LAYANAN KONSELING INDIVIDU DALAM …etheses.uinmataram.ac.id/1596/1/Ahmad...Konseling Individu Dalam...
Transcript of LAYANAN KONSELING INDIVIDU DALAM …etheses.uinmataram.ac.id/1596/1/Ahmad...Konseling Individu Dalam...
i
LAYANAN KONSELING INDIVIDU DALAM MENGATASI KECEMASAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NAPZA DI YAYASAN
LENTERA MATARAM
OLEH :
AHMAD RIJALUSSOLIHIN
153.144.039
BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2018
ii
LAYANAN KONSELING INDIVIDU DALAM MENGATASI KECEMASAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NAPZA DI YAYASAN
LENTERA MATARAM
Skripsi
Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Mataram untuk Melengkapi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Social (S.Sos)
OLEH :
AHMAD RIJALUSSOLIHIN 153.144.039
BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2018
iii
iv
vi
vii
Motto:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmuu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk. (QS. An-
Nahl:125)”
viii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan kepada orang-orang yang berjasa dalam
hidupku, Mama dan Bapak (Sahyuni dan Muhamad, S.Pd). Kakak Nia
Wiatun Whayuni dan Suaminya. Adinda Yusril Ahmadi dan Laili Darojatul
Aulia
ix
LAYANAN KONSELING INDIVIDU DALAM MENGATASI KECEMASAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NAPZA DI YAYASAN
LENTERA MATARAM
Oleh: Ahmad Rijalussolihin
NIM: 153 144 039
ABSTRAK
Pada penelitian ini peneliti mengangkat judul tentang “layanan konseling individu dalam mengatasi kecemasan korban penyalahgunaan NAPZA di Yayasan Lentera Mataram”. Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk kecemasan korban penyalahgunaan NAPZA dan layanan konseling individu dalam mengatasi kecemasan korban penyalahgunaan NAPZA di Yayasan Lentera Mataram.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif deskriptif. Metode pengumpulan data dilakukan denga metode observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Berdasarkan analisis dan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa bentuk kecemasan pada korban penyalahgunaan NAPZA di Yayasan Lentera Mataram adalah adanya rasa kekhawatiran, ketakutan, gelisah, kurang mampu mengontrol emosi marah, jantung berdebar dan kurang konsenterasi yang termasuk kedalam kecemasan neurotis. Adapun layanan konseling individu dalam mengatasi kecemasan pada korban penyalahgunaan NAPZA adalah dengan menggunakan tekhnik attending, empati, bertanya untuk membuka percakapan, eksplorasi, refleksi, member nasihat, serta merujuk pada pendekatan cognitive behavior theraphy (CBT) dengan menggunakan tekhnik intervensi assertive trining dan latihan social.
Kata Kunci : Layanan Konseling Individu, Kecemasan, Penyalahgunaan
NAPZA
x
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-nya. Sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas akhir dalam penyusunan skripsi yang berjudul:
“Layanan Konseling Individu Dalam Mengatasi Kecemasan Korban
Penyalahgunaan NAPZA di Yayasan Lentera Mataram” . Sholawat serta salam
tak lupa kami panjatkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW
yang senantiasa kita nantikan syafa’atnya di akhir kelak. Dalam skripsi ini tidak
akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penlis
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang ikut serta dalam
penyelesaian skripsi ini, diantaranya kepada:
1. Dr.Muhammd Thohri,M.Pd dan H.M. Syarifuddin, M.Pd. selaku dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktu dalam proses penyelesaian
skripsi ini, terima kasih banyak atas segala bimbingan, ilmu dan dukungan
selama ini.
2. Rendra Khaldun, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Bimbingan dan Konseling
Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri
Mataram.
3. H. Masruri, Lc.MA, selaku Sekretaris Jurusan Bimbingan dan Konseling
Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri
Mataram.
4. Dr. H. Subhan Abdullah Acim, MA, selaku Dekan Fakultas Dakwah dan
Komunikasi Universitas Islam Negeri Mataram.
5. Prof.Dr.H.Mutawalli, M.Ag. selaku Rektor Universitas Negeri Mataram.
6. Bapak dan Ibu Dosen yang telah membagi ilmunya dan memperkaya
khazanah keilmuan bagi penulis selama proses kuliah di Universitas Islam
Negeri Mataram.
7. Segenap staff TU Jurusan Bimbingan Konseling Islam dan staff TU
bidang Akademik yang memudahkan administrasi bagi penulis selama
kegiatan perkuliahan sampai akhir masa studi.
xi
8. Bapak Wirawan, selaku Kepala Yayasan LKS Lentera Kota Mataram yang
telah memberikan ijin bagi peneliti untuk melakukan penelitian di panti
tersebut.
9. Seluruh staf karyawan Yayasan LKS Lentera Kota Mataram atas kerja
samanya.
10. Kedua orang tuaku terima kasih atas dorongan semngat yang tiada henti
dan juga kepercayaan yang begitu besar.
11. Teman-teman BKI 2014 yang telah memberikan dukungan.
12. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini,
penulis mengucapkan terima kasih.
Semoga bantuan, motivasi, kebaikan, dan semangat yang telah Bapak dan
Ibu, sahabat, serta teman-teman yang telah diberikan amal baik dan mendapatkan
balasan dari Allah SWT, Amin. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun untuk seanjutnya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis,
pembaca, serta keilmuan Bimbingan Konseling Islam, Amin.
Mataram, 30 april 2018
Penulis
Ahmad Rijalussolihin
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................... iii
HALAMAN NOTA DINAS ........................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................ v
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ vi
HALAMAN MOTTO .................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN..................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
ABSTRAK ...................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Konteks Penelitian ............................................................................... 1
B. Fokus Penelitian ................................................................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 5
D. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian ................................................. 6
E. Telaah Pustaka ..................................................................................... 7
F. Kerangka Teori..................................................................................... 10 1. Layanan konseling individu... ................................................. ...... 10 2. Kecemasan korban penyalahgunaan NAPZA ............................... 25
G. Metode penelitian ................................................................... ............. 33
1. Pendekatan Penelitian .................................................................... 33 2. Kehadiran Peneliti .......................................................................... 34 3. Lokasi Penelitian ............................................................................ 35 4. Sumber data .................................................................................... 35 5. Prosedur Pengumpulan Data .......................................................... 36
xiii
6. Teknik Analisis Data ...................................................................... 40 7. Keabsahan Data .............................................................................. 40
BAB II PAPARAN DATA DAN TEMUAN ................................................ 43
A. Gambaran umum Yayasan Lentera Mataram ...................................... 43
B. Bentuk Kecemasan Korban Penyalahgunaan NAPZA Di Yayasan
Lentera Mataram .................................................................................. 51
C. Layanan Konseling Individu dalam Mengatasi
Kecemasan Korban Penyalahgunaan NAPZA Di
Yayasan Lentera Mataram............................................. ...................... 62
BAB III PEMBAHASAN .............................................................................. 77
A. Bentuk Kecemasan Korban Penyalahgunaan NAPZA Di Yayasan
Lentera Mataram................................ .................................................. 77
D. Layanan Konseling Individu Dalam Mengatasi
Kecemasan Korban Penyalahgunaan NAPZA Di
Yayasan Lentera Mataram ................................................................... 85
BAB IV PENUTUP ........................................................................................ 96
A. Kesimpulan .......................................................................................... 96
B. Saran ..................................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. KONTEKS PENELITIAN
Perubahan yang terjadi dimasyarakat modern ditandai dengan
berkembangnya kapitalisasi di berbagai bidang kehidupan. Terjadi pergeseran
nilai, selera dan gaya hidup ke arah yang lebih berorientasi pada sifat
konsumeris, individualis, keduniawian. Yang akan mudah menimbulkan
prustasi, ketegangan jiwa, stress dan kecemasn diri.
Dalam suasana konflik, prustasi, stress dan kecemasan sering kali
penyelesaian yang ditempuh dengan menggunakan jalan yang melanggar
norma-norma yang berlaku didalam masyarakat, yakni dengan mengkonsumsi
NAPZA. Tanpa disadari dengan mengkonsumsi NAPZA ini akan
mengakibatkan permasalahan yang semakin konfleks dalam diri individu
tersebut.
NAPZA merupakan singkatan dari narkotika, alkohol, prikotropika dan
zat adiktif lainnya. Narkotika adalah zat/bahan aktif yang bekerja pada sistem
saraf pusat (otak), yang meneybabkan penurunan sampai kehilangan
kesadaran dari rasa sakit (nyeri), serta dapat menimbulkan ketergantungan.
Alkohol adalah minuman yang mengandung etil alkohol. Psikotropika adalah
zat/bahan bukan narkotika, bekerja pada sistem sarap dan dapat menyebabkan
perasaan khas pada aktivitas mental dan prilaku serta dapat menimbulkan
ketergantungan. Zat adiktif adalah zat/bahan aktif bukan narkoba dan
2
psikotropika, bekerja pada sistem sarap pusat dan dapat menimbulkan
ketergantungan.1
Dari penyalahgunaan NAPZA, akibat yang dirasakan oleh korban
diantaranya:2
1. Takut yang berlebihan
2. Stress dan putus ada
3. Perasaan gelisah
4. Khawatir
5. Perasaan berdosa
6. Melemahnya daya pikir merusak organ-organ tubuh
7. Merusak susunan saraf yang berakibat kegilaan
Melihat akibat yang diakibatkan dari mengkonsumsi NAPZA diatas, kita
bisa simpulkan bahwa korban penyalahgunaan NAPZA kerapkali merasakan
kecemasan dalam dirinya. Cemas merupakan perasaan gelisah, khawatir
terhadap suatu yang belum terjadi dan was-was.3
Atkinson menjelaskan bahwa kecemasan merupakan emosi yang tidak
menyenangkan yang ditandai gejala seperti kekhawatiran dan perasaan takut.4
NAPZA dan danpaknya bagi korban penyalahgunaan bukanlah hal yang
baru diperbincangkan. Akan tetapi ini merupakan pekerjaan rumah pemerintah
1 Dzikiyah Darojah, “Pendekatan Familly Suport Group Dalam Pemulihan Korban
Penyalahgunaan Napza di Panti Sosial Pamardi Putra “Sehat Mandiri” Yogyakarta”, ( Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008).h.2
2 Sunarno, “Bahaya dan Upaya Pencegahan”, (PT. Bengawan Ilmu). h.16 3 Abdillah Piu dan Danu Prasetya, “KamusLengkap Bahasa Indonesia” ( Surabaya :
Arkola ) h.142. 4 Triantoro Safaria dan Nofrans Eka Saputra “Manajemen Emosi Sebuah Pannduan
Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif Dalam Hidup Anda”, ( Jakarta : PT Bumi Aksara, 2009), h. 49.
3
dan masyarakat, yang sudah berjalan sejak dulu. Oleh karena itu berbagai
bentuk terobosan yang dibentuk pemerinatah sudah kita saksikan bersama
yaitu melalui pemutaran film-film yang menyangkut masalah bahaya NAPZA
dan membentuk tempat-tempat rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan
NAPZA, salahsatunya Yayasan Lentera Mataram.
Yayasan Lentera Mataram merupakan tempat untuk para korban
penyalahgunaan NAPZA. Korban yang berada di Yayasan Lentera Mataram
menjalani program rehabilitasi dengan dilatar belakangi keinginan sendiri,
keinginan orang tua dan hasil tangkapan polisi dan putusan pengadilan.5
Dalam proses rehabilitasi di Yayasan Lentera Mataram, layanan yang
diberikan selain layanan kesehatan, layanan keterampilan dan advokasi,
layanan konseling kelompok, Yayasan Lentera Mataram juga memberikan
layanan konseling individu.6
Layanan konseling individu merupakan bantuan yang diberikan oleh
konselor kepada konseli, yang dilakukan secara tatap muka agar konseli
memahami dirinya sendiri, lingkngannya dan mampu mengentaskan
masalahnya sendiri.
Menurut Hallen, konseling merupakan suatu tekhnik dalam pelayanan
bimbingan dimana proses pemberian bantuan itu berlangsung melalui
wawancara dalam serangkaian pertemuan langsung dan tatap muka antara
guru pembimbing/konselor dengan klien, dengan tujuan agar klien itu mampu
memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap dirinya, mampu
5 Observasi, Yayasan Lentera Mataram, 10 januari 2018 6 Observasi, Yayasan Lentera Mataram, 10 januari 2018
4
memecahkan masalah yang dihadapinya, dan mampu mengarahkan dirinya
untuk mngembangkan potensi yang dimiliki kearah perkembangan yang
optimal, sehingga ia dapat mencapai kebahagiaan pribadi dan kemamfaatan
sosial.7
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mengkaji
lebih dalam dan melakukan penelitian dengan mengambil judul “Layanan
Konseling Individu Dalam Mengatasi Kecemasan Korban
Penyalahgunaan NAPZA Di Yayasan Lentera Mataram”.
B. FOKUS PENELITIAN
Rumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam kegiatan
penelitian karya ilmiah. Masalah merupakan objek yang akan diteliti dan
dicari jalan keluarnya melalui penelitian. Dengan rumusan masalah yang
jelas, maka titik tekan dari sebuah penelitian tersebut dapat ditemukan
jawaban atas permasalahan-permasalahan yang ingin peneliti cari atau
ingin diketahui.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan
permasalahan yang perlu dikaji yaitu :
a. Bagaimanakah bentuk kecemasan korban penyalahgunaan NAPZA di
Yayasan Lentera Mataram ?
7 Samsul Munir Amin, “Bimbingan dan Konseling Islam”, (Jakarta : Amzah, 2015), h.10
5
b. Bagaimanakah layanan konseling individu dalam mengatasi
kecemasan korban penyalahgunaan NAPZA di Yayasan Lentera
Mataram ?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dari karya ilmiah merupakan target yang hendak
dicapai melalui serangkaian aktivitas penelitian. Segala aktivitas yang
diusahakan pasti mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai
sesuai dengan permasalahan yang dihadapinya.
Jadi dalam sebuah penelitian, antara rumusan masalah dan tujuan
penelitian harus relevan. Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui bentuk kecemasan korban penyalahgunaan
NAPZA di Yayasan Lentera Mataram.
b. Untuk mengetahui layanan konseling individu dalam mengatasi
kecemasan korban penyalahgunaan NAPZA di Yayasan Lentera
Mataram.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian ini dapat dilihat dari segi teoritis dan
praktis:
6
a. Secara teoritis
1. Dapat digunakan sebagai referensi dan dokumen atau bahan
perpustakaan yang dapat dibaca oleh semua pihak yang
berkepentingan khususnya mahasiswa jurusan BKI.
2. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
peneliti khususnya, bagi peneliti berikutnya yang ingin
melakukan penelitian lebih mendalam tentang layanan
konseling individu untuk mengatasi kecemasan korban
penyalahgunaan NAPZA.
b. Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi korban penyalahgunaan NAPZA yang mengalami
kecemasan dan konselor yang menjadi mediator pemecahan
masalah kecemasan korban penyalahgunaan NAPZA di Yayasan
Lentera Mataram.
D. RUANG LINGKUP DAN SETTING PENELITIAN
1. Ruang Lingkup Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian yang dijelaskan di atas, untuk
menghinda ri pembahasan yang keluar dari hal tersebut. Maka cakupan
dan bahasan dalam penelitian ini membahas dua poin. Yaitu
bagaimana bentuk kecemasan korban penyalahgunaan NAPZA di
Yayasan Lentera Mataram dan bagaimana layanan konseling individu
7
dalam mengatasi kecemasan korban penyalahgunaan NAPZA di
Yayasan Lentera Mataram.
2. Setting Penelitian
Dalam penelitian ini, lokasi penelitian dilakukan di Yayasan
Lentera Mataram.
E. TELAAH PUSTAKA
Telaah pustaka ini dilakukan untuk menjelaskan posisi penelitian yang
sedang dilaksanakan diantara hasil-hasil penelitian atau jurnal-jurnal terdahulu
yang permasalahannya hampir sama (serupa). Pada bagian ini, seharusnya
memaparkan hasil penelitian terdahulu dengan tujuan untuk menegaskan
kebaharuan penelitian ini bagi pengembangan keilmuan serta untuk
menghindari adanya duplikasi dalam penelitian. Dalam hal ini, penelitian akan
memaparkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dan
membandingkannya dengan judul yang diangkat saat ini, diantaranya:
1. Skripsi oleh Hamzanwadi pada tahun 2016, dengan judul “Efektivitas
Layanan Bimbingan Dan Konseling Di SLB Pembina Kota Mataram
Terhadap Siswa/Siswi Yang Menyandang Keterbelakangan Mental”,
penelitian ini berpusat pada efektivitas layanan bimbingan dan
konseling di SLB Pembina Kota Mataram dan faktor penghambat
layanan bimbingan dan konseling di SLB Pembina Kota Mataram.
Jadi peneliti bisa simpulkan bahwa penelitian ini tidak menjiplak dari
penelitian sebelumnya, perbedaan penelitian peneliti dengan
8
penelitian sebelumnya yaitu terletak pada fokus penelitian bahwa
penelitian peneliti berfokus pada bentuk kecemasan korban NAPZA
dan layanan konseling individu dalam mengatasi kecemasan korban
penyalahgunaan NAPZA. Mengenai metode yang digunakan antara
penelitian peneliti dengan penelitian terdahulu yaitu dengan
menggunakan metode kualitatif. Adapun hasil penelitian yang
dilakukan oleh peneliti terdahulu adalah bahwa dalam efektivitas
layanan bimbingan dan konseling terhadap siswa/siswi yang
menyandang keterbelakangan mental, adapun bentuk efektivitasnya
diantaranya menunjukkan perasaan positif, beradaptasi dengan
siswa/siswi, berbicara dengan siswa/siswi, memberikan pujian,
penghargaan, membantu siswa/siswi memfokuskan perhatian,
menjabarkan dan membantu siswa/siswi mencapai disiplin. Bentuk-
bentuk layanan yang diterapkan oleh guru pembimbing diantaranya :
layanan orientasi, layanan informasi, layanan penempatan dan
penyaluran, konseling perorangan, bimbingan kelompok, konseling
kelompok, layanan konsultasi, layanan mediasi sehingga efektivitas
layanan yang dilakukan guru BK perasaan positif, beradaptasi
dengan siswa, berbicara dengan siswa, memberikan pujian,
penghargaan, membantu siswa memfokuskan perhatian,
menjabarkan dan membantu siswa mencapai disiplin diri. Factor
penghambatnya disebabkan oleh factor internal dan eksternal.
9
2. Skripsi oleh Andritiya pada tahun 2015 dengan judul “Efektivitas
layanan bimbingan dan konseling dalam mengatasi perilaku
maladaptive siswa di SMP Negeri 7 Praya Lombok Tengah Tahun
Ajaran 2014/2015” dimana penelitian ini berpusat pada prilaku
maladaptif siswa dan efektivitas layanan bimbingan dan konseling
dalam mengatasi prilaku maladaptif siswa. Perbedaanya terletak pada
fokus penelitian yaitu penelitian peneliti berfokus pada bentuk
kecemasan korban penyalahgunaan NAPZA dan layanan konseling
individu untuk mengatasi kecemasan korban penyalahgunaan
NAPZA. Adapun hasil penelitian terdahulu bahwa layanan
bimbingan dan konseling di SMPN 7 Negeri Praya Lombok Tengah
belum efektif. Dalam penelitian yang dilakukan peneliti dengan
penelitian terdahulu dilihat dari segi metode penelitian, yaitu sama-
sama menggunakan metode penelitian kualitatif.
3. Skripsi oleh Fatmawati pada tahun 2015 dengan judul “Layanan
Konseling Individu Dalam Mengatasi Kecemasan Berpidato (Studi
Pada Siswa MTS Negeri Yogyakarta 1”, dimana penelitian ini
berfokus pada faktor-faktor yang menyebabkan kecemasan berpidato
pada siswa MTs Negeri Yogyakarta 1 dan bagaimanakah layanan
konseling individu yang dilakukan guru BK dalam menangani
kecemasan berpidato pada siswa MTs Negeri Yogyakarta 1.
Sedangkan penelitian peneliti berfokus pada bentuk kecemasan dan
layanan konseling individu untuk mengatasi kecemasan korban
10
penyalahgunaan NAPZA. Antara penelitian terdahulu dengan
penelitian peneliti menggunakan metode penelitian kualitataif.
Adapun hasil penelitian peneliti terdahulu adalah dalam mengatasi
kecemasan berpidato siswa, guru BK menggunakan tekhnik
konseling individu yang merujuk pada tekhnik RET. Kecemasan
siswa dalam berpidato dipengaruhi oleh factor internal dan eksternal.
F. KERANGKA TEORI
1. Layanan Konseling Individu
a) Pengertian Layanan Konseling Individu
Menurut Hallen, konseling merupakan suatu tekhnik dalam
pelayanan bimbingan dimana proses pemberian bantuan itu
berlangsung melalui wawancara dalam serangkaian pertemuan
langsung dan tatap muka antara guru pembimbing/konselor dengan
klien, dengan tujuan agar klien itu mampu memperoleh pemahaman
yang lebih baik terhadap dirinya, mampu memecahkan masalah yang
dihadapinya, dan mampu mengarahkan dirinya untuk mngembangkan
potensi yang dimiliki kearah perkembangan yang optimal, sehingga ia
dapat mencapai kebahagiaan pribadi dan kemamfaatan social.8
Dalam definisi yang lebih luas, Rogers mengartikan konseling
sebagai hubungan membantu dimana salah satu pihak (konselor)
bertujuan meningkatkan kemampuan dan fungsi mental pihak lain
8 Samsul Munir Amin, “Bimbingan dan Konseling Islam”, (Jakarta : Amzah, 2015). h.12.
11
(klien), agar dapat menghadapi persoalan/konflik yang dihadapi
dengan lebih baik.9
Definisi konseling yang dijelaskan Rogers diatas bahwa proses
bantuan yang diberikan oleh konselor kepada konseli dengan
menyediakan kondisi, sarana dan keterampilan yang membuat konseli
dapat membantu dirinya sendiri dalam pengentasan masalahnya.
Adapun pendekatan yang dilakukan konselor merujuk pada teori
Cognitif Behavior Terapi (CBT).
CBT pertamakali dirintis oleh Albert Ellis dan Aeron Beck sejak
tahun 1963 khusus untuk pasien-pasien psikiatri dengan gangguan
cemas dan atau depresi.10
Menurut Spiegler & Guevremont menyatakan bahawa CBT
merupakan psikoterapi yang berfokus pada kognisi yang dimodifikasi
secara langsung, yaitu ketika individu merubah prilaku maladaptifya
maka secara tidak langsung juga mengubah tingkah lakunya yang
tampak. Beck menyatakan bahwa salah satu tujuan utama CBT adalah
untuk membantu individu dalam mengubah pemikiran atau kognisi
yang irasional menjadi pemikiran yang lebih rasional.11
9 Namora Lumongga Lubis, “Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan
Praktik” (Jakarta :Kencana 2013).h.2 10 Akbar Zulkifli Osman “Kefektivas Cognitive Behavior Therapy (CBT) Untuk
Menurunkan Tingkat Kecemasan Dan Meningkatkan Kualitas Hidup Tahanan/Narapidanan Penyalahgunaan NAPZA Di Rumah Tahanan Kelas 1 Surakarta”, (Tesis,Program Studi Kedokteran Keluarga Pasca Sarjana Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, Surakarta 2008),h.31
11 Elna Yuslaiani siregar,dkk, “penerapan Cognitiev behavior therapy (CBT) terhadap penurunan durasi bermain game pada individu yang mengalami game addiction”, jurnal psikologi, volume 9, No 1, Juni 2013.h 19.
12
Cognitif Behavior Terapi (CBT) membantu individu untuk
berkembang dengan meningkatkan keterampilan dan mekanisme
koping menurunkan kecemasan dan meningkatkan hargadiri, dalam
wheeler 2008.12
Pendekatan CBT kurang memperhatikan pemahaman dan lebih
berorientasi kepada tindakan klien yang menghasilkan perubahan.
Walaupun tiap praktisi memiliki gaya yang berbeda satu dengan yang
lain, namun kecenderungan dan cognitive behavior adalah
dilaksanakan pendekatan ini dalam sebuah program yang tersetruktur
langkah demi langkah. Proses seperti ini dapat mencakup. 13
1. Menciptakan hubungan yang sangat dekat dan aliansi kerja
antara konselor dan klien. Menjelaskan dasar pemikiran dari
penanganan yang akan diberikan.
2. Menilai masalah, mengidentifikasi, mengukur frekuensi,
intensitas dan kelayakan masalah perilaku dan kognisi.
3. Menetapkan target perubahan. Hal ini seharusnya dipilih
oleh klien, dan harus jelas, spesifik dan dapat tercapai.
4. Penerapan tekhnik kognitif behavior (prilaku).
5. Memonitor perkembangan, dengan menggunakan penilaian
berjalan terhadap prilaku sasaran.
12 Endang Caturini,dkk. “pengaruh Cognitiv behavior therafy (CBT) terhadap perubahan
kecemasan, mekanisme koping, harga diri pada pasien gangguan jiwa, dengan skizofrenia di RSJ Surakarta”, jurnal terpadu ilmu kesehatan, volume 3, no 1, Mei 2014.h.44
13 Jhon mcleod, “pengantar konseling teori dan study kasus” (Jakarta :Fajar Interpratama Offset, 2015). H.157
13
6. Mengakhiri dan merancang program lanjutan untuk
menguatkan generalisasi dari apa yang didapat.
Person berpendapat bahwa merupakan suatu hal yang berguna
dalam pendekatan kognitif behavior untuk mengintegrasikan semua
informasi ini dalam suatu kesatuan formulasi atau konseptualisasi
kasus. Ini adalah sejenis teori mini keperibadian klien dan
permasalahannya. Person menyatakan hanya setelah konselor telah
mengonseptualisasikan kasus tersebut secara penuh, maka rintangan
dalam melakukan perawatan baru akan tampak dan karena itu dapat
dihilangkan.
Konselor cognitif behavior biasanya akan menggunakan
berbagai tekhnik intervensi untuk mendapatkan kesepakatan prilaku
sasaran dengan klien. Tekhnik yang biasanya digunakan adalah :14
1. Menentang keyakinan irasional
2. Membingkai kembali isu, misalnya menerima kondisi
emosional internal sebagai suatu yang menarik ketimbang
suatu yang menakutkan.
3. Mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan dari
dalam role play dengan konselor.
4. Mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda
dalam situasi riil.
14 Ibid.h.157
14
5. Mengukur perasaan, misalnya dengan menempatkan
perasaan cemas yang ada saat ini dalam skala 0-100.
6. Menghentikan pikiran. Ketimbang membiarkan pikiran
cemas atau obseional “mengambil alih”, lebih baik klien
belajar untuk menghentikan mereka dengan cara seperti
menyabetkan karet ke pergelangan tangan.
7. Desensitiasi sistematis. Digantinya respon takut dan cemas
dengan respon relaksasi yang telah dipelajari. Konselor
membawa klien melawati tingkat hirarki situasi untuk
melenyapkan rasa takut.
8. Pelatihan keterampilan sosial.
9. Penugasan pekerjaan rumah. Mempraktikkan prilaku baru
dan strategi kognitif antara sesi terapi.
10. In vivo exposure. Memasuki situasi yang paling menakutkan
dengan didampingi oleh konselor. Misalnya mengunjungi
pertokoan dengan klien yang menderita agoraphobia
(ketakutan berlebih terhadap tempat umum). Peran konselor
adalah memotivasi klien menggunakan tekhnik cognitif
behavior untuk mengatasi situasi tersebut.
11. Assertive training. Yaitu melatih dan membiasakan klien
terus menerus menyesuaikan diri dengan prilaku tertentu
yang diinginkan.
15
b) Tujuan konseling individu
Tujuan konseling individu adalah mengentaskan dan
memecahkan masalah yang dialami konseli. Apabila masalah konseli
itu dicirikan sebagai berkut :15
1. Sesuatu yang tidak disukai adanya
2. Suatu yang ingin dihilangkan
3. suatu yang menghambat dan menimbulkan kerugian
Maka upaya pengentasan masalah konseli melalui konseling
individu akan mengurangi intensitas permasalahan yang dialami oleh
konseli. Sehingga menjadikan konseli bisa menerima dan memahami
segala sesuatu yang berkaitan dengan dirinya.
c) Tekhnik konseling individu
Dalam melakukan konseling individu, konselor harus
memperhatikan dan memahami tekhnik-tekhnik dalam melakukan
konseling individu agar tujuan klien melakukan konseling tercapai.
Tekhnik-tekhnik konseling individu diantaranya sebagai berikut :16
a. Perilaku Attending
Disebut juga sebagai perilaku menghampiri klien yang
mencakup komponen kontak mata, bahasa badan dan bahasa lisan.
Prilaku attending yang baik adalah merupakan kombinasi ketiga
komponen tersebut sehingga memudahkan konselor untuk
15 Fatmawati, “Layanan Konseling Individu Dalam Menangani Kecemasan Berpidato Study Pada Siswa MTs Negeri Yogyakarta”, (Skripsi FDK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta 2015), h.19
16 Sofyan S. Willis, “Konseling Individual Teori dan Prktek” ( Bandung : Alfabeta, 2014 ).h h. 160
16
membuat klien terlibat pembicaraan dan terbuka. Attending yang
baik dapat: (1) meningkatkan harga diri klien. (2) menciptakan
suasana yang aman. (3) mempermudah ekspresi perasaan klien
dengan bebas.
b. Empati
Empati ialah kemampuan konselor merasakan apa yang
dirasakan klien, merasa dan berpikir bersama klien dan bukan
untuk atau tentang klien. Empati dilakukan bersamaan dengan
attending. Dengan kata lain, tanpa prilaku attending tidak akan ada
empati.
Empati ada dua macam : (1) empati primer yaitu suatu bentuk
empati yang hanya memahami perasaan, pikiran, keinginan dan
pengalaman klien. Tujuannya agar klien terlibat pembicacaraan
dan terbuka. (2) empati tingkat tinggi yaitu apabila kepahaman
konselor terhadap perasaan, pikiran, keinginan serta pengalaman
klien lebih mendalam dan menyentuh klien karena konselor ikut
dengan perasaan tersebut. Keikutan konselor tersebut membuat
klien tersentuh dan terbuka untuk mengemukakan isi yang
terdalam dari lubuk hatinya berupa perasaan, pikiran, pengalaman,
temasuk penderitaanya.
Jika melakukan empati konselor harus mampu
mengosongkan perasaan dan pikiran egoistik, memasuki dunia
17
dalam klien, melakuakn empati primer dan melakukan empati
tingkat tinggi.
c. Refleksi
Refleksi adalah keterampilan konselor untuk memantulkan
kembali kepada klien tentang perasaan, pikiran, dan pengalaman
klien sebagai hasil pengamatan terhadap prilaku verbal dan
nonverbalnya. Refleksi ada tiga jenis yaitu : (1) refleksi perasaan.
(2) refleksi pengalaman. (3) refleksi pikiran.
d. Eksplorasi
Suatu keterampilan untuk menggali perasaan, pengalaman,
dan pikiran klien. Hal ini penting karena banyak klien menyimpan
rahasia batin, menutup diri, atau tidak mamapu mengemukakan
pendapatnya dengan terus terang. Barangkali dia hadir dengan
terpaksa, sehingga enggan mengemukakan perasaan dan
pikirannya. Mungkin pula karena faktor budaya bangsa kita yang
belatar belakang sejarah kerajaan, dimana rakyat tidak boleh
mengemukakan pendapat secara bebas, artinya tidak ada demokrasi
dan hak asasi manusia. Rakyat desa merasa lemah berhadapan
dengan orang yang tinggi seperti kaum priyayi, penguasa, pejabat
dan sebagainya.
e. Kehangatan
Untuk memudahkan klien memahami ide, perasaan dan
pengalamannya, seorang konselor perlu menangkap pesan
18
utamanya dan menyatakan secara sederhana dan mudah dipahami
disampaikan dengan bahasa konselor sendiri. Hal ini perlu, karena
sering klien mengemukakan perasaan, pikiran dan pengalamannya
berbelit, berputar atau panjang
f. Bertanya untuk membuka percakapan
Kebanyakan seorang konselor sulit untuk membuka
percakapan dengan klien. Hal ini karena sulit untuk menduga apa
yang dipikirkan klien sehingga pertayaan menjadi pas. Untuk
memudahkan membuka percakapan seorang calon konselor dilatih
keterampilan bertanya dalam bentuk open-ended yang
memungkinkan munculnya pernyataan-pernyataan baru dari klien.
Untuk memulai bertanya, sebaiknya tidak menggunakan kata-
kata mengapa dan apa sebabnya. Pertanyaan seperti ini akan
mempersulit klien membuka wawasannya. Disamping itu akan
menyulitkan klien jika dia tidak tahu apa sebab suatu kejadian, atau
segaja dia tutupi karena malu, akibatnya bisa diduga, yaitu klien
akan tertutup dan akhirnya tujuan konseling tidak akan tercapai.
Pertanyaan-pertanyaan terbuka (open-ended) yang baik
dimulai dengan kata-kata : apakah, bagaimana, adakah, bolehkah,
dapatkah.
g. Bertanya tertutup
Pertayaan konselor tidak selalu terbuka, akan tetapi ada juga
yang tertutup yaitu bentuk-bentuk pertanyaan yang sering dimulai
19
dengan kata-kata apakah, adakah, dan harus dijawab klien dengan
ya atau tidak dengan kata-kata singkat.
Tujuan keterampilan bertanya tertutup adalah untuk
mengumpulkan informasi, untuk menjernihkan atau
memperjelaskan sesuatu dan menghentikan omongan klien yang
melantur atau menyimpang jauh.
h. Dorongan minimal
Upaya seorang konselor adalah agar kliennya selalu telibat
dalam pembicaaan dan dirinya terbuka. Yang dimaksud dengan
dorongan minimal adalah suatu dorongan langsung yang singkat
terhadap apa yang telah dikatakan klien, dan memberikan dorongan
singkat seperti oh,iya,terus,lalu,dan.
Keterampilan ini bertujuan untuk membuat agar klien terus
berbicara dan dapat mengarahkan agar pembicaraan mencapai
tujuan. Akan tetapi penggunaan doronganminimal digunakan
secara selektif yaitu memilih saat klien keliahatan akan
mengurangi atau menghentikan pembicaraan, saat dia kurang
memusatkan pikirannya pada pembicaraan, dan saat konselor ragu
terhadap pembicaraan klien. Dengan kata lain, dorongan minimal
dapat meningkatkan eksplorasi diri.
i. Interpensi
Upaya konselor untuk mengulas pemikiran, perasaan, dan
prilaku/pengalaman klien dengan merujuk pada teori-teori,
20
dinamakan tekhnik interpretasi. Jadi jelas bahwa sifat-sifat
subjektif konselor tidak termasuk kedalam interpretasi.
Tujuan utama tekhnik ini untuk memberikan rujukan,
pandangan atau prilaku klien, agar klien mengerti dan berubah
melalui pemahaman dari hasil rujukan baru tersebut.
j. Mengarahkan
Untuk mengajak klien berpartisipasi secara penuh di dalam
proses konseling, perlu ada ajakan dan arahan dari konselor.
Keterampilan yang dibutuhkan untuk maksud tersebut adalah
mengarahkan, yaitu suatu keterampilan konseling yang
mengatakan kepada klien agar dia berbuat sesuatu, atau dengan
kata lain mengarahkannya agar melakukan sesuatu. Misalnya
menyuruh klien untuk bermain peran dengan konselor , atau
menghayalkan sesuatu.
k. Menyimpulkan sementara
Supaya pembicaraan maju secara bertahap dan arah
pembicaraan makin jelas, maka setiap periode waktu tertentu
konselor bersama klien perlu menyimpulkan pembicaraan.
Kebersamaan itu amat diperlukan agar klien mempunyai
pemahaman bahwa keputusan mengenai dirinya menjadi tanggung
jawab klien, sedangkan konselor hanyalan membantu. Mengenai
kapan suatu pembicaraan akan disimpulkan banyak tergantung
pada feeling konselor.
21
Tujuannya menyimpulkan sementara adalah memberikan
kesempatan kepada klien untuk mengambil kilas balik dari hal-hal
yang dibicarakan, untuk menyimpulkan kemajuan hasil
pembicaraan secara bertahap, meningkatkan kualitas diskusi dan
mempertajam atau memeperjelas fokus pada wawancara konseling.
l. Memimpin
Agar pembicaraan dalam wawancara konseling tidak
melantur atau menyimpang, seorang konselor harus mampu
memimpin arah pembicaraan sehingga nantinya tujuan.
Keterampilan memimpin bertujuan untuk agar klien tidak
menyimpang dari fokus pembicaraan dan agar arah pembicaraan
lurus kepada tujuan konseling.
m. Fokus
Seorang konselor yang efektif harus mampu membuat fokus
melalui perhatiannya yang terseleksi terhadap pembicaraan dengan
klien. Fokus membantu klien untuk memusatkan perhatian pada
pokok pembicaraan.
n. Konfrontasi
Konfrontasi adalah suatu tekhnik konseling yang menantang
klien untuk melihat adanya diskrepansi atau inkonsistensi antara
perkataan dengan bahasa badan (perbuatan), ide awal dengan ide
berikutnya, senyum dengan kepedihan, dan sebagainya.
22
Adapun tujuan tekhnik ini adalah mendorong klien
mengadakan penelitian secara jujur, meningkatkan potensi klien,
membawa klien kepada kesadaran adanya diskrepansi, konflik atau
kontradiksi dalam dirinya.
Namun seorang konselor harus melakukan dengan teliti yaitu
dengan memberi komentar khusus terhadap klien yang tidak
konsisten dengan cara tepat waktu, tidak menilai apalagi
menyalahkan dan dilakuakan konselor dengan prilaku attending
dan empati.
o. Menjernihkan
Adalah suatu keteramplan untuk menjernihkan ucapan-
ucapan klien yang samar-samar, kurang jelas, dan agak meragukan.
Tujuannya adalah mengundang klien untuk menyatakan
perasaannya dengan jelas, ungkapan kata-kata yang tegas, dan
dengan alsan-alasan yang logis. Agar klien menjelaskan,
mengulang, dan mengilustrasikan perasaannya.
p. Memudahkan
Adalah suatu keterampilan membuka komunikasi agar klien
dengan mudah berbicara dengan konselor dan menyatakan
perasaan, pikiran, dan pengalamnnya secara bebas. Sehinga
komunikasi dan partisipasi meningkat dan proses konseling
berjalan efektif.
23
q. Diam
Diam adalah amat penting dengan cara attending. Diam
bukan berarti tidak ada komunikasi akan tetapi tetap ada yaitu
melalui prilaku nonverbal. Yang paling ideal diam itu paling tinggi
5-10 detik dan selebihnya dapat diganti dengan dorongan minimal.
Akan tetapi, jika konselor menunggu klien yang sedang berpikir
mungkin diammnya akan lebih dari 5 detik. Hal ini relative
tegantung feeling konselor.
Tujuan diam adalah menanti klien sedang berpikir, sebagai
protes jika klien bicara berbelit-belit, menunjang prilaku attending
dan empati sehingga klien bebas berbicara.
r. Mengambil inisiatif
Mengambil inisiatif perlu dilakukan konselor manakala klien
kurang bersemangat untuk berbicara, sering diam, dan kurang
partisifatif. Konselor mengucapkan kata-kata yang mengajak klien
untuk berinisiatif dalam menuntaskan diskusi.
Tujuan tekhnk ini adalah mengambil inisiatif jika klien
kurang semangat, jika klien lambat berpikir dalam mengambil
keputusan, jika klien kehilangan arah pembicaraan.
s. Memberi nasehat
Pemberian nasihat sebaiknya diberikan jika klien
memintanya. Wlaupun demikina, konselor tetap harus
mempertimbangkannya, apakah pantas untuk memberi nasihat atau
24
tidak. Sebab dalam memberi nasihat tetap dijaga agar tujuan
konseling yakni kemandirian klien harus tetap tercapai.
t. Pemberian informasi
Dalam hal informasi yang diminta klien, sama halnya dengan
pemberian nasehat. Jika konselor tidak memiliki informasi
sebaiknya dengan jujur mengatakan tidak mengetahui hal itu. Akan
tetapi, jika konselor mengetahui informasi, sebaiknya upayakan
agar klien tetap mengusahakannya.
u. Merencanakan
Menjelang akhir sesi konseling seorang konselor harus dapat
membantu klien untuk dapat membuat rencana berupa suatu
program untuk action, perbuatan nyata yang produktif bagi
kemajuan dirinya. Suatu rencana yang baik ialah hasil kerjasama
konselor dengan klien.
v. Menyimpulkan
Pada akhir sesi konseling, konselor membantu klien untuk
menyimpulkan hasil pembicaraan yang menyangkut : Bagaimana
keadaan perasaan klien saat ini terutama mengenai kecemasan.
Memantapkan rencana klien. Pokok-pokok yang akan dibicarakan
selanjutnya pada sesi berikutnya.
25
2. Kecemasan Korban Penyalahgunaan NAPZA
a. Kecemasan
1. Definisi kecemasan
Atkinson menjelaskan bahwa kecemasan merupakan emosi
yang tidak menyenangkan yang ditandai gejala seperti
kekhawatiran dan perasaan takut.17
Kecemasan adalah kondisi kejiwaan yang penuh dengan
kekhawatiran dan ketakutan akan apa yang mungkin terjadi, baik
berkaitan dengan permasalahan yang terbatas maupun hal-hal yang
aneh. Deskripsi umum akan kecemasan yaitu “perasaan tertekan
dan tidak tenang serta berpikiran kacau dengan disertai banyak
penyesalan”. Hal ini sangat berpengaruh pada tubuh, hingga tubuh
dirasa menggigil, menimbulkan banyak keringat, jantung berdegup
cepat, lambung terasa mual, tubuh terasa lemas, kemampuan
berproduktivitas berkurang hingga banyak manusia yang melarikan
diri ke alam imajinasi sebagai bentuk terapi sementara.18
Gunarsa mengemukakan bahwa kecemasan merupakan
perasaan yang tidak menentu, takut yang tidak jelas dan tidak
terikat pada suatu ancaman bisa menyebabkan individu
17 Triantoro Safaria dan Nofrans Eka Saputra “Manajemen Emosi Sebuah Pannduan
Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif Dalam Hidup Anda”, ( Jakarta : PT Bumi Aksara, 2009), h. 49.
18 Sahrul sarea “Pengertian Kecemasan dan Tingkat Kecemasan Menurut Pendapat Ahli” dalam https://www.wawasanpendidikan.com/2014/09/Pengertian-Kecemasan-dan-Tingkat-Kecemasan-Menurut-Pendapat-Ahli.html. diakses tanggal 12 desember 2017
26
menjauhkan diri, menghindar dari lingkungan atau tempat-tempat
dan keadaan tertentu.19
2. Proses terjadinya kecemasan
Menurut Blackburn dan Davitson, secara teoritis terjadinya
kecemasan diawali oleh pertemuan individu dengan stimulus yang
berupa situasi yang berpengaruh dalam membentuk kecemasan
(situasi mengancam), yang secara langsung/tidak langsung hasil
pengamatan/pengalaman tersebut diolah melalui proses kognitif
dengan menggunakan schemata (pengetahuan yang telah dimilik
individu terhadap situasi tersebut yang sebenarnya
mengancam/tidak mengancam dan pengetahuan tentang dirinya
utnuk mengendalikan dirinya dan situasi tersebut. Setiap
pengetahuan tersebut dapat membentuk dari keyakinan pendapat
orang lain, maupun pendapat individu sendiri serta dunia luar.
Pengetahuan (schemata) tersebut, tentunya akan mempengaruhi
individu untuk dapat membuat penilaian (hasil kognitif) sehingga
respon yang akan ditimbulkan tergantung seberapa baik peneliaian
individu untuk mengenali situasi tersebut, dan tergantung seberapa
baik individu dapat mengendalikan dirinya. Apabila pengetahuan
(schemata) sabjek terhadap situasi yang mengancam tersebut tidak
19 Togiaratua Nainggolan “Hubungan Antara Kepercayaan Diri Dengan Kecemasan
Sosial Padapengguna NAPZA Penelitian Di Balai Kasih Sayang Parmadi Siwi” (jurnal sosiokonsepsia vol 16 No 2 tahun 2011).h.162
27
memadai, tentunya individu tersebut akan mengalami kecemasan.
20
3. Reaksi yang Ditimbulkan oleh Kecemasan
Kecemasan yang dialami oleh individu akan mempengaruhi
sistem-sistem fisik dan psikis individu yang mengalami
kecemasan. Calhoun dan Acocella mengemukakan aspek-aspek
kecemasan yang dikemukakan dalam tiga reaksi, yaitu sebagai
berikut :21
1. Reaksi emosional, yaitu komponen kecemasan yang berkaitan
dengan persepsi individu terhadap pengaruh psikologis dari
kecemasan, seperti perasaan keprihatinan, ketegangan, marah,
sedih, mencela diri sendiri dan orang lain.
2. Reaksi kognitif, yaitu ketakutan atau kekhawatiran yang
berpengaruh terhadap kemampuan berpikir jernih sehingga
mengganggu dalam memecahkan masalah dan mengatasi
tuntutan lingkungan sekitarnya.
3. Reaksi fisiologis, yaitu reaksi yang ditampilkan oleh tubuh
terhadap sumber ketakutan dan kekhawatiran. Reaksi ini
berkaitan dengan system syaraf yang mengendalikan berbagai
otot dan kelenjar tubuh sehingga timbul reaksi dalam bentuk
20 Triantoro Safaria dan Nofrans Eka Saputra “Manajemen Emosi Sebuah Pannduan
Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif Dalam Hidup Anda”, ( Jakarta : PT Bumi Aksara, 2009), h.50.
21 Ibid. h. 55
28
jantung berdetak lebih keras, nafas bergerak lebih cepat,
tekanan darah meningkat.
4. Macam-Macam Kecemasan
Menurut Sigmund Freud kecemasan dibagi menjadi tiga
macam, yaitu :22
1) Kecemasan objektif atau realistis
Dari ketiga macam kecemasan itu yang paling pokok
adalah kecemasan atau ketakutan yang realistis, atau takut
akan bahaya-bahaya di dunia luar.
2) Kecemasan neurotis
Kecemasan neurotic adalah kecemasan-kecemasan
kalau insting tidak dapat dikendalikan dan menyebabkan
orang berbuat sesuatu yang dapat dihukum. Kecemasan ini
sebenarnya mempunyai dasar di dalam realitas, karena
dunia sebagaimana diwakili oleh orang tua dan lain-lain
orang yang memegang kekuasaan itu menghukum anak
yang melakukan tindakan impulsive.
3) Kecemasan moral
Orang yang das Uber Ichnya berkembang baik cenderung
untuk merasa dosa apabila dia melakukan atau bahkan
berpikir untuk melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan norma-norma moral. Kecemasan moral ini juga
22 Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, (Jakarta : Raja Grapindo Persada, 2015),
h.139 .
29
mempunyai dasar dalam realitas. Karena dimasa yang
lampau orang telah mendapatkan hukuman sebagai akibat
dari perbuatan yang melanggar kode moral dan mungkin
akan mendapat hukuman lagi.
b. Korban Penyalahgunaan NAPZA
Berdasarkan Pasal 1 Angka 13 dan 15, dan Pasal 127 Ayat
1 Huruf (a) Undang-undang Narkotika, pecandu dan korban
penyalah guna pada dasarnya adalah penyalah guna (kelas
penyalah guna) yang menggunakan narkotika tanpa hak atau
melawan hukum.23
Penyalahguna narkoba adalah penggunaan narkoba hanya
untuk kesenangan, ketergantungan dan lain-lain. Dampaknya
sangat negative, dan mempengaruhi perkembangan fisik dan psikis
yang sangat abnormal.24
Dalam undang-undang republik Indonesia No 22 tahun
1997 tentang narkotika (pasal 1 ayat 14), yang dimaksud dengan
penyalahgunaan Narkoba adalah orang yang menggunakan
narkoba tanpa sepengatahuan dan pengawasan dokter.25
23 Yusup Hendriyanto, “Tentang Pecandu, Penyalah Guna & Korban penyalah Guna
dalam UU Narkotika” dalam http://www.hukumpedia.com/mashendrii/tentang-pecandu-penyalah-guna-korban-penyalah-guna-dalam-uu-narkotika, diakses tanggal 06 desember 2017, pukul 15.00
24 Intan Pandina “ Penyalahgunaan NAPZA Dalam Perspektif Psikologi Forensik” (dalam https://www .kompasiana.com Penyalahgunaan-NAPZ-Dalam-Perspekti-Psikologi-Forensik) diakses tanggal 06 desember 2017
25 ibid
30
Dalam Pasal 54 undang-undang yang menyatakan bahwa
Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib
menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.26
Pasal 54 memunculkan “tokoh” baru yang dijelaskan dalam
bagian Penjelasan atas Undang-undang Narkotika sebagai korban
penyalahgunaan disini yang dimaksud dengan korban
penyalahgunaan Narkotika” adalah seseorang yang tidak sengaja
menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu,
dipaksa, dan atau diancam untuk menggunakan Narkotika.
Perbedaan antara pecandu dan penyalah guna semakin nampak
disana. Penyalah guna diancam dengan pidana paling lama empat
tahun, sedangkan pecandu dan korban penyalahgunaan wajib
menjalani rehabilitasi medis dan sosial.
a. Napza
1. Pengertian NAPZA
NAPZA adalah singkatan dari Narkotika, Alkohol,
Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, yaitu suatu jenis zat atau
obat yang dapat menenangkan syaraf, berhasiat menghilangkan
rasa sakit, memicu rasa kantuk dan dapat menimbulakan efek
ransangan. Napza merupakan sekelompok zat yang dapat
menimbulkan kecanduan bagi orang yang mengkonsumsinya
26 ibid
31
sehingga menyebabkan ketergantungan. Adapun NAPZA
sebagai berikut :27
1. Narkotika
Narkotika adalah “zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi
sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran. Hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan” (Undang-undang No. 22 tahun 1997).
2. Psikotropika
Psikotropika adalah “zat atau obat baik alamiah
maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan
perilaku” (Undang-undang No. 5 tahun 1997).
3. Bahan atau Zat Adiktif
Nicotin, terdapat dalam tembakau (Nikotiana
Tabacum L, berasal dari argentina) dengan kadar sekitar
1% sampai 4%. Dalam setiap batang rokok terdapat 1,1 mg
nikotin. Nikotin merupakan stimulant susunan syaraf pusat.
Selain dari nikotin, dalam daun tembakau terdapat ratusan
jenis zat lainnya.
27 Badan Narkotika Provinsi Nusa Tenggara Barat ”Bahaya Penyalahgunaan Narkoba
(Penyebab Pencegahan dan Perawatan) Mataram, Tahun 2009. Hlm. 8-10
32
Alkohol adalah minuman beralkohol yang disebut
methyl alcohol atau etanol. Kadar alkohol yang dihasilkan
dari proses fermentasi tidak lebih dari 14% karena sel
fermentasi akan mati bila kadar alkohol melebihi 14%.
Sementara alkohol yang disebut methyl alcohol adalah jenis
alkohol yang sangat beracun.
2. Gejala dan Dampak Menggunakan NAPZA
Gejala fisik yaitu : a). Jantung berdebar; b). Bola mata
kemerahan, karna pembuluh darah kapiler pada bola mata
melebar; c). Nafsu makan bertambah, karena THC ganja
merangsang pusat nafsu makan di otak; d). Mulut kering,
karena THC menggangu sistim syaraf otonomi yang
mengendalikan kelenjar air liur.
Gejala psikis : a). Hilaritas (kegaduhan); b). Perasaan
tertekan; c). Halusinasi, yaitu tanggapan panca indera tanpa
adanya ransangan misalnya melihat orang lewat atau
mendengar suara, ada orang lewat atau tampak suara; d).
Euphoria/ rasa gembira berlebihan dan tertawa terbahak-bahak;
e). Perubahan persepsi tentang ruang dan waktu (satu meter
dipersepsi sepuluh meter, sepuluh menit dipersepsi satu jam);
f). Berkurangnya kemampuan koordinasi, pertimbangan dan
daya ingat; g). Meningkatnya kepekaan fisual dan
pendengaran; h). Agresif; i). Banyak bicara dan merasa
33
pembicaraannya itu hebat; j). Merasa bahwa penampilan
dirinya keren waluapun kenyataannya sebaliknya.
G. METODE PENELITIAN
Pada bagian yang berisikan metode penelitian ini, dibahas tentang
metode-metode yang peneliti gunakan dalam melakukan penelitian di
lapangan dan metode yang digunakan dalam menganalisis data untuk
mendapatkan hasil yang diteliti. Diantara metode yang dibahas pada bagian
ini adalah: Pendekatan penelitian, sumber data, prosedur pengambilan data,
teknik analisis data, instrument pengumpulan data, keabsahan data dan
kehadiran penelitian.
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian merupakan suatu penyaluran hasrat ingin tahu manusia
(human curiosity) sehingga mereka mencoba mengabstraksikan dan
mengkaji lewat penelitian. Hal inilah yang tidak pernah luntur untuk
mendorong perkembangan ilmu pengetahuan. Sebagai salah satu upaya
mengabstraksikan hasrat ingin tahu yang dimiliki, peneliti mencoba
melakukan sebuah penelitian dalam upaya mencari tahu layanan
konseling individu dalam mengatasi kecemasan pada korban
penyalahgunaan NAPZA di Yayasan Lentera Mataram.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif
karena data yang diperoleh di lapangan lebih banyak bersifat informasi
dan keterangan bukan dalam bentuk simbol atau angka. Penelitian
34
kualitatif ini adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian
(pendekatan) deskriptif karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata
atau gambar, sehingga tidak menekankan pada angka.28 Jadi penelitian ini
adalah laporan penelitian yang berisi kutipan-kutipan untuk memberi
gambaran penyajian laporan masalah penelitian.
2. Kehadiran Penelitian
Kehadiran peneliti dalam hal ini bukan ditunjukan untuk
mempengaruhi subjek peneliti atau memanifulasi data dan informasi,
akan tetapi bertujuan mengajukan pertanyaan-pertanyaan menyangkut
data-data yang diperlukan sekaligus mengumpulkan data dan informasi
melalui teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Dengan teknik
tersebut, peneliti bisa memperoleh data yang akurat, objektif, dan valid,
serta peneliti bertindak sebagai instrument sekaligus sebagai pengumpul
data.
Dalam pelaksanaan penelitian ini, peneliti hadir di lapangan mulai
sejak diizinkan melakukan (mengadakan) penelitian. Tujuan utama dari
kehadiran peneliti di lokasi penelitian adalah untuk memperoleh data
yang valid dari beberapa sumber data. Dalam hal ini, peneliti tidak akan
melakukan sesuatu yang sekiranya dapat mempengaruhi responden dalam
memberikan data dan informasi yang dibutuhkan.
28 Sugiyono, “Memahami Penelitian Kualitatif”,(Bandung: CV Alvabeta, 2016), h.9.
35
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Yayasan Lentera Mataram.
Sekertariat: jln. Jendral sudirman Gg. Solor No.10 Gegutu Barat Rembiga
Kota Mataram. Telp. 03707504716 E.mail : [email protected]
4. Sumber Data
Setiap penelitian memerlukan data dan informasi dari sumber-
sumber yang dapat dipercaya, agar data dan informasi tersebut dapat
dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang dihadapi peneliti. Data
yang diperoleh harus jelas darimana sumbernya, apakah individu, gejala,
peristiwa kejadian, dokumen tertulis dan sejenisnya.
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan
tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-
lain.29 Sumber-sumber data dari penelitian ini adalah dari beberapa
korban penyalahgunaan NAPZA dan konselor.
Adapun jenis data yang dikumpulkan peneliti dalam penelitian ini
adalah data primer dan data sekunder. Data primer (data tangan pertama)
adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan
menggunakan alat pengukur atau pegambilan langsung pada subjek
sebagai informasi yang dicari, data primer tersebut diperoleh dari korban
penyalahgunaan NAPZA dan konselor. Sedangkan data sekunder (data
tangan kedua) adalah data yang diperoleh lewat pihak lain secara tidak
langsung diperoleh oleh peneliti yaitu dari gambar, dokumen dan arsip.
29 Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2012) h. 157
36
5. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan keharusan bagi seorang peneliti dan
merupakan inti kegiatan utama penelitian dalam rangka memperoleh data
yang dibutuhkan. Adapun metode pengumpulan data yang peneliti
gunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi, metode
wawancara, dan metode dokumentasi.
a. Metode Observasi
Observasi adalah suatu proses pengamatan yang dilakukan oleh
peneliti untuk memperoleh data dan informasi yang diinginkan.
Observasi (pengamatan) menurut Sutrisno Hadi dapat didefinisikan
sebagai suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari
berbagai proses biologis dan psikologis. Dua di antara yang terpenting
adalah proses-proses pengamatan dan ingatan.30
Dari segi proses pelaksanakan pengumpulan data, observasi
dapat dibedakan menjadi participant observation (observasi berperan
serta) dan non participant observation. Observasi berperan serta,
dalam observasi ini peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang
yang sedang diamati (sumber data), sedangkan non participant yaitu
peneliti tidak terlibat dan hanya sebagai pengamat independent.31
Adapun jenis observasi yang peneliti lakuan dalam penelitian ini
adalah teknik observasi non participant.
30Sugiyono “Metode Penelitian Kuantitatif,kualitatif dan R&D”, (Bandung :
Alfabeta,2017), h. 145. 31 Sugiyono, “Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D” (Bandung: Alfabeta,
2017) h. 145
37
Dalam metode observasi ini peneliti mengumpulkan data
tentang :
1. Bentuk kecemasan korban penyalahgunaan NAPZA di
Yayasan Lentera Mataram.
2. Layanan konseling individu dalam mengatasi kecemasan
korban penyalahgunaan NAPZA di Yayasan Lentera
Mataram.
b. Metode Wawancara
Wawancara adalah metode pengambilan data dengan cara
menanyakan sesuatu kepada seseorang yang menjadi informan atau
responden. Caranya adalah dengan bercakap-cakap secara tatap
muka.32 Wawancara adalah percakapan langsung dan tatap muka (face
to face) dengan maksud tertentu.33 Jadi metode wawancara adalah
pengumpulan data yang dilakukan peneliti dengan cara melakukan
dialog (tanya-jawab) dengan narasumber.
Metode wawancara dikenal juga dengan istilah interview,
Terdapat tiga macam wawancara atau interview antara lain sebgai
berikut:
1) Wawancara Terstuktur. Wawanacara terstruktur digunakan sebagai teknik
pengumpulan data apabila peneliti sudah mengetahui dengan pasti informasi yang akan diperoleh.
2) Wawancara Semi terstuktur
32 Afifudin dan Beni Ahmad Saebani, “Metode Penelitian Kualitatif” (Bandung:
CV.Pustaka Setia, 2012) h. 131 33 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta,
2012). h. 178.
38
Dalam pelaksanaan wawancara semiterstruktur lebih bebas dibandingkan wawanacra terstruktur.
3) Wawancara Tak Berstruktur Wawancara ini adalah wawancara yang bebas di mana
peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis.34
Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan teknik
wawancara semiterstruktur karena bersifat lebih bebas. Di mana
peneliti lebih leluasa untuk menggali informasi yang hendak dicari.
Selain itu, alasan peneliti memilih wawancara semi terstruktur sebagai
cara untuk mengumpulkan data karena dalam hal jawaban informan
bisa melahirkan pertanyaan baru atau sifatnya terus berkembang
sehingga memunculkan pertanyaan baru lagi yang berhubungan
dengan penelitian tersebut.
c. Langkah-langkah Wawancara
Lincoln dan Guba mengemukakan ada tujuh langkah dalam
pengumpulan data kualitatif dengan teknik wawanacara yaitu sebagai
berikut:
1) Menetapkan kepada siapa wawanacara itu kan dilakukan 2) Menyiapkan pokok-pokok masalah yang akan menjadi pokok
pembicaraan 3) Mengawali atau membuka alur wawancara 4) Mengkonfirmasikan ikhtisar hasil wawancara dan mengakhirinya 5) Menuliskan hasil wawanacara kedalam catatan lapangan 6) Mengidentifikasi tindak lanjut hasil wawancara yang telah
diperoleh35
Dalam pelaksanaan wawancara ini peneliti akan menghubungi
informan terlebih dahulu, menyiapkan outline pertanyaan selanjutnya
34 Ibbid.h. 233. 35 Ibid., h. 235
39
membuat janji kapan dan dimana tempat wawancara akan
dilaksanakan. Setelah itu menulis hasil wawancara dan sebagainya
sesuai prosedur dan langkah wawancara yang benar.
Dalam proses interview (wawancara), peneliti terlebih dahulu
menyusun daftar pertanyaan yang akan diajukan kepada responden
untuk mengali informasi masalah: (1) bagaimanakah bentuk
kecemasan korban penyalahgunaan NAPZA, dan (2) bagaimanakah
layanan konseling individu dalam mengatasi kecemasan korban
penyalahgunaan NAPZA. Dalam melakukan penelitian, peneliti yang
menentukan sendiri pertanyaan yang akan diajukan kepada
responden. Responden yang diwawancara (interview) adalah: a)
korban penyalahgunaan NAPZA, b) Konselor.
d. Metode Dokumentasi
Selain metode observasi dan wawancara, peneliti juga
menggunakan metode dokumentasi; metode dokumentasi yaitu
sumber data yang digunakan untuk melengkapi penelitian, baik
berupa sumber tertulis, film, gambar (fhoto), dan karya-karya
monumental, yang semuanya itu memberikan informasi bagi proses
penelitian.36.
Penggunaan metode dokumentasi dalam penelitian ini adalah
untuk mengumpulkan data dengan mencatat data (informasi) yang
bersumber dari dokumentasi resmi Yayasan Lentera Mataram yang
36 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik (Jakarta: Bum Aksara,
2015), h. 178.
40
berupa frofil Yayasan, sejarah berdirinya, sarana-prasarana yang
dimiliki, visi dan misi, serta jumlah staf Yayasan tersebut. Dengan
ketersediaan data-data tersebut, maka akan dapat mendukung peneliti
dalam menyelesaikan penelitian yang dilakukannya.
Jadi kesimpulan dalam teknik pengumpulan data ini adalah
menggunkaan tiga teknik pengumpulan data, yaitu teknik wawancara,
teknik observasi dan teknik dokumentasi guna kelengkapan data yang
dibutuhkan.
6. Teknik Analisis Data
Dalam analisis data ini peneliti menggunakan analisa data
kualitatif Bogdan dan Biklen yaitu upaya yang dilakukan peneliti dengan
jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya
menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan
menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari,
dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain.37
Dalam penelitian ini, data yang akan diperoleh adalah data
tentang efektivitas layanan konseling individu dalam mengatasi
kecemasan korban penyalahgunaan NAPZA di Yayasan Lentera
Mataram.
7. Keabsahan Data
Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari
konsep kesahehan (validitas) dan kehandalan (reliabilitas) menurut versi
37Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PTRemaja Rosdakarya,
2012), h. 248.
41
“positipisme” dan disesuaikan dengan tuntutan pengetahuan, keriteria, dan
pradigmanya sendiri. Keabsahan data dalam sebuah penelitian bertujuan
untuk membuktikan apakah data yang kita peroleh dari lapangan betul-
betul sesuai atau tidak. Validitas adalah data yang tidak berbeda antar
data yang diperoleh oleh peneliti dengan data yang sesungguhnya terjadi
pada objek penelitian, sedang reliabilitas adalah yang berkenaan dengan
derajat konsistensi dan stabilitas data atau temuan.38
Untuk mengetahui data (informasi) yang diperoleh peneliti dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa cara untuk bisa megukur
keabsahan data yang diperoleh dari responden ataupun dari prosedur
pengumpulan data yang dilakukan peneliti.
Cara yang digunakan peneliti dalam mengukur keabsahan data yang
diperolehnya adalah:
a. Ketekunan pengamatan; tujuannya untuk menemukan data yang
dibutukkan dalam penelitian baik itu dalam bentuk aktivitas korban
penyalahgunaan NAPZA.
b. Triangulasi (pengecekan) yaitu pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk
membandingkan data yang diperoleh. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan pengecekan (pemeriksaan) dari sumber lain.
c. Pembahasan Teman Sejawat
38 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfa Beta,
2012). h. h. 267-268
42
Teknik pemeriksaan atau pembahasan sejawat dimaksudkan
sebagai cara pengecekan data temuan yang mendiskusikan dengan
sejawat, sehingga temuan dimaksud memilki derajat keabsahan.
Tehnik ini dipakai untuk menjamin bahwa data-data berupa
catatan-catatan atau teks serta opini yang dihasilkan dari wawancara
terhadap Menajer maupun pihak yang terkait di Yayasan LKS Lentera
KotaMataram
43
BAB II
PAPARAN DATA DAN TEMUAN DATA
A. Gambaran Umum Yayasan Lentera Mataram
1) Sejarah Berdirinya Yayasan Lentera Mataram
Dewasa ini banyak penyalahgunaan NAPZA di Indonesia yang
sangat menghawatirkan. Karena korban penyalahgunaan NAPZA telah
sangat meluas dan menyerang hampir seluruh lapisan masyarakat.
Korban atau penderita yang semula terbatas hanya dikota-kota besar
dengan sasaran keluarga yang mampu, kini telah menunjukkan
indikasi meluas sampai dikota-kota kecil dan menyerang keluarga
yang kurang mampu.
Penyalahgunaan NAPZA di Indonesia merupakan masalah yang
cukup komplek. Estimasi jumlah penyalahgunaan NAPZA di
Indonesia, berdasarkan hasil penelitian Badan Narkotika Nasional
(BNN) tahun 2008, mencapai 1,99% dari jumlah penduduk. Dan
jumlah tersebut pecandu yang telah mengikuti rehabilitasi sebanyak
0,5%, sisanya belum mendapatkan rehabilitasi. Situasi ini disebabkan
berbagai faktor antara lain jumlah lemabaga rehabilitasi yang masih
terbatas anggapan dari pecandu atau keluarga pecandu. Sebagai aib
bagi keluarga, masih adanya stigma dan diskriminasi dari masyarakat
penanganan hukum yang kurang berpihak sehingga mereka belum
bersedia melaporkan dirinya sebagai pecandu untuk menjalani proses
rehabilitasi.
44
Terbitnya peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 25
tahun 2011 tentang pelaksanaan wajib lapor bagi pecandu narkotika
merupakan amanat dari pasal 55 Undang-Undang nomor 35 tahun
2004 tentang narkotika. Hal tersebut merupakan upaya pemerintah
untuk mendorong para pecandu untuk melaporkan diri pada Institusi
Penerima Wajib Lapor (IPWL) agar dapat menjalin rehabilitasi baik
secara medis maupun sosial, oleh karena itu dalam pelaksanaannya
diperlukan suatu mekanisme sehingga memberikan perlindungan dan
kemudahan kepada para pecandu, keluarga pecandu atau lembaga
pecandu untuk melapor ke Intitusi Penerima Wajib Lapor yang
ditetapkan oleh kementrian Republik Indonesia.
LKS “Lentera” adalah salah satu lembaga yang terdapat di Kota
Mataram, merupakan sebuah lembaga non profit yang bertujuan
membantu masyarakat, khususnya Kota Mataram. Pada umumnya
Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam menghadapi masalah-masalah
penyalahgunaan NAPZA. LKS Lentera dapat menjadi salah satu
potensi yang baik karena menyediakan tempat yang nyaman aman dan
positif.
Dilain pihak LKS Lentera merupakan lembaga yang ditunjuk
sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL). Sesuai dengan
keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 244/HUK/2016
tentang rumah damping Lentera sebagai INSTITUSI PENERIMA
45
WAJIB LAPOR (IPWL) bagi korban penyalahgunaan narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnnya.
2) PROFIL
Nama Lembaga : LKS “Yayasan Lentera” Mataram NTB.
Tangga Berdirinya : 06 Mei 2006
No Akta Notaris : 04 Tahun 2006
No NPWP : 723673802911000
Alamat : Jln. Jendral. Sudirman Gg solor No.10 Gegutu
Barat.Kelurahan Rembiga Kec. Selaparang Kota
Mataram NTB.
No.Telp : 03707504716
Email : [email protected] Hp. 08175745671
3) KONDISI GEOGRAFIS
Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) Lentera adalah salah satu
lembaga di kota Mataram yang bertujuan memberikan dampingan kepada
korban penyalahgunaan narkoba. Yayasan Lentera Mataram berada di
bawah naungan Kementrian Sosial (KEMENSOS). Lembaga ini teletak di
lingkungan Gegutu Barat, kelurahan Rembiga, kota Mataram, yang
berkedudukan di area tanah kurang lebih 10 are.
Yayasan LKS Lentera merupakan program sosial dalam
menanggulangi proses rehabilitasi pada penyalahguna narkoba yang
terletak di Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu Kota Mataram,
yaitu :
46
Sebelah Utara : Hotel Astoria Kota Mataram
Sebelah Timur : Bandar Udara Selaparang Rembige
Sebelah Selatan : Desa Mambalan Lombok Barat
Sebelah Barat : Sayang-sayang Kota Mataram
4) STRUKTUR YAYASAN LENTERA MATARAM
Yayasan Lentera Mataram didirikan oleh Drs.Rusman dan H.
Marzuki. Dengan dua orang pengurus yaitu Dra. Suko Asri dan
Chaerimawan.
Yayasan Lentera Mataram memiliki ketua yaitu Bapak Wirawan,
sekertaris Akhmad Irawan, bendahara Ibu Zahrul Hayati dan wakil ketua
Erwin Rahadi, S.Psi.
5) VISI DAN MISI
VISI : “Menjadikan korban penyalahgunaan NAPZA hidup layak,
produktif dan manusiawi”.
MISI :
1. menciptakan lingkungan yang sehat dan bebas narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya.
2. Memberikan pelayanan kepada korban penyalahgunaan
NAPZA secara profesional.
3. Membina korban penyalahgunaan NAPZA, agar mampu
mengatasi masalah-masalah dan memiliki kemampuan kerja.
4. Melakukan penjangkauan, pendampingan dan memberikan
layanan informasi bagi korban penyalahgunaan NAPZA.
47
5. Menjalin kerjasama dengan pemerintah, BNN Provinsi NTB,
BNN Kota Mataram, Lembaga non IPWL dan instansi terkait
lainnya, dalam rangka pencegahan, pengobatan, dan
rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan NAPZA.
BUDAYA : “Pendekatan, Kasih Sayang Dan Bertanggung Jawab”
NILAI : Inovatif,Bekerja Ikhlas, Aktif, Dipercaya, Aman dan
Harmonis.
MOTTO : “Dimana Ada Kemauan Pasti Ada Jalan”
6) PROGRAM
1. Program Jangka Pendek
a. Program rehabilitasi sosial rawat jalan bagi korban NAPZA, lama
program 3 bulan.
b. Program rehabilitasi sosial rawat inap bagi korban NAPZA, lama
program 6-12 bulan dengan klasifikasi program :
1. Primary : Lama Program 6 Bulan.
2. Re-entre : Lama Program 6 Bulan.
3. After care : Lama 6 Bulan
2. Program Jangka Menengah
a. Meningkatkan sarana dan prasarana pelayanan sampai mencapai
standar.
b. Membentuk kader-kader baru bagi regenerasi pelayanan.
c. Mengintegrasikan instansi terkait untuk mencapai pelayanan yang
holistik.
48
3. Program Jangka Panjang
a. Membuka cabang di sepuluh (10) Kabupaten/Kota se Provinsi
NTB.
b. Membuka bidang usaha untuk kemandirian Finansial Yayasan.
c. Memperluas jaringac n kerja dengan dunia internasional.
7) PELAYANAN
1. Wajib Lapor Bagi Korban Penyalahgunaan NAPZA.
2. Konseling
3. Konseling Adiksi
4. Konseling Keluarga
5. Konseling Kelompok
6. Konseling Sosial
7. Konseling pekerjaan
8. Pelayanan Assasment
9. Terapi Singkat Bagi Korban Coba-coba (situasional)
10. Penjangkauan Korban Penyalahgunaan NAPZA
11. Pendampingan Korban Penyalahgunaan NAPZA
12. Pemeriksaan Urine
13. Home Visit
14. Bimbingan Rohani
15. Pemeriksaan Kesehatan Fisik
16. Pemeriksaan Psikologi
17. Pemeriksaan Psikiatrik Dasar
49
18. Pendidikan Anak Korban NAPZA (Putus sekolah)
19. Kursus-kursus
20. Bimbingan Latihan Kerja (vokasional)
21. Bimbingan Mahasiswa
22. Penyuluhan Dampak Buruk NAPZA
23. NA (Narkotik Anonimous)
8) PELAYANAN PASCA REHABILITASI
1. Assasment
2. Konseling
3. Bimbingan Latihan Kerja (Vokasional)
4. Bimbingan Sosial
5. Pendidikan Formal Usia Sekolah
6. Penyaluran Keperusahaan-perusahaan/hotel
7. Permagangan Korban NAPZA
9) SARANA DAN PRASARANA
1. Kapasitas Tempat Tidur : 20 Orang
2. Fasilitas Fisik LKS “Yayasan Lentera”
a. Ruang Pertemuan : 1 lokal
b. Ruang Medis : 1 lokal
c. Ruang Konseling : 1 lokal
d. Ruang Baca (Perpustakaan) : 1 lokal
e. Kamar Mandi : 2 lokal
f. Dapur : 1 lokal
50
g. Musholla : 1 lokal
h. Kapasitas Tempat Tidur : 20 TT
i. Pendopo (Aula) : 1 lokal
j. Pelatihan Kerja Perikanan : 1 lokal
k. Pelatihan Kerja Peternakan : 1 lokal
l. Latihan Olah Raga : 1 lokal
m. Pelatihan Kerja Perbengkelan : 1 lokal
n. Asrama Residence (20 TT) : 1 lokal
3. Jumlah Pegawai (SDM)
a. Penanggung Jawab Program : 1 orang
b. Konselor Adiksi : 1 orang
c. Konselor Adiksi (Dilatih) : 8 orang
d. Konselor Non Adiksi : 2 orang
e. Asesor : 1 orang
f. Tenaga Laboraturium (On Call) : 1 orang
g. Psikolog (On Call) : 1orang
h. Tenaga Ahli Gizi (On Call) : 1orang
i. Tenaga Penjangkauan : 4 orang
j. Instruktur : 2orang
k. Cleaning Service : 1 orang
l. Tenaga Perawat : 2 orang
m. Tenaga Dokter Umum (On Call) : 1 orang
n. Perawat Spesialis Jiwa (On Call) : 1orang
51
o. Bendahara : 1 orang
p. Administrasi : 1orang
q. Petugas Keamanan : 1orang
B. Bentuk Kecemasan Korban Penyalahgunaan NAPZA di Yayasan
Lentera Mataram
Peroses rehabilitasi yang sedang dijalankan oleh korban
penyalahgunaan NAPZA di Yayasan Lentera Mataram. Dalam proses
rehabilitasi yang dijalankan oleh Yayasan Lentera Mataram menggunakan
program therapeutic community (TC). Program TC yang dijalankan oleh
Yayasan Lentera Mataram merupakan perogram yang berbasis komunitas.
Pelaksanaan kegiatan yang berlangsung dalam peroses pemulihan
dilaksanakan oleh semua korban penyalahgunaan NAPZA yang sedang
menjalankan peroses rehabilitasi di Yayasan Lentera Mataram. Korban
penyalahgunaan NAPZA yang sedang menjalankan peroses rehabilitasi
beberapa dari mereka mengalami gangguan akibat dari penggunaan
NAPZA yang pernah dikonsumsi. NAPZA yang telah dikonsumsi oleh
para korban penyalahgunaan NAPZA yang sedang mengikuti proses
rehabilitasi mengakibatkan kerusakan fisik dan psikis. Salah satunya
emosi negative yang sangat sering dirasakan oleh korban penyalahgunaan
NAPZA yang sedang mengikuti peroses rehabilitasi, sehingga tidak jarang
kecemasan dirasakan oleh para korban penyalahgunaan NAPZA yang
sedang melakukan kegiatan rehabilitasi.
52
Korban penyalahgunaan NAPZA yang sedang mengikuti peroses
rehabilitasi di Yayasan Lentera Mataram, sebagian dari mereka mengalami
keadaan psikis cemas.39
Berdasarkan hasil dokumentasi yang didapatkan peneliti. Peneliti
juga melakukan wawancara berkaitan dengan hasil dokumentasi yang
peneliti dapatkan selam peneliti berada di lapangan.
Sesuai dengan yang dituturkan Sister Ros terkait dengan
kecemasan korban penyalahgunaan NAPZA yang menuturkan bahwa :
“Kita aja yang tidak pernah mengkonsumsi NAPZA pasti memiliki perasaan cemas entah itu cemas dengan keadaan ekonomi keadaan keluarga banyak tugas yang belum selesai nah apalagi mereka yang kita sama-sama ketahui mereka pernah mengkonsumsi NAPZA dan saat ini sedang rehabilitasi pastilah mereka punya perasaan cemas”40
Yayasan Lentera Mataram merupakan lokasi rehabilitasi bagi
korban penyalahgunaan NAPZA. Yayasan Lentera Mataram merupakan
lingkungan baru bagi korban penyalahgunaan NAPZA yang sedang
menjalankan program rehabilitasi. Lingkungan rehabiilitasi yang baru
ditempati oleh korban penyalahgunaan NAPZA akan menimbulkan emosi
cemas bagi korban penyalahgunaan NAPZA yang sedang menjalankan
perogram rehabilitasi.
Sesuai dengan hal tersebut Bro Tata menuturkankan :
“yang menyebabkan mereka cemas selama mengikuti program rehabilitasi di Yayasan Lentera Mataram ini karena tempat rehabilitasi ini merupakan tempat tinggal baru bagi mereka tempat mereka belajar tempat mereka berusaha merubah kebiasaan buruk mereka
39 Dokumentasi , Yayasan Lentera Mataram, 18 Januari 2018 40 Sis Ros, Wawancara, Yayasan Lentera Mataram, 4 Januari 2018
53
mengkonsumsi NAPZA jadi karena lingkungan rehabilitasi berbeda dengan lingkungan asal mereka jadi wajar mereka akan mengalami kecemasan”41
Berkaitan dengan yang telah dituturkan oleh Bro Tata mengenai
kecemasan korban penyalahgunaan NAPZA. Bapak Wirawan juga
menuturkan :
“korban penyalahgunaan NAPZA ini memang sering mengalami kecemasan yang menyebabkan merek merasakan kecemasan itu bermacam-macam mereka cemas karena mereka takut ditangkap polisi takut dilaporkan polisi apalagi jika ada orang baru yang mereka lihat dan belum mereka kenal pasti mereka akan merasakan cemas”42
Dari kedua penuturan narasumber diatas, bahwa keduanya
menyatakan. Kondisi dari korban penyalahgunaan NAPZA memiliki
perasaan cemas, hanya saja perbedaannya terletak pada penyebab korban
penyalahgunaan NAPZA tersebut merasakan kecemasannya selama
mengikuti program rehabilitasi di lingkungan Yayasana Lentera Mataram.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti, peneliti
menemukan berbagai ciri yang menandakan bahwa korban
penyalahgunaan NAPZA terindikasi mengalami kecemasan. Seperti
kelihatan cara duduk yang tidak menentu ketika mengikuti kegiatan,
kurang fokus, dan kabur dari yayasan. Hal tersebut sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Bapak Wirawan, mengatakan.
“anak-anak yang mengalami kecemasan ini mereka menampakkan perasaan cemas yang mereka alami dari cara mereka mengikuti kegiatan seperti cara duduk mereka yang tidak menentu pandangan mereka kesana kemari keringat dingin dan kurang focus
41Bro Tata, Wawancara 18 Januari 2018 42Bapak Wirawan, Wawancara 16 Januari 2018
54
dari sana kita sebagai konselor bisa mengetahui bahwa klien sedang mengalami kecemasan”43
Dari penuturan yang dituturkan oleh Bapak Wirawan mengenai
cara mengetahui perasaan cemas yang dialami oleh korban
penyalahgunaan NAPZA. Bro Tata juga menuturkan hal serupa seperti
yang dituturkan oleh Bapak Wirawan. Bahwa kecemasan yang dialami
oleh korban penyalahgunaan NAPZA selama mengikuti program
rehabilitasi di Yayasan Lentera Mataram. Mereka menampakkan
kecemasannya dari cara mereka mengikuti kegiatan, korban
penyalahgunaan NAPZA tersebut terlihat seperti tidak berkonsenterasi
ketika mengikuti kegiatan.44
Penuturan kedua narasumber diatas yang menuturkan bahwa.
Kecemasan yang dialami oleh korban penyalahgunaan NAPZA dapat
diketahui dari cara korban penyalahgunaan NAPZA mengikuti kegiatan
selama menjalankan program rehabilitasi selama di yayasan.
Korban penyalahgunaan NAPZA yang berada di Yayasana Lentera
Mataram akan merasakan berbagai macam perasaan didalam dirinya dan
menampakkan berbagai macam tingkah laku sehingga kecemasan yang
dialami oleh korban penyalahgunaan NAPZA bisa diketahui oleh konselor
Yayasan Lentera Mataram dan peneliti selama berada di lapangan.
Kecemasan yang dirasakan akan menimbulkan perasaan khawatir
oleh korban penyalahgunaan NAPZA selama mengikuti perogram
43 Bapak Wirawan, Wawancara, Yayasan Lentera Mataram, 16 Januari 2018 44 Bro Tata, Wawancara 18 Januari 2018
55
rehabilitasi di Yayasan Lentera Mataram. Mengani hal tersebut seorang
korban penyalahgunaan NAPZA berinisial D menuturkan kepada peneliti
bahwa.
“Ketika baru pertama berada di lingkungan Yayasan merasakan perasaan khawatir.”45
Perasaan khawatir yang dirasakan oleh korban penyalahgunaan
NAPZA berinisial D juga dirasakan oleh korban penyalahgunaan NAPZA
berinisial S selama berada di Yayasan Lentera Mataram. Dalam penuturan
korban penyalahgunaan NAPZA berinisial S, bahwa dia menuturkan.
“Saya pernah mengalami perasaan khawatir selama berada dalam lingkungan Yayasan Lentera Mataram ini.”46
Korban penyalahgunaan NAPZA berinisial D dan S selama berada
di lingkungan Yayasan Lentera Mataram pernah mengalami kekhawatiran,
begitu juga dengan korban penyalahgunaan NAPZA berinisial W. Dalam
proses rehabilitasi yang diikutinya, korban penyalahgunaan NAPZA
berinisial W menuturkan.
“Aku pernah bahkan sering mengalami kekhawatiran selam berada ketika berada disini apalagi pas baru berada di sini.”47
Perasaan-perasaan yang dirasakan oleh korban penyalahgunaan
NAPZA yang mengalami kecemasan selain merasa khawatir, korban
penyalahgunaan NAPZA juga akan merasa takut, sehingga kecemasan
yang dirasakan oleh korban penyalahgunaan NAPZA bisa diketahui dari
45 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial D, Wawancara 26 maret 2018 46 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial S, Wawancara 26 maret 2018 47 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial W, Wawancara 26 maret 2018
56
perasaa takut yang dirasakan oleh korban penyalahgunaan NAPZA selama
mengikuti program rehabilitas di Yayasan Lentera Mataram.
Seorang korban penyalahgunaan NAPZA berinisial S selama
mengikuti program rehabilitasi di lingkungan Yayasan Lentera Mataram.
Dalam proses rehabilitasi yang diikuti di lingkungan Yayasan Lentera
Mataram korban penyalahgunaan NAPZA berinisial S menuturkan.
“Aku pernah merasakan takut selama berada di kingkungan Yayasan Lentera Mataram apalagi ketika baru-baru berada di lingkungan Yayasan Lentera Mataram.”48
Selain korban penyalahgunaan NAPZA berinisial S, seorang
korban penyalahgunaan NAPZA berinisial D juga merasakan hal serupa
seperti yang dirasakan oleh korban penyalahgunaan NAPZA berinisial S.
Bahwa dalam program rehabilitasi yang diikuti olehnya tersebut, korban
penyalahgunaan NAPZA berinisial D menuturkan.
“Saya sering mengalami perasaan takut selama berada di lingkungan Yayasan Lentera Mataram.”49
Senada dengan yang diungkapkan oleh korban penyalahgunaan
NAPZA berinisial S dan D. Bahwa korban penyalahgunaan NAPZA
berinisial W juga pernah merasakan perasaan takut selama berada di
lingkungan Yayasan Lentera Mataram.50
Ketiga korban penyalahgunaan NAPZA yang peneliti wawancarai
menyatakan bahwa mereka pernah merasakan perasaan takut. Bahkan ada
48 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial S, Wawancara 26 maret 2018 49 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial D, Wawancara 26 maret 2018 50 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial W, Wawancara 26 maret 2018
57
dari mereka yang sering merasakan perasaan takut selama mengikuti
program rehabilitasi di Yayasan Lentera Mataram.
Kecemasan yang dirasakan oleh korban penyalahgunaan NAPZA
selain akan menimbulkan perasaan takut, kecemasan yang dialami juga
akan menimbulkan perasaan gelisah. Perasaan gelisah yang dirasakan oleh
korban penyalahgunaan NAPZA merupakan reaksi dari kecemasan yang
dialaminya selama mengikuti program rehabilitasi di Yayasan Lentera
Mataram.
Perasaan gelisah yang dirasakan korban penyalahgunaan NAPZA
sebagai reaksi dari kecemasan yang dialami. Seorang korban
penyalahgunaan NAPZA berinisial D mengatakan kepada peneliti bahwa.
“selama saya menjalankan program rehabilitasi saya sering mengalami perasaan gelisah.”51
Perasaan gelisah yang dialami oleh korban penyalahgunaan
NAPZA berinisial D, juga dirasakan oleh korban penyalahgunaan NAPZA
berinisial W. Dalam penuturannya kepada peneliti bahwa korban
penyalahgunaan NAPZA berinisial W menuturkan.
“saya pernah merasakan perasaan gelisah selama mengikuti program rehabilitasi di Yayasan Lentera Mataram.”52
Serupa dengan yang dituturkan oleh korban penyalahgunaan
NAPZA berinisial W dan D. seorang korban penyalahgunaan NAPZA
berinisial S juga menuturkan kepada peneliti bahwa dalam mengikuti
program rehabilitasi di Yayasan Lentera Mataram, korban penyalahgunaan
51 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial D, Wawancara 26 maret 2018 52 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial W, Wawancara 26 maret 2018
58
NAPZA berinisial S sering mengalami perasaan gelisah. Seperti dalam
penuturannya kepada peneliti.
“Dalam menjalankan rehabilitasi ini saya sering mengalami perasaan-perasaan gelisah.”53
Ketiga korban penyalahgunaan NAPZA diatas menyatakan bahwa
mereka pernah merasakan perasaan gelisah selama mengikuti program
rehabilitasi di Yayasan Lentera Mataram. Perasaan gelisah yang dirasakan
oleh korban penyalahgunaan NAPZA diatas merupakan reaksi dari
kecemasan yang dirasakan oleh korban penyalahgunaan NAPZA.
Kecemasan yang dialami oleh korban penyalahgunaan NAPZA
juga akan mengakibatkan emosi marah. Emosi marah yang mudah
dirasakan oleh korban penyalahgunaan NAPZA ketika ada stimulus yang
dirasa mengganggu korban penyalhgunaan NAPZA tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut seorang korban penyalahgunaan
NAPZA berinisial S menuturkan kepada peneliti.
“Saya akan cepat mengalami emosi marah jika ada yang mengganggu saya secara berlebihan apalagi jika saya dalam kondisi korban dalam kondisi galau.”54
Senada dengan yang diungkapkan oleh korban penyalahgunaan
NAPZA berinisial S. Bahwa seorang korban penyalahgunaan NAPZA
berinisial D menuturkan.
“ saya juga akan mudah marah jika ada yang mengganggu saya secara berlebihan.55
53 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial S, Wawancara 26 maret 2018 54 Ibid 2018 55korban penyalahgunaan NAPZA beinisial D, Wawancara 26 maret 2018
59
Penuturan korban penyalahgunaan NAPZA berinisial S dan D,
berbeda dengan yang dituturkan oleh korban penyalahgunaan NAPZA
berinisial W. Korban penyalahgunaan NAPZA berinisial W menuturkan.
“Saya tidak mudah marah meskipun ada yang mengganggu saya karena saya menganggap hal tersebut sebagai candaan saja. 56
Pernyataan korban penyalahgunaan NAPZA tersebut, dua
diantaranya menyatakan bahwa dirinya akan mudah marah jika ada yang
mengganggu diri mereka, sedangkan korban penyalahgunaan NAPZA
yang berinisial W tidak mudah menampakkan emosi marah yang
berlebihan jika diganggu oleh temannya yang lain.
Korban penyalahgunaan NAPZA yang memiliki perasaan cemas
akan merasakan detak jantung yang berdebar-debar. Detak jantung yang
berdebar-debar akan dialami oleh korban penyalahgunaan NAPZA jika
dihadapkan dengan stimulus atau dipertemukan dengan orang yang belum
dikenal, yang akan menyebabkan korban penyalahgunaan NAPZA tersebut
merasakan kecemasan.
Korban penyalahgunaan NAPZA berinisial D menuturkan.
“Dalam peroses rehabilitasi yang sedang saya ikuti saya pernah mengalami detak jantung berdebar jika bertemu dengan orang yang baru saya kenal.”57
Senada seperti yang dituturkan oleh korban penyalahgunaan
NAPZA berinisial D. Korban penyalahgunaan NAPZA berinisial S juga
56 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial W, Wawancara 26 maret 2018 57 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial D, Wawancara 26 maret 2018
60
menuturkan kepada peneliti bahwa jika dia bertemu dengan orang yang
baru maka jantungnya sering berdebar-debar.
Hal serupa juga dituturkan oleh korban penyalahgunaan NAPZA
berinisial W. Dalam pertemuan yang dilakukan peneliti dengan korban
penyalahgunaan NAPZA berinisila W tersebut, bahwa korban
penyalahgunaan NAPZA berinisial W menuturkan.
“saya pernah mengalami detak jantung yang berdebar-debar ketika bertemu dengan orang yang baru saya kenal.”58
Ketiga korban penyalahgunaan NAPZA yang diwawancarai oleh
peneliti. Ketiganya menuturkan bahwa mereka pernah merasakan detak
jantung yang berdebar jika baru bertemu dengan orang yang belum mereka
kenal.
Kecemasan yang dialami oleh korban penyalahgunaan NAPZA
juga akan mengakibatkan penurunan konsentrasi ketika dalam mengikuti
kegiatan selama di Yayasan Lentera Mataram. Penurunan konsentrasi yang
dialami merupakan manifestasi dari kecemasan yang dialaminya.
Penurunan konsenterasi sebagai reaksi dari kecemasan yang
dialami oleh korban penyalahgunaan NAPZA. Seorang korban
penyalahgunaan NAPZA berinisial S menuturkan kepada peneliti.
“Saya sering mengalami gangguan konseterasi dalam mengikuti sesi kelas.”59
58korban penyalahgunaan NAPZA beinisial W, Wawancara 26 maret 2018 59 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial S, Wawancara 26 maret 2018
61
Berkaitan dengan yang telah diungkapkan oleh korban
penyalahgunaan NAPZA berinisial S diatas. Seorang korban
penyalahgunaan NAPZA berinisial D juga menuturkan hal serupa bahwa.
“Saya pernah mengalami penurunan konsenterasi apalagi ketika saya mengikuti sesi di dalam lingkup yayasan.60
Serupa seperti yang diungkapkan oleh korban penyalahgunaan
NAPZA berinisial S dan D. Seorang korban penyalahgunaan NAPZA
berinisial W menuturkan.
“saya pernah mengalami sulit dalam konsenterasi.”61
Korban penyalahgunaan NAPZA yang diwawancarai oleh peneliti.
Peneliti menemukan bahwa ketiganya menuturkan mereka pernah
mengalami susah konsenterasi dalam mengikuti kegiatan selama di
Yayasan Lentera Mataram.
Dari berbagai macam indikasi yang menandakan korban
penyalahgunaan NAPZA tersebut mengalami kecemasan. Tidak terlepas
dari penyebab yang menyebabkan indikasi-indikasi tersebut dirasakan oleh
korban penyalahgunaan NAPZA. Berkenaan dengan hal tersebut bapak
wirawa menuturkan.
“korban penyalahgunaan NAPZA ini mengalami kecemasan disebabkan karena mereka takut ditangkap polisi dan bisa saja mereka takut jika kalian sebagai orang yang baru mereka kenal mereka anggap akan melaporkan mereka ke polisi.”62
60 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial D, Wawancara 26 maret 2018 61 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial W, Wawancara 26 maret 2018 62 Bapak Wirawan, Wawancara 25 Maret 2018
62
Seorang korban penyalahgunaan NAPZA berinisial D menuturkan
kepada peneliti bahwa dirinya takut ditangkap polisi.
“yang menyebabkan saya merasakan hal tersebut karena saya takut nantinya ditangkap polisi.”63
Selain korban penyalahgunaan NAPZA berinial D, korban
penyalahgunaan NAPZA berinisial W menuturkan.
“saya takut jika orang-orang kampong saya mengetahui perbuatan saya ini.64
Korban penyalahgunaan NAPZA berinisial S juga menuturkan
kepada peneliti.
“saya selalu berpikir apakah saya bisa bebas dari jeratan
NAPZA atau tidak.”65
C. Layanan Konseling Individu Dalam Mengatasi Kecemasan Korban
Penyalahgunaan NAPZA Di Yayasan Lentera Mataram
Layanan konseling individu merupakan layanan yang diberikan
oleh Yayasan Lentera Mataram dalam mengatasi permasalahan korban
penyalahgunaan NAPZA dalam hal ini masalah kecemasan, agar korban
penyalahgunaan NAPZA bisa terlepas dari permasalahan yang dialaminya.
Berkaitan dengan layanan konseling yang diberikan kepada para
korban penyalahgunaan NAPZA Bapak Wirawan menuturkan :
“mengenai layanan-layanan yang kami berikan kepada para korban penyalahgunaan NAPZA sebenarnya ada berbagaimacam layanan salah satunya konseling individu konseling individu tersebut kita berikan terhadap para para korban penyalahgunaan NAPZA
63korban penyalahgunaan NAPZA beinisial D, Wawancara 26 maret 2018 64 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial W, Wawancara 26 maret 2018 65 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial S, Wawancara 26 maret 2018
63
karena hal tersebut sudah termasuk kedalam program rehabilitasi korban penyalahgunaan NAPZA”66
Selain yang ditutukan oleh Bapak Wirawan tersebut, Bro Tata juga
menuturkan hal serupa, Bro Tata menuturkan :
“jika berbicara layanan konseling individu jadi dalam proses rehabilitasi yang kami jalankan di Yayasan ini iya kita berikan layanan konseling individu karena layanan konseling individu merupakan program rehabilitasi yang ada disini dan bahkan setiap Yayasan pasti memberikan layanan konseling individu dan harus kita berikan kepada korban penyalahgunaan NAPZA”67
Melihat dari penuturan kedua narasumber tersebut bahwa keduanya
menuturkankan, layanan konseling individu merupakan bentuk layanan
yang harus diberikan oleh konselor terhadap korban penyalahgunaan
NAPZA yang sedang dalam masa rehablitasi. Karena keberadaan layanan
konseling individu sangat berpengaruh terhadap pemulihan para korban
penyalahgunaan NAPZA.
Layanan konseling individu yang diberikan oleh konselor terhadap
korban penyalahgunaan NAPZA, dilakukan didalam ruangan konseling.
Sehingga memungkinkan kenyamanan dan keleluasaan dari korban
penyalahgunaan NAPZA mengutarakan permasalahannya. Dalam peroses
konseling individu yang dilakukan konselor dan korban penyalahgunaan
NAPZA di Yayasan Lentera Mataram dilakukan dengan tatap muka dalam
ruangan khusus konseling di Yayasan Lentera Mataram.68
66 Bapak Wirawan, wawancara 16 Januari 2018 67 Bro Tata, wawancara 18 Januari 2018 68 Observasi Yayasan Lentera Mataram 12 januari 2018
64
Pemberian layanan konseling secara tatap muka yang dilakukan
konselor Yayasan Lentera Mataram sesuai dengan yang dituturkan oleh
Bapak Wirawan sebagai berikut :
“Disini konseling individu yang kita berikan kepada korban penyalahgunaan NAPZA kita berikan secara langsung atau tatap muka kepada korban penyalahgunaan NAPZA karena korban NAPZA ini jika kita berikan dengan tidak tatap muka maka kurang bagus Karen kita sebagai konselor perlu juga melihat bagaimana perkembangan keadaan klien atau konseli tersebut”69
Hal serupa juga dituturkan oleh Bro Tata mengenai pemberian
layanan konseling individu terhadap korban penyalahgunaan NAPZA. Bro
Tata menuturkan :
“sejauh ini dalam pemberian layanan konseling individu kepada korban penyalahgunaan NAPZA kita berikan layanan konseling ini secara tatap muka karena bertemunya bertatap mukanya antara konselor dengan korban penyalahgunaan NAPZA akan menyebabakan yang tidak terungkap jadi terungkap jadi hal ini sangat perlu karena kita juga perlu melihat apakah yang dikatakan klien tersebut benar atau tidak dan kita juga bisa melihat perkembangan dari korban penyalahgunaan NAPZA tersebut”70
Pemberian layanan konseling secara tatap muka memungkinkan
bagi konselor untuk melihat perkembangan dan melihat permaslahan yang
ditanpakkan oleh korban penyalahgunaan NAPZA. Melalui gerakan dan
perkataan yang konseli tersebut tampakkan dalam proses konseling
berlangsung. Sehingga permasalahan yang dialami oleh korban
penyalahgunaan NAPZA akan mudah untuk ditemukan jalan keluar dari
permasasalahan yang dialami oleh korban penyalahgunaan NAPZA
tersebut.
69 Bapak Wirawan, Wawancara 26 Maret 2018 70 Bro Tata, wawancara 26 Maret 2018
65
Permasalahan-permasalahan baik yang disebabkan oleh faktor
internal maupun eksternal akan lebih mudah diselesaikan jika korban
penyalahgunaan NAPZA menggunakan layanan konseling individu yang
ada di Yayasan Lentera Mataram. Mengingat bahwa konseli yang berada
dalam Yayasan Lentera Mataram merupakan korban penyalahgunaan
NAPZA, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa permasalahan
seperti kecemasan kerap kali dirasakan oleh korban penyalahgunaan
NAPZA yang berada di Yayasan Lentera Mataram. Pemberian layanan
konseling individu sangat diperlukan oleh korban penyalahgunaan
NAPZA agar kecemasan yang dialaminya tersebut bisa teratasi.
Berkaitan dengan permasalahan yang dialami oleh korban
penyalahgunaan NAPZA Yayasan Lentera memberikan layanan konseling
indivdiu. Berdasarkan yang telah disampaikan Bapak Wirawan. Beliau
menuturkan :
“jika membahas tentang permasalahan yang dialami oleh korban penyalahgunaan NAPZA memang para korban penyalahgunaan NAPZA yang berada disini memiliki permasalahan apalagi yang berkaitan dengan permasalahan dengan kecemasannya jadi kami disini memberikan layanan konseling individu terhadap para korban penyalahgunaan NAPZA yang mengalami kecemasan”71
Selain melakukan wawancara dengan Bapak Wirawan, peneliti
juga mewawancarai Bro Tata, Bro Tata menuturkan :
“mengenai pemberian layanan konseling individu terhadap masalah kecemasan yang dialami oleh korban penyalahgunaan NAPZA hal tersebut sudah menjadi hukum wajib kita berikan kepada korban penyalahgunaan NAPZA yang mengalami kecemasan karena
71 Bapak Wirawan, wawancara 16 Januari 2018
66
jika tidak bisa jadi akan menghambat peroses pemulihan korban penyalahgunaan NAPZA tersebut”72
Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan dua
orang konselor Yayasan Lentera Mataram tersebut bahwa pemberian
layanan konseling individu selalu diberikan kepada korban
penyalahgunaan NAPZA yang mengalami kecemasan. Karena pemberian
layanan konseling individu terhadap korban penyalahgunaan NAPZA yang
mengalami kecemasan akan sangat mempengaruhi dari proses rehabilitasi
yang sedang dijalankan oleh para korban penyalahgunaan NAPZA
tersebut.
Pemberian layanan konseling terhadap korban penyalahgunaan
NAPZA, harus dilakukan dengan baik. Mulai dari bagaimana cara
penerimaan konselor terhadap korban penyalahgunaan NAPZA yang akan
melakukan kegiatan konseling. Cara penerimaan yang ditunjukkan
konselor merupakan penilain pertama bagi seorang konseli, penerimaan
yang baik oleh konselor akan mampu membuat suasana nyaman bagi
konseli, sehingga suasana raport harus diciptakan dalam proses konseling.
Sesuai dengan yang disampaikan oleh Bapak Wirawan terkait
dengan proses konseling. Bapak Wirawan menuturkan bahwa dalam
proses konseling harus tercipta suasana raport saling percaya antara
konseli dan konselor harus bagus.73
72 Bro Tata, wawancara 18 Januari 2018 73 Bapak Wirawan, wawancara 12 Januari 2018
67
Hubungan yang baik antara konselor dan konseli akan membantu
mempermudah proses pengungkapan masalah dalam proses konseling.
Sehingga dalam proses pengentasan masalah yang dihadapi konseli, antara
konselor dan konseli bisa mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi
oleh konseli tersebut dalam hal ini korban penyalahgunaan NAPZA.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti selama dilapangan sebelum
proses konseling berlangsung. Konselor memanggil korban
penyalahgunaan NAPZA yang sedang duduk dibangku ruang tamu dengan
panggilan yang bersahabat, konselor mempersilahkan korban
penyalahgunaan NAPZA memasuki ruangan konseling dengan berjalan
beriringan dengan memegang pundak korban penyalahgunaan NAPZA,
kemudian konselor mempersilahkan korban penyalahgunaan NAPZA
masuk ruangan dan mempersilahkan korban penyalahgunaan NAPZA
duduk dibangku yang telah disediakan diruang konseling.74
Kegiatan yang dilakukan oleh konselor tersebut menandakan
bahwa konselor telah melakukan tekhnik attending. Tekhnik attending
telah dilakukan oleh konselor akan membuat konseli merasa nyaman
selama proses konseling berlangsung.
Hasil observasi yang dilakukan peneliti sesuai dengan yang
dipaparkan oleh bapak Nazrin :
“Dalam pemberian layanan konseling individu kepada klien korban penyalahgunaan NAPZA kita harus attending empati open question memberikan nasehat kepada klien agar mereka mau mengikuti proses konseling setelah mereka mau mengiuti peroses
74 Observasi, Proses Konseling Yayasan Lentera Mataram, 12 Januari 2018
68
konseling otomatis tujuan dari proses konseling individu yang sedang kita laksanakan akan menemukan pada titik dimana korban penyalahgunaan NAPZA tersebut mampu mengatasi maslahnya sendiri”75
Tekhnik attending dan empati merupakan tekhnik dasar dalam
peroses konseling yang harus konselor terapkan dalam menjalankan
tugasnya sebagai seorang konselor. Attending dan empati yang
ditunjukkan konselor terhadap konseli bisa menjadikan konseli merasa
nyaman dalam proses konseling berlangsung. Sehingga konseli merasa
bahwa konselor mengerti akan apa yang dirasakannya. Tekhnik konseling
yang diberikan selama proses konseling harus disesuaikan dengan
permasalahan yang sedang dialami oleh konseli. Jika tidak sesuai antara
tekhnik dengan masalah yang dihadapi konseli maka akan akan
mengakibatkan permasalahan yang dialami konseli akan semakin
konfleks, mengingat konseli yang akan menerima layanan ialah individu-
individu yang pernah mengkonsumsi NAPZA yang pada saat ini sedang
dalam proses rehabilitasi.
Mengenai permasalahan kecemasan yang dialami oleh konseli,
berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan, bapak wirawan
menuturkan :
“Didalam mengkonseling klien, beda kita mengkonseling orang yang tidak pernah mgkonsumsi NAPZA dengan orang yang mengkonsumsi NAPZA, kita harus bisa membuat suasana raport kita harus empati dan terbuka agar klien merasa nyaman dalam proses konseling, setelah nyaman baru kita buka pertanyaan yang open
75 Bapak Nazrin, wawancara , yayasan Lentere Mataram, 16 Januari 2018
69
andded pemberian nasehat jika diperlukan dan kita gali masalahnya sampai kita menemukan permasalahan yang sebenarnya”76.
Selain yang dipaparkan oleh Bapak wirawan diatas, Bro Tata juga
menuturkan :
“Tekhnik yang yang digunakan dalam pemberian layanan konseling individu pertama menjalain hubungan yang baik dengan klien agar klien tersebut mau terbuka kemudian baru kita empati attending dan menggunakan tekhnik-tekhnik yang lainnya seperti penggalian masalah memberikan nasehat jika dibutuhkan dan juga perlu kita merefleksikan perasaan klien baik yang kita dengar maupun yang kita lihat dari diri klien tersebut”77
Selain menggunakan tekhnik dasar yang harus dimiliki oleh setiap
konselor dalam mengkonseling korban penyalahgunaan NAPZA. Konselor
juga harus mampu menemukan jenis pendekatan yang sekiranya bisa
digunakan sehingga masalah kecemasan yang dialami oleh korban
penyalahgunaan NAPZA bisa di entaskan.
Dalam pemberian layanan konseling individu terhadap korban
penyalahgunaan NAPZA yang mengalami kecemasan. Konselor harus
mampu menemukan jenis pendekatan yang digunakan, agar tujuan dari
pemberian layanan konseling individu tersebut bisa sesuai dengan yang
diharapkan oleh konselor dan konseli, yaitu mengatasi kecemasan dari
konseli sehingga akan mempercepat dari proses pemulihan konseli.
Berkaitan dengan jenis pendekatan yang digunakan dalam
mengkonseling korban penyalahgunaan NAPZA yang mengalami
kecemasan, Bapak Wirawan menuturkan :
76 Bapak Wirawan, wawancara 17 Januari 2018 77Bro Tata, wawancara 18 Januari 2018
70
“Dalam mengkonseling korban penyalahgunaan NAPZA kami selaku konselor Yayasan Lentera menggunakan konseling individu dengan menggunakan pendekatan CBT atau cognitive behavior theraphy dalam mengkonseling korban penyalahgunaan NAPZA yang mengalami permasalahan kecemasan”78
Hal serupa juga ditutukan oleh Bro Tata, Bro Tata menuturkan :
“mengkonseling korban penyalahgunaan NAPZA yang mengalami kecemasn kita tidak bisa hanya denan konseling individu semata tanpa memperhatikan pendekatan yang kita gunakan jadi dalam memberikan layanan konseling individu terhadap korban penyalahgunaan NAPZA yang mengalami masalah kecemasan kami menggunakan pendekatan CBT karena kami rasa pendekatan tersebut yang pas untuk mengatasi kecemasan yang dialami oleh klien”79
Dari hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan dua orang
konselor Yayasan Lentera Mataram. Kedua konselor tersebut menyatakan
dalam proses pemberian layanan konseling individu terhadap korban
penyalahgunaan NAPZA yang mengalami kecemasan, konselor Yayasan
Lentera Mataram menggunakan pendekatan CBT cognitive behavior
theraphy.
Layanan konseling individu dengan menggunakan pendekatan
CBT cognitive behavior theraphy. Pendekatan CBT itu sendiri memiliki
tekhnik-tekhnik intervensi yang bisa digunakan oleh konselor dalam
menangani permasalahan kecemasan yang dialami oleh korban
penyalahgunaan NAPZA. Dengan harapan korban penyalahgunaan
NAPZA tersebut bisa mengatasi kecemasannya dengan cara yang baik.
78 Bapak Wirawan, wawancara 16 Januari 2018 79 Bro Tata, wawancara 18 Januari 2018
71
Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan
konselor Yayasan Lentera Mataram berkaitan dengan tekhnik intervensi
yang digunakan, Bapak Wirawan menuturkan :
“tekhnik intervensi yang biasa digunakan melihat dari permasalahan klien dengan menggunakan assertive training dengan mengurutkan prilaku positif yang ingin dilakukan klien kita kuatkan yang sekiranya menurut mereka itulah cara yang bisa mereka lakukan untuk mengatasi kecemasan mereka, misal kita Tanya apa yang sekiranya dia bisa lakukan sehingga cemasnya itu menurun misal nonton tv maka kuatkan nonton tv tersebut sehingga cemas yang dialaminya itu menurun kemudian yang kedua latihan sosial”80
Selain yang dituturkan oleh Bapak Wirawan, Bro Tata juga
menuturkan:
“Dalam pemberian layanan konseling individu dengan menggunakan pendekatan CBT dalam menangani kecemasan korban penyalahgunaan NAPZA saya biasa menggunakan tehnik assertive kita kuatkan yang sekiranya menurut mereka itulah cara yang bisa mereka lakukan untuk mengatasi kecemasan mereka.”81
Dari hasil wawancara peneliti yang diakukan terhadap kedua
konselor diatas bahwa kedua konselor tersebut menyatakan bahwa tekhnik
intervensi yang biasa digunakan ialah tekhnik intervensi assertive training
dan latihan social.
Dengan menggunakan pendekatan dan tekhnik intervensi yang
sesuai dengan permasalahan kecemasan yang dialami oleh korban
penyalahgunaan NAPZA, maka akan menghasilkan hasil yang sesuai
dengan yang diharapkan oleh konselor dan korban penyalahgunaan
NAPZA yaitu adanya penurunan tingkat kecemasan.
80 Bapak Wirawan, wawancara 16 Januari 2018 81Bro Tata, wawancara 18 Januari 2018
72
Penurunan tingkat kecemasan yang dialami oleh korban
penyalahgunaan NAPZA, merupakan hasil yang positif atas terlaksananya
sebuah proses konseling. Hasil dari pemberian layanan konseling individu
tersebut yang bisa dilihat dari peningkatan konsentrasi konseli.
Peningkatan konsenterasi dari korban penyalahgunaan NAPZA
yang telah menerima layanan konseling indvidu terlihat dari cara mereka
dalam mengikuti sesi kelas. Dalam sesi kelas yang diikutinya korban
penyalahgunaan NAPZA menampakkan konsenterasi dan focus dalam
mengikuti kegiatan tersebut.82
Berdasarkan hal tersebut peneliti melakukan wawancara dengan
korban penyalahgunaan NAPZA yang berisial W. korban penyalahgunaan
NAPZA berinisial W menuturkan bahwa.
“Saya lebih konsenterasi dalam mengikuti sesi kelas setelah menerima layanan konseling individu dari konselor.”83
Selain yang dituturkan oleh konseli berinisial W, korban
penyalahgunaan NAPZA berinisial S juga menuturkan terkait dengan
peningkatan konsenterasi. korban penyalahgunaan NAPZA berinisial S
menuturkan bahwa.
“konsenterasi saya sedikit meningkat setelah saya menerima konseling indivdiu dalam persses konseling yang saya ikuti saya menjadi tenang dan beban pikiran menjadi ringan.”84
82 Observasi Yayasan Lentera Mataram, 28 maret 2018 83 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial W, wawancara 26 maret 2018 84 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial S, wawancara 26 maret 2018
73
Senada dengan yang diturukan oleh korban penyalahgunaan
NAPZA berinisial W dan S terkait dengan peningkatan konsenterasi.
Korban penyalahgunaan NAPZA berinisial D menuturkan.
“setelah saya beberapa kali menerima layanan konseling individu saya menjadi lebih konsenterasi dalam mengikuti sesi kelas daripada sebelumnya.85
Dari kedua korban penyalahgunaan NAPZA yang peneliti
wawancarai. Keduanya menyatakan bahwa adanya penurunan tingkat
kecemasan setelah diberikan layanan konseling individu oleh konselor
Yayasan Lentera Mataram.
Selain dapat dilihat dari konsentrasi konseli yang berubah, hasil
dari konseling individu yang diberikan konselor terhadap kecemasan yang
dialami oleh korban penyalahgunaan NAPZA, juga dapat ketahui dari
bagaimana keadaan detak jantung korban penyalahgunaan NAPZA ketika
bertemu dengan orang yang belum konseli kenal.
Penurunan tingkat kecemasan yang dialami oleh korban
penyalahgunaan NAPZA bisa diketahui dari keadaan detak jantung. Detak
jantung yang tidak lagi berdebar ketika dipertemukan dengan orang yang
baru dikenal merupakan tanda penurunan kecemasan korban
penyalahgunaan NAPZA. Seorang korban penyalahgunaan NAPZA
berinisial D menuturkan bahwa.
“ Setelah saya menerima layanan konseling jantung saya sudah tidak berdebar ketika bertemu dengan orang yang baru saya kenal.86
85Observasi Yayasan Lentera Mataram, 26 maret 2018 86 Ibid
74
Senada seperti yang telah dituturkan oleh korban penyalahgunaan
NAPZA berinisial D diatas, korban penyalahgunaan NAPZA berinisial W
juga menutuarkan.
“Setelah saya mnerima layanan konseling keadaan detak jantung saya sudah tidak seperti sebelum diberikannya layanan konseling individu.87
Serupa seperti yang telah dituturkan oleh korban penyalahgunaan
NAPZA berinisial D dan W. korban penyalahgunaan NAPZA berinisial S
juga menuturkan bahwa.
“setelah saya menerima layanan konseling individu saya menjadi lebih percaya diri dan detak jantung saya tidak berdetak kencang ketika bertemu dengan orang baru.88
Pernyataan dari ketiga korban penyalahgunaan NAPZA tersebut,
menyatakan bahwa adanya penurunan detak jantung ketika bertemu
dengan orang baru. Penurunan detak jantung tersebut menandakan bahwa
adanya penurunan kecemasan yang dialami oleh korban penyalahgunaan
NAPZA. Yang awalnya memiliki kecemasan ketika bertemu dengan orang
yang baru dikenal.
Selain dari detak jantung yang dirasakn oleh korban
penyalahgunaan NAPZA, hasil dari layanan konseling individu terhadap
masalah kecemasan yang dialami oleh korban penyalahgunaan NAPZA di
Yayasan Lentera Mataram bisa dilihat dari emosi marah yang dimiliki oleh
setiap korban penyalahgunaan NAPZA di Yayasan Lentera Mataram.
87 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial W, wawancara 26 maret 2018 88 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial S, wawancara 26 maret 2016
75
Emosi marah yang sudah bisa dikontrol oleh korban
penyalahgunaan NAPZA merupakan tanda penurunan kecemasan yang
dirasakan oleh korban penyalahgunaan NAPZA. Seorang korban
penyalahgunaan NAPZA berinisial S menuturkan kepada peneliti bahwa.
“setelah saya menerima layanan konseling individu saya menjadi lebih bisa mengontrol emosi marah saya.89
Senada dengan yang dituturkan oleh korban penyalahgunaan
NAPZA berinisial S, korban penyalahgunaan NAPZA berinisial D juga
menuturkan.
“saya tidak terlalu mudah marah setelah menerima layanan konseling individu.”90
Korban penyalahgunaan NAPZA berinisial W juga menuturkan hal
serupa bahwa.
“saya sudah tidak mudah marah setelah menerima layanan konseling individu dan saya hanya menganggap teman-teman yang mengganggunya hanya sebagai candaan saja.”91
Pernyataan ketiga korban penyalahgunaan NAPZA atau konseli
tersebut menyatakan bahwa emosi marah yang dimiliki oleh ketiganya
setelah menerima konseling individu sudah bisa dikontrol sehingga hal
tersebut bisa dikategorikan bahwa ada danpak yang baik bagi korban
penyalahgunaan NAPZA tersebut.
Penurunan kecemasan korban penyalahgunaan NAPZA juga bisa
dilihat dari keadaan korban penyalahgunaan NAPZA. Keadaan korban
89 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial S, wawancara 26 maret 2018 90 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial D, wawancara 26 maret 2018 91 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial W, wawancara 26 maret 2018
76
penyalahgunaan NAPZA yang sudah tidak menanpakkan kegelisahannya
selama berada di Yayasan Lentera Mataram.
Berkaitan dengan penurunan tingkat kegelisahan yang dialami
selama diyayasan, seorang korban penyalahgunaan NAPZA berinisial W
menuturkan.
“Saya sudah tidak terlalu sering gelisah.”92
Senada dengan yang diungkapkan oleh korban penyalahgunaan
NAPZA berinisial W. Korban penyalahgunaan NAPZA beinisial S juga
menuturkan bahwa.
“saya setelah menerima layanan konseling saya sudah tidak sering mengalami perasaan gelisah lagi.”93
Kedua pernyataan dari konseli tersebut menyatakan bahwa
keduanya sudah tidak terlalau sering merasakan gelisah. Penurunan tingkat
kecemasan yang dialami oleh korban penyalahgunaan NAPZA tersebut
merupakan manifestasi dari koseling individu yang telah diterima dari
konselor Yayasan Lentera Mataram.
92 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial W, wawancara 26 maret 2018 93 korban penyalahgunaan NAPZA beinisial S, wawancara 26 maret 2018
77
BAB III
PEMBAHASAN
A. Bentuk Kecemasan Korban Penyalahgunaan NAPZA Di Yayasan
Lentera Mataram
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh konselor Yayasan Lentera
Mataram. Konselor Yayasan Lentera Mataram menuturkan bahwa korban
penyalahgunaan NAPZA kerap kali mengalami masalah kecemasan dalam
mengikuti peroses rehabilitasi di Yayasan Lentera Mataram.
Mengenai permasalahan kecemasan yang dialami oleh korban
penyalahgunaan NAPZA. Konselor Yayasan Lentera Mataram telah
mengetahui jika korban penyalahgunaan NAPZA terindikasi mengalami
masalah kecemasan. Konselor Yayasan Lentera Mataram mengetahui hal
tersebut dengan melihat tindakan yang ditanpakkan oleh korban
penyalahgunaan NAPZA ketika mengikuti kegiatan yang ada di Yayasan
Lentera Mataram.
Jika ditinjau dari permasalahan terhadap korban peyalahgunaan
NAPZA di Yayasan Lentera Mataram, konselor sudah seharusnya
mengetahui permaslahan yang dialami oleh korban penyalahgunaan NAPZA,
lebih-lebih mengenai permasalahan kecemasan yang dirasakan oleh korban
penyalahgunaan NAPZA, dikarnakan permasalahan kecemasan yang dialami
oleh korban penyalahgunaan NAPZA jika konselor tidak mengetahuinya dan
memberikan layanan yang bisa menurunkan intensitas kecemasan korban
78
penyalahgunaan NAPZA, maka akan mempengaruhi proses rehabilitasi yang
sedang dijalankannya.
Mengingat korban penyalahgunaan NAPZA kerap kali merasakan
kecemasan, Sis Ros selaku konselor Yayasn Lentera Mataram menuturkan :
“Kita aja yang tidak pernah mengkonsumsi NAPZA pasti memiliki perasaan cemas entah itu cemas dengan keadaan ekonomi keadaan keluarga banyak tugas yang belum selesai nah apalagi mereka yang kita sama-sama ketahui mereka pernah mengkonsumsi NAPZA dan saat ini sedang rehabilitasi pastilah mereka punya perasaan cemas”
Berdasarkan yang telah dituturkan oleh Sis Ros, selaku konselor
adiksi Yayasan Lentera Mataram bahwasanya korban penyalahgunaan
NAPZA pastinya merasakan perasaan cemas. Meskipun mereka sedang
menjalankan program rehabilitasi, karena menurut anggapan Sis Ros tersebut
orang yang tidak pernah mengkonsumsi NAPZA sering merasakan perasaan
cemas apalagi seorang korban penyalahgunaan NAPZA sudah pasti
merasakan perasaan cemas.
Selain dari perkataan yang dituturkan Sis Ros tersebut. Peneliti juga
menemukan bahwa korban penyalahgunaan NAPZA yang sedang menjalani
proses rehabilitasi sering mengalami masalah kecemasan. Peneleiti
mengetahui hal tersebut dari data dokumen yang peneliti temukan dan
peneliti melakukan observasi dalam kegiatan yang dilakukan oleh korban
penyalahgunaan NAPZA di Yayasan Lentera Mataram.
Kecemasan yang dialami oleh korban penyalahgunaan NAPZA
merupakan manifestasi dari perasaan khawatir dan perasaan takut. Sesuai
dengan teori Atkinson yang menyatakan bahwa kecemasan merupakan emosi
79
yang tidak menyenangkan yang ditandai gejala seperti kekhawatiran dan
perasaan takut.
Kecemasan yang dialami oleh korban penyalahgunaan NAPZA akan
mengalami perasaan khawatir dan perasaan takut. Perasaan khawatir dan
perasaan takut yang dilami oleh korban penyalahgunaan NAPZA merupakan
manifestasi dari kecemasan yang dialaminya selama mengikuti program
rehabilitasi di Yayasan Lentera Mataram.
Dari teori tersebut sesuai dengan yang diterjadi dilapangan. Bahwa
korban penyalahgunaan NAPZA berinisial D menyatakan dirinya pernah
mengalami perasaan khawatir ketika pertamakali menjalankan program
rehabilitasi di Yayasan Lentera Mataram. Selain mengalami perasaan
khawatir korban penyalahgunaan NAPZA berinisial D juga sering mengalami
perasaan takut selama berada di lingkungan Yayasan Lentera Mataram.
Kesesuaian teori yang digunakan peneliti dalam penelitian dengan
temuan peneliti dalam penelitian juga peneliti temukan dalam penuturan
korban penyalahgunaan NAPZA yang peneliti wawancarai, yaitu dari korban
penyalahgunaan NAPZA berinisial S dan W bahwa dalam mengikuti program
rehabilitasi di yayasan lentera mataram, mereka sering merasakan perasaan
khawatir dan takut selama mengikuti program rehabilitasi di Yayasan Lentera
Mataram.
Perasaan khawatir dan perasaan takut yang dialami oleh ketiga korban
penyalahgunaan NAPZA tersebut merupakan manifestasi dari perasaan
80
kecemasan yang dialaminya selama mengikuti program rehabilitasi di
Yayasan Lentera Mataram.
Korban penyalahgunaan NAPZA yang merasakan kecemasan di
Yayasan Lentera Mataram menampakkannya dengan berbagai tindakan yang
bisa dilihat secara langsung atupun dari pernyataan korban penyalahgunaan
NAPZA itu sendiri. Dari hal tersebut maka kecemasan yang dialami oleh
korban penyalahgunaan NAPZA dapat digolongkan berdasarkan bentuk-
bentuk kecemasan yang telah dicetuskan oleh Sigmund Freud.
Kecemasan pada dasarnya memiliki tiga bentuk sesuai dengan teori
dari Sigmund Freud yang menyatakan bahwa kecemasan dibagi menjadi tiga
macam yaitu kecemasan realistis, kecemasan neurotic dan kecemasan moral.
1. Kecemasan objektif atau realistis
Dari ketiga macam kecemasan itu yang paling pokok adalah
kecemasan atau ketakutan yang realistis, atau takut akan bahaya-
bahaya di dunia luar. Secara lebih rinci kecemasan obyektif atau
realistis adalah suatu pengalaman perasaan sebagai akibat
pengamatan suatu bahaya dari dunia luar. Bahaya adalah sikap
keadaan dalam lingkungan seseorang yang mengancam untuk
mencelakakannya. Pengalaman bahaya dan timbulnya kecemasan
mungkin dari sifat pembawaan, dalam arti kata bahwa seseorang
mewarisi kecenderungan untuk menjadi takut kalau dia berada di
dekat dengan benda- benda tertentu atau keadaan tertentu dari
lingkungannya.
81
Yayasan Lentera Mataram sebagai lingkungan baru bagi
korban penyalahgunaan NAPZA yang sedang menjalankan
program rehabilitasi. Didalam Yayasan Lentera Mataram selain
sebagai lingkungan baru dan kondisi baru bagi korban
penyalahgunaan NAPZA juga akan bertemu dengan orang-orang
baru, sehingga korban penyalahgunaan NAPZA akan merasakan
suatu perasaan yang mengganggu dirinya seperti perasaan takut.
Yayasan Lentera Mataram sebagai lingkungan baru yang
berpotensi menyebabkan perasaan cemas bagi korban
penyalahgunaan NAPZA. Berkaitan dengan hal tersebut telah
dituturkan oleh seorang konselor Yayasan Lentera Mataram, Bro
Tata menuturkan :
“yang menyebabkan mereka cemas selama mengikuti program rehabilitasi di Yayasan Lentera Mataram ini karena tempat rehabilitasi ini merupakan tempat tinggal baru bagi mereka tempat mereka belajar tempat mereka berusaha merubah kebiasaan buruk mereka mengkonsumsi NAPZA jadi karena lingkungan rehabilitasi berbeda dengan lingkungan asal mereka jadi wajar mereka akan mengalami kecemasan”.
Yayasan Lentera Mataram sebagai lingkungan baru bagi
korban penyalahgunaan NAPZA. Lingkungan baru yang
ditempatinya ini akan menyebaban perasaan-perasaan takut karena
lingungan yang ditempatinya jauh beda dengan lingkungan tempat
tinggalnya yang sekarang yaitu Yayasan Lentera Mataram.
Ketakutan-ketakutan yang dirasakan oleh korban
penyalahgunaan NAPZA yang peneliti temukan seperti perasaan
82
takut jika ditangkap oleh polisi dan takut akan diketahui oleh
masyarakat sekitar tempat tinggalnya.
2. Kecemasan neurotis
Kecemasan neurotic adalah kecemasan-kecemasan kalau
insting tidak dapat dikendalikan dan menyebabkan orang berbuat
sesuatu yang dapat dihukum. Kecemasan ini sebenarnya
mempunyai dasar di dalam realitas, karena dunia sebagaimana
diwakili oleh orang tua dan lain-lain orang yang memegang
kekuasaan itu menghukum anak yang melakukan tindakan
impulsive.
Sigmund Freud membagi kecemasan neurotis menjadi tiga
bagian :94
1) Kecemasan yang timbul karena penyesuaian diri dengan
lingkungan. Kecemasan semacam ini menjadi sifat dari
seseorang yang gelisah, yang selalu mengira bahwa sesuatu
yang hebat akan terjadi.
Perasaan gelisah merupakan suatu hal yang sering
dirasakan oleh korban penyalahgunaan NAPZA selama
mengikuti program rehabilitasi di Yayasan Lentera Mataram.
94 Lailatullatief “macam-macam kecemasan menurut Sigmund Freud” dalam
https://lailaallatief.wordpress.com/2013/01/13/macam-macam-kecemasan-menurut-sigmund-freud/. Diakses tanggal 11 april 2018.
83
Perasaan gelisah yang dialaminya merupakan manifesasi dari
kecemasan yang dialami oleh korban penyalahgunaan
NAPZA. Proses rehabilitasi yang diikuti oleh Korban
Penyalahgunaan NAPZA di Yayayasan Lentera Mataram,
Dalam proses penelitian yang dilakukan peneliti, peneliti
menemukan bahwa korban penyalahgunaan NAPZA yang
sedang menjalankan program rehabilitasi sering merasakan
perasaan gelisah selama berada di Yayasan Lentera Mataram.
2) Bentuk ketakutan yang tegang dan irasional (phobia). Sifat
khusus dari pobia adalah bahwa, intensitif ketakutan melebihi
proporsi yang sebenarnya dari objek yang ditakutkan.
Ketakutan merupakan suatu permasalahan yang sering
dialami oleh korban penyalahgunaan NAPZA di Yayasan
Lentera Mataram. Ketakutan yang dirasakan disebabkan oleh
pemikiran-pemikiran yang irasional, pemikiran irasional
tersebut merupakan suatu permasalahan yang timbul dari
penyalahgunaan NAPZA yang pernah dilakukan.
Korban penyalahgunaan NAPZA yang mengalami hal
tersebut tidak hanya dialami oleh satu korban penyalahgunaan
NAPZA saja akan tetapi sebagian besar dari korban
penyalahgunaan NAPZA di Yayasa Lentera Mataram
mengalami hal tersebut.
84
3) Reaksi gugup atau setengah gugup, reaksi ini munculnya
secara tiba-tiba tanpa adanya provokasi yang tegas.
Korban penyalahgunaan NAPZA yang berada di
lingkungan Yayasan Lentera Mataram yang sedang
menjalankan program rehabilitasi kerap mengalami perasaan
gugup. Perasaan gugup yang dialaminya akan menyebabkan
jantung korban penyalahgunaan NAPZA akan berdetak lebih
kencang dari sebelumnya, korban penyalahgunaan NAPZA
akan mengalami keringat dingin dan gangguan dalam
konsenterasi.
3. Kecemasan moral
Orang yang das Uber Ichnya berkembang baik cenderung
untuk merasa dosa apabila dia melakukan atau bahkan berpikir
untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma
moral. Kecemasan moral ini juga mempunyai dasar dalam realitas.
Karena dimasa yang lampau orang telah mendapatkan hukuman
sebagai akibat dari perbuatan yang melanggar kode moral dan
mungkin akan mendapat hukuman lagi.
Kecemasan moral merupakan konplik antara id dan superego.
Secara dasar merupakan ketakutan akan suara hati individu sendiri.
Ketika individu termotivasi untuk melakukan impuls instingtual
yang berlawanan dengan nilai moral yang termaksud dalam super
ego individu tersebut akan merasa malu atau bersalah. Individu
85
dengan kata hati yang kuat akan mengalami konflik yang lebih
hebat dari pada individu yang mempunyai kondisi toleransi moral
yang lebih longgar. Rasa malu dan perasaan bersalah menyertai
kecemasan moral. Dapat dikatakan bahwa yang menyebabkan
kecemasan adalah kata hati individu itu sendiri.
Korban penyalahgunaan NAPZA yang diteliti peneliti, peneliti
menemukan bahwa yang berkaitan dengan kecemasan moral,
peneliti menemukan bahwa korban penyalahgunaan NAPZA
merasakan suatu ketakutan-ketakutan dari perbuatan
mengkonsumsi NAPZA yang telah dilakukannya, karena telah
melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat dan
melanggar hukum negara.
B. Layanan Konseling Individu Dalam Mengatasi Kecemasan Korban
Penyalahgunaan NAPZA
Layanan konseling individu merupakan peroses layanan dalam
bingkai budaya indonesia dan religius. Arah layanan konseling individu
adalah membantu konseli dalam memahami dirinya, memahami
lingkungannya dan dapat mencari jalan keluar dari permasalahan yang
dialami oleh konseli tersebut.
Dalam teori yang digunakan peneliti dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan teori Hallen yang mengatakan bahwa konseling merupakan
suatu tekhnik dalam pelayanan bimbingan dimana proses pemberian bantuan
86
itu berlangsung melalui wawancara dalam serangkaian pertemuan langsung
dan tatap muka antara guru pembimbing/konselor dengan klien, dengan
tujuan agar klien itu mampu memperoleh pemahaman yang lebih baik
terhadap dirinya, mampu memecahkan masalah yang dihadapinya, dan
mampu mengarahkan dirinya untuk mngembangkan potensi yang dimiliki
kearah perkembangan yang optimal, sehingga ia dapat mencapai kebahagiaan
pribadi dan kemamfaatan sosial.
Layanan konseling individu yang diterapkan di Yayasan Lentera
Mataram bahwasanya diberikan kepada korban penyalahgunaan NAPZA.
Korban penyalahgunaan NAPZA yang masih merasakan kecemasan pada
dirinya, sangat memerlukan layanan konseling individu sebagai bentuk
pemecahan masalah untuk korban penyalahgunaan NAPZA. Agar mereka
lebih memahami lingkungan tempat mereka berada dan untuk mempermudah
dan memperlancar korban penyalahgunaan NAPZA dalam bersosialisasi
berinteraksi, beradaptasi dengan lingkungan maupun teman sejawatnya dan
memahami permasalahan yang dialami beserta mengatasi permasalahan yang
dialaminya dengan cara yang positif.
Dari teori yang peneliti gunakan dalam penelitian ini, peneliti
menemukan bahwa dalam masalah kecemasan yang dialami oleh korban
penyalahgunaan NAPZA, konselor Yayasan Lentera Mataram memberikan
layanan konseling individu dalam mengatasi masalah kecemasan yang
dialami oleh korban penyalahgunaan NAPZA.
87
Dalam peroses layanan konseling individu yang diberikan oleh
konselor Yayasan Lentera Mataram, layanan konseling individu diberikan
secara tatap muka.
Dalam proses pemberian layanan konseling individu yang diberikan
oleh konselor terhadap konseli diperlukan tekhnik-tekhnik dasar yang harus
digunakan konselor dalam pemberian layanan konseling individu agar tujuan
pemberian layanan konseling individu tersebut sesuai dengan tujuan yang
diharapkan oleh konselor dan konseli. Berdasarkan hal tersebut peneliti
menemukan beberapa tekhnik dasar yang digunakan konselor dalam
memberikan layanan konseling individu terhadap korban penyalahgunaan
NAPZA yang mengalami kecemasan. Tekhnik-tekhnik dasar yang digunakan
sesuai dengan teori Sofyan S. Willis diantaranya :
a. perilaku attending
Attending disebut juga sebagai perilaku menghampiri klien
yang mencakup komponen kontak mata, bahasa badan dan bahasa
lisan. Perilaku attending yang digunakan oleh konselor yang
peneliti temukan dalam penelitian yang dilakukan peneliti bahwa
dalam proses konseling yang akan dilakukan konselor Yayasan
Lentera Mataram terhadap korban penyalahgunaan NAPZA,
konselor menggunakan tekhnik attending yang kelihatan dari cara
konselor terhadap konseli ketika akan melaksanakan proses
konseling di ruangan khusus konseling di Yayasan Lentera
Mataram.
88
Tujuan diadakannya tekhnik attending oleh konselor terhadap
korban penyalahgunaan NAPZA agar konselor dapat mengetahui
bagaimana caranya menggunakan kontak mata, bahasa badan dan
bahasa lisan dalam proses konseling,
Tekhnik attending ini diterapkan di Yayasan Lentera
Mataram agar korban penyalahgunaan NAPZA dapat
meningkatkan harga diri korban penyalahgunaan NAPZA,
menciptakan suasana yang aman dan mempermudah ekspresi
perasaan korban penyalahgunaan NAPZA dengan bebas.
b. Empati
Empati ialah kemampuan konselor merasakan apa yang
dirasakan konseli, merasa dan berpikir bersama konseli dan bukan
untuk atau tentang konseli. Empati dilakukan bersamaan dengan
attending. Dengan kata lain, tanpa prilaku attending tidak akan
ada empati.
Adapun macam-macam empati yang diberikan pada korban
penyalahgunaan NAPZA di Yayasan Lentera Mataram yaitu :
1. Empati primer yaitu suatu bentuk empati yang hanya
memahami perasaan, pikiran, keinginan dan pengalaman
korban penyalahgunaan NAPZA. Tujuannya agar korban
penyalahgunaan NAPZA terlibat pembicacaraan dan
terbuka.
89
2. Empati tingkat tinggi yaitu apabila kepahaman konselor
terhadap perasaan, pikiran, keinginan serta pengalaman
korban penyalahgunaan NAPZA lebih mendalam dan
menyentuh korban penyalahgunaan NAPZA karena
konselor ikut dengan perasaan tersebut. Keikutan konselor
tersebut membuat korban penyalahgunaan NAPZA
tersentuh dan terbuka untuk mengemukakan isi yang
terdalam dari lubuk hatinya berupa perasaan, pikiran,
pengalaman, temasuk penderitaanya.
Dalam tekhnik empati yang dilakukan di Yayasan Lentera
Mataram konselor dalam melakukan empati konselor harus mampu
mengosongkan perasaan dan pikiran egoistik, memasuki dunia
dalam korban penyalahgunaan NAPZA, melakuakn empati primer
dan melakukan empati tingkat tinggi.
Tekhnik empati yang digunakan oleh konselor Yayasan
Lentera Mataram bertujuan untuk agar korban penyalahgunaan
NAPZA merasa bahwa dalam peroses konseling yang sedang
diikuti korban penyalahgunaan NAPZA merasa bahwa konselor
mengerti dan merasakan akan apa yang dirasakan oleh korban
penyalahgunaan NAPZA tersebut.
c. Bertanya untuk membuka percakapan
Bertanya untuk membuka percakapan dalam peroses
konseling merupakan keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap
90
konselor. Hal ini karena sulit untuk menduga apa yang dipikirkan
konseli sehingga pertayaan yang digunakan konselor dalam
peroses konseling terhadap konseli bisa mengungkap
permasalahan yang dialami oleh konseli tersebut. Untuk
memudahkan membuka percakapan seorang konselor dilatih
keterampilan bertanya dalam bentuk open-ended yang
memungkinkan munculnya pernyataan-pernyataan baru dari
konseli.
Dengan adanya tekhnik bertanya untuk membuka
percakapan tersebut dapat membantu korban penyalahgunaan
NAPZA untuk dapat mengungkapan permasalahannya dalam
peroses permberian layanan konseling individu.
Begitu pentingnya tekhnik bertanya utnuk membuka
percakapan ini di Yayasan Lentera Mataram sangat diperlukan
untuk mengantarkan korban penyalahgunaan NAPZA kearah
pemeceahan masalah yang positif, karenanya Yayasan Lentera
Mataram sebagai lembaga rehabilitasi yang mengharuskan
mempunyai konselor yang professional.
Sehubungan dengan hal tersebut maka korban
penyalahgunaan NAPZA nantinya akan dikonseling oleh konselor
yang professional untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya.
Dalam penelitian yang dilakukan peneliti bahwa konselor
Yayasan Yayasan Lentera Mataram menuturkan bahwa dalam
91
peroses konseling yang dijalankan mereka menggunakan
pertanyaan dalam bentuk Open-ended sehingga konseli akan
menyatakan pernyataan-pernyataan baru yang akan memudahkan
bagi konselor dalam mengungkap permasalahan yang dialami oleh
korban penyalahgunaan NAPZA.
d. Eksplorasi
Suatu keterampilan untuk menggali perasaan, pengalaman,
dan pikiran korban penyalahgunaan NAPZA. Hal ini penting
karena banyak korban penyalahgunaan NAPZA menyimpan
rahasia batin, menutup diri, atau tidak mamapu mengemukakan
pendapatnya dengan terus terang. Barangkali dia hadir dengan
terpaksa, sehingga enggan mengemukakan perasaan dan
pikirannya.
Tekhnik eksplorasi yang digunakan oleh konselor dalam
mengkonseling korban penyalahgunaan NAPZA sangat diperlukan.
Karena penggalian masalah merupakan hal yang sangat diperlukan
agar factor penyebab korban penyalahgunaan NAPZA tersebut
merasakan kecemasannya bisa diketahui dan kecemasannya bisa
teratasi.
e. Refleksi
Refleksi adalah keterampilan konselor untuk memantulkan
kembali kepada korban penyalahgunaan NAPZA tentang perasaan,
92
pikiran, dan pengalamannya sebagai hasil pengamatan terhadap
prilaku verbal dan nonverbalnya.
Dalam pengamatan yang dilakukan konselor diharuskan
konselor totalitas dalam melaksanakan proses konseling karena
dengan hal tersebut konselor bisa melihat dan menangkap apa yang
dikatakan oleh korban penyalahgunaan NAPZA dengan
menggunakan komunikasi verbal dan non verbalnya. Sehingga
konselor bisa merefleksikannya kepada korban penyalahgunaan
NAPZA. Refleksi ada tiga jenis yaitu : (1) refleksi perasaan. (2)
refleksi pengalaman. (3) refleksi pikiran.
f. Memberi nasihat
Pemberian nasihat sebaiknya diberikan jika konseli
memintanya. Walaupun demikian, konselor tetap harus
mempertimbangkannya, apakah pantas untuk memberi nasihat atau
tidak. Sebab dalam memberi nasihat tetap dijaga agar tujuan
konseling yakni kemandirian konseli harus tetap tercapai.
Keuntungan dari tekhnik pemberian nasihat ini adalah
nasehat tetap dijaga dengan tujuan agar proses konseling yang
dilakukan oleh konselor demi tercapainya kemandirian korban
penyalahgunaan NAPZA.
Dari beberapa tekhnik yang telah peneliti jelaskan diatas
sesuai dengan yang telah diungkapkan oleh konselor Yayasan
93
Lentera mataram. Bro Tata selaku koselor Yayasan Lentera
Mataram menuturkan :
“Tekhnik yang yang digunakan dalam pemberian layanan konseling individu pertama menjalain hubungan yang baik dengan klien agar klien tersebut mau terbuka kemudian baru kita empati attending dan menggunakan tekhnik-tekhnik yang lainnya seperti penggalian masalah memberikan nasehat jika dibutuhkan dan juga perlu kita merefleksikan perasaan klien baik yang kita dengar maupun yang kita lihat dari diri klien tersebut”
Dari penuturan salah satu konselor Yayasan Lentera Mataram
tersebut, telah mewakili penuturan-penuturan konselor Yayasan
Lentera Mataram yang lainnya. Bahwa tekhnik dasar yang
digunakan dalam proses pemberian layanan konseling kepada
korban penyalahgunaan NAPZA diantaranya attending, empati,
open question, eksplorasi, refleksi, memberikan nasihat.
Dalam pelaksanaan layanan konseling individu selain menggunakan
tekhnik dasar konseling. Pemberian layanan konseling individu juga konselor
menggunakan jenis pendekatan yang sesuai dengan permasalahan yang
dialami oleh korban penyalalahgunaan NAPZA.
Permasalahan yang dialami oleh korban penyalahgunaan NAPZA
dalam hal ini maslah kecemasan. Dalam mengkonseling korban
penyalahgunaan NAPZA yang mengalami kecemasan diperlukan pendekatan
yang sesuai dengan masalah kecemasan yang dialami oleh korban
penyalahgunaan NAPZA tersebut. Sehingga kecemasan yang dialami oleh
korban penyalahgunaan NAPZA bisa teratasi.
94
Dalam hal ini peneliti menggunakan teori Wheller dalam Endang
Caturini,dkk yang menyatakan bahwa cognitive behavior terapi (CBT)
membantu individu untuk berkembang dengan meningkatkan keterampilan
dan mekanisme koping menurunkan kecemasan dan meningkatkan hargadiri.
Dari teori yang digunakan peneliti diatas peneliti menemukan bahwa
dalam peroses pemberian layanan konseling individu yang diberikan oleh
konselor Yayasan Lentera Mataram terhadap kecemasan korban
penyalahgunaan NAPZA, konselor Yayasan Lentera Mataram menggunakan
pendekatan cognitive behavior therapy (CBT) dalam mengkonseling korban
penyalahgunaan NAPZA yang mengalami masalah kecemasan. Sesuai
dengan teori yang peneliti gunakan diatas.
Berkaitan dengan hal tersebut salahsatu konselor Yayasan Lentera
Mataram menuturkan :
“mengkonseling korban penyalahgunaan NAPZA yang mengalami kecemasn kita tidak bisa hanya denan konseling individu semata tanpa memperhatikan pendekatan yang kita gunakan jadi dalam memberikan layanan konseling individu terhadap korban penyalahgunaan NAPZA yang mengalami masalah kecemasan kami menggunakan pendekatan CBT karena kami rasa pendekatan tersebut yang pas untuk mengatasi kecemasan yang dialami oleh klien”
Konselor tersebut melanjutkan bahwa didalam pemberian layanan
konseling dengan pendekaan CBT juga menggunakan tekhnik intervensi
yang ada dalam pendekatan CBT tersebut.
Hal ini sesuai dengan yang dituturkan oleh Bapak Wirawan :
“tekhnik intervensi yang biasa digunakan melihat dari permasalahan klien dengan menggunakan assertive training dengan mengurutkan prilaku positif yang ingin dilakukan klien kita kuatkan yang sekiranya menurut mereka itulah cara yang bisa mereka lakukan untuk
95
mengatasi kecemasan mereka, misal kita Tanya apa yang sekiranya dia bisa lakukan sehingga cemasnya itu menurun misal nonton tv maka kuatkan nonton tv tersebut sehingga cemas yang dialaminya itu menurun kemudian yang kedua latihan sosial”
Dengan dilaksanakannya layanan konseling individu oleh konselor
Yayasan Lentera mataram dengan menggunakan tekhnik dan pendekatan
CBT, dapat dihasilkan yaitu :
1. Dalam mengikuti program rehabilitasi Yayasan Lentera Mataram,
Korban penyalahgunaan NAPZA menunjukkan Peningkatan
konsenterasi ketika korban penyalahgunaan NAPZA mengikuti
morning meeting dan sesi kelas.
2. Korban penyalahgunaan NAPZA setelah menerima layanan
konseling individu sudah mampu membiasakan dirinya ketika
bertemu dengan orang yang baru dia kenal sehingga detak
jantungnya tidak berdetak kencang.
3. Setelah menerima layanan konseling individu korban
penyalahgunaan NAPZA sudah mampu mengontrol emosi marah
ketika dirinya merasa terganggu dengan teman sebanyanya.
4. Perasaan gelisah yang dirasakan oleh korban penyalahgunaan
NAPZA mengalami penurunan intensitas setelah menerima
layanan konseling individu di Yayasan Lentera Mataram.
96
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil temuan dan analisis data, peneliti dapat
menyimpulkan bahwa :
1. Kecemasan korban penyalahgunaan NAPZA di Yayasan Lenera
Mataram adalah adanya rasa kekhawatiran, ketakutan, gelisah, kurang
mampu mengontrol emosi marah, jantung berdebar dan kurang
konsenterasi yang termasuk kedalam kecemasan neurotis.
2. Layanan konseling individu dalam mengatasi kecemasan korban
penyalagunaan NAPZA di Yayasan Lentera Mataram adalah :
attending menjalin hubungan dengan baik kepada korban
penyalahgunaan NAPZA, Empati menumbuhkan rasa saling
memahami antara konselor dan korban penyalahgunaan NAPZA,
bertanya untuk membuka percakapan, eksplorasi menggali
permasalahan yang dialami oleh korban penyalahgunaan NAPZA
untuk memudahkan dalam mengatasi permasalahannya, refleksi
memantulkan perasaan yang dirasakan oleh korban penyalahgunaan
NAPZA, member nasihat jika dibutuhkan korban penyalahgunaan
NAPZA. Kemudian merujuk pada pendekatan cognitive behavior
therapy (CBT) dengan menggunakan tekhnik intervensi assertive
training dan latihan social.
97
B. SARAN
Dari hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan yang telah diuraikan
sebelumnya, maka sarah-saran yang penulis ajukan adalah sebagai berikut :
1. Perlu kiranya bagi konselor Yayasan Lentera Mataram dalam
menangani kecemasan korban penyalahgunaan NAPZA dengan
menggunakan layanan konseling individu, seyogyanya
mengembangkan tekhnik-tekhnik intervensi yang ada dalam
pendekatan CBT.
2. Meningkatkan kualitas diri, kemampuan dan keterampilan sudi
kiranya dikembangkan oleh konselor Yayasan Lentera Mataram
dalam memberikan layanan konseling individu terhadap korban
penyalahgunaan NAPZA di Yayasan Lentera Mataram.
3. Kepada korban penyalahgunaan NAPZA di Yayasan Lentera
Mataram, diharapkan untuk mengikuti layanan konseling individu
dengan baik, karena sudah terbukti bahwa layanan konseling individu
sangat bagus dalam menangani kecemasan korban penyalahgunaan
NAPZA.
4. Kepada mahasiswa BKI atau calon konselor seyogyanya ikut
berperan serta dalam upaya mengatasi masalah penyalahgunaan
NAPZA baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan
maupun dalam lingkungan masyarakat.
98
DAFTAR PUSTAKA
Afifudin dan Saebani, Beni Ahmad, “Metode Penelitian Kualitatif” (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2012)
Aini, Sahuratul, Efektivitas Pola PembinaanSosial Dalam Rrangka
Pemberdayaan Klien di Panti Social Karya Wanita (PSKW) Budi Rini Mataram (Skripsi, IAIN Mataram, Mataram, 2008).
Amin, Munir, Samsul, “Bimbingan dan Konseling Islam”, (Jakarta : Amzah,
2015). Badan Narkotika Provinsi Nusa Tenggara Barat ”Bahaya Penyalahgunaan
Narkoba (Penyebab Pencegahan dan Perawatan) Mataram, Tahun 2009. Caturini, Endang,dkk. “pengaruh Cognitiv behavior therafy (CBT) terhadap
perubahan kecemasan, mekanisme koping, harga diri pada pasien gangguan jiwa, dengan skizofrenia di RSJ Surakarta”, jurnal terpadu ilmu kesehatan, volume 3, no 1, Mei 2014.
Darojah, Dzikiyah, “Pendekatan Familly Suport Group Dalam Pemulihan Korban
Penyalahgunaan Napza di Panti Sosial Pamardi Putra “Sehat Mandiri” Yogyakarta”, ( Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008).
Fatmawati, “Layanan Konseling Individu Dalam Menangani Kecemasan
Berpidato Study Pada Siswa MTs Negeri Yogyakarta”, (Skripsi FDK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta 2015).
Gunawan, Imam, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik (Jakarta: Bum
Aksara, 2015), Hendriyanto, Yusuf, “Tentang Pecandu, Penyalah Guna & Korban penyalah
Guna dalam UU Narkotika” dalam http://www.hukumpedia.com/mashendrii/tentang-pecandu-penyalah-guna-korban-penyalah-guna-dalam-uu-narkotika, diakses tanggal 06 desember 2017, pukul 15.00
Lailatullatief “macam-macam kecemasan menurut Sigmund Freud” dalam
https://lailaallatief.wordpress.com/2013/01/13/macam-macam-kecemasan-menurut-sigmund-freud/. Diakses tanggal 11 april 2018.
Lubis, Lumongga, Namora, “Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktik” (Jakarta :Kencana 2013).
Maleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2012) Mcleod, Jhon, “pengantar konseling teori dan study kasus” (Jakarta :Fajar
Interpratama Offset, 2015).
99
Muharrar, Ahmad, “Efektifitas Rehabilitasi Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual di LPA NTB”, (Skripsi,FDIK IAIN Mataram, Matara, 2015).
Nainggolan, Togiaratua, “Hubungan Antara Kepercayaan Diri Dengan
Kecemasan Sosial Padapengguna NAPZA Penelitian Di Balai Kasih Sayang Parmadi Siwi” (jurnal sosiokonsepsia vol 16 No 2 tahun 2011).
Osman, Zulkifli, Akbar, “Kefektivas Cognitive Behavior Therapy (CBT) Untuk
Menurunkan Tingkat Kecemasan Dan Meningkatkan Kualitas Hidup Tahanan/Narapidanan Penyalahgunaan NAPZA Di Rumah Tahanan Kelas 1 Surakarta”, (Tesis,Program Studi Kedokteran Keluarga Pasca Sarjana Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, Surakarta 2008).
Pandina, Intan “ Penyalahgunaan NAPZA Dalam Perspektif Psikologi Forensik”
(dalam https://www .kompasiana.com Penyalahgunaan-NAPZ-Dalam-Perspekti-Psikologi-Forensik) diakses tanggal 06 desember 2017
Piu, Abdillah dan Prasetya, Danu, “KamusLengkap Bahasa Indonesia” ( Surabaya
: Arkola ) Safaria, Triantoro dan Saputra, Eka, Nofrans “Manajemen Emosi Sebuah
Pannduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif Dalam Hidup Anda”, ( Jakarta : PT Bumi Aksara, 2009),
sarea ,Sahrul, “Pengertian Kecemasan dan Tingkat Kecemasan Menurut
Pendapat Ahli” dalam https://www.wawasanpendidikan.com/2014/09/Pengertian-Kecemasan-dan-Tingkat-Kecemasan-Menurut-Pendapat-Ahli.html. diakses tanggal 12 desember 2017
Siregar, Yuslaiani, Elna,dkk, “penerapan Cognitiev behavior therapy (CBT)
terhadap penurunan durasi bermain game pada individu yang mengalami game addiction”, jurnal psikologi, volume 9, No 1, Juni 2013.
Sugiyono “Metode Penelitian Kuantitatif,kualitatif dan R&D”, (Bandung :
Alfabeta,2017), Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfa
Beta, 2012). Sunarno, “Bahaya dan Upaya Pencegahan”, (PT. Bengawan Ilmu). Suryabrata, Sumadi, Psikologi Kepribadian, (Jakarta : Raja Grapindo Persada,
2015), Willis, Sofyan S., “Konseling Individual Teori dan Prktek” ( Bandung : Alfabeta,
2014 ).
100
LAMPIRAN
101
102
103
96
96
INSTRUMEN PENELITIAN
A. Konseling individu
INSTRUMEN UNTUK KONSELOR
1. Apakah konseling individu diberikan oleh konselor kepada konseli ?
2. Apakah layanan konseling individu diberikan secara tatap muka ?
3. Apakah konseling individu diberikan kepada konseli yang mengalami
masalah kecemasan selama mengikuti proses rehabilitasi ?
4. Apakah anda menggunakan pendekatan CBT dalam mengkonseling
korban penyalahgunaan NAPZA yang mengalami kecemasan selama
mengikuti program rehabilitasi ?
5. Bagaimana tekhnik intervensi yang anda gunakan dalam pendekatan
CBT ?
6. Bagaimana tekhnik konseling yang anda gunakan ?
97
97
INSTRUMEN UNTUK KORBAN PENYALAHGUNAAN NAPZA
1. Setelah anda menerima layanan konseling apakah anda merasa
konsentrasi anda meningkat ketika mengikuti kegiatan selama mengikuti
kegiatan di yayasan ?
2. Setelah anda menerima layanan konseling apakah detak jantung anda
tidak berdetak kencang ketika bertemu dengan orang lain ?
3. Setelah anda menerima layanan konseling apakah anda mudah marah
ketika ada yang mengganggu anda ?
4. Setelah anda menerima layanan konseling apakah anda sering gelisah ?
98
98
B. KECEMASAN
INSTRUMEN UNTUK KORBAN PENYALAHGUNAAN NAPZA
1. Apakah anda pernah/sering merasa khawatir selama di yayasan ?
2. Apakah anda pernah /sering merasa takut ?
3. Apakah anda pernah/sering merasa gelisah selama berada di yayasan ?
4. Apakah pernah anda mudah marah ketika ada yang mengganggu anda
?
5. Apakah pernah detak jantung anda berdetak kencang ketika bertemu
dengan orang lain ?
6. Apakah pernah/sering konsentrasi anda terganggu dalam mengikuti
kegiatan di yayasan ?
7. Ketika anda ada masalah apakah ada keinginan anda mengkonsumsi
NAPZ.?
8. Apa yang menyebabkan sehingga anda bisa merasakan hal tersebut ?
INSTRUMEN UNTUK KONSELOR
1. Apakah anda mengetahui konseli tersebut sedang mengalami
kecemasan ?
2. Bagaimana anda mengetahui bahwa konseli tersebut sedang menglami
kecemasan ?
3. Apa yang anda lakukan terhadap konseli yang sedang mengalami
kecemasan tersebut ?
99
99
Data Korban Penyalahgunaan NAPZA
Jati Diri Residen :
Nama : Mr. S
Tempat/Tanggal Lahir :-
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Anak Ke :1 dari 2 saudara
Alamat Rumah : Rembige Utara
Nama : Mr.W
Umur : 17 Tahun
Status : Belum Menikah
Tempat Tanggal Lahir : Mataram 10 Juni 2000
Alamat : Rumak, Kediri, Lombok
Barat
Agama : Islam
Jenis kelamin : Laki-laki
Anak ke : 1 dari 2 saudara
Nama : Mr. D
Umur : 20 Tahun
Status : Belum Menikah
Tempat Tanggal Lahir : Mataram 13 November 1997
Alamat : Jln. Tranggo, Seganteng
Subangan, Kota Mataram
Agama : Islam
Suku bangsa : sasak
Jenis kelamin : Laki-laki
Anak ke : 6 dari 7 saudara
100
100
Yayasan Lentera Mataram Visi Misi Yayasan Lentera Mataram
Ruang Konseling Yayasan Lentera Mataram
Program Rehabilitasi Yayasan Lentera
Mataram
Wawancara Bapak Wirawan
Wawancara Bapak Nazrin
Wawancara Bro Tata