LEGALITAS MUKTAMAR ISLAH PARTAI PERSATUAN...
Transcript of LEGALITAS MUKTAMAR ISLAH PARTAI PERSATUAN...
LEGALITAS MUKTAMAR ISLAH PARTAI PERSATUAN
PEMBANGUNAN (PPP) DALAM PERSPEKTIF
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ANDI ASYRAF NIM. 1613048000088
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2017 M/1438 H
ABSTRAK
Andi Asyraf. NIM 1613048000088. Leg alitas Muktamar Islali Partai
Persatuan Pemba ngunan (PPP) Dalam Perspektif Peraturan Perundang
Undangan . Skripsi, Program Studi IImu Hukum, Kons entrasi Hukum
Kelembagaan Negara, Univers itas Islam Negeri (UIN) Syarif HidayatuIIah
Jakarta, 1436 H/201S M. (ix halaman, 84 hclaman, dan 3 halaman larnpiran).. -
Skripsi ini bertujuan untu k mengetahui legalitas Muktamar Islah Partai
Persa tuan Pembangun an menurut AD ART PPP, menganalisis Muktamar Islah
Parta Persatuan Pembangun an j ika ditinjau dari perspektif Undang-Undang Partai
Politik, serta untuk mengetahui lega litas tindakan Menteri Hukum clan HAM
dalam menangani persoalan perselisihan dalam internal kepengurusan Partai
Persatuan Pembangun an.Peneliti an ini dikategorikan sebaga i penelitian kepustakaa n tlibrary
re cearchy; dan merupakan jenis pcnclit ian hukurn normatif pcne litian ini bersi fat
analitik merupakan kelanjutan cl ari penelitian deskriptif yang bertujuan bukan
hanya sekedar mem aparkan karakter istik tertentu, retapi j uga rr.enganalisa dan
menje laskan mengapa atau bagaim ana hal itu teriadi, adapun pend ekatan yangcligunaka n dalam penelit ian ini menggu nakan pendekatan statute approach .
Kriteria data yang didapatkan berupa data prim er dan sekuneler. Metodepengumpulan data yang digunakan adalah mctocl c kcpustakaan.
Hasil peneJiti an iIli menu njukkan bahwa Mukt amar Islah Partai Persatuan
Pembangun an tidak sesua i c1 engan amana: AD ART hasil Muktarnar VII PPP
yang dilaksanakan el i Banel ung, begitupun mcnurut Undang-Undang Partai Politikyang mengaruskan anggota partai politik menaati AD ART part ai ; sehingga
ditin jau dalam perspekti f Undang-Undang Partai Politik, Muktamar Islah tidak
memiliki legalit as. Tindakan Menteri Hukum elan HAM yang mcngintcrvensi
perse lisihan yang terjadi pada PPP dengan tidak menaati putusan hukum yang
telah berkekuatan hukum tetap, menurut peraturan perundang-undangan terkait
merupakan sebu ah bentuk pelanggaran secara admini stratif.
Kata Kunci
Pembimbing
Daftar Pustaka
: Legalitas, Muktarnar Islah, PPP.
: Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatun g, S.H., M.H.
: 1993-2015.
iv
v
حیمالر حمنالر اهللا بسم
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam, yang telah
memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada umat manusia di muka
bumi ini, khususnya kepada penulis. Salawat beriringan salam disampaikan
kepada Nabi Muhammad Saw., keluarga, serta para sahabatnya yang merupakan
suri tauladan bagi seluruh umat manusia
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dari
berbagai pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin-Nya. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, khususnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil
Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu
Hukum beserta Drs. Abu Tamrin, S.H., M. Hum., Sekretaris Program
Studi Ilmu Hukum.
3. Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H., Guru Besar Fakultas
Syariah dan Hukum, sebagai dosen pembimbing skripsi penulis yang telah
sabar dan terus memberikan arahannya untuk membimbing penulis dalam
proses penyusunan skripsi ini.
vi
4. Ismail Hasani, S.H.,M.H., dosen penasehat akademik penulis yang telah
sabar mendampingi hingga semester akhir dan telah membantu penulis
dalam merumuskan desain judul skripsi ini.
5. Terimakasih kepada dewan penguji munaqasyah; Dr. H. Mujar Ibnu
Syarif, S.H.,M.Ag., dan Dedy Nursamsi, S.H.,M.Hum. serta seluruh dosen
yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, sekaligus kepada seluruh
staf dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
pelayanan maksimal.
6. Paling istimewa untuk kedua orang tua penulis, ayahanda Andi Abdul
Rahman, S.Sos. dan ibunda Andi Asliwati Adil, yang tak pernah jenuh dan
tak menyerah untuk memberikan dukungan serta tak henti-hentinya
mendoakan penulis dalam menempuh pendidikan, (you are my
everything). Adikku tersayang Andi Hikman Rahman, saudara-saudaraku,
serta seluruh Keluarga Besar Puang Kuntung di Bone dan Keluarga Besar
Karaeng Ade’ di Bulukumba.
7. Sahabat terbaikku, Hendrawan, Rudi Niyarto, Ketum Irpan, Hira Hidayat,
Farhan Q., Lilis, Safira, Lian, Juni, Vemi, Nadia, Mujahidah, Kamelia,
Triana, Tiflen, Saidi, Krisna AP., you all the best ever. Kepada seluruh
teman-teman Program Double Degree Ilmu Hukum 2013, semoga
ukhuwah kita tetap terjaga.
8. Kawan-kawan HMPS Hukum Keluarga 2014, khususnya kepada; Kak
Fajrul, Kak Eka, Kak Aul, Kak Novita, Kak Anita, Kak Kahfi, Ricki
Ahmad F.M., Habibi, Sarifah N, Lia Yulianti, Siti Hannah, Indira A.,
vii
Annisa Mutiara, Fachra Irvania, Mella Rosdiana, Fatiyah Khadijah,
Khuzaifi Amir, Nur. R.F. Jamil, Siti Juairiatunnuriah, semoga seluruh
proses yang dijalani bersama memberikan dampak positif bagi kehidupan
kita nanti.
9. Kawan-kawan Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat
Fakultas Syariah dan Hukum (Komfaksy) Cabang Ciputat, terutama
kepada Kanda dan Yunda Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam
(KAHMI) atas bimbingannya dalam proses berorganisasi.
10. Kawan-kawan Masyhar MQ (PP. Madrasatul Qur’an Tebuireng Jombang),
Rajab Husain, S.Ag., H. Ismail Amir, S.Th.I., Reza Fakhlevi, Khamzah
Anas Sani, M. Ihfal Alifi, Salman Alfarisi. Semoga motto hâmil al-qur’ân
lafzan, wa maʿnan, wa ‘amalan tetap terjaga.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, pembaca
pada umumnya serta dicatat sebagai amal baik di sisi Allah Swt., Amin.
Ciputat, 22 Januari 2017
Ttd. ANDI ASYRAF
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ........................................................................ iii
ABSTRAK ............................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................. v
DAFTAR ISI ...........................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah.................................................................... 6
C. Batasan dan Rumusan Masalah................................................... 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................... 8
E. Kerangka Teori dan Konseptual................................................. 9
F. Metode Penelitian........................................................................ 15
G. Review Studi Terdahulu.............................................................. 18
H. Sistematika Penulisan.................................................................. 20
BAB II ASAS LEGALITAS DAN PARTAI POLITIK DALAM
PERSPEKTIF HUKUM DI INDONESIA
A. Sejarah dan Definisi Asas Legalitas............................................ 22
B. Legalitas Dalam Hukum Administrasi dan Tata Negara............ 26
C. Kewenangan Pemerintah............................................................. 30
D. Partai Politik................................................................................. 38
BAB III PERSELISIHAN PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN
(PPP)
A. Sejarah Pendirian Partai Persatuan Pembangunan (PPP)............. 43
B. Substansi Perselisihan Partai Persatuan Pembangunan (PPP)..... 47
C. Mekanisme Internal Penyelesaian Perselisihan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP).................................................. 51
D. Mekanisme Eksternal Penyelesaian Perselisihan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP).................................................. 54
ix
AB IV ANALISIS HUKUM LEGALITAS MUKTAMAR ISLAH
PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN (PPP)
A. Legalitas Muktamar Islah Menurut AD dan ART Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) ............................................... 57
B. Muktamar Islah Dalam Perspektif Undang-Undang Partai
Politik..... ................................................................................ 62
C. Kewenangan Menteri Hukum dan HAM dan Muktamar Islah
Partai Persatuan Pembangunan (PPP); Antara Penyelesaian
Secara Politik atau Hukum ....................................................... 66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................ 77
B. Saran-saran................................................................................. 78
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 80
LAMPIRAN........................................................................................................... 85
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini partai politik sudah sangat akrab di lingkungan kita. Sebagai
lembaga politik, partai bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada.
Kelahirannya mempunyai sejarah cukup panjang, meskipun juga belum
cukup tua. Bisa dikatakan partai politik merupakan organisasi yang baru
dalam kehidupan manusia, jauh lebih muda dibandingkan dengan organisasi
negara, dan ia baru ada di negara modern.1 Dalam praktik politik di hampir
negara-negara modern saat ini, baik yang bercorak demokratis maupun
totaliter, kehadiran partai politik tidak dapat dielakkan.2
Salah satu partai politik yang sampai saat ini tetap eksis dan konsisten
mengikuti setiap pemilihan umum yang diselenggarakan adalah Partai
Persatuan Pembangunan, atau yang lebih dikenal dengan PPP. PPP
merupakan hasil fusi (penggabungan) dari beberapa partai politik Islam pada
masa orde baru. PPP merupakan partai berasaskan Islam dan berlabangkan
Ka’bah. Dalam perjalanannya, saat ini PPP sedang menghadapi konflik.
Konflik internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) diawali dengan
dukungan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali kepada kubu pasangan capres-
cawapres Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa yang dirasa keputusan sepihak
1 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992),
h. 397.
2 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, (Jakarta: LP3S, 2003), h. 19.
2
oleh beberapa elit PPP. Keputusan Suryadharma yang menghadiri kampanye
terbuka Prabowo dinilai 27 Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) melanggar
kesepakatan partai dalam Mukernas II PPP dan mendesak agar pengurus PPP
menjatuhkan sanksi kepada Suryadharma. Dalam Mukernas II PPP di
Bandung pada 07 Februari 2014, PPP menjalin komunikasi politik dengan
delapan bakal capres yang ada saat itu. Dalam bursa capres PPP itu, tidak ada
nama Prabowo. Akibat keputusan sepihak Suryadharma tersebut, DPP PPP
menggelar rapat yang akan terjadi islah antara Suryadharma dengan
kelompok yang tidak setuju dengan keputusan dukungannya ke Prabowo.3
Konflik PPP mencapai puncaknya pada pemecatan Suryadharma Ali
sebagai Ketum PPP saat Rapat Harian DPP PPP pada Rabu, 10 September
2014. Sekjen PPP Romahurmuziy mengatakan keputusan itu diambil karena
Suryadharma sudah ditetapkan tersangka kasus korupsi oleh KPK dan
melanggar beberapa aturan dalam AD/ART partai. Keputusan ini didukung
28 DPW PPP. Sebagai penggantinya, Waketum DPP PPP, Emron Pangkapi
ditunjuk sebagai pelaksana tugas (Plt) Ketum PPP. Suryadharma Ali
menegaskan pemberhentian dirinya sebagai Ketum PPP tidak sah. Saling
memecat antara pengurus pun terjadi.4
Persoalan yang terjadi di internal pengurus Partai Persatuan
Pembangunan semakin rumit dengan tidak terselesaikannya pertikaian yang
3 Torie Natalova, “Awal Perseteruan ‘Panas’ PPP”, artikel diakses pada 04 September
2016 dari http://news.metrotvnews.com/read/2014/09/13/290975/awal-perseteruan-panas-ppp
4 Torie Natalova, “Awal Perseteruan ‘Panas’ PPP”, artikel diakses pada 04 September 2016 dari http://news.metrotvnews.com/read/2014/09/13/290975/awal-perseteruan-panas-ppp
3
terjadi oleh Mahkamah Partai. Alhasil, Sekretaris Jenderal Romahurmuzy
(yang kemudian dikenal dengan Kubu Romi) mengadakan muktamar di
Surabaya pada tanggal 15-18 Oktober 2014 dengan menghasilkan
Romahurmuzy sebagai Ketua Umum secara aklamasi. Begitupun dengan
Ketua Umum Suryadharman Ali mengadakan muktamar di Jakarta pada
tanggal 23-26 Oktober 2014, yang menghasilkan Djan Faridz sebagai Ketua
Umum terpilih secara aklamasi pula. Terbentuklah dua kepengurusan yang
mengklaim legalitas muktamar yang diadakan oleh kubu mereka, dan
mendaftarkan kepengurusan yang terbentuk kepada Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia.
Menteri Hukum dan HAM pada tanggal 28 Oktober 2014 mengeluarkan
surat keputusan bernomor M.HH-07.AH.11.01 yang mengesahkan
kepengurusan hasil muktamar kubu Romi di Surabaya. Kubu muktamar
Jakarta (Djan Faridz) lantas menggugat surat keputusan tersebut ke PTUN
Jakarta, yang kemudian PTUN Jakarta mengeluarkan putusan yang
memerintahkan kubu Romi menunda pelaksanaan keputusan Menteri Hukum
dan HAM yang mengesahkan hasil muktamar Surabaya (Putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara Nomor 217/G/2014/PTUN-JKT pada tanggal 06
November 2014).
Atas putusan PTUN Jakarta yang menangguhkan surat keputusan
Menteri Hukum dan HAM, Menteri Hukum dan HAM bersama Kubu Romi
selaku pihak terkait (tergugat intervensi), mengajukan banding ke Pengadilan
Tinggi TUN, yang memutuskan membatalkan putusan PTUN Jakarta No.
4
217/G/2014/PTUN-JKT tertanggal 06 November 2014 (Putusan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara Nomor 120/B/2015/PT TUN-JKT pada 10 Juli
2015). Selanjutnya, pihak Djan Faridz mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung, dimana pada tanggal 20 Oktober 2015 Mahkamah Agung dalam
putusan No. 504K/TUN/2015 memutuskan mengabulkan kasasi pemohon,
yaitu dengan kembali kepada putusan PTUN Jakarta No. 217/G/2014/PTUN-
JKT.
Tidak hanya itu, dikarenakan berdasarkan Undang-Undang Partai Politik
yang mengharuskan perselisihan partai politik diselesaikan di Pengadilan
Negeri, salah satu pengurus (AH. Wakil Kamal) memasukkan gugatan ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menolak hasil muktamar VIII PPP
baik yang diselenggarakan di Surabaya maupun di Jakarta, namun majelis
hakim menolak gugatan tersebut dengan alasan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat tidak berwenang memutuskan legalitas sebuah muktamar (Putusan
Pengadilan Negeri Jakara Pusat Nomor 88/Pdt.Pdt.Sus-
Parpol/2015/PN.Jkt.Pst pada 19 Mei 2015).
Tetapi Mahkamah Agung pada tingkat kasasi,5 membatalkan putusan
tersebut dan memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan kasasi
penggugat intervensi yaitu menyatakan muktmar PPP di Jakarta sebagai
muktamar yang sah dan struktur kepengurusan DPP PPP hasil muktamar di
Jakarta sebagai kepengurusan yang sah, serta menegaskan muktamar yang
5 Penyelesaian persesilisihan dilakukan melalui pengadilan negeri, putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung (Pasal 33 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik).
5
diadakan di Surabaya tidak sah dengan segala akibat hukumnya (Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 601/K-PDT.SUS-
PARPOL/2015 pada 02 November 2015).
Namun kemudian Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (dengan
alasan sebagai salah satu upaya untuk menyelesaikan perselisihan
kepengurusan dalam internal PPP) mengesahkan kembali Surat Keputusan
Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-20.AH.11.01 Tahun 2012, yaitu
mengesahkan kembali susunan DPP PPP Muktamar Bandung 2011,6 dengan
masa bakti enam bulan untuk membentuk kepanitiaan penyelenggaraan
Muktamar Islah, dan mengabaikan beberapa putusan pengadilan yang
menyebutkan kubu Muktamar Jakarta sebagai pihak yang sah. Muktamar
Islah kemudian dapat terlaksana pada 08-11 April 2016 di Pondok Gede.
Menteri Hukum dan HAM sebagai perwakilan pihak pemerintah
mengakui legalitas muktamar islah yang telah diadakan dengan menerbitkan
Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-
06.AH.11.012016.7 Oleh sebab itu, penulis hendak menelusuri dan meneliti
lebih lanjut hal tersebut dengan judul penelitian “LEGALITAS
MUKTAMAR ISLAH PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN (PPP)
DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN”.
6 Muktamar VII Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dilaksanakan pada tahun 2011 di
Bandung dengan memutuskan Suryadharma Ali sebagai Ketua Umum dan Romahurmuzy sebagai Sekretaris Jenderal.
7 Muktamar VIII Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta (Muktamar Islah/Muktamar Pondok Gede) memutuskan Romahurmuzy sebagai Ketua Umum dan Arsul Sani sebagai Sekretaris Jenderal, dengan masa bakti 2016-2021. (“Menkumham Terbitkan SK PPP”, Republika, 28 April 2016, h. 2.)
6
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang berkaitan
dengan tema yang sedang dibahas. Ragam masalah yang muncul dalam latar
belakang yang telah disebutkan sebelumnya, penulis paparkan beberapa
diantaranya, yaitu;
1. Proses administrasi pendaftaran sebuah kepengurusan partai politik
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Landasan pihak Kementerian Hukum dan HAM dalam mengeluarkan
surat keputusan berkaitan dengan kepengurusan sebuah partai politik.
3. Penyelesaian sengketa kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Kewenangan Menteri Hukum dan HAM dalam menentukan
kepengurusan yang sah dalam sebuah partai politik.
5. Legalitas muktamar islah menurut AD/ART Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).
6. Legalitas muktamar islah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam
menyelesaikan sengketa kepengurusan jika ditinjau dari Undang-Undang
No. 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2
Tahun 2008 Tentang Partai Politik.
7. Sikap Menteri Hukum dan HAM dalam menghadapi perselisihan
kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam perspektif
hukum administrasi negara.
7
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar pembahasan pada penelitian ini tidak melebar, maka
pembahasan mengenai legalitas Muktamar Islah Partai Persatuan
Pembangunan dalam menyelesaikan perselisihan internal kepengurusan,
dibatasi pada legalitas muktamar islah dalam sudut pandang hukum atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
2. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut;
a. Bagaimana legalitas muktamar islah menurut AD/ART Partai
Persatuan Pembangunan ?
b. Bagaimana legalitas muktamar islah Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) dalam perspektif Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai
Politik ?
c. Apakah keputusan Menteri Hukum dan HAM dalam menyikapi
Muktamar Islah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ?
8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui legalitas muktamar islah dalam menyelesaikan
perselisihan internal kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) menurut AD/ART Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
b. Untuk mengetahui legalitas muktamar islah dalam menyelesaikan
perselisihan kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dalam
perspektif Undang-Undang Partai Politik.
c. Untuk mengetahui legalitas Menteri Hukum dan HAM yang
mengakomodir dan mengakui legalitas muktamar islah dalam
menyelesaikan perselisihan kepengurusan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).
2. Manfaat Penelitian
a. Sebagai sumbangsih kepustakaan bagi para mahasiswa Fakultas Syariah
dan Hukum, serta masyarakat luas pada umumnya.
b. Sebagai kontribusi ilmiah dalam memperkaya khazanah kepustakaan
dalam bidang hukum, khususnya dalam bidang studi Hukum
Kelembagaan Negara.
c. Sebagai bentuk kepedulian terhadap perkembangan partai politik di
Indonesia ke arah yang lebih demokratis dan tetap menjunjung tinggi
norma-norma hukum sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
9
E. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Kerangka teori diperlukan dalam setiap penelitian untuk
memberikan landasan teoritis bagi penulis dalam menyelesaikan masalah
dalam proses penelitian.8 Kerangka teori juga membantu penulis dalam
menentukan tujuan dan arah penelitian, serta sebagai dasar penelitian
agar langkah yang ditempuh selanjutnya dapat jelas dan konsisten.9
Adapun teori-teori yang penulis gunakan adalah sebagai berikut :
a. Teori validitas atau legitimasi dari hukum (legal validity) adalah teori
yang mengajarkan bagaimana dan apa syarat-syaratnya agar suatu
kaidah hukum menjadi legitimate dan sah (valid) berlakunya,
sehingga dapat diberlakukan kepada masyarakat, bila perlu dengan
upaya paksa, yakni suatu kaidah hukum yang memenuhi persyaratan-
persyaratan sebagai berikut:10
1) Kaidah hukum tersebut harus dirumuskan ke dalam berbagai
bentuk aturan formal, seperti dalam bentuk pasal-pasal dari
Undang-Undang Dasar, undang-undang dan berbagai bentuk
peraturan lainnya, aturan-aturan internasional seperti dalam bentuk
traktat, konvensi, atau setidaknya dalam bentuk adat kebiasaan.
8 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES,
t.th), h. 21.
9 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1990), h. 65.
10 Munir Fuady, Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory), (Jakarta: Kencana, 2013), h. 109-110.
10
2) Aturan formal tersebut harus dibuat secara sah, misalnya jika dalam
bentuk undang-undang harus dibuat oleh parlemen (bersama
dengan pemerintah).
3) Secara hukum, aturan hukum tersebut tidak mungkin dibatalkan.
4) Terhadap aturan formal tersebut tidak ada cacat-cacat yuridis
lainnya. Misalnya tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi.
5) Kaidah hukum tersebut harus dapat diterapkan oleh badan-badan
penerap hukum, seperti pengadilan, kepolisian, kejaksaan.
6) Kaidah hukum tersebut harus dapat diterima dan dipatuhi oleh
masyarakat.
7) Kaidah hukum tersebut harus sesuai dengan jiwa bangsa yang
bersangkutan.
b. Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutip oleh Zainuddin Ali
mengemukakan, kepastian hukum itu merupakan produk dari hukum
atau lebih khusus dari perundang-undangan. Begitu datang hukum,
maka datanglah kepastian. Kepastian hukum sudah diidolakan
menjadi ideologi dalam hukum. Sejak posisi hukum dalam jagat
ketertiban tidak bisa sama sekali meminggirkan berbagai institut
normatif yang lain dalam masyarakat, maka kaitan antara hukum dan
kepastian hukum menjadi relatif. Hubungan antara hukum dan
kepastian hukum tidak bersifat mutlak. Hukum tidak serta merta
menciptakan kepastian hukum. Yang benar dan mutlak adalah hukum
11
menciptakan kepastian peraturan, dalam arti adanya peraturan seperti
undang-undang. Begitu suatu undang-undang dikeluarkan, maka pada
saat yang sama muncul kepastian peraturan. Tidak ada keraguan
dalam hal tersebut, karena siapapun menyimak kehadiran undang-
undang itu. Sebaiknya dipisahkan antara kepastian peraturan dan
kepastian hukum, agar dapat dipahami masalah kepastian hukum itu.11
c. Prajudi Atmosudirjo sebagaimana dikutip Ridwan HR. menyebutkan
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan
pemerintahan, yaitu sebagai berikut;12
1) Efektifitas, artinya kegiatannya harus mengenai sasaran yang telah
ditetapkan.
2) Legimitas, artinya kegiatan administrasi negara jangan sampai
menimbulkan heboh oleh karena tidak dapat diterima oleh
masyarakat setempat atau lingkungan yang bersangkutan.
3) Yuridiktas, yaitu syarat yang menyatakan bahwa perbuatan para
pejabat administrasi negara tidak boleh melanggar hukum dalam
arti luas.
4) Legalitas, yaitu syarat yang menyatakan bahwa perbuatan atau
keputusan administrasi negara yang tidak boleh dilakukan tanpa
dasar undang-undang (tertulis) dalam arti luas; bila sesuatu
11 Zainuddin Ali dan Supriadi, Pengantar Ilmu Hukum, (Ciputat: Yayasan Masyarakat
Indonesia Baru, 2014), h. 99-100.
12 Ridwan HR, Hukum Adiministrasi Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 99-100.
12
dijalankan dengan dalih “keadaan darurat”, kedaruratan itu wajib
dibuktikan kemudian; jika kemudian tidak terbukti; maka
perbuatan tersebut dapat digugat di pengadilan.
5) Moralitas, yaitu salah satu syarat yang paling diperhatikan oleh
masyarakat; moral dan etik umum maupun kedinasan wajib
dijunjung tinggi; perbuatan tidak senonoh, sikap kasar, kurang ajar,
tidak sopan, kata-kata yang tidak pantas, dan sebagainya wajib
dihindarkan.
6) Efisiensi wajib dikejar seoptimal mungkin; kehematan biaya dan
produktivitas wajib diusahakan setinggi-tingginya.
7) Teknik dan teknologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk
mengembangkan atau mempertahankan mutu pretasi yang sebaik-
baiknya.
d. Menurut Philipus Hadjon sebagaimana dikutip Jum Anggraini,
kewenangan membuat keputusan hanya diperoleh dengan dua cara,
yaitu dengan atribusi atau dengan delegasi. Atribusi adalah wewenang
yang melekat pada suatu jabatan, sedangkan delegasi adalah
pemindahan atau pengalihan suatu kewenangan yang ada. Dalam hal
ini pejabat yang mendapat atribusi atau delegasi kewenangan dalam
membuat keputusan harus berdasarkan pada peraturan perundang-
undangan formal bila keputusan yang dibuat memberikan kewajiban
kepada masyarakat.13
13 Jum Anggraini, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h.89.
13
2. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan
antara konsep satu terhadap konsep lainnya dari masalah yang akan
diteliti. Konsep ini berguna untuk menghubungkan atau menjelaskan
secara lugas tentang suatu topik yang akan dibahas. Kerangka konseptual
menjelaskan pengertian-pengertian yang berkaitan dengan istilah-istilah
yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain:
a. Legalitas dapat diartikan dengan perihal atau keadaan sah
(keabsahan),14 atau perihal keadaan sah yang terjamin secara
hukum.15
b. Muktamar adalah musyawarah tingkat nasional yang memegang
kekuasaan tertinggi Partai Persatuan Pembangunan, diadakan lima
tahun sekali, dan diselenggarakan selambat-lambatnya satu tahun
setelah terbentuknya Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,
serta muktamar berwenang menetapkan dan/atau mengubah Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, menilai laporan
pertanggungjawaban DPP yang disampaikan oleh Pengurus Harian
DPP, menetapkan Program Perjuangan Partai, memilih dan/atau
menetapkan Pengurus Harian DPP, Pimpinan Majelis Syariah DPP,
Pimpinan Majelis Pertimbangan DPP, Pimpinan Majelis Pakar DPP,
serta Pimpinan Mahkamah Partai DPP, menetapkan keputusan-
14 Marbun B.N., Kamus Hukum Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 169
15 D. Wirah Aryoso dan Syaiful Hermawan, Kamus Pintar Bahasa Indonesia, (T.tt: Pusataka Makmur, 2013), h. 347.
14
keputusan lainnya yang dianggap perlu (Anggaran Dasar Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) Pasal 51 Ayat 1-3).
c. Islah adalah penyelesaian pertikaian secara damai; perdamaian.16
d. Muktamar Islah yang penulis maksudkan dalam penelitian ini adalah
Muktamar VIII PPP di Asrama Haji Pondok Gede, dilaksanakan pada
8-11 April 2016 yang bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan
(islah) dua kubu yang berkonflik dalam internal kepengurusan PPP.
e. Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk
oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan
membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara,
serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 2 Tahun
2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undnag No. 2 Tahun 2008
Tentang Partai Politik).
f. Anggaran Dasar (AD) partai politik adalah peraturan dasar partai
politik, Anggaran Rumah Tangga (ART) adalah peraturan yang
dibentuk sebagai penjabaran Anggaran Dasar (Pasal 1 Ayat 4 dan 5
Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik ).
16 Risa Agustin, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, (Surabaya: Penerbit Serba Jaya, t.th), h.
194.
15
g. Adapun yang dimaksud dengan perselisihan partai politik meliputi
antara lain; perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan,
pelanggaran terhadap hak anggota partai politik, pemecatan tanpa
alasan yang jelas, penyalahgunaan kewenangan, pertanggungjawaban
keuangan, dan/atau keberatan terhadap keputusan partai politik
(Penjelasan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai
Politik).
F. Metode Penelitian
Membahas masalah-masalah dalam penelitian ini, diperlukan suatu
metode untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah yang
dibahas, dan gambaran dari masalah tersebut secara jelas, tepat, dan akurat.
Terdapat beberapa metode yang akan penulis gunakan antara lain;
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam
penelitian hukum, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan
pustaka yang ada.17 Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji,
17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h.13-14.
16
dan kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah
yang diteliti. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah persoalan
perselisihan kepengurusan Partai Persatuan pembangunan (PPP) yang
diselesaikan dengan mekanisme Muktamar Islah yang difasilitasi oleh
Menteri Hukum dan HAM, dan legalitas muktamar islah tersebut dalam
persepktif peraturan perundang-undangan.
2. Sumber Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif ini
adalah data hukum sekunder. Menurut Soerjono Soekanto, data hukum
sekunder dibagi menjadi:18
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup
ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Bahan-bahan hukum
primer meliputi peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi,
atau risalah-risalah dalam pembuatan perundang-undangan, dan
putusan-putusan hakim. Adapun bahan hukum primer yang digunakan
dalam penelitian ini; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai
Politik, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan, serta AD ART Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).
18 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, h. 59.
17
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari
penelusuran terhadap buku-buku dan artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitian, memberikan penjelasan mendalam mengenai bahan
hukum primer dan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini
diantaranya adalah; buku-buku, skripsi, tesis, majalah, jurnal hukum,
wawancara ahli, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan
perselisihan partai politik dan legalitas muktamar islah Partai
Persatuan Pembangunan (PPP).
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam hal
ini penulis membuka beberapa kamus yang berkaitan, termasuk
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk mencari istilah-istilah
yang berkaitan dengan penelitian ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan cara mengumpulkan data yang
dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Umumnya cara
mengumpulkan data dapat menggunakan teknik: wawancara (interview),
angket (questioner), pengamatan (observation), studi dokumentasi, dan Focus
Group Discussion (FGD).19
19 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007), h. 37.
18
Adapun penulis menggunakan metode pengumpulan data secara library
research (studi kepustakaan) sebagai metode utama, baik bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, dikumpulkan
berdasarkan topik permasalahan yang telah diklasifikasi untuk dikaji secara
komperehensif.
4. Pengolahan Data dan Metode Analisis
Penelitian ini mendeskripsikan data-data yang diperoleh selama
penelitian, yaitu apa yang tertera dalam bahan-bahan hukum yang relevan dan
menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan.20 Data kualitatif adalah
fokus dari penelitian ini. Penulis menginginkan agar dapat memberikan
gambaran utuh dan menyeluruh terhadap fenomena yang hendak diteliti, yaitu
seputar permasalahan legalitas muktamar islah Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), dan kemudian memberikan kesimpulan yang solutif untuk memecahkan
permasalahan yang diteliti dengan rekomendasi seperlunya.
Metode penalaran yang penulis pilih adalah metode penalaran (logika)
deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat
umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
5. Pedoman Penulisan
Penulisan penelitian ini dari tahap awal hingga akhir mengacu kepada
buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
20 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Widya
Bakti, 2004), h. 52.
19
G. Kajian Studi Terdahulu
Berkaitan dengan pembahasan dan penulisan skripsi ini, penulis telah
menelaah beberapa literatur yang berkaitan dengan judul skripsi penulis,
diantaranya yaitu;
1. Kedudukan Mahkamah Partai Politik Dalam Penyelesaian Sengketa
Internal Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2011, oleh Fitria
Agustina, Fakultas Hukum Universitas Jember. Skripsi ini membahas
mengenai prosedur penyelesaian sengketa internal Partai Politik
berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2011, dan menjelaskan
mengenai upaya hukum bagi para pihak yang permohonannya tidak
terakomodasi dalam keputusan Mahkamah Partai Politik. Sedangkan
skrpsi ini memfokuskan kepada legalitas muktamar islah sebagai upaya
dalam menyesaikan perselisihan kepengurusan PPP.
2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Partai Politik (Studi Kasus Partai
Kebangkitan Bangsa Kabupaten Kudus Perkara Perdata No.
22/Pdt.G/2012/PN.Kds), oleh Wahyu Tantular, Fakultas Hukum
Universitas Muria Kudus. Membahas mekanisme penyelesaian
perselisihan partai politik melalui Mahkamah Partai, apabila tidak
tercapai maka diselesaikan di Pengadilan Negeri, dan memaparkan alasan
pengadilan menolak perkara tersebut; karena tanpa melalui penyelesaian
internal sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang. Adapun skripsi
ini membahas legalitas mekanisme muktamar islah untuk menyelesaikan
perselisihan internal PPP berdasarkan peraturan perudang-undangan.
20
3. Hukum Perselisihan Partai Politik, Oleh Dr. H.M. Anwar Rahman,
S.H.,M.H., PT. Gramedia Pustaka Utama, Oktober 2016. Buku Hukum
Perselisihan Partai Politik ini memaparkan Mahkamah Partai Politik
berserta kewenangan dan proses dalam pengajuan gugatan. Buku ini juga
menjelaskan, dengan terwujudnya Mahkamah Partai Politik yang
kompeten semestinya perselisihan partai politik mampu diselesaikan
dengan efektif dan efisien. Perbedaan skripsi ini dengan buku tersebut
terletak pada obyek yang dijadikan pembahasan, skripsi ini fokus
terhadap legalitas muktamar islah PPP, dimana dinamika internal PPP
telah melalui penyelesaian di Mahkamah Partai meskipun tidak berhasil.
4. Model Penyelesaian Perselisihan Partai Politik Secara Internal Maupun
Eksternal, oleh Tri Cahya Indra Permana, Jurnal Hukum dan Peradilan,
Volume 5, Nomor 1, Maret 2016. Tulisan ini menjelaskan mengenai
Undang-Undang Partai Politik yang mengatur bahwa perselisihan Parpol
diselesaikan secara internal oleh Mahkamah Partai atau sebutan lain
daripada itu dan secara eksternal oleh Pengadilan Negeri dan Mahkamah
Agung. Substansi perselisihan yang final dan mengikat di Mahkamah
Partai adalah perselisihan kepengurusan, selebihnya dapat diajukan
upaya hukum ke Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Perbedaan
tulisan tersebut dengan skripsi ini terletak pada fokus utama yang
menjadi pembahasan, skripsi ini fokus terhadap legalitas muktamar islah
sebagai upaya dalam menyelesaikan perselisihan internal PPP, sedangkan
tersebut tidak membahas muktamar islah sama sekali.
21
H. Sitematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi ini, maka
penulis menyusun penulisan skripsi ini dengan sistematika sebagai berikut;
1. Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang
latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, manfaat dan tujuan penelitian, kerangka teori dan konseptual,
metode penelitian, dan kajian studi terdahulu, beserta sistematika
penulisan.
2. Bab kedua membahas mengenai teori legalitas dalam perspektif hukum
di Indonesia; definisi asas legalitas, aspek legalitas dalam hukum tata
negara, dan legalitas dalam sudut pandang hukum administrasi negara,
serta kewenangan pemerintah.
3. Bab ketiga menjelaskan perselisihan kepengurusan PPP; dasar hukum
pendirian partai politik, sejarah pendirian PPP, substansi perselisihan
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), mekanisme internal dan eksternal
penyelesaian perselisihan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
4. Bab Keempat memaparkan mengenai analisis hukum legalitas muktamar
islah Partai Persatuan Pembangunan (PPP); legalitas muktamar islah
menurut AD/ART Partai Persatuan Pembangunan (PPP), muktamar islah
dalam perspektif Undang-Undang Partai Politik, dan muktamar islah
sebagai upaya Menteri Hukum dan HAM dalam menyelesaikan
perselisihan kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
5. Bab Kelima; bab penutup yang berisi kesimpulan beserta saran-saran.
22
BAB II
ASAS LEGALITAS DAN PARTAI POLITIK
DALAM PERSPEKTIF HUKUM DI INDONESIA
A. Definisi dan Sejarah Asas Legalitas
1. Definisi Asas Legalitas
Kata legalitas dalam Bahasa Inggris disebut dengan legality, yang
bermakna kecocokan dengan hukum. Landasan utama dimana seorang
warga dapat secara hukum menentang keabsahan tindakan penguasanya.1
Dalam sumber lain kata legalitas dimaknai dengan perihal atau keadaan
sah; keabsahan,2 atau perihal keadaan sah; keabsahan yang terjamin
secara hukum.3
Pada negara hukum, hukumlah yang memegang komando tertinggi
dalam penyelenggaraan negara, sesuai dengan prinsip “the rule of law
and not of a man”. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menegaskan bahwa, Indonesia adalah negara hukum.4 Salah
satu asas penting negara hukum adalah asas legalitas. Substansi dari asas
legalitas tersebut adalah mengendaki agar setiap tindakan badan/pejabat
administrasi berdasarkan undang-undang. Tanpa dasar undang-undang,
1 Roger Scruton, The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought, Penerjemah
Ahmad Lintang Lazuardi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 530.
2 Marbun B.N., Kamus Hukum Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 169.
3 D. Wirah Aryoso dan Syaiful Hermawan, Kamus Pintar Bahasa Indonesia, (T.tt: Pusataka Makmur, 2013), h. 347.
4 Pasal 1 Ayat (3) hasil amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
23
badan/pejabat administrasi negara tidak berwenang melakukan suatu
tindakan yang dapat mengubah atau memengaruhi keadaan hukum warga
masyarakat.5
Asas legalitas diilhami oleh pemikirian untuk membatasi kekuasaan
penguasa dengan bersaranakan hukum. Pembatasan ini penting untuk
mengimbangi kewenangan yang diberikan kepada pemerintah untuk ikut
serta turut campur tangan dalam kehidupan pribadi, meskipun secara
terbatas. Sebagaimana pendapat yang disampaikan Hotma P. Sibuea;
“Pembatasan kewenangan penguasa berdasarkan undang-undang, untuk campur tangan dalam ranah kehidupan pribadi dimaksudkan untuk mencegah penguasa melanggar hak-hak individu. Dengan perkataan lain, undang-undang merupakan landasan keabsahan campur tangan penguasa dalam kehidupan pribadi. Diluar kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, campur tangan penguasa harus dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap hak-hak individu.”6
Asas legalitas merupakan asas yang juga terdapat dalam hukum
pidana atau KUHP Indonesia dengan semboyan yang berbunyi nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali, yang artinya tidak ada
tindak pidana tidak ada hukuman, kecuali ada undang-undangnya lebih
dahulu. Dengan kalimat lain, bahwa perbuatan pidana tidak dapat
dihukum, bilamana tidak ada undang-undang yang mengaturnya lebih
dahulu.7Adagium tersebut tercantum dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang
5 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 78.
6 Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum (Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik), (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), h. 32.
7 Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 236.
24
menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan
atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang yang ditetapkan
terlebih dahulu daripada perbuatan itu.
Dikenal pula dalam hukum Islam yang bertumpu pada ayat;
)١٥ ; االسراء(وما كنا معذبین حتى نبعث رسوال
Artinya; “Dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isrâ’; 15)8
Selanjutnya, dari ayat ini melahirkan kaidah hukum Islam;
فعال العقالء قبل ورود النصأل ال حكم
Artinya;”Tidak ada hukum bagi orang berakal sebelum ada ketentuan nash”9
Asas legalitas ini juga memiliki makna menurut HD. Stout sebagaimana
dikutip oleh Ridwan HR. yaitu;
“Dat het bestuur aan de wet is onderworpen” (bahwa pemerintah tunduk kepada undang-undang) atau “Het legaliteitsbeginsel houdt in dat alle (algemene) de burgers bindende bepalingen op de wet moeten berusten” (asas legalitas menentukan bahwa semua ketentuan yang mengikat warga negara harus didasarkan pada undang-undang). Asas legalitas ini merupakan prinsip negara hukum yang sering dirumuskan dengan ungkapan “Het beginsel van wetmatigheid van bestuur” yakni prinsip keabsahan pemerintahan. 10
8 Pada kata وما كنا dapat dimaknai dengan para hakim, ذبینمع diartikan hukum pidana materil atau sanksi, dan رسوال sebagai ajaran hukum. Dari Interpretasi ayat ini dan dikaitkan dengan asas legalitas; bahwa seorang hakim tidak akan menghukum tanpa peraturan ataupun ajaran hukum yang telah ditetapkan terlebih dahulu. (Hasil Diskusi dengan Mujar Ibnu Syarif, Ciputat, 27 Februari 2017).
9 Ali Bin Muhammad Al-Amidi, Al-Ahkâm fȋ Usûl Al-Ahkâm, (t.t.; Al-Maktab Al-Islâmȋ, t.th.), h. 92.
10 Ridwan HR, Hukum Adiministrasi Negara, Cet. I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 91.
25
2. Sejarah Asas Legalitas
Asas legalitas adalah salah satu prisip utama yang dijadikan sebagai
dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di
setiap negara hukum, terutama bagi negara-negara hukum dengan sistem
kontinental. Pada mulanya asas legalitas dikenal dalam penarikan pajak
oleh negara. Di Inggris terkenal ungkapan; “No taxation without
representation”, tidak ada pajak tanpa (persetujuan) parlemen, atau di
Amerika ada ungkapan; “Taxation without representation is robbery”,
pajak tanpa (persetujuan) parlemen adalah perampokan. Hal ini berarti
penarikan pajak hanya boleh dilakukan setelah adanya undang-undang
yang mengatur. Asas ini juga dinamakan dengan kekuasaan undang-
undang (de heerschappij van de wet).11
Eddy O.S. Hiraej memaparkan sebagaimana dikutip Sri Rahayu,12
asas legalitas ini pertama-tama mempunyai bentuk sebagai undang-
undang adalah dalam konstitusi Amerika 1776 dan sesudah itu dalam
pasal 8 Declaration de droits de I’ homme et ducitoyen 1789. Asas ini
selanjutnya dimasukkan kedalam pasal 4 Code Penal Perancis yang
disusun oleh Napoleon Bonaparte. Dari Code Perancis inilah, asas
tersebut kemudian dimasukkan dalam pasal 1 ayat (1) Wetboek van
Strafrecht di Negeri Belanda.
11 Ridwan HR, Hukum Adiministrasi Negara, h. 90-91.
12 Sri Rahayu, Implikasi Asas Legalitas Terhadap Pengegakan Hukum dan Keadilan, Jurnal Inovatif VIII, Nomor III, (September 2014), h. 1-2.
26
Penerapan asas legalitas memiliki variasi yang beragam antar satu
negara dengan negara lainnya, tergantung apakah sistem yang berlaku di
negara bersangkutan bersifat demokratis atau tiranis. Variasi juga
tergantung pada keluarga hukum yang dianutnya. Sistem Eropa
Kontinental cenderung menerapkan asas legalitas lebih kaku daripada
penerapannya di negara-negara yang menganut sistem Common Law,
karena di negara-negara Eropa Kontinental asas legalitas menjadi alat
untuk membatasi kekuasaan negara. Di negara yang menggunakan
sistem Common Law, asas legalitas tidak begitu menonjol, karena
prinsip-prinsip rule of law telah tercapai dengan berkembangnya konsep
due process of law yang didukung oleh hukum acara yang baik.13
B. Legalitas Dalam Hukum Administrasi dan Tata Negara
1. Perspektif Hukum Tata Negara
Sebuah negara yang berdaulat harus ada sebuah norma atau sistem
aturan dalam bernegara dan bermasyarakat. Sistem tersebut disebut
konstitusi atau undang-undang dasar. Konstitusi tersebut terwujud dalam
bentuk dokumen tertulis yang memuat segala aturan dan prinsip-prinsip
dasar politik, hukum, sosial masyarakat, termasuk struktur, prosedur,
wewenang dan kewajiban pemerintahan negara.14 Karena Indonesia
adalah negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam
13 Muladi, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi di Indonesia, (Jakarta: Habibi
Center, 2002), h. 74.
14 Deri Irawan, Dialog 4 Pilar RRI; Mengawal Pelaksanaan Konstitusi, Majelis VII, No. 12 (Desember 2013), h. 64.
27
segala bentuknya (due process of law), yaitu bahawa segala tindakan
pemerintah harus didasarkan peraturan perundang-undangan yang sah
dan tertulis.15
Ni’matul Huda memaparkan mengenai aspek legalitas dalam
Hukum Tata Negara sebagai berikut;
“Secara teoritis dan yuridis, asas legalitas dapat diperoleh dari suatu badan/pejabat administrasi melalui atributif (legislator), baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Di Indonesia, asas legalitas yang berupa atributif, pada tingkat pusat, atributif yang diperoleh (berasal) dari Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan Undang-Undang Dasar dan dari Dewan Perwakilan Rakyat bekerja sama dengan pemerintah merupakan undang-undang, sedangkan atributif yang diperoleh dari pemerintahan di tingkat daerah yang bersumber dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah Daerah adalah peraturan daerah.”16
Menurut SF. Marbun sebagaimana dikutip oleh Ni’matul Huda,17
kedua sumber wewenang di atas disebut original legislator atau berasal
dari pembuat undang-undang asli (originale wetgever). Atas dasar itulah
terjadinya penyerahan suatu wewenang (baru) dari pembentuk undang-
undang (rakyat melalui wakil-wakilnya di parlemen) kepada
badan/pejabat administrasi Indonesia. Selanjutnya, atas dasar atributif itu
tindakan badan/pejabat administrasi Indonesia menjadi sah secara yuridis
dan mempunyai kekuatan mengikat umum karena telah memperoleh
persetujuan dari wakil-wakilnya di parlemen.
15 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cet. II, (Jakarta: Sinar
Grafika Indonesia, 2011), h. 128.
16 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, h. 79.
17 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, h. 79.
28
2. Perspektif Hukum Administrasi Negara
Hukum Administrasi Negara dalam arti hukum yang mengatur
hubungan antara penguasa dan masyarakat berarti pula mengatur
bagaimana penguasa bertindak terhadap masyarakat. Dengan adanya asas
legalitas sebagai unsur utama dalam suatu negara hukum, maka hal itu
berarti setiap tindakan administrasi negara atau penguasa harus
berdasarkan hukum yang berlaku.18
Penerapan asas legalitas, menurut Indroharto sebagaimana dikutip
oleh Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat19 akan menunjang
berlakunya kepastian hukum dan kesamaan perlakuan. Kesamaan
perlakuan terjadi karena setiap orang yang berada dalam situasi seperti
yang ditentukan dalam ketentuan undang-undang itu berhak dan
berkewajiban untuk berbuat seperti apa yang ditentukan dalam undang-
undang tersebut. Sementara itu kepastian hukum akan terjadi karena
suatu peraturan dapat membuat semua tindakan yang akan dilakukan
pemerintah itu bisa diramalkan atau diperkirakan terlebuh dahulu.
Dengan melihat kepada peraturan yang berlaku, dapat dilihat atau
diharapkan apa yang dilakukan oleh aparat pemerintahan yang
bersangkutan sehingga masyarakat bisa menyesuaiakan dengan keadaan
terebut.
18 Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2004), h. 38
19 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, (Bandung: Penertbit Nuansa, 2012), h. 133-134.
29
Di samping itu, aparat pemerintah diharuskan pula mengikuti
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan
pemerintahan, Prajudi Atmosudirjo sebagaimana dikutip Ridwan HR. 20,
menyebutkan sebagai berikut;
a. Efektifitas, artinya kegiatannya harus mengenai sasaran yang telah
ditetapkan.
b. Legitimasi, artinya kegiatan administrasi negara jangan sampai
menimbulkan heboh oleh karena tidak dapat diterima oleh masyarakat
setempat atau lingkungan yang bersangkutan.
c. Yuridiktas, yaitu syarat yang menyatakan bahwa perbuatan para pejabat
administrasi negara tidak boleh melanggar hukum dalam arti luas.
d. Legalitas, yaitu syarat yang menyatakan bahwa perbuatan atau
keputusan administrasi negara yang tidak boleh dilakukan tanpa dasar
undang-undang (tertulis) dalam arti luas; bila sesuatu dijalankan dengan
dalih “keadaan darurat”, kedaruratan itu wajib dibuktikan kemudian;
jika kemudian tidak terbukti; maka perbuatan tersebut dapat digugat di
pengadilan.
e. Moralitas, yaitu salah satu syarat yang paling diperhatikan oleh
masyarakat; moral dan etik umum maupun kedinasan wajib dijunjung
tinggi; perbuatan tidak senonoh, sikap kasar, kurang ajar, tidak sopan,
kata-kata yang tidak pantas, dan sebagainya wajib dihindarkan.
20 Ridwan HR, Hukum Adiministrasi Negara, h. 96-97.
30
f. Efisiensi wajib dikejar seoptimal mungkin; kehematan biaya dan
produktivitas wajib diusahakan setinggi-tingginya.
g. Teknik dan teknologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk
mengembangkan atau mempertahankan mutu pretasi yang sebaik-
baiknya.
Diana Halim Kentjoro memaparkan tentang peraturan tertulis dan
kaitannya dengan penguasa atau administrasi negara sebagai berikut;
“Ketika aliran legisme berkuasa, dimana hukum diartikan hanya sebagai undang-undang atau peraturan tertulis, maka penguasa atau administrasi negara hanya dapat bertindak mengatur masyarakat bila ada dasar hukumnya yang tertulis. Berarti bila sudah ada undang-undang yang mengatur masalah tersebut yang dapat dipergunakan oleh penguasa sebagai dasar hukum bagi tindakannya. Hal ini sah saja selama administrasi negara tugasnya tidak banyak sesuai dengan tujuan negara, hanya untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, seiring dengan perubahan tujuan negara yang disebut Lemaire sebagai bestuurzorg atau menyelenggarakan kesejahteraan umum bagi masyarakat menyebabkan administrasi negara atau penguasa tidak lagi dapat diikat hanya dengan undang-undang atau peraturan tertulis.”21
Maka dari itu, selanjutnya penulis akan memaparkan perihal wewenang
pemerintahan beserta hal-hal yang berkaitan dengan kebebasan bertindak
pemerintah dalam hukum administrai negara.
C. Kewenangan Pemerintah
1. Wewenang Pemerintahan
Negara mempunyai tujuan untuk menyelenggarakan kesejahteraan
umum atau negara melakukan tugas servis publik. Untuk menjalankan
tugas servis publik ini negara bertindak atas kewenangan yang ada
padanya, baik yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atau
21 Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, h. 38-39.
31
melalui campur tangan pemerintah dalam rangka mencapai tujuan
negara. Konsep negara hukum untuk mencapai negara kesejahteraan
berdampak kepada turut campur tangannya pemerintah ke dalam semua
aspek kehidupan masyarakat. Hukum mengatur dan memberi wewenang
kepada administrasi negara untuk menyelenggarakan tugas servis
publik.22
Menurut peraturan perundang-undangan, tugas servis publik
pemerintah sebagai tindakan administrasi negara didasarkan pada
ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara Pasal 1;23
Ayat (1): Tata usaha negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.
Ayat (2): Badan atau pejabat tata usaha negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari ketentuan ayat (2) di atas dapat kita ketahui bahwa para pejabat
tata usaha negara hanya dapat menjalankan pemerintahan bila
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, oleh karena itu
harus diketahui berasal dari manakah kewenangan para pejabat tersebut
dalam menjalankan tugasnya.
22 Jum Anggraini, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 88.
23 Undang-undang ini telah diperbaharui dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, kedua ayat tersebut tetap tercantum dalam pasal 1 namun terletak pada ayat 7 dan 8.
32
Adapun pemerintah dalam hal ini mempunyai cara dan sumber
dalam memperoleh wewenangnya, diantaranya yaitu melalui atribusi,
delegasi, dan mandat. Penulis memaparkannya sebagai berikut;
a. Atribusi24
Menurut Rosjidi Ranggawidjaja sebagaimana dikutip oleh Jum
Anggaraini,25 pengertian atribusi adalah pemberian kewenangan
kepada badan, lembaga, atau pejabat negara tertentu yang diberikan
oleh pembentuk undang-undang dasar maupun pembentuk undang-
undang. Dalam hal ini berupa penciptaan wewenang baru untuk dan
atas nama yang diberi wewenang tersebut.
Mengenai pengertian atribusi, Indroharto menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan atrisbusi adalah pemberian wewenang
pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan dalam perundang-
undangan baik yang dilakukan oleh original legislator ataupun
delegated legislator.26
b. Delegasi27
24 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Negara, Pasal 1 Ayat 22 mengartikan
astribusi sebagai pemberian kewenangan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia atau Undang-Undang.
25 Jum Anggraini, Hukum Administrasi Negara, h. 89.
26 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), h.91.
27 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Negara, Pasal 1 Ayat 23 mendefinisikan delegasi sebagai pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.
33
Pada delegasi terjadi suatu pelimpahan wewenang yang telah
ada (wewenang asli) oleh badan atau jabatan pemerintahan secara
atributif kepada badan atau jabatan pemerintahan lainnya.28 Atau
dengan kata lain menurut H.D. Van Wijk sebagaimana dikutip oleh
Ridwan HR. delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan
dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.29
c. Mandat30
Adapun pengertian mandat terjadi jika organ pemerintahan
mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas
namanya. Dengan kata lain, suatu tindakan atau perbuatan yang
mengatasnamakan badan atau jabatan pemerintahan yang
diwakilinya (bertindak untuk dan atas nama badan atau jabatan
pemerintahan). Hal ini sama atau serupa dengan konsep pemberian
kuasa dalam hukum perdata yang memberi kewenangan pada
penerima kuasa untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum
atas nama pemberi kuasa.31
28 Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, Cet. I, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 112.
29 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, h. 105.
30 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Negara, Pasal 1 Ayat 24 menyebutkan mandat adalah pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.
31 Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, h. 112.
34
2. Kebebasan Bertindak Administrasi Negara
Peraturan perundang-undangan harus tertulis serta berlaku lebih
dahulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang
dilakukan, maka setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus
didasarkan atas aturan atau rules and procedures (regels). Prinsip
normatif demikian nampaknya sangat kaku dan dapat menyebabkan
birokrasi menjadi lamban. Oleh karena itu, Jimly Asshiddiqie
berpendapat; 32
“Untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang diakui pula adanya prinsip freies ermessen yang memungkinkan para pejabat mengembangkan dan menetapkan sendiri beleid-regels atau policy rules yang berlaku internal secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.”
Selain freies ermessen, terdapat juga prinsip delegasi perundang-
undangan dan droit function yang penulis paparkan sebagai berikut;
a. Freies Ermessen
Agar alat perlengkapan negara, dalam hal ini organ administrasi
negara dapat menjalankan tugas menyelenggarakan kesejahteraan
umum secara baik, maka administrasi negara memerlukan
kemerdekaan untuk bertindak atas inisiatif sendiri terutama dalam
menyelesaikan masalah-masalah penting yang timbul dengan tiba-tiba,
32 Jimly Asshiddiqie, Negara Hukum Indonesia, dalam Muhammad Tahir Azhari, et al.,
Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Islam, Cet. I,(Jakarta: Kencana, 2012), h. 31.
35
dimana peraturan penyelesaiannya belum ada, atau belum dibuat oleh
badan legislatif. Kemerdekaan ini disebut freies ermessen.33
Sama halnya jika terjadi kebuntuan landasan mengambil
keputusan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, seorang
pejabat pemerintahan sejatinya dilindungi pula oleh asas freies
ermessen, atau diskresi.34 Freies ermessen berasal dari kata frei yang
berarti bebas, merdeka, tidak terikat. Kata freis berarti orang bebas,
sedangkan kata ermessen berarti mempertimbangkan, menilai,
menduga, penilaian, pertimbangan atau keputusan. 35
Terdapat tiga alasan atau keadaan kondisional yang menjadikan
pemerintah dapat melakukan tindakan diskresif atau tindakan atas
inisiatif sendiri. Ridwan HR menyebutkan ketiganya adalah;
“Pertama, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelesaian in concerto terhadap suatu masalah, padahal masalah tersebut menuntut penyelesaian yang segera. Kedua, peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar tindakan aparat pemerintah telah memberikan kebebasan sepenuhnya. Ketiga, adanya delegasi perundang-undangan; yaitu pemberian kekuasaan untuk mengatur sendiri kepada pemerintah yang sebenarnya kekuasaan ini dimiliki oleh aparat yang lebih tinggi tingkatannya.”36
33 Siti Soetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Cet. IV, (Bandung: PT. Refika
Aditama, 2005),h. 98.
34 UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Negara, Pasal 1 Ayat 9 menjelaskan diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnansi pemerintahan.
35 S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD., Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: Liberty, 2000), h. 9.
36 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, h. 180.
36
Adapun Indroharto menyebutkan bahwa wewenang diskresi
sebagai wewenang fakultatif, yaitu wewenang yang tidak mewajibkan
badan atau pejabat tata usaha negara menerapkan wewenangnya,
tetapi memberikan pilihan sekalipun hanya dalam hal-hal tertentu
sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya.37
b. Delegasi Perundang-undangan38
Delegasi perundang-undangan (delegasi van wetgeving) berarti
administrasi negara diberikan kekuasaan untuk membuat peraturan
organik pada undang-undang. Maksudnya, karena pembuat undang-
undang pusat tidak dapat memperhatikan setiap masalah secara rinci
yang timbul di seluruh wilayah negara, maka sesuai sifatnya suatu
undang-undang, pembuat undang-undang hanya membuat peraturan
secara garis besarnya saja.
Demikian kepada pemerintah atau administrasi negara diberi
tugas menyesuaikan peraturan-peraturan yang dibuat badan legislatif
dengan keadaan yang konkret di masing-masing bagian wilayah
negara atau menyesuaikan peraturan-peraturan tersebut dengan
keadaan umum yang telah berubah setelah peraturan tadi diadakan.
Jadi berdasarkan delegasi perundang-undangan, maka pemerintah atau
administrasi negara dapat membuat peraturan pemerintah untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
37 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
h. 99-101.
38 Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, h. 42-43.
37
c. Droit Function39
Droit function adalah kemerdekaan seorang pejabat administrasi
negara tidak berdasarkan delegasi yang tegas dalam menyelesaikan
suatu persoalan yang konkret. Kemerdekaan ini perlu agar
administrasi negara dapat menjalankannya secara lancar, sesuai untuk
memenuhi kebutuhan masing-masing individu dan sekaligus
mengoreksi hasil pekerjaan pembuatan undang-undang. Misalnya,
pejabat administrasi negara bebas untuk menentukan apakah suatu
bengkel pantas atau tidak pantas didirikan di sebelah rumah sakit. Hal
ini berarti keputusan pejabat administrasi itu dapat mengoreksi hasil
pekerjaan pembuat undang-undang karena pembuat undang-undang
sendiri secara otomatis telah memberikan keleluasaan besar kepada
pejabat administrasi negara yang berwenang memberi izin.
Hal di atas berarti terserah kepada pendapat dan kejujuran pejabat
administrasi negara yang berkuasa mengeluarkan izin atau berarti
pulang undang-undang menyiapkan kebutuhan untuk masa depan.
Satu hal yang amat penting untuk diketahui bahwa pejabat
administrasi negara tidak boleh melakukan droit function sedemikian
rupa sehingga merugikan kepentingan individu tanpa alasan yang
masuk akal (redelijk) terutama yang tergolong freies ermessen dan
droit function tidak boleh dipergunakan untuk menyeleggarakan
kepentingan yang bukan kepentingan umum.
39 Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, h. 43-44.
38
D. Sekilas Mengenai Partai Politik
1. Urgensi Partai Politik
Menurut Hans Kelsen, dalam sebuah demokrasi parlementer,
seorang individu saja hanya mempunyai pengaruh kecil terhadap
pembentukan organ legislatif dan eksekutif. Untuk mendapatkan
pengaruh ia harus bersatu dengan individu-individu lain yang
menganut pandangan atau sikap politik yang sama, dengan demikian
muncullah partai politik. Dalam demokrasi parlementer, partai politik
merupakan sarana terpenting bagi pembentukan kehendak umum.
Prinsip mayoritas sangat begitu penting bagi demokrasi, dan hanya
dapat bekerja apabila integrasi politik dalam suatu kelompok yang
terdiri atas lebih dari setengah para pemilih.40
Partai politik merupakan sarana bagi warga negara untuk
berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Dewasa ini partai
politik sudah sangat akrab di lingkungan kita. Sebagai lembaga politik,
partai bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada, kelahirannya
mempunya sejarah yang cukup panjang meksipun belum cukup tua.
Bisa dikatakan parati politik merupakan yang baru dalam kehidupan
manusia, jauh lebih muda dengan organisasi negara, dan ia baru ada
pada awal abad ke-20.41
40 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Penerjemah: Raisul
Muttaqien, Cet. ke-IV, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2009), h. 416
41 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. IV, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008), h. 397.
39
Carl J. Friedrich sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiarjo
mengemukakan bahwa partai politik adalah sekelompok manusia yang
terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan
penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan
berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya
kemanfaatan yang bersifat idiil dan materil.42
Adapun menurut Jimly Asshiddiqie,43 yang berpendapat bahwa
partai politik adalah asosiasi warga negara dan karena itu dapat
berstatus sebagai badan hukum (rechts-persoon). Akan tetapi, sebagai
badan hukum, partai politik itu tidak dapat beranggotakan badan
hukum yang lain. Yang hanya dapat menjadi anggota badan hukum
partai politik adalah perorangan warga negara sebagai natuurlijke
persoons.
Pada bukunya yang lain,44 beliau memaparkan bahwa partai politik
merupakan salah satu saja bentuk pelembagaan sebagai wujud ekspresi
ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam
masyarakat demokratis. Disamping partai politik, bentuk ekspresi
lainnya terjelma juga dalam wujud kebebasan pers, kebebabasan
berkumpul, ataupun kebebasan berserikat melalui organisasi-organisasi
non-partai politik seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
42 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 404.
43 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Cet. III, (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006), h. 69.
44 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cet. V, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 402.
40
organisasi kemasyarakatan (ormas), organisasi non-pemerintah (NGO),
dan lain sebagainya.
Mengenai peran dan fungsi partai politik, dapat dibedakan menjadi
dua kategori, Firmanzah berpendapat;
“Secara garis besar, peran dan fungsi partai politik dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, peran dan tugas internal organisasi. Dalam hal ini organisasi partai politik memainkan peran penting dalam pembinaan, edukasi, pembekalan, kaderisasi dan melanggengkan ideologi politik yang menjadi latar belakang pendirian partai politik. Kedua, partai politik juga mengemban tugas yang lebih bersifat eksternal organisasi. Disini peran dan fungsi organisasi partai politik terkait dengan masyarakat luas, bangsa dan negara. Kehadiran partai politik juga memiliki tanggung jawab konstitusional, moral, dan etika untuk membawa kondisi dan situasi masyarakat menjadi lebih baik.”45
2. Dasar Hukum Partai Politik
Negara Indonesia meletakkan partai politik sebagai unsur penting
dalam berjalannya demokrasi. Dengan urgensi partai politik yang telah
dipaparkan sebelumnya, maka sudah semestinya terdapat peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang partai politik. Peraturan
perundang-undangan tersebut kiranya dapat menjadi pedoman dalam
perkembangan partai politik yang positif, efektif dan konstruktif.
Konstitusi menegaskan bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,
serta mengeluarkan pikiran baik lisan maupun dengan tulisan diakui
oleh negara,46sekaligus juga berhak memajukan dirinya dalam
45 Firmanzah, Mengelola Partai Politik; Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di
Era Demokrasi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), h. 70.
46 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28.
41
memperjuangkan hakya secara kolektif untuk membangun masyarakat,
bangsa dan negaranya.47 Dalam pemilihan umum anggota Dewan
Perwakilan Rakayat dan Dewan Perwakilan rakyat daerah, perserta
pemilihan umum adalah partai politik,48 bahkan dalam konstitusi juga
menyebutkan bahwa pada pemilihan umum presiden dan wakil
presiden, pasangan calon harus pula diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik.49
Partai politik tentunya ditunjang dengan konstruksi peraturan
perundang-undangan terkait. Selain eksistensinya dijamin oleh
konstitusi, terdapat undang-undang yang secara spesifik mengatur
tentang partai politik, yaitu Undang-Undang No. 2 Tahun 2011
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang
Partai Politik. Adapun beberapa undang-undang yang juga berkaitan
dengan partai politik;
a. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Perubahan Kedua Atas
UU No. 1 tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi Undang-Undang.
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
47 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28C Ayat (2).
48 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22E Ayat (3).
49 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 6A Ayat (2).
42
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi Undang-
Undang.
c. Undnag-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden.
d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
43
BAB III
PERSELISIHAN KEPENGURUSAN
PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN (PPP)
A. Sejarah Pendirian Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Partai Persatuan Pembangunan didirikan tanggal 5 Januari 1973, sebagai
hasil fusi dari empat partai Islam; Partai Nahdatul Ulama (NU), Partai
Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan
Partai Islam (Perti). Deklarasi pembentukan PPP dilakukan oleh lima
deklarator yang merupakan pimpinan empat partai Islam perserta pemilihan
umum 1971 dan oleh seorang ketua kelompok persatuan pembangunan (fraksi
empat partai Islam di Dewan Perwakilan Rakyat), yaitu K.H. Idham Chalid
(Ketua Umum PBNU), H. Muhammad Syafaat Mintaredja, S.H. (Ketua
Umum Parmusi), H. Anwar Tjokroaminoto (Ketua Umum PSII), H. Rusli
Djalil (Ketua Umum Perti), serta Haji Maskur selaku ketua kelompok
persatuan pembangunan DPR.1
Dalam naskah deklarasi pembentukan PPP yang ditandatangani oleh
K.H. Idham Chalid (NU), H.M.S. Mintaredja (Parmusi), H. Anwar
Tjokroaminoto (PSII), H. Rusli Djalil (Perti), dan Haji Maskur, dikatakan
bahwa kelahiran PPP merupakan wadah penyelamat aspirasi umat Islam can
cermin kesadaran serta tanggung jawab tokoh-tokoh umat dan pemimpin
partai untuk bersatu, bahu membahu, serta membina masyarakat agar dapat
1 Arief Mudatsir Mandan, Hamzah Haz; Konsistensi dan Intergritas Perjuangan Di
Bawah Panji-Panji Ka’bah, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2002), h. 19.
44
leih meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. melalui
perjuangan partai politik.2
Sesudah terjadinya fusi pada tahun 1973, pemilihan umum pertama yang
diikuti PPP pada tahun 1977 menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Partai yang membawa panji Islam ini berhasil mendapat kepercayaan dengan
perolehan suara 18.745.592 (29,29%) suara dari 64.000.185 pemilih yang
terdaftar. Peroleh suara tersebut meningkat 2,17% dari dari total perolehan
partai-partai fusi (NU, Parmusi, PSII, dan Perti) dalam pemilu 1971.3
Seiring berjalannya waktu, telah banyak proses dan kejadian politik
termasuk konflik yang telah terjadi dalam tubuh PPP. Diantaranya dalam
muktamar NU yang ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, NU memutuskan untuk
kembali ke Khittah 1926 sebagai organisasi kemasyarakatan keagamaan, dan
tidak lagi mempunyai hubungan otoritas dengan PPP. Keputusan yang dibuat
pada akhir tahun 1984 itu lalu membuat NU mengambil jarak dengan partai
yang dibesarkannya itu. Secara operasional, keputusan kembali ke Khittah
1926 oleh para kiai lokal diartikan sebagai tindakan “balas dendam” terhadap
konflik yang tengah terjadi, dengan cara menarik dukungan dari partai yang
menjadi satu-satunya saluran aspirasi politik mereka selama ini.4
2 Tim Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia; Ideologi dan Program 2004-
2009, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2004), h. 88.
3 Syafruddin Amir, Transformasi Energi PPP; Konsolidasi Menuju Partai Sejati, (Bandung: Idea Publishing, 2007), h. 29.
4 Tim Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia; Ideologi dan Program 2004-2009, h. 91.
45
Aksi penggembosan yang dilakukan tokoh-tokoh NU lokal ini
merupakan pukulan telak untuk PPP. Perolehan suara partai pimpinan J. Naro
pada saat pemilu 1987 langsung anjlok dari 94 menjadi 61 (15,25 persen)
kursi. Hilangnya kursi tersebut membuat PPP terpuruk jauh dibawah Gokar.
Maklum, warga NU yang menjadi basis massa terbesar partai ijo royo-royo
ini banyak yang hengkang ke Golkar dan PDI mengikuti preferensi politik
para kiai mereka. Selain aksi penggembosan, runtuhnya kekuatan PPP juga
disebabkan oleh tindakan pemerintah Orde Baru yang memberlakukan UU
No. 3 Tahun 1985 tentang Perubahan atas UU No. 3 Tahun 1975 tentang
Partai Politik dan Golongan Karya yang mewajibkan lambang partai dan
penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas kekuatan politik. Tahun itu
juga PPP langsung mengganti lambangnya dari Ka’bah menjadi bintang,
sekaligus menanggalkan Islam sebagai asasnya. Sejak saat itu PPP dibairkan
sebagai partai yang tergantung-gantung tanpa akar.5
Pada pemilu-pemilu selanjutnya, sebagai partai hasil fusi, kekuatan PPP
bergantung pada basis kultural dari unsur-unsur fusinya sendiri. Ketika unsur-
unsur tersebut keluar dan membentuk partai masing-masing dengan
sendirinya jumlah suara yang ada di PPP menjadi berkurang. Fenomena inilah
yang menimpa PPP pada pemilu 1999. Unsur NU mendirikan Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Kebangkitan Umat (PKU), Partai Suni
(Solidaritas Umat Nahdliyyin Indonesia), dan Partai Nahdlatul Ummah
(PNU). Dari Parmusi/MI muncul Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Umat
5 Tim Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia; Ideologi dan Program 2004-
2009, h. 95-96.
46
Islam (PUI), Partai Masyumi Baru, dan Partai Politik Islam Masyumi.
Sementara PSII membentuk PSII 1905. Di luar unsur-unsur tersebut ada
Partai Keadilan (PK) dengan basis massa kelompok intelektual muda dan
aktivis Islam kampus. Sementara itu ada pula Partai Amanat Nasional (PAN)
yang bukan partai Islam tetapi sebagian besar pendukungnya adalah
organisasi kaum modernis Islam, Muhammadiyah.6
Dinamika politik PPP lalu diwarnai kembali dengan konflik internal yang
bermuara kepada perpecahan partai ini. Konflik ini berawal dari ketidak
puasan sejumlah kader partai terhadap keputusan Musyawarah Kerja
Nasional II PPP tahun 2001 yang menunda pelaksanaan Muktamar II hingga
2004. Padahal hasil Muktamar PPP tahun 1998 mengamanatkan Muktamar V
tahun 2003. Terdapat dugaan, perpanjangan waktu muktamar tersebut karena
adanya keengganan penguasa partai saat itu (Hamzah Haz yang juga
menjabat sebagai Wakil Presiden) untuk melakukan regenerasi dan
restrukturisasi jabatan dalam PPP. Berikutnya Zainuddin MZ dan Djafar
Badjeber serta beberapa kader PPP yang pro Muktamar 2003 menyatakan
keluar dari PPP lalu mendirikan PPP Reformasi pada 20 Januari 2002. Ironis,
di saat iklim politik nasional yang bebas dari tekanan politik pemerintah, PPP
bisa mengalami perpecahan.7
6 Tim Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia; Ideologi dan Program 2004-
2009, h. 97.
7 Tim Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia; Ideologi dan Program 2004-2009, h. 98-99.
47
Pada sukesi kepemimpinan PPP selanjutnya, Hamzah Haz digantikan
oleh Surayadharma Ali pada Muktamar VI PPP tahun 2007 dan diperpanjang
melalui Muktamar VII PPP, dilaksanakan pada tahun 2011 di Bandung yang
memutuskan Suryadharma Ali sebagai Ketua Umum dan Romahurmuzy
sebagai Sekretaris Jenderal. Pada suksesi kepemimpinan PPP pada tahun
2014, kembali terjadi perpecahan di internal kepengurusan partai, disebabkan
oleh pemilu presiden dan wakil presiden 2014 dimana muncul dua kubu
berseteru perihal calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung.
Seiring berjalannya waktu, dapat diamati dinamika partai ini memang kerap
diiiringi perpecahan atau perselisihan baik itu disebabkan oleh pihak internal
maupun eksternal partai.
B. Substansi Perselisihan Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Konflik internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) diawali dengan
dukungan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali kepada kubu pasangan capres-
cawapres Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa pada pemilu 2014, yang dirasa
keputusan sepihak oleh beberapa elit PPP. Keputusan Suryadharma yang
menghadiri kampanye terbuka Prabowo dinilai 27 Dewan Pimpinan Wilayah
(DPW) melanggar kesepakatan partai dalam Mukernas II PPP dan mendesak
agar pengurus PPP menjatuhkan sanksi kepada Suryadharma. Dalam
Mukernas II PPP di Bandung pada 07 Februari 2014, PPP akan menjalin
komunikasi politik dengan delapan bakal capres yang ada saat itu. Dalam
bursa capres PPP itu, tidak ada nama Prabowo. Akibat keputusan sepihak
Suryadharma tersebut, DPP PPP menggelar rapat yang akan terjadi islah
48
antara Suryadharma dengan kelompok yang tidak setuju dengan keputusan
dukungannya ke Prabowo.8
Konflik PPP mencapai puncaknya pada pemecatan Suryadharma Ali
sebagai Ketum PPP saat Rapat Harian DPP PPP pada Rabu 10 September
2014. Sekjen PPP Romahurmuziy mengatakan keputusan itu diambil karena
Suryadharma sudah ditetapkan tersangka kasus korupsi oleh KPK dan
melanggar beberapa aturan dalam AD/ART partai. Keputusan ini didukung
28 DPW PPP. Sebagai penggantinya, Waketum DPP PPP, Emron Pangkapi
ditunjuk sebagai pelaksana tugas (Plt) Ketum PPP. Suryadharma Ali
menegaskan pemberhentian dirinya sebagai Ketum PPP tidak sah. Saling
memecat antara pengurus pun terjadi.9
Persoalan yang terjadi di internal pengurus Partai Persatuan
Pembangunan semakin rumit dengan tidak terselesaikannya pertikaian yang
terjadi oleh Mahkamah Partai. Alhasil, Sekretaris Jenderal Romahurmuzy
(yang kemudian dikenal dengan Kubu Romi) mengadakan muktamar di
Surabaya pada tanggal 15-18 Oktober 2014 dengan menghasilkan
Romahurmuzy sebagai Ketua Umum secara aklamasi. Begitupun dengan
Ketua Umum Suryadharman Ali mengadakan muktamar di Jakarta pada
tanggal 23-26 Oktober 2014, yang menghasilkan Djan Faridz sebagai Ketua
Umum terpilih secara aklamasi pula. Terbentuklah dua kepengurusan yang
mengklaim legalitas muktamar yang diadakan oleh kubu mereka, dan
8 Torie Natalova, “Awal Perseteruan ‘Panas’ PPP”, artikel diakses pada 04 September 2016 dari http://news.metrotvnews.com/read/2014/09/13/290975/awal-perseteruan-panas-ppp
9 Torie Natalova, “Awal Perseteruan ‘Panas’ PPP”, artikel diakses pada 04 September 2016 dari http://news.metrotvnews.com/read/2014/09/13/290975/awal-perseteruan-panas-ppp
49
mendaftarkan kepengurusan yang terbentuk kepada Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia.
Pada mulanya Menteri Hukum dan HAM (Yasonna Laoly) mengeluarkan
SK Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-07.AH.11.01 yang mengakui
keabsahan Muktamar PPP Kubu Romy di Surabaya, namun surat keputusan
menteri tersbut digugat dan pada tingkat kasasi (Putusan MA No.
504K/TUN/2015) memutuskan untuk membatalkan Surat Keputusan Menteri
Hukum dan HAM yang mengesahkan hasil Muktamar VIII PPP di Surabaya
(muktamar Kubu Romy), dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 601/K-PDT.SUS-PARPOL/2015 pada 02
November 2015 yang menyatakan muktmar PPP di Jakarta sebagai muktamar
yang sah dan struktur kepengurusan DPP PPP hasil muktamar di Jakarta
sebagai kepengurusan yang sah, serta menegaskan muktamar yang diadakan
di Surabaya tidak sah dengan segala akibat hukumnya.
Irman Putra Sidin berpendapat,10 bahwa yang sah sesuai dengan AD
ART PPP adalah Muktamar PPP di Jakarta, dan telah terkonfimasi oleh
lembaga peradilan. Berlaku asas semua putusan pengadilan dianggap benar,
dalam artian bahwa secara hukum kasus PPP sudah selesai. Menurutnya,
kasus PPP ini masuk dalam koridor hukum yang didalamnya ada atmosfer
politik. Ia juga mengatakan bahwa tidak perlu menunggu SK Menkumham
karena Dewan Perwakilan Rakyat tidak terkait lagi dengan putusan
Menkumham setelah ada putusan MA, putusan MA mempunyai posisi lebih
10 Pendapat disampaikan pada Diskusi Publik Fraksi PPP DPR RI dengan tema “Konflik PPP: Perspektif Hukum dan Politik”, Ruang Rapat FPPP Gd. Nusantara I DPR RI, Rabu 27 Januari 2016.
50
tinggi dari SK Menkumham karena sifatnya adalah declaratoir bukan
condemnatoir.
Sedangkan menurut Lukman Hakim Saifuddin (Wakil Ketua Umum DPP
PPP Muktamar Bandung) kalangan senior PPP dan para pengurus, baik di
tingkar pusat, wilayah, cabang, maupun ranting sudah bersepakat
menyelesaikan konflik sengketa partai dengan islah melalui permusyawaratan
tertinggi partai. Ia mengatakan jika ia menghormati dan PPP sudah sepakat
bulat untuk menyelesaikan sengketa yang sudah bertahun-tahun terjadi. Satu-
satunya cara untuk menyelesaikan sengketa ialah dengan muktamar sebagai
forum Islah.11 Tentu pendapatnya ini mengikuti arahan dari Menteri Hukum
dan HAM yang mengesahkan kembali Surat Keputusan Menteri Hukum dan
HAM Nomor M.HH-20.AH.11.01 Tahun 2012 yaitu mengesahkan kembali
susunan DPP PPP Muktamar Bandung 2011 dengan masa bakti enam bulan
untuk membentuk kepanitiaan penyelenggaraan Muktamar Islah.
Terlaksanalah Muktamar Islah pada 08-11 April 2016 di Pondok Gede,
sebagai wadah islah bagi kedua kubu yang berseteru. Hingga pada akhirnya
Menteri Hukum dan HAM sebagai perwakilan pihak pemerintah mengakui
legalitas muktamar islah yang telah diadakan dengan menerbitkan Surat
Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-06.AH.11.012016.12
Namun ternyata muktamar islah tidak serta merta menyelesaikan perselisihan
11 Astri Novaria, “Islah Partai Persatuan Pembangunan Hanya Lewat Muktamar”, Media
Indonesia, 8 April 2016, h. 3.
12 Muktamar VIII Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta (Muktamar Islah/Muktamar Pondok Gede) menghasilkan Romahurmuzy sebagai Ketua Umum dan Arsul Sani sebagai Sekretaris Jenderal, dengan masa bakti 2016-2021. (“Menkumham Terbitkan SK PPP”, Republika, 28 April 2016, h. 2.)
51
dalam tubuh PPP, karena kubu Djan Faridz menolak untuk mengikuti
muktamar tersebut.
Terdapat beberapa alasan yang membuat Kubu Djan Faridz menolak
untuk mengikuti Muktamar VIII PPP di Pondok Gede (Muktamar Islah).
Pertama; Putusan Mahkamah Agung sudah menolak pengembalian
kepengurusan ke hasil muktamar Bandung. Penerbitan kembali SK Bandung
yang dilakukan oleh SK Menkumham Yasonna Laoly ditudingnya sebagai
tindakan melawan hukum. Karena itu, dasar penyelenggaraan muktamar VIII
oleh Emron Pangkapi dan Romi di Asrama Haji Pondok Gede adalah ilegal.
Kedua; dalam putusan MA juga dikatakan kepengurusan PPP yang sah adalah
hasil muktamar Jakarta diketuai Djan Faridz dengan Sekretaris Jenderal
Dimyati Natakusumah.13
C. Mekanisme Internal Penyelesaian Perselisihan PPP
Mekanisme penyelesaian perselisihan partai politik telah diatur dalam
UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik, pada pasal 32 mengatur sebagai berikut;
1. Perselisihan partai politik diselesaikan oleh internal partai politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART.
2. Penyelesaian perselisihan internal partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik.
3. Susunan mahkamah partai politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh pimpinan partai politik kepada kementerian.
4. Penyelesaian perselisihan internal partai politik sebagaimana dimaksud ayat pada ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari.
13 Agus Rahardjo, “Djan Faridz Menolak Ikut Muktamar Romahurmuzy”, Republika, 4
April 2016, h. 4.
52
5. Putusan mahkamah partai politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan.
Ditegaskan juga bahwa Mahkamah Partai PPP berwenang sebagai
berikut; memutus perkara perselisihan kepengurusan internal PPP, memutus
perkara pemecatan dan pemberhentian anggota PPP, memutus perkara dugaan
penyalahgunaan kewenangan oleh Anggota Dewan Pimpinan, dan memutus
perkara dugaan penyalahgunaan keuangan; 14 Putusan Mahkamah Partai harus
berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku, serta bersifat final dan mengikat.15
Berkaitan dengan perselisihan yang bermula dari aksi saling pecat pihak
Suryadharma Ali dan pihak Romahurmuzy, kasus tersebut telah diajukan ke
Mahkamah Partai dengan maksud agar tercapai islah antara kedua belah
pihak, Mahkamah Partai DPP PPP mengeluarkan putusan dengan No.
49/PIP/MP-DPP.PPP/2014 tertanggal 11 Oktober 2014, yang dalam amar
putusannya menyatakan :
1. Pengurus Harian DPP PPP Periode 2011 – 2015 selaku eksekutif PPP ditingkat nasional adalah Pengurus Harian DPP PPP yang susunan personalianya sesuai hasil keputusan Muktamar VII PPP Tahun 2011, di Bandung, dengan Ketua Umum DR.H.Suryadharma Ali, M.Si dan Sekretaris Jenderal Ir.H.M. Romahurmuziy, M.T;
2. Para Pihak yang berselisih harus Ishlah, untuk menyelesaikan perselisihan internal pengurus harian DPP PPP, sebagaimana fatwa Majelis Syari’ah yang dituangkan dalam Surat Pernyataan Majelis Syari’ah DPP PPP tanggal 22 September 2014, yang ditandatangani oleh Ketua Majelis Syari’ah K.H. Maimoen Zubair, dan Sekretaris Majelis Syari’ah Drs. H. Anas Thahir;
3. Semua kebijakan dan kegiatan partai di tingkat nasional, hanya sah apabila dilakukan oleh Pengurus Harian DPP PPP sebagaimana
14 Anggaran Dasar PPP Pasal 20 Ayat (4)
15 Anggaran Dasar PPP Pasal 20 Ayat (5) dan (6).
53
dimaksud pada angka 1 (satu) diatas, termasuk untuk penyelenggaraan Muktamar VIII PPP;
4. Semua Surat Keputusan tentang pemberhentian dan/atau pengangkatan terhadap Pengurus DPP, DPW, DPC dan Pemberhentian Keanggotaan PPP yang tidak ditandatangani oleh Ketua Umum DR.H. Suryadharma Ali, M.Si dan Sekretaris Jenderal Ir.H.M. Romahurmuziy, M.T., yang dibuat dan diterbitkan sejak tanggal 09 September 2014 sampai dengan diputuskannya Putusan Mahkamah Partai ini, dinyatakan tidak sah dan dikembalikan kepada kedudukan semula;
5. Muktamar VIII PPP harus diselenggarakan oleh DPP PPP yang didahului rapat pengurus harian DPP PPP untuk membentuk kepanitiaan dan menetapkan tempat diselenggarakannya Muktamar. Surat Undangan dan surat – surat lainnya berkaitan dengan pelaksanaan Muktamar VIII PPP harus ditandatangani oleh Ketua Umum DR.H.Suryadharma Ali, M.Si dan Sekretaris Jenderal Ir.H.M. Romahurmuziy, M.T. Apabila tidak dilaksanakan dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah dibacakannya Putusan Mahkamah Partai ini, maka Majelis Syari’ah mengambil alih tugas dan tanggung jawab Pengurus Harian DPP PPP untuk mengadakan rapat pengurus harian DPP PPP yang akan menetapkan waktu dan tempat penyelenggaraan Muktamar VIII PPP;
6. Memerintahkan kepada Para Pihak yang berselisih, seluruh anggota, kader, dan pengurus disemua tingkatan DPP, DPW, DPC, PAC, dan PR PPP untuk mentaati dan melaksanakan putusan ini;
7. Mengharapkan kepada Para senior PPP untuk mengawal pelaksanaan Putusan Mahkamah Partai guna mewujudkan keutuhan PPP;
8. Meminta kepada semua pihak, khususnya instansi pemerintah untuk mentaati Putusan Mahkamah Partai ini demi kepentingan bangsa dan negara RI yang kita cintai.
Pada kenyataannya putusan Mahkamah Partai di atas diabaikan atau tidak
ditaati oleh beberapa pihak yang berselisih, dan kemudian melakukan
beberapa manuver tertentu, yang menyebabkan perselisihan kepengurusan
dalam tubuh PPP semakin rumit hingga harus diselesaikan secara eksternal
partai dengan melibatkan badan-badan peradilan yang berwenang.
54
D. Mekanisme Eksternal Penyelesaian Perselisihan PPP
UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik, Pasal 33 mengatur bahwa:
1. Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian dilakukan melalui Pengadilan Negeri.
2. Putusan Pengadilan Negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
3. Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi diterima Kepaniteraan Mahkamah Agung.
Meskipun Undang-Undang Partai Politik telah mengatur mekanisme
penyelesaian perselisihan partai politik, namun pengaturan mengenai
penyelesaian perselisihan partai politik tersebut mengandung kontradiksi. Hal
itu ditunjukkan meskipun di dalam pasal 32 disebutkan bahwa putusan
Mahkamah Partai Politik bersifat final dan mengikat secara internal namun
masih membuka kemungkinan upaya hukum ke Pengadilan Negeri dan
Mahkamah Agung.16
Proses penyelesaian perselisihan kepengurusan PPP secara eksternal
telah melalui beberapa tahapan dan menghasilkan putusan-putusan terkait
masalah tersebut. Diawali dengan SK Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-
07.AH.11.01 yang mengesahkan hasil muktamar kubu Romi di Surabaya, SK
tersebut kemudian dibatalkan oleh PTUN melalui putusan No.
217/G/2014/PTUN-JKT pada tanggal tanggal 06 November 2014.
16 Tri Cahya Indra Permana, Model Penyelesaian Perselisihan Partai Politik Secara Internal Maupun Eksternal, Jurnal Hukum dan Peradilan V, No. 1, (Maret 2016), h. 38.
55
Tidak setuju dengan putusan tersebut di atas Menteri Hukum dan HAM
serta Kubu Romi mengajukan banding, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Jakarta memutuskan membatalkan putusan PTUN Jakarta No.
217/G/2014/PTUN-JKT tertanggal 06 November 2014 (Putusan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara Nomor 120/B/2015/PT TUN-JKT pada 10 Juli
2015).
Pihak Djan Faridz lantas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung,
tanggal 20 Oktober 2015 Mahkamah Agung dalam putusan No.
504K/TUN/2015 memutuskan mengabulkan kasasi pemohon, yaitu dengan
kembali kepada putusan PTUN Jakarta No. 217/G/2014/PTUN-JKT. Dengan
putusan tersebut, kepengurusan hasil muktamar PPP Kubu Romi di Surabaya
tidak memiliki legalitas kepengurusan karena SK Menkumham yang
mengesahkannya telah dibatalkan oleh MA.
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Partai Politik,
beberapa pengurus PPP mengajukan kasus perselisihan kepengurusan tersebut
ke Pengadilan Negeri, menghasilkan Putusan PN Jakara Pusat Nomor
88/Pdt.Pdt.Sus-Parpol/2015/PN.Jkt.Pst pada 19 Mei 2015. Meskipun majelis
hakim menolak gugatan tersebut dengan alasan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat tidak berwenang memutuskan legalitas sebuah muktamar. Namun MA
pada tingkat kasasi, membatalkan putusan itu dan memutuskan untuk
mengabulkan sebagian permohonan kasasi penggugat intervensi yaitu
menyatakan muktmar PPP di Jakarta sebagai muktamar yang sah dan struktur
kepengurusan DPP PPP hasil muktamar di Jakarta sebagai kepengurusan
56
yang sah, serta menegaskan muktamar yang diadakan di Surabaya tidak sah
dengan segala akibat hukumnya (Putusan MA Republik Indonesia Nomor
601/K-PDT.SUS-PARPOL/2015 pada 02 November 2015).
Permasalahan muncul kembali ketika Menteri Hukum dan HAM
Yasonna Laoly mengesahkan kembali kepengurusan Muktamar VII PPP di
Bandung, dengan masa jabatan enam bulan untuk membentuk kepanitiaan
guna terselenggaranya Muktamar Islah atau Muktamar VIII PPP di Asrama
Haji Pondok Gede. Bagaimana kemudian legalitas muktamar islah yang
difasilitasi oleh Menteri Hukum dan HAM tersebut jika ditinjau dari
AD/ART PPP dan Undang-Undang Partai Politik serta analisa penulis
terhadap tindakan Menteri Hukum dan HAM mengabaikan atau tidak menaati
putusan MA (untuk mengakui legalitas muktamar PPP di Jakarta) yang telah
incraht tersebut, hal demikian akan penulis paparkan pada pembahasan bab
selanjutnya.
57
BAB IV
ANALISIS HUKUM LEGALITAS MUKTAMAR ISLAH
PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN (PPP)
A. Legalitas Muktamar Islah Menurut AD/ART Partai Persatuan
Pembangunan (PPP)
Van Apeldorn mengemukakan bahwa terdapat hukum yang bersifat
mengatur memberikan disposisi kepada para pihak dan mengisi
kekosongan aturan untuk hal-hal yang tidak diatur oleh para pihak, akan
tetapi para pihak tersebut dapat menetapkan sendiri bahwa mereka ingin
melengkapi aturan-aturan itu dan menetapkan sendiri aturan-aturan yang
berlaku bagi hubungan mereka.1 Sebagai contoh, Undang-Undang Partai
Politik yang mengharuskan partai politik untuk membentuk AD ART
sebagai aturan bagi internal partai politik, agar AD ART tersebut dapat
mengatur lebih spesifik hal-hal yang diinstruksikan maupun hal-hal yang
tidak diatur oleh undang-undang.
Anggaran Dasar (AD) partai politik adalah peraturan dasar partai
politik, dan Anggaran Rumah Tangga (ART) adalah peraturan yang
dibentuk sebagai penjabaran Anggaran Dasar (Pasal 1 Ayat 4 dan 5
Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik). Dari sini dapat kita
pahami bahwa partai politik diberikan kewenangan artibutif dari undang-
1 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. I, (Jakarta: Kencana, 2008), h.
201.
58
undang untuk membuat peraturan dasar yang berlaku hanya bagi internal
partai, baik itu pengurus maupun kader partai politik tersebut.
Maka dari itu, berdasarkan prinsip legalitas yang terkandung dalam
hukum Indonesia sebagaimana penulis telah paparkan pada bab
sebelumnya, bahwa setiap perbuatan hukum yang diambil harus
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. AD ART sebuah
partai politik tentunya mengatur mengenai mekanisme berjalannya
organisasi partai yang berlaku bagi internal partai politik itu sendiri.
AD ART PPP yang penulis jadikan acuan merupakan hasil
Muktamar VII PPP di Bandung, dilaksanakan pada 3-6 Juli 2011. Dalam
AD ART PPP Pasal 51 mengatur sebagai berikut;
1. Muktamar adalah musyawarah tingkta nasional yang memegang kekuasaan tertinggi PPP, diadakan 5 (lima) tahun sekali;
2. Muktamar diselenggarakan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah terbentuknya pemerintahan baru hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;
3. Muktamar berwenang: a. menetapkan dan/atau mengubah Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga. b. menilai laporan pertanggung jawaban DPP yang disampaikan
oleh pengurus harian DPP; c. menetapkan Program Perjuangan Partai; d. memilih dan/atau menetapkan pengurus harian DPP,
Pimpinan Majelis Syariah DPP, Pimpinan Majelis Pertimbangan DPP, Pimpinan Majelis Pakar DPP, serta Pimpinan Mahkamah Partai DPP;
e. menetapkan keputusan-keputusan lainnya yang dianggap perlu;
4. Acara, Tata Tertib Muktamar, serta Tata Cara Pemilihan dan/atau Penetapan Pengurus Harian, Pimpinan Majelis, dan Pimpinan Mahkamah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d ditetapkan oleh Muktamar;
5. Dalam hal Pengurus Harian, Pimpinan Majelis, dan Pimpinan Mahkamah sebagaimana dimaksud ayat (3) huruf d tidak dapat ditetapkan dalam muktamar, maka kepada Ketua Umum/Ketua
59
Formatur dengan dibantu Anggota Formatur terpilih diberi waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah Muktamar untuk menetapkan Pengurus Harian, Pimpinan Majelis, dan Pimpinan Mahkamah;
6. Muktamar diselenggarakan oleh DPP PPP;
Penulis mengamati mengenai istilah Muktamar Islah yang selalu
dipergunakan baik itu oleh media maupun diskusi yang berkembang,
bahwa dalam AD ART PPP sama sekali tidak ada disebutkan istilah
“Muktamar Islah” karena yang diatur dalam AD ART PPP hanyalah
menggunakan istilah “Muktamar” dengan definisi yang sudah penulis
sebutkan di atas. Adapun Muktamar VIII PPP yang diadakan di Asrama
Haji Pondok Gede, merupakan sebuah muktamar yang dilaksanakan untuk
mengupayakan islah antara kubu-kubu yang berselisih di internal partai.
Perlu diketahui bahwa Pasal 73 ayat (1) Anggaran Dasar PPP
menyatakan; "masa bakti kepengurusan DPP PPP hasil Muktamar VII
2011 berakhir pada Muktamar VIII yang harus diselenggarakan pada
tahun 2015". Muktamar VIII PPP apabila merujuk pada ketentuan selama
5 tahun sekali (Pasal 51 ayat 1) tersebut maka semestinya diselenggarakan
pada 6 Juli 2016. Tetapi sebab presiden dan wakil presiden telah dilantik
pada 20 Oktober 2014 dan masa bakti kepengurusan DPP PPP hasil
Muktamar VII adalah periode 2011-2015, maka kembali kepada Pasal 73
ayat (1) Anggaran Dasar PPP, yang mengatur penyelenggaraan Muktamar
VIII PPP harus diselenggarakan pada tahun 2015;
60
Maka dari itu, penyelenggaraan Muktamar VIII PPP yang sah adalah
mulai dari 1 Januari 2015 sampai dengan 20 Oktober 2015.2 Meskipun
Pasal 54 ayat (1) Anggaran Dasar PPP menyatakan;
"Musyawarah Kerja Nasional diadakan untuk memusyawarahkan dan mengambil keputusan tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan keputusan-keputusan Muktamar, usulan perubahan waktu Muktamar, dan/atau masalah lainnya yang mendesak, diadakan sekurang-kurangnya sekali antara 2 (dua) Muktamar".
Musyawarah Kerja Nasional tersebut hanyalah mengusulkan perubahan
waktu Muktamar, yang apabila ingin melakukan perubahan waktu
Muktamar tersebut haruslah dalam rentang waktu dan tidak dapat
mengesampingkan apa yang telah diatur dalam Pasal 51 ayat (1) dan (2)
dan Pasal 73 ayat (1) Anggaran Dasar yang telah diputuskan oleh
Muktamar VII PPP.
Sedangkan Muktamar Islah atau Muktamar VIII PPP di Asrama haji
Pondok Gede dilaksanakan pada 8-11 April 2016, sama sekali tidak sesuai
AD PPP hasil Muktamar VII di Bandung yang merupakan forum tertinggi
untuk mengambil keputusan, karena telah melewati batas waktu yang
diamanatkan oleh Anggaran Dasar partai.
Sebenarnya dua muktamar yang dilakukan sebelum terlaksananya
Muktamar Islah (Muktamar VIII PPP di Surabaya tanggal 15-18 Oktober
2014 dan di Jakarta pada tanggal 30 Oktober-2 November 2014) juga
bertentangan dengan AD ART, karena jelas telah mendahului rentang
2 Maksud penulis adalah bahwa berdasarkan amanat Anggaran Dasar PPP, rentang waktu
yang diperbolehkan untuk melaksanakan Muktamar VIII PPP adalah diantara 1 Januari 2015 hingga 20 Oktober 2015.
61
waktu keabsahan muktamar sebagaimana yang telah ditetapkan. Logisnya
apabila berkehendak untuk melaksanakan Muktamar VIII PPP sebelum
tahun 2015, terdapat mekanisme yang disediakan oleh AD ART yaitu
melalui Muktamar Luar Biasa, sebagaimana diatur dalam Pasal 52
Anggaran Dasar PPP yang menyatakan;
1. Muktamar Luar Biasa dapat diadakan apabila Pengurus Harian DPP dalam keadaan tidak mampu melaksanakan tugas-tugasnya sebagaimana diamanatkan oleh Muktamar;
2. Muktamar Luar Biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diadakan setelah diputuskan dalam Musyawarah Kerja Nasional atas permintaan secara tertulis dari: a. Lebih 2/3 jumlah DPW; dan; b. Lebih 2/3 jumlah DPC;
3. Permintaan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keputusan Musyawarah Kerja Wilayah/Cabang;
4. Ketentuan-ketentuan tentang Musyawarah berlaku pula bagi Muktamar Luar Biasa;
5. Masa bakti DPP PPP hasil Muktamar Luar Biasa melanjutkan masa bakti DPP PPP sebelumnya;
Mekanisme diatas tidak digunakan dan justru diabaikan, kedua belah
pihak yang berselisih tetap melaksanakan muktamar masing-masing dan
berujung kepada penyelesaian perselisihan melalui pengadilan. Penulis
menemukan bahwa mengenai penyelesaian perselisihan (islah atau
perdamaian) melalui muktamar (Muktamar Islah) tidak difasilitasi atau
tidak diatur dalam artian tidak memiliki landasan hukum dalam AD ART
hasil Muktamar VII Partai Persatuan Pembangunan.
UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik Pasal 2 Ayat (4) huruf m yang mengaharuskan
Anggaran Dasar Partai Politik memiliki mekanisme penyelesaian
62
perselisihan internal,3 pasal 32 dan 33 juga telah mengatur tentang
bagaimana penyelesaian perselisihan kepengurusan baik penyelesaian
secara internal partai itu sendiri maupun penyelesaian yang melibatkan
pihak eksternal partai (pengadilan), dan dalam pengaturan tersebut juga
tidak disebutkan sama sekali mengenai penyelesaian perselisihan yang
dapat dilakukan melalui sebuah muktamar atau tepatnya melalui proses
Muktamar Islah.
B. Muktamar Islah Dalam Perspektif Undang-Undang Partai Politik
Tatanan hukum modern, dalam penciptaan norma hukum umum
memiliki karakter legislasi. Regulasi konstitusi atas legislasi menetapkan
organ-organ diberi wewenang menciptakan norma-norma hukum umum,
yaitu undang-undang dan peraturan.4 Sebuah undang-undang di Indonesia
dibuat oleh badan legislatif (DPR) dan eksekutif, mengatur hal-hal penting
tertentu sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, sebagai contoh; Undang-Undang Partai Politik.
UU No. 2 Tahun 2008 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 2
Tahun 2011 tentang Partai Politik mengatur mengenai partai politik secara
holistik, dalam artian bahwa undang-undang tersebut menjadi legalitas
eksistensi partai politik dalam sistem demokrasi di Indonesia. Tentunya
undang-undang tersebut secara menyeluruh, (diantaranya) mengatur
3 Mekanisme penyelesaian perselisihan internal PPP telah dibahas dalam Anggaran Dasar
PPP Pasal 20 dan Anggaran Rumah Tangga Pasal 19, dimana pada intinya kedua pasal tersebut mengatur perihal tugas dan kewenangan Mahkamah Partai.
4 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Penerjemah Raisul Muttaqin, Cet. VII, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2010), h. 245.
63
mengenai mekanisme pendirian partai politik, pendaftaran kepengurusan
partai politik, AD ART partai politik, keuangan partai politik, dan lain
sebagainya.
UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, pada pasal Pasal 15
menyatakan sebagai berikut;
1. Kedaulatan partai politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan menurut AD dan ART.
2. Anggota partai politik mempunyai hak dalam menentukan kebijakan serta hak memilih dan dipilih.
3. Anggota partai politik wajib mematuhi dan melaksanakan AD dan ART serta berpartisipasi dalam kegiatan partai politik
Pasal 15 ayat (3) tersebut menegaskan bahwa seluruh anggota sebuah
partai politik diwajibkan untuk mematuhi dan melaksanakan AD ART,
yang berarti bahwa hal itu termasuk tentang pengaturan terkait
pelaksanaan muktamar yang jelas-jelas diatur mekanisme dan waktu
pelaksanaannya melalui AD ART, dalam PPP ketentuan mengenai
mekanisme pelaksanaan diatur dengan jelas pada AD Pasal 51, ART Pasal
20-23, dan waktu pelaksanaannya di Pasal 51 ayat (2) serta Pasal 73 ayat
(1).
Sementara itu pada Pasal 24 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik menyebutkan;
“Dalam hal terjadi perselisihan kepengurusan partai politik hasil forum tertinggi pengambilan keputusan partai politik, pengesahan perubahan kepengurusan belum dapat dilakukan oleh Menteri sampai perselisihan terselesaikan”
Adapun yang dimaksud dengan forum tertinggi pengambilan keputusan
partai politik adalah musyawarah nasional, kongres, muktamar, atau
64
sebutan lainnya yang sejenis.5 Jika yang dimaksudkan adalah
terselesaikannya perselisihan menurut hukum, dalam kasus PPP
semestinya Menteri Hukum dan HAM; pertama, tidak mengeluarkan SK
No. M.HH-07.AH.11.01 (pada 28 Oktober 2014) yang mengesahkan
kepengurusan hasil Muktamar VIII PPP Kubu Romi di Surabaya. Terbukti
dengan dibatalkannya SK tersebut di tingkat kasasi melalui Putusan MA
No. 504K/TUN/2015 (pada 02 November 2015).
Kedua, berdasarkan Pasal 32 dan 33 UU No. 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, perselisihan
kepengurusan yang terjadi antara pihak Muktamar VIII PPP di Surabaya
(Kubu Romi) dan pihak Muktamar VIII PPP di Jakarta (Kubu Djan
Faridz) telah mempunyai putusan yang berkekuatan tetap yaitu
berdasarkan Putusan MA No. 601/K-PDT.SUS-PARPOL/2015, yang
memutuskan bahwa Muktmar VIII PPP di Jakarta sebagai muktamar yang
sah dan struktur kepengurusan DPP PPP hasil muktamar di Jakarta sebagai
kepengurusan yang sah, serat memutuskan bahwa muktamar yang
diadakan di Surabaya tidak sah dengan segala akibat hukumnya.
Ternyata Menteri Hukum dan HAM tidak menaati ketentuan
undang-undang dan putusan pengadilan tersebut, dan malah kembali
mengesahkan kepengurusan Muktamar VII PPP di Bandung untuk
menyelenggarakan Muktamar Islah (Muktamar VIII PPP di Asrama Haji
Pondok Gede pada 8-11 April 2016), yang mana berdasarkan pemaparan
5 Penjelasan Pasal 24 Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.
65
penulis sebelumnya muktamar yang diselenggarakan dalam rangka islah
tersebut tidak berkesesuaian dengan AD ART PPP hasil Muktamar VII
PPP di Bandung dan Undang-Undang Partai Politik.
Sebenarnya Menteri Hukum dan HAM tidak perlu mengesahkan
kembali kepengurusan hasil Muktamar VII PPP di Bandung, lalu
kemudian menjadi fasilitator terjadinya islah melalui proses muktamar di
Asrama Haji Pondok Gede pada 8-11 April 2016, karena pada
kenyataannya proses islah melalui proses muktamar tidak memiliki
legalitas baik itu dilihat dari AD ART maupun Undang-Undang Partai
Politik, cukup dengan Menteri Hukum dan HAM mengikuti putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yaitu putusan MA
No. 601/K-PDT.SUS-PARPOL/2015, yang mengakui keabsahan
Muktamar VIII PPP di Jakarta. Karena muktamar tersebut yang telah
sesuai dengan keputusan Mahkamah Partai dan Undang-Undang.
Pelaksanaan muktamar Islah, sama sekali tidak memperhatikan Pasal
27, 28, dan 30 dan UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang
memaparkan dengan jelas bahwa seluruh pengambilan keputusan termasuk
membentuk dan menetapkan dan/atau keputusan sebuah partai politik
harus sesuai dengan AD dan ART partai politik dan peraturan perundang-
undangan. Berhubung muktamar islah tidak mengimplementasikan amanat
dari AD ART hasil Muktamar VII PPP di Bandung, maka dapat penulis
simpulkan bahwa penyelenggaraan muktamar islah tidak patuh terhadap
undang-undang partai politik.
66
C. Kewenangan Menteri Hukum dan HAM dan Muktamar Islah Partai
Persatuan Pembangunan (PPP); Antara Penyelesaian Secara Politik
atau Hukum
Atas dasar ketentuan Pasal 23 UU No. 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas UU NO. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, maka
Menteri Hukum dan HAM sesungguhnya memiliki wewenang secara
atributif untuk mencatatkan perubahan pengurus partai politik akan tetapi
terdapat rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh Menteri yaitu;6
Pertama, kewenangan Menkumham tersebut dilakukan pada
keadaan normal atau tidak ada perselisihan diantara pengurus partai politik
yang bersangkutan. Jika ada perselisihan, maka Menkumham tidak boleh
menerbitkan keputusan pencatatan perubahan pengurus partai politik
tersebut sampai perselisihannya selesai atau telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Kedua, kewenangan Menkumham untuk mencatatkan perubahan
pengurus partai politik bersifat deklaratif. Pasal 54 UU Administrasi
Pemerintahahan membedakan keputusan menjadi dua yaitu keputusan
yang bersifat konstitutif adalah keputusan yang bersifat penetapan mandiri
oleh pejabat pemerintahan. Sedangkan keputusan deklaratif didefinisikan
sebagai keputusan yang bersifat pengesahan setelah melalaui proses
pembahasan di tingkat pejabat pemerintahan yang menetapkan keputusan
yang bersifat konstitutif. Dalam hal pencatatn perubahan kepengurusa
6 Tri Cahya Indra Permana, Model Penyelesaian Perselisihan Partai Politik Secara
Internal Maupun Eksternal, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 No. 1, Maret 2016, h. 41.
67
partai politik, putusan yang bersifat konstitutif bukan diterbitkan oleh
Pejabat melainkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Partai. Dengan kata
lain, kewenangan deklaratif Menkumham hanya kewenangan “stempel”
atau copy paste saja dari putusan Mahkamah Parpol.
Ketiga, kewenangan Menkumham tersebut bersifat pasif yang
artinya Menteri harus menunggu datangnya permohonan dari pengurus
partai politik yang bersangkutan. A contrario-nya, Menkumham tidak
boleh secara aktif berkirim surat meminta kepada pengurus partai politik
agar segera mangajukan permohonan pengajuan pencatatan partai politik
karena akan menimbulkan kesan keberpihakan.
Menteri Hukum dan HAM telah melanggar karena memberikan
keabsahan kembali terhadap kepengurusan Muktamar VII PPP di Bandung
selama enam bulan untuk melaksanakan muktamar islah, juga memberikan
keabsahan terhadap hasil muktamar tersebut dengan mengeluarkan SK
Menkumham No. M.HH-06.AH.11.012016, berdasarkan Pasal 8 UU No. 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik mengatakan apabila terjadi perselisihan
partai politik, Menteri tidak bisa mengeluarkan SK untuk menerima
perubahan AD dan ART partai politik.
Selain itu, penulis juga kembali menegaskan bahwa Menteri Hukum
dan HAM melanggar Pasal 24 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik, karena sejatinya hasil perselisihan kepengurusan PPP telah
mempunyai keputusan pengadilan yang incracht, namun tetap tidak
68
mengesahkan kepengurusan hasil Muktamar VIII PPP di Jakarta,
sebagaimana yang diputuskan oleh putusan tersebut.
Menteri Hukum dan HAM malah menjadi fasilitator dalam
terlaksananya muktamar PPP dalam rangka islah, dimana tindakan tersebut
tidak memiliki legalitas, dalam artian Menteri tidak berwenang
memberikan atau mengintervensi upaya penyelesaian perselisihan sebuah
partai politik, karena hal itu telah diatur dengan jelas melalui UU Partai
Politik dan AD ART Partai Politik. Menteri hanya wajib mematuhi
putusan pengadilan yang tela berkekuatan hukum tetap itu.
Penulis berpendapat, apa yang telah dilakukan oleh Menteri Hukum
dan HAM telah tercemar oleh kepentingan politik pemerintah. Karena itu,
penulis setuju dengan pendapat Sri Soematri sebagaimana dikutip oleh
Moh. Mahfud MD,7 yang pernah mengonstatasi hubungan antara hukum
dan politik di Indonesia ibarat perjalanan lokomotif kereta api yang kelaur
dari relnya. Jika hukum diibaratkan rel dan politik diibaratkan lokomotif
maka sering lokomotif itu keluar dari rel yang seharusnya dilalui.
Sehingga apa yang disampaikan Mochtar Kusumaatmadja sebagaimana
dikutip oleh Moh. Mahfud MD,8 tentang prinsip (atau sekedar semboyan)
yang menyatakan politik dan hukum harus bekerja sama dan saling
menguatkan melalui ungkapan “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-
7 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cet. IV, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),
h. 20-21.
8 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 21.
69
angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”, menjadi semacam
utopia belaka.
Mengamati yang tertera dalam Pasal 12 huruf b bahwa; Partai Politik
berhak mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri.
Sehingga tidak dibenarkan Menteri Hukum dan HAM untuk mencampuri
urusan internal sebuah partai politik, karena jika itu mengenai persoalann
perselisihan kepengurusan; telah tersedia mekanisme penyelesaian untuk
para pihak yang berselisih, baik dalam AD ART partai maupun dalam
Undang-Undang Partai Politik.
Pasal 13 huruf d UU No. 8 Tahun 2011 tentang Partai Politik
menegaskan bahwa partai politik berkewajiban menjunjung tinggi
supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusi. Para pihak yang
berselisih dalam sebuah partai politik semestinya menaati semua regulasi
yang telah diatur baik itu dalam AD ART Partai Politik maupun Undang-
Undang Partai Politik, bukan dengan mencari celah agar pihaknya dapat
diuntungkan dengan legitimasi politis yang diberikan oleh penguasa.
Apakah tindakan Menteri Hukum dan HAM dalam mengambil
kebijakan untuk mengabsahkan kembali kepengurusan hasil Muktamar VII
PPP di Bandung selama enam bulan guna menyelenggarakan sebuah
muktamar sebagai wadah untuk islah bagi pihak yang bertikai di PPP,
sebagai bentuk diskresi seorang pejabat pemerintahan ?, penulis
mengamati hal-hal yang tercantum pada Pasal 22 ayat (2) UU No. 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;
70
1. Diskresi hanya dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang berwenang.
2. Setiap penggunaan diskresi pejabat pemerintahan dipergunakan untuk: a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; b. mengisi kekosangan hukum; c. memberikan kepastian hukum; d. mengatasi stagnansi pemerintahan dalam keadaan tertentu
guna kemanfaatan kepentingan umum.
Pasal 24 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
juga mengatur pejabat pemerintahan yang menggunakan diskresi harus
memenuhi syarat;
1. sesuai dengan tujuan diskresi sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (2);
2. tidak bertentangan ketentuang peraturan perundang-undangan; 3. sesauai dengan AUPB; 4. berdasarkan alasan-alasan yang obyektif; 5. tidak menimbulkan konflik kepentigan; dan 6. dilakukan dengan itikad baik.
Sikap Menteri Hukum dan HAM dalam menangani persoalan yang
terjadi pada PPP, dimulai dari mengaktifkan kembali kepengurusan hasil
muktamar Bandung,9 untuk menyelenggarakan mutamar islah, sekaligus
mengesahkan hasil muktamar islah, tentu telah melanggar ketentuan yang
telah diatur dalam kedua pasal yang telah penulis sebutkan diatas apabila
tindakan tersebut dianggap sebuah diskresi oleh seorang pejabat
pemerintahan. Menjadi wajar apabila kemudian SK Menkumham No.
M.HH-06.AH.11.012016 yang mengesahkan hasil Muktamar VIII PPP di
9 Dalam Pasal 58 ayat (5) menyebutkan bahwa batas waktu yang tekah ditetapkan oleh
badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam suatu keputusan dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perpanjangan tersebut justru merupakan pelanggaran karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, karena telah ada putusan MA No. 601/K-PDT.SUS-PARPOL/2015 yang jelas-jelas menegaskan Muktamar VIII PPP di Jakarta sebagai muktamar yang sah sesuai dengan AD ART PPP dan Undang-Undang Partai Politik.
71
Asrama Haji Pondok Gede kembali digugat oleh pihak muktamar Jakarta
ke PTUN,10 sehingga menimbulkan sebuah keputusan yang tidak efektif.
Disamping itu, dalam Pasal 17 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan mengatur mengenai larangan
penyalahgunaan wewenang oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan
yang meliputi;
a. Larangan melampaui wewenang;
b. Larangan mencampuradukkan wewenang, dan/atau;
c. Larangan bertindak sewenang-wenang.
Kenyataannya, Menteri Hukum dan HAM mengabaikan putusan MA
No. 601/K-PDT.SUS-PARPOL/2015, dengan tidak mengeluarkan SK
terkait hasil Muktamar VIII PPP di Jakarta. Menurut penulis tindakan
tersebut sesuai dengan yang dikatakan Pasal 17 huruf c UU No. 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan di atas, yaitu bertindak
sewenang-wenang.11
Menurut Pasal 80 hingga 84 UU No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Negara, Menteri Hukum dan HAM harus mendapatkan
sanksi hingga berujung pada pemecatan karena telah melakukan
10 Pada 22 November 2016, PTUN Jakarta memutuskan (Perkara No. 95/G/2016/PTUN-
JKT dan No. 97/G/2016/PTUN-JKT) mengabulkan gugatan Djan Faridz terhadap Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-06.AH.11.01 tahun 2016 tentang hasil Muktamar VIII PPP di Pondok Gede pimpinan Romahurmuzy. Selanjutnya pada 01 Maret 2017, PPP Muktamar Pondok Gede (Muktamar Islah) pimpinan Romahurmuzy serta Menteri Hukum dan HAM mengajukan banding pada Pengadilan Tinggi TUN Jakarta dengan nomor register perkara 58/B/2017/PT.TUN.JKT
11 Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM yang mengesahkan hasil Muktamar VIII PPP di Asrama Haji Pondok Gede (Muktamar Islah) merupakan keputusan yang tidak sah, berdasarkan dalam Pasal 70 aya (1) huruf c disebutkan bahwa keputusan dan/atau tindakan tidak sah apabila dibuat oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan yang bertindak sewenang-wenang.
72
pelanggaran secara administratif. Penjatuhan sanksi tersebut dilakukan
oleh atasan pejabat pemerintahan yang dimaksud, dalam hal ini ialah
Presiden Republik Indonesia. Namun penulis merasa pesimistis mengingat
unsur politis dalam perkara perselisihan PPP ini sangat terasa, karena
Menteri Hukum dan HAM berasal dari partai politik yang sama dengan
partai pengusung Presiden saat pemilihan umum.
Dinamika sosial politik ini membawa pesan (message) yang ingin
didengar, diketahui, dipahami, da kemudian dilaksanakan oleh pihak yang
dituju yaitu para pemegang kekuasaan politik.12 Hanya kerena Kubu Romi
(baik menurut hasil Muktamar Surabaya maupun Muktamar Pondok Gede)
berada pada koalisi yang sama dengan pemerintah (Koalisi Indonesia
Hebat), seharusnya Menteri Hukum dan HAM tetap mengikuti koridor
hukum, taat kepada regulasi yang telah ditetukan dengan tidak
mengabaikan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Semestinya dimensi politik harus dikesampingkan dan supremasi hukum
harus dijunjung tinggi, karena Indonesia adalah negara hukum.
Sebagaimana diketahui bahwa hukum sebagai skema adalah hukum
yang dijumpai dalam teks atau perundang-undangan atau hukum yang
dirumuskan dengan sengaja secara rasional. Di sini hukum sudah
mengalami pergeseran bentuk, dari hukum yang muncul secara serta merta
menjadi hukum yang dibuat dan diundangkan (legislated law).13
12 Ahmad Fadil Sumadi, Politik Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi: Aktualisasi
Konstitusi Dalam Praksis Kenagaraan, (Malang: Setara Press, 2013), h. 21.
13 Satjipto Rajardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), h. 7.
73
Meskipun menurut Satjipto Rahardjo,14 hukum itu tidak berdiri
sendiri. Ia tidak sepenuhnya otonom dan punya otoritas absolut. Apabila
menyoroti kehidupan suatu bangsa hanya dengan menggunakan tolok ukur
undang-undang, maka biasanya hasil yang kita peroleh tidaklah
memuaskan. Artinya, kita tidak dapat memperoleh gambaran tentang
keadaan hukum yang sebenarnya hanya dengan membaca peraturan
perundangannya saja. Diperlukan potret kenyataan hukum yang hanya
dapat dilihat melalui perilaku hukum sehari-hari.
Penulis sependapat, perlu diingat bahwa negara kita merupakan
negara yang cenderung positifistik. Diaplikasikan ke dalam pemikiran
hukum, positifisme menghendaki dilepaskannya pemikiran metayuridis
mengenai hukum. Karena itu setiap norma hukum harus eksis dalam
alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, ditegaskan
sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga
masyarakat (wakil-wakilnya). Hukum tidak lagi dikonsepsi sebagai asas
moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius
yang telah mengalami positifisasi sebagai lege atau lex.15
Menurut Lawrence M. Friedman,16 bagaimanapun juga peraturan
hukum ditujukan pada perilaku. Pada umumnya, peraturan
14 Satjipto Rajardjo, Penegakan Hukum Progresif, h. 211.
15 Otje Salman, Anthon F. Susanto, Teori Hukum; Mengingat Mengumpulkan dan Membuka Kembali, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), h. 80.
16 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum; Perspektif Ilmu Sosial, Penerjemah M. Khozim, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2013), h. 50.
74
mengekspresikan adanya keputusan kolektif, bahwa masyarakat atau unsur
yang bekuasa menghendaki agar perilaku mengarah pada tujuan tertentu.
Seperti yang dikehendaki oleh pemerintah dalam membentuk
Undang-Undang Partai Politik, pemerintah sebagai unsur yang berkuasa
tentu menghendaki agar undang-undang partai politik mampu mengatur
segala urusan yang berkaitan dengan partai politik. Maka dari itu,
peraturan tersebut harus dibentuk secara kemprehensif, dan tidak tumpang
tindih, serta tidak mengandung ambiguitas.
Contohnya dalam kasus perselisihan PPP ini, UU No. 2 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik,
mengenai persoalan perselisihan kepengurusan; eksistensi partai politik
jelas diakui dan mekanisme lebih lanjut melalui AD ART partai, tetapi di
sisi lain, undang-undang ini juga memeberikan keleluasaan kepada
pengurus partai politik untuk menemph jalur litigasi yaitu melalui badan
peradilan. Selain itu udang-undang tersebut juga tidak mengatur secara
pasti peraturan mengenai penyelesaian perselisihan (islah) melalui melalui
forum tertinggi (muktamar) partai ; hanya mengatur tentang mekanisme
internal penyelesaian perselisihan yaitu melalui Mahkamah Partai, dan
Pengadilan melalui jalur eksternal partai.
Undang-Undang Partai Politik juga tidak mengatur lebih lanjut
mengenai kewenangan Menteri Hukum dan HAM dan menganjurkan serta
memfasilitasi terselenggaranya sebuah muktamar dalam rangka islah yang
tidak mempunyai legalitas, baik itu menurut AD ART PPP maupun
75
Undang-Undang Partai Politik. Sejauh ini penulis berpendapat tindakan
tersebut merupakan wujud intevensi pemerintah terhadap partai politik,
adapun muktamar islah tersebut merupakan bentuk penyelsaian
perselisihan secara politis, karena sekali lagi belum ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur secara rinci dan jelas.
Seharusnya pemerintah mengedepankan hasil penyelesaian
perselisihan kepengurusan partai politik berdasarkan putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam kasus PPP yaitu putusan MA
No. 601/K-PDT.SUS-PARPOL/2015. Tetapi pemerintah malah ikut
campur menyelesaikannya hingga muncul kesan politis yang kuat, karena
memiliki kepentingan yang sama dengan salah satu pihak yang berseteru.
Jangan sampai mucul anggapan bahwa hanya pihak yang mempunyai
kepentingan sama dengan pemerintah, yang akan diberikan legitimasi.
Penulis berpendapat, tindakan demikian tidak dapat dibenarkan
secara hukum, karena hukum sebagai panglima tidak dapat
dikesampingkan dan diabaikan begitu saja. Hal itu merupakan pelanggaran
atau pembangkangan terhadap hukum itu sendiri. Harmonisasi dan revisi
peraturan perundang-undangan tentang partai politik menjadi sebuah
keharusan, agar tidak terjadi lagi kesewenang-wenangan pemerintah dalam
menyelesaikan persoalan perselisihan yang terjadi di partai politik.
Revisi peraturan perundang-undangan mengenai partai politik juga
kelak akan memberikan kepastian hukum, menurut Satjipto Rahardjo
sebagaimana dikutip oleh Zainuddi Ali mengemukakan, Hubungan antara
76
hukum dan kepastian hukum tidak bersifat mutlak. Hukum tidak serta
merta menciptakan kepastian hukum. Yang benar dan mutlak adalah
hukum menciptakan kepastian peraturan, dalam arti adanya peraturan
seperti undang-undang. Begitu suatu undang-undang dikeluarkan, maka
pada saat yang sama muncul kepastian peraturan.17 Bagaimanapun,
setidaknya harus terdapat regulasi yang mengatur secara tegas tentang
persolan penyelesaian perselisihan kepengurusan partai politik di luar
mekanisme yang telah tersedia.
17 Zainuddin Ali dan Supriadi, Pengantar Ilmu Hukum, (Ciputat: Yayasan Masyarakat
Indonesia Baru, 2014), h. 99-100.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang terdapat pada beberapa bab sebelumnya maka
penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut, diantaranya:
1. Muktamar Islah tidak sesuai yang diamanatkan dalam AD ART Muktamar
VII PPP di Bandung, berdasarkan Pasal 51 dan Pasal 73 ayat (1) Anggaran
Dasar PPP. Dikarenakan waktu pelaksanaan Muktamar VIII PPP di
Asrama haji Pondok Gede (Muktamar Islah) telah melewati batas waktu
yang ditentukan dalam Anggaran Dasar partai. AD ART PPP juga tidak
mengatur tentang proses penyelesaian perselisihan kepengurusan (islah)
islah melalui sebuah muktamar. Proses penyelesaian secara internal
merupakan kewenangan Mahkamah Partai sesuai AD Pasal 20 ayat (4),
(5),d an (6), serta ART Pasal 19.
2. Muktamar Islah tidak mempunyai legalitas jika ditinjau dari Undang-
Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik. Karena pada Pasal 32 dan 33 undang-
undang tersebut tidak memfasilitasi penyesalaian perselisihan
kepengurusan melalui sebuah muktamar, yang diatur hanya penyelesaian
perselisihan kepengurusan melalui Mahkamah Partai (internal), dan
melalui pengadilan (eksternal).
78
3. Keputusan Menteri Hukum dan HAM sama sekali tidak mempunyai
legalitas dalam mempelopori terlaksananya sebuah muktamar untuk
menyelesaikan (islah) perselisihan kepengurusan. Perselisihan
kepengurusan telah diatur mekanismenya dalam Undang-Undang Partai
Politik, dan dalam kasus PPP telah terdapat putusan Mahkamah Agung
yang telah memutuskan bahwa Muktamar VIII PPP Jakarta (pihak Djan
Faridz) sebagai kepengurusan yang sah. Menteri Hukum dan HAM tidak
mengikuti putusan tersebut sehingga melanggar secara administratif dalam
posisinya sebagai Menteri, dan keputusannya bertentangan peraturan
perundang-undangan.
B. Saran-Saran
1. Partai Politik (khususnya Partai Persatuan Pembangunan) seharusnya
menjadi contoh berdemokrasi secara baik, yaitu dengan taat hukum, taat
asas, mengikuti kesepakatan bersama forum pengambilan keputusan
tertinggi melalui AD dan ART partai. Jika hendak menyelesaikan
permasalahan internal bisa dilakukan dengan musyawarah tanpa
melibatkan intervensi pihak luar, karena dapat melanggar norma hukum
yang berlaku. Jika harus melalui mekanisme penyelesaian internal maupun
eksternal, mekanisme tersebut harus ditaati dan diterima sebagai wujud
dukungan terhadap supremasi hukum. Pengabaian AD dan ART partai
merupakan bentuk kontra-produktif terhadap supremasi hukum.
2. Harmonisasi dan revisi peraturan perundang-undangan tentang partai
politik menjadi sebuah keharusan, agar tidak terjadi lagi kesewenang-
79
wenangan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan perselisihan yang
terjadi di partai politik. Revisi peraturan perundang-undangan mengenai
partai politik juga kelak akan memberikan kepastian hukum, sekaligus
dapat menjadi acuan dalam menyelesaikan perselisihan partai politik di
luar mekanisme yang telah diatur.
3. Pemerintah seharusnya tidak intervensi terhadap dinamika yang terjadi
dalam sebuah partai politik apalagi cenderung mengindahkan penyelesaian
sengketa secara politis. Meskipun hubungan antara hukum dan kekuasaan
berkaitan satu sama lain, namun hukum tetap harus dijadikan panglima
tertinggi. Profesionalisme dan integritas seorang pejabat negara harus tetap
terjadi walaupun berada dalam koalisi politik yang sama. Tidak
semestinya pemerintah (dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM) hanya
memberikan legitimasi kepada pihak yang memiliki kepentingan politik
yang sama dengan pemerintah.