Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

46
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tahun-tahun pertama kehidupan anak atau yang sering dikenal dengan usia dini merupakan masa yang sangat tepat untuk meletakkan dasar-dasar pengembangan kemampuan anak, karena usia nol sampai enam tahun merupakan periode atau masa keemasan (the golden age) bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, selain gizi yang cukup, beragam stimulus juga harus di berikan (Riyanto, 2005, dalam Mustamiroh, 2012)). Oleh karena itu dalam proses pembelajaran pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai usia Sekolah Dasar (SD), pemahaman terhadap keunikan dan tingkat pertumbuhan serta perkembangan diri pada setiap anak merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan oleh para orangtua dan pendidik (Semiawan, 2008, dalam Mustamiroh, 2012)). Karena diperlukan persiapan khusus

description

Mengetahui latar belakang kesiapan bersekolah pada anak usia dini

Transcript of Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

Page 1: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tahun-tahun pertama kehidupan anak atau yang sering dikenal dengan usia

dini merupakan masa yang sangat tepat untuk meletakkan dasar-dasar pengembangan

kemampuan anak, karena usia nol sampai enam tahun merupakan periode atau masa

keemasan (the golden age) bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, selain gizi

yang cukup, beragam stimulus juga harus di berikan (Riyanto, 2005, dalam

Mustamiroh, 2012)). Oleh karena itu dalam proses pembelajaran pada Pendidikan

Anak Usia Dini (PAUD) sampai usia Sekolah Dasar (SD), pemahaman terhadap

keunikan dan tingkat pertumbuhan serta perkembangan diri pada setiap anak

merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan oleh para orangtua dan pendidik

(Semiawan, 2008, dalam Mustamiroh, 2012)). Karena diperlukan persiapan khusus

bagi anak sebelum memasuki sekolah, sehingga anak juga dapat menunjukkan

potensi yang dimilikinya dalam proses belajar. (Rahmawati, “____”)

Pendidikan sejak usia dini dapat mendukung keberhasilan wajib belajar

sembilan tahun. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Freeman dan Munandar

(2007), yaitu meskipun PAUD bukan sebagai prasyarat untuk mengikuti pendidikan

dasar, namun pendidikan dini pada usia nol sampai enam tahun sangat penting dalam

Page 2: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

rangka mendukung keberhasilan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun dan

dapat meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia di level internasional.

Di Indonesia terdapat dua jenis jalur pendikan prasekolah. Menurut Sisdiknas

(203) pendidikan anak prasekolah terbagi menjadi jalur formal dan non formal.

Pendidikan anak prasekolah pada jalur formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK),

Raudhatul Athfal (RA), dan lembaga sejenis. Pada jalur nonformal berbentuk

Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), dan satuan PAUD sejenis.

TK merupakan salah satu pendidikan anak usia dini sebelum memasuki SD.

TK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan prasekolah pada jalur pendidikan

formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak usia empat sampai

enam tahun (Depdiknas, 2004). Menurut Depdikbud (diglib.petra.ac.id, 2003) sebutan

taman secara harafiah pada TK adalah tempat yang nyaman untuk bermain, dalam

pengertian perilaku guru, penataan sarana prasarana, dan program kegiatan belajar

harus menciptakan suasana yang nyaman bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.

TK merupakan satu bentuk pendidikan prasekolah untuk anak usia empat sampai

enam tahun, sedangkan lama pendidikan di TK adalah satu atau dua tahun.

Bagaimana pentingnya PAUD telah menjadi perhatian internasional. Berbagai

hasil penelitian menyimpulkan bahwa perkembangan yang diperoleh pada usia dini

sangat mempengaruhi perkembangan anak pada tahap berikutnya. Hal ini sejalan

dengan pandangan psikologi tentang kehidupan (life-span perspective), yang

Page 3: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

mengatakan bahwa perkembangan manusia merupakan suatu saling keterkaitan

antara tahap-tahap perkembangan satu dengan lainnya. Artinya keberhasilan di satu

tahap perkembangan akan berpengaruh positif terhadap perkembangan selanjutnya,

dan begitu juga sebaliknya. (Sulistyaningsih, 2005)

Perkembangan yang terjadi pada usia dini tersebut meliputi antara lain : fisik,

kognitif, moral-spiritual, sosial, emosional, bahasa, seni. Perkembangan dari tiap

aspek kepribadian tidak selalu bersama-sama atau sejajar, perkembangan sesuatu

aspek mungkin mendahului atau mungkin juga mengikuti aspek lainnya. Salah satu

faktor yang sangat menentukan perkembangan anak adalah lingkungan (keluarga,

masyarakat dan sekolah). Pendidik, orang tua serta orang dewasa lainnya mempunyai

peran yang cukup besar dan penting untuk memberikan stimulasi dan sentuhan-

sentuhan. Stimulasi dan kasih sayang yang diberikan kepada anak usia dini akan

menumbuhkan rasa percaya diri dan kelak kalau dewasa mampu mandiri dan

berprestasi. Jadi dapat dipahami bahwa pendidikan pada anak usia dini merupakan

dasar yang penting untuk ke jenjang selanjutnya.

Banyak anak yang ditemukan masih belum mengerti dengan konsep sekolah,

seperti bagaimana untuk memulai membaca buku atau dimana untuk memulai ketika

mau membaca. Banyak guru yang menekankan seharusnya anak memiliki banyak

pengalaman bersama dengan orang tua. Karena orang tua memegang peran yang

penting pada keberhasilan anak dalam perkembangan pendidikan nya. Sehingga anak

memiliki kesiapan dalam memasuki sekolah. (dalam Wright, 2000).

Page 4: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

Kesiapan sekolah harus dipahami tidak hanya sekedar keterampilan kognitif,

tapi lebih sebagai konsep holistik yang menyertakan beberapa area perkembangan

seperti kognitif, sosio emosional, dan fisik (Jimerson, Egeland, & Teo, 1999; Love et

al., 1994; Meisels, 1999, Janus & Offord, 2007, dalam Febryanti, 2014). Kesiapan

sekolah berbeda dengan kesiapan belajar. Kesiapan belajar mengacu pada keadaan

neurosistem anak yang siap untuk mengembangkan berbagai ketrampilan dan

neuropathways berdasarkan stimulus yang diterimanya. Seorang anak yang siap

belajar adalah sejak lahir bahkan di dalam rahim. Sedangkan kesiapan sekolah

merupakan konsep yang sempit lagi, berfokus pada kemampuan anak untuk

memenuhi tuntutan tugas sekolah (Janus, dkk., 2007 dalam Febryanti, 2014). Seperti

senang bereksplorasi dan bertanya, kemampuan memegang pensil, mendengarkan

guru, bermain dan bekerja dengan anak lain, mengingat dan mengikuti aturan.

Menurut Janus (2006) dalam Febryanti (2014) bahwa untuk mengukur

kesiapan sekolah anak-anak dari lima domain yaitu kompetensi sosial, kesehatan dan

kesejateraan fisik, kematangan emosi, perkembangan bahasa dan kognitif,

keterampilan komunikasi dan pengetahuan umum. Sedangkan faktor-faktor yang

berkontribusi pada kesiapan sekolah adalah status sosioekonomi, struktur keluarga,

kesehatan anak dan orang tua, dan keterlibatan orangtua pada perkembangan

keaksaraan (Janus & Duku, 2007, dalam Febryanti, 2014).

Kesiapan sekolah anak yang satu belum tentu sama dengan yang lainnya. Hal

ini tidak hanya disebabkan faktor anak saja. Anak tidak secara bawaan dikatakan siap

atau tidak siap untuk sekolah (Janus, 2000 dalam Febryanti, 2014). Keterampilan dan

Page 5: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

perkembangannya juga dipengaruhi kuat keluarga mereka dan melalui interaksinya

dengan orang lain dan lingkungan sebelum masuk ke sekolah (Maxwell & Clifford,

2004, dalam Febryanti, 2014). Pengalaman di keluarga berdampak pada kesiapan

sekolah (Walker, 1994, Luneburg, 2000, dalam Febryanti, 2014). Banyak penelitian

yang setuju bahwa variabel keluarga paling penting dalam perkembangan anak.

Keluarga dan suasana hidup keluarga sangat berpengaruh atas taraf - taraf permulaan

perkembangan (Gunarsa & Gunarsa, 2012). Salah satu faktor dalam lingkungan

keluarga yang mempengaruhi perkembangan anak adalah struktur keluarga. Janus &

Duku (2007) menyatakan bahwa ada hubungan kesiapan sekolah dengan variabel

sosio ekonomi, kesehatan dan struktur keluarga.

Berdasarkan hasil penelitian SAHIN, SAK, TUNCER Ketika guru ditanya

tentang kesulitan yang dihadapi dalam proses kesiapan sekolah, guru biasanya

mengatakan banyak ditemui dalam proses transisi ke sekolah. Mereka menjelaskan

bahwa kesulitan utama yang mereka hadapi yaitu berkaitan dengan kegiatan

akademik dan mengelola perilaku anak. Berdasarkan penelitian C. Wright. ET AL

50% dari guru percaya bahwa anak banyak kurang dalam keterampilan keaksaraan

nya dalam membaca, sebagai contoh, banyak guru mencatat bahwa anak tidak tahu

cara memegang buku, mana bagian depan atau mana bagian belakang, para guru

menekankan bahwa anak-anak membutuhkan banyak bacaan bersama orangtua

mereka.

Page 6: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

Jika anak belum memiliki kesiapan, mereka akan frustasi bila ditempatkan di

lingkungan akademis. Berbagai bentuk perilaku sebagai cerminan frustasi ini

diantaranya adalah untuk menarik diri, berlaku acuh tak acuh, menunjukkan gejala-

gejala sakit fisik, atau kesulitan menyelesaikan tugasnya di sekolah (Rowen dkk,

1980, Sullistyaningsih, 2005, dalam Febryanti, 2014). Anak-anak yang tidak

memiliki kesiapan sekolah, mereka masuk sekolah tanpa cukup siap untuk

berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran dan aktivitas di kelas. Hal ini dapat

mempengaruhi prestasi belajar mereka dan berhubungan dengan masalah perilaku

(Ladd, dkk., 1999, Britto & Rana, 2012, dalam Febryanti, 2014).

Berdasarkan fenomena kesiapan sekolah anak yang berbeda-beda membuat

peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang hal tersebut, oleh karena itu,

peneliti mengangkat judul “Kesiapan Bersekolah pada Anak Usia Dini”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang diatas, maka

permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan yaitu: “Bagaimana Kesiapan

Bersekolah pada Anak Usia Dini?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kesiapan bersekolah

pada anak usia dini.

Page 7: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

D. Keaslian Penelitian

Ada beberapa penelitian sebelumnya yang membahas mengenai kesiapan

bersekolah namun tidak memiliki permasalahan yang sama dengan hasil penelitian

ini. Diantaranya adalah Kesiapan Bersekolah Ditinjau dari Jenis Pendidikan Pra

Sekolah Anak dan Tingkat Pendidikan Orangtua oleh Sulistyaningsih (2005). Hasil

penelitian menemukan adanya perbedaan kesiapan bersekolah antara anak yang

orangtua nya berpendidikan tinggi dan menengah, dengan kesiapan bersekolah anak

yang orang tuanya berpendidikan tinggi lebih baik daripada anak yang orang tuanya

berpendidikan menengah. Hasil penemuan ini sejalan dengan penemuan Hess dan

Shipman yang menyatakan bahwa orang tua yang berpendidikan lebih tinggi akan

lebih positif sikap dan perlakuannya terhadap anak. Selain itu hasil penelitian ini juga

mendukung pendapat Streissguth dan Bee yang menyatakan bahwa orang tua yang

berpendidikan tinggi lebih efektif didalam mengajar anak dibanding mereka yang

berpendidikan sekolah menengah atas atau dibawahnya (Stewart dan Koch, 1983,

dalam Sulistyaningsih, 2005). Lebih baiknya kesiapan bersekolah pada anak yang

prang tuanya berpendidikan tinggi ini karena anak memperoleh fasilitas lingkungan

dan perlakuan yang lebih menguntungkan perkembanganya daripada anak yang

orangtua yang berpendidikan menengah. Orang tua yang berpendidikan lebih tinggi

pada umumnya mampu memberikan motivasi yang besar kepada anak yang

berpengaruh terhadap perkembangan intelektual anak, mereka juga akan dapat

memberikan petunjuk serta nasihat yang konkrit dan tepat kepada anak dalam belajar

dengan mendasarkan pada pengalaman belajar yang dimilikinya (Pudjibudojo, 1989).

Page 8: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati mengenai Perbedaan

Kesiapan Sekolah Pada Anak Prasekolah Yang Mendapatkan Metode Fun Learning

Dan Metode Konvensional, hasil penelitian ini menyatakan memiliki kesiapan konsep

yang menggambarkan empat kategori dalam diri anak, yaitu kematangan anak,

dukungan dari lingkungan, karakteristik anak dan pengalaman anak di lingkungan,

serta pandangan masyarakat terhadap makna dari kesiapan sekolah tersebut. Kesiapan

sekolah berkaitan dengan variabel fisik, standar intelektual, atau sosial (Marquez,

2006: 11-15). Kesiapan sekolah yang dimiliki anak tidak hanya karena pengaruh dari

metode pembelajaran semata, namun juga berbagai pengaruh dari variabel lain, baik

dalam diri anak maupun dari luar diri anak. Metode pembelajaran, baik fun learning

maupun konvensional masing-masing dapat menghasilkan kesiapan sekolah yang

baik dalam diri anak usia dini.

Selain itu ada A Comparison of Preschool and First Grade Teachers Views

about School Readiness penelitian yang dilakukan oleh SAHIN, SAK, TUNCER

(2013) menyatakan bahwa kesiapan sekolah berhubungan dengan kesiapan fisik,

sosial/emosional, kesiapan kogntif, bahasa, dan keterampilan membantu diri sendiri.

Berdasarkan fenomena yang peneliti temui dilapangan, peneliti menetapkan fokus

penelitian ini pada bagaimana kesiapan bersekolah pada anak usia dini.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Page 9: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi ilmuan psikologi

sebagai bahan masukan empiris untuk menambah referensi baru terutama

pada cabang psikologi pendidikan yang berkaitan dengan variabel

kesiapan bersekolah.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis informasi yang diperoleh dari penelitian ini dapat

digunakan untuk membantu orang tua dalam mengasuh dan mendidik

anak agar memiliki kesiapan untuk sekolah. Dan untuk guru dapat

dipergunakan dalam membantu anak lebih siap lagi untuk memasuki

jenjang selanjutnya.

Page 10: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Kesiapan Sekolah

1. Pengertian Kesiapan

Menurut Yusnawati (2007:11), ”kesiapan merupakan suatu kondisi

dimana seseorang telah mencapai pada tahapan tertentu atau dikonotasikan

dengan kematangan fisik, psikologis, spiritual dan skill”. Menurut Suharsimi

Arikunto (2001:54), ”kesiapan adalah suatu kompetensi berarti sehingga

seseorang yang mempunyai kompetensi berarti seseorang tersebut memiliki

kesiapan yang cukup untuk berbuat sesuatu”.

Menurut Slameto (2010:13), ”kesiapan adalah keseluruhan kondisi yang

membuatnya siap untuk memberi respon atau jawaban di dalam cara tertentu

terhadap suatu situasi. Penyesuaian kondisi pada suatu saat akan berpengaruh

pada kecenderungan untuk memberi respon”.

Dari beberapa teori itu dapat disimpulkan bahwa kesiapan adalah suatu

kondisi yang dimiliki baik oleh perorangan maupun suatu badan dalam

mempersiapkan diri baik secara mental, maupun fisik untuk mencapai tujuan

yang dikehendaki.

2. Pengertian Kesiapan Sekolah

Kesiapan sekolah (school readiness) memiliki kesiapan konsep yang

menggambarkan empat kategori dalam diri anak, yaitu kematangan anak,

Page 11: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

dukungan dari lingkungan, karakteristik anak dan pengalaman anak di

lingkungan, serta pandangan masyarakat terhadap makna dari kesiapan

sekolah tersebut. Kategori yang akan diamati lebih jauh adalah kematangan

anak. Kesiapan sekolah berkaitan dengan variabel fisik, standar intelektual,

atau sosial (Wesley dan Buysse, Marquez, 2006: 11-15., dalam Rahmawati:

98).

Gesell (Seefeldt dan Wasik, 2008: 33-34, dalam Rahmawati: 95)

menyatakan bahwa terdapat tiga teori besar yang biasanya menjelaskan

kesiapan sekolah, yaitu teori maturationalist, behaviorist, dan constructivist.

Para maturationist (penganut paham kematangan sebagai dasar

pertumbuhan) berpendirian bahwa pertumbuhan, perkembangan dan

pembelajaran merupakan buah dari hukum kematangan internal. Semua anak

akan belajar jika diberi cukup waktu untuk berkembang. Berlawanan dengan

teori maturational adalah teori para behaviorist. Para behaviorist

berpendapat bahwa pertumbuhan dan pembelajaran adalah hal-hal yang

eksternal bagi anak dan dikendalikan oleh lingkungan. Sederetan stimulus

dan respon memengaruhi secara langsung atau dengan mengaitkan hasil

suatu kejadian dengan hasil kejadian lain, anak akan belajar. Bagi penganut

behaviorist, semua anak bisa belajar jika lingkungan belajar anak ditata

secara serasi. Para penganut teori costructivist berpendirian bahwa baik

faktor biologis maupun faktor lingkungan sama-sama memengaruhi

perkembangan manusia secara timbal balik. Peran perkembangan alami lewat

Page 12: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

kematangan merupakan bagian dari teori ini, tetapi anak-anak bertumbuh dan

belajar lewat interaksi dengan lingkungan sosial dan alam.

Kauffman (2004: 2-3., dalam Rahmawati: 98) menyatakan bahwa

kesiapan sekolah didefinisikan sebagai kesiapan dari sisi kognitif, sosial,

regulasi diri dan kronologis diri. Penelitian tentang kesiapan sekolah telah

difokuskan pada titik antara kognitif, sosial, regulasi diri dan kesiapan

mengenai kronologis diri. Tanda-tanda awal kemampuan kognitif dan

kematangan telah terbukti berhubungan dengan performa anak-anak di

sekolah, dan untuk alasan ini pendekatan yang sangat intuitif untuk menilai

kesiapan telah digunakan sebagai indikasi bahwa seorang anak siap untuk

memasuki lingkungan sekolah. Seorang anak dikatakan memiliki kesiapan

fisik bila perkembangan motoriknya sudah matang, terutama koordinasi

antara mata dengan tangan (visio-motorik) berkembang baik. Anak harus

siap saat akan memasuki sekolah dengan berbagai kemampuan sosial yang

sesuai dengan tahapan perkembangannya, kesehatan fisik, kemampuan

bahasa serta kognisi dalam rangka mendapatkan pendidikan yang sesuai.

Boethel (2004: 14., dalam Rahmawati: 96) menyatakan bahwa faktor

yang memengaruhi kesiapan sekolah, antara lain status sosial ekonomi (yang

sering berinteraksi dengan ras atau etnis), kesehatan anak, karakteristik latar

belakang keluarga, terutama pendidikan ibu, orangtua tunggal status, dan

kesehatan mental, lingkungan rumah dan masyarakat, termasuk faktor risiko

dan faktor terkait buta huruf, serta partisipasi dalam beberapa jenis program

Page 13: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

prasekolah. Selain itu terdapat faktor yang menjadi pendukung atau

penghambat proses kesiapan anak di sekolah, baik dari individu, keluarga

atau komunitas.

B. Hakikat Anak Usia Dini

1. Pengertian Anak Usia Dini

Anak usia dini adalah anak yang berada pada rentan usia 0-6 tahun

(Undang undang Sisdiknas tahun 2003) dan 0-8 tahun menurut para pakar

pendidikan anak. Menurut Mansur (2005: 88) anak usia dini adalah

kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan

perkembangan yang bersifat unik. Mereka memiliki pola pertumbuhan dan

perkembangan yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan

perkembangannya.

Pada masa ini merupakan masa emas atau golden age, karena anak

mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat dan tidak

tergantikan pada masa mendatang. Menurut berbagai penelitian di bidang

neurologi terbukti bahwa 50% kecerdasan anak terbentuk dalam kurun

waktu 4 tahun pertama. Setelah anak berusia 8 tahun perkembangan

otaknya mencapai 80% dan pada usia 18 tahun mencapai 100% (Slamet

Suyanto, 2005: 6).

Sesuai dengan Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 14,

upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak usia 0-6 tahun tersebut

Page 14: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

dilakukan melalui Pendidikan anak usia dini (PAUD). Pendidikan anak

usia dini dapat dilaksanakan melalui pendidikan formal, nonformal dan

informal. Pendidikan anak usia dini jalur formal berbentuk taman kanak-

kanak (TK) dan Raudatul Athfal (RA) dan bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan anak usia dini jalur nonformal berbentuk kelompok 9 bermain

(KB), taman penitipan anak (TPA), sedangkan PAUD pada jalur

pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang

diselenggarakan lingkungan seperti bina keluarga balita dan posyandu

yang terintegrasi PAUD atau yang kita kenal dengan satuan PAUD sejenis

(SPS).

Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa anak usia dini

adalah anak yang berada pada rentang usia 0-6 tahun yang sedang

mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, sehingga

diperlukan stimulasi yang tepat agar dapat tumbuh dan berkembang

dengan maksimal. Pemberian stimulasi tersebut harus diberikan melalui

lingungan keluarga, PAUD jalur non formal seperti tempat penitipan anak

(TPA) atau kelompok bermain (KB) dan PAUD jalur formal seperti TK

dan RA.

2. Karakteristik Anak Usia Dini

Anak usia dini memiliki karakteristik yang berbeda dengan orang

dewasa,

Page 15: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

karena anak usia dini tumbuh dan berkembang dengan banyak cara dan

berbeda. Kartini Kartono (1990: 109) menjelaskan bahwa anak usia dini

memiliki karakteristik 1) bersifat egosentris naif, 2) mempunyai relasi

sosial dengan bendabenda dan manusia yang sifatnya sederhana dan

primitif, 3) ada kesatuan jasmani dan rohani yang hampir-hampir tidak

terpisahkan sebagai satu totalitas, 4) sikap hidup yang fisiognomis, yaitu

anak secara langsung memberikan atribut/sifat lahiriah atau materiel

terhadap setiap penghayatanya.

Pendapat lain tentang karakteristik anak usia dini dikemukakan oleh

Sofia Hartati (2005: 8-9) sebagai berikut: 1) memiliki rasa ingin tahu yang

besar, 2) merupakan pribadi yang unik, 3) suka berfantasi dan

berimajinasi, 4) masa potensial untuk belajar, 5) memiliki sikap

egosentris, 6) memiliki rentan daya konsentrasi yang pendek, 7)

merupakan bagian dari mahluk sosial.

Secara lebih rinci, Syamsuar Mochthar (1987: 230) mengungkapkan

tentang karakteristik anak usia dini, adalah sebagai berikut:

a. Anak usia 4-5 tahun

1) Gerakan lebih terkoordinasi

2) Senang bernain dengan kata

3) Dapat duduk diam dan menyelesaikan tugas dengan hati-hati

4) Dapat mengurus diri sendiri

5) Sudah dapat membedakan satu dengan banyak

Page 16: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

b. Anak usia 5-6 tahun

1) Gerakan lebih terkontrol

2) Perkembangan bahasa sudah cukup baik

3) Dapat bermain dan berkawan

4) Peka terhadap situasi sosial

5) Mengetahui perbedaan kelamin dan status

6) Dapat berhitung 1-10

Berdasarkan karakteristik yang telah disampaikan maka dapat

diketahui bahwa anak usia 5-6 tahun (kelompok B), mereka dapat

melakukan gerakan yang terkoordinasi, perkembangan bahasa sudah baik

dan mampu berinteraksi sosial. Usia ini juga merupakan masa sensitif bagi

anak untuk belajar bahasa. Dengan koordinasi gerakan yang baik anak

mampu menggerakan mata-tangan untuk mewujudkan imajinasinya

kedalam bentuk gambar, sehingga penggunaan gambar karya anak dapat

membantu meningkatkan kemampuan bicara anak.

3. Aspek-Aspek Perkembangan Anak Usia Dini

a. Perkembangan Fisik/Motorik

Perkembangan fisik/motorik akan mempengaruhi kehidupan anak baik

secara langsung ataupun tidak langsung (Hurlock, 1978: 114). Hurlock

menambahkan bahwa secara langsung, perkembangan fisik akan

menentukan kemampuan dalam bergerak. Secara tidak langsung,

Page 17: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

pertumbuhan dan perkembangan fisik akan mempengaruhi bagaimana

anak memandang dirinya sendiri dan orang lain.

Perkembangan fisik meliputi perkembangan badan , otot kasar dan

otot halus, yang selanjutnya lebih disebut dengan motorik kasar dan

motorik halus (Slamet Suyanto, 2005: 49). Perkembangan motorik kasar

berhubungan dengan gerakan dasar yang terkoordinasi dengan otak seperti

berlari, berjalan, melompat, memukul dan menarik. Sedangkan motorik

halus berfungsi untuk melakukan gerakan yang lebih spesifik seperti

menulis, melipat, menggunting, mengancingkan baju dan mengikat tali

sepatu.

Berk menyatakan bahwa anak usia lima tahun memiliki banyak tenaga

seperti anak usia empat tahun, tetapi keterampilan gerak motorik halus

maupun kasar sudah mulai terarah dan terfokus pada tindakan mereka

(Caroll Seefelt dan Barbara A.Wasik, 2008: 67). Keterampilan gerak

motorik menjadi lebih diperhalus dan keterampilan gerak motorik kasar

menjadi lebih gesit dan serasi.

Pada usia kanak-kanak 4-6 tahun, keterampilan dalam menggunakan

otot tangan dan otot kaki sudah mulai berfungsi. Keterampilan yang

berhubungan dengan tangan adalah kemampuan memasukan sendok

kedalam mulut, menyisir rambut, mengikat tali sepatu sendiri,

mengancingkan baju, melempar dan menangkap bola, menggunting,

Page 18: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

menggores pensil atau krayon, melipat kertas, membentuk dengan lilin

serta mengecat gambar dalam pola tertentu.

Dari kajian tentang perkembangan fisik-motorik diatas dapat diketahui

bahwa pada anak usia 5-6 tahun (kelompok B) otot kasar dan otot halus

anak sudah berkembang. Anak memiliki banyak tenaga untuk melakukan

kegiatan dan umumnya mereka sangat aktif. Anak sudah dapat melakukan

gerakan yang terkordinasi. Keterampilan yang menggunakan otot kaki dan

tangan sudah berkembang dengan baik. Anak sudah dapat menggunakan

tanganya untuk menggoreskan pensil atau krayon sehingga anak dapat

membuat gambar yang diinginkanya. Gambar karya anak tersebut akan

digunakan dalam rangka peningkatan kemampuan bicara anak.

b. Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif menggambarkan bagaimana pikiran anak

berkembang dan berfungsi sehingga dapat berpikir (Mansur, 2005: 33).

Keatmenyatakan bahwa perkembangan kognitif merupakan proses mental

yang mencakup pemahaman tentang dunia, penemuan pengetahuan,

pembuatan perbandingan, berfikir dan mengerti (Endang Purwanti dan

Nur Widodo, 2005: 40). Proses mental yang dimaksud adalah proses

pengolahan informasi yang menjangkau kegiatan kognisi, intelegensi,

belajar, pemecahan masalah dan pembentukan konsep. Hal ini juga

menjangkau kreativitas, imajinasi dan ingatan.

Page 19: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

Anak usia 5-6 tahun berada pada tahap praoperasional. Pada tahap ini

anak mulai menunjukan proses berfikir yang jelas. Anak mulai mengenali

beberapa symbol dan tanda termasuk bahasa dan gambar. Penguasaan

bahasa anak sudah sistematis, anak dapat melakukan permainan simbolis.

Namun, pada tahap ini anak masih egosentris. (Slamet Suyanto, 2005: 55).

Sementara itu Santrock (2007: 253) menyatakan bahwa pada tahap

praoperasional, anak mulai merepresentasikan dunianya dengan kata-kata,

bayangan dan gambar-gambar. Anak mulai berfikir simbolik, pemikiran-

pemikiran mental muncul, egosentrisme tumbuh, dan keyakinan magis

mulai terkonstruksi. Pada tahap praoperasional dapat dibagi dalam sub-sub

tahap, yaitu sub tahapan fungsi simbolik dan sub tahapan pemikiran

intuitif.

Sub tahap fungsi simbolik terjadi antara usia 2 sampai 4 tahun. Dalam

sub tahap ini anak mulai dapat menggambarkan secara mental sebuah

objek yang tidak ada. Menurut DeLoache, kemampuan ini akan sangat

memperluas dunia anak. Pada usia ini anak–anak mulai menggunakan

desain-desain acak untuk menggambar orang, rumah, mobil, awan dan

sebagainya (Santrock, 2007: 253). Mereka mulai menggunakan bahasa

dan melakukan permainan “pura-pura”. Namun pada sub tahap ini anak

masih berfikir egosentris dan animisme. Anak belum mampu

membedakan perspektif diri sendiri dan perspektif orang lain.

Page 20: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

Sub-tahap pemikiran intuitif, terjadi antara usia 4 sampai 7 tahaun.

Anak mulai mempraktikan penalaran primitif dan ingin mengetahui

jawaban dari berbagai pertanyaan. Namun anak masih berfikir secara

sentralisasi, yaitu pemusatan perhatian pada suatu kerakteristik dan

pengabaian karakteristik lain. Cara berfikir anak pada tahap ini masih

irreversible (tidak dapat dibalik). Anak belum mampu meniadakan suatu

tindakan dari arah sebaliknya.

Caroll Seefelt dan Barbara A.Wasik (2008: 81) menyatakan bahwa

imajinasi anak anak usia 5 tahun mulai berkembang, masih berfikir hal

yang konkret, dapat melihat benda dari kategori yang berbeda, senang

menyortir dan mengelompokan, pemahaman konsep meningkat, dan

mengetahui tentang apa yang asli dan palsu.

Dari kajian mengenai perkembangan kognitif anak diketahui bahwa

unsur yang menonjol pada tahap pre-operasional adalah mulai

digunakanya bahasa simbolis yang berupa gambaran dan bahasa ucapan.

Anak dapat berbicara tanpa dibatasi waktu sekarang dan dapat

membicarakan satu hal bersama-sama. Dengan bahasa anak dapat

mengenal bermacam benda dan mengetahui nama-nama benda yang

dikenal melalui pendengaran dan penglihatanya. Perkembangan bahasa ini

akan sangat memperlancar perkembangan kognitif anak.

Page 21: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

c. Perkembangan Bahasa

Penguasaan bahasa anak berkembang menurut hukum alami, yaitu

mengikuti bakat, kodrat dan ritme yang alami. Menurut Lenneberg

perkembangan bahasa anak berjalan sesuai jadwal biologisnya (Eni

Zubaidah, 2003: 13). Hal ini dapat digunakan sebagai dasar mengapa anak

pada umur tertentu sudah dapat berbicara, sedangkan pada umur tertentu

belum dapat berbicara. Perkembangan bahasa tidaklah ditentukan pada

umur, namun mengarah pada perkembangan motoriknya. Namun

perkembangan tersebut sangat ipengaruhi oleh lingkungan. Bahasa anak

akan muncul dan berkembang melalui berbagai situasi interaksi sosial

dengan orang dewasa (Kartini Kartono, 1995: 127).

Bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan

sehari-hari. Suhartono (2005: 13-14) menyatakan bahwa peranan bahasa

bagi anak usia dini diantaranya sebagai sarana untuk berfikir, sarana untuk

mendengarkan, sarana untuk berbicara dan sarana agar anak mampu

membaca dan menulis. Melalui bahasa seseorang dapat menyampaikan

keinginan dan pendapatnya kepada orang lain.

Anak-anak usia 5 tahun telah mampu menghimpun 8000 kosakata.

Mereka dapat membuat kalimat pertanyaan, kalimat negatif, kalimat

tunggal, kalimat mejemuk, serta bentuk penyususunan lainnya. Mereka

telah belajar menggunakan bahasa dalam situasi yang berbeda (Gleason

dalam Slamet Suyanto, 2005: 74).

Page 22: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

Mansur (2005: 36), menyatakan bahwa kemampuan bahasa berkaitan

erat dengan kemampuan kognitif anak, walaupun mulanya bahasa dan

pikiran merupakan dua aspek yang berbeda. Namun sejalan dengan

perkembangan kognitif anak, bahasa menjadi ungkapan dari pikiran. Ninio

dan Snow seperti yang dikutip Caroll Seefelt dan Barbara A.Wasik (2008:

76) menambahkan bahwa, anak usia 5 tahun semakin pintar dalam

kemampuan mereka mengkomunikasikan gagasan dan perasaan mereka

dengan kata-kata.

Menurut Caroll Seefelt dan Barbara A.Wasik (2008: 74) karakteristik

perkembangan bahasa anak adalah sebagai berikut:

a. Anak pada usia 4 tahun:

1) Menguasai 4.000 – 6.000 kata

2) Mampu berbicara dalam kalimat 5-6 kata

3) Dapat berrpartisipasi dalam percakapan, sudah mampu

mendengarkan orang lain berbicara dan menanggapinya.

4) Dapat belajar tentang kata mana yang diterima secara sosial dan

mana yang tidak.

b. Anak pada usia 5 tahun:

1) Perbendaharaan kosakata mencapai 5000 – 8.000 kata.

2) Stuktur kalimat menjadi lebih rumit.

3) Berbicara dengan lancar, benar dan jelas tata bahasa kecuali pada

beberapa kesalahan pelafalan.

Page 23: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

4) Dapat menggunakan kata ganti orang dengan benar.

5) Mampu mendengarkan orang yang sedang berbicara

6) Senang menggunakan bahasa untuk permainan dan cerita.

Berdasarkan kajian mengenai perkembangan bahasa anak diketahui

bahwa perkembangan bahasa anak terjadi dalam interaksi dengan

lingkungan. Bahasa merupakan ungkapan dari apa yang difikirkan anak,

sehingga bahasa memiliki peran yang sangat penting dalam

berkomunikasi dengan orang lain. Dalam karakteristik perkembangan

bahasa yang telah disampaikan, dapat diketahui bahwa anak usia 5-6 tahun

(kelompok B) sudah mampu berbicara dengan struktur kalimat yang lebih

rumit dan anak senang menggunakan bahasa untuk menceritakan gagasan,

pengalaman, pengetahuan dan apa yang dipikirkanya kepada orang lain,

sehingga gambar karya anak dapat dipilih dalam rangka meningkatkan

kemampuan bicara anak. Hal itu dilakukan dengan cara meminta anak

menjelaskan hasil gambar yang dibuatnya. Dengan demikian kemampuan

bicara anak dapat diketahui.

d. Perkembangan Emosi

Emosi merupakan perasaan atau afeksi yang melibatkan perpaduan

antara gejolak fisiologis dan gelaja perilaku yang terlihat (Mansur, 2005:

56). Perkembangan emosi memainkan peranan yang penting dalam

kehidupan terutama dalam hal penyesuaian pribadi dan sosial anak dengan

lingkungan. Adapun dampak perkembangan emosi adalah sebgaai berikut:

Page 24: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

1) emosi menambah rasa nikmat bagi pengalaman sehari-hari, 2) emosi

menyiapkan tubuh untuk melakukan tindakan, 3) emosi merupakan suatu

bentuk komunikasi, 4) emosi mengganggu aktifitas mental, dan 6) reaksi

emosi yang diulang-ulang akan menjadi kebiasaan (Soemantri, 2004: 142-

143).

Seiring dengan bertambahnya usia anak, berbagai ekspresi emosi

diekspresikan secara lebih terpola karena anak sudah dapat mempelajari

reaksi orang lain (Yudha M Saputra dan Rudyanto, 2005: 26). Reaksi

emosi yang timbul berubah lebih proporsional, seperti sikap tidak

menerima dengan cemberut dan sikap tidak patuh atau nakal. Yudha M

Saputra dan Rudyanto (2005: 145) menambahkan beberapa ciri-ciri emosi

pada anak antara lain: 1) emosi anak berlangsung singkat dan sementara,

2) terlihat lebih kuat dan hebat, 3) bersifat sementara, 4) sering terjadi

dan 5) dapat diketahui dengan jelas dari tingkah lakunya.

Menurut Ericson, anak usia TK berada pada tahap innititive vs guilt

yang sedang berkembang kearah industry vs inferiority (Slamet Suyanto,

2005: 72). Ismail menyatakan bahwa pada tahap ini anak mengalami

perkembangan yang positif dalam kreativitas, banyak ide, imajinasi,

bernani mencoba, berani mengambil resiko dan mudah bergaul (Harun,

2009: 120). Pada tahap ini anak dapat menunjukan sikap inisiatif, yaitu

mulai lepas dari ikatan orang tua, bergerak bebas dan mulai berinteraksi

dengan lingkungan. Mereka dituntut untuk mengembangkan perilaku yang

Page 25: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

diharapkan dalam lingkungan sosialnya, serta bertanggungjawab atas apa

yang dilakukanya. Hal ini ditunjang dengan perkembangan motorik dan

bahasanya yang sudah dapat menjelaskan dan mencoba apa yang dia

inginkan.

Menurut Caroll Seefelt dan Barbara A.Wasik (2008: 71-72), ada

beberapa karakteristik perkembangan sosial anak usia 5 tahun antara lain:

1) Dapat mengatur emosi dan mengungkapkan perasaan dengan cara

yang bisa diterima secara sosial.

2) Anak mampu memisahkan perasaan dengan tindakan mereka.

3) Mengahayati perilaku sosial yang pantas.

4) Kekerasan emosi dan ledakan fisik mulai berkurang karena anak

telah mampu mengungkapkan perasaan melalui kata-kata.

5) Dapat melucu atau membuat lelucon

Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa dengan

perkembangan motorik dan bahasanya, anak usia 5-6 tahun (TK kelompok

B) sudah mampu mengembangkan inisiatif untuk menjelaskan dan

mencoba apa yang dia inginkan. Anak mampu menunjukan reaksi emosi

dengan lebih proporsional, sehingga gambar karya anak dapat digunakan

untuk mengembangkan kemampuan bicara anak.

Page 26: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

C. Kerangka Berfikir

Page 27: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

DAFTAR PUSTAKA

Britto, P.R., & Rana, A.J. (2012). School Readiness: a conceptual framework. New

York: Unicef.

Febryanti, Wenny. 2014. Perbedaan Kesiapan Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK)

Antara Anak dari Orangtua Tunggal Dengan Orangtua Utuh. Jurnal Psikologi

Pendidikan dan Perkembangan. Vol (3). No (2). Fakultas Psikologi :

Universitas Airlangga Surabaya.

Gunarsa, S.D., & Gunarsa, Y.S.D. (2012). Psikologi untuk keluarga. Jakarta: Libri.

Janus, M. Offord, D (2000). Readiness to learn at school. ISUMA , 1(2), 71-75.

Janus, M., & Duku, E. (2007). The school entry gap: Socioeconomic, Family, and

health factors associated with children’s school readiness to learn. Early

Education And Development, 18(3), 375-403.

Lunenburg, Fred C. (2000). Early childhood education programs can make a

difference in academic, economic, and social arenas. ProQuest, 120, 3.

Mustamiroh, Nuryati. 2012. Studi Komparasi Kesiapan Anak Memasuki Sekolah

Dasar (SD) pada Anak-Anak yang Mengikuti Pendidikan Taman Kanak-Kanak

(TK) Program Full Day DItinjau dari Tingkat Pendidikan Orangtua. Skripsi.

Fakultas Psikologi : Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Purwati. 2014. Perkembangan Anak Usia DIni. Jurnal. Magelang : Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Magelang.

Rahmawati, Wulan Aprista. Kesiapan Sekolah Pada Anak Prasekolah Yang

Mendapatkan Metode Fun Learning Dan Metode Konvensional. Jurnal.

Semarang : Fakultas Psikologi Universitas Semarang.

Page 28: Latar Belakang Kesiapan Bersekolah

Sahin, Ikbal Tuba, Nuran Tuncer, Ramazan SAKb. A Comparison of Preschool and

First Grade Teacher Views about School Readiness. Educational Consultancy

and Research Centre.Vol.13(3). Page 1708-1713.

Sorin, Reesa. 2008. Readiness for School – Educator Perceptions and The Australian

Early Development Index. Journal of Australian Research in Early Childhood

Education. Vol.15: Iss.2. Page 65-74.

Sullistyaningsih, W. (2005). Kesiapan sekolah ditinjau dari jenis pendidikan pra

sekolah anak dan tingkat pendidikan orang tua. Psikologia, 1(1)

Wright, Cheryl, Marissa Diener dan Susan C.Kay. 2000. School Readiness of Low-

Income Chidren at Risk for School Failure. Journal of Children and Poverty.

Vol.6(2). Page 99-117.