galau konstitusi mahkamah konstitusi dalam menjalankan tugas dan ...
Latar Belakang Masalah - · PDF fileKonstitusi merupakan document social dan politik bangsa...
-
Upload
phamkhuong -
Category
Documents
-
view
225 -
download
2
Transcript of Latar Belakang Masalah - · PDF fileKonstitusi merupakan document social dan politik bangsa...
1 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kenyataan sejarah mengajarkan bahwa kekuasaan Negara yang tidak diatur dan dibatasi
akan cenderung mengarah pada otoriterisme atau bahkan totaliterisme. Keinginan untuk
membatasi kekuasaan agar tidak disalahgunakan dapat terlihat dari perkembangan konsep
negara. Konsep social contract berkembang menjadi konsep negara penjaga malam
(nachtwacherstaat) yang kemudian berkembang lagi menjadi konsep negara kesejahteraan
(welfaresate). Pembatasan kekuasaan dalam negara perlu diwujudkan dalam bentuk hukum, oleh
karena itu lahirlah konsep negara hukum. Perkembangan lebih lanjut dari konsep negara hukum
adalah konsep negara (hukum) konstitusi. Konsep terakhir ini lebih memberikan jaminan akan
adanya pemisahan kekuasaan yang dituangkan dalam bentuk konstitusi tertulis. Tulisan ini
mencoba untuk mengungkapkan benang merah antara konsep konstitusionalisme, pemisahan
kekuasaan (separation of powers) dan checks and balances system serta bagaimana ketiga
konsep tersebut diimplementasikan dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Suatu konstitusi memuat aturan atau sendi-sendi pokok yang bersifat fundamental untuk
menegakkan bangunan besar yang bernama “Negara”. Karena sifatnya yang fundamental ini
maka aturan ini harus kuat dan tidak boleh mudah berubah-ubah. Dengan kata lain aturan
fundamental itu harus tahan uji terhadap kemungkinan untuk diubah-ubah berdasarkan
kepentingan jangka pendek yang bersifat sesaat.
2 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang masalah diatas dan supaya permasalahan
dalam penelitian ini dapat terjawab secara akurat, maka permasalahan yang akan kami
bahas adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian Konstitusi?
2. Bagaimana perwujudan konstusionalisme?
3. Apa tujuan dibuatnya suatu konstitusi?
4. Bagaimana subtansi suatu konstitusi?
5. Bagaimana Proses perubahan konstitusi (amandemen)?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan kelompok kami menyusun makalah ini adalah :
1. Untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Hukum Tata Negara.
2. Untuk mengetahui lebih dalam tentang ilmu tata negara.
3. Untuk mengetahui pengertian dan makna, konstitusi dan konsep konstitusionalisme.
4. Untuk mengkaji tentang tujuan negara membuat konstitusi.
5. Untuk mengkaji klasifikasi dan proses perubahan suatu konstitusi.
6. Kepentingan teoritik; memperkaya teori-teori mengenai mata kuliah Hukum Tata
Negara.
3 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Konstitusi.
Konstitusi merupakan document social dan politik bangsa Indonesia yang memuat
konstatasi dasar tatanan bernegara. Di samping itu, konstitusi juga merupakan dokument hukum
yang kemudian dipelajari secara khusus menjadi hukum konstitusi (hukum tata negara) yang
merupakan hukum yang mendasari seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara1.
Prof. Bagir Manan mengatakan bahwa konstitusi ialah sekelompok ketentuan yang
mengatur organisasi negara dan susunan pemerintahan suatu negara, Sehingga negara dan
konstitusi adalah satu pasangan yang tidak dapat dipisahkan2. Setiap negara tentu mempunyai
konstitusi, meskipun mungkin tidak tertulis. Konstitusi mempunyai arti dan fungsi yang sangat
penting bagi negara, baik secara formil, materiil, maupun konstitusionil.
Konstitusi juga mempunyai fungsi konstitusional, sebagai sumber dan dasar cita bangsa
dan negara yang berupa nilai-nilai dan kaidah-kaidah dasar bagi kehidupan bernegara. Ia selalu
mencerminkan semangat yang oleh penyusunnya ingin diabadikan dalam konstitusi tersebut
sehingga mewarnai seluruh naskah konstitusi tersebut.
1 Hendra nurtjahjo, ilmu negara, (Jakarata : PT Grafindo Persada, 2005, hlm.57
2 Moh. Kusnardi, Harmaily Ibrohim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti, cet.7, 1988, hal. 64
4 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
Pengertian konstitusi menurut para ahli
a) Koernimanto soetopawiro
Istilah konstitusi berasal dari bahasa latin cisme yang berarati bersama
dengan dan statute yang berarti membuat sesuatu agar berdiri. Jadi konstitusi
berarti menetapkan secara bersama.
b) Lasalle
Konstitusi adalah hubungan antara kekuasaaan yang terdapat di dalam
masyarakat seperti golongan yang mempunyai kedudukan nyata di dalam
masyarakat misalnya kepala negara angkatan perang, partai politik.
c) Herman heller
Konstitusi mempunyai arti luas daripada UUD. Konstitusi tidak hanya
bersifat yuridis tetapi juga sosiologis dan politis.
d) K. C. Wheare
Konstitusi adalah keseluruhan sistem ketaatanegaraaan suatu negara yang
berupa kumpulan peraturan yang mmbentuk mengatur /memerintah dalam
pemerintahan suatu negara.3
3 Budiyanto, Kewarga Negaraan Untuk SMA kelas X, Jakarta : Erlangga,2004, cet.1, hlm.152
5 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
Secara etimologis “konstitusi” berasal dari bahasa Perancis Constituer dan Constitution,
kata pertama berarti membentuk, mendirikan atau menyusun, dan kata kedua berarti susunan
atau pranata (masyarakat). Dengan demikian konstitusi memiliki arti; permulaan dari segala
peraturan mengenai suatu Negara. Pada umumnya langkah awal untuk mempelajari hukum tata
negara dari suatu negara dimulai dari konstitusi negara bersangkutan.
Mempelajari konstitusi berarti juga mempelajari hukum tata negara dari suatu negara,
sehingga hukum tata negara disebut juga dengan constitutional law. Istilah Constitutional Law di
Inggris menunjukkan arti yang sama dengan hukum tata negara. Penggunaan istilah
Constitutional Law didasarkan atas alasan bahwa dalam hukum tata Negara unsur konstitusi
lebih menonjol.
Dengan demikian suatu konstitusi memuat aturan atau sendi-sendi pokok yang bersifat
fundamental untuk menegakkan bangunan besar yang bernama “Negara”. Karena sifatnya yang
fundamental ini maka aturan ini harus kuat dan tidak boleh mudah berubah-ubah. Dengan kata
lain aturan fundamental itu harus tahan uji terhadap kemungkinan untuk diubah-ubah
berdasarkan kepentingan jangka pendek yang bersifat sesaat.
Konstitusi dalam pengertian luas adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau
hukum dasar. Konstitusi dalam pengertian sempit berarti piagam dasar atau undang-undang dasar
(Loi constitutionallle) ialah suatu dokumen lengkap mengenai peraturan dasar negara. Menurut
EC Wade Konstitusi adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas pokok dari badan
pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan tersebut dan
menamakan undang-undang dasar sebagai riwayat hidup suatu hubungan kekuasaan4.
4 Prof. Jimly Asshiddiqie, Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial Menurut UUD 1945 serta Mahkamah Konstitusi
6 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
Sejarah Konstitusi
Terminologi Klasik: Constitutio, Politeia dan Nomoi
Dari catatan sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian
kita sekarang tentang konstitusi, yaitu dalam perkataan Yunani Kuno politeia dan perkataan
bahasa Latin constitutio yang juga berkaitan dengan kata jus. Dalam kedua perkataan politeia
dan constitutio itulah awal mula gagasan konstitusionalisme diekspresikan oleh umat manusia
beserta hubungan di antara kedua istilah dalam sejarah. Dari kedua istilah itu, kata politeia
dari kebudayaan Yunani dapat disebut yang paling tua usianya. Pengertiannya secara luas
mencakup:
“all the innumerable characteristics which determine that state‟s peculiar nature, and
these include its whole economic and social texture as well as matters governmental in
our narrower modern sense. It is a purely descriptive term, and as inclusive in its
meaning as our own use of the word „constitution‟ when we speak generally of a man‟s
constitution or of the constitution of matter”.
Dalam bahasa Yunani Kuno tidak dikenal adanya istilah yang mencerminkan pengertian
kata jus ataupun constitutio sebagaimana dalam tradisi Romawi yang datang kemudian.5 Dalam
keseluruhan sistem berpikir para filosof Yunani Kuno, perkataan constitution adalah seperti apa
yang kita maksudkan sekarang ini. Menurut Charles Howard McIlwain dalam bukunya
“Constitutionalism: Ancient and Modern” (1947), perkataan constitution di zaman Kekaisaran
Romawi (Roman Empire), dalam bentuk bahasa latinnya, mula-mula digunakan sebagai istilah
5 Analogi di antara organisasi negara (state organization) dan organisme manusia (human organism) ini, seperti dikatakan oleh
M.L. Newman dalam The Politics of Aristotle, merupakan the central inquiry of political science di dalam sejarah Yunani Kuno.
7 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
teknis untuk menyebut the acts of legislation by the Emperor.6 Bersamaan dengan banyak aspek
dari hukum Romawi yang dipinjam ke dalam sistem pemikiran hukum di kalangan gereja, maka
istilah teknis constitution juga dipinjam untuk menyebut peraturanperaturan eklesiastik yang
berlaku di seluruh gereja ataupun untuk beberapa peraturan eklesiastik yang berlaku di gereja-
gereja tertentu (ecclesiastical province). Oleh karena itu, kitab-kitab Hukum Romawi dan
Hukum Gereja (Kanonik) itulah yang sering dianggap sebagai sumber rujukan atau referensi
paling awal mengenai penggunaan perkataan constitution dalam sejarah.
Dengan perkataan lain, pengertian konstitusi itu di zaman Yunani Kuno masih bersifat
materiil, dalam arti belum berbentuk seperti yang dimengerti di zaman modern sekarang.
Namun, perbedaan antara konstitusi dengan hukum biasa sudah tergambar dalam pembedaan
yang dilakukan oleh Aristoteles terhadap pengertian kata politea dan nomoi. Pengertian politiea
dapat disepadankan dengan pengertian konstitusi, sedangkan nomoi adalah undang-undang
biasa. 7
Politea mengandung kekuasaan yang lebih tinggi dari pada nomoi, karena politea
mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi tidak ada, karena ia hanya
merupakan materi yang harus dibentuk agar supaya tidak bercerai-berai. Dalam kebudayaan
Yunani istilah konstitusi berhubungan erat dengan ucapan Respublica Constituere yang
melahirkan semboyan, Prinsep Legibus Solutus Est, Salus Publica Suprema Lex, yang
artinya ”Rajalah yang berhak menentukan struktur organisasi negara, karena dialah satu-satunya
pembuat undang-undang”.8
Di Inggris, peraturan yang pertama kali dikaitkan dengan istilah konstitusi adalah
“Constitutions of Clarendon 1164” yang disebut oleh Henry II sebagai constitutions, avitae
6 Ibid., hal. 23.
7 Ibid.
8 Bandingkan antara Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., dengan Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hal.
88-89; dan bukubuku sejenis lainnya.
8 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
constitutions or leges, a recordatio vel recognition,9 menyangkut hubungan antara gereja dan
pemerintahan Negara di masa pemerintahan kakeknya, yaitu Henry I. Isi peraturan yang disebut
sebagai konstitusi tersebut masih bersifat eklesiastik, meskipun pemasyarakatannya dilakukan
oleh pemerintahan sekuler. Namun, di masa-masa selanjutnya, istilah constitutio itu sering pula
dipertukarkan satu sama lain dengan istilah lex atau edictum untuk menyebut berbagai secular
administrative enactments. Glanvill sering menggunakan kata constitution untuk a royal edict
(titah raja atau ratu). Glanvill juga mengaitkan Henry II‟s writ creating the remedy by grand
assize as „legalis is a constitutio‟,10
dan menyebut the assize of novel disseisin sebagai a
recognitio sekaligus sebagai a constitutio. 11
Beberapa tahun setelah diberlakukannya UndangUndang Merton pada tahun 1236, Bracton
menulis artikel yang menyebut salah satu ketentuan dalam undangundang itu sebagai a new
constitution, dan mengaitkan satu bagian dari Magna Charta yang dikeluarkan kembali pada
tahun 1225 sebagai constitutio libertatis. Dalam waktu yang hampir bersamaan (satu zaman),
Beaumanoir di Perancis berpendapat bahwa “speaks of the remedy in novel disseisin as ‟une
nouvele constitucion‟ made by the kings”. Ketika itu dan selama beradab-abad sesudahnya,
perkataan constitution selalu diartikan sebagai a particular administrative enactment much as it
had meant to the Roman lawyers. Perkataan constitution ini dipakai untuk membedakan antara
particular enactment dari consuetudo atau ancient custom (kebiasaan).
Pierre Gregoire Tholosano (of Toulouse), dalam bukunya De Republica (1578)
menggunakan kata constitution dalam arti yang hampir sama dengan pengertian sekarang.12
Hanya saja kandungan maknanya lebih luas dan lebih umum, karena Gregoire memakai frase
yang lebih tua, yaitu status reipublicae. Dapat dikatakan bahwa di zaman ini, arti perkataan
9 Dokumen Constitutions of Clarendon menyebut dirinya sendiri sebagai recordatio (record) atau recognitio (a finding). Pengarang
buku “Leges Henrici Primi” pada awal abad ke-12, juga menyebut “the well-known writ of Henry I for the holding of the hundred
and county courts” sebagai record. 10
George E. Woodbine (ed.), Glanvill De Legibus et Consuetudinibus Angiluae, (New Haven: 1932), hal. 63. 11
McIlwain, Op. Cit., hal. 24. 12
Authore D. Petro Gregorio Tholosano, De Republica Libri Sex et Viginti, lib.I, cap. I, 16, 19, Lugduni, 1609, hal. 4-5.
9 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
constitution tercermin dalam pernyataan Sir James Whitelocke pada sekitar tahun yang sama,
yaitu “the natural frame and constitution of the policy of this Kingdom, which is jus publicum
regni”. Bagi James Whitelocke, jus publicum regni itulah yang merupakan kerangka alami dan
konstitusi politik bagi kerajaan. Dari sini, kita dapat memahami pengertian konstitusi dalam dua
konsepsi. Pertama, konstitusi sebagai the natural frame of the state yang dapat ditarik ke
belakang dengan mengaitkannya dengan pengertian politeia dalam tradisi Yunani Kuno. Kedua,
konstitusi dalam arti jus publicum regni, yaitu the public law of the realm. Cicero 13
dapat
disebut sebagai sarjana pertama yang menggunakan perkataan constitutio dalam pengertian
kedua ini, seperti tergambar dalam bukunya “De Re Publica”. Di lingkungan Kerajaan Romawi
(Roman Empire), perkataan constitutio ini dalam bentuk Latinnya juga dipakai sebagai istilah
teknis untuk menyebut the acts of legislation by the Emperor. Menurut Cicero, “This
constitution (haec constitution) has a great measure of equability without which men can hardly
remain free for any length of time”. Selanjutnya dikatakan oleh Cicero:
“Now that opinion of Cato becomes more certain, that the constitution of the republic
(consitutionem rei publicae) is the work of no single time or of no single man”.
Pendapat Cato dapat dipahami secara lebih pasti bahwa konstitusi republik bukanlah hasil
kerja satu waktu ataupun satu orang, melainkan kerja kolektif dan akumulatif. Oleh karena itu,
dari sudut etimologi, konsep klasik mengenai konstitusi dan konstitusionalisme dapat ditelusuri
lebih mendalam dalam perkembangan penger tian dan penggunaan perkataan politeia dalam
bahasa Yunani dan perkataan constitutio dalam bahasa Latin, serta hubungan di antara keduanya
satu sama lain di sepanjang sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik kehidupan
13
Nama lengkapnya adalah Marcus Tullius Cicero (106-43 BC). Menurut R.N. Berki, “In the extant writings of the great Roman statesman and orator, Marcus Tullius Cicero (106-43 BC), we find the most interesting formulations of Roman Stoicism as regards political thought”. Lihat R.N. Berki, The History of Political Thought: A Short Introduction, (London: J.J.Dent and Sons, Everyman’s University Library, 1988), hal. 74.
10 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
kenegaraan dan hukum.
Perkembangan-perkembangan demikian itulah yang pada akhirnya mengantarkan umat
manusia pada pengertian kata constitution itu dalam bahasa Inggris modern. Dalam Oxford
Dictionary, perkataan constitution dikaitkan dengan beberapa arti, yaitu: “… the act of
establishing or of ordaining, or the ordinance or regulation so established”. Selain itu, kata
constitution juga diartikan sebagai pembuatan atau penyusunan yang menentukan hakikat
sesuatu (the “make” or composition which determines the nature of anything). Oleh karena itu,
constitution dapat pula dipakai untuk menyebut “… the body or the mind of man as well as to
external objects”.
Dalam pengertiannya yang demikian itu, konstitusi selalu dianggap “mendahului” dan
“mengatasi” pemerintahan dan segala keputusan serta peraturan lainnya. A Constitution, kata
Thomas Paine, “is not the act of a government but of the people constituting a government”.14
Konstitusi disebut mendahului, bukan karena urutan waktunya, melainkan dalam sifatnya yang
superior dan kewenangannya untuk mengikat. Oleh sebab itu, Charles Howard McIlwain
menjelaskan:
“In fact, the traditional notion of constitutionalism before the late eighteenth century
was of a set of principles embodied in the institutions of a nation and neither external to
these nor in existence prior to them”.15
Secara tradisional, sebelum abad ke-18, konstitutionalisme memang selalu dilihat sebagai
seperangkat prinsip-prinsip yang tercermin dalam kelembagaan suatu bangsa dan tidak ada yang
mengatasinya dari luar serta tidak ada pula yang mendahuluinya.
14
McIlwain, Op. Cit., hal. 20. 15
Ibid., hal. 12.
11 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
2.2. Konstusionalisme
Konstitusi selalu terkait dengan paham konstitusionalisme. Walton H. Hamilton
menyatakan “Constitutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of
words engrossed on parchment to keep a government in order”16
. Untuk tujuan to keep a
government in order itu diperlukan pengaturan yang sedemikian rupa, sehingga dinamika
kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya.
Gagasan mengatur dan membatasi kekuasaan ini secara alamiah muncul karena adanya
kebutuhan untuk merespons perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan
umat manusia.
Konstitusionalisme di zaman sekarang dianggap sebagai suatu konsep yang niscaya bagi
setiap negara modern. Seperti dikemukakan oleh C.J. Friedrich sebagaimana dikutip di atas,
“constitutionalism is an institutionalized system of effective, regularized restraints upon
governmental action”. Basis pokoknya adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus)
di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara.
Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka
bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme
yang disebut negara.17
Kata kuncinya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepa-
katan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan
pada gilirannya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi. Hal ini misalnya, tercermin
dalam tiga peristiwa besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi di
16 Walton H. Hamilton, Constitutionalism, Encyclopedia of Social Sciences, Edwin R.A., Seligman & Alvin Johnson, eds., 1931, hal.
255.
17 William G. Andrews, misalnya, dalam bukunya Constitutions and Constitutionalism 3rd edition, menyatakan: “The members of a
political community have, bu definition, common interests which they seek to promote or protect through the creation and use of
the compulsory political mechanisms we call the State”, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hal. 9.
12 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
Perancis tahun 1789, di Amerika pada tahun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917, ataupun
peristiwa besar di Indonesia pada tahun 1945, 1965 dan 1998.
Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan konsep konstitusionalisme, maka
perlu terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan konstitusi. Konstitusi secara harfiah
berarti pembentukan. Kata konstitusi sendiri berasal dari bahasa Perancis yaitu constituir yang
bermakna membentuk. Dalam bahasa latin, istilah konstitusi merupakan gabungan dua kata yaitu
cume dan statuere. Bentuk tunggalnya contitutio yang berarti menetapkan sesuatu secara
bersama-sama dan bentuk jamaknya constitusiones yang berarti segala sesuatu yang telah
ditetapkan.
Ada beberapa pengertian mengenai konstitusi diantaranya adalah pengertian yang
diberikan menurut James Bryce (C.F. Strong, 1966:11) yaitu constitution is a collection of
principles according to which the powers of the government, the rights of the governed, and the
relations between the two are adjusted. Suatu konstitusi setidaknya mengatur mengenai berbagai
institusi kekuasaan yang ada dalam negara, kekuasaan yang dimiliki oleh institusi-institusi
tersebut, dan dalam cara seperti apa kekuasaan tersebut dijalankan. Dengan demikian secara
sederhana yang menjadi objek dalam konstitusi adalah pembatasan terhadap tindakan
pemerintah, hal ini ditujukan untuk memberikan jaminan terhadap hak-hak warga negara dan
menjabarkan bagaimana kedaulatan itu dijalankan.
Mengenai peranan konstitusi dalam negara, C.F Strong (1966:12) mengibaratkan
konstitusi sebagai tubuh manusia dan negara serta badan politik sebagai organ dari tubuh. Organ
tubuh akan bekerja secara harmonis apabila tubuh dalam keadaan sehat dan sebaliknya. Negara
ataupun badan-badan politik akan bekerja sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam
konstitusi.
Berdasarkan pengertian dan peranan konstitusi dalam negara tersebut maka yang
dimaksud dengan konsep konstitusionalisme adalah konsep mengenai supremasi konstitusi.
Adnan Buyung Nasution (Negara Hukum Konstitusionalisme, 1995:111) menyatakan bahwa
13 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
konstitusi merupakan aturan main tertinggi dalam negara yang wajib dipatuhi baik oleh
pemegang kekuasaan dalam negara maupun oleh setiap warga negara.
Louis Henkin (2000) menyatakan bahwa konstitusionalisme memiliki elemen-elemen
sebagai berikut: (1) pemerintah berdasarkan konstitusi (government according to the
constitution); (2) pemisahan kekuasaan (separation of power); (3) Kedaulatan rakyat dan
pemerintahan yang demokratis (sovereignty of the people and democratic government); (4)
Riview atas konstitusi (constitutional review); (5) Independensi kekuasaan kehakiman
(independent judiciary); (6) Pemerintah yang dibatasi oleh hak-hak individu (limited government
subject to a bill of individual rights); (7) Pengawasan atas kepolisian (controlling the police); (8)
Kontrol sipil atas militer (civilian control of the military); and (9) Kekuasaan negara yang
dibatasi oleh konstitusi (no state power, or very limited and strictly circumscribed state power, to
suspend the operation of some parts of, or the entire, constitution).
Kesembilan elemen dari konstitusi tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yang
berkaitan dengan fungsi konstitusi sebagai berikut:
1. membagi kekuasaan dalam negara yakni antar cabang kekuasaan negara (terutama
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif) sehingga terwujud sistem checks
and balances dalam penyelenggaraan negara.
2. membatasi kekuasaan pemerintah atau penguasa dalam negara. Pembatasan
kekuasaan itu mencakup dua hal: isi kekuasaan dan waktu pelaksanaan
kekuasaan. Pembatasan isi kekuasaan mengandung arti bahwa dalam konstitusi
ditentukan tugas serta wewenang lembaga-lembaga negara.
2.3. Tujuan dari Konstitusi
Menurut Brian Thompson, secara sederhana pertanyaan: what is a constitution dapat
dijawab bahwa “…a constitution is a document which contains the rules for the the
14 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
operation of an organization”18
. Organisasi dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas
strukturnya. Negara sebagai salah satu bentuk organisasi, pada umumnya selalu memiliki
naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Hanya Inggris dan
Israel saja yang sampai sekarang dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis yang disebut
Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar di kedua negara ini tidak pernah dibuat,
tetapi tumbuh19
menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan. Namun para
ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris.20
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas
kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu
menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat.
Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku
tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power21
yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diatur-
nya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap
menentukan berlakunya suatu konstitusi.
Constituent power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pemerin-
tahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi.22
Pengertian constituent power
berkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan
hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena
18 Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, (London: Blackstone Press ltd., 1997),
hal. 3.
19 Bandingkan dengan kesimpulan yang dikemukakan oleh Brian Thompson tentang konstitusi Inggris, “In other words the
British constitution was not made, rather it has grown”. Ibid., hal. 5.
20 O. Hood Phillips, Constitutional and Administrative Law, 7th ed., (London: Sweet and Maxwell, 1987), hal. 5.
21 Lihat misalnya Brian Thompson, op. cit., hal. 5.
22 J. Bryce, Studies in History and Jurisprudence, vol.1, (Oxford: Clarendon Press, 1901), hal. 151.
15 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk
hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum
yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah
Undang-Undang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh
bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut.
Tujuan dari negara membuat konstitusi adalah sebagai berikut :
1. Menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai suatu fungsi konstitusionalisme;
2. Memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintah;
3. Sebagai instrumen untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang kekuasaan asal (baik
rakyat dalam sistem demokrasi atau raja dalam sistem monarki) kepada organ-organ
kekuasaan negara;
Sifat Konstitusi 1. Formil dan materiil; Formil berarti tertulis. Materiil dilihat dari
segi isinya berisikan hal-hal bersifat dasar pokok bagi rakyat dan negara. (sama dengan
konstitusi dalam arti relatif). 2. Flexibel dan rigid, Kalau rigid berarti kaku sulit untuk
mengadakan perubahan sebagaimana disebutkan oleh KC Wheare Menurut James Bryce, ciri
flexibel : Elastis, Diumumkan dan diubah sama dengan undang-undang dan Tertulis dan tidak
tertulis.23
23 Miriam Budiardjo, Miriam B dkk. Dasar-dasar ilmu politik, Gramedia Pustaka Utama (2003)
16 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
Konsep Pemisahan Kekuasaan (The Separation of Power) Dalam Negara
Premis yang ada dibalik pemisahan kekuasaan adalah kekuasaan akan
membahayakan bagi warga negara bila kekuasaan yang besar tersebut dimiliki oleh orang
perorangan maupun kelompok. Pemisahan kekuasaan adalah suatu metode memindahkan
kekuasaan ke dalam kelompok-kelompok, dengan demikian akan menjadi lebih sulit untuk
disalahgunakan.
Menurut Jimly Asshiddiqie (2000:2), konsep pemisahan kekuasaan secara
akademis dapat dibedakan antara pengertian sempit dan pengertian luas. Dalam pengertian
luas, konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) mencakup pengertian pembagian
kekuasaan yang biasa disebut dengan istilah division power(distribution of power).
Pemisahan kekuasaan merupakan konsep hubungan yang bersifat horizontal, sedangkan
konsep pembagian kekuasaan bersifat vertikal. Secara horizontal, kekuasaan negara dapat
dibagi ke dalam beberapa cabang kekuasaan yang dikaitkan dengan fungsi lembaga-lembaga
negara tertentu, yaitu legislatif, eksekutif, dan judikatif. Sedangkan dalam konsep pembagian
kekuasaan (distribution of power atau division of power) kekuasaan negara dibagikan secara
vertikal dalam hubungan “atas-bawah”.
Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang mengadaptasi sistem
pemisahan kekuasaan. Kekuasaan dibedakan atas tiga kelompok kekuasaan, eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Ketiga cabang kekuasaan tersebut dibedakan berdasarkan kekuasaan
yang mereka miliki. Kekuasaan legislatif memiliki kemampuan untuk menetapkan hukum.
Kekuasaan eksekutif memiliki kemampuan untuk melihat penegakan hukum. Kekuasaan
Judikatif memiliki kemampuan untuk membuat keputusan serta menjatuhkan sanksi. Secara
historis konsep pemisahan kekuasaan ini mengacu kepada Masa Yunani Kuno. Konsep
tersebut diperbaiki oleh para pembentuk negara dan perbaikan tersebut mempengaruhi
pembentukan tiga cabang kekuasaan dalam konstitusi. Aristotetes lebih cenderung kepada
bentuk pemerintahan campuran yang terdiri atas monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Dalam
17 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
pandangan Aristoteles jika hanya mengacu pada satu konsep saja maka tidak tercapai suatu
kondisi yang ideal, tetapi campuran dari hal-hal yang terbaik dari ketiga konsep tersebut akan
lebih mendekati ideal. Tahun 1656 James Harrington memperbaharui ketiga konsep tersebut
dan mengajukan suatu sistem yang berdasarkan pemisahan kekuasaan. John Locke, ditahun
1690, memisahkan kekuasaan-kekuasaan negara ke dalam eksekutif dan legislatif.
Montesqieu, di tahun 1748, memiliki semangat hukum untuk mengembangkan pemikiran
Locke, dengan menambahkan unsur judikatif. Pembentuk konstitusi Amerika Serikat
mengambil keseluruhan ide Montesqieu dan mengkonversi teori-teori tersebut ke dalam
aplikasi yang praktis
Konsep Checks and Balances System
Check and balances system adalah sistem dimana orang-orang dalam
pemerintahan dapat mencegah pekerjaan pihak yang lain dalam pemerintahan jika mereka
meyakini adanya pelanggaran terhadap hak. Pengawasan (checks) sebagai bagian dari
checks and balances adalah suatu langkah maju yang sempurna. Mencapai keseimbangan
lebih sulit untuk diwujudkan. Gagasan utama dalam checks and balances adalah upaya
untuk membagi kekuasaan yang ada ke dalam cabang-cabang kekuasaan dengan tujuan
mencegah dominannya suatu kelompok. Bila seluruh ketiga cabang kekuasaan tersebut
memiliki checks terhadap satu sama lainnya, checks tersebut dipergunakan untuk
menyeimbangkan kekuasaan. Suatu cabang kekuasaan yang mengambil terlalu banyak
kekuasaan dibatasi lewat tindakan cabang kekuasaan yang lain. Checks and Balances
diciptakan untuk membatasi kekuasaan pemerintah. Hal tersebut dapat tercapai dengan
men-split pemerintah dalam kelompok-kelompok persaingan yang dapat secara aktif
membatasi kekuasaan kelompok lainnya. Hal ini akan berakhir bila ada suatu kelompok
kekuasaan yang mencoba untuk menggunakan kekuasaannya secara ilegal.
18 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
Contoh sederhana dari konsep ini adalah hak veto yang dimiliki oleh Presiden
Amerika Serikat. Presiden memiliki kekuasaan yang signifikan terhadap legislatif, yang
memungkinkan presiden untuk menuntut bagian tertentu dalam meloloskan rancangan
undang-undang atau bahkan mem-veto nya. Hasilnya adalah presiden dapat bekerja sama
dengan legislatif untuk meningkatkan kekuasaan federal, dan sebagai peringatan terhadap
legislatif untuk tidak melakukan tindakan preventif untuk memperluas kekuasaannya.
Implementasi Konsep Pemisahan Kekuasaan dan Checks and Balances
System dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945
1. Pergeseran Terhadap Teori Montesqiue Dalam Perubahan UUD 1945
Gagasan dasar dari konstitusionalisme adalah pemisahan kekuasaan agar tidak
terjadi adanya dominasi kekuasaan. Pemisahan kekuasaan tergambarkan dengan kuat dengan
adanya pembagian kekuasaan menjadi tiga cabang kekuasaan, sebagaimana yang dijabarkan
oleh Montesquieu, yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. UUD 1945 tidak
melakukan pemisahan secara tegas terhadap ketiga cabang kekuasaan tersebut.
Berkaitan dengan masalah checks and balances, Undang-undang Dasar 1945 (pra
amandemen) dipandang mengandung kelemahan pengaturan mengenai hal tersebut.
Pengaturan mengenai checks and balances dianggap tidak memadai. Sistem checks and
balances dibutuhkan untuk mewujudkan tatanan penyelenggaraan negara yang memberi
kewenangan antarn cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) untuk saling
mengontrol dan menyeimbangankan pelaksanaan kekuasaannya masing-masing. Dengan
demikian dapat dihindarkan penyalahgunaan kekuasaan oleh cabang-cabang kekuasaan
negara. Konstruksi dasar dari Undang-undang Dasar 1945 terlalu menitikberatkan pada
executive heavy, presiden mendapat porsi kekuasaan yang besar dibandingkan cabang-cabang
19 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
kekuasaan lainnya, sehingga kekuasaan eksekutif tidak dapat dikontrol oleh cabang-cabang
kekuasaan lainnya. Ketidaksederajatan antara cabang-cabang kekuasaan negara tidak
memberikan tempat bagi mekanisme kontrol diantara cabang-cabang kekuasaan tersebut
(checks and balances system);
Kelemahan-kelemahan yang ada dalam Undang-undang Dasar 1945 dan
terbukanya kemungkinan untuk melakukan perubahan (amandemen) yang ada dalam Pasal
37 mendorong dilakukannya perubahan terhadap undang-undang dasar ini. Amandemen
terhadap UUD 1945 membawa perubahan yang cukup mendasar terhadap pembagian
kekuasaan dalam negara. Terjadi pergeseran terhadap pembagian kekuasaan, dari pembagian
kekuasaan menurut teori montesqiue (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) menjadi enam
cabang kekuasaan, yaitu:
1. kekuasaan eksekutif/Pemerintahan Negara (vide Pasal 4 ayat (1) UUD RI
1945)
2. Kekuasaan legislatif (vide Pasal 20 ayat (1) UUD RI 1945)
3. Kekuasaan yudikatif/kehakiman (vide Pasal 24 ayat (1) UUD RI 1945)
4. Kekuasaan auditif (vide Pasal 23E UUD RI 1945)
5. Kekuasaan moneter (vide Pasal 23d UUD RI 1945)
6. konstitutif (vide Pasal 3 UUD RI 1945)
2. Checks and Balances Sytems Dalam Amandemen UUD 1945
Check and balances merupakan salah satu dari delapan paradigma perubahan
terhadap UUD 1945. Perubahan paradigma UUD ini harus membawa perubahan pola pikir,
perubahan kultur dari seluruh aparat negara serta perubahan berbagai peraturan perundang-
undangan yang tidak lagi sesuai dengan berbagai paradigma baru ini. Penerapan prinsip
checks and balances dalam amandemen UUD 1945 adalah sebagai berikut:
20 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
Ca
bang
Kekuasa
an
Kekuas
aan yang
diamanatkan
dalam UUD
1945
Eksekutive
Counterbalance
Legislati
ve
counterbalane
judikativ
e
counterb
alance
Eks
ekutif
Memegang
kekuasaan
pemerintaha
n
Kepatuhan
sipil dan
militer pada
tataran tingkat
rendah dan
kepatuhan para
pejabat
terhadap
kebijakan
tingkat tinggi
Kekuasaan
membentuk
undang-
undang
Bertindak
netral
manakala
eksekutif
terlibat dalam
masalah
kriminal
maupun
bertentangan
dengan pihak
sipil
mengangkat
duta besar
dan
menerima
duta dari
negara lain
presiden
harus
memperhatik
an
pertimbanga
n DPR
pemberian
amnesti dan
abolisi
pertimbanga
n DPR
21 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
memberikan
grasi dan
rehabilitasi
presiden
harus
memperhatik
an
pertimbangan
Mahkamah
Agung
sebagai
pemegang
kekuasaan
kehakiman
membuat
treaty
meratifikasi
treaty
menentukan
hukum yang
akan
diterapkan
dalam kasus-
kasus tertentu
kebebasan
Presiden
dalam
membuat
kebijakan
pemerintah
diawasi oleh
DPR hak-hak
pengawasan
yang dimilki
oleh DPR
meliputi hak
interpelasi,
hak angket
dan hak
22 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
menyatakan
pendapat
yang dapat
berujung
pada
pengusulan
pemberhentia
n Presiden
ditengah
masa
jabatannya
kepada MPR.
mengumpul
kan pajak
kekuasaan
untuk
menetapkan
anggaran
Leg
islatif
kekuasaan
membentuk
undang-
undang
harus
berdasarkan
persetujuan
bersama
presiden.
Presiden dapat
membentuk
Peraturan
Pemerintah
23 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
Pengganti
Undang-
undang,
pembentukan
peraturan
pemerintah,
keputusan
Presiden dan
lain-lainnya.
kewenangan
DPR untuk
mengajukan
usul
pemecatan
presiden/wa
kil presiden
Yud
ikatif
membuat
interprestasi
atas hukum
dan
menerapkan
nya
terhadap
keputusan-
keputusan
kewenangan
untuk
menunjuk
hakim
kekuasan untuk
memberikan
pemaafan
(grasi, amnesti,
abolisi)
kewenangan
untuk
menentukan
budget
kehakiman
konfirmasi
atas calon
hakim
24 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
3. Checks and Balances dan Pengaturan Terhadap Lembaga Negara
Dalam studi hukum maupun politik di Barat, lembaga-lembaga negara atau alat-
alat perlengkapan negara disebut branches of government, arms of the state, maupun organs
of the state. Keberadaan alat-alat perlengkapan negara mencerminkan pemisahan kekuasaan
negara yang diatur di dalam konstitusi.
Istilah "lembaga-lembaga negara" tidak dijumpai dalam UUD 1945. Kenyataan
tersebut berbeda dari Konstitusi RIS 1949, yang secara eksplisit menyebut President menteri-
menteri, Senat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), dan Dewan
Pengawas Keuangan sebagai "alat-alat perlengkapan negara RIS"(Konstitusi RIS 1949 Bab
III). UUDS 1950 juga menegaskan bahwa "alat-alat perlengkapan negara" mencakup
Presiden dan Wakil Presiden (Wapres), menteri-menteri, DPR, MA, dan Dewan Pengawas
Keuangan (UUDS 1950 Pasal 4)
Istilah yang digunakan dalam UUD 1945 pra-amandemen adalah "penyelenggara
pemerintah negara" (Presiden), "penyelenggara negara" (MPR) atau "badan" (MPR dan
DPA) (vide penjelasan UUD 1945 pra amandemen), sedangkan di dalam teks UUD 1945
digunakan istilah "badan negara”(Pasal II Aturan Peralihan). Istilah "lembaga-lembaga
negara" dikukuhkan penggunaannya dalam Ketetapan No. XX/MPRS/1966 (lihat TAP MPR
No. VI/MPR/1976 dan TAP MPR No. III/MPR/1978). Lembaga-lembaga negara yang
dimaksud adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Presiden, Dewan Pertimbangan Agung (DPA),
dan Mahkamah Agung (MA). Sekarang, pasca-amandement dijumpai istilah "alat Negara"
untuk TNI dan POLRI (vide Pasal 30 ayat (3) dan ayat (4) UUD RI), sedangkan istilah
"lembaga negara" dijumpai di dua tempat tanpa kejelasan maksud (vide Pasal 24-c ayat (1)
dan Pasal I Aturan Peralihan UUD RI).
Pada prinsipnya pemisahan dan perimbangan kekuasaan negara tercermin dalam
keberadaan lembaga-lembaga negara. Tapi praktik negara-negara moderen telah
25 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
memodifikasi dan merevisi teori-teori pemisahan kekuasaan negara yang konvensional,
seperti trias politica. Indonesia pasca-amandemen UUD 1945 (tahun 1999 -2002) juga
mengalami perubahan yang mendasar ini.
Dapat dikatakan bahwa reformasi politik yang berlangsung sejak 1998 dan diikuti
dengan amandemen UUD 1945 telah menghasilkan reformulasi checks and balances
(perumusan kembali pola hubungan antar-lembaga negara). Hal ini terkait dengan
redistribusi kekuasaan dan restrukturisasi lembaga-lembaga negara.
Jika terjadi sengketa antar-lembaga negara (di tingkat pusat, atau antara pusat dan
daerah, atau antar-lembaga daerah), bukan MPR atau MA yang menyelesaikannya melainkan
MK. Terdapat dua hal yang belum jelas: (a) apa yang dimaksud dengan "sengketa
kewenangan konstitusional" tersebut; (b) bagaimana prosedur tersebut hendak ditempuh. Di
sisi lain, soal kesesuaian Perda dengan undang-undang diuji oleh MA.
Anatomi pemisahan kekuasaan dan restrukturisasi lembaga negara pasca-
amandemen UUD 1945, secara horizontal, terdiri atas: parlemen bikameral yang asimetrik
(DPR dan DPD); eksekutif yang dipimpin oleh Presiden yang dipilih secara langsung oleh
rakyat; kekuasaan legislatif yang melibatkan tiga lembaga (Presiden, DPR dan DPD) namun
didominasi oleh DPR dan Presiden; kekuasaan kehakiman (judicial powers) yang tidak lagi
monolitik (karena ada Mahkamah Konstitusi); lembaga audit keuangan negara (BPK)
didampingi bank sentral yang independen KPKPN, Komisi Pemberantasan Korupsi dan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; serta berbagai state auxiliaries (seperti Komisi Yudisial
dan Komisi Pemilihan Umum). Tampak pula kedudukan dan peran DPR yang mengemuka.
Dapat dikatakan, amandemen UUD 1945 telah menghasilkan konstitusi dan struktur
kenegaraan yang bersifat DPR-legislative heavy dan bukan lagi "MPR heavy."
26 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
2.4. Subtansi Konstitusi
1. Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak dalam bentuk tertulis (written constitution and
unwritten constitution). suatu konstitusi disebut tertulis bila berupa (Doumentary
Constitution), sedangkan konstitusi tidak tertulis tidak berupa satu naskah (Non-
Doumentary Constitution) dan banyak di pengaruhi oleh tradisi konvensi.24
Contoh
konstitusi Inggris yang hanya berupa kumpulan dokument.
2. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible and rigid constitution). Yang dimaksud
dengan konstitusi yang fleksibel adalah konstitusi yang diamandemen tanpa adanya
prosedur khusus sedangkan konstitusi yang kaku adalah konstitusi yang mensyaratkan
suatu adanya prosedur khusus dalam melakukan amandemen.25
Dikatakan konstitusi itu
flaxible apabila konstitusi itu memungkinkan adanya perubahan sewaktu-waktu sesuai
perkembangan msyarakat (contoh konstitusi inggris dan selandia baru). Sedangkan
konstitusi itu dikatakan kaku atau rigid apabila konstitusi itu sulit diubah sampai
kapanpun (contoh : USA, Kanada, Indonesia dan Jepang).26
Ciri-ciri pokok konnstitusi fleksibel, antara lain:
Sifat elastis, artinya dapat disesuaikan dengan mudah
Dinyatakan dan dilakukan perubahan adalah mudah seperti mengubah undang-
undang
24
ibid, hlm.153 di kutip buku C.F Strong, Modern Political constituton
25 Dahlan Thaib dkk, Teori dan Hukum Konstitusi,,Penerbit Grafindo, Jakarta: 1999, hlm. 14-15. Dikutip dari artikel Arif Budiman,SH
26 KC Wheare, Modern Constitutions, 1975, hlm 83 seperti dikutip Sri Soemantri M, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Penerbit Alumni, Bandung, 1987, hlm 51.dikutip dari Catatan Noor Arief Budiman.
27 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
Konstitusi rigid mempunyai ciri-ciri pokok, antara lain:
Memiliki tingkat dan derajat yang lebih tinggi dari undang-undang
Hanya dapat diubah dengan tata cara khusus/istimewa
3. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak derajat tinggi (Supreme and not
supreme constitution)27
Konstitusi derajat tinggi, konstitusi yang mempunyai kedudukan
tertinggi dalam negara (tingkatan peraturan perundang-undangan). Konstitusi tidak
derajat tinggi.
4. Konstitusi Negara Serikat dan Negara Kesatuan (Federal and Unitary Constitution)28
5. Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan Parlementer (President Executive
and Parliamentary Executive Constitution).
Dalam sistem pemerintahan presidensial (strong) terdapat ciri-ciri antara lain:
Presiden memiliki kekuasaan nominal sebagai kepala negara, tetapi juga memiliki
kedudukan sebagai Kepala Pemerintahan.
Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih.
Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat
memerintahkan pemilihan umum.
27
Sri Soemantri M, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Penerbit Alumni, Bandung, 1987, hlm 51
28 http://library.usu.ac.id/download/fh/tatanegara-mirza4.pdf
28 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
Konstitusi dalam sistem pemerintahan parlementer memiliki ciri-ciri (Sri
Soemantri) :
Kabinet dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang dibentuk berdasarkan kekuatan
yang menguasai parlemen.
Anggota kabinet sebagian atau seluruhnya dari anggota parlemen.
Presiden, Raja/Ratu dengan saran atau nasihat Perdana menteri dapat membubarkan
parlemen dan memerintahkan diadakan pemilihan umum.
Nilai dan Sifat Konstitusi
Nilai konstitusi yang dimaksud di sini adalah nilai (values) sebagai hasil penilaian atas
pelaksanaan norma-norma dalam suatu konstitusi dalam kenyataan praktik. Sehubungan dengan
hal itu, Karl Loewenstein dalam bukunya “Reflection on the Value of Constitutions”
membedakan 3 (tiga) macam nilai atau the values of the constitution, yaitu (i) normative value;
(ii) nominal value; dan (iii) semantical value. Jika berbicara mengenai nilai antara norma yang
terdapat dalam konsititusi yang bersifat mengikat itu dipahami, diakui, diterima, dan dipatuhi
oleh subjek hukum yang terikat padanya, maka konstitusi itu dinamakan sebagai konstitusi yang
mempunyai nilai normatif. Kalaupun tidak seluruh isi konstitusi itu demikian, akan tetapi
setidak-tidaknya norma-norma tertentu yang terdapat di dalam konstitusi itu apabila memang
sungguh-sungguh ditaati dan berjalan sebagaimana mestinya dalam kenyataan, maka norma-
norma konstitusi dimaksud dapat dikatakan berlaku sebagai konstitusi dalam arti normatif. Akan
tetapi, apabila suatu undang-undang dasar, sebagian atau seluruh materi muatannya, dalam
kenyataannya tidak dipakai sama sekali sebagai referensi atau rujukan dalam pengambilan
keputusan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara, maka konstitusi tersebut dapat dikatakan
sebagai konstitusi yang bernilai nominal. Manakala dalam kenyataannya keseluruhan bagian atau
isi undang-undang dasar itu memang tidak dipakai dalam praktik, maka keseluruhan
undangundang dasar itu dapat disebut bernilai nominal. Misalnya, norma dasar yang terdapat
29 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
dalam konstitusi yang tertulis (schreven constitutie) menentukan A, akan tetapi konstitusi yang
dipraktikkan justru sebaliknya yaitu B, sehingga apa yang tertulis secara expressis verbis dalam
konstitusi sama sekali hanya bernilai nominal saja. Dapat pula terjadi bahwa yang dipraktikkan
itu hanya sebagian saja dari ketentuan undang-undang dasar, sedangkan sebagian lainnya tidak
dilaksanakan dalam praktik, sehingga dapat dikatakan bahwa yang berlaku normatif hanya
sebagian, sedangkan sebagian lainnya hanya bernilai nominal sebagai norma-norma hukum di
atas kertas “mati”.
Sedangkan konstitusi yang bernilai semantik adalah konstitusi yang norma-norma yang
terkandung di dalamnya hanya dihargai di atas kertas yang indah dan dijadikan jargon,
semboyan, ataupun “gincu-gincu ketatanegaraan” yang berfungsi sebagai pemanis dan sekaligus
sebagai alat pembenaran belaka. Dalam setiap pidato, norma-norma konstitusi itu selalu dikutip
dan dijadikan dasar pembenaran suatu kebijakan, tetapi isi kebijakan itu sama sekali tidak
sungguh-sungguh melaksanakan isi amanat norma yang dikutip itu. Kebiasaan seperti ini lazim
terjadi di banyak negara, terutama jika di negara yang bersangkutan tersebut tidak tersedia
mekanisme untuk menilai konstitusionalitas kebijakan-kebijakan kenegaraan (state‟s policies)
yang mungkin menyimpang dari amanat undang-undang dasar. Dengan demikian, dalam praktik
ketatanegaraan, baik bagianbagian tertentu ataupun keseluruhan isi undang-undang dasar itu,
dapat bernilai semantik saja.
Sementara itu, pengertian-pengertian mengenai sifat konstitusi biasanya dikaitkan dengan
pembahasan tentang sifat-sifatnya yang lentur (fleksibel) atau kaku (rigid), tertulis atau tidak
tertulis, dan sifatnya yang formil atau materiil. Mengenai sifat-sifat konstitusi tersebut, dapat
diuraikan sebagai berikut. konstitusi, para sarjana hukum kita selalu mengutip pendapat Karl
Loewenstein mengenai tiga nilai normatif, nominal, dan semantik ini.29
29
Lihat misalnya, Kusnardi dan Ibrahim, Op. Cit., hal.4; Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1994), hal. 156-157; I. Nyoman Dekker, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Suatu Pengantar, (Malang: IKIP Malang, 1993), hal. 12; R.G. Kartasapoetra, Sistematika Hukum Tata Negara, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 21-22;
30 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
Menurut pandangan Karl Loewenstein, dalam setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek
penting, yaitu sifat idealnya sebagai teori dan sifat nyatanya sebagai praktik. Artinya, sebagai
hukum tertinggi di dalam konstitusi itu selalu terkandung nilai-nilai ideal sebagai das sollen yang
tidak selalu identik dengan das sein atau keadaan nyatanya di lapangan.
2.5. Merubah Konstitusi
Dari segi tata bahasa kata Amandemen sama dengan amandement. Secara harfiah
amandement dalam bahasa Indonesia berarti mengubah. Mengubah maupun perubahan
berasal dari kata dasar ubah yang berarti lain atau beda. Mengubah mengandung arti menjadi
lain sedang perubahan diartikan hal berubahnya sesuatu; pertukaran atau peralihan. Dapat
kita jabarkan bahwa perubahan yang oleh John M Echlos dan Hasan Shadily juga disebut
amandemen tidak saja berarti menjadi lain isi serta bunyi ketentuan dalam UUD, akan tetapi
juga mengandung sesuatu yang merupakan tambahan pada ketentuan-ketentuan dalam UUD
yang sebelumnya tidak terdapat didalamnya. Menurut KC Wheare konstitusi itu harus
bersifat kaku dalam aspek perubahan. Empat sasaran yang hendak dituju dalam usaha
mempertahankan Konstitusi dengan jalan mempersulit perubahannya adalah30
:
1. Agar perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang masak, tidak secara
serampangan dan dengan sadar (dikehendaki).
Demikian pula hal ini dapat dibaca dalam tulisan-tulisan Prof. Isma’il Suny, Prof. Sri Soemantri, Prof. Padmo Wahyono, Prof. Abu Daud Busroh, Prof. Solly Lubis, dan sebagainya.
30 KC Wheare, Modern Constitutions, 1975, hlm 83 seperti dikutip Sri Soemantri M, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,
Penerbit Alumni, Bandung, 1987, hlm 51.dikutip dari Catatan Noor Arief Budiman.
31 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
2. Agar rakyat mendapat kesempatan untukmenyampaikan pandangannya sebelum
perubahan dilakukan.
3. Agar kekuasaan Negara serikat dan kekuasaan Negara bagian tidak diubah semata-
mata oleh perbuatan masing-masing pihak secara tersendiri.
4. Agar supaya hak-hak perseorangan atau kelompok, seperti kelompok minoritas
agama atau kebudayaannya mendapat jaminan.
Apabila kita amati mengenai system pembaharuan konstitusi di berbagai Negara,
terdapat dua system yang berkembang yaitu renewel (pembaharuan) dan Amandement
(perubahan). System renewel adalah bila suatu konstitusi dilakukan perubahan (dalam arti
diadakan pembaharuan) maka yang berlaku adalah konstitusi baru secara keseluruhan.
System ini dianut di Negara-negara Eropa Kontinental. System Amandement adalah bila
suatu konstitusi yang asli tetap berlaku sedang hasil amandemen tersebut merupakan bagian
atau dilampirkan dalam konstitusi asli. Sistem ini dianut di Negara-negara Anglo Saxon.31
Factor utama yang menentukan pembaharuan UUD adalah berbagai pembaharuan
keadaan di masyarakat. Dorongan demokrasi, pelaksanaan paham Negara kesejahteraan
(welfare state), perubahan pola dan system ekonomi akibat industrialisasi, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi dapat menjadi kekuatan (forces) pendorong pembaharuan UUD.
Demikian pula dengan peranan UUD itu sendiri. Hanya masyarakat yang berkendak dan
mempunyai tradisi menghormati dan menjunjung tinggi UUD yang akan menentukan UUD
dijalankan sebagaimana semestinya.32
31 Sri Soemantri,Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Penerbit Alumni, Bandung, 1987, hlm 51. Dikutip dari artikel catatan Noor Arief Budiman.
32 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII PRESS, Yogyakarta, 2003, hlm.29
32 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
Menurut KC Wheare, perubahan UUD yang timbul akibat dorongan kekuatan (forces)
dapat berbentuk:
a. Kekuatan tertentu dapat melahirkan perubahan keadaan tanpa mengakibatkan
perubahan bunyi tertulis dalam UUD. Yang terjadi adalah pembaharuan makna. Suatu
ketentuan UUD diberi makna baru tanpa mengubah bunyinya.
b. Kekuatan kekuatan yang melahirkan keadaan baru itu mendorong perubahan atas
ketentuan UUD, baik melalui perubahan formal, putusan hakim, hukum adat maupun
konvensi.33
Secara Yuridis, perubahan konstitusi dapat dilakukan apabila dalam konstitusi
tersebut telah ditetapkan tentang syarat dan prosedur perubahan konstitusi. Perubahan
konstitusi yang ditetapkan dalam konstitusi disebut perubahan secara formal (formal
amandement). Disamping itu perubahan konstitusi dapat dilakukan melalui cara tidak formal
yaitu oleh kekuatan-kekuatan yang bersifat primer, penafsiran oleh pengadilan dan oleh
kebiasaan dalam bidang ketatanegaraan.
Menurut CF Strong ada empat macam cara prosedur perubahan konstitusi, yaitu34
:
33
KC Wheare,Modern Constitution, Oxford Univ. Press, 1971, hlm 17 seperti dikutip Bagir Manan, Teori dan Politik …,Op Cit, hlm
30.
34 CF Strong, Konstitusi konstitusi Politik modern Kajian tentang sejarah dan BentukBentuk KonstitusiDunia, Penerbitr Nuansa dan
Penerbit Nusamedia, Bandung, 2004, hlm 213-215.Dikutip dari artikel catatan Noor Arief Budiman.
33 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
1) Melalui lembaga legislative biasa tetapi dibawah batasan tertentu.( By the ordinary
legislature, but under certain restrictions) Ada tiga cara yang diizinkan bagi lembaga
legislative untuk melakukan amandemen konstitusi.
a. Untuk mengubah konstitusi sidang legislative harus dihadiri sekurang-kurangnya
2/3 jumlah keseluruhan anggota lembaga legislative. Keputusan untuk mengubah
konstitusi adalah sah bila disetujui oleh 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
b. Untuk mengubah konstitusi, lembaga legislative harus dibubarkan lalu
diselenggarakan Pemilu. Lembaga legislative yang baru ini yang kemudian
melakukan amandemen konstitusi.
c. Cara ini terjadi dan berlaku dalam system dua kamar. Untuk mengubah konstitusi,
kedua kamar harus mengadakan sidang gabungan. Sidang inilah yang berwenang
mengubah konstitusi sesuai dengan syarat cara kesatu.
2) Melalui rakyat lewat referendum. (By the people through a referendum) Apabila ada
kehehendak untuk mengubah konstitusi maka lembaga Negara yang berwenang
mengajukan usul perubahan kepada rakyat melalui referendum. Dalam referendum ini
rakyat menyampaikan pendapatnya dengan jalan menerima atau menolak usul perubahan
yang telah disampaikan kepada mereka. Penentuan diterima atau ditolaknya suatu usul
perubahan diatur dalam konstitusi
3) Melalui suara mayoritas dari seluruh unit pada Negara federal. (By a majority of all units
of a federal state). Cara ini berlaku pada Negara federal. Perubahan terhadap konstitusi
ini harus dengan persetujuan sebagian besar Negara bagian. Usul perubahan konstitusi
diajukan oleh Negara serikat tetapi keputusan akhir berada di tangan Negara bagian. Usul
perubahan juga dapat diajukan oleh Negara bagian.
4) Melalui konvensi istimewa. (By a special conventions) Cara ini dapat dijalankan pada
Negara kesatuan dan Negara serikat. Bila terdapat kehendak untuk mengubah UUD maka
sesuai ketentuan yang berlaku dibentuklah suatu lembaga khusus yang tugas serta
wewenangnya hanya mengubah konstitusi. Usul perubahan dapat berasal dari masing-
34 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
masing lembaga kekuasaan dan dapat pula berasal dari lembaga khusus tersebut. Bila
lembaga khusus tersebut telah melaksanakan tugas dan wewenangnya sampai selesai
dengan sendirinya dia bubar.
Pada dasarnya dua metode amandemen konstitusi yang paling banyak dilakukan di
Negara-negara yang menggunakan konstitusi kaku: pertama dilakukan oleh lembaga
legislative dengan batasan khusus dan yang kedua, dilakukan rakyat melalui referendum.
Dua cara yang lain dilakukan pada Negara federal. Meski tidak universal dan konvensi
istimewa umumnya hanya bersifat permisif (dapat dipakai siapa saja dan dimana saja).
Berdasarkan hasil penelitian terhadap beberapa konstitusi dari berbagai Negara dapat
dikemukakan hal-hal yang diatur dalam konstitusi mengenai perubahan konstitusi, yaitu 35
:
1. Usul inisiatif perubahan konstitusi.
2. Syarat penerimaan atau penolakan usul tersebut menjadi agenda resmi bagi
lembaga pengubah konstitusi.
3. Pengesahan rancangan perubahan konstitusi.
4. Pengumuman resmi pemberlakuan hasil perubahan konstitusi.
5. Pembatasan tentang hal-hal yang tidak boleh diubah dalam konstitusi.
6. hal-hal yang hanya boleh diubah melalui putusan referendum atau klausula
khusus.
7. Lembaga-lembaga yang berwenang melakukan perubahan konstitusi, seperti
parlemen, Negara bagian bersama parlemen, lembaga khusus, rakyat melalui
referendum.
35
Naskah Akademik Kajian Komprehensif tentang Perubahan UUD RI 1945, Sek Jend MPR, Jakarta, 2004, hlm.37.Dikutip dari
artikel catatan Noor Arief Budiman.
35 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
Macam perubahan Konstitusi menurut K.C.Wheare36
:
1. Some primary forces, Didorong oleh beberapa kekuatan yang muncul di dalam
masyarakat. Contoh: di Filipina, Cori terhadap pemerintahan Marcos.
2. Formal amandement, Secara formal – sesuai dengan apa yang diatur dalam
konstitusi, dalam hal ini didalam konstitusi kita diatur dalam pasal tentang
perubahan yaitu pasal 37.
3. Judicial interpretation, Perubahan dilakukan oleh hukum, dalam hal ini biasanya
adalah oleh MA – melalui penafsiran MA. Sebagai contoh; dengan menafsirkan
pasal II Tap MPR No. VII/ MPR/2000 tentang Kewenangan presiden untuk
mengangkat memberhentikan Kapolri, dimana menurut pasal ini sebelum
Presiden mengangkat Kapolri harus dengan persetujuan DPR yang ketentuannya
diatur dalam UU, tapi UU-nya sendiri belum ada sedang situasi dan kondisi
menghendaki pergantian tersebut di saat seperti itu maka yang semestinya
dilakukan penilaian terhadap apa yang dilakukan oleh Presiden dengan
mengangkat Kapolri baru tanpa persetujuan DPR adalah penafsiran MA dengan
menafsirkan Tap tersebut yaitu pasal 10.
4. Usage and convention, Berangkat dari aturan dasar yang tidak tertulis.
Perubahan UUD 1945 sebagai agenda utama era reformasi mulai dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999. Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh
fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu:37
1. sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
36 Badan Eksekutif Mahasiswa 2004-2005 Campus in Compact,Hukum Tata Negara (sari kuliah)
37 Lima kesepakatan tersebut dilampirkan dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
36 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
2. sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus
menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil);
4. sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke
dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
5. sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu
agenda Sidang Tahunan MPR38
dari tahun 1999 hingga perubahan keempat pada Sidang Tahunan
MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas
melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan
Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.
Perubahan Pertama dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 yang arahnya
adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) sebagai lembaga legislatif.39
Perubahan Kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR
Tahun 2000 meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah,
menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-
ketentuan yang terperinci tentang HAM.40
Perubahan Ketiga yang ditetapkan pada Sidang
Tahunan MPR Tahun 2001 meliputi ketentuan tentang Asas-asas landasan bernegara,
kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, dan ketentuan-ketentuan tentang
38
Sidang Tahunan MPR baru dikenal pada masa reformasi berdasarkan Pasal 49 dan Pasal 50 Ketetapan MPR No. II/MPR/1999
tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
39 Ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15,
Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 22 UUD 1945.
40 Ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A,
Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G,
Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945.
37 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
Pemilihan Umum.41
Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Materi
perubahan pada Perubahan Keempat adalah ketentuan tentang kelembagaan negara dan
hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan
tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial,
dan aturan peralihan serta aturan tambahan.42
Perubahan-perubahan tersebut diatas meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945.
Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami
perubahan, materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan. Namun sesuai dengan
kesepakatan MPR yang kemudian menjadi lampiran dari Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999,
Pembukaan UUD 1945 tidak akan diubah. Pembukaan UUD 1945 memuat cita-cita bersama
sebagai puncak abstraksi yang mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama
warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kema-
jemukan. Pembukaan UUD 1945 juga memuat tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa
juga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai
filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga
masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara. Inilah yang oleh William G. Andrews disebut
sebagai Kesepakatan (consensus) pertama.
Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yang
41
Ditetapkan pada tanggal 9 November 2001. Mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal
3 ayat (1), (3), dan (4), Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5), Pasal 7A, Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5),
(6), dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab VIIA, Pasal 22C ayat (1), (2), (3),
dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB, Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3),
Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23F ayat (1), dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal
24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24 B ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4),
(5), dan (6) UUD 1945.
42 Ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Perubahan dan atau penambahan dalam Perubahan Keempat ini meliputi Pasal 2
ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16, Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal
31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 32 ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab IV, Pasal 33 ayat (4) dan (5); Pasal 34 ayat (1), (2), (3),
dan (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945.
38 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
merupakan kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme. Dengan tidak diubahnya
Pembukaan UUD 1945, maka tidak berubah pula kedudukan Pancasila sebagai dasar-dasar
filosofis bangunan Negara Republik Indonesia. Yang berubah adalah sistem dan institusi untuk
mewujudkan cita-cita berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Hal ini sesuai dengan makna Pancasila
sebagai ideologi terbuka yang hanya dapat dijalankan dalam sistem yang demokratis dan
bersentuhan dengan nilai-nilai dan perkembangan masyarakat.
39 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa konstitusi merupakan
document social dan politik bangsa Indonesia yang memuat konstatasi dasar tatanan bernegara,
juga merupakan dokument hukum yang kemudian dipelajari secara khusus menjadi hukum
konstitusi (hukum tata negara) yang merupakan hukum yang mendasari seluruh aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Disamping itu, konstitusi juga mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Berbagai lembaga-lembaga negara dengan wewenang dan cara bekerjanya.
2. Hubungan antar lembaga Negara.
3. Hubungan lembaga negara dengan warga negara (rakyat) dan.
4. Adanya jaminan hak-hak asasi manusia serta.
Dalam pembagian dan klasifikasinya, konstitusi dibagi sebagai berikut :
1. Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak dalam bentuk tertulis (written constitution).
2. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible and rigid constitution).
3. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak derajat tinggi (Supreme and not
supreme constitution
4. Konstitusi Negara Serikat dan Negara Kesatuan (Federal and Unitary Constitution).
40 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
5. Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan Parlementer (President Executive
and Parliamentary Executive Constitution).
41 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
3.2 Saran
Terdapat suatu benang merah yang dapat menghubungkan konsep konstitusionalisme,
pemisahan kekuasaan, dan checks and balances system. Ketiga konsep tersebut memiliki
keterkaitan yang saling mendukung satu sama lainnya. Konsep kostitusionalisme membatasi
kekuasaan pemerintah atau penguasa dalam negara. Pembatasan kekuasaan itu mencakup dua
hal: isi kekuasaan dan waktu pelaksanaan kekuasaan. Pembatasan isi kekuasaan mengandung arti
bahwa dalam konstitusi ditentukan tugas serta wewenang lembaga-lembaga negara.
Dengan disusunnya makalah ini diharapkan para pembaca ikut peduli dalam mengetahui
sejauh mana kita mempelajari tentang konstitusi, khususnya konstitusi milik bangsa kita sendiri.
Semoga dengan makalah ini para pembaca dapat menambah cakrawala ilmu pengetahuan.
42 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
Daftar Pustaka
Adnan Buyung Nasution, 1995, Pemerintahan Konstitusionalisme, Sinar Grafika Jakarta
Alder, John and Peter English. Constitutional and Administrative Law. London: MacMillan
Education LTD, 1989.
Almond, Gabriel A. and G. Bingham Powell Jr. Comparative Politics; A Developmental
Approach. Little, Brown and Company Inc., 1966.
Andrews, William G. Constitutions and Constitutionalism. 3rd edition. New Jersey: Van
Nostrand Company, 1968.
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaanya di
Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
_______________. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi
Press, 2005.
_______________. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta:
Konstitusi Press, 2005.
Asshiddiqie, Jimly dan Mustafa Fakhry. Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD, UU
dan Peraturan di 78 Negara. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan
Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Indonesia, 2002.
Attamimi, A. Hamid A. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan
Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV. Disertasi
Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta, 1990.
Bahar, Saafroedin Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.). Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan
43 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945–22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat
Negara Republik Indonesia, 1995.
Bogdanor, Vernon (ed). Blackwell‟s Encyclopedia of Political Science. Oxford: Blackwell, 1987.
Bryce, J. Studies in History and Jurisprudence. vol.1. Oxford: Clarendon Press, 1901.
Friedrich, Carl J. Man and His Government. New York: McGraw-Hill, 1963.
_____________. Constitutional Government And Democracy: Theory and Practice in Europe
and America. Fourth Edition. Massachussets-Toronto-London: Blaisdell Publishing
Company, 1967.
Hewitt, Martin. Welfare, Ideology and Need, Developing Perspectives on the Welfare State.
Maryland: Harvester Wheatsheaf, 1992.
Jessop, Bob. State Theory. Cambridge: Polity Press, 1990.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. translated by: Anders Wedberg. New York:
Russell & Russell, 1961.
___________. Pure Theory Of Law. Translation from the Second (Revised and Enlarged)
German Edition. Translated by: Max Knight. Berkeley, Los Angeles, London: University
of California Press, 1967.
Kranenburg, R. dan Tk. B. Sabaroedin. Ilmu Negara Umum. Cetakan Kesebelas. Jakarta:
Pradnya Paramita, 1989.
Kusuma, RM. A.B. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
Lijphart, Arend. Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six
Countries. New Heaven and London: Yale University Press, 1999.
Magnis-Suseno, Franz. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Jakarta: Kanisius, 1992.
Mannheim, Karl. Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Judul Asli:
Ideology and Utopia, An Introduction to the Sociology of Knowledge. Penerjemah: F.
44 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
Budi Hardiman. Jakarta: Penerbit Kanisius, 1998.
Notonagoro. Pancasila Dasar Falsafah Negara. Cetakan keempat. Jakarta: Pantjuran Tudjuh,
tanpa tahun.
Phillips, O. Hood. Constitutional and Administrative Law. 7th ed. London: Sweet and Maxwell,
1987.
Pildes, Richard H. “The Constitutionalization of Democratic Politics”. Harvard Law Review,
Vol. 118:1, 2004.
Thompson, Brian. Textbook on Constitutional and Administrative Law. edisi ke-3. London:
Blackstone Press Ltd., 1997.
Budiyanto, Kewarganegaraan untuk SMA kelas X, jilid. 1, Jakarta : Erlangga, 2004
Nurcahjo. Hendra. Ilmu Negara, cet. 1, Jakarta : PT. RajaGraindo Persada, 2005
Kusnardi. Moh, Ibrohim, Harmaily. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet.7, Jakarta :
CV. Sinar Bakti, 1988
Thaib. Dahlan dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta : Grafindo, 1999
Wheare, KC. Modern Constitutions, Jakarta : Alumni, 1975
Soemantri, Sri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung : Penerbit Alumni,1987
Manan, Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta : FH UII PRESS, 2003
Wheare, KC, Modern Constitution, Oxford Univ : Press, 1971,
Strong. CF, Konstitusi konstitusi Politik modern Kajian tentang sejarah dan BentukBentuk
KonstitusiDunia, Bandung : Nusamedia, 2004
45 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]
Badan Eksekutif Mahasiswa 2004-2005 Campus in Compact,Hukum Tata Negara (sari kuliah)
46 tokogurusosial.wordpress.com [email protected]