Latar Belakang Kesiapan Bersekolah
description
Transcript of Latar Belakang Kesiapan Bersekolah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tahun-tahun pertama kehidupan anak atau yang sering dikenal dengan usia
dini merupakan masa yang sangat tepat untuk meletakkan dasar-dasar pengembangan
kemampuan anak, karena usia nol sampai enam tahun merupakan periode atau masa
keemasan (the golden age) bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, selain gizi
yang cukup, beragam stimulus juga harus di berikan (Riyanto, 2005, dalam
Mustamiroh, 2012)). Oleh karena itu dalam proses pembelajaran pada Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD) sampai usia Sekolah Dasar (SD), pemahaman terhadap
keunikan dan tingkat pertumbuhan serta perkembangan diri pada setiap anak
merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan oleh para orangtua dan pendidik
(Semiawan, 2008, dalam Mustamiroh, 2012)). Karena diperlukan persiapan khusus
bagi anak sebelum memasuki sekolah, sehingga anak juga dapat menunjukkan
potensi yang dimilikinya dalam proses belajar. (Rahmawati, “____”)
Pendidikan sejak usia dini dapat mendukung keberhasilan wajib belajar
sembilan tahun. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Freeman dan Munandar
(2007), yaitu meskipun PAUD bukan sebagai prasyarat untuk mengikuti pendidikan
dasar, namun pendidikan dini pada usia nol sampai enam tahun sangat penting dalam
rangka mendukung keberhasilan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun dan
dapat meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia di level internasional.
Di Indonesia terdapat dua jenis jalur pendikan prasekolah. Menurut Sisdiknas
(203) pendidikan anak prasekolah terbagi menjadi jalur formal dan non formal.
Pendidikan anak prasekolah pada jalur formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK),
Raudhatul Athfal (RA), dan lembaga sejenis. Pada jalur nonformal berbentuk
Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), dan satuan PAUD sejenis.
TK merupakan salah satu pendidikan anak usia dini sebelum memasuki SD.
TK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan prasekolah pada jalur pendidikan
formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak usia empat sampai
enam tahun (Depdiknas, 2004). Menurut Depdikbud (diglib.petra.ac.id, 2003) sebutan
taman secara harafiah pada TK adalah tempat yang nyaman untuk bermain, dalam
pengertian perilaku guru, penataan sarana prasarana, dan program kegiatan belajar
harus menciptakan suasana yang nyaman bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.
TK merupakan satu bentuk pendidikan prasekolah untuk anak usia empat sampai
enam tahun, sedangkan lama pendidikan di TK adalah satu atau dua tahun.
Bagaimana pentingnya PAUD telah menjadi perhatian internasional. Berbagai
hasil penelitian menyimpulkan bahwa perkembangan yang diperoleh pada usia dini
sangat mempengaruhi perkembangan anak pada tahap berikutnya. Hal ini sejalan
dengan pandangan psikologi tentang kehidupan (life-span perspective), yang
mengatakan bahwa perkembangan manusia merupakan suatu saling keterkaitan
antara tahap-tahap perkembangan satu dengan lainnya. Artinya keberhasilan di satu
tahap perkembangan akan berpengaruh positif terhadap perkembangan selanjutnya,
dan begitu juga sebaliknya. (Sulistyaningsih, 2005)
Perkembangan yang terjadi pada usia dini tersebut meliputi antara lain : fisik,
kognitif, moral-spiritual, sosial, emosional, bahasa, seni. Perkembangan dari tiap
aspek kepribadian tidak selalu bersama-sama atau sejajar, perkembangan sesuatu
aspek mungkin mendahului atau mungkin juga mengikuti aspek lainnya. Salah satu
faktor yang sangat menentukan perkembangan anak adalah lingkungan (keluarga,
masyarakat dan sekolah). Pendidik, orang tua serta orang dewasa lainnya mempunyai
peran yang cukup besar dan penting untuk memberikan stimulasi dan sentuhan-
sentuhan. Stimulasi dan kasih sayang yang diberikan kepada anak usia dini akan
menumbuhkan rasa percaya diri dan kelak kalau dewasa mampu mandiri dan
berprestasi. Jadi dapat dipahami bahwa pendidikan pada anak usia dini merupakan
dasar yang penting untuk ke jenjang selanjutnya.
Banyak anak yang ditemukan masih belum mengerti dengan konsep sekolah,
seperti bagaimana untuk memulai membaca buku atau dimana untuk memulai ketika
mau membaca. Banyak guru yang menekankan seharusnya anak memiliki banyak
pengalaman bersama dengan orang tua. Karena orang tua memegang peran yang
penting pada keberhasilan anak dalam perkembangan pendidikan nya. Sehingga anak
memiliki kesiapan dalam memasuki sekolah. (dalam Wright, 2000).
Kesiapan sekolah harus dipahami tidak hanya sekedar keterampilan kognitif,
tapi lebih sebagai konsep holistik yang menyertakan beberapa area perkembangan
seperti kognitif, sosio emosional, dan fisik (Jimerson, Egeland, & Teo, 1999; Love et
al., 1994; Meisels, 1999, Janus & Offord, 2007, dalam Febryanti, 2014). Kesiapan
sekolah berbeda dengan kesiapan belajar. Kesiapan belajar mengacu pada keadaan
neurosistem anak yang siap untuk mengembangkan berbagai ketrampilan dan
neuropathways berdasarkan stimulus yang diterimanya. Seorang anak yang siap
belajar adalah sejak lahir bahkan di dalam rahim. Sedangkan kesiapan sekolah
merupakan konsep yang sempit lagi, berfokus pada kemampuan anak untuk
memenuhi tuntutan tugas sekolah (Janus, dkk., 2007 dalam Febryanti, 2014). Seperti
senang bereksplorasi dan bertanya, kemampuan memegang pensil, mendengarkan
guru, bermain dan bekerja dengan anak lain, mengingat dan mengikuti aturan.
Menurut Janus (2006) dalam Febryanti (2014) bahwa untuk mengukur
kesiapan sekolah anak-anak dari lima domain yaitu kompetensi sosial, kesehatan dan
kesejateraan fisik, kematangan emosi, perkembangan bahasa dan kognitif,
keterampilan komunikasi dan pengetahuan umum. Sedangkan faktor-faktor yang
berkontribusi pada kesiapan sekolah adalah status sosioekonomi, struktur keluarga,
kesehatan anak dan orang tua, dan keterlibatan orangtua pada perkembangan
keaksaraan (Janus & Duku, 2007, dalam Febryanti, 2014).
Kesiapan sekolah anak yang satu belum tentu sama dengan yang lainnya. Hal
ini tidak hanya disebabkan faktor anak saja. Anak tidak secara bawaan dikatakan siap
atau tidak siap untuk sekolah (Janus, 2000 dalam Febryanti, 2014). Keterampilan dan
perkembangannya juga dipengaruhi kuat keluarga mereka dan melalui interaksinya
dengan orang lain dan lingkungan sebelum masuk ke sekolah (Maxwell & Clifford,
2004, dalam Febryanti, 2014). Pengalaman di keluarga berdampak pada kesiapan
sekolah (Walker, 1994, Luneburg, 2000, dalam Febryanti, 2014). Banyak penelitian
yang setuju bahwa variabel keluarga paling penting dalam perkembangan anak.
Keluarga dan suasana hidup keluarga sangat berpengaruh atas taraf - taraf permulaan
perkembangan (Gunarsa & Gunarsa, 2012). Salah satu faktor dalam lingkungan
keluarga yang mempengaruhi perkembangan anak adalah struktur keluarga. Janus &
Duku (2007) menyatakan bahwa ada hubungan kesiapan sekolah dengan variabel
sosio ekonomi, kesehatan dan struktur keluarga.
Berdasarkan hasil penelitian SAHIN, SAK, TUNCER Ketika guru ditanya
tentang kesulitan yang dihadapi dalam proses kesiapan sekolah, guru biasanya
mengatakan banyak ditemui dalam proses transisi ke sekolah. Mereka menjelaskan
bahwa kesulitan utama yang mereka hadapi yaitu berkaitan dengan kegiatan
akademik dan mengelola perilaku anak. Berdasarkan penelitian C. Wright. ET AL
50% dari guru percaya bahwa anak banyak kurang dalam keterampilan keaksaraan
nya dalam membaca, sebagai contoh, banyak guru mencatat bahwa anak tidak tahu
cara memegang buku, mana bagian depan atau mana bagian belakang, para guru
menekankan bahwa anak-anak membutuhkan banyak bacaan bersama orangtua
mereka.
Jika anak belum memiliki kesiapan, mereka akan frustasi bila ditempatkan di
lingkungan akademis. Berbagai bentuk perilaku sebagai cerminan frustasi ini
diantaranya adalah untuk menarik diri, berlaku acuh tak acuh, menunjukkan gejala-
gejala sakit fisik, atau kesulitan menyelesaikan tugasnya di sekolah (Rowen dkk,
1980, Sullistyaningsih, 2005, dalam Febryanti, 2014). Anak-anak yang tidak
memiliki kesiapan sekolah, mereka masuk sekolah tanpa cukup siap untuk
berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran dan aktivitas di kelas. Hal ini dapat
mempengaruhi prestasi belajar mereka dan berhubungan dengan masalah perilaku
(Ladd, dkk., 1999, Britto & Rana, 2012, dalam Febryanti, 2014).
Berdasarkan fenomena kesiapan sekolah anak yang berbeda-beda membuat
peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang hal tersebut, oleh karena itu,
peneliti mengangkat judul “Kesiapan Bersekolah pada Anak Usia Dini”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang diatas, maka
permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan yaitu: “Bagaimana Kesiapan
Bersekolah pada Anak Usia Dini?”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kesiapan bersekolah
pada anak usia dini.
D. Keaslian Penelitian
Ada beberapa penelitian sebelumnya yang membahas mengenai kesiapan
bersekolah namun tidak memiliki permasalahan yang sama dengan hasil penelitian
ini. Diantaranya adalah Kesiapan Bersekolah Ditinjau dari Jenis Pendidikan Pra
Sekolah Anak dan Tingkat Pendidikan Orangtua oleh Sulistyaningsih (2005). Hasil
penelitian menemukan adanya perbedaan kesiapan bersekolah antara anak yang
orangtua nya berpendidikan tinggi dan menengah, dengan kesiapan bersekolah anak
yang orang tuanya berpendidikan tinggi lebih baik daripada anak yang orang tuanya
berpendidikan menengah. Hasil penemuan ini sejalan dengan penemuan Hess dan
Shipman yang menyatakan bahwa orang tua yang berpendidikan lebih tinggi akan
lebih positif sikap dan perlakuannya terhadap anak. Selain itu hasil penelitian ini juga
mendukung pendapat Streissguth dan Bee yang menyatakan bahwa orang tua yang
berpendidikan tinggi lebih efektif didalam mengajar anak dibanding mereka yang
berpendidikan sekolah menengah atas atau dibawahnya (Stewart dan Koch, 1983,
dalam Sulistyaningsih, 2005). Lebih baiknya kesiapan bersekolah pada anak yang
prang tuanya berpendidikan tinggi ini karena anak memperoleh fasilitas lingkungan
dan perlakuan yang lebih menguntungkan perkembanganya daripada anak yang
orangtua yang berpendidikan menengah. Orang tua yang berpendidikan lebih tinggi
pada umumnya mampu memberikan motivasi yang besar kepada anak yang
berpengaruh terhadap perkembangan intelektual anak, mereka juga akan dapat
memberikan petunjuk serta nasihat yang konkrit dan tepat kepada anak dalam belajar
dengan mendasarkan pada pengalaman belajar yang dimilikinya (Pudjibudojo, 1989).
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati mengenai Perbedaan
Kesiapan Sekolah Pada Anak Prasekolah Yang Mendapatkan Metode Fun Learning
Dan Metode Konvensional, hasil penelitian ini menyatakan memiliki kesiapan konsep
yang menggambarkan empat kategori dalam diri anak, yaitu kematangan anak,
dukungan dari lingkungan, karakteristik anak dan pengalaman anak di lingkungan,
serta pandangan masyarakat terhadap makna dari kesiapan sekolah tersebut. Kesiapan
sekolah berkaitan dengan variabel fisik, standar intelektual, atau sosial (Marquez,
2006: 11-15). Kesiapan sekolah yang dimiliki anak tidak hanya karena pengaruh dari
metode pembelajaran semata, namun juga berbagai pengaruh dari variabel lain, baik
dalam diri anak maupun dari luar diri anak. Metode pembelajaran, baik fun learning
maupun konvensional masing-masing dapat menghasilkan kesiapan sekolah yang
baik dalam diri anak usia dini.
Selain itu ada A Comparison of Preschool and First Grade Teachers Views
about School Readiness penelitian yang dilakukan oleh SAHIN, SAK, TUNCER
(2013) menyatakan bahwa kesiapan sekolah berhubungan dengan kesiapan fisik,
sosial/emosional, kesiapan kogntif, bahasa, dan keterampilan membantu diri sendiri.
Berdasarkan fenomena yang peneliti temui dilapangan, peneliti menetapkan fokus
penelitian ini pada bagaimana kesiapan bersekolah pada anak usia dini.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi ilmuan psikologi
sebagai bahan masukan empiris untuk menambah referensi baru terutama
pada cabang psikologi pendidikan yang berkaitan dengan variabel
kesiapan bersekolah.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis informasi yang diperoleh dari penelitian ini dapat
digunakan untuk membantu orang tua dalam mengasuh dan mendidik
anak agar memiliki kesiapan untuk sekolah. Dan untuk guru dapat
dipergunakan dalam membantu anak lebih siap lagi untuk memasuki
jenjang selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Kesiapan Sekolah
1. Pengertian Kesiapan
Menurut Yusnawati (2007:11), ”kesiapan merupakan suatu kondisi
dimana seseorang telah mencapai pada tahapan tertentu atau dikonotasikan
dengan kematangan fisik, psikologis, spiritual dan skill”. Menurut Suharsimi
Arikunto (2001:54), ”kesiapan adalah suatu kompetensi berarti sehingga
seseorang yang mempunyai kompetensi berarti seseorang tersebut memiliki
kesiapan yang cukup untuk berbuat sesuatu”.
Menurut Slameto (2010:13), ”kesiapan adalah keseluruhan kondisi yang
membuatnya siap untuk memberi respon atau jawaban di dalam cara tertentu
terhadap suatu situasi. Penyesuaian kondisi pada suatu saat akan berpengaruh
pada kecenderungan untuk memberi respon”.
Dari beberapa teori itu dapat disimpulkan bahwa kesiapan adalah suatu
kondisi yang dimiliki baik oleh perorangan maupun suatu badan dalam
mempersiapkan diri baik secara mental, maupun fisik untuk mencapai tujuan
yang dikehendaki.
2. Pengertian Kesiapan Sekolah
Kesiapan sekolah (school readiness) memiliki kesiapan konsep yang
menggambarkan empat kategori dalam diri anak, yaitu kematangan anak,
dukungan dari lingkungan, karakteristik anak dan pengalaman anak di
lingkungan, serta pandangan masyarakat terhadap makna dari kesiapan
sekolah tersebut. Kategori yang akan diamati lebih jauh adalah kematangan
anak. Kesiapan sekolah berkaitan dengan variabel fisik, standar intelektual,
atau sosial (Wesley dan Buysse, Marquez, 2006: 11-15., dalam Rahmawati:
98).
Gesell (Seefeldt dan Wasik, 2008: 33-34, dalam Rahmawati: 95)
menyatakan bahwa terdapat tiga teori besar yang biasanya menjelaskan
kesiapan sekolah, yaitu teori maturationalist, behaviorist, dan constructivist.
Para maturationist (penganut paham kematangan sebagai dasar
pertumbuhan) berpendirian bahwa pertumbuhan, perkembangan dan
pembelajaran merupakan buah dari hukum kematangan internal. Semua anak
akan belajar jika diberi cukup waktu untuk berkembang. Berlawanan dengan
teori maturational adalah teori para behaviorist. Para behaviorist
berpendapat bahwa pertumbuhan dan pembelajaran adalah hal-hal yang
eksternal bagi anak dan dikendalikan oleh lingkungan. Sederetan stimulus
dan respon memengaruhi secara langsung atau dengan mengaitkan hasil
suatu kejadian dengan hasil kejadian lain, anak akan belajar. Bagi penganut
behaviorist, semua anak bisa belajar jika lingkungan belajar anak ditata
secara serasi. Para penganut teori costructivist berpendirian bahwa baik
faktor biologis maupun faktor lingkungan sama-sama memengaruhi
perkembangan manusia secara timbal balik. Peran perkembangan alami lewat
kematangan merupakan bagian dari teori ini, tetapi anak-anak bertumbuh dan
belajar lewat interaksi dengan lingkungan sosial dan alam.
Kauffman (2004: 2-3., dalam Rahmawati: 98) menyatakan bahwa
kesiapan sekolah didefinisikan sebagai kesiapan dari sisi kognitif, sosial,
regulasi diri dan kronologis diri. Penelitian tentang kesiapan sekolah telah
difokuskan pada titik antara kognitif, sosial, regulasi diri dan kesiapan
mengenai kronologis diri. Tanda-tanda awal kemampuan kognitif dan
kematangan telah terbukti berhubungan dengan performa anak-anak di
sekolah, dan untuk alasan ini pendekatan yang sangat intuitif untuk menilai
kesiapan telah digunakan sebagai indikasi bahwa seorang anak siap untuk
memasuki lingkungan sekolah. Seorang anak dikatakan memiliki kesiapan
fisik bila perkembangan motoriknya sudah matang, terutama koordinasi
antara mata dengan tangan (visio-motorik) berkembang baik. Anak harus
siap saat akan memasuki sekolah dengan berbagai kemampuan sosial yang
sesuai dengan tahapan perkembangannya, kesehatan fisik, kemampuan
bahasa serta kognisi dalam rangka mendapatkan pendidikan yang sesuai.
Boethel (2004: 14., dalam Rahmawati: 96) menyatakan bahwa faktor
yang memengaruhi kesiapan sekolah, antara lain status sosial ekonomi (yang
sering berinteraksi dengan ras atau etnis), kesehatan anak, karakteristik latar
belakang keluarga, terutama pendidikan ibu, orangtua tunggal status, dan
kesehatan mental, lingkungan rumah dan masyarakat, termasuk faktor risiko
dan faktor terkait buta huruf, serta partisipasi dalam beberapa jenis program
prasekolah. Selain itu terdapat faktor yang menjadi pendukung atau
penghambat proses kesiapan anak di sekolah, baik dari individu, keluarga
atau komunitas.
B. Hakikat Anak Usia Dini
1. Pengertian Anak Usia Dini
Anak usia dini adalah anak yang berada pada rentan usia 0-6 tahun
(Undang undang Sisdiknas tahun 2003) dan 0-8 tahun menurut para pakar
pendidikan anak. Menurut Mansur (2005: 88) anak usia dini adalah
kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan yang bersifat unik. Mereka memiliki pola pertumbuhan dan
perkembangan yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan
perkembangannya.
Pada masa ini merupakan masa emas atau golden age, karena anak
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat dan tidak
tergantikan pada masa mendatang. Menurut berbagai penelitian di bidang
neurologi terbukti bahwa 50% kecerdasan anak terbentuk dalam kurun
waktu 4 tahun pertama. Setelah anak berusia 8 tahun perkembangan
otaknya mencapai 80% dan pada usia 18 tahun mencapai 100% (Slamet
Suyanto, 2005: 6).
Sesuai dengan Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 14,
upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak usia 0-6 tahun tersebut
dilakukan melalui Pendidikan anak usia dini (PAUD). Pendidikan anak
usia dini dapat dilaksanakan melalui pendidikan formal, nonformal dan
informal. Pendidikan anak usia dini jalur formal berbentuk taman kanak-
kanak (TK) dan Raudatul Athfal (RA) dan bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan anak usia dini jalur nonformal berbentuk kelompok 9 bermain
(KB), taman penitipan anak (TPA), sedangkan PAUD pada jalur
pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang
diselenggarakan lingkungan seperti bina keluarga balita dan posyandu
yang terintegrasi PAUD atau yang kita kenal dengan satuan PAUD sejenis
(SPS).
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa anak usia dini
adalah anak yang berada pada rentang usia 0-6 tahun yang sedang
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, sehingga
diperlukan stimulasi yang tepat agar dapat tumbuh dan berkembang
dengan maksimal. Pemberian stimulasi tersebut harus diberikan melalui
lingungan keluarga, PAUD jalur non formal seperti tempat penitipan anak
(TPA) atau kelompok bermain (KB) dan PAUD jalur formal seperti TK
dan RA.
2. Karakteristik Anak Usia Dini
Anak usia dini memiliki karakteristik yang berbeda dengan orang
dewasa,
karena anak usia dini tumbuh dan berkembang dengan banyak cara dan
berbeda. Kartini Kartono (1990: 109) menjelaskan bahwa anak usia dini
memiliki karakteristik 1) bersifat egosentris naif, 2) mempunyai relasi
sosial dengan bendabenda dan manusia yang sifatnya sederhana dan
primitif, 3) ada kesatuan jasmani dan rohani yang hampir-hampir tidak
terpisahkan sebagai satu totalitas, 4) sikap hidup yang fisiognomis, yaitu
anak secara langsung memberikan atribut/sifat lahiriah atau materiel
terhadap setiap penghayatanya.
Pendapat lain tentang karakteristik anak usia dini dikemukakan oleh
Sofia Hartati (2005: 8-9) sebagai berikut: 1) memiliki rasa ingin tahu yang
besar, 2) merupakan pribadi yang unik, 3) suka berfantasi dan
berimajinasi, 4) masa potensial untuk belajar, 5) memiliki sikap
egosentris, 6) memiliki rentan daya konsentrasi yang pendek, 7)
merupakan bagian dari mahluk sosial.
Secara lebih rinci, Syamsuar Mochthar (1987: 230) mengungkapkan
tentang karakteristik anak usia dini, adalah sebagai berikut:
a. Anak usia 4-5 tahun
1) Gerakan lebih terkoordinasi
2) Senang bernain dengan kata
3) Dapat duduk diam dan menyelesaikan tugas dengan hati-hati
4) Dapat mengurus diri sendiri
5) Sudah dapat membedakan satu dengan banyak
b. Anak usia 5-6 tahun
1) Gerakan lebih terkontrol
2) Perkembangan bahasa sudah cukup baik
3) Dapat bermain dan berkawan
4) Peka terhadap situasi sosial
5) Mengetahui perbedaan kelamin dan status
6) Dapat berhitung 1-10
Berdasarkan karakteristik yang telah disampaikan maka dapat
diketahui bahwa anak usia 5-6 tahun (kelompok B), mereka dapat
melakukan gerakan yang terkoordinasi, perkembangan bahasa sudah baik
dan mampu berinteraksi sosial. Usia ini juga merupakan masa sensitif bagi
anak untuk belajar bahasa. Dengan koordinasi gerakan yang baik anak
mampu menggerakan mata-tangan untuk mewujudkan imajinasinya
kedalam bentuk gambar, sehingga penggunaan gambar karya anak dapat
membantu meningkatkan kemampuan bicara anak.
3. Aspek-Aspek Perkembangan Anak Usia Dini
a. Perkembangan Fisik/Motorik
Perkembangan fisik/motorik akan mempengaruhi kehidupan anak baik
secara langsung ataupun tidak langsung (Hurlock, 1978: 114). Hurlock
menambahkan bahwa secara langsung, perkembangan fisik akan
menentukan kemampuan dalam bergerak. Secara tidak langsung,
pertumbuhan dan perkembangan fisik akan mempengaruhi bagaimana
anak memandang dirinya sendiri dan orang lain.
Perkembangan fisik meliputi perkembangan badan , otot kasar dan
otot halus, yang selanjutnya lebih disebut dengan motorik kasar dan
motorik halus (Slamet Suyanto, 2005: 49). Perkembangan motorik kasar
berhubungan dengan gerakan dasar yang terkoordinasi dengan otak seperti
berlari, berjalan, melompat, memukul dan menarik. Sedangkan motorik
halus berfungsi untuk melakukan gerakan yang lebih spesifik seperti
menulis, melipat, menggunting, mengancingkan baju dan mengikat tali
sepatu.
Berk menyatakan bahwa anak usia lima tahun memiliki banyak tenaga
seperti anak usia empat tahun, tetapi keterampilan gerak motorik halus
maupun kasar sudah mulai terarah dan terfokus pada tindakan mereka
(Caroll Seefelt dan Barbara A.Wasik, 2008: 67). Keterampilan gerak
motorik menjadi lebih diperhalus dan keterampilan gerak motorik kasar
menjadi lebih gesit dan serasi.
Pada usia kanak-kanak 4-6 tahun, keterampilan dalam menggunakan
otot tangan dan otot kaki sudah mulai berfungsi. Keterampilan yang
berhubungan dengan tangan adalah kemampuan memasukan sendok
kedalam mulut, menyisir rambut, mengikat tali sepatu sendiri,
mengancingkan baju, melempar dan menangkap bola, menggunting,
menggores pensil atau krayon, melipat kertas, membentuk dengan lilin
serta mengecat gambar dalam pola tertentu.
Dari kajian tentang perkembangan fisik-motorik diatas dapat diketahui
bahwa pada anak usia 5-6 tahun (kelompok B) otot kasar dan otot halus
anak sudah berkembang. Anak memiliki banyak tenaga untuk melakukan
kegiatan dan umumnya mereka sangat aktif. Anak sudah dapat melakukan
gerakan yang terkordinasi. Keterampilan yang menggunakan otot kaki dan
tangan sudah berkembang dengan baik. Anak sudah dapat menggunakan
tanganya untuk menggoreskan pensil atau krayon sehingga anak dapat
membuat gambar yang diinginkanya. Gambar karya anak tersebut akan
digunakan dalam rangka peningkatan kemampuan bicara anak.
b. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif menggambarkan bagaimana pikiran anak
berkembang dan berfungsi sehingga dapat berpikir (Mansur, 2005: 33).
Keatmenyatakan bahwa perkembangan kognitif merupakan proses mental
yang mencakup pemahaman tentang dunia, penemuan pengetahuan,
pembuatan perbandingan, berfikir dan mengerti (Endang Purwanti dan
Nur Widodo, 2005: 40). Proses mental yang dimaksud adalah proses
pengolahan informasi yang menjangkau kegiatan kognisi, intelegensi,
belajar, pemecahan masalah dan pembentukan konsep. Hal ini juga
menjangkau kreativitas, imajinasi dan ingatan.
Anak usia 5-6 tahun berada pada tahap praoperasional. Pada tahap ini
anak mulai menunjukan proses berfikir yang jelas. Anak mulai mengenali
beberapa symbol dan tanda termasuk bahasa dan gambar. Penguasaan
bahasa anak sudah sistematis, anak dapat melakukan permainan simbolis.
Namun, pada tahap ini anak masih egosentris. (Slamet Suyanto, 2005: 55).
Sementara itu Santrock (2007: 253) menyatakan bahwa pada tahap
praoperasional, anak mulai merepresentasikan dunianya dengan kata-kata,
bayangan dan gambar-gambar. Anak mulai berfikir simbolik, pemikiran-
pemikiran mental muncul, egosentrisme tumbuh, dan keyakinan magis
mulai terkonstruksi. Pada tahap praoperasional dapat dibagi dalam sub-sub
tahap, yaitu sub tahapan fungsi simbolik dan sub tahapan pemikiran
intuitif.
Sub tahap fungsi simbolik terjadi antara usia 2 sampai 4 tahun. Dalam
sub tahap ini anak mulai dapat menggambarkan secara mental sebuah
objek yang tidak ada. Menurut DeLoache, kemampuan ini akan sangat
memperluas dunia anak. Pada usia ini anak–anak mulai menggunakan
desain-desain acak untuk menggambar orang, rumah, mobil, awan dan
sebagainya (Santrock, 2007: 253). Mereka mulai menggunakan bahasa
dan melakukan permainan “pura-pura”. Namun pada sub tahap ini anak
masih berfikir egosentris dan animisme. Anak belum mampu
membedakan perspektif diri sendiri dan perspektif orang lain.
Sub-tahap pemikiran intuitif, terjadi antara usia 4 sampai 7 tahaun.
Anak mulai mempraktikan penalaran primitif dan ingin mengetahui
jawaban dari berbagai pertanyaan. Namun anak masih berfikir secara
sentralisasi, yaitu pemusatan perhatian pada suatu kerakteristik dan
pengabaian karakteristik lain. Cara berfikir anak pada tahap ini masih
irreversible (tidak dapat dibalik). Anak belum mampu meniadakan suatu
tindakan dari arah sebaliknya.
Caroll Seefelt dan Barbara A.Wasik (2008: 81) menyatakan bahwa
imajinasi anak anak usia 5 tahun mulai berkembang, masih berfikir hal
yang konkret, dapat melihat benda dari kategori yang berbeda, senang
menyortir dan mengelompokan, pemahaman konsep meningkat, dan
mengetahui tentang apa yang asli dan palsu.
Dari kajian mengenai perkembangan kognitif anak diketahui bahwa
unsur yang menonjol pada tahap pre-operasional adalah mulai
digunakanya bahasa simbolis yang berupa gambaran dan bahasa ucapan.
Anak dapat berbicara tanpa dibatasi waktu sekarang dan dapat
membicarakan satu hal bersama-sama. Dengan bahasa anak dapat
mengenal bermacam benda dan mengetahui nama-nama benda yang
dikenal melalui pendengaran dan penglihatanya. Perkembangan bahasa ini
akan sangat memperlancar perkembangan kognitif anak.
c. Perkembangan Bahasa
Penguasaan bahasa anak berkembang menurut hukum alami, yaitu
mengikuti bakat, kodrat dan ritme yang alami. Menurut Lenneberg
perkembangan bahasa anak berjalan sesuai jadwal biologisnya (Eni
Zubaidah, 2003: 13). Hal ini dapat digunakan sebagai dasar mengapa anak
pada umur tertentu sudah dapat berbicara, sedangkan pada umur tertentu
belum dapat berbicara. Perkembangan bahasa tidaklah ditentukan pada
umur, namun mengarah pada perkembangan motoriknya. Namun
perkembangan tersebut sangat ipengaruhi oleh lingkungan. Bahasa anak
akan muncul dan berkembang melalui berbagai situasi interaksi sosial
dengan orang dewasa (Kartini Kartono, 1995: 127).
Bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan
sehari-hari. Suhartono (2005: 13-14) menyatakan bahwa peranan bahasa
bagi anak usia dini diantaranya sebagai sarana untuk berfikir, sarana untuk
mendengarkan, sarana untuk berbicara dan sarana agar anak mampu
membaca dan menulis. Melalui bahasa seseorang dapat menyampaikan
keinginan dan pendapatnya kepada orang lain.
Anak-anak usia 5 tahun telah mampu menghimpun 8000 kosakata.
Mereka dapat membuat kalimat pertanyaan, kalimat negatif, kalimat
tunggal, kalimat mejemuk, serta bentuk penyususunan lainnya. Mereka
telah belajar menggunakan bahasa dalam situasi yang berbeda (Gleason
dalam Slamet Suyanto, 2005: 74).
Mansur (2005: 36), menyatakan bahwa kemampuan bahasa berkaitan
erat dengan kemampuan kognitif anak, walaupun mulanya bahasa dan
pikiran merupakan dua aspek yang berbeda. Namun sejalan dengan
perkembangan kognitif anak, bahasa menjadi ungkapan dari pikiran. Ninio
dan Snow seperti yang dikutip Caroll Seefelt dan Barbara A.Wasik (2008:
76) menambahkan bahwa, anak usia 5 tahun semakin pintar dalam
kemampuan mereka mengkomunikasikan gagasan dan perasaan mereka
dengan kata-kata.
Menurut Caroll Seefelt dan Barbara A.Wasik (2008: 74) karakteristik
perkembangan bahasa anak adalah sebagai berikut:
a. Anak pada usia 4 tahun:
1) Menguasai 4.000 – 6.000 kata
2) Mampu berbicara dalam kalimat 5-6 kata
3) Dapat berrpartisipasi dalam percakapan, sudah mampu
mendengarkan orang lain berbicara dan menanggapinya.
4) Dapat belajar tentang kata mana yang diterima secara sosial dan
mana yang tidak.
b. Anak pada usia 5 tahun:
1) Perbendaharaan kosakata mencapai 5000 – 8.000 kata.
2) Stuktur kalimat menjadi lebih rumit.
3) Berbicara dengan lancar, benar dan jelas tata bahasa kecuali pada
beberapa kesalahan pelafalan.
4) Dapat menggunakan kata ganti orang dengan benar.
5) Mampu mendengarkan orang yang sedang berbicara
6) Senang menggunakan bahasa untuk permainan dan cerita.
Berdasarkan kajian mengenai perkembangan bahasa anak diketahui
bahwa perkembangan bahasa anak terjadi dalam interaksi dengan
lingkungan. Bahasa merupakan ungkapan dari apa yang difikirkan anak,
sehingga bahasa memiliki peran yang sangat penting dalam
berkomunikasi dengan orang lain. Dalam karakteristik perkembangan
bahasa yang telah disampaikan, dapat diketahui bahwa anak usia 5-6 tahun
(kelompok B) sudah mampu berbicara dengan struktur kalimat yang lebih
rumit dan anak senang menggunakan bahasa untuk menceritakan gagasan,
pengalaman, pengetahuan dan apa yang dipikirkanya kepada orang lain,
sehingga gambar karya anak dapat dipilih dalam rangka meningkatkan
kemampuan bicara anak. Hal itu dilakukan dengan cara meminta anak
menjelaskan hasil gambar yang dibuatnya. Dengan demikian kemampuan
bicara anak dapat diketahui.
d. Perkembangan Emosi
Emosi merupakan perasaan atau afeksi yang melibatkan perpaduan
antara gejolak fisiologis dan gelaja perilaku yang terlihat (Mansur, 2005:
56). Perkembangan emosi memainkan peranan yang penting dalam
kehidupan terutama dalam hal penyesuaian pribadi dan sosial anak dengan
lingkungan. Adapun dampak perkembangan emosi adalah sebgaai berikut:
1) emosi menambah rasa nikmat bagi pengalaman sehari-hari, 2) emosi
menyiapkan tubuh untuk melakukan tindakan, 3) emosi merupakan suatu
bentuk komunikasi, 4) emosi mengganggu aktifitas mental, dan 6) reaksi
emosi yang diulang-ulang akan menjadi kebiasaan (Soemantri, 2004: 142-
143).
Seiring dengan bertambahnya usia anak, berbagai ekspresi emosi
diekspresikan secara lebih terpola karena anak sudah dapat mempelajari
reaksi orang lain (Yudha M Saputra dan Rudyanto, 2005: 26). Reaksi
emosi yang timbul berubah lebih proporsional, seperti sikap tidak
menerima dengan cemberut dan sikap tidak patuh atau nakal. Yudha M
Saputra dan Rudyanto (2005: 145) menambahkan beberapa ciri-ciri emosi
pada anak antara lain: 1) emosi anak berlangsung singkat dan sementara,
2) terlihat lebih kuat dan hebat, 3) bersifat sementara, 4) sering terjadi
dan 5) dapat diketahui dengan jelas dari tingkah lakunya.
Menurut Ericson, anak usia TK berada pada tahap innititive vs guilt
yang sedang berkembang kearah industry vs inferiority (Slamet Suyanto,
2005: 72). Ismail menyatakan bahwa pada tahap ini anak mengalami
perkembangan yang positif dalam kreativitas, banyak ide, imajinasi,
bernani mencoba, berani mengambil resiko dan mudah bergaul (Harun,
2009: 120). Pada tahap ini anak dapat menunjukan sikap inisiatif, yaitu
mulai lepas dari ikatan orang tua, bergerak bebas dan mulai berinteraksi
dengan lingkungan. Mereka dituntut untuk mengembangkan perilaku yang
diharapkan dalam lingkungan sosialnya, serta bertanggungjawab atas apa
yang dilakukanya. Hal ini ditunjang dengan perkembangan motorik dan
bahasanya yang sudah dapat menjelaskan dan mencoba apa yang dia
inginkan.
Menurut Caroll Seefelt dan Barbara A.Wasik (2008: 71-72), ada
beberapa karakteristik perkembangan sosial anak usia 5 tahun antara lain:
1) Dapat mengatur emosi dan mengungkapkan perasaan dengan cara
yang bisa diterima secara sosial.
2) Anak mampu memisahkan perasaan dengan tindakan mereka.
3) Mengahayati perilaku sosial yang pantas.
4) Kekerasan emosi dan ledakan fisik mulai berkurang karena anak
telah mampu mengungkapkan perasaan melalui kata-kata.
5) Dapat melucu atau membuat lelucon
Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa dengan
perkembangan motorik dan bahasanya, anak usia 5-6 tahun (TK kelompok
B) sudah mampu mengembangkan inisiatif untuk menjelaskan dan
mencoba apa yang dia inginkan. Anak mampu menunjukan reaksi emosi
dengan lebih proporsional, sehingga gambar karya anak dapat digunakan
untuk mengembangkan kemampuan bicara anak.
C. Kerangka Berfikir
DAFTAR PUSTAKA
Britto, P.R., & Rana, A.J. (2012). School Readiness: a conceptual framework. New
York: Unicef.
Febryanti, Wenny. 2014. Perbedaan Kesiapan Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK)
Antara Anak dari Orangtua Tunggal Dengan Orangtua Utuh. Jurnal Psikologi
Pendidikan dan Perkembangan. Vol (3). No (2). Fakultas Psikologi :
Universitas Airlangga Surabaya.
Gunarsa, S.D., & Gunarsa, Y.S.D. (2012). Psikologi untuk keluarga. Jakarta: Libri.
Janus, M. Offord, D (2000). Readiness to learn at school. ISUMA , 1(2), 71-75.
Janus, M., & Duku, E. (2007). The school entry gap: Socioeconomic, Family, and
health factors associated with children’s school readiness to learn. Early
Education And Development, 18(3), 375-403.
Lunenburg, Fred C. (2000). Early childhood education programs can make a
difference in academic, economic, and social arenas. ProQuest, 120, 3.
Mustamiroh, Nuryati. 2012. Studi Komparasi Kesiapan Anak Memasuki Sekolah
Dasar (SD) pada Anak-Anak yang Mengikuti Pendidikan Taman Kanak-Kanak
(TK) Program Full Day DItinjau dari Tingkat Pendidikan Orangtua. Skripsi.
Fakultas Psikologi : Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Purwati. 2014. Perkembangan Anak Usia DIni. Jurnal. Magelang : Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Magelang.
Rahmawati, Wulan Aprista. Kesiapan Sekolah Pada Anak Prasekolah Yang
Mendapatkan Metode Fun Learning Dan Metode Konvensional. Jurnal.
Semarang : Fakultas Psikologi Universitas Semarang.
Sahin, Ikbal Tuba, Nuran Tuncer, Ramazan SAKb. A Comparison of Preschool and
First Grade Teacher Views about School Readiness. Educational Consultancy
and Research Centre.Vol.13(3). Page 1708-1713.
Sorin, Reesa. 2008. Readiness for School – Educator Perceptions and The Australian
Early Development Index. Journal of Australian Research in Early Childhood
Education. Vol.15: Iss.2. Page 65-74.
Sullistyaningsih, W. (2005). Kesiapan sekolah ditinjau dari jenis pendidikan pra
sekolah anak dan tingkat pendidikan orang tua. Psikologia, 1(1)
Wright, Cheryl, Marissa Diener dan Susan C.Kay. 2000. School Readiness of Low-
Income Chidren at Risk for School Failure. Journal of Children and Poverty.
Vol.6(2). Page 99-117.