Lembaga Pendidikan Islam
Transcript of Lembaga Pendidikan Islam
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Lembaga Pendidikan Islam
Dalam kamus Umum Bahasa Indonesia, kosakata lembaga memiliki empat arti, yaitu:
1. Asal mula (yang akan jadi sesuatu); benih (bakal binatang, manusia, dan tumbuhan; misalnya Adam, segumpal tanah yang dijadikan manusia pertama)
2. Bentuk (rupa, wujud) yang asli acuan3. Ikatan (tentang mata cincin dan sebagainya)4. Badan (organisasi) yang bermaksud melakukan suatu penyelidikan keilmuan
atau melakukan sesuatu usaha, misalnya bahasa Indonesia.
Dalam bahasa inggris, kata lembaga biasanya digunakan sebagai terjemahan dari kata institution, dan selanjutnya menjadi kata institusionalisasi atau institusionalization yang berarti pelembagaan. Dalam bahasa Arab kata lembaga biasanya merupakan terjemahan dari kata muassasah yang berarti foundation (dasar bangunan), establishment (mendirikan bangunan), firm (lembaga).
1. Macam-macam Lembaga Pendidikan IslamDi dalam al-qur’an dan al-hadis, secara eksplisit tidak disebutkan secara khusus mengenai adanya lembaga-lembaga pendidikan, sekolah atau madrasah. Yang disebutkan dalam al-qur’an dan al-hadis yaitu nama-nama tempat yang baik yang selanjutnya dapat digunakan untuk kegiatan pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya, seperti masjid, rumah, dan majelis. Lembaga-lembaga pendidikan selengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Rumah (al-bait)Fungsi rumah sebagai tempat pendidikan sesungguhnya dapat dilihat dari dua aspek dengan penjelasannya.
1. Dari segi pendidikan informal, yakni pendidikan dilakukan oleh kedua orang tua terhadap putra-putrinya. Pendidikan di rumah ini ditekankan pada pembinaan watak, karakter, kepribadian, dan keterampilan mengerjakan pekerjaan atau tugas keseharian yang bisa terjadi di rumah tangga.
2. Dari segi pendidikan nonformal, yakni pendidikan yang dilakukan di rumah yang bentuk materi pengajaran guru, metode pengajaran dan lainnya tidak dibakukan secara formal. Pendidikan nonformal dilakukn dirumah ini misalnya pendidikan yang berkaitan dengan penanaman kaidah, bimbingan
menbaca dan menghafal al-qur’an, praktik beribadah,dan praktik akhlak mulia.
3. Masjid dan SuffahDalam bahasa Indonesia, masjid diartikan rumah tempat bersembahyang bsgi orsng islam. Dalam perkembangan selanjutnya masjid berperan sebagai lembaga pendidikan islam, dan karenanya masjid dapat dkatakan sebagai madrasah yang berukuran besar yang pada masa permulaan sejarah islam dan masa-masa selanjutnya merupakan tempat menghimpun kekuatan umat islam baik dari segi fisik maupun mentalnya. Dengan demekian, masjid yaitu tempat melakukan shalat, madrasah, universitas, majelis nasional, dan pusat-pusat pemberian ftwa serta penggemblengan para pejuag dan patriot-patriot bangsa dari zaman ke zaman.
Berdasarkan uraian diatas tersebut diatas, terdapat dua peran utama yang dilakukan oleh masjid, dengan penjelasan sebagai berikut:
Pertama, peran masjid sebagai lembaga pendidikan informal dan nonformal. Peran mesjid sebagai lembaga pendidikan informal dapat dapat dilihat dari segi fungsinya sebagai tempat ibadah shalat lima waktu, idul fitri, idul adha, berzikir dan berdo’a. lembaga pendidikan nonformal dapat dilihat dari sejumlah kegiatan pendidikan dan pengajaran dalam bentuk halaqah (lingkaran studi) yang dipimpin oleh seorang ulama dengan materi utamanya tentang ilmu agama islam dengan berbagai cabangnya.
Kedua, peran mesjid sebagai lembaga pendidikan social kemasyarakatan dan kepemimpinan. Pendidikan yang pertama kali dilakukan di zaman Rasulullah SAW juga mengambil tempat di mesjid.
1. Al-kuttab,Surau, dan TPAMenurut sejarah islam, orang pertama dari penduduk Mekkah yang belajar menulis adalah Sufyn bin Ummayah bin Abdus Syamsyi dan Abi Qais bin Abdi Manaf bin Zaehab bin Khalib, dan yang mengajarkannya kepada kedua orang ini Basyar bin Abdul Malik yang pernah belajar menulis dari penduduk Hirah.
Menurut Ahmad Syalabi, bahwa tumbuhnya al-kuttab yang tugas pokoknya mengajarkan al-qur’an dan dasar-dasar agama islam berawal pada zaman permulaan islam, yaitu pada zaman pemerintahan khalifah Abu bakar. Selanjutnya di anatara guru al-kuttab ada yang kreatif dalam menciptakan metode yang menyerupai metode komprehensif sebagai standar pengajaran membaca dan menulis, yang mana metode ini paling baru dipakai dalam mengajar anak-anak yang baru mulai belajar membaca dan menulis. Keterangan tersebut diatas selain menunjukkan keberadaan al-kuttab di tengah-tengah masyarakat, juga memperlihatkan bahwa al-kuttab adalah lembaga pendidikan awal yang tergolong inovatif, kreatif, dinamis, demokratis dan egaliter.
Di surau ini anak-anak diajarkan tentang membaca al-qur’an, praktik ibadah shalat, dasar-dasar agama, akhlak, dan akidah. Hal ini dimungkinkan, karena pada masa
awal keberadaan surau di abad ke-18 M, keadaan peralatan transportasi masih amat terbatas, sehingga terpaksa dengan cara berjalan kaki. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya ada pula suarau yang kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan yang lebih besar dan tinggi lagi seperti hal pesantren sebagaimana yang dijumpai di jawa Barat. Berbagai lembaga pendidikan tersebut selanjutnya berubah namanya menjadi Taman Pendidikan Anak-anak (TPA) yang tersebar di dearah perkotaan maupun di pedesaan.
1. MadrasahMadrasah ialah isim masdar dari kata darasa yang berarti sekolah atau tempat untuk belajar. Madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan fenomena yang merata di seluruh Negara, baik pada Negara-negaraislam, maupun Negara lainnya yang di dalamnya terdapat komunitas masyarakat islam. Sebagai ahli sejarah berpendapat, bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan islam muncul dari penduduk Nisapur, tetapi tersiarnya melalui perdana Menteri Bani Saljuk yang bernama Nidzam al-muluk, melalui madrasah nidzamiah yang didirikannya pada tahun 1065M.
Menurut Abdul mujib dan Jusuf Mudzakir, bahwakehdirasab madrasah sebagai lembaga pendidikan setidaknya-tidaknya mempunyai empat latar belakang yaitu:
1. Sebagai manifestasi dan realisasi pembaruan system pendidikan islam2. Sebagai usaha menyempurnakan terhadap system pendidikan pesantren
kearah suatu system pendidikan yang tidak memungkinkan lulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum.
3. Adanya sikap mental pada sementara golongan umat islam, khususnya santri yang terpukau pada barat sebagai system pendidikan.
4. Sebagai upaya untuk menjembatani antara system pendidikan tradisomal yang dilakukan oleh pesnatren dan system pendidikan modern dari hasil akulturasi.
Berdasarkan catatan singkat tersebut dapat dikemukakan beberapa hal yang melatarbelakangi lahirnya madrasah di Timur Tengah sebagai berikut.
1. Madarsah lahir sejalan dengan meningkatkan bidang kajian ilmu agama islam yang tidak mungkin lagi dijarkan dimasjid.
2. Madrasah lahir sebagai lembaga pendidikan yang mempelajari ilmu agama islam secara lebih luas dan memdalam dibandingkan dengan lembaga pendidikan al-kuttab yang mempelajari ilmu agama islam secara terbatas dan tidak mendalam.
3. Al-ZawiyahKata zawiyah secara harfiah berasal dari kata inzawa,yanzawi, yang brrti mengambil tempat tertentu dari sudut masjid yang digunakan untuk I’tikaf (diam) dan beribadah. Zawiyah merupakan tempat berlangsungnya pengajian-pengajian yang mempelajari dan membahas dalil-dalil naqliyah dan aqliyah yang berkaitan dengan aspek agama serta digunakan para kaum sufi sebgai tempat untuk halaqah berzikir dan takafur untuk menngkatkan dan merenungkan keagungan ALLAh SWT.
Selain itu, Zawiyah sering pula digunakan untuk nama asrama atau pondok tempat beberapa tarekat tasawuf mengajarkan ajarannya kepada masyarakat yang berminat. Diantara tarekat yang menggunakan zawiyahsebagai tempatnkegiatannya adalah tareqat al-Qadiriyah, al-tijaniyah, al-Sanusiyah, al-Syadziliyah, dan al-Khulwitiyah.
Berdasarkan informasi tersebut, dapat dikemukakan beberapa catatan sebagai berikut.
1. Eksitensi (keberadaan) zawiyah ialah sesuatu yang rel, bukan fiktif; sesuatu yang benr-benar ada dan telah melakukan perannya yang amat signifikan dalam berbagai bidang.
2. Zawiyahbukan hanya terdapat di kawasan Timur Tengah saja, melainkan juga di Eropa dan Barat, bahkan di Asia.
3. Zawiyah, bukan hnaya berperan sebagai pusat pendidikan dan pelatihan bagi para calon guru tasawuf/tarekat, melainkan juga telah berperan sebagai lembaga pendidkan agama, tempat tinggal para tamu.
4. Al-RibathSecara harfiah, al-ribath artinya ikatan. Namun berbeda dengan kata al-‘aqad yang juga artinya ikatan. Al-ribath adalah ikatan yan mudah dibuka, seperti ikatan rambut seorang wnita. Berbagai aturan yang terdapat dalam al-ribath sebgaimana tersebut, banyak yang digunakan oleh lemabga pendidikan sekarang dengan sedikit modifikasi dan penyesuaian. Istilah, murid, mursyid, ibtidaiyah, mustawasithah, aliyah dan ijasah misalnya diambil dari istilah yang terdapat al-ribath.
1. Al-Maristan, dikenal sebagai lemaga ilmiah yang palingpenting dan sebagai penyembuhan dan pengobatan pada zaman emasan islam. Di anatara dokter yang paling terkenal kemampuan dan kemusyurannya di dunia islam dan di Negara Barat yaitu Mohammad bin Zakaria al-Razi. Ia pernah memimpin Maristan di Baghdad pada masa khalifah 1 Muktafa pada tahun 311 hijriyah.
2. Al-Qushur (istana)3. Hawanit al-Waraqin (took buku), pada zaman Arab jahiliyah terdapat
sejumlah pasar, seperti Ukadz, Majanah dan Dzul Majaz, dan di antara took-toko yang ada di pasar itu dijadikan tempat menjual buku pada zaman islam
4. Al-Shalunat al-Adabiyah (sanggar sastra), secara harfiah al-shalunat al-adabiyah dapat diartikan sebagai tempat untuk melkukan kegiatan pertunjukn pembacaan dan pengkajian sastra, atau sebagai sanggar atau teater budaya/
5. Al-Badiyah, secara harfiah dapat diartikan sebagai tempat mengajarkan bahasa Arab asli, yakni bahasa Arab yang belum tercampur oleh pengaruh berbagai dialek bahasa asing.
6. Al-Maktabat (perpustakaan), dilihat dari segi fungsinya, perpustakaan tersebut dapat dibagi 3 yaitu. Perpustakaan umum, kedua perpustakaan untuk umum khusus dan ketiga perpustakaan khusus.
7. Sifat dan Karakter Lembaga Pendidikan Islam8. Lembaga pendidikan islam bersifat holistic, terdiri dari lembaga pendidikan
informal, nonformal dan formal.9. Lembaga pendidikan islam bersifat dinamis dan inovatif
10.Lembaga pendidikan islam bersifat responsive dan fleksibel, yakni senantiasa menyesuaikan diri atau menjawab berbagai kebutuhan masyarakat.
11.Lembaga pendidikan islam bersifat terbuka, yakni dapat diakses atau digunakan seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai latar belakang keahlian, status social, ekonomi, budaya dll.
12.Lembaga pendidikan islam berbasis pada masyarakat.13.Lembaga pendidikan islam bersifat religious.
http://unkonvensional.wordpress.com/2012/12/03/lembaga-pendidikan-islam/ (14 january 2013. 10:36)
Baitul Hikmah (Bahasa Arab: الحكمة Bait al-Hikma) adalah perpustakaan dan بيت
pusat penterjemahan semasa era kerajaan Abbasiyyah di Baghdad, Iraq[1]. Ia dianggap
sebagai pusat intelektual dan keilmuan semasa Zaman Kegemilangan Islam.
Manuskrip saintifik terawal berasal dari Era Abbasiyyah.
[sunting]Latar belakang
Baghdad terkenal bukan sebagai pusat keilmuan semasa zaman Abbasiyyah. Sarjana-
sarjana zaman Abbasiyyah banyak menterjemah hasil kerja asing ke bahasa
Arab dan Parsi. Kerajaan Abbasiyyah juga membina perpustakaan yang besar, dan
menarik kedatangan sarjana dari Empayar Byzantine[2].
Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid didirikan Baitul Hikmah yang kemudian
disempurnakan oleh puteranya, Al-Makmun pada abad keempat. Baitul Hikmah
berfungsi sebagai pusat ilmu dan perpustakaan. Di situ para sarjana sering berkumpul
untuk menterjemah dan berdiskusi masalah ilmiah. Khalifah Harun Ar-Rasyid kemudian
Al-Makmun secara aktif selalu ikut dalam pertemuan-pertemuan itu.
Baitul Hikmah pada mulanya hanya berminat untuk menterjemah hasil kerja
orang Parsi, bermula dari bahasa Pahlavi, kemudian Syriac dan seterusnya dari
bahasa Greek. Oleh itu banyak terjemahan dilakukan dalam
bidang astrologi, matematik, pertanian, perubatan dan falsafah.
Rahsia membuat kertas yang mereka peroleh daripada banduan Cina semasa perang
Talas (751) merancakkan lagi penghasilan buku dan pembinaan perpustakaan.
Seterusnya konsep katalog perpustakaan diperkenalkan di Baitul Hikmah dan
perpustakaan lain di mana buku-buku disusun mengikut genre khusus dan kategori. (14
january 2013. 10:39 )
Baitul Hikmah
Oleh: Jauhar Ridloni Marzuk
KEMAJUAN sebuah peradaban biasanya berbanding lurus dengan penguasaan ilmu
pengetahuan. Mesir Kuno pada abad ke-5 sebelum Masehi, mampu memimpin dunia
dengan penguasaan ilmu pengetahuan yang tidak dimiliki oleh bangsa lainnya. Di masa
ketika manusia masih masih primitif, Mesir telah mampu membangun irigasi secara
teratur, menguasai ilmu seni pahat dengan lukisan dan patung-patung dewa yang
mempesona, ilmu astronomi hingga arsitektur. Bahkan menurut sebagian sejarawan,
huruf hyeroglif yang dipakai saat itu adalah sususan huruf pertama yang digunakan
oleh manusia.
Faktor seperti ini juga yang menjadi sebab gemilangnya peradaban–peradaban
setelahnya, seperti Yunani; Persia, Romawi hingga Islam.
Peradaban Islam mencapai puncak kejayaanya pada masa Dinasti Abbasiyah. Di masa
ini, Islam menjadi kiblat peradaban dunia. Ketika Barat dan belahan dunia lainnya
masih dirundung konflik dan penderitaan yang tidak kunjung berakhir, Baghdad telah
menjelma menjadi kota paling metropiltan di dunia. Taman-taman indah menghiasi
setiap sudut kota, lampu penerang bertebaran, bangunan-bangunan cantik dengan
arsitektur mengagumkan berdiri di sekeliling kota.
Penyebabnya bukan karena luas wilayah kerajaan yang mencapai 2/3 dunia, tapi
karena penguasaan ilmu pengetahuan yang tidak ada tandingannya.
Pada masa ini seniman, teknokrat, ilmuwan, pujangga, filsuf, dan saudagar
berkontribusi terhadap perkembangan di bidangnya masing-masing. Ilmu agama,
kesenian, industri, hukum, literatur, navigasi, filsafat, sains, sosiologi, dan teknik
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada masa ini juga lahir sebuah institusi
keilmuan modern pertama di dunia yang menjadi cikal bakal perkembangan ilmu
pengetahuan ini; Baitul Hikmah.
Nama Baitul Hikmah diambil dari kata ha-ka-ma- yang artinya bijaksana. Dari kata ini
juga keluar isitlah Hakim (orang yang bijaksana). Hal ini bukan tanpa alasan, menurut
Prof. Dr. Nazeer Ahmed, ini dikarenakan dalam Islam, seorang ilmuan bukan hanya
orang yang melihat alam dari luar, tetapi dia adalah orang bijak (man of wisdom) yang
melihat alam dari dalam dan menyatukan antara ilmu pengetahuan yang dia dapat ke
dalam pokok-pokok dasar segala sesuatu.
Jadi inti dari seorang ilmuan bukanlah terpaku pada pengetahuan untuk mencari ilmu
pengetahuan, tetapi realisasi dari dasar-dasar pokok itu untuk menyerap ciptaan Tuhan
dan keteraturan alam yang menunjukkan kebijaksanaan Tuhan.
Baitul Hikmah didirikan oleh Khalifah Harun Ar Rashid pada tahun 813 M dan terletak di
jantung kota Bahgdad. Walaupun pada awalnya hanya sebuah perpustakaan, tetapi
Baitul Hikmah bukanlah perpustakaan seperti yang kita kenal saat ini. Baitul Hikmah
bahkan lebih menyerupai universitas. Di sini adalah tempat pertemuan para intelektual,
pusat kajian dan diskusi, sanggar terjemah, laboratorium penelitian, dan tempat
penerbitan buku.
Baitul Hikmah menjadi pusat pertemuan ilmu-ilmu pengetahuan dari Barat (Yunani) dan
dari Timur (India, Persia dan China) yang selanjutnya dikembangkan oleh para
cendekiawan Islam menjadi berbagai ilmu pengetahuan, seperti matematika, filsafat,
astronomi, kedokteran, fisika bahkan juga metafisika.
Di tempat ini, buku-buku dari Barat dan Timur dikaji, didiskusikan, dikritisi, diterjemakan
dan dan kemudian ditulis ulang.
Dari India misalnya, berhasil diterjemahkan buku-buku Kalilah dan Dimnah maupun
berbagai cerita Fabel yang bersifat anonim. Berbagai dalil dan dasar matematika juga
diperoleh dari terjemahan yang berasal dari India. Selain itu juga diterjemahkan buku-
buku filsafat dari Yunani, terutama filsafat etika dan logika. Sedangkan karya-karya
satra diambil dari Persia.
Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya pada bidang ilmu eksakta saja, ilmu-ilmu
Naqli seperti Tafsir, Teologi, Hadits, Fiqih, Ushul Fiqh dan lain-lain juga mengalami
perkembangan signifikan. Perkembangan ini memunculkan tokoh-tokoh besar dalam
sejarah ilmu pengetahuan, seperti; Al-Kindi, Al-Khwarizmi, Muhammad Jakfar bin Musa,
Ahmad bin Musa, Abu Tammam, Al-Jahiz, Ibnu Malik At-Thai, Abul Faraj, Al-Farabi,
Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Misykawaih, hingga sejarawan besar Ibnu Khaldun sebagian
ulama yang belajar di Baitul Hikmah. Mereka lah yang berpengaruh besar terhadap
perkembagan ilmu pengetahuan selanjutnya, bukan hanya untuk Islam tapi juga Barat
dan Eropa.
Setelah meninggalnya Harus Ar-Rashid, pemeliharan Baitul Hikmah kemudian
dilanjutkan oleh penerusnya, Al-Ma’mun.
Tidak kalah dengan pendahulunya, di masa Al-Makmun, Baitul Hikmah terus
mengalami kemajuan. Al-Makmun mengundang para ilmuwan di seluruh dunia Islam
untuk berbagi ide, informasi, dan pengetahuan di perpustakaan ini. Ketertarikannya
terhadap filsafat juga mendorongnya melakukan terjemah besar-besaran terhadap
karya-karya dari Yunani.
Baitul Hikmah terus mengalami perkembangan di masa setelah Makmun, Al-Mu’tashim
dan Al-Watsiq, namun mengalami kemerosotan di masa Al-Mutawakkil, dan kemudian
musnah pada masa Al-Musta’shim akibat serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh
Hulagu Khan, cucu Genghis Khan, pada tahun 1258.
Namun Baitul Hikmah hancur diratakan dengan tanah, dan buku-bukunya dibuang
sungai. Konon, warna air Sungai Tigris yang melalui Bagdad, berubah menjadi merah
dan hitam selama seminggu. Merah dari darah para ilmuwan dan filsuf yang terbunuh,
sedangkan hitam dari tinta buku-buku berharga koleksi Baitul Hikmah yang luntur
setelah dibuang ke sungai itu.*
Penulis sedang kuliah di Al Azhar, Mesir. Aktif di Pusat Kajian Pemikiran dan Peradaban Islam, Nun Centre
http://www.hidayatullah.com/read/24924/20/09/2012/baitul-hikmah-dan-peranannya-terhadap-peradaban-islam.html (14 January 2013. 10:42)
KUTTAB SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
PENDAHULUAN
Keberadaan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia yang katanya mayoritas
Islam, masih dianggap sebelah mata. Bahkan banyak yang tidak mengerti bahwa
Madrasah Ibtidaiyah, Tsnawiyah, dan Aliyah termasuk Lembaga Pendidikan Formal.
Untuk memajukan Lembaga Pendidikan Islam, penting sekali bagi kita untuk
mempelajari bentuk-bentuk Lembaga Pendidikan Islam yang pernah ada.
Mempelajari perkembangan Lembaga Pendidikan Islam, tentulah dimulai dari
Lembaga Pendidikan Islam yang pertama kali ada, yaitu kuttab. Lembaga Pendidikan
Islam yang sudah ada sejak zaman Rasulullah.
Kuttab pertama kali ada di Arab. Bangsa Arab sendiri sebelum berkembangnya
Islam terkenal dengan budaya jahiliah. Mayoritas masyarakat Arab buta huruf dan
kurang tertarik mengembangkan pendidikan. Ketika Islam datang, hanya ada 17 orang
Quraisy yang mengenal tulis baca.
PENGERTIAN KUTTAB
Istilah kuttab telah dikenal di kalangan bangsa Arab pra-Islam; dan seperti
sebelumnnya kuttab menjalankan fungsi yang sama dalam Islam, yaitu sebagai
lembaga pendidikan dasar terutama mengajarkan tulis-baca. Pada saat datangnya
Islam hanya ada 17 orang Quraisy yang mengenal tulis-baca. Di tengah permusuhan
suku Quraisy, tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Rasul saw bersama pengikutnya
yang hanya sedikit. Ketika akhirnya mereka hijrah ke Madinah (622 M.) beberapa orang
dari suku Aws dan Khazraj (dua suku utama Madinah) dapat menulis dan membaca.
Menuruti ajaran Islam, Rasulullah saw. memberikan perhatian khusus pada soal-soal
pendidikan. Keterampilan tulis-baca yang merupakan materi utama
pendidikan kuttab- menjadi semakin penting sejalan dengan berkembangnya komunitas
Muslim Madinah. Kebutuhan paling penting, tentunya, adalah mencatat wahyu yang
diterima oleh Rasul saw. Tetapi tulis-baca ini juga dibutuhkan untuk memungkinkan
komunikasi antara umat Islam dengan suku dari bangsa lain. Peletakan tulis-baca
sebagai prioritas dapat kita lihat dengan peristiwa pembebasan beberapa tawanan
Perang Badr (2/624) setelah mereka mengajarkan tulis-baca kepada sekelompok
Muslim. Rasul saw juga memerintahkan Al-Hakam bin Sa’id untuk mengajar pada
sebuah kuttab di Madinah. Ini menunjukkan bahwa pendidikan telah menjadi perhatian
utama umat Islam sejak masa yang paling awal.
Pada mulanya, pendidikan kuttab berlangsung di rumah-rumah para guru (mu’allim,
mu’addib) atau di pekarangan sekitar masjid. Materi yang digunakan dalam pelajaran
tulis-baca ini pada umumnya adalah puisi dan pepatah-pepatah Arab yang
mengandung nilai-niiai tradisi yang baik. (Penggunaan Al-Quran sebagai teks
dalam kuttab baru terjadi kemudian, ketika jumlah Muslim yang menguasai Al-Quran
telah banyak, dan terutama setelah kegiatan kodifikasi pada masa kekhalifahan
‘Utsman bin ‘Affan). Kebanyakan guru kuttab masa awal Islam adalah nonMuslim,
sebab Muslim yang dapat membaca dan menulis yang jumlahnya masih sangat sedikit
sibuk dengan pencatatan wahyu Al-Quran.
Kuttab berasal dari akar kata taktib yang artinya mengajar menulis. Sementara
katib atau kuttab berarti penulis. Institusi tersebut hanya berupa tempat belajar baca
tulis bagi anak-anak.
Kuttab merupakan tempat belajar yang mula-mula lahir di dunia Islam. Pada
awalnya kuttab berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran menulis dan membaca
bagi anak-anak,
Kuttab sebenarnya telah ada di negeri Arab sebelum datangnya agama Islam.
Kuttab merupakan institusi pendidikan yang tertua dalam sejarah tarbiyah. Bisa
diibaratkan sebagai sebuah pesantren di Jawa. Kondisinya masih sangat sederhana.
Yang ada hanya seorang guru yang dikelilingi sejumlah murid.
Di antara penduduk Mekah yang mula-mula belajar menulis huruf Arab di kuttab
ini ialah Sufyan bin Umayyah bin Abdul Syams dan Abu Qais Abdul Manaf bin Zuhrah
bin Kilab.Keduanya belajar dari Bisyr bin Abdul Malik yang mempelajarinya dari hirah.
Kuttab dalam bentuk awalnya hanya berupa ruangan di rumah seorang guru.
Keistimewaan lembaga tradisional pertama dalam Islam ini, meskipun masih
sangat sederhana, tetapi memberikan kontribusi bagi umat hingga berdirinya sistem
madrasah pada abad-abad berikutnya.
Pendidikan jenis kuttab ini pada mulanya diadakan di rumah-rumah guru.
(mu’alim, muaddib). Setelah Nabi Saw. dan para sahabat membangun masjid, barulah
ada kuttab yang didirikan di samping masjid. Selain itu ada juga kuttab yang didirikan
terpisah dari masjid. Masa belajar di Kuttab tidak ditentukan, bergantung kepada
keadaan si anak. Anak yang cerdas dan rajin, akan lebih cepat menamatkan
pelajarannya. Sebaliknya anak yang malas akan memakan waktu yang lama untuk
menamatkan pelajarannya. Sistem pengajaran di kuttab ketika itu tidak berkelas. Para
murid biasanya duduk bersila dan berkeliling menghadap guru.
Pada awal pemerintahan Islam di Madinah, pengajar baca tulis di kuttab
kebanyakan non muslim, karena sedikit sekali kaum muslim yang bisa menulis.
Rasulullah pernah membebaskan para tawanan perang dengan syarat mengajari 10
orang muslim membaca dan menulis. Pada awalnya pengajaran baca-tulis tidak dinukil
langsung dari Al-Qur’an tetapi dari puisi dan syair bijaksana orang-orang Arab. Setelah
banyak kaum muslimin yang pandai menulis dan membaca, maka pengajaran baca
tulis di kuttab sumber nukil pun tidak lagi puisi dan syair tetapi Al-Qur’an.
JENIS-JENIS KUTTAB
Pada mulanya kuttab (maktab) berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran
menulis dan membaca bagi anak-anak, namun ketika ajaran Islam mulai berkembang,
pelajaran ditekankan pada penghafalan Al-Qur’an. Menurut catatan sejarah, kuttab
telah ada di negeri Arab sejak masa pra-Islam, walau belum begitu dikenal dan baru
berkembang pesat setelah periode bani Ummayah, namun seiring dengan meluasnya
wilayah kekuasaan Islam, jumlah pemeluk Islam pun semakin bertambah. Hal ini
menuntut dikembangkannya kuttab yang ada untuk mengimbangi laju pendidikan yang
begitu pesat. Pada perkembangan selanjutnya, selain kuttab-kuttab yang ada di masjid,
terdapat pula kuttab-kuttab umum yang berbentuk madrasah, yakni telah
mempergunakan gedung sendiri dan mampu menampung ribuan murid.
Kuttab jenis ini mulai berkembang karena adanya pengajaran khusus bagi anak-
anak keluarga kerajaan, para pembesar, dan pegawai Istana. Dan diantaranya yang
mengembangkan pengajaran secara khusus ini adalah Hajjaj bin Yusuf al-Saqafi
(w.714) yang pada mulanya menjadi muaddib bagi anak-anak Sulayman bin Na’im,
Wazir Abd al-malik bin Marwan.
Dua Jenis Kuttab
Ahmad Syalabi adalah ilmuwan pertama yang menjelaskan terdapatnya dua
jenis kuttabdalam sejarah pendidikan Islam. Perbedaan ini terutama didasarkan pada isi
pengajaran (kurikulum), tenaga pengajar dan masa tumbuhnya.
1. Kuttab jenis pertama adalah kuttab yang berfungsi mengajarkan tulis-baca dengan
teks dasar puisi-puisi Arab, dan dengan sebagian besar gurunya adalah non-Muslim
(setidaknya pada masa Islam yang paling awal).
2. Kuttab jenis kedua adalah yang berfungsi sebagai tempat pengajaran Al-Quran dan
dasar-dasar agama Islam. Di sinilah, menurut Syalabi, terjadinya kekeliruan
pemahaman oleh beberapa ilmuwan terdahulu, dengan menganggap kedua
jenis kuttab ini adalah sama. Ia mengambil contoh tiga orang ilmuwan: Philip K. Hitti,
Ahmad Amin, dan Ignaz Goldziher. Konsekuensinya memang cukup jelas.
Mempercayai bahwa tulis-baca Al-Quran dan dasar-dasar agama diajarkan
pada kuttab yang sama sejak masa Islam yang paling dini akan menjurus pada
kesimpulan bahwa anak-anak generasi awal Muslim mempelajari agamanya dari orang-
orang non-Muslim.
Di sinilah signifikansi perbedaan kedua kuttab ini menjadi terlihat
jelas. Kuttab jenis kedua tidak ditemui pada masa paling awal, ketika kuttab jenis
pertama sudah mulai berkembang. Pengajaran Al-Quran pada kuttab (sebagai teks)
baru mulai setelah jumlah qurra’ dan huffazh (ahli bacaan dan penghafal Al- Quran)
telah banyak. Sebelumnya pengajaran agama anak-anak dilangsungkan di rumah-
rumah secara non-formal.
Dengan semangat ilmiah yang tinggi, jumlah Muslim yang mengenal tulis-baca
serta menguasai Al-Quran berkembang sangat cepat, dan ketergantungan pada guru-
guru non-Muslim berangsur hilang. Hal ini dilengkapi dengan kontak umat Islam dengan
pusat-pusat kegiatan intelektual di luar Arabia sepanjang dan sesudah penaklukan.
Hanya sekitar sepuluh tahun setelah wafatnya Rasulullah saw, pasukan Islam telah
menguasai Syria, Irak, dan Mesir — daerah-daerah yang menjadi pusat kegiatan
intelektual saat itu. Peristiwa ini mendorong munculnya diversifikasi pengetahuan yang
dikenal oleh umat Islam dan pada gilirannya mempengaruhi kurikulum kuttab. Per-
kembangan berikutnya menunjukkan bahwa tulis-baca, puisi, Al-Qur’an, gramatika
bahasa Arab, dan aritmatika (berhitung dasar) menjadi bagian utama dari kurikulum
pendidikan level ini
Beberapa sumber Abad Pertengahan memberikan informasi yang saling berbeda
tentang usia anak memasuki pendidikan kuttab. Barangkali ini dapat juga dianggap
sebagai pertanda tidak adanya ketentuan yang baku. Ilmuwan Al-Andalus (Spanyol),
Ibn Hazm (w. 456/1064) menganggap bahwa usia lima tahun adalah ideal untuk
memulai pendidikan kuttab.
Ibn Al-Jawzi (w. 597/1200) memberitakan bahwa ia memulai pendidikan kuttab-
nya pada usia enam tahun, tetapi banyak di antara teman sekelasnya yang lebih tua
dari dia sendiri. Seorang ulama benama Ibn Al-’Adim baru masuk kuttab pada usia tujuh
tahun. Yang lain bahkan menunggu sampai berusia sepuluh tahun. Semua ini
menunjukkan tidak adanya keseragaman praktik tentang usia untuk memulai
pendidikan kuttab.
Perbedaan ini juga berlaku dalam penekanan materi pengajaran, sesuai dengan
kebutuhan daerah tertentu dan pertimbangan para ulamanya. Berikut ini adalah catatan
Ibn Khaldun (w. 808/1406) mengenai praktik pendidikan kuttab pada masanya, yang
menunjukkan perbedaan tersebut pada empat daerah yang berbeda. Pertama, umat
Islam Al-Maghrib (Maroko) sangat menekankan pengajaran Al-Quran. Anak-anak
daerah ini tidak akan belajar sesuatu yang lain sebelum menguasai Al-Quran secara
baik. Pendekatan mereka adalah pendekatan ontografi (mengenali satu bentuk kata
dalam hubungannya dengan bunyi bacaan). Itulah sebabnya, menurut Ibn Khaldun,
Muslim Maroko dapat menghafal Al-Quran lebih baik dari Muslim daerah mana pun.
Kedua, Muslim Spanyol (Al-Andalus). Kuttab daerah ini mengutamakan menulis
dan membaca. Al-Quran tidak diutamakan dibandingkan dengan puisi dan bahasa
Arab, misalnya. Penekanan dapat membaca dan menyalin Al-Quran tanpa harus
menghafalnya (seperti Muslim Maroko).
Ketiga, daerah Ifriqiyah (Afrika Utara = Tunisia, sebagian Algazay, dan sebagian
Libya). Di sini, begitu Ibn Khaldun, pendidikan dasar di kuttab mengutamakan Al-Quran
dengan tekanan khusus pada variasi bacaan (qira’at); lalu dilkuti dengan seni kaligrafi
dan hadis.
Daerah keempat yang dibicarakan oleh Ibn Khaldun adalah daerah Timur (Al-
Masyriq = Timur Tengah, Iran, Asia Tengah, dan Semenanjung India) yang menurut
pengakuannya tidak ia ketahui secara jelas dibandingkan tiga daerah yang
pertama. Secara umum daerah Timur ini menganut kurikulum campuran, dengan Al-
Quran sebagai inti; tetapi tidak memadukannya dengan keterampilan kaligrafi, sehingga
tulisan tangan anak-anak Muslim dari Timur tidak begitu baik.
Lepas dari perbedaan-perbedaan yang ada, kuttab berkembang pesat sejak
masa awal dan dalam perjalanan sejarah peradaban Islam mengalami perkembangan
yang menyesuaikan kepada berbagai latar belakang budaya. Dari lembaga dengan
belasan murid pada awalnya, kuttab, di beberapa tempat, menjadi lembaga yang
mengumpul ribuan murid, masih pada penghujung abad pertama Hijriyah. Kuttab
pimpinan Abu Al-Qasim Al-Balkhi (w. 105/723) di Kufah diberitakan mempunyai 3.000
orang murid. Meluasnya lembaga ini, barangkali, dapat kita bayangkan dari laporan
seorang pengembara, Ibn Hawqal (w. 367/977). Ketika ia mengunjungi Palermo, Sisilia,
di sana terdapat sekitar 300 orang guru kuttab— satu fakta yang mengindikasikan
terdapatnya ratusan kuttab di kota ini. Palermo hanyalah sebuah kota kecil bila
dibandingkan dengan Baghdad, Damaskus, Aleppo Istanbul, Jerussalem, Samarkand,
atau Kairo. Pada Abad Pertengahan beberapa kuttab di Kairo menyediakan asrama
dan akomodasi bagi murid-muridnya. Di daerah ini juga ada kuttab yang berafiliasi
dengan satu lembaga; pendidikan tinggi yang secara tidak langsung tentunya
membantu kelangsungan pendidikan murid-murid lulusannya ke level yang lebih tinggi.
Menurut Ahmad Syalabi terdapat dua jenis Kuttab dalam sejarah pendidikan
Islam. Perbedaan jenis Kuttab ini dilihat dari isi pengajaran (kurikulum), tenaga pengajar
dan masa tumbuhnya.
a. Kuttab yang berfungsi mengajarkan baca tulis dengan teks dasar puisi-puisi
Arab. Sebagian besar gurunya adalah non-muslim. Kuttab jenis ini berkembang pada
masa Islam awal.
b. Kuttab yang berfungsi sebagai tempat pengajaran Al-Qur’an dan dasar-dasar
agama Islam.
Perbedaan Kuttab menurut daerah
a. Kuttab di Al-Maghrib (Maroko)
Umat Islam di Maroko sangat menekankan pengajaran Al-Qur’an. Anak-anak
daerah ini tidak akan belajar sesuatu yang lain sebelum menguasai Al-Qur’an secara
baik. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ontografi (mengenali satu bentuk
kata dalam hubungannya dengan bunyi bacaan). Itulah sebabnya, menurut Ibnu
Khaldun, muslim Maroko dapat menghafal Al-Qur’an lebih baik dari muslim daerah
mana pun.
b. Kuttab di Spanyol (Al-Andalus)
Kuttab daerah ini mengutamakan menulis dan membaca. Al-Qur’an tidak
diutamakan dibanding dengan puisi dan bahasa Arab. Penekanan pada pelajaran
menulis melahirkan ahli-ahli kaligrafi yang dapat membaca dan menyalin Al-Qur’an
tanpa harus manghafalnya (seperti muslimMaroko)
c. Kuttab di Ifriqiyah (Afrika Utara=Tunisia, sebagian Algazy, dan sebagian Libya)
Kuttab di daerah ini menekankan pada variasi bacaan (qira’at) lalu diikuti kaligrafi
dan hadits
d. Kuttab di daerah timur (Al-Masyriq=Timur Tengah, Iran, Asia Tengah, dan Semenanjung
India)
Secara umum, Kuttab di daerah ini menganut kurikulum campuran dengan Al-
Qur’an sebagai inti, tetapi tidak memadukannya dengan ketrampilan kaligrafi, sehingga
tulisan tangan anak-anak muslim dari daerah timur tidak begitu baik.
SPI Pramadrasah:Rumah dan Kuttab
a. Periode pra-madrasah merupakan periode permulaan tumbuh dan lahirnya
lembaga-lembaga pendidikan Islam. Pendidikan Islam pada tahap yang paling awal ini
berlangsung secara informal di rumah-rumah. Rasulullah telah menjadikan rumah al-
Arqam Ibn Abi al-Arqam sebagai tempat belajar dan tempat pertemuan pertama dengan
para sahabatnya. Di rumah ini beliau menyampaikan dasar-dasar agama dan
mengajarkan al-Qur`an kepada mereka.
b. Di samping itu, Rasulullah juga telah menjadikan rumahnya di Mekkah sebagai
tempat berkumpul untuk belajar. Proses pendidikan Islam yang dilaksanakan secara
informal ini kiranya masih berkaitan dan bersentuhan dengan upaya-upaya dalam
rangka da’wah islamiyyah
c. Azyumardi Azra: pendidikan Islam pada awal pertumbuhannya bersentuhan
dengan upaya-upaya dakwah islamiyah. Hal ini terbukti dengan dijadikannya rumah al-
Arqam sebagai pusat pendidikan Islam sekaligus pusat dakwah Islam.
d. Melalui proses historis yang panjang, pendidikan Islam lambat-laun
memformalkan dirinya menjadi sebuah sistem pendidikan Islam yang berbeda dengan
dakwah Islam. Muhammad Jamal: keduanya dapat dibedakan dari segi obyek
formalnya. Obyek pendidikan Islam adalah subyek didik yang dididik dalam keluarga,
sekolah dan masyarakat, sedangkan obyek dakwah Islam adalah masyarakat yang
menyimpang dari ajaran Islam, sehingga para rasul diutus untuk meluruskannya.
e. Karena bersentuhan dengan dakwah, materi pendidikan Islam yang disampaikan
Rasulullah tidak terlepas dari hal-hal yang berkaitan dengan akidah Islam.
f. Ayat-ayat Makiyyah kebanyakan berisi tentang akidah islamiyah
g. Pada pekembangan berikutnya, pendidikan Islam mengalami transformasi yang
cukup berarti. Selain di rumah-rumah, pendidikan Islam juga dilaksanakan di kuttab-
kuttab.
h. Nakosteen: Kuttab adalah tempat belajar yang terletak di rumah guru di mana
para murid berkumpul untuk menerima pelajaran
i. Stanton: Kuttab berarti tempat terbuka di luar rumah di mana guru mengajak
murid-muridnya ke lapangan di sekitar masjid atau taman umum.
j. Syalabi: Kuttab dipandang sebagai lembaga pendidikan dasar tertua yang ada
sebelum Islam yang digunakan untuk belajar tulis-baca.
k. ketika Islam datang, kuttab mengalami perluasan fungsi. Ia bukan hanya untuk
belajar tulis-baca, tapi juga untuk belajar al-Qur`an yang khusus bagi anak-anak.
l. Stanton membagi Kuttab ke dalam dua bagian, yaitu kuttab pendidikan sekuler
yang mengajarkan ilmu-ilmu non-agama; dan kuttab pendidikan agama yang
mengajarkan al-Qur`an.
m. Syalabi: Bangunan kuttab masih terbilang sangat sederhana. Ada yang
berukuran kecil dan sempit yang dapat menampung beberapa murid saja, dan ada pula
yang berukuran besar dan cukup luas sehingga dapat menampung banyak
murid. Kuttab terus berkembang seiring perkembangan Islam. Dari yang pada mulanya
hanya memiliki belasan murid, pada penghujung abad Pertama Hijrah, sudah dapat
ditemukan beberapa kuttab yang memiliki ribuan murid. Bahkan sampai abad
Pertengahan, di Kairo terdapat beberapa kuttab yang menyediakan tempat tinggal bagi
murid-muridnya, dan sebagian lagi ada kuttab yang berafiliasi dengan lembaga
pendidikan tinggi.
n. Kurikulum kuttab tampak sederhana. Ia hanya mengajarkan tulis-baca, hapalan
al-Qur`an dan pokok-pokok ajaran Islam. Pada masa pemerintahan Umar Ibn al-
Khattab, muncul ide pembaruan. Umar menginstruksikan agar anak-anak di kuttab juga
diajarkan berenang, mengendarai kuda, memanah dan tatabahasa Arab. Instruksi Umar
ini kiranya dapat dilaksanakan oleh para guru hanya pada beberapa kuttab yang
memungkinkan. Berenang misalnya, hanya dapat dilaksanakan di kuttab-kuttab yang
terletak di pinggir sungai seperti Irak dan Mesir.
o. Sistem belajar di kuttab dapat dikatakan masih cenderung bersifat individual.
Menurut Makdisi, metode belajarnya tidak terlepas dari menghapal, mengulang,
memahami,muzakarah dan mencatat.
p. dengan metode ini, tradisi lisan (oral) telah berkembang sedemikian rupa
digunakan untuk menghapal al-Qur`an dan sebanyak mungkin materi-materi lain.
q. Sistem belajar yang fokus pada upaya pengembangan tradisi lisan (oral) ini,
telah menjadikan surat-surat pendek dan syair-syair Arab sebagai materi utamanya.
r. Kendala-kendala yang dihadapi lembaga kuttab untuk mengembangkan tradisi
tulis pada tahap awal ini adalah karena sastera al-Qur`an yang begitu tinggi, sehingga
tidak dapat ditandingi; di samping bahasa Arab pada waktu itu belum mempunyai
standar baku yang dapat digunakan sebagai patokan.
PERKEMBANGAN KUTTAB
1. Kuttab di Jaman Rasulullah
Di Kuttab ini diajarkan baca tulis dengan teks dasar puisi-puisi Arab. Pengajaran
Kuttab berlangsung di rumah para guru. Pasca muslimin hijrah ke Madinah, pendidikan
model kuttab ini diberlakukan oleh Rasulullah dengan mengambil tempat di masjid dan
rumah guru. Fungsi kuttab pun dibagi menjadi dua macam, pertama mengajarkan baca
tulis dan kedua mengajar Al-Qur’an dan dasar-dasar agama Islam.
2. Kuttab di jaman Khulafaur rasyidin
Seperti halnya pada zaman Rasulullah yang memusatkan pendidikan di kuttab,
maka begitu pula yang terjadi pada zaman Abu Bakar Sidiq. Kuttab tetap dipertahankan
sebagai lembaga tempat belajar membaca dan menulis. Keberadaan kuttab seiring
dengan pembangunan masjid, dan guru di Kuttab adalah para shahabat Rasulullah.
3. Kuttab di Zaman Umayyah
Sistem Kuttab yang mengajarkan membaca, menulis Al-Qur’an dan agama Islam
lainnya tetap dilanjutkan pada zaman Umayyah. Hanya saja tempatnya selain di masjid
dan rumah guru juga diselenggarakan di istana. Kuttab di istana bertujuan mengajarkan
anak-anak dari keluarga yang berada di istana Khalifah. Guru istana
dinamakan muaddib. Pendidikan istana mengajarkan Al-Qur’an, hadits, syair, riwayat
hukama, menulis, membaca, dan adab sopan santun.
BAB V INSTITUSI PENDIDIKAN ISLAM PRA MADRASAH
Munculnya berbagai bentuk pendidikan Islam yang tersebar dan menjamur
saat ini, tidak terlepas peran lembaga-lembaga pendidikan Islam pada masa
kejayaan Islam (masa Rasulullah Saw, Al-Khulafa’ Al-Rashidin, Bani Ummayah,
Bani Abbasiyah). Saat itu telah dikenal institusi pendidikan Islam, namun
pelaksanaannya masih pada tempat yang sederhana. Lebih jauh lagi George
Makdisi mengklasifikasikan institusi-institusi tersebut menjadi dua periode, yakni
periode pra-madrasah dan periode pasca-madrasah. Periode pra-madrasah yaitu:
1. Kuttab
Lembaga pendidikan dasar tempat mengajarkan baca tulis untuk anak-
anak.
2. Manazil al-‘Ulama’ (Rumah Kediaman para Ulama)
Kediaman para ulama dan ahli ilmu pengetahuan yang pernah digunakan
sebagai forum kajian ilmiah, di antaranya adalah rumah Ibn Sina, al-Ghazali, Ali
Ibn Muhammad al-Fasihi, Ya’qub Ibn Kilis, Abu Sulayman al-Sijistani, dan masih
banyak lagi.
3. Masjid dan Jami’
Ketika Rasulullah Saw, hijrah ke Madinah dengan semakin banyaknya
pengikut Islam dan semakin kompleksnya masalah-masalah yang perlu dikaji,
fungsi awal rumah sebagai wahana pendidikan dialihkan ke masjid-masjid seperti
masjid Nabawi dan Quba, yang dijadikan pusat bagi segala aktifitas pendidikan,
kemasyarakatan kenegaraan dan keagamaan. Hal ini karena masjid dianggap
sebagai institusi pendidikan yang merupakan instrumen yang pertama dan efektif
untuk membantu transisi masyarakat Arab pada waktu itu, dari masyarakat
primitif menjadi masyarakat yang lebih maju.
4. Qusur (Pendidikan Rendah di Istana)
Pada tahap ini Pendidikan dikenalkan pada anak-anak di lingkungan Istana.
Metode pendidikan dasar ini dirancang oleh orang tua murid agar selaras dengan
tujuannya dan sesuai dengan minat dan kemampuan anaknya.
5. Hawanit al-Waraqin
Pada masa ini bermunculan toko-toko buku sebagai agen komersil dan
sekaligus berfungsi sebagai center of learning. Ini berawal pada permulaan
Daulah ‘Abbasiyah, yang kemudian menyebar dengan cepat ke berbagai ibukota
dan Negara-negara berbeda di negeri Islam.
Para pemilik toko-toko (warraqun) ada yang telah dapat menulis kitab-kitab
monumental dengan karya-karyanya, diantaranya Ibn al-Nadim (995 M) yang
menulis kitab Fihrisat (Indent of Nadim), Ali bin Isa yang menulis bermacam-
macam kitab, dan Yaqut al-Hammi yang menulis Mu’jam al-Udaba, dan Mu’jam al-
Buldam.
6. Al-Salunat al-‘Adabiyyah (Majelis Sastra)
Lembaga ini merupakan pengembangan dari majelis-majelis al-Khulafa’ al-
Rashidin. Selain mengurus masalah-masalah pemerintahan, juga memberikan
fatwa-fatwa agama melalui forum masjid ataupun diluar masjid.
Forum ini mengalami kemajuan yang cukup pesat, karena sering diadakan
semacam perlombaan syair dan perdebatan para fuqaha dan diskusi diantara
para sarjana dari berbagai disiplin ilmu. Sehingga muncullah tokoh-tokoh yang
aktif hadir dalam forum tersebut :
a. Dari Kalangan Penyair: Abu Nuwas, Abu al-Itahiyah Da’bal, Muslim Ibn al-Walid
dan al-Abbas al-Ahnaf.
b. Dari kalangan musisi, Ibrahim al-Mawali dan anaknya bernama Ishaq.
c. Dari kalangan ahli Gramatika: Abu ‘Ubaidah, al-Ismail al-Kisa’I, Ibn-Siman, al-
Wa’iz dan al-Waraqid.
7. Maktabat (Perpustakaan)
Perpustakaan ini bersifat umum dan yang paling terkenal dimasanya
diantaranya perpustakaan Iskandariyah dan Bait al-Hikmah (House of wisdom)
pada masa daulah ‘Abbasiyah.
Pada perkembangan selanjutnya perputakaan telah menjadi salah satu
pusat pendidikan dan kebudayaan Islam. Perpustakaan dipakai juga oleh ilmuan
sebagai pusat researces akademik.
8. Al-Badiyah (Daerah Pedalaman)
Pada tahapan ini, banyak dari para pelajar yang sangat peduli akan
orisinalitas kebahasaan mereka, dan memutuskan unutk pergi belajar bahasa ke
ba’diyah (suku pedalaman/badui) bahkan banyak yang sampai menetap disana
beberapa waktu demi pendalaman bahasa mereka.
9. Bimaristan dan Mustashfayat
Bimaristan dan Mustashfayat atau dikenal dengan lembaga rumah sakit,
pertama kali dibangun oleh Abu Za’bal pada tahun 1825 M di Mesir. Dalam
institusi ini, selain digunakan sebagai tempat penyembuhan orang sakit, juga di
gunakan sebagai pusat pengajaran ilmu kesehatan. Institusi ini dikembangkan
lagi pada masa pemerintahan Al-Walid Ibn Abd Malik pada tahun 1888 M dimana
institusi ini telah memainkan peranannya yang sangat besar dalam sejarah
perkembangan pendidikan Islam.
BAB VI PENUTUP
Kegiatan pendidikan pada masa pra-Islam berlangsung pada Kuttab-Kuttab
dan pasar tradisional. Setelah datangnya Islam, berkembanglah lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang sangat mempengaruhi pendidikan di Arab.
Dengan mempelajari Lembaga Pendidikan di masa lalu, diharapkan agar
bermanfaat bagi perkembangan Lembaga Pendidikan Islam pada masa yang akan
datang.
http://psikologip.blogspot.com/2011/12/kuttab-sebagai-lembaga-pendidikan-islam.html (14 January 2013. 10:50)
Al-qushur (istana)
Istana tempat kediaman Khalifah, raja, sultan, da keluarganya, berfungsi sebagai pusat
pengendali kegiatan pemerintahan, juga digunakan sebagai tempat bagi berlangsungnya kegiatan
pendidikan bagi para putra Khalifah, raja, dan sultan. Mata pelajaran yang diberikan kepada para
putra raja tersebut antara lain berkenaan dengan ilmu pengetahuan, peradaban, bahasa, sastra,
keterampilan berpidato, sejarah kehidupan orang-orang para pahlawan dan orang-orang yang
sukses, serta keterampilan dalam memanah, mengendarai kuda, dan berenang. Guru yang
mengajar di istana di sebut Muaddib, yang menggambarkan seorang yang cakap dan
berkepribadian utamahttp://kelompokidi123.blogspot.com/2012/12/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_10.html (14 January 2013. 10:53)
TAFSIR AL-MISBAH QS. AL-MUJADALAH AYAT 11TAFSIR AL-MISBAH QS. AL-MUJADALAH AYAT 11
(Pemikiran M. Quraish Shihab, Tantang Ilmu Pengetahuan}A. Pendahuluan
Al-Qur’an Al-Karim memperkenalkan dirinya dalam berbagi ciri dan sifat salah satu di antaranya bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah. Al-Qura.an diturunkan oleh Allah kepada Muhammad melalui malikat Jibril tidak sekaligus tetapi berangsur-angsur memakan waktu yang cukup lama yaitu waktu Muhammad diangkat menjadi Nabi sampai belau wafat. Yang berisi petunjuk dan ajaran tantang segala kehidupan.
Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allahyang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi al-Qur’an al-Karim bacaan sempurna lagi mulia.[1]
M. Quraish Shihab adalah sosok seorang mufassir Indonesia cukup terkenal, beliau menafskan al-Qur.an supaya tetap menjadi petunjuk bagi umat manusia di dunia yang selalu aktual disetiap zaman dan tempat
Al-Qur’an disampaikan kepada kita secara mutawatir, baik melalui tulisan atau bacaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dan terpelihara dari perubahan dan pergantian. Sebagaimana telah disebutkan bahwa sedikitpun tidak ada keraguan atas kebenaran dan kepastian isi Al-Qur’an itu, dengan kata lain Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah. Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Banyak ayat-ayat yang menerangkan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah.
B. Pembahasan1. Biografi M. Quraish Shihab
Kehadiran Quraish Shihab di Indonesia semakin memperkaya khasanah keilmuan Islam khususnya dibidang tafsir al-Qur’an. Quraish shihab di lahirkan di Rappang, Sidrap, Sulawesi Selatan, 16 Februari 1944 M.
[2]Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab berasala dari keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya Prof. KH. Abdrahman Shihab di pandang sebagai tokoh pendidik yang memiliki reputasi baik dikalangan masyarakat Sulawesi Selatan.
Pendidikan formalnya di mulai dari sekolah dasar di Ujung Pandang, Shihab menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang dan melanjutkan di SMP di Ujung Pandang hingga kelas 2. Pada tahun 1956 ia berangkat ke Malang untuk melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyah. Khususnya di Jawa, ada cukup berkembang di lingkungan Pondok Pesantren Darul Hadits al-Fiqihiyah tempat Quraish Shihab Nyantri adalah ahlu al-sunah wa’al- Jama’ah yang dalam paham Islam menganut paham Asyariyah dan Maturidiyah.[3]
Pada tahun 1958 di berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar. Setelah selesai Quraish Shihab melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar pada fakultas ushuludinjurusan Tafsir Hadits dan memperoleh gelar Lc (S-1) pada tahun 1967, kemudian pada tahun yang sama Quraish Shihab melanjutkan studinya dengan fakultas yang sama spesialisasi bidang tafsir al-Quran. Dan pada tahun 1969 meraih gelar MA dengan tesis berjudul al-I’jas al-Tasyri ‘iy li al-Qur’anul Karim.
Sekembalinya di Ujung Pandang Qurish Shihab di percayakan untuk menjadi wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan pada IAIN Alauddin Unjung Pandang , selain itu ia juga di serahi jabatan-jabatan lain baik di dalam kampus seperti koodinator perguruan tinggi swasta (Wilayah VII) Indonesia Timur, maupun di luar kampus seperti pembantu pimpinan kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang dia juga sempat melakukan penelitian antara lain’“Penerapan kerukuna hidup beragama di Indonesia Timur” pada tahun (1975) dan Masalah “Wakaf Sulawesi Selatan” pada tahun 1978[4]
Pada 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas Al-Azhar. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang ilmu-ilmu Al-Quran. Dengan disertasi berjudul “Nazhm Al-Durar li Al-Biqa’iy, Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian dan Analisa terhadap Keotentikan KitabNazm ad-Durar Karya al-Biqa’i)”, ia berhasil meraih gelar doktor dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtat ma’a martabat al-syaraf al-’ula).
Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Quran di Program S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998.
Quraish Shihab bahkan dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian ia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara
Republik Arab Mesir merangkap Republik Djibouti yang berkedudukan di Kairo.
Ia juga dipercaya untuk menduduki berbagai jabatan lain, antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, anggota Lajnah PentashihAl-Quran Departemen Agama, dan anggota Badan Pertimbangan PendidikanNasional. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari’ah, Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian journal for Islamic Studies, Ulumul Qur ‘an, Mimbar Ulama, dan Refleksi jurnal Kajian Agama dan Filsafat.Di sela-sela segala kesibukannya itu, ia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri.
Di samping kegiatan tersebut di atas, M.Quraish Shihab juga dikenal sebagai penulis dan penceramah yang handal, termasuk di media televisi. Ia diterima oleh semua lapisan masyarakat karena mampu menyampaikan pendapat dan gagasan dengan bahasa yang sederhana, dengan tetap lugas, rasional, serta moderat.[5]
2. Metode Penafsiran al-Qur’ana. Metode Ijmali (Global)
Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global.[6] Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam mushhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa AL-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya.[7]
b. Metode Tahliliy (Analisis)Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Kalau kita lihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam tafsir tahliliy yang jumlah sangat banyak, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh bentuk tafsir.[8] Yaitu: Al-Tafsir bi al-Ma’tsur, Al-Tafsir bi al-Ra’yi, Al-Tafsir al-Fiqhi, Al-Tafsir al-Shufi, At-Tafsir al-Ilmi, dan Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i.
c. Metode Muqarin (Komparatif)Pengertian metode muqarin[9](komparatif) dapat dirangkum sebagai
berikut :
1) Membandingkan teks (nash)[10] ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama;
2) Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits[11] Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan;
3) Membandingkan berbagai pendapat ulama[12]’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
d. Metode Mawdhu’iy (Tematik)Yang dimaksud dengan metode mawdhu’iy ialah membahas ayat-ayat
Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikahi secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an dan Hadits, maupun pemikiran rasional.[13]
3. penafsiran al-Qur’an Sura Al-Mujadala ayat 11 (al-Misbah) XْمZ ]ك ل Zُه] الَّل ِح_ ]ْفXَس] َي حZوا ْف]اْفXَس] ال_ِس_ Xم]َج] ال ْف_ي حZوا ]ْف]َس[ َت XْمZ ]ك ل ِق_يَل] _َذ]ا ِإ Zوا آَم]ُن [ِذ_َيَن] ال uَه]ا َي
[ َأ ]ا ِق_يَل] َي _َذ]ا َوا َو]ِإ Zُز ZُشX اْنَج]اٍت} َد]َر] Xْم] Xِع_َّل ال Zوا Zَوَت َأ [ِذ_َيَن] َو]ال XْمZ Xك َم_ُن Zوا آَم]ُن [ِذ_َيَن] ال Zُه] الَّل ْف]ِع_ Xْر[ َي َوا Zُز ZُشX Zوَن] ْف]اْن ]ِعXم]َّل َت _م]ا ب Zُه] _يْر� َو]الَّل ِب َخ]
Terjemahnya: Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Larangan berbisik yang diturunkan oleh ayat-ayat yang lalu merupakan salah satu tuntunan akhlak, guna membina hubungan harmonis antar sesama. Berbisik di tengah orang lain mengeruhkan hubungan melalui pembicaraan itu. Ayat di atas merupakan tuntunan akhlak yang menyangkut perbuatan dalam majlis untuk menjalin harmonisasi dalam satu majelis.Allah berfirman “ Hai orang-0rang yang beriman, apa bila dikatakan kepada kamu” oleh siapa pun:berlapang-lapanglah[14]. Yaitu berupayalah dengan sungguh-sungguh walau dengan memaksakan diri untuk memberi tempat orang lain dalam majlis-majlisyakni satu tempat, baik tempat duduk maupun bukan tempat duduk, apabila diminta kepada kamu agar melakukan itu maka lapangkanlah tempat untuk orang lain itu dengan suka rela. Jika kamu melakukan hal tersebut, niscaya Allah akan melapangkan segala sesuatu buat kamu dalam hidup ini. Dan apabila di katakan:”Berdirilah kamu ketempat yang lain, atau untuk diduduk tempatmu buat orang yang lebih wajar, atau bangkitlah melakukan sesuatu seperti untuk shalat dan berjihad, maka berdiri dan bangkit-lah, Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamuwahai yang memperkenankan tuntunan ini.dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajatkemudian di dunia dan di akhirat dan Allah terhadap apa-apa yang kamu kerjakan sekarang dan masa akan datang Maha Mengetahui.[15]
Ada riwayat yang menyatakan bahwa ayat di atas turun pada hari Jum’at. Ketika itu Rasul saw. berada di suatu tempat yang sempit, dan telah menjadi kebiasaan beliau memberi tempat khusus buat para sahabat yang terlibat dalam perang Badr, karena besarnya jasa mereka. Nah, ketika majlis tengah berlangsung, beberapa orang di
antara sahabat-sahabat tersebut hadir, lalu mengucapkan salam kepada Nabi saw. Nabi pun menjawab, selanjutnya mengucapkan salam kepada hadirin, yang juga dijawab, namun mereka tidak memberi tempat. Para sahabat itu terus saja berdiri, maka Nabi saw. memerintahkan kepada sahabat-sahabatnya yang lain-yang tidak terlibat dalam perang Badr untuk mengambil tempat lain agar para sahabat yang berjasa itu duduk di dekat Nabi saw. perintah Nabi itu, mengecilkan hati mereka yang disuruh berdiri, dan ini digunakan oleh kaum munafikin untuk memecah belah dengan berkata “katanya muhammad berlaku adil, tetapi ternyata tidak.” Nabi mendengar keritik itu bersabda: “Allah merahmati siapa yang memberi kelapangan bagi saudaranya.” Kaum beriman menyambut tuntunan Nabi dan ayat di atas pun turun mengukuhkan perintah dan sabda Nabi itu.
Kata tafassaḫû dan ifsaḫû terambil dari kata fasaḫa yakni lapang. Sedang kata unsyuzû terambil dari kata nûsyuzyankni tempat yang tinggi. Perintah tersebut pada mulanya berarti beralih ketempat yang lebih tinggi. Yang dimaksud di sini pindah ketempat lain untuk memberi kesempatan yang lebih wajar duduk atau berada di tempat wajar pindah itu, atau bangkit melakukan suatu aktifitas positif. Ada yang memahaminya berdirilah dari rumah Nabi, jangan berlama-lama di sana, karena boleh jadi ada kepentingan Nabi saw. Yang lain dari yang perlu segera dia hadapi.
Kata majȃlis adalah bentuk jamak dari kata majlis. Pada mulanya berartitempat duduk. Dalam konteks ayat ini adalah tempat Nabi Muhammad saw. Membert tuntunan agama ketika itu. Tapi yang dimaksud di sini adalah tempat keberadaan secara mutlak, baik tempat duduk, tempat berdiri atau bahkan tempat berbaring. Karena tujuan perintah atau tuntunan ayat ini adalah memberi tempat yang wajar serta mengalah kepada orang-orang dihormati atau yang lemah. Seorang tua non-muslim sekalipun, jika anda-wahai yang muda-duduk di bus, atau kereta, sedang dia tidak mendapat tempat duduk, maka adalah wajar dan berdab jika anda berdiri untuk memberinya tempat duduk.
Ayat di atas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikanderajat orang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka memiliki derajat-derajat[16] yakni lebih tinggi sekedar beriman. Tidak disebutnya katameninggikan[17] itu, sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang didmilikinya itulah yang berperanan besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di luar ilmu itu.
Tentu saja yang di maksud dengan alladzȋnaûtû al-‘ilmu/yang diberi pengetahuan[18] adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berarti ayat di atas membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yang pertama sekedar beriman dan beramal shaleh, dan yang kedua beriman dan beramal shaleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal pengajarannya kepada pihak lain secara lisan, atau tulisan maupun dengan keteladanan.
Ilmu yang di maksud ayat di atas bukan hanya ilmu agama tetapi ilmu apapun yang bermanfaat. Dalam QS. 35: ayat 27-28. Allah meguraikan sekian banyak mahluk Ilahi, dan fenomena alam, lalu ayat tersebut ditutup dengan menyatakan bahwa: yang takut dan kagum kepada Allah dari hamba-hambanya hanyalah ulama, ini menunjukkan bahwa ilmu dalam pandangan al-Qur’an bukan hanya ilmu agama. Di sisi lain juga menujukkan bahwa ilmu haruslah menghasilkan khasyyah[19]yahni rasa takut dan
kagum kepada Allah, yang pada gilirannya mendorong yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya serta memanfaatkan untu kepentingan mahkluk, Rasul sering kali berdo’a (aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat).
4. Hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuanal-Qur’an adalah kitab petunjuk demikian hasil yang kita peroleh dari mempelajari
sejrah turunnya. Jika demikian apakah hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan.a. Ciri khas ilmu pengetahuan
Ciri khas nyata dari ilmu pengetahuan (science) yang tidak dapat diingkari-meskipun oleh para ilmuan –adalah bahwa ia tidak mengenal kata “kekal”. Apa yang dianggap salah di masa silam mislanya dapat diakui kebenarannya di abad modern.[20]
Persolan ilmiah silih berganti, bukan saja dalam lapangan pembhasan satu ilmu saja, tetapi juga dalam teori-teori setiap cabang ilmu pengetahuan. Dahulu persolan moral tidak mendapat perhatian ilmuwan, tetapi kini penggunaan senjata nuklir, misalnya tidak dapat dipisahkan dari pesolan tersebut; mereka tidak mengabaikan persolan moral dalam penggunaan senjata nuklir yang merupakan dari hasil kemajuan ilmu pengetahuan.[21]
Teori bumi datar yang merupakan satu hukum aksioma disatu masa misalnya, dibatalkan oleh teori bumi bulat yang kemudian dibatalkan oleh teori lonjong seperti lonjongnya telur. Mungkin tidak sedikit orang yang yakin bahwa pertimbangan logila atau ilmiah terutama menurut ilmu pasti adalah benar sedangkan keadaannya belum tentu demikian.[22]
b. Al-Qur’an di tengah perkembangan ilmuSebelum berbicara tentang masalah tersebut, terlebih dahulu perlu
diperjelas pengertian ilmu yang dimaksud dalam tulisan ini.Al-Qur’an menggunakan kata ‘ilm dalam berbagai bentuk dan artinya sebanyak 854 kali.ara lain sebagai “peroses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan” (QS. 2:31-32). Pembicaraan tentang ilmu mengantarkan kita kepada pembicaraan tentang sumber-sumber ilmu di samping klasifikasi dan ragam disiplannya.[23]
Berbeda dengan klasifikasi ilmu yang digunakan oleh para filosof muslim atau non-muslim pada masa-masa silam, atau klasifikasi belakangan ini di kenal seperti antara lain, ilmu-ilmu sosial, maka pemikiran Islam pada abad XX, khususnya setelah seminar internasional pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977 M, pengklasifikasian ilmu menjadi dua kategori :
1. Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu ilahi yang tertera dalam al-Qur’an dan hadis serta segala yang yang dapat diambil dari keduanya.
2. Ilmu yang dicari (acquired knowledge)termasuk sains ke alaman dan terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggadaan, variasi terbatas dan pengalihan antar budaya selama tidak bertentangan dengan syari’ah sebagai sumber nilai.[24].
Dewasa ini diakaui oleh ahli-ahli sejarah dan filsafat sains bahwa sejumlah gejala yang dipilih untuk dikaji oleh komunitas ilmuwan sebenarnya di tentukan oleh pandangan terhadap realitas atau kebenaran yang telah
diterima oleh komunitas tersebut. Dalam hal ini, satu-satunya yang menjadi tumpuan perhatian sains mutakhir adalah materi Alam.[25]
c. Korelasi antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuanMembahas hubungan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan
dinilai dari banyak atau tidaknya cabang-cabagn ilmu pengetahuan yang dikandungnya, tetapi yang lebih utama adalah melihat: adalah al-Qur’an atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan dan mendorongnya, karena kemajuan ilmu pengetahuan tidaknya diukur melalui sumbangan yang diberikan kepada masyarakat atau kumpulan ide dan metode yang dikembaangkannya, tetapi sekumpulan syarat-syarat pesikologi dan sosial yang diwujudkan, sehingga mempunyai pengaruh (positif ataupu negatif) terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.[26]
Dalam al-Qur’an ditemukan kata-kata “ilmu” dalam berbagai bentuknya yang terulang sebanyak 854 kali. Di samping itu banyak pula ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk menggunakan akal, pikiran, penalaran, dan sebagainya, sebagaimana yang dikemukakan oleh ayat-ayat yang menjelaskan hamatan ilmu pengetahuan. Antara lain[27]:
1. Sujektivitas: (a) suka tidak suka (baca antara lain, QS 43:78; 7:79); (b) taqdid atau mengikuti tanpaalasan, (baca antara lain, QS 36:67; 2:170).
2. Angan-angan dan dugaaanyang tak beralasan (baca antara lain, QS 10:36).3. Bergegas gegas dalam mengambil atau kesimpulan (baca antara lain, QS
21:37).4. Sikap angkuh (enggang untuk mencari atau menerima kebenaran) (baca
antara lain, QS 7:146),Di sampin itu, terdapat tuntutan-tuntutan antara lain;[28]
1. Jangan bersikap terhadap sesuatu tampa dasar pengetahuan (QS 17:36), dalam arti tidak menetapkan sesuatu kecuali benar-benar telah mengetahui duduk persoalan (baca antara lain, QS 36:17), atau menolaknya sebelum ada pengetahuan (baca antara lain QS 10:39).
2. Jangan menilai sesuatu karena faktor ekstren apapun-walaupun dalam pribadi tokoh yang diagungkan seperti Nabi Muhammad s.a.w.
Ayat macam inilah yang mewujudkan iklim ilmu pengetahuan dan yang telah melahirkan pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan Islam dalam berbagai disiplin ilmu. Korelasi kedua dapat ditemukan pada iyarat-isyarat ilmiah yang tersebar sekian banyak ayat al-Qur’an yang berbicara tentang alam raya dan fenomenanya.
C. PenutupDalam menghadapkan pemikiran yang melandasi segenap segala
usaha dalam lingkup ilmu pengetahuan atau sain serta berbagai konsepnya, pada jaran agama Islam, khususnya yang terkandung dalam al-Qur’an.
Petunjuk ini membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa sebagai hamba Allah yang diciptakan untuk hidup di bumi ini, manusia harus menguasai ilmu keakhiratan dan ilmu keduniaan yang diperlukan. Sebagai penguasa, manusia boleh memanfaatkan alam dan sekelilingnya bagi kelangsungan hidupnya. Namun tidak boleh merusaknya; iya bertanggungjawab atas pelestariannya.
hubungan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari banyak atau tidaknya cabang-cabagn ilmu pengetahuan yang dikandungnya, tetapi yang lebih utama adalah melihat: adalah al-Qur’an atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan dan mendorongnya, karena kemajuan ilmu pengetahuan tidaknya diukur melalui sumbangan yang diberikan kepada masyarakat atau kumpulan ide dan metode yang dikembaangkannya, tetapi sekumpulan syarat-syarat pesikologi dan sosial yang diwujudkan
http://bumipanritakitta.blogspot.com/2013/01/tafsir-al-misbah-qs-al-mujadalah-ayat-11.html (14 January 2013. 11:30)
Fiqh Lingkungan Fiqh lingkungan (fiqh al-bi'ah) merupakan terobosan baru bagi upaya konservasi lingkungan hidup dengan perspektif keagamaan. Perspektif ini sekaligus menegaskan akan pentingnya pendekatan agama, termasuk produk hukumnya, dalam angka konservasi lingkungan sebagai tambahan bagi pendekatan disiplin ilmu lain yang telah ada.Selanjutnya kata "lingkungan", sebagi terjemahan dari kata al-bi'ah dalam tulisan ini dilekatkan dengan kata "fiqh" yang secara istilah berarti pengetahuan tentang hukum-hukum syari'at Islam mengenai perbuatan-perbuatan manusia, yang mana pengetahuan tersebut diambil dari dali-dalil yang bersifat at-tafshiliyyah.[i] Oleh karenanya, fiqh lingkungan yang dimaksud adalah pengetahuan atau tuntutan syar'i yang concern terhadap masalah-masalah ekologi atau tuntutan syar'i yang dipakai untuk melakukan kritik terhadap prilaku manusia yang cenderung memperlakukan lingkungan secara destruktif dan eksploitatif. Fiqh lingkungan di sini juga sekaligus berarti panduan dan peraturan bagi keselamtan kosmos. Dengan kata lain, bahwafiqh al-bi'ah merupakan upaya untuk memecahkan masalah lingkungan melalui pendekatan teks agama. Menurut Atho’, paling tidak ada empat alasan utama terkait siginifikansi munculnya pengembangan fiqh lingkungan, yakni: Pertama, kondisi obyektif krisis lingkungan yang makin parah baik di negara-negara muslim maupun di level global. Hal ini memerlukan partisipasi dari ajaran agama Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Salah satu partisipasi ini diwujudkan dengan rumusan fiqh lingkungan. Konsep ini telah dirumuskan oleh para ulama dan intelektual muslim dan perlu dikembangkan lagi ke konsep-konsep yang lebih operasional dan melalui pelembagaan formal. Perpaduan antara nilai ajaran Islam dengan kearifan-kearifan formal sosial budaya dan hukum tentunya akan menguatkan. Dalam konteks umat Islam, hal ini akan memperkuat aspek jiwa dari sebuah hukum formal. Kedua, umat Islam memerlukan kerangka pedoman komprehensif tentang pandangan dan cara melakukan partisipasi didalam masalah konservasi lingkungan. Fiqh klasik dipandang tidak memadai lagi dan belum mengakomodir dalam bentuk operasional panduan mengenai konservasi lingkungan dalam perspektif dan wawasan krisis lingkungan modern. Ketiga, fiqh lingkungan belum dianggap sebagai disiplin yang masuk ke ranah studi Islam. Akar-akar ontologis dan epistemologisnya masih diperdebatkan sehingga
dianggap sebagai bagian dari ilmu lingkungan. Memang didalam fiqh mu’amalah terdapat tema-tema mengenai lingkungan seperti thaharah, ihya al-mawat, hukum berburu, hima’, dan sebagainya, namun itu masih bersifat generik dan etis. Hal ini tentunya diperlukan penjelasan yang lebih operasional, kontekstual, dan berbobot ekologis. Keempat, fiqh lingkungan sebagai ‘induk’ konservasi lingkungan berbasis ajara Islam perlu dimasukkan ke dalam program-program pendidikan. Hal ini sangat penting karena kesadaran mengenai konservasi lingkungan sangat efektif melalui strategi pendidikan dan kebudayaan. Dengan demikian, pengembangan fiqh lingkungan memperoleh dukungan kelembagaan Islam di samping dukungan-dukungan politik, dan atau ecothinker.[ii]
Dengan pengembangan fiqh lingkungan tentunya sangat menarik untuk dicermati. Hal ini dikarenakan rumusan tersebut diharapkan mampu mengemban dua tujuan, yakni teoritis dan praktis. Sifat teoritis disini berupa gagasan-gagasan atau konstruksi-konstruksi utama, sedangkan sifat praktis yakni menghasilkan sejumlah panduan aplikatif-operasional bagi tindakan-tindakan konservasi lingkungan.
Metode Fiqh LingkunganKonsep fiqh lingkungan yang dirumuskan oleh para intelektual muslim
mencerminkan dinamika fiqh terkait dengan adanya perubahan konteks dan situasi. Ada dua rumusan metode yang digunakan untuk membangun fiqh lingkungan, yakni mashlahah dan maqasid asy-syari’ah.Mashlahah secara etimologis adalah identik dengan kata manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Adapun secara definisi secara sederhana, mashlahah berarti mengambil manfaat dan menolak kemadharatan dalam rangka merawat tujuan-tujuan syara’.[iii]
Dalam ushul al-fiqh dikenal salah satu metodologi ijtihad, yakni mashlahah mursalah. Metode ini berinduk dari (pembagian) konsep mashlahah yang manakala ditilik dari perspektif syara' terhadap eksistensi mashlahah dan adanya keselarasan antara anggapan baik secara rasional dengan tujuan syara', mashlahah dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: mashlahah mu'tabarah, mashlahah mulghah, dan mashlahah mursalah. Pertama, mashlahah mu'tabarah, yaitu mashlahah yang berada dalam kalkulasi syara'. Dalam hal ini, dalil yang secara khusus menjadi dasar dari bentuk kemaslahatan ini, baik secara langsung ada indikator dalam syara' (munasib mu'atsir) atau pun secara tidak langsung ada indikatornya (munasib mulaim). Sepertimashlahah yang terkandung dalam pensyari'atan hukum qishash bagi pembunuhan sengaja, sebagai simbol pemeliharaan jiwa manusia. Adapun salah satu cara berhujjah dengan mashlahahini yaitu dengan jalan analogi (qiyas), bahkan sebagian ulama menyamakan antara mashlahah mu'tabarah dengan qiyas. Seperti pengharaman segala bentuk minuman yang memabukkan dengan cara di-qiyas-kan pada minuman khamr yang telah di-nash-kan keharamannya oleh al-Qur'an. Maka, muatan mashlahah dalam pengharaman segala bentuk minuman memabukkan dapat diakui eksistensinya oleh syara' karena adanya kadar mashlahah yang sama dengan pelarangan jenis minuman khamr.
Kedua, mashlahah mulghah, yaitu mashlahah yang keberadaannya tidak diakui oleh syara'. Jenis mashlahah ini bisaanya berhadapan secara kontradiktif dengan bunyi nash, baik al-Qur'an maupun hadis. Seperti kandungan mashlahah yang terdapat dalam
hak seorang istri menjatuhkan talak kepada suami. Mashlahah ini didasarkan pada persamaan hak antara suami-istri sebagai pelaku transaksi pernikahan. Namun, mashlahah dalam masalah ini di tolak oleh syara'. Hal tersebut diisyaratkan oleh pernyataan nash, bahwa barangkali karena pertimbangan psikologis kemanusiaan, hak menjatuhkan talak hanya dimiliki seorang suami.
Ketiga, mashlahah mursalah, yaitu kemashlahatan yang eksistensinya tidak didukung syara' dan tidak pula ditolak melalui dalil yang terperinci, namun cakupan makna nash terkandung dalam substansinya. Seperti pengumpulan dan pembukuan al-Qur'an menjadi satu mushhaf,sistem pemenjaraan bagi pelaku tindak pidana sebagai wujud pengewejantahan dari ketentuan hukuman pidana dalam Islam; pengadaan mata uang berikut sirkulasinya dalam sebuah mekanisme pasar, dan lain sebagainya. Contoh-contoh tersebut tidak ditemukan dalam nash ajaran agama secara tersurat, namun diakui keberadaannya oleh syara' karena memiliki implikasi yang cukup jelas untuk mengakomodir kemashlahatan umat atau kepentingan umum. Dalammashlahah jenis inilah terdapat banyak perbedaan pendapat di kalangan para ulama dan di sini pula kecakapan ijtihad sangat dibutuhkan.[iv]
Menjaga lingkungan hidup (hifzh al-ba'ah) bisa merupakan mashlahah mu'tabarah dan bisa juga masuk dalam bingkai mashlahah mursalah. Al-Qur'an hanya menyinggung tentang prinsip-prinsip konservasi dan restorasi lingkungan, seperti: larangan pengrusakan, larangan berlebih-lebihan (israf) dalam pemanfaatannya. Prinsip-prinsip ini dinamakan mashlahah mu'tabarah. Namun, sejauh mana kadar berlebih-lebihan serta teknis operasional penjagaan sama sekali tidak dapat ditemukan dalam al-Qur'an. Kita harus berijtihad sendiri bagaimana tanah pinggir sungai supaya tidak terkena erosi. Mashlahah inilah yang dinamakan mashlahah mursalah. Kebutuhan akan menjaga lingkungan tetap niscaya untuk dijalankan karena lingkungan hidup merupakan penopang segala kehidupan ciptaan Tuhan.
Konsep mashlahah berkaitan sangat erat dengan maqasid asy-syariah, karena dalam pengertian sederhana, mashlahah merupakan sarana untuk merawat maqasid asy-syariah.Contoh konkrit dari mashlahah ini adalah pemeliharaan atau perlindungan total terhadap lima kebutuhan primer (ushul al-khamsah), (1) perlindungan terhadap agama (hifzh al-din), (2) perlindungan jiwa (hifzh al-nafs), (3) perlindungan akal (hifzh al-'aql), (4) perlindungan keturunan (hifzh al-nasl), dan (5) perlindungan harta benda (hifzh al-mal). Kelima hal tersebut merupakan tujuan syari’ah (maqasid asy-syariah) yang harus dirawat.
Menurut Qaradhawi, menjaga lingkungan sama dengan menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta. Rasionalitasnya adalah bahwa jika aspek-aspek jiwa, akal, keturunan dan harta rusak, maka eksistensi manusia didalam lingkungan menjadi ternoda.[v]Pentingnya menjaga lingkungan juga dikuatkan dengan argumen Abu-Sway yang menyatakan bahwa melindungi lingkungan merupakan tujuan syari’ah tertinggi. Dengan demikian, bagi Abu-Sway, hifzh al-bi’ah memiliki signifikasi tertinggi dan menaungi komponen maqasid al-khams. Secara gamblang, Abu-Sway menyatakan bahwa “...the destruction of the environment prevents the human being from fulfilling the concept of vicegerency on earth. Indeed, the very existence of humanity is at stake here”.[vi] Argumen ini mempertegas prinsip maqasid asy-syari’ah dalamupaya global menanggulangi krisis lingkungan.
http://najitama.blogspot.com/2012/03/fiqh-lingkungan.html (15 januari 2013. 10:22)
Masjid sebagai Pusat Kebudayaan Islam
Pada zaman rasulullah masjid tidak hanya digunakan sebagai tempat ibadah, tetapi
juga digunakan sebagai tempat untuk mensucikan jiwa kaum muslimin, mengajar Al-
Qur’an dan Al hikmah, bermusyawarah tentang berbagai permasalahan umat hingga
masalah upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Hal ini bertahan hingga
700 tahun sejak nabi mendirikan masjid yang pertama, fungsi masjid dijadikan sebagai
simbol persatuan umat dan pusat peradaban serta peribadatan. Oleh karena itu pada
zaman sekarang ini kita seharusnya mengembalikan fungsi masjid seperti pada zaman
Rasulullah. Adapun beberapa potensi dari masjid yang bisa dikembangkan adalah
sebagai berikut :
Pusat Pendidikan dan Perekonomian Umat
Proses menuju ke arah pemberdayaan umat dimulai dengan pendidikan dan pemberian
pelatihan-pelatihan. Masjid seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai tempat
berlangsungnya proses pemberdayaan tersebut, bahkan sebagai pusat pembelajaran
umat, baik dalam bentuk pengajian, pengkajian, seminar dan diskusi maupun pelatihan-
pelatihan keterampilan, dengan peserta minimal jamaah disekitarnya. Sehingga umat
islam bisa lebih maju dan bersatu seperti zaman Rasulullah Muhammad SAW. Selain
itu masjid bisa mengambil alih peran sebagai koperasi yang membawa dampak positif
bagi umat di lingkungannya. Bila konsep koperasi digabungkan dengan konsep
perdagangan ala pusat-pusat pembelanjaan yang diminati karena terjangkaunya harga
barang, dan dikelola secara professional oleh dewan pengurus maka masjid akan dapat
memakmurkan jamaahnya. Sehingga akhirnya jamaahnya pun akan memakmurkan
masjidnya. Contoh sukses masjid sebagai pusat pendidikan dan perekonomian adalah
masjid Al-Azhar di Mesir. Masjid ini merupakan pendiri universitas Al-Azhar. Masjid ini
mampu memberikan bea siswa bagi para pelajar dan mahasiswa, bahkan pengentasan
kemiskinan merupakan salah satu program nyata masjid.
Pusat Penjaringan Potensi Umat
Masjid dengan jamaah yang selalu hadir hanya sekedar untuk menggugurkan
kewajibannya terhadap Tuhan bisa saja mencapai puluhan, ratusan bahkan ribuan
orang jumlahnya. Dari berbagai macam usia, beraneka profesi dan tingkat (strata) baik
ekonomi maupun intelektual, bahkan sebagai tempat berlangsungnya akulturasi budaya
secara santun. Dan apabila kita bisa menyatukan mereka semua maka umat islam pasti
bisa lebih maju dan berkembang daripada sekarang, karena permasalahan umat islam
sekarang adalah kurangnya persatuan umat.
Pusat Ke-Pustakaan
Perintah pertama Tuhan kepada Nabi Muhammad adalah "Membaca", dan sudah
sepatutnya kaum muslim gemar membaca dalam pengertian konseptual maupun
kontekstual. Maka dengan sendirinya hampir menjadi suatu keharusan bila masjid
memiliki perpustakaan sendiri yang berisikan buku-buku tentang agama islam maupun
ilmu pengetahuan.
http://muhammaddony.blogspot.com/2011/11/masjid-sebagai-pusat-kebudayaan-islam.html
(15 Januari 2013. 10:36)
Pada masa Nabi dan khulafa ar Rasyidin, masjid bukan hanya berfungsi sebagai tempat
beribadah, namun juga pusat aktivitas ilmiah, kegiatan sosial dan diskusi untuk kepentingan
umat muslim. Pada masa itu, masjid merupakan pusat dari peradaban Islam.
Pada massa awal terbentuknya masyarakat islam, sekelompok sarjana muslim meggunakan
sebuah ruang khusus di masjid untuk kegiatan-kegiatan ilmiah mereka, seperti pengajaran,
diskusi, penulisan, dan bahkan tempat deklarasi hasil-hasil penelitian ilmuwan yang hendak
dibukukan.
Dari masjid tradisi ilmiah berkembang dan berbagai jenis ilmu pengetahuan dikembangkan.
Setelah masjid tidak lagi dapat menampung aktivitas-aktivitas ilmiah berbagai jenis ilmu
pengetahuan dan seni, mulailah dibangun lembaga pendidikan islam di luar komplek masjid
dengan sebutan maktab.
Kemudian sesuai dengan perkembangan dunia keilmuan yang begitu pesat, didirikanlah
lembaga-lembaga pendidikan yang lainnya seperti majlis, bait al-hikmah, madrasah,
observatorium, rumah sakit, dan zawiyah.
Begitu signifikannya peran yang dimiliki masjid pada masa itu. Namun, bagaimana dengan
masjid saat ini? Perbedaan yang sangat mencolok. Fungsi masjid tidak lagi seoptimal dimasa
lalu, praktis saat ini, masjid hanya digunakan untuk kegiatan-kegiatan sakralnya saja seperti
sholat, tadarusan dan sekali kali untuk resepsi pernikahan.
Jika kita cermati pembangunan masjid, memang sungguh mengembirakan karena saat ini
masjid-masjid yang ada begitu besar dan megah. Seolah-olah pengelola masjid berlomba-
lomba untuk membagun masjid yang indah. Bahkan tidak sedikit masjid-masjid tersebut
dijadikan tujuan pariwisata oleh masyarakat.
Namun, jika hanya terbatas pada kemegahan masjid tanpa ada pengoptimalan fungsinya,
bukankah sangat disayangkan. Masjid cenderung berperan sebagai tempat pembinaan ibadah
ritual saja. fungsi-fungsi pendidikan dan sosialnya justru kurang mendapat prioritas.
Hal tersebut terjadi mungkin karena pola pikir masyarakat saat ini umumnya, bahwa masjid
merupakan tempat beribadah semata, bukan sebuah pusat kebudayaan. Oleh karena itu, perlu
diupayakan agar masyarakat kembali melihat masjid bukan hanya tempat ibadah belaka dan
juga kembali memakmurkannya.
Memang, ada beberapa masjid yang berinisiatif menambah fasilitas masjid dengan membagun
perpustakaan di dalamnya. Namun, rupanya hal ini tidak begitu berhasil mendatangkan minat
umat untuk sekedar membaca bahkan melakukan aktivitas ilmiah disana.
Harus diakui, akan sulit mengembalikan fungsi masjid seperti masa lampau. Karena untuk
sekedar menjalankan ritual keagamaan saja masjid cenderung sepi. Kita bisa lihat sendiri,
masjid-masjid akan ramai dihari tertentu saja, seperti ketika sholat jumat atau mungkin hari
raya.
Seperti halnya saat ini, ramadhan kembali menghampiri umat Islam. Masjid-masjid kembali
ramai di penuhi jamaah. Setiap orang, seolah berlomba-lomba untuk mendapatkan tempat
paling depan untuk mejalankan kewajibannya, mungkin agar lebih dekat dengan Tuhan.
Tapi sangat disayangkan, itupun bertahan tak lebih dari satu sampai dua minggu saja.
Kemudian masjid kembali sepi, mungkin hanya diisi oleh beberapa shaf saja. Entah kenapa
spirit religius umat begitu cepat pudarnya.
Mungkin kita bisa melihat masjid kembali ramai pada saat akhir ramadhan, menjelang hari raya.
Jika sudah begini, bagaimana bisa mengoptimalkan fungsi lain masjid, jika fungsi utama masjid
yakni sebagi tempat ibadah saja sudah tidak optimal lagi.
Hal ini menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam, mungkin yang harus memulai upaya untuk
mengembalikan fungsi masjid yakni para pengelola masjid. Hal yang pertamakali dibeanahi
mungkin management pengurus masjid.
Jika kemampuan manajerial masjid sudah baik, maka bukan tidak mungkin akan menghasilkan
program-program yang dapat kembali mengoptimalkan fungsi masjid. Misalnya saja melibatkan
remaja dalam organisasi masjid.
Hal tersebut bisa dilakukan denga cara memperbanyak kegiatan di mana minat, bakat, dan
kemampuan positif yang dimiliki para remaja tetap dapat diakomodasi dan disalurkan. Tentu
saja remaja menjadi penting karena, bagaimanapun, keadaan masjid pada puluhan tahun yang
akan datang, salah satu tolok ukurnya adalah bagaimana kondisi remajanya pada masa
sekarang.
Hal lain yang patut di coba yakni seperti yang telah dilakukan oleh beberapa masjid saat ini,
yakni membangun perpustakaan di masjid. Meski masjid-masjid yang sudah melakukan ini
terbilang gagal, namun tak ada salahnya untuk kembali mencoba. Dengan cara, membuat
koleksi buku lebih banyak dan variatif seperti dongen islam untuk anak-anak.
Perpustakaan masjid sebaiknya tidak hanya ada di masjid-masjid besar, tapi juga masjid yang
ada di perkampungan bahkan pedesaan. Bayangkan, jika setiap masjid di kampung dan desa
mempunyai perpustakaan, tentu akan semakin mudah bagi masyarakat untuk mengakses
bahan-bahan bacaan.
Perpustakaan masjid akan menjadi sumber bacaan yang lebih merakyat karena tidak
membutuhkan birokrasi yang rumit. Namun memang kenyataannya, praktek di lapangan sering
berbeda dengan kondisi ideal yang diinginkan.
Namun, mungkin yang terpenting saat ini para pengelola masjid kembali gencar mengajak
masyarakat dan tidak lupa melibatkan remaja, untuk kembali melaukakn diskusi bersama di
dalam masjid.
Karena masjid merupakan tempat yang cukup strategis untuk menjadi titik penggerak kemajuan
umat Islam dan membicarakan masalah-masalah agama, pendidikan, sosial, politik, dan
berbagai masalah kehidupan dan negara di masjid.
Dari masjid pulalah seharusnya kita bermula menyebarkan akhlak Islam dan memberantas
kebodohan karena masjid merupakan tempat yang baik untuk kegiatan pendidikan dan
pembentukan moral. Selain itu masjid juga titik temu untuk mempersatukan kembali umat
muslim.
Semoga saja umat muslim kembali dapat memakmurkan, masjid dengan mengoptimalkan
fungsinya. Selain itu, dapat menjalin kesatuan umat yang saat ini sedang tidak dalam kondisi
yang baik.
Karlia Zainul, Mahasiswi semester 2, Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
http://lpminstitut.com/dialogis/420-masjid-pusat-peradaban-islam (15 Januari 2013. 10:57)
Perbankan Syariah Dalam Pandangan Ulama Islam
Majelis Ulama Indonesia (MUI),mengatakan bahwa praktik perbankan syariah merubah
cara perhitungan bunga menjadi perhitungan bagi hasil pada perbankan di MUI juga
memberikan komentar bahwa ladang perbankan syariah yang masih tersembunyi
menjadi perhatian para banker pada perbankan syariah, yang mengkhawatirkan
eksodus akun perbankan syariah menjadi lebih kepada produk perbankan
konvensional. Umumnya, MUI di Indonesia sama dengan lembaga fatwa Islam yang
sama di negara lain. Sebagai institusi, akan memainkan peran penting yang akan
menghadapi pemerintah Indonesia yang sekuler dan ulama di Indonesia MUI didirikan
pada tahun 1975 sebagai inisiatif pemerintah untuk mengkontrol aktivitas keislaman di
Indonesia. Kemudian, Presiden Soeharto menginginkan MUI untuk tampil sebagai
otoritas religi mengarahkan komoditas muslim. MUI dirancang menjadi otoritas nasional
bagi Islam dengan empat peran : (1) untuk memberikan pelayanan aktivitas dan
pengembangan lokasi (2) sebagai lembaga saran (3) mediator antara pemerintah dan
ulama dan (4) berfungsi sebagai ajang diskusi para ulama. Berdasarkan pandangan
para ulama mengutarakan bahwa perbankan syariah adalah bank yang menjalankan
bisnis perbankan dengan menganut sistem syariah yang berbasis hukum Islam. Dalam
hukum Islam dinyatakan bahwa riba itu haram, sehingga bisnis bank konvensional yang
menerapkan sistem rente atau riba dengan perhitungan bunga berbunga, baik untuk
produk simpanan maupun pinjamannya, tidak sesuai dengan hukum islam. Bank
syariah tidak menerapkan sistem bunga tetapi menerapkan sistem bagi hasil, yaitu
sistem pengelolaan dana dalam perekonomian Islam. Perhitungan bagi hasil
didasarkan pada mufakat pihak bank bersama nasabah yang menginvestasikan
dananya di bank syariah. Besarnya hak nasabah terhadap banknya dalam perhitungan
bagi hasil tersebut, di tetapkan dengan sebuah angka ratio atau besaran bagian yang
disebut nisbah. Selama ini dunia perbankan kita didominasi oleh bank konvensional
yang menganut sistem bunga, namun setelah munculnya beberapa bank syariah
beberapa tahun terakhir ini, mungkin telah dianggap sebagai moment yang tepat bagi
MUI untuk mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank haram. Nah, apakah setelah adanya
fatwa MUI ini, kemudian mendorong nasabah bank konvensional untuk memindahkan
simpanannya ke bank syariah tentunya ini menjadi hak dan keputusan pribadi masing-
masing orang. Disinilah peran MUI sebagai pengawas operasional perbankan syariah
dan pendorong pertumbuhan perbankan syariah.
http://infoting.blogspot.com/2011/06/perbankan-syariah-dalam-pandangan-ulama.html
(15 January 2013. 11:22)
Pengertian dan Dasar Hukum Obligasi Syariah / Sukuk
Menurut fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN MUI). Yaitu, fatwa No.32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi syariah.
Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan obligasi syariah adalah
suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan
Emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar
pendapatan pada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil serta membayar
kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.[1]
Sementara pendapatan investasi yang dibagikan emiten kepada pemegang
obligasi syariah harus bersih dari unsur nonhalal. Mengenai bagi hasil (nisbah) antara
emiten dan pemegang obligasi syariah, diatur bahwa nisbah keuntungan dalam obligasi
syariah mudharabah ditentukan sesuai kesepakatan dengan ketentuan pada saat jatuh
tempo, akan diperhitungkan secara keseluruhan.
B. Sejarah Sukuk
Sesungguhnya, sukuk / obligasi syariah ini bukan merupakan istilah yang baru
dalam sejarah Islam. Istilah tersebut sudah dikenal sejak abad pertengahan, dimana
umat Islam menggunakannya dalam konteks perdagangan internasional. Sukuk
merupakan bentuk jamak dari kata sakk. Ia dipergunakan oleh para pedagang pada
masa itu sebagai dokumen yang menunjukkan kewajiban finansial yang timbul dari
usaha perdagangan dan aktivitas komersial lainnya. Namun demikian, sejumlah penulis
Barat yang memiliki concern terhadap sejarah Islam dan bangsa Arab, menyatakan
bahwa sakk inilah yang menjadi akar kata “cheque” dalam bahasa latin, yang saat ini
telah menjadi sesuatu yang lazim dipergunakan dalam transaksi dunia perbankan
kontemporer.
Dalam perkembangannya, the Islamic Jurispudence Council (IJC) kemudian
mengeluarkan fatwa yang mendukung berkembangnya sukuk. “Bahwa kombinasi asset
tertentu dapat diwakili dalam bentuk instrument pembiayaan tertulis yang dapat dijual
pada harga pasar dengan ketentuan bahwa komposisi kelompok asset yang diwakili
oleh sukuk mayoritas terdiri dari asetyang tangiable”. Hal tersebut mendorong Otoritas
Moneter Bahrain (BMA – Bahrain Monetary Agency) untuk meluncurkan sukuk salam
berjangka waktu 91 hari dengan nilai 25 juta dolar AS pada tahun 2001. Kemudian
Malaysia pada tahun yang sama meluncurkan global corporate Sukuk di pasar
keuangan Islam internasional. Inilah sukuk global yang pertama kali muncul di pasar
internasional.
Di Indonesia Penerbitan obligasi syariah pertama di Indonesia dilakukan oleh PT
Indosat Tbk berbarengan dengan penerbitan obligasi konvensional II Indosat pada
tahun 2002. Nilai kedua obligasi yang akan diterbitkan adalah Rp1 triliun. Perinciannya,
obligasi konvensional senilai Rp900 miliar dan obligasi syariah senilai Rp100 miliar dan
berjangka waktu lima tahun. Dasar pertimbangan yang digunakan oleh Indosat dalam
menerbitkan obligasi syariah senilai Rp100 miliar karena obligasi syariah ini baru
pertama kali diterbitkan dan belum pernah ada sebelumnya.
Secara umum, jenis obligasi di Indonesia adalah :
Obligasi Rekap yaitu obligasi yang diterbitkan untuk rekapitulasi perbankan.
Surat utang Negara ( SUN ) yaitu obligasi yang diterbitkan untuk membiayai defisit
APBN.
Obligasi Ritel yaitu sama dengan SUN, hanya saja nilai nominalnya diperkecil agar
investor menengah kebawah dapat membelinya.
Obligasi Sukuk yaitu surat berharga dengan prinsip syariah. Fatwa DSN
No.32/DSN-MUI/IX/2002.
Keberadaan sukuk sangat dibutuhkan oleh pemerintah maupun institusi bisnis.
Bagi institusi bisnis sukuk dapat digunakan sebagai penyeimbang dari neraca
keuangan, sedangkan bagi pemerintah adalah:
1. Memperluas basis sumber pembiayaan anggaran negara;
memperkaya instrumen pembiayaan fiskal.
memperluas dan mendiversifikasi basis investor SBN.
2. Mendorong pertumbuhan dan pengembangan pasar keuangan syariah di dalam
negeri;
mengembangkan alternatif instrumen investasi.
§ menciptakan benchmark di pasar keuangan syariah.
3. Mengoptimalkan pemanfaatan Barang Milik Negara dan mendorong tertib
administrasi pengelolaan Barang Milik Negara.
C. Prinsip Transaksi, Aplikasi dan Penerbitan Obligasi Syariah
Prinsip utama dalam transaksi obligasi syariah pada prinsipnya sama dengan
penerbitan obligasi konvensional pada umumnya. Hanya saja dalam obligasi syariah,
tentunya harus mengacu kepada Al-Qur’an dan Hadist serta ilmu fiqh. Hal serupa juga
terjadi dalam penerbitan saham yang berbasis pada Jakarta Islamic Index (JII) dan
reksadana syariah serta perbankan syariah.
Selain itu juga, untuk menerbitkan obligasi syariah harus memenuhu syarat sebagai
berikut:
1. Jenis usaha yang dilakukan oleh emiten tidak bertentangan dengan syariah, sesuai
dengan fatwa No. 20/DSN-MUI/IV/2001, tentang jenis usaha sesuai syariah.
2. Memiliki fundamental dan citra yang baik.
3. Jika keuntungan perusahaan sudah ada di komponen Jakarta Islamic Index( JII).
Dalam penerbitan obligasi syariah, sebelum ditawarkan kepada investor harus melalui
tahap-tahap sebagai berikut:[2]
1. Emiten melalui Underwriter menyerahkan proposal penerbitan obligasi syariah
kepada DSN/MUI.
2. Pihak penerbit melakukan presentasi proposal di Badan pelaksana Harian DSN.
3. DSN mengadakan rapat dengan tim ahli DPS, dan hasil rapat menyatakan opini
syarian terkait proposal yang diajukan.
Setelah disetujui oleh DSN, maka proses penawarannya sebagai berikut :
1. Emiten menyerahkan dokumen yang diperlukan untuk penerbitan obligasi syariah
kepada underwriter (wakil dari emiten).
2. Underwriter melakukan penawaran kepada investor.
3. Bila investor tertarik, maka akan menyerahkan dananya kepada emiten
melalui Underwriter.
4. Emiten akan membayarkan bagi hasil dan pembayaran pokok kepada investor.
Dokumen Penawaran
Dalam hal pengawasan penerbitan obligasi syariah. Pengawasannya dilakukan
oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), untuk produk pasar modal syariah,
terdapat satu pengawas lain yang mengawasi aspek syariahnya, yaitu DSN.
Pengawasan aspek syariah berfokus pada penggunaan dana yang didapat dari
penerbitan obligasi syariah. Apakah dana tersebut benar-benar digunakan untuk usaha-
usaha yang telah dijanjikan dalam perjanjian antara emiten dengan pemegang obligasi
atau tidak, serta halal atau tidaknya. Jika ternyata dana hasil penerbitan obligasi
tersebut digunakan untuk hal-hal di luar usaha yang telah diperjanjiakan, maka itu
termasuk pengingkaran perjanjian dan menyalahi tujuan.
D. Jenis-Jenis Obligasi Syariah
Obligasi syariah dapat diterbitkan dengan menggunakan prinsip mudharabah,
musyarakah, ijarah, istisna, salam, dan murabahah. Tetapi diantara prinsip-prinsip instrumen
obligasi ini yang paling banyak dipergunakan adalah obligasi dengan insturmen prinsip
mudharabah dan ijarah.[3]
1. Obligasi Mudharabah
Obligasi syariah mudharabah adalah obligasi syariah yang mengunakan akad
mudahrabah. Akad mudharabah adalah akad kerjasama antara pemilik modal (shahibul maal/
investor) dengan pengelola (mudharib / emiten). Ikatan atau akad mudahrabah pada hakikatnya
adalah ikatan penggabungan atau percampuran berupa hubungan kerjasama antara pemilik usaha
dengan pemilik harta, dimana pemilik harta (shahibul maal) hanya menyediakan dana secara
penuh (100%) dalam suatu kegiatan usaha dan tidak boleh secara aktif dalam pengelolaan usaha.
Sedangkan pemilik usaha (mudharib / emiten) memberikan jasa, yaitu mengelola harta secara
penuh dan mandiri (directionery) dalam bentuk aset pada kegiatan usaha tersebut.
Dalam Fatwa No. 33 / DSN-MUI / X / 2002 tentang obligasi syariah mudharabah,
dinyatakan antara lain bahwa:[4]
1. Obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah
yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk
membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah merupakan bagi ahsil, margin atau
fee serta membayar dana obligasi pada saat obligasi jatuh tempo.
2. Obligasi syariah mudharabah adalah obligasi syariah yang berdasarkan akad mudarabah
dengan memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI No. 7 / DSN-MUI / IV / 2000 tentang
Pembiayaan Mudharabah.
3. Obligasi mudharabah emiten bertindak sebagai mudharib (pengelola modal), sedangkan
pemegang obligasi mudharabah bertindak sebagai shahibul maal (pemodal).
4. Jenis usaha emiten tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.
5. Nisbah keuntungan dinyatakan dalam akad.
6. Apabila emiten lalai atau melanggar perjanjian, emiten wajib menjamin pengambilan dana
dan pemodal dapat meminta emiten membuat surat pengakuan utang.
7. Kepemilikan obligasi syariah dapat dipindahtangankan selama disepakati dalam akad.
Sebagai contoh Berlian Laju Tanker telah menerbitkan Obligasi Mudharabah senilai Rp
100 miliar. Dananya digunakan untuk membeli kapal tanker (66%) dengan tambahan modal
kerja perusahaan (34%). Obligasi berjangka waktu 5 tahun yang dicatakan di BES ini
memperoleh keuntungan dari bagi hasil berdasarkan pendapatan perseroan dari pengoperasian
kapal tanker MT Gardini atau kapal lain yang beroperasi untuk melayani Pertamina, sehingga
return-nya berubah setiap tahun sesuai pendapatan.
2. Obligasi Ijarah
Obligasi Ijarah adalah obligasi syariah berdasarkan akad ijarah. Akad ijarah adalah suatu
jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Artinya, pemilik harta
memberikan hak untuk memanfaatkan objek yang ditransaksikan melalui penguasaan sementara
atau peminjaman objek dengan manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada pemilik
objek. Ijarah mirip dengan leasing, tetapi tidak sepenuhnya sama. Dalam akad ijarah disertai
dengan adanya perpindahan manfaat tetapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan. Ketentuan
akad ijarah sebagai berikut :
1. Objeknya dapat berupa barang (harta fisik yang bergerak, tak bergerak, harta perdagangan)
maupun berupa jasa.
2. Manfaat dari objek dan nilai manfaat tersebut diketahui dan disepakati oleh kedua belah
pihak.
3. Ruang lingkup dan jangka waktu pemakaiannya harus dinyatakan secara spesifik.
4. Penyewa harus membagi hasil manfaat yang diperolehnya dalam bentuk imbalan atau sewa /
upah.
5. Pemakai manfaat (penyewa) harus menjaga objek agar manfaat yang diberikan oleh objek
tetap terjaga.
6. Pembeli sewa haruslah pemilik mutlak.
Secara teknis, obligasi ijarah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Investor dapat bertindak sebagai penyewa (musta‟jir). Sedangkan emiten dapat bertindak
sebagai wakil investor. Dan investor, dapat bertindak sebagai orang yang menyewakan
(mu‟jir). Dengan demikian, ada dua kali transaksi dalam hal ini; transaksi pertama terjadi
antara investor dengan emiten, dimana investor mewakilkan dirinya kepada emiten dengan
akad wakalah, untuk melakukan transaksi sewa menyewa dengan property owner dengan
akad ijarah. Selanjutnya, transaksi terjadi antara emiten (sebagai wakil investor) dengan
property owner (sebagai orang yang menyewakan) untuk melakukan transaksi sewa
menyewa (ijarah).
2. Setelah investor memperoleh hak sewa, maka investor menyewakan kembali objek sewa
tersebut kepada emiten. Atas dasar transaksi sewa menyewa tersebut, maka diterbitkanlah
surat berharga jangka panjang (obligasi syariah ijarah), dimana atas penerbitan obligasi
tersebut, emiten waib membayar pendapatn kepada investor berupa fee serta membayar
kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Sebagai contoh transaksi obligasi ijarah adalah pemegang obligasi memberi dana kepada
suatu perusahaan untuk menyewa sebuah ruangan guna keperluan ekspansi. Yang mempunyai
hak manfaat atas sewa ruangan adalah pemegang obligasi, tetapi ia menyewakan /
mengijarahkan kembali kepada perusahaan itu. Jadi perusahaan harus membayar kepada
pemegang obligasi sejumlah dana obligasi yang dikeluarkan ditambah return sewa yang telah
disepakati. Obligasi ijarah lebih diminati oleh investor, karena pendapatannya bersifat tetap.
Terutama investor yang paradigmanya masih konvensional konservatif dan lebih menyukai fixed
income.
E. Prospek, Kendala dan Strategi Pengembangannya.
Menyinggung soal prospek produk ekonomi berlabel syariah ini, khususnya obligasi
syariah. Para pakar meramal akan ada permintaan yang kuat dari masyarakat akan produk-
produk berlabel syariah yang lebih variatif di kemudian hari. Namun, tetap harus mengatasi
kendala-kendala yang ada terlebih dahulu.
Kendala dalam pengembangan obligasi syariah diantaranya sebagai berikut :[5]
Belum banyak masyarakat yang paham tentang keberadaan obligasi syariah, apalagi sistem
yang digunakannya.
Masyarakat dalam menyimpan dananya cenderung didasarkan atas pertimbangan pragmatis.
Hal ini yang menjadikan tren tingkat bunga yang cenderung bisa dipastikan di masa yang
akan datang menjadikan investor lebih memilih obligasi konvensional daripada obligasi
syariah.
obligasi syariah sangat baru keberadaannya.
Sedangkan usaha yang perlu dilakukan untuk menjawab kendala-kendala obligasi syariah adalah
sebagai berikut :
Langkah-langkah sosialisasi dilakukan untuk membangun pemahaman masyarakat akan
keberadaan obligasi syariah di tengah-tentah masyarakat.
Obligasi syariah tidak bisa hanya sekedar menunggu sampai adanya perubahan paradigma
setidaknya obligasi syariah mampu menangkap kondisi yang ada sebagai peluang yang bisa
digunakan untuk meningkatkan produktivitasnya.
Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat, usaha untuk meningkatkan profesionalitas,
kualitas, kapabilitas, dan efisiensi untuk selalu dilakukan oleh obligasi syariah.
http://syirooz.blogspot.com/2012/03/obligasi-syariah.html (15 January 2013, 11:26)
Istana Khalifah sebagai Lembaga Pendidikan
Timbulnya pendidikan rendah di istana untuk anak – anak para pejabat, adalah
berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan anak didik agar mampu
melaksanakan tugas – tugasnya kelak setelah ia dewasa. Atas dasar pemikiran tersebut, Kholifah
dan keluarganya serta para pembesar istana lainya berusaha menyiapkan agar anak – anaknya
sejak kecil sudah di perkenalkan dengan lingkungan dan tugas – tugas yang akan di embannya
nanti. Oleh karena itu mereka memanggil guru-guru khusus untuk memberikan pendidikan kepada anak –anak mereka.
Pendidikan anak di istana berbeda dengan pendidikan anak – anak di kuttab pada
umumnya.Di istana orang tua murid (para pembesar di istana) adalah yang membuat rencana
pelajaran dan tujuan yang di kehendaki oleh orang tuanya. Guru yang mengajar di istana itu di sebut mu’addib. Kata mu’addib berasal dari kata adab, yang berarti budi pekerti atau
meriwayatkan.guru pendidikan anak di istana di sebut mua’ddib, karena berfungsi
mendidikkan budi pekerti dan mewariskan kecerdasan dan pengetahuan orang – orang
dahulu kepada anak-anak pejabat.[7]
Rencana pelajaran untuk pendidikan di istana pada garis besarnya sama saja dengan rencana
pelajaran pada kuttab-kuttab, hanya ditambah atau dikurangi menurut kehendak para pembesar
yang bersangkutan, dan selaras dengan keinginan untuk menyiapkan anak tersebut secara khusus
untuk tujuan-tujuan dan tanggung jawab yang akan dihadapinya dalam kehidupannya nanti.Pendidikan di istana, tidak hanya pengajaran tingkat rendah, tetapi lanjut pada
pengajaran tingkat tinggi sebagaimana halaqah, masjid dan madrasah. Guru istana di namakan
dengan muaddib. Tujuan pendidikan istana bukan saja mengajarkan ilmu pengetahua bahkan
muaddib harus mendidik kecerdasan, hati dan jasmani anak sebagaimana ungkapan Abdul Malik
ibn Marwan sebagai berikut: “Ajarkan kepada anak- anak itu berkata benar sebagaimana kau
ajarkan Al-Qur’an. Jauhkan anak-anak itu dari pergaulan orang-orang buruk budi, karena mereka
amat jahat dan kurang adab. Jauhkan anak-anak itu dari pemalu karena pemalu itu merusak
mereka. Gunting rambut mereka supaya tebal kuduknya. Beri makan mereka dengan daging
supaya kuat tubuhnya. Ajarkan syair kepada mereka supaya mereka menjadi orang besar dan
berani. Suruh mereka menyikat gigi dan minum air dengan menghirup perlahan-lahan bukan
dengan bersuara,(seperti hewan). Kalau engkau hendak mengajarkan adab kepada mereka
hendaklah dengan tertutup tiada di ketahui oleh seorang pun.”[8]
Contoh dari rencana pelajaran dan petunjuk-petunjuk yang dikemukakan oleh pembesar
istana kepada pendidik anak-anaknya agar dijadikan sebagai pedoman.Adapun rencana pembelajaran di istana sebagai berikut: 1. Al-Qur’an (kitabulah) 2. Hadis-hadis yang termulia
3. Syair – Syair yang terhormat 4. Riwayat hukamah
5. Menulis membaca dan lain – lain
Petunjuk-petunjuk dan Nasehat pembesar istana kepada Mu’addib.1. Berkata Amru Ibnu Utbah kepada pendidik putranya;
“Kerjamu yang pertama untuk memperbaiki putra-putriku ialah memperbaiki dirimu sendiri,
karena mata mereka selalu terikat kepadamu. Apa yang kamu perbuat itulah yang baik menurut
pandangan mereka, dan yang buruk ialah yang kamu tinggalkan. Ajarkanlah kepada mereka Al-
Qur’an, tetapi jagalah agar mereka tidak sampai merasa bosan, karena kalau sampai demikian
Al-Qur’an itu akan ditinggalkannya, dan janganlah mereka dijauhkan dari Al-Qur’an, nanti
mereka meninggalkan Al-Qur’an sama sekali. Riwayatkanlah kepada mereka hadis dan syair
yang baik-baik. Jangan kamu bawa mereka berpindah dari suatu ilmu ( sesuatu pelajaran) kepada
ilmu yang lain sebelum ilmu itu difahaminya betul-betul. Sebab ilmu yang bertimbun-timbun
dalam otak sukar difahamkan. Ajarkanlah kepada mereka jalan orang-orang bijaksana. Jauhkan
mereka dari berbicara dengan perempuan-perempuan. Janganlah engkau bersandar kepada
kemaafanku, karena akupun telah menyerahkan sepenuhnya kepada kecakapanmu”.[9]2. Harun Al-Rasyid telah mengajukan rencana pelajaran bagi putranya (Al Amin) dengan
mengatakan sebagai berikut;
“Hai Ahmar! Sesungguhnya Amirul Mu’minin telah memberikan kepadamu buah hatinya, maka
jadikanlah tanganmu terbuka kepadanya dan ketaatannya kepadamu wajib. Janganlah berdosa
terhadapnya agar engkau selalu berada ditempat kedudukanmu yang telah ditentukan oleh
Amirul Mu’minin. Bacakanlah kepadanya Al-Qur’an. Ceritakanlah kepadanya peristiwa-
peristiwa. Riwayatkan kepadanya syair-syair. Ajarkanlah kepadanya sunnah-sunnah Nabi
Muhammad Saw. Tunjukkan kepadanya bagaimana menyusun perkataan dan memulainya.
Laranglah dia ketawa kecuali pada waktunya. Biasakanlah dia menghormati orang-orang besar
Bani Hasyim bila mereka mengunjunginya, dan meninggikan tempat duduk panglima-panglima
tentara, bila mereka menghadiri majelisnya. Jangan dibiarkan waktu berlalu walaupun sesaat tanpa engkau ikhtiarkan sesuatu yang berfaedah baginya, tetapi dengan tidak menyusahkan
hatinya, karena bila hatinya susah tumpullah otaknya. Janganlah engkau terlampau berlapang
dada terhadapnya, karena dengan demikian dia akan malas bekerja dan terbiasa menganggur.
Asuhlah dia dengan baik dan lemah lembut sedapat mungkin, akan tetapi kalau yang demikian
tidak mempan terhadapnya maka pakailah kekuatan dan kekerasan terhadapnya.[10]3. “Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya matamu. Aku serahkan kepada engkau untuk
memberi adab kepadanya. Maka, tugas engkau adalah bertakwa kepada Allah dan menunaikan
amanah. Wasiatku yang pertama kepada engkau supaya engkau ajarkan kepadanya kitabulah.
Kemudian engkau riwayatkan kepadanya syair – syair yang baik. Sesudah itu engkau ajarkan
riwayat kaum Arab dan syair mereka yang baik. Perlihatkan kepadanya sebagian yang halal dan
yang haram serta pidato pidato dan riwayat peperangan”.
http://mezazainul.blogspot.com/2012/03/rumah-ulama-dan-istana-khalifah-sebagai.html (16
Januari 2013. 15:43)
asuransi syarih
Kebanyakan ulama (jumhur) memakai metodologi konvensional dalam mencari
landasan syariah (al-asas al-syar’iyyah) dari suatu pokok masalah (subject matter).
Dalam hal ini subject matter-nya adalah lembaga asuransi.
Al-Qur’an tidak menyebutkan secara tegas ayat yang menjelaskan tentang praktek
asuransi seperti yang ada pada saat ini. Hal ini terindikasi dengan tidak munculnya
istilah asuransi atau al-ta’min secara nyata dalam al-Qur’an. Walaupun begitu al-
Qur’an masih mengakomodir ayat-ayat yang mempunyai muatan nilai-nilai dasar
yang ada dalam praktek asuransi, seperti nilai dasar tolong-menolong, kerja sama,
atau semangat untuk melakukan proteksi terhadap peristiwa kerugian (peril) di
masa mendatang.
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai muatan nilai-nilai yang ada dalam
praktek asuransi adalah:
QS al-Maidah [5]: 2. Ayat ini memuat perintah (amr) tolong-menolong antar
sesama manusia. Dalam bisnis asuransi, nilai ini terlihat dalam praktek kerelaan
anggota (nasabah) perusahaan asuransi untuk menyisihkan dananya agar
digunakan sebagai dana sosial (tabarru’). Dana sosial ini berbentuk rekening
tabarru’ pada berusahaan asuransi dan difungsikan untuk menolong salah satu
anggota (nasabah) yang sedang mengalami musibah (peril).
QS. al-Baqarah [2]: 182. Dalam ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa
kemudahan adalah sesuatu yang dikehendaki oleh-Nya, dan sebaliknya kesukaran
adalah sesuatu yang tidak dikehendaki oleh-Nya. Maka dari itu, manusia dituntun
oleh Allah Swt. agar dalam setiap langkah kehidupannya selalu dalam bingkai
kemudahan dan tidak mempersulit diri sendiri. Dalam konteks bisnis asuransi, ayat
tersebut dapat difahami bahwa dengan adanya lembaga asuransi, seseorang dapat
memudahkan untuk menyiapkan dan merencanakan kehidupan-nya di masa
mendatang dan dapat melindungi kepentingan ekonominya dari sebuah kerugian
yang tidak disengaja.
QS al-Baqarah [2]: 261. Allah Swt. menegaskan bahwa orang yang rela
menafkahkan hartanya akan dibalas oleh-Nya dengan melipar gandakan pahalanya.
Sebuah anjuran normatif untuk saling berderma dan melakukan kegiatan sosial
yang diridhai oleh Allah Swt. Praktek asuransi penuh dengan muatan-muatan nilai
sosial, seperi halnya dengan pembayaran premi ke rekening tabarru’ adalah salah
satu wujud dari penafkahan harta di jalan Allah Swt. karena pembayaran tersebut
diniatkan untuk saling bantu-membantu anggota perkumpulan asuransi jika
mengalami musibah (peril) di kemudian hari.
QS. Surat Yusuf [12]: 46-49. Pada ayat ini mengandung semangat untuk
melakukan proteksi terhadap segala sesuatu peristiwa yang akan menimpa di masa
datang. Baik peristiwa tersebut dalam bentuk, kecelakaan,
kebakaran,terganggunya kesehatan, kecurian, ataupun kematian. Pada peristiwa di
atas disebutkan bahwa Nabi Yusuf telah melakukan proteksi (pengamanan) atau
perlindungan dari tujuh tahun masa paceklik dengan melakukan saving
(penabungan) selama tujuh tahun yang lalu. Pelajaran yang dapat diambil dari ayat
di atas untuk diterapkan pada praktek asuransi adalah dengan melakukan
pembayaran premi asuransi berarti kita secara tidak langsung telah ikut serta
mengamalkan prilaku proteksi tersebut seperti yang telah dilakukan oleh Nabi
Yusuf. Karena prinsip dasar dari bisnis asuransi adalah proteksi (perlindungan)
terhadap kejadian yang membawa kerugian ekonomi.
http://www.pkes.org/faqs/58-asuransi-syariah-faq/67-pandangan-al-quran-mengenai-asuransi-
syariah.html ( 16 January 2013. 16:55)