laporan akhir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...
Latar Belakang Masalah.revisi Akhir
-
Upload
erwin-christianto -
Category
Documents
-
view
168 -
download
3
description
Transcript of Latar Belakang Masalah.revisi Akhir
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Undang – Undang
No 36 tahun 2009). Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional
diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi
setiap penduduk agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Berbagai upaya
telah dilakukan, baik oleh pemerintah, tenaga kesehatan maupun masyarakat. Primary Health
Care (PHC) diperkenalkan oleh World Health Organization (WHO) dengan tujuan untuk
meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Di
Indonesia, PHC memiliki 3 strategi utama, yaitu kerjasama multisektoral, partisipasi
masyarakat, dan penerapan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan dengan pelaksanaan di
masyarakat. (Jurnal 1464).
Sumber pengobatan di dunia mencakup tiga sektor yang saling terkait, yaitu pengobatan
rumah tangga/ pengobatan sendiri menggunakan obat, obat tradisional, atau cara tradisional,
pengobatan medis yang dilakukan oleh oleh perawat, dokter, puskesmas, atau rumah sakit,
serta pengobat tradisional (Young, 1980). Kriteria yang digunakan untuk memilih sumber
pengobatan adalah pengetahuan tentang sakit dan pengobatannya, keyakinan terhadap obat/
pengobatan, keparahan sakit, dan keterjangkauan biaya dan jarak. (POLA PENGGUNAAN
OBAT, OBAT TRADISIONAL, DAN CARA TRADISIONAL DALAM PENGOBATAN SENDIRI
DI INDONESIA *
Contributed by DR.SUDIBYO SUPARDISudibyo Supardi, Sarjaini Jamal, Raharni
Badan (Litbangkes Depkes RI)
Persentase terbesar masyarakat memilih melakukan pengobatan sendiri untuk
menanggulangi keluhannya (POLA PENGGUNAAN OBAT, OBAT TRADISIONAL, DAN
CARA TRADISIONAL DALAM PENGOBATAN SENDIRI DI INDONESIA Contributed by DR.SUDIBYO
SUPARDI Sudibyo Supardi, Sarjaini Jamal, Raharni Badan (Litbangkes Depkes RI ). Pengobatan sendiri dikenal
dengan istilah Self medication atau Swamedikasi. Self medication biasanya dilakukan untuk
penanggulangan secara cepat dan efektif keluhan yang tidak memerlukan konsultasi medis,
mengurangi beban pelayanan kesehatan pada keterbatasan sumber daya dan tenaga, serta
meningkatkan keterjangkauan pelayanan kesehatan untuk masyarakat yang jauh dari
puskesmas. (jurnal 1464)
Banyak faktor yang mendorong dan mempengaruhi perilaku pengobatan sendiri atau
swamedikasi oleh masyarakat. Dijelaskan dalam Teori Green bahwa mewujudkan sikap
menjadi perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang
memungkinkan. Faktor yang mendukung tersebut adalah : faktor predisposisi (pengetahuan,
sikap, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, pendapatan), faktor
pemungkin (pengaruh iklan, ketersediaan sarana kesehatan), dan faktor pendukung (keluarga,
lingkungan Salah satunya adalah iklan obat. (1464)
Menurut Supardi dan Notosiswoyo pengetahuan pengobatan sendiri umumnya masih
rendah dan kesadaran masyarakat untuk membaca label pada kemasan obat juga masih kecil.
Sumber informasi utama untuk melakukan pengobatan sendiri umumnya berasal dari media
massa. Secara umum, promosi obat yang ditampilkan di media saat ini sudah sangat
berlebihan dan tidak objektif lagi (jurnal 1464).
Persentase terbesar penduduk Indonesia pada tahun 2001 yang mengeluh sakit dan
melakukan pengobatan sendiri (57,7%) lebih rendah daripada tahun-tahun sebelumnya.
Demikian juga penduduk yang melakukan pengobatan sendiri sebesar 82,7% menggunakan
obat (OB), 31,7% menggunakan obat tradisional (OT), dan 9,8% menggunakan cara
tradisional (CT). Penduduk yang mengeluh sakit dan menggunakan obat, obat tradisional, dan
cara tradisional relatif lebih besar pada penduduk dengan tingkat ekonomi kurang mampu.
( jurnal Litbang RI yang di atas).
Berdasarkan Riskesdas 2010, penggunaan jamu dan manfaatnya di Indonesia, diperoleh
dari penduduk umur 15 tahun keatas. Penduduk kelompok umur 15 tahun ke atas yang
dianalisis sebanyak 177.926 responden, dengan rincian laki- laki sebanyak 86.493 responden
(48,6%) dan perempuan sebanyak 91.433 responden (51,4%). Di perkotaan sebanyak 91.057
responden (51,2%) dan perdesaan sebanyak 86.869 responden (48,8%). Data yang diperoleh
adalah sebagai berikut; 1). sebanyak 59,12 persen penduduk Indonesia pernah mengkonsumsi
jamu, yang merupakan gabungan dari data kebiasaan mengkonsumsi jamu setiap hari
(4,36%) (a), kadang- kadang (45,03%) (b), dan tidak mengkonsumsi jamu, tapi sebelumnya
pernah (9,73%), dan (c). persentase penduduk Indonesia yang tidak pernah mengkonsumsi
jamu sebanyak 40,88 persen dan d). provinsi dengan persentase kebiasaan mengkonsumsi
jamu tertinggi adalah Kalimantan Selatan (80,71%) dengan data konsumsi jamu setiap hari
5,55 persen, selanjutnya Provinsi Sulawesi Tenggara (23,95%) merupakan provinsi yang
mempunyai kebiasaan mengonsumsi jamu terendah dengan data konsumsi jamu setiap hari
1,39 persen.
Hasil Survai Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2010 menunjukkan bahwa
penduduk Kota Semarang yang mengeluh sakit selama sebulan sebelum survai dilakukan
sebesar 27,72%. Pemilihan sumber pengobatan yang dilakukan oleh penduduk Kota
Semarang yang mengeluh sakit, persentase terbesar 70,42% adalah pengobatan sendiri,
sedangkan berobat jalan 39,28%. Penduduk Kota Semarang yang berobat jalan persentase
terbesar memilih praktek dokter/poliklinik 51,44%, puskesmas/pustu 29,78%, praktek nakes
6,45%, rumah sakit pemerintah 5,53%, rumah sakit swasta 5,13%, praktek tradisional 0,78%,
dukun bersalin 0,00 % dan lainnya 0,88%.
Beberapa obat tradisional dapat menyebabkan bahaya dikarenakan salah penggunaan
bahan, cara penggunaan, dosis dan waktu penggunaan serta penyalahgunaan. Kesalahan ini
dapat menjadi pemicu timbulnya kanker jika digunakan dalam waktu lama, penumpukan
cairan diperut, gangguan pada jantung dan hati, serta menimbulkan efek berbahaya bagi usus
dan lain-lain. (Artikel ilmiah : pemanfaatan obat tradisional dengan pertimbangan manfaat
dan keamanannya, 2006, Lusia Oktora Ruma Kumala Sari). Maka dari itu, Bila swamedika
tidak diimbangi dengan informasi obat yang benar, maka akan menjerumuskan masyarakat
kearah penggunaan obat yang tidak rasional dan dapat menimbulkan bahaya bagi masyarakat.
Hal ini secara umum dikarenakan kurang pahamnya masyarakat tentang khasiat, efek
samping dan cara penyimpanan obat. (jurnal 1464)
I.2 Rumusan Penelitian
Sebagaimana telah dikemukakan, jika swamedika ini tidak diimbangi dengan informasi
obat yang benar, maka akan menjerumuskan masyarakat ke arah penggunaan obat yang tidak
rasional dan dapat menimbulkan bahaya bagi masyarakat. Hal ini karena kurang pahamnya
masyarakat tentang khasiat, efek samping dan cara penyimpanan obat.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, rumusan masalah yang dapat dikemukakan
adalah Bagaimanakah gambaran rasionalisasi pemanfaatan obat keras, obat bebas/ terbatas,
antibiotika, obat tanpa logo, dan obat tradisional di Provinsi Kalimantan Selatan?
I.3 Tujuan Penelitian
Tujuan Umum :
Mengetahui gambaran rasionalisasi pemanfaatan obat keras, obat bebas/ terbatas,
antibiotika, obat tanpa logo, dan obat tradisional.
Tujuan Khusus :
• Memperoleh informasi tentang nama dan jenis jenis obat yang tersedia (disimpan) di
rumah tangga.
• Memperoleh informasi tentang pemanfaatan obat yang tersedia (disimpan) di rumah
tangga.
• Memperoleh informasi tentang sumber obat yang tersedia (disimpan) di rumah tangga.
• Memperoleh informasi tentang kondisi obat yang tersedia (disimpan) di rumah tangga.
1.4 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk dijadikan data awal dan acuan dalam membuat
suatu kebijakan maupun intervensi yang di berikan kepada masyarakat guna meningkatkan
derajat kesehatan. Khusunya di bidang farmasi dalam rasionalisasi pemanfaatannya obat di
masyarakat Propinsi Kalimatan Selatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi Swamedika
Pengobatan sendiri adalah upaya pengobatan sakit menggunakan obat, obat
tradisional atau cara tradisional tanpa petunjuk ahlinya (Anderson, 1979). Swamedikasi
itu sendiri merupakan pengobatan sendiri tanpa resep dari dokter, yang mana masyarakat
dapat membeli obatnya pada apotek, toko obat, maupun warung. Prosentase pengobatan
swamedikasi lebih sering disbanding dengan resep dokter karena jatuhnya harga lebih
murah di banding melalui konsultasi dokter terlebih dahulu. Karena besarnya
swamedikasi dimasyarakat, maka semakin tinggi pula persediaan obat diwarung. (jurnal
stop cinta).
Swamedikasi boleh dilakukan untuk kondisi penyakit yang ringan, umum dan tidak
akut. Setidaknya ada lima komponen informasi yang yang diperlukan untuk swamedikasi
yang tepat menggunakan obat modern, yaitu pengetahuan tentang kandungan aktif obat
(isinya apa?), indikasi (untuk mengobati apa?), dosage (seberapa banyak? seberapa
sering?), efek samping, dan kontra indikasi (siapa/ kondisi apa yang tidak boleh minum
obat itu?). Dasar hukum swamedikasi tertera dalam Permekes
No.919/MENKES/PER/X/1993, yaitu;
Kriteria obat yang digunakan
Sesuai permenkes No.919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang dapat diserahkan
tanpa resep:
1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2
tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan
penyakit.
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan.
4. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan.
5. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.
6. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan
untuk pengobatan sendiri.
(farmasi, swamedikasi)
2.2 Swamedika di Masyarakat
2.2.1 Nama dan Jenis Obat
Persediaan obat dalam keluarga memang sangat penting karena diperlukan
untuk mengatasi keluhan yang menyertai gejala suatu penyakit. Obat adalah bahan
kimia yang sewaktu-waktu dapat mengalami perubahan, baik fisis maupun khemis.
Selain itu obat harganya juga tidak murah sehingga penyimpanan yang tepat akan
lebih menguntungkan. Dari keempat golongan obat yang beredar di masyarakat,
tidak perlu semuanya disediakan di rumah.
Dalam penyimpanan obat, yang perlu diingat adalah bahwa persediaan obat
harus tetap stabil, tidak berubah sifatnya karena pengaruh luar (sinar, lembab).
Beberapa hal yang patut mendapat perhatian adalah (Anief, 1991 : 56) :
1. Obat yang mengandung minyak menguap harus disimpan dalam botol yang
tertutup rapat.
2. Obat yang mudah menarik air (obat bersalut gula), sebaiknya disimpan
di.tempat kering dan tertutup rapat.
3. Obat yang mudah rusak karena pengaruh cahaya sebaiknya disimpan dalam
wadah tertutup yang berwarna gelap.
4. Obat bentuk supositoria yang mudah meleleh serta obat suntik sebaiknya
disimpan di tempat sejuk (almari pendingin).
5. Obat untuk kita harus disimpan tersendiri, tidak boleh dicampur dengan
penyimpanan makanan atau obat pemberantas hama.
6. Obat luar sebaiknya dipisahkan dari obat dalam.
7. Penyimpanan obat harus di luar jangkauan anak-anak, terutama obat-obat yang
mempunyai bentuk dan warna menarik.
Perkembangan dunia pengobatan tidak terlepas dari perkembangan ilmu
kimia. Beberapa contoh obat-obatan yang banyak dikenal, antara lain :
1. Adstringen, adalah obat yang dapat menciutkan selaput lendir, misal Tanninum.
2. Adsorben, adalah zat inert secara kimia yang mampu menyerap gas, toksin, dan
bakteri, misalnya Norit.
3. Analgetik / Antiperik, adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa
nyeri tanpa menghilangkan kesadaran, misalnya Parasetamol, Aspirin.
4. Anestetik, adalah obat yang menyebabkan hilangnya perasaan/pemati rasa,
misalnya Eter, Kloroform, Kloretil.
5. Antasid, adalah obat yang dapat mengurangi asam lambung, misalnya
Mg(OH)2.
6. Antibiotik, yaitu obat yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat
menghambat pertumbuhan atau dapat membunuh mikroorganisme lain,
misalnya Tetrasiklin HCl.
7. Antiseptik, adalah obat yang digunakan untuk meniadakan atau mencegah
keadaan pembusukan, misalnya Merkurokrom, Asam borat.
Penggunaan obat memang harus hati-hati, meskipun obat yang kita gunakan
termasuk obat bebas, karena setiap obat memiliki efek samping yang berbahaya
bagi kesehatan. Beberapa jenis obat mempunyai efek samping yang dapat
membahayakan penderita tanpa sepengetahuan dirinya sendiri. Sebagai contoh,
obat-obat penambah tenaga yang memiliki efek samping mempercepat denyut
jantung, sehingga bila tidak disadari oleh pemakai yang memiliki penyakit jantung
akan fatal akibatnya. Sangat penting bagi kita untuk membaca aturan pemakaian
obat dan kontraindikasi (larangan) yang tercantum pada kemasan obat yang
bersangkutan.
Jenis obat yang digunakan
1. Tanpa resep dokter :
- obat bebas tak terbatas : tanda lingkaran hitam, dasar hijau
- obat bebas terbatas : tanda lingkaran hitam, dasar biru
2. Obat Wajib Apotek (OWA) Merupakan obat keras tanpa resep dokter, tanda:
lingkaran hitam, dasar merah
3. suplemen makanan
Menurut perundang-undangan Farmasi yang dikeluarkan oleh Depar-temen
Kesehatan RI, berdasarkan tingkat keamanan dan ketepatan penggunaan-nya, obat
digolongkan ke dalam empat jenis, yaitu :
1. Obat bebas
Obat-obat yang dalam penggunaannya tidak membahayakan dan masyara-
kat dapat menggunakan sendiri tanpa pengawasan dari dokter. Golongan obat
ini dapat digunakan masyarakat secara bebas tanpa perlu resep dokter dan dapat
dibeli di Apotik, toko obat berijin, serta warung-warung kecil Ciri obat
golongan ini ditandai dengan tanda lingkaran hijau dengan garis tepi hitam.
Sebagai contoh adalah : vitamin B komplek, promag, rivanol, oskadon,
bodrexin, becombion, vital, termagon, dan lain-lain.
2. Obat bebas terbatas
Golongan obat ini dahulu termasuk obat daftar W, dapat dibeli dengan
bebas tetapi diberikan dalam jumlah terbatas. Obat ini disebut terbatas karena
pemberiannya dalam dosis atau takaran terbatas / tertentu. Pada kemasannya
terdapat tanda lingkaran biru dengan garis tepi hitam & tanda peringatan
(P1-6). Sebagai contoh adalah : tablet anti flu, mercurochrome, obat tetes
mata, OBH, Vicks, daktarin, neozep, dulcolax, dan lain-lain. (pemakaiannya
tidak perlu di bawah pengawasan dokter). Pengertian obat bebas adalah
golongan obat yang dalam jumlah tertentu penggunaannya aman, tetapi bila
terlalu banyak akan menimbulkan efek kurang enak.
Pada kemasannya biasanya disertai tanda peringatan serta cara
pemakaiannya. Tanda peringatan tersebut adalah :
1) P. No. 1. Awas ! Obat Keras; Bacalah aturan memakainya. Sebagai contoh :
Tablet Anti Flu, seperti Refagan, Neozep, Decolgen.
2) P. No. 2. Awas ! Obat Keras : hanya untuk kumur, jangan ditelan. Sebagai
contoh : Obat Kumur, seperti Betadine obat kumur, Enkasari, Gargarisma
khan.
3) P. No. 3. Awas ! Obat Keras : hanya untuk bagian luar dari badan. Sebagai
contoh : Betadine solution, kalpanax Tincture, Salep-salep, Obat tetes mata.
4) P. No. 4. Awas ! Obat Keras : hanya untuk dibakar. Sebagai contoh : Rokok
Anti Ashma.
5) P. No. 5. Awas ! Obat Keras : tidak boleh ditelan. Sebagai contoh : Rivanol
kompres untuk kompres luka.
6) P. No. 6. Awas ! Obat Keras : Obat wasir, jangan ditelan. Sebagai contoh :
Anusol, Dulcolax Supp.
3. Obat keras
Dahulu termasuk dalam obat daftar G, yaitu segolongan obat berbahaya,
artinya pemakaiannya harus di bawah pengawasan dokter. Untuk
memperolehnya harus dengan resep dokter, dan hanya dapat diperoleh di
Apotik (termasuk di Rumah Sakit), Puskesmas, Balai Pengobatan, atau
Poliklinik Kesehatan. Pada kemasan ada tanda lingkaran merah dengan garis
tepi hitam dan huruf K yang berwarna hitam. Sebagai contoh : antibiotik,
obat suntik, vaksin, fuladic (obat kulit), bioplacenton (obat luka bakar),
bactoderm (obat kulit), dan lain-lain.
Obat-obat Psikotropika juga merupakan bagian dari golongan obat keras
dan akhir-akhir ini banyak disalahgunakan penggunaannya oleh segolongan
anggota masyarakat. Sebenarnya obat psikotropika merupakan obat yang
digunakan untuk tujuan pengobatan yang menyangkut masalah kejiwaan atau
mental. Pengaruh obat ini terutama pada susunan saraf pusat manusia, minimal
dapat mengurangi gejala yang timbul pada penyakit mental kejiwaan. Obat-
obat yang termasuk golongan ini : Neuroleptika, anti depresan, dan obat
penenang.
Penggunaan obat psikotropika dapat menyebabkan depresi, stimulasi pada
susunan saraf pusat, halusinasi, dan gangguan fungsi motorik / otot, dan efek
lainnya. Oleh karena itu penggunaan obat golongan ini harus benar-benar
digunakan sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk keperluan pengobatan, ilmiah,
dan atau tujuan khusus lainnya, seperti untuk keperluan hukum. Hal ini
tentunya akan membawa akibat gangguan pada kesehatan si pemakai dan dapat
menimbulkan problematik sosial. Contoh obat psikotropika antara lain : tablet
valium, artane, mogadon, dumolid, rivoltril. Di kalangan para pemakai obat-
obat tersebut dikenal dengan sebutan Pil Koplo.
4. Obat narkotika
Dahulu dikenal sebagai obat daftar O, jauh lebih berbahaya dibanding
obat keras, pemakaiannya diawasi secara khusus dan apotik harus memberikan
laporan bulanan rutin kepada Pemerintah. Obat narkotika adalah obat-obatan
yang diperlukan dalam bidang ilmu pengetahuan dan bidang pengobatan.
Penyalahgunaan obat golongan ini dapat berakibat buruk pada tubuh si
pemakai, juga terhadap keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Pemakaian obat
ini dapat menjadikan kecanduan dan ketergantungan yang berakibat merusak
badan dan mental si pemakai.
Untuk mendapatkan obat jenis ini harus dengan resep dokter, dan hanya
boleh diulang bila menggunakan resep yang baru. Sebagai contoh obat
golongan ini adalah : morphin, heroin, codein, LSD, kokain, ganja (hashish),
dan candu.
Dengan mengetahui beberapa golongan obat tersebut diharapkan
masyarakat akan lebih hati-hati dalam menggunakan obat dan sesuai dengan
keinginannya. Pengetahuan tentang jenis obat dan contohnya dapat membantu
masyarakat dalam menggunakan obat secara benar dan tepat untuk mencapai
kesehatan badan maupun rohani yang baik.
Berdasarkan bentuknya, obat terdiri atas 2 golongan, yaitu sediaan padat
dan sediaan cair. Contoh sediaan padat berupa serbuk, tablet, kapsul, pil,
sedangkan sediaan cair berupa solution, emulsi, suspensi, eliksir. Pembuatan
obat dengan bentuk berbeda-beda itu bukan tanpa tujuan, tetapi disesuaikan
dengan keperluannya sehingga efek terapi yang ditimbulkannya bisa
maksimum. Obat yang dikonsumsi akan mengalami peristiwa Absorspsi (A),
Distribusi (D), Metabolisme (M) dan Ekskresi (E) (Anief, 1990 : 12).
Cara pemakaian obat ada 5 macam, yaitu melalui oral (mulut), suntikan
(parental), inhalasi (dihirup), selaput lendir (membran mukosa), dan topikal
(permukaan kulit). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemakaian obat
adalah tentang dosis atau takaran obat. Dikenal bermacam-macam dosis terapi
yang digunakan untuk memberikan efek terapi. Dosis maksimal merupakan
dosis yang apabila dilampaui dapat menjadikan hal-hal yang merugikan badan,
sedangkan dosis letalitas dapat mematikan penderita.
Dalam Penelitian (file), penduduk Indonesia menggunakan obat kimia,
obat tradisional (herbal) dan obat tradisional (jamu). Penduduk Indonesia yang
menggunakan obat (82,7%) cenderung menurun, tetapi penggunaan obat
tradisional (31,7%) dan cara tradisional (9,8%) cenderung meningkat.
Penggunaan obat tradisional meningkat mungkin disebabkan adanya intervensi
pemerintah melalui promosi pemanfaatan obat asli Indonesia dan penggalakkan
TOGA (Taman Obat Keluarga) secara lintas sektor di jajaran Depkes dan tim
penggerak PKK. Peningkatan penggunaan obat tradisional mungkin berkaitan
juga dengan peningkatan jumlah industri obat tradisional dan industri kecil obat
tradisional selama lima tahun terakhir (Depkes, 2001), sehingga meningkatkan
promosi obat tradisional melalui media massa. Dalam penelitian (file)
persentase penduduk Indonesia yang menggunakan obat dalam pengobatan
sendiri lebih tinggi di kota, dengan keluhan sakit kepala, sakit gigi, batuk, dan
pilek, lama sakit tidak lebih dari 3 hari. Menurut Bopeng (1992), 70,7%
warung di Kelurahan Wawonasa menjual obat, terutama untuk keluhan panas,
batuk, pilek dan sakit kepala. Keluhan yang banyak ditanggulangi dengan
pengobatan sendiri adalah batuk, pilek, sakit kepala, dan sakit pinggang. Obat
tradisional dan cara tradisional dalam pengobatan sendiri lebih tinggi di desa,
dengan keluhan lumpuh, campak, kejang, dan kecelakaan. obat tradisional dan
cara tradisional adalah keluhan yang dianggap berat, misalnya kecelakaan,
campak, kejang dan lumpuh. Penggunaan obat tradisional umumnya berupa
jamu buatan pabrik dan jamu gendong, sementara jamu buatan sendiri sangat
sedikit digunakan (BPS, 1995). (jurnal File)
2.2.2 Pemanfaatan Obat
Dalam pemanfaatan obat, golongan obat bebas dan bebas terbataslah yang
sering dipergunakan oleh masyarakat untuk mengurangi keluhan sakitnya yaitu
1. Obat untuk mengurangi rasa sakit pada anak-anak dan dewasa.
2. Obat untuk mengatasi keracunan (karena obat. makanan, dan bahan lain).
3. Obat untuk mengatasi infeksi akibat kecelakaan, misal betadine, bioplacenton.
(jurnal dirimu)
Tanaman obat maupun obat tradisional relatif mudah untuk didapatkan karena
tidak memerlukan resep dokter, hal ini mendorong terjadinya penyalahgunaan
manfaat dari tanaman obat maupun obat tradisional tersebut. Contoh :
a. Jamu peluntur untuk terlambat bulan sering disalahgunakan untuk
pengguguran kandungan. Resiko yang terjadi adalah bayi lahir cacat, ibu
menjadi infertil, terjadi infeksi bahkan kematian.
b. Menghisap kecubung sebagai psikotropika.
c. Penambahan bahan kimia obat
Pada bulan Mei 2003, Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
Pekanbaru menarik 9.708 kotak obat tradisional dari peredaran dan
memusnahkannya. Obat yang ditarik dari peredarannya sebagian besar berupa
jamu-jamuan yang mengandung bahan-bahan kimia obat (BKO) berbahaya bagi
tubuh pemakainya. Bahan-bahan kimia obat yang biasa dicampurkan itu adalah
parasetamol, coffein, piroksikam, theophylin, deksabutason, CTM, serta bahan
kimia penahan rasa sakit seperti antalgin dan fenilbutazon (Kompas, 31 Mei
2003). Bahan-bahan kimia obat tersebut dapat menimbulkan efek negatif di
dalam tubuh pemakainya jika digunakan dalam jumlah banyak. Bahan kimia
seperti antalgin misalnya, dapat mengakibatkan kerusakan pada organ
pencernaan, berupa penipisan dinding usus hingga menyebabkan pendarahan.
Fenilbutazon dapat menyebabkan pemakainya menjadi gemuk pada bagian pipi,
namun hanya berisi cairan yang dikenal dengan istilah moonface, dan jika
digunakan dalam waktu yang lama dapat menyebabkan osteoporosis. (Artikel
ilmiah : pemanfaatan obat tradisional dengan pertimbangan manfaat dan
keamanannya, 2006, Lusia Oktora Ruma Kumala Sari).
2.2.3 Sumber Obat
Kriteria yang dipakai untuk memilih sumber pengobatan, menurut Kalangee (1984),
adalah pengetahuan tentang sakit dan obatnya, biaya yang berkaitan dengan
pengobatan, keparahan sakit serta nasehat keluarga. Proses pengambilan keputusan
dimulai dengan penerimaan informasi, memproses berbagai informasi dan
dampaknya, dan kemudian mengambil keputusan dengan berbagai dampaknya
(Suryawati, 1991). Masyarakat memperoleh informasinya dalam pengobatan sendiri
berasal dari tenaga kesehatan (55,7%), dari nenek moyang (20,2%), dari iklan TV dan
radio (16,4%) serta dari teman atau tetangga (7,7%).
Sebagai contoh dalam penelitian yang dilakukan dalam pemilihan obat batuk di
masyarakat Godean, dalam memperoleh obat batuk, masyarakat di Godean
mempunyai dasar pemilihan antara lain: membeli sendiri karena pengaruh iklan
(46,5%), dari obat yang pernah diresepkan dokter (37,5%), kebetulan ada dirumah
(8,6%) dan diperoleh dari teman atau tetangga (7,7%). Dari data tersebut informasi
dari iklan ternyata paling tinggi, karena memang sangat gencarnya iklan obat batuk di
TV atau radio. Informasi dari iklan yang mungkin tidak dibarengi informasi yang
benar, akan memberikan efek yang merugikan bagi masyarakat.
2.2.4 Kondisi Obat
512
BAB III
KERANGKA KONSEP
Konsep hidup sehat H.L. Blum sampai saat ini masih relevan untuk diterapkan.
Kondisi sehat secara holistik bukan saja kondisi sehat secara fisik melainkan juga spiritual
dan sosial dalam bermasyarakat. Untuk menciptakan kondisi sehat seperti ini diperlukan
suatu keharmonisan dalam menjaga kesehatan tubuh. H.L Blum menjelaskan ada empat
faktor utama yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Keempat faktor tersebut
merupakan faktor determinan timbulnya masalah kesehatan.
Menurut H.L Blum, ada 4 faktor yang bersama-sama mempengaruhi tingkat kesehatan
masyarakat, yaitu:
1. Kesehatan Lingkungan
2. Perilaku
3. Pelayanan Kesehatan
4. Genetik
(beri beberapa teori dan data kasus tentang ketidak rasionalan penggunaan obat) swamedikasi
Gambar 3.1 Kerangka Konsep yang dikemukakan adalah Bagaimana perilaku dari individu
berpengaruh terhadap dengan status derajat kesehatan di Provinsi Kalimantan Selatan.
BAB IV
METODE PENELITIAN
IV.1 Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain penelitian deskriftif
observational. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional karena variabel-variabel di
observasi pada saat yang bersamaan dengan cara wawancara terstruktur menggunakan
kuesioner terhadap responden terpilih yang dikunjungi rumahnya. Metode pengambilan
sampel yang dipakai adalah cluster sampling yang diadopsi dari Expanded Program on
Immunization (EPI) WHO.
IV.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan May-Agustus 2013 di Propinsi Kalimantan
Selatan dengan kabupaten/ kota yang mendapat program bantuan penyedia air minum dan
sanitasi berbasis masyarakat (pamsimas) sebagai lokasi penelitian. Ada 8 kabupaten/ kota
yang termasuk dalam program pamsimas yaitu, kabupaten barito koala, kabupaten hulu
sungai utara, kabupaten hulu sungai selatan, kabupaten balangan, kabupaten tanah laut,
kabupaten kota baru, kabupaten tanah bumbu, kabupaten banjar.
IV.3 Populasi dan Sampel Penelitian
IV.3.1 Populasi Penelitian
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh warga Propinsi Kalimntan Selatan,
sedangkan populasi dari studi dari penelitian ini yaitu penduduk yang berusia > 17 thn yang
bertempat tinggal di kabupaten/kota yang masuk dalam cluster penelitian.
IV.3.2 Sampel
Pemilihan sampel penelitian dilakukan di 30 cluster dengan langkah-langkah
pemilihan cluster sebagai berikut:
• Menghitung jumlah kabupaten/kota di Propinsi Kalimnantan
Selatan yang akan disurvey serta mencatat jumlah penduduk.
• Memilih angka pertama sebagai starting point dengancara
memilih secara acak angka dari 1 sampai dengan angka
sampling interval. Di kolom desa yang mana letak angka yang
terpilih tersebut, itulah desa pertama yang akan disurvei.
• Menentukan cluster selanjutnya yang akan disurvei dengan
menambah starting point dengan sampling interval. Angka
yang didapatkan kemudian ditambahkan lagi dengan sampling
interval, dan seterusnya untuk menentukan cluster yang akan
disurvei sampai dengan 30 cluster.
Besar sampel penelitian dihitung dengan menggunakan rumus (Lemeshow, 1997):
n
Keterangan :
n = jumlah sampel
Z = deviasi normal standart pada £
P = proporsi diasumsikan 0,5
d = presisi relative (10%)
CI = 95%
Deff = design effect diasumsikan 2
n = (1,96)².0,5(1-0,5)x2
(0,10)²
= 192
Total sampel cluster sebesar 193 sampel. 30 cluster terdiri dari 16 desa. Jadi, 193/30=
7 sampel di setiap cluster. Total sampel 7x30= 210. Jadi total sampel minimal yang dipakai
dan dianalisis sebesar 210.
IV.4 Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang
digunakan adalah data yang dikumpulkan pada bulan juni 2013 dengan cara wawancara
menggunakan instrument penelitian berupa kuesioner yang telah dirancang untuk mengukur
variabel-variabel penelitianan.
Data sekunder merupakan data-data yang dikumpulkan dari dari berbagai instansi
terkait dengan penelitian ini.
Pengumpulan data primer dilakukan pada bulan juni 2013 Petugas pengumpul data
berjumlah 4 orang dengan latar belakang pendidikan kesehatan. Sebelum melakukan
pengumpulan data, petugas pengumpul data dilatih terlebih dahulu dalam hal pengisisan
kuesioner dan teknik pengambilan sampel. Adapun teknik pengambilan sampel dengan cara
melakukan kunjungan ke rumah responden dengan metode sebagai berikut:
• Menentukan central point, dapat berupa rumah ibadah atau kantor di
kabupaten tersebut.
• Menetukan arah survey secara acak dengan melemparkan pena hingga mata
pena menunjukan arah tertentu.
• Mengikuti arah yang telah ada untuk memilih rumah pertama dan memulai
wawancara.
• Setelah wawancara di rumah pertama selesai, survei dilanjutkan ke rumah
berikutnya dengan metode zig-zag. Rumah yang dipilih berikutnya adalah
rumah di sebrang jalan rumah pertama dengan jarak beberapa rumah dari
rumah petama dan menjauhi central point. Rumah berikutnya adalah rumah
disebrang rumah kedua dengan jarak beberapa rumah dari rumah kedua. Jarak
rumah dalam penelitian ini tidak ditentukan, tetapi diusahakan tidak terlalu
berdekatan.
• Jika dalam pertengahan survey ditemui persimpangan jalan maka ditentukan
kembali arah survey dengan melempar pena hingga menunjukan arah survei
yang baru dan penelitian dapat dilanjutkan.
• Bila tidak ada rumah lagi, pewawancara kembali lagi ke central point dan
tentukan arah lagi dengan melempar pena.
• Begitu seterusnya sampai didapatkan minimal 7 rumah responden tiap cluster.
Gambar 4.1Alur Pemgumpulan Data Penelitian
IV.5 Pengolahan Data
Data yang telah diperoleh diberi kode sehingga memudahkan proses pengumpulan
data terutama saat pemasukan data ke computer. Setelah pengkodean data, dilukan
penyuntingan data untuk memeriksa adanya kesalahan atau ketidak lengkapan data. Sebelum
memasukan data terlebih dahulu dibuat struktur data dan file data dengan menggunakan
program SPSS 17. Proses pemasukan data dilakukan dengan menggunakan program SPPSS
17. Data yang sudah dimasukan kemudian di cek ulang dengan menggunakan fasilitas pada
program SPSS 17. Untuk menghndari kesalahan dalam pengolahan data.
IV.6 Analisis data
Untuk menjawab tujuan penelitian yang ingin dicapai dilkukan analisis data dengan
menggunakan program SPSS 17. Langkah-langkah analisis data dilakukan secara bertahap,
yaitu analisis univariat dengan coss tabulation.
DAFTAR PUSTAKA