Latar Belakang Masalah - · PDF fileKonstitusi merupakan document social dan politik bangsa...

46
1 tokogurusosial.wordpress.com [email protected] BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kenyataan sejarah mengajarkan bahwa kekuasaan Negara yang tidak diatur dan dibatasi akan cenderung mengarah pada otoriterisme atau bahkan totaliterisme. Keinginan untuk membatasi kekuasaan agar tidak disalahgunakan dapat terlihat dari perkembangan konsep negara. Konsep social contract berkembang menjadi konsep negara penjaga malam (nachtwacherstaat) yang kemudian berkembang lagi menjadi konsep negara kesejahteraan (welfaresate). Pembatasan kekuasaan dalam negara perlu diwujudkan dalam bentuk hukum, oleh karena itu lahirlah konsep negara hukum. Perkembangan lebih lanjut dari konsep negara hukum adalah konsep negara (hukum) konstitusi. Konsep terakhir ini lebih memberikan jaminan akan adanya pemisahan kekuasaan yang dituangkan dalam bentuk konstitusi tertulis. Tulisan ini mencoba untuk mengungkapkan benang merah antara konsep konstitusionalisme, pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan checks and balances system serta bagaimana ketiga konsep tersebut diimplementasikan dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945. Suatu konstitusi memuat aturan atau sendi-sendi pokok yang bersifat fundamental untuk menegakkan bangunan besar yang bernama “Negara”. Karena sifatnya yang fundamental ini maka aturan ini harus kuat dan tidak boleh mudah berubah-ubah. Dengan kata lain aturan fundamental itu harus tahan uji terhadap kemungkinan untuk diubah-ubah berdasarkan kepentingan jangka pendek yang bersifat sesaat.

Transcript of Latar Belakang Masalah - · PDF fileKonstitusi merupakan document social dan politik bangsa...

1 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kenyataan sejarah mengajarkan bahwa kekuasaan Negara yang tidak diatur dan dibatasi

akan cenderung mengarah pada otoriterisme atau bahkan totaliterisme. Keinginan untuk

membatasi kekuasaan agar tidak disalahgunakan dapat terlihat dari perkembangan konsep

negara. Konsep social contract berkembang menjadi konsep negara penjaga malam

(nachtwacherstaat) yang kemudian berkembang lagi menjadi konsep negara kesejahteraan

(welfaresate). Pembatasan kekuasaan dalam negara perlu diwujudkan dalam bentuk hukum, oleh

karena itu lahirlah konsep negara hukum. Perkembangan lebih lanjut dari konsep negara hukum

adalah konsep negara (hukum) konstitusi. Konsep terakhir ini lebih memberikan jaminan akan

adanya pemisahan kekuasaan yang dituangkan dalam bentuk konstitusi tertulis. Tulisan ini

mencoba untuk mengungkapkan benang merah antara konsep konstitusionalisme, pemisahan

kekuasaan (separation of powers) dan checks and balances system serta bagaimana ketiga

konsep tersebut diimplementasikan dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Suatu konstitusi memuat aturan atau sendi-sendi pokok yang bersifat fundamental untuk

menegakkan bangunan besar yang bernama “Negara”. Karena sifatnya yang fundamental ini

maka aturan ini harus kuat dan tidak boleh mudah berubah-ubah. Dengan kata lain aturan

fundamental itu harus tahan uji terhadap kemungkinan untuk diubah-ubah berdasarkan

kepentingan jangka pendek yang bersifat sesaat.

2 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian latar belakang masalah diatas dan supaya permasalahan

dalam penelitian ini dapat terjawab secara akurat, maka permasalahan yang akan kami

bahas adalah sebagai berikut :

1. Apa pengertian Konstitusi?

2. Bagaimana perwujudan konstusionalisme?

3. Apa tujuan dibuatnya suatu konstitusi?

4. Bagaimana subtansi suatu konstitusi?

5. Bagaimana Proses perubahan konstitusi (amandemen)?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan kelompok kami menyusun makalah ini adalah :

1. Untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Hukum Tata Negara.

2. Untuk mengetahui lebih dalam tentang ilmu tata negara.

3. Untuk mengetahui pengertian dan makna, konstitusi dan konsep konstitusionalisme.

4. Untuk mengkaji tentang tujuan negara membuat konstitusi.

5. Untuk mengkaji klasifikasi dan proses perubahan suatu konstitusi.

6. Kepentingan teoritik; memperkaya teori-teori mengenai mata kuliah Hukum Tata

Negara.

3 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Konstitusi.

Konstitusi merupakan document social dan politik bangsa Indonesia yang memuat

konstatasi dasar tatanan bernegara. Di samping itu, konstitusi juga merupakan dokument hukum

yang kemudian dipelajari secara khusus menjadi hukum konstitusi (hukum tata negara) yang

merupakan hukum yang mendasari seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara1.

Prof. Bagir Manan mengatakan bahwa konstitusi ialah sekelompok ketentuan yang

mengatur organisasi negara dan susunan pemerintahan suatu negara, Sehingga negara dan

konstitusi adalah satu pasangan yang tidak dapat dipisahkan2. Setiap negara tentu mempunyai

konstitusi, meskipun mungkin tidak tertulis. Konstitusi mempunyai arti dan fungsi yang sangat

penting bagi negara, baik secara formil, materiil, maupun konstitusionil.

Konstitusi juga mempunyai fungsi konstitusional, sebagai sumber dan dasar cita bangsa

dan negara yang berupa nilai-nilai dan kaidah-kaidah dasar bagi kehidupan bernegara. Ia selalu

mencerminkan semangat yang oleh penyusunnya ingin diabadikan dalam konstitusi tersebut

sehingga mewarnai seluruh naskah konstitusi tersebut.

1 Hendra nurtjahjo, ilmu negara, (Jakarata : PT Grafindo Persada, 2005, hlm.57

2 Moh. Kusnardi, Harmaily Ibrohim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas

Hukum Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti, cet.7, 1988, hal. 64

4 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

Pengertian konstitusi menurut para ahli

a) Koernimanto soetopawiro

Istilah konstitusi berasal dari bahasa latin cisme yang berarati bersama

dengan dan statute yang berarti membuat sesuatu agar berdiri. Jadi konstitusi

berarti menetapkan secara bersama.

b) Lasalle

Konstitusi adalah hubungan antara kekuasaaan yang terdapat di dalam

masyarakat seperti golongan yang mempunyai kedudukan nyata di dalam

masyarakat misalnya kepala negara angkatan perang, partai politik.

c) Herman heller

Konstitusi mempunyai arti luas daripada UUD. Konstitusi tidak hanya

bersifat yuridis tetapi juga sosiologis dan politis.

d) K. C. Wheare

Konstitusi adalah keseluruhan sistem ketaatanegaraaan suatu negara yang

berupa kumpulan peraturan yang mmbentuk mengatur /memerintah dalam

pemerintahan suatu negara.3

3 Budiyanto, Kewarga Negaraan Untuk SMA kelas X, Jakarta : Erlangga,2004, cet.1, hlm.152

5 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

Secara etimologis “konstitusi” berasal dari bahasa Perancis Constituer dan Constitution,

kata pertama berarti membentuk, mendirikan atau menyusun, dan kata kedua berarti susunan

atau pranata (masyarakat). Dengan demikian konstitusi memiliki arti; permulaan dari segala

peraturan mengenai suatu Negara. Pada umumnya langkah awal untuk mempelajari hukum tata

negara dari suatu negara dimulai dari konstitusi negara bersangkutan.

Mempelajari konstitusi berarti juga mempelajari hukum tata negara dari suatu negara,

sehingga hukum tata negara disebut juga dengan constitutional law. Istilah Constitutional Law di

Inggris menunjukkan arti yang sama dengan hukum tata negara. Penggunaan istilah

Constitutional Law didasarkan atas alasan bahwa dalam hukum tata Negara unsur konstitusi

lebih menonjol.

Dengan demikian suatu konstitusi memuat aturan atau sendi-sendi pokok yang bersifat

fundamental untuk menegakkan bangunan besar yang bernama “Negara”. Karena sifatnya yang

fundamental ini maka aturan ini harus kuat dan tidak boleh mudah berubah-ubah. Dengan kata

lain aturan fundamental itu harus tahan uji terhadap kemungkinan untuk diubah-ubah

berdasarkan kepentingan jangka pendek yang bersifat sesaat.

Konstitusi dalam pengertian luas adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau

hukum dasar. Konstitusi dalam pengertian sempit berarti piagam dasar atau undang-undang dasar

(Loi constitutionallle) ialah suatu dokumen lengkap mengenai peraturan dasar negara. Menurut

EC Wade Konstitusi adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas pokok dari badan

pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan tersebut dan

menamakan undang-undang dasar sebagai riwayat hidup suatu hubungan kekuasaan4.

4 Prof. Jimly Asshiddiqie, Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial Menurut UUD 1945 serta Mahkamah Konstitusi

6 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

Sejarah Konstitusi

Terminologi Klasik: Constitutio, Politeia dan Nomoi

Dari catatan sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian

kita sekarang tentang konstitusi, yaitu dalam perkataan Yunani Kuno politeia dan perkataan

bahasa Latin constitutio yang juga berkaitan dengan kata jus. Dalam kedua perkataan politeia

dan constitutio itulah awal mula gagasan konstitusionalisme diekspresikan oleh umat manusia

beserta hubungan di antara kedua istilah dalam sejarah. Dari kedua istilah itu, kata politeia

dari kebudayaan Yunani dapat disebut yang paling tua usianya. Pengertiannya secara luas

mencakup:

“all the innumerable characteristics which determine that state‟s peculiar nature, and

these include its whole economic and social texture as well as matters governmental in

our narrower modern sense. It is a purely descriptive term, and as inclusive in its

meaning as our own use of the word „constitution‟ when we speak generally of a man‟s

constitution or of the constitution of matter”.

Dalam bahasa Yunani Kuno tidak dikenal adanya istilah yang mencerminkan pengertian

kata jus ataupun constitutio sebagaimana dalam tradisi Romawi yang datang kemudian.5 Dalam

keseluruhan sistem berpikir para filosof Yunani Kuno, perkataan constitution adalah seperti apa

yang kita maksudkan sekarang ini. Menurut Charles Howard McIlwain dalam bukunya

“Constitutionalism: Ancient and Modern” (1947), perkataan constitution di zaman Kekaisaran

Romawi (Roman Empire), dalam bentuk bahasa latinnya, mula-mula digunakan sebagai istilah

5 Analogi di antara organisasi negara (state organization) dan organisme manusia (human organism) ini, seperti dikatakan oleh

M.L. Newman dalam The Politics of Aristotle, merupakan the central inquiry of political science di dalam sejarah Yunani Kuno.

7 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

teknis untuk menyebut the acts of legislation by the Emperor.6 Bersamaan dengan banyak aspek

dari hukum Romawi yang dipinjam ke dalam sistem pemikiran hukum di kalangan gereja, maka

istilah teknis constitution juga dipinjam untuk menyebut peraturanperaturan eklesiastik yang

berlaku di seluruh gereja ataupun untuk beberapa peraturan eklesiastik yang berlaku di gereja-

gereja tertentu (ecclesiastical province). Oleh karena itu, kitab-kitab Hukum Romawi dan

Hukum Gereja (Kanonik) itulah yang sering dianggap sebagai sumber rujukan atau referensi

paling awal mengenai penggunaan perkataan constitution dalam sejarah.

Dengan perkataan lain, pengertian konstitusi itu di zaman Yunani Kuno masih bersifat

materiil, dalam arti belum berbentuk seperti yang dimengerti di zaman modern sekarang.

Namun, perbedaan antara konstitusi dengan hukum biasa sudah tergambar dalam pembedaan

yang dilakukan oleh Aristoteles terhadap pengertian kata politea dan nomoi. Pengertian politiea

dapat disepadankan dengan pengertian konstitusi, sedangkan nomoi adalah undang-undang

biasa. 7

Politea mengandung kekuasaan yang lebih tinggi dari pada nomoi, karena politea

mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi tidak ada, karena ia hanya

merupakan materi yang harus dibentuk agar supaya tidak bercerai-berai. Dalam kebudayaan

Yunani istilah konstitusi berhubungan erat dengan ucapan Respublica Constituere yang

melahirkan semboyan, Prinsep Legibus Solutus Est, Salus Publica Suprema Lex, yang

artinya ”Rajalah yang berhak menentukan struktur organisasi negara, karena dialah satu-satunya

pembuat undang-undang”.8

Di Inggris, peraturan yang pertama kali dikaitkan dengan istilah konstitusi adalah

“Constitutions of Clarendon 1164” yang disebut oleh Henry II sebagai constitutions, avitae

6 Ibid., hal. 23.

7 Ibid.

8 Bandingkan antara Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., dengan Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hal.

88-89; dan bukubuku sejenis lainnya.

8 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

constitutions or leges, a recordatio vel recognition,9 menyangkut hubungan antara gereja dan

pemerintahan Negara di masa pemerintahan kakeknya, yaitu Henry I. Isi peraturan yang disebut

sebagai konstitusi tersebut masih bersifat eklesiastik, meskipun pemasyarakatannya dilakukan

oleh pemerintahan sekuler. Namun, di masa-masa selanjutnya, istilah constitutio itu sering pula

dipertukarkan satu sama lain dengan istilah lex atau edictum untuk menyebut berbagai secular

administrative enactments. Glanvill sering menggunakan kata constitution untuk a royal edict

(titah raja atau ratu). Glanvill juga mengaitkan Henry II‟s writ creating the remedy by grand

assize as „legalis is a constitutio‟,10

dan menyebut the assize of novel disseisin sebagai a

recognitio sekaligus sebagai a constitutio. 11

Beberapa tahun setelah diberlakukannya UndangUndang Merton pada tahun 1236, Bracton

menulis artikel yang menyebut salah satu ketentuan dalam undangundang itu sebagai a new

constitution, dan mengaitkan satu bagian dari Magna Charta yang dikeluarkan kembali pada

tahun 1225 sebagai constitutio libertatis. Dalam waktu yang hampir bersamaan (satu zaman),

Beaumanoir di Perancis berpendapat bahwa “speaks of the remedy in novel disseisin as ‟une

nouvele constitucion‟ made by the kings”. Ketika itu dan selama beradab-abad sesudahnya,

perkataan constitution selalu diartikan sebagai a particular administrative enactment much as it

had meant to the Roman lawyers. Perkataan constitution ini dipakai untuk membedakan antara

particular enactment dari consuetudo atau ancient custom (kebiasaan).

Pierre Gregoire Tholosano (of Toulouse), dalam bukunya De Republica (1578)

menggunakan kata constitution dalam arti yang hampir sama dengan pengertian sekarang.12

Hanya saja kandungan maknanya lebih luas dan lebih umum, karena Gregoire memakai frase

yang lebih tua, yaitu status reipublicae. Dapat dikatakan bahwa di zaman ini, arti perkataan

9 Dokumen Constitutions of Clarendon menyebut dirinya sendiri sebagai recordatio (record) atau recognitio (a finding). Pengarang

buku “Leges Henrici Primi” pada awal abad ke-12, juga menyebut “the well-known writ of Henry I for the holding of the hundred

and county courts” sebagai record. 10

George E. Woodbine (ed.), Glanvill De Legibus et Consuetudinibus Angiluae, (New Haven: 1932), hal. 63. 11

McIlwain, Op. Cit., hal. 24. 12

Authore D. Petro Gregorio Tholosano, De Republica Libri Sex et Viginti, lib.I, cap. I, 16, 19, Lugduni, 1609, hal. 4-5.

9 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

constitution tercermin dalam pernyataan Sir James Whitelocke pada sekitar tahun yang sama,

yaitu “the natural frame and constitution of the policy of this Kingdom, which is jus publicum

regni”. Bagi James Whitelocke, jus publicum regni itulah yang merupakan kerangka alami dan

konstitusi politik bagi kerajaan. Dari sini, kita dapat memahami pengertian konstitusi dalam dua

konsepsi. Pertama, konstitusi sebagai the natural frame of the state yang dapat ditarik ke

belakang dengan mengaitkannya dengan pengertian politeia dalam tradisi Yunani Kuno. Kedua,

konstitusi dalam arti jus publicum regni, yaitu the public law of the realm. Cicero 13

dapat

disebut sebagai sarjana pertama yang menggunakan perkataan constitutio dalam pengertian

kedua ini, seperti tergambar dalam bukunya “De Re Publica”. Di lingkungan Kerajaan Romawi

(Roman Empire), perkataan constitutio ini dalam bentuk Latinnya juga dipakai sebagai istilah

teknis untuk menyebut the acts of legislation by the Emperor. Menurut Cicero, “This

constitution (haec constitution) has a great measure of equability without which men can hardly

remain free for any length of time”. Selanjutnya dikatakan oleh Cicero:

“Now that opinion of Cato becomes more certain, that the constitution of the republic

(consitutionem rei publicae) is the work of no single time or of no single man”.

Pendapat Cato dapat dipahami secara lebih pasti bahwa konstitusi republik bukanlah hasil

kerja satu waktu ataupun satu orang, melainkan kerja kolektif dan akumulatif. Oleh karena itu,

dari sudut etimologi, konsep klasik mengenai konstitusi dan konstitusionalisme dapat ditelusuri

lebih mendalam dalam perkembangan penger tian dan penggunaan perkataan politeia dalam

bahasa Yunani dan perkataan constitutio dalam bahasa Latin, serta hubungan di antara keduanya

satu sama lain di sepanjang sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik kehidupan

13

Nama lengkapnya adalah Marcus Tullius Cicero (106-43 BC). Menurut R.N. Berki, “In the extant writings of the great Roman statesman and orator, Marcus Tullius Cicero (106-43 BC), we find the most interesting formulations of Roman Stoicism as regards political thought”. Lihat R.N. Berki, The History of Political Thought: A Short Introduction, (London: J.J.Dent and Sons, Everyman’s University Library, 1988), hal. 74.

10 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

kenegaraan dan hukum.

Perkembangan-perkembangan demikian itulah yang pada akhirnya mengantarkan umat

manusia pada pengertian kata constitution itu dalam bahasa Inggris modern. Dalam Oxford

Dictionary, perkataan constitution dikaitkan dengan beberapa arti, yaitu: “… the act of

establishing or of ordaining, or the ordinance or regulation so established”. Selain itu, kata

constitution juga diartikan sebagai pembuatan atau penyusunan yang menentukan hakikat

sesuatu (the “make” or composition which determines the nature of anything). Oleh karena itu,

constitution dapat pula dipakai untuk menyebut “… the body or the mind of man as well as to

external objects”.

Dalam pengertiannya yang demikian itu, konstitusi selalu dianggap “mendahului” dan

“mengatasi” pemerintahan dan segala keputusan serta peraturan lainnya. A Constitution, kata

Thomas Paine, “is not the act of a government but of the people constituting a government”.14

Konstitusi disebut mendahului, bukan karena urutan waktunya, melainkan dalam sifatnya yang

superior dan kewenangannya untuk mengikat. Oleh sebab itu, Charles Howard McIlwain

menjelaskan:

“In fact, the traditional notion of constitutionalism before the late eighteenth century

was of a set of principles embodied in the institutions of a nation and neither external to

these nor in existence prior to them”.15

Secara tradisional, sebelum abad ke-18, konstitutionalisme memang selalu dilihat sebagai

seperangkat prinsip-prinsip yang tercermin dalam kelembagaan suatu bangsa dan tidak ada yang

mengatasinya dari luar serta tidak ada pula yang mendahuluinya.

14

McIlwain, Op. Cit., hal. 20. 15

Ibid., hal. 12.

11 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

2.2. Konstusionalisme

Konstitusi selalu terkait dengan paham konstitusionalisme. Walton H. Hamilton

menyatakan “Constitutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of

words engrossed on parchment to keep a government in order”16

. Untuk tujuan to keep a

government in order itu diperlukan pengaturan yang sedemikian rupa, sehingga dinamika

kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya.

Gagasan mengatur dan membatasi kekuasaan ini secara alamiah muncul karena adanya

kebutuhan untuk merespons perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan

umat manusia.

Konstitusionalisme di zaman sekarang dianggap sebagai suatu konsep yang niscaya bagi

setiap negara modern. Seperti dikemukakan oleh C.J. Friedrich sebagaimana dikutip di atas,

“constitutionalism is an institutionalized system of effective, regularized restraints upon

governmental action”. Basis pokoknya adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus)

di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara.

Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka

bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme

yang disebut negara.17

Kata kuncinya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepa-

katan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan

pada gilirannya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi. Hal ini misalnya, tercermin

dalam tiga peristiwa besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi di

16 Walton H. Hamilton, Constitutionalism, Encyclopedia of Social Sciences, Edwin R.A., Seligman & Alvin Johnson, eds., 1931, hal.

255.

17 William G. Andrews, misalnya, dalam bukunya Constitutions and Constitutionalism 3rd edition, menyatakan: “The members of a

political community have, bu definition, common interests which they seek to promote or protect through the creation and use of

the compulsory political mechanisms we call the State”, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hal. 9.

12 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

Perancis tahun 1789, di Amerika pada tahun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917, ataupun

peristiwa besar di Indonesia pada tahun 1945, 1965 dan 1998.

Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan konsep konstitusionalisme, maka

perlu terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan konstitusi. Konstitusi secara harfiah

berarti pembentukan. Kata konstitusi sendiri berasal dari bahasa Perancis yaitu constituir yang

bermakna membentuk. Dalam bahasa latin, istilah konstitusi merupakan gabungan dua kata yaitu

cume dan statuere. Bentuk tunggalnya contitutio yang berarti menetapkan sesuatu secara

bersama-sama dan bentuk jamaknya constitusiones yang berarti segala sesuatu yang telah

ditetapkan.

Ada beberapa pengertian mengenai konstitusi diantaranya adalah pengertian yang

diberikan menurut James Bryce (C.F. Strong, 1966:11) yaitu constitution is a collection of

principles according to which the powers of the government, the rights of the governed, and the

relations between the two are adjusted. Suatu konstitusi setidaknya mengatur mengenai berbagai

institusi kekuasaan yang ada dalam negara, kekuasaan yang dimiliki oleh institusi-institusi

tersebut, dan dalam cara seperti apa kekuasaan tersebut dijalankan. Dengan demikian secara

sederhana yang menjadi objek dalam konstitusi adalah pembatasan terhadap tindakan

pemerintah, hal ini ditujukan untuk memberikan jaminan terhadap hak-hak warga negara dan

menjabarkan bagaimana kedaulatan itu dijalankan.

Mengenai peranan konstitusi dalam negara, C.F Strong (1966:12) mengibaratkan

konstitusi sebagai tubuh manusia dan negara serta badan politik sebagai organ dari tubuh. Organ

tubuh akan bekerja secara harmonis apabila tubuh dalam keadaan sehat dan sebaliknya. Negara

ataupun badan-badan politik akan bekerja sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam

konstitusi.

Berdasarkan pengertian dan peranan konstitusi dalam negara tersebut maka yang

dimaksud dengan konsep konstitusionalisme adalah konsep mengenai supremasi konstitusi.

Adnan Buyung Nasution (Negara Hukum Konstitusionalisme, 1995:111) menyatakan bahwa

13 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

konstitusi merupakan aturan main tertinggi dalam negara yang wajib dipatuhi baik oleh

pemegang kekuasaan dalam negara maupun oleh setiap warga negara.

Louis Henkin (2000) menyatakan bahwa konstitusionalisme memiliki elemen-elemen

sebagai berikut: (1) pemerintah berdasarkan konstitusi (government according to the

constitution); (2) pemisahan kekuasaan (separation of power); (3) Kedaulatan rakyat dan

pemerintahan yang demokratis (sovereignty of the people and democratic government); (4)

Riview atas konstitusi (constitutional review); (5) Independensi kekuasaan kehakiman

(independent judiciary); (6) Pemerintah yang dibatasi oleh hak-hak individu (limited government

subject to a bill of individual rights); (7) Pengawasan atas kepolisian (controlling the police); (8)

Kontrol sipil atas militer (civilian control of the military); and (9) Kekuasaan negara yang

dibatasi oleh konstitusi (no state power, or very limited and strictly circumscribed state power, to

suspend the operation of some parts of, or the entire, constitution).

Kesembilan elemen dari konstitusi tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yang

berkaitan dengan fungsi konstitusi sebagai berikut:

1. membagi kekuasaan dalam negara yakni antar cabang kekuasaan negara (terutama

kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif) sehingga terwujud sistem checks

and balances dalam penyelenggaraan negara.

2. membatasi kekuasaan pemerintah atau penguasa dalam negara. Pembatasan

kekuasaan itu mencakup dua hal: isi kekuasaan dan waktu pelaksanaan

kekuasaan. Pembatasan isi kekuasaan mengandung arti bahwa dalam konstitusi

ditentukan tugas serta wewenang lembaga-lembaga negara.

2.3. Tujuan dari Konstitusi

Menurut Brian Thompson, secara sederhana pertanyaan: what is a constitution dapat

dijawab bahwa “…a constitution is a document which contains the rules for the the

14 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

operation of an organization”18

. Organisasi dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas

strukturnya. Negara sebagai salah satu bentuk organisasi, pada umumnya selalu memiliki

naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Hanya Inggris dan

Israel saja yang sampai sekarang dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis yang disebut

Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar di kedua negara ini tidak pernah dibuat,

tetapi tumbuh19

menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan. Namun para

ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris.20

Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas

kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu

menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat.

Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku

tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power21

yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diatur-

nya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap

menentukan berlakunya suatu konstitusi.

Constituent power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pemerin-

tahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi.22

Pengertian constituent power

berkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan

hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena

18 Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, (London: Blackstone Press ltd., 1997),

hal. 3.

19 Bandingkan dengan kesimpulan yang dikemukakan oleh Brian Thompson tentang konstitusi Inggris, “In other words the

British constitution was not made, rather it has grown”. Ibid., hal. 5.

20 O. Hood Phillips, Constitutional and Administrative Law, 7th ed., (London: Sweet and Maxwell, 1987), hal. 5.

21 Lihat misalnya Brian Thompson, op. cit., hal. 5.

22 J. Bryce, Studies in History and Jurisprudence, vol.1, (Oxford: Clarendon Press, 1901), hal. 151.

15 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk

hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum

yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah

Undang-Undang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh

bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut.

Tujuan dari negara membuat konstitusi adalah sebagai berikut :

1. Menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai suatu fungsi konstitusionalisme;

2. Memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintah;

3. Sebagai instrumen untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang kekuasaan asal (baik

rakyat dalam sistem demokrasi atau raja dalam sistem monarki) kepada organ-organ

kekuasaan negara;

Sifat Konstitusi 1. Formil dan materiil; Formil berarti tertulis. Materiil dilihat dari

segi isinya berisikan hal-hal bersifat dasar pokok bagi rakyat dan negara. (sama dengan

konstitusi dalam arti relatif). 2. Flexibel dan rigid, Kalau rigid berarti kaku sulit untuk

mengadakan perubahan sebagaimana disebutkan oleh KC Wheare Menurut James Bryce, ciri

flexibel : Elastis, Diumumkan dan diubah sama dengan undang-undang dan Tertulis dan tidak

tertulis.23

23 Miriam Budiardjo, Miriam B dkk. Dasar-dasar ilmu politik, Gramedia Pustaka Utama (2003)

16 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

Konsep Pemisahan Kekuasaan (The Separation of Power) Dalam Negara

Premis yang ada dibalik pemisahan kekuasaan adalah kekuasaan akan

membahayakan bagi warga negara bila kekuasaan yang besar tersebut dimiliki oleh orang

perorangan maupun kelompok. Pemisahan kekuasaan adalah suatu metode memindahkan

kekuasaan ke dalam kelompok-kelompok, dengan demikian akan menjadi lebih sulit untuk

disalahgunakan.

Menurut Jimly Asshiddiqie (2000:2), konsep pemisahan kekuasaan secara

akademis dapat dibedakan antara pengertian sempit dan pengertian luas. Dalam pengertian

luas, konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) mencakup pengertian pembagian

kekuasaan yang biasa disebut dengan istilah division power(distribution of power).

Pemisahan kekuasaan merupakan konsep hubungan yang bersifat horizontal, sedangkan

konsep pembagian kekuasaan bersifat vertikal. Secara horizontal, kekuasaan negara dapat

dibagi ke dalam beberapa cabang kekuasaan yang dikaitkan dengan fungsi lembaga-lembaga

negara tertentu, yaitu legislatif, eksekutif, dan judikatif. Sedangkan dalam konsep pembagian

kekuasaan (distribution of power atau division of power) kekuasaan negara dibagikan secara

vertikal dalam hubungan “atas-bawah”.

Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang mengadaptasi sistem

pemisahan kekuasaan. Kekuasaan dibedakan atas tiga kelompok kekuasaan, eksekutif,

legislatif, dan yudikatif. Ketiga cabang kekuasaan tersebut dibedakan berdasarkan kekuasaan

yang mereka miliki. Kekuasaan legislatif memiliki kemampuan untuk menetapkan hukum.

Kekuasaan eksekutif memiliki kemampuan untuk melihat penegakan hukum. Kekuasaan

Judikatif memiliki kemampuan untuk membuat keputusan serta menjatuhkan sanksi. Secara

historis konsep pemisahan kekuasaan ini mengacu kepada Masa Yunani Kuno. Konsep

tersebut diperbaiki oleh para pembentuk negara dan perbaikan tersebut mempengaruhi

pembentukan tiga cabang kekuasaan dalam konstitusi. Aristotetes lebih cenderung kepada

bentuk pemerintahan campuran yang terdiri atas monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Dalam

17 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

pandangan Aristoteles jika hanya mengacu pada satu konsep saja maka tidak tercapai suatu

kondisi yang ideal, tetapi campuran dari hal-hal yang terbaik dari ketiga konsep tersebut akan

lebih mendekati ideal. Tahun 1656 James Harrington memperbaharui ketiga konsep tersebut

dan mengajukan suatu sistem yang berdasarkan pemisahan kekuasaan. John Locke, ditahun

1690, memisahkan kekuasaan-kekuasaan negara ke dalam eksekutif dan legislatif.

Montesqieu, di tahun 1748, memiliki semangat hukum untuk mengembangkan pemikiran

Locke, dengan menambahkan unsur judikatif. Pembentuk konstitusi Amerika Serikat

mengambil keseluruhan ide Montesqieu dan mengkonversi teori-teori tersebut ke dalam

aplikasi yang praktis

Konsep Checks and Balances System

Check and balances system adalah sistem dimana orang-orang dalam

pemerintahan dapat mencegah pekerjaan pihak yang lain dalam pemerintahan jika mereka

meyakini adanya pelanggaran terhadap hak. Pengawasan (checks) sebagai bagian dari

checks and balances adalah suatu langkah maju yang sempurna. Mencapai keseimbangan

lebih sulit untuk diwujudkan. Gagasan utama dalam checks and balances adalah upaya

untuk membagi kekuasaan yang ada ke dalam cabang-cabang kekuasaan dengan tujuan

mencegah dominannya suatu kelompok. Bila seluruh ketiga cabang kekuasaan tersebut

memiliki checks terhadap satu sama lainnya, checks tersebut dipergunakan untuk

menyeimbangkan kekuasaan. Suatu cabang kekuasaan yang mengambil terlalu banyak

kekuasaan dibatasi lewat tindakan cabang kekuasaan yang lain. Checks and Balances

diciptakan untuk membatasi kekuasaan pemerintah. Hal tersebut dapat tercapai dengan

men-split pemerintah dalam kelompok-kelompok persaingan yang dapat secara aktif

membatasi kekuasaan kelompok lainnya. Hal ini akan berakhir bila ada suatu kelompok

kekuasaan yang mencoba untuk menggunakan kekuasaannya secara ilegal.

18 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

Contoh sederhana dari konsep ini adalah hak veto yang dimiliki oleh Presiden

Amerika Serikat. Presiden memiliki kekuasaan yang signifikan terhadap legislatif, yang

memungkinkan presiden untuk menuntut bagian tertentu dalam meloloskan rancangan

undang-undang atau bahkan mem-veto nya. Hasilnya adalah presiden dapat bekerja sama

dengan legislatif untuk meningkatkan kekuasaan federal, dan sebagai peringatan terhadap

legislatif untuk tidak melakukan tindakan preventif untuk memperluas kekuasaannya.

Implementasi Konsep Pemisahan Kekuasaan dan Checks and Balances

System dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945

1. Pergeseran Terhadap Teori Montesqiue Dalam Perubahan UUD 1945

Gagasan dasar dari konstitusionalisme adalah pemisahan kekuasaan agar tidak

terjadi adanya dominasi kekuasaan. Pemisahan kekuasaan tergambarkan dengan kuat dengan

adanya pembagian kekuasaan menjadi tiga cabang kekuasaan, sebagaimana yang dijabarkan

oleh Montesquieu, yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. UUD 1945 tidak

melakukan pemisahan secara tegas terhadap ketiga cabang kekuasaan tersebut.

Berkaitan dengan masalah checks and balances, Undang-undang Dasar 1945 (pra

amandemen) dipandang mengandung kelemahan pengaturan mengenai hal tersebut.

Pengaturan mengenai checks and balances dianggap tidak memadai. Sistem checks and

balances dibutuhkan untuk mewujudkan tatanan penyelenggaraan negara yang memberi

kewenangan antarn cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) untuk saling

mengontrol dan menyeimbangankan pelaksanaan kekuasaannya masing-masing. Dengan

demikian dapat dihindarkan penyalahgunaan kekuasaan oleh cabang-cabang kekuasaan

negara. Konstruksi dasar dari Undang-undang Dasar 1945 terlalu menitikberatkan pada

executive heavy, presiden mendapat porsi kekuasaan yang besar dibandingkan cabang-cabang

19 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

kekuasaan lainnya, sehingga kekuasaan eksekutif tidak dapat dikontrol oleh cabang-cabang

kekuasaan lainnya. Ketidaksederajatan antara cabang-cabang kekuasaan negara tidak

memberikan tempat bagi mekanisme kontrol diantara cabang-cabang kekuasaan tersebut

(checks and balances system);

Kelemahan-kelemahan yang ada dalam Undang-undang Dasar 1945 dan

terbukanya kemungkinan untuk melakukan perubahan (amandemen) yang ada dalam Pasal

37 mendorong dilakukannya perubahan terhadap undang-undang dasar ini. Amandemen

terhadap UUD 1945 membawa perubahan yang cukup mendasar terhadap pembagian

kekuasaan dalam negara. Terjadi pergeseran terhadap pembagian kekuasaan, dari pembagian

kekuasaan menurut teori montesqiue (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) menjadi enam

cabang kekuasaan, yaitu:

1. kekuasaan eksekutif/Pemerintahan Negara (vide Pasal 4 ayat (1) UUD RI

1945)

2. Kekuasaan legislatif (vide Pasal 20 ayat (1) UUD RI 1945)

3. Kekuasaan yudikatif/kehakiman (vide Pasal 24 ayat (1) UUD RI 1945)

4. Kekuasaan auditif (vide Pasal 23E UUD RI 1945)

5. Kekuasaan moneter (vide Pasal 23d UUD RI 1945)

6. konstitutif (vide Pasal 3 UUD RI 1945)

2. Checks and Balances Sytems Dalam Amandemen UUD 1945

Check and balances merupakan salah satu dari delapan paradigma perubahan

terhadap UUD 1945. Perubahan paradigma UUD ini harus membawa perubahan pola pikir,

perubahan kultur dari seluruh aparat negara serta perubahan berbagai peraturan perundang-

undangan yang tidak lagi sesuai dengan berbagai paradigma baru ini. Penerapan prinsip

checks and balances dalam amandemen UUD 1945 adalah sebagai berikut:

20 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

Ca

bang

Kekuasa

an

Kekuas

aan yang

diamanatkan

dalam UUD

1945

Eksekutive

Counterbalance

Legislati

ve

counterbalane

judikativ

e

counterb

alance

Eks

ekutif

Memegang

kekuasaan

pemerintaha

n

Kepatuhan

sipil dan

militer pada

tataran tingkat

rendah dan

kepatuhan para

pejabat

terhadap

kebijakan

tingkat tinggi

Kekuasaan

membentuk

undang-

undang

Bertindak

netral

manakala

eksekutif

terlibat dalam

masalah

kriminal

maupun

bertentangan

dengan pihak

sipil

mengangkat

duta besar

dan

menerima

duta dari

negara lain

presiden

harus

memperhatik

an

pertimbanga

n DPR

pemberian

amnesti dan

abolisi

pertimbanga

n DPR

21 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

memberikan

grasi dan

rehabilitasi

presiden

harus

memperhatik

an

pertimbangan

Mahkamah

Agung

sebagai

pemegang

kekuasaan

kehakiman

membuat

treaty

meratifikasi

treaty

menentukan

hukum yang

akan

diterapkan

dalam kasus-

kasus tertentu

kebebasan

Presiden

dalam

membuat

kebijakan

pemerintah

diawasi oleh

DPR hak-hak

pengawasan

yang dimilki

oleh DPR

meliputi hak

interpelasi,

hak angket

dan hak

22 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

menyatakan

pendapat

yang dapat

berujung

pada

pengusulan

pemberhentia

n Presiden

ditengah

masa

jabatannya

kepada MPR.

mengumpul

kan pajak

kekuasaan

untuk

menetapkan

anggaran

Leg

islatif

kekuasaan

membentuk

undang-

undang

harus

berdasarkan

persetujuan

bersama

presiden.

Presiden dapat

membentuk

Peraturan

Pemerintah

23 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

Pengganti

Undang-

undang,

pembentukan

peraturan

pemerintah,

keputusan

Presiden dan

lain-lainnya.

kewenangan

DPR untuk

mengajukan

usul

pemecatan

presiden/wa

kil presiden

Yud

ikatif

membuat

interprestasi

atas hukum

dan

menerapkan

nya

terhadap

keputusan-

keputusan

kewenangan

untuk

menunjuk

hakim

kekuasan untuk

memberikan

pemaafan

(grasi, amnesti,

abolisi)

kewenangan

untuk

menentukan

budget

kehakiman

konfirmasi

atas calon

hakim

24 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

3. Checks and Balances dan Pengaturan Terhadap Lembaga Negara

Dalam studi hukum maupun politik di Barat, lembaga-lembaga negara atau alat-

alat perlengkapan negara disebut branches of government, arms of the state, maupun organs

of the state. Keberadaan alat-alat perlengkapan negara mencerminkan pemisahan kekuasaan

negara yang diatur di dalam konstitusi.

Istilah "lembaga-lembaga negara" tidak dijumpai dalam UUD 1945. Kenyataan

tersebut berbeda dari Konstitusi RIS 1949, yang secara eksplisit menyebut President menteri-

menteri, Senat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), dan Dewan

Pengawas Keuangan sebagai "alat-alat perlengkapan negara RIS"(Konstitusi RIS 1949 Bab

III). UUDS 1950 juga menegaskan bahwa "alat-alat perlengkapan negara" mencakup

Presiden dan Wakil Presiden (Wapres), menteri-menteri, DPR, MA, dan Dewan Pengawas

Keuangan (UUDS 1950 Pasal 4)

Istilah yang digunakan dalam UUD 1945 pra-amandemen adalah "penyelenggara

pemerintah negara" (Presiden), "penyelenggara negara" (MPR) atau "badan" (MPR dan

DPA) (vide penjelasan UUD 1945 pra amandemen), sedangkan di dalam teks UUD 1945

digunakan istilah "badan negara”(Pasal II Aturan Peralihan). Istilah "lembaga-lembaga

negara" dikukuhkan penggunaannya dalam Ketetapan No. XX/MPRS/1966 (lihat TAP MPR

No. VI/MPR/1976 dan TAP MPR No. III/MPR/1978). Lembaga-lembaga negara yang

dimaksud adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Presiden, Dewan Pertimbangan Agung (DPA),

dan Mahkamah Agung (MA). Sekarang, pasca-amandement dijumpai istilah "alat Negara"

untuk TNI dan POLRI (vide Pasal 30 ayat (3) dan ayat (4) UUD RI), sedangkan istilah

"lembaga negara" dijumpai di dua tempat tanpa kejelasan maksud (vide Pasal 24-c ayat (1)

dan Pasal I Aturan Peralihan UUD RI).

Pada prinsipnya pemisahan dan perimbangan kekuasaan negara tercermin dalam

keberadaan lembaga-lembaga negara. Tapi praktik negara-negara moderen telah

25 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

memodifikasi dan merevisi teori-teori pemisahan kekuasaan negara yang konvensional,

seperti trias politica. Indonesia pasca-amandemen UUD 1945 (tahun 1999 -2002) juga

mengalami perubahan yang mendasar ini.

Dapat dikatakan bahwa reformasi politik yang berlangsung sejak 1998 dan diikuti

dengan amandemen UUD 1945 telah menghasilkan reformulasi checks and balances

(perumusan kembali pola hubungan antar-lembaga negara). Hal ini terkait dengan

redistribusi kekuasaan dan restrukturisasi lembaga-lembaga negara.

Jika terjadi sengketa antar-lembaga negara (di tingkat pusat, atau antara pusat dan

daerah, atau antar-lembaga daerah), bukan MPR atau MA yang menyelesaikannya melainkan

MK. Terdapat dua hal yang belum jelas: (a) apa yang dimaksud dengan "sengketa

kewenangan konstitusional" tersebut; (b) bagaimana prosedur tersebut hendak ditempuh. Di

sisi lain, soal kesesuaian Perda dengan undang-undang diuji oleh MA.

Anatomi pemisahan kekuasaan dan restrukturisasi lembaga negara pasca-

amandemen UUD 1945, secara horizontal, terdiri atas: parlemen bikameral yang asimetrik

(DPR dan DPD); eksekutif yang dipimpin oleh Presiden yang dipilih secara langsung oleh

rakyat; kekuasaan legislatif yang melibatkan tiga lembaga (Presiden, DPR dan DPD) namun

didominasi oleh DPR dan Presiden; kekuasaan kehakiman (judicial powers) yang tidak lagi

monolitik (karena ada Mahkamah Konstitusi); lembaga audit keuangan negara (BPK)

didampingi bank sentral yang independen KPKPN, Komisi Pemberantasan Korupsi dan

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; serta berbagai state auxiliaries (seperti Komisi Yudisial

dan Komisi Pemilihan Umum). Tampak pula kedudukan dan peran DPR yang mengemuka.

Dapat dikatakan, amandemen UUD 1945 telah menghasilkan konstitusi dan struktur

kenegaraan yang bersifat DPR-legislative heavy dan bukan lagi "MPR heavy."

26 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

2.4. Subtansi Konstitusi

1. Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak dalam bentuk tertulis (written constitution and

unwritten constitution). suatu konstitusi disebut tertulis bila berupa (Doumentary

Constitution), sedangkan konstitusi tidak tertulis tidak berupa satu naskah (Non-

Doumentary Constitution) dan banyak di pengaruhi oleh tradisi konvensi.24

Contoh

konstitusi Inggris yang hanya berupa kumpulan dokument.

2. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible and rigid constitution). Yang dimaksud

dengan konstitusi yang fleksibel adalah konstitusi yang diamandemen tanpa adanya

prosedur khusus sedangkan konstitusi yang kaku adalah konstitusi yang mensyaratkan

suatu adanya prosedur khusus dalam melakukan amandemen.25

Dikatakan konstitusi itu

flaxible apabila konstitusi itu memungkinkan adanya perubahan sewaktu-waktu sesuai

perkembangan msyarakat (contoh konstitusi inggris dan selandia baru). Sedangkan

konstitusi itu dikatakan kaku atau rigid apabila konstitusi itu sulit diubah sampai

kapanpun (contoh : USA, Kanada, Indonesia dan Jepang).26

Ciri-ciri pokok konnstitusi fleksibel, antara lain:

Sifat elastis, artinya dapat disesuaikan dengan mudah

Dinyatakan dan dilakukan perubahan adalah mudah seperti mengubah undang-

undang

24

ibid, hlm.153 di kutip buku C.F Strong, Modern Political constituton

25 Dahlan Thaib dkk, Teori dan Hukum Konstitusi,,Penerbit Grafindo, Jakarta: 1999, hlm. 14-15. Dikutip dari artikel Arif Budiman,SH

26 KC Wheare, Modern Constitutions, 1975, hlm 83 seperti dikutip Sri Soemantri M, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Penerbit Alumni, Bandung, 1987, hlm 51.dikutip dari Catatan Noor Arief Budiman.

27 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

Konstitusi rigid mempunyai ciri-ciri pokok, antara lain:

Memiliki tingkat dan derajat yang lebih tinggi dari undang-undang

Hanya dapat diubah dengan tata cara khusus/istimewa

3. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak derajat tinggi (Supreme and not

supreme constitution)27

Konstitusi derajat tinggi, konstitusi yang mempunyai kedudukan

tertinggi dalam negara (tingkatan peraturan perundang-undangan). Konstitusi tidak

derajat tinggi.

4. Konstitusi Negara Serikat dan Negara Kesatuan (Federal and Unitary Constitution)28

5. Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan Parlementer (President Executive

and Parliamentary Executive Constitution).

Dalam sistem pemerintahan presidensial (strong) terdapat ciri-ciri antara lain:

Presiden memiliki kekuasaan nominal sebagai kepala negara, tetapi juga memiliki

kedudukan sebagai Kepala Pemerintahan.

Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih.

Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat

memerintahkan pemilihan umum.

27

Sri Soemantri M, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Penerbit Alumni, Bandung, 1987, hlm 51

28 http://library.usu.ac.id/download/fh/tatanegara-mirza4.pdf

28 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

Konstitusi dalam sistem pemerintahan parlementer memiliki ciri-ciri (Sri

Soemantri) :

Kabinet dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang dibentuk berdasarkan kekuatan

yang menguasai parlemen.

Anggota kabinet sebagian atau seluruhnya dari anggota parlemen.

Presiden, Raja/Ratu dengan saran atau nasihat Perdana menteri dapat membubarkan

parlemen dan memerintahkan diadakan pemilihan umum.

Nilai dan Sifat Konstitusi

Nilai konstitusi yang dimaksud di sini adalah nilai (values) sebagai hasil penilaian atas

pelaksanaan norma-norma dalam suatu konstitusi dalam kenyataan praktik. Sehubungan dengan

hal itu, Karl Loewenstein dalam bukunya “Reflection on the Value of Constitutions”

membedakan 3 (tiga) macam nilai atau the values of the constitution, yaitu (i) normative value;

(ii) nominal value; dan (iii) semantical value. Jika berbicara mengenai nilai antara norma yang

terdapat dalam konsititusi yang bersifat mengikat itu dipahami, diakui, diterima, dan dipatuhi

oleh subjek hukum yang terikat padanya, maka konstitusi itu dinamakan sebagai konstitusi yang

mempunyai nilai normatif. Kalaupun tidak seluruh isi konstitusi itu demikian, akan tetapi

setidak-tidaknya norma-norma tertentu yang terdapat di dalam konstitusi itu apabila memang

sungguh-sungguh ditaati dan berjalan sebagaimana mestinya dalam kenyataan, maka norma-

norma konstitusi dimaksud dapat dikatakan berlaku sebagai konstitusi dalam arti normatif. Akan

tetapi, apabila suatu undang-undang dasar, sebagian atau seluruh materi muatannya, dalam

kenyataannya tidak dipakai sama sekali sebagai referensi atau rujukan dalam pengambilan

keputusan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara, maka konstitusi tersebut dapat dikatakan

sebagai konstitusi yang bernilai nominal. Manakala dalam kenyataannya keseluruhan bagian atau

isi undang-undang dasar itu memang tidak dipakai dalam praktik, maka keseluruhan

undangundang dasar itu dapat disebut bernilai nominal. Misalnya, norma dasar yang terdapat

29 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

dalam konstitusi yang tertulis (schreven constitutie) menentukan A, akan tetapi konstitusi yang

dipraktikkan justru sebaliknya yaitu B, sehingga apa yang tertulis secara expressis verbis dalam

konstitusi sama sekali hanya bernilai nominal saja. Dapat pula terjadi bahwa yang dipraktikkan

itu hanya sebagian saja dari ketentuan undang-undang dasar, sedangkan sebagian lainnya tidak

dilaksanakan dalam praktik, sehingga dapat dikatakan bahwa yang berlaku normatif hanya

sebagian, sedangkan sebagian lainnya hanya bernilai nominal sebagai norma-norma hukum di

atas kertas “mati”.

Sedangkan konstitusi yang bernilai semantik adalah konstitusi yang norma-norma yang

terkandung di dalamnya hanya dihargai di atas kertas yang indah dan dijadikan jargon,

semboyan, ataupun “gincu-gincu ketatanegaraan” yang berfungsi sebagai pemanis dan sekaligus

sebagai alat pembenaran belaka. Dalam setiap pidato, norma-norma konstitusi itu selalu dikutip

dan dijadikan dasar pembenaran suatu kebijakan, tetapi isi kebijakan itu sama sekali tidak

sungguh-sungguh melaksanakan isi amanat norma yang dikutip itu. Kebiasaan seperti ini lazim

terjadi di banyak negara, terutama jika di negara yang bersangkutan tersebut tidak tersedia

mekanisme untuk menilai konstitusionalitas kebijakan-kebijakan kenegaraan (state‟s policies)

yang mungkin menyimpang dari amanat undang-undang dasar. Dengan demikian, dalam praktik

ketatanegaraan, baik bagianbagian tertentu ataupun keseluruhan isi undang-undang dasar itu,

dapat bernilai semantik saja.

Sementara itu, pengertian-pengertian mengenai sifat konstitusi biasanya dikaitkan dengan

pembahasan tentang sifat-sifatnya yang lentur (fleksibel) atau kaku (rigid), tertulis atau tidak

tertulis, dan sifatnya yang formil atau materiil. Mengenai sifat-sifat konstitusi tersebut, dapat

diuraikan sebagai berikut. konstitusi, para sarjana hukum kita selalu mengutip pendapat Karl

Loewenstein mengenai tiga nilai normatif, nominal, dan semantik ini.29

29

Lihat misalnya, Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., hal.4; Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media

Pratama, 1994), hal. 156-157; I. Nyoman Dekker, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Suatu Pengantar, (Malang: IKIP Malang, 1993), hal. 12; R.G. Kartasapoetra, Sistematika Hukum Tata Negara, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 21-22;

30 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

Menurut pandangan Karl Loewenstein, dalam setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek

penting, yaitu sifat idealnya sebagai teori dan sifat nyatanya sebagai praktik. Artinya, sebagai

hukum tertinggi di dalam konstitusi itu selalu terkandung nilai-nilai ideal sebagai das sollen yang

tidak selalu identik dengan das sein atau keadaan nyatanya di lapangan.

2.5. Merubah Konstitusi

Dari segi tata bahasa kata Amandemen sama dengan amandement. Secara harfiah

amandement dalam bahasa Indonesia berarti mengubah. Mengubah maupun perubahan

berasal dari kata dasar ubah yang berarti lain atau beda. Mengubah mengandung arti menjadi

lain sedang perubahan diartikan hal berubahnya sesuatu; pertukaran atau peralihan. Dapat

kita jabarkan bahwa perubahan yang oleh John M Echlos dan Hasan Shadily juga disebut

amandemen tidak saja berarti menjadi lain isi serta bunyi ketentuan dalam UUD, akan tetapi

juga mengandung sesuatu yang merupakan tambahan pada ketentuan-ketentuan dalam UUD

yang sebelumnya tidak terdapat didalamnya. Menurut KC Wheare konstitusi itu harus

bersifat kaku dalam aspek perubahan. Empat sasaran yang hendak dituju dalam usaha

mempertahankan Konstitusi dengan jalan mempersulit perubahannya adalah30

:

1. Agar perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang masak, tidak secara

serampangan dan dengan sadar (dikehendaki).

Demikian pula hal ini dapat dibaca dalam tulisan-tulisan Prof. Isma’il Suny, Prof. Sri Soemantri, Prof. Padmo Wahyono, Prof. Abu Daud Busroh, Prof. Solly Lubis, dan sebagainya.

30 KC Wheare, Modern Constitutions, 1975, hlm 83 seperti dikutip Sri Soemantri M, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,

Penerbit Alumni, Bandung, 1987, hlm 51.dikutip dari Catatan Noor Arief Budiman.

31 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

2. Agar rakyat mendapat kesempatan untukmenyampaikan pandangannya sebelum

perubahan dilakukan.

3. Agar kekuasaan Negara serikat dan kekuasaan Negara bagian tidak diubah semata-

mata oleh perbuatan masing-masing pihak secara tersendiri.

4. Agar supaya hak-hak perseorangan atau kelompok, seperti kelompok minoritas

agama atau kebudayaannya mendapat jaminan.

Apabila kita amati mengenai system pembaharuan konstitusi di berbagai Negara,

terdapat dua system yang berkembang yaitu renewel (pembaharuan) dan Amandement

(perubahan). System renewel adalah bila suatu konstitusi dilakukan perubahan (dalam arti

diadakan pembaharuan) maka yang berlaku adalah konstitusi baru secara keseluruhan.

System ini dianut di Negara-negara Eropa Kontinental. System Amandement adalah bila

suatu konstitusi yang asli tetap berlaku sedang hasil amandemen tersebut merupakan bagian

atau dilampirkan dalam konstitusi asli. Sistem ini dianut di Negara-negara Anglo Saxon.31

Factor utama yang menentukan pembaharuan UUD adalah berbagai pembaharuan

keadaan di masyarakat. Dorongan demokrasi, pelaksanaan paham Negara kesejahteraan

(welfare state), perubahan pola dan system ekonomi akibat industrialisasi, kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi dapat menjadi kekuatan (forces) pendorong pembaharuan UUD.

Demikian pula dengan peranan UUD itu sendiri. Hanya masyarakat yang berkendak dan

mempunyai tradisi menghormati dan menjunjung tinggi UUD yang akan menentukan UUD

dijalankan sebagaimana semestinya.32

31 Sri Soemantri,Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Penerbit Alumni, Bandung, 1987, hlm 51. Dikutip dari artikel catatan Noor Arief Budiman.

32 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII PRESS, Yogyakarta, 2003, hlm.29

32 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

Menurut KC Wheare, perubahan UUD yang timbul akibat dorongan kekuatan (forces)

dapat berbentuk:

a. Kekuatan tertentu dapat melahirkan perubahan keadaan tanpa mengakibatkan

perubahan bunyi tertulis dalam UUD. Yang terjadi adalah pembaharuan makna. Suatu

ketentuan UUD diberi makna baru tanpa mengubah bunyinya.

b. Kekuatan kekuatan yang melahirkan keadaan baru itu mendorong perubahan atas

ketentuan UUD, baik melalui perubahan formal, putusan hakim, hukum adat maupun

konvensi.33

Secara Yuridis, perubahan konstitusi dapat dilakukan apabila dalam konstitusi

tersebut telah ditetapkan tentang syarat dan prosedur perubahan konstitusi. Perubahan

konstitusi yang ditetapkan dalam konstitusi disebut perubahan secara formal (formal

amandement). Disamping itu perubahan konstitusi dapat dilakukan melalui cara tidak formal

yaitu oleh kekuatan-kekuatan yang bersifat primer, penafsiran oleh pengadilan dan oleh

kebiasaan dalam bidang ketatanegaraan.

Menurut CF Strong ada empat macam cara prosedur perubahan konstitusi, yaitu34

:

33

KC Wheare,Modern Constitution, Oxford Univ. Press, 1971, hlm 17 seperti dikutip Bagir Manan, Teori dan Politik …,Op Cit, hlm

30.

34 CF Strong, Konstitusi konstitusi Politik modern Kajian tentang sejarah dan BentukBentuk KonstitusiDunia, Penerbitr Nuansa dan

Penerbit Nusamedia, Bandung, 2004, hlm 213-215.Dikutip dari artikel catatan Noor Arief Budiman.

33 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

1) Melalui lembaga legislative biasa tetapi dibawah batasan tertentu.( By the ordinary

legislature, but under certain restrictions) Ada tiga cara yang diizinkan bagi lembaga

legislative untuk melakukan amandemen konstitusi.

a. Untuk mengubah konstitusi sidang legislative harus dihadiri sekurang-kurangnya

2/3 jumlah keseluruhan anggota lembaga legislative. Keputusan untuk mengubah

konstitusi adalah sah bila disetujui oleh 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

b. Untuk mengubah konstitusi, lembaga legislative harus dibubarkan lalu

diselenggarakan Pemilu. Lembaga legislative yang baru ini yang kemudian

melakukan amandemen konstitusi.

c. Cara ini terjadi dan berlaku dalam system dua kamar. Untuk mengubah konstitusi,

kedua kamar harus mengadakan sidang gabungan. Sidang inilah yang berwenang

mengubah konstitusi sesuai dengan syarat cara kesatu.

2) Melalui rakyat lewat referendum. (By the people through a referendum) Apabila ada

kehehendak untuk mengubah konstitusi maka lembaga Negara yang berwenang

mengajukan usul perubahan kepada rakyat melalui referendum. Dalam referendum ini

rakyat menyampaikan pendapatnya dengan jalan menerima atau menolak usul perubahan

yang telah disampaikan kepada mereka. Penentuan diterima atau ditolaknya suatu usul

perubahan diatur dalam konstitusi

3) Melalui suara mayoritas dari seluruh unit pada Negara federal. (By a majority of all units

of a federal state). Cara ini berlaku pada Negara federal. Perubahan terhadap konstitusi

ini harus dengan persetujuan sebagian besar Negara bagian. Usul perubahan konstitusi

diajukan oleh Negara serikat tetapi keputusan akhir berada di tangan Negara bagian. Usul

perubahan juga dapat diajukan oleh Negara bagian.

4) Melalui konvensi istimewa. (By a special conventions) Cara ini dapat dijalankan pada

Negara kesatuan dan Negara serikat. Bila terdapat kehendak untuk mengubah UUD maka

sesuai ketentuan yang berlaku dibentuklah suatu lembaga khusus yang tugas serta

wewenangnya hanya mengubah konstitusi. Usul perubahan dapat berasal dari masing-

34 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

masing lembaga kekuasaan dan dapat pula berasal dari lembaga khusus tersebut. Bila

lembaga khusus tersebut telah melaksanakan tugas dan wewenangnya sampai selesai

dengan sendirinya dia bubar.

Pada dasarnya dua metode amandemen konstitusi yang paling banyak dilakukan di

Negara-negara yang menggunakan konstitusi kaku: pertama dilakukan oleh lembaga

legislative dengan batasan khusus dan yang kedua, dilakukan rakyat melalui referendum.

Dua cara yang lain dilakukan pada Negara federal. Meski tidak universal dan konvensi

istimewa umumnya hanya bersifat permisif (dapat dipakai siapa saja dan dimana saja).

Berdasarkan hasil penelitian terhadap beberapa konstitusi dari berbagai Negara dapat

dikemukakan hal-hal yang diatur dalam konstitusi mengenai perubahan konstitusi, yaitu 35

:

1. Usul inisiatif perubahan konstitusi.

2. Syarat penerimaan atau penolakan usul tersebut menjadi agenda resmi bagi

lembaga pengubah konstitusi.

3. Pengesahan rancangan perubahan konstitusi.

4. Pengumuman resmi pemberlakuan hasil perubahan konstitusi.

5. Pembatasan tentang hal-hal yang tidak boleh diubah dalam konstitusi.

6. hal-hal yang hanya boleh diubah melalui putusan referendum atau klausula

khusus.

7. Lembaga-lembaga yang berwenang melakukan perubahan konstitusi, seperti

parlemen, Negara bagian bersama parlemen, lembaga khusus, rakyat melalui

referendum.

35

Naskah Akademik Kajian Komprehensif tentang Perubahan UUD RI 1945, Sek Jend MPR, Jakarta, 2004, hlm.37.Dikutip dari

artikel catatan Noor Arief Budiman.

35 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

Macam perubahan Konstitusi menurut K.C.Wheare36

:

1. Some primary forces, Didorong oleh beberapa kekuatan yang muncul di dalam

masyarakat. Contoh: di Filipina, Cori terhadap pemerintahan Marcos.

2. Formal amandement, Secara formal – sesuai dengan apa yang diatur dalam

konstitusi, dalam hal ini didalam konstitusi kita diatur dalam pasal tentang

perubahan yaitu pasal 37.

3. Judicial interpretation, Perubahan dilakukan oleh hukum, dalam hal ini biasanya

adalah oleh MA – melalui penafsiran MA. Sebagai contoh; dengan menafsirkan

pasal II Tap MPR No. VII/ MPR/2000 tentang Kewenangan presiden untuk

mengangkat memberhentikan Kapolri, dimana menurut pasal ini sebelum

Presiden mengangkat Kapolri harus dengan persetujuan DPR yang ketentuannya

diatur dalam UU, tapi UU-nya sendiri belum ada sedang situasi dan kondisi

menghendaki pergantian tersebut di saat seperti itu maka yang semestinya

dilakukan penilaian terhadap apa yang dilakukan oleh Presiden dengan

mengangkat Kapolri baru tanpa persetujuan DPR adalah penafsiran MA dengan

menafsirkan Tap tersebut yaitu pasal 10.

4. Usage and convention, Berangkat dari aturan dasar yang tidak tertulis.

Perubahan UUD 1945 sebagai agenda utama era reformasi mulai dilakukan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999. Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh

fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu:37

1. sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;

36 Badan Eksekutif Mahasiswa 2004-2005 Campus in Compact,Hukum Tata Negara (sari kuliah)

37 Lima kesepakatan tersebut dilampirkan dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

36 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

2. sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;

3. sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus

menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil);

4. sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke

dalam pasal-pasal UUD 1945; dan

5. sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.

Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu

agenda Sidang Tahunan MPR38

dari tahun 1999 hingga perubahan keempat pada Sidang Tahunan

MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas

melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan

Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.

Perubahan Pertama dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 yang arahnya

adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) sebagai lembaga legislatif.39

Perubahan Kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR

Tahun 2000 meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah,

menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-

ketentuan yang terperinci tentang HAM.40

Perubahan Ketiga yang ditetapkan pada Sidang

Tahunan MPR Tahun 2001 meliputi ketentuan tentang Asas-asas landasan bernegara,

kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, dan ketentuan-ketentuan tentang

38

Sidang Tahunan MPR baru dikenal pada masa reformasi berdasarkan Pasal 49 dan Pasal 50 Ketetapan MPR No. II/MPR/1999

tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

39 Ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15,

Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 22 UUD 1945.

40 Ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A,

Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G,

Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945.

37 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

Pemilihan Umum.41

Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Materi

perubahan pada Perubahan Keempat adalah ketentuan tentang kelembagaan negara dan

hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan

tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial,

dan aturan peralihan serta aturan tambahan.42

Perubahan-perubahan tersebut diatas meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945.

Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami

perubahan, materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan. Namun sesuai dengan

kesepakatan MPR yang kemudian menjadi lampiran dari Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999,

Pembukaan UUD 1945 tidak akan diubah. Pembukaan UUD 1945 memuat cita-cita bersama

sebagai puncak abstraksi yang mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama

warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kema-

jemukan. Pembukaan UUD 1945 juga memuat tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa

juga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai

filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga

masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara. Inilah yang oleh William G. Andrews disebut

sebagai Kesepakatan (consensus) pertama.

Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yang

41

Ditetapkan pada tanggal 9 November 2001. Mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal

3 ayat (1), (3), dan (4), Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5), Pasal 7A, Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5),

(6), dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab VIIA, Pasal 22C ayat (1), (2), (3),

dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB, Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3),

Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23F ayat (1), dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal

24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24 B ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4),

(5), dan (6) UUD 1945.

42 Ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Perubahan dan atau penambahan dalam Perubahan Keempat ini meliputi Pasal 2

ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16, Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal

31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 32 ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab IV, Pasal 33 ayat (4) dan (5); Pasal 34 ayat (1), (2), (3),

dan (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945.

38 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

merupakan kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme. Dengan tidak diubahnya

Pembukaan UUD 1945, maka tidak berubah pula kedudukan Pancasila sebagai dasar-dasar

filosofis bangunan Negara Republik Indonesia. Yang berubah adalah sistem dan institusi untuk

mewujudkan cita-cita berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Hal ini sesuai dengan makna Pancasila

sebagai ideologi terbuka yang hanya dapat dijalankan dalam sistem yang demokratis dan

bersentuhan dengan nilai-nilai dan perkembangan masyarakat.

39 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa konstitusi merupakan

document social dan politik bangsa Indonesia yang memuat konstatasi dasar tatanan bernegara,

juga merupakan dokument hukum yang kemudian dipelajari secara khusus menjadi hukum

konstitusi (hukum tata negara) yang merupakan hukum yang mendasari seluruh aspek kehidupan

berbangsa dan bernegara.

Disamping itu, konstitusi juga mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Berbagai lembaga-lembaga negara dengan wewenang dan cara bekerjanya.

2. Hubungan antar lembaga Negara.

3. Hubungan lembaga negara dengan warga negara (rakyat) dan.

4. Adanya jaminan hak-hak asasi manusia serta.

Dalam pembagian dan klasifikasinya, konstitusi dibagi sebagai berikut :

1. Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak dalam bentuk tertulis (written constitution).

2. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible and rigid constitution).

3. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak derajat tinggi (Supreme and not

supreme constitution

4. Konstitusi Negara Serikat dan Negara Kesatuan (Federal and Unitary Constitution).

40 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

5. Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan Parlementer (President Executive

and Parliamentary Executive Constitution).

41 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

3.2 Saran

Terdapat suatu benang merah yang dapat menghubungkan konsep konstitusionalisme,

pemisahan kekuasaan, dan checks and balances system. Ketiga konsep tersebut memiliki

keterkaitan yang saling mendukung satu sama lainnya. Konsep kostitusionalisme membatasi

kekuasaan pemerintah atau penguasa dalam negara. Pembatasan kekuasaan itu mencakup dua

hal: isi kekuasaan dan waktu pelaksanaan kekuasaan. Pembatasan isi kekuasaan mengandung arti

bahwa dalam konstitusi ditentukan tugas serta wewenang lembaga-lembaga negara.

Dengan disusunnya makalah ini diharapkan para pembaca ikut peduli dalam mengetahui

sejauh mana kita mempelajari tentang konstitusi, khususnya konstitusi milik bangsa kita sendiri.

Semoga dengan makalah ini para pembaca dapat menambah cakrawala ilmu pengetahuan.

42 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

Daftar Pustaka

Adnan Buyung Nasution, 1995, Pemerintahan Konstitusionalisme, Sinar Grafika Jakarta

Alder, John and Peter English. Constitutional and Administrative Law. London: MacMillan

Education LTD, 1989.

Almond, Gabriel A. and G. Bingham Powell Jr. Comparative Politics; A Developmental

Approach. Little, Brown and Company Inc., 1966.

Andrews, William G. Constitutions and Constitutionalism. 3rd edition. New Jersey: Van

Nostrand Company, 1968.

Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaanya di

Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.

_______________. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi

Press, 2005.

_______________. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta:

Konstitusi Press, 2005.

Asshiddiqie, Jimly dan Mustafa Fakhry. Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD, UU

dan Peraturan di 78 Negara. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan

Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Indonesia, 2002.

Attamimi, A. Hamid A. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan

Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV. Disertasi

Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta, 1990.

Bahar, Saafroedin Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.). Risalah Sidang Badan

Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan

43 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945–22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat

Negara Republik Indonesia, 1995.

Bogdanor, Vernon (ed). Blackwell‟s Encyclopedia of Political Science. Oxford: Blackwell, 1987.

Bryce, J. Studies in History and Jurisprudence. vol.1. Oxford: Clarendon Press, 1901.

Friedrich, Carl J. Man and His Government. New York: McGraw-Hill, 1963.

_____________. Constitutional Government And Democracy: Theory and Practice in Europe

and America. Fourth Edition. Massachussets-Toronto-London: Blaisdell Publishing

Company, 1967.

Hewitt, Martin. Welfare, Ideology and Need, Developing Perspectives on the Welfare State.

Maryland: Harvester Wheatsheaf, 1992.

Jessop, Bob. State Theory. Cambridge: Polity Press, 1990.

Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. translated by: Anders Wedberg. New York:

Russell & Russell, 1961.

___________. Pure Theory Of Law. Translation from the Second (Revised and Enlarged)

German Edition. Translated by: Max Knight. Berkeley, Los Angeles, London: University

of California Press, 1967.

Kranenburg, R. dan Tk. B. Sabaroedin. Ilmu Negara Umum. Cetakan Kesebelas. Jakarta:

Pradnya Paramita, 1989.

Kusuma, RM. A.B. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata

Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

Lijphart, Arend. Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six

Countries. New Heaven and London: Yale University Press, 1999.

Magnis-Suseno, Franz. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Jakarta: Kanisius, 1992.

Mannheim, Karl. Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Judul Asli:

Ideology and Utopia, An Introduction to the Sociology of Knowledge. Penerjemah: F.

44 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

Budi Hardiman. Jakarta: Penerbit Kanisius, 1998.

Notonagoro. Pancasila Dasar Falsafah Negara. Cetakan keempat. Jakarta: Pantjuran Tudjuh,

tanpa tahun.

Phillips, O. Hood. Constitutional and Administrative Law. 7th ed. London: Sweet and Maxwell,

1987.

Pildes, Richard H. “The Constitutionalization of Democratic Politics”. Harvard Law Review,

Vol. 118:1, 2004.

Thompson, Brian. Textbook on Constitutional and Administrative Law. edisi ke-3. London:

Blackstone Press Ltd., 1997.

Budiyanto, Kewarganegaraan untuk SMA kelas X, jilid. 1, Jakarta : Erlangga, 2004

Nurcahjo. Hendra. Ilmu Negara, cet. 1, Jakarta : PT. RajaGraindo Persada, 2005

Kusnardi. Moh, Ibrohim, Harmaily. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet.7, Jakarta :

CV. Sinar Bakti, 1988

Thaib. Dahlan dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta : Grafindo, 1999

Wheare, KC. Modern Constitutions, Jakarta : Alumni, 1975

Soemantri, Sri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung : Penerbit Alumni,1987

Manan, Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta : FH UII PRESS, 2003

Wheare, KC, Modern Constitution, Oxford Univ : Press, 1971,

Strong. CF, Konstitusi konstitusi Politik modern Kajian tentang sejarah dan BentukBentuk

KonstitusiDunia, Bandung : Nusamedia, 2004

45 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]

Badan Eksekutif Mahasiswa 2004-2005 Campus in Compact,Hukum Tata Negara (sari kuliah)

46 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]