Lelaki di usia senja

7
Lelaki di Usia Senja Oleh : Agung Budi Santoso Secangkir kopi itu diambilnya dan ditaruh di samping laptop. Lalu lelaki tua itu melanjutkan aktivitasnya mengetik di atas keyboard QWERTY. Sudah banyak, bahkan ratusan artikel dan cerpen yang ia tuliskan di dalam laptopnya. Namun tak satu pun tulisannya ia kirimkan ke penerbit atau surat kabar. Entahlah, si lelaki tua itu menganggap kegiatan tulis menulis hanyalah kegiatan iseng di masa-masa pensiun. Ia tetap bersahaja didampingi istrinya yang juga sudah tidak muda lagi. Lelaki tua itu memiliki dua cucu dari putri pertamanya. Dan satu cucu dari putera kedua. Sedang dari putri bungsunya ia belum mendapatkan cucu, karena si bungsu masih kuliah di semester akhir di sebuah PTN Yogyakarta. Kakek tua itu sangat sayang dengan cucunya. Adit seorang cucu dari putri pertamanya kadang selalu menemani kakeknya menulis ketika hari libur. Manakala kakeknya tidak ingin diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan cucunya, maka sang kakek

Transcript of Lelaki di usia senja

Page 1: Lelaki di usia senja

Lelaki di Usia Senja

Oleh : Agung Budi Santoso

Secangkir kopi itu diambilnya dan ditaruh di samping laptop. Lalu lelaki tua itu

melanjutkan aktivitasnya mengetik di atas keyboard QWERTY. Sudah banyak, bahkan

ratusan artikel dan cerpen yang ia tuliskan di dalam laptopnya. Namun tak satu pun

tulisannya ia kirimkan ke penerbit atau surat kabar. Entahlah, si lelaki tua itu

menganggap kegiatan tulis menulis hanyalah kegiatan iseng di masa-masa pensiun. Ia

tetap bersahaja didampingi istrinya yang juga sudah tidak muda lagi.

Lelaki tua itu memiliki dua cucu dari putri pertamanya. Dan satu cucu dari putera kedua.

Sedang dari putri bungsunya ia belum mendapatkan cucu, karena si bungsu masih kuliah

di semester akhir di sebuah PTN Yogyakarta.

Kakek tua itu sangat sayang dengan cucunya. Adit seorang cucu dari putri pertamanya

kadang selalu menemani kakeknya menulis ketika hari libur. Manakala kakeknya tidak

ingin diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan cucunya, maka sang kakek pun tak kurang

akal. Diberinya teka-teki atau puzzle yang lumayan susah kepada sang cucu. Dan sang

kakek pun melanjutkan kembali aktivitasnya menulis di atas keyboard.

Pada suatu hari Adit penasaran kepada kakeknya, karena melihat kakeknya tak pernah

bosan menatap layar LCD dan papan QWERTY.

“Kek, kenapa sih kakek suka nulis di laptop tapi tulisannya gak pernah muncul di koran,

” tanya Adit.

Page 2: Lelaki di usia senja

“Ya, karena kakek gak ingin terkenal. Cukup anggota keluarga saja yang tahu kalau

kakek gemar menulis,” balas sang kakek.

“Hmmm….kalau gitu apa enaknya, Kek. Capek-capek nulis gak dapat duit. Habis gitu

tulisannya cuma dibaca oleh anggota keluarga saja.”

“Kamu belum saatnya untuk tahu tentang kegiatan kakek. Suatu ketika kamu akan

memahaminya jika sudah dewasa,” jawab sang kakek mengakhiri pertanyaan Adit.

***

Pada hari Minggu tepatnya minggu ketiga di bulan April, Adit yang secara tak sengaja

membuka laptop sang kakek menemukan tulisan yang aneh. Adit heran dan kaget. Masak

sih kakeknya jatuh cinta lagi. Padahal dia sudah memiliki tiga cucu. Dan dengan

neneknya pun tak pernah ada ribut-ribut. Adit membaca sebuah cerpen karangan

kakeknya yang berjudul “Cintaku di kampus biru”. Kalau dibaca secara sekilas memang

cerpen itu mengisahkan kisah percintaan antara sepasang mahasiswa dan mahasiswi yang

sedang dimabuk cinta.

Baru saja membaca di aliea kelima tiba-tiba Adit ditegur oleh kakeknya.

“Hayo, kamu mengintip tulisan kakek, ya.”

“Ah, enggak kok, kek. Adit cuma baca-baca doang.”

“Sama saja, itu namanya mengintip kalau baca tulisan orang di laptop tanpa ijin.”

“Ya, maaf deh, kek. Habis salah sendiri kakek menulis di laptop gak di password.”

Page 3: Lelaki di usia senja

“Ya, sudahlah. Gak mengapa. Kamu pengin bisa nulis cerpen seperti kakek,” tanya sang

kakek kepada cucunya.

Adit terdiam. Dia belum bisa menjawab ya atau tidak. Karena dia masih suka bermain-

main dan lebih suka baca komik ketimbang harus belajar nulis cerpen. Namun rasa

penasaran Adit tak hilang begitu saja. Lantas ia mengajukan pertanyaan kepada kakeknya

mengapa menulis cerpen kisah percintaan padahal usia kakeknya sudah lumayan senja.

Kakeknya pun menjawab dengan penuh kesabaran.

“Adit, di dalam menulis itu kakek menemukan kebebasan berekspresi. Dan kisah yang

ada di cerpen itu sebenarnya kakek hendak mengenang kembali kisah jadul ketika kakek

pertama kali bertemu dengan nenek. Walau tokoh dan setting lokasi dibuat berbeda tapi

kakek ingin mengenang kisah romantis kakek bersama nenek ketika masih muda.”

“Oh, gitu ya …kek,” Adit mengangguk sebagai pertanda puas dengan jawaban kakek.

“Yah, begitulah. Dan kalau tulisan ini dibaca oleh nenek, ia pasti akan tersenyum geli

mengenang kisah romantis jaman jadul.”

***

Kakeknya Adit memang terkenal sebagai perokok aktif dan doyan minum kopi sebagai

teman begadang ketika ia harus menulis artikel atau cerpen hingga larut malam. Cukup

banyak bekas batang rokok yang tertumpuk di atas asbak. Terkadang Adit mengambilnya

dan dibuang ke tempat sampah. Adit tak berani menegur kakeknya yang memang

tergolong perokok berat.

Page 4: Lelaki di usia senja

Hingga suatu sore sang kakek merasa agak sesak pernapasannya dan jatuh pingsan. Adit

yang nampak panik segera memanggil neneknya. Dan ketika neneknya melihat sang

kakek pingsan, ia lantas menelpon anaknya yang sulung untuk sekedar mengantarkan

berobat ke rumah sakit. Dan sesampai di rumah sakit, sang dokter hanya dapat berpesan

bahwa sang kakek diminta untuk mengurangi rokok dan minum kopi. Sempat satu

minggu kakek Adit dirawat di rumah sakit. Dan sebagai cucu kesayangan kakek, Adit

nampaknya tidak ragu mendampingi kakeknya hingga sembuh dan pulang ke rumah

kembali.

Semenjak kejadian pingsan dan harus opname di rumah sakit sang kakek nampaknya

benar-benar mematuhi anjuran dokter. Dia sudah mulai mengurangi rokok dan sedikit

minum kopi. Namun untuk aktivitas tulis menulis nampaknya tetap berlanjut. Dan ini

kadang membuat kakek Adit selalu tidur hingga larut malam. Jika Adit merasa bosan

menemani kakeknya menulis di atas laptop, ia malah sudah tidur duluan. Namun Adit

merasa bangga bisa menemani kakeknya menulis, karena ia pun dapat bertanya kepada

kakeknya tentang pelajaran sekolah ketika mendapatkan PR yang harus dikumpulkan di

esok hari.

Ayah Adit pun heran. Mengapa ia justru lebih dekat dengan kakeknya ketimbang dengan

ayahnya. Mungkin Adit merasa ayah Adit jarang ada di rumah. Sebab ayah Adit sering

dinas ke luar kota.

***

Page 5: Lelaki di usia senja

Hingga menjelang ulang tahun Adit merasa mendapatkan surprise dari kakeknya. Ia

diberi kado berupa cerpen dengan judul “Cucuku seorang pembelajar”. Ketika perayaan

ulang tahun yang ke-12 kado cerpen itu diberikan oleh kakek di sebuah kolam pancing

keluarga di hari Minggu. Sambil menikmati gurami bakar Adit tak bosan-bosannya

membaca cerpen kakeknya itu. Dan ini lain dari yang biasa. Adit biasanya sangat gemar

baca komik. Tapi baru kali ini ia mau membaca sebuah cerpen. Hingga suatu hari kakek

Adit terkejut mendengar perkataan dari cucunya.

“Kek, Adit mau jadi penulis.”

Tanpa terucap sepatah kata. Sang kakek hanya tersenyum kagum. Ia telah berhasil

menanamkan kebebasan berekspresi kepada cucunya. Kebebasan berekspresi di dalam

bentuk tulisan di usianya yang telah menginjak 12 tahun.

***