Lay Out Jurnal

download Lay Out Jurnal

of 82

Transcript of Lay Out Jurnal

RedaksiPelindung Dekan Fakultas Hukum UMS Penasihat Kuswardani S.H., M.Hum. Badan Kehormatan Pers Mahasiswa Fakultas Hukum UMS Pemimpin Redaksi Astama Izqi Winata Redaktur Eksekutif Fuad Hasan P. Salman Penyunting Mashita Dewi Arini, Bias Lazuardi Sadeli Kontributor Anggo Art, Cahyo, Indah, Araka, Dito, Panji Alih Bahasa Aulia Indah Purnamasari, S.Pd. Desain Sampul dan Halaman Jafar Sodiq Assegaf *** Penerbit Lembaga Pers Mahasiswa Justissica Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl.Ahmad Yani, Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura e-mail: [email protected]

Pemimpin Umum Jafar Sodiq Assegaf Sekretaris Umum Arif Tri Cahyono Pemimpin Perusahaan Doni Aprian Nugroho

Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

1

Daftar IsiPertimbangan Hakim dalam Menetapkan Dapat Diterimanya Conservatoir Beslag Sebagai Pelaksanaan Eksekusi Riil atas Sengketa Tanah (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Magetan) - Oleh: Ayunning Tyas Nilasari, S.H.

Hal. 3 23Kesadaran Hukum Pemilik Kos dalam Pembayaran Pajak Penghasilan atas Rumah KosKosan (Studi Kasus di Desa Gonilan, Kecamatan Kartasura) - Oleh: Sulistyawati Antariksih, Jafar Sodiq, Selvia Artha Diva

Hal. 24 33Perubahan Sosial Peran Gender di Keraton Surakarta dan Implikasinya terhadap Masyarakat Surakarta - Oleh: Agustin Dwi Ria Mahardika, Retno Eko Mardani, Nurrahman Sukiman

Hal. 34 43Fungsi Kode Etik Profesi bagi Profesi Hukum - Oleh: Kuswardani, S.H., M.Hum.

Hal. 44 57Prinsip Keadilan, Kepastian Hukum, Dan Kemanfaatan dalam Penegakan Hukum Pidana - Oleh: Muchamad Iksan, S.H., M.H.

Hal. 58 80

2

Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

Pertimbangan Hakim dalam Menetapkan Dapat Diterimanya Conservatoir Beslag Sebagai PelaksanaanEksekusi Riil atas Sengketa Tanah(Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Magetan)(Oleh: Ayunning Tyas Nilasari, S.H.)

C

Abstraksi

onfiscation is preparation action to guarantee for implementing a civil sentence. By confiscation, debtor or confiscated people lost their authority to have control over the commodity that is as legal dispute object. Therefore, every action of debtor in alienating or moving of confiscated commodity is illegal.Conservatoir Beslag positioning (confiscation of collateral) has purpose that commodity, while civil cross-examination process, which is as legal dispute object and held by accused, is intact until there is a sentence from District Court of Justice that has permanent legal power, especially related with confiscation, they can do properly. Requirements of collateral confiscation happen are regulated in article 227 HIR.Struggle of litigant is not stop in Conservatoir Beslag (confiscation of collateral) application. Confiscation of collateral is stated as legal and worth by judge in his sentence automatically after a sentence by chairman of District Court have had permanent legal power and pronounced a litigant in winning the suit. Therefore, the next process is application of implementing a sentence (execution).In conducting this study, the researcher uses sociological normative approach which is used to analyze the relation between regulation of legislation and its realization. In collecting data, she uses interview method as primary data source. While the secondary data sources are based on the law principle, books and some documents of the District Court of Magetan which deal with the study.Conservatoir Beslag application and its suit are not always granted by Judge. Judge is free to accept or not toward confiscation of collateral application based on particular judgment. Conservatoir Beslag, which is supplicated in order to guarantee the existence and the wholeness of commodity, is protected while crossexamination process. It is stated by Judge as legal and worth in his command automatically when litigants suit about legal action over immovable property dispute is acceded. Thus, the commodity can be real executed by emptied or wreck the building on that commodity and give over to litigant when a sentence has permanent legal power.

Keyword(s): Judgment of Judge, Conservatoir Beslag, Land DisputeJurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

3

PendahuluanIndonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang menjunjung tinggi hukum, dalam tindakannya harus selalu didasarkan pada hukum atau peraturan peraturan yang memang diciptakan untuk mengatur suatu tatanan di dalam pemerintahan, termasuk juga warga negaranya dalam tindakan harus selalu didasarkan pada hukum atau peraturan peraturan yang memang dicipktakan untuk itu. Segala tingkah laku yang diperbuat warga masyarakat dan aparat pemerintah Indonesia haruslah berpedoman pada hukum dan ketentuan yang berlaku, untuk itu di dalam memperlakukan seluruh warganya pemerintah akan selalu berbuat adil, adil dalam hal ini adalah semua warganya memperoleh hak haknya, seimbang dengan kewajiban yang telah dilaksanakan. Tidak diperkenankan seseorang mengurangi dan menguasai hak hak orang lain tanpa terlebih dahulu melakukan kewajiban tertentu. Sengketa terjadi apabila seseorang menguasai atau mengurangi hak orang lain yang berkaitan dengan mempertahankan hak yang bersangkutan. Dalam hal itu adakalanya para pihak di dalam menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan (perdamaian) akan tetapi tidak jarang dari para pihak yang bersangkutan tersebut menyelesaikan perkaranya ke Pengadilan Negeri untuk diselesaikan. Pihak Pengadilan ini dengan segala pertimbangan yang ada berusaha menjatuhkan putusan yang seadil adilnya atau paling tidak mendekati rasa keadilan itu sendiri. Pada umumnya suatu penyelesaian perkara diawali dengan penggunaan Pengadilan Negeri sebagai salah satu lembaga yang mengupayakan keadilan bagi masyarakat pada tingkat pertama. Membuat putusan yang adil dan memuaskan para pihak tidaklah mudah, hakim harus mempertimbangkan serta memperhatikan segala sesuatu secara matang. Dalam suatu perkara perdata yang diawali dengan suatu gugatan (ada juga yang diawali dengan permohonan) selalu berkaitan dengan barang pada umumnya sehingga dalam mempertimbangkan proses yang dipergunakan hakim cukup lama. Adakalanya selama proses pemeriksaan perkara yang bersangkutan berlangsung, salah satu pihak (pada umumnya penggugat) mengajukan permohonan Conservatoir Beslag (sita jaminan) dengan pertimbangan pertimbangan tertentu, antara lain bahwa barang barang yang menjadi obyek sengketa yang pada saat itu masih dikuasai oleh tergugat agar tidak dipindah tangankan kepada orang lain atau pihak lain. Conservatoir Beslag tidak hanya diterapkan dalam perkara utang piutang saja tetapi dalam praktik, penerapannya diperluas meliputi sengketa tuntutan ganti rugi maupun juga dapat dalam sengketa milik. Permohonan Conservatoir Beslag selalu dikabulkan, hal ini sesuai dengan pendapat Adi 1 Andojo Soetjipto bahwa Hakim selalu mengabulkan Conservatoir Beslag. Kemungkian tersebut memang logis karena hakim ingin mengetahui kebenaran materiil secara tegas akan menunjukkan siapa yang berhak atas barang sengketa dan berapa bagian yang harus diberikan. Conservatoir Beslag dapat dikenakan kepada barang bergerak milik debitur, barang tetap milik debitur dan barang bergerak milik debitur yang ada ditangan orang lain.1

Adi Andojo Soecjipto, Conservatoir Beslag Dan Berbagai Masalahnya, Bina Justitia No.1, November 1974.Hal 4.Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

4

Penggugat akan merasa sangat dirugikan apabila obyek sengketa telah dijual, disamping penggugat akan dirugikan dengan hal-hal yang memungkinkan dilakukan tergugat atas barang barang obyek sengketa. Perbuatan tergugat tersebut juga dapat menjadi penyebab terhambatnya perwujudan keadilan yang diupayakan oleh Hakim Pengadilan Negeri. Menurut pendapat Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia, yang berkaitan dengan Conservatoir Beslag dinyatakan sebagai berikut Penyitaan ini merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata. Barang-barang yang disita untuk kepentingan kreditur (penggugat) dibekukan, ini berarti bahwa barang-barang itu disimpan (diconserveer) untuk jaminan dan tidak boleh dialihkan atau dijual (pasal 197 ayat 9, 199 HIR, 214 Rbg).2 Peletakan Conservatoir Beslag bertujuan agar selama proses pemeriksaan perkara perdata dilakukan barang yang menjadi obyek sengketa dan selama ini dikuasai oleh pihak tergugat tetap utuh, sampai adanya putusan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terutama yang berkaitan dengan penyitaan barang, yang bersangkutan akan tetap dapat melaksanakan sebagai mana mestinya. Perihal syarat syarat untuk dapat diletakkannya sita jaminan telah diatur dalam pasal 227 HIR. Dari ketentuan pasal 227 HIR tersebut mengandung makna bahwa untuk mengajukan sita jaminan haruslah ada dugaan yang beralasan bahwa seseorang yang berhutang selama belum dijatuhkan putusan oleh hakim atau selama putusan belum dijalankan mencari akal untuk menggelapkan atau melarikan barangnya. Apabila penggugat tidak mempunyai bukti kuat bahwa kekhawatiran tergugat akan mengasingkan barang barangnya, maka sita jaminan tidak 3 dilakukan. Oleh karena itu, debitur atau tersita harus didengarkan keterangannya guna mengetahui kebenaran dugaan tersebut. Hal ini sesuai dengan sebagaimana diharuskan dalam pasal 227 ayat (2) HIR, yang menyebutkan bahwa : Maka orang yang berhutang harus dipanggil atas perintah ketua, akan menghadap persidangan itu juga. Dengan demikian, bagi pihak tersita sebelumnya harus sudah dipanggil ke persidangan untuk didengar keterangannya mengenai kekhawatiran dari pihak penggugat atas dugaan pihak tergugat akan mengasingkan barang barang yang dijadikan sebagai obyek sengketa, sebelum sita jaminan dikabulkan. Syarat tersebut ditetapkan sebagai salah satu usaha untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan hakim di dalam persidangan agar tidak dilaksanakan sita jaminan secara serampangan, yang akhirnya hanya merupakan tindakan yang sia sia dan tidak mengenai sasaran (vexatoir). Penyitaan merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya suatu putusan perdata, dengan adanya penyitaan maka debitur atau tersita kehilangan wewenangnya untuk menguasai barang yang dijadikan sebagai obyek sengketa, dengan demikian tindakan tindakan debitur untuk mengasingkan atau mengalihkan barang barang yang disita adalah tidak sah.2 3

Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,Yogyakarta : Liberty .2002.Hal 83. M.A, 15 April 1972 No. 121 K/Sip/1971, Yurisprudensi, Jawa Barat 1969-1972, hal.130Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

5

Dalam praktek peradilan, wewenang hakim untuk memeriksa debitur atau tersita boleh dikatakan tidak pernah digunakan. Pihak hakim bebas untuk menerima atau tidak terhadap permohonan sita jaminan, maka tersita harus sudah dipanggil menghadap ke persidangan untuk didengar keterangannya berkaitan dengan pelaksanaan sita jaminan yang tidak mengenai sasaran, misal: ternyata obyeknya bukan barang milik debitur atau tersita. Bila terjadi hal demikian, maka jelaslah bahwa sita jaminan telah diletakkan secara salah sehingga haruslah diangkat dan tentunya hal ini tidak hanya merugikan pemohon sita jaminan akibat hukum dari penyitaan tersebut. Maka hendaknya hakim harus dapat menetukan perlu tidaknya atas penyitaan barang barang apa saja serta memperhatikan benar kepentingan kedua belah pihak dan bukan kepentingan pemohon atau termohon saja, dan selalu berpegang teguh pada ketentuan ketentuan yang diatur di dalam pasal 227 (2) HIR sebagai dasar hukum untuk dapat diletakkannya sita jaminan. Dalam praktek peradilan, diharapkan sekali bahwa pelaksanaan sita jaminan dapat berjalan dengan relevan dan berpedoman pada dasar hukum formilnya yang diatur dalam HIR. Tentunya peraturan peraturan yang terdapat dalam HIR telah mengandung makna yang menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum. Hakim dalam mengambil keputusan diharapkan pula mempertimbangkan hal hal yang tidak merugikan kedua belah pihak serta bertindak adil. Perjuangan dari penggugat tidak berhenti sampai disitu saja, setelah putusan dari Ketua Pengadilan Negeri sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan gugatan dimenangkan oleh penggugat secara otomatis sita jaminan pun dinyatakan sah dan berharga oleh hakim dalam amar putusannya maka proses selanjutnya adalah permohonan pelaksanaan putusan (eksekusi). Pelaksanaan putusan (eksekusi) memerlukan bantuan dari pihak yang dikalahkan, artinya pihak yang bersangkutan harus dengan sukarela melaksanakan putusan itu. Melaksanakan putusan berarti bersedia memenuhi kewajiban untuk berprestasi yang dibebankan oleh Hakim lewat putusannya. Pihak yang kalah tidak mau atau lalai melaksanakan putusan hakim, pihak yang menang dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara itu baik secara lisan maupun tulisan, supaya putusan dilaksanakan. Untuk itu ketua menyuruh memanggil pihak yang kalah serta memperingatkan supaya ia melaksanakan putusan itu selambat lambatnya dalam tempo delapan hari (pasal 196 H.I.R 207 Rbg). Apabila pihak tergugat tidak hadir memenuhi panggilan peringatan tanpa alasan yang sah, atau setelah masa peringatan dilampaui tetap tidak menjalankan pemenuhan putusan yang dihukumkan kepadanya, sejak saat itu Ketua Pengadilan Negeri secara ex officio mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah kepada panitera atau juru sita untuk menjalankan eksekusi pengosongan atau pembongkaran hal ini sesuai dengan tata cara eksekusi riil yang dirumuskan dalam pasal 1033 Rv. Sasaran hubungan hukum yang hendak dipenuhi sesuai dengan amar atau dictum putusan, yaitu melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil, eksekusi semacam ini disebut

6

Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

eksekusi riil. Salah satu bentuk eksekusi riil ialah pengosongan, bahkan menurut pengamatan 4 dan pengalaman, eksekusi riil yang paling banyak frekuensinya ialah pengosongan . Dalam hal mengenai permohonan Conservatoir Beslag yang diajukan penggugat bersamaan dengan gugatannya tidak selalu dapat dikabulkan oleh hakim, hakim bebas untuk menerima atau tidak terhadap permohonan sita jamianan tersebut berdasarkan pertimbangan pertimbangan tertentu. Jadi apabila gugatan penggugat tentang sengketa milik atas barang tidak bergerak dikabulkan, secara otomatis Conservatoir Beslag yang dimohonkan agar untuk menjamin keutuhan dan keberadaan barang sehingga terpelihara selama proses pemeriksaan berlangsung dinyatakan sah dan berharga oleh hakim dalam amar putusannya. Maka dengan demikian pada saat putusan telah berkekuatan hukum tetap, barang tersebut dapat dieksekusi riil dengan jalan mengosongkan atau membongkar bangunan yang ada di atasnya serta sekaligus menyerahkan kepada penggugat.

4

M.Yahya Harahap, S.H.,Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,Jakarta : Sinar Grafika .2006.Hal 23.Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

7

PembahasanA. Pengertian Pertimbangan Hakim Pertimbangan atau yang sering disebut juga considerans merupakan dasar dari pada putusan. Pertimbangan dalam putusan perdata dibagi dua yaitu pertimbangan tentang duduk perkara atau peristiwanya dan pertimbangan tentang hukumnya. Hakim sebagai tempat pelarian terakhir bagi para pencari keadilan dianggap bijaksana dan tahu akan hukum, bahkan menjadi tempat bertanya segala macam soal bagi rakyat, dari padanya diharapkan pertimbangan sebagai orang yang tinggi pengetahuannya dan martabatnya serta wibawanya. Diharapkan dari hakim sebagai orang yang bijaksana, aktif dalam pemecahan masalah. Hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan hukumnya hanyalah alat, sedangkan yang bersifat 5 menentukan adalah peristiwanya. Untuk dapat menyelesaikan suatu perkara hakim harus mengetahui secara obyektif duduk perkara yang sebenarnya sebagai dasar keputusannya. Peristiwa yang sebenarnya akan diketahui melalui pembuktian, setelah hakim menganggap terbukti peristiwa yang menjadi sengketa maka hakim harus menentukan peraturan hukum apakah yang menguasai sengketa antara kedua belah pihak. Hakim harus menemukan hukumnya dan harus mengkwalisir 6 peristiwa yang telah dianggapnya terbukti. Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili. Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggung-jawaban hakim dari pada putusannya terhadap masyarakat, sehingga oleh karenanya putusan mempunyai nilai obyektif. Hakim dianggap tahu akan hukumnya, soal menemukan hukumnya adalah urusan hakim dan bukan urusannya kedua belah pihak. Oleh karena itu hakim dalam mempertimbangkan putusannya yang wajib karena jabatnnya melengkapi alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak. Alasan alasan atau keterangan keterangan yang diperoleh dari para pihak yang bersengketa juga digunakan hakim sebagai dasar pertimbangan dalam menetapkan suatu hal yang dimohonkan oleh salah satu pihak, misalnya penggugat mengajukan permohonan sita jaminan dalam gugatannya. Menurut kamus inggis Oxford Dictionary Of Law pertimbangan hakim adalah Judgment: A decision made by a court in .respect of the ma~ter bef~re it. Judgments may be interim (interlocutory), deciding a particular Issue pnor to the trial of the case; or final, finally disposing of the case. They may be in personam, imposing a personal liability

5 6

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata,Edisi ketiga, Yogyakarta: Liberty.1988. hal.158 Ibid,hal.159Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

8

on a party (e.g. to pay damages); or in rem, determining some issue of right, status, or property binding people generally.7 Berdasarkan pengertian pertimbangan hakim dalam Oxford Dictionary Of Law dapat diartikan bahwa pertimbangan hakim adalah keputusan yang dibuat di ruang sidang di pengadilan untuk menghormati hakim yang mungkin memberikan keterangan-keterangan mempertimbangkan bagian-bagian isu untuk mencoba meneliti kasus, finalnya memberikan keputusan kasus. Mungkin memberikan keterangan personal untuk membayar bagian dari kerusakan dalam hal ini mempertimbangkan isu, hak, status atau sesuai yang dipunyai orang itu. Atau dapat juga diartikan pertimbangan hakim adalah sebagai proses dalam penjatuhan putusan dengan mengkonfrontir/menganulir fakta dan peristiwa hukum, berdasarkan hukum formil dan materiil didukung dengan argumentasi rasional dan keyakinan hakim sehingga menjadi alasan yang kuat dalam diktumnya.

B. Pengertian Conservatoir Beslag ( Sita Jaminan ) Pengertian Sita Jaminan diatur dalam ketentuan perundang-undangan dalam pasal 227 ayat (1) HIR yang berbunyi sebagai berikut : Jika ada persangkaan yang beralasan, bahwa seseorang yang berutang selagi belum dijatuhkan keputusan Hakim atasnya atau selagi putusan yang mengalahkannya belum dapat dijalankan mencari akal akan menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tidak tetap maupun yang tetap dengan maksud akan menjauhkan barang itu dari penagih hutang, maka atas surat permintaan dari orang yang berkepentingan Ketua Pengadilan Negeri dapat memberi perintah supaya disita barang itu. Untuk menjaga hak orang yang memasukkan permintaan itu, dan kepada peminta harusdiberitahukan akan menghadap persidangan Pengadilan Negeri yang pertama sesudah itu untuk menunjukkan dan menguatkan gugatannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 227 ayat (1) HIR ini banyak dari para sarjana bermaksud memahami makna dari sita jaminan yang sesuai dengan Undang-Undang. Adapun pengertian Sita Jaminan yang dikemukakan oleh para sarjana, antara lain sebagai berikut : 1. Prof. Sudikno Mertokusumo, SH, menyatakan bahwa : Sita Conservatoir ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang debitur yang disita guna memenuhi tuntutan penggugat.8 Retnowulan Sutantio, S.H. dan Iskandar Oeripkartawinata, S.H.

2.

7 8

Elizabeth A.Martin, Oxford Dictionary Of Law, New York: Oxford University Pers .2002.,hal.271 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit. Hal.65Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

9

Sita jaminan mengandung arti bahwa untuk menjamin pelasanaan suatu putusan di kemudian hari, barang-barang milik tergugat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak selama proses berlangsung, terlebih dahulu disita atau dengan lain perkataan bahwa barang barang tersebut lalu tidak dapat dialikan, diperjual belikan, atau dengan jalan lain dipindah tangankan kepada orang lain. 9 3. M. Yahya Harahap, S.H. M. Yahya Harahap memberikan pengertian sita jaminan dengan mengambil makna yang terkandung dalam lembaga sita jaminan, adapun pengertian dari sita jaminan tersebut adalah sebagai berikut : a. Sita sebagai tindakan hukum eksepsional Adalah sita jaminan yang merupakan tindakan hukum yang diambil pengadilan, dimana mendahului pemeriksaan pokok perkara atau mendahului putusan. Letak eksepsional tersebut tersirat pada ketentuan pasal 227 HIR, yakni sebelum putusan dijatuhkan kepada tergugat atau sebelum putusan yang menghukumnya belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, tergugat telah dihukum dan dinyatakan bersalah dengan jalan menyita harta kekayaan. b. Sita sebagai tindakan perampasan Hakekatnya sita jaminan merupakan perintah perampasan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat.

Berdasarkan uraian diatas, mengambil contoh sita sebagai tindakan hukum eksepsional yang sering terjadi adalah apabila terjadi gugatan di Pengadilan Negeri, penggugat memohon kepada 10 Ketua Pengadilan Negeri untuk diadakan sita jaminan terhadap barang-barang milik tergugat. Jika permohonan tersebut dikabulkan, maka seolah-olah tergugat telah dinyatakan bersalah padahal putusan belum dijatuhkan. Dengan sendirinya hal ini akan menimbulkan berbagai dampak yang harus dipikul oleh tergugat, antara lain dari segi kejiwaan dimana akan menempatkan tergugat dalam suasana dan posisi keresahan dan kehilangan harga diri, selain itu kepercayaan masyarakat kepada tergugat akan semakin berkurang. Berdasarkan atas sita sebagai tindakan perampasan atas perintah Hakim, makna kata perampasan itu sendiri jangan diartikan secara sempit dan bersifat mutlak. Apabila hal tersebut diartikan secara sempit dan mutlak, akan menimbulkan penyalahgunaan lembaga Conservatoir Beslag ( lembaga sita jaminan ). Arti dari perampasan tersebut diatas merupakan sita jaminan yang semata-mata hanya sebagi jaminan yang artinya untuk menjamain gugatan penggugat, agar gugatan itu tidak hampa, selain itu juga hak milik atas benda sitaan tetap milik tergugat dalam artian meskipun barang tersebut tetap disita atas perintah hakim, hak milik atas barang tersebut tetap berada di penguasaan benda sitaan tetap dipegang tergugat.

9

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek. Bandung : Alumni. 1997. Hal. 91 10 M. Yahya Harahap, Permasalahan dan penerapan conservatoir beslag, Jakarta: Sinar Grafika.1987. Hal 57

10

Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

Bentuk tata cara pengajuan permohonan sita jaminan yang diajukan dalam surat gugatan seperti inilah yang sering atau lazim dijumpai, dimana penggugat mengajukan permohonan sita jaminan atau Conservatoir Beslag secara tertulis dalam surat gugatan, sekaligus bersamaan dengan pengajuan gugatan pokok. Pengajuan permohonan sita jaminan dalam bentuk ini tidak dipisahkan dengan dalil gugat atau gugatan pokok keduanya bersatu dalam surat gugatan sekaligus. Mengingat fungsinya untuk menjamin hak, maka permohonan sita jamina atau conservatoir selalu berkaitan dengan pokok perkara, sehingga tidak mungkin suatu permohonan sita jaminan merupakan tuntutan hak yang berdiri sendiri. Hanya dalam hal ini ada beberapa kemungkinan sita jaminan diajukan bersama-sama dengan pokok perkara atau dijaukan terpisah dari pokok perkara. Lazimnya permohonan siat jaminan itu diajukan sebelum dijatuhkan putusan dan kebanyakan disatukan dalam gugatan. Tetapi tidak jarang terjadi bahwa selagi perkaranya diperiksa oleh Pengadilan Negeri ternyata ada usaha-usaha dari tergugat untuk menjual barangnya. Adapun pihak pihak yang terlibat dalam perkara peletakan sita jaminan antara lain sebagai berikut: 1. Pemohon Pemohon adalah pihak yang merasa kepentingannya dirugikan oleh pihak termohon dan memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengadakan penyitaan atas benda yang disengketakan guna menghindari pengambil alihan hak atas benda tersebut sebelum ada putusan dari pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam perkara sita jaminan, pemohon meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk diletakkan sita jaminan atas barang-barang termohon baik barang bergerak mapun tidak bergerak (tetap) karena dikhawatirkan termohon akan mengalihkan, menjual dan memindah tangankan barangbarang tersebut kepada orang lain. Pengajuan permintaan sita jaminan ini dilakukan oleh pemohon dalam bentuk surat permohonan. Termohon / tersita Termohon/tersita adalah pihak yang dimohon menyerahkan barang yang disengketakan dan dikenai beban penyitaan. Hal ini dilakukan atas permintaan dari pemohon, yang bertujuan guna menjamin pelaksanaan putusan dikemudian hari. 3. Hakim Hakim adalah pihak yang dapat menetapkan dan mengabulkan permohonan sita jaminan. Dalam hal penyitaan, hakim berwenang menyita barang terperkara atau harta milik termohon berdasarkan pasal 227 HIR jo pasal 197 HIR. Dari ketentuan pasal tersebut, hakim bebas untuk mengabulkan atau menolak permohonan sita jaminan. Dalam hal ini, hakim dapat memerintahkan kepada Panitera untuk melaksanakan sita jaminan. Alasan hakim mengabulkan permohonan sita jaminan adalah permohonan sita jaminan diajukan dengan berdasarkan alasan-alasan yang logis disertai bukti-bukti yang kuat yang mendukung untuk dilaksanakanya suatu penyitaan. 4. Panitera/JurusitaJurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

2.

11

Panitera/Jurusita adalah pihak yang langsung terjun kelapangan guna melaksanakan penyitaan terhadap barang-barang termohon/ tersita. Panitera/Jurusita dapat melaksanakan penyitaan terlebih dahulu harus mendapat perintah atau surat penetapan penyitaan dari hakim. Kewenangan panitera dalam melakukan penyitaan secara analogi diatur dalam ketentuan pasal 197 ayat 2 dan ayat 3 HIR, yang berbunyi sebagai berikut: Ayat 2 : Ayat 3 : Penyitaan dijalankan oleh panitera pengadilan negri Apabila panitera berhalangan karena pekerjaan jabatanya atau oleh sebab lain,maka ia digantikan oleh seorang yang cakap atau yang dapat dipercaya, yang untuk itu ditunjuk oleh ketua atau atas permohonan panitera oleh kepala daerah dalam hal penunjukan yang menurut tersebut tadi ketu berkuasa pula, menurut keadaan bilamana perlu diimbanginya. Untuk menghemat biaya berhubung dengan jauhnya tempat penyitaan itu harus dilakukan.

Apabila panitera berhalangan, maka ketua akan menunjuk orang lain sebagai penggantinya ( dalam praktek biasanya pegawai pengadilan sendiri) yang cakap dan dapat menyimpan rahasia jabatan dan telah sebagai wakil dari juru sita, yang menunjukanya tanpa harus melalui surat perintah yang telah ada oleh hakim yang berwenang atau yang bersangkutan. Panitera pengadilan negeri dalam melaksanakan sita jamian dibantu oleh 2 orang saksi, dan untuk sahnya seorang saksi dalam hal itu, maka harus memenuhi syarat-syarat: a. b. c. d. Sudah dewasa atau cukup umur Cakap dalam bertindak Berkelakuan baik Dapat dipercaya dan dapat menyimpan rahasia jabatan

C. Pengertian Eksekusi Riil Pelaksanaa putusan pengadilan yang menghukum seseorang untuk mengosongkan benda tetap merupakan penghukuman yang berbentuk nyata, eksekusi ini sering disebut Eksekusi Riil yaitu merupakan pelaksanaan prestasi yang dibebankan kepada debitur oleh putusan hakim secara langsung. Eksekusi riil ini merupakan pelaksanaan putusan yang menuju kepada hasil yang sama 11 seperti apabila dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang bersangkutan. Penghukuman yang berbentuk eksekusi riil misalnya yang berupa menyerahkan sesuatu barang, mengosongkan sebidang tanah atau rumah, melakukan suatu perbuatan tertentu, dan menghentikan suatu perbuatan atau keadaan. Subekti membatasi pengertian eksekusi riil yaitu pada eksekusi atau 12 pelaksanaaan putusan terhadap dictum putusan yang tidak berupa pembayaran sejumlah uang. Sasaran hubungan hukum yang hendak dipenuhi sesuai dengan amar atau dictum putusan, yaitu melaksanakan suatu tindakan nyata atau tindakan riil eksekusi semacam ini disebut11 12

Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal.210. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bandung: Binacipta.1977. hal.129Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

12

Eksekusi Riil. Eksekusi riil tidak diatur secara terinci dalam undang-undang, salah satu alasan kenapa tidak diatur secara terinci karena pada dasarnya secara teoritis cara dan proses eksekusi riil sangat mudah dan sederhana tidak diperlukan prosedur dan formalitas yang rumit . Menjalankan eksekusi riil merupakan tindakan nyata dan langsung melaksanakan apa yang dihukumkan dalam amar putusan. Misalnya amarnya menghukum tergugat mengosongkan tanah terperkara, pelaksanaannya langsung secara nyata mengeluarkan tergugat dari tanah dan pada saat yang bersamaan menyerahkan penguasaan tanah yang dikosongkan kepada penggugat ( pihak yang menang perkara ). Pada eksekusi riil ketua pengadilan negeri cukup mengeluarkan surat penetapan yang memerintahkan eksekusi. Dengan penetapan itu, panitera atau juru sita pergi ke lapangan melaksanakan penyerahan atau pembongkaran secara nyata. Dengan penyerahan atau pembongkaran, eksekusi sudah sempurna dan dianggap selesai. Tidak satu pasal pun dalam HIR atau RBG yang khusus membicarakan eksekusi riil. Jika dibandingkan dengan hukum acara perdata yang berlaku dulu bagi golongan Eropa, yakni Reglement of de Rechtsvordering dijumpai pasal yang mengatur eksekusi riil. Dirumuskan dalam pasal 1033 Rv, yang bunyinya dapat disadur: Kalau putusan hakim menghukum (memerintahkan pengosongan barang yang tidak bergerak, dan putusan itu tidak dijalankan (secara sukarela) oleh pihak yang kalah (tergugat), Ketua Pengadilan mengeluarkan surat perintah kepada juru sita untuk melaksanakan pengosongan atas barang tersebut. Pengosongan itu meliputi diri orang yang dihukum (dikalahkan), keluarganya serta seluruh barang-barangnya. Dan pelaksanaan pengosongan dapat dilakukan dengan bantuan kekuatan umum (polisi dan jika perlu bantuan militer). HIR dan RBg mengenal eksekusi riil semacam ini dalam penjualan lelang yaitu dalam pasal 200 ayat (11) HIR atau Pasal 218 ayat (2) RBg yang dalam pasal-pasal tersebut terdapat suatu asas hukum : 1. Penjualan lelang atas barang yang dieksekusi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan pengosongan barang yang dilelang; 2. Oleh karena penjualan lelang eksekusi merupakan kesatuan yang tidak terpisah dengan pengosongan barang yang dilelang, hukum memberi wewenang kepada pengadilan (Ketua Pengadilan Negeri) untuk menjalankan pelaksanaan pengosongan barang yang dilelang untuk diserahkan kepada pembeli lelang apabila pihak yang kena lelang (terlelang) tidak mau mengosongkannya secara sukarela. Kalau diperhatikan penjualan lelang yang diatur dalam pasal 200 ayat (11) HIR atau pasal 218 ayat (2) RBg dengan cara eksekusi riil yang diatur dalam pasal 1033 Rv hampir tidak ada perbedaan. Rincian tata cara eksekusi riil yang mengikuti penjualan lelang yang diatur pada pasal 200 ayat (11) HIR atau pasal 218 ayat (2) RBg sama persis dengan ketentuan pasal 1033 Rv. Tata cara yang diatur dalam pasal pasal dimaksud sudah dianggap sebagai aturan formil menjalankan eksekusi riil tentang pengosongan, pembongkaran, maupun melakukan atau tidak melakukan sesuatu.Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

13

Pada umumnya eksekusi riil adalah upaya hukum yang mengikuti persengketaan hak milik atau persengketaan hubungan hukum yang didasarkan atas perjanjian jual beli, sewa menyewa, atau perjanjian melaksanakan suatu perbuatan. Eksekusi riil hanya mungkin terjadi dan diterapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, bersifat dijalankan lebih dulu, dan berbentuk akta perdamaian di sidang pengadilan. D. Fungsi Conservatoir Beslag Fungsi utama Conservatoir Beslag adalah untuk menjamin hak penggugat sebagai pemohon dilakukannya Conservatoir Beslag, hak hak tersebut antara lain : Terlindunginya kepentingan penggugat dari itikad buruk tergugat yang ingin menggelapkan atau mengasingkan obyek yang disengketakan selama proses persidangan berlangsung, sehingga pada saat putusan berkekuatan hukum tetap gugatan tidak hampa (illusionir). 2. Dengan adanya penyitaan melalui perintah pengadilan, secara hukum harta kekayaan tergugat berada dan ditempatkan di bawah penjagaan dan pengawasan pengadilan, sampai ada perintah pengangkatan atau pencabutan sita. 3. Memberi jaminan kepastian bagi penggugat, obyek eksekusi yang sudah pasti apabila putusan berkekuatan hukum tetap. 4. Terjamin perlindungan yang kuat bagi penggugat atas terpenuhinya pelaksanaan putusan pengadilan pada saat eksekusi dijalankan. E. Pelaksanaan Conservatoir Beslag Perihal syarat syarat untuk dapat dilaksanakan sita jaminan diatur dalam pasal 227 ayat (2) HIR, yang mengatakan bahwa : Maka orang yang berhutang harus dipanggil atas perintah Ketua, akan menghadap persidangan itu juga. Dari ketentuan pasal 227 ayat (2) HIR tersebut terkandung maksud bahwa dalam hal ada gugatan yang dalam diktumnya memohon sita jaminan atau dalam hal ada permohonan sita jaminan secara terpisah dari pokok perkara, maka khusus terhadap permohonan sita jaminan tersebut hakim harus mengadakan pemerikasaan dalam sidang yang dihadiri oleh pihak tergugat/tersita dan penggugat untuk segera mengetahui ada atau tidaknya syarat-syarat yang dibenarkan menurut hukum, untuk dapat dikabulkanya suatu permohonan sita jaminan. Syaratsyarat yang dibenarkan menurut hukum untuk dapat dikabulkanya suatu permohonan sita jaminan, yaitu harus ada persangkaan yang beralasan bahwa si tergugat/tersita mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang miliknya dengan maksud akan menjauhkan dari penagih hutang yang dalam hal ini adalah penggugat, sebelum dijatuhkan putusan hakim atasnya atau selagi putusan yang mengalahkannya belum dapat dijalankan. Apabila didalam pemeriksaan atau persidangan terbukti bahwa tergugat/tersita berusaha mengalihkan atau melarikan barang miliknya, dengan maksud menjauhkan dari penagih hutang (penggugat) maka permohonan sita jaminan dikabulkan. 1.

14

Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

Latar belakang adanya pasal 227 ayat (2) HIR tersebut adalah menghindari penyalah gunaan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pemohon yang menyebabkan terjadinya penyitaan yang tidak sesuai dengan fungsi dan tujuan sita jaminan. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 1975 dalam butir 1-c menetukan bahwa agar dalam surat permohonan sita jaminan dan surat ketetapan yang mengabulkan permohonan sita jaminan tersebut harus disebutkan alas an-alasan apa yang menyebabkan sita jaminan dimohonkan dan dikabulkan, yang berarti bahwa sebelum dikeluarkan surat ketetapan yang mengabulkan permohonan sita jaminan harus diadakan penelitian terlebih dahulu tentang ada tidaknya alasan yang dikemukakan pemohon. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh usaha preventif agar hakim tidak begitu mudah mengabulkan adanya tuntutan sita jaminan. Termohon harus dipanggil mengingat bahwa hakim memerlukan keterangan dari pihak termohon tentang tindakan dan kedudukannya terhadap barang yang akan dibebani sita jaminan. Mengenai hal ini, Sudikno Mertokusumo memberikan alasan bahwa, syarat adanya dugaan ini tidak hanya sekedar dicantumkan begitu saja, akan tetapi merupakan suatu usaha untuk mencegah penyalahgunaan agar tidak diadakan penyitaan secara serampangan, yang akhirnya hanya merupakan tindakan yang sia-sia saja yang tidak mengenai sasaran. Syarat adanya dugaan/persangkaan yang beralasan ini tercantum dalam pasal 227 ayat (1) HIR dan memang ada keterkaitan antara pasal tersebut dengan ayat kedua. Dengan diketahui ada tidaknya alas an yang dikemukakan oleh pemohon, maka dapat ditentukan diterima atau tidaknya suatu permohonan sita jaminan. Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 15 April 1972 Nomor 1121 K/Sip/1971, apabila pemohon tidak mempunyai bukti yang kuat tentang adanya kekhawatiran bahwa termohon akan mengasingkan barang-barangnya maka permohonan sita jaminan tidak akan diterima. Sita jaminan baru akan dilaksanakan setelah permohonan sita jaminan diajukan dengan berdasarkan alasan-alasan, alasan mana yang kemudian diterima oleh hakim (ketua sidang), selanjutnya diadakan pelaksanaan penyitaan terhadap barang-barang milik tergugat seperti yang dimaksud dalam surat permohonan, oleh panitera atau penggantinya, yaitu sebagai berikut : 1. 2. 3. Panitera pengadilan negeri/penggantinya terlebih dahulu harus mendapatkan perintah dan surat penetapan dari hakim, yaitu berupa perintah untuk melaksanakan penyitaan. Kemudian panitera atau penggantinya bersama dengan camat atau kepala desa disertai saksi menuju ke tempat dimana barang yang hendak diletakkan sita tersebut berada. Dengan menunjukkan surat perintah, dengan disertai camat atau kepala desa, bahkan kalau perlu turut hadir pula dari Polri, Koramil dan Muspika setempat maka panitera/penggantinya memberitahukan akan maksud kedatangannya kepada termohon (tersita). Dalam melaksanakan penyitaan, panitera/penggantinya dengan dibantu oleh 2 orang saksi, dengan mencantumkan nama, pekerjaan, tempat tinggal saksi dalam berita acara penyitaan yang kemudian ditandatangani oleh kedua belah pihak. Setelah pelaksanaan penyitaan selesai dilakukan, dibuatkanlah berita acara penyitaan oleh panitera atau penggantinya. Menyatakan sita sah dan berharga.Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

4.

5. 6.

15

F. Hubungan Conservatoir Beslag dengan Eksekusi Riil Penggugat sangat berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan. Oleh karena itu ia berkepentingan pula bahwa sekiranya gugatannya dikabulkan atau ia dimenangkan, terjamin haknya atau dapat dijamin bahwa putusannya dapat dilaksanakan. Sebab ada kemungkinan bahwa pihak lawan atau tergugat selama sidang berjalan mengalihkan harta kekayaannya kepada orang lain, sehingga apabila kemudian gugatan pengggugat dikabulkan oleh pengadilan, putusan pengadilan tersebut tidak dapat dilaksanakan disebabkan tergugat tidak mempunyai harta kekayaan lagi atau obyek yang disengketakan tidak ada lagi. Untuk kepentingan penggugat agar terjamin haknya sekiranya gugatan dikabulkan nanti, undang-undang menyediakan upaya untuk menjamin hak tersebut, yaitu dengan penyitaan. Penyitaan merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya suatu putusan perdata, dengan adanya penyitaan maka debitur atau tersita kehilangan wewenangnya untuk menguasai barang yang dijadikan sebagai obyek sengketa, dengan demikian tindakan tindakan debitur untuk mengasingkan atau mengalihkan barang barang yang disita adalah tidak sah. Peletakan Conservatoir Beslag yang bertujuan agar selama proses pemeriksaan perkara perdata dilakukan barang yang menjadi obyek sengketa dan selama ini dikuasai oleh pihak tergugat tetap utuh, sampai adanya putusan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terutama yang berkaitan dengan penyitaan barang, yang bersangkutan akan tetap dapat melaksanakan sebagai mana mestinya. Dalam hal ini apabila gugatan penggugat tentang sengketa milik atas barang tidak bergerak dikabulkan, secara otomatis Conservatoir Beslag yang dimohonkan agar untuk menjamin keutuhan dan keberadaan barang sehingga terpelihara selama proses pemeriksaan berlangsung dinyatakan sah dan berharga oleh hakim dalam amar putusannya. Dengan adanya Conservatoir Beslag tersebut, barang yang nantinya akan dieksekusi riil masih tetap ada dan jelas keberadaannya dapat diartikan obyek eksekusi sudah pasti. Pada saat permohonan sita diajukan, penggugat harus menjelaskan dan menunjukkan identitas barang yang hendak disita. Menjelaskan letak, jenis, ukuran dan batas-batasnya. Atas permohonan itu, pengadilan melalui juru sita memeriksa dan meneliti kebenaran identitas barang pada saat penyitaan dilakukan. Bertitik tolak dari permohonan dan pelaksanaan sita, sejak semula sudah diketahui dan pasti obyek barang yang disita. Lebih lanjut, hal ini langsung memberi kepastian atas obyek eksekusi apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap. Kemenangan penggugat secara langsung dijamin dengan pasti oleh barang sitaan. Tidak dibutuhkan lagi waktu untuk mencari dan mengetahui dimana harta kekayaan tergugat berada. Barang sitaan langsung mempunyai makna dan nilai materi atas kemenangan penggugat, karena didukung oleh harta kekayaan tergugat yang sudah ditempatkan di bawah penjagaan dan pengawasan pengadilan terhitung sejak sita diletakkan. Kepastian obyek eksekusi atas barang sitaan semakin sempurna sesuai dengan penegasan MA yang menyatakan, kalau putusan telah berkekuatan hukum tetap maka barang yang disita

16

Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

demi hukum langsung menjadi sita eksekusi. Dengan demikian barang yang disita dapat langsung diserahkan kepada pihak penggugat, jika perkara yang terjadi mengenai sengketa milik. Pengadilan (Hakim) dengan putusannya menetapkan hubungan-hubungan hukum yang harus berlaku antara kedua belah pihak yang bersengketa. Apabila sudah diperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka hubungan hukum tersebut telah ditetapkan untuk selama-lamanya dan oleh karenanya sudah tidak dapat diubah lagi. Pembuat undang-undang menghendaki bahwa putusan pengadilan yang sudah tidak dapat diubah lagi itu, agar ditaati atau dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa. Tujuan para pihak yang bersengketa menyerahkan perkaranya kepada pengadilan adalah tidak hanya untuk menyelesaikan perkara mereka secara tuntas dengan putusan yang adil saja, tetapi juga bagaimana keadilan yang didapatkan tersebut benar benar dapat diwujudkan secara nyata, tidak hanya menang di atas kertas. Putusan tidak ada gunanya jika tidak dapat dilaksanakan. Penggugat akan merasa sangat dirugikan apabila obyek sengketa telah dijual, disamping penggugat akan dirugikan dengan hal-hal yang memungkinkan dilakukan tergugat atas barangbarang obyek sengketa. Perbuatan tergugat tersebut juga dapat menjadi penyebab terhambat dilaksanakannya suatu eksekusi. Dalam eksekusi riil jika barang yang hendak dieksekusi tidak ada lagi, baik karena hancur atau berpindah secara sah dengan alas hak yang sah tidak mungkin eksekusi riil dapat dijalankan. Menurut Yahya Harahap pengertian mengenai harta kekayaan tereksekusi tidak ada, harus ditafsirkan secara luas. Tidak boleh ditafsirkan secara sempit, oleh karena itu yang termasuk dalam jangkauan pengertian mengenai harta tereksekusi tidak ada lagi, yaitu secara mutlak harta kekayaan tereksekusi tidak ada, dalam artian harta kekayaannya sudah habis bisa disebabkan karena telah habis terjual sebelum eksekusi dijalankan atau oleh karena bencana alam; penafsiran kedua tentang pengertian tidak adanya harta kekayaan tereksekusi yaitu ketidakmampuan pemohon eksekusi menunjukkan dimana dan apa barang yang hendak dieksekusi; dan penafsiran 14 yang ketiga yaitu juru sita tidak menemukan secara jelas barang yang ditunjuk. Penggugat yang mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri tentunya bermaksud memulihkan kembali hak perdatanya yang telah dirugikan oleh tergugat. Oleh karena itu tidak hanya mengharapkan agar segala tuntutanya dapat dikabulkan, akan tetapi juga mengharapkan putusan pengadilan yang mengabulkan tuntutannya dapat dilaksanakan. Putusan tidak ada gunanya jika tidak dapat dilaksanakan, sebab dengan pelaksanaan putusan pengadilan inilah hak perdata pihak penggugat yang telah dirugikan oleh tergugat dapat dipulihkan secara nyata yaitu dengan terlaksananya eksekusi riil tersebut.

13

13 14

M. Yahya Harapan,S.H. Hukum Acara Perdata,Jakarta : Sinar Grafika, 2005,hal.287 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,Jakarta:Sinar Grafika.2007.hal.335Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

17

G. Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan Conservatoir Beslag Terhadap Eksekusi Riil Atas Sengketa Tanah Permohonan penyitaan dari penggugat memang tidak selalu dikabulkan, kecuali permohonan itu benar-benar beralasan menurut hukum. Pihak hakim bebas untuk menerima atau tidak terhadap permohonan sita jaminan, maka tersita harus sudah dipanggil menghadap ke persidangan untuk didengar keterangannya berkaitan dengan pelaksanaan sita jaminan tersebut. Hakim harus dapat menentukan perlu tidaknya atas penyitaan barang barang apa saja serta memperhatikan benar kepentingan kedua belah pihak dan bukan kepentingan pemohon atau termohon saja, dan selalu berpegang teguh pada ketentuan ketentuan yang diatur di dalam pasal 227 (2) HIR sebagai dasar hukum untuk dapat diletakkannya sita jaminan. Perihal syarat syarat untuk dapat diletakkannya sita jaminan yang diatur dalam pasal 227 HIR mengandung makna bahwa untuk mengajukan sita jaminan haruslah ada dugaan yang beralasan bahwa seseorang yang berhutang selama belum dijatuhkan putusan oleh hakim atau selama putusan belum dijalankan mencari akal untuk menggelapkan atau melarikan barangnya. Apabila penggugat tidak mempunyai bukti kuat bahwa kekhawatiran tergugat akan mengasingkan 15 barang barangnya, maka sita jaminan tidak dilakukan. Oleh karena itu, debitur atau tersita harus didengarkan keterangannya guna mengetahui kebenaran dugaan tersebut. Hal ini sesuai dengan sebagaimana diharuskan dalam pasal 227 ayat (2) HIR, yang menyebutkan bahwa : Maka orang yang berhutang harus dipanggil atas perintah ketua, akan menghadap persidangan itu juga. Dengan demikian, bagi pihak tersita sebelumnya harus sudah dipanggil ke persidangan untuk didengar keterangannya mengenai kekhawatiran dari pihak penggugat atas dugaan pihak tergugat akan mengasingkan barang barang yang dijadikan sebagai obyek sengketa, sebelum sita jaminan dikabulkan. Syarat tersebut ditetapkan sebagai salah satu usaha untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan hakim di dalam persidangan agar tidak dilaksanakan sita jaminan secara serampangan, yang akhirnya hanya merupakan tindakan yang sia sia dan tidak mengenai sasaran (vexatoir). Apabila hakim mengabulkan gugatan penggugat sekaligus permohonan sita jaminan atas dasar pertimbangan pertimbangan tertentu yang memang dirasa perlu untuk dilakukannya sita jaminan maka Conservatoir Beslag secara otomatis dinyatakan sah dan berharga oleh hakim dalam amar putusannya. Hal ini sangat memudahkan atau melancarkannya pelaksaan eksekusi nantinya, karena dengan diletakkannya Conservatoir Beslag sebelumnya apa yang menjadi obyek eksekusi sudah pasti sehingga pada saat putusan telah berkekuatan hukum tetap barang tersebut segera dapat dieksekusi riil dengan jalan mengosongkan atau membongkar bangunan yang ada di atasnya serta sekaligus menyerahkan kepada penggugat. Salah satu bentuk eksekusi riil ialah pengosongan, eksekusi pengosongan biasanya didasarkan atas dalil atau posita hak milik. Penggugat mendalilkan tanah terperkara yang dikuasai tergugat adalah hak miliknya. Keberadaan tergugat di atas tanah terperkara berdasarkan perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu penggugat menuntut dalam petitum gugatan, agar tergugat15

M.A, 15 April 1972 No. 121 K/Sip/1971,Loc.Cit.Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

18

dihukum meninggalkan dan mengosongkan tanah terperkara. Jika gugatan dikabulkan dan putusan memuat amar penghukuman pengosongan, berarti tergugat mesti keluar meninggalkan barang terperkara dalam keadaaan kosong. Pengosongan dapat dijalankan tergugat secara sukarela, namun apabila tidak mau menjalankan secara sukarela dengan sendirinya dapat diperintahkan eksekusi pengosongan secara paksa, dan jika perlu dengan bantuan kekuatan umum ( polisi atau militer).

Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

19

KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap suatu data yang telah penulis peroleh dari Pengadilan Negeri Magetan, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Pertimbangan hakim dalam menetapkan Conservatoir Beslag atas sengketa tanah Dalam penetapan No.27/Pdt.G/2000/PN.Mgt antara Kasri sebagai penggugat melawan Atmo Wadjiran sebagai tergugat mengenai sengketa milik, atas permohonan Conservatoir Beslag yang diajukan penggugat berdasarkan subyektifitas hakim, hakim mengabulkan permohonan Conservatoir Beslag tersebut dengan menerapkan beberapa pertimbangan antara lain: a. Adanya permohonan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) secara tertulis dari penggugat yang diajukan kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri agar obyek sengketa berupa Sebidang tanah pekarangan terdaftar dalam patok D huruf C No.130 persil 48 Klas D II luas 1.220 M2 atas nama Kasri, terletak di desa Blaran, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Magetan (Tanah sengketa) beserta Satu buah rumah bangunan kampung yang berdiri diatas tanah sengketa tersebut diatas diletakkan sita jaminan terlebih dahulu agar obyek sengketa tidak dialihkan atau dijual oleh tergugat. Berdasarkan surat permohonan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) yang diajukan Penggugat secara tertulis tersebut, Penggugat memang benarbenar merasa obyek sengketa tersebut adalah miliknya atas pemberian ibu angkatnya sebelum meninggal dunia dan atas penguasaan tergugat atas obyek sengketa tersebut setelah ibu angkatnya sekaligus istri Tergugat meninggal dunia, Penggugat merasa dirugikan karena kehilangan haknya. Sebelumnya Penggugat sudah sering meminta tanah sengketa beserta 1 (buah) bangunan rumah tersebut kepada tergugat dengan secara baik-baik, akan tetapi Tergugat selalu tidak menghiraukan sama sekali. Bahkan lama kelamaan tingkah laku dan gerak-gerik Tergugat kepada Penggugat tidak baik, mungkin Tergugat punya tujuan tertentu dan sampai akhirnya Penggugat mengajukan gugatan dan mengajukan permohonan sita jaminan (Conservatoir Beslag) kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Magetan. Setelah mendengar keterangan Penggugat, bukti P1, P2,P3,P4,P5,P5,P6,P7 dan keterangan saksi-saksi yang diajukan Penggugat Majelis hakim Pengadilan Magetan berpendapat bahwa terdapat cukup alasan akan permohonan Penggugat atas sita jaminan (Conservatoir Beslag) tersebut sehingga alasan bisa diterima dan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Magetan mengabulkan permohonan Penggugat tentang sita jaminan atas obyek sengketa tersebut diatas dan mengeluarkan surat perintah kepada juru sita untuk melaksanakan sita jaminan. b. Adanya kekhawatiran dan mempunyai sangkaan yang cukup beralasan bahwa pihak Tergugat akan memindah tangankan tanah sengketa tersebut untuk menghindarkan diri dari gugatan Penggugat sebelum perkara diputus dan

20

Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

mempunyai kekuatan hukum tetap. Dan setelah majelis mendengar jawabmenjawab dan mendengar keterangan dari saksi-saksi berpendapat bahwa terdapat cukup alasan akan permohonan Penggugat tersebut sehingga alasan tersebut dapat diterima. c. Setelah diadakan penyelidikan mengenai status dan kepemilikan dari benda itu oleh Jurusita Pengadilan Negeri Magetan, barang yang dikenakan Conservatoir Beslag tersebut yaitu Sebidang tanah pekarangan terdaftar dalam patok D huruf C No.130 persil 48 Klas D II luas 1.220 M2 atas nama Kasri, terletak di desa Blaran, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Magetan (Tanah sengketa) beserta Satu buah rumah bangunan kampung yang berdiri diatas tanah sengketa tersebut adalah benda milik tergugat dan benda tersebut bukan benda sengketa pada perkara lain atau benda yang telah menjadi jaminan pihak lain. Oleh karena itu hakim mengabulkan permohonan sita jaminan yang telah diajukan oleh pihak Penggugat.

Berdasarkan pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Magetan tersebut diatas dalam mengabulkan permohonan Coservatoir Beslag kurang tepat karena pertama, permohonan sita yang dimohonkan adalah sita Revindicatoir Beslag karena barang yang disengketakan adalah milik sah Penggugat terbukti atas serfikat tanah atas nama Penggugat telah terdaftar dalam Buku C Desa No.130 Persil No.48 Klas D II Luas 1.220 M2 atas nama Kasri (Penggugat) serta yang membayar pajak atas tanah dan bangunan yang disengketakan tersebut adalah Penggugat. Kedua,

2.

Pelaksanaan Eksekusi riil atas sengketa tanah setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan Berita Acara Penyitaan Jaminan (Concervatoir Beslag) No:27/BA.Pdt.G/2000/PN.Mgt telah dilakukan penyitaan oleh Panitera Pengadilan Negeri Magetan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atas barang-barang tergugat yang tersengketa yaitu : Sebidang tanah pekarangan terdaftar dalam petok D Huruf C No.130 Persil 48 Klas D II luas 1.220 m2 atas nama KASRI, terletak di Desa Blaran, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Magetan (Tanah Sengketa) beserta satu buah rumah bangunan Kampung yang berdiri diatas tanah sengketa tersebut diatas. Berdasarkan putusan No.27/Pdt.G./2000/P.N.Mgt. yang telah berkekuatan hukum tetap yang dimenangkan oleh Penggugat. Disini Tergugat sebagai pihak yang kalah harus mau melaksanakan isi amar putusan tersebut secara suka rela. Karena ternyata Tergugat tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela sampai telah melewati masa peringatan selama delapan hari. Penggugat segera mengajukan Permohonan Pelaksanaan Eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri Magetan. Ketua Pengadilan Negeri Magetan secara ex officio mengeluarkan surat penetapan Eksekusi Pengosongan tanah dan rumah No.27/Pdt.G/2000/PN.Mgt yangJurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

21

berisi perintah kepada panitera atau jurusita untuk menjalankan eksekusi pengosongan dan penyerahan atas obyek sengketa yang telah disita sebelumnya tersebut diatas. Berdasarkan Berita Acara Eksekusi Pengosongan Tanah Dan Rumah No.27/P.dt.G/2000/P.N.Mgt. Wakil Panitera Pengadilan Negeri Magetan selaku Eksekutor dengan disaksikan dua orang Pegawai Pengadilan Negeri Magetan, MUSPIKA Kecamatan Barat Kabupaten Magetan, Kepala Desa Blaran Kecamatan Barat Kabupaten Magetan dengan dibantu pula oleh aparat keamanan dari anggota Polres Magetan, Polsek Barat dan Koramil Barat lalu secara paksa melaksanakan Eksekusi pengosongan dan penyerahan terhadap tanah sengketa dan bangunan tersebut diatas sesuai dengan bunyi putusan Pengadilan Negeri Magetan tanggal 12 April 2001 No.27/Pdt.G/2000/PN.Mgt dengan menancapkan patok-patok pembatas pada tanah dan bangunan tersebut diatas. Obyek sengketa/tanah dan rumah sengketa telah selesai di eksekusi (pengosongan) guna memenuhi bunyi putusan Pengadilan tersebut diatas maka wakil panitera Pengadilan Negeri Magetan yang disaksikan oleh dua orang saksi serta Aparat MUSPIKA Kecamatan Barat menyatakan bahwa tanah beserta bangunan rumah diatasnya telah selesai eksekusinya.

22

Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

Daftar Pustaka Adi Andojo Soecjipto. (1974). Conservatoir Beslag Dan Berbagai Masalahnya, Bina Justitia No.1. Elizabeth A.Martin. (2002). Oxford Dictionary Of Law. New York: Oxford University Pers. M. Yahya Harapan,S.H. (2005). Hukum Acara Perdata. Jakarta : Sinar Grafika. M. Yahya Harahap. (1987). Permasalahan dan penerapan Conservatoir Beslag. Jakarta: Sinar Grafika.

M.Yahya Harahap, S.H. (2006). Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata.Jakarta : Sinar Grafika . Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. (1997). Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek. Bandung : Alumni. Soedikno Mertokusumo. (2002). Hukum Acara Perdata Indonesia.Yogyakarta : Liberty . Subekti. (1977). Hukum Acara Perdata. Bandung: Binacipta. Sudikno Mertokusumo. (1988). Hukum Acara Perdata. Edisi ketiga. Yogyakarta: Liberty. M.A, 15 April 1972 No. 121 K/Sip/1971, Yurisprudensi, Jawa Barat 1969-1972.

----

----

Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

23

Kesadaran Hukum Pemilik Kos dalam Pembayaran Pajak Penghasilan atas Rumah Kos-Kosan(Studi Kasus Di Desa Gonilan, Kecamatan Kartasura)(Oleh: Sulistyawati Antariksih, Jafar Sodiq, Selvia Artha Diva)

Abstractax is an obligatory contribution to state that owed by personal as law subject or corporate body. Based on regulations, tax has a power to force. Tax obligation and citizen at once do not have a right to get direct repayment. Tax income is used for state necessity and totally for citizen prosperity. It puts into APBN (national budget) by state, while regional tax income will be allocated to APBD (regional budget). One of the tax obligation object is earnings. In Regulation no.36 of year 2008 about Earnings Tax, entrepreneur is one of tax obligation object. Here, boarding house owners can be classified as entrepreneur because they get income from renting out their boarding house. In Regional Regulation of Sukoharjo no.3 of year 2003 about Hotel, it regulates specifically about boarding house taxes. In that Regional Regulation, there are ambiguity of tax obligation object. Article 2 states that tax is subjected toward services, while Article 5 clearly mentions that tax obligation is hotel entrepreneur or inn owner. It is one of being obstacles of execution. Moreover, lack of awareness of apparatus in upholds the law and lack of awareness of boarding house owner are significant problem of boarding house tax legal remedy.

T

Keyword(s): Law Awareness, Tax

24

Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

PendahuluanMenurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro S.H., pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.16 Prof. Dr. MJH. Smeeth mendefinisikan pajak sebagai prestasi pemerintahan yang terutang melalui norma norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukan dalam hal individu, maksudnya adalah membiayai pengeluaran pemerintah.17 Menurut Pasal 1 Undang Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, yang dimaksud dengan pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan yang dimaksud dengan pajak penghasilan adalah pungutan yang dikenakan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak. Sedangkan yang dimaksud dengan objek dari pajak penghasilan yang dijelaskan oleh pasal 4 dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2008 adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Dari isi Pasal 4 tersebut diatas maka dapat dilihat bahwa semua penghasilan yang sah secara hukum akan dikenakan pajak apabila telah melampaui batas penghasilan tidak kena pajak. Keanekaragaman mata pencaharian memperlebar cakupan pengertian tentang penghasilan. Pengertian tersebut yang akhirnya menambah luas pengertian tentang pajak penghasilan. Salah satunya adalah penghasilan melalui rumah kos. Meski tidak diatur secara khusus lewat undang undang pajak, dalam beberapa daerah terdapat pengaturan mengenai rumah kos tersebut. Salah satunya adalah di daerah Sukoharjo. Yang dimaksud dengan rumah kos atau indekos menurut PERDA Kabupaten Sukoharjo Nomor 3 Tahun 2003 penjelasan umum dari Pasal 3 ayat (2) adalah rumah tempat menumpang tinggal dengan membayar dalam jangka waktu tertentu. Melihat dari bentuk usaha dari rumah kos, wajar jika rumah kos termasuk dalam obyek yang dapat dikenai pajak.

16 17

Rachmad Soemitro. 2002. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta:Ghalia Indonesia. Hal. 1 H. Bohari. 1995. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada. Hal. 20Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

25

Di Kabupaten Sukoharjo terdapat Perda yang mengatur tentang pajak rumah indekos atau rumah kos. Aturan tersebut dapat ditemui dalam Perda Kabupaten Sukoharjo No.3 Tahun 2003 tentang Pajak Hotel. Ruang lingkup pengaturan Perda tersebut adalah pelayanan yang disediakan dalam jasa penginapan utamanya hotel. Dalam pasal 3 ayat 2 rumah kos yang dalam Perda tersebut dikenal dengan istilah rumah indekos adalah salah satu obyek yang dikenai pajak. Jika berbicara mengenai pajak, maka perlu diketahui pula apa yang dimaksud subyek yang dapat dikenai pajak. Subyek yang dapat dikenai pajak dikenal dengan istilah wajib pajak. Pengertian Wajib Pajak berdasarkan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan No. 2, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Jadi wajib pajak menuju kepada subyek yang wajib melakukan pembayaran pajak. Wajib pajak dalam pajak penghasilan terbagi menjadi dua, yakni Badan Hukum dan Pengusaha sebagai pribadi. Meski terdapat aturan yang cukup jelas, pelaksanaan peraturan, kesadaran wajib pajak dan pemaknaan subyek pajak rumah kos masih terasa menjadi hal yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Utamanya dalam hal kesadaran hukum. Kesadaran hukum menurut Sunaryati Hartono berarti berbicara dalam masalah budaya, khususnya pada nilai-nilai sosial dan budaya hukum bangsa. Menurut Paul Scholten dalam Sudikno Mertokusumo bahwa 18kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak seyogyanya dilakukan 19. Selanjutnya Paul Scholten mengungkapkan sebagai berikut: Kesadaran tentang apa hukum itu berarti kesadaran bahwa hukum itu merupakan perlindungan kepentingan manusia. Pendapat Soekanto dan Mustafa Abdullah 20bahwa kesadaran hukum merupakan suatu penilaian terhadap apa yang dianggap sebagai hukum yang baik dan/atau hukum yang tidak baik. Penilaian terhadap hukum tersebut didasarkan pada tujuannya, yaitu apakah hukum tadi adil atau tidak adil, oleh karena keadilan yang diharapkan oleh warga masyarakat. Permasalahan kesadaran hukum timbul di dalam kerangka mencari dasar sahnya hukum yang merupakan konsekuensi dari masalah yang timbul di dalam penerapan tata hukum atau hukum positif. Jadi pada dasarnya kesadaran hukum berkutat pada nilai lahiriyah dari seorang subyek hukum untuk mewujudkan kewajiban dan bertanggung jawab atas kewajiban tersebut. Perwujudan dari hal tersebut adalah esensi dari sadar hukum. Dalam arti sempit, orang disebut sadar hukum adalah ketika mereka menaati Undang Undang, mengamalkan dan mempertanggungjawabkan perbuatanya berdasarkan Undang

18

Sudikno Mertokusumo, 2009, Mentaati Hukum dengan Mentaati Asas dan Sistem Hukum, http://sudiknoartikel.blogspot.com, diunduh pada 1 November 2009 pukul 13.30. 19 Ibid 20 Sukanto dan Mustafa Abdullah. 1980. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: C.V. Rajawali. Hal. 210

26

Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

Undang. Secara lebih luas, orang dikatakan sadar hukum adalah ketika seseorang tersebut menghormati nilai nilai kesusilaan dalam kehidupan yang serba majemuk. Variabel yang menarik dan ruang lingkup dari permasalahan tersebut, melatarbelakangi peneliti untuk mengkaji lebih dalam permasalahan tentang kesadaran hukum pemilik kos dalam membayar pajak penghasilan atas rumah kos yang disewakan.

Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

27

Pembahasan1. Kriteria Wajib Pajak Pada Usaha Rumah KosKetika berbicara mengenai kesadaran hukum maka hal pertama yang perlu diketahui adalah siapakah obyek yang akan dituju untuk dilakukan pengujian terhadap fenomena sosial tersebut. Dalam hal pajak rumah kos, perlu diketahui pula siapakah wajib pajak dan sejauh manakah ketentuan itu dapat dipaksakan oleh peraturan perundangan. Termuat dalam Perda Kabupaten Sukoharjo Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pajak Hotel, pajak rumah kos termasuk dalam pajak daerah. Artinya kewajiban pengelolaanya diserahkan kepada daerah. Dikawasan Sukoharjo, dengan ditetapkanya Perda ini maka pajak rumah kos tidak dapat dikategorikan sebagai pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan ataupun jenis pajak lainya. Terlepas dari Perda tersebut, maka rumah kos sejatinya tidak termasuk dalam jenis pajak apapun. Dengan asumsi bahwa variabel dalam pajak rumah kos adalah pelayanan atau penyediaan tempat bukan hasil usaha. Jadi obyeknya bukanlah penghasilan dari pemilik kos oleh karenanya harus ada pembedaan yang tegas. Variabel dari pajak rumah kos sendiri secara normatif dikecualikan oleh pajak pertambahan nilai. 21Jadi dari praktek yang berkembang di masyarakat pemilik kos hanya disebut sebagai wajib pajak untuk Pajak Bumi dan Bangunan atas bangunan yang dimilikinya, tidak ada kewajiban untuk membayar pajak pada jenis lain. Pada persspektif lain, perlu diketahui bahwa wajib pajak dalam Undang Undang tentang Pajak Penghasilan adalah pengusaha. Dalam pasal 17 Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007, Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean. Pengusaha hotel atau penginapan adalah perorangan atau badan yang menyelenggarakan usaha hotel atau penginapan untuk dan atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggungannya. (PERDA Kabupaten Sukoharjo Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pajak Hotel). Pada prinsip ini, dapat diartikan bahwa pemilik kos termasuk pengusaha yang wajib pajak. Namun harus ada pembatasan kepada pengertian tersebut. Harus ada pembeda antara orang yang menyewakan rumah atau kamarnya dengan orang yang menyewakan tempat khusus untuk usaha seperti rumah kos. Contoh kedua termasuk dalam pengusaha. Jadi pajak yang akan dikenakan pun harus terjadi pembatasan. Wajib pajak seperti yang termaktub dalam UU No. 28 tahun 2007 adalah pengusaha, dalam arti orang yang mendirikan suatu usaha tertentu untuk meraih keuntungan. Pemilik kos dapat dikategorikan dalam dua hal. Pertama pengusaha kos dan kedua hanya sebagai pemilik rumah yang menyerahkan hak pakai kamarnya kepada seseorang dengan maksud memperoleh keuntungan.

21

Pajak.go.id. Diunduh pada hari Senin, 21 Februari 2011 Pukul 12.34.Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

28

Dalam Perda Sukoharjo No. 3 tahun 2003 pembatasan tersebut jelas terlihat. Pada pasal 3 ayat 2 huruf a rumah kos atau dalam Perda tersebut dinamai rumah indekos yang wajib pajak hanya rumah indekos dengan kamar lebih dari 10 kamar, artinya pemilik rumah kos yang hanya memiliki kamar kurang dari 10 tidak dikenai pajak. Asumsi yang diterapkan pada Perda tersebut menurut peneliti adalah hasil dari pembatasan pengertian pengusaha yang wajib pajak. Jadi bila disederhanakan menjadi seperti ini; pajak penghasilan dikenakan oleh pengusaha, dalam hal rumah kos yang memiliki kamar (yang disewakan) kurang dari 10 pemilik bukan termasuk pengusaha. Pengertian tersebut dikenai dengan asumsi bahwa usaha rumah kos tersebut bukan dilakukan secara khusus sebagai kegiatan usaha melainkan hanya meminjamkan sebagian kecil dari rumahnya. Jadi dalam kasus ini pemilik kos yang memiliki kamar kurang dari 10 hanya wajib membayar pajak bumi dan bangunan sebagai perwujudan wajib pajak pada bangunan dan tanah yang dimiliki, bukan rumah kos sebagai lahan usaha (penghasilan). Meski terdapat pengaturan yang jelas pada regulasi tersebut namun terdapat ambiguitas makna. Disebutkan dalam pasal 2 Perda no.3 tahun 2003 bahwa dengan nama Pajak Hotel dipungut pajak atas setiap pelayanan di hotel atau penginapan. Menurut penafsiran dari para pemilik kos, pajak rumah kos dikenai oleh pemilik kos. Obyek utamanya adalah penghasilan dari rumah kos tersebut. Pemahaman seperti ini sebetulnya keliru. Dari pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa pengenaan pajak tidak ditujukan kepada pemilik kos, namun kepada penyewa kos. Alasan utamanya adalah penyebutan kata pelayanan dan atas nama Pajak Hotel (penginapan). Hal ini berarti pemilik kos hanya mengatasnamakan pembayaran tersebut bukan sebagai obyek wajib pajak. Kata pelayanan dapat diartikan bahwa negara mengambil alih fungsi kepemilikan pelayanan kos (melalui pajak). Hal ini dapat dimengerti ketika pajak rumah penginapan tersebut masuk dalam ranah regulasi Pajak Hotel. Jika dianalogikan kepada pajak pertambahan nilai, maka pajak rumah kos tersebut dikenai kepada pelayanan berupa pemberian hak pakai dari pemberi kamar (pemilik rumah kos) kepada penyewa rumah kos. Oleh karena itu dalam kasus pajak rumah kos yang menjadi subyek pajak dalam pajak rumah kos tersebut bukan penghasilan dari pengusaha tetapi pelayanan yang diterima oleh penyewa tempat kos tersebut. Hal ini dikuatkan oleh pasal 6 Perda tersebut. Dalam pasal 6 disebutkan dasar pengenaan pajak adalah pembayaran yang dilakukan kepada hotel atau penginapan. Penyebutan kata pembayaran dapat ditafsirkan bahwa wajib pajak adalah pembayar (kreditur). Dalam hal ini yang disebut kreditur dari rumah kos adalah orang yang menyewa kamar dalam rumah kos tersebut. Pemahaman seperti ini penting guna penghitungan besaran pajak yang akan dibayar kepada daerah (mengingat pajak tersebut masuk dalam pajak daerah. Dalam pasal 5 Perda tersebut, wajib pajak adalah pengusaha penginapan. Maka dari peraturang tersebut dapat disimpulkan bahwa pemilik kos bertanggung jawab kepada pemerintah daerah untuk menghimpun dana pajak yang dikenai kepada penyewa rumah kos.Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

29

2. Kesadaran Pemilik Kos dalam Membayar PajakTarget lokasi yang menjadi sasaran kami untuk melakukan penelitian ialah di Desa Gonilan Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo yang memiliki kurang lebih 90 rumah yang dijadikan usaha kos-kosan. Para pemilik kos di daerah tersebut hampir seluruhnya tidak membayar pajak kos-kosan. Padahal kamar kos yang disewakan telah memenuhi kriteria untuk dikenai pajak atas rumah kos yang disewakannya, yakni 10 (sepuluh) kamar bahkan lebih. Tak hanya itu, penghasilan yang diperoleh pun setiap tahunnya cukup besar, dengan pendapatan minimal Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) per kamar dan pendapatan maksimal Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah) per kamar. Dari adanya fakta tersebut seharusnya pemilik kos wajib dikenai pajak atas rumah kos yang disewakannya, sebagaimana yang diatur dalam Perda Sukoharjo No. 3 Tahun 2003 tentang pajak Hotel (penginapan). Meski terdapat pengaturan yang gamblang dalam beberapa regulasi baik regulasi pemerintah pusat maupun daerah, namun hal tersebut tidak lantas mendapat tanggapan dari masyarakat. Faktanya dilapangan pengertian mengenai pajak rumah kos ini tidak banyak diketahui pemilik rumah kos. Lemahnya sosialisasi serta penegakan hukum membuat warga semakin melupakan pajak rumah kos. Setidaknya hal tersebut yang ditemui dilapangan. Dari penelitian yang kami lakukan, peneliti menemukan lebih dari 80% pemilik kos tidak tau mengenai pajak rumah kos. Sisanya ada yang mengetahui secara rinci dan ada yang hanya tau sekilas saja. Terbukti dari hasil penyebaran angket yang peneliti lakukan, banyak pemilik kos yang memiliki lebih dari 10 kamar yang disewakan dengan penarikan pembayaran per tahun dengan tarif harga minimal Rp. 1.000.000,- per kamar dan maksimal diatas Rp. 4.000.000,- per kamar dan tidak membayar pajak. Adapun pemilik kos yang mengaku telah membayar pajak, namun hanya pajak penghasilan dan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) saja, belum termasuk pajak rumah kos. Meski begitu, faktanya dilapangan pemilik kos rata rata tidak mengetahui atau belum mengetahui secara pasti tentang pajak rumah kos. Bahkan hanya 4% dari respnden yang kami temui mengetahui secara detail regulasi tersebut. Berikut kami sajikan data yang kami peroleh dari tabel 1 dibawah. Tabel 1: Pengetahuan Pemilik tentang Pajak Kos No Pengetahuan Pemilik Kos Jawaban Responden Jumlah Prosentase Mengetahui tentang regulasi secara detail, besaran kewajiban dan prosedurnya. Keterangan

1

Mengetahui

1

4%

30

Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

2

Pernah Mendengar

9

36 %

Mengetahui tentang peraturan tersebut tetapi tidak detail. Belum mengetahui sama sekali mengenai peraturan tersebut.

3

Belum pernah mendengar tentang perat tersebut

15

60 %

Dari data yang kami dapat terdapat 100% pemilik rumah kos belum membayar pajak. Alasan yang dikemukakan sekitar pada masalah kurangnya pengetahuan akan pajak rumah kos dan pelaksanaan atau eksekusi dari pembayaran kos tersebut oleh pemerintah. Jika tidak ada penagihan, maka tidak ada pembayaran. Prosedur pembayaran yang rumit membuat pemilik kos enggan membayar pajak tersebut. Delapan dari dua puluh lima pemilik rumah kos mengakui belum membayar pajak karena tidak ada petugas pajak yang menagih. 15 (lima belas) diantaranya mengaku belum mengetahui tentang pajak rumah kos tersebut. Sementara sisanya sebetulnya telah mengetahui regulasi tersebut tetapi karena mereka tidak termasuk kriteria wajib pajak maka mereka mengakui tidak perlu membayar. Jumlah pendapatan per-tahun yang didapatkan pemilik kos dari hasil penyewaan kamarnya itu masih pendapatan kotor belum dikurangi dengan tagihan-tagihan lain seperti pembayaran listrik dan air setiap bulannya serta belum lagi bila ada kerusakan fasilitas kamar yang mana semua itu ditanggung oleh pemilik kos. Hal tersebut sangat membebani pemilik kos karena merasa adanya pajak berganda yang dibebani kepadanya.

Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

31

Kesimpulan1. Pemilik rumah kos di daerah Sukoharjo dapat dikenai wajib pajak dengan memenuhi kriteria: rumah kos digunakan sebagai tempat usaha secara khusus. 2. Perda Sukoharjo No.3 Tahun 2003 tentang Pajak Hotel mengharuskan Pemilik Kos yang memiliki Rumah Kos dengan kamar lebih dari 10 untuk wajib pajak sebesar 5% dari pembayaran. 3. Pajak rumah kos dikenakan untuk pelayanan terhadap rumah kos, bukan dari penghasilan yang didapatkan melalui rumah kos. Jadi pemilik kos mempunyai kewajiban pembayaran pajak dengan pemotongan atau penambahan nominal pembayaran sejumlah 5% dari jumlah pembayaran dari penyewa rumah kos. 4. Kesadaran hukum pemilik kos Desa Gonilan Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo rendah. Hal ini dibuktikan dengan tidak ada satupun pemilik kos yang membayar pajak rumah kos. 5. Pemilik kos dalam kaitanya dengan wajib pajak tersebut terkendala dengan kurangnya sosialisasi terhadap peraturan yang terkait dan nihilnya pengawasan serta penarikan pajak dari pemerintah daerah.

32

Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

Daftar Pustaka H. Bohari. 1995. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada. M. Muslich. 1993. Metode Kuantitatif. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Rachmad Soemitro. 2002. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta:Ghalia Indonesia. Sukanto dan Mustafa Abdullah. 1980. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: C.V. Rajawali. Sudikno Mertokusumo, 2009, Mentaati Hukum dengan Mentaati Asas dan Sistem Hukum, http://sudiknoartikel.blogspot.com, diunduh pada 1 November 2009 pukul 13.30. Pajak.go.id. Diunduh pada hari Senin, 21 Februari 2011 Pukul 12.34.

----

----

Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

33

Perubahan Sosial Peran Gender di Keraton Surakarta dan Implikasinya terhadap Masyarakat Surakarta(Oleh: Agustin Dwi Ria Mahardika, Retno Eko Mardani, Nurrahman Sukiman)

he differences of role that differentiate between men and women cause unfairness and discrimination. It makes some oppression toward others because of assumption that one side has higher level than others. In Javanese culture, many terms put women in lower layer position than men. Surakarta Palace idolizes Javanese culture. It is protector and keeper of Javanese culture identity, especially in Surakarta. There is a problem then. How does culture which discriminate women? Certain stereotypes are labeled toward women and have become a way of life as if impossible to be changed. Because of this importance and crucial problem, so that discussion in identifying social changes of gender role in palace environment needs to be done in order to analyze how far it happens. It will result how the changes implicated toward society surround palace in public and individual daily activities. These research findings will become a reference and improve peoples knowledge. Therefore, it is needed details explanation and comprehensive description about changes of gender role in patriarchal Javanese tradition which is followed by Surakarta Palace.

T

Abstract

Keyword(s): Women Role, Cultural Tradition, Surakarta Palace, Society

34

Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

PendahuluanI. Latar Belakang Perempuan dan laki-laki pada dasarnya berbeda secara alamiah. Perbedaan itu merupakan kodrat yang dibawa sejak lahir dan tidak dapat dipertukarkan. Perbedaan tersebut oleh masyarakat pada umumya dikonstruksikan menjadi sebuah stereotipe antara laki dan perempuan sehingga menimbulkan asumsi dalam budaya masyarakat bahwa seorang laki laki dan perempuan dianggap berbeda, perempuan diharapkan memiliki sifat lemah lembut, keibuan, penurut dan, emosional. Sementara itu, laki-laki diharapkan kuat, rasional, jantan dan perkasa. Perbedaanperbedaan antara perempuan dan laki-laki yang timbul dari anggapan atau harapan dalam budaya masyarakat yang cenderung membedakan dalam hal perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional atau lebih dikenal dengan istilah Gender . Adanya suatu perbedaan peran perempuan dan laki-laki tersebut pada akhirnya menimbulkan suatu ketidakadilan, kesenjangan dengan adanya salah satu pihak yang di anggap lebih tinggi derajatnya sehingga menimbulkan penekanan-penekanan serta penindasan terhadap pihak lain. Laki-laki memiliki derajat yang tinggi karena dianggap kuat, rasional dan jantan. Sementara itu, perempuandianggap sebagai pihak yang mudah ditekan, penurut serta mudah di tindas karena perempuan bersifat lemah-lembut. Dalam budaya Jawa, banyak istilah-istilah yang mendudukkan posisi perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Dan istilah-istilah itu sudah tertanam dalam hati masyarakat, sehingga dimaklumi dan diterima begitu saja. Contoh, dalam istilah Jawa ada yang menyebutkan bahwa istri sebagai kanca wingking, artinya teman belakang, sebagai teman dalam mengelola urusan rumah tangga, khususnya urusan anak, memasak, mencuci dan lain-lain. Ada lagi istilah lain suwarga nunut neraka katut. Istilah itu juga diperuntukkan bagi para istri, bahwa suami adalah yang menentukan istri akan masuk surga atau neraka. Kalau suami masuk surga, berarti istri juga akan masuk surga, tetapi kalau suami masuk neraka, walaupun istri berhak untuk masuk surga karena amal perbuatan yang baik, tetapi tidak berhak bagi istri untuk masuk surga karena harus katut atau mengikuti suami masuk neraka. Ada lagi istilah yang lebih merendahkan lagi bagi para istri, yaitu bahwa seorang istri harus bisa manak, macak, masak dan berapa kata yang berawal m yang lain lagi. Bahwa seorang istri itu harus bisa memberikan keturunan, harus selalu berdandan untuk suaminya dan harus bisa memasak untuk suaminya. Istilah lain yang melekat pada diri seorang perempuan atau istri yakni dapur, pupur, kasur, sumur dan mungkin masih ada akhiran ur-ur yang lain yang bisa diteruskan untuk dilekatkan pada perempuan. Citra, peran dan status sebagai perempuan, telah diciptakan oleh budaya. Citra bagi seorang perempuan seperti yang diidealkan oleh budaya, antaralain, lemah lembut, penurut, tidak membantah, tidak boleh melebihilaki-laki. Peran yang diidealkan seperti pengelola rumah tangga, sebagai pendukung karir suami, istri yang penurut dan ibu yang mrantasi. Citra yang dibuat untuk laki-laki antara lain, serba tahu, sebagai panutan harus lebihdari perempuan, rasional, agresif. Peran laki-laki yang ideal adalah sebagai

Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

35

pencari nafkah keluarga, pelindung, mengayomi, sedangkan status idealnya adalah kepala keluarga22. Budaya Jawa yang demikian pada saat ini telah tidak sesuai dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang justru ingin meningkatkan kualitas hidup perempuan baik dalam aspek public maupun domistik, berarti adanya perbedaan kepentingan antara keraton disatu pihak dengan pemerintah di pihak. Kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut antara lain seperti antara lain UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarasutamaan Gender atau PUG, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

II. Rumusan Masalah 1. 2. Bagaimanakah perubahan sosial peran gender yang terjadi di Keraton Surakarta? Bagaimana implikasi perubahan sosial peran gender tersebut terhadap masyarakat?

III.Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari progam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. 2. Untuk mengetahui dan mendiskripsikan adanya perubahan sosial peran gender yang terjadi dalam lingkungan kraton Surakarta. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan implikasi perubahan sosial peran gender tersebut terhadap masyarakat.

IV. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif23, maksudnya penelitian ini mengkaji tentang fenomena sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang menjadi masalah dan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Disamping itu, penelitian ini menggunakan perspektif gender, maksudnya perspektif penelitian ini memperhatikan pula relasi laki-laki dan perempuan wilayah domestic dan publik. Jenis penelitian yang digunakan adalah diskriptif-analitis. Deskriptif maksudnya peneliti akan mendiskripsikan perubahan sosial peran gender yang terjadi di keraton Surakarta dan implikasinya kepada masyarakat. Analitis maksudnya peneliti akan mengkaji dan/atau membahas

22

Raharjo, Yulfira. (1995). Gender dan Pembangunan. Puslitbang Kependudukan dan Ketenagakerjaan. Jakarta LIPI (PPT-LIPI) 23 Moleong, Lexy J. (1993). Metodologi Penelitian Kulitatif. Bandung: Rosda Karya.

36

Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

data yang telah diperoleh dari lapangan dengan menggunakan dasar analisis kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan gender dan teori perubahan sosial. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Keraton Surakarta. Adapun alasan penulis memilih lokasi tersebut adalah keraton merupakan pusat kebudayaan dan keraton mempunyai tugas untuk menjaga pelestarian budaya (dalam hal ini budaya Jawa). 3. Sumber Data Data penelitian ini meliputi data primer dan sekunder, yakni sebagai berikut : a. Data Primer, diperoleh dari hasil wawancara (interview) dan observasi langsung terhadap kehidupan sehari hari keluarga keraton. b. Data Sekunder, diperoleh dari hasil kajian literature, jurnal ilmiah dan dokumentasi peraturan perundangan yang relevan dengan masalah yang diteliti. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan, untuk menggali data sekunder dengan melakukan kajian terhadap berbagai literature, jurnal dan dokumen perundangan yang relevan dengan masalah yang diteliti. b. Wawancara, untuk menggali data primer. Wawancara dilakukan peneliti kepada keluarga keraton baik laki laki maupun perempuan dan masyarakat Surakarta khususnya mereka yang tinggal atau mengetahui tentang keraton baik dari aspek tata aturan maupun budayanya. Point point untuk wawancara kepada keluarga keraton antara lain : Peran perempuan dan laki laki dari keluarga keraton Akses, kontrol dan partisipasi yang dimiliki oleh perempuan dan laki laki keluarga keraton Point point untuk wawancara dengan masyarakat antara lain: Peran perempuan dan peran laki laki yang diberikan oleh keluarga informan Akses, kontrol dan partisipasi yang dimiliki oleh perempuan dan laki laki keluarga informan Apakah ada perubahan peran, kontrol, akses dan partisipasi antara perempuan laki laki Apakah perubahan ini sebagai dampak adanya perubahan peran, kontrol, akses partispasi antara perempuan dan laki laki kerabat keraton. dari

dari dan dan

c. Observasi dilakukan oleh peneliti juga untuk menggali data primer terutama mengenai kegiatan sehari - hari yang dilakukan oleh keluarga keraton laki laki dan perempuan. 5. Metode Analisis data. Dalam metode analisis data yang akan digunakan, penulis menggunakan metode analisis data kualitatif yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data yang diperoleh dan kemudian dihubungkan dengan literature yang ada atau teori-teori perubahan social dan juga memperhatikanJurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

37

pola relasi laki-laki dan perempuan dalam wilayah public dan domestik yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. 6. Pemeriksaaan Keabsahan Data. Pemeriksaan Keabsahan data dengan menggunakan teknik pemeriksaan dengan tringulasi data, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Dan teknik tringulasi yang digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber, metode, penyidik.24

24

Moleong, Lexy J. (1993). Metodologi Penelitian Kulitatif. Bandung: Rosda Karya.Jurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

38

PembahasanI. Deskripsi Kehidupan Keraton Surakarta. Keraton Surakarta sebagai pemangku tahta adat jawa harus beradaptasi atau dapat menyesuaikan diri dengan peraturan pemerintah karena keraton tidak lagi memiliki otorisasi sebagaimana di ungkapkan di atas bahwa keraton hanya sebagai pemangku adat jawa maka segala aturan yang di buat oleh keraton tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintah republik Indonesia yang berlaku. Sehingga terhadap setiap UU maupun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah republik indonesia, otokrasi kraton tersebut harus mengikutinya termasuk dalam kebijakan pemerintah yang menjadi pokok pembahasan penelitian ini yaitu Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang konvensi penghapusan segala bentuk dikriminasi terhadap wanita, INPRES Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG). Kehidupan Keraton di era modern ini banyak mengalami perubahan-perubahan, baik di dalam keraton maupun diluar Keraton (masyarakat). Bahkan sekarang perempuan di dalam keraton sebagai obyek yang di lindungi oleh peraturan pemerintah seperti UU No.7 tahun 1984 tentang konvensi penghapusan segala bentuk dikriminasi terhadap wanita, INPRES No.9 tahn 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) sudah berkembang seperti masyarakat pada umumnya, dalam artian perempuan di keraton juga berkiprah di luar seperti masyarakat pada umumnya dan di lindungi oleh aturan pemerintah, misalnya kesamaan dalam memilih pendidikan antara laki-laki dan perempuan yang telah di beri hak yang sama bahkan ketika berkarier pun mereka diberi hak yang sama bahkan dalam memilih jodoh mereka di beri keluasan untuk menentukan jodohnya sendiri meski harus tetap memperhatikan bibit, bebet dan bobotnya. Sehingga Keraton pada era ini dapat dikatakan mengikuti zamannya (nut ing zamane).

II. Deskripsi peran perempuan dalam periodesasi Keraton Surakarta. Pada zaman Paku Buwana X dan Paku Buwana XI yaitu masa kejayaan kesunanan keraton Surakarta, keraton memiliki kekuasaan yang kuat baik dalam bidang politik maupun ekonominya sehingga seorang raja yang memiliki kewenagan secara mutlak mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat. Putri-putri pada masa itu di sengker (dikurung) dan masing-masing memiliki ruang tersendiri yang di jaga ketat oleh polisi wanita, wilayah para putri itu disebut dengan sanasa keputrian yang khusus untuk para para putri dan istri-istri raja. Pada jaman PB X penghuni sasana keputrian ini sangat banyak 500 orang, sehingga di dalam sasana keputrian itu terdapat pasar yang penjualnya berasal dari luar, karena pada waktu itu putri-putri di sengker (dikurung), sehingga sama sekali tidak keluar dari keraton. Pada era Paku Buwana XII sudah banyak terjadi perubahan dalam struktur keraton termasuk peran wanita di dalam keraton. Paku Buwana XII di juluki sebagai sinuwun hamardiko yang artinya raja yang bertahta pada zaman kemerdekaan dan dengan aturan yang bebas. Karena pada masa ini keraton sudah tidak dalam bentuk kesunanan sepenuhnya, maka kekuasaan raja tak seperti masa kesunanan keraton Surakarta pada masa Paku Buwana X. Sehingga dalam segi kekuasaan politik dan ekonomi keraton Surakarta tidak sekuat dahulu. Hal ini berdampak terhadapJurnal Hukum Justisssica | Vol. 5 | Juni 2011

39

putra