LAPSUS CA MAMAE ANESTESI UMUM.doc

40
LAPORAN KASUS MASTEKTOMI RADIKAL MODIFIKASI MAMAE DEXTRA DENGAN GENERAL ANESTESI Disusun untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik bagian Anastesi di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang Disusun oleh : 1. ISTIGFARANI 01.211.6421 2. KARINA MEGA 01.211.6428 3. MARLINCA AGUNG R.P. 01.211.6445 Pembimbing : dr. Said Shofwan, Sp.An

Transcript of LAPSUS CA MAMAE ANESTESI UMUM.doc

LAPORAN KASUS

MASTEKTOMI RADIKAL MODIFIKASI MAMAE DEXTRA

DENGAN GENERAL ANESTESI

Disusun untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik bagian Anastesi di

Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang

Disusun oleh :

1. ISTIGFARANI 01.211.6421

2. KARINA MEGA 01.211.6428

3. MARLINCA AGUNG R.P. 01.211.6445

Pembimbing :

dr. Said Shofwan, Sp.An

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2015

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Istigfarani (01.211.6421)

Karina Mega (01.211.6428)

Marlinca Agung R. P. (01.211.6445)

Fakultas : Kedokteran Umum

Universitas : Universitas Islam Sultan Agung ( UNISSULA )

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Bagian : Ilmu Anastesi

Judul : Mastektomi Radikal Modifikasi (MRM) mamae dextra dengan

anestesi umum

Semarang, Agustus 2015

Mengetahui dan Menyetujui

Pembimbing Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Anastesi Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang

Pembimbing

dr. Said Shofwan, Sp. An

2

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan

meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan,

pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan

penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu

operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari

persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan

pada pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi,

masa anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.

Ca mamae merupakan penyakit neoplasma ganas yang berasal dari parenkima dimana

sel-sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme normalnya, sehingga mengalami

pertumbuhan yang tidak normal, cepat, dan tidak terkendali. Salah satu terapi bedah yang

dapat dilakukan pada pasien ca mamae adalah mastektomi radikal modifikasi (MRM). MRM

merupakan teknik bedah dengan mereseksi seluruh kelenjar mamae dan tetap

mempertahankan m.pectoralis mayor dan minor.

Pemilihan jenis anestesi untuk MRM ditentukan berdasarkan usia pasien, kondisi

kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah, dokter

anestesi dan perawat anestesi.

.

3

BAB II

DASAR TEORI

2.1. Anatomi Dan Fisiologi Mamae

Payudara wanita dewasa terletak di antara kosta kedua dan keenam dan di antara

tepi sternum dan garis midaxilla. Payudara terdiri dari kulit, jaringan subkutan, dan

jaringan payudara. Jaringan payudara termasuk elemen kedua epitel dan stroma. Setiap

payudara memiliki jaringan kelenjar yang terdiri dari 15 hingga 20 lobus yang disokong

jaringan ikat fibrosa. Ruang antara lobus diisi dengan jaringan adiposa, dan perbedaan

jumlah jaringan adiposa ini yan gmenyebabkan perbedaan ukuran payudara. Pasokan

darah payudara berasal dari a.mamae interna dan a.torakal lateral. Drainase limfatik

payudara melalui pleksus limfatik superficial dan pleksus limfatik profunda. Lebih dari

90% drainase limfatik payudara melalui kelenjar getah bening aksila dengan sisanya

melalui kelenjar mamae interna.

2.2. Ca Mamae

Ca mamae merupakan penyakit neoplasma ganas yang berasal dari parenkima

dimana sel-sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme normalnya, sehingga

mengalami pertumbuhan yang tidak normal, cepat, dan tidak terkendali.

2.2.1. Faktor resiko

Beberapa faktor resiko yang memegang peranan penting dalam proses kejadian

ca mamae, yaitu :

Orang tua (ibu) yang pernah menderita ca mamae terutama pada usia relatif

muda

Anggota keluarga sedarah menderita ca mamae

Menderita tumor jinak payudara

2.2.2. Patofisiologi

Sel-sel kanker dibentuk dari sel-sel normal dalam suatu proses rumit yang disebut

transformasi, yang terdiri dari tahap inisiasi dan promosi :

a. Fase inisiasi

Pada tahap inisiasi terjadi suatu perubahan dalam bahan genetik sel yang

memancing sel menjadi ganas. Perubahan dalam bahan genetik sel ini

disebabkan oleh suatu agen yang disebut karsinogen yang dapat berupa bahan 4

kimia, virus, radiasi, atau sinar matahari. Kelainan genetik dalam sel atau

bahan lainnya yang disebut promotor menyebabkan sel lebih rentan terhadap

suatu karsinogen.

b. Fase promosi

Pada tahap ini suatu sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi

ganas. Sel yang belum melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh oleh

promosi. Oleh karena itu siperkukan beberapa faktor untuk terjadinya

keganasan.

2.2.3. Manifestasi klinis

Ca mamae mempunyai gambaran klinis sebagai berikut : 1) terdapat benjolan

keras yang lebih terfiksir; 2) tarikan pada kulit di atas tumor; 3) ulserasi; 4) peau

d’orange; 5) discharge dari puting susu; 6) payudara asimetris; 7) retraksi puting sus; 8)

pembesaran kelenjar getah bening ketiak; 9) tumor satelit di kulit; 10) edema.

2.2.4. Terapi

A. Operasi ca mamae yang sering dipakai adalah

Mastektomi radikal

Mastektomi radikal modifikasi

Mastektomi total

Mastektomi segmental plus diseksi kelenjar limfe aksila

B. Radiasi

C. Kemoterapi

D. Terapi hormonal

2.3. Anestesi Umum

Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral

disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen trias

anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot .

Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar

ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan

pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa

sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium

5

anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya

kelebihan dosis.

Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan

utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa

pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan,

dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah

didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran

pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan

relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak

diinginkan.

Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada dosis yang

aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah,

mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain

itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan

yang luas.

2.3.1. Macam-macam Teknik Anestesi

a. Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang

menguap, peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik

diteteskan pada kapas yang diletakkan di depan hidung penderita

sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui, dan pemakaiannya boros

karena zat anestetik menguap ke udara terbuka.

b. Semi open drop method: Hampir sama dengan open drop, hanya untuk

mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan masker.

Karbondioksida yang dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga

dapat terjadi hipoksia. Untuk menghindarinya dialirkan volume fresh gas

flow yang tinggi minimal 3x dari minimal volume udara semenit.

c. Semi closed method: Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen

murni yang dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada

vaporizer sehingga kadar zat anestetik dapat ditentukan. Udara napas

yang dikeluarkan akan dibuang ke udara luar. Keuntungannya dalamnya

anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu dari zat

anestetik, dan hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume fresh

gas flow kurang dari 100% kebutuhan.

6

d. Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara

ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga

udara yang mengandung anestetik dapat digunakan lagi.

Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani

operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi,

maintenance, dan lain-lain.

2.3.2. Persiapan Pra Anestesi

Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus

dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari

sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada

pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak

harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra

anestesi adalah:

a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.

b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan

fisik dan kehendak pasien.

c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society

Anesthesiology):

ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,

biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.

ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang

sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka

mortalitas 16%.

ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian

terbatas. Angka mortalitas 38%.

ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak

selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,

angina menetap. Angka mortalitas 68%.

ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir

tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi

/ dengan operasi. Angka mortalitas 98%.

ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)

Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari

kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.7

2.3.3. Pemeriksaan praoperasi anestesi

I. Anamnesis

1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.

2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.

3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit

anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial,

pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.

4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang

sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik

seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan

aminoglikosid, dan lain lain.

5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis

pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.

6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi

seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik

7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.

8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan,

kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin,

psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.

II. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan

2. Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas

3. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang

diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.

4. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh.

5. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus,

keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi

ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari

visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan

mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam

melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:

i. Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior

oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla 8

pharingeal

ii. Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding

posterior uvula

iii. Mallampati III : palatum molle, dasar uvula

iv. Mallampati IV: palatum durum saja

6. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung

7. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi

8. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda

regurgitasi.

9. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari

tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah

blok saraf regional

III. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain

A. Lab rutin :

1. Pemeriksaan lab. Darah

2. Urine : protein, sedimen, reduksi

3. Foto rongten ( thoraks )

4. EKG

B. Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :

1. EKG pada anak

2. Spirometri pada tumor paru

3. Tes fungsi hati pada ikterus

4. Fungsi ginjalpada hipertensi

5. AGD, elektrolit.

2.3.4. Premedikasi Anestesi

Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun

tujuan dari premedikasi antara lain :

a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.

b. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam

c. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam

d. memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin

e. mencegah muntah, misal : droperidol, ondansetron

f. memperlancar induksi, misal : pethidin

9

g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin

h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas

atropin.

i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan

hiosin.

Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien

yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka

pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan

mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan,

riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya,

riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi,

perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan

digunakan2.

1. Obat-obatan Premedikasi

Pada kasus ini digunakan obat premedikasi :

a. Sulfas atropin

Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan utama

untuk mengurangi efek bronkial dan kardial yang berasal dari

perangsangan parasimpatis, baik akibat obat atau anestesikum maupun

tindakan lain dalam operasi. Disamping itu, efek lainnya adalah

melemaskan tonus otot polos organ-organ dan menurunkan spasme

gastrointestinal.

Setelah penggunaan obat ini dalam dosis terapetik teradapat perasaan

kering di rongga mulut dan penglihatan kabur. Karena itu sebaiknya obat

ini tidak digunakan untuk anestesi regional. Pemberiannya harus hati-hati

pada penderita dengan suhu diatas normal dan pada penderita penyakit

jantung.

Atropin tersedia dalm bentuk atropin sulfat dalam ampul 0.25 mg

dan 0.5 mg. Diberikan secara suntikan subkutis, intramuskular, atau

intravena.

10

b. Ondensetron

Merupakan antagonis reseptor serotonin 5-HT 3 selektif. Digunakan

untuk mencegah dan mengobati mual dan muntah pasca bedah. Efek

samping obat ini berupa hipotensi, bronkospasme, konstipasi, dan sesak

nafas.

c. Fentanyl

Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid

dan termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150

mcg/kgBB, termasuk sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang

ini telah ditemukan remifentanil, suatu opioid yang poten dan sangat cepat

onsetnya, telah digunakan untuk meminimalkan depresi pernapasan

residual. Opioid dosis tinggi yang deberikan selama operasi dapat

menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan demikian dapat

mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana meningkatnya kebutuhan

opioid potoperasi berhubungan dengan perkembangan toleransi akut.

Maka dari itu, dosis fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah

digunakan sebagai premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam

anestesi inhalasi maupun intravena untuk memberikan efek analgesi

perioperatif.

Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya

efek depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek

euphoria dan analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi

secara tidak bermakna diperpanjang masanya atau diperkuat oleh

droperidol, yaitu suatu neuroleptik yang biasanya digunakan bersama

sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil menimbulkan kekakuan yang

jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh efek opioid pada

tranmisi dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis oleh nalokson.

Fentanyl biasanya digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat

digunakan sebagai anelgesi pasca operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk

larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam bentuk kombinasi tetap

dengan droperidol1. Fentanyl dan droperidol (suatu butypherone yang

berkaitan dengan haloperidol) diberikan bersama-sama untuk

11

menimbulkan analgesia dan amnesia dan dikombinasikan dengan nitrogen

oksida memberikan suatu efek yang disedut sebagai neurolepanestesia.

2.3.5. Induksi

Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya

stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan

anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah

induksi.

Pada kasus ini digunakan obat induksi :

a. Propofol

Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan

emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25%

glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi3.

Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena

lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih

cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih

baik setelah postoperasi karena propofol mengurangi mual dan muntah

postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan

anestesi dan merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat

ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam

keadaan kritis. Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit

berat (kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat

infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik.

Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara cepat.

Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai

plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol

yang berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.

Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti

selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer dan

venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi

12

efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah

jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi trakea.

Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya

adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit.

Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada thiopenthal

pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat

konjugat, dengan kurang dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh

total anestesinya lebih besar daripada aliran darah hepatik, sehingga

eliminasinya melibatkan mekanisme ekstrahepatik selain metabolismenya oleh

enzim-enzim hati. Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan

kemampuan dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya.

Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme

otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena

bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang minimal.

Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan

cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi

langsung pada otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol

tidak mempunyai efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih

sadar lebih cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah

propofol memiliki efek antiemetik.

Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi

pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem

kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada

susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll.

Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga saat pemberian dapat

dicampurkan lidokain (20-50 mg).

b. Atrakurium Basylate

Merupakan obat pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor

nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi

asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Atrakurium

memiliki struktur benzilisoquinolin yang memiliki beberapa keuntungan antara

lain metabolisme di dalam darah melalui suatu reaksi yang disebut eliminasi

hoffman yang tidak tergantung fungsi hati dan gfungsi ginjal, tidak mempunyai 13

efek akumulasi pada pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan fungsi

kardiovaskuler yang bermakna.

2.3.6. Pemeliharaan

a. Nitrous Oksida (N2O)

Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak

berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi

dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang

kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini

tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh

karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat

relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas

terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak

oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan

pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.

Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen.

Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah

sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%3.

b. Sevoflurane

Seoflurane merupakan suatu cairan yang jernih, tidak berwarna tanpa

stabiliser kimia. Tidak iritasi, stabil disimpan di tempat biasa. Tidak terlihat

adanya degradasi sevoflurane dengan asam kuat maupun panas.

Sevoflurane bekerja cepat, tidak iritasi, induksi lancar dan cepat serta pemulihan

yang cepat setelah obat dihentikan.

Daerah otak yang spesifik dipengaruhi oleh obat anestesi inhalasi termasuk

reticulat activating system, cerebral cortex, cuneate nucleus, olfacatory cortex,

dan hippocampus. Obat anestesi inhalasi juga mendepresi transmisi rangsang di

spinal cord, terutama pada level dorsal horn interneuron yang bertanggung jawab

terhadap transmissi rasa sakit.

2.3.7. Intubasi Endotrakeal

Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan

nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan

untuk :1

14

a. Mempermudah pemberian anestesi.

b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.

c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.

d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.

e. Pemakaian ventilasi yang lama.

f. Mengatasi obstruksi laring akut.

2.3.8. Terapi Cairan

Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati

jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan

untuk1.

a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama

operasi.

b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang

diberikan.

Pemberian cairan operasi dibagi :

a. Pra operasi

Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,

penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti

pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan

cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap

kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.

b. Selama operasi

Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan

cairan pada dewasa untuk operasi :

Ringan = 4 ml/kgBB/jam.

Sedang = 6 ml/kgBB/jam

Berat = 8 ml/kgBB/jam.

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang

dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila

perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian

plasma / koloid / dekstran.

c. Setelah operasi15

Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan

selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

2.3.9. Pemulihan

Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan

anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu

ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar

merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih

memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi

atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi

atau pengaruh anestesinya.

Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan

perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan.

Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara

Aldrete dan Steward, dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien

anak-anak, tetapi sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang

dewasa. Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.

Tabel 1. Aldrete Scoring System

No. Kriteria Skor

1 Aktivitas

Motorik

Mampu menggerakan empat ekstremitas

Mampu menggerakan dua ekstremitas

Tidak mampu menggerakan ekstremitas

2

1

0

2 Respirasi Mampu napas dalam, batuk, dan tangis

Sesak atau pernapasan terbatas

Henti napas

2

1

0

3 Tekanan

Darah

Berubah sampai 20 % dari prabedah

Berubah sampai 20-50 % dari prabedah

Berubah sampai > 50 % dari prabedah

2

1

0

4 Kesadaran Sadar baik dan orientasi baik

Sadar setelah dipanggil

Tak ada tanggapan terhadap rangsangan

2

1

0

5 Warna Kulit Kemerahan

Pucat agak suram

Sianosis

2

1

0

16

BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. SS

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 38 th 5 bl 8 hr

Berat Badan : 43 kg

Agama : Islam

Alamat : Mangunrejo, Penawangan Grobogan

No. RM : 01244557

Diagnosis : Ca mamae dextra

B. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan tanggal 12 Agustus 2015, pukul 12.35. Informasi pasien.

a. Keluhan utama : Nyeri di mamae kanan

b. Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke poli bedah RSISA dengan

keluhan nyeri di payudara kanan, terdapat benjolan ± 3 tahun pada payudara

kanan

c. Riwayat penyakit dahulu :

1) Riwayat hipertensi disangkal

2) Riwayat asma disangkal

3) Riwayat penyakit jantung disangkal

4) Riwayat penyakit paru disangkal

5) Riwayat DM disangkal

6) Riwayat stroke disangkal

7) Riwayat kejang disangkal

8) Riwayat penyakit maag disangkal

9) Riwayat penyakit ginjal disangkal

10) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal

d. Riwayat penyekit keluarga:

Riwayat asma, alergi dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien disangkal. 17

C. PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada 14 Agustus 2015

GCS : E4V5M6 = 15

Vital Sign : Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 100 x/menit

Suhu : 36,C

Pernafasan : 20 x/menit

Status Lokalis

Pemeriksaan payudara

a) Inspeksi : Pada payudara kanan terdapat benjolan tidak tegas, berada di 4

kuadran kanan bawah dan kuadran kiri atas melewati puting susu. Tampak

retraksi puting susu. Tampak ulserasi pada daerah benjolan.

b) Palpasi : Pada payudara kanan terdapat masa padat, terfiksir, keras.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Pemeriksaan 14-08-2015 Nilai normal

Hematologi

Hemoglobin 12.1 11.7-15.5 g/dL

Leukosit 4.2 3.6-11.0 ribu/uL

Hematokrit 35.0 33-45 %

APTT 25.7 25-35 detik

Trombosit 245 150-440 ribu/L

Waktu protombin 9,5 9,9-11,6 detik

Kimia Klinik

Natrium 138.0 135-147 mmol/L

Kalium 4.07 3.5-5 mmol/L

Chloride 110.1 95-105 mmol/L

Ureum 16,9 10-50 mg/dL

18

Creatinin 0,63 0,60-0,90 mg/dL

GDS 98 75-110 mg/dL

Seroimmunologi

HbsAg Negatif Negatif

Gol. Darah AB

E. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan yaitu :

a. Intravena fluid drip (IVFD) RL 20 tpm

b. Pro MRM

c. Informed Consent Operasi

d. Konsul ke Bagian Anestesi

e. Informed Conset Pembiusan

Dilakukan operasi dengan general anestesi dengan status ASA I

F. KESIMPULAN

ACC ASA I

G. LAPORAN ANESTESI

1. Diagnosis Pra Bedah

Ca mamae dextra

2. Diagnosis Pasca Bedah

Ca mamae dextra

3. Penatalaksanaan Preoperasi

a Infus RL 500 cc

4. Penatalaksanaan Anestesi

a. Jenis Pembedahan : Mastektomi Radikal Modifikasi (MRM)

b. Jenis Anestesi : General Anestesi

c. Teknik Anestesi : General Anestesi dengan intubasi Endotraceal Tube

d. Mulai Anestesi : pukul 22.00

e. Mulai Operasi : pukul 23.1019

f. Premedikasi : Sulfas Atropin 0,25 mg

Ondancetron 4 mg

g. Induksi : Fentanyl 0,05 mg

Propofol 100 mg

Farelac 50 mg

h. Medikasi tambahan : Ketorolac 30 mg

.i. Maintanance : O2, N2O,sevoflurane

j. Relaksasi : -

k. Respirasi : Spontan

l. Posisi : Supine

m. Cairan Durante Operasi : RL

n . Selesai operasi :

Pasien, Ny. SS, 38 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi MRM pada

tanggal 15 Agustus 2015 dengan diagnosis pre operatif ca mamae dextra. Persiapan operasi

dilakukan pada tanggal 14 Agustus 2015. Dari anamnesis terdapat keluhan nyeri di payudara

kanan. Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg; nadi

100x/menit; respirasi 20x/menit; suhu 36OC. Dari pemeriksaan laboratorium hematologi yang

dilakukan tanggal 14 Agustus 2015 dengan hasil: Hb 12.1 g/dl; golongan darah AB,

Hematoktit 35% , leukosit 4.2 ribu/uL, trombosit 245 ribu/uL dan HBsAg (-). Dari hasil

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa pasien masuk

dalam ASA I.

Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu 2cc/kgBB/jam,

sehingga kebutuhan per jam dari penderita adalah 86 cc/jam. Sebelum dilakukan operasi

pasien dipuasakan selama 6-8 jam. Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi

lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek

samping dari obat- obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan

selama anestesia. Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini yaitu 6 x

maintenance. Sehingga kebutuhan cairan yang harus dipenuhi selama 6 jam ini adalah 516

cc/6jam.

Operasi MRM dilakukan pada tanggal 15 Juli 2015. Pasien dikirim dari bangsal ke

ruang IBS. Pasien masuk keruang OK 1 pada pukul 21.50 WIB dilakukan pemasangan NIBP

dan O2 dengan hasil TD 120/78 mmHg; Nadi 80x/menit, dan SpO2 99%. Dilakukan injeksi 20

sulfas atropin 0,25 mg dan ondancentron 4 mg. Pemberian sulfas atropin bertujuan untuk

mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus sementara ondancentron bertujuan untuk anti

emetik. Penggunaan premedikasi pada pasien ini betujuan untuk menimbulkan rasa nyaman

pada pasien dengan pemberian analgesia dan mempermudah induksi dengan menghilangkan

rasa khawatir. Selanjutnya pasien ini diberikan fentanyl 0.05 mcg, propofol 80 mg, dan

farelac 50 mg untuk merelaksasikan otot-otot pernapasan. Karena dilakukan operasi MRM,

maka dokter anestesi memilih untuk dilakukan intubasi endotrakeal agar tidak mengganggu

operator sepanjang operasi dilakukan dan supaya pasien tetap dianestesi dan dapat bernafas

dengan adekuat.

Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada mesin anestesi

yang menghantarkan gas (sevoflurane) dengan ukuran 2vol% dengan oksigen dari mesin ke

jalan napas pasien sambil melakukan bagging selama kurang lebih 2 menit untuk menekan

pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari pelemas otot sehingga mempermudah

dilakukannya pemasangan endotrakheal tube. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena

sevofluran mempunyai efek induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas

lain, dan baunya pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk

induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun relatif stabil

dan jarang menyebabkan aritmia.

Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube (ET), maka dialirkan

sevofluran 2 vol%, oksigen sekitar 3 L/menit, dan N2O 1 L/menit sebagai anestesi rumatan.

Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi

perlahan-lahan dan untuk membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat

melakukan nafas spontan saat operasi selesai.

Operasi selesai tepat jam. Lalu mesin anestesi diubah ke manual supaya pasien dapat

melakukan nafas spontan. Gas sevo dihentikan karena pasien sudah nafas spontan dan

adekuat. Kemudian dilakukan ekstubasi endotracheal secara cepat untuk menghindari

penurunan saturasi lebih lanjut.

Total cairan yang diberikan pada pasien ini sejumlah 750 cc Ringer Laktat. Perdarahan

pada operasi ini kurang lebih 300 cc. Pada pukul 23.00 WIB, sebelum selesai pembedahan

dilakukan pemberian analgetik, injeksi ketorolac 30 mg diindikasikan untuk penatalaksanaan

jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur pembedahan.

Pada pukul 23.10 WIB, pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir TD

117/75mmHg; Nadi 85x/menit, dan SpO2 99%. Pembedahan dilakukan selama 55 menit

dengan perdarahan ± 300 cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). 21

Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat

serta kesadaran compos mentis. Tekanan darah selama 15 menit pertama pasca operasi stabil

yaitu 118/70 mmHg.

22

BAB IV

PEMBAHASAN

Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik akan dibahas

masalah yang timbul, baik dari segi bedah maupun anestesi.

A. PERMASALAHAN DARI SEGI BEDAH

1. Kemungkinan perdarahan durante dan post operasi.

2. Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan)

Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dipersiapkan jenis dan teknik anestesi

yang aman untuk operasi yang lama, juga perlu dipersiapkan darah untuk mengatasi

perdarahan.

Pada pasien ini teknik mastektomi yang digunakan adalah mastektomi radikal

modifikasi menggunakan electocauter dimana perdahan durante operasi dan post operasi lebih

sedikit karena pemotongan jaringan maupun hemostasis dilakukan dalam satu prosedur.

C. PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESI

1. Pemeriksaan pra anestesi

Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :

a. Puasa lebih dari 6 jam (pasien sudah puasa selama 6 jam)

b. Pemeriksaan laboratorium darah

Permasalahan yang ada adalah :

Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum

dilakukan anestesi dan operasi.

Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai dengan keadaan

umum penderita.

Dalam mempersiapkan operasi pada penderita perlu dilakukan :

Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS. Pada pasien ini

diberikan cairan Ringer Laktat 20 tetes per menit, terhitung sejak pasien mulai

puasa hingga masuk ke ruang operasi. Puasa paling tidak 6 jam untuk

mengosongkan lambung, sehingga bahaya muntah dan aspirasi dapat

dihindarkan. Terdapat tiga jenis cairan berdasarkan tujuan terapi, yaitu:

1. Cairan rumatan (maintenance)

23

Bersifat hipotonis: konsentrasi partikel terlarut < konsentrasi cairan

intraseluler (CIS); menyebabkan air berdifusi ke dalam sel. Tonisitas <270

mOsm/kg. Misal: Dekstrosa 5 %, Dekstrosa 5 % dalam Salin 0,25 %

2. Cairan pengganti (resusitasi, substitusi)

Bersifat isotonis: konsentrasi partikel terlarut = CIS; no net water

movement melalui membran sel semipermeabel Tonisitas 275 – 295

mOsm/kg. Misal : NaCl 0,9 %, Lactate Ringer’s, koloid

3. Cairan khusus

Bersifat hipertonis: konsentrasi partikel terlarut > CIS; menyebabkan air

keluar dari sel, menuju daerah dengan konsentrasi lebih tinggi Tonisitas >

295 mOsm/kg. Misal: NaCl 3 %, Mannitol, Sodium- bikarbonat, Natrium

laktat hipertonik

Berdasarkan kepustakaan disebutkan bahwa dehidrasi isotonik merupakan

jenis dehidrasi yang paling sering terjadi (80%). Pada pasien ini diberikan

resusitasi cairan berupa Ringer Laktat dengan tujuan untuk memperbaiki

volume sirkulasi dan pemilihan cairan ini berdasarkan pertimbangan

kompartemen yang mengalami defisit.

Jenis anestesi yang dipilih adalah anestesi umum karena pada kasus ini

diperlukan hilangnya kesadaran, rasa sakit, amnesia dan mencegah resiko

aspirasi dengan menggunakan premedikasi sulfas atropin , ondensetron, dan

fentanyl. Teknik anestesinya semi closed inhalasi dengan pemasangan

endotrakheal tube.

Selama operasi dipasang ET teknik cepat.

2. Premedikasi

a. Untuk mempertahankan kestabilan hemodinamik pada pasien diberikan sulfas

atropin 0,25 mg bolus.

b. Untuk mengurangi rasa mual dan muntah pasca bedah maka diberikan ondensetron

4 mg bolus.

3. Induksi

a. Pemberian fentanyl 0.05 mcg

24

b. Digunakan Propofol 80 mg bolus karena memiliki efek induksi yang cepat, dengan

distribusi dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol dapat menghambat

transmisi neuron yang hancur oleh GABA. Obat anestesi ini mempunyai efek

kerjanya yang cepat dan dapat dicapai dalam waktu 30 detik.

c. Pemberian Farelax 50 mg bolus sebagai pelemas otot untuk mempermudah

pemasangan Endotracheal Tube.

4. Maintenance

Dipakai N2O dan O2 dengan perbandingan 2L/2L, serta Sevofluran 2 vol %.

5. Terapi Cairan

Perhitungan kebutuhan cairan pada kasus ini adalah ( Berat Badan 43 kg )

a. Defisit cairan karena puasa 6 jam

(2 cc/jam x 43 kg x 6 jam) = 516 cc

Cairan ini sudah terpenuhi karena walaupun pasien puasa tapi tetap mendapat

infus.

b. Perdarahan yang terjadi 300 cc

EBV = 70 cc x 43 kg = 3010 cc.

Jadi perkiraan kehilangan darah = /3010 x 100 % =

Cairan yang sudah diberikan :

1). Pra anestesi = 500 cc

2). Saat operasi = 350 cc

Total cairan yang masuk = 850 cc

25

BAB V

KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang

melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien

dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya.

Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi

mastektomi radikal modifikais pada penderita perempuan, usia tahun, status fisik ASA I,

dengan diagnosis ca mamae dextra yang dilakukan teknik anestesi umum dengan ET no.5,0.

Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada

diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi dapat

ditekan seminimal mungkin.

Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari

segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi

hal yang memerlukan penanganan serius.

Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.

BAB VI

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Brash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., Cahalan, M.K., Stock, M.C. 2009.

Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA : Lippincott Williams & Wilkins

2. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,

FKUI. Jakarta: CV Infomedia.

3. Hines, R.L., Marschall, K.E. 2008. Stoelting’s Anesthesia and Co-existing Disease. 5th

edition. NY : Elsevier

4. Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk

Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

5. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi FKUI, edisi

ke- 4. Jakarta: Gaya baru.

6. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : Balai

Penerbit FKUI

7. Singletary, SE., Connoly, James.2006. Breast Cancer Staging. USA. CA Cancer

Journal. 56:37-47.

8. American Cancer Society. Breast cancer facts and figures. 2006. World Wide Web.

27