Lapsus Sinusitis Maksilaris Depe Fix

download Lapsus Sinusitis Maksilaris Depe Fix

of 24

description

case sinusitis

Transcript of Lapsus Sinusitis Maksilaris Depe Fix

TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN KASUS SINUSITIS MAKSILARIS KRONIK DEXTRA ET SINISTRA

Oleh:

Ricky Dwi Putra70 2010 056Pembimbing:

dr. Rizal Imran Ambiar Sp.THT-KLBAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG

2015

HALAMAN PENGESAHANTelah dipresentasikan Laporan Kasus dengan JudulSINUSITIS MAKSILARIS KRONIK DEXTRA et SINISTRADisusun Oleh :Ricky Dwi Putra, S.Ked70 2010 056Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.

Palembang, Juni 2014

Dosen Pembimbing,dr. Rizal Imran Ambiar, Sp.THT-KLKATA PENGANTAR

Puji syukur penulis memanjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Sinusitis Maksilaris Kronik Dextra et Sinistra, sebagai salah satu syarat ujian tahap profesi. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.Penulis menyadari bahwa Laporan Kasus ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai bahan pertimbangan perbaikan di masa mendatang.

Dalam penyelesaian Laporan Kasus ini, penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, baik yang diberikan secara lisan maupun tulisan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada:

1. dr. Rizal Imran Ambiar Sp.THT-LK, selaku pembimbing yang telah memberikan banyak ilmu, saran, dan bimbingan dalam penyelesaian laporan kasus ini.

2. Orang tua dan saudaraku tercinta yang telah banyak membantu dengan doa yang tulus dan memberikan bimbingan moral maupun spiritual.

3. Rekan sejawat seperjuangan serta semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah diberikan dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, Januari 2015Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA iiDAFTAR ISI iiiBAB I PENDAHULUAN 1

BAB II ISI 22.1 Definisi 22.2 Anatomi Sinus Paranasalis 22.3 Embrio Sinus Paranasalis...................................................................... 32.4 Epidemiologi 82.5 Etiologi 82.6 Patogenesis 92.7 Manifestasi Klinik 92.8 Pemeriksaan Penunjang......................................................................... 102.9 Diagnosis Banding................................................................................. 112.10 Penatalaksanaan 11BAB III LAPORAN KASUS 133.1 Identitas Pasien 133.2 Anamnesis 133.3 Pemeriksaan Fisik 143.4 Resume 153.5 Diagnosa Kerja 153.6 Pemeriksaan Penunjang 163.7 Penatalaksanaan 163.8 Prognosis 16BAB IV PEMBAHASAN 18DAFTAR PUSTAKA 19

BAB IPENDAHULUAN

Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral kavum nasi. Sinus sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah, dan diberi nama sesuai dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus etmoidalis.1Sinus yang alam keadaan fisiologis adalah steril, apabila klirens sekretnya berkurang atau tersumbat, akan menimbulkan lingkungan yang baik untuk perkembangan organisme patogen. Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi sekret ini, maka terjadilah sinusitis.2, 3,4,5

Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia.6 Sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan pemberian antibiotik.2,3 Lima milyar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk pengobatan medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan untuk pengobatan operatif sinusitis di Amerika Serikat.7 Berdasarkan fakta tersebut diatas, sinusitis adalah penyakit yang penting untuk diketahui oleh seorang praktisi kesehatan. Dan sinusitis yang paling banyak ditemukan adalah sinusitis maksilaris.8 Oleh karena itu tema ini diangkat agar diagnosis, dan penanganan sinusitis maksilaris bisa dimengerti dengan lebih baik.BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sinus paranasalis adalah rongga udara berlapis mukosa pada tulang kranium, yang berhubungan dengan rongga hidung dan meliputi sinus frontalis, sinus etmoidalis, sinus maksilaris, dan sinus sfenoidalis.9 Sedangkan sinusitis adalah kondisi inflamatorik yang melibatkan satu atau lebih dari keempat rongga berpasangan yang mengelilingi kavum nasi (sinus paranasalis).3 Menurut anatomi yang terkena, sinusitis daibagi atas sinusitis frontalis, sinusitis etmoidalis, sinusitis maksilaris, dan sinusitis sfenoidalis.4 Jadi, sinusitis maksilaris adalah suatu kondisi inflamatorik yang melibatkan sinus maksilaris.2.2Anatomi Sinus ParanasalisManusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral kavum nasi. Sinus sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah, dan diberi nama sesuai dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus etmoidalis (Gambar 1). Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan yang mengalami modifikasi, yang mampu mengkasilkan mukus, dan bersilia. Sekret yang dihasilkan disalurkan ke dalam kavum nasi. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara.1

Gambar 1. Sinus Paranasalis. Sinus maksilaris merupakan satu satunya sinus yang rutin ditemukan pada saat lahir.1 Sinus maksilaris terletak di dalam tulang maksilaris, dengan dinding inferior orbita sebagai batas superior, dinding lateral nasal sebagai batas medial, prosesus alveolaris maksila sebagai batas inferior, dan fossa canine sebagai batas anterior.82.3 Embriologi Sinus Paranasal

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung, berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah janin berusia 2 bulan, resesus inilah yang nantinya akan berkembang menjadi ostium sinus. Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, saat itu sinus maksila sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar agak lebih rendah daripada batas atas meatus inferior. Setelah usia 7 tahun perkembangannya ke bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan cepat. Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8 10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.3.4

Gambar 2 Embriologi Tingkat Perkembangan Sinus ParanasalA.Sinus MaksilaSinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa13Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah ini akan lebih kea rah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4 mm, yang merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada dasar rongga hidung dan pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan setinggi dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun.3,4Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum.

Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris, pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi sinus.3,4Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita. 3) Ostim sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.12Gambar 3. Sinus paranasal dan ostiumnyaB. Fisiologi sinus paranasal

Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam. Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga ini adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat bahwa suku Maori dari Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka tidak memiliki rongga sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dpatahkan oleh Proetz , bahwa binatang yang memiliki suara yang kuat, contohnya singa, tidak memiliki rongga sinus yang besar. Beradasarkan teori dari Proetz, bahwa kerja dari sinus paranasal adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu dan bunyi yang masuk. Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal . Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.3,4Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah :

1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning) Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.112. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.113. Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.3,44. Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.3,45. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. 3,46. Membantu produksi mukus.

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

2.4Epidemiologi

Di Amerika Serikat, lebih dari 30 juta orang menderita sinusitis.Virus adalah penyebab sinusitis akut yang paling umum ditemukan.3,7 Namun, sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan pemberian antibiotik.2,3 Lima milyar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk pengobatan medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan untuk pengobatan operatif sinusitis di Amerika Serikat.7Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia, terutama di tempat dengan polusi udara tinggi. Iklim yang lembab, dingin, dengan konsentrasi pollen yang tinggiterkait dengan prevalensi yang lebih tinggi dari sinusitis.6 Sinusitis maksilaris adalah sinusitis dengan insiden yang terbesar.82.5EtiologiBerbagai faktor infeksius dan nonifeksius dapat meberikan kontribusi dalam terjadinya obstruksi akut ostia sinus atau gangguan pengeluaran cairan oleh silia, yang akhirnya menyebabkan sinusitis. Penyebab nonifeksius antara lain adalah rinitis alergika, barotrauma, atau iritan kimia. Penyakit seperti tumor nasal atau tumor sinus (squamous cell carcinoma), dan juga penyakit granulomatus (Wegeners granulomatosis atau rhinoskleroma) juga dapat menyebabkan obstruksi ostia sinus, sedangkan konsisi yang menyebabkan perubahan kandungan sekret mukus (fibrosis kistik) dapat menyebabkan sinusitis dengan mengganggu pengeluaran mukus. Di rumah sakit, penggunaan pipa nasotrakeal adalah faktor resiko mayor untuk infeksi nosokomial di unit perawatan intensif.3Infeksi sinusitis akut dapat disebabkan berbagai organisme, termasuk virus, bakteri, dan jamur.3,13 Virus yang sering ditemukan adalah rhinovirus, virus parainfluenza, dan virus influenza.3 Bakteri yang sering menyebabkan sinusitis adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan moraxella catarralis. Bakteri anaerob juga terkadang ditemukan sebagai penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan infeksi pada gigi premolar. Sedangkan jamur juga ditemukan sebagai penyebab sinusitis pada pasien dengan gangguan sistem imun, yang menunjukkan infeksi invasif yang mengancam jiwa. Jamur yang menyebabkan infeksi antara lain adalah dari spesies Rhizopus, rhizomucor, Mucor, Absidia, Cunninghamella, Aspergillus, dan Fusarium.2.6Patogenesis

Dalam keadaan fisiologis, sinus adalah steril.2,3 Sinusitis dapat terjadi bila klirens silier sekret sinus berkurang atau ostia sinus menjadi tersumbat, yang menyebabkan retensi sekret, tekanan sinus negatif, dan berkurangnya tekanan parsial oksigen.2,3 Lingkungan ini cocok untuk pertumbuhan organisme patogen.2,3,4,5 Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi sekret ini, maka terjadilah sinusitis.32.7Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis sinusitis sangat bervariasi. Keluhan utama yang paling sering ditemukan adalah tidak spesifik, dan dapat berupa sekret nasal purulen, kongesti nasal, rasa tertekan pada wajah, nyeri gigi, nyeri telinga, demam, nyeri kepala, batuk, rasa lelah, halitosis, atau berkurangnya penciuman. Gejala seperti ini sulit dibedakan dengan infeksi saluran nafas atas karena virus, sehingga durasi gejala menjadi penting dalam diagnosis. Pasien dengan gejala diatas selama lebih dari 7 hari mengarahkan diagnosis ke arah sinusitis.3, Kriteria diagnosis sinusitis dirangkum dalam tabel 1. Tabel 1.Kriteria diagnosis sinusitisMayorMinor

Nyeri atau rasa tertekan pada wajah

Sekret nasal purulen

Demam

Kongesti nasal

Obstruksi nasal

Hiposmia atau anosmiaSakit kepalaBatuk

Rasa lelah

Halitosis

Nyeri gigi

Nyeri atau rasa tertekan pada telinga

Diagnosis memerlukan dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari.

Sumber: Boies ET. (2001)2.8Pemeriksaan Penunjang

Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:1.Pemeriksaan transluminasi.

Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan tampak suram atau gelap. Hal ini lebih mudah diamati bila sinusitis terjadi pada satu sisi wajah, karena akan nampak perbedaan antara sinus yang sehat dengan sinus yang sakit.2. Pencitraan Dengan foto kepala posisi Waters, PA, dan lateral, akan terlihat perselubungan atau penebalan mukosa atau air-fluid level pada sinus yang sakit. CT Scan adalah pemeriksaan pencitraan terbaik dalam kasus sinusitis.33.Kultur

Karena pengobatan harus dilakukan dengan mengarah kepada organisme penyebab, maka kultur dianjurkan. Bahan kultur dapat diambil dari meatus medius, meatus superior, atau aspirasi sinus.32.9Diagnosis Banding

Diagnosos banding sinusitis adalah luas, karena tanda dan gejala sinusitis tidak sensitif dan spesifik. Infeksi saluran nafas atas, polip nasal, penyalahgunaan kokain, rinitis alergika, rinitis vasomotor, dan rinitis medikamentosa dapat datang dengan gejala pilek dan kongesti nasal. Rhinorrhea cairan serebrospinal harus dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat cedera kepala. Pilek persisten unilateral dengan epistaksis dapat mengarah kepada neoplasma atau benda asing nasal. Tension headache, cluster headache, migren, dan sakit gigi adalah diagnosis alternatif pada pasien dengan sefalgia atau nyeri wajah. Pasien dengan demam memerlukan perhatian khusus, karena demam dapat merupakan manifestasi sinusitis saja atau infeksi sistem saraf pusat yang berat, seperti meningitis atau abses intrakranial.2.10Penatalaksanaan

Penatalaksanaan sinusitis dibagi atas:1.Medikamentosa3Pemberian Obat seperti Antibiotik, Dekongestan berupa obat tetes hidung serta analgesik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pengobatan medikamentosa sinusitis dibagi atas pengobatan pada orang dewasa dan pada anak anak. a.Orang dewasa

i.Terapi awal:

-Amoxicillin 875 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau

-TMP-SMX 160mg-800mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari

ii.Pasien dengan paparan antibiotik dalam 30 hari terakhir

-Amoxicillin 1000 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau-Amoxicillin/Clavulanate 875 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau

-Levofloxacin 500 mg per oral sekali sehari selama 7 hari.iii.Pasien dengan gagal pengobatan

-Amoxicillin 1500mg dengan klavulanat 125 mg per oral 2 kali sehari selama 10 hari, atau-Amoxicillin 1500mg per oral 2 kali sehari dengan Clindamycin 300 mg per oral 4 kali sehari selama 10 hari, atau

-Levofloxacin 500 mg per oral sekali sehari selama 7 hari.

b. Anak anak

i.Terapi awal: Pengobatan oral selama 10 hari dengan:-Amoxicillin 45-90 mg/kg/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis sehari, atau

-Cefuroxime axetil 30 mg/kg/hari terbagi dalam dua dosis sehari,

atau

-Cefdinir 14 mg/kg/hari dalam satu dosis sehari.ii.Pasien dengan paparan antibiotik dalam 30 hari terakhir: Pengobatan oral selama 10 hari dengan:-Amoxicillin 90 mg/kg/hari (maksimal 2 gram) plus Clavulanate 6,4 mg/kg/hari, keduanya terbagi dalam dua dosis sehari, atau

-Cefuroxime axetil 30 mg/kg/hari terbagi dalam dua dosis sehari,

atau

-Cefdinir 14 mg/kg/hari dalam satu dosis sehari.2.Diatermi4Diatermi gelombang pendek selama 10 hari dapat membantu penyembuhan sinusitis dengan memperbaiki vaskularisasi sinus.

3.Tindakan pembedahan8,Terdapat tiga pilihan operasi yang dapat dilakukan pada sinusitis maksilaris, yaitu unisinektomi endoskopik dengan atau tanpa antrostomi maksilaris, prosedur Caldwell-Luc, dan antrostomi inferior. Saat ini, antrostomi unilateral dan unisinektomi endoskopik adalah pengobatan standar sinusitis maksilaris kronis refrakter. Prosedur Caldwell-Luc dan antrostomi inferior antrostomy jarang dilakukan.BAB IIILAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama

: Tn. PT

Umur

: 17 Tahun

Jenis Kelamin

: Laki-lakiAlamat

: Jl. Merpati B3Pekerjaan

: Mahasiswa

Agama

: IslamBangsa

: Indonesia

Pemeriksaan

: 11 Januari 2015 3.2. Anamnesis

Keluhan Utama:

Hidung pilekPerjalanan Penyakit:

Pasien mengeluh hidungnya pilek sejak kurang lebih 3 minggu sebelum datang ke RSMP. Pilek yang dirasakan oleh pasien setelah naik pesawat dari bandung ke palembang dan pilek dirasakan terus menerus. Pasien juga mengeluh hidung tersumbat pada kedua lubang yang beriringan dengan pilek yang dialami. Ingus dari hidung kental, berwarna kuning, dan terasa menetes di tenggorokan namun bau tidak sedap disangkap pasien. Pasien mengaku sering bersin dan sakit kepala. Sakit pipi dan gigi disangkal oleh pasien. Demam dan batuk disangkal.Riwayat penyakit sebelumnya:

Riwayat penyakit serupa dalam keluarga:

Dikeluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit serupaRiwayat Sosial:

Pasien adalah seorang mahasiswa3.3. Pemeriksaan Fisik

Status present:

T

: 120/80

N

: 80x/menit

Temp: 36,5C

RR: 21x/menit

Status General

Mata

: Anemis (-)

Thoraks: Cor: S1S2 tunggal reguler murmur (-)

Po

: Ves +/+ Rh -/- Wh -/-

Abd

: distensi (-) Bising Usus (+) Normal

Ext

: Hangat +/+

Status THT:

Telinga

Kanan Kiri

Aurikula

normal

normalLiang telingalapang

lapangMembran tympaninormal

normalMastoid

normal

normalTes pendengaran :

Berbisik

tidak dievaluasiWeber

tidak ada lateralisasi

Rinne

tidak dievaluasi Scwabach

tidak dievaluasi Hidung

Kanan

Kiri

Hidung luar

normal

normalCavum nasi

sempit

sempitSeptum

tidak ada deviasi

Discharge

positif

positifMukosa

merah muda

merah muda

Tumor

negatif

negatifKonka

kongesti

kongestiChoana

normal

normalTenggorok

Dispneu

negatif

Stridor

negatifCyanosis

negatif

Suara

normalMukosa

merah muda

Tonsil

T1/T1 tenangDinding belakang merah muda

Post nasal drip positifStatus Lokalis (maksilaris)

Kanan

Kiri

Nyeri tekan regio infra orbita

Negatif

Negatif

Bengkak

Negatif

Negatif

Hiperemis

Negatif

Negatif

3.4. Resume

Penderita, laki-laki, 17 tahun, datang dengan keluhan pilek sejak 3 minggu yang lalu sebelum datang ke RSMP. Penderita juga mengeluh ingus yang dikeluarkan kental berwarna kuning dan menetes pada tenggorokan. Riwayat operasi sinusitis 4 tahun yang lalu.Pada pemeriksaan fisik didapatkan status present dan status general dalam batas normal. Status THT : telinga tenang dalam batas normal, discharge positif pada hidung kanan dan kiri, konka kongesti pada hidung kanan dan kiri.3.5. Diagnosa Kerja

Sinusitis maksilaris kronik dextra et sinistra3.6. Rencana Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Transiluminasi Sinus Maksilaris Darah rutin

Radiologi : Rontgent (Foto Waters) atau CT-Scan 3.7. Penatalaksanaan

Pro irigasi

Antibiotika : Amoksisilin 3 x 500 mg Dekongestan : Pseudoefedrin 3 x 60 mg

Analgetik : Parasetamol 3 x 500 mg Operasi3.8. Prognosis

Dubia ad bonam

BAB IV PEMBAHASANPasien pada kasus ini didiagnosis dengan sinusitis maksilaris kronik kanan dan kiri yang ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik serta didukung dengan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan pilek yang dirasakan penderita sejak 3 minggu sebelum pasien datang ke RSMP. Pilek yang dirasakan oleh pasien setelah naik pesawat dari bandung ke palembang dan pilek dirasakan terus menerus. Pasien juga mengeluh hidung tersumbat pada kedua lubang yang beriringan dengan pilek yang dialami. Ingus dari hidung kental, berwarna kuning, dan terasa menetes di tenggorokan namun bau tidak sedap disangkap pasien. Pasien mengaku sering bersin dan sakit kepala. Sakit pipi dan gigi disangkal oleh pasien. Demam dan batuk disangkal.Pada pemeriksaan fisik didapatkan cavum nasi kanan kiri sempit, discharge positif pada hidung kanan dan kiri, konka kongesti pada hidung kanan. Salah satu penyebab sinusitis maksilaris adalah faktor rinogen karena adanya infeksi berulang pada mukosa hidung yang menyebabkan mukosa hidung mengalami degenerasi, periplebitis, serta perilimfangitis sehingga mengganggu aliran balik cairan interstisial sehingga terjadi edema pada mukosa hidung yang menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus sehingga silia menjadi kurang aktif serta lendir yang diproduksi menjadi lebih kental. Keadaan ini merupakan media pertumbuhan kuman patogen yang sangat baik dan apabila sumbatan berlangsung terus menerus maka akan terjadi hipoksia dan menyebablan infeksi bakteri anaerob. Penanganan kasus ini adalah untuk mengeluarkan sekret dari sinus dengan cara irigasi. Selain itu pasien juga diberikan antibiotik spektrum luas, dekongestan dan analgetik. Sinusitis maksilaris akut umumnya diterapi dengan antibiotik spektrum luas. Dekongestan seperti pseudoefedrin juga bermanfaat dan tetes hidung poten seperti fenilefrin atau oksimetazolin dapat digunakan selama beberapa hari pertama infeksi. DAFTAR PUSTAKA

1. Higler PA. Nose: Applied Anatomy dan Physiology. In: Adams GL, Boies LR, Higler PA, editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders Company; 1989. p.173-90

2. Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. Infections of the Upper Respiratory Tract. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrisons Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY: McGraw Hill; 2005. p. 185-93

3. Mangunkusumo, Rifki. 2006. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : FKUI Mansjoer, Triyanti, Savitri. 2005. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI

4. Suetjipto D. Hidung dan Sinus Parasanal Anatomy Hidung dan sinus

Parasanal. Dalam Iskandar N. ddl (Eds) Buku ajar Ilmu penyakit THT. Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 1990 ; 75 84

5. Dorlands Pocket Medical Dictionary. Philadelphia, PA: WB Sunders Company; 1995. Paranasal Sinuses; p. 992

6. Musher DM. Pneumococcal Infection. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrisons Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY: McGraw Hill; 2005. p. 806-14

7. Budianto. 2005. Guidance to Anatomy III. Surakarta. Keluarga besar asisten anatomi FK UNS Surakarta.8. Murphy TF. Haemophilus infection. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrisons Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY: McGraw Hill; 2005. p. 185-93

9. Daum RS. Haemophilus Influenzae. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed. Philadelphia, PA: Saunders; 2004. p. 904-8

10. Aronoff SC. Aspergillus. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed. Philadelphia, PA: Saunders; 2004. p. 1016-8

11. Boies ET. Sinusitis. In: Harwood-Nuss A, Wolfson AB, Linden CA, Shepherd SM, Stenklyft PH. The Clinical Practice of Emergency Medicine. 3rd ed. Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2001

PAGE