LATAR BELAKANG kompol

25

Click here to load reader

Transcript of LATAR BELAKANG kompol

Page 1: LATAR BELAKANG kompol

LATAR BELAKANG

Sistem politik Indonesia era reformasi sekarang ini tidak terlepas dari kritik-kritik dari masyarakat diantaranya yang menggambarkan kehidupan politik sebagai system pengambilan kekuasaan yang seakan-akan mudah sekali didapat. Namun untuk menerapkan asumsi implinsit kesalinghubungan bagian-bagian sebagai pangkal tolak berpikir dalam melaksanakan penelitian, dan unuk memandang kehidupan politik sebagai suatu sifat saling berkaitan ini atau ikatan-ikatan sistematik dari kegiatan-kegiatan ini tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa semua kegiatan tersebut memengaruhi cara pembuatan dan pelaksanaan keputusan-keputusan otoritif suatau masyarakat.

Banyaknya masalah yang setiap hari dihadapi oleh suprastruktur sekarang ini terutama dari suprastruktur politik cabinet bersatu jilid dua guncangan pun banyak dirasakan oleh dalam supra maupun oleh infra. Kemampuan komunikasi yang dilakukan pun tidak membuat dampak yang besar atau tidak membuat dampak apa-apa bagi suprastruktur itu sendiri melaikan mendapat hujan kritik dari masyarakat.

Kinerja yang belum mencapai target seakan-akan tidak dipedulikan oleh para pemegang kekuasaan sekarang ini, suatu kejadian akan begitu cepat terlupakan apabila muncul kembali suatu kejadian yang baru lagi dan seakan-akan tidak bias dituntaskan secara bersih, maka tak dipungkiri lagi bahwa kemapuan komunikasi politik yang berada di suprastruktur pada masa pemerintahan Kabinet bersatu dua kurang efektif dan tidak membuat suatu pertumbuhan ataupun perubahan yang sangat besar bagi bangsa Indonesia sekarang ini.

Telah menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia (RI) untuk periode lima tahun mendatang (2009-2014). Tentunya semakin berat pula yang diembankan di pundak mereka sebagai pemimpin negara sekaligus kepala pemerintahan. Namun, semua berjalan tidaklah begitu saja melainkan dengan adanya pemilihan yaitu PEMILU. Maka dengan kata lain mereka yang menjalankan dan mengatur tataan pemerintahan merupakan orang orang yang dahulunya kita pilih sendiri.

Penggantian menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II memperoleh tanggapan beragam dari elite politik yang pro maupun kontra. Sedangkan dalam tubuh partai koalisi pendukung pemerintah, mengharap tidak terjadi reshuffle. Kalaupun terpaksa dilakukan penggantian menteri, jatah dari partai politik untuk pos menteri tidak berkurang. Namun, Partai Demokrat sebagai mayoritas dalam aliansi poros Cikeas mengisyaratkan menghendaki Presiden SBY me-reshuffle sejumlah menteri yang dinilai tidak berhasil menjalankan tugas, tanpa menghiraukan asal partai politik.

Tentu saja bisa dimaklumi, mengingat “kontrak kinerja” menteri dalam KIB II adalah kesanggupan bekerja dan dievaluasi terus-menerus untuk diteruskan atau diberhentikan. Acuannya, dapat menyelesaikan target kinerja 100 hari, satu tahun dan lima tahun. Pakta Integritas KIB II juga menegaskan tentang kesanggupan kerja, melakukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik, dan siap diberhentikan jika tidak mampu menjalankan standar perilaku.

Page 2: LATAR BELAKANG kompol

Secara singkat dapat dikatakan, jika menteri dalam KIB II tidak bisa melaksanakan ketentuan seperti yang tercantum dalam ‘Kontrak Kinerja’ dan ‘Pakta Integritas’, mereka harus bersedia untuk dilengserkan dari kursi menteri. Pertanyaannya, apakah waktu satu tahun cukup layak untuk menilai kinerja menteri KIB II, yang terdiri dari individu-individu yang mewakili institusi maupun kelompok sosial, ekonomi, dan politik yang ada di Indonesia.

Page 3: LATAR BELAKANG kompol

RUMUSAN MASALAH

1.Pengertian Komunikasi politik ?

2.Siapa saja yang duduk dalam lingkup Suprastruktur ?

3.

Page 4: LATAR BELAKANG kompol

TUJUAN MASALAH

TUJUAN

Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk membantu pembaca mengetahui suprastruktur politik indonesia, Suprastruktur politik merupakan suatu lembaga formal yang menjadi suatu keharusan untuk kelengkapan sistem bernegara. suprastruktur dibagi menjadi 3 kelompok seiring adanya perubahan sosial dan politik pada masa revolusi perancis 1789-1799 kala itu, sehingga pada dasarnya negara tidak boleh dikuasai oleh satu tangan saja. hal itulah yang mengidikasikan dalam menjalankan suatu pemerintahan perlu adanya pembagian tugas.

selain suprastruktur politik ada juga yang dinamakan dengan infrastruktur politik, yaitu suatu lembaga yang lahir ,tumbuh berkembang pada masyarakat. contohnya LSM, parpol, Media massa, tokoh masyarakat.

Supra StrukturProf. Sri Sumantri, sistem politik adalah kelembagaan dari hubungan antara supra struktur dan infra struktur politik, supra struktur sering disebut juga bangunan.Montesquieu, membagi lembaga dalam 3 kelompok :1. EksekutifKekuasaan eksekutif berada di tangan presiden, presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan negara. Presiden di bantu oleh wakil presiden dan mentri-mentri, untuk melaksanakan tugas sehari-hari.Wewenang, kewajiban, dan hak presiden antara lain :a. Memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUDb. Menetapkan peraturan pemerintahc. Mengangkat memberhentikan menteri-menteri; dll

2. LegislatifIndonesia menganut sistem bikameral. Di tandai dengan adanya lembaga perwakilan, yaitu DPR dan DPD. Dengan merujuk asas trias politika.Kekuasaan legislatif terletak pada MPR dan DPD.1. MPRKewenangan :a. Mengubah menetapkan UUDb. Melantik presiden dan wakil presiden dll2. DPRTugas :a. Membentuk UUb. Membahas RAPBN bersama presiden, dll.Fungsi :a. Fungsi legislasib. Fungsi anggaran

Page 5: LATAR BELAKANG kompol

c. Fungsi pengawasan3. DPDFungsi :a. Mengawas atas pelaksanaan UU tertentub. Pengajuan usul

3. YudikatifPasal 24 UUD 1945 menyebutkan tentang kekuasaan kehakiman dan memiliki tugas masing-masing. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh :1. Mahkamah Agung (MA)2. Mahkamah Konstitusi (MK)3. Komisi Yudisial (KY)4. Insfektif

Page 6: LATAR BELAKANG kompol

PEMBAHASAN

Pengertian Komunikasi Politik

Menurut Astrid Susanto : komunikasi yag diarahkan sedemikian rupa kepada pencapaian pengaruh sedemikian rupa sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi dapat mengikat semua warganya melalui warganya melalui sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik.

Menurut Alwi Dahlan kompol merupakan bidang atau disiplin yang menelaah perilaku dan kegiatan komunikasi yang bersifat politik dengan tujuan bukan sekedar untuk memberikan pemahaman atau istilah kepada gejala atau keadaan politik tetapi mengalisis dan memahami perilaku manusia serta akibatnya secaranya secara sistematik.

Menurut Fegen Plano komunikasi politik penyebaran arti atau pesan yang berhubungan dengan fungsi satu sistem politik. Selain itu juga komunikasi politik lebih memusatkan kajiannya pada bobot materi muatan yang berisi pesan-pesan politik (isu politik,peristiwa dan perilaku politik individu-individu baik sebagai penguasa maupun yang berada dalam asosiasi-asosiasi kemasyarakatan dan asosiasi politik)

Komuniksai politik satu komunisasi yang akan menghubungkan pikiran yang hidup dalam masyarakat baik pikiran intragolongan, institusi, asosiasi atau sector kehidupan politik masyarakat dengan sector kehidupan politik pemerintah.

SUPRASTRUKTUR POLITIK

Suprastruktur politik adalah struktur politik pemerintah atau struktur politik kenegaraaan dan berkenaan susasana kehidupan pemerintah yaitu terkait dengan lembaga-lembaga Negara, fungsi dan wewenang lembaga-lembaga tersebut serta hubungan kerja antara lembaga dengan lembaga lainya. Suasana kehidupan politik tersebut dapat dikeketahui dari undang-undang dasar, yang termasuk suprastruktur politik sebagaimana teori Trias Politik adalah lembaga legislative, lembaga eksekutif dan lembaga Yudikatif. Yang dimaksud dengan lembaga Legislatif adalah lembaga yang bertugas menbuat undang-undang sedangkan legislative adalah pelaksana undang-undang serta lembaga yudikatif adalah lembaga yang bertugas mengadili pelanggaran terhadap undang-undang.

Materi dari warnet mas

KABINET INDONESIA BERSATU 2

Headline Utama – Koran Jakarta

Pembentukan Kabinet|Rekam Jejak Calon Menteri Harus Terdeteksi sejak Awal

” Pakta Integritas Harus Diikuti Sanksi “

Sabtu, 22 Agustus 2009 01:12 WIBPosting by : warsono

Page 7: LATAR BELAKANG kompol

JAKARTA , Komitmen presiden terpilih untuk membentuk kabinet ahli, siap kerja, dan diikuti dengan pakta integritas, harus melibatkan publik agar rekam jejak calon menteri dan kinerja kabinet bisa diawasi sejak awal. Sanksi terhadap menteri yang diduga melakukan korupsi juga harus tegas, yakni dinonaktifkan dulu tanpa harus menunggu bukti hukum.

Penegasan Susilo Bambang Yudhoyono mengenai pakta integritas dan kabinet ahli disambut baik, asalkan jelas parameter dan substansinya.

JAKARTA , Komitmen presiden terpilih untuk membentuk kabinet ahli, siap kerja, dan diikuti dengan pakta integritas, harus melibatkan publik agar rekam jejak calon menteri dan kinerja kabinet bisa diawasi sejak awal. Sanksi terhadap menteri yang diduga melakukan korupsi juga harus tegas, yakni dinonaktifkan dulu tanpa harus menunggu bukti hukum.

Respons sekaligus saran tersebut disampaikan Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi UGM Zaenal Arifin Muchtar, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ibrahim Fahmi Badoh, dan Guru Besar Ilmu Politik UGM Purwo Santoso, yang dihubungi Jumat (21/8)

Pada pidato kemenangan atau acceptance speech di Arena Pekan Raya Jakarta, Kamis (20/8) malam, presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengungkapkan rencana pembentukan kabinet pemerintahaannya yang kedua dengan menitikberatkan pada format kabinet ahli dan diikuti pakta integritas (Koran Jakarta/21/8)

Zaenal mengatakan ketegasan subtansi harus menjadi isi dari sebuah pakta integritas, karena itu terkait pada jabatan publik, apalagi setingkat menteri, harus benar-benar ditegakkan.

“Pakta integritas harus jelas isinya, misalnya seorang menteri yang dicurigai terlibat korupsi, harus dinonaktifkan dulu. Tidak perlu lagi menunggu bukti hukum atau putusan pengadilan. Kalau tidak terbukti baru kembali aktif,” ujar Zaenal

Presiden, katanya, bisa mencontoh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketika salah seorang yang ditetapkan tersangka, diberhentikan. Tapi karena ini jabatan menteri, maka harus lebih maju lagi, baru dicurigai, bisa dinonaktifkan. Ini bisa menjadi peringatan, agar seorang yang mengincar jabatan publik tertentu, berhati-hati.

Fahmi Badoh melihat pakta integritas itu harus diikuti sanksi yang jelas. Sebab tanpa sanksi, hanya menjadi pernyataan pemanis atau lip service demi pencitraan semata. Di samping itu, harus dijelaskan peran dan posisi publik dalam pakta integritas dan kontrak kerja itu.

Publik mesti diberikan kewenangan untuk dapat menggunakan pakta integritas itu, jika memang pejabat penandatangannya terbukti melanggar.Bagi seorang pejabat yang dipilih secara politik, kata Fahmi, pemberlakuan pakta integritas memang bagus. Namun pakta itu harus ada jaminan, adanya sanksi bagi pejabat penandatangan pakta dan kontrak kerja itu. Juga ketika melakukan tindakan tercela seperti korupsi, dan telah ditetapkan tersangka, harus mengundurkan diri, tanpa diminta. Hal itu harus termuat dalam pakta integritas.

Page 8: LATAR BELAKANG kompol

Purwo Santoso mengingatkan pakta integritas yang sudah ditegaskan itu harus merujuk pada rekam jejak calon menteri sebagai parameter utama. Sebab jejak rekam itu menentukan integritas seseorang. Setelah itu, kompetensi dan profesionalitas harus menjadi pertimbangan penting.

Menurut Purwo, dalam memilih pembantunya nanti, Presiden tidak sekadar mengacu pada loyalitas personal saja. Rekam jejak yang jelas dan rofesionalisme menteri akan mendorong dua hal penting yang ditargetkan yakni reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi.

Benturan Kepentingan

Sementara itu, Dekan FISIP Universitas Tarumanegara Jakarta Eko Harry Susanto mengakui dalam kabinet yang mengakomodasi figur menteri dari partai, pasti akan ada benturan kepentingan antara partai dan tugas kenegaraan. Seorang menteri yang berasal dari partai berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang cukup tinggi.

“Maka sebenarnya pakta integritas dan kontrak kerja itu, fokusnya pada menteri yang berasal dari kalangan partai,”ujar EkoUntuk itu, pakta integritas sebaiknya tertulis di atas materai,

walaupun hal itu bakal memicu ketersinggungan partai. Namun itu penting dilakukan sebagai bentuk penilaian dan tolak ukur komitmen. Kontrak kerja, menyangkut kesediaan dievaluasi dan di-resuffle, jika kinerjanya gagal.

Sekjen Partai Demokrat, Marzuki Alie, menyatakan dengan pakta integritas maka menteri wajib menanggalkan segala kepentingan sempitnya, termasuk kepentingan partai. (ags/AR-2)

http://ekoharrysusanto.wordpress.com/2010/10/19/pendapat-2/

Reshuffle KIB II – Satu Tahun

Reshuffle dan Kerentanan Kohesivitas

Oleh Eko Harry Susanto

Rabu, 13 Oktober 2010

Page 9: LATAR BELAKANG kompol

Menjelang evaluasi satu tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono pada 20 Oktober 2010, merebak kabar adanya sejumlah anggota kabinet yang akan di-reshuffle karena gagal menjalankan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

Penggantian menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II memperoleh tanggapan beragam dari elite politik yang pro maupun kontra. Sedangkan dalam tubuh partai koalisi pendukung pemerintah, mengharap tidak terjadi reshuffle. Kalaupun terpaksa dilakukan penggantian menteri, jatah dari partai politik untuk pos menteri tidak berkurang. Namun, Partai Demokrat sebagai mayoritas dalam aliansi poros Cikeas mengisyaratkan menghendaki Presiden SBY me-reshuffle sejumlah menteri yang dinilai tidak berhasil menjalankan tugas, tanpa menghiraukan asal partai politik.

Tentu saja bisa dimaklumi, mengingat “kontrak kinerja” menteri dalam KIB II adalah kesanggupan bekerja dan dievaluasi terus-menerus untuk diteruskan atau diberhentikan. Acuannya, dapat menyelesaikan target kinerja 100 hari, satu tahun dan lima tahun. Pakta Integritas KIB II juga menegaskan tentang kesanggupan kerja, melakukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik, dan siap diberhentikan jika tidak mampu menjalankan standar perilaku.

Secara singkat dapat dikatakan, jika menteri dalam KIB II tidak bisa melaksanakan ketentuan seperti yang tercantum dalam ‘Kontrak Kinerja’ dan ‘Pakta Integritas’, mereka harus bersedia untuk dilengserkan dari kursi menteri. Pertanyaannya, apakah waktu satu tahun cukup layak untuk menilai kinerja menteri KIB II, yang terdiri dari individu-individu yang mewakili institusi maupun kelompok sosial, ekonomi, dan politik yang ada di Indonesia?

Batasan Waktu

Masalah penggantian pejabat publik dengan batasan waktu yang dipopulerkan para politikus di awal reformasi, sudah dianggap lumrah saja. Namun, dalam perspektif komunikasi organisasi, individu atau entitas yang bergabung dalam kelompok memerlukan penyesuaian untuk menyatukan langkah. Komunikasi integratif dalam menjalankan organisasi, memerlukan proses yang memakan waktu mendekati 50 persen dari masa yang tersedia untuk bekerja bersama-sama.

Berdasarkan model pembentukan kelompok kerja yang memiliki batas waktu tertentu, seperti halnya KIB II, kalau anggotanya terdiri dari berbagai menteri yang memiliki fondasi nilai dan belief berbeda,

Page 10: LATAR BELAKANG kompol

maka diperlukan proses panjang untuk melakukan penyesuaian di antara anggota kabinet lain, agar mereka bisa bekerja dengan integratif sesuai maksud dan tujuan pemerintahan SBY – Boediono.

Paling tidak, ada beberapa tahap dalam membentuk organisasi yang mampu bekerja dengan cepat dan terarah. Pertama, tahap pembentukan, yang mencerminkan sudah muncul ide menyatukan, tetapi masing-masing anggota masih memiliki orientasi beragam. Tahap kedua, ada perbedaan pemikiran dalam kelompok diwarnai dengan konflik dan pengubuan terhadap ide maupun cara mencapai tujuan.

Sedangkan tahap ketiga merupakan penormaan, manakala setiap entitas merasa sehaluan seiring sejalan melakukan tugas kelompok. Tahap ini, memakan waktu separuh dari waktu yang tersedia dan merupakan titik tolak untuk melakukan kegiatan dengan baik. Artinya, kohesivitas dalam kelompok mulai terlihat dan mampu memacu jalannya roda organisasi. Pada tahap inilah, yang diasumsikan memakan waktu hampir separuh perjalanan sebuah kelompok kerja.

Jika proses semacam itu dihubungkan dengan kinerja KIB II yang jelas-jelas anggotanya dari berbagai macam partai politik, profesional, dan kelompok kepentingan lainnya, maka penilaian kinerja objektif KIB II adalah dua setengah tahun dari waktu lima tahun yang tersedia.

Memasuki tahap keempat adalah proses pengerjaan yang diwarnai dengan kohesivitas komunikasi antarentitas, yang mampu mendukung penyelesaian berbagai tugas sesuai target. Tahap kelima adalah langkah pembubaran ketika kelompok dalam organisasi ini habis masa jabatannya.

Mencermati kondisi itu, sesungguhnya menteri-menteri yang sudah menjabat dua periode selayaknya memiliki kohesivitas dengan kepemimpinan SBY, mengingat mereka sudah memahami pola kerja Presiden SBY. Kendati demikian, melihat pertner kerja menteri lainnya yang relatif baru, maka menteri-menteri yang sudah menjabat dua periode tetap saja tidak bisa menyesuaikan diri dengan cepat.

Implikasi Koalisi

Secara esensial, batasan waktu memang sangat baik untuk mencambuk kinerja menteri, tetapi jangan disamakan dengan terminologi penetapan waktu, dengan model pemerintahan di negara lain, di mana pemerintah yang dibentuk setelah menang dalam pemilihan presiden, seperti berpindah tempat saja.

Page 11: LATAR BELAKANG kompol

Sebelum mereka menguasai pemerintahan, mereka sudah mempunyai kabinet bayangan yang solid. Tidak jadi masalah mereka berasal dari berbagai partai politik sebab proses membentuk kelompok yang kuat sudah dimulai jauh sebelum pemungutan suara dilaksanakan. Dengan kata lain, koalisi sudah dilakukan sejak dini. Intinya, ketika mereka memenangi pemilihan presiden dan masuk ke istana, sesungguhnya mereka sudah melalui empat proses pembentukan kelompok. Ini bekal yang baik untuk menjalankan program kerja secara integratif dan kohesif.

Bandingkan dengan model pembentukan kelompok kerja dalam organisasi sebagaimana KIB II. Koalisi partai- partai politik pendukung pemerintah dilakukan setelah pemilihan legislatif, bahkan sesaat menjelang pemilihan presiden. Padahal yang ideal, pembentukan aliansi kekuatan partai politik dilakukan sejak dini, jauh sebelum pemilu legislatif. Ini bisa dimaklumi karena ada kecenderungan parpol mengamati terlebih dahulu kekuatan parpol pada pemilu anggota DPR/DPRD maupun popularitas kandidat presiden dan wapres.

Namun, pola semacam ini berdampak buruk dalam pembentukan pemerintahan. Sebab, koalisi yang diwarnai dengan keberadaan menteri KIB II dari berbagai partai politik tidak bisa segera menjalankan tugas secara integratif sesuai harapan presiden. Jadi, jika dihubungkan dengan model pembentukan kelompok kerja, sesungguhnya KIB II baru mulai pada tahap pembentukan atau maksimal pada tahap pengubuan yang belum bisa diukur kinerjanya secara komprehensif.

Memang jargon dan retorika klise, partai-partai koalisi yang menempatkan menterinya sudah mempunyai sikap yang sama dalam melaksanakan jalannya pemerintahan, seperti menjaga keutuhan NKRI, memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan lain-lain hal yang amat normatif. Tetapi mereka tetap saja memiliki sejumlah perbedaan dan bukan mustahil tidak sejalan dengan “kontrak kinerja” maupun “pakta integritas” KIB II.

Oleh sebab itu, jika reshuffle kabinet dilakukan pada masa satu tahun kekuasaan SBY-Boediono, bukan berarti kinerja pemerintah bisa maksimal sesuai harapan. Sebab, kalau pengganti menteri yang tergusur berasal dari partai politik maupun dari entitas tertentu yang memiliki perbedaan mendasar, dengan pertimbangan kekuatan politik, maka kabinet dalam pemerintahan SBY-Boediono tetap saja menghadapi kerentanan kohesivitas kelompok kerja, yang tidak mampu melaksanakan pekerjaan secara maksimal sesuai harapan rakyat.

Karena itu, yang ideal dalam pelaksanaan reshuffle adalah tidak menghiraukan komposisi atau keseimbangan kekuatan partai politik, tetapi lebih ditekankan pada membentuk kabinet yang integratif

Page 12: LATAR BELAKANG kompol

sejalan dengan orientasi kekuasaan SBY-Boediono. Namun persoalannya, pengabaian terhadap parpol dalam menyusun kabinet sulit dilakukan sebab eksistensi pemerintah saat ini justru memiliki ketergantungan signifikan terhadap kekuatan partai-partai politik dalam tubuh koalisi.

http://ekoharrysusanto.wordpress.com/2010/10/19/506/

Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II Diragukan?

Rabu, 21 Oktober 2009 16:12

telah menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia (RI) untuk periode lima tahun mendatang (2009-2014). Tentunya semakin berat pula yang diembankan di pundak mereka sebagai pemimpin negara sekaligus kepala pemerintahan.

Namun, segala persoalan yang paling urgent harus tetap mampu diselesaikan SBY-Boediono, apapun kendalanya. SBY memang menang telak atas saingan politiknya pada pemilu pemilihan presiden (pilpres) yang telah berlalu. Tetapi jika dicermati lagi, ada beberapa poin yang membuat keputusan SBY dipertanyakan terutama menyangkut pemilihan tokoh yang mengisi posisi menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB2).

Hal itu sebagaimana diungkapkan Dr. Iskandar Zulkarnain, M.Si, pakar komunikasi politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU) kepada MedanPunya.Com tadi pagi.

"Pelantikan itu merupakan janji sakral yang harus ditepati oleh SBY dan Boediono beserta KIB 2-nya. Pemerintahan mereka kali ini harus mampu membangun trust untuk masyarakat," tutur Iskandar.

Beberapa wacana yang mengemuka dan paling santer terdengar dalam masih belum beres dikerjakan dalam kepemimpinan SBY, diantaranya; kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang seolah tak kunjung reda dan seolah-olah menganak-emaskan Kepolisian. Yang lain, kasus Bank Century yang diisukan adanya keterlibatan SBY dimana waktu itu Boediono menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI). Ada juga kasus kematian Munir yang sudah bertahun-tahun tak juga terungkap.

"Termasuk tentang penempatan tokoh-tokoh yang didudukkan di kursi kabinet yang dinilai tidak kompeten. Sepertinya tidak diterapkan sesuai the right man on the right place. Hatta Rajasa, misalnya. Tokoh-tokoh menteri yang dipilih SBY kelihatannya orang-orang terdekat kawan setianya saja. Begitu mudahnya Hatta Rajasa berpindah dari satu jabatan menteri ke jabatan menteri lainnya," jelas Iskandar yang aktif sebagai Anggota Senat di USU ini.

Kata Iskandar lagi, tokoh yang populer belum tentu kompeten menempati satu bidang kementerian. Inilah yang sangat diragukan oleh kalangan pengamat tentang kinerja KIB 2 ini.

"Ditambah lagi dengan keberhasilan polisi menangkap dalang teroris yang semakin membuat kepolisian

Page 13: LATAR BELAKANG kompol

dianak-emaskan oleh SBY, mengapa tidak dilibatkan TNI, tentu menjadi tanda tanya bagi kita," ujar Iskandar lagi.

Power SharingKabinet Indonesia Bersatu (KIB) II memperlihatkan bahwa SBY ingin melakukan power sharing (pembagian kekuasaan) dengan parpol-parpol koalisinya. Sebenarnya ini sah-sah saja, tapi dari komposisi 36 nama menteri dan tampak lebih banyak diisi oleh kalangan parpol ini jadi jauh dari ekspektasi publik.

Hal ini ditanggapi pula oleh Ketua Forum Sahabat Sumut, Aulia Andri yang juga seorang Staf di Lembaga Penelitian (Lemlit) Unimed. "Selama ini, publik berharap SBY bisa memilih menteri-menteri dari kalangan profesional yang diharapkan bisa bekerja maksimal pada periode ke dua pemerintahannya ini," demikian Aulia menjelaskan.

Seharusnya, SBY bisa memilah dan memilih beberapa posisi menteri yang diberikan ke parpol. Jadi penting memilih orang-orang partai untuk didudukkan sesuai kebutuhan kementerian dan sesuai keahlian kandidat yang dipilihnya. Itulah perlunya audisi calon menteri yang dilakukan sejak pekan lalu di Cikeas.

"Sebenarnya di tubuh parpol pun banyak kalangan profesional yang bisa dimanfaatkan SBY. Tetapi mungkin karena sangat kental nuansa politisnya, maka kalangan profesional di parpol itu tidak terangkat," tutur Aulia lagi. Melihat komposisi menteri ini, kemungkinan besar di tahun ke dua nanti akan terjadi lagi reshuflle kabinet. Pergantian para menteri pernah dilakukan SBY pada pemerintahannya bersama Jusuf Kalla.

Maka kita lihat saja, siapa-siapa nanti yang akan dicopot menjadi menteri. Pengawasan dan evaluasi yang ketat mutlak dilakukan agar para menteri bisa bekerja maksimal untuk membantu presiden SBY, demikian penuturan Aulia.

http://www.medanpunya.com/mpc-nasional/216-kabinet-indonesia-bersatu-jilid-ii-diragukan

Secara sederhana, komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara ”yang memerintah” dan ”yang diperintah”.

Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/1897611-pengertian-komunikasi-politik/#ixzz1Pd5L2e76

Menunggu Dua Ratus Hari SBY

Page 14: LATAR BELAKANG kompol

Media Indonesia, Rabu, 03 Maret 2010 00:00 WIB

Dalam usia pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)–Boediono yang baru saja menyelesaikan program seratus hari kerja, kritik terhadap kinerja Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II terus menggelinding.Padahal Presiden Yudhoyono sudah mengklaim bahwa tingkat keberhasilan program yang ditetapkan mencapai 90%. Bahkan dengan percaya diri menetapkan lagi batasan waktu dua ratus hari kerja ke depan, untuk mengevaluasi kinerja para menteri dalam KIB II.Batasan waktu secara umum bisa mendorong kinerja organisasi politik. Tetapi secara kultural, batasan waktu yang diberlakukan terhadap Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II tidak sejalan dengan budaya waktu yang melembaga di masyarakat. Sebab, pada umumnya orang Indonesia, tanpa terkecuali elite politik, dalam menjalankan tugas menyuarakan kepentingan rakyat, cenderung mempermainkan waktu objektif.Pemandangan ruang sidang DPR RI di Senayan yang kosong melompong, mereka yang memainkan telepon seluler saat rapat, dan gambaran lain yang mencerminkan ketidakseriusan dalam menjalankan amanat rakyat, jelas menunjukkan kecenderungan memosisikan diri sebagai majikan waktu subjektif yang tidak menghargai pentingnya waktu. Walaupun tidak bisa dimungkiri, dalam urusan berbagi kekuasaan dan bukan berbagi tanggung jawab, politisi sangat peduli terhadap waktu objektif yang dihabiskan oleh menteri-menteri dalam kabinet SBY–Budiono.

PeringatanTerlepas dari kontradiksi antara batasan waktu dalam menjalankan pekerjaan dan kultur pengabaian waktu, batasan waktu dua ratus hari yang dikemukakan SBY jelas suatu peringatan bagi menteri, khususnya yang berasal dari partai politik pendukung koalisi, agar tidak bertindak melenceng dari kesepakatan yang telah disetujui bersama. Tentu ini juga sejalan dengan penegasan Amir Syamsuddin, Sekjen Partai Demokrat, yang mengungkapkan perlunya reshuffle KIB Jilid II. Esensinya, bagi lingkaran partai berlogo berlian biru, batasan waktu memang dipakai sebagai titik tolak untuk mengganti menteri dari partai politik pendukung koalisi.Untuk menciptakan pergantian menteri yang tepat, pemerintahan SBY-Boediono akan mengemukakan evaluasi tingkat keberhasilan pemerintahan ataupun kinerja KIB Jilid II, yang tidak akan mencapai 100% Selain untuk kepantasan, tentunya persentase kegagalan akan dipakai sebagai amunisi untuk membidik ‘sasaran tembak’ menteri dari partai politik yang akan diganti.

Persaingan internalNamun, yang menjadi persoalan ialah semua parpol yang menempatkan kadernya di kabinet merasa berhasil dalam menjalankan tugas. Artinya, akan muncul persaingan sengit antara kubu SBY–Demokrat dan partai koalisi dalam memperebutkan kursi menteri yang dilengserkan. Karena itu, batasan waktu dua ratus hari, bukan mustahil menjadi bumerang bagi pemerintahan SBY-Boediono. Sebab, dipastikan penafsiran dari partai pendukung koalisi, yang harus dilengserkan adalah menteri dari

Page 15: LATAR BELAKANG kompol

kubu Partai Demokrat atau para profesional yang mengisi KIB II. Pada kondisi ini, yang paling mudah dikorbankan ialah para profesional yang tidak mempunyai dukungan partai politik.Berpijak kepada asumsi itu, terminologi waktu dua ratus hari pada akhir bulan April 2010, cenderung akan diwarnai oleh demonstrasi massa dan hiruk pikuk usulan reshuffle kabinet. Bahkan tuntutan pelengseran menteri akan muncul lebih kuat dari partai koalisi, karena mengingat jargon yang biasa disuarakan adalah ‘mendukung pemerintahan SBY dengan arah yang benar’.Sebuah pernyataan subjektif yang bermuara kepada kepentingan partai politik. Jadi substansinya, reshufflelebih banyak bernuansa memperebutkan kekuasaan dalam kabinet daripada upaya untuk meningkatkan kinerja menteri agar lebih berpihak kepada rakyat.Meski penunjukan menteri merupakan hak prerogatif presiden, sebaiknya pemerintahan SBY–Boediono tidak lagi mengeluarkan batasan waktu untuk mengevaluasi kinerja para menteri yang sarat dengan maksud untuk melengserkan menteri. Sebab, dalam perspektif komunikasi politik, evaluasi dan perbaikan terhadap kohesivitas komunikasi dan produktivitas kerja organ kekuasaan bisa dilakukan setiap saat, tanpa menunggu batasan waktu objektif.Idealnya, memang menteri KIB II bekerja tetap menghargai waktu, namun sebaiknya mereka tidak ditekan dengan batasan waktu. Lingkaran dalam Presiden Yudhoyono dan Partai Demokrat harus menilai kinerja menteri berdasarkan prestasi kerja dan ‘tidak dikaitkan’ dengan sikap partai tempat menteri itu bernaung. Sedangkan bagi elite politik, seharusnya tidak menilai kinerja menteri secara subjektif sebatas mengunggulkan nafsu menggusur dan memperoleh kaveling baru, tetapi didasarkan pada aspek faktual pencapaian kinerja menteri terkait.Namun persoalannya, koalisi partai politik pendukung pemerintahan SBY-Boediono memang rapuh, tidak integratif dan jauh dari nilai kohesivitas aliansi partai politik. Alhasil, batasan waktu dua ratus hari pemerintahan SBY merupakan saat yang ditunggu–tunggu untuk memperebutkan posisi menteri dan memperkuat kekuasaan dari sejumlah entitas politik di lingkaran pemerintahan.

KORUPSI – ARTIKEL MEDIA IND 2008

Posted September 8, 2010 by ekoharrysusantoCategories: Budaya, Ekonomi, Komunikasi, Pendidikan, Politik Tags: Komunikasi Politik-Merugikan Negara

Artikel

Rahasia Negara, Korupsi, dan Komisi Informasi

Oleh : Dr. Eko Harry Susanto

Media Indonesia, 21 Agustus 2008

KETIKA tuntutan masyarakat semakin gencar agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengungkapkan kasus-kasus korupsi secara transparan, pemerintah di lain pihak justru berupaya

Page 16: LATAR BELAKANG kompol

menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara (RUU-RN), yang mengandung berbagai pasal pembatasan informasi dan berpotensi pula menghambat pemberantasan korupsi.

Secara substansial, pemberantasan korupsi bisa mendulang kesuksesan apabila akses untuk mendapatkan informasi terbuka lebar, tanpa dihalangi peraturan yang menempatkan lembaga pemerintah bisa sedemikian dominannya mengategorikan berbagai macam informasi sebagai rahasia institusi dalam kekuasaan pemerintah.

Karena itu, RUU-RN, yang banyak mengatur kerahasiaan sebuah instansi pemerintah, secara telak akan mematikan upaya pemberantasan korupsi. Pekerjaan mengungkap aneka penyimpangan yang berpotensi merugikan keuangan negara menjadi tertutup dan tidak mampu memberikan harapan kepada rakyat agar Indonesia bersih dari kasus-kasus korupsi.

Dalam RUU-RN, ditandaskan bahwa instansi pemerintah memiliki sejumlah informasi yang termasuk kategori rahasia negara. Alasannya jika informasi itu dibuka kepada publik, akan mengakibatkan terganggunya pelaksanaan tugas dan fungsi instansi. Persoalannya, instansi pemerintah cenderung lebih nyaman bekerja dalam ketersembunyian, tanpa diketahui masyarakat pada umumnya. Organisasi pemerintah selalu mengklaim tugas yang dijalankan adalah demi kepentingan negara.

Walaupun di dalamnya tersirat memberikan pelayanan kepada publik, hal itu dikhawatirkan lebih menonjolkan kepentingan pemerintah dalam perspektif penguasa. Dengan kata lain, instansi pemerintah akan berupaya menetapkan berbagai kegiatan yang seharusnya bisa dipertanggungjawabkan kepada publik, tetapi karena alasan untuk kelancaran pekerjaan akan memasukkan ke kategori yang sangat rahasia dan rahasia.

Terlebih lagi dalam RUU-RN, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 25, terdapat Dewan Rahasia Negara. Entitas tersebut selain memiliki anggota tidak tetap sesuai dengan kebutuhan, berkumpul anggota tetap yang terdiri dari 11 pejabat tinggi negara, yaitu Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informasi, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI, Kepala BIN, Kepala Arsip Nasional, dan Kepala Lembaga Sandi Negara, yang mungkin saja lebih banyak berpihak kepada sesama instansi pemerintah dalam bingkai semangat korps yang integratif. Rezim kerahasiaan instansi bisa memberikan peluang berbagai pihak yang berhubungan dengan pemerintahan, untuk lebih bebas ‘bermain-main’ dengan keuangan negara.

Sebenarnya jika berbicara tentang rahasia negara, Undang-Undang Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU-KIP) yang sudah disahkan DPR pada 3 April 2008 layak dijadikan rujukan.

UU tersebut mengatur informasi yang wajib dibuka kepada publik dan perkecualian informasi yang tidak bisa diakses publik karena menyangkut rahasia negara, rahasia kelembagaan, dan berbagai kerahasiaan berkaitan dengan privasi individual. Secara prinsipiil, ketentuan tentang rahasia negara telah diakomodasikan dalam UU KIP dan bisa diberlakukan untuk melindungi eksistensi negara.

Page 17: LATAR BELAKANG kompol

Namun persoalannya, pemerintah dan sejumlah fraksi di DPR sepertinya memiliki keinginan kuat untuk meneruskan RUU-RN menjadi undang-undang sebelum masa tugas mereka berakhir pada 2009.

Karena itu, jalan tengah yang sejatinya bisa dilakukan, agar Dewan Rahasia Negara tidak menjadi lembaga dominan pengategorian rahasia negara di berbagai instansi pemerintah, keberadaan Komisi Informasi (KI) yang diatur dalam UU KIP sebagai lembaga regulator dan penyelesaian sengketa akses informasi harus diberi peran dalam penetapan rahasia negara yang rentan terhadap persoalan korupsi.

Tentunya, dengan catatan, KI benar-benar independen dan merepresentasikan kemauan masyarakat terhadap checks and balance kekuasaan.

Oleh sebab itu, pada tataran ideal, pembahasan RUU Rahasia Negara lebih baik ditunda dan biarkan UU KIP dijalankan lebih dahulu.

Seandainya dalam pelaksanaannya ternyata keterbukaan informasi menimbulkan masalah dalam kedaulatan, keutuhan, dan mengganggu fungsi penyelenggaraan negara, RUU Rahasia Negara bisa dibahas kembali dengan mengakomodasikan aneka persoalan yang tidak tertampung dalam UU No 14/2008. Hal itu, tentunya, tanpa mengabaikan keterbukaan informasi sebagai perangkat pemberantasan korupsi.***

Dr. Eko Harry Susanto Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara

PEMBERANTASAN KORUPSI

Posted August 14, 2010 by ekoharrysusantoCategories: Budaya, Ekonomi, Komunikasi, Pendidikan, Politik Tags: Komunikasi Politik-Kerugian Negara

Peran Masyarakat Dalam Pemberantasan Korupsi

Dr.Eko Harry Susanto

Korupsi semakin membudaya dan menjadi salah satu karakter yang sangat menonjol dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Pada era pemerintahan Orde Baru, korupsi hanya di dominasi oleh sekelompok elite dalam masyarakat maupun mereka yang ada dalam lingkaran hegemoni kekuasaan negara. Diluar entitas tersebut sulit memperoleh kesempatan untuk beramai – ramai menangguk uang negara. Namun di era reformasi, stigmatisasi itu bergeser, korupsi berkembang dengan dahsyat menerpa ke semua lapisan masyarakat yang semula hanya sebagai penonton belaka.

Sinisme Politik

Page 18: LATAR BELAKANG kompol

Dalam nada sinisme dan kegeraman, ada yang menyatakan, biarkan korupsi merata sehingga peredaran uang tidak hanya menggumpal di sekeliling mereka yang seolah – olah paling sah sebagai pemilik republik ini. Semua, tanpa pandang bulu memperoleh kesempatan untuk menjarah uang negara. Mereka juga mengungkapkan bahwa, para pengkritik korupsi di era reformasi ataupun yang gemar melontarkan bahwa tindakan korupsi lebih brutal dibanding jaman Orde Baru, adalah komunitas yang sebenarnya merasa “habitat dan lahan“ korupsinya terganggu oleh kekritisan masyarakat, kelompok politik, Lembaga Swadaya Masyarakat dan sejumlah kelompok kepentingan lain yang menghendaki pemerintahan yang bersih dari korupsi.

Tentu saja pernyataan itu tidak tepat, karena di dalamnya mengandung unsur “balas dendam” dengan mengabsahkan bahwa korupsi adalah hak semua orang. Wacana kesederajatan dalam konteks negatif untuk melakukan tindakan yang merugikan negara tidak bisa dibenarkan, bahkan bisa lebih menjerumuskan ke dalam situasi korupsi yang tidak terkendali. Namun hingga sekarang tampaknya belum ditemukan formula pemberantasan korupsi yang benar – benar bisa diandalkan, buktinya hampir setiap saat masih saja muncul berita tentang tindakan merugikan negara yang dilakukan oleh oleh berbagai pihak di lingkungan pemerintahan, swasta maupun kelompok masyarakat lainnya.

Mengingat korupsi sudah sedemikian parahnya, maka perlu dilakukan upaya pencegahan melalui pendidikan anti korupsi yang terencana. Pendidikan anti korupsi semestinya tidak hanya diberikan kepada aparatur penyelenggara negara. Sebab ada ketidakpercayaan dan sikap skeptisme masyarakat terhadap kemauan birokrasi pemerintahan dalam memberantas korupsi.

Keberanian Rakyat

Oleh sebab itu untuk meningkatkan keberanian dan peranserta masyarakat dalam pemberantasan korupsi, alangkah bijaksananya jika pendidikan anti korupsi diberikan seluas – luasnya kepada masyarakat. Kesempatan mengikuti pendidikan anti korupsi terbuka bagi masyarakat dengan seleksi moral, tanpa terkait dengan status sosial ekonomi dan politik yang disandang oleh seseorang. Pendidikan anti korupsi yang terbuka akan menghasilkan semangat kolektif memerangi korupsi dan akan memangkas jarak kekuasaan antara peserta pendidikan anti korupsi dengan masyarakat di akar rumput. Pemegang sertifikat atau lisensi pendidikan anti korupsi bukanlah sekelompok elite yang memiliki keistimewaan dalam kehidupan bernegara. Ini perlu ditegaskan agar tidak terjebak ke dalam upaya pembentukan kelompok elite baru sebagaimana para pemegang lisensi “pembentuk manusia harmoni integralistik” pada masa pemerintahan Orde Baru.

Masyarakat yang sudah pernah mengikuti pendidikan anti korupsi diharapkan menjadi agen – agen anti korupsi di wilayahnya. Mereka juga secara umum dapat diberikan hak serta kesempatan untuk melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan masyarakat dan pemerintah yang potensial menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Lulusan pendidikan anti korupsi atau para pemegang lisensi anti korupsi yang memiliki kredibilitas dan konsistensi dalam memerangi praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dapat menjadi fasilitator pada berbagai kegiatan pemberantasan korupsi.

Para pelopor anti korupsi ini juga dengan kesadaran tinggi diharapkan bisa memberikan informasi berbagai persoalan korupsi melalui media yang mudah diakses oleh publik, dengan demikian bukan

Page 19: LATAR BELAKANG kompol

sebatas membuat laporan berjenjang kepada aparat atuapun institusi pemerintah yang “mungkin” saja justru tidak akan mendiseminasikan kasus korupsi kepada masyarakat luas. Isi informasi yang dibuat oleh para pelopor anti korupsi sebaiknya bukan sekadar memaparkan kerugian negara saja, tetapi harus menyangkut pula proses penyelesaian secara berkesinambungan, sebab kecenderungan selama ini pengungkapan kasus korupsi sepertinya berakhir pada pemaparan penyelewengan yang merugikan negara tetapi kurang konsisten untuk terus memberitakan penyelesaian kasus korupsi secara tuntas.

Jakarta, September 2007

Dr. Eko Harry Susanto

Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara Jakarta. Fasilitator Komunikasi Publik