LECTURE NOTES : SIMPOSIUM HIPERTENSI
Transcript of LECTURE NOTES : SIMPOSIUM HIPERTENSI
Lecture Notes: Simposium HIPERTENSI
DAFTAR ISI
1. Diagnosis dan Terapi Hipertensi di FKTP 1
2. Tatalaksana Hipertensi pada Pasien Stroke 11
3. Tatalaksana Hipertensi Pada Pasien Diabetes
Mellitus 20
4. Tatalaksana Hipertensi Pada Kehamilan 32
5. Tatalaksana Hipertensi Pada Pasien
Non Diabetes Mellitus CKD 42
6. Tatalaksana Hipertensi Pada Pasien Penyakit
Kardiovaskular 52
7. Kombinasi Terapi Hiperetensi Oral 65
8. Tatalaksana Krisis Hipertensi di IGD 75
1
Diagnosis dan Terapi Hipertensi di FKTP
Hipertensi atau tekanan darah tinggi
merupakan salah satu penyebab utama kematian
di seluruh dunia. Penelitian Ezzati et al pada
tahun 2013 menunjukkan sekitar lebih dari 8 juta
kematian disebabkan oleh faktor resiko berupa
tekanan darah tinggi. Kejadian tersebut tidak
hanya terjadi di Indonesia, namun juga pada
beberapa negara lain yakni negara bagian Eropa
timur, Asia Tenggara, Timur tengah, Afrika utara
dan Oceania. Negara dengan kejadian hipertensi
terbanyak di dunia yang pertama yakni Cina,
India, Rusia, America Serikat dan kelima yakni
Indonesia. Berdasarkan hasil Riskesdas tahun
2018, angka kejadian hipertensi di Indonesia
sekitar 34% dari jumlah penduduk, sedangkan
jumlah masyarakat yang terdeteksi hanya sekitar
8,8% atau kurang lebih 23 juta penduduk. Dari
jumlah tersebut, pasien hipertensi yang
mendapatkan terapi secara rutin hanya mencapai
4,8% atau 12 juta jiwa saja. Hal ini
menyebabkan perlunya menemukan 67 juta
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
2
penduduk dengan hipertensi yang belum
terdeteksi.
Kematian pasien dengan hipertensi mayo-
ritas terjadi akibat tekanan darah sistolik yang
lebih dari 140 mmHg. Pengukuran tekanan darah
pasien dengan hipertensi tidak cukup hanya
dilakukan saat di klinik. Menurut penelitian,
pengukuran tekanan darah pada waktu siang
dan malam hari lebih berhubungan terhadap
resiko kematian akibat kardiovaskular dalam 5
tahun ke depan.
Hipertensi yang tidak terkontrol dapat
mengakibatkan berbagai kerusakan organ.
Pembuluh darah dapat menyempit sehingga
mengakibatkan jantung menjadi kardiak hiper-
tropi, pada ginjal menjadi gagal ginjal, pada
pembuluh darah di otak menjadi stroke
perdarahan dan penyumbatan, pada mata dapat
menjadi retinopaty. Pada pembuluh darah perifer
dapat menyebabkan peripheral arteri disease.
Terdapat beberapa guideline dalam
klasifikasi dan diagnosa hipertensi yakni JNC 7,
AHA 2017, JNC 8, dan ESC 2018. Semua
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
3
guideline bisa digunakan, intinya adalah men-
cegah terjadinya resiko kematian pada pasien
dengan teknan darah tinggi. Pada pengukuran
tekanan darah di klinik, tekanan sistolik di atas
140 sudah memberikan resiko kematian yang
tinggi. Sedangkan pada pengu-kuran di siang
hari atau malam hari, tekanan darah sistolik di
atas 130 sudah memiliki resiko tinggi terhadap
kematian.
Pada saat melakukan pemeriksaan,
pemeriksa harus menyingkirkan diagnosa white
coat hypertension dan masked hypertension.
White coat hypertension terjadi ketika pasien
yang akan berobat merasa tegang sehingga
tekanan darah menjadi meningkat. Kecurigaan
hipertensi ini adalah ketika pasien sudah diberi
obat selama 3 bulan namun tekanan darah
masih tidak terkontrol. Pasien juga disarankan
untuk melakukan homebase blood pressure
monitoring yakni memeriksa tekanan darah di
rumah. Ketika tekanan darah di rumah sudah
bagus, maka pasien tersebut adalah white coat
hypertension.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
4
Kedua yakni masked hypertension. Ketika
control, tekanan darah sudah membaik namun
sebenarnya tekanan darah di rumah masih
tinggi. Kecurigaan hipertensi ini adalah ketika
tekanan darah bagus namun masih muncul
keluhan atau kondisi yang tidak nyaman.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah
homebase blood pressure monitoring.
Gambar 1 : klasifikasi hipertensi
Target terapi hipertensi berbeda
tergantung usia dan penyakit yang menyertai.
pada pasien hipertensi usia 18 hingga 65 tahun,
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
5
target tekanan darah sistolik adalah 130 mmHg.
Sedangkan pada pasien hipertensi usia di atas 65
tahun, target tekanan sitolik adalah 130 hingga
139 mmHg. Apabila pasien juga memiliki
kerusakan organ berupa CKD atau gagal ginjal,
maka target tekanan darah sistolik menjadi 140
hingga 130 mmHg.
Tabel 1 : Target tekanan darah
Usia Target Tekanan darah Sistolik (mmHg)
Target
tekanan diastolik
Hipertensi +DM +CKD +PJK +Stroke
18 - 65 130 130 <140-130 130 130 70-79
65 - 79 130 - 139 130-139 130-139 130-139 130-139 70-79
>80 th 130 - 139 130-139 130-139 130-139 130-139 70-79
Tekanan
diastolik 70 - 79 70 - 79 70-79 70-79 70-79
Kegagalan dalam kontrol tekanan darah
pada pasien hipertensi biasanya disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain pengukuran tekanan
darah yang masih konvensional, perubahan gaya
hidup yang kurang mendukung, ketidak patuhan
minum obat, serta resisten terhadap obat anti
hipertensi. Perubahan gaya hidup harus
diberikan bersamaan dengan pemberian obat,
hal ini disebabkan karena mengubah gaya hidup
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
6
membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Sehingga selagi menunggu pasien menyesuaikan
gaya hidup, tekanan darah juga di control
dengan obat. Beberapa perubahan gaya hidup
yang dapat dianjurkan yakni berat badan ideal
yang dapat menurunkan tekanan darah sebesar
1 mmHg setiap 1 kg berat badan. Kedua yakni
diet sehat berupa banyak makan sayur, buah, bij
bijian, susu rendah lemah dan menurunkan
penggunaan lemak jenuh. Diet ini dapat
menurunkan tekanan darah sebesar 11 mmHg.
perubahan gaya hidup ketiga yang dianjurkan
adalah pembatasan penggunaan garam yakni
kurang dari 1500 mg/hari. Hal ini dapat
menurunkan tekanan darah sebesar 6 mmHg.
Selanjutnya adalah diet tinggi kalium yang
berasal dari buah dan sayur yakni sebesar 3500
hingga 5000 mg/hari dapat menurunkan tekanan
darah hingga 5 mmHg. Olahraga setiap hari
berupa aerobic selama 120 – 150 menit per
minggu, atau resistensi dynamin selama 90
hingga 150 menit per minggu, resistensi isimetris
selama 4 kali 2 menit. Olahraga dapat me-
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
7
nurunkan tekanan darah sebesar 5 hingga 8
mmHg.
Hipertensi resisten adalah keadaan ketika
pasien sudah rutin minum obat dan mengubah
pola hidup namun tekanan darah tetap tinggi.
Hipertensi jenis ini biadanya tidak respon
terhadap terapi hipertensi minimal 3 kombinasi
oral anti hipertensi. Selain itu juga bisa terjadi
pada pasien hipertensi usia dibawah 30 tahun
atau di atas 65 tahun. Adanya kerusakan target
organ tanpa disertai kenaikan tekanan darah
yang berarti, serta hipertensi dengan hipokalemi
yang tidak diketahui penyebabnya.
Beberapa obat anti hipertensi yang dapat
digunakan antara lain ACE Inhibitor, CCB
Dihidrophyridin, CCB Non Dihidrophiridin,
Diuretik, Beta bloker, dan ARB. Ketika
memberikan obat, jelaskan pula efek samping
dari obat yang akan diberikan supaya pasien
tidak semakin mengeluh setelah mengonsumsi
obat anti hipertensi. Obat golongan ACE Inhibitor
atau ARB jangan diberikan pada pasien hamil,
hiperkalemi, dan riwayat angioedema dengan
ACE Inhibitor. Pada obat golongan diuretik
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
8
memberi efek samping berupa sering buang air
kecil, sehingga jangan digunakan pada pasien
gout. Obat golongan CCB dihidroperydin dapat
memberikan efek samping berupa kaki bengkak
atau angioedema. Sedangkan golongan beta
bloker dapat menghambat simpatis dan
menurunkan nadi, sehingga pada pasien laki laki
muda harus disampaikan resiko impotensi.
Terapi hipertensi juga dapat diberikan
golongan obat kombinasi. Pemberian obat
kombinasi harus berasal dari 2 golongan obat
yang berbeda. Golongan diuretic dapat
dikombinasikan dengan golongan ARB, CCB, dan
ACEI. Obat golongan ARB dapat dikombinasikan
dengan golongan diuretic, CCB, dan beta bloker.
Obat golongan CCB dapat dikombinasikan
dengan beta bloker, diuretic, ARB, dan ACEI.
Obat golongan ACEI dapat dikombinasikan
dengan CCB dan diuretic. Sedangkan beta bloker
dapat dikombinasikan dengan ARB dan CCB.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
9
Gambar 2 : kombinasi obat antihipertensi
Daftar pustaka
Kementrian Kesehatan RI. 2019. Laporan Nasional Riskesdas 2018. Jakarta.
Whelton et al. 2018. ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/ASPC/NMA/PCNA Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in
Adults: A Report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice Guidelines. Hypertension. 2018;71:e13–e115.
Bryan et al. 2018. 2018 ESC/ESH Guidelines for the management of arterial hypertension:
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
10
The Task Force for the management of arterial hypertension of the European Society of Cardiology (ESC) and the
European Society of Hypertension (ESH). European Heart Journal, Volume 39, Issue 33, 01 September 2018, Pages 3021–3104.
Whelton et al. 2018. 2017 Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in Adults. J Am Coll Cardiol. Sep 2017, 23976;
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
11
Tatalaksana Hipertensi pada Pasien Stroke
Stroke adalah kumpulan gejala defisit
neurologis akibat gangguan fungsi otak akut baik
fokal maupun global yang terjadi secara
mendadak dan menetap selama 24 jam atau
menimbulkan kematian serta disebabkan akibat
gangguan pembuluh darah. Defisit neurologi
fokal dapa berupa disatria, hemiparese, pelo,
wajah merot dan lain sebagainya. Defisit
neurologis global berupa penurunan kesadaran.
Stroke merupakan penyebab kematian
nomer 2 di dunia. Terdapat sekitar 13,6 juta
kasus stroke baru per tahun di dunia, dan 5,5
juta kematian akibat stroke per tahun. Di
Indonesia sendiri, stroke merupakan penyebab
kematian nomer 1 dengan insidensi sebesar
213.000 kasus baru pertahun. Jumlah mortalitas
akibat stroke pertahun di Indonesia sekitar
334.000 kematian. Jenis stroke di Indonesia
menurut Indonesia Stroke Registry pada tahun
2014, 67% stroke adalah stroke iskemic dan
33% lainnya adalah stroke hemorrhagic.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
12
Penyebab terbanyak mortalitas akibat
stroke adalah stroke hemoragic yakni sekitar
20,3% pada kasus yag terjadi lebih dari 48 jam,
dan sekitar 18,3% kematian pada kasus stroke
hemoragic yang kurang dari 48 jam.
Pencegahan stroke pada pasien dilakukan
dengan cara mengoptimalkan pengendalian
faktor risiko, terutama faktor risiko yang dapat
dimodifikasi. Beberapa faktor resiko stroke yang
dapat diidentifikasi yakni riwayat keluarga,
penyakit kardiovaskular, hipertensi, merokok,
diabetes mellitus, dyslipidemia, fibrilasi atrium,
patent foramen ovale dengan right left shunt,
sickle cell disease, polisitemia, kontrasepsi oral,
obesitas, serta terapi hormone.
Gejala yang ditunjukkan pada pasien stroke
bisa berupa defisit global maupun fokal.
Biasanya, gejal yang muncul dapat berupa
senyum tidak simetris, kelmehaan setengah
anggota tubuh, bicara pelo atau tidak nyambung
ketika diajak bicara secara tiba tiba, anggota
tubuh terasa kebas, pengelihatan tiba tiba rabun
dan sakit kepala hebat yang muncul tiba tiba dan
tidak pernah dirasakan sebelumnya. Apabila
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
13
didapatkan gejala seperti yang sudah
disebutkan, maka tindakan selanjutnya adalah
pasien harus segera ke rumah sakit.
Stroke terbagi menjadi 2 jenis yakni stroke
iskemic dan perdarahan. Penentuan jenis stroke
dapat dilakukan dengan melakukan
penghitungan Siriraj skor. Namun penghitungan
skor ini merupakan skrining awal dan tetap harus
dilakukan CT scan untuk diagnose pastinya. Pada
stroke iskemik, hasil CT scan akan menunjukkan
area hypodense. Sedangkan pada stroke
perdarahan, CT scan akan menunjukkan warna
hyperdense.
No Gejala dan
Tanda Penilaian Indeks skor
1
Kesadaran
(0) Kompos mentis
(1) Mengantuk
(2) Semi koma/ koma
X 2,5
2 Muntah
(0) Tidak
(1) Ya X 2
3 Nyeri
Kepala
(0) Tidak
(1) Ya X 2
4 Tekanan
Darah
DIastolik X 0.1
5 Ateroma (0) Tidak X (-3)
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
14
a. DM
b. Angina
pectoris/Kla
udikasio
intermiten
(1) ya
6 Konstanta -12
Hasil Siriraj skor
Nilai <-1 : Stroke non hemoragik
Nilai >1 : Stroke hemoragik
Ketika terjadi serangan stroke, pasien
harus segera mendapat perawatan di IGD yakni
kurang dari 4.5 jam setelah serangan. Dari
serangan hingga ke RS, maksimal perjalanan
ditempuh dalam waktu kurang dari 2 jam, dan
penanganan di RS makimal 2,5 jam.
Pada pasien stroke iskemik akut,
tatalaksana yang harus dilakukan adalah segera
berikan trombolisis. Apabila terdapat hipertensi
pada kasus ini, tekanan darah harus diturunkan
sampai <185/110 mmHg sebelum pemberian
rtPA (alteplase). Penurunan dilakukan dengan
pemberian nikardipin 5 mg/jam. Apabila dalam 5
hingga 15 menit belum terdapat berubahan pada
tekanan darah, maka dosis nikardipin bisa
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
15
dinaikkan 2,5 mg/jam. Ketika tekanan darah
yang diinginkan sudah tercapai, turunkan dosis
nikardipin menjadi 3 mg/jam. APabila tekanan
darah tidak turun sama sekali, maka rtPA tidak
dapat diberikan karena dapat menyebabkan
perdarahan.
Selama penggunaan rTPA (alteplase),
tekanan darah harus dimonitor setiap 15 menit
pada 2 jam pertama, selanjutnya setiap 30 menit
selama 6 jam berikutnya, dan terakhir setiap jam
selama 16 jam. Apabila ketika atau setelah
pemberian rtPA tekanan darah meningkat
>185/110 mmHg, maka dosis dapat disesuaikan
dengan meningkatkan dosis nikardipin 2,5 mg
setiap 5 hingga 15 menit sampai mencapai dosis
maksimalyakni 15 mg/jam. Perlu diingat bahwa
tekanan darah pasien harus dipertahankan
<180/105 mmHg dalam 24 jam pertama setelah
pemberian rtPA.
Apabila pasien stroke iskemik akut dengan
hipertensi datang ke rumah sakit setelah fase
akut, maka tatalaksana hipertensi diberikan
ketika tekanan darah <220/120 mmHg dan
terdapat faktor komorbid seperti terdapat acute
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
16
coronary syndrome, acute heart failure, diseksi
aorta, perdarahan post fibrinolitik, dan
preeklampsi atau eclampsia. Namun apabila
tekanan darah <220/120 mmHg tanpa disertai
faktor komorbid, maka pemberian antihipertensi
dalam 48 hingga 72 jam pertama tidak memiliki
efek yang signifikan dalam mencegah kematian.
Ketika tekanan darah >220/120 mmHg, maka
anti hipertensi bisa diberikan dengan target
penurunan tekanan darah 15% dari tekanan
darah systole selama 24 jam pertama.
Pada pasien dengan stroke perdarahan
intracerebral, tekanan darah pasien biasanya
sangat tinggi sehingga bisa menyebabkan
ekspansi hematoma, perburukan fungsi
neurologis, dan kematian. Pasien dengan
tekanan darah sistolik 150 hingga 220 mmHg
maka tekanan darah dapat diturunkan hingga
150 mmHg. Sedangkan apabila tekanan darah
sistolik >220 mmHg, maka tekanan darah harus
diturunkan secara agresif dengan antihipertensi
intravena dan pengawasan ketat.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
17
Monitoring teknan darah pada stroke
perdarahan intraserebral yakni jika tekanan
darah sistolik >200 mmHg atau MAP >150
mmHg, maka tekanan darah harus dengan cepat
diturunkan dengan obat IV dan monitoring setiap
5 menit. Jika tekanan darah sistolik >180 mmHg
atau MAP >130 mmHg dan terdapat bukti
peningkatan ekanan intracranial, maka tekanan
darah harus diturunkan secara bertahap dan
cerebral perfusion pressure harus dipertahankan
>80 mmHg. Jika tekanan darah sistolik >180
mmHg atau MAP >130 mmHg dan terbukti tidak
terdapat peningkatan tekanan intracranial, maka
tekanan darah diturunkan secara ringan dan
bertahap.
Obat antihipertensi yang dapat digunakan
pada kasus stroke perdarahan intracerebral
antara lain :
- Nikardipin 5 mg/jam sebagai dosis awal,
keudian dinaikkan 2,5 mg/jam setiap 5
hingga 15 menit sampai dosis
maksimalnya adalah 15 mg/jam
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
18
- Labetalol dosis intermiten 10 hingga 20
mg IV dalam 1 hingga 2 menit dan boleh
diulang satu kali.
- Hydralazine dapat diberikan 10 hingga
20 mg IV setiap 4 sampai 6 jam
- Enalaprilat dapat diberikan 0,625 hingga
1,2 mg IV setiap 6 jam
- Natrium nitroprusside 0,25 hingga 10
mikrogram/kg/menit
- Diltiazem pada stroke dengan komorbid
takiaritmia, unstable angina, miokard
infark dan supraventricular takikardia.
Pada perdarahan subarachnoid (PSA),
mean arterial pressure (MAP) pasien harus dijaga
sekitar 110 mmHg atau tekanan darah sistolik
tidak lebih dari 160 mmHg dengan diastolic 90
mmHg. Obat antihipertensi diberikan apabila
tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg dan
diastolic lebih dari 90 mmHg atau MAP diatas
130 mmHg. Tekanan darah diturunkan hingga
tekanan darah sistolik 140 sampai 160 mmHg
untuk mencegah terjadinya perdarahan ulang.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
19
Daftar Pustaka
Perdossi. 2019. PNPK Tatalaksana Stroke WHO. 2015. WHO Indonesia : WHO Statistical
Profile Indonesia Stroke Registry. 2014
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
20
Tatalaksana Hipertensi Pada Pasien
Diabetes Mellitus
Tekanan darah tinggi atau hipertensi
dialami oleh sekitar 972 juta orang atau 26%
populasi di dunia. Pada tahun 2030, jumlah
penderita diperkirakan akan meningkat hingga
1,56 milyar orang atau 29% dari populasi dunia.
Sedangkan diabetes mellitus saat ini diperkirakan
dialami oleh 285 juta jiwa atau 6% populasi di
dunia, yang pada tahun 2030, diperkirakan
meningkat menjadi 8% atau sekitar 439 juta
jiwa. Sedangkan prevalensi hipertensi di
Indonesia menurut Riskesdas tahun 2013 adalah
27,8%, dan meningkat pada tahun 2018 menjadi
38,1 persen dari lebih 260 juta penduduk
Indonesia.
Hipertensi dan diabetes mellitus memiliki
hubungan yang dekat. Bila diibaratkan
pertemanan, keduanya bagaikan sahabat erat.
Bila salah satunya ada, maka yang lain dapat
ditemui. Sekitar 40 – 80% seseorang dengan
diabetes juga mengalami hipertensi. Kecen-
derungan orang dengan diabetes mendapatkan
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
21
hipertensi sekitar 2 kali lebih besar dibandingkan
orang tanpa diabetes mengalami hipertensi.
Adanya hipertensi pada pasien diabetes
merupakan risiko sangat tinggi untuk terjadinya
komplikasi kardiovaskular. Karena kedua
penyakit ini memiliki komplikasi yang serupa,
yakni menyerang organ serebro, kardio, ginjal
dan vaskular. Pasien yang menderita kedua
penyakit ini memiliki risiko mengalami stroke 2
kali lebih besar dibanding yang tidak. Pasien
dengan kedua penyakit ini juga memiliki risiko
mengalami penyakit jantung koroner dan gagal
jantung 3 kali lipat dibandingkan orang biasa.
Selain itu, lebih dari 70% pasien dengan
penyakit ginjal tahap akhir di Amerika Serikat
disebabkan oleh diabetes dan hipertensi.
Penelitian - penelitian menyebutkan bahwa
penurunan tekanan darah pada pasien diabetes
dapat menurunkan risiko komplikasi makro dan
mikrovaskular, seperti menurunkan angka
kejadian retinopati, albuminuria, penyakit ginjal
tahap akhir pada pasien diabetes. Sehingga
pengukuran tekanan darah sesering mungkin
pada pasien diabetes sangat dianjurkan untuk
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
22
mengetahui sedini mungkin adanya hipertensi
dan untuk evaluasi efektifitas terapi
antihipertensi yang telah diberikan.
Pada tulisan ini, disampaikan mengenai
tatalaksana hipertensi pada diabetes mellitus,
yang mengambil dari Guidelines for the
Management of Arterial Hypertension European
Society of Cardiology (ESC) tahun 2018,
sebagaimana Konsensus Penatalaksanaan
Hipertensi tahun 2019 yang telah disusun oleh
Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia dari
sumber yang sama.
European Society of Cardiology membuat
klasifikasi hipertensi berdasarkan adanya faktor
risiko penyakit kardiovaskular, kerusakan organ
target terkait hipertensi dan penyakit penyerta
lainnya menjadi 3 stadium. Stadium 1 yaitu
pasien hipertensi tanpa adanya kerusakan organ
target atau penyakit penyerta lainnya. Stadium
2, pasien hipertensi dengan kerusakan organ
target, penyakit ginjal kronis derajat 3, atau DM
tanpa komplikasi. Sedangkan stadium 3, pasien
hipertensi dengan penyakit kardiovaskular,
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
23
penyakit ginjal kronis derajat 4 atau diatasnya,
atau adanya diabetes dengan komplikasi.
Selanjutnya hipertensi dibagi menjadi 3
derajat berdasarkan tingginya tekanan darah,
yaitu derajat 1 tekanan darah sistolik 140 – 159
mmHg atau diastolik 90 – 99 mmHg. Derajat 2
yaitu tekanan darah sistolik 160 – 179 mmHg
atau diastolik 100 – 109 mmHg, dan derajat 3
yaitu tekanan darah sistolik ≥ 180 mmHg atau
diastolik ≥ 110 mmHg. Berdasarkan adanya
faktor risiko penyakit kardiovaskular, kerusakan
organ terkait hipertensi, penyakit penyerta
(stadium penyakit hipertensi) dan nilai tekanan
darah (derajat hipertensi), ESC telah membuat
tabel untuk memperkirakan tinggi – rendahnya
risiko penyakit kardiovaskular pada pasien
hipertensi sebagai berikut :
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
24
Tabel 1. Derajat risiko penyakit kardiovaskular
berdasarkan stadium dan derajat
hipertensi pasien.
Terapi hipertensi dimulai ketika tekanan
darah 140/90 mmHg, dengan target tekanan
darah sistolik 120 – 140 mmHg (120–130 mmHg,
bila dapat ditoleransi) dan tekanan darah
diastolik 70–80 mmHg. Mendapatkan data
tekanan darah pasien sebanyak mungkin selama
24 jam sangat dianjurkan untuk diagnostik
hipertensi ataupun evaluasi tatalaksana hiper-
tensi yang telah diberikan, misalnya dengan
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
25
penggunaan ambulatory blood pressure
monitoring, atau pengukuran tekanan darah
berkala sesering mungkin (seperti saat bangun
tidur, saat atau setelah beraktifitas di siang hari,
di sore hari dan menjelang tidur malam).
Penurunan tekanan darah hingga mencapai
target terbukti mengurangi komplikasi makro dan
mikrovaskular serta mortalitas. Salah satu tanda
bahwa pasien toleran terhadap target tekanan
darah yang ditentukan yaitu tidak munculnya
hipotensi postural.
Terapi pilihan utama untuk pasien
hipertensi pada diabetes adalah golongan ACE
inhibitor atau ARB. Hal ini disebabkan karena
kedua obat ini bekerja di pembuluh darah
afferent sehingga dapat menurunkan tekanan
pre glomerulus yang selanjutnya diharapkan
dapat memperlambat progresifitas nefropati
diabetik serta mengurangi proteinuria. Namun,
kombinasi ACE inhibitor dan ARB tidak
dibenarkan terkait efek samping yang akan
timbul. Manfaat yang didapatkan dari kombinasi
keduanya juga tidak banyak.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
26
Terdapat obat antidiabetes yang dapat
menurunkan tekanan darah, terutama pasien
yang sama juga mengunakan antihipertensi,
yaitu golongan selective inhibitor of sodium
glucose cotransporter-2. Penurunan tekanan
darah yang didapatkan dari penggunaan obat-
obat golongan ini sekitar beberapa mmHg.
Untuk penatalaksanaan hipertensi secara
keseluruhan disesuaikan dengan panduan yang
telah disusun. ESC menganjurkan untuk
langsung memberikan kombinasi 2 antihiper-
tensi. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa
target tekanan darah tercapai lebih cepat
(melalui mekanisme penurunan tekanan darah
yang berbeda), efek samping antihipertensi lebih
rendah (terutama bila diberikan 1 jenis obat
yang membuthhkan dosis lebih tinggi), dan
efektif (pemilihan mana obat yang cocok dapat
lama). Pengunaan antihipertensi kombinasi
dalam 1 pil, sangat dianjurkan terkait dengan
kepatuhan pasien dalam konsumsi obat
antihipertensi.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
27
Berdasarkan panduan yang telah disusun
oleh ESC, terapi pada pasien hipertensi dengan
diabetes mellitus mengikuti algoritma yang telah
disusun, yakni kombinasi ACE inhibitor atau ARB
sebagai pilihan utama dengan CCB atau diuretik
(chlorthalidone atau furosemid pada eGFR < 45
ml/menit). Kombinasi dengan betabloker dapat
menjadi pilihan pada pasien dengan angina
pectoris, paska infark miokard, gagal jantung
atau sebagai control rate. Pemilihan monoterapi
antihipertensi dapat dipertimbangkan pada
tekanan darah sistolik < 150 mmHg, atau pasien
renta (frailty). Penambahan spironolakton dapat
diberikan pada pasien dengan hipertensi
resisten, dengan dosis maksimal 50 mg/hari.
Namun, penambahan ini harus hati-hati terkait
efek samping yang akan ditimbulkan seperti
hiperkalemi (sering pada kombinasi dengan ACE
inhibitor / ARB atau penyakit ginjal kronis).
Sehingga dianjurkan untuk merujuk pasien
hipertensi resisten kepada dokter spesialis.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
28
Gambar 1. Tatalaksana farmakoterapi pada
hipertensi tanpa komplikasi berdasarkan
ESC/ESH 2018.
Sealnjutnya algoritma tatalaksana hiper-
tensi berdasarkan ADA 2017, sebagai perban-
dingan yang dapat digunakan sesuai kenya-
manan atau kondisi yang dihadapi.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
29
Gambar 2. Talaksana farmakoterapi hipertensi
pada pasien diabetes mellitus
berdasarkan ADA 2017.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
30
Simpulan
Hipertensi pada diabetes berisiko tinggi
terhadap komplikasi kardiovaskular.
Menurunkan tekanan darah akan menurunkan
dan memperlambat risiko komplikasi kardio-
vaskular.
Segera turunkan dan jaga tekanan darah
pada tekanan darah sistolik 120 - 140 mmHg
(120 – 130 mmHg bila toleran) dan diastolik
70 – 80 mmHg.
Inhibitor ACE atau ARB merupakan pilihan
utama antihipertensi pada pasien hipertensi
dengan diabetes mellitus.
Daftar Pustaka
Kementrian Kesehatan RI. 2019. Laporan Nasional Riskesdas 2018. Jakarta.
Bryan et al. 2018. 2018 ESC/ESH Guidelines for the management of arterial hypertension: The Task Force for the management of
arterial hypertension of the European Society of Cardiology (ESC) and the European Society of Hypertension (ESH). European Heart Journal, Volume 39, Issue
33, 01 September 2018, Pages 3021–3104.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
31
Ian et al. 2017. Diabetes and Hypertension: A Position Statement by the American Diabetes Association. Diabetes Care 2017
Sep; 40(9): 1273-1284.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
32
Tatalaksana Hipertensi Pada Kehamilan
Angka kematian Ibu (AKI) merupakan
salah satu indikator yang dilihat untuk menen-
tukan kondisi kesehatan di suatu negara. Pada
tahun 2016, AKI di Indonesia adalah 305 per
100.000 kelahiran di Indonesia. AKI di Surabaya
sekitar 37 pada tahun 2016 dan 34 pad atahun
2017. Padahal, target AKI di Indonesia adalah
102 per 100.000 kelahiran. Penyebab kematian
ibu terbesar di Indonesia adalah perdarahan post
partum, hipertensi ( preeklampsi – eklampsi ),
sepsis puerpuralis, dan aborsi yang tidak aman.
Kasus kematian ibu akibat preeklampsi di
Surabaya pada tahun 2016 sebanyak 13 dan
pada tahun 2017 sebanyak 11 orang.
Kejadian kematian ibu dapat terjadi di 4
lokasi. Di rumah, terlambat dalam mengambil
keputusan dan ketersediaan transportasi. Di
perjalanan, terlambat karena keterbatasan
sarana transportasi, jarak serta waktu tempuh
menuju rumah sakit. Di Puskesmas, terlambat
karena ketidak siapan petugas, keterbatasan alat
dan bahan serta sikap petugas yang terkadang
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
33
acuh. Terakhir yakni di rumah sakit, terlambat
karena ketidak siapan petugas, dan biaya yang
relatif lebih mahal.
Besaran masalah kematian ibu dibagi
menjadi 3 yakni penyebab langsung kematian,
penyebab tidak langsung, serta faktor risiko.
Penyebab langsung antara lain 28% karena
perdarahan, 24% karena preeklampsi, 11%
karena infeksi, 8% karena komplikasi nifas, 5%
karena persalinan macet atau lama, dan 5%
karena keguguran. Penyebab tidak langsung
yang berupa 3 terlambat antara lain terlambat
mengenal tanda bahaya dan mengambil keputu-
san, terlambat mencapai fasilitas kesehatan, dan
terlambat mendapatkan pertolongan di fasilitas
kesehatan. Sedangkan faktor risiko yang berupa
4 terlalu antara lain terlalu muda melahirkan
(usia kurang dari 20 tahun), terlalu sering
melahirkan, terlalu rapat jarak anak (kurang dari
2 tahun) dan terlalu tua melahirkan (usia lebih
dari 35 tahun).
Kondisi ibu hamil sangat mempengaruhi
kondisi janin. Pada pasien eklampsia, HELLP
syndrome, edema paru, gagal ginjal, CVA, gagal
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
34
jantung dan sepsis dapat menyebabkan kondisi
berupa kelahiran prematur, Intra Uterin Growth
Restrisction (IUGR), dan Intra Uterine Fetal
Death (IUFD).
Preeklampsi adalah suatu kondisi yang
berbahaya dalam kehamilan. Kondisi ini terbagi
menjadi 2 yakni preeklampsi dan preeklampsi
berat.
Diagnosa preeklampsi saat ini dilihat dari
tekanan darah yang lebih dari sama dengan
140/90 mmHg dan minmal diikuti oleh satu
kriteria yakni proteinuria lebih dari 300 mg/24
jam atau lebih dari 1 pada pemeriksaan uril
dipstick, platelet rendah yakni dibawah 100.000,
serum kreatinin lebih dari 1,1, ALT/AST
meningkat, edema paru, dan gangguan visual,
cerebral serta nyeri perut. Sedangkan
preeklampsia berat didiagnosa apabila terdapat
salah satu dibawah ini yakni tekanan darah lebih
dari sama dengan 160/110 mmHg, terdapat
gangguan visual, cerebral serta nyeri perut,
serum kreatinin lebih dari 1,1, plateler kurang
dari 100.000, ALT/AST meningkat serta edema
paru.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
35
Masalah penyebab kematian akibat
preeklampsi dapat dikontrol dengan memahami
faktor resiko, edukasi selama antenatal care,
perencanan kehamilan dalam keluarga melalui
kontrasepsi serta tata laksana dan perawatan
preekalmsi yang tepat. Faktor resiko preeklampsi
antara lain hipertensi kronis, hamil pertama usia
kurang dari 20 tahun, diabetes, usia kehamilan
lebih dari 35 tahun, obesitas, hamil kembar, dan
riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelum-
nya. Antenatal care yang harus diperhatikan
pada pasien preeklampsi adalah kapan dan
berapa kali melakukan ANC, penilaian skor pudji
rochyati dan sistem perujukan yang sesuai.
Penilaian skor pudji rochyati sangat penting
dilakukan supaya tidak terjadi 3 terlambat yang
sudah dijelaskan sebelumnya.
Kontrasepsi pada pasien preeklampsi yang
dapat digunakan adalah kontrasepsi selain
hormonal. Beberapa yang dapat digunakan
adalah IUD, kondom, pantang berkala, dan steril.
Skrining preeklampsi harus dilakukan pada
setiap kehamilan ibu di trimester awal.
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang mengarah
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
36
pada PE antara lain riwayat keluarga PE,
primigravida, kehamilan kembar, primitua
sekunder yakni jarak antar kehamilan leih dari 10
tahun, usia kehamilan lebih dari 35 tahun, BMI
lebih dari 40, MAP lebih dari 90, dan roll over
test lebih dari 15 mmHg. riwayat khusus yang
perlu diperhatikan adalah riwayat hipertensi
dalam kehamilan, hipertensi kronis, kelainan
ginjal, diabetes, dan penyakit autoimum. Apabila
skrining PE sudah positif, maka ada baiknya
pasien diberi aspirin dosis rendah yakni 80 mg
per hari serta kalsium 1 gram. Namun perlu
diingat bahwa aspirin harus segera dihentikan
apabila pasien dengan skrining PE positif namun
sudah lama tidak kontrol, usia kehamilan 36
minggu, atau pasien sudah terdiagnosa PE
maupun PEB.
Tatalaksana utama preeklampsi adalah
terminasi kehamilan. Beberapa obat yang
biasanya digunakan seperti MgSO4 hanya
merupakan obat pencegah kejang. MgSO4 dapat
diberikan di klinik, puskesmas, maupun rumah
sakit. Syarat pemberian MgSO4 adalah
respiratory rate lebih dari 12x per menit, reflek
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
37
patella positif, produksi urin lebih dari 100 cc per
jam sebelum pemberian, dan tersedia calcium
glukonas 10% sebagai antidotum.
Terdapat 2 alternatif dalam memberikan
anti kejang. Alternatif pertama yakni kombinasi
IV dan IM. Loading dose dengan injeksi 4 gram
MgSO4 (20 cc pada MgSO4 20% atau 10 cc
ditambah aquades 10 cc pada MgSO4 40%)
secara IV selama 5 hingga 10 menit perlahan.
Kemudian injeksi 10 gram secara IM masing
masing 5 gram di bokong kanan dan kiri selama
5 menit per injeksi. Maintenance dose dengan
injeksi 5 gram IM selama 5 menit pada dengan
jeda waktu 6 jam antara bokong kanan dan kiri.
Maintenance dilakukan sampai 24 jam setelah
persalinan atau kejang terakhir.
Alternatif kedua yakni melalui IV saja.
Initial dose berupa injeksi MgSO4 4 gram IV
pelan selama 3 hingga 10 menit. Dilanjutkan
dengan syringe pump atau infusion pump MgSO4
1 gram per jam.
Apabila terdapat kejang ulangan setelah
pemberian MgSO4, maka dapat diberi tambahan
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
38
MgSO4 20% 2 gram (10 cc) IV selama 10 menit
dan dapat diulang 2 kali. Namun jika kejang
kembali, dapat diberi diazepam.
Alur tatalaksana preeklampsi dijelaskan
dalam tabel dibawah ini. Pada kehamilan di
faskes primer, pertama kali yang harus dilakukan
adalah skrining PE. Apabila positif, maka dapat
diberi aspirin dosis rendah dan dirujuk ke faskes
yang lebih tinggi. Pada pasien dengan PE,
lakukan evaluasi kondisi maternal berupa gejala
dan laboratorium serta evaluasi kondisi janin
(USG dan NST). Namun, apabila sudah usia
kehamilan 37 minggu maka segera diterminasi.
Pada kasus PEB, lakukan pemasangan IV line,
kateter serta oksigen, beri injeksi MgSO4 loading
dose dan segera rujuk tersier.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
39
Tabel 1 : alur penangan Preeklampsia
Kehamilan normal
Preeklampsi/
HT gestasional/
HT kronis
PEB Eklampsi
Komplikasi PEB (HELLP
syndrome, Edema paru, CVA, Gagal
ginjal)
Faskes primer :
skrining PE. (-) : kontrol rutin
(+): rujuk poliklinik
Faskes Primer : Rujuk poliklinik
Faskes primer : - pasang IV line
- injeksi MgSO4
loading dose - rujuk segera
Faskes primer : - pasang IV line
- injeksi MgSO4
loading dose - Beri oksigen,
miringkan badan ke kiri
- rujuk segera
Faskes primer : - pasang IV line
- injeksi MgSO4
loading dose jika syarat memenuhi
- Rujuk segera
Faskes sekunder : skrining PE
(+) : - Aspirin dosis
rendah 80 mg
- kalsium 1 g - kontrol rutin
cek DV a. uterina
(sesuai fasilitas)
(-) : kontrol
rutin
Faskes sekunder : - evaluasi
kondisi maternal (gejala,
laboratorium) - Evaluasi
kondisi janin (USG dan
NST) - ANC rutin - terminasi usia
kehamilan 37 minggu
Faskes sekunder : - MRS
- IV line dan kateter
- Injeksi MgSO4
sesuai prosedur
- Anti hipertensi - Terminasi usia
kehamilan >34 minggu
- Usia
kehamilan <34 minggu perawatan konservatif di
faskes sekunder / rujuk ke
faskes tersier
Faskes sekunder : - IV line dan
kateter
- Injeksi MgSO4 sesuai prosedur
- Oksigen dan
miringkan badan ke kiri
- Anti hipertensi - Terminasi
setelah stabil
Faskes sekunder : - IV line dan
kateter
- Injeksi MgSO4 sesuai prosedur
- Diuretic jika
edema paru - Anti hipertensi - Terminasi
setelah stabil
Antihipertensi pada kehamilan diberikan
dengan indikasi utama untuk keselamatan ibu
dan mencegah penyakit cerebrovaskuler. Obat
antihipertensi diberikan apabila tekanan dari
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
40
lebih dari 160/110 mmHg. Pilihan pertama obat
antihipertensi adalah nifedipine oral, hydralazine,
dan labetalol parenteral. Alternatif antihipertensi
yang dapat diberikan adalah nitrogliserin dan
metildopa. Di Indonesia sendiri, obat antihi-
pertensi yang sering digunakan adalah nifedipine
dan metildopa.
Beberapa hal yang penting diingat pada
evaluasi preeklampsi di layanan primer adalah
pemeriksaan tekanan darah >140/90 dengan
proteinuria >+1 serta injeksi MgSO4 loading dose
jika didapatkan PEB. Selain itu, pada pasien PEB
yang inpartu di layanan primer, apabila tidak
segera lahir, maka harus injeksi MgSO4 dan
segera rujuk ke layanan sekunder. Namun,
apabila sakan segera lahir, maka injeksi MgSO4,
lakukan persalinan dan rujuk setelah melahirkan.
Perlu diketahui bahwa terminasi preeklampsi
tidak selalu SC. Dianjurkan unruk persalinan
pervaginam menggunakan ripening misoprostol
sesuai indikasi.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
41
Daftar pustaka Kementrian Kesehatan RI. 2019. Laporan
Nasional Riskesdas 2018. Jakarta National Institute For Health And Care
Excellence. 2019. Guideline Hypertension in pregnancy: diagnosis and management.
Brown dan Garovic. 2015. Drug Treatment of Hypertension in Pregnancy.
FIGO. 2019. The International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) Initiative on Pre‐eclampsia: A Pragmatic Guide for First‐Trimester Screening and Prevention.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
42
Tatalaksana Hipertensi Pada Pasien
Non Diabetes Mellitus CKD
Hipertensi merupakan salah satu penyakit
kronis yang menghabiskan banyak waktu dan
biaya di dunia. Sekitar kurang lebih 800 juta
orang di dunia terkena dampak dari hipertensi.
Sedangkan Cronic Kidney Disease (CKD)
merupakan salah satu penyakit yang silent killer.
Hal ini disebabkan karena pasien dengan gagal
ginjal biasanya baru datang untuk memeriksakan
keluhannya ketika sudah mencapai stage 4 atau
end stage. Di Amerika, terdapat sekitar 594.000
orang per tahun yang mengalami CKD.
Setiap manusia memiliki jalur regulator
yang berbeda. Terdapat 3 jalur regulator yang
berfungsi dalam tubuh manusia yakni sistem
nervus simpatik, renin angiotensin, dan total
body sodium. Terdapat orang yang memiliki
sistem nervus simpatik yang lebih dominan, renin
angiotensin lebih dominan, atau total body
sodium lebih dominan. Hal ini yang
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
43
menyebabkan setiap orang memiliki penanganan
hipertensi yang berbeda.
Patofisiologi terjadinya hipertensi pada
gagal ginjal adalah karena penurunan massa
glomerular yang dapat menyebabkan banyak
perubahan pada sistem kerja dalam tubuh,
antara lain : simpatetik nervus sistem lebih aktif,
penurunan ekskresi natrium, kerusakan endo-
thelial, dan peningkatan produksi renin. Seluruh
perubahan tersebut dapat mengakibatkan retensi
natrium yang selanjutnya dapat meningkatkan
kekakuan pembuluh darah, pe-ningkatan volume
extracellular, dan vasokonstriksi perifer. Hasil
akhir dari menurunnya massa glomerular adalah
peningkatan tekanan darah.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
44
Gambar 1 : Patofisiologi hipertensi pada
CKD
Pada pasien dengan penyakit ginjal, selain
terjadi peningkatan kekakuan arteri, arteri pasien
juga menjadi keras karena adanya deposisi
kalsium pada pembuluh darah. Hal ini disebab-
kan karena terjadi peningkatan hormone
parathyroid pada pasien ginjal. Peningkatan ini
akhirnya dapat merusak tulang, dan meng-
aktifkan osteoclast, sehingga kalsium dari tulang
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
45
diambil dan ditumpuk di pembuluh darah. Hal
inilah yang menyebabkan kerasnya pembuluh
darah.
Terdapat perbedaan kondisi pembuluh
darah pada pasien atherosclerosis dan CKD.
Pada pasien atherosclerosis, kalsifikasi terjadi di
tunika intima. Sedangkan pada CKD, kalsifikasi
terjadi di tunika media. Sehingga, apabila
terdapat pasien CKD dengan sakit jantung, maka
dapat terjadi sudden cardiac death.
Kekauan atau kalsifikasi pembuluh darah
pada pasien CKD sebenarnya sudah dimulai
sejak GFR 60-90 ml/min/1.73 m2 tanpa
proteinuria atau masuk pada CKD stage 1.
Namun, karena jarang terdapat keluhan pada
pasien, mereka cenderung tidak memeriksakan
kondisinya.
Tabel 1 : Kondisi vaskular pada CKB berdasarkan stage
Parameter arteri
Stage 1
Stage 2
Stage 3
Stage 3-5
ESRD Fungsi
vaskular
Distensibility ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Earliest
alteration Stiffness ↑ ↑ ↑ ↑ ↑
CWS ↓ ↓ ↔ ↑ ↑
EMT ↔ ↑ ↔ ↔ ↑ Early alteration
Einc ↔ ↔ ↑ ↑ ↑
Diameter ↔ ↔ ↔ ↑ ↑ Late alteration
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
46
Kekauan pembuluh darah terbagi menjadi
2 yakni struktural dan fungsional. Kekakuan
pem-buluh darah fungsional adalah ketika
struktur pembuluh darah masih bagus namun
fungsi sudah berkurang. Sedangkan pada
structural, struktur pembuluh daah sudah
menjadi kaku. Sehingga ketika kekakuan
pembuluh darah fungsional dan struktural terjadi
bersamaan, maka resiko kematian menjadi lebih
tinggi.
Diagnosa hipertensi terbagi menjadi 4.
Ketika tekaan darah pasien di klinik normal
namun di rumah tinggi, maka disebut masked
hypertension. Ketika tekanan darah pasien di
klinik meningkat dan di rumah juga meningkat,
maka disebut sustained hypertension. Ketika
tekanan darah pasien di klinik dan di rumah
normal, maka disebut sustained normotension.
Namun apabila tekanan darah pasien di klinik
tinggi namun di rumah normal, maka disebut
white coat hypertension.
Alat pengukur tekanan darah yang
digunakan harus terstardadisasi oleh AMI. Pada
saat mengukur tekanan darah, pasien tidak
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
47
boleh berbicara atau menggunakan smartphone,
pasien juga tidak boleh mengonsumsi nikotin
atau cafein dalam 30 menit sebelum peme-
riksaan. Singkap baju yang menghalangi lengan
pasien, dudukkan pasien dengan tenang dan
bersandar kurang lebih 5 menit, pastikan ukuran
cuff sesuai dan lokasi cuff harus setinggi atrium
kanan. Cara pengukuran yang tidak tepat dapat
mempengaruhi hasil, diagnose, serta tatalaksana
yang akan diberikan.
Manajemen hipertensi pada CKD terbagi
menjadi 2 yakni non farmakologis dan
farmakologis. Terapi nonfarmakologis meliputi
pengelolaan stress berupa tidur dengan nyaman,
membatasi beban kerja dan liburan. Kedua yakni
olahraga yang sesuai. Pada sebuah penelitian,
olahraga dapat menghambat produksi renin
dalam tubuh. Olahraga yang dianjurkan pada
pasien CKD adalah lari, renang dan jalan selama
15 hingga 30 menit dengan syarat pasien tidak
sesak setelah aktivitas. Selain itu, harus ada 2
atau 1 hari istirahat setelah olahraga untuk
pemulihan tubuh terutama pada pasien CKD.
Kualitas olahraga yang dianjurkan adalah
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
48
singkat, padat dan efisien. Manajemen non
farmakologis terakhir adalah membatasi natrium
yakni maksimal kurang dari 2000 mg atau 1
sendok teh dalam sehari, dan dimulai perlahan
lahan.
Tatalaksana farmakologi yang digunakan
adalah obat antihipertensi golongan ACE inhibitor
dan ARB. Obat tersebut dianjurkan untuk pasien
CKD stage 1 hingga 3. Pada CKD, arteri afferent
dan efferent akan menyempit. Ketika terdapat
tekanan darah tinggi, darah akan mengalir
dengan cepat dan kuat namun karna arteriol
efferent menyempit, maka tekanan intraglo-
merular akan meningkat. Peran ACE inhibitor
adalah melebarkan pembuluh darah afferent dan
efferent dari ginjal supaya tekanan intraglo-
merular menurun. Selain itu, obat golongan ini
juga memiliki beyond effect berupa
renoprotektif. Sedangkan obat golongan CCB
hanya membuka arteriol afferent namun tidak
pada efferent. Meskipun terdapat penelitian yang
menunjukkan bahwa CCB dapat menurunkan
tekanan darah dengan cepat, obat golongan ini
dapat menyebabkan proteinuria yang massif.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
49
Berdasarkan bagan di bawah, dapat
disimpulkan bahwa drug of choice pasien
hipertensi dan CKD dengan proteinuria positif
adalah ACE inhibitor atau ARB. Obat golongan
CCB juga bisa diberikan apabila setelah
pengobatan 3 bulan, tekanan darah tidak
membaik. Sedangkan drug of choice pasien
hipertensi dan CKD tanpa proteinuria adalah satu
atau dua obat golongan ACE Inhibitor atau ARB,
CCB, dan thiazide.
Gambar 2 : Drug of choice anti hipertensi pada CKD
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
50
Target tekanan darah pasien hipertensi dan
CKD menurut ACC/AHA adalah 130/80 mmHg.
Menurut JNC 8, target tekanan darahnya adalah
140/80 mmHg. Sedangkan target tekanan darah
menurut KDIGO pada pasien CKD tanpa
proteinuria adalah 140/90 mmHg dan pasien
dengan proteinuria adalah 130/80 mmHg.
Tabel 2 : Target tekanan darah pada CKD
ACC/AHA JNC 8
KDIGO ESC/ESH
Proteinuria (-) Proteinuri (+)
Sistolik 130 140 140 130 130 - 139
Diastolik 80 90 90 80
Hipertensi dapat menyebabkan beberapa
kerusakan organ antara lain pada ginjal, jantung
dan otak. Komplikasi yang dapat terjadi pada
ginjal adalah CKD yang akhirnya bisa menjadi
ESRD dan meninggal. Sedangkan komplikasi
pada jantung adalah penyakit jantung coroner
yang menjadi infark miokard, disfungsi sistolik
diastolik yang dapat menjadi gagal jantung, dan
Ventrikular fibrilasi serta takikardi. Sedangkan
komplikasi yang dapat terjadi pada otak adalah
demensia dan TIA yang akhirnya menjadi stroke.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
51
Pada akhirnya, terapi paling utama pada
pasien dengan CKD adalah mengontrol
underlying disease pasien. Pasien dengan CKD
pasti memiliki penyakit bawaan seperti diabetes
mellitus dan hipertensi. Sehingga, terapi utama
pada pasien dengan gangguan ginjal atau
jantung adalah mengobati underlying disease
pasien.
Daftar Pustaka
Kementrian Kesehatan RI. 2019. Laporan Nasional
Riskesdas 2018. Jakarta Bryan et al. 2018. 2018 ESC/ESH Guidelines for the
management of arterial hypertension: The Task Force for the management of arterial
hypertension of the European Society of Cardiology (ESC) and the European Society of Hypertension (ESH). European Heart Journal,
Volume 39, Issue 33, 01 September 2018, Pages 3021–3104.
KDIGO. 2017. Clinical Practice Guideline Update for the Diagnosis, Evaluation, Prevention, and
Treatment of Chronic Kidney Disease–Mineral and Bone Disorder (CKD-MBD). Kidney
International Supplements (2017) 7, 1–59 Dan et al. 2019. Management of Hypertension in
Chronic Kidney Disease.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
52
Tatalaksana Hipertensi Pada Pasien
Penyakit Kardiovaskular
Hipertensi merupakan faktor resiko utama
penyakit di dunia. Kasus hipertensi sejak tahun
1990 hingga 2016 mengalami peningkatan,
khususnya kasus hypertensive heart disease.
Pada tahun 2016, kasus HHD sekitar 0.64%.
Menurut WHO pada tahun 2012, terdapat 17.5
juta orang meninggal akibat dari penyakit
kardiovaskular. Pada tahun 2013, data dari
riskesdas menunjukkan bahwa penyakit
kardiovaskular terbanyak di Indonesia adalah
Coronary heart Disease.
Penyakit kardiovaskular memiliki 2 faktor
resiko, yakni faktor resiko yang bisa dimodifikasi
dan yang tidak bisa dimodifikasi. Faktor resiko
berupa jenis kelamin, usia, faktor keturunan,
serta ras adalah faktor resiko yang tidak dapat
dimodifikasi. Sedangkan faktor resiko berupa
hipertensi, diabetes mellitus, jarang berolahraga,
obesitas dan kolesterol tinggi merupakan faktor
resiko yang bisa dimodifikasi. Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa pasien hipertensi yang
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
53
merokok memiliki resiko 5 kali lebih besar
mengalami severe hypertension hingga morta-
litas.
Klasifikasi peningkatan tekanan darah
tinggi yang sering digunakan adalah EHJ 2018.
grade 1 ketika tekanan darah sistolik 140 – 159
mmHg dan atau diastolik 90 – 99 mmHg. Grade
2 ketika tekanan darah sistolik 160 – 159 mmHg
dan atau diastolic 100 – 109 mmHg. Grade 3
yakni ketika tekanan darah sistolik lebih dari
sama dengan 180 mmhg dan atau diastolic lebih
dari 110 mmHg.
Tabel 1 : kategori hipertensi
Kategori Sistolik
(mmHg)
Diastolik
(mmHg)
Optimal <120 Dan <80
Normal 120 – 129 Dan/atau 80 – 84
High normal 130 – 139 Dan/atau 85 – 89
Grade 1 Hipertensi 140 – 159 Dan/atau 90 – 99
Grade 2 Hipertensi 160 – 179 Dan/atau 100 – 109
Grade 3 Hipertensi >180 Dan/atau >110
Isolated Systolic
Hypertension
>140 Dan <90
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
54
Tatalaksana hipertensi mulai diberikan
tergantung pada nilai tekanan darah, usia, dan
penyakit penyerta. Pada pasien usia 18 hingga
79 tahun dengan komorbid penyakit lain, terapi
hipertensi mulai diberikan jika tekanan darah
sistolik diatas 140 mmHg dan diastolik diatas 90
mmHg. Sedangkan pasien yang berusia diatas 80
tahun dengan komorbid penyakit lain, terapi
hipertensi dimulai jika tekanan darah sistolik
diatas 160 mmHg dan diastolic diatas 90 mmHg.
Tabel 2 : Tekanan darah untuk memulai terapi
Usia Tekanan darah Sistolik (mmHg)
tekanan diastolik
HT +DM +CKD +PJK +Stroke
18 - 65 >140 >140 >140 >140 >140 >90
65 - 79 >140 >140 >140 >140 >140 >90
>80 th >160 >160 >160 >160 >160 >90
Tekanan
diastolik >90 >90 >90 >90 >90
Target terapi hipertensi juga berbeda
tergantung usia dan penyakit yang menyertai.
Pada pasien hipertensi usia 18 hingga 65 tahun,
target tekanan darah sistolik adalah 130 mmHg.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
55
Sedangkan pada pasien hipertensi usia di atas 65
tahun, target tekanan sitolik adalah 130 hingga
139 mmHg. Apabila pasien juga memiliki
kerusakan organ berupa CKD atau gagal ginjal,
maka target tekanan darah sistolik menjadi 140
hingga 130 mmHg.
Dalam penatalaksanaan hipertensi, apabila
terapi dapat menurunkan tekanan sistolik
sebesar 10 mmHg atau diastolic 5 mmHg, maka
terdapat beberapa resiko komplikasi yang akan
menurun. Beberapa diantaranya adalah
penurunan kasus kardiovaskular sebesar 20%,
penurunan penyebab kematian sekitar 10 hingga
15%, penurunan kejadian stroke sebesar 35%,
penurunan kejadian gagal jantung sebesar 40 %,
dan penurunan kejadian gangguan coroner
sekitar 20%.
Keterkaitan hipertensi dan penyakit jantung
yang sangat kuat menyebabkan terapi yang
diberikan juga harus diperhatikan. First line obat
anti hipertensi yang diberikan pada pasien
hipertensi disertai dengan gangguan jatung
berupa stable angina, acute coronary syndrome,
dan heart failure adalah ACE Inhibitor atau ARB.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
56
ACE Inhibitor dan ARB memiliki
keefektifitasan yang sama untuk major
cardiovascular event dan mortalitas. ACEI
bekerja menghambat angiotensin 1 menjadi 2,
sedangkan ARB menghambat Angiotensi 2. Efek
samping ARB lebih kecil dibandingnya ACEI. Efek
samping ACE I adalah memproduksi bradikinin
sehingga bisa menyebabkan pasien batuk.
Kelebihan kedua obat ini juga dapat menurunkan
albuminuria, mencegah terjadinya hypertensive
organ damage, serta diindikasikan bagi pasien
dengan infark miokard dan Chronic Heart Failure
Reduce Ejection Fraction (HFrEF).
Tabel 3 : Target tekanan darah
Usia Target Tekanan darah Sistolik (mmHg)
Target
tekanan diastolik
HT +DM +CKD +PJK +Stroke
18 - 65 120-130 120- 130 130-140 120 -130 120-130 70-79
65 - 79 130-139 130 -139 130-139 130-139 130-139 70-79
>80 th 130-139 130 -139 130-139 130-139 130-139 70-79
Tekanan diastolik
70 - 79 70 - 79 70-79 70-79 70-79
Tabel 4 : Obat antihipertensi pada gangguan jantung
ACE I/ARB
Diuretik B bloker Non DHP CCB DHP CCB
Nitrat Aldosteron ISDN/Hydralazine
Stable angina
1 1 1 2 2 1 2
ACS 1 1 1 2 2 2 2
HF 1 1 1 2 1 2
Keterangan : 1 = drug of choice , 2 = add-on (alternative drug atau indikasi khusus)
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
57
Calcium channel bloker (CCB) memiliki
efektifitas yang sama seperti ACEI dan ARB
terhadap major cardiovascular event dan
mortalitas. Kelebihan dari CCB adalah obat ini
dapat mengurangi nyeri dada sehingga iskemi
pada miokard juga dapat menurun. Golongan ini
dibagi menjadi 2 yakni DHP dan non DHP.
Golongan Non DHP seperti verapamil dan
diltiazem memiliki efek inotropik dan kronotropik
negative, sehingga bisa menurunkan detak dan
irama jantung. Sehingga, pemberian Non DHP
pada pasien bradikardi atau disfungsi ventrikel
kiri harus ditunda. Golongan kedua yakni CCB
DHP seperti amlodipine dan nifedipine. Obat
golongan ini memiliki efek vasodilatasi sehingga
dapat mengurangi keluhan nyeri dada. Pada
kasus tersebut, obat golongan DHP ini dapat
dikombinasikan dengan golongan B bloker untuk
mengurangi nyeri dada pada pasien hipertensi.
Obat golongan lainnya adalah diuretik yang
memiliki beberapa jenis. Pertama yakni thiazid
yang efektifitasnya berkurang pada pasien
dengan eGFR menurun. Kedua yakni mineralo
kortikoid seperti spironolakton. Obat golongan ini
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
58
diindikasikan pada pasien simptomatik heart
failure yang sebelumnya sudah diberi ACE
inhibitor dan b bloker. Jenis diuretic ketiga yakni
loop diuretic yang digunakan untuk mengurangi
kongesti pada pasien gagal jantung dengan
edema.
Beta bloker merupakan salahh satu
golongan obat anti hipertensi yang diberikan
setelah pemberian anti hipertensi golongan lain.
Hal ini disebabkan karena penggunaan b bloker
saja tidak menurunkan mortalitas. Obat golongan
ini diberikan pada situasi yang spesifik seperti
simptomatik angina, post miokardial infark, dan
gagal jantung karena merupakan inotropic dan
kronotropik negative.
Strategi terapi hipertensi dan coronary
artery disease (CAD) yang utama adalah ACE
inhibitor atau ARB. Jika tekanan darah 140/90
mmHg, maka dapat digunakan salah satu anatar
ACE I atau ARB. Apabila tekanan darah 150
mmHg atau lebih maka dapat diberikan
kombinasi ACEI/ARB dan beta bloker/CCB.
Pilihan kombinasi lain adalah CCB dengan
diuretik, atau CCB dengan beta bloker, arau beta
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
59
bloker dengan diuretic. Apabila tekanan darah
masih tinggi, maka terapi dapat dikombinasikan
antara ACEI/ARB, beta bloker dan CCB. Pada
pasien dengan tekanan darah diatas 130 mmHg
dengan faktor resiko tinggi CVD, maka dapat
diberikan terapi triple kombinasi. Apabila pasien
sudah resisten hipertensi, maka dapat
ditambahkan spironolakton atau alfa bloker.
Rekomendasi terapi hipertensi dengan
STEMI adalah pemberian beta bloker. Selain
pada STEMI, obat ini juga diberikan pada pasien
gagal jantung atau ejection fraction turun hingga
kurang dari 40% dengan syarat tidak ada
kontraindikasi berupa dekomkordis, kongesti
atau sangat sesak. Selain beta bloker, pemberian
ACE inhibitor atau ARB juga direkomendasikan
pada pasien STEMI. ACE I diberikan pada pasien
STEMI dengan gagal jantung, infark anterior,
diabetes, dan gagal ginjal. Obat golongan ketiga
yang dapat diberikan adalah glonga mineralo
kortikoid.
First line obat antihipertensi yang dapat
diberikan untuk mengurangi nyeri dada pada
chronic coronary syndrome adalah beta bloker
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
60
atau CCB DHP. Apabila nyeri dada tidak
berkurang, maka bisa diberikan kombinasi
keduanya. Obat lain yang diberikan untuk
mengatasi nyeri dada pada angina adalah
golongan nitrat.
Salah satu tujuan dari terapi kelainan
kardiovascular adalah mencegah terjadinya
secondary event. Rekomendasi obat untuk
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
61
mencegah kejadian tersebut adalah ACE inhibitor
atau ARB. Obat golongan lainnya adalah beta
bloker apabila terdapat disfunngsi ventrikel kiri
atau gagal jantung sistolik. Pada pasien dengan
riwayat STEMI, obat yang dapat diberikan
adalah golongan beta bloker longterm.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
62
Rekomendasi manajemen pasien dengan
chronic coronary syndrome dan gagal jantung,
terapi yang diberikan adalah diuretik. Tujuan
diberikannya obat ini adalah untuk mengurangi
kongesti. Selanjutnya, beta bloker diberikan
setelah tidak ada sesak dan kongesti. Ketiga
adalah ACEI jika pasien mengalami disfungsi
ventrikel kiri dan heart failure karna miokard
infark. ARB diberikan apabila pasien tidak bisa
mentoleransi efek samping ACEI berupa batuk.
Terdapat obat ARB golongan baru yang lebih
efektif dalam menangani gagal jantung, yakni
Angiotensin Reseptor Niprilizine Inhibitor (ARNI).
Amlodipin juga bisa dipertimbangkan untuk
mengurangi angina pada pasien yang tidak bisa
menoleransi beta bloker.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
63
Daftar Pustaka
WHO. 2017. WHO Global Burden of Disease
Kemenkes RI. 201+4. Riskesdas 2013
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
64
Clive rosendorf et al. 2015. Treatment of
Hypertension in Patients With Coronary Artery Disease. Circulation. 2015;131.e435-e470
Juhani knuut et al. 2019. 2019 ESC Guidelines for the diagnosis and management of chronic
coronary syndromes. European Heart Journal (2019) 00, 1-71
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
65
Kombinasi Terapi Hiperetensi Oral
Hipertensi merupakan salah satu penyakit
kronis yang dapat menyebabkan kerusakan pada
beberapa organ. Terdapat beberapa guideline
dalam klasifikasi dan penanganan hipertensi.
Salah satu yang sering digunakan adalah JNC 7
yang kemudian diperbarui menjadi JNC 8.
Terdapat beberapa perbedaan dalam JNC 7
dan JNC 8. Pertama yakni pada JNC 7, terdapat
istilah hipertensi dan prehipertensi sedangkan
pada JNC 8 lebih menekankan pada tekanan
darah awal memberi terapi. Kedua yakni target
terapi pada JNC 7 dibedakan berdasarkan
komplikasi dan komorbid, sedangkan pada JNC
8, target terapi hampir sama dan perbedaan
hanya pada usia.
Perbedaan selanjutnya adalah perihal
terapi obat obatan anti hipertensi. Pada JNC 7,
terdapat 5 golongan anti hipertensi lini pertama
yakni ACE inhibitor, ARB, CCB, beta bloker dan
diuretik. Sedangkan pada JNC 8, golongan beta
bloker dihapuskan dari obat anti hipertensi lini
pertama karena berdasarkan penelitian, obat
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
66
golongan ini tidak terbukti mencegah komplikasi
dan mengurangi kematian pada pasien
hipertensi. Pada JNC 8, beta bloker diberikan
pada kondisi khusus setelah pemberian 4 lini
pertama anti hipertensi.
Terdapat beberapa rekomendasi dalam
tatalaksana hipertensi pada JNC 8. Rekomendasi
pertama yakni pemberian terapi farmakologi anti
hipertensi pada usia >60 tahun dimulai ketika
tekanan darah > 150/90 mmHg. Sehingga
penurunan tekanan darah pasien usia diatas 60
tahun tanpa adanya organ damage atau
komorbid lain tidak perlu terlalu agresif. Target
terapi pada pasien usia >60 tahun adalah
<140/90 mmHg, namun apabila sudah diterapi
dan tidak bisa mencapai 140, maka pengobatan
boleh tetap dilanjutkkan dengan syarat tidak
diatas 150 mmHg.
Rekomendasi kedua adalah pada pasien
usia <60 tahun, terapi farmakologi anti
hipertensi dimulai apabila tekanan darah diastolik
pasien > 90 mmHg dengan target tekanan darah
diastolik setelah terapi adalah <90 mmHg.
rekomendasi ketiga yakni pada pasien usia <60
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
67
tahun, terapi anti hipertensi dimulai apabila
tekanan darah sistolik >140 mmHg dengan
target tekanan darah sistolik <140 mmHg.
Rekomendasi keempat adalah pada pasien usia
> 18 tahun dengan Chronic Kidney Disease
(CKD), terapi anti hipertensi dimulai jika tekanan
darah sistolik >140 mmHg atau diastolik >90
mmHg. Rekomendasi kelima adalah pada pasien
usia >18 tahun dengan diabetes mellitus, terapi
anti hipertensi dimulai apabila tekanan darah
sistolik >140 mmHg atau diastolik >90 mmHg.
Rekomendasi selanjutnya adalah pem-
berian anti hipertensi lini pertama pada populasi
kulit putih dengan atau tanpa DM adalah
golongan thiazide-type diuretic, CCB, ACE
Inhibitor atau ARB. Pada populasi kulit hitam
dengan atau tanpa DM, anti hipertensi lini
pertama yang direkomendasikan adalah Thiaide-
type diuretic atau CCB. Pada populasi usia >18
tahun dengan hipertensi dan CKD, lini pertama
anti hipertensi yang diberikan adalah golongan
ACE inhibitor atau ARB untuk memperbaiki fungsi
ginjal.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
68
Rekomendasi selanjutnya adalah tujuan
terapi hipetensi yakni mencapai dan mem-
pertahankan target tekanan darah. Apabila
target tidak tercapai dalam 1 bulan, maka dosis
anti hipertensi dapat dinaikkan atau ditambah
terapi anti hipertensi golongan lain yang
direkomendasikan yakni thiazide-type diuretic,
CCB, dan ACEI/ARB. Jika target tekanan darah
tidak tercapai dengan 2 obat, maka tambahkan
dan titrasi obat ketiga. Apabila tidak tercapai
juga, pemberian anti hipertensi golongan lain
bisa diberikan. Kirim kepada spesialis penyakit
dalam jika tekanan darah tidak tercapai dan
terdapat tanda tanda organ damage.
Pada pemberian anti hipertensi, terdapat 3
strategi yang dapat dipilih oleh klinisi. Strategi
pertama yakni pemberian 1 golongan obat
kemudian dititrasi hingga dosis maksimal setelah
itu baru ditambahkan obat golongan kedua.
Strategi kedua yakni mulai pemberian anti
hipertensi dengan 1 golongan kemudian dapat
ditambahkan dengan golongan lain sebelum obat
pertama mencapai dosis maksimal. Strategi
ketiga adalah langsung memulai dengan 2
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
69
golongan obat anti hipertensi. Ketiga strategi
diatas dapat digunakan tergantung situasi dan
kondisi pasien.
Kombinasi obat anti hipertensi boleh
dilakukan boleh tidak dilakukan. Keuntungan dari
mengkombinasikan 2 obat golongan anti
hipertensi adalah akan muncul efek potensiasi
atau sinergisme, menurunkan efek samping,
meningkatkan efek pada target yang spesifik,
serta meningkatkan kepatuhan.
Kombinasi obat anti hipertensi yang
direkomendasikan pertama adalah 4 golongan
obat anti hipertensi lini pertama sesuai dengan
JNC 8. Obat golongan thiazide boleh dikom-
binasikan dengan golongan ARB, ACE Inhibitor
dan calcium antagonis. Obat golongan ARB boleh
dikombinasikan dengan golongan Calcium
antagonis dan thiazide diuretic. Obat golongan
calcium antagonis boleh dikombinasikan dengan
golongan thiazide diuretic, ARB dan ACE
Inhibitor. Sedangkan obat golongan ACE
Inhibitor boleh dikombinasikan dengan golongan
calcium antagonis dan thiazide diuretic. Obat
golongan thazid diuretic bisa juga
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
70
dikombinasikan dengan golongan beta bloker,
namun efek yang dihasilkan tidak seefektif jika
dikombinasikan dengan obat lainnya.
Selain penggunaan terapi farmakologis,
hipertensi harus ditunjang dengan terapi non
farmakologis berupa perubahan gaya hidup.
Beberapa tatalaksana non farmakologis yang
disarankan adalah pembatasan penggunaan
rokok, kontrol gula darah dan lemak, diet
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
71
makanan bergizi , membatasi konsumsi alkohol,
membatasi konsumsi garam kurang lebih 2400
mg perhari atau setara dengan 2 sendok,
selanjutnya adalah olahraga 3 hingga 4 hari
perminggu dengan durasi 40 menit tiap
olahraga.
Daftar Pustaka James A, et al. 2013. 2014 Evidence-Based
Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults. Report From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8). JAMA. doi:10.1001/jama.2013.284427
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
73
Golongan
Obat Pilihan Obat Keterangan
Diuretik
HCT 12.5 – 50 mg, chlorthalidone 12.5-25
mg, indapamide 1.25-2.5 mg
Hemat kalium : spironolactone 25-50
mg, amiloride 5-10 mg, triamterene 100 mg
Loop : furosemide 20-80 mg 2 kali sehari,
torsemide 10-40 mg
Monitor hipokalemi
Paling efektif ketika dikombinasikan
dengan ACEI ES spironolactone :
gynecomastia dan hyperkalemia
Loop : dibutuhkan jika GFR<40 ml/min
ACEI/ARB
ACEI : Lisinopril, benazepril, fosinopril
dan quinapril 10-40 mg, ramipril 5-10 mg,
trandolapril 2-8 mg ARB : Candesartan 8-32
mg, valsartan 80-320 mg, losartan 50-100
mg, Olmesartan 20-40 mg, telmisartan 20-80 mg
ES : batuk pada
ACEI, angioedema, hyperkalemia
Losartan bisa
menurunkan kadar
asam urat Candesartan bisa
mencegah migrain
Beta Bloker
Metoprolol succinate
50-100 mg dan tartrate 50-100 mg 2 kali shari,
nebivolol 5-10 mg, propranolol 40-120 mg
Bukan lini pertama –
digunakan untuk pasien post infark
miokard ES : menurunkan HR
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
74
2 kali sehari, carvedilol 6.25-25 mg 2 kali
sehari, bisoprolol 5-10 mg, labetalol 100-300
mg 2 kali sehari
dan Lelah
CCB
DHP : amlodipine 5-10 mg, nifedipine ER 30-90 mg
Non DHP : diltiazem ER
180-360 mg, verapamil 80-120 mg 3 kali sehari
ES : edema Non DHP bisa
menurunkan HR dan proteinuria
Vasodilator
Hydralazine 25-100 mg 2 kali sehari, minoxidil
5-10 mg
Terazosin 1-5 mg,
doxasozin 1-4 mg sebelum tidur
Hydralazine dan
monixidil bisa menyebabkan
retensi cairan dan reflek takikardia
Alfa bloker bisa
menyebabkan orthostatik hipotensi
Centrally acting
agents
Clonidine 0.1-0.2 mg
2 kali sehari, methyldopa 250-500 mg
2 kali sehari Guanfacine 1-3 mg
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
75
Tatalaksana Krisis Hipertensi di IGD
Krisis hipertensi adalah peningkatan
tekanan darah yang akut yakni tekanan darah
sistolik melebihi 180 mmhg atau diastolic
melebihi 120 mmHg. Krisis hipertensi terbagi
menjadi 2 yakni emergency dan urgency.
Perbedaan dari keduanya adalah ada tidaknya
organ damage. Hipertensi emergency yakni
ketika terdapat end organ damage sedangkan
hipertensi urgency tidak didapatkan end organ
damage. Hal ini menyebabkan gejala yang
muncul pada pasien hanya terbatas pada pasien
dengan end organ damage.
Pada hipertensi emergency, tekanan darah
harus dilakukan dalam hitungan menit hingga
jam. Sedangkan pada hipertensi urgency,
tekanan darah diturunkan dalam hitungan jam
hingga hari karena tidak adanya kegawatan
daruratan dibandingkan hipertensi emergency.
Beberapa organ yang mengalami
kerusakan pada pasien dengan hipertensi antara
lain :
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
76
- Neurologi : infark cerebri (24,5%),
Encepalopaty hipertensi
(16,3%), ICH/SAH (4,5%)
- Cardiovascular : Edema paru akut (22,5%),
acute congestive failure
(14,3%), Infark
miokard/unstable angina
(12%)
- Ginjal : Acute Kidney Injury (<10%)
- Liver : Peningkatan AST/ALT
berhubungan dengan HELLP
syndrome (0,1 – 0,8%)
- Ocular : Perdarahan retina (0,01 –
0,02%)
- Vaskular : Eklampsia (4,5%), diseksi
aorta (2%)
Algoritma tatalaksana krisis hipertensi
pertama yakni periksa tekanan darah >180/120
mmHg. selanjutnya, tentukan ada tidaknya
kerusakan organ seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya. Apabila ada, maka hipertensi masuk
ke dalam hipertensi emergency dan harus segera
dirawat di ICU. Penurunan tekanan darah pada
hipertensi emergency adalah sebesar 25% dari
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
77
MAP (Mean arterial Pressure) awal pasien dalam
1 jam pertama. Penurunan MAP lebih dari 25%
dapat mengakibatkan cerebral ischemia.
Tatalaksana selanjutnya yakni pada 2 hingga 6
jam berikutnya, tekanan darah dapat diturunkan
hingga 160/100 – 110 mmHg. Pertahankan
tekanan darah hingga 24 jam pertama. Setelah
itu, tekanan darah dapat diturunkan sesuai
dengan guideline. Pada kondisi tertentu yakni
terdapat preeklampsia berat atau eklampsia, dan
krisis pheochromocytoma, tekanan darah distolik
harus di turunkan hingga <140 mmHg dalam 1
jam pertama dan <120 mmHg serta menurunkan
nadi hingga <60 kali per menit pada kasus
diseksi aorta.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
78
Pada kasus hipertensi dengan stroke
iskemia akut (kurang dari 72 jam), terapi yang
dapat diberikan berupa trombolisis. Pada pasien
ini, tekanan darah sistolik harus diturunkan
sampai kurang dari 180 mmHg dan diastolik
kurang dari 110 mmHg sebelum dilakukan
trombolisis. Setelah itu, tekanan darah
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
79
dipertahankan dibawah 180/110 mmHg pada 24
jam pertama setelah trombolisis.
Apabila pemberian trombolisis tidak dapat
dilakukan, maka perhatikan nilai tekanan darah
pasien. Apabila tekanan darah pasien kurang dari
220/110 mmHg, maka tekanan darah tidak perlu
diturunkan pada 48 hingga 72 jam pertama.
Menurut penelitian, penurunan tekanan darah
pada fase akut tidak efektif untuk mencegah
kematian. Namun, apabila tekanan darah diatas
220/110 mmHg, tekanan darah harus diturunkan
sebesar 15% dalam 24 jam pertama.
Penurunannya tidak boleh terburu buru karena
adanya cerebral perfusion pressure (CPP). Cara
perhitungan CPP adalah MAP dikurangi
intracranial pressure (ICP) pasien. Pada pasien
stroke, ICP pasien akan meningkat, sehingga
apabila MAP diturunkan dengan cepat, nilai CPP
dapat menjadi jelek. Hal inilah yang
menyebabkan pasien tiba tiba tidak sadar.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
80
Pada kasus hipertensi dengan stroke
perdarahan, apabila tekanan darah pasien diatas
220 mmHg, pemberian anti hipertensi harus
diberikan melalui intravena karena tekanan
darah harus diturunkan dan diamati dengan
teliti. Sedangkan pada tekanan darah kurang dari
220 mmHg, penurunan tekanan darah tidak
boleh sampai dibawah 140 mmHg.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
81
Pada hipertensi dengan kehamilan, jangan
terburu buru menurunkan tekanan darah karena
fetal circulaton dapat terganggu. Diagnosa
hipertensi emergency pada ibu hamil adalah
ketika tekanan darah diatas 240/140 mmHg.
Target tekanan darah pasien HT emergency
dengan preeklampsia adalah kurang dari
160/110 mmHg.
Selain hipertensi emergency, terdapat
beberapa kasus hipertensi akut pada pasien
dengan kehamilan. Hipertensi akut berat pada
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
82
kehamilan yakni ketika tekanan darah sistolik
>160 dan diastolic >110 mmHg. Disebut
preeklampsia apabila tekanan darah sistolik
>140 atau diastolic >90 mmHg pada usia
kehamilan diatas 20 minggu disertai proteinuria
atau beberapa gejala berat. Diagnosa eclampsia
ditegakkan apabila terdapat kejang pada pasien
preeklampsia. Terakhir yakni HELLP syndrome
adalah ketika pasien dengan atau tanpa
preeklampsia disertai peningkatan AST dan ALT,
platelet rendah <100.000 dan gangguan
hemolysis.
Pada hipertensi dengan diseksi aorta,
pasien biasanya datang dengan keluhan nyeri
dada tiba tiba seperti di sayat dengan pisau di
bagian dada hingga punggung, namun pada
pemeriksaan EKG didapatkan hasil yang normal
di awal dan tiba tiba menjadi ST elevasi. Diseksi
aorta terbagi menjadi 2 yakni desending dan
asending. Dari kedua ini, diseksi aorta yang
paling life threatening adalah asending.
Sedangkan gejala yang sering muncul pada
diseksi aorta desending adalah tidak bisa buang
air kecil.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
83
Diagnosa diseksi aorta dapat diketahui dengan
pemeriksaan CT scan. Penurunan tekanan darah
pada disesksi aorta adalah dengan cara surgical
atau secara medical. Apabila keadaan pasien life
threatening, maka harus segera dilakukan
operatif. Target heart rate pasien adalah
<69x/menit dan tekanan darah <120 mmHg.
Pada pasien hipertensi dengan gagal
jantung, tahanan vaskular akan meningkat
sehingga terapi anti hipertensi yang diberikan
harus memiliki efek vasodilatasi pembuluh darah.
Hal ini bertujuan untuk menurunkan resistensi
vaskular pasien. Pada kasus gagal jantung yang
akut, obat golongan beta bloker harus dihindari
dahulu karena dapat menurunkan kontraktilitas
jantung.
Pada pasien hipertensi dengan sindroma
coroner akut, terapi yang diberikan pertama
yakni golongan nitrat. Obat golongan ini dapat
menurunkan preload, menurunkan tekanan
ventrikel kiri, dan dilatasi arterial. Sehingga,
dapat menurunkan konsumsi oksigen pada otot
jantung, menurunkan tekanan arterial dan
dilatasi arteri coroner. Obat kedua yang dapat
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
84
digunakan adalah golongan beta bloker yang
memiliki efek kronotropik dan inotropic negative.
Obat ini dapat menurunkan cardiac output dan
secara cepat menurunkan kebutuhan oksigen di
otot jantung. Selain itu, fase diastolic juga akan
semakin lama sehingga jantung memiliki waktu
lebih lama untuk pengisian ventrikel. Pada pasien
dengan STEMI inferior atau right ventrikel, beta
bloker tidak boleh diberikan. Pada kasus akut
coronary syndrome, obat yang harus dihindari
adalah golongan CCB DHP seperti nicardipine
dan hydralazine karena obat ini dapat
meningkatkan kerja jantung.
Kasus Pilihan obat
Diseksi aorta Esmolol diikuti
nitroprusside (atau
labetalol)
Gagal jantung akut
(edema paru)
Nitrogliserin dan loop
diuretik
Stroke Iskemik Labetalol, clevidipine,
nicardipine
Stroke haemoragic Nicardipin atau labetalol
Infark myokard Nitroglycerin, labetalol
atau beta bloker
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia
85
Hipertensi ungency adalah ketika tekanan darah
>180/120 tanpa adanya end organ damage.
Pasien biasanya datang dengan keluhan minimal
namun tekanan darah meningkat. Pada pasien
ini, tatalaksana yang diberikan dapat berupa
antihipertensi oral golongan diuretic, tiazid, dan
CCB.
Daftar Pustaka
Scott benken et al. 2018. Hypertensive Emergencies. CCSAP 2018 Book 1, Medical Issues in the ICU.
Perhinpunan Dokter Hipertensi Indonesia. 2019. Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi.
Lecture Notes Simposium HIPERTENSI
"Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia