LARINGOMALASIA SISKA revisi

23
LARINGOMALASIA PENDAHULUAN Laringomalasia pertama kali diperkenalkan oleh Jackson pada tahun 1942. Laringomalasia merupakan penyebab utama gejala stridor pada bayi.. Kelainan ini dapat hadir bersama dengan trakeomalasia. Pada laringotrakeomalasia biasanya struktur glotis dan subglotis normal. 1 Laringomalasia atau laring flaksid kongenital merupakan penyebab tersering dari kelainan laring kongenital, berupa stridor inspiratoris kronik pada anak. Keadaan ini merupakan akibat dari flaksiditas dan inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa aritenoid, plika ariepiglotik dan epiglotis. Biasanya, pasien dengan keadaan ini menunjukkan gejala pada saat baru dilahirkan, dan setelah beberapa minggu pertama kehidupan secara bertahap berkembang stridor inspiratoris dengan nada tinggi dan kadang kesulitan dalam pemberian makanan. 2 Berdasarkan beberapa laporan, sekitar 65-75% kelainan laring pada bayi baru lahir disebabkan oleh laringomalasia, 1

description

laringomalasia

Transcript of LARINGOMALASIA SISKA revisi

Page 1: LARINGOMALASIA SISKA revisi

LARINGOMALASIA

PENDAHULUAN

Laringomalasia pertama kali diperkenalkan oleh Jackson pada tahun 1942.

Laringomalasia merupakan penyebab utama gejala stridor pada bayi.. Kelainan ini dapat

hadir bersama dengan trakeomalasia. Pada laringotrakeomalasia biasanya struktur glotis dan

subglotis normal.1

Laringomalasia atau laring flaksid kongenital merupakan penyebab tersering dari

kelainan laring kongenital, berupa stridor inspiratoris kronik pada anak. Keadaan ini

merupakan akibat dari flaksiditas dan inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa

aritenoid, plika ariepiglotik dan epiglotis. Biasanya, pasien dengan keadaan ini menunjukkan

gejala pada saat baru dilahirkan, dan setelah beberapa minggu pertama kehidupan secara

bertahap berkembang stridor inspiratoris dengan nada tinggi dan kadang kesulitan dalam

pemberian makanan.2

Berdasarkan beberapa laporan, sekitar 65-75% kelainan laring pada bayi baru lahir

disebabkan oleh laringomalasia, dan masih mungkin dianggap sebagai fase normal

perkembangan laring, karena biasanya gejala akan menghilang setelah usia 2 tahun, namun

dapat bertahan sampai usia 4 tahun atau masa anak-anak1.

Laringomalasia merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri, yang mula-mula

terjadi segera setelah kelahiran, dan memberat pada bulan keenam, serta membaik pada umur

12-18 bulan. Terkadang kelainan kongenital ini dapat menjadi cukup berat sehingga

membutuhan penanganan bedah. Penyebab pasti laringomalasia masih belum diketahui.

Penegakan diagnosis didapatkan melalui pemeriksaan menggunakan endoskopi fleksibel

selama respirasi spontan.2

1

Page 2: LARINGOMALASIA SISKA revisi

Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa laringomalasia menempati urutan

kelainan kongenital tersering pada neonatus, bayi dan anak-anak. Oleh karena itu perlunya

kita mengetahui diagnosis dini dan penatalaksanaan mutakhir laringomalasia, sehingga dalam

makalah ini akan dibahas segala aspek penting mengenai laringomalasia.

2

Page 3: LARINGOMALASIA SISKA revisi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Laringomalasia adalah kelainan yang disebabkan oleh melemahnya struktur

supraglotis dan dinding trakea, sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran napas yang

menimbulkan gejala utama berupa stridor.2

Gambar Laringomalasia

EMBRIOLOGI

Laring, faring, trakea dan paru-paru merupakan derivat foregut embrional yang

terbentuk sekitar 18 hari setelah konsepsi. Tak lama sesudahnya, terbentuk alur faring median

yang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem pernapasan dan benih laring. Sulkus atau alur

laringotrakeal menjadi nyata pada sekitar hari ke-21 kehidupan embrio. Perluasan ke arah

kaudal merupakan primordial paru. Alur menjadi lebih dalam dan berbentuk kantung dan

kemudian menjadi dua lobus pada hari ke-27 atau ke-28. bagian yang paling proksimal dari

tuba yang membesar ini akan menjadi laring. Pembesaran aritenoid dan lamina epitelial dapat

3

Page 4: LARINGOMALASIA SISKA revisi

dikenali menjelang 33 hari, sedangkan kartilago, otot dan sebagian besar pita suara (plika

vokalis) terbentuk dalam tiga atau empat minggu berikutnya. Hanya kartilago epiglotis yang

tidak terbentuk hingga masa midfetal. Karena perkembangan laring berkaitan erat dengan

perkembangan arakus brankialis embrio, maka banyak struktur laring merupakan derivat dari

aparatus brankialis. Gangguan perkembangan dapat berakibat berbagai kelainan yang dapat

didiagnosis melalui pemeriksaan laring secara langsung.3

ANATOMI DAN FISIOLOGI

Laring merupakan struktur kompleks yang telah berevolusi yang menyatukan trakea

dan bronkus dengan faring sebagai jalur aerodigestif umum. Laring memiliki kegunaan

penting yaitu (1) ventilasi paru, (2) melindungi paru selama deglutisi melalui mekanisme

sfingteriknya, (3) pembersihan sekresi melalui batuk yang kuat, dan (4) produksi suara.

Secara umum, laring dibagi menjadi tiga: supraglotis, glotis dan subglotis. Supraglotis terdiri

dari epiglotis, plika ariepiglotis, kartilago aritenoid, plika vestibular (pita suara palsu) dan

ventrikel laringeal. Glotis terdiri dari pita suara atau plika vokalis. Daerah subglotik

memanjang dari permukaan bawah pita suara hingga kartilago krikoid. Ukuran, lokasi,

konfigurasi, dan konsistensi struktur laringeal, unik pada neonatus.4

4

Page 5: LARINGOMALASIA SISKA revisi

Laring dibentuk oleh kartilago, ligamentum, otot dan membrana mukosa. Terletak di

sebelah ventral faring, berhadapan dengan vertebra cervicalis 3-6. Berada di sebelah kaudal

dari os hyoideum dan lingua, berhubungan langsung dengan trakea. Di bagian ventral ditutupi

oleh kulit dan fasia, di kiri kanan linea mediana terdapat otot-otot infra hyoideus. Posisi

laring dipengaruhi oleh gerakan kepala, deglutisi, dan fonasi.5

Kartilago laring dibentuk oleh 3 buah kartilago yang tunggal, yaitu kartilago tireoidea,

krikoidea, dan epiglotika, serta 3 buah kartilago yang berpasangan, yaitu kartilago

aritenoidea, kartilago kornikulata, dan kuneiform. Selain itu, laring juga didukung oleh

jaringan elastik. Di sebelah superior pada kedua sisi laring terdapat membrana

kuadrangularis. Membrana ini membagi dinding antara laring dan sinus piriformis dan

dinding superiornya disebut plika ariepiglotika. Pasangan jaringan elastik lainnya adalah

konus elastikus (membrana krikovokalis). Jaringan ini lebih kuat dari pada membrana

kuadrangularis dan bergabung dengan ligamentum vokalis pada masing-masing sisi.3,5

Otot-otot yang menyusun laring terdiri dari otot-otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik.

Otot-otot ekstrinsik berfungsi menggerakkan laring, sedangkan otot-otot intrinsik berfungsi

membuka rima glotidis sehingga dapat dilalui oleh udara respirasi. Juga menutup rima

5

Page 6: LARINGOMALASIA SISKA revisi

glotidis dan vestibulum laringis, mencegah bolus makanan masuk ke dalam laring (trakea)

pada waktu menelan. Selain itu, juga mengatur ketegangan (tension) plika vokalis ketika

berbicara. Kedua fungsi yang pertama diatur oleh medula oblongata secara otomatis,

sedangkan yang terakhir oleh korteks serebri secara volunter.5

Rongga di dalam laring dibagi menjadi tiga yaitu, vestibulum laring, dibatasi oleh

aditus laringis dan rima vestibuli. Lalu ventrikulus laringis, yang dibatasi oleh rima vestibuli

dan rima glotidis. Di dalamnya berisi kelenjar mukosa yang membasahi plika vokalis. Yang

ketiga adalah kavum laringis yang berada di sebelah ckudal dari plika vokalis dan

melanjutkan diri menjadi kavum trakealis.5

Laring pada bayi normal terletak lebih tinggi pada leher dibandingkan orang dewasa.

Laring bayi juga lebih lunak, kurang kaku dan lebih dapat ditekan oleh tekanan jalan nafas.

Pada bayi laring terletak setinggi C2 hingga C4, sedangkan pada orang dewasa hingga C6.

Ukuran laring neonatus kira-kira 7 mm anteroposterior, dan membuka sekitar 4 mm ke arah

lateral.3

6

Page 7: LARINGOMALASIA SISKA revisi

Laring berfungsi dalam kegiatan Sfingter, fonasi, respirasi dan aktifitas refleks.

Sebagian besar otot-otot laring adalah adduktor, satu-satunya otot abduktor adalah m.

krikoaritenoideus posterior. Fungsi adduktor pada laring adalah untuk mencegah benda-benda

asing masuk ke dalam paru-paru melalui aditus laringis. Plika vestibularis berfungsi sebagai

katup untuk mencegah udara keluar dari paru-paru, sehingga dapat meningkatkan tekanan

intra thorakal yang dibutuhkan untuk batuk dan bersin. Plika vokalis berperan dalam

menghasilkan suara, dengan mengeluarkan suara secara tiba-tiba dari pulmo, dapat

menggetarkan (vibrasi) plika vokalis yang menghasilkan suara. Volume suara ditentukan oleh

jumlah udara yang menggetarkan plika vokalis, sedangkan kualitas suara ditentukan oleh

cavitas oris, lingua, palatum, otot-otot facial, dan kavitas nasi serta sinus paranasalis.5

EPIDEMIOLOGI

Frekuensi tidak diketahui secara pasti, namun laringomalasia marupakan penyebab

tersering timbulnya stridor inspiratoris pada bayi. Insidens laringomalasia sebagai penyebab

dari stridor inspiratoris berkisar antara 50%-75%. Tidak terdapat predileksi ras ataupun jenis

kelamin.6,7

ETIOLOGI

Kelainan kongenital laring pada laringomalasia kemungkinan merupakan akibat dari

kelainan genetik atau kelainan embriologik. Walaupun dapat terlihat pada saat kelahiran,

beberapa kelainan baru nampak secara klinis setelah beberapa bulan atau tahun. Dua teori

besar mengenai penyebab kelainan ini adalah bahwa kartilago imatur kekurangan struktur

kaku dari kartilago matur, sedangkan yang kedua mengajukan teori inervasi saraf imatur yang

menyebabkan hipotoni. Sindrom ini banyak terjadi pada golongan sosio ekonomi rendah,

sehingga kekurangan gizi mungkin merupakan salah satu faktor etiologinya.5

7

Page 8: LARINGOMALASIA SISKA revisi

PATOFISIOLOGI

Laringomalasia dapat terjadi di epiglotis, kartilago aritenoid, maupun pada keduanya.

Jika mengenai epiglotis, biasanya terjadi elongasi dan bagian dindingnya terlipat. Epiglotis

yang bersilangan membentuk omega, dan lesi ini dikenal sebagai epiglotis omega (omega-

shaped epiglottis). Jika mengenai kartilago aritenoid, tampak terjadi pembesaran. Pada kedua

kasus, kartilago tampak terkulai dan pada pemeriksaan endoskopi tampak terjadi prolaps di

atas laring selama inspirasi. Obstruksi inspiratoris ini menyebabkan stridor inspiratoris, yang

terdengar sebagai suara dengan nada yang tinggi.6

Secara umum terdapat dua teori patofisiologi laringomalasia yaitu teori anatomi dan

teori neuromuskuler. Menurut teori anatomi terdapat hipotesis bahwa terjadi abnormalitas

kelenturan tulang rawan dan sekitarnya yang menyebabkan kolapsnya struktur supraglotis.

Teori anatomi pertamakali disampaikan oleh Sutherland dan Lack 1897, setelah mempelajari

18 kasus obstruksi laring kongenital. Mereka menyimpulkan bahwa kelainan ini merupakan

kelainan kongenital disertai imaturitas jaringan pada bayi yang baru lahir.4

Pada kepustakaan lain disebutkan bahwa hal ini merupakan kelainan kongenital yang

bersifat otosomal dominan.5 Teori ini didukung oleh penemuan Prescott yang mempelajari

40 pasien dengan laringomalasia. Semuanya mempunyai plika ariepiglotika yang pendek dan

8

Page 9: LARINGOMALASIA SISKA revisi

sebanyak 68% mempunyai bentuk epiglotis infantil yang semuanya bermanifestasi berat dan

membutukan intervensi bedah. Dari penelitian Wilson pada 10 bayi dengan laringomalasia,

didapatkan bentuk laring infantil pada 2 bayi, 3 bayi dengan epiglotis yang melipat seperti

omega dan 5 sisanya memiliki epiglotis normal.6

Pada teori neuromuskuler dipercaya penyebab primer kelainan ini adalah

terlambatnya perkembangan kontrol neuromuskuler pada struktur supraglotis. Lebih banyak

peneliti yang lebih setuju dengan teori neuromuskuler dibanding dengan teori anatomi.

Thompson dan Turner melaporkan terjadinya prolaps struktur supraglotis setelah dilakukan

pemotongan saraf laring pada percobaan binatang. Penelitian ini didukung dengan beberapa

laporan tentang pasien yang menderita laringomalasia setelah mengalami luka neurologi.

Peron dkk melaporkan 7 pasien mengalami flasiditas plika ariepiglotika setelah mengalami

kerusakan otak berat. Keadaan ini digolongkan sebagai “laringomalasia didapat”. Dua dari

7 pasien ini mengalami perbaikan keadaan neurologi yang diikuti dengan kembali normalnya

fungsi laring. Dilaporkan pula terjadinya laringomalasia pada pada pasien yang mengalami

cerebral palsy, overdosis obat, meningitis, stroke, retardasi mental dan trisomi 21.7

Penyakit refluks gastroesofageal (PRGE) juga dicurigai sebagai penyebab

laringomalasia. Bibi dkk,5 menemukan PRGE pada 7 dari 11 (63%) bayi dengan

laringomalasia, dan 14 dari 16 bayi dengan laringotrakeomalasia. Sedangkan pada

kepustakaan lain disebutkan PGRE ditemukan pada 35-68% bayi dengan laringomalasia dan

dianggap berperan menyebabkan edema di supraglotis sehingga terjadi peningkatan

hambatan saluran nafas yang cukup mampu menimbulkan obstruksi nafas. Namun dapat

pula terjadi sebaliknya dimana laringomalasia menyebabkan PGRE akibat perubahan gradien

tekanan intraabdominal/intratorakal.6,7

Bayi dengan laringomalasia memiliki insidens untuk terkena refluks

gastroesophageal, diperkirakan sebagai akibat dari tekanan intratorakal yang lebih negatif

9

Page 10: LARINGOMALASIA SISKA revisi

yang dibutuhkan untuk mengatasi obstruksi inspiratoris. Dengan demikian, anak-anak dengan

masalah refluks seperti ini dapat memiliki perubahan patologis yang sama dengan

laringomalasia, terutama pada pembesaran dan pembengkakan dari kartilago aritenoid.6

Meskipun laringomalasia merupakan penyebab utama stridor dan obstruksi napas

pada bayi, namun laringomalasia dapat pula bermanifestasi akibat yang lain, seperti pada

atlet yang biasa melakukan inspirasi paksa yang terlampau kuat sehingga menarik plika

ariepliglotika ke endolaring dan terjadi obstruksi nafas. Keadaan ini disebut dengan

laringomalasia akibat latihan fisik (exercise induced laringomalacia/ EIL), yang dapat terjadi

baik pada anak-anak atau dewasa dan sering terjadi kesalahan diagnosis dan dianggap asma,

keadaan tidak sehat atau abnormalitas fungsi. EIL merupakan sindrom dimana terjadi sesak

nafas yang berat, stridor dan mengi minimal selama latihan fisik yang berlebihan yang tidak

berespons dengan pengobatan β-agonis dan kromolin sodium, namun gejala dapat berkurang

bila latihan fisik dikurangi5.

Laringomalasia akibat latihan fisik (exercise induced laringomalasia/EIL) dapat

terjadi di epiglotis, kartilago aritenoid, maupun pada keduanya. Jika mengenai epiglotis,

biasanya terjadi elongasi dan bagian dindingnya terlipat. Epiglotis yang bersilangan

membentuk omega, dan lesi ini dikenal sebagai epiglotis omega (omega-shaped epiglottis).

Jika mengenai kartilago aritenoid, tampak terjadi pembesaran. Pada kedua kasus, kartilago

tampak terkulai dan pada pemeriksaan endoskopi tampak terjadi prolaps di atas laring selama

inspirasi. Obstruksi inspiratoris ini menyebabkan stridor inspiratoris, yang terdengar sebagai

suara dengan nada yang tinggi.6

Matriks tulang rawan terdiri atas dua fase, yaitu fase cair dan fase padat dari jaringan

fibrosa dan proteoglikan yang dibentuk dari rangkaian mukopolisakarida. Penelitian terhadap

perkembangan tulang rawan laring menunjukkan perubahan yang konsisten pada isi

proteoglikan dengan pematangan. Tulang rawan neonatus terdiri dari kondroitin-4-sulfat

10

Page 11: LARINGOMALASIA SISKA revisi

dengan sedikit kondroitin-6-sulfat dan hampir tanpa keratin sulfat. Tulang rawan orang

dewasa sebagian besar terdiri dari keratin sulfat dan kondroitin-6-sulfat. Dengan

bertambahnya pematangan, matriks tulang rawan bertambah, akan menjadi kurang air, lebih

fibrosis dan kaku. Bentuk omega dari epiglotis yang berlebihan, plika ariepiglotik yang besar,

dan perlunakan jaringan yang hebat mungkin ada dalam berbagai tahap pada masing-masing

kasus.4

Supraglotis yang terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis dan kartilago aritenoid

ditemukan mengalami prolaps ke dalam jalan napas selama inspirasi. Laringomalasia

umumnya dikategorikan ke dalam tiga tipe besar berdasarkan bagian anatomis supraglotis

yang mengalami prolaps walaupun kombinasi apapun dapat terjadi. Tipe pertama melibatkan

prolapsnya epiglotis di atas glotis. Yang kedua melipatnya tepi lateral epiglotis di atas dirinya

sendiri, dan yang ketiga prolapsnya mukosa aritenoid yang berlebihan ke dalam jalan napas

selama periode inspirasi.7

GAMBARAN KLINIS

Tiga gejala yang terjadi pada berbagai tingkat dan kombinasi pada anak dengan

kelainan laring kongenital adalah obstruksi jalan napas, tangis abnormal yang dapat berupa

tangis tanpa suara (muffle) atau disertai stridor inspiratoris serta kesulitan menelan yang

merupakan akibat dari anomali laring yang dapat menekan esofagus7.

Bayi dengan laringomalasia biasanya tidak memiliki kelainan pernapasan pada saat

baru dilahirkan. Stridor inspiratoris biasanya baru tampak beberapa hari atau minggu dan

awalnya ringan, tapi semakin lama menjadi lebih jelas dan mencapai puncaknya pada usia 6 –

9 bulan. Perbaikan spontan kemudian terjadi dan gejala-gejala biasanya hilang sepenuhnya

pada usia 18 bulan atau dua tahun, walaupun dilaporkan adanya kasus yang persisten di atas

11

Page 12: LARINGOMALASIA SISKA revisi

lima tahun. Stridor tidak terus-menerus ada; namun lebih bersifat intermiten dan memiliki

intensitas yang bervariasi.7

Umumnya, gejala menjadi lebih berat pada saat tidur dan beberapa variasi posisi

dapat terjadi; stridor lebih keras pada saat pasien dalam posisi supinasi dan berkurang pada

saat dalam posisi pronasi. Baik proses menelan maupun aktivitas fisik dapat memperkeras

stridor.7

DIAGNOSIS

Dari anamnesis dapat kita temukan6

1. Riwayat stridor inspiratoris diketahui mulai 2 bulan awal kehidupan. Suara biasa

muncul pada minggu 4-6 awal.

2. Stridor berupa tipe inspiratoris dan terdengar seperti kongesti nasal, yang biasanya

membingungkan. Namun demikian stridornya persisten dan tidak terdapat sekret

nasal.

3. Stridor bertambah jika bayi dalam posisi terlentang, ketika menangis, ketika terjadi

infeksi saluran nafas bagian atas, dan pada beberapa kasus, selama dan setelah makan.

4. Tangisan bayi biasanya normal

5. Biasanya tidak terdapat intoleransi ketika diberi makanan, namun bayi kadang

tersedak atau batuk ketika diberi makan jika ada refluks pada bayi.

6. Bayi gembira dan tidak menderita.

Pada pemeriksaan fisis ditemukan6

1. Pada pemeriksaan bayi terlihat gembira dan berinteraksi secara wajar.

2. Dapat terlihat takipneu ringan

3. Tanda-tanda vital normal, saturasi oksigen juga normal

4. Biasanya terdengar aliran udara nasal, suara ini meningkat jika posisi bayi terlentang

12

Page 13: LARINGOMALASIA SISKA revisi

5. Tangisan bayi biasanya normal, penting untuk mendengar tangisan bayi selama

pemeriksaan

6. Stridor murni berupa inspiratoris. Suara terdengar lebih jelas di sekitar angulus

sternalis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan laring dengan menggunakan serat

fiber fleksibel selama periode pernapasan spontan. Penemuan endoskopik yang paling sering

adalah kolapsnya plika ariepiglotik dan kartilago kuneiform ke sebelah dalam. Laringoskopi

langsung merupakan cara yang terbaik untuk memastikan diagnosis. Bilah laringoskop

dimasukkan ke valekula dengan tekanan yang minimal pada epiglotis untuk menegakkan

diagnosis. Pada inspirasi, struktur sekitar vestibulum, terutama plika ariepiglotik, epiglotis,

dan kartilago aritenoid akan tampak turun ke saluran nafas, disertai stridor yang sinkron.

Visualisasi langsung memperlihatkan epiglotis berbentuk omega selama inspirasi. 6

DIAGNOSIS BANDING

Laringomalasia didiagnosis banding dengan penyebab stridor inspiratoris lain pada

anak-anak. Antara lain yaitu, hemangioma supraglotik, massa atau adanya jaringan

intraluminal seperti laryngeal web dan kista laring, kelainan akibat trauma seperti edema dan

stenosis supraglotik, maupun kelainan pada pita suara.7

PENATALAKSANAAN

Pada lebih dari 99% kasus,pasien dapat sembuh tanpa tindakan apa-apa. Lesi sembuh

secara berkala, dan stridor rata-rata hilang setelah dua tahun. Stridor mulanya meningkat pada

6 bulan pertama, seiring bertambahnya aliran udara pernafasan bersama dengan

bertambahnya umur. Pada beberapa kasus, stridor dapat menetap hingga dewasa. Dalam hal

ini, stridor baru muncul setelah beraktifitas berat atau terkena infeksi. Jika bayi mengeluarkan

13

Page 14: LARINGOMALASIA SISKA revisi

stridor yang lebih keras dan mengganggu tidur, hal ini dapat diatasi dengan menghindari

tempat tidur, bantal atau selimut yang terlalu lembut, sehingga akan memperbaiki posisi bayi

sehingga dapat mengurangi bunyi. Jika terjadi hipoksemia berat pada bayi (ditandai dengan

saturasi oksigen <90%) maka sebaiknya diberikan tambahan oksigen. Tidak ada obat-obatan

yang dibutuhkan untuk kelainan ini6.

Sebagian besar anak dengan kelainan ini dapat ditangani secara konservatif. Jarang

terjadi dimana seorang anak memiliki kelainan yang signifikan sehingga memerlukan

operasi. Trakeotomi merupakan prosedur pilihan untuk laringomalasia berat. Supraglotoplasti

dapat dilakukan pada kasus-kasus yang lebih ringan7.

Berdasarkan klasifikasi Olney terdapat tiga teknik supraglotoplasti yang dapat

dilakukan. Teknik yang dipilih tergantung pada kelainan laringomalasianya. Pada tipe 1,

dimana terjadi prolaps mukosa aritenoid pada kartilago aritenoid yang tumpang tindih,

dilakukan eksisi jaringan mukosa yang berlebihan pada bagian posterolateral dengan

menggunakan pisau bedah atau dengan laser CO2. Laringomalasia tipe 2 dikoreksi dengan

cara memotong plika ariepiglotika yang pendek yang menyebabkan mendekatnya struktur

anterior dan posterior supraglotis. Laringomalasia tipe 3 ditangani dengan cara eksisi

melewati ligament glosoepiglotika untuk menarik epiglottis ke depan dan menjahitkan

sebagian dari epiglottis ke dasar lidah4

PROGNOSIS

Prognosis laringomalasia umumnya baik. Biasanya bersifat jinak, dan dapat sembuh

sendiri, dan tidak berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Pada sebagian besar pasien,

gejala menghilang pada usia dua tahun, sebagian lain pada usia satu tahun. Pada beberapa

kasus, walaupun tanda dan gejala menghilang, kelainan tetap ada. Pada keadaan seperti ini,

biasanya stridor akan muncul saat beraktifitas ketika dewasa. 6

14

Page 15: LARINGOMALASIA SISKA revisi

DAFTAR PUSTAKA

1. Vicencio AG, Parikh S, Adam HM. Laryngomalacia and tracheomalacia: common

dynamic airway lessions. Pediatr Rev. 2006.p. 33-5

2. Krashin E, Springer C, Avital A. Synchronous airway lesions in laryngomalacia. Int J

Pediatri Otorhinolaryngol. 2008.p.501-7

3. Olney DR, Greinwald JH, Smith RJ. Laryngomalacia and its treatment. Laryngoscope

1999.p.1770-5

4. Bibi H, Khvolis E, Shoseyvov D. The prevalence of gastroesophageal reflux in

children with tracheomalacia and laryngomalacia. Chest. 2001.p. 409-13

5. Huntley C, Carr MM. Evaluation of effectiveness of airway fluoroscopy in diagnosing

patients with laryngomalacia. Laryngoscope. 2010. P. 1430-3.

6. Herman B, Kartosoediro S. Disfonia. Dalam: Iskandar N, Soepardi EA (editor). Buku

ajar ilmu kesehatn telinga tenggorok kepala & leher. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit

FK UI. 2007: p. 231-236

7. Sasaki CT, Kim YH. Anatomy and physiologi of the larynx. In: Ballenger JJ, Snow

JB, editors. Otorhinolaryngologi head and neck surgery. Ontario: BC Decker Inc;

2003. p.1090-95

15