya gas oksigen berati kesetimbangan akan

bergeser ke kiri, dan berakibat kadar HbO2 di dalam darah menurun. Akibat yang ditimbulkan

dari keadaan tersebut, suplai oksigen ke seluruh jaringan akan berkurang. Hal inilah yang

mengakibatkan terjadinya rasa mual dan pusing, serta perasaan tidak nyaman pada tubuh.

Page 20: LI Analisis Skenario C Blok 7 2015

Kondisi tersebut akan mengakibatkan tubuh berusaha beradaptasi dengan memproduksi

hemoglobin sebanyak-banyaknya. Dengan meningkatnya konsentrasi hemoglobin akan

menggeser kembali kesetimbangan ke kanan dan HbO2 akan meningkat kembali seperti

semula. Penyesuaian ini berlangsung kurang lebih 2-3 minggu.

Dari penelitian, diketahui bahwa kadar hemoglobin rata-rata penduduk yang bertempat tinggal

di dataran tinggi akan memiliki hemoglobin lebih tinggi daripada penduduk yang bertempat

tinggal di dataran rendah.