LARANGAN MERGER DALAM UNDANG-UNDANG ANTI · PDF fileterjadinya pasar yang monopolistik atau...

11
1 LARANGAN MERGER DALAM UNDANG-UNDANG ANTI MONOPOLI (Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah ”Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang, ISSN: 0854-7254, Vol. VII No. 13, Pebruari 2001, h.79-89) Abdul Rokhim 1 ABSTRAK Merger merupakan salah satu instrumen atau kebijakan ekonomi perusahaan yang lazim digunakan oleh para pelaku usaha untuk meningkatkan bisnisnya, terutama dalam menghadapi persaingan usaha yang semakin kompetitif. Tindakan merger, di samping membawa kebaikan (khususnya bagi pelaku usaha yang bergabung), juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi pasar, yakni terjadinya konsentrasi pasar yang monopolistik dan anti-kompetisi. Karena itu, untuk menangani praktek merger yang dilarang oleh undang-undang diperlukan penelitian yang seksama, tidak cukup kalau dilakukan penerapan berdasarkan pada peraturan perundangan semata-mata. Kata kunci: Merger; Anti-Monopoli 1. Pendahuluan Pembangunan ekonomi Indonesia pada Jangka Panjang Pertama meski diakui telah menghasilkan banyak kemajuan, khususnya menyangkut pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Namun, banyak pula tantangan atau persoalan ekonomi yang belum terpecahkan, seiring dengan adanya globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990-an. Peluang-peluang usaha yang tercipta selama lebih dari tiga dasawarsa yang lalu dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Perkembangan usaha swasta selama periode tersebut, di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan pemerintah yang kurang tepat sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat. Ironisnya, fenomena di atas telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan (kolusi) antara pengambil keputusan (pemerintah) dengan para pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga lebih memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu kepada amanat Pasal 33 UUD 1945 serta cenderung menunjukkan corak yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang dekat elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak kepada kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan 1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Transcript of LARANGAN MERGER DALAM UNDANG-UNDANG ANTI · PDF fileterjadinya pasar yang monopolistik atau...

Page 1: LARANGAN MERGER DALAM UNDANG-UNDANG ANTI · PDF fileterjadinya pasar yang monopolistik atau anti persaingan yang sehat. Karena ... bahwa merger mengakibatkan terhambatnya persaingan

1

LARANGAN MERGER

DALAM UNDANG-UNDANG ANTI MONOPOLI

(Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah ”Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang,

ISSN: 0854-7254, Vol. VII No. 13, Pebruari 2001, h.79-89)

Abdul Rokhim1

ABSTRAK

Merger merupakan salah satu instrumen atau kebijakan ekonomi perusahaan

yang lazim digunakan oleh para pelaku usaha untuk meningkatkan bisnisnya, terutama

dalam menghadapi persaingan usaha yang semakin kompetitif. Tindakan merger, di

samping membawa kebaikan (khususnya bagi pelaku usaha yang bergabung), juga dapat

menimbulkan dampak negatif bagi pasar, yakni terjadinya konsentrasi pasar yang

monopolistik dan anti-kompetisi. Karena itu, untuk menangani praktek merger yang

dilarang oleh undang-undang diperlukan penelitian yang seksama, tidak cukup kalau

dilakukan penerapan berdasarkan pada peraturan perundangan semata-mata.

Kata kunci: Merger; Anti-Monopoli

1. Pendahuluan

Pembangunan ekonomi Indonesia pada Jangka Panjang Pertama meski diakui

telah menghasilkan banyak kemajuan, khususnya menyangkut pertumbuhan ekonomi

yang relatif tinggi. Namun, banyak pula tantangan atau persoalan ekonomi yang belum

terpecahkan, seiring dengan adanya globalisasi perekonomian serta dinamika dan

perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990-an.

Peluang-peluang usaha yang tercipta selama lebih dari tiga dasawarsa yang lalu

dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat berpartisipasi

dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Perkembangan usaha swasta selama

periode tersebut, di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan pemerintah yang

kurang tepat sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, perkembangan usaha swasta

dalam kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha

yang tidak sehat.

Ironisnya, fenomena di atas telah berkembang dan didukung oleh adanya

hubungan (kolusi) antara pengambil keputusan (pemerintah) dengan para pelaku usaha

baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga lebih memperburuk keadaan.

Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu kepada amanat Pasal 33 UUD 1945

serta cenderung menunjukkan corak yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang

dekat elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan sehingga

berdampak kepada kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil

pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan

1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Page 2: LARANGAN MERGER DALAM UNDANG-UNDANG ANTI · PDF fileterjadinya pasar yang monopolistik atau anti persaingan yang sehat. Karena ... bahwa merger mengakibatkan terhambatnya persaingan

2

salah satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi Indonesia menjadi sangat rapuh

dan tidak mampu bersaing secara sehat.

Mencermati situasi ekonomi yang demikian itu, maka menuntut kita untuk menata

kembali kegiatan usaha di Indonesia agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang

secara sehat dan benar sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta

terhindar dari pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu.

Pemusatan ekonomi itu bisa terjadi melalui mekanisme merger, konsolidasi, dan akuisisi.

Untuk membatasi persoalan yang ada, tulisan ini hanya menfokuskan pada tindakan

merger, yang dalam peraturan perundangan kita disebut dengan istilah “penggabungan”

usaha.

Persolannya adalah tindakan merger itu hanyalah merupakan tindakan ekonomi

perusahaan, yang di samping mengakibatkan pengaruh positif bagi perusahaan-

perusahaan yang bergabung namun hal itu juga memberikan dampak negatif akan

terjadinya pasar yang monopolistik atau anti persaingan yang sehat. Karena itu, yang

perlu diperdebatkan atau dipermasalahkan dalam tulisan ini adalah tindakan merger yang

bagaimana yang secara hukum dipandang sebagai tindakan yang dilarang untuk

dilakukan? Dengan perkataan lain, tindakan merger, konsolidasi, atau akuisisi yang

bagaimana yang mengarah atau dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat serta bertentangan dengan cita-

cita keadilan sosial.

2. Perbedaan Merger dengan Konsolidasi dan Akuisisi

Istilah “merger”, “konsolidasi” dan “akuisisi” lebih sering digunakan dalam

tataran akademis. Sedangkan dalam tataran normatif, menurut peraturan perundang-

undangan kita digunakan istilah “penggabungan” untuk menggantikan istilah “merger”,

“peleburan” untuk menggantikan istilah konsolidasi, dan “pengambilalihan” untuk

menggantikan istilah “akuisisi”. Hal ini antara lain dapat dilihat dalam Bab VII Pasal 102-

109 UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) maupun dalam Pasal 28

dan 29 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat (yang dalam tulisan ini disingkat UU Anti-Monopoli).

Dalam pasal-pasal UUPT itu sama sekali tidak menjelaskan apa yang dimaksud

dengan “penggabungan”, “peleburan”, dan “pengambilalihan” itu. UUPT hanya mengatur

tentang tata cara atau mekanisme terjadinya tindakan-tindakan penggabungan, peleburan,

dan pengmbilalihan. Hal ini mungkin disebabkan oleh “janji” Pasal 109 UUPT yang akan

mengatur lebih lanjut mengenai hal itu dalam Peraturan Pemerintah (PP). PP yang

dimaksud tidak lain adalah PP No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan,

dan Penggambilalihan PT.

Menurut Pasal 1 angka 1 PP No. 27 Tahun 1998, penggabungan adalah perbuatan

hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan

perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri

menjadi bubar. Dalam literatur, penggabungan perseroan ini lazim disebut dengan istilah

“merger” yang berarti: “the absorption of one company by another; the former lossing its

legal identity, and the later retaining its own name and identity and acquaring assets,

liabilities, franchises, and powers of former, . . .” (Black, 1990: 988). Dengan demikian,

penggabungan (merger) mengakibatkan hilangnya status badan hukum perseroan yang

Page 3: LARANGAN MERGER DALAM UNDANG-UNDANG ANTI · PDF fileterjadinya pasar yang monopolistik atau anti persaingan yang sehat. Karena ... bahwa merger mengakibatkan terhambatnya persaingan

3

bergabung, sedangkan perseroan yang lain tetap mempertahankan statusnya dengan

mendapatkan segala aset, kekuasaan, dan tanggung jawab perseroan yang bergabung itu.

Lebih lanjut, peleburan (konsolidasi) adalah perbuatan hukum yang dilakukan

oleh dua perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara membentuk satu

perseroan baru dan masing-masing perseroan yang meleburkan diri menjadi bubar (Pasal

1 angka 2 PP No. 27 Tahun 1998). Secara teoritis, perbedaan pokok antara “merger” dan

“konsolidasi” adalah pada merger ada satu perseroan yang eksistensinya tetap ada

(dipertahankan), sedang perseroan lainnya lenyap menggabungkan diri dalam perseroan

yang tetap dipertahankan itu. Sedang, pada konsolidasi semua perseroan yang pernah ada

menjadi bubar dan meleburkan diri menjadi satu perseroan yang baru (Prasetya, 1996:

58).

Tentang pengambilalihan (akuisisi), menurut Pasal 1 angka 3 PP No. 27 Tahun

1998, adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau perseorangan

untuk mengambilalih, baik seluruh ataupun sebagian besar saham perseroan, yang

mengakibatkan beralihkan pengendalian terhadap perseroan tersebut. Jadi, akuisisi adalah

tindakan pengambilalihan (take over) suatu perusahaan oleh perusahaan atau orang lain

melalui pengambilan saham (Muhammad, 1995: 233). Meskipun ada pengambilalihan

saham oleh perusahaan yang satu terhadap perusahaan yang lain, namun eksistensi kedua

perusahaan itu tetap ada. Karena, dalam akuisisi tidak ada satupun perusahaan yang

bubar, yang terjadi adalah beralihnya pengendalian (controlling) perusahaan dalam satu

kesatuan manajemen.

3. Jenis Merger

Jika merger dapat dibagi ke dalam tiga jenis, maka kategorisasi ini juga berlaku

bagi konsolidasi dan akuisisi. Berikut ini secara singkat dijelaskan tentang tiga jenis

merger, yaitu:

(1) Merger Horisontal

Merger horisontal merupakan penggabungan usaha antara perusahaan yang menjual

barang dan/atau jasa dan berada pada level perdagangan yang sama. Merger horisontal

ini merupakan penggabungan usaha yang sangat berpotensi untuk menghambat

persaingan karena dengan penggabungan ini dua pesaing bergabung menjadi satu

perusahaan yang lebih kuat. Sehingga peluang akan terjadinya praktek monopoli

semakin besar (Sitompul, 1999:70).

Dalam merger horisontal ini, perusahaan yang merger tersebut menjual produk yang

sama, sehingga persaingan antara perusahaan-perusahaan tersebut dapat ditiadakan

dan pangsa pasar yang dikuasai tentu akan menjadi lebih besar. Karena itulah merger

horisontal ini sangat “diwanti-wanti” oleh hukum anti monopoli. Meskipun diakui

bahwa banyak pula efek positif dari adanya merger horisontal, yakni terbentuknya

suatu sinergi antara perusahaan-perusahaan yang melakukan merger tersebut,

terutama berkaitan dengan efisiensi produk. Untuk mengetahui apakah suatu merger

horisontal itu melanggar prinsip anti monopoli atau persaingan sehat, hukum harus

memper-timbangkan benar-benar faktor-faktor berikut:

a) bagaimana konsentrasi pasar setelah dilakukannya merger (post merger

concentration); dan

b) peningkatan konsentrasi pasar akibat merger (Fuady, 1999:93-94).

Page 4: LARANGAN MERGER DALAM UNDANG-UNDANG ANTI · PDF fileterjadinya pasar yang monopolistik atau anti persaingan yang sehat. Karena ... bahwa merger mengakibatkan terhambatnya persaingan

4

(2) Merger Vertikal

Merger vertikal adalah penggabungan usaha yang terjadi di antara perusahaan yang

bergerak di bidang usaha yang sama, namun dengan level perdagangan yang berbeda,

misalnya penggabungan importir mobil dengan dealer mobil. Penggabungan seperti

ini sering dilakukan untuk menjamin ketersediaan pasokan atas suatu barang tertentu,

atau untuk menjamin penjualan barang. Merger vertikal ini lebih sulit untuk

diidentifikasi, karena jumlah pesaing yang ada di masing-masing level perdagangan

akan tetap, padahal merger vertikal ini cukup besar kemungkinannya mengakibatkan

hambatan bagi persaingan di antara para pelaku usaha baik di level dealer maupun

pengecer. Merger vertikal dapat dilakukan oleh suatu perusahaan dengan pembelian

perusahaan yang merupakan konsumennya (forward vertical merger), dan dapat pula

dengan perusahaan yang merupakan “supplier-nya” (backward vertical merger).

Menurut Ernest Gellhorn, dalam menentukan apakah suatu merger yang dilakukan

para pelaku usaha melanggar undang-undang anti monopoli, pengadilan di Amerika

Serikat mempertimbangkan dua hal, yaitu:

a) bahwa merger tersebut membawa dampak yang cukup besar bagi pasar;

b) bahwa merger mengakibatkan terhambatnya persaingan pada sektor pasar yang

cukup besar (Sitompul, 1999: 71).

(3) Merger Konglomerat

Merger konglomerat adalah jenis penggabungan usaha yang relatif kecil

kemungkinannya untuk menjadi ancaman bagi persaingan usaha tidak sehat, karena

penggabungan usaha ini tidak membentuk gabungan beberapa usaha menjadi satu

usaha dan tidak pula selalu menghambat atau membatasi pasar tertentu. Merger

konglomerat ini dapat terjadi dimana masing-masing perusahaan yang merger

sebelumnya tidak mempunyai hubungan bisnis, jadi bulan supplier maupun

konsumen. Merger ini biasanya dilakukan untuk meningkatkan efisiensi melalui

penciptaan skala ekonomi, kontrak kerjasama operasi, maupun perluasan cakupan

ekonomi dan finansial (Fuady, 1999: 95).

4. Akibat Merger

Merger sebagai salah satu instrumen ekonomi bagi perusahaan dalam

meningkatkan bisnisnya, di samping dapat membawa dampak positif juga negatif.

Sungguhpun sulit diukur secara pasti tentang efek dari merger, namun secara umum dapat

dikatakan bahwa salah efek positif dari merger horisontal adalah terbentuknya suatu

sinergi antara perusahaan-perusahaan yang melakukan merger tersebut, sehingga dapat

menghasilkan suatu produk (barang atau jasa) yang lebih efisien atau lebih murah. Sedang

salah satu efek negatif dari merger horisontal adalah dapat menciptakan konsentrasi pada

pasar tertentu, sehingga kemungkinan terjadinya praktek monopoli semakin besar.

Dalam hal ini, merger harus dibedakan dengan kartel. Pada merger, perusahaan-

perusahaan yang bersaing itu bergabung menjadi satu perusahaan, sehingga kemampuan

untuk menentukan harga tidak tergantung kepada perusahaan-perusahaan lain, melainkan

ditentukan oleh dirinya sendiri yang sudah menjadi satu perusahaan yang memiliki

kedudukan monopolistik. Sedangkan pada kartel, kemampuan untuk menetapkan

Page 5: LARANGAN MERGER DALAM UNDANG-UNDANG ANTI · PDF fileterjadinya pasar yang monopolistik atau anti persaingan yang sehat. Karena ... bahwa merger mengakibatkan terhambatnya persaingan

5

kesatuan harga itu diperoleh atas dasar kesepakatan di antara beberapa perusahaan yang

saling bersaing di pasar yang oligopolistik. Dengan demikian, upaya untuk dapat

melakukan price fixing policy lebih dahsyat melalui mekanisme merger daripada melalui

perjanjian penetapan harga (price fixing agreement) dengan membentuk kartel

(Sjahdeini, 2000: 17) yang dilarang oleh UU Anti Monopoli.

Berbeda dengan merger horisontal yang memungkinkan adanya kompetitor yang

hilang karena melakukan merger ke dalam perusahaan lain. Dalam merger vertikal tidak

membawa pengaruh secara langsung kepada persaingan pasar, karena penggabungan yang

terjadi pada merger ini adalah perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang sama,

namun dengan level perdagangan yang berbeda. Efek positif yang paling penting dalam

merger vertikal adalah peningkatan efiensi, baik dalam hal penggunaan teknologi maupun

dalam hal pendistribusian suatu produk. Di samping itu, penggabungan seperti ini juga

sering dilakukan untuk menjamin ketersediaan pasokan atas suatu barang tertentu.

Sebaliknya, salah satu yang sangat ditakutkan dengan adanya merger vertikal adalah

terjadinya pengekangan terhadap masuknya pihak pesaing ke pasar yang bersangkutan

(entry barrier). Dengan demikian, memang ada kemungkinan bahwa merger vertikal ini

akan mengurangi atau membatasi kompetisi pasar secara substansial atau kecenderungan

menimbulkan monopoli pasar.

Selanjutnya, efek positif dari merger konglomerat antara lain adalah sebagai

berikut:

a) dapat meningkatkan efisiensi melalui penciptaan skala ekonomi, kontrak kerjasama

operasi, dan perluasan cakupan ekonomi dan finansial;

b) memungkinkan terjadinya optimalisasi pergerakan penggunaan aset perusahaan;

c) dapat menggantikan atau mendisplinkan manajemen yang tidak efektif;

d) dapat menyediakan akses yang lebih baik terhadap servis dan sumber daya.

Sebaliknya, merger konglomerat juga memiliki dampak negatif (kelemahan)

antara lain, yaitu:

a) dapat meningkatkan konsentrasi pasar;

b) memaksakan manajemen untuk mengoperasikan perusahaan hanya untuk mencapai

tujuan-tujuan jangka pendek;

c) dapat menyebabkan mislokasi sumber finansial dari lembaga pemberi pinjaman,

dengan menunjukkan kesan seolah-olah merupakan investasi yang produktif;

d) dapat merusak moral dari manajemen dan staf;

e) diperkenankannya tingkat leverage yang tinggi sehingga debt equity ratio (rasio

kecukupan modal) menjadi tidak dapat ditoleransi (Fuady, 1999: 96).

Berdasarkan uraian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa tindakan merger itu

tidak selalu berakibat negatif, baik bagi pelaku usaha maupun konsumen. Karena baik

menurut UUPT maupun UU Anti Monopoli, tindakan merger itu boleh dilakukan

sepanjang hal itu tidak mengakibatkan terjadinya konsentrasi pasar dan praktek monopoli

yang merugikan masyarakat (konsumen). Yang menjadi masalah adalah sulitnya

membuat ukuran yang tegas dan pasti tentang terjadinya akibat negatif dari merger

tersebut. Karena itu peraturan perundangan harus membuat aturan atau pedoman yang

jelas mengenai hal ini, supaya ada kepastian hukum dalam menegakkan UU Anti

Monopoli ini.

Page 6: LARANGAN MERGER DALAM UNDANG-UNDANG ANTI · PDF fileterjadinya pasar yang monopolistik atau anti persaingan yang sehat. Karena ... bahwa merger mengakibatkan terhambatnya persaingan

6

5. Merger yang Dilarang

Pasal 28 ayat (1) UU Anti Monopoli menentukan bahwa pelaku usaha dilarang

melakukan penggabungan (baca: merger) atau peleburan badan usaha yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Selanjutnya, dalam ayat (3)-nya ditentukan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai

penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang akan diatur dalam Peraturan

Pemerintah (PP).

Berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) tersebut, menunjukkan bahwa yang

merger yang dilarang oleh undang-undang tersebut hanyalah apabila perbuatan tersebut

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Jadi,

secara a contrario apabila merger itu tidak sampai menimbulkan akibat yang demikian,

maka perbuatan tersebut diperbolehkan. Permasalahan yang muncul berkenaan dengan

rumusan pasal ini adalah apakah pelanggaran terhadap merger menurut undang-undang

ini merupakan delik formil atau delik materiil? Menurut pemahaman saya, pelanggaran

terhadap larangan merger menurut UU Anti Monopoli hanyalah terjadi manakala akibat

dari merger itu terbukti menimbulkan atau mengakibatkan monopoli pasar atau

persaingan usaha tidak sehat (delik materiil), bukan melihat cara atau bentuk merger itu

dilakukan (delik formil). Karena itu harus ada parameter yang jelas tentang akibat dari

suatu merger yang dilarang oleh undang-undang. Yang menjadi masalah sekarang adalah

belum adanya ketentuan yang mengatur lebih lanjut, dalam hal ini PP, yang mengatur

tentang merger yang dilarang oleh undang-undang ini. Padahal, sejak 5 Maret 2000 yang

lalu secara formal undang-undang ini berlaku sebagaimana yang diamanatkan oleh

ketentuan Pasal 53 UU Anti Monopoli. Dengan demikian, selama PP ini belum

diundangkan maka larangan merger belum bisa atau sulit diterapkan meskipun ada bukti-

bukti yang mengindikasikan telah terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha

tidak sehat.

Yang perlu ditegaskan adalah bahwa monopoli itu sendiri sebenarnya bukan

merupakan suatu perbuatan yang secara otomatis jahat atau terlarang. Apabila monopoli

itu diperoleh dengan mempertahankan posisi pasarnya melalui kemampuan, prediksi, atau

kejelian bisnis yang tinggi, menurut Chatamarrasjid (1999: 77), selayaknya undang-

undang tidak melarangnya. Suatu perusahaan tumbuh secara cepat dengan menawarkan

suatu kombinasi antara kualitas dan harga yang dikehendaki oleh konsumen, dapatlah

dikatakan bahwa perbuatan perusahaan itu telah meningkatkan kesejahteraan ekonomi

masyarakat. Dengan demikian, tidak semua monopoli itu merupakan perbuatan yang

terlarang, selama hal itu tidak merugikan konsumen dan terjadi melalui cara-cara yang

sehat.

Masalah selanjutnya adalah akhir-akhir ini keberadaan undang-undang yang

mengatur larangan praktek monopoli di Amerika Serikat melalui Sherman Act dan

Clayton Act sejak tahun 1890, yang sebagian besar isinya kita adopsi itu, ternyata mulai

dipertanyakan, bahkan dianggap sudah berada di tepi jurang kematian. Penyebabnya tidak

lain adalah FTC (Federal Trade Commission) telah menyetujui terjadinya merger yang

dilakukan oleh dua pabrik pesawat terbang terbesar di dunia, yaitu Boeing dan McDonell

Douglas pada tahun 1996. Ironisnya, kita di Indonesia justru sedang memulai untuk

menerapkan larangan merger itu (Prasetiantono, 1999: 1) melalui UU No. 5 tahun 1999.

Praktek merger di Amerika Serikat memang sudah sangat populer, sehingga hampir setiap

Page 7: LARANGAN MERGER DALAM UNDANG-UNDANG ANTI · PDF fileterjadinya pasar yang monopolistik atau anti persaingan yang sehat. Karena ... bahwa merger mengakibatkan terhambatnya persaingan

7

minggu terjadi merger antara satu pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya. Oleh karena

itu beredar anekdote yang mengatakan bahwa apabila perusahaan automobil Toyota

melakukan merger dengan perusahaan automobil Chevrolet, maka mereka akan

memproduksi mobil dengan merek “Toilet” (Sitompul, 1999: 73). Bagaimana pengaturan

tentang larangan merger dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Secara ringkas, UU Anti Monopoli ini mengatur tentang larangan praktek-praktek

yang tidak jujur menyangkut hubungan antar pelaku usaha, baik hubungan yang bersifat

horisotal maupun vertikal. Yang bersifat horisontal misalnya: perjanjian penetapan

harga (price fixing agreement), kartel, pembangian wilayah (market allocation), boycott,

dan lain-lain. Sedang yang bersifat vertikal misalnya: resale price maintenance, tying

arrangement, exclusive dealing (perjanjian tertutup), dan lain-lain. Undang-undang ini

juga melarang kegiatan: penyalahgunaan posisi dominan (abuse of market power),

praktek monopoli (monopolization), merger, konsolidasi, dan akuisisi tertentu yang

berpotensi menimbulkan monopoli dan praktek persaingan curang (unfair competition;

oneerlijke concurrentie). Tindakan-tindakan ini ada yang dilarang secara mutlak (per se

illegal) dan ada yang dilarang apabila terbukti atau patut diduga dapat mengurangi atau

menghambat persaingan (rule of reason).

Salah satu hal yang perlu dikritisi dalam UU Anti Monopoli ini adalah berkaitan

dengan pengertian “persaingan usaha yang tidak sehat” yang dalam Pasal 1 angka 6 hanya

diartikan sebagai “persaingan yang tidak jujur” atau “melawan hukum” atau

“menghambat persaingan usaha”. Yang dimaksud “tidak jujur”, “tidak sehat”, atau

“menghambat” itu kriterianya apa? Undang-undang tidak menegaskannya, karena itu

menurut Purnomo (1999: 10), perlu ada guideline yang jelas di dalam peraturan

pelaksanaannya nanti. Rumusan “menghambat persaingan usaha”, di samping tidak tegas

batasannya juga terlalu keras akibatnya, karena begitu terbukti bahwa suatu tindakan

merger misalnya, dapat menghambat persaingan usaha, maka tindakan tersebut masuk

dalam perangkap dilarang menurut undang-undang ini. Hal ini berbeda dengan di

Amerika Serikat, Uni Eropa dan Australia yang dengan menggunakan prinsip Rule of

Reason melarang beberapa tindakan tertentu “hanya apabila” mereka terbukti atau patut

diduga mengurangi persaingan secara substansial (substantially lessening competition).

Jadi, merger yang dilarang adalah merger yang dapat mengakibatkan terjadinya

peningkatan konsentrasi pasar secara substansial serta hilangnya pesaing potensial,

dengan cara menghambat atau menyulitkan para pelaku pasar pendatang baru. Praktek

merger seperti ini dilarang, meskipun akibat merger ini hanya menimbulkan pengaruh

tidak langsung (secondary effect) terhadap persaingan pasar. Karena pihak yang

bergabung sewaktu merger dilakukan biasanya tidak dalam keadaan bersaing secara

langsung yang dapat mengakibatkan perubahan struktur, konsentrasi atau penguasaan

pangsa pasar. Yang ada hanyalah hilangnya pesaing potensial. Meski demikian, hukum

anti monopoli memandang jenis merger ini sebagai suatu yang berbahaya bagi suatu

pasar. Sehingga dalam teori hukum anti monopoli muncul teori Potential Competitor.

Menurut teori ini, agar dapat dikatakan bertentangan dengan hukum anti monopoli, maka

merger konglomerat tersebut haruslah dilakukan dengan pihak yang merupakan pesaing

potensial, sehingga merger itu dapat mengakibatkan terjadinya pengekangan persaingan

pasar (Fuady, 1999: 96).

Page 8: LARANGAN MERGER DALAM UNDANG-UNDANG ANTI · PDF fileterjadinya pasar yang monopolistik atau anti persaingan yang sehat. Karena ... bahwa merger mengakibatkan terhambatnya persaingan

8

Untuk mencegah pelanggaran dalam pelaksanaan merger ini, di Amerika Serikat,

berdasarkan Section 7A the Clayton Act dan the Hart-Scott-Rodino Act 1976, mewajibkan

pengusaha yang akan melakukan merger untuk mengajukan pemberitahuan kepada

Federal Trade Commission (FTC) 30 hari sebelum dilaksanakannya merger yang

bersangkutan. Di Indonesia, ketentuan senada diatur dalam Pasal 29 UU Anti Monopoli

yang menggariskan bahwa penggabungan (baca: merger) atau peleburan badan usaha atau

pengambilalihan saham yang berakibat nilai aset dan nilai penjualannya melebihi jumlah

tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha selambat-

lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau

pengambilalihan.

6. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa merger (seperti

halnya konsolidasi dan akuisisi) merupakan salah satu instrumen atau kebijakan ekonomi

perusahaan yang lazim digunakan oleh para pelaku usaha untuk meningkatkan bisnisnya,

terutama dalam menghadapi persaingan usaha yang semakin kompetitif.

Tindakan merger, di samping membawa kebaikan (khususnya bagi pelaku usaha

yang bergabung), juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi pasar, yakni terjadinya

konsentrasi pasar yang monopolistik dan anti kompetisi. Karena itu, untuk menangani

praktek merger yang dilarang oleh undang-undang diperlukan penelitian yang seksama,

tidak cukup kalau dilakukan penerapan berdasarkan pada peraturan perundangan semata-

mata.

Salah satu tugas berat dari pelaksana UU Anti Monopoli dalam hal merger ini

adalah memantau setiap merger yang terjadi dengan meneliti dampaknya pada persaingan

usaha dan terhadap kecenderungan terjadinya praktek monopoli berdasarkan ukuran-

ukuran yang belum diatur secara tegas dalam Peraturan Pemerintah (PP). Selama PP yang

mengatur secara tegas tentang larangan merger yang dilarang oleh undang-undang itu

belum diundangkan, maka sulit bagi penegak hukum untuk menjerat pelaku usaha yang

telah melakukan tindakan merger, meski hal itu terbukti telah menimbukan monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat. Karena, memang parameternya belum ada!

Page 9: LARANGAN MERGER DALAM UNDANG-UNDANG ANTI · PDF fileterjadinya pasar yang monopolistik atau anti persaingan yang sehat. Karena ... bahwa merger mengakibatkan terhambatnya persaingan

9

DAFTAR BACAAN

Black, Henry Cambell. 1990. Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul,

Minnesota.

Chatamarrasjid. 1999. “UU Larangan Praktek Monopoli, Magna Charta Bagi

Kebebasan”, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 7 Tahun 1999.

Fuady, Munir. 1999. Hukum Anti Monopoli, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Muhammad, Abdulkadir. 1995. Pengantar Hukum Perusahaan, Citra Aditya Bakti

Bandung.

Pramono, Nindyo. 1999. “Mengkritisi Kehadiran UU No. 5 tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Makalah,

Seminar Nasional 7 Oktober 1999, Unmuh Surakarta.

Prasetiantono, Tony A. 1999. “Catatan Kecil tentang UU No. 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Makalah,

Seminar Nasional 7 Oktober 1999, Unmuh Surakarta.

Prasetya, Rudhi. 1996. Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti,

Bandung.

Sitompul, Asril. 1999. Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Citra

Aditya Bakti, Bandung.

Sjahdeini, Sutan Remy. 2000. “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat”, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 10 Tahun 2000.

Page 10: LARANGAN MERGER DALAM UNDANG-UNDANG ANTI · PDF fileterjadinya pasar yang monopolistik atau anti persaingan yang sehat. Karena ... bahwa merger mengakibatkan terhambatnya persaingan

10

Page 11: LARANGAN MERGER DALAM UNDANG-UNDANG ANTI · PDF fileterjadinya pasar yang monopolistik atau anti persaingan yang sehat. Karena ... bahwa merger mengakibatkan terhambatnya persaingan

11